92
BULETIN V o l. 4 6 N o . 1 M a re t 2 0 1 8 B U L L E T IN O F H E A L T H R E S E A R C H DEWAN REDAKSI Editorial Board KETUA DEWAN REDAKSI Managing Editor Prof. Dr. M. Sudomo (Parasitologi Medik; WHO) ANGGOTA DEWAN REDAKSI Dra Nani Sukasediati, Apt, Ms (Farmakologi; WHO) Members of the Editorial Board drh. Rita Marleta Dewi, M.Kes (Parasitologi ; Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan) dr. Lusianawaty Tana, Sp.OK (Kesehatan dan Keselamatan Kerja : Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan) Dr. dr. Sri Idaiani, Sp.Kj (Epidemiologi : Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan) Dr. Dwi Hapsari Tjandrarini, M.Kes (Biostatistik :Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat) Siti Sundari, MPH, DSc (Kebijakan Kesehatan : Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) Sri Irianti, SKM, MPhil, PhD (Kesehatan Lingkungan : Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat) Dr. drg. Tati Suryati, MARS (Kebijakan dan Manajemen Kesehatan: Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan) MITRA BESTARI Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K)., MARS., DTM&H,DTCE (Tuber Cullosis, WHO) Peer Reviewer Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH (Biomedik ; Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan) Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo (Perilaku Masyarakat : FKM - UI) Prof. Dr. dr. Kusharisupeni , M.Sc (Gizi Klinik dan Kesmas, FKM-UI) Prof. Dr. dr. Erni Hernawati Purwaningsih, MS (Drug Delivery, Herbal : FK-UI) Dr. dr. Christina Safira Whinie Lestari, M.Kes (Biomedik; Puslitbang Biomedis dan Tekhnologi Dasar Kesehatan) REDAKSI PELAKSANA Pattah, SIP Executive Editor Leny Wulandari, SKM, MKM SEKRETARIS Siti Rachma, SS, MKM Secretary STAF SEKRETARIAT Suwarno Secretariat Staff Happy Chandraleka, ST Cahaya Indriaty, SKM, M.Kes Zulfah Nur’aini, A.Md Utami Dyah Respati, S.Sos. Terbit 4 kali setahun (Quarterly publication) - ( Maret, Juni, September, Desember ) Buletin Penelitian Kesehatan adalah forum komuni- kasi hasil-hasil penelitian, tinjauan hasil-hasil pe- nelitian, metodologi dan pendekatan-pendekatan baru dalam penelitian yang berkaitan dengan upaya kesehatan di Indonesia. Buletin ini merupakan publikasi resmi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Ke- menterian Kesehatan, Republik Indonesia Bulletin of Health Studies is a forum communicating research results, research reviews, methodologies and new approaches for health research relevant to health services in Indonesia. It is a formal publication of the National Institute of Health Research and Development, Ministry of Health, Republic of Indonesia A la m a t R e d a k s i : Bagian Umum, Dokumentasi dan Jejaring Sekretariat Badan Litbang Kesehatan Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 E-mail : [email protected] Telp. (021) 4261088 ext. 223 Fax. (021) 4244228 Website : http//ejournal.litbang.go.id/index.php/BPK PENELITIAN KESEHATAN ISSN 0125 – 9695 E ISSN 2338-3453

BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

BULETIN

V o l . 4 6 N o . 1 M a r e t 2 0 1 8 B U L L E T I N O F H E A L T H R E S E A R C H

DEWAN REDAKSI Editorial Board

KETUA DEWAN REDAKSI Managing Editor

Prof. Dr. M. Sudomo (Parasitologi Medik; WHO)

ANGGOTA DEWAN REDAKSI Dra Nani Sukasediati, Apt, Ms (Farmakologi; WHO) Members of the Editorial Board drh. Rita Marleta Dewi, M.Kes (Parasitologi ; Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar

Kesehatan) dr. Lusianawaty Tana, Sp.OK (Kesehatan dan Keselamatan Kerja : Puslitbang Sumber Daya dan

Pelayanan Kesehatan) Dr. dr. Sri Idaiani, Sp.Kj (Epidemiologi : Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan) Dr. Dwi Hapsari Tjandrarini, M.Kes (Biostatistik :Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat) Siti Sundari, MPH, DSc (Kebijakan Kesehatan : Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) Sri Irianti, SKM, MPhil, PhD (Kesehatan Lingkungan : Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat)

Dr. drg. Tati Suryati, MARS (Kebijakan dan Manajemen Kesehatan: Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan)

MITRA BESTARI Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K)., MARS., DTM&H,DTCE (Tuber Cullosis, WHO) Peer Reviewer Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH (Biomedik ; Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar

Kesehatan) Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo (Perilaku Masyarakat : FKM - UI) Prof. Dr. dr. Kusharisupeni , M.Sc (Gizi Klinik dan Kesmas, FKM-UI) Prof. Dr. dr. Erni Hernawati Purwaningsih, MS (Drug Delivery, Herbal : FK-UI)

Dr. dr. Christina Safira Whinie Lestari, M.Kes (Biomedik; Puslitbang Biomedis dan Tekhnologi Dasar Kesehatan)

REDAKSI PELAKSANA Pattah, SIP Executive Editor Leny Wulandari, SKM, MKM SEKRETARIS Siti Rachma, SS, MKM Secretary STAF SEKRETARIAT Suwarno Secretariat Staff Happy Chandraleka, ST Cahaya Indriaty, SKM, M.Kes Zulfah Nur’aini, A.Md Utami Dyah Respati, S.Sos.

Terbit 4 kali setahun (Quarterly publication) - ( Maret, Juni, September, Desember )

Buletin Penelitian Kesehatan adalah forum komuni-kasi hasil-hasil penelitian, tinjauan hasil-hasil pe-nelitian, metodologi dan pendekatan-pendekatan baru dalam penelitian yang berkaitan dengan upaya kesehatan di Indonesia. Buletin ini merupakan publikasi resmi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Ke-menterian Kesehatan, Republik Indonesia

Bulletin of Health Studies is a forum communicating research results, research reviews, methodologies and new approaches for health research relevant to health services in Indonesia. It is a formal publication of the National Institute of Health Research and Development, Ministry of Health, Republic of Indonesia

A l a m a t R e d a k s i : Bagian Umum, Dokumentasi dan Jejaring

Sekretariat Badan Litbang Kesehatan Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560

E-mail : [email protected] Telp. (021) 4261088 ext. 223 Fax. (021) 4244228 Website : http//ejournal.litbang.go.id/index.php/BPK

PENELITIAN KESEHATAN

ISSN 0125 – 9695 E ISSN 2338-3453

Page 2: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Vol. 46 No. 1 Maret 2018 BULLETIN OF HEALTH RESEARCH

PENELITIANKESEHATANBULETIN

DAFTAR ISI

ISSN 0125 - 9695E-ISSN 2338-3453

ARTIKEL

1. Riwayat Hipertensi Keluarga Sebagai Faktor Dominan Hipertensi Pada RemajaKelas XI SMA Sejahtera 1 Depok Tahun 2017Family History of Hypertension is the Dominant Factor of Hypertension Among Student 11St Grade in Sma Sejahtera 1 Depok 2017

1-10

(Annisa Nursita Angesti1, Triyanti1, Ratu Ayu Dewi Sartika1)

2. Determinan Penyakit Asma pada Pekerja Usia Produktif di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2013Determinants of Asthma Disease in Workers of Productive age in Indonesia Basic Health Research 2013

11 - 22

(Lusianawaty Tana)

3. Faktor Determinan Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok Umur 25-65 tahun di Kota Bogor, Data Kohor 2011-2012Determinant Factors of Coronary Heart Disease at age 25-65 Years in Bogor City, Kohort Study 2011-2012

23 - 34

(Julianty Pradono1, dan Asri Werdhasari2)

4. Kondisi Masyarakat pada Masa Surveilans Pasca-Transmission Assesment Survey (TAS)-2 Menuju Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bangka Barat, Bangka BelitungThe Condition of the Community at Period of Post-Transmission Assesment Survey (Tas)-2 Surveillance Towards Elimination of Filariasis in Bangka Barat Regency, Bangka Belitung

35 - 44

(Nungki Hapsari Suryaningtyas1, Maya Arisanti1, Ade Verientic Satriani1, Nur Inzana1, Santoso1, Suhardi2)

5. Arah Kebijakan Kesehatan Mental: Tren Global dan Nasional Serta Tantangan AktualMental Health Policy: Global, National Trend and Current Challenges

45 - 52

(Ilham Akhsanu Ridlo1, dan Rizqy Amelia Zein2)

6. Respons Sitokin Tnf-Α Dan Il-4 Pasca Stimulasi Antigen Fusi Resat-6-Cfp-10 Cytokine Response of Tnf-a and Il-4 Post-Stimulation Resat-6-Cfp-10 Fusion Antigen

53 - 60

(Rahma Indah Pratiwi1, Jusak Nugraha1, dan Betty Agustina Tambunan1, dan Francisca Srioetami Tanoerahardjo2)

7. Kombinasi Salam, Pegagan, Alang-Alang, dan Pala Terhadap Fungsi Kardiovaskuler Pasien Hipertensi EsensialCombination of Bay, Gotu Kola, Cogon Grass, and Nutmeg on Cardiovascular Function of Essential Hypertensive Patients

61 - 68

(Ulfatun Nisa dan Tyas Friska Dewi)

8. Kepadatan dan Tingkat Infeksi Serkaria Schistosoma Japonicum pada Keong Oncomelania Hupensis Lindoensis dengan Kasus Schistosomiasis di Daerah Endemis Schistosomiasis, Sulawesi TengahThe Density and Infection Rate of S. Japonicum Cercariae on Intermediate Snail, Oncomelania Hupensis Lindoensis to the Schistosomiasis Infection in Endemic Area, Central Sulawesi

69 - 76

(Anis Nurwidayati, Junus Widjaja, Samarang, Made Agus Nurjana, Intan Tolistiawaty, dan Phetisya PFS)

Page 3: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Vol. 46 No. 1 March 2018 BULLETIN OF HEALTH RESEARCHThe abstract sheet may be reproduced/copied without permission

PENELITIANKESEHATANBULETIN

ISSN 0125 - 9695E-ISSN 2338-3453

NLM : XX XXX

Annisa Nursita Angesti1, Triyanti1, Ratu Ayu Dewi Sartika1

1Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM-UIJl. Prof. Dr. Sujudi, Pondok Cina, Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16424E - mail : [email protected]

Family History of Hypertension is the Dominant Factor of Hypertension Among Student 11St Grade in Sma Sejahtera 1 Depok 2017

Bulletin of Health ResearchVol. 46 No. 1, March, Pages. 1 - 10

Nutritional status changes, diet, and lifestyle are risk factors adolescent’s hypertension. This study is a cross sectional research to determine the most dominant factor of hypertension among adolescents at SMA Sejahtera 1 Depok 2017. Collected data include blood pressure, nutritional status (BMI for age), intake nutrients (sodium, potassium, calcium, fat, fruits and vegetables consumption), lifestyle (sleep duration, stress, and physical activity), and adolescent characteristics (sex and family history of hypertension). Blood pressure was measured using mercury sphygmomanometer, nutritional status with anthropometry, nutrient intake with Semi Quantitative FFQ, lifestyle and characteristics with questionnaire. The study showed that 42.4% of adolescents had hypertension (≥95 percentile). Factors associated with hypertension were BMI for age and family history of hypertension. The most dominant factor associated with hypertension was family history of hypertension. Education on genetic related risk factors of hypertension such as genetic counseling through Health School Program was needed for prevent adolescent’s hypertension, so that students with a family history of hypertension may be more concerned about other risk factors such as nutritional status.

Keywords : adolescent, family history of hypertension, hypertension------------------------------------------------------------------NLM : XX XXX

Lusianawaty Tana

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RIJl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560E-mail: [email protected]

Determinants of Asthma Disease in Workers of Productive age in Indonesia Basic Health Research 2013

Bulletin of Health ResearchVol. 46 No. 1, March, Pages. 11 - 22

Asthma is one of the chronic respiratory diseases that often leads to decrease of productivity, loss of income and unemployment, as well as psychosocial and financial problems. The objective of the research was to identify the determinants of asthma of productive age workers in Indonesia using Basic Health Research (Riskesdas 2013). Sampling criteria were workers aged 15-64 years across the country. The data were analyzed by complex sample with significance level of 0.05 and 95% confidence intervals. Samples that met the criteria were 405.984 people. Determinants of asthma were areas of residence, age, education, nutritional status, smoking, illumination sources, sex, occupation, ownership index, residence location, slum neighborhood, physical activity, and fuel type usage. (OR adj 1.1-2.1 p≤0.01). The proportion of asthma in eastern region of Indonesia and Java-Bali region were 2.05 and 1.75 higher than Sumatra region respectively. Less nutritional status had asthma proportion of 1.5 times higher than normal. Improving nutritional status and increasing knowledge about healthy lifestyle should be done as an effort to reduce the occurrence of asthma.

Key words: workers, asthma, Indonesia, Riskesdas 2013 ------------------------------------------------------------------

NLM : XX XXX

Julianty Pradono1, dan Asri Werdhasari2

1Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Balitbangkes.2Pulitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Balitbangkes.Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560E - mail: [email protected]

Page 4: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Determinant Factors of Coronary Heart Disease at age 25-65 Years in Bogor City, Kohort Study 2011-2012

Bulletin of Health ResearchVol. 46 No. 1, March, Pages. 23 - 34

Background: Coronary Heart Disease (CHD) is a disease with the highest prevalence among Non Communicable diseases (NCD). The factors related to CHD can be controlled and therefore the occurrence of CHD can be prevented. The aim of this study is to identify the determinants of CHD among selected residents in the Central Bogor village, Indonesia. Method: The data were from the baseline of 2011-2012 NCD cohort study, with a total sample of 4,786 respondents. Multivariate analysis was done to determine the risk factors of CHD. Results: The prevalence of CHD is 20.9 ± 0.41 percent. Risk factors that are related to CHD are: stroke 3.5 times (95% CI: 2.0-5.9); hypertension 1.6 times (95% CI: 1.3¬1.9); followed by IFG 1.5 times (95% CI: 1.1-1.9); emotional disorders 1.4 times (95% CI: 1.2-1.7); LDL 1.3 times (95% CI: 1.0-1.6); diabetes mellitus 1.2 times (95% CI: 0.8-1.6); obesity based on BMI 1.2 times (95% CI: 1.0-1.5. The proportion of CHD in female 1.9 times more than males. Conclusion: stroke, hypertension and hyperglycemia are the determinants of CHD. It is recommended to increase promotion in an effort to reduce consumption of sugar, salt, and other major risk factors to prevent NCDs, especially CHD.

Key words: Coronary Heart Disease, risk factor, Bogor ------------------------------------------------------------------NLM : XX XXX

Nungki Hapsari Suryaningtyas1, Maya Arisanti1, Ade Verientic Satriani1,Nur Inzana1, Santoso1, Suhardi2

1. Loka Penelitian dan Pengembangan P2B2 Baturaja, Jalan Jenderal Ahmad Yani Km.7Kemelak Baturaja, Sumatera Selatan, Indonesia 2. Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan, Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan,Jalan Percetakan Negara No. 49 Jakarta, Indonesia E - mail : [email protected]

The Condition of the Community at Period of Post Transmission Assesment Survey (Tas)-2 Surveillance Towards Elimination of Filariasis in Bangka Barat Regency, Bangka Belitung

Bulletin of Health ResearchVol. 46 No. 1, March, Pages. 35 - 54

Filariasis elimination program in West Bangka Regency had been in the fourth year to stop MDA filariasis surveillance period. This study aims to describe the

condition of the community covering microfilariaemia rate, knowledge, attitudes, behavior, and environment of filariasis Data was collected through interviews and examination of venous blood filtration to 150 people in four selected villages. Result showed that three respondents were positive Brugia malayi microfilariae with density of microfilariae was 116, 245 and 112 respectively. Respondents’ knowledge about the symptoms, modes of transmission, consequences and ways of preventing filariasis was still very low.. Most respondents had received preventive treatment of filariasis, but only 2% had taken medicine to prevent filariasis for five times. Behavior of respondents to safeguard themself against mosquito bites using mosquito nets (73.3%) and mosquito repellent (65.3%). Most respondents had the habit of going out at night (78.7%). Found swamp (23.3%) and reservoir host (cats) by 40.7% of respondents around the house. The presence of positive microfilariae indicates that the presence of transmission of filariasis. The presence of swamps shows the availability of the potential breeding places of the vector. Cats around the home can be a source of transmission of filariasis.

Keywords: microfilariaemia rate, KAP, environment, West Bangka ----------------------------------------------------------------NLM : XX XXX

Ilham Akhsanu Ridlo1, dan Rizqy Amelia Zein2

1Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan MasyarakatUniversitas Airlangga Kampus B, 21 Airlangga, 4-6 Surabaya2Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial, Fakultas Psikologi Universitas AirlanggaUniversitas Airlangga Kampus C Mulyorejo, SurabayaE - mail : [email protected] / : [email protected]

Mental Health Policy: Global, National Trend and Current Challenges

Bulletin of Health ResearchVol. 46 No. 1, March, Pages. 45 - 52

Globally, during the last three decades, mental health has played significant role in regards to the discourse of global health policy. Since two decades ago, WHO has firmly defined health as a rounded state of condition where an individual reach “...not merely the absence of the illness, but also achievement of physical, mental and social well-being.” WHO’s definition of health implies a significant impact on global health policy – all members of states should adhere their health policy to this definition. The Global Burden of Disease study carried out by IHME (The Institute for Health Metrics and Evaluation)

Page 5: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

in 2012 that mapped out the burden of disease around the world revealed an appalling fact namely worsened mental health condition. Years lost due to disability (YLD) study mentioned that 6 out to 20 diseases that were most responsible in causing disability were mental illnesses. Therefore, this article aimed to describe the mental illness prevalence in global and national level by reviewing several mental illness epidemiological studies. Additionally, this article highlighted some of important challenges that should be considered by healthcare service providers and policymakers in tackling mental health issues, which are treatment gap and mental health stigma.

Keywords: Mental Health Policy, Global and National Prevalence, Treatment Gap,------------------------------------------------------------------NLM : XX XXX

Rahma Indah Pratiwi1, Jusak Nugraha1, dan Betty Agustina Tambunan1, dan Francisca Srioetami Tanoerahardjo2

1Departemen/Instalasi Patologi Klinik Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo SurabayaKAMPKampus KaUS A Univrsitas Airlangga. Kampus A Universitas AirlanggaJl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 47. Surabaya - 60131 Indonesia2Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan.Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat

Cytokine Response of Tnf-a and Il-4 Post-Stimulation Resat-6-Cfp-10 Fusion Antigen

Bulletin of Health ResearchVol. 46 No. 1, March, Pages. 53 - 256

Introduction.Protective immunity of tuberculosis (TB) infection is highly dependent on the balance of Th1 and Th2 cytokines. TNF-α cytokines produced by Th1 cell retain a latent status, and IL-4 produced by Th2 aids in the production of antibodies. The recent development of the vaccine candidates shows that rESAT-6-CFP-10 fusion antigen is specific to induce protective immune responses. The objective of the study was to determine the immune response. Method. This study used a quasi experimental design in the laboratory in vitro with cultured PBMC of patients with new cases of pulmonary TB, latent TB and healthy individuals. Examination of TNF-α and IL-4 levels was done by ELISA. Results. The highest TNF-α mean levels were 866,05 in the latent TB group, compared to 814,56 in active TB and 414,58 in healthy individuals, but they were not significantly different. The highest IL-4 mean levels were 1,39 in the active TB group, compared to 0,88 in latent TB and 0,74

in healthy individuals, but they were not significantly different. Conclusion. High levels of TNF-α and low levels of Il-4 in latent TB post-stimulation of rESAT-6-CFP-10 fusion antigen show that the candidate vaccine is capable of providing protective reponse against Mycobacterium tuberculosis infection.

Keywords : TNF-α, IL-4, PBMC, ELISA, rESAT-6-CFP-10------------------------------------------------------------------NLM : XX XXX

Ulfatun Nisa dan Tyas Friska Dewi

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional TawangmanguE - mail : [email protected]

Combination of Bay, Gotu Kola, Cogon Grass, and Nutmeg on Cardiovascular Function of Essential Hypertensive Patients

Bulletin of Health ResearchVol. 46 No. 1, December, Pages. 61 - 68

Hypertension is one of cardiovascular risk factors. This study aims to determine the effect of combinations of bay leaf (Syzygium polyanthum), gotu kola (Centella asiatica), cogon grass (Imperata cylindrica), and nutmeg (Myristica fragrans) to the cardiovascular function of essential hypertensive patient as alternative therapy. The study used a pre experimental quasi and post test design. Sixty new patients which came between Juni-October 2016 that fulfilled inclusion criteria, 18-60 years old with mild hypertension and stable health conditions, and exclusion criteria, doesn’t have severe comorbid disease, pregnant, or have allergic reaction toward given combination of bay, gotu kola, cogon grass, and nutmeg (jamu). The subjects drank given jamu formula twice a day for 56 days. Measurement of blood pressure, heart rate, RPP, PP, and MAP done once a week in Rumah Riset Jamu Tawangmangu. The results showed a decrease in systolic pressure from 147.16 ± 6.46 mmHg to 132.25 ± 11, 21 mmHg with p value = 0.001%, diastolic pressure decreased from 92.16 ± 2.49 mmHg to 77.83 ± 8 , 98 mmHg with p value = 0.001%, mean arterial pressure, heart rate, RPP, and PP also decreased. The results showed that combination of bay leaf, gotu kola, cogon grass, nutmeg can increase cardiovascular function by decreasing in blood pressure, heart rate, RPP, PP, and MAP.

Keywords :hypertension, bay leaf, gotu kola, cogon grass, nutmeg--------------------------------------------------------------------

Page 6: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

NLM : XX XXX

Anis Nurwidayati, Junus Widjaja, Samarang, Made Agus Nurjana, Intan Tolistiawaty, dan Phetisya PFS

Balai Litbang P2B2 DonggalaJl. Masitudju 58 Labuan Panimba Kec. Labuan Kab. Donggala. IndonesiaEmail : [email protected]

The Density and Infection Rate of S. Japonicum Cercariae on Intermediate Snail, Oncomelania Hupensis Lindoensis to the Schistosomiasis Infection in Endemic Area, Central Sulawesi

Bulletin of Health ResearchVol. 46 No. 1, March, Pages. 69 - 76

Schistosomiasis in Indonesia only found in Napu and Bada Highlands, Poso district and Lindu Highlands in Sigi district, Central Sulawesi Province. Schistosomiasis

in Indonesia caused by Schistosoma japonicum and Oncomelania hupensis lindoensis is the intermediate snail host. The mapping of snail ficci areas in 2017 showed that there was a significant change in the spread of the snail’s focci. This paper aimed to describe the density and infection rate of S. japonicum cercariae in the snail host in the endemic areas of schistosomiasis in Central Sulawesi Province. The mean O.hupensis lindoensis snail density in Napu ranged from 0.9 to 6.6/m2, with mean rates of cercariae infections ranging from 0.4% to 21.4%. The snail density average in Lindu ranging from 3/m2 to 69,1/m2, with 4.4%-72.9% of cercariae infections. In bada the snail density ranged from 0.1 to 4.9/m2, with mean rates of cercariae infections ranging from 0% to 14.9%. Bivariate analysis showed there was no correlation between snail density and cercariae infection rate with schistosomiasis case (p value> 0.05).

Keywords : Schistosomiasis, density, infection rate, Oncomelania hupensis lindoensis, Central Sulawesi

Page 7: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Vol. 46 No. 1 Maret 2018 BULLETIN OF HEALTH RESEARCHLembar abstrak ini boleh diperbanyak/di-copy tanpa izin

PENELITIANKESEHATANBULETIN

ISSN 0125 - 9695E-ISSN 2338-3453

NLM : XX XXX

Annisa Nursita Angesti1, Triyanti1, Ratu Ayu Dewi Sartika1

1Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM-UIJl. Prof. Dr. Sujudi, Pondok Cina, Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16424E - mail : [email protected]

Riwayat Hipertensi Keluarga Sebagai Faktor Dominan Hipertensi Pada Remaja Kelas XI SMA Sejahtera 1 Depok Tahun 2017

Buletin Penelitian KesehatanVol. 46 No. 1, Maret, Hal. 1 - 10

Perubahan status gizi, pola makan dan gaya hidup pada remaja merupakan faktor risiko hipertensi remaja. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional untuk mengetahui faktor dominan hipertensi pada remaja di SMA Sejahtera 1 Depok tahun 2017. Data yang dikumpulkan meliputi tekanan darah, status gizi (IMT/U), asupan zat gizi (natrium, kalium, kalsium, lemak, konsumsi buah dan sayur), pola hidup (durasi tidur, stres, aktivitas fisik), dan karakteristik remaja (jenis kelamin dan riwayat hipertensi keluarga). Tekanan darah diukur menggunakan sfigmomanometer air raksa, status gizi dengan antropometri, asupan zat gizidengan Semi Quantitative FFQ, pola hidup dan karakteristik dengan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 42,4% remaja SMA Sejahtera 1 Depok mengalami hipertensi (≥95 persentil). Terdapat hubungan IMT/U dan riwayat hipertensi keluarga pada hipertensi remajanya. Faktor dominan yang paling berhubungan dengan hipertensi pada remaja di SMA Sejahtera 1 Depok tahun 2017 adalah riwayat hipertensi keluarga. Diperlukan edukasi seperti kegiatan konseling genetik melalui UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) tentang faktor risiko riwayat hipertensi keluarga sebagai pencegahan hipertensi remaja, sehingga bagi siswa yang memiliki riwayat hipertensi keluarga dapat lebih memperhatikan faktor risiko lainnya seperti status gizi.

Kata kunci: hipertensi, remaja, riwayat hipertensi keluarga--------------------------------------------------------------------

NLM : XX XXX

Lusianawaty Tana

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RIJl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560E-mail: [email protected]

Determinan Penyakit Asma pada Pekerja Usia Produktif di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2013

Buletin Penelitian KesehatanVol. 46 No. 1, Maret, Hal. 11 - 22

Asma merupakan masalah kesehatan di semua Negara dan salah satu penyakit saluran pernapasan kronik yang sering mengakibatkan turunnya produktifitas, hilangnya pendapatan income dan pekerjaan, serta menimbulkan masalah psikososial dan keuangan. Tujuan analisis lanjut menentukan determinan penyakit asma pada pekerja usia produktif di Indonesia, menggunakan data RiskesdasTahun 2013. Kriteriasampel: berusia 15-64 tahundan status bekerja. Variabel yang di analisis meliputi asma, karakteristik individu, perilaku, dan tempat tinggal. Analisis data menggunakan kompleks sampel, tingkat kemaknaan ≤0,05dan confidence interval 95%. Jumlah sampe lsesuai kriteria 405.984 orang. Determinan asma adalah kawasan tempat tinggal, umur, pendidikan, status gizi, merokok, sumber penerangan, jenis kelamin, pekerjaan utama, indeks kepemilikan, lokas itempat tinggal, lingkungan kumuh, aktivitas fisik, dan jenis bahan bakar. (ORadj 1,1-2,1 p≤0,01). Persentase asma lebih tinggi di Kawasan Timur Indonesia 2,05 kali dan Jawa-Bali 1,75 kali dibandingkan Sumatera, pada status gizikurang 1,5 kali dibandingkan normal, umur 55-64 tahun 1,5 kali dibandingkan umur 15-24 tahun, pada pendidikan rendah 1,5 kali dibandingkan pendidikan tinggi. Perbaikan status gizi dan peningkatan pengetahuan tentang hidup sehat perludilakukan sebagai upaya menurunkan kejadia nasma.

Kata kunci: pekerja, asma, Indonesia, Riskesdas 2013--------------------------------------------------------------------

Page 8: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

NLM : XX XXX

Julianty Pradono1, dan Asri Werdhasari2

1Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Balitbangkes.2Pulitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Balitbangkes.Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560E - mail: [email protected]

Faktor Determinan Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok Umur 25-65 tahun di Kota Bogor, Data Kohor 2011-2012

Buletin Penelitian KesehatanVol. 46 No. 1, Maret, Hal. 23 - 34

Latar Belakang: Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit dengan prevalensi tertinggi di antara Penyakit Tidak Menular (PTM) pada populasi. Faktor yang berhubungan dengan PJK seharusnya dapat dikontrol sehingga terjadinya PJK dapat dicegah. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi faktor penentu yang berhubungan dengan PJK pada penduduk di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, padatahun 2011-2012. Metode: Data penelitian merupakan data dasar studi kohor PTM 2011-2012, dengan jumlah sampel 4786 responden. Analisis multivariat dilakukan untuk mendapatkan faktor yang berhubungan dengan PJK. Hasil: Proporsi PJK adalah 20,9 ± 0,41% pada umur 25-65 tahun. Faktorrisiko yang berhubungan dengan PJK adalah: stroke 3,5 kali (95% CI: 2,0-5,9); hipertensi 1,6 kali (95% CI: 1,3-1,9); diikuti kadar gula puasa>100mg% 1,5 kali (95% CI: 1,1-1,9); gangguan mental emosional 1,4 kali (95% CI: 1,2¬1,7); LDL 1,3 kali (95% CI: 1,0-1,6); diabetes melitus 1,2 kali (95% CI: 0,8-1,6); obesitas berdasarkan IMT 1,2 kali (95% CI: 1,0-1,5). Proporsi PJK pada perempuan 1,9 kali lebih banyak dari laki-laki dan meningkat dengan bertambahnya umur. Kesimpulan: stroke, hipertensi, dan hiperglikemia merupakan faktor determinan terjadinya PJK. Saran: meningkatkan promosi dalam upaya mengurangi asupan gula, garam, kalori, dan faktor risiko utama untuk mencegah terjadinya penyakit tidak menular khususnya PJK.

Kata kunci: penyakit jantung koroner, faktorrisiko, Kota Bogor--------------------------------------------------------------------

NLM : XX XXX

Nungki Hapsari Suryaningtyas1, Maya Arisanti1, Ade Verientic Satriani1,Nur Inzana1, Santoso1, Suhardi2

1. Loka Penelitian dan Pengembangan P2B2 Baturaja, Jalan Jenderal Ahmad Yani Km.7Kemelak Baturaja, Sumatera Selatan, Indonesia 2. Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan, Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan,Jalan Percetakan Negara No. 49 Jakarta, Indonesia E - mail : [email protected]

Kondisi Masyarakat pada Masa Surveilans Pasca-Transmission Assesment Survey (TAS)-2 Menuju Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung

Buletin Penelitian KesehatanVol. 46 No. 1, Maret, Hal. 35 - 54

Program eliminasi filariasis di Kabupaten Bangka Barat telah memasuki tahun ke empat tahap surveilans periode stop POPM filariasis. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kondisi masyarakat yang meliputi: microfilariaemia rate, pengetahuan, sikap, perilaku dan lingkungan masyarakat tentang filariasis. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan pemeriksaan darah vena dengan metode filtrasi terhadap 150 orang yang berada di empat desa Hasil menunjukkan bahwa ditemukan tiga responden positif mikrofilaria (mf) dengan spesies Brugia malayi dan kepadatan pada masing-masing penderita sebesar 116, 245 dan 112. Pengetahuan responden mengenai gejala, cara penularan, akibat yang ditimbulkan dan cara pencegahan filariasis masih rendah. Sebagian besar responden pernah mendapatkan pengobatan pencegahan filariasis, akan tetapi hanya 2% yang pernah minum obat sebanyak lima kali. Perilaku responden terhadap upaya perlindungan diri terhadap gigitan nyamuk dilakukan dengan menggunakan kelambu (73,3%) dan anti nyamuk (65,3%). Sebagian besar responden mempunyai kebiasaan keluar rumah pada malam hari (78,7%). Ditemukan rawa (23,3%) dan hewan reservoir (kucing) sebesar 40,7% di sekitar rumah responden. Masih ditemukannya penderita positif microfilaria mengindikasikan adanya penularan filariasis. Adanya rawa menunjukkan tersedianya tempat perindukan vector filariasis yang potensial. Kucing sebagai reservoir yang ditemukan di sekitar rumah dapat menjadi sumber penularan filariasis.

Kata kunci: microfilariaemia rate, pengetahuan, sikap, perilaku, lingkungan, Bangka Barat--------------------------------------------------------------------

Page 9: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

NLM : XX XXX

Ilham Akhsanu Ridlo1, dan Rizqy Amelia Zein2

1Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan MasyarakatUniversitas Airlangga Kampus B, 21 Airlangga, 4-6 Surabaya2Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial, Fakultas Psikologi Universitas AirlanggaUniversitas Airlangga Kampus C Mulyorejo, SurabayaE - mail : [email protected] / : [email protected]

Arah Kebijakan Kesehatan Mental: Tren Global dan Nasional Serta Tantangan Aktual

Buletin Penelitian KesehatanVol. 46 No. 1, Maret, Hal. 45 - 52

Secara global, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, isu mengenai kesehatan mental memainkan peran penting dalam perumusan kebijakan kesehatan global. Sejak dua dekade yang lalu, WHO mengeluarkan definisi sehat sebagai suatu kondisi dimana seorang indvidu mencapai “...tak sekedar bebas dari penyakit, melainkan mampu mencapai kesejahteraan fisik, mental dan sosial.” Definisi dari WHO tersebut berkonsekuensi besar dalam perumusan kebijakan kesehatan mental, dimana seluruh negara anggotanya harus menyandarkan garis besar kebijakan kesehatannya pada definisi ini. Studi mengenai Global Burden of Disease yang diselenggarakan oleh IHME (The Institute for Health Metrics and Evaluation) mengungkapkan bahwa ada tren yang menunjukkan bahwa kondisi kesehatan mental menjadi ancaman serius. Studi mengenai jumlah tahun yang hilang akibat disabilitas (YLD) menyebutkan bahwa 6 dari 20 penyakit yang paling bertanggung jawab menyebabkan disabilitas adalah penyakit mental. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan prevalensi gangguan mental dalam skup global dan nasional dengan cara meninjau beberapa riset epidemiologis yang berfokus pada gangguan mental. Selainitu, artikel ini akan membahas mengenai isu-isu penting yang merupakan tantangan bagi pelayanan kesehatan mental di Indonesia yang harus ditanggapi serius oleh penyedia layanan kesehatan mental dan pembuat kebijakan, yaitu kesenjangan perawatan dan stigma.

Kata kunci: KebijakanKesehatan Mental, Prevalensi Global danNasional, Kesenjangan --------------------------------------------------------------------

NLM : XX XXX

Rahma Indah Pratiwi1, Jusak Nugraha1, dan Betty Agustina Tambunan1, dan Francisca Srioetami Tanoerahardjo2

1Departemen/Instalasi Patologi Klinik Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo SurabayaKAMPKampus KaUS A Univrsitas Airlangga. Kampus A Universitas AirlanggaJl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 47. Surabaya - 60131 Indonesia2Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan.Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat

Respons Sitokin Tnf-Α Dan Il-4 Pasca Stimulasi Antigen Fusi Resat-6-Cfp-10

Buletin Penelitian KesehatanVol. 46 No. 1, Maret, Hal. 53 - 60

Pendahuluan. Imunitas protektif terhadap infeksi tuberculosis sangat bergantung terhadap keseimbangan sitokin T-helper (Th)-1 dan Th2. Sitokin TNF-α yang disekresi oleh sel Th1 mampu mempertahankan status laten, dan IL-4 yang disekresi oleh Th2 membantu produksi antibodi. Pengembangan kandidat vaksin terbaru yaitu antigen fusi rESAT-6-CFP-10 bersifat spesifik terhadap respons imun protektif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui respons imun seluler melalui kadar TNF-α dan IL-4 pasca stimulasi antigen fusi rESAT-6-CFP-10. Metode. Penelitian in imenggunakan desain eksperimen semudi laboratorium secara in vitro pada kultur PBMC. Pemeriksaan kadar sitokin TNF-α dan IL-4 dengan metode ELISA. Hasil. Rerata kadar TNF-α pasca stimulasi paling tinggi ditemukan pada kelompok TB latenya 866,05, dibandingkan TB aktif 814,56 dan orang sehat 414,58, tetapi tidak berbeda bermakna. Reratakadar IL-4 pasca stimulasi paling tinggi ditemukan pada kelompok TB aktif, dibandingkan TB laten dan orang sehat, tetapi tidak berbeda bermakna. Simpulan. Kadar TNF-α yang tinggi dan kadar IL-4 yang rendah pada TB laten pasca stimulasi antigen fusi rESAT-6-CFP-10 menunjukkan bahwa kandidat vaksin mampu memberikan repons protektif terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis secara invitro.

Kata kunci : TNF-α, IL-4, PBMC, ELISA, rESAT-6-CFP-10.--------------------------------------------------------------------

Page 10: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

NLM : XX XXX

Ulfatun Nisa dan Tyas Friska Dewi

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional TawangmanguE - mail : [email protected]

Kombinasi Salam, Pegagan, Alang-Alang, dan Pala Terhadap Fungsi Kardiovaskuler Pasien Hipertensi Esensial

Buletin Penelitian KesehatanVol. 46 No. 1, Maret, Hal. 61 - 68

Hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ramuan kombinasi daun salam (Syzygium polyanthum), pegagan (Centella asiatica), akar alang-alang (Imperata cylindrica), dan biji pala (Myristica fragrans) terhadap fungsi kardiovaskuler pasien hipertensi esensial sebagai terapi alternatif. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah quasi eksperimental pre dan post test design. Pasien baru berjumlah 60 orang yang datang pada bulan Juni-Oktober 2016, yang memenuhi kriteria inklusi usia 18-60 tahun dengan hipertensi ringan serta kondisi pasien stabil dan kriteria eksklusi tidak mempuyai penyakit komorbid yang berat, hamil atau adanya alergi terhadap salah satu tanaman dalam kombinasi tersebut Subyek diberi ramuan jamu yang diminum 2 kali setiap hari selama 56 hari. Pengukuran terhadap tekanan darah, heart rate, RPP, PP, dan MAP dilakukan setiap minggu di Rumah Riset Jamu Tawangmangu. Hasil yang didapat menunjukkan penurunan tekanan sistolik dari 147,16 ± 6,46 mmHg menjadi 132,25 ± 11, 21 mmHg dengan nilai p = 0,001%, tekanan diastolik menurun dari 92,16 ± 2,49 mmHg menjadi 77,83 ± 8,98 mmHg dengan nilai p = 0,001%, tekanan arteri rata-rata, heart rate, RPP, dan PP juga mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan kombinasi daun salam, pegagan, akar alang-alang, dan biji pala dapat meningkatkan fungsi kardiovaskular dengan menurunkan tekanan sistolik, diastolik, tekanan arteri rata-rata, nilai PP dan RPP.

Kata kunci:hipertensi, salam, pegagan, alang-alang, pala--------------------------------------------------------------------

NLM : XX XXX

Anis Nurwidayati, Junus Widjaja, Samarang, Made Agus Nurjana, Intan Tolistiawaty, dan Phetisya PFS

Balai Litbang P2B2 DonggalaJl. Masitudju 58 Labuan Panimba Kec. Labuan Kab. Donggala. IndonesiaEmail : [email protected]

Kepadatan dan Tingkat Infeksi Serkaria Schistosoma Japonicum pada Keong Oncomelania Hupensis Lindoensis dengan Kasus Schistosomiasis di Daerah Endemis Schistosomiasis, Sulawesi Tengah

Buletin Penelitian KesehatanVol. 46 No. 1, Maret, Hal. 69 - 76

Schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Propinsi Sulawesi Tengah, yaitu Dataran Tinggi Napu dan Dataran Tinggi Bada, Kabupaten Poso serta Dataran Tinggi Lindu, Kabupaten Sigi. Schistosomiasis di Indonesia disebabkan oleh Schistosoma japonicum dengan hospes perantara keong Oncomelania hupensis lindoensis. Pemetaan daerah fokus pada tahun 2017 menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang signifikan dalam penyebaran fokus keong. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan kepadatan dan infection rate serkaria S.japonicum pada keong perantara schistosomiasis di wilayah endemis schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah. Rerata kepadatan keong O.hupensis lindoensis di Napu berkisar dari 0,9 – 6,6/m2, dengan rerata tingkat infeksi serkaria berkisar antara 0,4% sampai 21,4%, di Lindu kepadatan keong berkisar antara 3/m2 sampai 69,1/m2, dengan tingkat infeksi serkaria 4,4%¬72,9%, dan di Bada kepadatan keong berkisar antara 0,1 – 4,9/m2, dengan rerata tingkat infeksi serkaria berkisar antara 0 % sampai 14,9%. Analisis bivariat menunjukkan tidak ada korelasi antara kepadatan keong dan tingkat infeksi serkaria dengan jumlah kasus schistosomiasis nilai p value > 0.05.

Kata kunci: Schistosomiasis, kepadatan, tingkat infeksi, Oncomelania hupensis lindoensis, Sulawesi Tengah

Page 11: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Riwayat Hipertensi Keluarga Sebagai Faktor Dominan Hipertensi ... (Annisa Nursita Angesti, Triyanti, Ratu Ayu Dewi Sartika)

1

Riwayat Hipertensi Keluarga Sebagai Faktor Dominan Hipertensi Pada Remaja Kelas XI SMA Sejahtera 1 Depok Tahun 2017

FAMILY HISTORY OF HYPERTENSION IS THE DOMINANT FACTOR OF HYPERTENSION AMONG STUDENT 11st GRADE IN SMA SEJAHTERA 1 DEPOK 2017

Annisa Nursita Angesti1, Triyanti1, Ratu Ayu Dewi Sartika1

1Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM-UIJl. Prof. Dr. Sujudi, Pondok Cina, Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16424

E - mail : [email protected]

Submitted : 12-7-2017, Revised : 29-07-2017, Revised : 05-10-2017, Accepted : 31-07-2018

AbstractNutritional status changes, diet, and lifestyle are risk factors adolescent’s hypertension. This study is a cross sectional research to determine the most dominant factor of hypertension among adolescents at SMA Sejahtera 1 Depok 2017. Collected data include blood pressure, nutritional status (BMI for age), intake nutrients (sodium, potassium, calcium, fat, fruits and vegetables consumption), lifestyle (sleep duration, stress, and physical activity), and adolescent characteristics (sex and family history of hypertension). Blood pressure was measured using mercury sphygmomanometer, nutritional status with anthropometry, nutrient intake with Semi Quantitative FFQ, lifestyle and characteristics with questionnaire. The study showed that 42.4% of adolescents had hypertension (≥95 percentile). Factors associated with hypertension were BMI for age and family history of hypertension. The most dominant factor associated with hypertension was family history of hypertension. Education on genetic related risk factors of hypertension such as genetic counseling through Health School Program was needed for prevent adolescent’s hypertension, so that students with a family history of hypertension may be more concerned about other risk factors such as nutritional status.

Keywords : adolescent, family history of hypertension, hypertension

AbstrakPerubahan status gizi, pola makan dan gaya hidup pada remaja merupakan faktor risiko hipertensi remaja. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional untuk mengetahui faktor dominan hipertensi pada remaja di SMA Sejahtera 1 Depok tahun 2017. Data yang dikumpulkan meliputi tekanan darah, status gizi (IMT/U), asupan zat gizi (natrium, kalium, kalsium, lemak, konsumsi buah dan sayur), pola hidup (durasi tidur, stres, aktivitas fisik), dan karakteristik remaja (jenis kelamin dan riwayat hipertensi keluarga). Tekanan darah diukur menggunakan sfigmomanometer air raksa, status gizi dengan antropometri, asupan zat gizidengan Semi Quantitative FFQ, pola hidup dan karakteristik dengan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 42,4% remaja SMA Sejahtera 1 Depok mengalami hipertensi (≥95 persentil). Terdapat hubungan IMT/U dan riwayat hipertensi keluarga pada hipertensi remajanya. Faktor dominan yang paling berhubungan dengan hipertensi pada remaja di SMA Sejahtera 1 Depok tahun 2017 adalah riwayat hipertensi keluarga. Diperlukan edukasi seperti kegiatan konseling genetik melalui UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) tentang faktor risiko riwayat hipertensi keluarga sebagai pencegahan hipertensi remaja, sehingga bagi siswa yang memiliki riwayat hipertensi keluarga dapat lebih memperhatikan faktor risiko lainnya seperti status gizi.

