140
iii KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt., atas karunia dan bimbingan-Nya sehingga kerja keras kami dalam penerbitan jurnal ilmiah Tanggon Kosala Edisi Khusus, Juli 2018" dengan tema "Penerapan Ilmu Kepolisian dan Teknologi dalam upaya Represif Terorisme Guna Mendukung Terciptanya Kerukunan Umat Beragama" dapat selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Tema ini diangkat antara lain untuk lebih memajukan Akademi Kepolisian dari sisi akademik atau ilmiah. Artikel pertama berjudul "Kajian Birokrasi dalam Ilmu Kepolisian" yang ditulis oleh Irjen Pol Dr. H. Rycko Amelza Dahniel, M.Si. Artikel ini memandang bahwa ilmu kepolisian merupakan sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi dan lembaga kepolisian dalam mengelola masalah-masalah sosial guna mewujudkan keteraturan sosial. Birokrasi kepolisian merupakan bagian dari konsep dan teori ilmu kepolisian yang mempelajari dinamika struktur pada lembaga kepolisian. Artikel kedua berjudul "Dinamika Kebhinekaan Beragama: Radikalisme dan Konflik Beragama di Indonesia" yang ditulis oleh Brigjen Pol Drs. M. Asep Syahrudin, M.Si., M.H. Artikel ini akan mengantarkan kita pada permasalahan atau sekurang-kurangnya memberikan catatan kecil atas dinamika kebhinekaan dalam beragama, khususnya dalam menyikapi berbagai konflik keagamaan atau intoleransi serta isu radikalisme dan terorisme yang terjadi di Indonesia. Artikel ketiga berjudul "Terorisme: Deteksi dan Antisipasinya (Dalam Perspektif Polisi Tugas Umum)" yang ditulis oleh KBP H. Nazirwan Adji W.,S.I.K., M.Si. Artikel ini berangkat dari kasus pengepungan LAPAS oleh Narapidana Terorisme yang terjadi di dalam Mako Brimob Kelapa Dua Depok dan disusul dengan serentetan kasus bom bunuh diri di Gereja Katolik Santa Maria Tak bercela, Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Pantekosta Pusat di Surabaya dan kasus peledakan Bom di Mapolrestabes Surabaya. Artikel keempat berjudul "Peran Polri dalam Menjaga Etika Media Melalui Penegakan Hukum Guna Membangun Komitmen untuk Meraih Kepercayaan Publik dalam Menjaga Ketutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia" yang ditulis oleh KBP Drs. Susilo Teguh Rahardjo, M.Si. Simpulan artikel ini adalah peran aparat penegak hukum adalah yang paling utama sebagai ujung tombak keadilan, salah satunya adalah peran aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga segala bentuk kejahatan yang timbul sebagai akibat penyalahgunaan teknologi informasi segera dapat teratasi melalui kerjasama yang baik dengan berbagai pihak. Artikel kelima berjudul "Menangkal Hoax Melalui Penguatan Literasi" yang ditulis oleh Kombes Pol Ir. H. Slamet Iswanto, S.H. Artikel ini dilatarbelakangi oleh banyaknya hoax yang menyebar dalam berbagai media akhir-akhir ini. Hoax ini jika dibiarkan akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu hoax harus ditangkal. Salah satu cara untuk menangkal hoax adalah melalui penguatan literasi pada masyarakat. Artikel keenam berjudul "Transformasi Kompetensi Abad XXI sebagai

BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

  • Upload
    others

  • View
    26

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

iii

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt., atas karunia dan bimbingan-Nya sehingga kerja keras kami dalam penerbitan jurnal ilmiah Tanggon Kosala Edisi Khusus, Juli 2018" dengan tema "Penerapan Ilmu Kepolisian dan Teknologi dalam upaya Represif Terorisme Guna Mendukung Terciptanya Kerukunan Umat Beragama" dapat selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Tema ini diangkat antara lain untuk lebih memajukan Akademi Kepolisian dari sisi akademik atau ilmiah. Artikel pertama berjudul "Kajian Birokrasi dalam Ilmu Kepolisian" yang ditulis oleh Irjen Pol Dr. H. Rycko Amelza Dahniel, M.Si. Artikel ini memandang bahwa ilmu kepolisian merupakan sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi dan lembaga kepolisian dalam mengelola masalah-masalah sosial guna mewujudkan keteraturan sosial. Birokrasi kepolisian merupakan bagian dari konsep dan teori ilmu kepolisian yang mempelajari dinamika struktur pada lembaga kepolisian. Artikel kedua berjudul "Dinamika Kebhinekaan Beragama: Radikalisme dan Konflik Beragama di Indonesia" yang ditulis oleh Brigjen Pol Drs. M. Asep Syahrudin, M.Si., M.H. Artikel ini akan mengantarkan kita pada permasalahan atau sekurang-kurangnya memberikan catatan kecil atas dinamika kebhinekaan dalam beragama, khususnya dalam menyikapi berbagai konflik keagamaan atau intoleransi serta isu radikalisme dan terorisme yang terjadi di Indonesia. Artikel ketiga berjudul "Terorisme: Deteksi dan Antisipasinya (Dalam Perspektif Polisi Tugas Umum)" yang ditulis oleh KBP H. Nazirwan Adji W.,S.I.K., M.Si. Artikel ini berangkat dari kasus pengepungan LAPAS oleh Narapidana Terorisme yang terjadi di dalam Mako Brimob Kelapa Dua Depok dan disusul dengan serentetan kasus bom bunuh diri di Gereja Katolik Santa Maria Tak bercela, Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Pantekosta Pusat di Surabaya dan kasus peledakan Bom di Mapolrestabes Surabaya. Artikel keempat berjudul "Peran Polri dalam Menjaga Etika Media Melalui Penegakan Hukum Guna Membangun Komitmen untuk Meraih Kepercayaan Publik dalam Menjaga Ketutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia" yang ditulis oleh KBP Drs. Susilo Teguh Rahardjo, M.Si. Simpulan artikel ini adalah peran aparat penegak hukum adalah yang paling utama sebagai ujung tombak keadilan, salah satunya adalah peran aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga segala bentuk kejahatan yang timbul sebagai akibat penyalahgunaan teknologi informasi segera dapat teratasi melalui kerjasama yang baik dengan berbagai pihak. Artikel kelima berjudul "Menangkal Hoax Melalui Penguatan Literasi" yang ditulis oleh Kombes Pol Ir. H. Slamet Iswanto, S.H. Artikel ini dilatarbelakangi oleh banyaknya hoax yang menyebar dalam berbagai media akhir-akhir ini. Hoax ini jika dibiarkan akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu hoax harus ditangkal. Salah satu cara untuk menangkal hoax adalah melalui penguatan literasi pada masyarakat. Artikel keenam berjudul "Transformasi Kompetensi Abad XXI sebagai

Page 2: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

iv

Kurikulum Tersembunyi pada Lembaga Pendidikan Kepolisian" yang ditulis oleh Kombes Pol Drs. Suparyono, M.H. Artikel ini memandang perlunya transformasi kompetensi abad XXI dalam kurikulum di Akpol. Agar kurikulum tidak sering diubah, maka transformasi tersebut dapat diterapkan dalam kurikulum ersembunyi (hidden curriculum). Artikel ketujuh berjudul "Menjaga Keberagaman di Indonesia" yang ditulis oleh Kompol Agus Leksono, S.Sos. Artikel ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang penuh dengan keragaman. Indonesia terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, dll. Kondisi seperti ini pada satu sisi sangat menguntungkan, namun pada sisi lain juga mengancam kesatuan dan persatuan bangsa. Oleh karena itu, keberagaman budaya yang ada di Indonesia ini harus dijaga supaya tidak menimbulkan konflik, terlebih lagi perpecahan. Artikel kedelapan berjudul "Optimalisasi Penggunaan Aplikasi Avis Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan Uji Teori Surat Izin Mengemudi oleh Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Cimahi" yang ditulis oleh Brigtar Fery Afrilio Christanto. Artikel ini diangkat dari skripsi dengan judul yang sama. Artikel kesembilan berjudul "Peran Bhabinkamtibmas dalam Pencegahan Konflik Sosial Berbasis Agama di Polresta Bogor Kota" yang ditulis oleh Brigtar Aditya Rizky Nugroho. Artikel ini diangkat dari skripsi dengan judul yang sama. Jurnal edisi ini ditutup dengan 11 abstrak skripsi terbaik taruna Akademi Kepolisian tahun 2018 yang disunting oleh Brigtar Prawira Hirya. Kesebelas abstrak tersebut adalah (1) Optimalisasi Penggunaan Aplikasi Avis Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan Uji Teori Surat Izin Mengemudi oleh Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Cimahi (Fery Afrilio Christanto), (2) Peran Bhabinkamtibmas dalam Pencegahan Konflik Sosial Berbasis Agama di Polresta Bogor Kota (Aditya Rizky Nugroho), (3) Optimalisasi Penerapan E-Tilang dalam Proses Birokrasi Denda Tilang di Polres Cianjur (Putu Gede Ega Purwita), (4) Efektivitas Whatsapp Sebagai Media Komunikasi oleh Bhabinkamtibmas untuk Mencegah Kasus Curanmor di Polres Cimahi (Fitriani Akrima), (5) Pencegahan Gangguan Kamtibmas Melalui Pemberdayaan Jaga Lembur Sisi Jalan (Jabursilan) oleh Bhabinkamtibmas di Polres Sumedang (Putu Ari Sanjaya Putra), (6) Pencegahan Radikalisme Melalui Optimalisasi Peran Bhabinkamtibmas di Wilayah Hukum Polresta Bogor Kota Dalam Rangka Harkamtibmas (Sang Made Satria Damara), (7) Optimalisasi Patroli Biru Satuan Sabhara dalam Mencegah Tindak Pidana dengan Pemberatan (Curat) di Polres Bandung (Mega Ayundya Nirwaningtyas), (8) Optimalisasi Peran Unit Dikyasa Polres Cimahi dalam Kegiatan Dikmas Lantas untuk Meningkatkan Kesadaran Terhadap Etika Berlalu Lintas pada Pelajar SMA (Kevin Egananta Joshua), (9) Penerapan Program E-Tilang Sebagai Bentuk Penegakan Hukum Atas Pelanggaran Lalu Lintas di Polres Cimahi (Nur Nisfi Ardiansari), (10) Peran Bhabinkamtibmas dalam Mencegah Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor di Polsek Sumedang Selatan (Dina Rizkiana), dan (11) Peran Satuan Binmas Polres Tasikmalaya Kota dalam Mencegah Tindak Pidana Penipuan (Rerit Oktafiandi).

Juli 2018Tim Redaksi Jurnal

Page 3: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

DAFTAR ISIJURNAL ILMIAH KEPOLISIAN

TANGGON KOSALA: EDISI KHUSUS, JULI 2018Hal

v

KAJIAN BIROKRASI DALAM ILMU KEPOLISIAN

Oleh H. Rycko Amelza Dahniel

DINAMIKA KEBHINEKAAN BERAGAMA: RADIKALISME DAN

KON-FLIK BERAGAMA DI INDONESIA

Oleh M. Asep Syahrudin

TERORISME: DETEKSI DAN ANTISIPASINYA (DALAM

PERSPEKTIF POLISI TUGAS UMUM)

Oleh H. Nazirwan Adji W.

PERAN POLRI DALAM MENJAGA ETIKA MEDIA MELALUI

PENEGA-KAN HUKUM GUNA MEMBANGUN KOMITMEN

UNTUK MERAIH KEPERCAYAAN PUBLIK DALAM MENJAGA

KETUTUHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Oleh Susilo Teguh Rahardjo

MENANGKAL MELALUI PENGUATAN LITERASIHOAX

Oleh H. Slamet Iswanto

TRANSFORMASI KOMPETENSI ABAD XXI SEBAGAI KURI-

KULUM TERSEMBUNYI PADA LEMBAGA PENDIDIKAN KE-

POLISIAN

Oleh Suparyono

MENJAGA KEBERAGAMAN DI INDONESIA

Oleh Agus Leksono

OPTIMALISASI PENGGUNAAN APLIKASI AREA AVIS ONLINE

TERBATAS BERBASIS A DALAM PELAYANAN UJI NDROID

TEORI SURAT IZIN MENGEMUDI OLEH SATUAN LALU LINTAS

KEPOLISIAN RESOR CIMAHI

Oleh Fery Afrilio Christanto

1

20

28

32

41

60

71

92

Page 4: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

vi

PERAN BHABINKAMTIBMAS DALAM PENCEGAHAN KON-

FLIK SOSIAL BERBASIS AGAMA DI POLRESTA BOGOR KOTA

Oleh Aditya Rizky Nugroho

ABSTRAK 11 SKRIPSI TERBAIK TARUNA AKPOL 2018Oleh Prawira Hirya

108

126

Page 5: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

1)Irjen Pol Dr. H. Rycko Amelza Dahniel, M.Si. adalah Gubernur Akademi Kepolisian.

A. PENDAHULUAN Setelah Prof. Harsya Bachtiar menjelaskan konsep Ilmu kepolisian sebagai sebuah cabang ilmu penge-tahuan yang baru, maka Prof. Parsudi Suparlan memantapkan ilmu kepo-lisian sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan yang harus memiliki paradigma sendiri dan merupakan se-buah bidang ilmu yang corak pende-katannya antar-bidang. Prof. Harsya Bachtiar melihat bahwa seperti ke-banyakan cabang-cabang ilmu pe-ngetahuan yang baru, terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur-unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sudah lama menjadi bagian dari ilmu pengetahuan. Corak penggabu-ngan unsur-unsur pengetahuan dapat

dibangun melalui pendekatan antar-bidang (interdis-ciplinary) maupun multi-bidang (multidisciplinary). Masing-masing cabang ilmu penge-tahuan yang baru cenderung meman-faatkan pengetahuan dari sejumlah cabang ilmu pengetahuan yang telah lebih dahulu diakui sebagai cabang ilmu pengetahuan tersendiri, sehing-ga bisa juga ditanggapi sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang ber-sifat antar-cabang ilmu pengetahuan atau pengetahuan antar-bidang (inter-disciplinary). Keadaan demi-kian berbeda daripada pengetahuan yang merupakan hasil pengkajian suatu masalah, atau perangkat ma-salah, yang dikaji oleh tenaga ahli dari berbagai cabang ilmu pengeta-huan, masing-masing sesuai dengan

KAJIAN BIROKRASI DALAM ILMU KEPOLISIAN

1Oleh: Rycko Amelza Dahniel

ABSTRAK

Hakekat epistemologi ilmu kepolisian sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang multibidang atau antarbidang tidak perlu dipertentangkan karena merupakan sebuah keniscayaaan alamiah dari sebuah evolusi ilmu pengetahuan yang coraknya akumulatif dan pengkayaan epistemologis yang bercorak eklektis. Lebih dari itu sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan juga harus mencakup kajian empirik atas ontologi dan aksiologi, termasuk metodologinya. Eksistensi ilmu kepolisian harus ditunjukkan dengan adanya lembaga ilmiah untuk pengembangannya, memiliki perkumpulan ilmuwan dengan berbagai produk ilmiah yang terpublikasi secara periodik guna peningkatan kualitas umat manusia. Ilmu kepolisian merupakan sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi dan lembaga kepolisian dalam mengelola masalah-masalah sosial guna mewujudkan keteraturan sosial. Birokrasi kepolisian merupakan bagian dari konsep dan teori ilmu kepolisian yang mempelajari dinamika struktur pada lembaga kepolisian.

Kata Kunci: birokrasi, ilmu kepolisian, otoritas

Page 6: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Rycko Amelza Dahniel, Kajian Birokrasi Dalam Ilmu Kepolisian

kelazi-man cabang ilmu pengetahuan sendiri-sendiri. Pengetahuan demi-kian biasanya dikenal sebagai penge-tahuan multidisiplin, pengetahuan yang diperoleh melalui sejumlah pengkajian yang sesungguhnya terpisah satu dari yang lain meskipun memusatkan pada permasalahan yang sama (multidis-ciplinary). Unsur-unsur pengetahuan antar cabang ilmu pengetahuan yg berasal dari cabang-cabang ilmu pengeta-huan yang berbeda lambat-laun, seperti halnya pada bidang kedok-teran, bisa berpadu sedemikian rupa sehinga berubah menjadi bidang pengetahuan keahlian yang dengan jelas mempunyai identitas sendiri, menjadi cabang ilmu pengetahuan yang sifatnya pengetahuan antar bidang. Ilmu kepolisian lambat-laun menjelma menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline) yang baru dan mempunyai identitas sendiri di-antara cabang-cabang ilmu penge-tahuan lain, bersama-sama merupa-kan ilmu pengetahuan yang diasuh oleh perguruan tinggi (Bachtiar, 1994:15-16). Ilmu kepolisian meru-pakan sebuah cabang ilmu pengeta-huan yang berdiri sendiri, sesung-guhnya merupakan perpaduan dari pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan (discipline). Perpaduan ini sendiri belum terwujud sebagai-mana mesti-nya, berbagai unsur-unsur penge-tahuan masih hanya merupakan bagian dari cabang ilmu pengetahuan

yang bersangkutan. Keadaan demi-kian adalah wajar saja dan memang dapat terjadi dalam pertumbuhan ilmu pengetahuan. Tahap perkem-bangan yang memperlihatkan keada-an yang sama juga pernah dilalui oleh cabang-cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu kedokteran, ilmu kepen-dudukan dan kajian wilayah, yang masing-masing semula juga berasal dari cabang-cabang ilmu pengetahu-an yang berbeda-beda, tapi lambat laun tumbuh menjadi satu cabang ilmu pengetahuan sendiri (Bachtiar, 1994:33,78). Selanjutnya Prof. Parsudi Supar-lan memantapkan ilmu kepolisian sebagai sebuah bidang ilmu yang corak pendekatannya antar bidang (interdisciplinary). Sebuah pende-katan antar-bidang mencoba meng-gunakan paradigma yang terdiri atas konsep, teori, metodologi dan metode-metode dari dua bidang ilmi-ah atau lebih digabungkan menjadi satu sehingga terwujud sebagai sebu-ah metodologi yang baru dan relevan atau berguna dalam ruang perma-salahan yang menjadi kajiannya. Pendekatan antar-bidang diperlukan untuk menjawab atas pertanyaan mengenai cara-cara terbaik dalam mendefinisikan suatu masalah-masa-lah kajian dan dalam memperoleh data yang sahih. Masalah-masalah yang menjadi kajian itu bisa saja menjadi perhatian dari dua bidang ilmiah atau lebih, sehingga corak kajiannya terkomplikasi dengan pen-

2

Page 7: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

3TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

dekatan-pendekatan atau metodologi yang berbeda, maka diperlukan pen-dekatan yang antar-bidang yang mencakup integrasi konsep dan teori yang memungkinkan dilakukan pem-buatan secara deduktif hubungan-hubungan yang jelas diantara hipo-tesa-hipotesa atau teori-teori, dan dapat dijadikan acuan metodo-logi. Pendekatan antar-bidang mem-punyai paradigma dan metodologi yang tersendiri, yang tidak sama lagi dengan paradigma dan metodologi bidang ilmiah induknya. Dengan demikian, pendekatan antar-bidang memiliki paradigma sendiri yang mencakup metodologi, teori-teori, konsep-konsep, metode-metode dan bahkan label-label yang khusus menjadi ciri-cirinya yang berbeda dari metodologi atau paradigma dan pendekatan antar-bidang atau sesuatu bidang ilmiah lainnya (Suparlan, 2004:7). Saya tidak melihat adanya pertentangan cara berfikir kedua ilmuwan diatas, perbedaan dalam cara memandang sebuah masalah yang dikaji harus dipahami dan akan sangat dipengaruhi oleh latar bela-kang keilmuan, keluasan penga-laman serta kedalaman pemahaman terhadap masalah yang menjadi sasa-ran kajiannya. Perbedaan ini tidak selalu harus untuk dipertentangkan, namun harus dipahami sebagai sebuah perkembangan yang alamiah dari sebuah evolusi ilmu penge-tahuan yang coraknya akumulatif

dan pengkayaan epistemologis ilmu yang bercorak eklektis, yang diserap melalui metoda ilmiah dengan meng-gabungkan cara berfikir pada proses deduktif rasional dengan induktif empirik (logico-hypotetico-verifica-tive). Lebih dari itu, bahwa ilmu kepolisian sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan tidak saja di-bangun melalui epistemologi yang bercorak akumulatif dan eklektis, namun juga harus mencakup kajian empirik atas ontologi dan aksiologi, termasuk metodologinya. Makalah ini secara khusus didedikasikan untuk mengenang Prof. Parsudi Suparlan, PhD (Guru Besar Antropologi UI, mengajar di KIK UI, PTIK, Sespim, Sespati Polri dan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia) dalam rangka mem-peringati satu tahun wafatnya se-orang bapak, guru dan rekan diskusi, serta sebagai ungkapan cinta kasih kepada pahlawan yang mengabdikan dirinya pada ilmu pengetahuan dan memperjuangkan ilmu kepolisian di Indonesia. Dalam kesempatan ini saya ingin mengenang dan mengu-capkan terimakasih yang mendalam kepada Prof. Parsudi Suparlan, PhD sejak pertama kali bertemu dalam perkuliahan, diskusi dan menjadi promotor penulisan disertasi meski-pun tidak sampai selesai karena beliau lebih dahulu dipanggil pulang oleh Allah, Sang Pencipta, namun telah merubah cara memandang saya terhadap gejala-gejala sosial yang

Page 8: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

ternyata tidak selalu dapat dikuan-tifikasi, akan tetapi juga harus dapat dipahami sebagai satuan gejala yang naturalistik, interpretif dan hermene-utik secara holistik. Semoga Tuhan Yang Pengasih menerima amal- ibadah beliau.

B. PARADIGMA ILMU KEPO- LISIAN

Pengertian ilmu kepolisian, selain yang dijelaskan oleh Prof. Harsya Bachtiar dan Prof. Parsudi Suparlan, saya juga ingin memper-kaya pemahaman ilmu kepolisian dan melihatnya sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mem-pelajari fungsi dan lembaga kepoli-sian dalam mengelola masalah sosial guna mewujudkan keteraturan sosial. 1. Sebagai sebuah bidang ilmu

pengetahuan. Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, dengan demikian corak pende-katannya harus inter-disiplin (inter-disciplinary), memiliki paradigma sendiri yang terbentuk secara episte-mologi bercorak akumulatif dan eklektis. Pendekatan antar-bidang secara sederhana merupakan sebuah pendekatan atau sudut pan-dang yang digunakan sebagai acuan untuk meramu sejumlah konsep un-tuk menjadi teori atau teori-teori. Hasil ramuan atau teori tersebut digunakan sebagai kerangka acuan atau pedo-man bagi memahami sesuatu masa-lah yang menjadi perhatian un-tuk

dapat ditangani secara benar dan menyeluruh. Untuk mampu mem-buat kerangka acuan tersebut diper-lukan kemampuan untuk menseleksi konsep-konsep relevan dan menggu-nakan hakekat hubungan konsep-konsep yang terseleksi tersebut untuk memahami masalah yang dihadapi, menguji kesimpulan dari pema-hamannya, apakah sudah benar atau belum, sebab bila tidak benar, maka teori yang dibuat itu salah dan harus diulang lagi dengan pembuatan teori yang baru (Suparlan, 2008:26). Sebagai sebu-ah cabang ilmu pengetahuan yang baru dan berdiri sendiri, maka tentu ilmu kepolisian secara filosofis juga harus mampu menjelaskan ontologi (fokus telaah), aksiologi (keman-faatan bagi umat manusia) dan metodologi (prosedur pengujian) ke-ilmuannya. Ontologi dengan ber-bagai teori memberikan seperangkat kerangka kerja (frame-work), sedang-kan epistemologi memberikan seperangkat perta-nyaan, dan metodologi dengan anali-sisnya memberikan seperangkat cara untuk melakukan pengujian.2. Mempelajari fungsi kepolisian Ilmu kepolisian sebagai ilmu yang mempelajari fungsi kepolisian. Fungsi kepolisian harus dilihat se-bagai seperangkat kegiatan opera-sional kepolisian dalam mengelola masalah-masalah sosial (outward looking) guna terwujudnya kete-raturan sosial. Dengan demikian kon-sep ini terdiri atas tiga unsur utama,

4 Rycko Amelza Dahniel, Kajian Birokrasi Dalam Ilmu Kepolisian

Page 9: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

5TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

yaitu seperangkat kegiatan operasio-nal kepolisian, masalah-masalah sosial, dan keteraturan sosial. Dua unsur yang terakhir akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya. Seperangkat kegiatan opera-sional kepolisian menunjuk adanya beberapa kegiatan untuk men-jalankan tugas-tugas operasional ke-polisian atau kegiatan yang sejenis. Seperangkat kegiatan sejenis yang bekerja untuk mencapai satu tujuan yang telah ditentukan itu harus dilihat sebagai sebuah fungsi. Konsep fung-si selalu dikaitkan dengan konsep sistem, yaitu dalam kaitannya dengan unsur-unsur dalam sebuah sistem yang berada dalam hubungan fungsi-onal, saling mendukung dan menghi-dupi, yang secara bersama-sama memproses masukan untuk menjadi keluaran. Fungsi kepolisian adalah fungsional dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara, oleh karena itu fungsi kepolisian harus di-lihat sebagai bagian dari sistem ma-syarakat dan negara yang secara ke-seluruhan menunjuk kepada sebuah proses dari berbagai aktivitas ope-rasional yang saling berhubungan dan saling menghidupi satu dengan lainnya, yaitu memproses masukan berupa pembangunan nasional men-jadi keluaran berupa keamanan, ke-tertiban dan kesejahteraan. Fungsi kepolisian yang terwujud atas seperangkat kegiatan ope-rasional kepolisian, memiliki peran untuk memastikan terjaminnya pro-

ses pembangunan dan berjalannya aktivitas kehidupan warga masya-rakat. Dalam konteks ini, fungsi kepolisian harus mampu mencegah, meredam, meniadakan, dan bahkan harus menumpas berbagai gejala yang dapat mengganggu, meng-hambat, merugikan, dan bahkan merusak jalannya proses pemba-ngunan dan produktivitas kehidupan warga masyarakat. Berbagai gejala yang mengganggu itu merupakan bagian dari masalah-masalah sosial yang harus dikelola secara sistematis guna terjaminnya proses pemba-ngunan dan produktivitas kehidupan warga masyarakat serta mewujudkan ketertiban sosial. Oleh karena proses pembangunan dan berbagai aktivitas kehidupan warga masyarakat di-lakukan guna terpenuhi berbagai ke-butuhan, terjadinya peningkatan kualitas hidup, dan terbangunnya peradaban umat manusia yang lebih aman, lebih adil dan lebih sejahtera, maka sesungguhnya fungsi kepoli-sian itu berperan sebagai penjaga untuk meningkatkan kualitas hidup manusia (the guardian to enhance quality of life). Seperti telah dijelaskan diatas, bahwa fungsi kepolisian yang terdiri dari seperangkat kegiatan opera-sional kepolisian, dalam pelaksa-naannya dilakukan secara simultan untuk mengelola masalah-masalah sosial. Seperangkat kegiatan opera-sional kepolisian itu dikelola dalam tiga strategi yang dilaksanakan se-

Page 10: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

cara simultan dan dalam intensitas yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatan atau eskalasi masalah so-sial yang dihadapi (simultaneous strategy to social problem). Tingka-tan atau eskalasi masalah sosial seringkali dan dapat digambarkan se-bagai sebuah gunung es yang tidak bergerak dalam satu garis yang kontinum. Ketiga strategi ini meru-pakan rangkaian kegiatan fungsi ke-polisian yang proaktif dan akan di-tinjau dari dua sisi Teori Gunung Es. Pada sisi Teori Gunung Es yang pertama, menunjukkan bahwa ketiga strategi ini efektif digunakan untuk menjawab secara proaktif terhadap masalah sosial atau gangguan kam-tibmas yang dibedakan atas tiga eska-lasi atau tingkatan ancamannya, yang digambarkan dalam Teori Gunung Es. Tiga strategi ini bekerja secara simultan dengan intensitas yang berbeda menurut kebutuhan dan es-kalasi masalah sosial yang terjadi, sehingga tidak bergerak dalam satu garis yang kontinum, atau dengan kata lain ketiga strategi dilaksanakan secara bersama-sama, saling ber-hubungan, dan saling mendukung satu dengan lainnya. Tidak ada satu strategi yang paling tepat untuk menghadapi semua situasi, dan tidak ada satu situasi yang hanya dapat dikelolanya secara efektif dengan satu strategi saja. Bisa saja semua strategi dilaksanakan secara ber-sama-sama untuk mengelola satu situasi sesuai dengan intensitas dan

kadar masalah sosial yang terjadi, masing-masing strategi memusatkan perhatiannya untuk mengelola tiap kadar eskalasi situasi yang menjadi fokus perhatiannya, masing-masing strategi saling memberi informasi dan saling mendukung. Tiga strategi itu meliputi strategi pada fungsi de-teksi dini dan premitif, preventif, dan represif - investigatif. Diawali dengan strategi pada fungsi deteksi dini dan premitif yang utamanya dan efektif untuk men-jawab ketika masalah sosial masih tersimpan dalam setiap aspek kehidupan manusia, masih terwujud dalam bentuk potensi-potensi gang-guan atau faktor-faktor korelatif kri-minogen, dan belum muncul keper-mukaan dalam bentuk gangguan. Pada tahap berikutnya adalah strategi pada fungsi preventif, yaitu sepe-rangkat kegiatan proaktif yang utamanya dan efektif dilakukan ketika eskalasi masalah sosial dinilai pada tingkatan ambang gangguan atau police hazard. Fungsi preventif dilakukan melalui seperangkat tindakan pencegahan agar tidak ter-jadi gangguan, ketidak-teraturan, pe-langgaran, dan kejahatan. Dan, selan-jutnya strategi pada fungsi inves-tigatif dan represif yang diperlukan untuk menjawab ketika eskalasi masalah sosial telah meuncul kepermukaan dan terwujud sebagai gangguan yang nyata atau ancaman faktual. Pada tahapan ini dilakukan serangkaian upaya penegakan hu-

6 Rycko Amelza Dahniel, Kajian Birokrasi Dalam Ilmu Kepolisian

Page 11: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

7TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

kum (represif), termasuk upaya-upaya penyelidikan dalam rangka pengumpulan data dan informasi (in-vestigatif). Pada sisi sisi yang kedua Teori Gunung Es, menunjukkan bahwa ke-tiga strategi simultan itu juga dapat dipandang dari segi proses aktua-lisasinya. Masing-masing strategi akan bergerak secara kesisteman, di-mulai dari tataran fundamental, in-strumental, sampai kepada praktek atau implementasinya. Pada tataran fundamental menunjuk pentingnya membangun sebuah kesadaran ber-sama, membangun sinergi para pemangku kepentingan menjadi se-buah kekuatan yang dasyat untuk bersama-sama mengidentifikasi, memetakan, membangun kesadaran, membuat opsi dan menentukan solu-sinya. Kemudian memasuki tataran instrumental merupakan proses aktualisasi dari kesepamahaman dan berbagai opsi yang telah dibangun pada tahap sebelumnya, dengan me-rumuskan berbagai aturan main (rule of game) yang dapat diterima, sesuai kemampuan sumberdaya yang di-miliki, dan tingkat kewenangan semua pemangku kepentingan. Se-lanjutnya pada tataran proses puncak atau praktek atau implementasi me-rupakan aksi nyata yang dilakukan bersama-sama secara sinergi dengan senantiasa memperhatikan peluang dan ancaman (opportunities and threats) serta kekuatan dan kele-mahan (strength and weakness) atas

tindakan yang akan dilakukan. Strategi pada fungsi deteksi dini merupakan serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan berbagai informasi dari seluruh aspek kehi-dupan masyarakat, melakukan peni-laian, identifikasi, pemahaman ber-bagai faktor yang dapat menim-bulkan masalah sosial. Fungsi deteksi dini bertujuan untuk mela-kukan pemetaan berbagai masalah sosial dan potensi gangguan (social problem mapping) dari seluruh aspek kehidupan masyarakat, memberikan peringatan dini (early warning) dan rekomendasi kepada pemangku kepentingan untuk mengambil ke-putusan, utamanya tindakan pen-cegahan proaktif yang perlu di-lakukan pada tahapan strategi yang lain. Pada tahapan ini diperlukan berbagai konsep dan teori penge-tahuan deteksi dini kepolisian, intelijen kepolisian dan teknologi kepolisian yang diramu dari berbagai konsep dan teori Sosiologi , Antropologi, Ilmu Hukum, Ilmu Komunikasi, Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi lainnya. Selanjutnya strategi pre-emtif berisi berbagai upaya pembinaan masyarakat dalam meningkatkan kapasitas warga dalam memelihara keamanan dan ketertiban, dengan tujuan meningkatkan daya tangkal, daya cegah dan daya lawan warga terhadap berbagai gangguan kam-tibmas. Strategi pada fungsi pre-emtif disebut juga indirect prevention