Kata kunci: hipertensi, remaja, riwayat hipertensi keluarga

http://dx.doi.org/10.22435/bpk.v46i1.7158.1-10

Page 12: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 1 - 10

2

PENDAHULUAN

Remaja yang mengalami hipertensi akan sangat berisiko mengalami penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, stroke, penyakit jantung pada saat dewasa.1 Di samping itu, hipertensi mengakibatkan kerusakan beberapa organ tubuh diantaranya dinding pembuluh darah, jantung, ginjal dan sistem saraf pusat.2 Penelitian terkait hipertensi remaja terutama di Indonesia menunjukkan prevalensi yang lebih besar dibandingkan dengan negara lain. Data Riskesdas 2007, menunjukkan sebesar 29,7% remaja usia 15-17 tahun mengalami hipertensi.3 Penelitian serupa yang menggunakan data Riskesdas 2013 ditemukan remaja Indonesia usia 15-16 tahun yang mengalami hipertensi sebesar 20,1% sedangkan usia 17-18 tahun sebesar 10,8%.4 Penelitian di Jakarta pada siswa SMA menemukan 15,5% remaja mengalami hipertensi.5

Bagitu pula di Pangkalpinang, Bangka Belitung yang menyatakan adanya masalah hipertensi remaja sebesar 22,5%.6 Ditemukannya hipertensi pada remaja didukung kuat oleh faktor risiko riwayat hipertensi keluarga seperti pada penelitian remaja di Belanda. Riwayat hipertensi keluarga merupakan faktor risiko terkuat dalam memprediksi hipertensi.7

Begitu pula dengan kasus di Korea Selatan yang menyatakan bahwa riwayat hipertensi orangtua merupakan faktor dominan hipertensi remaja usia 13-19 tahun.8 Menurut jenis kelamin, remaja laki-laki lebih berisiko terkena hipertensi dibandingkan dengan perempuan.9 Status gizi berperan penting pada terjadinya masalah hipertensi remaja.10 Hipertensi pada remaja banyak ditemukan pada kelompok yang memiliki status gizi gemuk (overweight) dan obesitas.10 Di samping itu, hipertensi remaja juga berhubungan erat dengan asupan zat gizi di antaranya adalah natrium, kalium, kalsium dan lemak. Tingginya asupan natrium dan lemak serta rendahnya asupan kalium dan kalsium menyebabkan kenaikan pada tekanan darah. Hal ini dibuktikan pada penelitian remaja di Semarang.11-12

Faktor gaya hidup seperti durasi tidur yang kurang, peningkatan stres dan rendahnya aktivitas

fisik juga turut membawa pengaruh pada kejadian hipertensi remaja.13 Tidur dengan durasi yang cukup dapat menormalkan suhu tubuh, tekanan darah, sistem saraf dan endokrin.9 Masalah hipertensi remaja di Jawa Barat lebih besar dibandingkan dengan angka nasional dan propinsi terdekat yaitu Jawa Tengah dan DKI Jakarta.3 Adapun Kota Depok menemukan masalah hipertensi pada seperlima pasien di atas 15 tahun yang berobat di 28 Puskesmas.14 Belum adanya gambaran tekanan darah dan masalah hipertensi remaja di Depok, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor dominan yang berhubungan dengan hipertensi remaja.

BAHAN DAN CARA

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Lokasi penelitian dilakukan di SMA Sejahtera 1 Depok pada bulan April-Mei 2017. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI di SMA Sejahtera 1 Depok. Responden yang terpilih adalah kelas XI dengan alasan karena siswa kelas XII sedang mempersiapkan diri dalam Ujian Nasional (UN) sehingga tidak boleh dijadikan sampel penelitian dan siswa kelas X belum bersekolah selama 1 tahun penuh sehingga belum dapat dilihat pola kebiasaan makan melalui metode Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (FFQ). Selanjutnya dilakukan perhitungan besar sampel (152 siswa/siswi) dan responden dipilih secara quota sampling. Kriteria inklusi adalah siswa dan siswi SMA Sejahtera 1 Depok kelas XI tahun ajaran 2016/2017 yang tercatat secara administratif dan berusia tidak lebih dari 17 tahun. Adapun kriteria eksklusi meliputi siswa/siswi yang sedang mengonsumsi obat antihipertensi atau sedang pengendali tekanan darah, merokok, minum alkohol atau kopi 2 jam sebelum pengukuran. Terdapat 8 siswa/siswi yang tidak memenuhi kelengkapan data pemeriksaan dan kuesioner sehingga dikeluarkan dan tidak menjadi responden. Total responden dalam penelitian ini adalah 144 siswa/siswi. Penelitian ini telah memperoleh persetujuan etik tahun 2017 dari Komisi Etik dan Pengabdian Kesehatan Masyarakat Fakultas

Page 13: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Riwayat Hipertensi Keluarga Sebagai Faktor Dominan Hipertensi ... (Annisa Nursita Angesti, Triyanti, Ratu Ayu Dewi Sartika)

3

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dengan nomor: 99/UN2.F10/PPM.00.02/2017. Data yang dikumpulkan berupa data primer yang mencakup data status gizi (IMT/U), asupan gizi (asupan natrium, lemak, kalium dan kalsium, konsumsi buah dan sayur), faktor gaya hidup (durasi tidur, stres dan aktivitas fisik) dan karakteristik responden (jenis kelamin dan riwayat hipertensi keluarga). Tekanan darah diukur menggunakan sfigmomanometer air raksa yang telah dikaliberasi terlebih dahulu. Petugas pengukur tekanan darah merupakan petugas terlatih dengan latar belakang keperawatan sebanyak 2 orang. Data antropometri dikumpulkan dengan pengukuran tinggi badan, dan berat badan. Tinggi badan diukur menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm, dan berat badan diukur menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 kg. Data asupan zat gizi yang meliputi asupan natrium, kalium, kalsium, lemak serta konsumsi buah dan sayur dikumpulkan dengan metode Semi Quantitative Food Frequency Questionaire (FFQ). Data karakteristik respoden meliputi jenis kelamin, riwayat hipertensi, durasi tidur, stres, dan aktivitas fisik dikumpulkan dengan kuesioner. Kuesioner stres diadaptasi dari kuesioner Perceived Stress Scale dan kuesioner aktivitas fisik diadaptasi dari kuesioner Physical Activity Questionnaire for Adolescents (High Senior School) yang sebelumnya sudah diujikan validitas dan reliabilitasnya. Klasifikasi hipertensi untuk remaja menggunakan nilai persentil yang disesuaikan dengan umur, jenis kelamin dan tinggi badan. Hipertensi diklasifikasikan menjadi tekanan darah ≥95 persentil dan < 95 persentil.15 Data status gizi dklasifikasikan menjadi normal (-3 SD – 1 SD) dan gizi lebih (>1 SD).16 Data asupan kalium dan kalsium dikategorikan menjadi kurang (<100% AKG) dan cukup (≥100% AKG). Adapun asupan natrium dan lemak dibagi menjadi lebih (>100% AKG) dan cukup (≤100% AKG). Klasifikasi untuk konsumsi buah dan sayur adalah kurang (<400 gram) dan cukup (≥400 gram). Data durasi tidur diambil dari durasi tidur pada malam sebelum pengambilan data tekanan darah yang dikelompokkan berdasarkan mean yaitu kurang

(<6,65 jam) dan cukup (≥6,65 jam). Data stres dikategorikan menjadi stres (skor 14-40), dan tidak stres (skor 0-13)17 sedangkan aktivitas fisik dibagi berdasarkan nilai median yaitu kurang (< skor 17,09) dan cukup ≥ median (skor 17,09). Kemudian riwayat hipertensi keluarga dikategorikan menjadi ada dan tidak ada. Analisis data dilakukan dalam bentuk univariat, bivariat yang menggunakan uji chi-square serta multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda.

HASIL

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh responden yang memiliki tekanan darah tinggi sebanyak 42,4%. Responden dengan tekanan darah normal (normotensi) sebesar 47,2%, prehipertensi sebesar 10,4%. Sebesar 29,2% responden masuk dalam kategori hipertensi stage 1 dan 13,2% masuk dalam kategori hipertensi stage.2 Responden sebagian besar (58,3%) adalah perempuan. Jumlah responden yang memiliki riwayat hipertensi keluarga berasal dari ibu dan ayah masing-masing sebesar 11,8%, dan yang berasal dari keduanya hanya 2,8%. Berdasarkan status gizi IMT/U diperoleh sebesar 5,6% responden kurus, 62,5% responden berstatus gizi normal, 18,1% responden gemuk dan 13,8% obesitas. Berdasarkan asupan zat gizi, kurangnya asupan kalium dan kalsium mendominasi. Sebesar 81,6% responden kurang asupan kalium dan 84% kurang kalsium. Adapun untuk asupan natrium responden yang tergolong lebih sebesar 54,2%. Pada asupan lemak, hasil penelitian menemukan responden yang mengonsumsi lemak >100% AKG sebesar 70,8% dan lainnya (29,2%) tergolong cukup dalam asupan lemak. Di samping itu, ditemukan responden yang kurang mengonsumsi buah dan sayur sebesar 57,6% sedangkan sisanya (42,4%) masuk dalam kelompok cukup. Sebesar 47,2% responden dalam penelitian ini yang dikategorikan memiliki durasi tidur yang kurang. Sebesar 85,4% responden tergolong stres dan responden dengan aktivitas fisik kurang yaitu sebesar 53,5%.(Tabel 1).

Page 14: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 1 - 10

4

Variabel Kategori n %Hipertensi Hipertensi 61 42,4

Tidak hipertensi 83 57,6IMT/U Gizi lebih 46 31,9

Normal 98 68,1Asupan Natrium Lebih 78 54,2

Cukup 66 45,8Asupan Kalium Kurang 124 86,1

Cukup 20 13,9Asupan Kalsium Kurang 121 84

Cukup 23 16Asupan Lemak Lebih 102 70,8

Cukup 42 29,2Konsumsi buah dan sayur Kurang 83 57,6

Cukup 61 42,4Durasi Tidur Kurang 68 47,2

Cukup 76 52,8Stres Stres 123 85,4

Tidak stres 21 14,6Aktivitas Fisik Kurang 77 53,5

Cukup 67 46,5Jenis Kelamin Laki-laki 60 41,7

Perempuan 84 58,3Riwayat Hipertensi Keluarga Ada 38 26,4

Tidak ada 106 73,6

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden

Variabel KategoriHipertensi

P ValueHipertensi (n=61) Tidak Hipertensi (n=83)n % n %

Jenis Kelamin Laki-laki 29 48,3 31 51,7 0,292Perempuan 32 38,1 52 61,9

Riwayat Hipertensi Keluarga Ada 24 63,2 14 38,8 0,005Tidak ada 37 34,9 69 65,1

IMT/U Gizi lebih 29 63 17 37 0,001Normal 32 32,7 66 67,3

Asupan Natrium Lebih 28 35,9 50 64,1 0,124Cukup 33 50 33 50

Asupan Kalium Kurang 54 43,5 70 56,5 0,635Cukup 7 35 13 65

Asupan Kalsium Kurang 52 43 69 57 0,911Cukup 9 39,1 14 60,9

Asupan Lemak Lebih 45 40,5 66 59,5 0,526Cukup 16 48,5 17 51,5

Konsumsi Buah dan Sayur Kurang 36 43,4 47 56,6 0,908Cukup 25 41,0 36 59,0

Durasi Tdur Kurang 31 45,6 37 54,4 0,567Cukup 30 39,5 46 60,5

Stres Stres 55 44,7 68 55,3 0,139Tidak Stres 6 28,6 15 71,4

Aktivitas Fisik Kurang 30 39 47 61 0,474Cukup 31 46,3 36 53,7

Tabel 2. Hubungan Karakteristik Responden, Status Gizi, Asupan Gizi dan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi

Page 15: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Riwayat Hipertensi Keluarga Sebagai Faktor Dominan Hipertensi ... (Annisa Nursita Angesti, Triyanti, Ratu Ayu Dewi Sartika)

5

Hubungan hipertensi dengan karakteristik menunjukkan hanya riwayat hipertensi keluarga yang memiliki hubungan signifikan dengan hipertensi sedangkan jenis kelamin menunjukkan tidak adanya hubungan signifikan dengan hipertensi (Tabel 2). Hubungan status gizi berdasarkan IMT/U menunjukkan hubungan signifikan dengan hipertensi. Terdapat risiko 3,51 kali untuk mengalami hipertensi pada responden yang memiliki status gizi lebih dibandingkan dengan responden yang memiliki status gizi normal (OR = 0,351). Sedangkan hubungan asupan zat gizi menunjukkan, baik asupan natrium, kalium, kalsium, lemak serta konsumsi buah dan sayur tidak menunjukkan adanya hubungan signifikan dengan hipertensi pada responden. Akan tetapi, terdapat kecenderungan pada responden hipertensi dengan asupan kalium, kalsium serta konsumsi buah dan sayur yang rendah proporsinya lebih besar dibandingkan dengan responden hipertensi yang asupannya cukup. Berdasarkan faktor gaya hidup, baik durasi tidur, stres dan aktivitas fisik tidak menunjukkan adanya hubungan signifikan dengan hipertensi pada responden. Dari hasil analisis chi-square yang telah disajikan, variabel yang dapat dimasukkan dalam analisis regresi logistik (p<0,25) yaitu variabel IMT/U, asupan natrium, stres, jenis kelamin, dan riwayat hipertensi keluarga. Selain itu variabel asupan kalium, kalsium, lemak dan durasi tidur tetap dimasukkan ke dalam analisis regresi logistik karena terdapat keterkaitan dengan substansi. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik diperoleh riwayat hipertensi keluarga merupakan faktor dominan hipetensi dengan nilai OR (Odds ratio) sebesar 3,884 yang artinya responden yang memiliki

Variabel Independen p value OR95% CI

Lower UpperIMT/U 0,005 3,174 1,420 7,094Asupan Natrium 0,048 0,418 0,177 0,990Asupan Kalium 0,580 1,410 0,418 4,761Asupan Kalsium 0,225 0,477 0,144 1,576Stres 0,102 2,557 0,831 7,874Jenis Kelamin 0,076 1,999 0,931 4,294Riwayat Hipertensi Keluarga 0,003 3,884 1,588 9,498

Tabel 3. Pemodelan Multivariat Akhir

riwayat hipertensi keluarga berpeluang mengalami hipertensi 3,9 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat hipertensi keluarga setelah dikontrol oleh IMT/U, asupan natrium, kalium, kalsium, stres, dan jenis kelamin.

PEMBAHASAN

Pada hasil penelitian ini diperoleh masalah hipertensi remaja adalah sebesar 42,4%. Masalah ini lebih besar jika dibandingkan pada penelitian siswa SMA di Jakarta yaitu 15,5%.5 Apabila dibandingkan dengan remaja di Pangkalpinang, Bangka Belitung dan penelitian menggunakan data Riskesdas 2007 dan 2013 masalah hipertensi remaja pada penelitian ini juga menunjukkan prevalensi yang lebih besar.3,4,6 Perbedaan angka hipertensi tersebut, kemungkinan dapat dipengaruhi karena perbedaan dalam penggunaan alat pengukur tekanan darah dan jenis tangan yang digunakan. Pada penelitian ini alat pengukur tekanan darah yang digunakan adalah sfigmomanometer air raksa dengan stetoskop dan tangan yang digunakan adalah tangan kanan. Metode terpilih dalam pengukuran tekanan darah pada anak-anak dan remaja adalah dengan auskultasi, yaitu bunyi Korotkoff dapat langsung didengarkan oleh pengukur. Sedangkan alat pengukur tekanan darah digital dapat pula mengukur tekanan darah karena memudahkan dan menimalisasi adanya kesalahan pada pengukuran. Namun hal tersebut tidak disarankan karena dibutuhkan validasi alat yang benar-benar akurat.15

Berdasarkan status gizi, IMT/U menunjukkan adanya hubungan signifikan pada hipertensi. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya yaitu penelitian remaja usia 15-18 tahun di Turki18 dan remaja di India.19 Selain itu, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

Page 16: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 1 - 10

6

SMA di Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut dinyatakan terdapat risiko hipertensi sebesar 18 kali pada remaja yang memiliki status gizi obesitas.20 IMT/U merupakan salah satu pengukuran yang dipakai untuk skrinning atau mendeteksi kejadian gemuk dan obesitas. Pada remaja IMT/U berkorelasi dengan faktor risiko penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, hiperlipidemia, dan peningkatan insulin.21 Pada obesitas, terjadinya resistensi insulin dan gangguan fungsi endotel pembuluh darah menyebabkan vasokontriksi dan reabsorpsi natrium di ginjal yang mengakibatkan hipertensi. Insulin meningkatkan produksi norephineprine plasma yang dapat meningkatkan tekanan darah.22 Tekanan darah normal tinggi selama masa remaja memiliki kecenderungan lebih besar untuk mengembangkan hipertensi selama masa dewasa.23

Berdasarkan asupan zat gizi, baik natrium, kalium, kalsium, lemak serta konsumsi buah dan sayur tidak menunjukkan hubungan signifikan. Hal ini dapat disebabkan adanya metode pengambilan data asupan yang berbeda, dimana pada penelitian ini digunakan metode FFQ Semi kuantitatif sementara penelitian lain menggunakan metode FFQ kualitatif.3 Di samping itu, perbedaan lainnya dapat dijelaskan melalui perbedaan desain penelitian. Penelitian hipertensi remaja di Amerika menggunakan desain kohort selama 10 tahun, hasil penelitian menemukan adanya pengaruh asupan kalium yang tinggi dengan penurunan tekanan darah dan hipertensi. Asupan kalium yang cukup dari makanan pada saat anak-anak sangat membantu dalam mencegah peningkatan tekanan darah baik sistolik dan diastolik pada saat remaja.24 Mekanisme kalium menurunkan tekanan darah adalah dengan adanya efek diuretik pada kalium sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Selain itu vasodilatasi melalui stimulasi pompa Na+ -K+ ATPase dan membukanya saluran kalium dalam pembuluh darah halus sel-sel otot dan reseptor saraf adrenergik, sehingga menyebabkan penurunan retensi perifer total dan meningkatkan output jantung. Kalium bekerja berlawanan dengan natrium. Asupan kalium yang banyak akan meningkatkan konsentrasinya di dalam cairan intraselular sehingga cenderung menarik cairan dari bagian ekstraselular dan menurunkan tekanan darah.25-26

Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata asupan natrium per hari adalah 1641,42 mg yaitu telah memenuhi 109,4% kebutuhan AKG.

Tingginya asupan natrium tersebut diperoleh dari makanan seperti keju, sosis, roti, mie instan, daging kornet, kecap dan saus. Pada penelitian ini asupan natrium tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan hipertensi. Hal ini sejalan dengan penelitian lain di Semarang yang tidak menunjukkan hubungan signifikan antara natrium dengan hipertensi pada remaja SMA usia 15-17 tahun. Penelitian tersebut menjelaskan tingginya asupan natrium diperoleh melalui konsumsi western fast food seperti hamburger, pizza, fried chicken dan spaghetti.27

Pada satu tahun pertama kehidupan dibutuhkan keseimbangan natrium positif untuk pertumbuhan. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya usia pada saat anak-anak dan remaja peningkatan natrium yang berlebihan dapat menyebabkan ekspansi volume, hipertensi, dan memiliki efek kardiovaskular yang tidak baik.28 Natrium akan diekskresi melalui ginjal pada keadaan sehat. Akan tetapi, pada saat ginjal tidak mampu mengekskresi natrium akibat nefron mengalami kerusakan maka akan terjadi retensi natrium. Kemudian hal tersebut mengakibatkan ekspansi volume intravaskular dan terjadi peningkatan tekanan darah. Selain itu, asupan natrium yang tinggi diikuti rendahnya asupan kalium dapat memengaruhi kontraksi otot polos vaskular yang mengakibatkan peningkatan tahanan vaskular perifer kemudian terjadi peningkatan tekanan darah.29

Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata asupan kalsium per hari adalah 784,72 mg yaitu telah memenuhi 65,2% kebutuhan AKG. Asupan kalsium ini diperoleh dari bahan makanan seperti tahu, susu kedelai, susu skim, susu full cream. Peningkatan asupan kalsium dapat menurunkan tekanan darah. Pengaturan tekanan darah salah satunya dilakukan oleh kalsium intrasel dan ekstrasel. Asupan kalsium yang kurang akan mengakibatkan timbulnya deplesi pada membran penyimpanan kalsium dan meningkatkan kalsium intrasel. Sementara itu peningkatan kalsium intrasel akan menekan hormon paratiroid dan memproduksi 1,25 hormon vitamin D. Pada akhirnya deplesi kalsium akan memengaruhi membran sel otot pembuluh darah halus dan reaktivitas pembuluh darah, sehingga berpengaruh terhadap vasokonstriksi yang lebih besar30-32. Hasil penelitian menunjukkan tingginya asupan lemak diperoleh dari bahan makanan seperti

Page 17: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Riwayat Hipertensi Keluarga Sebagai Faktor Dominan Hipertensi ... (Annisa Nursita Angesti, Triyanti, Ratu Ayu Dewi Sartika)

7

gorengan. Sejalan dengan penelitian remaja di Semarang, yaitu menunjukkan tidak ada hubungan signifikan asupan lemak dengan hipertensi.33 Pada peneltian ini asupan lemak dihitung secara keseluruhan. Terdapat teori yang menyatakan bahwa diet tinggi lemak jenuh akan meningkatkan curah jantung dan sehingga meningkatkan tekanan darah.30 Lemak dalam makanan memberikan efek lebih menarik dan enak pada makanan sehingga anak-anak dan remaja cenderung menyukainya. Konsumsi lemak total, dan lemak jenuh meningkatkan jumlah kolesterol.34 Peningkatan kadar trigliserida, total kolesterol dan LDL yang berasal dari makanan sumber lemak umumnya dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Hal tersebut dapat terjadi dengan menempelnya plak-plak di dinding pembuluh darah sehingga menyempitnya pembuluh darah dan tekanan darah akan tinggi karena memompakan jantung ke seluruh tubuh. Pada akhirnya curah jantung akan meningkat dan tekanan darah pun akan meningkat.35

Hubungan konsumsi buah dan sayur dengan hipertensi menyatakan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya kecenderungan konsumsi buah dan sayur pada responden kurang (84,7%). Artinya sebagian besar responden memiliki pola kecenderungan kurang dalam konsumsi buah dan sayur. Penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian di Nigeria, yaitu penurunan konsumsi buah dan sayur dapat meningkatkan hipertensi dan tekanan darah.18

WHO secara umum menganjurkan konsumsi sayuran dan buah-buahan untuk hidup sehat sejumlah 400 gram perhari yang terdiri dari 250 gram sayur dan 150 gram buah. Bagi orang Indonesia, dianjurkan konsumsi sayuran dan buah-buahan sekitar 400-600 gram per hari untuk remaja dan dewasa. Sekitar dua-pertiga dari jumlah anjuran tersebut adalah sayuran dan sisanya adalah buah-buahan. Anjuran konsumsi lebih banyak sayuran disebabkan karena buah mengandung gula, dengan kandungan yang bervariasi.36

Keterkaitan antara konsumsi buah dan sayur dengan tekanan darah dijelaskan oleh buah dan sayur yang tinggi akan kandungan kalium, magnesium, vitamin C, asam folat, flavonoid dan karetonoid yang memiliki efek dalam menurunkan tekanan darah. Vitamin C memiliki efek antioksidan yang dapat mengurangi stres oksidatif dan mencegah disfungsi endotelium serta mengurangi vasokontriksi.

Konsumsi vitamin B yaitu asam folat, vitamin B6 dan B12 dapat menurunkan kadar homosistein dalam darah. Peningkatan kadar homosistein dalam darah dapat berpengaruh pada peningkatan tekanan darah melalui proses peningkatan vasokontriksi arteriola, sistem saraf simpatik, renin-angiotensin dan reabsorpsi natrium pada ginjal. Flavonoid dalam buah dan sayuran dapat menurunkan tekanan darah karena adanya efek anti radikal bebas yang dapat mengurangi kekakuan arteri dan meningkatkan vasodilatasi. Karetonoid yang banyak terdapat pada buah berwarna kuning, jingga dan merah serta sayuran hijau berfungsi sebagai antioksidan yang menghambat Reactive Oxygen Species (ROS), meningkatkan fungsi endotelium, meningkatkan nitrit oksida. Peningkatan ROS yang berlebihan dapat menyebabkan peradangan dan vasokontriksi sehingga timbul cedera vaskular.30,37-38

Berdasarkan faktor gaya hidup, tidak ada hubungan signifikan durasi tidur, stres dan aktivitas fisik. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang dirasakan kurang dapat mendeteksi faktor stres yang dialami oleh remaja. Sedangkan studi longitudinal pada penelitian di Amerika Serikat dapat dijadikan perbaikan dalam mendeteksi faktor stres serta pemantauan pengukuran tekanan darah. Di samping itu, penelitian tersebut juga mengambil data durasi tidur diambil selama 1 minggu berturut-turut dan dihubungkan dengan pemantauan tekanan darah selama 2 hari, terutama tekanan darah pada malam hari. Durasi tidur yang pendek dapat menaikkan tekanan darah sistolik remaja usia 15-17 tahun.39 Adapun tidur dengan dengan durasi yang cukup dapat menormalkan suhu tubuh, tekanan darah, sistem saraf endokrin dan imunitas tubuh.40 Tidak adanya hubungan signifikan aktivitas fisik dengan hipertensi serupa dengan penelitian lainnya.6,13 Dengan melakukan aktivitas fisik, diperoleh keuntungan dalam hal pencegahan dan penanggulangan tekanan darah yang tinggi. Risiko peningkatan tekanan darah akan lebih rendah jika aktivitas fisik dilakukan secara teratur, baik pada seseorang yang mengalami hipertensi maupun normal.41

Berdasarkan karakteristik responden jenis kelamin tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan pada hipertensi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian lain pada siswa SMA di Banjarmasin.13 Akan tetapi, pada penelitian tersebut siswa laki-laki yang hipertensi, proporsinya

Page 18: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 1 - 10

8

lebih besar (37%) dibandingkan dengan siswa perempuan yang hipertensi (18,8%). Sama halnya dengan penelitian ini yang menemukan proporsi lebih besar pada siswa laki-laki yang hipertensi (48,3%) dibandingkan dengan siswa perempuan yang hipertensi (38,1%). Penelitian remaja di India menyebutkan rata-rata tekanan darah sistolik remaja laki-laki lebih tinggi (109,03 mmHg) dibandingkan remaja perempuan (107,10 mmHg). Begitu pula dengan rata-rata tekanan diastolik remaja laki-laki (72,55 mmHg) dibandingkan dengan remaja perempuan (72,06 mmHg).19

Peran hormon androgen pada laki-laki memengaruhi peningkatan tekanan darah lebih tinggi dibandingkan perempuan. Selain itu, akumulasi lemak viseral dan intra-abdominal lebih tinggi daripada perempuan. Lemak viseral berhubungan dengan tingginya aktivitas simpatik. Aktivitas ini adalah kunci dasar dari efek lemak intra-abdominal berkembang menjadi hipertensi.42

Riwayat hipertensi keluarga dalam penelitian ini adalah faktor dominan terhadap terjadinya hipertensi. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya.7-8 Faktor genetik yang berperan pada kejadian hipertensi, memberikan dua bentuk hipertensi yaitu hipertensi yang diturunkan secara Mendelian atau disebut dengan hipertensi monogenik (monogenic hypertension) dan hipertensi yang dipengaruhi oleh banyak gen (polygenic hypertension). Hipertensi monogenik (monogenic hypertension) telah dilaporkan paling sedikit terjadi akibat mutasi pada 10 gen. Kelainan yang mendasari hipertensi monogenik akibat mutasi gen adalah gangguan pada protein tubuli ginjal yang berperan pada ganguan transport natrium. Adapun hipertensi yang dipengaruhi oleh banyak gen (polygenic hypertension) disebabkan oleh beberapa gen major dan banyak gen minor. Beberapa gen melibatkan sistem yang berperan pada mekanisme terjadinya hipertensi yaitu Renin-angiotensin-aldosteron (RAA) system, G-protein/signal transduction pathway system, norandrogenic system, ion channels, α-Adducin, dan imunne system and inflamation. Hubungan antara riwayat hipertensi (jenis gen) dengan terjadinya hipertensi menunjukkan hasil yang beragam. Hal ini disebabkan karena penelitian dilakukan pada ras yang berbeda, termasuk latar belakang dan lingkungan yang berbeda. Selain itu, hal lain yang memengaruhi adalah desain, jumlah dan subjek

penelitian. Hipertensi merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh sebab itu, teori polygenic hypertension lebih dianggap berperan dalam terjadinya hipertensi. Beberapa penelitian tidak ditemukan peranan masing-masing gen terhadap hipertensi, namun pada analisis interaksi gen-gen tersebut diperoleh hubungannya dengan kejadian hipertensi.43

Penelitian di India mengungkapkan adanya keterkaitan yang erat antara riwayat hipertensi keluarga dengan hipertensi. Dalam hal ini, faktor riwayat hipertensi orangtua ditekankan lebih pada pola makan yang menurun melalui cara asuh orang tua di dalam keluarga dan pendapatan orang tua. Terdapat kecenderungan dalam keluarga yang dapat mengakibatkan kesamaan dalam pola makan dan faktor gaya hidup.44 Penelitian ini memiliki keterbatasan di antaranya adalah tidak menggunakan cara pengambilan sampel sesuai rencana awal sehingga digunakan quota sampling karena adanya keterbatasan kesempatan pengambilan data seperti jam pelajaran yang padat dan mendekati waktu ujian akhir sekolah. Keterbatasan lainnya yaitu masing-masing siswa mengisi kuesioner FFQ Semi kuantitatif yang selanjutnya oleh petugas enumerator akan dilakukan konfirmasi ulang mengenai frekuensi konsumsi yang sudah siswa isi sebelumnya dan dilakukan wawancara untuk menanyakan porsi dalam satuan URT.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 42,4% responden mengalami hipertensi. Terdapat hubungan signifikan antara status gizi IMT/U dan riwayat hipertensi keluarga pada hipertensi. Adapun faktor paling dominan yang memengaruhi hipertensi remaja adalah riwayat hipertensi keluarga. Saran berdasarkan hasil penelitian, perlu adanya edukasi tentang pentingnya faktor risiko riwayat hipertensi keluarga, sehingga bagi siswa yang memiliki riwayat hipertensi keluarga dapat lebih memperhatikan faktor risiko hipertensi lainnya seperti status gizi. Hal ini dapat dilakukan melalui konseling genetik oleh UKS di sekolah. Konseling genetik dapat dilakukan melalui kerjasama puskesmas maupun dinas kesehatan dengan UKS sekolah, yakni mendatangkan tenaga gizi dalam

Page 19: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Riwayat Hipertensi Keluarga Sebagai Faktor Dominan Hipertensi ... (Annisa Nursita Angesti, Triyanti, Ratu Ayu Dewi Sartika)

9

bentuk penyuluhan atau diskusi kelompok remaja. Selain itu, diperlukan juga edukasi dalam menjaga pola makan dengan gizi seimbang, meningkatkan aktivitas fisik, terutama bagi remaja yang gemuk dan obesitas.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih untuk SMA Sejahtera 1 Depok yang telah memberikan kesempatan sebagai lokasi pengambilan data. Terima kasih pula untuk Ibu Triyanti, SKM., M.Sc, Prof Dr. dra. Ratu Ayu Dewi Sartika, Apt., M.Sc., dr. H Engkus Kusdinar Ahmad, MPH, Dr. Hera Nurlita, M.Kes, dan Hera Ganefi, MARS,RD sebagai pembimbing dan pembina penelitian ini.

DAFTAR RUJUKAN

1. Gopinath, et al. Relationship between a range of sedentary behaviours and blood pressure during early adolescence. Journal of Human Hypertension. 2012; 26: 350-356.

2. Lurbe, Empar. Hypertension and target organ damage in children and adolescents. Journal of Hypetension. 2007;25: 1998-2000.

3. Dewi, Ratna Arista. Analisis faktor risiko hipertensi pada remaja usia 15-17 tahun di Indonesia tahun 2007 (analisis data riskesdas 2007). [Skripsi]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2012.

4. Kristanto, A Yudi. Determinan hipertensi pada kelompok remaja 15-24 tahun di indonesia (analisis data riskesdas 2013). [Tesis] Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2014.

5. Nurmayanti. Studi validasi ukuran antropometri komposisi lemak tubuh terhadap tekanan darah pada siswa-siswi di SMAK Penabur Jakarta tahun 2014. [Skripsi.]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2014.

6. Yuzrizal, Mirza, Indarto, Dono, Akhyar, Muhammad. Risk of hypertension in adolescents with over nutritional status in Pangkalpinang, Indonesia. Journal of Epidemiology and Public Health. 2016;1(1): 30-39.

7. Van den Elzen, et al. Families and the natural history of blood pressure. American Journal of Hypertension. 2004; 17(10): 936-940.

8. Yoo, Jung Eun, Park Hye Soon. Relationship between parental hypertension cardiometabolic

risk factors in adolescents. Journal Clinical Hypertension. 2016: 1-6

9. Shay, et al. Status of cardiovascular health in us adolescents prevalence estimates from the national health and nutrition examination surveys (NHANES) 2005–2010. Circulation AHA (America Heart Association) Journal. 2013; 127: 1369-1376.

10. Chorin et al. Trends in adolescents obesity and the association between BMI and blood pressure: a cross-sectional study in 714,922 healthy teenagers. American Journal of Hypertension.. 2015; 28(9): 1157-1163.

11. Elkenans, Wendy Oktreea. Faktor determinan gizi yang mempengaruhi tekanan darah remaja di wilayah perkotaan dan pinggiran (studi di SMA Negeri 1 Semarang dan SMA Negeri 12 Gunung Pati). Artikel Penelitian. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2009.

12. Farid, Dyani Acmalya, Isnawati, Muflihah. Hubungan asupan natrium, kalium, magnesium dan serat dengan tekanan darah pada remaja. Artikel Penelitian. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2010.

13. Kania, et al. Factors affecting the incident of hypertension in adolescent at christian high school banjarmasin. International Journal of Advanced Biomedical Engineering Research (IJABER). 2016; 14(6): 3631-3642.

14. Dinas Kesehatan Kota Depok. Profil Kesehatan Kota Depok tahun 2015. Depok : Dinas Kesehatan Kota Depok; 2016.

15. U.S Departement of Health and Human Services. The fourth report on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children and adolescent. USA : U.S Departement of Health and Human Services; 2005.

16. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor : 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi anak. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak; 2011.

17. Cohen, S, Williamson, G. Perceived Stress in a Probability Sample of the United States. Spacapan, S. Dan Oskamp, S (Eds). The Social Psychology of Health. Newbury Park, CA: Sage; 1988.

18. Odunaiya, N.A, Louw, Q. A., & Grimmer, K. A. Are lifestyle cardiovascular disease risk factors associated with pre-hypertension in 15–18 years

Page 20: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 1 - 10

10

rural Nigerian youth? A cross sectional study. Biomed Central Cardiovascular Disease. 2015; (15) : 1-10.

19. Anand, et al. Hypertension and its correlates among school adolescents in Delhi. International Journal of Preventive Medicine. 2014: 863-870.

20. Yolanda, Rindy. Asupan zat gizi (energi, protein, lemak) dan status gizi terhadap hipertensi pada remaja SMA di Kota Yogyakarta. [Skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2014.

21. WHO. Using the BMI-for-Age Growth Charts. Geneva : WHO Library Cataloging-in-Publication Data; 2015.

22. Haris, Syarifuddin, Tambunan Taralan. Hipertensi pada sindrom metabolik. Sari Pediatri. 2009; 11(4): 257-263.

23. Sorof, Jonathan, Daniels, Stephen. Obesity hypertension in children a problem of epidemic proportions. Journal of Hypertension. 2002; (40): 441-447.

24. Buendia, et al. Longitudinal effects of dietary sodium and potassium on blood pressure in adolescent girls. Journal of the American Medical Association (JAMA) Pediatrics. 2015; 169(6): 560-568.

25. Amran, Yuli, Febrianti, Irawati, Lies. Pengaruh tambahan asupan kalium dari diet terhadap penurunan hipertensi sistolik tingkat sedang pada lanjut usia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2010; 5(3): 125-130.

26. Stone, Michael S., Martyn, Lisa, Weaver, Connie M. Potassium intake, bioavailability, hypertension, and glucose control. Journal Nutrients. 2016; 444 (8): 1-13.

27. Sari, Puspita. Hubungan rasio lingkar pinggang-pinggul dan asupan natrium dari western fast food dengan tekanan darah pada remaja. Artikel Penelitian. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro;2010.

28. Lava, Sebastiano AG., Bianchetti, Mario G., Simonetti, Giacomo D. Salt intake in children and its consequences on blood pressure. Pediatric Nephrology Journal. 2015; 30: 1389-1396.

29. Kumala, Meilani. Peran diet dalam pencegahan dan terapi hipertensi. Damarius Journal of Medicine. 2014; 13(1): 50-61.

30. Lin, Pao-Hwa, Svetkey, Laura P. Nutrition, lifestyle factors, and blood pressure. Boca Raton: Taylor & Francis Group, CRC Press; 2012.

31. Mann, Jim, Truswell, Stewart, editor. Buku ajar ilmu gizi (essentials of human nutrition 4th edition). Ilmu Gizi. Jakarta : EGC; 2014.

32. Sani, Aulia. Hypertension current perspective. Jakarta: Medya Crea Penerbit; 2008.

33. Puspita, Bunga. Asupan zat gizi mikro dan makro pada remaja hipertensi. Artikel Penelitian. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2010.

34. Funtikova, et al. Impact of diet on cardiometabolic health in children and adolescents. Nutrition Journal. 2015; 14(118): 1-11.

35. Drummond, Karen Eich & Lisa Brefere. Nutrition for foodservice and cullinary professionals (6th Ed). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc; 2007.

36. Kemenkes, RI. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014.

37. Kooshki, Akram, Hoseini, BiBi Leila. Phytochemicals and hypertension. Shiraz-E Med Journal. 2014; 15(1): 1-3.

38. Pem, Dhandevi, Jeewon, Rajesh. Fruit and vegetable intake: benefits and progress of nutrition education interventions-narrative review article. Iranian Journal Public Heart. 2015; 44(10): 1309-1321.

39. Mezick, Elizabeth Jane. Cardiovascular responses to stress: a potential pathway linking sleep and cardiovascular disease?. [Disertasi]. [s.l]: University of Pittersburg; 2012.

40. Araghi, Marzieh Hosseini, Thomas, G Neil, Taheri, Shahrad. The potential impact of sleep duration on lipid biomarkers of cardiovascular disease. Journal of Clinical Lipidology. 2012; 7(4): 443-453.

41. Torrance, Brian et al. Overweight, physical activity and high blood pressure in children: a review of literature. Vascular health and risk management. 2007; 3(1): 139-149.

42. Ferreira de Moreas et al. Prevalence of high blood pressure in 122.052 adolescents: a systematic review and meta-regression. Medicine Journal. 2014; 93(27): 1-10.

43. Lubis, Harun Rasyid. Hipertensi dan ginjal. Medan : USU Press; 2008.

44. Naha, Nihaz K, John Mini, Cherian, Vinod jacob. Prevelence of hypertension and risk factors among school children in Kerala, India. International Journal of Contemporary Pediatrics. 2016; 3(3): 931-938.

Page 21: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Determinan Penyakit Asma pada Pekerja Usia Produktif di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2013 ... ( Lusianawaty Tana )

11

Determinan Penyakit Asma pada Pekerja Usia Produktif di Indonesia,Riset Kesehatan Dasar 2013

DETERMINANTS OF ASTHMA DISEASE IN WORKERS OF PRODUCTIVE AGE IN INDONESIA BASIC HEALTH RESEARCH 2013

Lusianawaty Tana

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI

Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560E-mail: [email protected]

Submitted : 18-07-2017, Revised : 15-09-2017, Revised : 05-10-2017, Accepted : 27-02-2018

AbstractAsthma is one of the chronic respiratory diseases that often leads to decrease of productivity, loss of income and unemployment, as well as psychosocial and financial problems. The objective of the research was to identify the determinants of asthma of productive age workers in Indonesia using Basic Health Research (Riskesdas 2013). Sampling criteria were workers aged 15-64 years across the country. The data were analyzed by complex sample with significance level of 0.05 and 95% confidence intervals. Samples that met the criteria were 405.984 people. Determinants of asthma were areas of residence, age, education, nutritional status, smoking, illumination sources, sex, occupation, ownership index, residence location, slum neighborhood, physical activity, and fuel type usage. (OR adj 1.1-2.1 p≤0.01). The proportion of asthma in eastern region of Indonesia and Java-Bali region were 2.05 and 1.75 higher than Sumatra region respectively. Less nutritional status had asthma proportion of 1.5 times higher than normal. Improving nutritional status and increasing knowledge about healthy lifestyle should be done as an effort to reduce the occurrence of asthma.

Key words: workers, asthma, Indonesia, Riskesdas 2013

AbstrakAsma merupakan masalah kesehatan di semua Negara dan salah satu penyakit saluran pernapasan kronik yang sering mengakibatkan turunnya produktifitas, hilangnya pendapatan income dan pekerjaan, serta menimbulkan masalah psikososial dan keuangan. Tujuan analisis lanjut menentukan determinan penyakit asma pada pekerja usia produktif di Indonesia, menggunakan data RiskesdasTahun 2013. Kriteriasampel: berusia 15-64 tahundan status bekerja. Variabel yang di analisis meliputi asma, karakteristik individu, perilaku, dan tempat tinggal. Analisis data menggunakan kompleks sampel, tingkat kemaknaan ≤0,05dan confidence interval 95%. Jumlah sampe lsesuai kriteria 405.984 orang. Determinan asma adalah kawasan tempat tinggal, umur, pendidikan, status gizi, merokok, sumber penerangan, jenis kelamin, pekerjaan utama, indeks kepemilikan, lokas itempat tinggal, lingkungan kumuh, aktivitas fisik, dan jenis bahan bakar. (ORadj 1,1-2,1 p≤0,01). Persentase asma lebih tinggi di Kawasan Timur Indonesia 2,05 kali dan Jawa-Bali 1,75 kali dibandingkan Sumatera, pada status gizikurang 1,5 kali dibandingkan normal, umur 55-64 tahun 1,5 kali dibandingkan umur 15-24 tahun, pada pendidikan rendah 1,5 kali dibandingkan pendidikan tinggi. Perbaikan status gizi dan peningkatan pengetahuan tentang hidup sehat perludilakukan sebagai upaya menurunkan kejadia nasma.

Kata kunci: pekerja, asma, Indonesia, Riskesdas 2013

http://dx.doi.org/10.22435/bpk.v46i1.7265.11-22

Page 22: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 11 - 22

12

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit paru dengan karakteristik obstruksi saluran napas yang reversibel (walaupun tidak sepenuhnya reversibel pada pasien tertentu), dapat membaik secara spontan maupun dengan pengobatan, ada inflamasi saluran napas, dan peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan atau hiperaktivitas.1 Gejala asma sesuai dengan gejala obstruksi saluran napas yaitu batuk, mengi, dan sesak napas.1 Beberapa faktor dilaporkan sebagai pencetus asma yaitu infeksi virus pada saluran napas/influensa, terpajan alergen dan zat iritan, kegiatan jasmani, ekspresi emosional, obat-obatan, lingkungan kerja uap zat kimia, polusi udara, pengawet makanan, dan lainnya.1 Alergen dapat berupa tungau, debu rumah, bulu binatang dan zat iritan berupa asap rokok, sedangkan ekspresi emosional dapat berupa rasa takut, marah, frustrasi.1,2 Diperkirakan pada tahun 2010 sebanyak 2,34 juta orang meninggal dunia setiap tahun, sebagian besar (2,02 juta) karena penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (2,02 juta) dan sisanya karena kecelakaan.3 Negara Tiongkok tahun 2010 melaporkan 27.240 kasus penyakit akibat kerja dan di dalamnya termasuk yang disebabkan pajanan debu di tempat kerja 23.812 (87,4%).4 Sehubungan dengan pekerjaan dikenal asma akibat kerja dan asma yang kambuh akibat kerja, yang merupakan penyakit paru yang tertinggi di dunia industri.5 Lebih dari 400 agen di lingkungan kerja telah dilaporkan sebagai penyebab kekambuhan asma.5 WHO tahun 2004 memperkirakan ada 235 juta orang menderita asma di dunia. Walaupun asma tidak dapat disembuhkan, namun dengan managemen yang baik dapat mengontrol kelainan sehingga kualitas hidup baik.2 Asma tidak hanya merupakan masalah kesehatan pada negara berpendapatan tinggi tetapi juga merupakan masalah di semua negara. Lebih dari 80% kematian akibat asma terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah. Asma dapat tidak terdiagnosis dan tidak diobati dengan baik, menimbulkan beban terhadap individu yang

bersangkutan dan keluarga akibat terbatasnya aktivitasnya sepanjang hidup.2 Di negara Inggris, dimana angka morbiditas asma tinggi, penyakit saluran pernapasan dilaporkan merupakan 6,5% dari penyakit yang dirawat di rumah sakit. Sebanyak 15 % dari populasi pekerja melaporkan masalah kesehatan yang membatasi pekerjaan disebabkan karena penyakit saluran pernapasan, dan 18,3 juta hari kerja hilang karena masalah asma pada tahun 1995-1996.6 Dengan meningkatnya polusi udara: kota besar, lokasi industri, dan di pertambangan maka diperkirakan asma meningkat sehingga menjadi permasalahan pada pekerja di Indonesia. Walaupun penyakit ini jarang fatal, tetapi asma merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan kronik yang sering mengakibatkan tidak masuk kerja, hilangnya income dan pekerjaan, serta masalah berhubungan dengan psikososial dan keuangan.2,5

Prevalensi asma di Indonesia berkisar antara 5-7%.1 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi asma di Indonesia 4,5%, tertinggi pada kelompok umur 25-34 tahun dan 35-44 tahun (5,7% dan 5,6%), dan tertinggi pada kelompok petani/nelayan/buruh 4,9%, tetapi tidak berbeda antara perkotaan dan perdesaan.7 Riskesdas 2013 merupakan survei nasional berbasis masyarakat di Indonesia, yang mengumpulkan data terkait penyakit asma, karakteristik individu, tempat tinggal, status gizi, kesehatan lingkungan rumah tangga.7 Untuk melengkapi data penyakit asma dan faktor yang terkait dikalangan pekerja usia produktif di Indonesia maka perlu dilakukan analisis lanjut. Analisis lanjut ini akan menganalisis dari aspek berbeda, yaitu asma pada populasi khusus dengan status bekerja dan rentang umur produktif di Indonesia.8,9 Analisis lanjut ini bertujuan untuk menentukan determinan penyakit asma pada pekerja usia produktif di Indonesia.

Bahan dan Cara

Sumber data sesuai dengan Riskesdas 2013, disain potong lintang, yang dilaksanakan di seluruh provinsi di Indonesia.7 Oleh karena data Riskesdas telah dianalisis dari berbagai

Page 23: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Determinan Penyakit Asma pada Pekerja Usia Produktif di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2013 ... ( Lusianawaty Tana )

13

aspek, termasuk penyakit saluran pernapasan maka pada penggunaan sumber data nasional yang sama tidak dapat dihindari kemungkinan ada variabel yang sama dan bersinggungan, seperti variabel karakteristik individu, pekerjaan, dan lingkungan.7-11 Populasi sampel adalah seluruh penduduk Indonesia dengan status bekerja. Sampel dari penduduk dengan status bekerja yang berusia produktif (15-64 tahun).12 Data yang digunakan untuk analisis ini adalah hasil wawancara dan pengukuran, dengan kriteria inklusi adalah dalam status bekerja, umur 15-64 tahun, data lengkap dan tidak ekstrim.11 Proposal permintaan data diajukan kepada Laboratorium Managemen Data dan data yang diterima telah terseleksi sesuai dengan kriteria penelitian dan variabel terkait. Variabel terikat adalah penyakit asma dan variabel bebas meliputi karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan utama, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan/status ekonomi), status gizi, tempat tinggal, perilaku (merokok dan aktivitas fisik), kesehatan lingkungan, dan pemukiman.8,11 Penyakit asma ditentukan apabila pernah mengalami sesak napas dan umur mulai merasakan keluhan sesak pertama kali kurang dari 39 tahun dengan satu atau lebih faktor pemicu keluhan sesak, dan dengan satu atau lebih gejala asma. Faktor pemicu keluhan sesak adalah terpapar udara dingin, debu, asap rokok, stres, flu/infeksi, kelelahan, alegi obat, alergi makanan. Gejala asma meliputi mengi, sesak napas berkurang/menghilang dengan pengobatan, sesak napas berkurang/menghilang tanpa pengobatan, sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi.10 Jenis pekerjaan utama dibedakan sebagai pegawai, wiraswasta, petani, nelayan, buruh, dan lainnya. Kuintil indeks kepemilikan pada sumber data terdiri dari lima kategori yaitu kuintil 1-5. Agar dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain, maka kuintil dikelompokkan menjadi kelompok miskin (kuintil 1-3) dan kaya (kuintil 4-5). Status gizi dibedakan kurus dengan indeks masa tubuh <18,5, normal ≥18,5-<24,9, berat badan lebih ≥25-<27, dan obese ≥27.7,11,13 Tempat tinggal dibedakan menjadi Kawasan Sumatera, Jawa-Bali,

dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), sedangkan lokasi tempat tinggal meliputi lokasi kumuh atau tidak kumuh. Perilaku merokok dikategorikan menjadi merokok (saat ini/mantan merokok) dan tidak pernah merokok, dan aktivitas fisik dibedakan menjadi melakukan aktivitas fisik berat atau tidak. Kesehatan lingkungan rumah tangga meliputi penggunaan jenis bahan bakar/energi utama untuk memasak, penggunaan obat nyamuk/insektisida, dan jenis sumber penerangan.7,8 Lokasi tempat tinggal kumuh diperoleh dari hasil pengamatan lingkungan di luar/sekitar rumah responden. Termasuk kumuh bila di sekitar tempat tinggal kondisinya becek, tidak tersedia saluran pembuangan limbah, sebagian besar rumah tidak dilengkapi sarana buang air besar, kotor, berserakan sampah, dan jarak antar rumah saling berdekatan bukan dilihat dari kondisi rumah responden.7 Persetujuan etik penelitian sumber data Riskesdas 2013 diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan nomor LB.02.01/5.2/KE.006/2013 tanggal 25 Januari 2013.7 Data dianalisis menggunakan kompleks sampel dengan program SPSS 16,0 serial 5055095, dengan cara univariat, bivariat, dan multivariat. Tingkat kemaknaan ditentukan sebesar ≤ 0,05 dan confidence interval sebesar 95%. Hasil

Jumlah sampel yang memenuhi kriteria penelitian yaitu penduduk dengan status bekerja dan berusia 15-64 tahun, sesuai dengan jumlah sampel yang diberikan oleh laboratorium mandat sebanyak 405.984 sampel. Gambaran persentase sampel berdasarkan karakteristik individu dan sosiodemografi disajikan pada Tabel 1. Sebagian besar sampel berusia antara 25-54 tahun, sebagian besar laki-laki, dan 91% berpendidikan rendah dan menengah, dengan kriteria miskin lebih tinggi dibandingkan yang kaya. Pekerjaan utama terbanyak sebagai petani (28%) sedangkan nelayan paling sedikit (1,5%), dan terbanyak tinggal di Kawasan Jawa-Bali (60%) dan paling sedikit di KTI 18,5%.

Page 24: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 11 - 22

14

KarakteristikPersentase Standard error 95% CI

(%) (%) lower UpperKelompok umur 15-24 tahun 14,0 0,11 13,7 14,2 25-34 tahun 28,5 0,13 28,2 28,7 35-44 tahun 26,9 0,12 26,6 27,1 45-54 tahun 20,3 0,10 20,1 20,5 55-64 tahun 10,4 0,08 10,2 10,5Jenis kelamin Laki-laki 65,8 0,11 65,6 66,0 Perempuan 34,2 0,11 34,0 34,4Pendidikan Rendah 46,0 0,24 45,5 46,5 Menengah 45,1 0,21 44,7 45,5 Tinggi 8,9 0,15 8,6 9,2Kuintil indeks kepemilikan Miskin 55,6 0,29 55,0 56,2 Kaya 44,4 0,29 43,8 45,0Pekerjaan utama Pegawai 23,0 0,21 22,6 23,4 Petani 28,0 0,24 27,6 28,5 Nelayan 1,5 0,07 1,3 1,6 Buruh 18,3 0,21 17,9 18,7 Wiraswasta 22,9 0,18 22,6 23,3 Lainnya 6,3 0,10 6,1 6,5Lokasi Perkotaan 49,4 0,20 49,0 49,8 Perdesaan 50,6 0,20 50,2 51,0Kawasan tempat tinggal Sumatera 21,0 0,13 20,7 21,2 Jawa-Bali 60,6 0,17 60,2 60,9 Kawasan Timur Indonesia 18,5 0,12 18,2 18,7Lokasi lingkungan rumah Kumuh 18,2 0,29 17,6 18,8 Tidak kumuh 81,8 0,29 81,2 82,4

Tabel 1. Persentase Pekerja Menurut Karakteristik Individu dan Sosiodemografi, Riskesdas 2013

Tabel 2. Persentase Pekerja berdasarkan Penyakit Asma, Status Gizi, Perilaku, dan Lingkungan, Riskesdas 2013

KarakteristikPersentase Standard error 95% CI

(%) (%) lower UpperKejadian Asma Asma 6,8 0,08 6,7 7,0 Tidak asma 93,2 0,08 93,0 93,3Status gizi Normal 65,9 0,14 65,6 66,2 Kurang 9,6 0,09 9,4 9,7 Berat badan lebih 11,5 0,08 11,4 11,7 Obese 13,0 0,10 12,8 13,2Merokok Ya 52,6 0,14 52,4 52,9 Tidak pernah 47,4 0,14 47,1 47,6 Aktivitas fisik berat Ya 50,4 0,25 50,0 50,9 Tidak 49,6 0,25 49,1 50,0

Page 25: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Determinan Penyakit Asma pada Pekerja Usia Produktif di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2013 ... ( Lusianawaty Tana )

15

Jenis bahan bakar/energi utama Listrik 5,4 0,10 5,2 5,6 Gas/elpiji 58,6 0,25 58,1 59,1 Minyak tanah 6,3 0,09 6,2 6,5 Arang/briket/batok kelapa 0,4 0,03 0,4 0,5 Kayu bakar 29,3 0,25 28,8 29,8Kebiasaan menyemprot obat nyamuk Ya 12,4 0,18 12,0 12,8 Tidak 87,6 0,18 87,2 88,0Sumber penerangan Listrik PLN 93,1 0,2 92,8 93,4 Listrik non PLN 4,1 0,1 3,9 4,4 Petromaks/aladin 0,3 0,0 0,3 0,4 Pelita/sentir/obor 1,9 0,1 1,8 2,0 Lainnya 0,5 0,0 0,5 0,6

Karakteristik sampelAsma (%) OR 95%CI

pYa Tidak lower upper

Kelompok umur 15-24 tahun 5,8 94,2 1 25-34 tahun 5,6 94,4 0,96 0,89 1,04 0,0001 35-44 tahun 6,4 93,6 1,12 1,04 1,20 0,0001 45-54 tahun 8,1 91,9 1,43 1,33 1,54 0,0001 55-64 tahun 10,2 89,8 1,85 1,71 2,00 0,0001Jenis kelamin Laki-laki 6,7 93,3 0,95 0,91 0,99 0,01 Perempuan 7,0 93,0 1Pendidikan Rendah 8,7 91,3 2,05 1,88 2,23 0,0001 Menengah 5,3 94,7 1,2 1,10 1,31 0,0001 Tinggi 4,5 95,5 1Kuintil indeks kepemilikan Miskin 7,9 92,1 1,48 1,41 1,55 0,0001 Kaya 5,5 94,5 1Pekerjaan utama Pegawai 5,2 94,8 Petani 8,1 91,9 1,62 1,52 1,74 0,0001 Nelayan 8,8 91,2 1,77 1,54 2,03 0,008 Buruh 7,5 92,5 1,48 1,38 1,60 0,009 Wiraswasta 6,1 93,9 1,20 1,12 1,29 0,64 Lainnya 7,3 92,7 1,45 1,32 1,59 0,0001Lokasi Perkotaan 6,3 93,7 0,86 0,82 0,90 0,0001 Perdesaan 7,3 92,7 1Kawasan tempat tinggal Sumatera 4,0 96,0 1 Jawa-Bali 7,2 92,8 1,84 1,73 1,95 0,0001 Kawasan Timur Indonesia 8,8 91,2 2,28 2,14 2,43 0,0001Lokasi lingkungan rumah Kumuh 8,5 91,5 1,35 1,27 1,43 0,0001 Tidak kumuh 6,4 93,6 1

Tabel 3. Analisis Bivariat antara Karakteristik Individu, Pekerjaan, Tempat Tinggal dengan Penyakit Asma pada Pekerja di Indonesia, Riskesdas 2013

Page 26: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 11 - 22

16

Tabel 4. Analisis Bivariat antara Status Gizi, Perilaku, Kesehatan Lingkungan, dan Jenis Penerangan dengan Penyakit Asma pada Pekerja di Indonesia, Riskesdas 2013

Karakteristik sampelAsma (%) OR 95%CI

pYa Tidak lower upper

Status gizi Kurang 10,1 89,9 1,64 1,54 1,74 0,0001 Gemuk 6,6 93,4 1,03 0,98 1,08 0,19 Normal 6,4 93,6 1Merokok Ya 7,3 92,7 1,16 1,12 1,21 0,0001 Tidak pernah 6,3 93,7 1Aktivitas fisik berat Ya 7,0 93,0 1,08 1,03 1,12 0,001 Tidak 6,6 93,4 1Jenis bahan bakar/energi utama Listrik 6,1 93,9 1,00 0,91 1,11 0,056 Gas/elpiji 6,1 93,9 1 Minyak tanah 6,2 93,8 1,03 0,96 1,11 0,0001 Arang/briket/batok kelapa 7,1 92,9 1,18 0,95 1,47 0,0001 Kayu bakar 8,6 91,4 1,46 1,39 1,53 0,0001Kebiasaan menyemprot obat nyamuk Ya 5,7 94,3 0,81 0,75 0,87 0,0001 Tidak 7,0 93,0 1Sumber penerangan Listrik PLN 6,7 93,3 1 Listrik non PLN 7,4 92,6 1,12 1,02 1,23 0,0001 Petromaks/aladin 7,6 92,4 1,15 0,91 1,46 0,002 Pelita/sentir/obor 12,2 87,8 1,95 1,76 2,16 0,03 Lainnya 10,4 89,6 1,63 1,31 2,04 0,14 Perdesaan 7,3 92,7 1Kawasan tempat tinggal Sumatera 4,0 96,0 1 Jawa-Bali 7,2 92,8 1,84 1,73 1,95 0,0001 Kawasan Timur Indonesia 8,8 91,2 2,28 2,14 2,43 0,0001Lokasi lingkungan rumah Kumuh 8,5 91,5 1,35 1,27 1,43 0,0001 Tidak kumuh 6,4 93,6 1

Tabel 5. Analisis Multivariat Beberapa Variabel dengan Kejadian Asma pada Pekerja di Indonesia, Riskesdas 2013

VariabelAsma (%) OR 95%CI

pYa Tidak lower upper

Kelompok umur 15-24 tahun 5,8 94,2 25-34 tahun 5,6 94,4 0,97 0,90 1,05 0,0001 35-44 tahun 6,4 93,6 1,09 1,01 1,17 0,0001 45-54 tahun 8,1 91,9 1,31 1,21 1,41 0,0001 55-64 tahun 10,2 89,8 1,53 1,40 1,67 0,0001Jenis kelamin Laki-laki 6,7 93,3 Perempuan 7,0 93,0 1,31 1,23 1,40 0,0001Pendidikan Rendah 8,7 91,3 1,52 1,37 1,68 0,0001

Page 27: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Determinan Penyakit Asma pada Pekerja Usia Produktif di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2013 ... ( Lusianawaty Tana )

17

Menengah 5,3 94,7 1,14 1,03 1,25 0,01 Tinggi 4,5 95,5Kuintil indeks kepemilikan Miskin 7,9 92,1 1,11 1,05 1,17 0,0001 Kaya 5,5 94,5Pekerjaan utama Pegawai 5,2 94,8 Petani 8,1 91,9 1,11 1,03 1,21 0,001 Nelayan 8,8 91,2 1,25 1,08 1,44 0,14 Buruh 7,5 92,5 1,09 1,001 1,19 0,52 Wiraswasta 6,1 93,9 1,04 0,97 1,13 0,07 Lainnya 7,3 92,7 1,19 1,08 1,31 0,004Lokasi Perkotaan 6,3 93,7 1,08 1,02 1,14 0,013 Perdesaan 7,3 92,7 Kawasan tempat tinggal Sumatera 4,0 96,0 Jawa-Bali 7,2 92,8 1,75 1,64 1,87 0,0001 Kawasan Timur Indonesia 8,8 91,2 2,05 1,92 2,18 0,0001Lokasi lingkungan rumah Kumuh 8,5 91,5 1,20 1,14 1,28 0,0001 Tidak 6,4 93,6Status gizi Kurang 10,1 89,9 1,53 1,44 1,62 0,0001 Gemuk 6,6 93,4 1,09 1,04 1,15 0,0001 Normal 6,4 93,6Merokok Ya 7,3 92,7 1,41 1,32 1,50 0,0001 Tidak pernah 6,3 93,7 1Aktivitas fisik berat Ya 7,0 93,0 1 Tidak 6,6 93,4 1,07 1,03 1,13 0,003Jenis bahan bakar/energi utama Listrik 6,1 93,9 Gas/elpiji 6,1 93,9 1,03 0,93 1,14 0,01 Minyak tanah 6,2 93,8 1,04 0,93 1,17 0,0001 Arang/briket/batok kelapa 7,1 92,9 1,07 0,85 1,35 0,03 Kayu bakar 8,6 91,4 1,14 1,03 1,27 0,55Sumber penerangan Listrik PLN 6,7 93,3 Listrik non PLN 7,4 92,6 1,06 0,96 1,17 0,11 Petromaks/aladin 7,6 92,4 1,01 0,81 1,26 0,30 Pelita/sentir/obor 12,2 87,8 1,37 1,22 1,52 0,26 Lainnya 10,4 89,6 1,21 0,96 1,52 0,31

Persentase sampel dengan asma 6,8%, dengan status gizi kurang 9,6%, sedangkan berat badan lebih dan obese 24,5%. Lebih dari separuh sampel pernah merokok dan setengahnya biasa melakukan aktivitas fisik berat. Lebih dari separuh menggunakan jenis bahan bakar/energi utama gas/elpiji, namun masih ada yang menggunakan kayu bakar (29,3%) dan minyak tanah (6,3%)

serta 12,4% sampel mempunyai kebiasaan menyemprot obat nyamuk. Hampir semua sampel menggunakan listrik (97,2%), namun 1,9% masih menggunakan pelita/sentir/obor dan 0,3% menggunakan lampu petromaks/aladin. Dari Tabel di atas terlihat semua variabel yang dianalisis (kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, kuintil indeks kepemilikan, pekerjaan

Page 28: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 11 - 22

18

utama, lokasi tempat tinggal) menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap kejadian asma. Persentase asma lebih tinggi pada sampel dengan status gizi kurang dibandingkan dengan normal, pada yang merokok lebih tinggi dibandingkan tidak merokok, dan yang mempunyai kebiasaan melakukan aktivitas fisik berat lebih tinggi dibandingkan yang tidak biasa beraktivitas fisik berat. Persentase asma lebih tinggi pada sampel yang menggunakan jenis bahan bakar/energi utama kayu bakar dibandingkan yang menggunakan jenis bahan bakar selain kayu bakar, dan lebih tinggi pada sampel yang menggunakan sumber penerangan pelita/sentir/obor dibandingkan listrik PLN. Hasil analisis multivariat awal menunjukkan dari 14 variabel yang dianalisis, didapatkan 13 variabel berhubungan bermakna dengan kejadian asma. Variabel kebiasaan menyemprot obat nyamuk tidak berhubungan bermakna dengan asma. Ketiga belas variabel tersebut kemudian dianalisis multivariat akhir dan disajikan pada Tabel 5. Hasil analisis multivariat akhir didapatkan 13 variabel berhubungan bermakna dengan kejadian asma. Variabel utama yang berhubungan dengan asma adalah kawasan tempat tinggal, umur, tingkat pendidikan, status gizi, perilaku merokok, sumber penerangan, jenis kelamin, dan jenis pekerjaan utama. Variabel lain berhubungan lemah dengan asma adalah kuintil indeks kepemilikan, lokasi tempat tinggal, lingkungan kumuh, aktivitas fisik, dan jenis bahan bakar. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan persentase asma di KTI dan Kawasan Jawa-Bali lebih tinggi dibandingkan dengan Kawasan Sumatera. Berdasarkan tinggal di perkotaan dan perdesaan maka diperoleh kejadian asma lebih tinggi di daerah perkotaan. Ditinjau dari perbandingan besarnya persentase perkotaan dan perdesaan di tiga kawasan tersebut maka didapatkan perbedaan, yaitu daerah perkotaan di Kawasan Sumatera 37,9%, Kawasan Jawa-Bali 58,2%, dan KTI 33,7%. Dalam hal ini dapat dimengerti apabila kejadian asma lebih tinggi di daerah Kawasan Jawa-Bali yang lebih banyak perkotaannya dibandingkan Sumatera, namun yang tidak sesuai adalah KTI yang daerah

perkotaannya lebih sedikit tetapi kejadian asma lebih tinggi. Untuk menerangkan hal tersebut dari hasil National Surveilance of Asthma United States 2001-2010 dilaporkan proporsi asma tidak berbeda berdasarkan kota metropolitan atau bukan kota metropolitan.14 Di perkotaan, terutama kota besar ada kemungkinan terdapat polusi udara yang bersumber dari gas buangan kendaraan bermotor, sedangkan di daerah perdesaan polusi udara dapat terjadi karena asap kebakaran semak/ hutan.15,16 Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang membuktikan adanya hubungan antara angka kesakitan saluran pernapasan dan pajanan asap karena kebakaran semak sesuai dengan hubungan yang diperoleh pada polusi udara di perkotaan.16

Penelitian efek pajanan jangka pendek terhadap bahan bakar diesel lalulintas pada asma di daerah urban di lingkungan tepi jalan menunjukkan ada hubungan polusi udara terhadap asma, hubungan antara pajanan diesel lalu lintas dengan derajat keparahan asma dan gejala yang dilaporkan sebagai asma.15 Ditinjau berdasarkan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) tahun 2014, dibandingkan dengan rerata di Indonesia, maka IKLH di hampir semua daerah Jawa-Bali lebih rendah dan 60% provinsi di Kawasan Sumatera juga lebih rendah, tetapi kebalikannya sebagian besar KTI adalah lebih baik.17 Namun lebih baiknya IKLH di KTI tidak disertai dengan lebih rendahnya asma di daerah tersebut dibandingkan kawasan yang lain. Dikaitkan dengan penggunaan jenis bahan bakar dan sumber penerangan, didapatkan kayu bakar lebih banyak digunakan oleh pekerja di daerah KTI (42,6%) dibandingkan dengan Sumatera (27,6%) dan Jawa-Bali (25,8%), dan sumber penerangan non listrik lebih banyak digunakan pada rumah tangga pekerja di KTI (11,1 %) dibandingkan dengan Sumatera (2,6 %) dan Jawa-Bali (0,3 %). Selain itu, sampel penelitian ini adalah pekerja yang sebagian besar waktunya dihabiskan di tempat kerja. Faktor polusi udara tidak hanya terkait dengan kualitas lingkungan hidup secara umum tetapi juga terkait polusi udara di tempat kerja. Sayangnya keterbatasan penelitian ini adalah tidak tersedianya data yang lebih detail terkait apa yang dikerjakan pada pekerjaan utama dan lingkungan kerjanya. Namun hasil penelitian yang dilakukan pada lokasi dan tempat kerja tertentu menunjukkan adanya hubungan antara

Page 29: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Determinan Penyakit Asma pada Pekerja Usia Produktif di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2013 ... ( Lusianawaty Tana )

19

asma dengan pajanan di tempat kerja.18

Persentase asma didapatkan 6,8% dan cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi asma di Indonesia berdasarkan laporan Riskesdas 2013 (4,5%)7 dan prevalensi asma tahun 2007 (3,32%).9 Selain itu, data nasional tahun 2013 menunjukkan prevalensi asma cenderung meningkat dengan semakin mudanya umur (umur 55-64 tahun 2,8%, umur 45-54 tahun 3,4% dan umur 15-24 tahun 5,6%).7 Hasil National surveilance of asthma 2001-2010 melaporkan asma cenderung menurun pada kelompok usia lebih tua (umur 15-19 tahun 9,1% dan 20-24 tahun 8,9%).14 Persentase asma pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan hasil National surveilance of asthma 2001-2010 (asma pada 18 tahun ke atas 7,7%).14 Perbedaan tersebut dapat dimengerti karena berbedanya usia dan status pekerjaan sampel. Sampel data nasional adalah seluruh masyarakat yang bekerja dan tidak bekerja, sedangkan pada penelitian ini hanya masyarakat yang bekerja dan berusia 15-64 tahun. Apabila dibandingkan dengan laporan International Labor Organization, hasil penelitian ini masih termasuk rentang prevalensi asma di Indonesia (5-7%).19 Penjelasannya adalah pada pekerja kemungkinan terpajan bahan alergen pencetus asma di tempat kerja lebih tinggi dibandingkan yang tidak bekerja. Polusi udara dapat mempengaruhi asma pada usia dewasa tetapi lebih sering sebagai faktor yang memperburuk asma yang sudah ada sebelumnya dibandingkan dengan penyebab asma baru.15,16 Hal ini didukung oleh penelitian lain yang menyebutkan bahwa prevalensi asma sangat bervariasi di seluruh dunia, kemungkinan disebabkan oleh interaksi faktor genetik dengan lingkungan. Pajanan di tempat kerja merupakan faktor risiko yang umum pada asma yang timbul pada usia dewasa dan telah banyak didokumentasikan.13 Pada penelitian ini kejadian asma lebih tinggi pada pekerja dengan kategori miskin dibandingkan kaya. Hal ini didukung oleh kepustakaan yang menyatakan bahwa ada perbedaan antara prevalensi asma pada tahun 2008-2010 berdasarkan status kemiskinan. Kejadian asma lebih sering pada yang berpendapatan keluarga kurang dari ambang kemiskinan dibandingkan dengan pendapatan pada atau

di atas ambang kemiskinan.14,20 Penelitian lain melaporkan kemiskinan termasuk higiene buruk (kotor) merupakan faktor penting untuk asma non atopik. Hal ini dapat diterangkan dengan adanya mekanisme biologi, mengingat pajanan pada kondisi kotor seperti adanya endotoxin dan produk mikroba lain dan iritasi yang berasal dari bukan mikroba.20 Hal ini sejalan pula dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan persentase kejadian asma pada pekerja yang tinggal di lokasi kumuh lebih tinggi (1,2 kali) dibandingkan yang tidak kumuh. Pada penelitian ini asma dengan status gizi gemuk dan kurang, lebih tinggi dibandingkan yang normal. Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang melaporkan adanya hubungan yang kuat antara obesitas berdasarkan pengukuran IMT ataupun obesitas sentral dengan asma pada individu yang tidak atopik dibandingkan yang atopik.21 Namun mekanisme hubungan antara obesitas dengan asma masih belum jelas dan masih perlu diteliti lebih lanjut.22 Selain itu, adanya keterkaitan antara kemiskinan (tinggal di lokasi kumuh) dengan status gizi kurang dapat berdampak dengan meningkatnya kejadian asma. Faktor pekerjaan utama didapatkan berperan penting dalam kejadian asma, pekerjaan sebagai nelayan dan petani yang berisiko lebih tinggi dibandingkan pegawai. Penelitian lain tentang hubungan alergi dengan pekerjaan nelayan dan industri pengolahan makanan laut, diperoleh prevalensi asma yang berhubungan dengan pekerjaan 7%-36%. Umumnya pekerja terpajan terhadap bermacam komposisi makanan laut (ikan, udang, dan lainnya) secara manual/mesin. Proses aerosolisasi makanan laut dan cairan memasak berpotensi mengakibatkan sensitisasi melalui inhalasi pernapasan di lingkungan kerja.23

Study longitudinal dengan follow up 12 tahun tentang penyakit pernapasan di kalangan petani, didapatkan prevalensi asma meningkat dari 2,0% menjadi 8,9%.24 Penelitian lain yang dilakukan secara potong lintang pada petani didapatkan prevalensi asma bervariasi di antara wilayah dan tergantung jenis pertanian.24,25 Pada petani, asma dapat berkembang karena pajanan yang tinggi terhadap debu di daerah pertanian yang mengandung sejumlah bahan yang telah dikenal sebagai alergen dan iritan saluran pernapasan.13,24 Sayangnya pada penelitian ini terdapat keterbatasan

Page 30: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 11 - 22

20

informasi sumber data yaitu pekerjaan tidak dirinci sesuai dengan yang dikerjakan dan bahan yang digunakan. Faktor lain yang berperan penting terhadap kejadian asma adalah merokok. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menerangkan bahwa merokok tembakau dapat meningkatkan gejala asma walaupun gejala seperti batuk dan berdahak dapat pula ke arah bronkhitis.26 Penelitian lain juga menunjukkan dari hasil analisis multivariat, merokok merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap asma.9,27

Pada penelitian ini didapatkan asma pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hasil penelitian ini sesuai dengan National surveilance of asthma 2001-2010 yang melaporkan asma umur 18 tahun ke atas lebih tinggi pada perempuan (9,2%) dibandingkan laki-laki (7%).20 Data nasional menunjukkan sebagian besar laki-laki (47,5%) merokok setiap hari sedangkan perempuan 1,1%, dan laki-laki yang merokok kadang-kadang (9,2%) lebih besar dibandingkan perempuan (0,8%).7 Namun sebagian besar perokok pasif adalah perempuan dan hal ini dapat menerangkan kemungkinan tingginya asma pada perempuan. Kepustakaan lain membuktikan perbedaan insiden asma akibat kerja berdasarkan jenis kelamin yaitu perbedaan distribusi pekerjaan sehubungan dengan gender. Di antara asma yang berhubungan dengan pekerjaan pada umur dewasa, didapatkan perbedaan berdasarkan pajanan di tempat kerja, jenis pekerjaan dan industri.28 Selain itu, kemungkinan ada faktor lain perlu dipertimbangkan dengan lebih tingginya asma pada perempuan seperti tinggal di lokasi kumuh dan penggunaan kayu bakar. Umumnya perempuan relatif lebih banyak tinggal di rumah dan lebih terpapar pada asap kayu bakar yang digunakan untuk memasak. Adanya faktor penentu lain terhadap kejadian asma adalah jenis bahan bakar, sumber penerangan, dan faktor lain yang tidak terdapat dalam data yang dianalisis. Berdasarkan penggunaan jenis bahan bakar dan sumber penerangan dengan kawasan didapatkan jenis bahan bakar kayu bakar lebih banyak digunakan oleh pekerja di daerah KTI (42,6%) dibandingkan dengan Sumatera (27,6%) dan Jawa-Bali (25,8%), dan sumber penerangan non listrik lebih banyak digunakan di KTI (11,1%) dibandingkan dengan

Sumatera (2,6%) dan Jawa-Bali (0,3%). Menurut kepustakaan, polusi udara dapat berdampak pada asma dewasa dan hal ini lebih sering merupakah salah satu faktor yang memperburuk asma yang sudah ada dari pada sebagai penyebab langsung kejadian asma.16,20

Pada penelitian ini menunjukkan persentase asma pada pekerja dengan jenis bahan bakar/bahan energi utama kayu bakar lebih tinggi dibandingkan listrik. Persentase pekerja dengan sumber penerangan menggunakan pelita/sentir/obor lebih tinggi dibandingkan dengan listrik. Hasil ini sesuai dengan penelitian Hananto dan Sukar 2014, walaupun sampel penduduk semua umur, didapatkan faktor lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian asma, antara lain bahan bakar memasak minyak tanah, dengan briket/kayu bakar/lainnya, dan yang menggunakan sumber penerangan non listrik.8 Perbedaannya adalah pada penelitian ini, dua faktor penentu kejadian asma adalah bahan bakar kayu bakar dan sumber penerangan yang mengeluarkan asap seperti pelita/sentir/obor. Pada penelitian rujukan, penggolongan bahan bakar dan sumber penerangan dibagi menjadi dua kelompok saja yaitu yang berisiko dan tidak berisiko. Penjelasan lain adalah kemungkinan berbedanya kriteria umur, pada sampel penelitian ini adalah pekerja berusia 15-64 tahun sedangkan pada penelitian rujukan adalah masyarakat semua umur. Sebagai pekerja, sebagian besar waktunya digunakan untuk bekerja yang kemungkinan tidak berada di dalam rumah. Hasil observasi penelitian lain diperoleh, hanya sedikit pekerja yang mengalami asma saat dewasa berhubungan dengan pajanan di tempat kerja. Hal ini terkait dengan berbedanya kerentanan yang sudah dimiliki sebelumnya (kelainan atopi, faktor genetik, dan hipersensitivitas saluran pernapasan).28 Analisis lanjut ini mempunyai keterbatasan karena sumber data dikumpulkan secara potong lintang maka diperoleh keterbatasan dalam hal analisis sebab akibat karena tidak dapat diketahui dengan tepat urutan kejadian, selain itu informasi tentang data jenis pekerjaan yang termasuk lainnya tidak dapat diperinci karena keterbatasan informasi yang diperoleh. Sebagai variabel yang diperoleh berhubungan bermakna dengan kejadian asma adalah faktor yang tidak dapat dirubah. Status gizi dan perilaku (merokok, penggunaan sumber

Page 31: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Determinan Penyakit Asma pada Pekerja Usia Produktif di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2013 ... ( Lusianawaty Tana )

21

penerangan dan jenis bahan bakar, aktifitas fisik) merupakan variabel yang dapat dirubah sehingga saran ditujukan kepada variabel tersebut. Kesimpulan Determinan asma adalah kawasan tempat tinggal, status gizi, umur, pendidikan, merokok, sumber penerangan, jenis kelamin, pekerjaan, kuintil indeks kepemilikan, lokasi tempat tinggal, lingkungan kumuh, aktivitas fisik, dan jenis bahan bakar. (ORadj 1,1-2,1 p≤0,01). Persentase asma lebih tinggi pada yang tinggal di Kawasan Indonesia Timur (2,1 kali) dan Kawasan Jawa-Bali (1,8 kali) dibandingkan Kawasan Sumatera, lebih tinggi pada status gizi kurang (1,5 kali) dibandingkan normal, lebih tinggi pada umur 55-64 tahun (1,5 kali) dan umur 45-54 tahun (1,3 kali) dibandingkan umur 15-24 tahun, lebih tinggi pada pendidikan rendah (1,5 kali) dibandingkan pendidikan tinggi.

Saran

Perbaikan status gizi untuk mencapai berat badan normal dan peningkatan pengetahuan tentang hidup sehat dan bersih perlu dilakukan sebagai upaya menurunkan kejadian asma. Upaya mengganti sumber penerangan dari petromax/aladin/sentir dan jenis bahan bakar/enersi kayu bakar perlu dilakukan untuk mencegah kejadian asma.

Ucapan terima kasih

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Sekretariat Badan Litbangkes Kemenkes RI yang telah memberi kesempatan melakukan analisis data Riskesdas 2013.

Daftar pustaka

1. Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S.Editor. Buku ajar ilmu pennyakit dalam. Jilid 1. [s.l] :InternaPublishing; 2009.

2. Overviews of Non Communicable Diseases and related risk factors. [cited 2 February 2015]. available at http://www.who.int/respiratory/about_topic/en/index.html.

3. Internasional Labor Organization. The prevention of occupational diseases.World day for safety and health at work. Geneva: WHO; 2013.

4. National Institute of Occupational Health and Poison Control of China. Country report on occupational diseases 2010. 2011; [cited 24 Jan. 2013]. Available at: 211.153.22.248/Contents/Channel_23/2011/1227/16777/content_16777.htm.

5. Friedman-Jimenez G, Harrison D, Luo H. Occupational asthma and work-exacerbated asthma. Semin Respir Crit Care Med. 2015 Jun;36(3):388-407. doi: 10.1055/s-0035-1550157. Epub 2015 May 29.

6. Chung in Speizer FE, Horton S, Batt J, Slutsky AS. Respiratory Diseases of Adults. Jamison DT, Breman JG, Measham AR, Alleyne G, Claeson M, Evans DB, et al Editor. Disease Control Priorities in Developing Countries. Second edition. [s.l] : Oxford University Press and The World Bank; 2006.

7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2014.

8. Hananto M, Sukar. Analisis Lingkungan dalam Rumah dengan Kejadian Asma. Jurnal Ekologi Kesehatan.2014; 13(4):318-328.

9. Oemiati R, Sihombing M, Qomariah. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit asma di Indonesia. Media Litbang Kesehatan. 2010; XX (1):41-49.

10. Pedoman Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan dasar 2013. Pedoman Pengisian Kuesioner. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2013.

11. Tana L, Ghani L. Determinan kejadian cedera pada kelompok pekerja usia produktif di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 2015; 43 (3):183-194.

12. Badan Pusat Statistik. Sosial dan kependudukan. 2017. [cited at 30 September 2017] Available from: https://www.bps.go.id/index.php/istilah/index?Istilah_page=4.

13. Subbarao P, Mandhane PJ, Sears MR. Asthma: epidemiology, etiology and risk factors. CMAJ. 2009.; 181(9).doi: 10.1503/cmaj.080612.

14. U.S. Department of Health and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention

Page 32: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 11 - 22

22

National Center for Health Statistics.National Surveillance of Asthma: United States, 2001–2010.[cited at 10 Januari 2017] Available from https://www.cdc.gov/nchs/data/series/sr_03/sr03_035.pdf.

15. McCreanor J, Cullinan P, Nieuwenhuijsen MJ, Evans JS, Malliarou E, Jarup L, et al. Respiratory effects of exposure to diesel traffic in persons with asthma. N Engl J Med. 2007;357:2348–58.

16. Dennekamp M, Abramson MJ. Respiratory health issues in the Asia-Pacific region. The effects of bushfire smoke on respiratory. Respirology. 2011; 16: 198–209 doi: 10.1111/j.1440-1843.2010.01868.x.

17. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 2014, Jakarta, 2015. [cited 15 February 2017] available from www.menlhk.go.id/downlot.php?file=iklh2014.pdf.

18. Fishwick D, Roberts JH, Robinson E, Evan G, Barraclough R, Sen D, et al. Impact of worker education on respiratory symptoms and sensitization in bakeries. Occup Med (Lond) (2011) 61 (5): 321-327 [cited 19 Februari 2017] available from https://doi.org/10.1093/occmed/kqr116.

19. Internasional Labor Organization. The prevention of occupational diseases.World day for safety and health at work. Geneva : WHO; 2013.

20. Cooper PJ, Rodrigues LC, Barreto ML. Influence of poverty and infection on asthma in Latin America. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2012;12(2):171-8. doi: 10.1097/ACI.0b013e3283510967.

21. Chen Y, Rennie D, Cormier Y, Dosman J. Atopy, obesity, and asthma in adults: the Humboldt study. J Agromedicine. 2009;14(2):222-7. doi: 10.1080/10599240902724051. [cited 12 february 2017] Available from: https://www.karger.com/Article/FullText/316348.

22. Chen Y, Rennie D, Cormier Y, Dosman J. Association between Obesity and Atopy in Adults. Int Arch Allergy Immunol 2010;153:372–377. (DOI:10.1159/000316348) [cited 17 March 2017] Available from https://www.karger.com/Article/FullText/316348.

23. Jeebhay M, Robins T, Lehrer S, Lopata A. Occupational seafood allergy: a review. Occup Environ Med. 2001 Sep; 58(9): 553–562 Doi:10.1136/oem.58.9.553.

24. Rask-Andersen A. Asthma increase among farmers: a 12-year follow-up. Ups J Med Sci. 2011; 116(1):60-71 Published online 2011 Feb 11. doi: 10.3109/03009734.2010.503287 PMCID: PMC3039762.

25. Omland O. Exposure and respiratory health in farming in temperate zones—a review of the literature. Ann Agric Environ Med. 2002;9:119–36.

26. Gilliland FD, Islam T, Berhane K, Gauderman WJ, McConnell R, Avol E, et al. Regular smoking and asthma incidence in adolescents. Am J Respir Crit Care Med. 2006 Nov 15; 174(10): 1094–1100. Published online 2006 Sep 14. doi: 10.1164/rccm.200605-722OC [cited 12 february 2017] Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2648110/.

27. Department of Health and Human Services United States. 2004. The Surgeon General’s Report on The Health Consequences of Smoking. https://www.cdc.gov/tobacco/data_statistics/sgr/2004/pdfs/28reports.pdf.

28. Vandenplas O, White G E. Occupational Asthma: Etiologies and Risk Factors. Allergy Asthma Immunol Res. 2011; 3(3): 157-167 Published online 2011 May 20. doi: 10.4168/aair.2011.3.3.157 [Cited 10 Januari 2017].Available from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc 3121057/.

Page 33: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Faktor Determinan Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok ... ( Julianty Pradono, dan Asri Werdhasari )

23

Faktor Determinan Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok Umur 25-65 tahun di Kota Bogor, Data Kohor 2011-2012

DETERMINANT FACTORS OF CORONARY HEART DISEASE AT AGE 25-65 YEARS IN BOGOR CITY, KOHORT STUDY 2011-2012

Julianty Pradono1, dan Asri Werdhasari2

1Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Balitbangkes.2Pulitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Balitbangkes.

Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560E - mail: [email protected]

Submitted : 28-7-2017, Revised : 18-09-2017, Revised : 23-11-2017, Accepted : 02-01-2018

AbstractBackground: Coronary Heart Disease (CHD) is a disease with the highest prevalence among Non Communicable diseases (NCD). The factors related to CHD can be controlled and therefore the occurrence of CHD can be prevented. The aim of this study is to identify the determinants of CHD among selected residents in the Central Bogor village, Indonesia. Method: The data were from the baseline of 2011-2012 NCD cohort study, with a total sample of 4,786 respondents. Multivariate analysis was done to determine the risk factors of CHD. Results: The prevalence of CHD is 20.9 ± 0.41 percent. Risk factors that are related to CHD are: stroke 3.5 times (95% CI: 2.0-5.9); hypertension 1.6 times (95% CI: 1.3¬1.9); followed by IFG 1.5 times (95% CI: 1.1-1.9); emotional disorders 1.4 times (95% CI: 1.2-1.7); LDL 1.3 times (95% CI: 1.0-1.6); diabetes mellitus 1.2 times (95% CI: 0.8-1.6); obesity based on BMI 1.2 times (95% CI: 1.0-1.5. The proportion of CHD in female 1.9 times more than males. Conclusion: stroke, hypertension and hyperglycemia are the determinants of CHD. It is recommended to increase promotion in an effort to reduce consumption of sugar, salt, and other major risk factors to prevent NCDs, especially CHD.

Key words: Coronary Heart Disease, risk factor, Bogor Abstrak

Latar Belakang: Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit dengan prevalensi tertinggi di antara Penyakit Tidak Menular (PTM) pada populasi. Faktor yang berhubungan dengan PJK seharusnya dapat dikontrol sehingga terjadinya PJK dapat dicegah. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi faktor penentu yang berhubungan dengan PJK pada penduduk di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, padatahun 2011-2012. Metode: Data penelitian merupakan data dasar studi kohor PTM 2011-2012, dengan jumlah sampel 4786 responden. Analisis multivariat dilakukan untuk mendapatkan faktor yang berhubungan dengan PJK. Hasil: Proporsi PJK adalah 20,9 ± 0,41% pada umur 25-65 tahun. Faktorrisiko yang berhubungan dengan PJK adalah: stroke 3,5 kali (95% CI: 2,0-5,9); hipertensi 1,6 kali (95% CI: 1,3-1,9); diikuti kadar gula puasa>100mg% 1,5 kali (95% CI: 1,1-1,9); gangguan mental emosional 1,4 kali (95% CI: 1,2¬1,7); LDL 1,3 kali (95% CI: 1,0-1,6); diabetes melitus 1,2 kali (95% CI: 0,8-1,6); obesitas berdasarkan IMT 1,2 kali (95% CI: 1,0-1,5). Proporsi PJK pada perempuan 1,9 kali lebih banyak dari laki-laki dan meningkat dengan bertambahnya umur. Kesimpulan: stroke, hipertensi, dan hiperglikemia merupakan faktor determinan terjadinya PJK. Saran: meningkatkan promosi dalam upaya mengurangi asupan gula, garam, kalori, dan faktor risiko utama untuk mencegah terjadinya penyakit tidak menular khususnya PJK.