Page 12: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

atau paralel dengan public health dalam dunia kesehatan, yaitu dilaku-kan dengan mengujungi masyarakat untuk melakukan identifikasi, mema-hami, melakukan pemetaan dan sekaligus melakukan pembinaan dalam rangka meningkatkan partisi-pasi masyarakat dalam memelihara dan membina keamanan dan keter-tiban, menumbuhkan dan mening-katkan kesadaran hukum masya-rakat, serta meningkatkan ketaatan warga terhadap berbagai peraturan per-undangan yang berlaku. Produk dari upaya deteksi dini dan pembi-naan masyarakat adalah terwujudnya sebuah pemetaaan (mapping) berba-gai faktor-faktor yang dapat menim-bulkan berbagai gangguan dan poten-si konflik, meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk menciptakan keteraturan dalam kehi-dupan sosialnya, serta meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat. Upaya-upaya proaktif guna me-ningkatkan kapasitas dan kual i tas masyarakat melalui pengikutser-taan, pemahaman, pemberdayaan dan penguatan warga terhadap diri dan keteraturan sosial di l i n g k u n g a n - n y a , t e r m a s u k peningkatan ketahan-an warga merupakan salah satu ciri pemolisian yang modern. Penye-lenggaran fungsi prefemtif memer-lukan b e r b a g a i k o n s e p d a n t e o r i pengetahuan Pre-emtif Kepolisian, Pemolisian Masyarakat, Komunikasi Kepolisian, Hubungan Antar suku

bangsa yang menggunakan berbagai konsep dan teori yang berasal dari Ilmu Komunikasi, Sosiologi, Psikologi, Antropologi dan Krimi-nologi. Upaya-upaya pencegahan meru-pakan pelaksanaan dari strategi pada fungsi preventif atau direct preven-tion paralel dengan preventive medicine dalam dunia kesehatan, me-rupakan segala usaha dan kegiatan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda dan barang termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan, khususnya men-cegah terjadinya pelanggaran hu-kum. Sebagai upaya untuk mence-gah terjadinya pelanggaran hukum dilakukan dengan mereduksi lahir-nya niat dan kesempatan melakukan kejahatan melalui perbaikan infra-struktur perkotaan dan kehadiran petugas keamanan secara fisik. Produk dari upaya ini adalah ter-bangunnya pemetaan tempat-tempat dan kegiatan-kegiatan masya-rakat yang memerlukan kehadiran petugas keamanan (police hazard), kebutuh-an infrastruktur perkotaan dalam bentuk berbagai fasilitas umum yang diperlukan guna mereduksi terjadi-nya kejahatan dan pemetaan kebu-tuhan kehadiran petugas keamanan pada tempat-tempat dan kegiatan-ke-giatan masyarakat yang memerlukan kehadiran petugas keamanan secara fisik. Upaya-upaya pencegahan tidak saja dilakukan oleh lembaga ke-

8 Rycko Amelza Dahniel, Kajian Birokrasi Dalam Ilmu Kepolisian

Page 13: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

9TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

polisian yang berwenang sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku, akan tetapi juga oleh instansi terkait sesuai dengan kewenangan-nya, masyarakat secara individu maupun terorganisir perlu memiliki pengetahuan, pemahaman, kesada-ran dan tanggung jawab tentang pen-tingnya untuk melakukan berbagai upaya dan cara-cara yang efektif untuk mencegah terjadinya pelang-garan hukum, seperti siskamling, satpam, polisi pamong praja dan tramtib. Dalam keadaan tertentu, Polri dibantu oleh TNI, termasuk pemerintah daerah dan pekerjaan umum untuk menyediakan berbagai fasilitas umum, antara lain lampu penerang jalan, halte angkutan umum, pagar pembatas jalan, jembatan penyeberangan, dan lain sebagainya. Pada tahapan ini diperlukan konsep dan teori pengetahuan Preventif Kepolisian, Manajemen Sekuriti, Pencegahan Kejahatan, dan Urban Crime yang menggunakan berbagai konsep dan teori dari Kriminologi, Sosiologi hu-kum, Antropologi, Ilmu Komunikasi, Psikologi, dan Administrasi. Upaya penegakan hukum merupakan pelaksanaan dari strategi fungsi represif atau paralel dengan currative medicine dalam kesehatan. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak akan terlepas tujuan dari diadakan hukum dan nilai-nilai dasar pembentuk hukum itu sendiri. Tujuan

hukum akan tercapai apabila didukung oleh tugas hukum yaitu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum, sehingga akan menghasilkan suatu keadilan (Makarim, 2003 dalam Prasetyo dan Barkatullah, 2007). Sementara itu menurut Gustav Radbruch (1961 dalam Nitibaskara, 2006) setidaknya terdapat tiga nilai dasar hukum yaitu Keadilan, Kegu-naan dan Kepastian hukum. Seka-lipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun antara mereka terdapat suatu spannungsverhaltnis, suatu ketegangan satu dengan lainnya yang memiliki potensi saling bertentangan, satu diantara mereka dikedepankan, maka akan menggeser dua nilai yang lain kesamping. Hal ini disebabkan karena masing-masing nilai tersebut memiliki tuntutan yang berlainan satu dengan lainnya dan mengandung potensi saling ber-hadapan. Apabila nilai kepastian hukum dikedepankan, maka akan segera menggeser nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang paling utama dari nilai kepastian hukum adalah kepastian penegakan atas peraturan itu sendiri, mengenai apakah peraturan itu harus adil atau berman-faat untuk masyarakat merupakan di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai-nilai yang berbeda-beda tersebut, maka peni-laian mengenai keabsahan hukum

Page 14: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

atau suatu perbuatan hukum dapat berlainan tergantung nilai mana yang akan dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang lebih berjaya, karena disitu diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum. Ketika orang mulai ber-lomba-lomba untuk bermain-main hanya dalam kawasan kepastian hukum, maka hukum akan benar-be-nar menjadi alat untuk membenarkan berbagai kepentingan. Hukum dapat digunakan sebagai alat kejahatan (law as tool of crime). Disinilah hukum bisa diseret ke dalam wilayah yang berbahaya, yakni membenarkan kepentingan yang melawan keadilan masyarakat, termasuk berbagai hal yang kurang berguna bagi rakyat (Nitibaskara, 2006). Keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hu-kum yang menghasilkan keadilan, hampir dapat dipastikan tergantung dari para aparat yang menegakkan hukum itu. Oleh karena itu 'tangan-tangan hukum' atau para penegak hukum idealnya adalah 'manusia su-per yang tidak saja memiliki kekuatan otot dan otak akan tetapi lebih dari itu harus memiliki hati nurani atau O2H (otak, otot dan hati nurani, lihat Satjipto Raharjo, 2000). Pertimbangan hati nurani penegak hukum, misalnya anggota Polri sebagai hukum yang hidup di tengah masyarakat diatur dalam kaidah yang disebut dengan diskresi kepolisian. Ilmu kepolisian sebagai sebuah

bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi kepolisian juga berkaitan dengan berbagai upaya penyelidikan dalam rangka pengum-p u l a n d a t a d a n i n f o r m a s i (investigatif), cara-cara menda-patkan data dengan berbagai metoda, melakukan deskripsi data, memilah berbagai data sesuai dengan kebutuhan dan melakukan katego-risasi, sampai dengan menyediakan data secara tepat dan akurat. Data dan informasi yang dikumpulkan berkaitan dengan isu-isu penting yang sedang berkembang didalam organisasi, lingkungan dan masya-rakatnya dan berbagai masalah sosial dalam aspek kehidupan masyarakat. Pada tahapan ini diperlukan berbagai konsep dan teori pengetahuan Repre-sif Kepolisian, Investigasi Kepolisi-an, Teknologi Kepolisian, Forensik Kepolisian, Cyber crime, Transnati-onal Crime, Pembangunan dan Peru-bahan Sosial, Hukum Kepolisian, Administrasi Kepolisian, yang bera-sal dari berbagai konsep dan teori ilmu Komunikasi, Antropologi Hukum, Sosiologi Hukum, Kedok-teran – Kimia – Fisika – Biologi dan Matematika dalam rumpun ilmu-ilmu alamiah.3. Mempelajari lembaga kepolisian Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa ilmu kepolisian meru-pakan ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi kepolisian yang terwujud dari seperangkat kegiatan operas ional kepol is ian yang

10 Rycko Amelza Dahniel, Kajian Birokrasi Dalam Ilmu Kepolisian

Page 15: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

11TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

dilakukan secara simultan, sudah barang tentu seluruh kegiatan ini harus ditata melalui sebuah meka-nisme kerja yang sistematis, adanya keteraturan dan adanya kepastian. Penataan itu juga harus memper-hatikan struktur hubungan antara peranan-peranan dan norma-norma yang berlaku dari seluruh pihak yang terlibat didalamnya, yang disebut sebagai sebuah lembaga atau pranata. Sebagai sebuah pranata, tentu ke-beradaannya harus dirasakan perlu dan penting dalam pemenuhan ke-butuhan hidup masyarakat. Dalam proses penataan sebuah lembaga diperlukan suatu cara dan wadah un-tuk melakukan berbagai kegiatan dan sebagai proses interaksi dalam men-capai tujuan yang telah ditentukan. Wadah dan proses untuk melakukan berbagai kegiatan disebut dengan or-ganisasi dan cara yang diperlukan un-tuk menata serangkaian kegiatan ya-ng disebut dengan manajemen. Dalam mempelajari lembaga ke-polisian, maka berbagai konsep dan teori ilmu kepolisian akan mencakup berbagai konsep-konsep dan teori-teori administrasi kepolisian yang terwujud melalui manajemen dan organisasi kepolisian. Administrasi merupakan seperangkat metode, ins-truksi-instruksi, arahan dan pelayan-an agar setiap orang bekerja sesuai arah yang telah ditentukan (Wilson, 1887; Dunsire, 1973; Shafritz & Hyde, 1992; Stilman II, 1992; Hughes, 1994). The object of

administrative study is to rescue executive methods from the confusion and cost l iness o f empir ical experiment and set the upon foundations laid deep in stable principle (Wilson, 1887). Sehingga menurut Woodrow Wilson (1887), organisasi dapat diibaratkan sebagai anatomi administrasi dan manajemen adalah fisiologinya (Djamin, 1995 dan lihat juga 2007). Organisasi se-bagai anatomi menunjukkan sebagai struktur formal yang bersifat statis dan manajemen sebagai fisiologi yang bersifat dinamis. Manajemen sebagai pilar fisi-ologi dan salah satu komponen utama dari administrasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mem-peroleh hasil melalui kegiatan-kegiatan orang lain untuk mencapai tujuan, yang menunjukkan dalam manajemen terdapat kelompok orang yang menduduki berbagai tingkat jabatan untuk menggerakan orang lain agar melakukan aktivitas-ak-tivitas dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dan, mana-jemen juga dapat dilihat sebagai proses penyelenggaraan kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan, dengan demikian dalam manajemen terdapat kegiatan-kegiatan yang harus di-lakukan melalui fungsi-fungsi dalam mencapai tujuan yang telah di-tentukan. Fungsi-fungsi manajerial dapat digolongkan kepada dua jenis utama, yaitu fungsi organik dan fung-

Page 16: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

si penunjang (Siagian, 1989, 2007). Fungsi organik adalah keseluruhan fungsi utama yang merupakan penja-baran kebijakan dasar atau strategi organisasi yang telah ditetapkan dan mutlak digunakan sebagai cara bertindak untuk mencapai berbagai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Proses penyelenggara-aan atau tata kelola fungsi organik juga dikenal sebagai penyelenggara-an Manajemen Operasional Kepoli-sian. Sedangkan fungsi penunjang merupakan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh orang-orang atau satuan-satuan kerja dalam organisasi dan dimaksudkan untuk mendukung semua fungsi organik para manajer. Proses penyeleng-garaan atau tata kelola fungsi penunjang, biasa yang disebut dengan Manajemen Pembinaan Kepolisian, yang mencakup mana-jemen personel, termasuk pendidikan dan pelatihan, keuangan, logistik, penelitian dan pengembangan, dan lain sebagainya. Organisasi sebagai pilar anatomi administrasi diperlukan sebagai wadah dari proses interaksi manusia-manusia yang terdapat didalamnya, dimana aktivitas-aktivitas dari manu-sia-manusia tersebut secara nyata dilakukan dalam bentuk kegiatan-kegiatan operasional. Sebuah orga-nisasi merupakan satu kesatuan sosial dari sekelompok manusia, ya-ng saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu (pola kerjasama)

sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, yang sebagai satu kesatuan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga dapat dipi-sahkan secara tegas dari lingkungan-nya (Lubis, 1987; Robbins 1990; Wexley dan Yukl 1984 dalam Kasim 1993). Lembaga kepolisian juga mencakup studi tentang organisasi kepolisian yang merupakan wadah dan proses interaksi dari manusia-manusia yang terdapat didalamnya, dimana aktivitas-aktivitas dari manusia-manusia tersebut secara nyata dilakukan dalam bentuk kegiatan-kegiatan operasional. Kon-sep ini akan mempelajari lembaga kepolisian yang mencakup struktur organisasi dan dinamikanya, infra-struktur, kultur dan berbagai aturan serta hubungan tatacara kerja dalam sebuah lembaga. Pada tahapan ini diperlukan pengetahuan Admini-strasi Kepolisian, Manajemen Kepolisian, Organisasi Kepolisian, Perilaku Organisasi Kepolisian, Bu-daya Organisasi Kepolisian, Iklim Organisasi Kepolisian, dan Etika Kepolisian. 4. Mengelola masalah sosial Masalah sosial harus dikelola guna terwujudnya keteraturan sosial. Sejatinya, masalah sosial merupakan produk dinamika hubungan sosial masyarakat yang terwujud dari selu-ruh aspek kehidupan manusia. Masalah sosial akan selalu muncul dan ada dalam dinamika hubungan

12 Rycko Amelza Dahniel, Kajian Birokrasi Dalam Ilmu Kepolisian

Page 17: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

13TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

sosial baik pada tingkat keluarga, kelompok, komuniti, dan masya-rakat. Masalah sosial terwujud dan berkembang dari seluruh aspek kehidupan manusia sebagai hasil interaksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan ling-kungannya dan bahkan manusia dengan Tuhannya. Kemacetan lalulintas, tawuran antar kampung, konflik pertanahan merupakan wujud dari masalah sosial sebagai hasil interaksi manusia dengan manusia. Pencemaran dan pengru-sakan lingkungan, banjir, tanah longsor, sampai gunung meletus me-rupakan contoh-contoh masalah sosial yang terwujud dari hasil hubungan manusia dengan ling-kungannya. Penodaan dan penistaan agama, berbagai aliran keyakinan keagamaan yang dianggap sesat juga melahirkan masalah sosial sebagai hasil hubungan antara manusia dengan Tuhannya, yang dianggap tidak sejalan, bertentangan dan bah-kan menodai keyakinan keagamaan masyarakat pada umumnya. Masalah sosial yang terwujud dari seluruh aspek kehidupan manu-sia dapat dikelompokkan dengan apa yang disebut Astagatra, yang terdiri dari Trigatra atau tiga bidang sebagai aspek alamiah dan Pancagatra atau lima bidang pada aspek sosial. Aspek Trigatra, antara lain geografi yang menunjuk kepada letak geografi su-atu negara, disatu sisi akan sangat menguntungkan secara ekonomi,

namun disisi lain juga akan membuka potensi permasalahan keamanan. Pa-da gatra demografi, jumlah penduduk yang besar, disatu sisi merupakan human capital, namun pada sisi yang lain dapat menjadi masalah sosial ketika jumlah penduduk yang besar dengan penyebaran yang tidak merata dan cenderung terpusat di kota besar, kualitas sumber daya manusia yang belum cukup mema-dai, minimnya lapangan kerja, meningkatnya kemiskinan, dan seterusnya meningkatnya angka kejahatan dan konflik-konflik keke-rasan merupakan bola salju yang berujung pada musibah demografi. Dan pada gatra sumber kekayaan alam, yang sering dikatakan melim-pah dan berkah dapat berubah menjadi musibah, bila tidak dikelola secara berkeadilan yang akan menimbulkan konflik, dan bila tidak dipahami pentingnya pengelolaan se-cara keberlanjutan dan kepedulian pengelolaan energi baru dan terbarukan (EBT) guna keber-langsungan suatu bangsa dimasa mendatang, justeru akan mewariskan musibah bagi anak cucu. Aspek kehidupan pada sosial pada Panca-gatra, seperti kehidupan ideologi, politik, sosial budaya yang meliputi pluralisme, heterogenisme, hu-bungan antar sukubangsa, tolerasi dan kerukunan antar umat beragama, fundamentalisme, termasuk ek-strimisme, juga pada aspek pem-bangunan ekonomi, dan masalah ke-