Kata kunci: penyakit jantung koroner, faktorrisiko, Kota Bogor

http://dx.doi.org/10.22435/bpk.v46i1.7326.23-34

Page 34: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 23 - 34

24

PENDAHULUAN

Penyakit jantung koroner (PJK) merupa-kan penyakit penyebab kematian utama dan kecacatan di negara maju maupun berkembang.1 Meskipun angka kematian telah berangsur-angsur menurun selama beberapa dekade terakhir di negara barat, namun hal ini masih menyebabkan sekitar sepertiga dari semua kematian pada orang yang berusia lebih dari 35 tahun.2 Dalam setengah abad terakhir, profil kesehatan di negara industri telah berubah secara dramatis dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular (PTM) yang dikenal sebagai transisi epidemiologi.3 Adanya globalisasi yang cepat, urbanisasi, bertambahnya usia harapan hidup masyarakat, dan peningkatan penyakit kronis merupakan tantangan baru bagi sistem perawatan kesehatan modern.4 Penyakit jantung koroner seharusnya dapat dicegah, namun meningkatnya gaya hidup berisiko seperti kurangnya aktifitas fisik, penggunaan nikotin dan pola makan dengan gizi buruk5 menyebabkan peningkatan prevalensi PTM di sebagian besar negara.6 Ketidaksetaraan sosial dan gaya hidup negatif antara lain kurangnya aktivitas fisik di kalangan obese, dapat meningkatkan angka kematian penyakit jantung koroner.7 Transisi epidemiologi menunjukkan perubahan Disability Adjusted Life Years (DALYs), secara global terjadi pada kedua jenis kelamin dan semua umur. Disability Adjusted Life Years merupakan tahun yang hilang dalam kehidupan "sehat" yang disebabkan oleh penyakit atau kecacatan. Pada tahun 1990 sebagai penyebab utama DALYs adalah infeksi saluran napas bagian bawah, sedangkan penyakit jantung koroner menduduki peringkat keempat. Keadaan ini berubah pada tahun 2005 dan tahun 2015, dimana penyakit jantung koroner menjadi peringkat nomor pertama sebagai penyebab DALYs.8 Penelitian determinan faktor penyakit jantung koroner secara nasional telah dilakukan pada hasil Riset Kesehatan Dasar (RKD) 20079

dan hasil RKD tahun 2013 pada kelompok umur 15 tahun atau lebih.10

Pada tahun 2014 dilaporkan juga bahwa PJK merupakan salah satu penyebab kematian pada laki-laki maupun perempuan, dimulai pada kelompok umur 25-29 tahun dan meningkat terus sejalan dengan bertambahnya umur. Prevalensi PJK sebagai penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur 60-64 tahun dan pada kelompok umur 70-74 tahun.11

Menurut Riskesdas 2013, prevalensi PJK berdasarkan wawancara yang pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan atau mempunyai gejala subyektif PJK di Indonesia sebesar 1,6%. Sementara di Kota Bogor, prevalensi PJK didapatkan sebesar 2,2 %.12 Hasil penelitian di Kota Bogor menunjukkan pada perempuan dengan lingkar perut > 80 cm dengan risiko relatif 1,5 kali (95% CI: 1,147–2,221) terkena PJK dibandingkan perempuan dengan lingkar perut ≤ 80 cm.13 Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan analisis lanjut dengan tujuan untuk mendapatkan faktor penentu terjadinya PJK di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor secara menyeluruh pada laki-laki maupun perempuan, kelompok umur 25-65 tahun, yaitu kelompok umur yang lebih tua dibandingkan dengan data yang dikumpulkan dalam RKD secara nasional. Selain itu data yang diteliti merupakan data awal studi kohor faktor risiko penyakit tidak menular. Hasil yang diperoleh dari analisis data dasar kohor ini dapat menjadi rujukan pada insidens PJK dan dapat dibandingkan dengan faktor risiko pada kejadian PJK dalam penelitian kohor ke depan.

Bahan dan Cara Penelitian ini merupakan analisis lanjut dengan menggunakan data dasar dari studi kohor “Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular” tahun 2011-2012. Disain penelitian secara potong lintang. Populasi penelitian ini adalah semua responden dalam studi kohor faktor risiko penyakit tidak menular. Responden terdiri dari laki-laki atau perempuan, berumur 25-65 tahun dan untuk responden perempuan tidak sedang hamil.

Page 35: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Faktor Determinan Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok ... ( Julianty Pradono, dan Asri Werdhasari )

25

Jumlah sampel sebanyak 5297 responden, yang memiliki data wawancara dan pemeriksaan darah secara lengkap 4786 responden (90,4%).14 Penelitian dilakukan di lima kelurahan Kecamatan Bogor Tengah (Kelurahan Kebon Kelapa, Babakan Pasar, Babakan, Ciwaringin, dan Panaragan) Kota Bogor. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik responden, wawancara pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan menderita PJK, atau belum pernah didiagnosis oleh dokter tetapi mengalami gejala PJK, hasil pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) menunjukkan PJK, perilaku dan faktor risiko.15 Perilaku berisiko secara umum meliputi merokok, minum alkohol, aktivitas fisik, konsumsi buah dan sayur, dan gangguan mental emosional. Faktor risiko yang dikumpulkan meliputi tekanan darah, obesitas berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), lingkar perut, kadar gula darah puasa, dan kadar lemak darah meliputi total kolesterol, high density lipoprotein (HDL), low density lipoprotein (LDL), dan trigliserida.15

Batasan operasional

Penyakit jantung koroner dalam analisis ini adalah apabila hasil wawancara pernah didiagnosis menderita penyakit jantung koroner oleh tenaga kesehatan, didukung dengan hasil pemeriksaan EKG dengan adanya kelainan jantung, pernah makan obat jantung yang diberikan oleh dokter yang diminum atau diletakkan di bawah lidah pada saat rasa nyeri di dada. Penyakit jantung koroner didiagnosis berdasarkan alat perekam EKG Minnesota yang dilengkapi dengan alat diagnosis. Gambaran EKG pada PJK ditegakkan berdasarkan kode Minnesota MC-1, MC-4, MC-5, MC-9.2 yang menunjukkan gelombang Q diagnostik dengan atau tanpa abnormalitas segmen ST-T.16 Semua hasil pemeriksaan EKG dikonfirmasi oleh dokter spesialis jantung setempat. Untuk hasil EKG dengan kelainan jantung, hasil pemeriksaan dikonfirmasi ulang oleh dua orang konsultan jantung dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (RSJHK), demikian juga hasil pemeriksaan EKG

tanpa kelainan, dilakukan konfirmasi ulang secara random.14

Sasaran EKG adalah responden umur 40-65 tahun, laki-laki atau perempuan, kecuali responden umur kurang dari 40 tahun tetapi dalam wawancara terindikasi mempunyai gejala klinis serangan jantung iskemik dan pernah didiagnosis dokter/ dirawat menderita penyakit jantung koroner atau iskemik.15 Batasan tekanan darah tinggi apabila tekanan sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg,17 obesitas dengan indeks massa tubuh ≥ 23 Kg/m2, lingkar perut berisiko pada laki-laki > 90 cm atau perempuan >80 cm, kadar gula darah puasa berisiko apabila ≥ 100 mg%.18 Kadar lemak darah berdasarkan NCEP-ATP III 19 bahwa total kolesterol berisiko apabila ≥ 200 mg%; HDL berisiko pada laki-laki < 40 mg% dan perempuan < 50 mg%; LDL berisiko apabila ≥ 100 mg%, dan trigliserida berisiko adalah ≥150 mg%. Penderita stroke dalam penelitian ini tidak dibedakan penyebabnya karena perdarahan atau adanya sumbatan. Analisis data dilakukan secara multivariat dengan menggunakan analisis regresi logistik. Variabel dengan nilai kemaknaan < 0,25 dipilih sebagai kandidat model. Batasan kemaknaan dalam analisis dengan nilai p < 0,05 dan confidence interval 95%. Analisis dengan menggunakan program SPSS 16 ®dengan nomor serial 5061284.

Hasil

Proporsi kelainan PJK pada penduduk kelompok umur 25-65 tahun di 5 kelurahan Kecamatan Bogor Tengah 20,9 ± 0,41%, meliputi 1002 dari 4786 responden.

Hubungan karakteristik penduduk dengan kejadian PJK. Jika memperhatikan karakteristik responden dengan kejadian PJK, lima dari enam variabel mempunyai hubungan bermakna. Kelima variabel tersebut adalah kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan status kawin.

Page 36: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 23 - 34

26

KarakteristikPJK

pYa Tidak

Kelompok umur 25-34 tahun 5,5 94,5 0,0001 35-44 tahun 12,9 87,1 45-54 tahun 29,7 70,3 55-65 tahun 36,6 63,4Jenis kelamin Laki-laki 13,9 86,1 0,0001 Perempuan 24,7 75,3Pendidikan <SLTP 26,9 73,1 0,0001 SLTP+ 17,4 82,6Pekerjaan Tidak kerja 26.9 73.1 0,003 Kerja 17,4 82,6Status kawin Belum kawin 8,6 91.4 0,0001 Kawin 20,6 79,4 Cerai 32,6 67,4Kuintil Miskin 21,1 78,9 0,804 Kaya 20,8 79,2

Tabel 1. Persentase Pekerja Menurut Karakteristik Individu dan Sosiodemografi, Riskesdas 2013

Semakin besar kelompok umur semakin besar risiko terjadinya PJK. Perempuan berisiko lebih besar dibandingkan laki-laki. Pada responden dengan pendidikan SD atau kurang, tidak bekerja, perkawinan dengan status cerai, lebih berisiko terkena PJK dibandingkan dengan penduduk dengan pendidikan SLTP atau lebih, bekerja, dan status kawin atau belum kawin. Tidak tampak adanya hubungan antara kejadian PJK dengan status ekonomi responden (Tabel 1). Hubungan faktor risiko penduduk dengan kejadian PJK Dua dari tiga belas faktor risiko tidak mempunyai hubungan terhadap kejadian PJK. Faktor risiko yang berhubungan bermakna dengan kejadian PJK adalah merokok, minum alkohol dalam satu bulan terakhir, kadar gula darah puasa, profil lipid (total kolesterol, trigliserida, dan LDL), indeks massa tubuh ≥ 23Kg/m2, dan lingkar perut berisiko. Responden dengan hipertensi, stroke, dan gangguan mental emosional juga berhubungan dengan terjadinya PJK (Tabel 2).

Faktor penentu terjadinya PJK di lima kelurahan Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Analisis multivariat menunjukkan model

akhir dengan klasifikasi benar sebesar 79,6%. Hal ini menunjukkan masih 20,4% variabel yang mempunyai hubungan dengan kejadian PJK tidak ada dalam analisis. Variabel yang mempunyai hubungan terhadap kejadian PJK adalah paparan rokok, hiperglikemia, kolesterol LDL, IMT, hipertensi, stroke, dan gangguan mental emosional setelah dikontrol dengan karakteristik, faktor perilaku dan faktor risiko lainnya. Ketujuh variabel tersebut merupakan faktor perilaku dan faktor risiko yang seharusnya dapat diintervensi. Dua variabel yang tidak dapat dilakukan intervensi adalah umur dan jenis kelamin. Responden perempuan 2 kali lebih berisiko dibandingkan laki-laki. Faktor risiko yang dapat dilakukan intervensi paling besar mempunyai hubungan terhadap kejadian PJK adalah stroke, berisiko 3,5 kali atas kejadian PJK, dibandingkan dengan responden yang tidak terkena stroke. Penderita hipertensi berisiko 1,6 kali dibandingkan dengan tidak hipertensi. Responden dengan kadar gula darah puasa 100-125 mg% berisiko 1,5 kali atas kejadian PJK dibandingkan dengan kadar gula darah puasa < 100mg%. Sedangkan responden dengan IMT ≥ 23Kg/m2, berisiko 1,2 kali dan kolesterol LDL berisiko1,3 kali atas kejadian PJK (Tabel 3).

Page 37: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Faktor Determinan Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok ... ( Julianty Pradono, dan Asri Werdhasari )

27

Tabel 2. Hubungan Faktor Risiko Perilaku dengan PJK di Lima kelurahan, Kecamatan Bogor Tengah

Faktor risiko perilakuPJK

pYa Tidak

Aktivitas fisik

Cukup 19,9 80,1 0,065

Kurang 22,1 77,9

Merokok

Bukan perokok 25,4 74,6 0,0001

Mantan dan perokok 16,8 83,2

Mengonsumsi alkohol 1 bulan terakhir

Tidak 21,2 78,8 0,010

Ya 11,9 88,1

IMT

<23 Kg/m2 12,6 87,4 0,0001

≥23 Kg/m2 24,3 75,7

Lingkar perut

Tidak berisiko 16,6 83,4 0,0001

berisiko 26,9 73,1

Gula darah puasa

<100 mg% 19,2 80,8 0,0001

100-125 mg% 35,4 64,6

≥126 mg% 31,1 68,9

Total kolesterol

Tidak berisiko 16,4 83,6 0,0001

Berisiko 25,2 74,8

HDL

Tidak berisiko 21,4 78,6 0,364

Berisiko 20,3 79,7

LDL

Tidak berisiko 18,1 81,9 0,032

Berisiko 21,5 78,5

Trigliserida

Tidak berisiko 19,6 80,4 0,0001

Berisiko 26,5 73,5

Hipertensi

Tidak 15,4 84,6 0,0001

Ya 33,7 66,3

Stroke

Tidak 20,4 79,6 0,0001

Ya 59,4 40,6

Gangguan mental emosional

Tidak 19,6 80,4 0,0001

Ya 24,5 75,5

Page 38: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 23 - 34

28

Pembahasan Proporsi PJK di lima kelurahan Kecamatan Bogor Tengah sebesar 20,9 ± 0,41%. Hasil Riskesdas 2013 di Jawa Barat memperoleh proporsi PJK yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan sebesar 0,5% dan berdasarkan gejala sebesar 1,4%.11 Perbedaan ini disebabkan karena metode sampling pengumpulan data dan kriteria diagnosis PJK yang berbeda. Pada penelitian ini, kriteria diagnosis PJK berdasarkan wawancara, apakah responden pernah didiagnosis menderita PJK oleh dokter atau responden dengan gejala PJK yang dialami atau sedang minum obat jantung, serta dilengkapi dengan pemeriksaan EKG.11 Selain itu, perbedaan kelompok umur juga

Faktor penentu terjadinya PJK di lima kelurahan Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Analisis multivariat menunjukkan model akhir dengan klasifikasi benar sebesar 79,6%. Hal ini menunjukkan masih 20,4% variabel yang mempunyai hubungan dengan kejadian PJK tidak ada dalam analisis. Variabel yang mempunyai hubungan terhadap kejadian PJK adalah paparan rokok, hiperglikemia, kolesterol LDL, IMT, hipertensi, stroke, dan gangguan mental emosional setelah dikontrol dengan karakteristik, faktor perilaku dan faktor risiko lainnya. Ketujuh variabel tersebut merupakan faktor perilaku dan faktor risiko yang seharusnya dapat diintervensi. Dua variabel yang tidak dapat dilakukan intervensi adalah umur dan jenis kelamin. Responden perempuan 2 kali lebih berisiko dibandingkan laki-laki. Faktor risiko yang dapat dilakukan intervensi paling besar mempunyai hubungan terhadap kejadian PJK adalah stroke, berisiko 3,5 kali atas kejadian PJK, dibandingkan dengan responden yang tidak terkena stroke. Penderita hipertensi berisiko 1,6 kali dibandingkan dengan

95 C.I.for EXP(B)P model Klasifikasi benar

B Sig. Exp(B) Lower UpperKelompok umur 0,0001 0,0001 79,6 25-34 tahun 0,0001 35-44 tahun 0,926 0,0001 2,523 1,802 3,534 45-54 tahun 1,918 0,0001 6,806 4,925 9,405 55-65 tahun 2,181 0,0001 8,852 6,315 12,409Jenis kelamin 0,651 0,0001 1,917 1,534 2,396Paparan rokok -0,269 0,005 0,764 0,632 0,924Gula puasa puasa <100 mg% 0,015 100-125 mg% 0,385 0,005 1,469 1,126 1,916 ≥126 mg% 0,150 0,362 1,162 ,841 1,605Kolesterol_LDL 0,247 0,028 1,280 1,027 1,596IMT 0,208 0,020 1,232 1,033 1,469Hipertensi 0,461 0,000 1,585 1,341 1,874Stroke 1,246 0,000 3,475 2,014 5,996Gangguan mental emosional

0,353 0,000 1,424 1,202 1,686

Constant -3,649 0,000 0,026

Tabel 3. Analisis Multivariat (Model Akhir) PJK Kelompok Umur 25-65 Tahun di Lima Kelurahan Kecamatan Bogor Tengah

tidak hipertensi. Responden dengan kadar gula darah puasa 100-125 mg% berisiko 1,5 kali atas kejadian PJK dibandingkan dengan kadar gula darah puasa < 100mg%. Sedangkan responden dengan IMT ≥ 23Kg/m2, berisiko 1,2 kali dan kolesterol LDL berisiko1,3 kali atas kejadian PJK (Tabel 3).

Page 39: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Faktor Determinan Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok ... ( Julianty Pradono, dan Asri Werdhasari )

29

terlihat pada Riskesdas dan studi kohor. Riskesdas mengumpulkan responden pada kelompok umur 15 tahun atau lebih, sedangkan dalam studi kohor, dikumpulkan pada kelompok umur 25 tahun atau lebih. Semakin meningkat umur, ada kecenderungan risiko mendapatkan PJK lebih besar. Di Kecamatan Bogor Tengah, responden perempuan lebih berisiko atas kejadian PJK dibandingkan laki-laki, dan pada kelompok umur 55 tahun ke atas. Oemiati dalam penelitiannya mendapatkan faktor determinan PJK pada perempuan adalah menopause, perempuan menopause berisiko 1,5 kali (95% CI: 1,215–2,081) dibandingkan perempuan belum menopause.13 Hasil ini sesuai dengan prevalensi penyakit jantung secara umum dalam Riskesdas 2007,9 maupun prevalensi PJK di Indonesia dalam Riskesdas 2013.10 Hasil yang berbeda ditemukan pada studi Penno20 di Italia yang menunjukkan risiko PJK lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Hal ini kemungkinan karena adanya perbedaan suku, perilaku dan budaya antara Eropa dan Indonesia. Proporsi PJK terbanyak pada kelompok umur 55-65 tahun, ada kecenderungan lebih tinggi dengan semakin meningkatnya kelompok umur. Hal ini sesuai dengan temuan Pradono yang menyatakan bahwa prevalensi PTM (PJK salah satunya) meningkat dengan bertambahnya umur terutama golongan 55–64 tahun.21 Dengan umur harapan hidup di Indonesia yang lebih lama, pada laki-laki 69,8 tahun dan perempuan 73,6 tahun,8 maka ada kecenderungan prevalensi PJK akan lebih meningkat di masa mendatang. Berdasarkan pendidikan, proporsi PJK lebih tinggi pada responden dengan pendidikan rendah. Hal ini sesuai dengan skor Framingham untuk risiko PJK, pada kelompok pendidikan tinggi secara bermakna lebih rendah (4,7±5,1) dibandingkan kelompok pendidikan menengah ke bawah (6,1±5,3). Demikian juga hasil metaanalisis mendapatkan, bahwa rendahnya pendidikan merupakan faktor risiko kausal dalam perkembangan penyakit jantung koroner dan peningkatan pendidikan dapat menghasilkan manfaat kesehatan yang substansial.22 Pendidikan biasanya dikaitkan dengan pemahaman tentang pesan kesehatan,

perencanaan kesehatan di masa yang akan datang, dan mengontrol perilaku dalam menjaga kesehatan.23 Dilihat dari status perkawinan cerai hidup/ mati mempunyai proporsi lebih tinggi daripada yang menikah. Proporsi paling rendah pada responden yang belum menikah. Hal ini sesuai dengan temuan Riskesdas 2013 bahwa responden dengan status cerai mempunyai prevalensi PTM lebih tinggi dibandingkan dengan yang belum kawin atau status kawin.11 Menurut pekerjaan, insiden PJK tertinggi pada responden tidak bekerja dibandingkan yang bekerja, tetapi tidak tampak perbedaan bermakna menurut status ekonomi. Keadaan ini diperkirakan karena responden dengan pendidikan lebih tinggi, status sosial yang lebih baik akan memberikan peluang untuk dapat memilih gaya hidup sehat dibandingkan responden dengan pendidikan rendah, status cerai, dan tidak bekerja Merokok diketahui merupakan faktor risiko penting PJK. Diketahui bahwa sekitar 22% kematian PJK pada laki-laki dan 4% kematian pada perempuan yang tinggal di Eropa berkaitan dengan merokok. Penelitian di Inggris juga menunjukkan, bahwa merokok dapat menyebabkan angina pectoris, infark miokard dan kematian akibat PJK.24 Sedangkan dalam analisis didapatkan bahwa responden tidak merokok dengan kejadian PJK lebih tinggi dibandingkan mantan perokok dan perokok aktif. Hal ini disebabkan karena data yang dianalisis merupakan data dasar yang dikumpulkan secara potong lintang, sehingga belum dapat menjawab hubungan sebab akibat. Hal ini merupakan keterbatasan dalam analisis ini.Faktor risiko lain atas kejadian PJK adalah konsumsi alkohol dalam satu bulan terakhir dan aktivitas fisik. Marmot melaporkan studi longitudinal yang dilakukan pada orang Jepang yang tinggal di Amerika, orang laki dan perempuan Amerika, Yugoslavia dan Australia menunjukkan bahwa mengonsumsi alkohol dalam taraf sedang dapat menurunkan risiko terkena PJK dibandingkan yang tidak mengonsumsi alkohol. Demikian juga studi bahan makanan Mediterania termasuk konsumsi anggur, memberikan penurunan penyakit jantung 30%.25

Proporsi PJK pada responden dengan aktivitas fisik cukup, lebih rendah atas kejadian PJK

Page 40: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 23 - 34

30

dibandingkan dengan aktivitas fisik kurang. Hasil penelitian Tanasescu dalam laporan Varghese menunjukkan bahwa laki-laki yang melakukan olahraga lari lebih dari 1 jam per minggu dapat menurunkan risiko PJK sebesar 42% (RR=0,58; 95% CI:0,44-0,77) dibandingkan laki-laki yang tidak lari. Laki-laki yang olahraga dengan beban selama 30 menit atau lebih per minggu dapat menurunkan risiko PJK 23%(RR=0,77; 95% CI: 0,61-0,98) dibandingkan yang tidak melakukannya.26 Hal ini menggambarkan manfaat aktivitas fisik pada pencegahan penyakit kardiovaskular primer dan sekunder. Ketidak aktifan fisik terkait dengan kolesterol darah tinggi dan akumulasi lemak viseral, disertai peradangan vaskular tingkat rendah, yang pada gilirannya terkait dengan resistensi insulin dan aterosklerosis yang menyebabkan perkembangan penyakit arteri koroner. Sebaliknya, aktivitas fisik mengurangi peradangan pembuluh darah, dan memperbaiki fungsi endotel dan sirkulasi koroner, mencegah iskemia miokard. 27

Dari segi faktor risiko terlihat bahwa semakin gemuk responden, baik berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) atau lingkar perut (obesitas sentral), maka proporsi PJK juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan studi Framingham bahwa kegemukan merupakan faktor risiko penting bagi PJK.28 Hal yang serupa juga dilaporkan oleh pusat jantung di Kota Salt Lake dan rumah sakit John Hopkins di Baltimore yang menyatakan potongan badan yang berbentuk apel berhubungan dengan sindroma metabolik, penyakit jantung koroner dan gagal jantung. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ukuran lingkar perut merupakan prediktor kuat atas kegagalan fungsi ventrikuler. Hal ini sudah terlihat pada perkembangan sindroma metabolik yang merupakan salah satu faktor kuat terjadinya PTM, selalu beriringan dengan penimbulan lemak terutama di sekitar perut.29 Xuhong Hou, dkk dalam penelitiannya mendapatkan kombinasi ukuran lingkar perut dan indeks massa tubuh (IMT) secara bersamaam, lebih unggul daripada penilaian hanya ukuran lingkar perut dan IMT secara terpisah dalam mengidentifikasi penyakit kardiovaskuler.30

Gangguan mental emosional menunjukkan

hasil bermakna antara proporsi PJK dan stres. Bahkan pada hasil pemodelan uji regresi logistik, vaiabel ini masih bertahan sampai model yang akhir. Salah satu faktor pelindung utama PJK adalah dukungan sosial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial lebih penting daripada variabel lainnya.31

Proporsi PJK pada kelompok DM lebih tinggi daripada yang tidak DM. Demikian juga dengan kadar total kolesterol, LDL, dan trigliserida tinggi, menunjukkan kejadian PJK lebih tinggi daripada yang tidak berisiko. Hal ini sejalan dengan Framingham studi, dimana kolesterol serum, LDL, dan diabetes melitus merupakan faktor risiko PJK. Organisasi kesehatan dunia melaporkan bahwa kadar kolesterol yang tinggi dalam darah menyumbang 56% dari kasus penyakit jantung koroner di seluruh dunia dan menyebabkan sekitar 4,4 juta kematian setiap tahunnya.32 Hasil beberapa penelitian mendapatkan bahwa plak pada arteri dan bayangan arteri (atherosklerosis, arteriosklerosis) merupakan bagian yang normal dari proses penuaan dan terjadi secara universal pada semua orang yang menua. Hipertensi dan hiperkolesterolemia juga terlihat sebagai konsekuensi normal dari penuaan.33 Responden dengan stroke dan responden dengan gangguan mental emosional lebih berisiko terkena PJK dibandingkan yang tidak stroke atau tidak ada gangguan mental emosional. Hasil pemodelan analisis multivariat regresi logistik kejadian PJK di lima kelurahan Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor, berhubungan kuat dengan stroke, hipertensi dan hiperglikemia, diikuti gangguan mental emosional, kadar LDL berisiko, obesitas, dan paparan rokok. Secara umum model ini serupa dengan hasil penelitian Gillespie, dkk., faktor risiko penyakit jantung pembuluh darah meliputi kurang aktivitas fisik, diet yang tidak sehat dan dislipidemia terutama kadar LDL tinggi.34 Beberapa faktor risiko saling berhubungan erat satu sama lain yang akan berdampak pada PTM. Penduduk dengan hipertensi mempunyai risiko 1,6 kali atas kejadian PJK dibandingkan penduduk tidak hipertensi. Di Indonesia Ghani melaporkan, penduduk umur 15 tahun atau lebih dengan hipertensi OR 10,09 kali berisiko terjadi

Page 41: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Faktor Determinan Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok ... ( Julianty Pradono, dan Asri Werdhasari )

31

PJK dibanding yang tidak hipertensi. 10 Kannel dalam studinya menemukan risiko hipertensi pada kelompok berat badan yang relatif lebih tinggi sebesar 3,2 kali dibandingkan kelompok berat badan normal.37 Demikian juga dengan studi MONICA III, menunjukkan 36 Wilsgard dalam penelitiannya menemukan kenaikan berat badan lebih dari 10 kg, mempunyai risiko 2,2 lebih besar untuk terjadinya hipertensi.35 Responden dengan kelebihan berat badan sebesar 5 kg, 60% lebih besar mendapatkan risiko relatif terjadinya hipertensi.38 Hal ini sejalan dengan temuan studi Framingham, bahwa setiap kenaikan berat badan sebesar 10 kg akan meningkatkan tekanan darah sebesar 4,5 mm Hg. Faktor risiko terbanyak disebabkan karena kenaikan tekanan darah, diikuti dengan dislipidemia, terutama berhubungan dengan obesitas sentral.35 Hipertensi sendiri merupakan penyebab dari 63 persen kematian kardiovaskuler dan 15 persen kematian karena stroke. Meningkatnya kadar gula darah merupakan mediator langsung atau merupakan penanda keparahan dari Sindroma Koroner akut.39 Delima melaporkan, di Indonesia diabetes mellitus merupakan faktor utama berhubungan dengan PJK pada kelompok umur 15 tahun atau lebih dengan OR 4,06 kali,9 Demikian juga yang dilaporkan Ghani pada tahun 2013 dengan OR 8,43 kali dibandingkan yang tidak diabetes mellitus pada kelompok umur yang sama.10 Sedangkan dalam penelitian ini hiperglikemia (gula darah puasa >100 mg%) dengan OR 1,5 kali dibandingkan responden dengan kadar gula darah puasa < 100 mg%. Hal ini merupakan deteksi yang lebih awal sebelum terjadinya diabetes mellitus. Pada penelitian ini, hubungan gangguan mental emosional terhadap PJK didapatkan dengan OR 1,42. Sedangkan Ghani dalam analisis data nasional di Indonesia, melaporkan, gangguan mental emosional pada kelompok umur 15 tahun atau lebih mempunyai hubungan dengan PJK dengan OR 9,58 kali dibandingkan dengan tidak ada gangguan mental emosional.10 Tingkat stres pada seseorang meningkatkan kejadian PJK. Penelitian lain mendapatkan hazard ratio untuk stres kerja yang tinggi adalah OR 2,04 (95% CI: 1,0-4,3) dan untuk stres karena gaji yang tidak

seimbang adalah OR 2,54 (95% CI: 1,1-5,9).40

Sedangkan temuan meningkatnya LDL dalam penelitian ini, diperkirakan karena terjadinya penimbunan plak pada pembuluh darah penduduk lanjut usia yang sehat setelah dikontrol dengan umur, jenis kelamin, ras, merokok, dan sindrom metabolik.41 Tentu ini menjadi beban bagi masyarakat Indonesia, sekaligus menjadi perhatian semua pengambil keputusan kebijakan terkait pengelolaan PJK yang lebih diutamakan pada pencegahan terjadinya stroke, hipertensi dan hiperglikemia, agar kasus baru dapat ditekan serendah mungkin, khususnya di lima kelurahan Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor.

Kesimpulan

Proporsi PJK pada penduduk kelompok umur 25-65 tahun di lima kelurahan, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor adalah 20,9 ± 0,41 persen. Proporsi PJK lebih banyak pada perempuan. Stroke, hipertensi dan hiperglikemia (kadar gula darah puasa ≥ 100 mg%) merupakan faktor determinan terjadinya PJK.

SaranSaran dari hasil penelitian sebagai berikut:

1. Meningkatkan promosi dalam upaya untuk mengurangi asupan gula, garam, kalori, dan faktor risiko utama untuk mencegah terjadinya penyakit tidak menular khususnya PJK.

2. Mengaktifkan peran serta masyarakat dalam Posbindu atau wadah lain yang terintegrasi untuk dapat melakukan upaya preventif dan menjaring atau mendeteksi penderita hipertensi dan hiperglikemia lebih dini.

Ucapan Terima kasih

Penulis menyampaikan rasa syukur dan penghargaan kepada seluruh tim kohort PTM dan ucapan terimakasih kepada Kepala Badan Litbangkes, Kepala Pusat Upaya Kesehatan Masyarakat, beserta jajarannya atas bimbingan selama kegiatan penelitian dan atas dukungan dana untuk terselenggaranya penelitian ini.

Page 42: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 23 - 34

32

Daftar Pustaka

1. Roger VL. Epidemiology of myocardial infarction. Med Clin North Am. 2007;91:537-52; ix. 10.1016/j.mcna.2007.03.007

2. Nichols M, Townsend N, Scarborough P, et al. Cardiovascular disease in Europe 2014: epidemiological update. Eur Heart J. 2014;35:2929. 10.1093/eurheartj/ehu378

3. Bustan M.N. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta; 2007

4. Horton R. Offline: Chronic diseases—the social justice issue of our time. Lancet 2015;386:2378 10.1016/S0140-6736(15)01178-2

5. Danaei G, Ding EL, Mozaffarian D, et al. The preventable causes of death in the United States: comparative risk assessment of dietary, lifestyle, and metabolic risk factors. PLoS Med 2009;6:e1000058. 10.1371/journal.pmed.1000058.

6. World Health Organisation. World Health Report. 2013. [Cited 2016 June 23]. Available from : http://www.who.int/whr/ 2013/ report/en/.

7. Leischik R, Dworrak B, Strauss M, et al. Plasticity of Health. German Journal of Medicine 2016;1:1-17.

8. Global Burden of Disease, DALYs dan HALE collaborators. Global, regional, and national disability-adjusted life-Years (DALYs) for 315 diseases and injuries and healthy life expectancy (HALE), 1990-2015: a systematic analysis for the Global Burden of Disease study 2015. Lancet 2016; 388: 1603-58.

9. Delima, Mihardja L, Siswoyo H. Prevalensi dan faktor determinan penyakit jantung di Indonesia. Buletin Penelit. Kesehat.,2009; 37 (3) : 142-159.

10. Ghani L, Susilawati MD, Novriani N. Faktor Risiko Dominan Penyakit Jantung Koroner di Indonesia. Buletin Penelit. Kesehat 2016; 44 (3) : 153 – 164.

11. Kementerian Kesehatan. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 Bidang Biomedis. Jakarta: Badan Litbangkes, Kemenkes RI; 2014.

12. Kosen S, Tarigan IU, Rosita T, Indriasih E, Usman Y, dkk. Indonesia: Sample registration

System 2014. Jakarta : The National Institute of Health Research and Development; 2015.

13. Oemiati R, Rustika. Faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK) pada perempuan. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2015;18( 1): 47–55.

14. Kementerian Kesehatan. Laporan studi kohor faktor risiko penyakit tidak menular, 2011. Jakarta : Badan Litbangkes; 2011.

15. Kementerian Kesehatan. Pedoman pengumpulan data studi kohor Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular 2011. Jakarta: Badan Litbangkes. Kementerian Kesehatan RI;2011.

16. Prineas RJ, Crow RS, Zhang ZM. The Minnesota code manual of electrocardiographic findings. Second edition. Springer-verlag London Limited 2010. ISBN 978-1-84882-777-6. DOI 10.1007/ 978-1-84882-78-3. [Cited 2011 January 31) Available from: https://www.youtube.com/ watch?v= 2uszjxnLQb4.

17. Page MR. The JNC 8 hypertension guidelines: an in-depth guide. [s.l.] : Evidence-based diabetes management;2014.

18. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care. 2014;37(Suppl. 1):S14-S80. [Cited 2016 Oct 31). Available from:http://indep.nih.gov/media/CVD FactSheet pdf.

19. NCEP-ATP III. Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation , and Treatment of High Blood Colesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). Executive Summary. NIH Publication, 2001;370(1). [Cited 2016 Oct 31 ). Available from: circ.ahajournals. org/content/106/25/3143.

20. 20. Penno G, Solini A, Bonora E, Fondelli Orsi E, et.al. Gender differences in cardiovascular disease risk factors, treatments and complications in patients with type 2 diabetes: the RIACE Italian multicentre study. J Intern Med. 2013 Aug;274(2):176-91. doi: 10.1111/joim.12073. Epub 2013 Apr 22.

21. Pradono J, Hapsari D, Determinan faktor risiko PTM di Indonesia, Majalah Kesehatan perkotaan 2003; 10( 2) :166-176 .

22. Hilary M. Schwandt, Josef Coresh, and Michelle J. Hindin. Marital Status,

Page 43: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Faktor Determinan Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok ... ( Julianty Pradono, dan Asri Werdhasari )

33

Hypertension, Coronary Heart Disease, Diabetes, and Death Among African American Women and Men: Incidence and Prevalence in the Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) Study Participants. J Fam Issues. 2010 Sep; 31(9): 1211–1229. doi: 10.1177/0192513X10365487.

23. Sundström J, Vasan RS.Homocysteine and heart failure: a review of investigations from the Framingham Heart Study. Clin Chem Lab Med. 2005;43(10):987-92.

24. Freund KM, Belanger AJ, D'Agostino RB, Kannel WB. The health risks of smoking. The Framingham Study: 34 years of follow-up. Ann Epidemiol. 1993;3(4):417-24.

25. Marmot MG. Alcohol and coronary heart disease.Int J Epidemiol. 2001; 30 (4): 724-729. DOI:https:// doi.org/10.1093/ije/30.4.724 Published: 01 August 2001.

26. Varghese T, Schultz WM, McCue AA, Lambert CT, Sandesara PB, et.al;.Physical activity in the prevention of coronary heart disease: implications for the clinician. Heart. 2016 Jun ;102(12):904-9. doi: 10.1136/heartjnl-2015-308773. Epub 2016 Mar 3.

27. Alberto J Alves, João L Viana, Suiane L Cavalcante, Nórton L Oliveira, José A Duarte, Jorge Mota, José Oliveira, Fernando Ribeiro. Physical activity in primary and secondary prevention of cardiovascular disease: Overview updated. World J Cardiol. 2016 Oct 26; 8(10): 575–583. Published online 2016 Oct 26. doi: 10.4330/wjc.v8.i10.575. PMCID: PMC5088363

28. Schmieder RE, Messerli FH. Does obesity influence early target organ damage in hypertensive patients? Circulation 1993; 87:1482.

29. Lofgren I, Herron K, Zern T, West K, Patalay M, Shachter NS, Koo SI, Fernandez ML.Waist circumference is a better predictor than body mass index of coronary heart disease risk in overweight premenopausal women. J Nutr. 2004;134(5):1071-6.

30. Hou XH, Lu JM, Weng JP, Ji L, Shan ZY, Liu J, Tan HM, et.al. Impact of waist circumference and body mass index on risk of cardiometabolic disorder and cardiovascular

disease in chinese adults: a national diabetes and metabolic disorders surveyPLoS One. 2013; 8(3): e57319. Published online 2013 Mar 8. doi: 10.1371/journal.pone.0057319

31. Zohreh, Khayyam-Nekouei, Hamidtaher, Neshatdoost, Yousefy A, Sadeghi , Manshaee G. Psychological factors and coronary heart disease. ARYA Atheroscler. 2013 Jan; 9(1): 102–111.

32. O'Donnell CJ, Elosua R. Cardiovascular risk factors. Insights from Framingham Heart Study. Rev Esp Cardiol. 2008; 61(3):299-310.

33. Sesso HD, Stampfer MJ, Rosner B, Hennekens CH, Manson JE, Gaziano JM (2000). "Seven-Year Changes in Alcohol Consumption and Subsequent Risk of Cardiovascular Disease in Men". Arch Intern Med. 160 (17): 2605–12. doi:10.1001/archinte.160.17.2605. PMID 10999974. http://archinte.ama-assn.org/cgi/content/full/160/17/2605

34. Gillespie CD, , Wigington C, , Hong Y . Coronary Heart Disease and Stroke Deaths. National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, CDC. 2013; 62(03):157-160.

35. Cardiovascular disease. The Framingham study. JAMA. 1979;241:2035–8.

36. Liu L, et.all., Obesity, emerging risk in China: trend of increasing prevalence of obesity and its association with hypertension and hypercholesterolaemia among the Chinese. Clin Exp Pharmacol Physiol. 2004;31 Suppl 2:S8-10.

37. l'Allemand-Jander, D. Clinical diagnosis of metabolic and cardiovascular risks in overweight children: early development of chronic diseases in the obese child. Int J Obes (Lond). 2010; 34 Suppl 2:S32-6. doi: 10.1038/ijo.2010.237.

38. Lloyd-Jones DM, O'Donnell CJ, D'Agostino RB, Massaro J, Silbershatz H, Wilson PW. Applicability of cholesterol-lowering primary prevention trials to a general population: the Framingham Heart Study. Arch Intern Med. 2001 Apr 9;161(7):949-54.

39. Deedwania P, et.all., Hyperglycemia and Acute Coronary Syndrome. A Scientific Statement From the American Heart

Page 44: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 23 - 34

34

Association Diabetes Committee of the Council on Nutrition, Physical Activity, and Metabolism. 2008

40. Holvoet P. Oxidized LDL and coronary heart

disease. Acta Cardiol. 2004; 59 (5):479-84.41. Hanafiah, Asikin. The treatment of dyslipidemia

(Pengobatan dislipidemia). Jurnal Kardiologi Indonesia. 1996; 21(1)1996:35-38

Page 45: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kondisi Masyarakat pada Masa Surveilans Pasca-Transmission Assesment Survey (TAS)-2 ... ( Nungki Hapsari Suryaningtyas, at al )

35

Kondisi Masyarakat pada Masa Surveilans Pasca-Transmission Assesment Survey (TAS)-2 Menuju Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung

THE CONDITION OF THE COMMUNITY AT PERIOD OF POST-TRANSMISSION ASSESMENT SURVEY (TAS)-2 SURVEILLANCE TOWARDS ELIMINATION

OF FILARIASIS IN BANGKA BARAT REGENCY, BANGKA BELITUNG

Nungki Hapsari Suryaningtyas1, Maya Arisanti1, Ade Verientic Satriani1,Nur Inzana1, Santoso1, Suhardi2

1. Loka Penelitian dan Pengembangan P2B2 Baturaja, Jalan Jenderal Ahmad Yani Km.7Kemelak Baturaja, Sumatera Selatan, Indonesia

2. Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan, Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan,Jalan Percetakan Negara No. 49 Jakarta, Indonesia

E - mail : [email protected]

Submitted : 22-08-2017, Revised : 05-10-2017, Revised : 23-10-2017, Accepted : 31-01-2018

AbstractFilariasis elimination program in West Bangka Regency had been in the fourth year to stop MDA filariasis surveillance period. This study aims to describe the condition of the community covering microfilariaemia rate, knowledge, attitudes, behavior, and environment of filariasis Data was collected through interviews and examination of venous blood filtration to 150 people in four selected villages. Result showed that three respondents were positive Brugia malayi microfilariae with density of microfilariae was 116, 245 and 112 respectively. Respondents’ knowledge about the symptoms, modes of transmission, consequences and ways of preventing filariasis was still very low.. Most respondents had received preventive treatment of filariasis, but only 2% had taken medicine to prevent filariasis for five times. Behavior of respondents to safeguard themself against mosquito bites using mosquito nets (73.3%) and mosquito repellent (65.3%). Most respondents had the habit of going out at night (78.7%). Found swamp (23.3%) and reservoir host (cats) by 40.7% of respondents around the house. The presence of positive microfilariae indicates that the presence of transmission of filariasis. The presence of swamps shows the availability of the potential breeding places of the vector. Cats around the home can be a source of transmission of filariasis.

Keywords: microfilariaemia rate, KAP, environment, West Bangka AbstrakProgram eliminasi filariasis di Kabupaten Bangka Barat telah memasuki tahun ke empat tahap surveilans periode stop POPM filariasis. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kondisi masyarakat yang meliputi: microfilariaemia rate, pengetahuan, sikap, perilaku dan lingkungan masyarakat tentang filariasis. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan pemeriksaan darah vena dengan metode filtrasi terhadap 150 orang yang berada di empat desa Hasil menunjukkan bahwa ditemukan tiga responden positif mikrofilaria (mf) dengan spesies Brugia malayi dan kepadatan pada masing-masing penderita sebesar 116, 245 dan 112. Pengetahuan responden mengenai gejala, cara penularan, akibat yang ditimbulkan dan cara pencegahan filariasis masih rendah. Sebagian besar responden pernah mendapatkan pengobatan pencegahan filariasis, akan tetapi hanya 2% yang pernah minum obat sebanyak lima kali. Perilaku responden terhadap upaya perlindungan diri terhadap gigitan nyamuk dilakukan dengan menggunakan kelambu (73,3%) dan anti nyamuk (65,3%). Sebagian besar responden mempunyai kebiasaan keluar rumah pada malam hari (78,7%). Ditemukan rawa (23,3%) dan hewan reservoir (kucing) sebesar 40,7% di sekitar rumah responden. Masih ditemukannya penderita positif microfilaria mengindikasikan adanya penularan filariasis. Adanya rawa menunjukkan tersedianya tempat perindukan vector filariasis yang potensial. Kucing sebagai reservoir yang ditemukan di sekitar rumah dapat menjadi sumber penularan filariasis.

Kata kunci: microfilariaemia rate, pengetahuan, sikap, perilaku, lingkungan, Bangka Barat

http://dx.doi.org/10.22435/bpk.v46i1.7454.35-44

Page 46: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 35 - 44

36

PENDAHULUAN

Program eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional dengan agenda utama melaksanakan kegiatan pemberian obat pencegahan secara masal (POPM) filariasis pada penduduk di semua kabupaten/kota endemis filariasis. Data tahun 2017 menunjukkan terdapat 236 kabupaten/kota endemis filariasis dari 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.1 Kabupaten Bangka Barat merupakan salah satu kabupaten yang telah melaksanakan program eliminasi filariasis dan telah memasuki tahap surveilans periode stop POPM filariasis. Berdasarkan hasil survei kajian penularan/Transmission Assesment Survey (TAS) pertama pada tahun 2012 tidak ditemukan penduduk yang terdeteksi antibodi Brugia. Dilanjutkan dengan TAS kedua pada tahun 2014 didapatkan hasil 9 orang terdeteksi positif antibodi Brugia dalam darah. Sembilan orang tersebut tersebar di empat desa yaitu Desa Tuik lima orang, Desa Cupat dua orang, serta Desa Teluk Limau dan Desa Puput masing-masing satu orang.2 Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sumber penularan filaria pada rentang waktu 6-7 tahun terakhir di wilayah tersebut.3 Pada dasarnya, setelah POPM filariasis dilaksanakan setiap tahun selama lima tahun berturut-turut diharapkan sudah tidak terjadi penularan, sehingga pada anak-anak berusia 6-7 tahun tidak ditemukan adanya mikrofilaria dalam darahnya. Banyak faktor yang dapat memicu terjadinya penularan filariasis. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Tersedianya lingkungan fisik berupa genangan air di sekitar pemukiman penduduk dapat memungkinkan untuk menjadi tempat perkembangbiakan vektor sehingga meningkatkan terjadinya penularan filariasis. Selain faktor lingkungan, penyebaran filariasis tergantung juga pada perilaku seseorang dalam upaya pencegahan terhadap gigitan nyamuk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardias4 menyatakan adanya hubungan antara kebiasaan keluar rumah pada malam hari tanpa perlindungan diri dengan kejadian filariasis. Hasil penelitian Santoso5 di Jambi

menunjukkan determinan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis antara lain perilaku pencegahan gigitan nyamuk di dalam rumah, lama tinggal, tingkat pendidikan dan jenis kelamin. Pengobatan pada penderita filariasis tidak selalu berjalan sukses dalam mengeliminasi mikrofilaria dalam darah terkait dengan kepatuhan dalam minum obat. Penderita dengan kepadatan mikrofilaria rendah mempunyai peran dalam mempertahankan rantai penularan.6,7 Hal ini disebabkan karena mikrofilaria dalam darah akan berkembang menjadi cacing dewasa dan menghasilkan ribuan mikrofilaria perhari. Mikrofilaria berada di peredaran darah tepi yang nantinya terhisap oleh nyamuk yang menggigit dan ditularkan kembali pada orang lain. Metode filtrasi menggunakan darah vena lebih sensitif untuk mendeteksi adanya mikrofilaria dalam darah dengan kepadatan rendah. Hasil penelitian Dreyer7 dengan membandingkan dua metode berbeda yaitu pemeriksaan darah jari dengan volume darah 20µl dan 60µl serta metode penyaringan menggunakan membran polikarbonat dengan darah sebanyak 1ml menunjukkan bahwa volume 20µl dan 60µl darah yang dipakai untuk pemeriksaan kurang optimal dalam mendeteksi mikrofilaria dibandingkan dengan volume 1ml. Beberapa aspek yang mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan eliminasi filariasis adalah perilaku masyarakat dan lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran kondisi masyarakat pada masa surveilans pasca TAS-2 di empat desa di Kabupaten Bangka Barat berdasarkan pemeriksaan darah serta penilaian terhadap PSP masyarakat dan lingkungan sekitar. BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan desain cross sectional dan telah mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik Badan penelitian Kesehatan No. LB 02.01/5.2/KE134/2016. Pengambilan data dilakukan pada bulan April 2016 di dua Kecamatan yang terletak di Kabupaten Bangka Barat yaitu Kecamatan Kelapa (Desa Tuik) dan Kecamatan Puput (Desa Teluk Limau, Desa Puput serta Desa

Page 47: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kondisi Masyarakat pada Masa Surveilans Pasca-Transmission Assesment Survey (TAS)-2 ... ( Nungki Hapsari Suryaningtyas, at al )

37

Cupat). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan pemeriksaan filtrasi darah vena terhadap 150 orang yang berada di empat desa tersebut pada pukul 20.00 sampai dengan 00.00. Pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan penarikan sampel dilakukan berdasarkan quota sampling. Sampel pertama yang diambil dimulai dari rumah penderita klinis atau anak positif hasil TAS. Sampel berikutnya diambil yang paling dekat dengan rumah pertama dan seterusnya sampai mencapai besar sampel dari masing-masing desa. Besar sampel untuk setiap desa diambil dari proporsi kasus filariasis berdasarkan data TAS-2 Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Barat. Berdasarkan hal tersebut, diperoleh besar sampel untuk Desa Tuik 83 orang, Desa Cupat 33 orang, Desa Teluk Limau dan Desa Puput masing-masing 17 orang. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner jawaban tertutup untuk menggali informasi mengenai pengetahuan, sikap, perilaku dan lingkungan responden terhadap filariasis sebelum dilakukan pemeriksaan darah. Pemeriksaan filtrasi darah vena8 (nucleopore filters) yang telah diwarnai kemudian dibaca di bawah mikroskop untuk memperoleh data mikrofilaria, kepadatan mikrofilaria dan spesies mikrofilaria. Pengambilan spesimen darah dilakukan oleh perawat dan analisis kesehatan dari puskesmas dan dinas kesehatan. Darah diambil dari vena sebanyak 1 ml dari masing-masing responden menggunakan spuit 3 ml, kemudian spesimen darah segar dimasukkan ke dalam tabung darah yang berisi EDTA. Selanjutnya membran nucleopore ditempatkan ke dalam filter holder dan memasangkan spuit ukuran 20 ml pada bagian holder. Darah dalam EDTA dimasukkan ke dalam spuit 20 ml kemudian ditambahkan larutan

garam fisiologis 0,9% sebanyak 10 ml kemudian mendorong spesimen melalui membran. Spuit diisi kembali dengan akuades sebanyak 10 ml kemudian spesimen disaring kembali melalui membran. Langkah terakhir adalah mengisi spuit dengan udara dan mendorongnya melalui membran. Selanjutnya spuit dilepaskan dari holder kemudian holder dibuka dan membran dikeluarkan secara hati-hati dengan menggunakan pinset dan membran diletakkan di atas object glass 8. Sediaan darah diwarnai dengan larutan Giemsa. Pewarnaan Giemsa 10% ditunggu selama 25-30 menit. Kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Pemeriksaan sediaan darah dilaksanakan di laboratorium parasitologi Loka Litbang P2B2 Baturaja kemudian dilakukan crosscheck di Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Jakarta. Data hasil wawancara dan pemeriksaan filtrasi darah vena dianalisa secara deskriptif untuk menggambarkan mikrofilaria, pengetahuan, sikap, perilaku dan lingkungan pada masa surveilans pasca TAS-2.

HASIL

Efek Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis terhadap Mikrofilaria Hasil pemeriksaan filtrasi darah vena disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 menunjukkan tiga responden positif mikrofilaria dari 150 responden yang diperiksa. Tiga responden positif mikrofilaria itu didapatkan di Desa Tuik. Berdasarkan penemuan tiga responden yang positif itu maka didapatkan mikrofilaria rate pada empat desa yaitu sebesar 2%, sedangkan mikrofilaria rate di Desa Tuik sebesar 3,6%.

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Darah Menggunakan Metode Membran Filter di Desa Tuik, Teluk Limau, Cupat dan Puput Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung Tahun 2016

Kecamatan Desa Jumlah Sampel Positif Mf Mikrofilaria rate (%)Kelapa Tuik 83 3 3,6Puput Teluk Limau 17 0 0

Cupat 33 0 0Puput 17 0 0

150 3 2

Page 48: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 35 - 44

38

No Id Sub-yek

Umur/Jenis Kelamin Riwayat Demam Berapa

kali mi-num obat

Ada Penderita di keluarga Hasil Pemeriksaan

L P Ya Tidak Ya Tidak Spesies Kepadatan

1 T.19 70 th √ 2 kali √ B. malayi 116

2 T.58 50 th √ - √ B. malayi 245

3 T.69 85 th √ 1 kali √ B. malayi 112

Tabel 2. Karakteristik Responden yang Positif Mikrofilaria di Desa Tuik, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung tahun 2016

Gambar 1. Sediaan Darah Filtrasi yang Telah diwarnai dan Gambaran Mikroskopis Brugia Malayi pada Perbesaran 10 X 100

Tiga responden positif mikrofilaria terdiri atas dua wanita (70 tahun dan 50 tahun) dan satu laki-laki (85 tahun) dengan spesies Brugia malayi. Kepadatan mikrofilaria masing-masing responden adalah 116, 245, dan 112 per ml darah. Karakteristik responden yang positif mikrofilaria di Desa Tuik disajikan di Tabel 2 dan Gambar 1.

Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Responden Tentang Filariasis Jumlah responden yang mengetahui

tentang penyebab filariasis sebesar 2,6%, sedangkan sebagian besar responden (97,4%) tidak mengetahui mengenai penyebab filariasis. Sebanyak 4,7% responden dapat memberikan jawaban mengenai gejala awal dari filariasis yaitu adanya demam berulang, sedangkan 13,3% responden menyatakan gejala adanya perbesaran tubuh pada bagian kaki dan tangan. Cara penularan filariasis melalui gigitan nyamuk hanya diketahui oleh 35,3% dari seluruh responden. Penyebab penularan filariasis lainnya

Page 49: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kondisi Masyarakat pada Masa Surveilans Pasca-Transmission Assesment Survey (TAS)-2 ... ( Nungki Hapsari Suryaningtyas, at al )

39

menurut anggapan responden adalah melalui bersentuhan dan makan makanan penderita. Sebesar 11,3% responden menyatakan akibat yang ditimbulkan apabila seseorang terkena filariasis adalah cacat seumur hidup. Hasil wawancara menunjukkan pengetahuan responden terkait dengan upaya pencegahan terhadap filariasis

dengan minum obat pencegahan filariasis sebesar 20%, sedangkan pengetahuan pencegahan lainnya merupakan perlindungan terhadap gigitan nyamuk melalui penggunaan kelambu (2%), obat antinyamuk (4,7%) dan penggunaan kain kassa (0,7%) (Tabel 3).

Tabel 3.Pengetahuan Responden Mengenai Penyebab, Gejala, Cara Penularan, Akibat Yang Ditimbulkan dan Cara Pencegahan Filariasis di Desa Tuik, Teluk Limau, Cupat dan Puput di Kecamatan Kelapa dan Puput, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung Tahun 2016

Pengetahuan tentang filariasis (n=150) Jumlah Persentase

Penyebab Filariasis

Cacing 4 2,6

Virus 1 0,7

Keturunan 1 0,7

Nyamuk 36 24,0

Tidak tahu 108 72,0

Gejala Filariasis

Demam berulang 7 4,7

Benjolan 1 0,7

Perbesaran kaki/tangan/payudara 20 13,3

Demam menggigil 3 2,0

Tidak tahu 119 79,3

Cara Penularan

Gigitan nyamuk 53 35,3

Bersentuhan 2 1,3

Makanan 18 12,0

Tidak tahu 77 51,4

Akibat yang Ditimbulkan

Tidak dapat bekerja 14 9,3

Cacat seumur hidup 17 11,3

Rendah diri 5 3,3

Tergantung kepada orang lain 3 2,0

Meninggal 4 2,7

Lainnya 22 14,7

Tidak tahu 85 56,7

Cara Pencegahan

Menggunakan kelambu 3 2,0

Menggunakan obat antinyamuk 7 4,7

Memasang kawat kasa 1 0,7

Minum obat pencegahan filariasis 30 20,0

Tidak Tahu 109 72,6

Page 50: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 35 - 44

40

Sikap tentang pencegahan filariasis (n = 150) Sampel PersentaseMenghindari gigitan nyamuk Setuju 139 92,7 Tidak setuju 11 7,3Minum obat pencegahan Setuju 149 99,3 Tidak setuju 1 0,7Pemeriksaan darah Setuju 147 98,0 Tidak setuju 3 2,0Pemanfaatan rawa Setuju 140 93,3 Tidak setuju 10 6,7

Tabel 4. Sikap Responden Mengenai Pencegahan Filariasis Melalui Upaya Menghindari Gigitan Nyamuk, Minum Obat Pencegahan, Pemeriksaan Darah dan Pemanfaatan Rawa di Desa Tuik, Teluk Limau, Cupat dan Puput di Kecamatan Kelapa dan Puput, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung Tahun 2016

Perilaku perlindungan diri terhadap gigitan nyamuk dan keluar rumah malam hari (n = 150) Jumlah Persen Perilaku penggunaan kelambu Ya 110 73,3 Tidak 40 26,7Perilaku penggunaan antinyamuk Ya 98 65,3 Tidak 52 34,7Perilaku keluar malam Ya 118 78,7 Tidak 32 21,3Perlindungan diri pada saat keluar rumah malam hari (n = 118) Memakai repellent 13 11,0 Memakai baju tertutup 46 39,0 Memakai repellent dan baju tertutup 1 0,8 Tidak pakai apa-apa 58 49,2

Tabel 5. Perilaku Perlindungan Diri Responden Terhadap Gigitan Nyamuk dan Perilaku Keluar Rumah pada Malam Hari Di Desa Tuik, Teluk Limau, Cupat dan Puput di Kecamatan Kelapa dan Puput, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung Tahun 2016

70%

30%

Mendapat obat

Tidak mendapat obat

66

4

38

17,3 7,3 1,3 2

010203040506070

Jum

lah

resp

onde

n (%

)

Frekuensi minum obat

Gambar 2.Riwayat Pengobatan Filariasis di Desa Tuik, Teluk Limau, Cupat dan Puput di Kecamatan Kelapa dan Puput, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung Tahun 2016

Page 51: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kondisi Masyarakat pada Masa Surveilans Pasca-Transmission Assesment Survey (TAS)-2 ... ( Nungki Hapsari Suryaningtyas, at al )

41

Sikap responden dalam upaya pencegahan dan pemberantasan filariasis ditunjukkan dengan tingginya persentase responden yang menyetujui untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan filariasis. Hampir seluruh responden setuju untuk minum obat pencegahan (99,3%), melakukan pemeriksaan darah sebesar 98%, dan menghindari gigitan nyamuk (92,7%). menggunakan obat antinyamuk sebagai upaya perlindungan diri terhadap gigitan nyamuk (65,3%). Aktifitas keluar rumah pada malam hari dilakukan oleh sebagian masyarakat (78,7%). Gambar 2 menunjukkan riwayat penerimaan obat pencegahan filariasis. Proporsi responden yang belum pernah mendapatkan obat pencegahan filariasis sebesar 30% dan yang pernah mendapatkan obat sebesar 70%. Dari 70% responden yang menerima obat, 66% bersedia minum obat, sedangkan 4% menolak minum dengan alasan hamil (33,3%), efek samping pusing dari obat (16,7%) dan merasa sehat sehingga tidak perlu minum obat (50%). Meskipun 66% responden sudah pernah minum obat pencegahan filariasis, namun hanya 2% responden yang minum obat pencegahan sebanyak lima kali. Sebanyak 23,3% responden menyatakan bahwa di sekitar rumahnya terdapat rawa. Keberadaan rawa merupakan tempat potensial yang erat kaitannya dengan kehidupan vektor.

Lingkungan berisiko terhadap penularan filariasis Sampel Jumlah Persen (%)Keberadaan rawa di sekitar rumah 150 Ya 35 23,3 Tidak 115 76,7Keberadaan penderita filariasis disekitar rumah 150 Ada 50 33,3 Tidak 100 66,7Jarak rumah responden dengan rumah penderita 50 ≤ 500 m 44 88,0 > 500 m 6 12,0Keberadaan hewan reservoir (kucing) 150 Ya 61 40,7 Tidak 89 59,3Keberadaan hewan ternak 150 Ya 3 2,0 Tidak 147 98,0

Tabel 6. Lingkungan Sekitar Responden yang Berisiko Terjadinya Penularan Filariasis di Desa Tuik, Teluk Limau, Cupat dan Puput, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung Tahun 2016

Lima puluh (33,3%) responden tinggal berdekatan dengan penderita filariasis. Rumah responden yang jaraknya ≤ 500 m dengan rumah penderita sebesar 88% . Keberadaan hewan reservoir seperti kucing dan kera di sekitar rumah responden sebesar 40,7%. Hasil wawancara menunjukkan bahwa 2% responden di sekitar rumahnya terdapat hewan ternak besar seperti sapi dan kambing.

PEMBAHASAN

Hasil evaluasi pasca POPM di Kabupaten Bangka Barat pada tahun 2010 menunjukkan adanya penurunan angka Mf rate menjadi kurang dari 1%. Penelitian mengenai dampak POPM filariasis melaporkan terjadinya penurunan angka Mf rate dari 26% menjadi kurang dari 1% setelah pemberian obat massal putaran ke empat di Desa Mainang, Pulau Alor Nusa Tenggara Timur.9 Hasil serupa yang dilakukan di Papua Nugini menunjukkan bahwa pemberian obat massal menurunkan angka Mf rate dari 18,6% sebelum pengobatan massal menjadi 1,3% setelah pemberian obat massal tahun ketiga.10 Pemberian obat secara massal akan mengurangi kepadatan mikrofilaria secara cepat. Akan tetapi apabila terdapat kontribusi penderita dengan kepadatan mikrofilaria rendah atau penderita yang tidak patuh dalam minum obat

Page 52: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 35 - 44

42

maka akan mempertahankan rantai penularan filariasis. Hal ini berkaitan dengan adanya perubahan kepadatan mikrofilaria yang rendah menjadi kepadatan tinggi apabila tidak ada pengobatan yang diberikan kepada penderita. Selain itu hasil penelitian Kimura6 menunjukkan infektivitas nyamuk vektor pada penderita dengan kepadatan rendah sebesar 2,16%. Data yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan bahwa di Desa Tuik sebelumnya terdapat 3 penderita kronis dan didukung dengan hasil TAS-2 dimana didapatkan 5 anak positif antibodi Brugia. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan tiga responden positif mikrofilaria pasca POPM yang sebelumnya belum terlaporkan di Desa Tuik. Penemuan responden dengan mikrofilaria pasca POPM berhubungan dengan kepatuhan seseorang untuk minum obat pencegahan filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan. Pada tiga orang dengan mikrofilaria, dua diantaranya pernah mendapatkan pengobatan 2 kali dan 1 kali, sedangkan satu orang lainnya belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya. Hasil penelitian di Alor menyebutkan bahwa 1 responden mengalami peningkatan kepadatan mikrofilaria dari 88 menjadi 1356 Mf/ml dan setelah ditelusuri, responden tidak minum obat pada tahap pertama pengobatan dengan alasan efek samping dari obat yang membuat pusing.9 Pembagian obat secara langsung kepada masyarakat disertai dengan pengawasan dalam minum obat oleh petugas kesehatan merupakan salah satu upaya yang efektif untuk memaksimalkan cakupan minum obat pencegahan filariasis. Selain itu, keberhasilan pengobatan filariasis juga tergantung pada penyampaian program pengobatan kepada masyarakat dan pengetahuan dari masyarakat sebagai penerima program tersebut. Pemberian informasi dan pengelolaan efek samping pengobatan pada masyarakat oleh petugas kesehatan juga dapat mempengaruhi penerimaan pemberian obat massal tahun berikutnya.11 Hal ini sejalan dengan penelitian Lasbudi 12

yang menyatakan bahwa ketidaktahuan responden terhadap kegiatan pengobatan filariasis di daerahnya dan kurangnya sosialisasi berhubungan bermakna dengan kesediaan minum obat. Hasil penelitian mengenai analisis cakupan pengobatan massal filariasis di Kabupaten Bandung dengan pendekatan model sistem dinamik didapatkan

bahwa keberadaan kader, upaya menurunkan dampak negatif minum obat serta monitoring dan evaluasi yang dilakukan petugas kesehatan dapat meningkatkan trend cakupan pengobatan massal filariasis.13

Distribusi kasus filariasis tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan sosial, fisik maupun biologi. Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang terbentuk akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk perilaku dan kebiasaan penduduk. Pengetahuan dan sikap akan memperkuat terbentuknya perilaku seseorang tentang kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan responden tentang filariasis masih kurang baik dimana sebagian besar responden belum mengetahui penyebab, gejala serta sumber penularan filariasis. Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kecamatan Tempilang, Kelapa, Jebus dan Muntok di Kabupaten Bangka Barat menunjukkan hal yang sama bahwa pengetahuan tentang gejala, penularan dan pencegahan tentang filariasis masih rendah. Dari hasil analisis regresi logistik pada penelitian Nasrin ini didapatkan bahwa seseorang mempunyai probabilitas menderita filariasis sebesar 66% apabila memiliki faktor risiko pekerjaan, tingkat pendidikan yang rendah, faktor risiko keberadaan rawa serta tidak mempunyai pengetahuan gejala tentang filariasis.14 Hasil penelitian di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat menyebutkan bahwa masyarakat yang memiliki pengetahuan kurang mempunyai risiko 8,1 kali lebih besar untuk menderita filariasis dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki pengetahuan baik tentang filariasis.15 Pengetahuan mempunyai peranan penting. dalam upaya pencegahan filariasis. Kesadaran akan bahaya filariasis merupakan metode yang cocok untuk menghindarkan diri dari penyakit tersebut.16 Oleh sebab itu, dukungan dari kader, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan sangat dibutuhkan untuk kegiatan eliminasi filariasis dalam hal penyebaran informasi atau pengetahuan kepada masyarakat.17

Sikap positif ditunjukkan oleh sebagian besar responden terhadap upaya menghindarkan diri dari gigitan nyamuk dan diikuti dengan perilaku yang positif juga dalam upaya menghindari gigitan nyamuk. Sedangkan, sikap positif dalam upaya pencegahan dengan minum obat pencegahan filariasis belum tentu dibarengi dengan perilaku minum obat dengan baik. Menurut penelitian yang

Page 53: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kondisi Masyarakat pada Masa Surveilans Pasca-Transmission Assesment Survey (TAS)-2 ... ( Nungki Hapsari Suryaningtyas, at al )

43

dilakukan di Mamuju Utara didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap dengan kejadian filariasis.15 Perilaku keluar rumah pada malam hari yang dilakukan oleh sebagian masyarakat setempat dapat menjadi faktor risiko terjadinya penularan filariasis. Hal ini disebabkan karena masyarakat akan lebih mudah untuk tergigit nyamuk, khususnya nyamuk penular filariasis apabila tidak dibarengi dengan perlindungan diri saat keluar rumah. Penelitian di Kabupaten Parigi Moutong menunjukkan bahwa perilaku keluar malam untuk mencari hiburan secara signifikan berhubungan dengan kejadian filariasis.18 Aktivitas nyamuk mulai menggigit dan puncak kepadatan vektor berada pada paruh pertama malam. Kepadatan menggigit memberikan gambaran tentang kontak antara nyamuk dan manusia.19,20

Lingkungan fisik berkaitan erat dengan kehidupan vektor. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dapat menciptakan tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk. Penelitian di Sambas melaporkan bahwa responden yang rumahnya terdapat habitat nyamuk memiliki risiko 38 kali lebih besar menderita filariasis dibandingkan dengan responden yang rumahnya tidak terdapat habitat nyamuk.4 Adanya hospes reservoir juga berpengaruh terhadap penyebaran Brugia malayi. Penelitian di Desa Jembatan Emas, Kabupaten Batanghari Jambi menunjukkan dua ekor positif Brugia malayi di dalam darahnya dari 12 ekor kucing yang di periksa.21 Kucing sebagai reservoir dalam penularan filariasis juga ditemukan pada delapan dari sepuluh kucing yang diperiksa di Desa Gulinggang Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan.22 Beberapa hewan reservoir dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis. Dari semua jenis cacing filaria yang menginfeksi manusia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan juga pada kucing (Felis catus) dan kera (Macaca fascicularis).3

KESIMPULAN

Ditemukan adanya penderita positif filariasis dengan spesies B.malayi dan kepadatan mikrofilaria masing-masing penderita sebesar 116, 245 dan 112.

Pengetahuan responden mengenai filariasis masih sangat rendah. Sikap responden terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan filariasis dalam kategori baik. Sebagian besar responden pernah mendapatkan pengobatan pencegahan filariasis, tetapi hanya 2 persen yang pernah minum obat pencegahan sebanyak lima kali. Sebagian besar responden mempunyai kebiasaan keluar rumah pada malam hari yang dapat berpotensi sebagai faktor risiko terjadinya penularan filariasis.

SARAN

1. Masih ditemukannya penderita positif mikrofilaria mengindikasikan masih adanya penularan. sehingga diperlukan adanya sistem pengawasan minum obat melalui pemberdayaan kader.

2. Perlu memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan tentang filariasis serta meningkatkan perilaku pencegahan tertular filariasis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang Kesehatan RI selaku pemegang anggaran penelitian, Sekretaris Risbinkes 2016, Kepala Loka Litbang P2B2 Baturaja, Kepala Dinas Kabupaten Bangka Barat beserta staf, Kepala Dinas Kesehatan dan Murad, SKM. selaku pengelola program filariasis Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Qomariah, SKM., M. Med.Sc., Lasbudi P. Ambarita, M.Sc, Yahya M.Si, Milana Salim, M.Sc., Hotnida Sitorus, M.Sc. dan seluruh peneliti Loka Litbang P2B2 Baturaja dan semua pihak yang telah ikut membantu pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR RUJUKAN

1. Sitohang V. Perkembangan Penyakit Tular Vektor (Malaria, DBD, Filaria, JE, Chikungunya) dan Strategi Pengendalian Vektor. In: Diseminasi Hasil Penelitian Loka Litbang P2B2 Baturaja. Palembang: Diseminasi Hasil Penelitian Loka Litbang P2B2 Baturaja; 2017.

2. Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Barat. Laporan Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan

Page 54: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 35 - 44

44

Kabupaten Bangka Barat. Muntok : Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Barat; 2015.

3. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Filariasis. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI; 2016:1–139.

4. Ardias, Setiani, Onny dan Hanani Y. Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di kabupaten Sambas. J Kesehat Lingkung Indones. 2012;11(2):199–207.

5. Santoso, Hotnida, S dan Oktarina R. Faktor Risiko Filariasis Di Kabupaten Muaro Jambi. Bul Penelit Kesehat. 2013;41(3):152–162.

6. Kimura, E; Penaia, L; Samarawickrema, WA; Spears G. Low-density microfilaraemia in subperiodic bancroftian filariasis in Samoa. Bull World Health Organ. 1985;63(6):1089–1096.

7. Dreyer G; Pimentael, A; Medeiros, Z; Beliz, F; Moura, I; Countinho A et all. Studies on the Periodicity and Intravascular Distribution of Wuchereria bancrofti microfilariae in Paired Samples of Capillary and Venous Blood from Recife, Brazil. Trop Med Int Heal. 1996;1(2):264–272.

8. World Health Organization. Bench Aids for the Diagnosis of Filarial Infections. Geneva: World Health Organization; 1997.

9. Supali T, Djuardi Y, Bradley M, Noordin R, Rückert P, Fischer PU. Impact of Six Rounds of Mass Drug Administration on Brugian Filariasis and Soil-Transmitted Helminth Infections in Eastern Indonesia. PLoS Negl Trop Dis. 2013;7(12):1–9. doi:10.1371/journal.pntd.0002586.

10. Weil GJ. The Impact of Repeated Rounds of Mass Drug Administration with Diethylcarbamazine Plus Albendazole on Bancroftian Filariasis in Papua New Guinea. Plos Neglected Trop Dis. 2008;2(12):1–7.

11. Krentel A, Fischer PU, Weil GJ. A Review of Factors That Influence Individual Compliance with Mass Drug Administration for Elimination of Lymphatic Filariasis. PLoS Negl Trop Dis. 2013;7(11):1–12. doi:10.1371/journal.pntd.0002447.

12. Ambarita L, Taviv Y, Sitorus H, Pahlepi RI, Kasnodihardjo. Perilaku Masyarakat Terkait Penyakit Kaki Gajah Dan Program Pengobatan Massal Di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari, Jambi. Media Penelit dan Pengemb Kesehat. 2014;24:191–198. http://ejournal.

litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/3673.

13. Ipa M, Astuti EP, Fuadzy H, Hakim L. Analisis Cakupan Obat Massal Pencegahan Filariasis di Kabupaten Bandung dengan Pendekatan Model Sistem Dinamik. Balaba. 2016;12(1):31–38.

14. Nasrin. Faktor-Faktor Lingkungan dan Perilaku yang berhubungan dengan Kejadian Filariasis Kabupaten Bangka Barat. Progr Pascasarj Univ Diponegoro. 2008;(12).

15. Veridiana NN, Chadijah, Sitti N. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Filariasis di Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Bul Penelit Kesehat. 2015;43(1):47–54.

16. Al-Abd, NM; Nor, ZM; Ahmed, A; Al-Adhroey, AH; Mansor, M and Kassim M. Lymphatic Filariasis in Peninsular Malaysia: A Cross-Sectional Survey of the Knowledge, Attitudes, and Practices of Residents. Parasit Vectors. 2014;7(545):1–9. https://parasitesandvectors.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13071-014-0545-z.

17. Astuti, Endang P; Ipa, M; Wahono, T; Ruliansyah A. Analisis Perilaku Masyarakat terhadap Kepatuhan Minum Obat Filariasis di Tiga Desa Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung Tahun 2013. Media Litbang Kesehat. 2014;24(4):199–208.

18. Garjito, TA; Jastal; Rosmini; Anastasia, H; Srikandi, Y; Labatjo Y. Filariasis dan Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Penularannya di Desa Pangku Tolole, Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. J Vektora. 2013;V(2):54–65.

19. Juhairiyah, Hairani B. Kasus Penderita Filariasis di Kecamatan Tanta , Kabupaten Tabalong Tahun 2009 Setelah 5 Tahun Masa Pengobatan. Buski. 2013;4(4):162–166.

20. Willa RW, Noshirma M. Permasalahan Filariasis dan Vektornya di Desa Soru Kecamatan Umbu Ratunggai Kabupaten Sumba Tengah Nusa Tenggara Timur. Aspirator. 2015;7(April):58–65.

21. Yahya; Santoso. Studi Endemisitas Filariasis di Wilayah Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari Pasca Pengobatan Massal Tahap III. Bul Penelit Kesehat. 2012;41(1):18–25.

22. Supriyono, S; Tan, S; Hadi UK. Perilaku Nyamuk Mansonia dan Potensi Reservoar dalam Penularan Filariasis di Desa Gulinggang Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan. Aspirator. 2017;9(1):1–10.

Page 55: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Arah Kebijakan Kesehatan Mental: Tren Global dan Nasional ... ( Ilham Akhsanu Ridlo dan Rizqy Amelia Zein)

45

Arah Kebijakan Kesehatan Mental: Tren Global dan Nasional Serta Tantangan Aktual

MENTAL HEALTH POLICY: GLOBAL, NATIONAL TREND AND CURRENT CHALLENGES

Ilham Akhsanu Ridlo1, dan Rizqy Amelia Zein2

1Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan MasyarakatUniversitas Airlangga Kampus B, 21 Airlangga, 4-6 Surabaya

2Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial, Fakultas Psikologi Universitas AirlanggaUniversitas Airlangga Kampus C Mulyorejo, Surabaya

E - mail : [email protected] / : [email protected]

Submitted : 02-05-2017, Revised : 30-04-2017, Revised : 13-09-2017, Accepted : 26-02-2018

AbstractGlobally, during the last three decades, mental health has played significant role in regards to the discourse of global health policy. Since two decades ago, WHO has firmly defined health as a rounded state of condition where an individual reach “...not merely the absence of the illness, but also achievement of physical, mental and social well-being.” WHO’s definition of health implies a significant impact on global health policy – all members of states should adhere their health policy to this definition. The Global Burden of Disease study carried out by IHME (The Institute for Health Metrics and Evaluation) in 2012 that mapped out the burden of disease around the world revealed an appalling fact namely worsened mental health condition. Years lost due to disability (YLD) study mentioned that 6 out to 20 diseases that were most responsible in causing disability were mental illnesses. Therefore, this article aimed to describe the mental illness prevalence in global and national level by reviewing several mental illness epidemiological studies. Additionally, this article highlighted some of important challenges that should be considered by healthcare service providers and policymakers in tackling mental health issues, which are treatment gap and mental health stigma.

Keywords: Mental Health Policy, Global and National Prevalence, Treatment Gap, AbstrakSecara global, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, isu mengenai kesehatan mental memainkan peran penting dalam perumusan kebijakan kesehatan global. Sejak dua dekade yang lalu, WHO mengeluarkan definisi sehat sebagai suatu kondisi dimana seorang indvidu mencapai “...tak sekedar bebas dari penyakit, melainkan mampu mencapai kesejahteraan fisik, mental dan sosial.” Definisi dari WHO tersebut berkonsekuensi besar dalam perumusan kebijakan kesehatan mental, dimana seluruh negara anggotanya harus menyandarkan garis besar kebijakan kesehatannya pada definisi ini. Studi mengenai Global Burden of Disease yang diselenggarakan oleh IHME (The Institute for Health Metrics and Evaluation) mengungkapkan bahwa ada tren yang menunjukkan bahwa kondisi kesehatan mental menjadi ancaman serius. Studi mengenai jumlah tahun yang hilang akibat disabilitas (YLD) menyebutkan bahwa 6 dari 20 penyakit yang paling bertanggung jawab menyebabkan disabilitas adalah penyakit mental. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan prevalensi gangguan mental dalam skup global dan nasional dengan cara meninjau beberapa riset epidemiologis yang berfokus pada gangguan mental. Selainitu, artikel ini akan membahas mengenai isu-isu penting yang merupakan tantangan bagi pelayanan kesehatan mental di Indonesia yang harus ditanggapi serius oleh penyedia layanan kesehatan mental dan pembuat kebijakan, yaitu kesenjangan perawatan dan stigma.

Kata kunci: KebijakanKesehatan Mental, Prevalensi Global danNasional, Kesenjangan

http://dx.doi.org/10.22435/bpk.v46i1.4911.45-52

Page 56: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 45 - 52

46

PENDAHULUAN

Secara global, selama tiga dekade terakhir, kesehatan mental merupakan isu sentral pembangunan kesehatan. Sejak beberapa dekade lalu, WHO menegaskan bahwa definisi sehat merupakan definisi yang sifatnya intergral; artinya bukan sekedar bebas dari penyakit, namun kondisi dimana seseorang mencapai kesejahteraan paripurna secara fisik, mental dan sosial. Garis kebijakan WHO ini memiliki implikasi penting seluruh batang tubuh kebijakan kesehatan yang diterapkan oleh negara-negara anggota WHO, harus seluruhnya mencakup ketiga aspek diatas. Melihat tren global, kesehatan mental tidak lagi dipandang sebagai isu perifer dalam pembangunan kesehatan, mengingat betapa seriusnya dampak yang diakibatkan oleh lemahnya kondisi kesehatan mental. Studi the Global Burden of Disease yang dilakukan oleh IMHE (The Institute for Health Metrics and Evaluation) pada tahun 2015 mengungkapkan data yang meyakinkan mengenai peta beban penyakit di seluruh dunia. Yang mengejutkan, data years lost due to disability (YLD) dari studi tersebut menyebutkan bahwa 6 dari 20 jenis penyakit yang dianggap paling bertanggung jawab menyebabkan disabilitas adalah gangguan mental.1 Lebih lanjut, apabila kita mencermati estimasi WHO mengenai disability-life adjusted years (DALY) pada tahun 2012 yang menggambarkan jumlah tahun produktif yang hilang akibat kematian prematur (sebelum mencapai usia harapan hidup) serta akibat kecacatan (disabilitas), menempatkan Unipolar Depressive Disorders pada peringkat 9 dari 20 penyakit utama, apabila dibandingkan dengan penyakit menular (communicable diseases) atau penyakit tidak menular (non-communicable disesases) lainnya.1,2 Artinya, meskipun gangguan mental belum terlalu dipandang sebagai problem epidemiologis, nyatanya memiliki implikasi yang signifikan dalam membuat jutaan orang hidup dalam disabilitas, bahkan kematian dini akibat bunuh diri. Data-data diatas menegaskan bahwa

gangguan kesehatan mental membutuhkan fokus penuh dari para pengambil kebijakan, mengingat gangguan kesehatan mental mulai dianggap sebagai ancaman serius yang membutuhkan respon cepat dari penyedia layanan kesehatan3. Oleh karena itu, studi-studi epidemiologis yang terkait dengan gangguan mental sudah mulai dilakukan agar evidence-based policy dapat dirumuskan secara tepat. Tujuan penulisan artikel yang pertama adalah memberikan gambaran mengenai tren global dan nasional mengenai gangguan kesehatan mental, terutama mengulas studi-studi epidemiologis. Kedua, mengulas beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh pengambil kebijakan dan tenaga kesehatan dalam mengatasi gangguan kesehatan mental, terutama kaitannya dengan kesejahteraan penderita. Tulisan ini kemudian ditutup dengan beberapa argumen kunci yang menyimpulkan bagian pertama dan kedua. Dalam menyusun tulisan ini, kami mengulas temuan-temuan utama riset-riset epidemiologis mengenai kesehatan mental. Ulasan ini harapannya dapat meyakinkan para policymaker untuk lebih memperhatikan data-data epidemiologis sebelum menyusun kebijakan dalam menangani persoalan kesehatan mental.

Tren Global; Seberapa Parah Kondisi yang Kita Hadapi? Pada tahun 1990, WHO pertamakali mengadakan studi the Global Burden of Disease yang kemudian mengejutkan dunia atas data yang menunjukkan bahwa gangguan psikiatrik/mental memilliki dampak yang luar biasa pada kondisi disabilitas jutaan orang didunia. Tak seperti banyak diduga orang, dampak yang ditimbulkan oleh buruknya kondisi kesehatan mental tidak lebih baik apabila dibandingkan dengan penyakit-penyakit menular dan terus bertambah buruk setiap tahunnya. Oleh karena itu, WHO selanjutnya menyelenggarakan studi epidemiologis terpisah untuk menginvestigasi dampak global dari kesehatan mental yang dilakukan pertamakali pada tahun 2001-2003. World Mental Health (WMH) Survey Initiative awalnya melibatkan 14

Page 57: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Arah Kebijakan Kesehatan Mental: Tren Global dan Nasional ... ( Ilham Akhsanu Ridlo dan Rizqy Amelia Zein)

47

negara (6 negara berkembang dan 8 negara maju). Sampai saat ini, survei WMH telah dilakukan 17 kali dan studi yang terakhir melibatkan lebih banyak negara, yaitu 28 negara. Survei ini menggunakan WHO Composite International Diagnostic Interview (CIDI), yaitu sebuah panduan wawancara diagnostik terstruktur yang menggunakan DSM-IV sebagai kriteria diagnostik, sebagai instrumen survei. Data yang diekstraksi dari survei WMH diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih baik mengenai prevalensi dan tingkat keparahan gangguan kesehatan mental di negara-negara yang berpartisipasi.4,5 Sayangnya sampai dengan saat ini, Indonesia belum termasuk negara yang berpartisipasi dalam studi tersebut. Dalam studi analisis sekunder yang dilakukan oleh Kessler, dkk.4 dengan menggunakan dataset dari survei WMH, ada beberapa informasi penting yang memotret isu kesehatan mental global. Gangguan mental yang secara konsisten tergolong sebagai gangguan dengan prevalensi tertinggi dan memenuhi kualifikasi diagnostik DSM-IV/CIDI ada empat jenis gangguan, yaitu; (a) gangguan kecemasan; (b) gangguan mood; (c) externalizing disorder; dan (d) gangguan penyalahgunaan zat, sedangkan jenis gangguan yang lain masuk kategori gangguan lainnya. Namun ada juga beberapa jenis gangguan yang tidak diakomodasi dalam CIDI, misalnya specific phobia, conduct disorder, dan gangguan bipolar.4Gangguan dengan prevalensi tertinggi adalah gangguan kecemasan dengan prevalensi 14,3% dari total populasi, sedangkan posisi kedua ditempati oleh gangguan mood yang mencapai prevalensi sekitar 12%. Gangguan kecemasan dan gangguan mood paling banyak ditemui di regional Pan American Health Organization (PAHO) dan Amerika Serikat adalah negara partisipan dengan prevalensi tertinggi. Di Amerika Serikat, gangguan kecemasan dan gangguan mood memiliki prevalensi sebesar 31% dan 21,4%.6 Tingkat keparahan gangguan mental diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu; (a) ringan; (b) sedang; dan (c) berat. Data menunjukkan bahwa ada asosiasi yang kuat antara

estimasi prevalensi dengan tingkat keparahan gangguan. Negara yang melaporkan prevalensi yang tinggi atas gangguan mental tertentu juga melaporkan adanya impairment yang tinggi yang diasosiasikan dengan gangguan mental tersebut. Survei WMH menyebutkan bahwa mayoritas gangguan mental yang terdeteksi tergolong gangguan mental sedang, sedangkan negara yang melaporkan angka tertinggi untuk gangguan mental berat adalah Israel.4 Gangguan mental juga dilaporkan memiliki onset usia yang cenderung sangat dini. Misalnya, beberapa gangguan kecemasan seperti phobia dan separation anxiety disorder rata-rata muncul pada anak usia 7-14 tahun, sedangkan gangguan kecemasan lainnya serta gangguan mood rata-rata muncul pada usia 25-50 tahun. Dampak gangguan kesehatan mental diikuti oleh naiknya societal cost. Gangguan ini diikuti dengan menurunnya capaian pendidikan, meningkatnya angka pernikahan dini, menyebabkan instabilitas pernikahan dan melemahkan status finansial dan okupasional.4,7

Investigasi atas kerugian finansial yang ditimbulkan oleh gangguan kesehatan mental juga menghasilkan data yang mengejutkan. Survei yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa nilai kerugian dalam domain sumberdaya manusia yang diakibatkan major depressive disorder (MDD) pada pekerja yang harus ditanggung pemberi kerja mencapai US$36 juta setiap tahunnya. Lebih lanjut, 10 negara partisipan survei WMH melaporkan adanya rata-rata kerugian produktivitas sampai dengan 22 hari/pekerja akibat ADHD. Survei WMH menjadi notifikasi penting yang menjadi catatan penting bahwa gangguan mental merupakan gangguan kesehatan yang saat ini bertambah luas cakupannya, serta memiliki dampak yang luas, terutama di level sosial. Lima belas tahun setelah studi pertama The Global Burden of Disease dipublikasikan, negara-negara anggota WHO di Eropa mengungkapkan kegelisahannya atas kondisi tersebut kemudian merespon dengan merumuskan Mental Health Declaration di Helsinki. Deklarasi tersebut menegaskan komitmen negara-negara anggota

Page 58: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 45 - 52

48

WHO regional Eropa untuk bersama-sama membangun kekuatan untuk mengatasi persoalan kesehatan mental.8 Pertemuan tersebut menghasilkan serangkaian rencana aksi beserta proposisi tegas “..there is no health, without mental health” yang menegaskan bahwa setiap negara anggota WHO harus mulai memasukkan isu kesehatan mental sebagai prioritas kebijakan. Sayangnya sampai dengan saat ini, gangguan kesehatan mental belum menjadi prioritas di mayoritas negara berkembang, karena mereka lebih memprioritaskan kebijakan mengenai pengendalian penyakit menular dan kesehatan ibu dan anak (KIA). Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2018 Kementerian Keuangan, kebijakan anggaran kesehatan diarahkan pada distribusi ketenagaan, penguatan program promotif dan preventif yang diarahkan untuk penyakit tidak menular dan program untuk ibu hamil dan menyusui, meningkatkan efektifitas dan keberlanjutan program JKN serta meningkatkan peran Pemda untuk supply side dan peningkatan mutu layanan. Tak banyak berbeda, negara-negara maju pun masih lebih memprioritaskan mengatasi non-communicable disease yang menyebabkan kematian dini, misalnya kanker dan penyakit kardiovaskular.9

Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen para pengambil kebijakan untuk serius menangani masalah kesehatan mental, meskipun data-data epidemiologis menunjukkan bahwa problem ini tak lagi bisa dianggap remeh.

Posisi Indonesia Perumusan kebijakan kesehatan mental di Indonesia terbilang mengalami kemajuan apabila dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya, meskipun kemajuannya cenderung lambat. Termasuk usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah rupanya belum mampu menangani problem kesehatan mental sampai ke akar-akarnya. Perumusan kebijakan kesehatan mental belum didukung oleh data penunjang yang adekuat, sama halnya seperti yang dialami banyak negara berkembang lainnya. Padahal data yang berkualitas mengenai distribusi dan dampak

penyakit sangat dibutuhkan untuk merumuskan kebijakan yang efektif serta penting untuk proses perencanaan layanan.3 Satu-satunya data yang secara nasional representatif mewakili Indonesia adalah data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, survei skala nasional yang diorganisasi oleh Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI yang mencakup nyaris 1 juta responden dan sekitar 250 ribu rumah tangga di 440 kabupaten/kota di 27 propinsi di Indonesia. Survei lainnya yang mengakomodasi isu kesehatan mental adalah Indonesian Family Life Survey (IFLS) yang dilakukan oleh RAND Corporations, namun memiliki cakupan data yang jauh lebih kecil daripada Riskesdas.10 Riskesdas dilakukan berbasis komunitas berskala nasional dengan desain cross sectional sedangkan IFLS dilakukan dengan pendekatan on-going longitudinal. Meskipun begitu, instrumen yang digunakan oleh kedua survei untuk mengukur prevalensi gangguan mental terlalu sederhana bila dibandingkan dengan WHO-CIDI yang digunakan dalam survei WMH. Padahal WHO-CIDI masih memiliki kecenderungan kurang mengestimasi gejala klinis yang sebenarnya.11

Indonesian Family Life Survey (IFLS) memiliki cakupan yang jauh lebih terbatas dibandingkan Riskesdas. IFLS ‘hanya’ melibatkan 30 ribu responden dan 12 ribu rumah tangga di 13 propinsi di Indonesia. Instrumen yang digunakan dalam IFLS pun kurang adekuat. Alat ukur Center for Epidemiological Studies Depression Scale (CES-D) yang merupakan ‘turunan’ dari General Health Questionnaire yang digunakan dalam IFLS memiliki perangkat psikometrik yang kurang jelas.10 Selain itu, IFLS hanya menyediakan data mengenai depresi, tanpa melibatkan gangguan kesehatan mental lainnya. Sehingga kedepan diperlukan penyempurnaan alat ukur yang lebih adekuat. Data Riskesdas tahun 2013 menyebutkan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai 1.7 perseribu orang penduduk. Artinya, ada 1-2 orang yang menderita skizofrenia setiap 1000 penduduk.12 Prevalensi ini menurun drastis apabila dibandingkan dengan data Riskesdas tahun 2007 yang menyebutkan

Page 59: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Arah Kebijakan Kesehatan Mental: Tren Global dan Nasional ... ( Ilham Akhsanu Ridlo dan Rizqy Amelia Zein)

49

prevalensi gangguan jiwa berat mencapai 4.6 perseribu orang penduduk.12 Sama halnya dengan gangguan mental emosional yang mengalami penurunan prevalensi dari 11,6% pada tahun 2007, menjadi 6% pada tahun 2013.12 Meskipun begitu, tidak ada penjelasan klasifikasi gangguan mental emosional, padahal spektrum gangguan kesehatan mental sangat luas dan beragam. Penurunan prevalensi ini diakui oleh Kementerian Kesehatan sebagai anomali, bahkan sesungguhnya bertentangan dengan kenyataan di lapangan.13 Hal ini semakin menegaskan bahwa pemerintah Indonesia kekurangan data epidemiologis yang berkualitas untuk menyusun kebijakan kesehatan mental.Satu-satunya perangkat kebijakan yang menaungi upaya peningkatan kualitas kesehatan mental di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 mengenai Kesehatan Jiwa. Upaya membentuk payung legislasi atas kebijakan kesehatan mental adalah usaha yang patut diapresiasi, meskipun pemerintah cenderung sangat lambat dalam menjabarkannya dalam peraturan teknis. Selain itu, arah kebijakan kesehatan mental di Indonesia masih berkutat di area kuratif, belum sampai pada tahap preventif, promotif maupun rehabilitatif.14

Selain itu, komitmen pemerintah Indonesia dalam pembangunan kesehatan di Indonesia masih dipertanyakan akibat alokasi belanja kesehatan yang hanya diberi slot 5% dari APBN 2016, sedangkan anggaran untuk kesehatan mental hanya rata-rata 1% dari total anggaran kesehatan. Alokasi anggaran tahun 2016 sudah jauh lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.15,16 Tak heran Bank Dunia kemudian menggolongkan Indonesia sebagai negara dengan health expenditure terendah didunia.17 Kondisi ini tentunya merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah yang harus dihadapi oleh para pengambil kebijakan. Selain isu mengenai data epidemiologis, proses legislasi dan health budgeting, isu lainnya yang menjadi sentral dalam perbincangan mengenai kesehatan mental di Indonesia adalah problem mengenai kesenjangan perawatan (treatment gap) serta stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang

dengan gangguan mental (ODGM).