Page 18: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

amanan seperti pelanggaran, peng-gunaan kekerasan dan kekuatan untuk menyelesaikan masalah, dan tindak kejahatan. Secara umum masalah sosial seringkali dilihat se-bagai sesuatu gejala yang terwujud berupa tindakan, ucapan, sistem atau struktur yang dianggap mengganggu, merugikan, atau bahkan merusak tatanan kehidupan atau keteraturan sosial. Seperti telah diuraikan diatas, bahwa masalah sosial dapat di-bedakan dari tingkat atau eskalasi ancamannya, yang dimulai dari potensi gangguan berupa faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan atau kriminogen, ambang gangguan atau police hazard, dan gangguan nyata atau ancaman fak-tual. Sebuah masalah sosial dari segi dampaknya juga dapat dibedakan atas masalah sosial yang berpotensi merusak dan masalah sosial yang me-nguntungkan bagi kehidupan. Sejumlah masalah sosial dapat merugikan dan merusak kehidupan sosial sehingga mengganggu ke-amanan dan kesejahteraan hidup warga oleh karena itu harus dicegah, diredam atau bahkan ditumpas, se-perti kejahatan, pelanggaran dan tindakan yang merusak lainnya. Sementara itu, ada sejumlah masalah sosial yang berpotensi memberi keuntungan bagi kehidupan masya-rakat. Masalah-masalah sosial dalam kategori ini terjadi dalam rangka mencari keseimbangan yang baru

atau sengaja terwujud sebagai bentuk guna membangun suatu tatanan kehidupan yang baru untuk meng-gantikan tatanan kehidupan lama yang dirasakan sudah tidak lagi sesuai dengan keinginan dan per-kembangan lingkungan. Sejumlah masalah sosial yang terjadi hanya mengganggu dan merugikan se-bagian warga masyarakat dalam waktu tertentu saja. Masalah-masalah sosial yang termasuk dalam kategori ini seperti perjuangan antar kelas pada Revolusi Sosial di Perancis (1787-1789), di China (1911-1916) dan di Rusia (1917), ter-masuk kegiatan menyampaikan pendapat dimuka umum atau de-monstrasi, pembebasan tanah untuk kepentingan umum, penataan perkotaan, transportasi, dan lain se-bagainya . Namun demikian , sejumlah masalah sosial, baik yang berpotensi merusak maupun mencari keseimbangan dan untuk mem-bangun tatanan kehidupan yang baru harus dikelola dengan baik dan sistematis agar tidak menjadi masa-lah sosial lain yang lebih besar, lebih kompleks dan sulit dikendalikan, serta menimbulkan dampak kerugian yang lebih besar. Masalah sosial ha-rus dikelola secara sistematis melalui strategi simultan fungsi kepolisian yang proaktif guna terwujudnya keteraturan sosial.5. Mewujudkan keteraturan sosial Keteraturan sosial merupakan suatu keadaan berupa situasi dan

14 Rycko Amelza Dahniel, Kajian Birokrasi Dalam Ilmu Kepolisian

Page 19: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

15TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

kondisi kehidupan sosial masyarakat yang berjalan sesuai dengan aturan dan norma-norma yang berlaku, warga dapat menjalan produkti-vitasnya tanpa rasa takut, adanya ke-pastian, merasa aman dan damai, Tata tentrem kerta raharja. Konsep keteraturan sosial adalah produk dari konsep masalah sosial atau sebaliknya, karena (1) tidak se-mua masalah sosial harus ditiadakan, karena sesuatu gejala sosial yang mengganggu atau merugikan kehi-dupan masyarakat dapat juga dilihat sebagai dinamika sosial yang mengganggu keteraturan sosial dari kehidupan masyarakat tersebut untuk suatu jangka waktu tertentu. Gang-guan yang merupakan dinamika sosial dapat menciptakan tingkat ke-teraturan yang lebih tinggi daripada tatanan kehidupan sosial dan kehi-dupan masyarakat yang selama ini berlangsung, (2) konsep keteraturan sosial mengacu pada adanya dina-mika sosial sedangkan konsep ketertiban masyarakat mengacu kepada pembekuan kehidupan ma-syarakat, karena konsep tertib tidak ada ruang bagi interpretasi dan gera-kan-gerakan sosial yang menyim-pang dari aturan untuk berlakunya ketertiban itu (Suparlan, 2008:31).

C. BIROKRASI DALAM ILMU KEPOLISIAN

Birokrasi kepolisian merupakan salah satu bagian dari ilmu kepolisian yang mempelajari dinamika struktur

pada lembaga kepolisian. Setelah d iber ikan gambaran s ingkat mengenai sudut pandang yang lain dan pengkayaan atas pemahaman ilmu kepolisian sebagai sebuah bi-dang ilmu pengetahuan, maka maka-lah ini selanjutnya akan difokuskan pada pemahaman kajian birokrasi dalam ilmu kepolisian yang mem-pelajari lembaga kepolisian. 1. Pengertian Birokrasi Istilah birokrasi dikenalkan oleh filsuf Perancis Baron de Grimm, yang berasal dari kata bureau yang berarti meja tulis dimana para pejabat pada saat itu bekerja dibelakangnya (Albrow, 1996; Setiono, 2002; Sarundajang, 2003). Oleh karena itu menurut Weber (Albrow, 1989) sebuah organisasi birokrasi adalah organisasi yang didasarkan pada konsep pejabat (beamter) yang meru-pakan dasar bagi konsep tentang birokrasi, dengan kata lain satuan administrasi tentang pejabat yang diangkat merupakan sebuah orga-nisasi birokrasi. Pada masyarakat yang modern, seorang pejabat dalam organisasi adalah seseorang yang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan, dan kepadanya diberikan fasilitas dan sumberdaya yang diperlukan untuk memenuhi tugas-tugas , d imana fas i l i t as dan sumberdaya itu yang diberikan oleh manusia lain, bukan oleh sipemegang peranan. Seorang pejabat birokrasi adalah manusia yang diangkat, bukan dipilih atau seseorang yang diseleksi

Page 20: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

oleh sekumpulan manusia dan per-bedaan antara pejabat dengan se-orang pekerja yang bukan pejabat adalah pada otoritas yang dimiliki oleh pejabat. Pejabat yang diangkat dan memiliki otoritas dapat berasal dari organisasi bisnis maupun orga-nisasi publik atau pemerintah yang melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Tugas pemerintah adalah untuk menjamin tertib sosial dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat melalui tugas-tugas pelayanan publik yang dilaksanakan pemerintah. Rasyid (1997) menya-takan bahwa untuk mencapai hal tersebut institusi pemerintah memi-liki tujuh bidang tugas, yaitu men-jamin keamanan, memelihara keter-tiban, menjamin keadilan, melaku-kan pekerjaan umum, meningkat-kan kesejahteraan, memelihara sum-berdaya dan lingkungan hidup. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, maka pemerintahan kemu-dian membutuhkan organ pelaksana yang mengoperasionalkan tugas-tugas pemerintahan secara nyata dalam kehidupan masyarakat. Organ pelaksana inilah yang dikenal dengan birokrasi.2. Konsep Birokrasi Modern Konsep birokrasi modern dalam sejarah evolusi teori-teori organisasi disampaikan oleh seorang Sosiolog Jerman, Max Webber (1918) dalam kelompok pertama teori-teori orga-nisasi dengan pendekatan klasik.

Max Weber dilahirkan dengan nama Maximilian Weber dikenal sebagai founder of modern sociology meru-pakan salah satu ilmuwan yang memberikan sumbangan terbesar pa-da teori organisasi generasi pertama dengan pendekatan klasik memper-kenalkan sebuah model ideal dari organisasi yang disebut dengan bureaucracy. Birokrasi sebagai se-buah tipe ideal dari struktur orga-nisasi yang sangat efesien dalam pencapaian tujuan organisasi me-miliki karakteristik division of labor, a clear authority hierarchy, formal selection procedures, detailed rules and regulations and impersonal relationship (Mintzberg, 1983; Robbins, 1990; Albrow, 1996). Konsep birokrasi sebagai sebuah struktur organisasi sangat ideal untuk jenis organisasi yang besar, terdiri dari para pejabat (beamter) yang diangkat dan memiliki struktur karir berdasarkan kompetensi atau merit system, tugas-tugas dibagi dalam biro-biro atau bagian-bagian secara terspesialisasi yang diisi oleh pejabat yang profesional, yang hanya menjalankan tugas-tugasnya secara rasional dengan otoritas yang legal, adanya hirarki dan rangkaian perintah (chain of command) dan diberikan fasilitas dan sumberdaya dari organisasi sehingga terjadi pemisahan kepemilikan pribadi dengan organisasi secara impersonal. Tipe organisasi formal ini disebut de-ngan birokrasi dengan model

16 Rycko Amelza Dahniel, Kajian Birokrasi Dalam Ilmu Kepolisian

Page 21: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

17TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

rasional (Gerth & Mills, 1958; Hoy & Miskel, 1978; Lubis & Huseini, 1987; Kasim, 1993; Garston, 1993; Albrow, 1996; Setiono, 2002).3. Otoritas dalam Birokrasi Konsep awal yang mendasari birokrasi modern adalah tulisan-tulisan Max Webber yang menjelas-kan pemikirannya bahwa birokrasi rasional adalah sebuah konsep biro-krasi yang muncul atas dasar kaidah-kaidah otoritas hukum, bukan oleh karena sebab lain, seperti otoritas tradisional maupun otoritas kharis-matis. Otoritas hukum atau legal diperoleh berdasarkan pada tata hukum sesuai dengan prosedur yang ditetapkan hukum, manusia lain mentaatinya karena hukum menga-takan demikian. Otoritas legal Web-ber menjadi dasar adanya birokrasi rasional yaitu lembaga birokrasi yang berdasarkan pada norma-norma yang tercipta secara sadar dan rasio-nal menurut tertib hukum serta berfungsi sesuai dengan tujuan sarana yang ada.4. Karakteristik Birokrasi Rasional Weberian Sebuah organisasi yang mengarah kepada model birokrasi rasional weberian memiliki karakteristik adanya sebuah hirarki dan rangkaian perintah (a hierarchical chain of command), pembagian tugas-tugas kedalam fungsi-fungsi (speciali-zation of function), aturan dan kebijakan organisasi dibuat secara seragam dan tertulis (uniform written

rules and policies), memiliki prose-dur yang baku untuk tiap-tiap pekerjaan (standardized procedures for each job), memiliki sebuah struk-tur karir yang didasarkan kompeten-si (a career based on promotion for technical competence), hubungan-hubungan lebih yang impersonal (impersonal relation), dan koordi-nasi datang dari tingkatan diatasnya atau lebih (all coordination from a level or more above), (Albrow, 1970; Mintzberg, 1983; Lubis, 1987; Robbins, 1990; Garston, 1993; Setiono, 2002). Sebagai sarana bagi pemerintah dalam melaksanakan pelayanan publik, birokrasi adalah tipe dari su-atu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas admi-nistratif yang besar dengan cara mengkoordinasi secara sistematis, rasional dan efesien dari pekerjaan-pekerjaan dan banyak manusia. Birokrasi dibentuk agar keputusan-keputusan pemerintah dapat dilaksa-nakan dengan sistematis melalui aparat-aparat negara. Keputusan-keputusan politis hanya akan ber-manfaat bagi setiap warga negara jika pemerintah mempunyai birokrasi yang tanggap, sistematis dan efesien (Kumorotomo, 1994; Thoha, 1995). Dengan demikian fungsi pokok birokrasi dalam negara adalah men-jamin terselenggaranya kehidup-an negara, memberikan pelayanan kepada publik dan menjadi alat ma-syarakat dalam mencapai tujuan

Page 22: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Harsya W, 1994, Ilmu Kepolisian, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta

Dahniel, Rycko Amelza, 2008, Birokrasi di Kepolisian Resor Kota Sukabumi, Disertasi Doktor Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, Jakarta.

Djamin, Awaloedin, 2002, Penyempurnaan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jurnal Polisi Indonesia Tahun IV/September 2002, KIK Press, Jakarta.

___________, 2007, Tantangan dan Kendala Menuju Polri Yang Profesional dan Mandiri, PTIK Press, Jakarta

Dunsire, Andrew, 1973, Administration: The World and The Science, martin Robertson & Company Ltd., London.

Garston, Neil, 1993, Bureaucracy: Three Paradigms, Kluwer Academic Publisher, Dordrecht

Hoy, Wayne H, dan Miskel, G.Cecil, 1978, Educational Administration, Teory Research and Practice, Random House, Inc.

Lubis, SB.Hari dan Huseini, Martani, 1987, Teori Organisasi (Suatu

ideal suatu negara (Setiono, 2002; Prasojo, 2006). D. PENUTUP Corak administrasi dan birokrasi kepolisian juga tidak sama antara satu masyarakat perkotaan dengan masyarakat perkotaan lainnya. Semakin kompleks masyarakatnya, secara demografi, etnik atau rasial, kebudayaan, kemampuan ekonomi warganya, serta politik, maka akan semakin kompleks juga fungsi-fung-si administrasi serta corak birokrasi pelayanan dan masing-masing kantor polisi tersebut. Hubungan antara ma-syarakat dengan polisi adalah saling mempengaruhi, atau lebih tepatnya keberadaan polisi dalam masyarakat adalah fungsional dalam struktur ke-hidupan. Perubahan fungsi-fungsi

atau tugas-tugas polisi terus ber-langsung, karena keberadaan polisi adalah hasil tanggapan dari masya-rakat yang bersangkutan dan untuk kepentingan masyarakat tersebut. Pada masyarakat pedesaan corak ad-ministrasi dan birokrasi polisi akan lebih santai terutama dalam hu-bungan dengan kegiatan-kegiatan se-sama polisi dan masyarakatnya (Suparlan, 1997:67). Administrasi dan lingkungan saling mempenga-ruhi, keadaan lingkungan mem-pengaruhi administrasi (Djamin, 1995). Hubungan fungsional antara polisi dan masyarakat serta antara konteks, lokalitas lingkungan dan ke-budayaan mempengaruhi adminis-trasi dan corak birokrasi kepolisian (Dahniel, 2008).

18 Rycko Amelza Dahniel, Kajian Birokrasi Dalam Ilmu Kepolisian

Page 23: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

19TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

pendekatan Makro), Pusat Antar Universitas Ilmi-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta.

Nitibaskara, Tb. Ronny Rahman, 2006, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Penerbit Buku Kompas PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2002, Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Robbins, Stephen P, 1990, Oganization Theory: Structure Designs and Applications., Third Edition, Prentice-Hall, Inc, New Jersey

Suriasumantri, Jujun S, 1995, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Yayasan Obor Indonesia, Edisi kedua, Jakarta.

Shafritz, Jay M & Albert C. Hyde, 1992, Classif of Public Administration, Wadsworth Publishing Company, Third Edition, Belmont, CA

Suparlan, Parsudi, 1994, Metodologi Penelitian Kwalitatif, Program Kajian Wilayah Amerika Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta

Suparlan, Parsudi, 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta

Suparlan, Parsudi, 2008, Ilmu Kepolisian, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta

Wilson, Woodrow, 1887, The Study of Administration: Political Science Quarterly 2 No.1, dalam Classic of Public Administration, 1992, Belmont, CA. dan Public Administration: Concept and Cases, 1992, Boston, MA.