Problem Kesenjangan Perawatan dan Stigma Problem kesenjangan perawatan sejatinya tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Di seluruh dunia, tercatat sekitar 32,2% penderita skizofrenia yang tidak mendapatkan akses ke layanan kesehatan18. Sedangkan di Indonesia angkanya jauh lebih mencengangkan, yakni 96,5% penderita skizofrenia tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai. Artinya, kurang dari 10% penderita skizofrenia mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan.13,14

Selama ini, layanan kesehatan mental banyak berpusat di rumah sakit jiwa milik pemerintah dan swasta yang jumlahnya hanya 48 dan hanya ada di 26 propinsi di Indonesia.13 Lebih lanjut, jumlah tempat tidur yang dialokasikan untuk pasien psikiatrik hanya ada 7500 tempat tidur di seluruh Indonesia.19 Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki rumah sakit jiwa tentunya memaksa pemerintah untuk mengubah orientasinya dari pelayanan kesehatan mental berbasis rujukan (pasien gangguan mental dirujuk ke rumah sakit jiwa) menjadi kesehatan mental komunitas dasar (pasien dirawat di layanan kesehatan primer). Namun sejak integrasi layanan kesehatan mental ke Puskesmas pertama kali diperkenalkan pada tahun 2000, hanya 30% dari 9000 Puskesmas di seluruh Indonesia yang berhasil menyediakan layanan kesehatan mental. Persoalannya kemudian bertambah pelik, karena Indonesia juga masih kekurangan tenaga kesehatan mental profesional yang siap melayani pasien kesehatan mental di layanan kesehatan primer (Puskesmas), karena tenaga kesehatan di Puskesmas kurang terlatih untuk menangani kasus kesehatan mental, bahkan harus menangani kasus diluar kewenangannya.20

Stigma dan diskriminasi yang dialami oleh ODGM menjadi pekerjaan rumah yang berat selanjutnya. ODGM termasuk penderita skizofrenia sering mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari lingkungan sosialnya. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, ada

Page 60: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 45 - 52

50

sekitar 57 ribu penderita skizofrenia yang dipasung oleh keluarganya.12 Tidak hanya pemasungan, orang dengan skizofrenia (ODS) dan ODGM juga harus menghadapi risiko dijauhi, diabaikan atau bahkan ditolak oleh lingkungan sosialnya. Tak sedikit pula ODGM yang menjadi korban perlakuan kasar, bahan gosip, olok-olok dan penolakan yang muncul dari keluarganya sendiri.21 Oleh karena itu, pengobatan secara medis tidak serta-merta menyelesaikan problem yang dihadapi oleh ODS, karena hanya dengan pengobatan medis saja, pasien ODS masih memiliki probabilitas untuk kembali dirawat di rumah sakit jiwa (kambuh) sebesar 30%. Sedangkan apabila dikombinasikan program rehabilitasi yang melibatkan keluarga ODS, persentase kemungkinan terjadinya kekambuhan menurun sampai 8%.22 Artinya, pasien ODS masih dapat berfungsi secara normal, apabila ia berada dalam lingkungan keluarga yang suportif atas kondisinya. Stigma yang dialami ODGM tak hanya berefek memperparah penyakitnya, melainkan juga pada rentan membuat ODGM marjinal secara status sosial dan ekonomi. Misalnya ketika ODGM mengungkapkan kondisi kesehatannya pada atasan dan rekan kerjanya, mereka cenderung dijauhi atau bahkan diperlakukan tidak adil. Pemberi kerja juga cenderung tidak bersedia memperkerjakan calon karyawan yang diketahui memiliki masalah kesehatan mental. Lebih lanjut, di lingkup pendidikan, siswa yang juga ODGM juga cenderung mendapatkan perlakuan berbeda dari teman-temannya di sekolah, bahkan menjadi korban perundungan. Siswa ODGM juga cenderung diperlakukan berbeda dan diremehkan kemampuannya oleh gurunya di sekolah. Bentuk-bentuk stigma seperti inilah yang kemudian berimplikasi pada tingginya societal cost yang ditimbulkan oleh gangguan mental.23

KESIMPULAN

Masalah kesehatan mental tentunya tak lagi dapat dianggap sebagai isu perifer dalam perancangan kebijakan kesehatan. Faktanya,

gangguan kesehatan mental adalah ancaman global yang juga harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Kebijakan kesehatan mental yang evidence-based tentunya tak mungkin dapat disusun apabila data epidemiologis yang berkualitas tidak tersedia, sehingga langkah pertama yang harus diambil oleh pemerintah adalah berupaya untuk memotret kondisi kesehatan mental masyarakat Indonesia melalui riset yang komperhensif. Dengan data yang komperhensif, perancangan program-program kunci dan alokasi anggaran tentunya akan dapat diatur secara proporsional. Persoalan politik anggaran adalah hal selanjutnya yang harus diselesaikan pemerintah. Tanpa ada komitmen politik yang ditunjukkan oleh pemerintah untuk mengalokasikan anggaran yang cukup untuk membuka akses layanan kesehatan mental, tentunya persoalan mengenai kesenjangan perawatan tak akan pernah selesai. Pemerintah harus mulai memprioritaskan untuk membangun puskesmas-puskesmas yang mampu menyediakan layanan kesehatan mental yang berkualitas, disertai dengan menyediakan tenaga kesehatan mental yang profesional. Perluasan akses layanan, menggalakkan upaya promotif serta meningkatkan kesadaran masyarakat atas gangguan kesehatan mental harus menjadi prioritas arah kebijakan kesehatan jiwa nasional. Dengan tidak selalu mengandalkan pengobatan medis dan lebih banyak memfokuskan perawatan berbasis keluarga dan komunitas, kesejahteraan ODGM tentunya dapat ditingkatkan. Selain itu, dengan mendorong keluarga ODGM dan komunitasnya untuk lebih suportif terhadap kondisi kesehatan ODGM akan memperbesar peluang ODGM untuk pulih dan menjalani kehidupan yang bermakna.

DAFTAR RUJUKAN

1. World Health Organization. Estimates for 2000–2012. World Health Organization. http://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/estimates/en/index2.html. Published 2012. Accessed October 24, 2015.

2. World Health Organisation (WHO). Mental

Page 61: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Arah Kebijakan Kesehatan Mental: Tren Global dan Nasional ... ( Ilham Akhsanu Ridlo dan Rizqy Amelia Zein)

51

Health Atlas. Geneva :WHO; 2015.3. Baxter AJ, Patton G, Scott KM, Degenhardt

L, Whiteford H a. Global Epidemiology of Mental Disorders: What Are We Missing? PLoS One. 2013;8(6):1-9. doi:10.1371/journal.pone.0065514.

4. Kessler RC, Aguilar-Gaxiola S, Alonso J, et al. The global burden of mental disorders: an update from the WHO World Mental Health (WMH) surveys. Epidemiol Psichiatr Soc. 2011;18(1):23-33. doi:10.1017/S1121189X00001421.

5. Kessler RC, Üstün BB. The World Mental Health (WMH) Survey Initiative version of the World Health Organization (WHO) Composite International Diagnostic Interview (CIDI). Int J Methods Psychiatr Res. 2004;13(2):93-117. doi:10.1002/mpr.168.

6. Wang PS, Angermeyer M, Borges G, et al. Delay and failure in treatment seeking after first onset of mental disorders in the World Health Organization’s World Mental Health Survey Initiative. World Psychiatry. 2007;6(12):177-185.

7. Kessler RC, Angermeyer M, Anthony JC, et al. Lifetime prevalence and age-of-onset distributions of mental disorders in the World Health Organization’s World Mental Health Survey Initiative. World Psychiatry. 2007;6(3):168-176. doi:10.1001/archpsyc.62.6.593.

8. World Health Organisation. Mental Health: Facing the Challenges, Building Solutions. Copenhagen: World Health Organization; 2005.

9. Prince M, Patel V, Saxena S, et al. No health without mental health. Lancet. 2007;370(9590):859-877. doi:10.1016/S0140-6736(07)61238-0.

10. Tampubolon G, Hanandita W. Poverty and mental health in indonesia. Soc Sci Med. 2014;106:20-27. doi:10.1016/j.socscimed.2014.01.012.

11. Wittchen HU. Reliability and validity studies of the WHO--Composite International Diagnostic Interview (CIDI): a critical review. J Psychiatr Res. 1994;28(1):57-84.

doi:10.1016/0022-3956(94)90036-1.12. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar ( R I S K E S D A S ) 2 0 1 3 . J a k a r t a : B a d a n Litbangkes; 2013.

13. Siswadi A. Pemerintah Ragukan Riset Penderita Skizofrenia. Tempo.co. http://gaya.tempo.co/read/news/2014/03/28/060566006/pemerintah-ragukan-riset-penderi ta-skizofrenia. Published 2014. Accessed October 24, 2015.

14. Dirjen Bina Upaya Kesehatan. Strategi nasional sistem kesehatan jiwa. 2015. Jakarta : Dirjen Bina Upaya Kesehatan; 2015.

15. Aditiasari D. Anggaran 2016: Pendidikan Rp424 T, Infrastruktur Rp313 T, Kesehatan Rp106 T. DetikFinance. http://finance.detik.com/read/2015/08/14/162843/2992360/4/anggaran-2016-pendidikan-rp-424-t-infrastruktur-rp-313-t-kesehatan-rp-106-t. Published 2015. Accessed October 24, 2015.

16. Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Kesehatan RI. Buku Saku Pagu Indikatif Kementerian Kesehatan Tahun 2014. Jakarta : Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Kesehatan RI; 2014.

17. Anggaran Kesehatan Indonesia. Anggaran Kesehatan Indonesia Salah Satu yang Terendah di Dunia. Katadata News. http://katadata.co.id/berita/2015/02/18/anggaran-kesehatan-indonesia-salah-satu-yang-terendah-di-dunia#sthash.WFSWm0H5.dpbs. Published 2015. Accessed October 24, 2015.

18. Kohn R, Saxena S, Levav I, Saraceno B. The treatment gap in mental health care 2004. Bull World Health Organ. 2004;82(3):858-866. doi:/S0042-96862004001100011.

19. Setiawan GP. Rehabilitasi psikososial. [s.l] : [s.n.]; 2015.

20. Marchira CR. Integrasi Kesehatan Jiwa Pada Pelayanan Primer Di Indonesia: Sebuah tantangan di masa sekarang. J Manaj Pelayanan Kesehat. 2011;14(3):120-126.

21. Corrigan PW. Mental health stigma as social attribution: Implications for research methods and attitude change. Clin Psychol Sci Pract.

Page 62: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 45 - 52

52

2006;7(1):48-67. doi:10.1093/clipsy.7.1.48.22. Viora E. Arah Kebijakan Rehabilitasi

Psikososial pada ODGJ. [s.l.] ; [s.n.]; 2015.23. Sharac J, Mccrone P, Clement S, Thornicroft G.

The economic impact of mental health stigma and discrimination: A systematic review. Epidemiol Psichiatr Soc. 2010;19(3):223-232. doi:10.1017/S1121189X00001159.

Page 63: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Respons Sitokin Tnf-Α Dan Il-4 Pasca Stimulasi Antigen ... ( Rahma Indah Pratiwi, Jusak Nugraha, dan Betty Agustina Tambunan)

53

Respons Sitokin Tnf-Α Dan Il-4 Pasca Stimulasi Antigen Fusi Resat-6-Cfp-10

CYTOKINE RESPONSE OF TNF-α AND IL-4 POST-STIMULATION rESAT-6-CFP-10 FUSION ANTIGEN

Rahma Indah Pratiwi1, Jusak Nugraha1, dan Betty Agustina Tambunan1,dan Francisca Srioetami Tanoerahardjo2

1Departemen/Instalasi Patologi Klinik Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo SurabayaKAMPKampus KaUS A Univrsitas Airlangga. Kampus A Universitas Airlangga

Jl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 47. Surabaya - 60131 Indonesia2Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan.Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat

Submitted : 09-06-2017, Revised : 27-02-2017, Revised : 19-09-2017, Accepted : 26-02-2017

AbstractIntroduction.Protective immunity of tuberculosis (TB) infection is highly dependent on the balance of Th1 and Th2 cytokines. TNF-α cytokines produced by Th1 cell retain a latent status, and IL-4 produced by Th2 aids in the production of antibodies. The recent development of the vaccine candidates shows that rESAT-6-CFP-10 fusion antigen is specific to induce protective immune responses. The objective of the study was to determine the immune response. Method. This study used a quasi experimental design in the laboratory in vitro with cultured PBMC of patients with new cases of pulmonary TB, latent TB and healthy individuals. Examination of TNF-α and IL-4 levels was done by ELISA. Results. The highest TNF-α mean levels were 866,05 in the latent TB group, compared to 814,56 in active TB and 414,58 in healthy individuals, but they were not significantly different. The highest IL-4 mean levels were 1,39 in the active TB group, compared to 0,88 in latent TB and 0,74 in healthy individuals, but they were not significantly different. Conclusion. High levels of TNF-α and low levels of Il-4 in latent TB post-stimulation of rESAT-6-CFP-10 fusion antigen show that the candidate vaccine is capable of providing protective reponse against Mycobacterium tuberculosis infection.

Key words : TNF-α, IL-4, PBMC, ELISA, rESAT-6-CFP-10 AbstrakPendahuluan. Imunitas protektif terhadap infeksi tuberculosis sangat bergantung terhadap keseimbangan sitokin T-helper (Th)-1 dan Th2. Sitokin TNF-α yang disekresi oleh sel Th1 mampu mempertahankan status laten, dan IL-4 yang disekresi oleh Th2 membantu produksi antibodi. Pengembangan kandidat vaksin terbaru yaitu antigen fusi rESAT-6-CFP-10 bersifat spesifik terhadap respons imun protektif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui respons imun seluler melalui kadar TNF-α dan IL-4 pasca stimulasi antigen fusi rESAT-6-CFP-10. Metode. Penelitian in imenggunakan desain eksperimen semudi laboratorium secara in vitro pada kultur PBMC. Pemeriksaan kadar sitokin TNF-α dan IL-4 dengan metode ELISA. Hasil. Rerata kadar TNF-α pasca stimulasi paling tinggi ditemukan pada kelompok TB latenya 866,05, dibandingkan TB aktif 814,56 dan orang sehat 414,58, tetapi tidak berbeda bermakna. Reratakadar IL-4 pasca stimulasi paling tinggi ditemukan pada kelompok TB aktif, dibandingkan TB laten dan orang sehat, tetapi tidak berbeda bermakna. Simpulan. Kadar TNF-α yang tinggi dan kadar IL-4 yang rendah pada TB laten pasca stimulasi antigen fusi rESAT-6-CFP-10 menunjukkan bahwa kandidat vaksin mampu memberikan repons protektif terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis secara invitro.

Kata kunci : TNF-α, IL-4, PBMC, ELISA, rESAT-6-CFP-10.

http://dx.doi.org/10.22435/bpk.v46i1.6898.53-60

Page 64: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 53 - 60

54

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang termasuk 10 besar penyakit penyebab kematian di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa saat ini penularan individu terinfeksi Mycobacterium tuberculosis ke individu lain terjadi tiap detik. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang mudah menular dan terutama menyerang organ paru. Penyakit TB berkembang setelah inhalasi droplet terinfeksi M. tuberculosis yang dibatukkan oleh penderita TB.1,2 Setiap tahun lebih dari 3 juta penderita TB tidak terdiagnosis, tidak terobati atau tidak terdata oleh program nasional TB. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita TB paling banyak kedua di dunia setelah negara India. Jutaan penderita yang tidak terdiagnosis merupakan kegagalan kesehatan publik global karena TB merupakan penyakit yang menular melalui droplet sehingga orang yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati dapat menularkan penyakit ini kepada 10 sampai 14 individu setiap tahun.1-3

Imunitas protektif terhadap bakteri intraselular seperti M. tuberculosis sangat bergantung terhadap keseimbangan produksi sitokin tipe Th1 dan tipe Th2. Respons imun pejamu melawan M. tuberculosis dimediasi oleh imunitas selular terutama oleh peran sitokin dan sel T helper (Th)-1. Berbagai kejadian yang diperantarai oleh sitokin sangat penting untuk menentukan imunitas pejamu melawan M. tuberculosis atau resistensi pejamu. Sitokin adalah molekul yang memediasi komunikasi interselular dalam sistem imun, diproduksi oleh berbagai jenis sel. 3,4

Tumor Necrosis Factor (TNF)-α merupakan salah satu sitokin yang disekresi oleh sel Th1 dan mempunyai peran penting untuk pencegahan infeksi M. tuberculosis dan mempertahankan status laten. Tumor Necrosis Factor Alpha adalah sitokin yang diproduksi terutama oleh monosit atau makrofag, juga diproduksi oleh sel mast, sel endotel, jaringan saraf dan sel limfosit seperti limfosit T dan B dan sel natural killer (NK). Peningkatan jumlah makrofag aktif terjadi ketika TNF-α diproduksi terus menerus untuk pembentukan granuloma. Sebagian besar peran TNF-α adalah menghambat pertumbuhan infeksi bakteri M. tuberculosis intraselular dan induksi apoptosis sel terinfeksi.

Kematian sel makrofag merupakan kejadian penting pada imunopatogenesis TB, karena tidak hanya ikut serta pada bakterisidal langsung pada proses respons imun innate tetapi juga menfasilitasi aktivitas respons imun adaptif. TNF-α mempunyai kapasitas dominan untuk mempertahankan status dorman infeksi M. tuberculosis pada manusia dan juga menunjukkan aktivitas antimikobakteri yang efektif pada sel mononuklear fagositik. Peran sitokin TNF-α meliputi induksi apoptosis, maturasi dendritic cell (DC) dan induksi respons sel T spesifik serta mengarahkan pergerakan leukosit. Penelitian terhadap hewan coba dan observasi klinis pada pasien autoimun yang mendapat terapi antagonis TNF-α menunjukkan bahwa pasien tersebut akan menderita tuberkulosis. Hal ini mengindikasikan bahwa TNF-α merupakan bagian penting dari respons imun protektif terhadap M. tuberculosis. Mekanisme proteksi TNF-α sangat komplek dan bervariasi. Peran TNF-α pada pasien infeksi TB laten mungkin lebih tinggi dibandingkan pada TB aktif yang digambarkan melalui kadarnya pada kultur PBMC.4,5 Interleukin 4 merupakan salah satu sitokin yang disekresi oleh sel Th2. Sitokin IL-4 diperkirakan berkontribusi terhadap apoptosis limfosit T yang diaktivasi oleh M. tuberculosis dengan adanya TNF-α. Interleukin (IL)-4 merupakan sitokin yang dilepaskan oleh berbagai jenis sel antara lain sel T, eosinofil, basophil, sel mast, sel natural killer (NK) dan beberapa antigen presenting cell (APC). Sitokin IL-4 muncul lebih akhir sebagai hambatan terhadap respons Th1. Sitokin IL-4 mampu meningkatkan endositosis makrofag melalui aktivasi phosphatidylinositol 3-kinase, sehingga IL-4 masih penting dalam fungsi makrofag, walaupun demikian pada pasien dengan respons IL-4 yang tinggi dapat terjadi penurunan aktivitas makrofag sehingga menurunkan kemampuan makrofag untuk menghancurkan M. tuberculosis.6,7 Era sebelum tahun 2000, beberapa peneliti melaporkan bahwa pada infeksi TB selain sitokin Th1, terjadi pula peningkatan ekspresi IL-4.8,9 Peneliti lain gagal mendeteksi peningkatan kadar IL-4, sehingga masih menjadi kontroversi.10

Berdasarkan peran TNF-α dan IL-4 yang penting pada patogenesis infeksi TB, maka kami menggunakan dua sitokin tersebut untuk mewakili respons sel Th1 dan Th2 terhadap stimulasi antigen M. tuberculosis. Pemahaman mekanisme

Page 65: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Respons Sitokin Tnf-Α Dan Il-4 Pasca Stimulasi Antigen ... ( Rahma Indah Pratiwi, Jusak Nugraha, dan Betty Agustina Tambunan)

55

respons dan fungsi sitokin yang terlibat dalam TB dibutuhkan untuk mencapai perkembangan dalam pencegahan dan pengendalian TB yang efektif.4 Salah satu metode pencegahan penyakit infeksi adalah vaksinasi yang diharapkan menjadi alat yang menghemat biaya untuk eradikasi dan pengendalian TB. Saat ini, bacillus calmette-Guerin (BCG) merupakan satu-satunya vaksin yang tersedia untuk pencegahan TB. Vaksin BCG diketahui memiliki efektifitas yang baik melawan TB miliar dan meningitis TB pada anak. Walaupun demikian, sub-strain BCG yang digunakan menyebabkan variabilitas efektivitas protektif vaksin BCG melawan TB paru dewasa dan terjadi peningkatan angka insiden TB di dunia dan jumlah individu terinfeksi HIV. Sampai saat ini beberapa vaksin mulai diteliti untuk mencegah TB atau meningkatkan efektivitas BCG.11,12

Identifikasi antigen yang sesuai dan pemilihan cara pemberian yang sesuai dibutuhkan untuk mendesain vaksin subunit terbaru. Antigen yang digunakan adalah antigen yang disekresikan oleh M. tuberculosis. Protein ini diproduksi pada stadium awal penyakit dan merangsang respons imun protektif dari sel limfosit Th1. Antigen early secreted antigenic target protein 6 kDa (ESAT-6) dan culture filtrate protein 10 kDa (CFP-10) adalah dua protein sekretori yang mempunyai peran terbaik yang mampu merangsang respons imun efektif melawan infeksi TB diantara berbagai protein lainnya. Gen yang mensintesis protein ini terletak pada genomic region of difference-1 (RD1) dan tidak ditemukan pada strain vaksin BCG. Delesi RD1 pada vaksin BCG menyebabkan hilangnya kemampuan imunogenisitas dari vaksin tersebut secara signifikan. Penelitian pada efek imunogenisitas, melalui stimulasi IFN-γ yang dihasilkan oleh Th1 dan sel T sitotoksik menunjukkan bahwa vaksin yang mengandung ESAT6 dan CFP10 merupakan kandidat vaksin terbaru yang terbaik.12 Penelitian Torabi et al tahun 2013 pada hewan coba menunjukkan ada peningkatan respons imun protektif pasca vaksin yang mengandung ESAT6 dan CFP10.11

Sitokin yang dilepaskan pasca stimulasi antigen spesifik secara in vitro menggambarkan respons imun terhadap antigen tersebut. Pengetahuan mengenai profil sitokin pada TB masih terbatas. Sehingga pada penelitian ini kami mengukur kadar TNF-α dan IL-4 sebagai respons imun pada supernatan peripheral blood mononuclear cell (PBMC) setelah stimulasi

antigen fusi rekombinan (r)ESAT-6-CFP-10 in vitro menggunakan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) pada pasien TB paru aktif baru, TB laten dan orang sehat serta mengamati perbedaan kadar sitokin tersebut sebelum dan setelah stimulasi antigen fusi rESAT-6-CFP-10 pada masing-masing kelompok. Metode pemeriksaan ELISA menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang baik untuk mendeteksi sitokin esktrselular. Reaktan ELISA juga mampu memisahkan ikatan nonspesifik, hal ini menjadikan ELISA sebagai metode terbaik untuk mendeteksi analit spesifik.13

BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi experimental design) di laboratorium dengan cara in vitro. Penelitian dilakukan antara bulan Oktober 2016 sampai April 2017. Penelitian ini telah mendapatkan kelaikan dari komite etik penelitian kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jumlah sampel penelitian dibagi menjadi tiga (3) kelompok, yaitu yang pertama kelompok donor PBMC pasien TB aktif sebanyak yang didiagnosis TB berdasarkan hasil pengecatan basil tahan asam (BTA) dan didiagnosis sebagai TB paru aktif kasus baru oleh spesialis paru dari RS Paru Karang Tembok Surabaya, kedua kelompok donor PBMC TB laten berasal dari perawat RS Paru Karang Tembok yang sudah bekerja minimal selama 6 bulan dan ketiga kelompok donor PBMC orang sehat sebanyak diambil dari orang sehat yang berdomisili di Surabaya. Sampel dipilih dengan consecutive sampling. Pasien TB paru yang mendapat obat anti tuberkulosis (OAT) dan pasien dengan keluhan infeksi saluran pernapasan selain TB paru, penderita diabetes mellitus, human immunodeficiency virus-acquired immunodeficiency syndrome (HIV AIDS), hepatitis B, gagal ginjal kronis dan kelainan hati tidak masuk sebagai sampel penelitian. Sampel penelitian merupakan supernatant kultur PBMC pasca stimulasi antigen fusi rESAT-6-CFP-10. Dosis antigen sebanyak 5µg/mL, dikultur dengan PBMC selama 120 jam dalam ruangan bertekanan CO2 5% dan suhu 37ºC. Pemeriksaan sitokin TNF-α dan IL-4 menggunakan metode ELISA. Sitokin TNF-α dan IL-4 dari supernatant kultur PBMC dan antibodi spesifik pertama yaitu anti-human TNF-α atau IL-4 monoclonal antibody yang dilekatkan pada

Page 66: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 53 - 60

56

sumuran ELISA akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen dan antibodi ini dideteksi dengan biotinylated antibody spesifik terhadap TNF-α atau IL-4. Substrat TMB solution ditambahkan dan dibiarkan selama 15 sampai 25 menit untuk menginduksi terjadinya warna biru pada sumuran. Perubahan warna diukur dengan panjang gelombang 450 nm. Hasil pemeriksaan ELISA diukur dengan menggunakan ELISA reader dengan hasil berupa nilai kuantitatif dari absorbans sampel. Absorbans yang terbaca di alat dimasukkan ke kurva standar untuk mendapatkan kadar sitokin yang sebenarnya. Kurva standar dibuat berdasarkan pengenceran larutan standar sebanyak 2 kali (two fold dilution) yaitu masing-masing untuk TNF-α dan IL-4. Pengumpulan data dilakukan dengan lembar pengumpulan data (data tidak ditampilkan). Data yang terkumpul diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, diagram atau grafik. Perbedaan rerata kadar TNF-α dan IL-4 pada kultur PBMC pasca stimulasi antigen fusi rESAT-6-CFP-10 antara kelompok penderita TB paru aktif, laten dan orang sehat dianalisis dengan Kruskal-Wallis dengan tingkat kemaknaan p<0,05. Alur penelitian dapat

dilihat pada Gambar 1.

HASIL

Penjaminan mutu pemeriksaan laboratorik penting dilakukan untuk menghasilkan pemeriksaan yang dapat dipercaya. Penjaminan mutu sebelum pemeriksaan dilakukan melalui pengecekan tanggal kadaluarsa, nomor lot setiap kit dan penyimpanan reagensia sesuai dengan instruksi pada kit. Setiap pemeriksaan dilakukan sesuai dengan prosedur yang tertera pada kit insert. Dosis antigen yang digunakan adalah 5mcg. Dosis tersebut merupakan dosis optimal untuk merangsang proliferasi limfosit. Penjaminan mutu hasil dilakukan dengan kontrol impresisi, yaitu mencari impresisi within run dengan melakukan duplikasi pemeriksaan pada 10 sampel penelitian dalam waktu yang bersamaan. Hasil yang diperoleh berupa standard deviation (SD) dan coefficient of variation (CV). Uji impresisi kit reagen TNF-α didapatkan SD sebesar 2,69 pg/mL dan CV sebesar 3,56%. Uji impresisi kit reagen IL-4 didapatkan SD sebesar 0,05 pg/mL dan CV sebesar 5,48%.

Diukur kadar TNF-α dan IL-4 metode ELISA

Subyek

Kelompok TB aktif Kelompok orang sehat Kelompok TB laten

Sampel darah heparin

Isolasi PBMC

Limfosit tanpa mitogen. Limfosit + Fusi ESAT-6/CFP-10.

Diatur kepadatan sel 106 sel limfosit /mL dalam media kultur yang mengandung 1 mL RPMI 1640 + 10% FCS (Feotal Calf Serum) + 1% antibiotik/ antimikotik

Sentrifus dan diambil supernatant sebanyak 90-100 . µL. Dimasukkan kedalam appendorf.

Inkubasi CO2 5% (5 hari)

Gambar 1. Alur penelitian

Page 67: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Respons Sitokin Tnf-Α Dan Il-4 Pasca Stimulasi Antigen ... ( Rahma Indah Pratiwi, Jusak Nugraha, dan Betty Agustina Tambunan)

57

Karakteristik Subjek Penelitian Jumlah subjek penelitian ini sebanyak 56 orang yang terdiri dari 18 penderita TB paru aktif baru, 19 orang perawat sehat yang berisiko menderita TB paru dan 19 orang sehat dengan tes tuberkulin negatif (Tabel 1). Rentang usia penderita TB aktif terbanyak yaitu pada rentang 20-50 tahun sebanyak 10 orang (55,5%) dan penderita TB laten sebanyak 15 orang (78,9%). Penderita TB aktif dan TB laten terbanyak pada usia reproduktif yaitu 20-50 tahun.

Kadar TNF-α Pasca Stimulasi Antigen Fusi rESAT-6-CFP-10 pada kelompok TB aktif, TB laten dan orang sehat Rerata kadar TNF-α pada kelompok TB laten paling tinggi dibandingkan TB aktif dan orang sehat. Analisis kadar TNF-α pasca stimulasi antigen fusi rESAT-6-CFP-10 pada kelompok TB aktif, TB laten dan orang sehat tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05) (Tabel 2).

Kadar IL-4 Pasca Stimulasi Antigen Fusi rESAT-6-CFP-10 pada kelompok TB aktif, TB laten dan orang sehat Rerata kadar IL-4 paling tinggi didapatkan

Tabel 1. Karakteristik Subjek PenelitianKarakteristik TB Aktif TB Laten Orang Sehat

Jenis Kelamin Laki-laki 14 (77,8%) 8 (42,1%) 10 (52,6%)Jenis Kelamin Perempuan 4 (22,2%) 11 (57,9%) 9 (47,4%)Rerata umur (tahun) 18-60 (39,33±15,59) 26-58 (41,95±10,45) 18-53 (37±10.04)<20 3 (16,7%) 0 (0%) 1 (5,3%)20-50 10 (55,6%) 15 (78,9%) 16 (84,2%)>50 5 (27,7%) 4 (21,1%) 2 (10,5)Jumlah subjek 18 19 19

Tabel 2. Kadar TNF-α Pasca Stimulasi Antigen Fusi Resat-6-CFP-10 pada Ketiga KelompokKelompok

p value*TB Aktif TB Laten Orang sehat

Min-Maks Median (Rerata±SD) 18,1-5385,0152,50 (814,56± 1424,01)

4,3-3224,0625,60 (866,05± 1.005,19)

0,2-2836,043,40 (414,58± 746,74)

0,111

Tabel 3. Kadar IL-4 Pasca Stimulasi Antigen Fusi Resat-6-CFP-10 pada Ketiga Kelompok

Kelompokp value*

TB Aktif TB Laten Orang sehatMin-Maks Median (rerata±SD) 0,17-9,21

1,08 (1,39±1,99)0,13-1,87

0,85 (0,88±0,57)0,01-2,33

0,57 (0,74±0,57)0,295

dari kelompok TB aktif dibandingkan TB laten dan orang sehat. Analisis kadar IL-4 pasca stimulasi antigen fusi rESAT-6-CFP-10 pada kelompok TB aktif, TB laten dan orang sehat tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05) (Tabel 3).

PEMBAHASAN Karakteristik Subjek Penelitian

Penderita TB paru aktif baru terbanyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 14 orang (77,8%). Secara keseluruhan diperkirakan 70% kasus BTA positif berasal dari laki-laki.14-16. Beberapa hipotesis yang memicu kejadian TB paru lebih banyak pada laki-laki akibat perbedaan imunitas, perbedaan paparan M. tuberculosis pada lingkungan sosial, kebiasaan merokok. Perbedaan imunitas antara laki-laki dan perempuan dapat dipengaruhi oleh hormon reproduksi. Penekanan hormon androgen pada hewan tikus jantan menyebabkan peningkatan jumlah sel limfosit T di kelenjar limfatik dan peningkatan proliferasi sel setelah paparan antigen.17 Hormon estradiol mampu meningkatkan aktivasi makrofag.18. Teori yang menjelaskan mengapa kejadian infeksi TB banyak pada laki-laki dengan aktivitas lingkungan

Page 68: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 53 - 60

58

sosial yang luas adalah semakin banyak terpapar kuman M. tuberculosis. Kebiasaan merokok secara aktif meningkatkan risiko menderita TB 78 kali dibandingkan bukan perokok.14,19

Penderita TB paru aktif paling banyak termasuk dalam rentang usia produktif. Laporan WHO (2014) menyatakan bahwa sebagian besar kasus TB terjadi pada usia produktif, walaupun demikian infeksi TB dapat menyerang berbagai usia.20,21 Hal tersebut juga diperkirakan karena pada usia tersebut lebih mudah terjadi paparan terhadap kuman M. tuberculosis dari lingkungan kerja dan lingkungan sosial.22

Kadar TNF-α Pasca Stimulasi Antigen Fusi rESAT-6-CFP-10 pada kelompok TB aktif, TB laten dan orang sehat Penelitian kami menemukan bahwa pasca stimulasi antigen fusi rESAT-6-CFP-10 sitokin TNF-α lebih banyak disekresikan oleh PBMC penderita TB laten dibandingkan penderita TB aktif dan orang sehat. Sesuai dengan hasil penelitian kami, penelitian lain juga menemukan kadar TNF-α plasma penderita TB laten lebih tinggi dibandingkan kontrol sehat dan CFP-10 mampu merangsang respons hipersensitivitas tipe lambat ketika disuntikkan intradermal pada guine-pigs yang terinfeksi M. tuberculosis.23,24 Sitokin TNF-α diduga berperan pada respons hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity). Sitokin TNF-α merupakan modulator yang terpenting pada respons peradangan awal terhadap kuman M. tuberculosis. Sitokin TNF-α juga berperan untuk mempertahankan status laten infeksi TB.23

Imunitas protektif sangat tergantung kemampuan pejamu untuk menghasilkan sitokin sel T spesifik dan merangsang aktivasi makrofag melalui IFN-γ dan TNF-α dan selanjutnya membentuk granuloma. Pembentukan granuloma bukan merupakan respons yang terjadi secara cepat setelah terpapar oleh kuman M. tuberculosis. Pembentukan granuloma membutuhkan waktu sampai 3 minggu untuk mencapai jumlah sel yang cukup menghambat proliferasi kuman M. tuberculosis. Dalam waktu tersebut, kuman M. tuberculosis melakukan invasi dan replikasi cepat di dalam makrofag. Sistem imun innate terus merangsang rekrutmen dan aktivasi makrofag yang menghasilkan beberapa faktor autokrin. Sitokin TNF-α berperan penting pada TB karena mampu mencegah perkembangan TB laten menjadi TB aktif.25-27 Hal ini dibuktikan dengan netralisasi

TNF-α (contohnya, pemberian antibodi anti-TNF-α sebagai terapi penyakit inflamasi contohnya psoriasis dan artritis rematoid), menyebabkan reaktivasi TB laten menjadi TB aktif. Netralisasi TNF-α pada mencit yang menderita infeksi TB kronis menyebabkan peningkatan penyebaran bakteri dan 100% mortalitas, serta memberikan gambaran infiltrasi sel-sel inflamasi yang tinggi ke paru.23,28

Kadar sitokin antar individu diperkirakan sangat bervariasi, sehingga hasil pemeriksaan kadar sitokin mempunyai rentang yang sangat lebar. Produksi TNF-α mengalami down-regulation atau mengalami hambatan produksi oleh beberapa sitokin anti-inflamasi seperti TGF-β dan IL-10, yang dapat dirangsang oleh komponen mikobakteri seperti Ag85B, walaupun pada kadar yang lebih rendah dari TNF-α. Rerata kadar TNF-α penderita TB aktif yang lebih rendah dibandingkan penderita TB laten pada penelitian ini menunjukkan bahwa status imun penderita TB aktif termasuk immunocompromised dibandingkan penderita TB laten, dan subjek orang sehat tidak bersifat naïve terhadap antigen M. tuberculosis. Sekresi sitokin TNF-α pada subjek orang sehat bisa disebabkan beberapa hal, antara lain paparan dengan Mycobacterium lingkungan atau akibat vaksin BCG. Meskipun demikian, sekresi TNF-α oleh PBMC pasca stimulasi antigen fusi rESAT-6-CFP-10 yang paling tinggi ditemukan pada kelompok penderita TB laten. Hal ini mendukung peran antigen fusi rESAT-6-CFP-10 yang bersifat protektif.5,29

Berbeda dengan penelitian kami, Satchidanandam et al (2016) menemukan perbedaan kadar TNF-α yang signifikan pada PBMC kelompok TB aktif dibandingkan TB laten pasca stimulasi antigen M. tuberculosis Rv1860. Sitokin TNF-α terutama dihasilkan oleh sel-sel non-T. Antigen M. tuberculosis Rv1860 sangat berbeda dengan antigen ESAT-6 dan CFP-10. Seperti diketahui bahwa antigen ESAT-6 dan CFP-10 merupakan antigen yang spesifik terhadap sel T CD4+, sedangkan antigen M. tuberculosis Rv1860 lebih dominan terhadap sel T CD8+. Penggunaan antigen yang dominan terhadap sel T CD8+ dan spesifik terhadap TNF-α diduga mampu memberikan hasil sekresi TNF-α yang signifikan. Penelitian tersebut memeriksa kadar TNF-α supernatan kultur PBMC setelah kultur selama 48 jam, dengan dosis antigen 2,5 µg/mL, sementara pada penelitian kami menggunakan

Page 69: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Respons Sitokin Tnf-Α Dan Il-4 Pasca Stimulasi Antigen ... ( Rahma Indah Pratiwi, Jusak Nugraha, dan Betty Agustina Tambunan)

59

dosis antigen yang lebih tinggi 5 µg/mL atau 10 µL dengan lama kultur selama 120 jam. Diduga perbedaan HLA menyebabkan respons imun yang berbeda pada tiap individu.30 Kadar IL-4 Pasca Stimulasi Antigen Fusi rESAT-6-CFP-10 pada kelompok TB aktif, TB laten dan orang sehat Kadar IL-4 pasca stimulasi pada kelompok TB laten lebih rendah dibandingkan TB aktif karena mekanisme sistem imun yang menghambat produksi IL-4 pasca stimulasi dengan antigen spesifik Th1. Produksi sitokin IL-4 dihambat oleh IFN-γ dan IL-2 pada kadar yang tinggi pada orang sehat maupun TB laten berperan aktif untuk menghambat produksi IL-4.9 Mekanisme penghambatan ini tidak terjadi pada penderita TB aktif. Oleh sebab itu, kadar sitokin IL-4 ditemukan paling tinggi pada kelompok TB aktif. Penelitian oleh Crevel menunjukkan bahwa penderita TB paru aktif menunjukkan peningkatan produksi IL-4 yang signifikan dari limfosit T. Produksi IL-4 tidak hanya berasal dari sel T CD4+ tetapi juga dari sel T CD8+. Ekpresi berlebihan IL-4 terjadi pada pasien dengan kavitas paru, hal ini memprediksi peran IL-4 yang bersifat merusak jaringan.31,32

Produksi IL-4 yang tinggi berhubungan dengan risiko tinggi berkembang menjadi TB aktif. Kadar IL-4 ditemukan rendah pada kelompok penderita TB aktif, TB laten dan orang sehat. Beberapa hal diduga yang mempengaruhi rendahnya kadar IL-4 antara lain IL-4 aktif berada pada jumlah dan kelipatan yang rendah, mRNA yang mengkode IL-4 mempunyai waktu paruh yang singkat, adanya IL-4 splice variant (IL-4δ2) yang merupakan antagonis IL-4 dan stimulasi sel yang menghasilkan IFN-γ secara cepat menyebabkan down regulated proliferasi sel Th2 selanjutnya menurunkan jumlah sitokin IL-4 yang memang sebelumnya rendah.33 Selain itu Sitokin IL-4 mungkin berhubungan dengan hilangnya repons protektif terhadap kuman M. tuberculosis dan berperan pada patogenesis infeksi TB.34

KESIMPULAN

Kadar TNF-α yang tinggi dan kadar sitokin IL-4 yang rendah pada penderita TB laten mendukung peran antigen fusi rESAT-6-CFP-10 yang dominan menginduksi respons protektif Th1 mensekresi TNF-α. Sitokin TNF-α terutama penting untuk mempertahankan status laten TB.

Sitokin IL-4 umumnya bersifat merusak jaringan tubuh.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kepada Dr. Fransisca, dr., Sp.PK dan PBTDK Litbang Depkes Jakarta atas dukungan dan bantuan pengadaan antigen fusi spesifik TB rESAT-6-CFP-10 serta reagen ELISA TNF-α dan IL-4.

DAFTAR RUJUKAN

1. World Health Organization (WHO). Global Tuberculosis Report 20th Edition.Geneva : WHO; 2015.

2. UNOPS. Global Plan to End TB: The Paradigm Shift 2016-2020.[s.l] : UNOPS; 2015.

3. Schluger NW. The Pathogenesis of Tuberculosis: The First One Hundred Years. American Journal of Respirology Cell Molecular Biology. 2005; 32: 251-6.

4. Vila Y, Cavalcanti N, Carolina M, Brelaz A, Kelle J, Lemoine DA, et al. Role of TNF-Alpha , IFN-Gamma , and IL-10 in the Development of Pulmonary Tuberculosis. [s.l.] : Hindawi Publishing Corporation; 2012.

5. Mootoo A, Stylianou E, Arias MA, Reljic R. TNF-α in Tuberculosis : A Cytokine with a Split Personality. Journal of Inflammation & Allergy - Drug Targets. 2009;8: 53–62.

6. Wu H, Wu C, Yu C, Liu Y. Efficiency of interleukin-4 expression in patients with tuberculosis and nontubercular pneumonia. Journal of Human Immunology. 2007;3: 832–8

7. Etna MP, Giacomini E, Severa M, Coccia EM. Pro- and anti-inflammatory cytokines in TB : A two-edged sword in. Semin Immunol [Internet]. 2014; Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.smim.2014.09.011.

8. Schauf V, Rom WN, Smith KA, et al. Cytokine gene activation and modified responsiveness to interleukin-2 in the blood of tuberculosis patients. Journal of Infectious Diseases. 1993;168(4):1056-9.

9. Sanchez FO, Rodrigues J, Agudelo G, et al. Immune responsiveness and lymphokine production in patients with tuberculosis and healthy controls Immune Responsiveness and Lymphokine Production in Patients with Tuberculosis and Healthy Controls. Journal of Infection and Immunity. 1995; 62(12): 5673-8.

10. Lin Y, Zhang M, Hofman FE, Gong J, Barnes,

Page 70: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 53 - 60

60

PF. Absence of a Prominent Th2 Cytokine Response in Human Tuberculosis. Journal of Infection and Immunity. 1996; 64(4): 1351-6.

11. Torabi A, Tahmoorespur M, Vahedi F, et al. Quantiation of IL-4, IL-10 and IFN-γ genes expression after immunization of mice with CFP-10 and ESAT-6 containing vectors. Iran Journal of Immunology. 2013;10(4):205-15.

12. Farsiani H, Mosavat A, Soleimanpour S, et al. Fc-based delivery system enhances immunogenicity of a tuberculosis subunit vaccine candidate consisting of the ESAT-6:CFP-10 complex. Molecular BioSystem. 2016; 12: 2189-201.

13. ELISA Encyclopedia. Sino Biological Inc,. 2004. Available at. www.elisa-antibody.com

14. Watkins RE, Plant AJ. Does smoking explain sex differences in the global tuberculosis epidemic?. Epidemiology Infection. 2006; 134: 333–9.

15. World Health Organization. Global tuberculosis control. Geneva : WHO; 2000.

16. Diwan VK, Thorson A. Sex, gender, and tuberculosis. Lancet. 1999; 353: 1000–1.

17. Roden AC, Moser MT, Tri SD. Augmentation of T cell levels and responses induced by androgen deprivation. Journal of immunology. 2004; 173: 6098-108.

18. Calippe B, Douin-Echinard V, Laffargue M, Laurell H, Rana-Poussine V. Chronic estradiol administration in vivo promotes the proinflammatory response of macrophages to TLR4 activation: involvement of phosphatidylinositol 3-kinase pathway. Journal of Immunology. 2008; 180: 7980-8.

19. Thorson A, Long NH, Johansson E., et al. Tuberculosis and Gender. 2001. http://www.who.int/gender/documents/WHO%20TB-Gender%20_finalversion%2031.pdf.

20. Chakrabarti B, Calverley PMA, Davies PDO, et al. Tuberculosis and its incidence, special nature, and relationship with chronic obstructive pulmonary disease. International Journal of Chronic Obstruction Pulmonary Diseases. 2007; 2(3): 263–72.

21. World health organization. World Health Organization: Tuberculosis—Global Facts 2014/2015. Geneva: WHO; 2015.

22. Diwan, V.K., Thorson A. Sex, gender, and tuberculosis. Lancet. 1999; 353: 1000–1.

23. Yousef BA , Khalil EA, Hamid NH, et al. TNF-α and IL-10 Levels: Possible Risk Markers For Latent M. tuberculosis Infections Among Sudanese. International Journal of Tropical Medicine. 2014; 9(1): 1-6.

24. Trajkovic V, Singh G,Singh B, et al. Effect of Mycobacterium tuberculosis-Specific 10-Kilodalton Antigen on Macrophage Release of Tumor Necrosis Factor Alpha and Nitric Oxide. Journal of Infection and Immunity. 2002; 70(12): 6558–66.

25. Jacobs M, Togbe D, Fremond C, Samarina A, et al. Tumour necrosis factor is critical to control tuberculosis infection. Microbes Infection. 2007;9: 623-8.

26. Steger S. Immunological control of tuberculosis: role of tumour necrosis factor and more. Ann Rheum Dis. 2009; 64: 24-8.

27. Lin PL, Plessner HL, Voitenok NN, Flynn JL. Tumour necrosis factor and tuberculosis. J. Investig. Dermatol. Symp. Proc. 2007; 12: 22-5.

28. Mohan VP, Scanga CA, Yu K, et al. Effects of Tumor Necrosis Factor Alpha on Host Immune Response in Chronic Persistent Tuberculosis: Possible Role for Limiting Pathology. Journal of Infection and Immunity. 2001; 69(3): 1847–55.

29. Al-Attiyah R, Madi NM, El-Shamy AM, et al. Cytokine profiles in tuberculosis patients and healthy subjects in response to complex and single antigens of Mycobacterium tuberculosis. Federation of European Microbiological Societies. 2006; 47: 254–61.

30. Satchidanandam V, Kumar N, Biswas S, et al. The Secreted Protein Rv1860 of Mycobacterium tuberculosis Stimulates Human Polyfunctional CD8+ T Cells. Clinical and Vaccine Immunology. 2016; 23(4): 282-93.

31. Crevel RV, Karyadi E, Preyers F, et al. Increased Production of Interleukin 4 by CD4+ and CD8+ T Cells from Patients with Tuberculosis Is Related to the Presence of Pulmonary Cavities. The Journal of Infectious Diseases. 2000; 181: 1194–7.

32. Demissie A, Wassie L, Abebe M, et al. The 6-Kilodalton Early Secreted Antigenic Target-Responsive, Asymptomatic Contacts of Tuberculosis patients Express elevated levels of Interleukin-4 and reduced levels of gamma interferon. Journal of Infection and immunity. 2006; 74(5): 2817-22.

33. Gonzalez RD, Prince O, Cooper A, et al. Cytokines and Chemokines in Mycobacterium tuberculosis infection. Microbiol Spectr. 2016; 4(5): 1-58.

34. Surcel HM, Troya-Bloomberg M, Pauline S, et al. Th1/Th2 profiles in tuberculosis based on proliferation and cytokine response of blood lymphocyte to microbial antigens. Immunology. 1994; 8(1): 171-6.

Page 71: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kombinasi Salam, Pegagan, Alang-Alang, dan Pala Terhadap Fungsi ... (Ulfatun Nisa dan Tyas Friska Dewi)

61

Kombinasi Salam, Pegagan, Alang-Alang, dan Pala Terhadap Fungsi Kardiovaskuler Pasien Hipertensi Esensial

COMBINATION OF BAY, GOTU KOLA, COGON GRASS, AND NUTMEG ON CARDIOVASCULAR FUNCTION OF ESSENTIAL HYPERTENSIVE PATIENTS

Ulfatun Nisa dan Tyas Friska Dewi

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional TawangmanguE - mail : [email protected]

Submitted : 16-10-2017, Revised : 12-02-2018, Revised : 27-12-2018, Accepted : 19-03-2018

AbstractHypertension is one of cardiovascular risk factors. This study aims to determine the effect of combinations of bay leaf (Syzygium polyanthum), gotu kola (Centella asiatica), cogon grass (Imperata cylindrica), and nutmeg (Myristica fragrans) to the cardiovascular function of essential hypertensive patient as alternative therapy. The study used a pre experimental quasi and post test design. Sixty new patients which came between Juni-October 2016 that fulfilled inclusion criteria, 18-60 years old with mild hypertension and stable health conditions, and exclusion criteria, doesn’t have severe comorbid disease, pregnant, or have allergic reaction toward given combination of bay, gotu kola, cogon grass, and nutmeg (jamu). The subjects drank given jamu formula twice a day for 56 days. Measurement of blood pressure, heart rate, RPP, PP, and MAP done once a week in Rumah Riset Jamu Tawangmangu. The results showed a decrease in systolic pressure from 147.16 ± 6.46 mmHg to 132.25 ± 11, 21 mmHg with p value = 0.001%, diastolic pressure decreased from 92.16 ± 2.49 mmHg to 77.83 ± 8 , 98 mmHg with p value = 0.001%, mean arterial pressure, heart rate, RPP, and PP also decreased. The results showed that combination of bay leaf, gotu kola, cogon grass, nutmeg can increase cardiovascular function by decreasing in blood pressure, heart rate, RPP, PP, and MAP.

Keywords : hypertension, bay leaf, gotu kola, cogon grass, nutmeg AbstrakHipertensi merupakan faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ramuan kombinasi daun salam (Syzygium polyanthum), pegagan (Centella asiatica), akar alang-alang (Imperata cylindrica), dan biji pala (Myristica fragrans) terhadap fungsi kardiovaskuler pasien hipertensi esensial sebagai terapi alternatif. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah quasi eksperimental pre dan post test design. Pasien baru berjumlah 60 orang yang datang pada bulan Juni-Oktober 2016, yang memenuhi kriteria inklusi usia 18-60 tahun dengan hipertensi ringan serta kondisi pasien stabil dan kriteria eksklusi tidak mempuyai penyakit komorbid yang berat, hamil atau adanya alergi terhadap salah satu tanaman dalam kombinasi tersebut Subyek diberi ramuan jamu yang diminum 2 kali setiap hari selama 56 hari. Pengukuran terhadap tekanan darah, heart rate, RPP, PP, dan MAP dilakukan setiap minggu di Rumah Riset Jamu Tawangmangu. Hasil yang didapat menunjukkan penurunan tekanan sistolik dari 147,16 ± 6,46 mmHg menjadi 132,25 ± 11, 21 mmHg dengan nilai p = 0,001%, tekanan diastolik menurun dari 92,16 ± 2,49 mmHg menjadi 77,83 ± 8,98 mmHg dengan nilai p = 0,001%, tekanan arteri rata-rata, heart rate, RPP, dan PP juga mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan kombinasi daun salam, pegagan, akar alang-alang, dan biji pala dapat meningkatkan fungsi kardiovaskular dengan menurunkan tekanan sistolik, diastolik, tekanan arteri rata-rata, nilai PP dan RPP.

Kata kunci:hipertensi, salam, pegagan, alang-alang, pala

http://dx.doi.org/10.22435/bpk.v46i1.7741.61-68

Page 72: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 61 - 68

62

PENDAHULUAN

Hipertensi berperan penting dalam terjadinya penyakit kardiovaskular. Manifestasi hipertensi melibatkan perubahan struktural dan fungsional dari organ target. Tekanan darah merupakan informasi penting dalam menentukan status kardiovaskuler awal pasien.1 Pedoman terkini untuk diagnosis dan pengelolaan hipertensi dengan memperhatikan risiko kardiovaskular terhadap kenaikan tekanan sistolik dan /atau tekanan darah diastolik. Namun, komponen utama tekanan darah terdiri dari kedua komponen tetap (tekanan arteri rata-rata (MAP) dan komponen pulsatile (tekanan nadi atau PP).2 Tingkat morbiditas dan mortalitas dapat diprediksi menggunakan PP pada pasien hipertensi maupun normotensi.3 Indikator lain untuk mengetahui risiko kardiovaskuler dengan menggunakan Rate Pressure Product (RPP).4,5

Mean Arterial Pressure (MAP) merupakan penanda utama hemodinamik yang berhubungan dengan kondisi jantung dan dinding arteri.6 Saat ini strategi farmakologi pengobatan hipertensi dilakukan dengan cara menurunkan Mean Arterial Pressure (MAP) sehingga beban hemodinamik berkurang.7 Kenaikan tekanan darah kurang lebih 95% merupakan hipertensi essensial. Hipertensi essensial atau hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya bukan merupakan akibat dari penyakit lain misalkan gagal ginjal, kelainan endokrin atau akibat penggunaan kontrasepsi.8,9 Penelitian menyebutkan pasien dengan penyakit kardiovaskuler sering menggunakan pengobatan herbal sebagai alternatif maupun komplementer.10 Studi terbaru menjelaskan pengobatan hipertensi yang menggunakan beberapa jenis obat dengan jalur yang berbeda lebih efektif dibandingkan terapi tunggal.11

Hal tersebut sesuai dengan filosofi pengobatan secara menyeluruh dengan menggunakan jamu dari beberapa kombinasi tanaman obat.12 Salah satu kombinasi tanaman obat yang dapat sebagai alternatif pengobatan hipertensi yaitu daun salam, pegagan, akar alang-alang dan biji pala telah dilakukan uji praklinik pada tikus putih Rattus novergicus L oleh Nisa dkk pada tahun 2015. Kombinasi beberapa tanaman tersebut secara sinergis dapat menurunkan tekanan darah pada

tikus hipertensi yang diinduksi dengan prednison dan garam.13 Ramuan tersebut juga sudah dilakukan uji toksisitas akut pada tikus putih dengan tidak ada penurunan fungsi ginjal dan liver.14 Ramuan tersebut dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik secara bermakna selama 2 minggu pemberian secara oral.13 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ramuan jamu yang terdiri dari daun salam, pegagan, akar alang-alang dan biji pala terhadap fungsi kardiovaskuler pasien hipertensi esensial. BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Saintifikasi Jamu “Hortus Medicus” Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Tawangmangu, Jawa Tengah, pada bulan Agustus-Desember 2016. Penelitian telah mendapat persetujuan etik (ethical clearance) dari Komisi Etik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No.LB.02.01/5.2/KE.314/2016. Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi eksperimental pre dan post test design untuk menilai pengaruh penggunaan jamu pada fungsi kardiovaskular subjek dengan hipertensi esensial dengan kategori hipertensi ringan. Alat untuk mengukur tekanan darah yaitu sphygmomanometer mercuri merk SPHYGMED Medical dengan 2 kali pengukuran, jika terjadi perbedaan diambil rata-rata kedua pengukuran tersebut. Pengukuran tekanan darah pada lengan kanan dengan posisi duduk. Simplisia yang digunakan adalah daun salam 2 gram, pegagan 3 gram, alang-alang 3 gram dan biji pala 1 gram.Dosis ini adalah hasil konversi dari dosis yang sudah diuji khasiat dan keamanannya pada hewan coba tikus putih. Simplisia tersebut telah melalui determinasi, diolah, dan dikontrol kualitasnya di Laboratorium B2P2TO2T Tawangmangu. Parameter yang diperiksa antara lain: susut pengeringan, angka jamur, dan angka lempeng total. Setiap kemasan jamu adalah dosis yang digunakan untuk sehari. Populasi pada penelitian ini yaitu pasien baru dengan hipertensi bukan akibat dari penyakit lain seperti gagal ginjal. Subjek penelitian ini berjumlah 60 orang dengan kriteria inklusi adalah

Page 73: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kombinasi Salam, Pegagan, Alang-Alang, dan Pala Terhadap Fungsi ... (Ulfatun Nisa dan Tyas Friska Dewi)

63

subjek baru dengan hipertensi ringan (TDS < 140 – 159 mmHg, atau TDD < 90 - 99 mmHg), berusia 18-60 tahun, kondisi pasien stabil dibuktikan dengan pemeriksaan klinis dan laboratorium, dan setuju mengikuti penelitian dengan menanda tangani informed consent. Sedangkan kriteria eksklusi berupa hipersensitivif terhadap jamu yang didapat melalui anamnesis dan saat pemeriksaan, kondisi komorbid seperti penyakit ginjal, lever, jantung berat, kondisi psikologis yang menyebabkan tidak dapat mengikuti penelitian, kehamilan (berdasarkan pengakuan), dan tidak patuh serta tidak dapat di follow up. Hipertensi ringan berdasarkan ESC 2013 sudah memiliki resiko terkena penyakit kardiovaskuler meskipun rendah, sehingga tekanan darah yang terkontrol dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler.15,16

Rekrutmen subjek dilakukan dengan melakukan anamnesis yang mengarah ke gejala penyakit hipertensi ringan yaitu pusing, rasa berat di kepala, tengkuk dan badan terasa berat. Subjek kemudian dijelaskan mengenai maksud dan tujuan serta jadwal kunjungan ulang penelitian terhadap calon subjek, dan jika subjek bersedia maka diminta untuk menandatangani lembar informed consent. Subjek dikonfirmasi dengan pengukuran tekanan darah dan skrining terhadap kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Kepatuhan minum jamu dikontrol dengan menggunakan kartu kepatuhan dimana subyek mengisi setiap hari apakah jamu dikonsumsi atau tidak dengan memberi tanda (V) pada kolom minum atau tidak minum (alasan). Setiap hari subjek harus merebus 4 gelas air (800 mL), sampai mendidih dan dibiarkan air rebusan tinggal 2 gelas air (400 mL), didinginkan, disaring dan diminum 2 kali sehari pagi dan sore. Lama pemberian 8 minggu dengan kontrol tekanan darah setiap minggu. Kunjungan pertama diberikan jamu selama 1 minggu dan dilanjutkan kontrol dan pemberian jamu untuk minggu kedua dan seterusnya. Observasi khasiat dan kemungkinan efek samping setiap minggu sampai H56. Subyek diberi arahan untuk diit rendah garam dan lemak tapi tidak ada pencatatan terhadap makanan yang dikonsumsi. Bila pada saat kontrol tekanan darah minggu pertama ada perbaikan klinis, diteruskan jamu untuk minggu kedua dan seterusnya sampai 8 minggu. Bila pada kunjungan kedua keadaan

subjek mengalami perburukan klinis, maka akan distop pemberian jamu dan diberikan obat konvensional. Data yang dianalisis adalah data tekanan darah, heart rate, RPP, PP, dan MAP. Data akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 18, dengan menggunakan rumus uji t berpasangan dan analisis lain yang sesuai. Data yang dianalisis terdiri atas 2 bagian, yaitu: data ITT (Intention to Treat) yang mencakup seluruh subjek yang telah direkrut, dan data PP (Per Protocol) yang tidak mencakup subjek yang drop-out dari studi.Data RPP, PP, MAP diperoleh dengan rumus sebagai berikut :

Rumus ReferensiRPP= ((tekanan sistolik x heart rate))/1000 Ansari M, et.al.17

MAP = DBP + 0,412 × PP Meaney et.al.6

PP = tekanan sistolik – tekanan diastolik Lokaj P,et.al.18

Karakteristik N %1. Jenis Kelamin - Laki-laki 16 26,7 - Perempuan 44 73,32. Umur - 20- 29 tahun 1 1,7 - 30- 39 tahun 5 8,3 - 40- 49 tahun 12 20,0 - 50- 56 tahun 42 70,03. Tingkat Pendidikan - SD 4 6,7 - SMP 17 28,3 - SMU 37 51,7 - D3/S1 2 3,34. Riwayat Merokok - Merokok 6 10 - Tidak merokok 54 905. Indeks Massa Tubuh - Underweight 2 3,3 - Normoweight 45 75,0 - Overweight 13 21,7 - Obes I 0 0 - Obes II 0 06. Lama menderita hipertensi - < 1 tahun 60 100 - 1-5 tahun 0 0 - > 5 tahun 0 07. Riwayat hipertensi keluarga - Ada 28 46,7 - Tidak Ada 32 53,3

Tabel 1. Karakteristik Pasien

Page 74: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 61 - 68

64

HASIL

Setelah diagnosis ditegakkan, sebanyak 60 subjek diberi ramuan jamu yang diminum setiap hari (2 kali/hari) selama 56 hari. Seluruh subjek mengikuti penelitian sampai dengan selesai selama 56 hari. Tidak ada subjek yang drop out. Selama penelitian tidak didapatkan subyek yang mengalami perburukan gejala klinis. Karakteristik subjek dapat dilihat pada Tabel 1. Subjek perempuan lebih banyak dibanding laki-laki.Subjek paling banyak (70%)berusia 50 – 56 tahun. Sebanyak 90% subjek tidak merokok. Sebagian besar tidak ada riwayat hipertensi dalam keluarga (53,3%). Lama subjek menderita hipertensi 100% kurang dari 1 tahun dan tidak ada pengobatan rutin sebelumnya. Parameter yang diukur meliputi tekanan darah sistolik dan diastolik, heart rate, MAP, PP dan RPP. Gejala klinis subyek meliputi leher cengeng, pusing (sakit kepala ) dan pandangan kabur. Gejala klinis menghilang dalam waktu kurang dari 2 minggu. Berdasarkan tabel bisa dilihat terdapat penurunan tekanan diastolik dan sistolik secara bermakna dengan nilai p < 0,05 baik pada hari ke 28 maupun hari ke 56. Rata – rata tekanan darah sistolik pada hari ke 0 sebesar 147,16 ± 6,46 mmHg dan tekanan darah sistolik menjadi normal pada hari ke-56 yaitu sebesar 132,25 ± 11,21. Penurunan tekanan darah sistolik sebesar 14 mmHg. Tekanan darah diastolik pada hari ke-0 sebesar 92,16 ± 2,49 dan 77,83 ± 8,98 pada hari ke-56. Penurunan tekanan darah diastolik rata- rata

Tabel 2. Tabel Perbedaan Tekanan Darah Selama Pemberian Jamu

Variabel Rata-rata H0 ± SD Rata-rata H28 ± SD p (H0 dan H28) Rata-rata H56 ± SD p (H0 dan H28)Sistolik 147,16 ± 6,46 140,50 ± 9,81 0.001* 132,25 ± 11,21 0.001*

Diastolik 92,16 ± 2,49 81,75 ± 6,87 0.001* 77,83 ± 8,98 0.001*

Parameter Rata-rata H0 ± SD Rata-rata H28 ± SD p (H0 dan H28) Rata-rata H56 ± SD p (H0 dan H56)Tekanan arteri rata-rata

115,17 ± 3,54 106,18± 6,68 0.000* 100,51 ± 9,10 0.000*

Heart rate 87,37 ± 2,64 83,67 ± 3,35 0.000* 82,13 ± 3,31 0.000*Pulse pressure 55,00 ± 5,74 58,75 ± 9,63 0.007* 54,41 ± 8,34 0,60Rate Pressure Product

12,91 ± 0,92 11,78 ± 1,31 0.000* 10,87 ± 1,29 0.000*

Tabel 3. Tabel Perbandingan MAP, HR,PP dan RPP

sebesar 14,66 mmHg. Analisa data menggunakan uji Wilcoxon karena distribusi data tidak normal. Hasil uji tersebut menghasilkan p < 0,05 (p = 0,001) sehingga penurunan tekanan sistolik maupun diastolik bermakna secara statistik. Tekanan arteri rata-rata (MAP) pada hari ke 28 dan H56 berkurang secara signifikan (p=0.001). Penurunan terbanyak pada H56 sebesar 12,7%. Denyut Jantung (HR) mengalami penurunan secara bermakna sehingga Rate Pressure Product (RPP) juga menurun bermakna secara statistik. Penurunan RPP paling tinggi pada H56 yaitu sebesar 15,8 %. Terjadi Kenaikan PP sebesar 6,81% pada H28 dan bermakna secara statistik (p=0.007). Tetapi pada H56 terjadi penurunan PP sebesar 0,01% meski secara statistik penurunan tersebut tidak bermakna.

PEMBAHASAN

Hipertensi essensial merupakan kondisi kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik dengan tidak diketahui faktor penyebabnya sehingga menjadikan alasan sulit dalam penanganan. Hal tersebut membuat kejadian hipertensi jauh lebih tinggi dibandingkan hipertensi sekunder ( sekitar 90-95%).19

Beberapa faktor yang berperan dalam kasus hipertensi yaitu faktor keturunan, usia, jenis kelamin, ras, kelebihan berat badan, dan resistensi insulin.20 Pada penelitian ini subjek yang tidak memiliki riwayat hipertensi dalam keluarga lebih banyak dibandingkan subjek yang terdapat faktor keturunan. Hal tersebut berbeda dengan penelitian

Page 75: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kombinasi Salam, Pegagan, Alang-Alang, dan Pala Terhadap Fungsi ... (Ulfatun Nisa dan Tyas Friska Dewi)

65

lain yang menjelaskan adanya kemungkinan resiko kejadian hipertensi yang memiliki riwayat keluarga lebih besar dibandingkan yang tidak memiliki riwayat keluarga.21 Subjek terbanyak pada penelitian ini berusia 50-56 tahun, hal ini sesuai dengan pernyataan Rahajeng, bahwa faktor risiko hipertensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia.22

Jumlah subjek perempuan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan subjek laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian Wahyuni dan Eksanoto yang menyebutkan bahwa perempuan cenderung menderita hipertensi daripada laki-laki.23 Faktor kelebihan berat badan, pada penelitian ini, tidak begitu berpengaruh, karena subjek terbanyak memiliki berat badan yang normal/ normoweight sebanyak 75%. Tingkat pendidikan subjek penelitian ini bervariasi dari SD sampai perguruan tinggi. Terbanyak subjek merupakan lulusan SMU/sederajat 37 orang (51,7%). Hal tersebut tidak sejalan dengan hasil Riskesdas tahun 2013 yang menyatakan bahwa penyakit hipertensi cenderung tinggi pada pendidikan rendah dan menurun sesuai dengan peningkatan pendidikan. Tetapi pada beberapa penelitian menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan penyakit hipertensi.24 Subjek penelitian ini yang memiliki kebiasaan merokok jumlahnya lebih sedikit dibandingkan subjek yang tidak merokok. Hal tersebut berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi.20 Aktivitas fisik dan konsumsi alkohol termasuk dalam faktor resiko hipertensi namun pada penelitian ini bukan termasuk variabel yang diamati. Begitu juga dengan pola makan dan stress menurut beberapa studi masih kontroversial sebagai faktor resiko hipertensi tidak termasuk variabel yang diamati dalam penelitian ini.22

Selama penelitian berlangsung tidak didapatkan gejala perburukan klinis pada kunjungan pertama atau kedua subyek sehingga tidak ada pengobatan konvensional yang diberikan. Pada penelitian ini terjadi penurunan tekanan sistolik maupun diastolik dengan nilai p < 0,05 (p=0,001) baik pada H28 maupun H56. Pada pre test deviasi tekanan sistole dan diastole lebih kecil dari pada post test dikarenakan hasil intervensi yang

berbeda sehingga standar deviasinya lebih besar dibanding pre test. Perlakuan pada penelitian ini tetap dilanjutkan sampai pada H56 meski terdapat penurunan yang signifikan pada H28 dengan alasan melihat seberapa besar penurunan tekanan darah selama 2 bulan mengingat pengobatan penyakit hipertensi merupakan Penurunan tersebut bermakna secara statistik. Penurunan tersebut berkaitan dengan kandungan kimia yang terdapat dalam daun salam, pegagan, akar alang-alang, dan biji pala. Pegagan mengandung terpenoid, flavonoid yang terdiri atas quercetin dan kaempferol yang bersifat sebagai vasodilator. Kandungan terpenoid memiliki aktivitas diuretik sehingga mampu menurunkan tekanan darah.25 Kandungan quercetin berperan sebagai vasodilator melalui mekanisme penghambatan kontraksi pembuluh darah yang diinduksi oleh kalsium dan menurunkan endothelin-1 sebagai vasokontriktor. Selain itu, quercetin dapat mereduksi stres oksidatif, meningkatkan produksi nitrat oksida, dan menghambat Angiotensin Converting Enzym (ACE), sehingga tidak terbentuk Angiotensin II, yang berpotensi besar meningkatkan tekanan darah.26 Pada pegagan juga terdapat glikosid yang berperan juga dalam sedatif karena kandungan brahmoside (Bacoside A) dan brahminoside (Bacoside B). Bacoside A mengeluarkan nitrit oksida sehingga aorta dan vena mengalami relaksasi yang membuat aliran darah menjadi lancar. Bacoside B adalah protein dalam sel otak.27

Daun salam juga mengandung flavonoid quercetin yang dapat menurunkan tekanan darah. Alang-alang memiliki kandungan manitol sebagai efek diuretik. Senyawa manitol, pada penelitian terdahulu mengandung efek diuretik osmotik yang merupakan jenis zat polisakarida, tidak direabsorbsi oleh ginjal dan dapat menghambat reabsorbsi natrium serta air pada tubulus proximal ginjal serta ansa henle. Sehingga dapat menyebabkan penurunan volume cairan, oleh karena itu mengurangi keadaan turbulensi, yang menyebabkan shear stress. Hal tersebut menyebabkan hambatan terhadap pembentukan radikal bebas, maka kerusakan endotel tidak terjadi. Fungsi dari endotel untuk menghasilkan nitrit oksida tidak akan terganggu. Biji pala berperan dalam merangsang proses tidur karena melibatkan reseptor GABA

Page 76: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 61 - 68

66

yang merupakan komponen hipnotik-sedatif, anestesi umum, benzodiazepin dan barbiturat.27 Isu terkini dalam jurnal hipertensi klinik menyebutkan kenaikan tekanan darah yang dapat dipicu karena kualitas tidur yang buruk yang dianalisis melalui indeks Kualitas Tidur (Sleep Quality Index) sehingga menunjukkan adanya hubungan insomnia dengan penyakit hipertensi.28 Penelitian lain juga menyebutkan bahwa hipertensi dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler juga bisa disebabkan karena waktu tidur yang pendek.29,30

Biji pala pada penelitian ini untuk membantu mengatasi masalah lama waktu tidur yang tidak adekuat pada pasien hipertensi. Parameter lain yang lebih kuat sebagai indikator penyakit kardiovaskuler dibandingkan tekanan sistolik yaitu tekanan nadi (PP). Tekanan nadi merupakan tekanan pulsatile di dalam dinding aretri.4 Tekanan nadi yang melebar disebabkan oleh adanya penurunan elastisitas. Nilai PP perifer lebih dari 55-60 mmHg merupakan alarm akan adanya kekakuan arterial dan risiko terjadinya aterosklerosis.18

Mekanisme kerja obat antihipertensi dengan menurunkan tekanan darah sistolik secara maksimal dan penurunan diastolik secara minimal sehingga PP juga mengalami penurunan. Penurunan PP tersebut sesuai dengan kekakuan arteri besar yang sebanding dengan usia.3 Pada penelitian ini membuktikan rerata PP menurun namun tidak signifikan, hal tersebut dapat dipengaruhi oleh jumlah subyek yang sebagian besar adalah lanjut usia.31 Pada H-28 terdapat kenaikan PP hal tersebut dikarenakan karena penurunan tekanan diastolik pada H-28 lebih besar dibandingkan tekanan sistolik sehingga terdapat selisih yang lebih besar dibanding pada H-0. Obat antihipertensi yang ideal yaitu dapat menurunkan tekanan darah dan kekakuan pembuluh darah tanpa menaikkan PP.18 Kenaikan PP lebih dari 10 mmHg dapat meningkatkan resiko terjadinya gagal jantung sebesar 14 % dan penyakit jantung coroner sebesar 12% serta 6 % kematian pada populasi pasien dengan usia diatas 65 tahun.2 Nilai MAP yang tinggi berpengaruh terhadap penyakit kardiovaskuler dan kerusakan organ target sedangkan jika memiliki nilai rendah bisa berakibat fatal dengan terganggunya hemodinamik tubuh.6 Perhitungan MAP

menggunakan ramuan Meaney et al dimana MAP = DBP + 0,412 × PP karena dapat memberikan nilai MAP lebih baik terkait dengan parameter kardiovaskular.6 Pada penelitian ini didapatkan adanya penurunan MAP yang signifikan pada pasien hipertensi setelah pemberian jamu selama 28 dan 56 hari. Penurunan tersebut memberikan dampak positif terhadap jantung sehingga resiko penyakit kardiovaskuler dapat berkurang. Nilai RPP merupakan indeks kebutuhan oksigen otot jantung sehingga fungsi ventrikel jantung dapat dinilai selain itu juga sebagai penanda utama untuk menentukan kecukupan perfusi coroner serta kompetensi miokard dalam mengambil oksigen baik pada kondisi istirahat atau exercise.5,32 Jika nilai RPP diatas 10,000 mengindikasikan adanya peningkatan resiko penyakit jantung.32 Pada penelitian terjadi penurunan yang signifikan pada nilai RPP dari 12,000 menjadi 10,000. Penurunan tersebut disebabkan oleh penurunan tekanan sistolik dan HR secara bermakna. Rate Pressure Product berkurang 16,67% dari nilai awal. Studi lain menyebutkan penurunan tekanan sistolik dan HR sehingga menyebabkan berkurangnya RPP dengan cara olahraga minimal 3 jam sehari selama 2 tahun.32

Risiko kardiovaskuler dengan menggunakan perhitungan estimasi ESC 2013 menjelaskan adanya resiko rendah pada pasien hipertensi ringan dengan tanpa faktor resiko lainnya seperti gangguan metabolik. Penatalaksanaannya hanya mengubah gaya hidup dan pola makan belum memerlukan pengobatan konvensional.15

sehingga pengobatan dengan menggunakan ramuan jamu bisa menjadi alternatif pengobatan untuk penyakit hipertensi ringan yang juga dapat meminimalkan resiko kardiovaskuler dengan cara meningkatkan fungsi kardiovaskuler.

KESIMPULAN

Pemberian kombinasi ramuan jamu yang terdiri dari daun salam, pegagan, akar alng-alang dan biji pala dapat meningkatkan fungsi kardiovaskuler berdasarkan parameter RPP, MAP, HR dan PP pada pasien dengan hipertensi essensial.

Page 77: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kombinasi Salam, Pegagan, Alang-Alang, dan Pala Terhadap Fungsi ... (Ulfatun Nisa dan Tyas Friska Dewi)

67

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih tak terhingga disampaikan kepada Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu atas kepercayaan yang diberikan untuk pelaksanaan studi ini. Selain itu, kepada Panitia Pembina Ilmiah dan teman-teman tim peneliti atas bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR RUJUKAN

1. Frese EM, Fick A, Sadowsky HS. Blood Pressure Measurement Guidelines for Physical Therapists. Cardiopulm Phys Ther J. 2011;22(2):5–12.

2. Atanasova GN, Marinov MS. The Pulse Pressure Amplitude as a Marker of Myocardial Infarction Risk. J Clin Exp Cardiol. 2013;4(6):4–7.

3. Bangalore S, Messerli FH, Franklin SS, Mancia G, Champion A, Pepine CJ. Pulse pressure and risk of cardiovascular outcomes in patients with hypertension and coronary artery disease : an International Verapamil SR-trandolapril STudy ( INVEST ) analysis †. Eur Heart J. 2009;1395–401.

4. Trapp M, Trapp E, Egger JW, Domej W, Schillaci G, Magometschnigg D, et al. Impact of Mental and Physical Stress on Blood Pressure and Pulse Pressure under Normobaric versus Hypoxic Conditions. PLoS One. 2014;9(5):1–7.

5. Sembulingam P, Sembulingam K, Ilango S, Sridevi G. Rate Pressure Product as a Determinant of Physical Fitness in Normal Young Adults. 2015;14(4):8–12.

6. Papaioannou TG, Protogerou AD, Vrachatis D, Konstantonis G, Aissopou E, Argyris A, et al. Mean arterial pressure values calculated using seven different methods and their associations with target organ deterioration in a single-center study of 1878 individuals. Hypertension. 2016;(February):1–8.

7. Cooper LL, Rong J, Benjamin EJ, Larson MG, Levy D, Vita JA, et al. Epidemiology and Prevention Components of Hemodynamic Load and. CIRCULATIONAHA. 2014;354–61.

8. Thankappan KR, Shah B, Mathur P, Sarma PS, Srinivas G, Mini GK, et al. Risk factor profile for chronic non-communicable diseases: Results of a community-based study in Kerala, India. Indian J Med Res. 2010;131(1):53–63.

9. Poulter NR, Prabhakaran D, Caulfield M. Hypertension. Lancet. 2015;386(9995):801–12.

10. Hur M, Lee MS, Yang HJ, Kim C, Bae I, Ernst E. Ginseng for Reducing the Blood Pressure in Patients with Hypertension : A Systematic Review and Meta-Analysis. J Ginseng. 2010;34(4):342–7.

11. Loh YC, Tan CS, Ahmad M. Department of Pharmacology, School of Pharmaceutical Sciences, Universiti Sains Malaysia, Minden, Malaysia. 2 College of Pharmacy, Fujian University of Traditional Chinese Medicine, Fuzhou, China. 2017;20(3):265–78.

12. Widowati L, Siswanto. Studi Penilaian Terapi Jamu Secara Holistik Pada Jamu Registri ( Herbal Therapy Assessment Study in Holistic at Jamu Registry ). Bul Penelit Sist Kesehat. 2015;18(4) :337–45.

13. Nisa U, Fitriani U, Wijayanti E. Aktivitas Ramuan Daun Salam , Herba Pegagan , Akar Alang-Alang dan Biji Pala pada Tikus Hipertensi yang Diinduksi Prednison dan Garam. J Kefarmasian Indones. 2017;7(2):87–94.

14. Nisa U, Astana P, Saryanto. Uji Aktivitas dan Toksisitas Akut Ramuan Jamu Antihipertensi Ringan pada Tikus Putih Rattus norvegicus L. 2015. [s.l.] : [s.n.]; 2015.

15. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redon J, Zanchetti A, B??hm M, et al. 2013 ESH/ESC guidelines for the management of arterial hypertension: The Task Force for the management of arterial hypertension of the European Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2013;34(28):2159–219.

16. McFarlane SI, Jean-Louis G, Zizi F, Whaley-Connell AT, Ogedegbe O, Makaryus AN, et al. Hypertension in the High-Cardiovascular-Risk Populations. Int J Hypertens [Internet]. 2011;2011:1–3. Available from: http://www.hindawi.com/journals/ijhy/2011/746369/.

17. Ansari M, Javadi H, Pourbehi M, Mogharrabi M, Rayzan M, Semnani S, et al. Perfusion. Perfusion. 2012;27(3):207–13.

18. Lokaj P, Parenica J, Goldbergova MP, Helanová K, Miklik R, Kubena P, et al. Pulse Pressure in Clinical Practice. Eur J Cardiovaskuler Med. 2011;II(I):66–8.

19. Anwar MA, Al Disi SS, Eid AH. Anti-hypertensive herbs and their mechanisms of action: Part II. Front Pharmacol. 2016;6(MAR):1–24.

20. Octavian Y, Setyanda G, Sulastri D, Lestari Y.

Page 78: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 61 - 68

68

Artikel Penelitian Hubungan Merokok dengan Kejadian Hipertensi pada Laki- Laki Usia 35-65 Tahun di Kota Padang. J Kesehat Andalas. 2015;4(2):434–40.

21. Siringoringo M, Hiswani, Jemadi. Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi Pada Lansia Di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013. Gizi, Kesehat Reproduksi dan Epidemiol [Internet]. 2014;2(6). Available from: http://jurnal.usu.ac.id/index.php/gkre/article/view/5179.

22. Rahajeng E, Tuminah S. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia. Maj Kedokt Indones. 2009;59(12):580–7.

23. Khomarun, Nugroho MA, Wahyuni ES. Pengaruh Aktivitas Fisik Jalan Pagi Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Lansia Dengan Hipertensi Stadium I di Posyandu Lansia Desa Makamhaji. J Terpadu Ilmu Kesehat. 2014;3(2):166–71.

24. Adhitomo I. Hubungan Antara Pendapatan, Pendidikan, dan Aktivitas Fisik Pasien dengan Kejadian Hipertensi. Solo : Universitas Sebelas Maret; 2014.

25. Sagita D, Putra A, Dewi AR, Purnomo Y, Kedokteran F, Islam U. Perbandingan Infusa dan Dekokta Kombinasi Centella asiatica , Jucticia gendarussa , Imperata cylindrica terhadap tekanan darah tikus model hipertensi. J Kedokt Komunitas. 2015;3 (1):15–20.

26. Fauziah I, Dewi AR, Wahyuningsih D. Efek Kombinasi Ekstrak Pegagan ( Centella asiatica ), Gandarusa ( Justicia gendarussa ), dan Alang-alang ( Imperata cylindrica ) Terhadap Kadar Ureum-Kreatinin Serum Tikus Hipertensi. J Kedokt Komunitas. 2015;3(1):269–76.

27. Astana W, Ardianto D, Triyono A. Studi Klinik Efek Ramuan Jamu untuk Insomnia terhadap Fungsi Ginjal Pasien Klinik Hortus Medicus. J Farm Sains dan Terap. 2015;2 (1)(11):46–9.

28. Sherwood A, Ulmer CS, Beckham JC. Waking up to the importance of sleeping well for cardiovascular health. J Clin Hypertens [Internet]. 2018;1–3. Available from: http://doi.wiley.com/10.1111/jch.13243.

29. Wang Q, Xi B, Liu M, Zhang Y, Fu M. Short sleep duration is associated with hypertension risk among adults: A systematic review and meta-analysis. Hypertens Res. 2012;35(10):1012–8.

30. Cappuccio FP, Cooper D, Delia L, Strazzullo P, Miller MA. Sleep duration predicts cardiovascular outcomes: A systematic review and meta-analysis of prospective studies. Eur Heart J. 2011;32(12):1484–92.

31. Steppan J, Barodka V, Berkowitz DE, Nyhan D. Vascular Stiffness and Increased Pulse Pressure in the Aging Cardiovascular System. Cardiol Res Pract. 2011;1–8.

32. Shete AN. RPP and VO2 max in young female athletes. Indian J Appl Res. 2015;5(8):1–4.

Page 79: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kombinasi Salam, Pegagan, Alang-Alang, dan Pala Terhadap Fungsi ... (Anis Nurwidayati, at al)

69

Kepadatan dan Tingkat Infeksi Serkaria Schistosoma Japonicum pada Keong Oncomelania Hupensis Lindoensis dengan Kasus Schistosomiasis di Daerah

Endemis Schistosomiasis, Sulawesi Tengah

THE DENSITY AND INFECTION RATE OF S. japonicum CERCARIAE ON INTERMEDIATE SNAIL, Oncomelania hupensis lindoensis TO THE SCHISTOSOMIASIS INFECTION IN

ENDEMIC AREA, CENTRAL SULAWESI

Anis Nurwidayati, Junus Widjaja, Samarang, Made Agus Nurjana, Intan Tolistiawaty, dan Phetisya PFS

Balai Litbang P2B2 DonggalaJl. Masitudju 58 Labuan Panimba Kec. Labuan Kab. Donggala. Indonesia

Email : [email protected]

Submitted :12-02-2018, Revised : 15-02-2018, Revised : 26-02-2018, Accepted : 19-03-2018

AbstractSchistosomiasis in Indonesia only found in Napu and Bada Highlands, Poso district and Lindu Highlands in Sigi district, Central Sulawesi Province. Schistosomiasis in Indonesia caused by Schistosoma japonicum and Oncomelania hupensis lindoensis is the intermediate snail host. The mapping of snail ficci areas in 2017 showed that there was a significant change in the spread of the snail's focci. This paper aimed to describe the density and infection rate of S. japonicum cercariae in the snail host in the endemic areas of schistosomiasis in Central Sulawesi Province. The mean O.hupensis lindoensis snail density in Napu ranged from 0.9 to 6.6/m2, with mean rates of cercariae infections ranging from 0.4% to 21.4%. The snail density average in Lindu ranging from 3/m2 to 69,1/m2, with 4.4%-72.9% of cercariae infections. In bada the snail density ranged from 0.1 to 4.9/m2, with mean rates of cercariae infections ranging from 0% to 14.9%. Bivariate analysis showed there was no correlation between snail density and cercariae infection rate with schistosomiasis case (p value> 0.05).

Keywords : Schistosomiasis, density, infection rate, Oncomelania hupensis lindoensis, Central Sulawesi AbstrakSchistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Propinsi Sulawesi Tengah, yaitu Dataran Tinggi Napu dan Dataran Tinggi Bada, Kabupaten Poso serta Dataran Tinggi Lindu, Kabupaten Sigi. Schistosomiasis di Indonesia disebabkan oleh Schistosoma japonicum dengan hospes perantara keong Oncomelania hupensis lindoensis. Pemetaan daerah fokus pada tahun 2017 menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang signifikan dalam penyebaran fokus keong. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan kepadatan dan infection rate serkaria S.japonicum pada keong perantara schistosomiasis di wilayah endemis schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah. Rerata kepadatan keong O.hupensis lindoensis di Napu berkisar dari 0,9 – 6,6/m2, dengan rerata tingkat infeksi serkaria berkisar antara 0,4% sampai 21,4%, di Lindu kepadatan keong berkisar antara 3/m2 sampai 69,1/m2, dengan tingkat infeksi serkaria 4,4%¬72,9%, dan di Bada kepadatan keong berkisar antara 0,1 – 4,9/m2, dengan rerata tingkat infeksi serkaria berkisar antara 0 % sampai 14,9%. Analisis bivariat menunjukkan tidak ada korelasi antara kepadatan keong dan tingkat infeksi serkaria dengan jumlah kasus schistosomiasis nilai p value > 0.05.