Page 24: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

DINAMIKA KEBHINEKAAN BERAGAMA:RADIKALISME DAN KONFLIK BERAGAMA DI INDONESIA

1Oleh: M. Asep Syahrudin

ABSTRAK

Kebhinekaan yang tercermin dalam keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 260 juta jiwa dianggap sebagai kekayaan bangsa, baik dari segi etnis yang berjumlah lebih dari 300 kelompok, 1.340 suku bangsa yang memiliki 746 bahasa yang tersebar di seluruh Indonesia, adat istiadat, budaya, serta agama dengan berbagai kepercayaan yang ada,ternyata memiliki sisi yang rawan berupa potensi perpecahan atau konflik yang implikasinya bisa sangat luas dan mendalam. Keragaman yang memiliki potensi konflik tinggi dan sentral yaitu isu yang berkenaan dengan keragaman beragama. Isu agama merupakan isu yang sangat sentral dan cepat menimbulkan konflik dikalangan masyarakat. Pada tahun 2017 tercatat 155 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di 29 provinsi di Indonesia. Kemudian yang terhangat, pelanggaran juga terjadi di 2018 diantaranya pembubaran kegiatan bakti sosial Gereja Katolik St. Paulus Pringgplayan, Bantul, Yogyakarta, pengusiran seorang biksu di Tangerang, Banten dan penyerangan di Gereja Katolik St.Lidwina, Trihanggo, Sleman. Dalam konteks Indonesia, pengelolaan kebhinekaan beragama yang dibingkai dalam kesatuan (diversity in unity) menjadi sangatlah penting. Dinamika keragaman dalam beragama merujuk kepada lahirnya toleransi dan kerukunan antar umat beragama.Untuk itu, agama berfungsi menjaga ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tercipta sistem budaya dan tatanan sosial yang mapan serta akan menjadi pilar kedamaian sebuah bangsa. Tulisan ini akan mengantarkan kita pada permasalahan atau sekurang-kurangnya memberikan catatan kecil atas dinamika kebhinekaan dalam beragama, khususnya dalam menyikapi berbagai konflik keagamaan atau intoleransi serta isu radikalisme dan terorisme yang terjadi di Indonesia.

Kata Kunci: kebhinekaan, kerukunan beragama, konflik beragama, radikalisme, terorisme

A. PENDAHULUAN Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Empu Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan raja Hayam-wuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Kebhinekaan atau bhineka terdapat dalam semboyan tersebut terdapat dalam karyanya, kakawin Sutasoma yang berbunyi "Bhinnaika tunggalika, tanhana dharma-

mangrwa", yang artinya "Berbeda-beda itu satu, tak ada pengabdian yang mendua". Semboyan yang kemudian d i j ad ikan p r ins ip dalamkehidupan pemerintahan kerajaan Majapahit untuk mengan-tisipasi adanya keanekaragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Ma-japahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian (). Bhinneka Tunggal Ika berisi

1)Brigjen Pol Drs. M. Asep Syahrudin, M.Si., M.H. adalah Wakil Gubernur Akademi Kepolisian

Page 25: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

21TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

konsep pluralistik dan multikul-turalistik dalam kehidupan yang terikat dalam suatu kesatuan. Prinsip pluralistik dan multikulturalistik ada-lah asas yang mengakui adanya ke-majemukan bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan daerah, dan ras. Ke-majemukan tersebut dihormati dan dihargai serta didudukkan dalam su-atu prinsip yang dapat mengikat ke-anekaragaman tersebut dalam kesa-tuan yang kokoh. Kebhinekaan dalam beragama menjadi hal yang wajar dan tidak bisa dihindarkan. Sejarah keberagamaaan Islam era kenabian Muhammad SAW masyarakat yang pluralistic secara religious telah terbentuk dan telah menjadi kesadaran umum pada saat itu. Suatu kewajaran, mengingat se-cara kronologis agama Islam me-mang muncul setelah berkembang-nya agama Hindu, Budha, Kristen-Katolik, Majusi, Mesir Kuno mau-pun agama-agama lain. Agama bisa dijadikan sebagai faktor pemersatu atau bahkan men-jadi penyebab perpecahan. Vernon juga berpendapat bahwa agama memberikan sumbangan bagi sta-bilitas suatu negara akan tetapi vernon juga mengatakan "Religious heterogenity within a nation can also contribute to strain rather than har-mony"(Vernon 1962:274-275). Bahkan Alford menegaskan, "Classical political Thinkers as Aristoteles took it for granted that religious homogenity was condition of political stability, and they were

right" (Alford 1972:321). Keragaman agama di negara ini adalah sebuah anugrah yang luar biasa dan menjadi potensi jika dapat merawatnya dengan baik. Sejatinya, keragaman agama ini harus menjadi kemaslahatan bukan menjadi laknat bagi bangsa Indonesia. Islam seba-gian agama mayoritas yang rah-matan lil'alaminn, dengan demikian Islam merasa perlu mendefinisikan kehadirannya dalam konteks kera-gaman budaya dan agama, sekaligus menawarkan suatu harapan dan per-spektif keagamaan yang baru bahwa Islam adalah seraut wajah yang tersenyum smiling face of Indo-nesian muslim, damai anti kekerasan (Ronitabroni dkk 2006:6). Kemajemukan atau keragaman beragama merupakan sunnatullah, artinya sesuatu yang sifatnya given. Al-Quran secara tegas dan jelas telah memberikan petunjuk kepada umat-nya dalam menyikapi keragaman beragama. Agama diharapkan ber-peran untuk mengakomodir keraga-man dan heterogeintasnya sehingga masing-masing individu saling menghargai, toleransi dan memini-malisir konflik. (Dawan 2003:101). Kerukunan umat beragama dapat diartikan sebuah keadaan hu-bungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai ke-setaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 disebutkan bahwa

Page 26: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Meskipun kerukunan hidup beragama sudah berjalan dengan baik di Indonesia. Namun, kasus-ka-sus intoleran di Indonesia harus tetap diwaspadai sehingga kita harus terus memperkuat kerukunan antar umat beragama. Pesan-pesan kerukunan hidup beragama seperti saling meng-hormati dan menghargai itu harus senantiasa disosialisasikan, tidak ha-nya oleh pemimpin agama yang berbeda, tapi oleh pemimpin politik, sosial dan budaya.

B. PEMBAHASAN1. Kebhinekaan dan Konflik

Beragama Pada hakikatnya kebhinekaan adalah roh dan nyawa jiwa nasi-onalisme keindonesiaan. Sayangnya, konsep kebhinekaan hanya di-ako-modir sebagai imajinasi ke-kuasaan, artinya negara telah gagal dalam mengelola kebhinekaan. Kebhine-kaan dilihat dalam kaca mata politik dan ekonomi semata, sehingga jika dipandang tidak akan menguntung-kan secara ekonomi dan politik maka kebhinekaan yang merupakan ibu kandung nusantara tidak menjadi prioritas dalam praktek politik ke-kuasaan. Implikasi dari kegagalan negara mengelola kebhinekaan, menga-kibatkan potensi konflik semakin marak dan meluas. Sejumlah kasus intoleransi telah terjadi di beberapa

daerah baru baru ini, antara lain per-sekusi terhadap kelompok Ahma-diyah di Madura, NTB, dan daerah lain ,penyerangan gereja, ancaman ledakan bom di Kelenteng Kwan Tee Koen, Karawang, Jawa Barat. Pe-rusakan masjid di Tuban. Kasus kekerasan agama terjadi di Yogya-karta. Seorang pemuda bersenjata pedang menyerang jemaat di Gereja Santa Lidwina, Desa Trihanggo, Ke-camatan Gamping, Kabupaten Sle-man. Pelaku penyerangan diduga ter-pengaruh paham radikalisme hingga melakukan aksi penyerangan ke tempat ibadah. Setara Institut menye-butkan terjadi dua serangan brutal terhadap tokoh agama. Pertama penganiayaan ulama sekaligus Pim-pinan Pusat Persatuan Islam (Persis) HR Prawoto, oleh orang tak dikenal, hingga nyawanya tidak dapat diselamatkan. Kedua, penganiayaan pada ulama, tokoh NU, sekaligus pe-ngasuh Pondok Pesantren Al Hida-yah Cicalengka Bandung, Jawa Barat, K.H. Umar Basri. Berkaitan dengan konflik ke-agamaan yang terjadi di beberapa daerah, pemerintah, pemuka agama, dan elite ormas-ormas keagamaan harus menyadari bahwa potret riil ke-rukunan beragama itu terletak di- tingkat akar rumput. Konflik yang dipicu oleh sentimen keagamaan pa-da hakekatnya berawal dari kurang-nya kedewasaan dalam beragama. Kedewasaan dalam beragama ter-cermin dalam menyikapi berbagai isu dengan penuh bijaksana dan menjunjung tinggi rasa toleransi

22 M. Asep Syahrudin, Dinamika Kebhinekaan Beragama: Radikalisme dan Konflik Beragama ...

Page 27: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

23TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

antarumat beragama, baik sesama antar pemeluk agama yang sama maupun yang berbeda. Dengan kedewasaan beragama, umat tidak mudah terpancing dan terprovokasi dengan berbagai isu yang mengadu domba antar pemeluk umat sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan dengan kepala dingin tanpa harus saling menyalahkan atau mencari kambing hitam. Kedewasaan dalam beragama ini tidak mungkin akan dicapai, jika dalam memahami agama hanya bersifat parsial, tidak mendalam dan hanya sebatas ritual tanpa memahami subtansi beragama serta tidak mau terbuka. Sikap keagamaan semacam inilah yang sering menimbulkan berbagai masalah di lapangan. Peran para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan dalam pencapaian solusi yang terbaik. Dengan semangat mencari solusi bersama dan menjauhkan dari berbagai prasangka buruk, tidak mustahil berbagai permasalahan dapat diselesaikan dengan penuh kedewasaan. Islam dalam hal ini mengedepankan sikap saling terbuka dan larangan berburuk sangka (QS. Al-Hujurat ayat 12) Pluralitas agama hanya dapat dicapai seandainya masing-masing kelompok bersikap lapang dada satu sama lain. Sikap lapang dada dalam kehidupan beragama akan memiliki makna bagi kemajuan dan kehidupan masyarakat plural, apabila ia diwujudkan dalam sikap saling mem-percayai atas itikad baik golongan

agama lain. Sikap toleransi dan saling menghormati hak orang lain yang menganut ajaran agamanya. Si-kap saling menahan diri terhadap ajaran, keyakinan dan kebiasan ke-lompok agama lain yang berbeda, yang mungkin berlawanan dengan ajaran, keyakinan dan kebiasaan sendiri. Masih segar diingatan kita kasus penistaan yang dilakukan Gu-bernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dimana Pernya-taan Ahok tentang Surat Al Maidah Ayat 51 dapat mengancam toleransi antar-umat beragama, karena tole-ransi dibangun atas dasar saling me-nghormati. Dalam QS. Al-Hujarat ayat 13, Allah SWT berfirman yang artinya: "Wahai manusia ! sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bang-sa dan bersuku-suku agar kamu sa-ling mengenal…” Sedangkan dalam QS. Alkafirun ayat 6, Allah SWT berfirman yang artinya: "…Untukmu agamamu dan untukku agamaku". Dengan demikian tidak ada alasan dalam islam, sebagai pem-bawa rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil 'alamin) dan dengan toleransi untuk tidak adanya paksaan dalam beragama, sebal iknya mengajarkan untuk saling mengenal dan tolong menolong dalam kebajikan untuk terjadinya tinakan intoleransi, radikalisme seperti yang termaksud dalam surat Al-Maidah ayat 2 Allah berfirman yang artinya :

Page 28: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

"…Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong-meno-long dalam berbuat dosa dan per-musuhan". Toleransi dalam kehidupan bera-gama akandapat terwujud manakala ada kebebasan dalam masyarakat un-tuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya dan tidak memaksa orang lain untuk mengikuti agama-nya (Depag 2008:26). Untuk itu, kunci dari toleransi bukanlah membuang atau mere-lativisasi ketidaksepakatan,tapi ke-mauan untuk menerima keti-daksepakatan dengan sikap saling menghormati dan menghargai. Jadi, karena kebebasan berkeyakinanlah seseorang muslim dituntut untuk terbiasa menghormati agama lain tanpa mengorbankan keyakinan sendiri. Adapun landasan hukum tentang kebebasan beragama ter-cantum dalam pasal 28 E,I, dan pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 serta pasal 22 dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu juga tercantum dalam pasal 18 Kovenan Inter-nasional tentang Hak sipil dan politik2. Kebhinekaan Beragama dan

Radikalisme Kebhinekaan sebagai suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan secara positif sekaligus optimis dan berupaya untuk berbuat sebaik mu-ngkin berdasarkan kenyataan, kiranya dapat menjadi solusi yang lebih relevan dan urgen atas adanya

kemajemukan itu sendiri. Kebhi-nekaan sebagai solusi terhadap ada-nya keberagaman, sering kali disan-dingkan dengan paham radikalisme. Adanya kasus-kasus kekerasan atas nama agama dan pemahaman keaga-maan yang sangat menusuk rasa ke-manusiaan setidaknya menjadi contoh kongkrit. Dalam semua tra-gedi tersebut, nuansa penarikan per-soalan ke wilayah agama tampak begitu kental. D a l a m p e m b a h a s a n i n i , radikalisme dipahami sebagai sikap keagamaan yang kaku dan sekaligus mengandung kekerasan dalam tindakan. Secara spesifik radikalisme berarti paham-paham, sikap-sikap, dan setrategi-setrategi termasuk praktek-praktek (tindakan) yang ber-jalan dan dijalankan oleh kelompok-kelompok masyarakat (keagamaan) dalam kerangka meneguhkan, mengembangkan atau memper-tahankan ajaran agama yang diikuti dengan cara-cara radikal(Afifuddin Harisah,2015: hlm.27) Paham ke-agamaan yang terkesan kaku ini disebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman akan pentingnya sikap pluralisme. Melihat fenomena tersebut, dirasa teramat perlu untuk menginternalisasikan nilai-nilai plu-ralisme sebagi salah satu upaya untuk mencegah faham-faham yang radikal. Adapun sikap dan pandangan yang tampak dipermukaan terhadap kelompok radikal yang bahayanya mengancam kebersamaan umat Islam adalah menghakimi orang

24 M. Asep Syahrudin, Dinamika Kebhinekaan Beragama: Radikalisme dan Konflik Beragama ...

Page 29: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

25TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

yang tidak sepadan dengan pemiki-rannya adalah kafir; mengatasnama-kan Tuhan, menghukum keyakinan yang berbeda; gerakan yang mengu-bah negara bangsa menjadi negara agama; mengganti ideologi Pancasila dengan Islam versi mereka; mengganti NKRI dengan Khilafah; agama diubah menjadi ideologi dan jadi senjata publik untuk menyerang pandangan politik yang berbeda dari mereka; memperjuangkan forma-lisasi syariah dalam Negara; meng-anggap Amerika Serikat sebagai bi-ang kezaliman global. Kita perlu waspada terhadap bahaya yang diakibatkan oleh feno-mena dan relasi Islam radikal-tero-risme yang dapat mengganggu stabi-litas eksistensi empat pilar bangsa Indonesia (NKRI), Pancalisa UUD 1945, dan penafsiran yang radikal terhadap teks-teks (nas) yang ber-potensi menjadi sumber lahirnya terorisme.3. Kewaspadaan dan Keamanan

Negara Landasan yuridis tentang Konsep Keamanan Negara NKRI de-ngan jelas dan tegas tercatat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu, pemerintah, dengan segenap potensi dan sumberdayanya wajib menjaga Keamanan negara dengan cara (a) Melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) Memajukan kesejahteraan umum dan mencer-daskan kehidupan bangsa; dan (c) Ikut melakukan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi

dan keadilan sosial. Disamping menyangkut kewas-padaan dan keamanan negara, ama-nat konstitusi terutama berada dipun-dak eksekutif guna menjalankan tugas pertahanan negara yang bermakna sebagai menegakan ke-daulatan eksternal negara sebagai manifestasi dari ancaman eksternal dengan menggunakan kekuatan militer (external sovereignty by force). Selain itu pemerintah bertugas melaksanakan diplomasi dalam masyarakat dunia untuk menjaga external sovereignty-terutama dalam upayanya mengem-bangkan external sovereignty by diplomacy. Kebijakan mengenai Keamanan Negara meliputi UU Nomor 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya, UU Nomor 74 Tahun 1957 tentang Pen-cabutan "Regelling op de Staat Van Oorlog en Beleg" dan penetapan "Keadaan Bahaya", Perpu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, PP Nomor 16 Tahun 1960 tentang Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer. Sedangkan Undang-Undang Teknis yang lahir Pasca Reformasi yaitu UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepoli-sian, UU Nomor 15 Tahun 2003 ten-tang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dll. Peraturan dan perundang-unda-ngan yang dibuat oleh elit pemerin-tahan masih saling tumpang tindih dan berjalan secara terpisah (sek-toral) sesuai dengan kepentingan

Page 30: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

masing-masing institusi.Keadaan ini menyebabkan efektivitas penanga-nan berbagai masalah atau ancaman keamanan nasional sangat lemah. (Eko 2015:6-13). UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (UU Penanganan Konflik Sosial), menyebutkan bahwa polisi juga memiliki peran sentral dalam pe-nanganan konflik. Undangun-dang tersebut menegaskan bahwa polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayo-man dan pelayanan masyarakat. Selain memiliki peran sentral dalam upaya penanganan konflik, aparat kepolisian dalam hal ini juga memiliki fungsi-fungsi preventif yang melekat pada tanggung jawab dan kewenangannya dalam membaca potensi konflik di dalam masyarakat.4. Upaya Preventif dan Represif Upaya preventif adalah tindak lanjut dari upaya Prefemtif yang masih dalam tahap pencegahan se-belum terjadi kejahatan. Upaya pre-ventif lebih menekankan dalam hal menghilangkan kesempatan kelom-pok kelompok radikal untuk mela-kukan tindakan anarkis. Selain itu, sebagai upaya mengantisipasi dan mencegah masuknya paham radikal, maka perlu dilakukan upaya kontra propaganda untuk menangkal konsep atau propaganda yang dilakukan kelompok radikalmelalui sosial me-dia maupun media massa. Disamping itu untuk mengantisipasi masuknya

paham radikal ke daerah, maka pemerintah perlu mengoptimalkan peran seluruh elemen pemerintah dan masyarakat, seperti Kominda, FKDM, FKUB, FPK, ormas kea-gamaan,ormas pemuda dan lain-lain. Ketegasan sikap pemerintah dan DPR dalam menghadapi tindakan ke-kerasan dan anarkisme terutama ber-latarbelakang radikalisme mengatas-namakan agama dan isu SARA. Memperkuat UU dan tegakkan Hukum Pidana Pasal 139 KUHP, Pasal 111 KUHP ayat 1. Strateginya adalah Tegakkan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme yang telah diperbaharui beberapa waktu yang baru lalu, tegakkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Dalam kasus terorisme, upaya represif dengan melibatkan TNI da-lam penanggulangannya sudah tepat mengingat eskalasi yang dihadapi saat ini dengan makin banyaknya ma-syarakat yang terpapar faham radi-kalisme sehingga dipandang perlu untuk menggandeng komponen keamanan lainnya yaitu TNI dalam hal ini mengaktifkan kembali Koop-susgab TNI. Semakin represif ge-rakan melawan radikalisme dilaku-kan, semakin keras pula perla-wanannya (Purwanto,2007). Negara tentunya tidak boleh kalah dalam menghadapi gerakan radikal terse-but, perwujudan sinergitas TNI-Polri dalam penanggulangan terorisme adalah keniscayaan tetap tegaknya NKRI di bumi pertiwi sebagai warisan founding father Indonesia

26 M. Asep Syahrudin, Dinamika Kebhinekaan Beragama: Radikalisme dan Konflik Beragama ...

Page 31: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

27TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

dimana Pancasila sebagai dasar negara yang mengakui keberagaman agama.

C. PENUTUP Kebhinekaan beragama tersebut merupakan suatu kenyataan yang harus kita terima sebagai keka-yaan bangsa dan merupakan sebuah sun-natullah. Sikap yang harus dibangun dalam menyikapi kenyataan keraga-man beragama adalah dengan me-ningkatkan sikaptoleran yang benar,

saling menghargai dan meng-hormati dengan penuh sikap kedewa-saan dalam beragama. Disamping perlunya memperkokoh 4 pilar kene-garaan (Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika), Polri memiliki peran yang sangat strategis untuk menjaga kerukunan antar umat beragama. Memperkokoh pilar keru-kunan umat beragama baik melalui pembinaan masyarakat maupun penegakan hukum secara adil dan konsisten.

DAFTAR PUSTAKA

Ainurrofiq, Dawan. 2003. Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press.

Alford, R.R. 1972. "Religions and Politics". Dalam Sociology of Religion, Roland Robertson (Editor). Baltimore: Penguin Book.

Departemen Agama RI. 2008.Hubungan Antar-Umat Beragama. Jakarta: Depag RI.

Eko S, Bambang. 2015. "Urgensi UU Kamnas Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia". Majalah Wira, Jakarta, Kemhan RI Edisi Khusus, 2015,

Gunarno, Ahmad. 2012. "Realitas Kehidupan antar-Iman di Indonesia, MembumikanPelaksanaan Bhineka Tunggal Ika". Makalah Seminardi Hotel Lor InSurakarta, 18-20 Juni.

Hasan, Shahihul, 2012. The Art of Islamic War, Rahasia Kemenangan Generasi Pertama,Surakarta: Muhammadiyyah University Press.

Hidayat, Muhammad Nur. 2012. Fiqh Sosialdan Toleransi Beragama. Kediri: Khamid, Nur. 2016. "Bahaya Radikalisme dalam NKRI". Dalam Jurnal

Millati, Vol. 1, No. 1. 1 juni 2016, (123-152) h.147.Purwanto, W.H. 2007. Terorisme Undercover, Memberantas Terorisme

Hingga ke Akar-Akarnya, Mungkinkah?. Jakarta: CMB Press.Ronitabroni, dkk. 2006. Menggagas Kesalehan Multikultural di Jawa Barat.

Bandung: Tanpa Penerbit.Sekjen Wantannas. 2010. Keamanan Nasional: Sebuah Konsep Dan Sistem

Keamanan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasiona.

Vernon, Glenn M. 1962. Sociology of Religion. New York: McGraw Hill B Coy.

Page 32: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

TERORISME: DETEKSI DAN ANTISIPASINYA(DALAM PERSPEKTIF POLISI TUGAS UMUM)

Oleh 1Nazirwan Adji W.

ABSTRAK

Kasus pengepungan LAPAS oleh Narapidana Terorisme yang terjadi di dalam Mako Brimob Kelapa Dua Depok dan disusul dengan serentetan kasus bom bunuh diri di Gereja Katolik Santa Maria Tak bercela, Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Pantekosta Pusat di Surabaya dan kasus peledakan Bom di Mapolrestabes Surabaya telah menyentak publik. Sangat jelas terasa aroma bahwa saat ini "Polri telah menjadi target dan sasaran kelompok teroris. Padahal dimasa awal, sasaran kelompok teroris sangatlah jelas, yakni Amerika Serikat / Barat. Penjelasan yang disampaikan kepada publik, dimana penyebab hal itu terjadi disebabkan Polri dalam melakukan proses penegakan hukum terhadap kelompok teroris tidak sedikit yang harus dilumpuhkan bahkan sampai meninggal dunia. Boleh jadi hal itu benar, namun permasalahan pokoknya terletak pada opini para personil Polisi tugas umum bahwa "mereka jelas melihat uniform kita dan kita tidak tahu siapa mereka". Hal ini mengindikasikan multiplayer effect khususnya terhadap moril personil polisi tugas umum yang sehari-hari berada di lapangan dalam melayani, melindungi dan melayani masyarakat.

A. PENDAHULUAN Disaat penulis menjadi Kasatwil di Jawa Tengah, pada suatu acara silaturahmi bersama alim ulama dan tokoh masyarakat, terdapat suatu per-nyataan dari seorang Pimpinan Pondok Pesantren yang juga seorang Doktor dibidang ilmu tafsir sebagai berikut : "Pak Kapolres, selama Poli-si melihat kami sebagai teroris maka kami melihat Bapak Polisi sebagai target". Artinya sebanyak berapapun peluru dilontarkan, sebanyak itu pula darah siap ditumpahkan. Penulis yang didampingi oleh Muspida dan Ketua MUI terkejut, dan memilih untuk berdialog setelah selesai acara berlangsung. Apa yang kemudian kami diskusikan justru

membuka sudut pandang yang baru dari kaca mata yang berbeda. Sesungguhnya sangat terang bende-rang bahwa terorisme adala sebuah paham pemikiran. Kata-kata "isme " menegaskan hal tersebut, sama hal-nya dengan kata-kata komunisme atau Radikalisme. Artinya sebuah pahan tertunya berada pada persepsi dan pemikiran seseorang, jadi bagai-manakah metode merubah paham atau pemikiran tersebut ? Tentunya pemikiran harus dihadapi dengan pemikiran juga, dan disertai dengan pendekatan psikologis. Apabila kita menyimak tupoksi dan langkah-langkah yang telah dilakukan oleh BNPT harus diacungi jempol telah begitu banyak tindakan

1) KBP H. Nazirwan Adji W.,S.I.K., M.Si. adalah Kepala Bidang Hukum Direktorat Akademik Akpol

Kata Kunci: terorisme, deteksi, perspektif polisi

Page 33: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

29TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

yang dilakukan. Namun jujur diakui, bagi personil Polri yang bertugas di lapangan, dampaknya tidak begitu banyak dirasakan. Pada akhirnya, kita melihat Mako-mako Polri dijaga sangat ketat bahkan bisa dikatakan "Super maxi-mum security". Namun tetap saja belum mampu menjawab opini " Mereka jelas melihat kita (Polri) dan kita tidak tahu siapa mereka". Artinya boleh jadi personel Polri cukup aman saat berada di Mako atau saat membawa Senpi dengan buddy system, namun apakah hal tersebut dapat dilakukan setiap saat ? Bagai-mana saat lepas piket atau lepas dari uniform, apakah ada jaminan kelom-pok teroris tidak mengenali lagi ? Rumor terus berkembang dengan salah satu solusi jitu : "banyak-ba-nyaklah berdo'a", dan ini pastinya sudah setiap hari kita lakukan.

B. PEMBAHASAN1. Paradigma Design Thinking dan Pemecahan Masalah Dalam konteks judul yang pe-nulis sampaikan, maka selain aspek pencegahan (preemtif) yang telah banyak didiskusikan oleh Mabes Polri maupun satuan kewi-layahan, maka dalam hal ini penulis akan menyoroti pada aspek primitif. Albert Einstein pernah berkata : "If I had an hour to solve a problem, I'd spend 55 minutes tingking about the problem and 5 minutes thingking about solution". Ada juga pendapat

Inverter Charles F. Kettering yang berkata : "A problem well stated is a problem half solved". Hal ini berarti kita perlu benar-benar memahami konteks persoalan terorisme secara utuh dan tidak terpisah-pisah, utamanya menya-ngkut anggota Polri sebagai sasaran kelompok terorisme. Maka solusinya adalah dibutuhkan kemampuan berfikir holistik. Bahwa saat ini tengah berkembang pada masyarakat modern suatu hal yang menarik untuk dibahas, adalah kembali bersatu dan berkolaborasinya berbagai disiplin ilmu dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai per-soalan yang muncul dalam kehi-dupan masyarakat dipecahkan de-ngan pendekatan holistik. Holistik adalah sebuah cara pandang terhadap sesuatu yang dilakukan dengan konsep pengakuan bahwa keseluruhan adalah sebuah kesatuan yang lebih penting daripada bagian-bagian yang membentuknya dan membangun relasi konstruktif diantara bagian tersebut (Slaughter, 1996). Dalam kejadian penyerangan Mako oleh kelompok terorisme, maka dari sudut pandang holistik di-perlukan suatu kebersamaan sudut pandang, baik dari Institusi Polri maupun tokoh masyarakat, khu-susnya lingkungan dimana Mako tersebut berada. Sehingga konsep penanganannya tidak terpisahkan

Page 34: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

dari keberadaan masyarakat yang sehari-hari akan selalu datang ke Mako Polri, baik itu untuk urusan pribadi, keluarga, lingkungan mau-pun kedinasan. Namun kini jelas telah tampak di depan publik, suatu kondisi Mako yang sangat "kaku dan seram" dan terkesan militeristik. Padahal Mako Polri dan kegiatan Polri dimanapun akan selalu ber-sentuhan dengan masyarakat, karena memang Polri adalah pelayan, pelin-dung dan pengayom masyarakat.2. Membangun Kolaborasi Apabila kita telah medudukkan problem dalam penanggulangan te-rorisme dengan sudut pandang holistik, maka menurut hemat penulis, barulah akan terlihat jelas peta dari solusi yang bisa diambil. Namun ini bukan perkara mudah, sebab dituntut adanya suatu kolabo-rasi. Kolaborasi adalah bentuk kerja sama untuk mencapai hasil yang diinginkan sekaligus melahirkan kepercayaan diantara pihak yang terkait (Ilza : 2011). Apabila kita telah menyadari akan pentingnya kolaborasi tersebut maka inti tahapan dalam pelaksa-naannya adalah terwujudnya Sym-biotic Teams, yang menuntut para stake holder untuk menurunkan ego sektoral masing-masing, melakukan pemilihan dan fokus pada alternative solusi serta menyadari bahwa semua pihak yang terlibat apabila menemui kegagalan maka semuanya turut bersalah dan ikut bertanggungjawab.

Dalam kaitan ini para pemimpin Polri di suatu kesa-tuan kewilayahan harus memiliki kemampuan komunikasi advokasi yang akan memberikan fokus kepada strategi bagaimana mempengaruhi sikap orang lain terhadap suatu kebi-jakan yang akan diambil, terutama terhadap mereka yang menolak atau dalam posisi mengambang. Harus pula disadari bahwa rapat bersama diantara stake holder guna membahas penanggulangan teroris-me sangat intensive dilakukan, na-mun pertanyaannya adalah apakah rapat-rapat tersebut telah mencip-takan terwujudnya suatu "Symbiotic Teams" ? Dimana setiap orang telah terikat hatinya dengan tidak ada lagi ego sektoral ! Oleh sebab itu, pola pemikiran rapat bersama yang selama ini dila-kukan haruslah dirubah "design thingkingnya" menjadi dialog dan silaturahmi. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Apalagi Polri yang berada pada posisi "sasaran tembak", justru harus lebih rendah hati dalam menerima koreksi dan kritik yang membangun. Penulis percaya akan banyak ide-ide dan masukan yang strategis dan positif bilamana langkah-langkah tersebut mulai diimplementasikan. Kunci pokoknya adalah jelas, yaitu ego sektoral yang tinggi. Dan justru disinilah letak kunci solusinya. Siapa yang mampu menfasilitasi dan mengimplemen-tasikannya, maka

30 Nazirwan Adji W. Terorisme: Deteksi Dan Antisipasinya dalam Perspektif Polisi Tugas , ...

Page 35: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

31TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

dialah pemimpin yang kolaboratif.

C. PENUTUP Reposisi tata Letak Mako Polri, Saat ini posisi Mako Polri terlalu terbuka dan berada pada posisi yang sangat dekat dengan jalan raya. Hal ini jelas tidak lagi bisa diperta-hankan, utamanya melihat fenomena yang terjadi belakangan ini. Sehing-ga disarankan untuk mereposisi de-sign Mako sehingga agak ke dalam dan diharapkan juga dalam mela-kukan pemeriksaan lebih menge-depankan personil tidak bersenjata namun tetap didampingi oleh per-sonil yang bersenjata, sehingga kesan "gawat" dan kontraproduktif lebih bisa diminimalisir. Namun demikian, seandainya hal ini sulit untuk dilakukan maka setidaknya aktivitas dan kegiatan di halaman depan Mako Polri harus dialihkan ke bagian dalam. Sehingga suasana depan Mako Polri akan terlihat lebih steril dan tenang, secara otomatis akan memudahkan anggota Polri dalam pengawasan serta me-ngurungkan niat orang-orang mau-pun kelompok yang berusaha menye-rang Mako Polri.1. Pendekatan melibatkan Alim Ulama Penajaman oleh fungsi Intelijen pada kantong kantong yang telah ter-deteksi akan mengarah pada sebuah

"gerakan" harus lebih diintensifkan. Namun dalam impelementasinya, harus mengikutsertakan tokoh ma-syarakat dan alim ulama. Hal ini ter-bukti akan membawa perbedaan ha-sil bila dibandingkan pola yang sudah ada selama ini. Kerangka "sila-turahmi" dalam makna yang sesung-guhnya harus betul betul dilaksana-kan.2. Sarasehan di Akademi Kepolisi- an Akpol sebagai lembaga pendi-dikan dan civitas akademika mem-punyai peran yang sentral dan inde-penden untuk membahas problema-tika terorisme di Indonesia. Untuk itu disarankan sebuah kegiatan sarase-han yang multidisipliner dengan me-ngajak serta alim ulama maupun mantan Narapidana terorisme guna membahas kompleksitas proble-matika tersebut. Diharapkan suatu konsep yang holistik akan terbangun baik untuk jangka pendek, jangka sedang maupun jangka panjang. Kemudian bagi Taruna Akpol, hal ini akan membawa manfaat di-dalam ikut mengelola sebuah sara-sehan yang melibatkan banyak tokoh dan figur didalamnya. Selain itu, hal ini akan menjadi bekal bagi mereka saat kelak menjadi peminpin dari ke-satuan Polri. Saat jaman mereka tiba, mereka tahu harus berbuat apa dan bagaimana mengantisipasinya.