Kata kunci: Schistosomiasis, kepadatan, tingkat infeksi, Oncomelania hupensis lindoensis, Sulawesi Tengah

http://dx.doi.org/10.22435/bpk.v46i1.8433.69-76

Page 80: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 67 - 76

70

PENDAHULUAN

Schistosomiasis merupakan penyakit parasit kronis yang disebabkan oleh cacing trematoda darah yaitu genus Schistosoma.1 WHO memperkirakan setidaknya sekitar 206,5 juta penduduk di dunia membutuhkan pengobatan akibat schistosomiasis pada tahun 2016. Penularan schistosomiasis dilaporkan ditemukan di 78 negara. Manusia dapat terinfeksi schistosomiasis ketika larva infektif/serkaria cacing yang dikeluarkan oleh keong perantara, masuk ke dalam kulit pada waktu mereka bekerja, misalnya bersawah, berkebun, atau melintasi daerah perairan yang mengandung serkaria.2 Schistosomiasis ditemukan di daerah tropis dan subtropis, khususnya di negara miskin dengan akses air bersih dan sanitasi yang kurang. Diperkirakan sekitar 92% penduduk yang membutuhkan pengobatan berada di Afrika. Fokus utama pengendalian schistosomiaiss oleh WHO adalah menurunkan prevalensi penyakit dengan pengobatan praziquantel secara rutin dan skala besar, pendekatan yang lebih komprehensif dengan penyediaan air dan sanitasi yang cukup, serta pengendalian keong perantara schistosomiasis.2 Schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Propinsi Sulawesi Tengah, yaitu Dataran Tinggi Napu dan Dataran Tinggi Bada, Kabupaten Poso serta Dataran Tinggi Lindu, Kabupaten Sigi, Schistosomiasis di Indonesia disebabkan oleh cacing trematoda jenis Schistosoma japonicum dengan hospes perantara keong Oncomelania hupensis lindoensis. Schistosomiasis selain menginfeksi manusia juga menginfeksi semua jenis mamalia baik hewan peliharaan maupun binatang liar.3 Prevalensi schistosomiasis di Dataran Tinggi Lindu dan Napu berfluktuasi setiap tahunnya. Di Dataran Tinggi Lindu pada tahun 2011-2015 yaitu berturut-turut 0,8%, 0,76%, 0,71%, 1,61% dan 1,3%. Sedangkan di Dataran Tinggi Napu tahun 201-2015 yaitu masing-masing 0,31%, 1,43%, 2,25%, 0,8% dan 1,9%. Selain jumlah kasus schistosomiasis pada manusia, angka infeksi pada keong dan tikus juga diukur. Pada tahun 2015, infection rate pada keong adalah sebesar 3,4% di Lindu dan 4,8% di Napu sedangkan infection rate pada tikus adalah sebesar 16% di Lindu dan 7,3% di Napu.4 Riset

sebelumnya tahun 2012 menunjukkan angka infeksi pada tikus yang lebih tinggi (22,7%).5 Keong perantara schistosomiasis di Indonesia adalah Oncomelania hupensis lindoensis. Keong tersebut bersifat amfibious, artinya keong tersebut hidup di daerah yang lembab dan tidak bisa hidup di dalam air atau di daerah yang kering. Keong O. hupensis lindoensis ditemukan di seluruh dataran tinggi daerah endemis dalam kantong-kantong yang disebut fokus (focus).6 Keong Oncomelania memegang peranan penting dalam epidemiologi schistosomiasis, karena perkembangan stadium larva cacing Schistosoma mulai dari mirasidium sampai bentuk serkaria terjadi dalam tubuh keong tersebut. Keberadaan keong sangat tergantung adanya habitat yang cocok yang menjadikan keong tetap dapat hidup.7 Survei penyebaran O. hupensis lindoensis di seluruh daerah endemis telah dilakukan pada tahun 2004 dan 2008. Pada tahun 2016-2017 dilakukan pemetaan kembali pada seluruh desa di daerah endemis schistosomiasis. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang signifikan dalam penyebaran fokus keong.8 Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan kepadatan dan infection rate serkaria S.japonicum pada keong perantara schistosomiasis di wilayah endemis schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah.

BAHAN DAN METODE

Data yang digunakan merupakan bagian dari penelitian besar pemetaan daerah fokus keong perantara schistosomiasis di daerah endemis schistosomiasis di Dataran Tinggi Napu Besoa, Dataran Tinggi Bada Kabupaten Poso dan Dataran Tinggi Lindu Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah.8 Waktu penelitian adalah Februari-Maret 2017. pengambilan sampel keong di lokasi tersebut dengan menggunakan metode man per minute.9 Tahap selanjutnya keong dari lapangan dipindahkan ke dalam petridish yang diberi label sesuai dengan nomor sampel yang tertera pada kantong, setiap petridish untuk satu kantong keong. Selanjutnya jumlah keong dihitung dan dicatat pada formulir pemeriksaan keong. Keong diperiksa dengan metode ”crushing”, kemudian

Page 81: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kombinasi Salam, Pegagan, Alang-Alang, dan Pala Terhadap Fungsi ... (Anis Nurwidayati, at al)

71

dilihat di bawah mikroskop compound, hasilnya dimasukkan ke dalam formulir pemeriksaan keong.9 Hasil penghitungan keong dilakukan secara kuantitatif, yaitu kepadatan keong per satuan luas tanah. Kepadatan keong dihitung berdasarkan rumus berikut 9:

Kepadatan keong (jumlah keong/m2) =Jumlah keong yang didapat keseluruhan x 70Jumlah pengambil keong x jumlah titik

Infection rate serkaria S.japonicum pada keong O.hupensis lindoensis dihitung sebagai berikut9: Jumlah keong O.h. lindoensis positif serkaria dibagi jumlah keong O.h. lindoensis yang diperiksa, dikalikan 100%. Data kasus schistoosmiasis pada manusia didapatkan dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2017. Korelasi antara kepadatan keong dan tingkat infeksi serkaria pada keong terhadap prevalensi schistosomiasis dianalisis dengan uji statistik korelasi bivariate. Penelitian telah mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan Nomor LB.02.01/5.2/KE.012/2017.

HASIL

Rerata kepadatan keong perantara schistosomiasis, O.hupensis lindoensis di Dataran Tinggi Napu, Bada, dan Lindu tahun 2017 dapat dilihat pada Gambar 1. Kepadatan keong paling tinggi ditemukan di Desa Winowanga, yaitu 6,6/m2. Kepadatan terendah ditemukan di Desa Wanga, yaitu di 0,9/m2. Pada penelitian ini juga dilakukan survei di Kecamatan Lore Tengah, meliputi Desa Betue, Talabosa, Rompo, Katu, Torire, Doda, Lempe, Hangira, Pandele, Baleura, Bariri, dan Beau, akan tetapi tidak ditemukan keong O.hupensis lindoensis. Rerata kepadatan keong perantara schistosomiasis, O.hupensis lindoensis di Dataran Tinggi Napu tahun 2017 dapat dilihat pada Gambar 1. Kepadatan keong paling tinggi ditemukan di Desa Winowanga, yaitu 6,6/m2. Kepadatan terendah ditemukan di Desa Wanga, yaitu di 0,9/m2. Pada penelitian ini juga dilakukan survei di Kecamatan Lore Tengah, meliputi Desa Betue,

Talabosa, Rompo, Katu, Torire, Doda, Lempe, Hangira, Pandele, Baleura, Bariri, dan Beau, akan tetapi tidak ditemukan keong O.hupensis lindoensis. Rerata kepadatan keong di daerah fokus Desa Tuare, Dataran Tinggi Bada, Kecamatan Lore Barat, ditemukan yang paling tinggi, yaitu 4,9/m2 (Gambar 1). Rerata kepadatan keong O.hupensis lindoensis di Desa Anca, Kecamatan Lindu ditemukan yang paling tinggi, yaitu 69,1/m2. Rerata kepadatan keong di Desa Puroo dan Langko tidak jauh berbeda, yaitu 3,5/m2 dan 3/m2. Survei di Desa Olu menunjukkan bahwa tidak ditemukan keong O.hupensis lindoensis di desa tersebut. Desa Tomado juga termasuk ke dalam Kecamatan Lindu, akan tetapi pada tahun 2017 tidak dilakukan survei di Desa Tomado lagi karena sudah dilakukan pada tahun 2016. Gambar 2 menunjukkan rerata tingkat infeksi atau infection rate serkaria cacing S.japonicum pada keong perantara schistosomiasis, O.hupensis lindoensis di Dataran Tinggi Napu, Lindu, dan Bada tahun 2017. Rerata infeksi serkaria pada keong di Desa Wanga ditemukan paling tinggi, yaitu 21,4%. Infeksi serkaria di Dataran Tinggi Bada hanya ditemukan pada keong di Desa Lengkeka, yaitu 14,9%. Gambar 2 juga menunjukkan rerata tingkat infeksi atau infection rate serkaria cacing S.japonicum pada keong perantara schistosomiasis, O.hupensis lindoensis di Dataran Tinggi Lindu tahun 2017. Reratainfeksi serkaria pada keong di Desa Puroo ditemukan paling tinggi, yaitu 72,9%, dan yang paling rendah di Desa Anca, yaitu 4,4%. Prevalensi kasus schistosomiasis di Dataran Tinggi Napu, Bada, dan Lindu tahun 2017 dapat dilihat pada Gambar 3. Prevalensi kasus paling tinggi ditemukan di Desa Dodolo, dataran tinggi Napu, yaitu 2,75%. Data kepadatan keong dan tingkat infeksi serkaria selanjutnya dianalisis dengan jumlah penderita schistosomiasis di daerah endemis. Hasil uji statistik korelasi bivariate menunjukkan tidak ada korelasi antara kepadatan keong dengan jumlah kasus schistosomiasis nilai p value > 0.05 (0.761). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara infection rate serkaria pada keong dengan jumlah kasus (p value =0.381).

Page 82: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 67 - 76

72

5 6,5 4 4,9 5,9 6,6 4,7 1,8 4,1 3,6 0,9 1,3

6,2 0 2,5 4,9 3,3

69,1

3,5 3 0

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Wua

sa

Bany

usari

Watu

maeta

Alitu

pu

Kadu

wa

Wino

wang

a

Mah

olo

Tama

due

Mek

asari

Kalim

ago

Wan

ga

Siliw

anga

Dodo

lo

Betue

Kage

roa

Tuare

Leng

keka

Anca

Lang

ko

Puro

o

Olu

Napu Bada Lindu

kepa

dtaan

keon

g/m2

Desa

Gambar 1. Rerata Kepadatan Keong O.hupensis lindoensis di Daerah Fokus Dataran Tinggi Napu, Bada, dan Lindu Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah tahun 2017.

6 0,4

3,5 6,5 5 5,6

0,9 7,6 5,4

1,7

21,4 20,3

4,7 0 0 0

14,9

4,4

14,5

72,9

0 0

10

20

30

40

50

60

70

80

Wua

sa

Bany

usar

i

Wat

umae

ta

Alit

upu

Kad

uwa

Win

owan

ga

Mah

olo

Tam

adue

Mek

asar

i

Kal

imag

o

Wan

ga

Siliw

anga

Dod

olo

Betu

e

Kag

eroa

Tuar

e

Leng

keka

Anc

a

Lang

ko

Puro

o

Olu

Napu Bada Lindu

Infe

ctio

n Ra

te se

rkar

ia (%

)

Desa

0,68 0,78 0,71

0,35

1,73

0,80 0,68

1,60

2,75

0,17 0,31

0,06

0,36 0,26

1,05

0,42 0,42

1,02 0,78

0,34 0,36

1,48

0,29

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

Bany

usar

iSe

doa

Kadu

waa

Alitu

puTa

mad

ueM

ekar

sari

Mah

olo

Win

owan

gaDo

dolo

Torir

eW

atutau

Wua

saW

anga

Siliw

anga

Kalem

ago

Watu

mae

taKa

gero

aTu

are

Leng

keka

Anca

Lang

koPu

roo

Olu

Napu Bada Lindu

prev

alens

i (%

)

Gambar 2. Rerata infection rate Serkaria S.japonicum pada Keong O.hupensis lindoensis di Daerah Fokus Dataran Tinggi Napu, Bada, dan Lindu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah Tahun 2017.

Gambar 3. Prevalensi Kasus Schistosomiasis (%) Tahun 2017 Daerah Endemis Napu, Bada, dan Lindu tahun 2017 (Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 2017).

Page 83: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kombinasi Salam, Pegagan, Alang-Alang, dan Pala Terhadap Fungsi ... (Anis Nurwidayati, at al)

73

PEMBAHASAN

Rerata kepadatan keong O.hupensis lindoensis di daerah fokus Napu berkisar dari 0,9 – 6,6/m2, dengan rerata tingkat infeksi serkaria berkisar antara 0,4% sampai 21,4%. Kepadatan keong paling tinggi di Napu ditemukan di Desa Winowanga (6,6/m2). Kondisi daerah fokus di Desa Winowanga didominasi oleh saluran air di kebun cokelat dan kebun sayur. Banyaknya serasah daun di daerah fokus, menyebabkan keong perantara schistosomiasis dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Serasah daun menyediakan perlindungan bagi keong dari sinar matahari, sehingga suhu lingkungan tidak terlalu tinggi.10 Serasah daun yang terurai juga menyediakan nutrisi bagi kelangsungan hidup keong. Rerata tingkat infeksi serkaria pada keong paling tinggi ditemukan di Desa Wanga (21,4%), meskipun di desa tersebut kepadatan keong yang ditemukan paling rendah, hanya 0,9/m2. Rerata kepadatan keong di Lindu berkisar antara 3/m2 sampai 69,1/m2, dengan tingkat infeksi serkaria 4,4%-72,9%. Rerata kepadatan keong O.hupensis lindoensis di Desa Anca, Kecamatan Lindu ditemukan yang paling tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena di Desa Anca terdapat fokus keong di daerah Paku, yang terletak dalam hutan. Kondisi lingkungan di daerah tersebut sangat sesuai bagi kelangsungan hidup keong O.hupensis lindoensis. Keong di daerah fokus tersebut juga kurang mengalami gangguan akibat aktivitas manusia. Rerata kepadatan keong O.hupensis lindoensis di daerah fokus Bada berkisar dari 0,1 – 4,9/m2, dengan rerata tingkat infeksi serkaria berkisar antara 0% sampai 14,9%. Kondisi daerah fokus di Desa Lengkeka didominasi oleh rembesan air yang keluar dari mata air, dikelilingi oleh pohon sagu, dan berbagai jenis tanaman semak dan rumput. Selain itu juga ada daerah fokus berupa saluran air di dekat Sungai Lariang.Keong perantara schistosomiasis di Indonesia adalah Oncomelania hupensis lindoensis. Keong Oncomelania memegang peranan penting dalam epidemiologi schistosomiasis, karena perkembangan stadium larva cacing Schistosoma mulai dari mirasidium sampai bentuk serkaria

terjadi dalam tubuh keong tersebut. Keberadaan keong sangat tergantung adanya habitat yang cocok yang menjadikan keong tetap dapat hidup.7

Pada beberapa habitat yang banyak ditemukan keong Oncomelania ini juga dipengaruhi oleh kondisi suhu, tipe tanah, tipe vegetasi, dan juga kecukupan air yang mendukung perkembangan keong dan juga pergerakan serkaria.11 Keong perantara schistosomiasis ditemukan di daerah fokus schistosomiasis pada pH normal. Penelitian di daerah endemis schistosomiasis Napu, menunjukkan bahwa keong ditemukan pada daerah dengan pH antara 5,5-7.12 Penelitian di daerah endemis Bada menemukan bahwa keong dapat hidup pada lingkungan dengan pH 6-8.7 Pemberantasan keong perantara merupakan upaya yang penting dalam pengendalian schistosomiasis karena dapat memutus rantai penularan. Pemberantasan keong dilakukan secara mekanik dan kimia. Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan perbaikan saluran air di daerah fokus, pengeringan daerah fokus dan pengolahan lahan. Pengendalian secara kimia dilakukan dengan menggunakan moluskisida dan bahan kimia lainnya. Moluskisida yang digunakan saat ini adalah niclosamide (Bayluscide®, Bayer, Leverkusen, Germany). Moluskisida ini sudah digunakan sejak tahun 1980-an sampai dengan saat ini. Penggunaan moluskisida sintetik memiliki kekurangan yaitu kecenderungan bersifat toksik terhadap lingkungan, ikan, biota mikroskopis (zooplankton dan fitoplankton), dan mempengaruhi vegetasi di habitat keong perantara schistosomiasis. Faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran keong yang diperkirakan dapat dimodifikasi untuk pengendalian keong diantaranya adalah keasaman tanah, komposisi kimia air, oksigen terlarut, suhu, dan konsentrasi kalsium. Penelitian pada keong perantara schistosomiasis di Afrika menunjukkan bahwa kepadatan semua spesies keong sangat rendah dalam air dengan kadar garam tinggi, kepadatan keong tinggi di air dengan kadar garam sedang, dan kembali rendah di air dengan konsentrasi kalsium rendah. Efek konsentrasi NaCl dan aspek salinitas terhadap keong air tawar telah diteliti oleh Madsen tahun 1990. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa

Page 84: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 67 - 76

74

salinitas yang tinggi menyebabkan berkurangnya kepadatan keong perantara schistosomiasis, sedangkan serkaria dari schistosoma masih dapat bertahan hidup.13,14 Tinggi rendahnya infection rate serkaria S.japonicum dapat dipengaruhi oleh banyaknya hewan mamalia positif schistosomiasis sebagai sumber telur S.japonicum yang melewati daerah fokus keong tersebut. Hewan mamalia yang dimaksud bisa saja hewan liar maupun ternak milik masyarakat yang kebetulan berada di daerah fokus. Hewan mamalia yang terkonfirmasi sebagai hospes definitif schistosomiasis adalah sebanyak 13 jenis.6 Semakin banyak hewan positif schistsomiasis yang buang air besar di daerah fokus keong, maka akan menyebabkan infection rate serkaria S.japonicum pada keong semakin tinggi. Hal tersebut disebabkan telur yang keluar dari hewan, akan menetas menjadi mirasidium yang akan masuk tubuh lunak keong, kemudian berkembang secara vegetatif dalam tubuh keong menjadi serkaria. Hasil analisis menunjukkan tidak ada korelasi antara kepadatan keong dan tingkat infeksi serkaria pada keong dengan infeksi schistosomiasis. Meskipun hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya korelasi antara preavelensi schistosomiasis dengan kepadatan keong dan tingkat infeksi serkaria S.japonicum pada keong, akan tetapi bukan berarti kenyataan di lapangan menunjukkan hal demikian, mengingat bahwa serkaria merupakan fase atau tahap infektif penularan schistosomiasis. Hasil analisis statistik yang tidak berkorelasi ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu 1). Faktor jumlah kasus sedikit, 2). Daerah fokus bukan merupakan tempat yang sering dilewati oleh masyarakat, 3). Masyarakat memakai APD saat melewati atau berada di daerah fokus, 4). Penderita schistosomiasis bukan berasal dari desa lokasi daerah fokus, dan lain sebagainya.Hasil analisis statistik tersebut mengindikasikan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian schistosomiasis bukan hanya faktor kepadatan keong dan tingkat infeksi serkaria pada keong saja, akan tetapi dapat juga dipengaruhi berbagai faktor lain. Dengan kata lain, infeksi schistosomiasis pada manusia tidak hanya tergantung pada

kepadatan keong dan tingkat infeksi serkaria pada keong, kemungkinan dipengaruhi oleh intensitas penduduk ke daerah fokus dan penggunaan APD oleh penduduk di daerah fokus sebagai tempat penularan. Meskipun kepadatan keong dan infeksi serkaria tinggi, apabila tidak ada manusia yang lewat di fokus tersebut, maka tidak ada infeksi yang terjadi. Selain itu dapat terjadi kemungkinan bahwa penduduk yang terinfeksi schistosomiasis bukan hanya dari masyarakat yang tinggal di desa lokasi fokus tersebut, bisa jadi warga desa lain dapat terinfeksi di daerah fokus desa tersebut. Penelitian di daerah endemis schistosomiasis menunjukkan salah satu faktor risiko penularan schistosomiasis adalah jenis pekerjaan. Dengan demikian, apabila pekerjaan seseorang berada di daerah fokus, atau melewati daerah fokus keong, maka lebih besar potensi untuk terjadi penularan schistosomiasis.15

Suatu penelitian menggunakan model remote sensing menunjukkan bahwa keong membutuhkan habitat spesifik atau yang disebut dengan niche. Keong perantara schistosomiasis membutuhkan lingkungan akuatik dengan kondisi suhu air tertentu, kecepatan aliran air tertentu, serta tutupan vegetasi yang mempengaruhi metabolisme dan kemampuan keong untuk berada di suatu habitat.16 Sebuah survei keong perantara schistosomiasis di Burkina Faso menunjukkan bahwa keong ditemukan di genangan air (41%), 34% di sungai, 20% di kolam sementara, 3% di saluran irigasi, dan 2% di danau alami.17

Penelitian tahun 2014 menunjukkan bahwa keong perantara schistosomiasis di Brazil ditemukan di semua habitat akuatik, kecuali sumur. Sebagian besar keong ditemukan di genangan air. Keong juga ditemukan di rembesan kolam, saluran air, dan paling sedikit ditemukan di mata air, sawah, dan kolam ikan. Pada penelitian tersebut juga disebutkan bahwa faktor lingkungan fisik seperti substrat perairan, kecepatan air dan faktor biotik yaitu kerapatan vegetasi merupakan faktor bagi keberadaan keong perantara schistosomiasis di Brazil.18

Pengendalian keong perantara schistosomiasis dilaksanakan secara mekanik dan kimiawi. Pengendalian secara mekanik dilakukan diantaranya dengan pembersihan

Page 85: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Kombinasi Salam, Pegagan, Alang-Alang, dan Pala Terhadap Fungsi ... (Anis Nurwidayati, at al)

75

lahan fokus, pembuatan saluran air, penimbunan atau pengeringan daerah fokus. Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan penyemprotan moluskisida bayluscide. Pengendalian secara biologi menggunakan agen biologi telah banyak dteliti akan tetapi belum banyak diaplikasikan. Sebuah percobaan di Brazil menggunakan ikan dari spesies Tilapia melanopleura sebagai preadtor keong perantara schistosomiasis Biomphalaria glabrata. Ikan jenis Anthronatus ocelatus juga pernah digunakan untuk pengendalian keong perantara schistosomiasis di Bahia. Penelitian di Zimbabwe juga menggunakan ikan tetapi dari jenis lain untuk pengendalian keong perantara schistosomiasis, yaitu Tilapia rendalli dan Sargochromis codringtoni.19,20

Survei schistosomiasis di China tahun 2014 menunjukkan total area daerah fokus keong perantara schistosomiasis seluas 138.923,90m2, area yang sudah dilakukan penyemprotan moluskisida adalah 74.538,17 m2. Selain itu juga dilakukan modifikasi lingkungan daerah fokus keong perantara schistosomiasis, seluas 5.331,42 m2. Daerah endemis di China sudah ditemukan berkurang saat ini, akan tetapi di beberapa daerah masih cukup tinggi sehingga surveilans dan pengendalian schistosomiasis tetap dilakukan dengan efektif.21

KESIMPULAN

Kepadatan keong perantara schistosomiasis dan tingkat infeksi serkaria pada keong bervariasi dan sebagian besar masih di atas 1%. Analisis menunjukkan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian schistosomiasis bukan hanya faktor kepadatan keong dan tingkat infeksi serkaria pada keong saja, akan tetapi dapat juga dipengaruhi berbagai faktor lain, misalnya lokasi atau tempat bekerja penduduk, pemakaian alat pelindung diri (APD) saat melewati daerah fokus, atau daerah fokus bukan merupakan tempat yang sering dilewati oleh masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami sampaikan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, Dinas Kesehatan Kabupaten Poso, Kabupaten Sigi, atas

data dan dukungan yang telah diberikan. Terima kasih juga kami sampaikan kepada petugas laboratorium schistosomiasis Dataran Tinggi Lindu, Bada dan Lindu yang secara kooperatif telah mendukung kegiatan penelitian ini. Terima kasih atas dukungan dari berbagai pihak sehingga penelitian dapat diselesaikan dengan baik.

DAFTAR RUJUKAN

1. Miyazaki I. An Illustrated Book of Helminthic Zoonosis,. Tokyo: International Medical Foundation of Japan; 1991.

2. WHO. WHO | Schistosomiasis. Geneva : World Health Organization; 2017. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs115/en/. Accessed January 23, 2018.

3. Hadidjaja P. Schistosomiasis Di Indonesia. 1st ed. Jakarta: UI Press; 1985.

4. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Laporan Schistosomiasis Sulawesi Tengah.; Palu : Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah; 2017.

5. Nurjana MA, Samarang. Infeksi Schistosoma japonicum pada Hospes Reservoir Tikus di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi tengah Tahun 2012. Media Penelit dan Pengemb Kesehat. 2013;23(3):137-142.

6. Sudomo M. Penyakit Parasitik Yang Kurang Diperhatikan di Indonesia. Orasi Pengukuhan Profr Ris Bid Entomol dan Moluska. Jakarta : Badan Litbangkes; 2008.

7. Rosmini, Garjito TA, Erlan A, Gunawan. Iinfection Rate Host Perantara dan Prevalensi Reservoir Schistosoma japonicum di Dataran Tinggi Bada Sulawesi Tengah. J Ekol Kesehat. 2014;13(1):43-49.

8. Widjaja J, Anastasia H, Nurwidayati A, Nurjana MA. Situasi Terkini Daerah Fokus Keong Hospes Perantara di Daerah Endemis Schistosomiasis di Sulawesi Tengah. 2017:215-222.

9. Subdit Pengendalian Filariasis dan Kecacingan, Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan KR. Petunjuk Pengendaian Schistosomiasis di Indonesia. 1st ed. Jakarta: Subdit Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2015.

10. McCreesh N, Arinaitwe M, Arineitwe W, Tukahebwa EM, Booth M. Effect of water

Page 86: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 67 - 76

76

temperature and population density on the population dynamics of Schistosoma mansoni intermediate host snails. Parasit Vectors. 2014;7(1):503. doi:10.1186/s13071-014-0503-9.

11. Garjito TA, Jastal, Mujiyanto, et al. Distribusi Habitat Oncomelania hupensis lindoensis, Keong Perantara Schistosoma japonicum di Dataran Tinggi Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Bul Penelit Kesehat. 2014;42(3):139-152.

12. Mujiyanto, Triwibowo A. Garjito HA, Yusran Udin dan Ade Kurniawan. Kondisi Iklim dan Mikrohabitat Fisik Daerah Endemis Schistosomiasis di Dataran Tinggi Napu Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. In: Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016: Upaya Pengurangan Risiko Bencana Terkait Perubahan Iklim. ; 2016:217-227.

13. Madsen H. ON GROWTH AND EGG LAYING OF HELISOMA DURYI , Sign in Oxford Academic account. 2018:1-14.

14. Rafael Toledo; Biomphalaria Snails and Larval Trematodes. 1st ed. (Fried B, ed.). London: Springer New York Dordrecht Heidelberg; 2011. doi:10.1007/978-1-4419-7028-2.

15. Rosmini, Soeyoko, Sumatini S. Penularan schistosomiasis di Desa Dodolo dan Mekarsari Dataran Tinggi Napu Sulawesi Tengah. Media Litbang Kesehata. 2010;XX(3):113-117.

16. Walz Y, Wegmann M, Dech S, et al. Modeling and Validation of Environmental Suitability for

Schistosomiasis Transmission Using Remote Sensing. doi:10.1371/journal.pntd.0004217.

17. Stensgaard A-S, Kristensen TK, Jørgensen A, Kabatereine NB, Rahbek C. Associations between patterns of human intestinal schistosomiasis and snail and mammal species richness in Uganda: can we detect a decoy effect? Front Biogeogr. 2016;8(3). doi:10.21425/F58321748.

18. Kloos H, de Souza C, Gazzinelli a, et al. The distribution of Biomphalaria spp. in different habitats in relation to physical, biological, water contact and cognitive factors in a rural area in Minas Gerais, Brazil. Mem Inst Oswaldo Cruz. 2001;96 Suppl(Freitas 1968):57-66. doi:S0074-02762001000900008 [pii].

19. Chimbari MJ. Enhancing schistosomiasis control strategy for zimbabwe: building on past experiences. J Parasitol Res. 2012;2012:353768. doi:10.1155/2012/353768.

20. Pointier JP, Jourdane J. Biological control of the snail hosts of schistosomiasis in areas of low transmission: The example of the Caribbean area. Acta Trop. 2000;77(1):53-60. doi:10.1016/S0001-706X(00)00123-6.

21. Lei Z, Zhang L, Xu Z, et al. [Endemic status of schistosomiasis in People’s Republic of China in 2014]. Zhongguo Xue Xi Chong Bing Fang Zhi Za Zhi. 2015;27(6):563-569. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27097470. Accessed May 30, 2017.

Page 87: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

PETUNJUK PENULISAN BULETIN PENELITIAN KESEHATAN

KETENTUAN:

1. Buletin Penelitian Kesehatan hanya menerima manuskrip yang belum pernah dan tidak akan dipublikasikan pada media lain berupa hasil penelitian, kajian/review di bidang kesehatan, meliputi Iptekkes dasar, Iptekkes terapan, perilaku kesehatan dan epidemiologi yang dapat digunakan sebagai masukan kebijakan program kesehatan, mempunyai nilai kebaruan dan aplikatif.

2. Manuskrip yang diserahkan belum pernah dipublikasikan, tidak sedang dalam proses review di jurnal /media lain, dan selama dalam proses penerbitan di Buletin Penelitian Kesehatan tidak akan dicabut/dialihkan ke jurnal/media yang lain. Hal ini dinyatakan dengan Surat Pernyataan yang ditandatangani di atas materai oleh semua penulis.

3. Hak cipta seluruh isi naskah yang telah dimuat beralih kepada penerbit jurnal dan seluruh isinya tidak dapat dilakukan reproduksi dalam bentuk apapun tanpa izin penerbit.

4. Manuskrip mengenai penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subyek dan memanfaatkan hewan coba harus melampirkan Lolos Kaji Etik (Ethical Clearance).

5. Seluruh pernyataan dalam artikel menjadi tanggung jawab penulis.6. Manuskrip dalam bentuk hardcopy rangkap tiga disertai lembar pernyataan etik penulis, fotocopy ethical clearance penelitian,

formulir copyright transfer dan softcopy manuskrip dikirim kepada:

7. Manuskrip yang tidak memenuhi syarat akan dikembalikan kepada penulis untuk diperbaiki / dilengkapi sebelum diproses lebih lanjut

8. Tiap manuskrip akan ditelaah oleh paling sedikit dua orang anggota dewan redaksi. Manuskrip yang diterima dapat disunting atau dipersingkat oleh redaksi tanpa mengurangi makna dan isi.

9. Manuskrip yang tidak memenuhi ketentuan dan tidak dapat diperbaiki oleh redaksi akan diinformasikan kepada penulis.10. Artikel yang diterbitkan tidak dikenakan biaya

Redaksi Buletin Penelitian Kesehatan Bagian Umum, Dokumentasi dan Jejaring Seketariat Badan Litbang KesehatanJl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560Telp.: (021) 4261088 ext. 306Fax. : (021) 4243933Email: [email protected]

SISTEMATIKA PENULISAN

1. Manuskrip diketik dengan program Mirosoft Word versi 2003-2007 dan yang terkini, huruf Arial berukuran 12 point, jarak 2 spasi, diberi line numbers (continues), ukuran A4, dengan garis tepi 3 cm, maksimal 16 halaman termasuk abstrak, gambar/tabel olahan.

2. Sistematika penulisan manuskrip hasil penelitian meliputi: judul, nama penulis (lengkap tanpa singkatan), instansi dan alamat, korespondensi penulis (e-mail dan nomor kontak penulis), abstrak disertai kata kunci, pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang, justifikasi, dan tujuan penelitian), bahan, dan metode, hasil, pembahasan, kesimpulan, saran, ucapan terimakasih, daftar rujukan (minimal 10, tidak lebih dari 10 tahun terakhir).

3. Sistematika penulisan manuskrip kajian/review meliputi: judul, nama penulis (lengkap tanpa singkatan), instansi dan alamat, korespondensi penulis (e-mail dan nomor kontak penulis), abstrak disertai kata kunci, pendahuluan, subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, saran, ucapan terimakasih, daftar pustaka (min. 25 rujukan, tidak lebih dari 10 tahun terakhir).

4. Judul ditulis singkat, jelas, informatif, tidak menggunakan singkatan, dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Maksimal 18 kata, bila terlalu panjang bisa dipotong menjadi anak judul.

5. Nama penulis ditulis lengkap tanpa singkatan, jika lebih dari satu instansi bedakan dengan nomor. 6. Cantumkan alamat email untuk korespondensi. Beri tanda bintang pada nama penulis yang digunakan sebagai koresponden.7. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, berkisar antara 150- 200 kata, tanpa sub judul, diketik mengalir

dalam 1 alinea, menggunakan 1 spasi dan dilengkapi dengan 3-5 kata kunci (keywords). Abstrak berisi informasi tentang justifikasi/alasan dilakukan penelitian/kajian, tujuan, metode, hasil dan kesimpulan.

8. Pendahuluan tanpa sub judul memuat latar belakang masalah, tinjauan pustaka yang terkait masalah, dan masalah/tujuan penelitian.

9. Bahan dan Metode untuk manuskrip hasil penelitian menjelaskan tentang materi/komponen/objek yang diteliti, desain, sampel, metode sampling, teknik analisis.

10. Metode untuk manuskrip kajian berisi tentang strategi pencarian literature, kriteria inklusi/eksklusi, cara memperoleh artikel, metode review (klasifikasi artikel, lembar pencatatan data), presentasi data, hasil berisi temuan penelitian /kajian.

11. Tabel, grafik dan gambar disisipkan dalam naskah, tidak terpisah di halaman tersendiri, maksimal 5 tabel dan 3 grafik/gambar, dengan resolusi minimal 300 dpi. Beri nomor dan keterangan yang jelas di atas tabel dan di bawah gambar/grafik.

12. Pembahasan berisi bahasan tentang temuan termasuk menjawab pertanyaan penelitian dan mengupas hal-hal terkait dengan tujuan penelitian dibandingkan/diselaraskan dengan hasil penelitian lain. Tidak mengulang hasil/keterangan tabel/gambar

Page 88: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

1. Artikel jurnal secara umum Misal:1. Kasapis C, Thompson PD. The effects of physical activity on serum C–reactive protein and inflammatory markers. A

systematic review. J Am Coll Cardiol.2005;45(10):1563–9.2. Atau (bila jurnal tersebut memiliki paginasi yang berkesinambungan)

Misal:1. Halpern SD, Ubel PA, Caplan AL. Solid organ transplantation in HIV–infected patients. N Engl J Med. 2002;347:284–7.

3. Penulis lebih dari 6 orang: Misal:

1. Ennis JL, Chung KK, Renz EM, Barillo DJ, Albrecht MC, Jones JA, et al. Joint theater trauma system implementation of burn resuscitation guidelines improves outcomes in severely burned military casualties. J Trauma. 2008;64:S146–S152

4. Bila terdapat identifikasi unik, maka informasi tersebut dapat dicantumkan pada daftar pustaka:1. Halpern SD, Ubel PA, Caplan AL. Solid organ transplantation in HIV–infected patients. N Engl J Med. 2002;347:284–

7. PubMed PMID: 12140307.5. Untuk jurnal yang penulisnya adalah suatu organisasi:

Misal:1. EAST Practice Guideline Committee. Resuscitation endpoints. J Trauma. 2004;57(4):898–912

b. Artikel yang bersumber dari buku:• Sebagaimana artikel pada jurnal, bila jumlah penulis lebih dari 6 orang, maka penulis ke 6 dan seterusnya dicantumkan

sebagai et al.• Bila penulisnya adalah suatu organisasi, dituliskan dengan tatacara sebagaimana penulisan daftar pustaka pada artikel.• Judul buku ditulis dengan huruf besar minimal sebagaimana penulisan daftar pustaka pada artikel.• Nomor edisi hanya dicantumkan untuk edisi kedua dan atau seterusnya.• Titik hanya dicantumkan di akhir singkatan inisial nama depan dan nama panjang penulis terakhir, setelah judul buku,

setelah nomor edisi, dan di akhir penulisan halaman.• Personal author(s) dituliskan sebagai berikut. Penulis, judul buku, edisi (bila ada, dan bukan yang pertama), kota, tahun

diterbitkan. Misal:

a. Artikel yang bersumber dari jurnal

• Nama penulis. Judul artikel. Singkatan nama jurnal. Tahun, bulan (bila ada), tanggal (bila ada), volume, nomor, halaman.• Nama penulis disebutkan nama keluarga lalu (tanpa koma) singkatan inisial nama diri dan (given name) nama panjang

(middle name) yang tidak dipisahkan spasi. Misal: Halpern SD, Ubel PA. Halpern adalah nama keluarga, SD adalah singkatan inisial nama depan dan nama panjang.

• Bila penulis jumlahnya 6, maka semua nama dicantumkan. Bila jumlahnya melebihi 6,maka hanya 6 pertama yang dicantumkan, selanjutnya dituliskan sebagai et al.

• Gunakan huruf besar seminim mungkin, hanya pada huruf pertama maupun kata–kata yang memang harus menggunakan huruf besar.

• Gunakan singkatan nama jurnal yang dibakukan pada situs web NML (national medical library), di http://www.nlm.nih.gov.tsd/serials/lji/html tanpa titik di akhir setiap singkatan, kecuali di akhir.

• Singkatan bulan jurnal diterbitkan adalah tiga huruf pertama• Gunakan tanda semicolon tanpa spasi setelah pencantuman tanggal atau tahun (bila tidak ada tangga/bulan), dan colon

setelah volume dan nomor.• Gunakan rentang jumlah halaman, yaitu halaman pertama dan terakhir tanpa pengulangan angka yang tidak ada gunanya.

Misal: 284–7 dan bukan 284–287. Contoh:

1. Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. Medical microbiology. 4th ed. St.Louis: Mosby; 2002.

c. Artikel yang bersumber dari suatu bab dalam buku:

• Penulis yang artikelnya disitasi, judul bab, editor, judul buku, tempat diterbitkan, penerbit, tahun, volume (bila ada) dan halaman. Catatan: halaman menggunakan p. (untuk page atau pages); tidak digunakan pada artikel jurnal. Misal:

di butir 11 .13. Kesimpulan berasal dari pembahasan berisi tentang pernyataan ringkas terkait dengan hasil untuk menjawab tujuan umum

penelitian, dibuat dalam bentuk narasi paragraph, bukan poin-poin.14. Saran diarahkan untuk menyelesaikan masalah sesuai temuan dan masukan kepada pemangku kepentingan.15. Ucapan terimakasih disampaikan kepada lembaga dan/atau pihak yang membantu penelitian dan pemberi dana penelitian.16. Daftar rujukan ditulis sesuai dengan nomor pemunculan dalam teks, tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun terakhir, 80%

berupa acuan primer (dari artikel jurnal) menggunakan sistem Vancouver/American dengan penjelasan sebagai berikut:

Page 89: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

1. Salyapongse AN, Billiar TR. Nitric oxide as a modulator of sepsis: therapeutic possibilities. In: Baue AE, Faist E, Fry DE, editors. Multiple organ failure: pathophysiology, prevention and therapy. New York: Springer; 2000. p. 176–87.

d. Artikel yang bersumber dari suatu thesis/disertasi:

• Penulis, judul thesis/disertasi diikuti jenisnya dalam kurung kotak, kota, nama universitas, tahun. Misal:1. Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly’s access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO):

Washington Univ.; 1995.

e. Artikel yang bersumber dari surat kabar

• Penulis (bila ada), judul artikel, judul surat kabar, tahun, bulan, tanggal, section (bila ada), halaman, kolom.• Singkatan baku untuk surat kabar: Sect. untuk section, col. untuk kolom, untuk bulan digunakan singkatan tiga huruf

pertama.• Tanggal diikuti semicolon (tanpa spasi sesudahnya) dan section diakhiri dengan colon (tanpa spasi sesudahnya).

Misal:

1. Tynan T. Medical improvements lower homicide rate: study sees drops in assault rate. The Washington Post. 2002 Aug 12;Sect. A:2 (col. 4).

f. Artikel yang bersumber dari audiovisual

• Untuk referensi audiovisual seperti pita rekaman, kaset video, slides dan film, ikuti format seperti pada buku dengan mencantumkan media (jenis material) dalam kurung kotak setelah judul. Misal:1. Chason KW, Sallustio S. Hospital preparedness for bioterrorism [videocassette]. Secausus (NJ): Network for

Continuing Medical Education; 2002.2. Artikel yang bersumber dari media elektronik

1. Internet

• Untuk referensi artikel yang dipublikasi di internet, ikuti detil bibiliografi sebagai jurnal yang dicetak dengan tambahan sebagai berikut:

- Setelah judul jurnal (dalam singkatan), tambahkan internet dalam kurung kotak.- Tanggal melakukan sitasi materi bersangkutan dengan tahun, bulan tanggal (dalam singkatan) dalam kurung kotak tanpa

tanda titik dan diikuti oleh semicolon [cited 2002 Aug12];- Setelah volume dan nomor issue, tambahkan jumlah halaman layar dalam kurung kotak [about 1p.].- Gunakan kalimat ‘available from:’yang diikuti URL (alamat web)

Misal:1. Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the ANA acts in an advisory role. Am J Nurs [internet].

2002 Jun [cited 2002 Aug 12]; 102(6):[about 1p.]. Available from http://www.nursingworld.org/AJN/2002/June/Wawatch.htm

2. Artikel dengan identifikasi digital (digital object identifier, DOI)

• Untuk artikel yang memiliki DOI, maka informasi tersrbut harus dicantumkan setelah halaman. Misal:1. Roberts I, Alderson P, Bunn F, Chinnock P, Ker K, Schierhout G. Colloids versus rystalloids for fluid resuscitation

in critically ill patients. Cochrane Database of Systematic Reviews 2004, Issue 4. Art. No: CD000567. DOI: 0.1002/14651858.CD000567.pub2.

3. Home page / situs web

• Referensi dari situs web harus menyertakan home page / situs web diikuti [internet], nama dan lokasi organisasi, beserta tanggal dan masa berlakunya copyright. Tanggal update dan saat materi disitasi dicantumkan dalam kurung kotak. URL dicantumkan setelah ‘Available from:’ Misal:1. Cancer–Pain.org [internet]. New York: Association of Cancer Online Resources, In.;c2000–01 [updated 2002 May

16; cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.cancer–pain.org/Contoh lebih detil untuk referensi menurut sistem Vancouver dapat ditelusuri pada situs web: http://www.nlm.nih.gov/bsd/uni-form_requirements.html.

Disarankan untuk menyusun Daftar Pustaka/referensi menggunakan aplikasi seperti Mendeley, End Note, Zotero, dll.

Page 90: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

SURAT PERNYATAAN ETIKA PENULIS

Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama :

(Sebagai penulis pertama/kedua/ketiga ) Judul Artikel : No. HP/Telp. : Alamat Email : Alamat Kantor :

Konstribusi penulis : Menyatakan bahwa :

1. Penulis bertanggung jawab atas publikasi artikel terlampir

2. Penulis telah menyetujui artikel untuk diterbitkan sesuai format Buletin Penelitian

Kesehatan

3. Artikel belum pernah dipublikasikan di jurnal /media lain, dan selama dalam proses di

Buletin Penelitian Kesehatan tidak akan saya cabut/dialihkan ke jurnal/media lain

4. Artikel telah diserahkan atas sepengetahuan dan ijin dari instansi/lembaga yang

bersangkutan

5. Demikian surat pernyataan ini akan saya pertanggungjawabkan dan digunakan sebagaimana

mestinya.

.................................................. Penulis 1/2/3 dst.

Materai Rp. 6000,-

(...........................................) Catatan :

1. Surat Pernyataan ini dibuat rangkap sebanyak penulis yang tercantum dalam artikel (tiap penulis masing-masing membuat surat pernyataan ini)

2. Melampirkan Surat Persetujuan Etik (Ethical Approval)

Page 91: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id

Formulir Pengalihan Hak Cipta

(Copyright Transfer Form)

Hak Cipta dari tulisan yang tertera di bawah ini dialihkan kepada jurnal Buletin Penelitian Kesehatan dan

berlaku efektif sejak tulisan diterima untuk dipublikasikan. Pengalihan Hak Cipta mencakup hak eksklusif

untuk mencetak kembali dan mendistrisibusikan tulisan, termasuk menerjemahkan, reproduksi fotografi,

bentuk elektronik atau bentuk reproduksi lainnya.

Penulis menjamin tulisan ini adalah karya asli, belum pernah dipublikasikan dan/atau tidak sedang dalam

proses pengajuan di jurnal lain, dan penulis mempunyai wewenang penuh untuk mengalihkan Hak Cipta dan

bertanggung jawab atas kemungkinan konflik kepentingan dalam artikel ini. Penulis utama menandatangani

dan menerima tanggung jawab untuk memberikan tulisan ini.

Judul Tulisan : ...................................................................................................................................................

……….......................................................................................................................................

Penulis (sebutkan semua) :

1) ........................................................................................................................................................................

2) ........................................................................................................................................................................

3) ........................................................................................................................................................................

4) ........................................................................................................................................................................

5) ........................................................................................................................................................................

6) ........................................................................................................................................................................

Tanggal Tanda Tangan Penulis Utama Untuk diisi oleh Pimpinan Redaksi Diterbitkan pada Volume.................,Nomor....................., Tahun................ *) Surat ini dapat difotokopi

Buletin Penelitian Kesehatan

Jl. Percetakan Negara No. 29, Jakarta Pusat, 10560, Indonesia

Telp : (62-21) 4261088 ext. 306

Fax : (62-21) 4243933

Email : [email protected]

Page 92: BULETIN PENELITIAN KESEHATAN - kemkes.go.id