Page 36: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

PERAN POLRI DALAM MENJAGA ETIKA MEDIA MELALUI PENEGAKAN HUKUM GUNA MEMBANGUN KOMITMEN

UNTUK MERAIH KEPERCAYAAN PUBLIK DALAM MENJAGA KETUTUHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

1Oleh Susilo Teguh Rahardjo

ABSTRAK

Kemajuan teknologi komunikasi pada dasarnya merupakan bentuk perkembangan positif yang dapat dengan cepat menyampaikan pesan antara pihak pihak yang berkomunikasi. Namun demikian pemanfaatannya lebih di tentukan oleh para penggunanya terutama dalam etika dan kesadarannya dalam memanfaatkan hasil kemajuan teknologi komunikasi tersebut(Nasution 2004). Berdasarkan data statistik bahwa pengguna alat komunikasi (gadjet) aktif di Indonesia 150 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Untuk menjaga agar pemanfaatan alat komunikasi atau media sosial tidak disalahgunakan (meskipun sudah banyak terjadi) sehingga menimbulkan ketidak teraturan, maka di perlukan pihak pihak yang dalam hal ini diberikan kewenangan untuk mengaturnya. UU No 19 Tahun 2016 tentang ITE, merupakan payung konstitusi atas kewenangan dan tanggung jawab negara terhadap penggunaan teknologi informasi. Peran polisi diperlukan untuk melakukan penegakan hukum terutama dengan peraturan yang terkait dengan informasi transaksi elektronik (ITE). Namun fungsi pencegahan atau preventif juga sangat diperlukan, polisi media sosial bisa menyebarkan informasi yang bersifat himbauan untuk menghindari posting yang dilarang. Peran aparat penegak hukum adalah yang paling utama sebagai ujung tombak keadilan, salah satunya adalah peran aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga segala bentuk kejahatan yang timbul sebagai akibat penyalahgunaan teknologi informasi segera dapat teratasi melalui kerjasama yang baik dengan berbagai pihak.

Kata Kunci: Polri, media sosial, penegakan hukum

A. PENDAHULUAN Perkembangan yang pesat dan terus bergerak dalam segala bidang menjadi semakin rentan dengan timbulnya permasalahan yang men-jadi dampak dari perkembangan itu sendiri. Dampak permasalahan akan lebih besar dan berpotensi konflik yang membahayakan apabila tidak dapat dikelola dengan baik, dan tidak dilakukan sebuah manajemen yang benar dengan dibarengi rasa tang-gung jawab(sense of responsibility)

dari semua pihak. (Prasetiadi 2018). Prinsipnya, sikap moral dan kesa-daran setiap pelaku sangat diperlu-kan demi terciptanya etika kebebasan dan keteraturan (Bertens 1993) Salah satu stimulus yang ikut andil mendorong timbulnya perma-salahan tersebut adalah perkem-bangan teknologi komunikasi yang bergerak bagaikan air bah yang sulit di bendung. Kemajuan teknologi komunikasi pada dasarnya merupa-an bentuk perkembangan positif

1)KBP Drs Susilo Teguh Rahardjo, M.Si. adalah Kakorgadik Akpol

Page 37: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

33TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

yang dapat dengan cepat menyam-paikan pesan pesan antara pihak pihak yang berkomunikasi. Namun demikian pemanfaatannya lebih di tentukan oleh para penggunanya. Berdasarkan data statistik bahwa pengguna alat komunikasi (gadjet) aktif di Indonesia 150 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Menu-rut penelitian yang dilakukan We Are Social, perusahaan media asal Inggris yang bekerja sama dengan Hootsuite, rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial. Dari laporan berjudul "Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World" yang diterbitkan tanggal 30 Januari 2018, dari total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai 130 juta dengan penetrasi 49 persen. Sebanyak 120 juta orang Indonesia menggunakan perangkat , seperti mobile smart-phone tablet atau untuk mengakses media sosial, dengan penetrasi 45 persen. Dalam sepekan, aktivitas online di media sosial melalui smart-phone mencapai 37 persen.(Yates and Paquette 2010) Menyikapi fenomena maraknya pengguna teknologi komunikasi di Indonesia tentu saja akan memiliki dampak sosial di tengah masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa penggu-naan media sosial yang kurang tepat menimbulkan dampak yang kurang

baik bagi masyarakat, salah satunya penyebaran isu sara, atau menanam-kan kebencian, yang dapat memecah-belah bangsa. Apabila dibiarkan, maka akan menimbulkan permasa-lahan sosial yang dapat mengganggu instabilitas keamanan, hal ini lebih disebabkan bahwa penggunanya me-miliki karakter dan kepentingan yang berbeda. Untuk menjaga agar peman-faatan alat komunikasi atau media sosial tidak disalahgunakan (meski-pun sudah banyak terjadi) sehingga menimbulkan ketidak teraturan, maka di perlukan pihak pihak yang dalam hal ini diberikan kewenangan untuk mengaturnya. UU No 19 Tahun 2016tentang ITE, merupakan payung konstitusi atas kewenangan dan tanggung jawab negara terhadap penggunaan teknologi informasi. UU ITE sangat membantu masyarakat yang menggunakan media sosial, bagaimana cara menggunakan media sosial dengan benar. Dengan adanya UU ITE yang baru, sudah sepatutnya masyarakat memahami hal apa saja yang tidak boleh ditulis dan dibagikan (share) melalui media sosial. Masyarakat ju-ga harus bijak dalam menggunakan media sosial dengan berpikir ulang atas informasi apa yang ingin di-bagikan ke orang lain yang nantinya akan dibagikan juga oleh orang lain. Dengan berlandaskan pada UU ITE, maka sejatinya pemerintah bersama kepolisian dapat bekerja sama dalam

Page 38: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

menertibkan penggunaan media in-formasi di tengah masyarakat, se-hingga dapat meminimalisir efek negatif dari penyalahgunaan media secara tidak beretika. Sebagai ilus-trasi, beberapa negara diantaranya Jerman mulai memberlakukan un-dang-undang baru soal penanganan konten negatif berupa ujaran keben-cian atau hate speech. Hal ini dituju-kan agar perusahaan layanan media sosial dapat menghapus konten negatif dalam waktu 24 jam. Nama undang-undang tersebut NetzDG, jika diterjemahkan berarti "Penegak-kan di Jejaring Sosial". Polri sebagai salah satu lembaga yang diberikan kewenangan untuk memelihara Kamtibmas, menegak-kan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masya-rakat memiliki tanggung jawab untuk berperan serta mengelola dan mengendalikan pen-gunaan teknologi informasi agar tidak menjadi sumber gangguan keamanan dan ketertiban masya-rakat, khususnya terhadap berbagai gangguan yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan serta dis-integrasi bangsa. Kemampuan polri dalam mengelola dan mengendalikan penggunaan produk Teknologi ko-munikasi ini akan membangun kepercayaan masyarakat terhadap Polri dalam melaksanakan tugas pokok dan wewenangnya. Hal ini sejalan dengan kebijakan Kapolri menjelang peringatan HUT Bha-yangkara ke 72 Bahwa Polri

berkomitmen untuk meraih dan memperkuat keper-cayaan Masyara-kat demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sejahtera, mandiri dan berkeadilan.

B. DAMPAK PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI

Dampak Kemajuan teknologi Komunikasi dan Informasi di Indonesia bagaikan tidak terbendung lagi. Mengutip data yang dikeluarkan DS Annual Startup Report 2015 tentang pengguna internet di Indo-nesia, saat ini terdapat sekitar 83,6 juta pengguna internet atau betum-buh sebanyak 33% dibanding akhir tahun lalu (2017). 34% dari angka di atas, menggunakan internet melalui koneksi Ber-dasarkan broadband.data tersebut salah satu yang menarik adalah bahwa secara hitungan populasi, total jumlah pengguna internet baru merupakan generasi lebih tua (40-59 tahun) dengan perhitungan mencapai 28,3%. Sedangkan yang 69,3% merupakan generasi muda dengan rentang umur di antara 20 sampai 39 tahun. Jika dibandingkan dengan pengguna internet yang 'hanya' 83 juga, di Indonesia saat ini pengguna aktif ponsel telah mencapai 281,9 juta orang. Jumlah tersebut meng-gam-barkan bahwa setiap orang di Indonesia memegang ponsel se-banyak 1,13 unit. Hal ini berbeda tipis dengan data dari situs lainnya yang menyebutkan bahwa pengguna

34 Susilo Teguh Rahardjo , Peran Polri dalam Menjaga Etika Media Melalui Penegakan Hukum ....

Page 39: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

35TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

telepon seluler (ponsel) di tanah air mencapai 371,4 juta pengguna atau 142 persen dari total populasi sebanyak 262 juta jiwa. Artinya, rata-rata setiap penduduk memakai 1,4 telepon seluler karena satu orang terkadang menggunakan 2-3 kartu telepon seluler. Sementara kaum urban Indonesia mencapai 55 persen dari total populasi. (sumber ) Saat ini Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar menjadi sasaran pemasaran yang sangat menggiurkan bagi perusahaan, dis-tributor dan pedagang, atau siapapun yang ngin mengambil keuntungan dari telepone seluler sebagai medan bisnisnya . Melihat fakta di lapangan, bahwa Penggunaan hasil teknologi Komunikasi dan informasi ini, baik berupa internet, telepone seluler dan sebagainya seperti menimbulkan "lapangan Kerja" baru bagi para aktifisnya. Bahwa para pengguna teknologi ini bukan hanya seperti yang di gambarkan data di atas, tetapi anak di bawah umur yang semestinya belum pantas untuk mengope-rasionalkan telah mendapat kebe-basan dari para oang tua meskipun hanya untuk sekedar memberikan hiburan kepada anak anaknya. Tanpa kita sadari, bahwa penggunaan hasil teknologi semacam ini telah merubah berbagai aktifitas, gaya hidup, kebiasaan, bahkan dapat menjurus kepada perusakan mental dan kepribadian secara individu serta "kebudayaan Timur yang selama ini

dibangga banggakan oleh bangsa Indonesia.Dampak atau akibat akan selalu muncul dari adanya sebuah perkembangan, perubahan situasi ataupun munculnya produk produk baru yang memang timbul karena adanya suatu kebutuhan. Demikian halnya dengan kemajuan teknologi Komunikasi dan Informasi, setiap dampak tentunya akan muncul dua sifat, yaitu positif dan negatif. Dampak positifnya antara lain mempercepat arus informasi; mempermudah akses terhadap informasi terbaru; sebagai media sosial; membantu individu dalam mencari informasi; sebagai media hiburan; mempermudah komunikasi dengan individu lainnya yang jauh; sebagai sarana sharing dan berbagi file; memiliki banyak dampak positif dalam dunia pendidikan; sebagai lokasi untuk bisnis jual beli; membantu menyelesaikan masalah dengan mudah. Meskipun memiliki banyak dampak positif, akan tetapi ternyata teknologi informasi dan komunikasi memiliki beberapa dampak negatif yang cukup mengganggu kehidupan sehari-hari. Kebanyakan dampak tersebut disebabkan karena penya-lahgunaan dari teknologi informasi dan komunikasi, ataupun disebabkan karena kurangnya pemahaman user akan etika dan juga cara untuk menggunakan teknologi informasi dan juga komunkasi de-ngan baik dan juga benar.

Page 40: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Berikut ini adalah beberapa dampak negative dari teknologi informasi dan juga komunikasi: indi-vidu menjadi malas untuk berso-sialisasi secara fisik; meningkatnya penipuan dan juga kejahatan cyber ( onten negatif Cyber Bullying); kyang berkembang pesat; fitnah dan juga pencemaran nama baik secara luas; menjauhkan yang dekat; meng-abaikan tugas dan juga pekerjaan; membuang-buang waktu untuk hal yang tidak berguna (baca juga: bahaya kecanduan internet); dan menurunnya prestasi belajar dan juga kemampuan bekerja seseorang. Kejahatan di bidang teknologi informasi di Indonesia merupakan suatu bentuk kejahatan yang sudah mengglobal, karena kejahatan ini tidak hanya dapat dilakukan dan ditujukan dalam ruang lingkup satu daerah atau satu negara saja, melain-kan dapat dilakukan atau ditujukan terhadap negara lain hingga belahan dunia yang paling jauh dapat dijang-kau, sehingga kejahatan di bidang teknologi informasi ini sangat sulit diatasi, karena jenis dan modus ope-randinya yang masih terbilang baru dan tidak setiap orang dapat mela-kukannya. Modus kejahatan di bidang teknologi informasi yang masih tergolong baru ini perlu men-dapat perhatian serius karena sudah banyak yang menjadi korban, se-hingga peran aparat penegak hukum dalam hal ini Kepolisian Negara Republik Indonesia sangat dibutuh-

kan untuk menangani permasalahan di bidang teknologi informasi.

C. ETIKA DAN TANGGUNG J AWA B P E N G G U N A A N MEDIA KOMUNIKASI DAN INFORMASI

Teknologi media komunikasi dan informasi, dalam hal ini media sosial, akan terus berkembang dan semakin menjadi bagian dari kese-harian kita. Hal ini memberikan banyak keuntungan yang membantu dalam kehidupan sehari-hari, namun selain itu juga memberikan tantangan yang perlu mendapat perhatian serius. Penggunaan yang tidak hati-hati dan tidak bijaksana akan menga-kibatkan kerugian. Berbagai per-usahaan/institusi profesi telah me-manfaatkan sosial media sebagai kepanjangan tangan dalam men-jangkau client/masyarakat lebih luas dan dengan ongkos yang lebih murah. Pedagang individu pun dapat beriklan dengan medium medsos yang memberikan efek lebih menge-na dan lebih efektif menghasilkan pelanggan. Hal yang sangat positif sepanjang para pelakunya tetap menyadari informasi-informasi yang layak disampaikan melalui media ini dan yang tidak. Namun, apabila batas-batas informasi yang layak dan tidak layak ini tidak diperjelas dalam sebuah regulasi, maka dapat meng-akibatkan bias antara informasi yang umum dan yang pribadi, menjadi sangat kabur pengertian "layak" di

36 Susilo Teguh Rahardjo , Peran Polri dalam Menjaga Etika Media Melalui Penegakan Hukum ....

Page 41: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

37TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

antara setiap individunya. Selain itu informasi buruk cepat tersebar, akibatnya bisa kita saksikan ketidak-sengajaan atau ketidak tahuan bahkan ketidak pedulian yang ber-akibatkan menampilkan data pribadi /privat/rahasia di media social. Seba-gai contoh posting data pasien oleh karyawan rumah sakit, guru sekolah yang memposting data murid-muridnya, karyawan yang curhat ata-sannya atau sebaliknya yang ber-ujung pada kasus hukum, posting tidak senonoh tokoh masyarakat, foto/video yang melanggar HAM, dan lain-lain. Tidak hati-hati mengunggah gambar atau menulis komentar dapat menghancurkan karir, reputasi atau bahkan dapat berakibat pada kematian. Sarana medsos juga dapat memudahkan para kriminal dalam penyebaran propa-ganda, kampanye hitam, hoax atau penggiringan opini.Menimbang ke-jadian-kejadian yang muncul yang mengakibatkan ketidak nyamanan baik disisi pengguna maupun disisi client, baik masyarakat, professional atau institusi, perlu diperhatikan etika penggunaan media sosial ter-utama bagi para professional-/institusi, sehingga dapat memini-malkan kejadian yang tidak dikehen-daki. Menggunakan teknologi sosial media dengan tepat memberikan ba-nyak manfaat. Tetapi penggunaan media sosial yang tidak tepat akan mengakibatkan perpecahan, per-

musuhan, kekacauan dan konflik (Astrup, Larsen et al. 2004).

D. PERAN POLRI DALAM D U N I A T E K N O L O G I K O M U N I K A S I D A N INFORMASI

Kepolisian sebagai salah satu aparat penegak hukum harus dapat menggunakan kewenangannya se-suai dengan peraturan yang me-ngaturnya, sehingga dalam praktek-nya tetap menjunjung tinggi norma-norma baik yang terkandung dalam kode etik Kepolisian maupun hukum yang berlaku. Peningkatan peran POLRI dalam menanggulangi kejahatan di bidang teknologi informasi yang ada di Indonesia sangatlah dibutuhkan, baik yang sifa-tnya preventif, represif maupun tindakan lainnya agar dapat menim-bulkan kesadaran dan ketaatan dalam mematuhi aturan-aturan hukum yang ada, sehingga terwujudanya keter-aturan dan kedisiplinan dalam masyarakat. Tugas di bidang preven-tif dilaksanakan dengan konsep dan pola pembinaan dalam wujud pemberian pengayoman, perlindu-ngan dan pelayanan kepada masyara-kat, agar masyarakat merasa aman, tertib dan tentram tidak terganggu. Kejahatan di dunia internet atau di dunia cyber bukanlah kejahatan biasa yang mudah untuk ditang-gulangi dan diungkap siapa pela-kunya, karena dalam kejahatan ini siapa saja dapat berperan dan men-

Page 42: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

jadi pelaku dalam perbuatan melawan hukum serta bagaimana modus operandi yang dilakukan merupakan bentuk kemampuan pribadi pelaku sebagai otak pelak-sananya, karena terbatasnya fasilitas yang dapat mengawasi dan menga-mankan penyalahgunaan layanan internet banyak sekali kejahatan yang timbul, hal ini terbukti dengan banyaknya pelaku kejahatan yang tidak tertangkap dan selalu meng-ulangi perbuatannya. Aparat Ke-polisian sudah melakukan upaya-upaya yang sangat berat dalam meng-hadapi kejahatan yang terjadi di masyarakat, mengingat kejahatan ya-ng terjadi di masyarakat sudah begitu banyak dan beragam, sehingga mem-buat aparat penegak hukum harus bekerja keras dalam menanggu-langinya, apalagi di tengah kehidup-an yang dikendalikan oleh kapitalis-kapitalis global ini, kejahatan sudah merambah dan memasuki kelas transnasional lintas negara. Beratnya tugas aparat Kepolisian dalam menanggulangi kejahatan di bidang teknologi informasi dise-babkan masih minimnya sumberdaya manusia yang dimiliki lembaga Kepolisian Republik Indonesia dan terbatasnya peralatan yang dimiliki. Kejahatan di bidang teknologi informasi yang menggunakan jari-ngan-jaringan maya sangat sulit untuk dilacak, sehingga semakin ber-kembangnya pelaku-pelaku kejaha-tan di dunia maya, bahkan terkadang

dalam operandinya pelaku dimudah-kan dengan layanan internet yang setiap saat online dan akses internet yang capat dan murah. Aktifitas ma-nusia pada dasarnya dapat diatur oleh hukum. Hukum disini direduksi pengertiannya menjadi peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara, begitu pula aktifitas kejahatan di bidang teknologi infor-masi yang menjadikan internet sebagai sarana utamanya.Dalam kaitannya dengan teknologi infor-masi khususnya dunia maya, peran hukum adalah melindungi pihak-pihak yang lemah terhadap eksploi-tasi dari pihak yang kuat atau berniat jahat, disamping itu hukum dapat pula mencegah dampak negatif dari ditemukannya suatu teknologi. Akan tetapi pada kenyataannya hukum sendiri belum dapat menga-tasi secara riil terhadap permasa-lahan-permasalahan yang ditimbul-kan oleh teknologi informasi. Di sini tugas dan fungsi polisi media sosial diperlukan untuk me-lakukan penegakan hukum terutama dengan peraturan yang terkait de-ngan informasi transaksi elektronik (ITE). Namun fungsi pencegahan atau preventif juga sangat di-perlukan, polisi media sosial bisa menyebarkan informasi yang bersifat himbauan untuk menghindari pos-ting yang dilarang, terkait dengan sara, fitnah, atau menyebarkan kebencian kepada pihak lain. Se-hingga dengan tindakan preventif ini

38 Susilo Teguh Rahardjo , Peran Polri dalam Menjaga Etika Media Melalui Penegakan Hukum ....

Page 43: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

39TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

akan mengurangi tugas polisi media sosial dalam penegakan hukum. Memang t idak mudah untuk melakukan penegakan hukum di dunia maya khususnya pada social media, karena akan dihadapkan pada akun-akun palsu yang setiap saat muncul dan tidak diketahui siapa pemiliknya. Oleh karena itu dalam sistem akun sosial media harus terintegrasi antara data pemilik, email, dan nomor handphone yang aktif, sehingga akun sosial media tidak digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Dengan manajemen sistem yang semakin baik, maka akun-akun palsu yang selama ini menghantui, perlahan semakin sedikit dan akhirnya hilang. Polisi sosial media harus petugas yang ditunjuk khusus yang memiliki kompetensi yang diperlukan, sehingga mampu mengatasi segala bentuk pelanggaran

hukum yang terjadi di sosial media.

E. PENUTUP Pada prinsipnya, upaya dalam menanggulangi kejahatan di b idang t ekno log i i n fo rmas i merupakan tanggungjawab bersama, baik masyarakat maupun negara beserta alat-alatnya karena hukum tidak akan berarti tanpa adanya kesadaran masyarakat, dengan demikian untuk menanggulangi kejahatan di bidang teknologi infor-masi haruslah melibatkan masya-rakat, namun demikian peran aparat penegak hukum adalah yang paling utama sebagai ujung tombak keadi-lan, salah satunya adalah peran aparat Kepolisian Negara Republik Indone-sia, sehingga segala bentuk kejahatan yang timbul sebagai akibat penyalah-gunaan teknologi informasi segera dapat teratasi melalui kerjasama ya-ng baik dengan berbagai pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Arifiyadi, Teguh. 2008. "Cyber Law, Tantangan Bagi Perkembangan Hukum di Indonesia." Diakses dari , Copyright 2008 tanggal 03 Juli 2018.

Astrup, A., T. M. Larsen, et al. 2004. "Atkins and other low-carbohydrate diets: hoax or an effective tool for weight loss?" The Lancet 364(9437): 897-899.

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Nasution, F.N. 2004. "Penggunaan teknologi informasi berdasarkan aspek

perilaku (Behavioral aspect)." USU digital library.Khoidin, M.dan Sadjijono. 2006. "Mengenal Figur Polisi Kita". Yogyakarta:

Laksbang Pressindo.

Page 44: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

40 Susilo Teguh Rahardjo , Peran Polri dalam Menjaga Etika Media Melalui Penegakan Hukum ....

Prasetiadi, A.E. 2018. "Web 3.0: Teknologi Web Masa Depan." Jurnal Industri Elektro dan Penerbangan 1(3).

Ramli, Ahmad M. 2004. "Prinsip-Prinsip Cyber Law dan Kendala Hukum Positif dalam Menanggulangi Cyber Crime". Modul I e-Learning Mabes Polri.

Widowaty, Yeni. 2004. "Aspek Hukum Tindak Pidana Cyber Crime Dalam Penanggulangan Teknologi Informasi". Makalah ini disampaikan dalam seminar Nasional Problematika perkembagan Hukum Ekenomi dan Teknologi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tanggal 29 Mei 2004.

Yamin, Didi S. 2004. "Upaya POLRI dalam Menangani Tindak Pidana Kejahatan di Bidang Teknologi Informasi. Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Problematika Perkembangan Hukum Ekonomi dan Teknologi, diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 29 Mei 2004.

Yates, D. and S. Paquette .2010. "Emergency knowledge management and social media technologies: A case study of the 2010 Haitian earthquake". Proceedings of the 73rd ASIS&T Annual Meeting on Navigating Streams in an Information Ecosystem-Volume 47, American Society for Information Science.

Page 45: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

MENANGKAL HOAX MELALUI PENGUATAN LITERASI

1Oleh Slamet Iswanto

ABSTRAK

Akhir-akhir ini hoax menjadi momok yang mengancap persatuan dan kesatuan bangsa karena muncul setiap saat dan tersebar secara cepat dan luas ke masyarakat. Dalam catatan pemerintah saat ini ada kurang-lebih 800 ribu situs yang menyebarkan hoax. Menghadapi kondisi semacam ini tentu saja tindakan cepat harus segera dilakukan. Pemerintah tentu saja sudah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kondisi tersebut. Namun, yang juga penting untuk diperhatikan; apa tindakan kita sebagai masyarakat untuk ikut serta membantu pemerintah dalam menanggulangi hoax yang tampaknya cukup masif akhir-akhir ini; dan dengan cara bagaimana kita bisa melakukannya. Secara teoretis, penguatan literasi dapat ditempuh untuk menangkal hoax tersebut. Beberapa langkah untuk menangkal hoax dilakukan, di antaranya pembuatan Badan Siber Nasional. Target dibentuknya lembaga ini bukan sekadar beredarnya berita hoax, tetapi juga lebih kepada pertahanan siber. Kominfo memiliki situs untuk pengaduan konten-konten yang dianggap hoax. Kepolisian Republik Indonesia sendiri, selain membentuk Kepala Biro (Karo) multimedia yang bertugas menetralisasi dan mengklarifikasi berita-berita hoax di media sosial, juga aktif untuk mengedukasi masyarakat tentang larangan menyebarkan berita hoax dan provokatif. Pada level Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri, dibentuk Direktur Kontra Intelijen yang bertugas untuk menangkal propaganda dan melakukan penegakan hukum bersama Direktorat Cyber Crime dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan keamanan negara. Inti literasi adalah masyarakat mampu memahami, memilih, dan menindaklanjuti informasi yang diperoleh. Jika berhadapan dengan informasi baru, masyarakat literat akan memahaminya secara bnar lebih dahulu; kemudian memilih mana yang perlu dan mana yang tidak perlu; baru kemudian ditindaklanjuti, mana yang harus disimpan, mana yang harus diteruskan kepada orang lain, dan mana yang harus disanggah atau dikomentari. Jika masyarakat sudah menjadi masyarakat literat seperti ini, maka berita bohong (hoax) tidak akan memengaruhi masyarakat. Masyarakat telah memiliki alat penyaring (filter) tersendiri sehingga hanya informasi yang benar dan perlu saja yang akan diterima oleh masyarakat.Kata Kunci: hoax, literasi, gerakan literasi

A. PENDAHULUAN Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono lewat twitter pada tang-gal 20 Januari 2017 menulis: "Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar 'hoax' berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yang lemah menang?". Dalam bahasa Inggris hoax berari tipuan, menipu, berita bohong, berita

palsu, atau kabar burung. Jadi, dapat dikatakan bahwa hoax adalah kata yang berarti ketidakbenaran suatu informasi. Hoax bukan singkatan melainkan satu kata dalam bahasa inggris yang punya artiz sendiri. Menurut wikipedia hoax adalah sebuah pemberitaan palsu atau usaha untuk menipu atau mengakali pem-baca/pendengarnya untuk memper-

1)Kombes Pol Ir. H. Slamet Iswanto, S.H. adalah Kabid Pengsos Akademi Kepolisian.

Page 46: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

cayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut palsu . Secara bahasa hoax (synonyms: practical joke, joke, jest, prank, trick) adalah lelucon, cerita bohong, kenakalan, olokan, membohongi, menipu, mempermainkan, memper-daya dan memperdayakan. Dalam Kamus Besar Indonesia hoax diterje-mahkan menjadi hoaks yang diarti-kan sebagai "berita bohong". Menu-rut Dewan Pers, atas dasar pengertian tersebut, hoax memiliki ciri meng-akibatkan kecemasan, kebencian dan permusuhan; sumber berita tidak jelas; hoax di media sosial biasanya berasal dari pemberitaan media yang tidak terverifikasi, tidak berimbang dan cenderung menyudutkan pihak tertentu; bermuatan fanatisme atas nama ideology; judul dan pengan-tarnya provokatif; dan memberikan penghukuman serta menyembunyi-kan fakta dan data . Hoax dapat diartikan sebagai sebuah kebohongan yang secara sengaja dibuat "menyamar" seolah-olah berita itu adalah sebuah kebe-naran. Kata atau istilah hoax kali pertama muncul di kalangan netter Amerika Serikat. Kala itu, hoax didasarkan pada sebuah judul film The Hoax. The Hoax ini adalah sebuah film drama AS yang meluncur tahun 2006 dan disutradarai oleh Lasse Hallstrom. Film The Hoax dibuat berdasarkan buku dengan judul yang sama karangan Clifford

Irving dan berfokus pada biografi Irving sendiri serta Howard Hughes yang dianggap membantu penulisan. Banyak kejadian yang diuraikan Irving dalam bukunya yang diubah atau dihilangkan dalam film. Sejak saat itu, film The Hoax dianggap sebagai film yang banyak mengan-dung kebohongan. Akhir-akhir ini hoax menjadi momok yang mengancap persatuan dan kesatuan bangsa karena muncul setiap saat dan tersebar secara cepat dan luas ke masyarakat. Dalam catatan pemerintah saat ini ada kurang-lebih 800 ribu situs yang menyebarkan hoax. Menghadapi kondisi semacam ini tentu saja tindakan cepat harus segera dilakukan. Pemerintah tentu saja sudah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kondisi terse-but. Namun, yang juga penting untuk diperhatikan; apa tindakan kita sebagai masyarakat untuk ikut serta membantu pemerintah dalam me-nanggulangi hoax yang tampaknya cukup masif akhir-akhir ini; dan dengan cara bagaimana kita bisa melakukannya. Secara teoretis, penguatan literasi dapat ditempuh untuk menangkal hoax tersebut.

B. LANGKAH PEMERINTAH D A L A M M E N A N G K A L HOAX Terkait berita hoax, Presiden Joko Widodo pernah melakukan rapat terbatas membahas antisipasi

Slamet Iswanto, Menangkal Hoax Melalui Penguatan Literasi42

Page 47: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

43TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

perkembangan media sosial. Jokowi ingin mengevaluasi media daring (online) yang kerap membuat berita bohong (hoax) dan cenderung provokatif. Beberapa langkah untuk menangkal hoax dilakukan, di antaranya pembuatan Badan Siber Nasional. Target dibentuknya lem-baga ini bukan sekadar beredarnya berita hoax, tetapi juga lebih kepada pertahanan siber. Kominfo memiliki situs untuk pengaduan konten-konten yang dianggap hoax. Kepoli-sian Republik Indonesia sendiri, selain membentuk Kepala Biro (Karo) multimedia yang bertugas menetralisasi dan mengklarifikasi berita-berita hoax di media sosial, juga aktif untuk mengedukasi masyarakat tentang larangan menye-barkan berita hoax dan provokatif. Pada level Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri, dibentuk Direktur Kontra Intelijen yang bertugas untuk menangkal pro-paganda dan melakukan penegakan hukum bersama Direktorat Cyber Crime dalam bidang politik, eko-nomi, sosial budaya dan keamanan negara. Secara internasional pemerintah dapat merujuk pada Resolusi Kong-res PBB VIII/1990 mengenai Computer Related Crimes, yang berisi imbauan kepada negara-negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang le-bih efektif dengan mempertim-

bangkan langkah-langkah sebagai berikut:1. Melakukan modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana. Mengembangkan tindakan-tin-dakan pencegahan dan pengamanan computer. 2. Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga war-ga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap penting-nya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan computer. 3. Melakukan upaya-upaya pela- tihan bagi para hakim, pejabat dan aparat penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cyber crime. 4. Memperluas rule of ethics dalam penggunaan komputer dan mengajar-kannya melalui kurikulum informa-tika. 5. Mengadopsi kebijakan perlin- dungan korban cyber crime sesuai dengan deklarasi PBB menge-nai korban dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong korban melaporkan adanya cyber crime Pemerintah bisa juga mengacu kepada kesepakatan di Hongaria pada tanggal 23 November 2001 mengenai kejahatan dunia cyber. Saat itu ada lebih kurang 30 negara menandatangani Convention On Cyber Crime sebagai wujud kerja sama multilateral untuk menang-gulangi aktivitas kriminal melalui internet dan jaringan komputer lainnya. Namun, upaya penang-

Page 48: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

gulangan kejahatan internet ini menemukan masalah dalam hal yurisdiksi. Pengertian yurisdiksi sendiri adalah kekuasaan atau ke-mampuan hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hu-kum). Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara dan prinsip tidak campur tangan. Dalam konteks ini Indonesia bisa memain-kan perannya bersama-sama dengan negara-negara lain di dunia untuk mengatasi masalah kejahatan inter-net. Presiden Joko Widodo saat me-mimpin rapat terbatas dengan topik "Antisipasi Perkembangan Media Sosial" di Kantor Presiden sudah menyatakan bahwa penegakan hu-kum harus tegas dan keras terhadap media-media online yang sengaja memproduksi berita-berita bohong tanpa sumber yang jelas, judul provokatif dan mengandung fitnah. Polisi juga sudah mengeluarkan per-nyataan bahwa mereka akan menge-jar orang-orang yang menyebar berita palsu soal tenaga kerja asing asal Cina. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara juga menya-takan bahwa dia akan berkomunika-si dengan Dewan Pers untuk menge-valuasi puluhan ribu media online lainnya yang tidak mengikuti standar dan kaidah jurnalistik. Saat ini isu yang diangkat oleh berita palsu atau hoax yang beredar luas lewat media sosial di Indonesia antara lain meli-

puti tenaga kerja asing asal Cina atau berita bernada provokasi seputar aksi 411 dan 212 . Selain pemerintah, masyarakat pun ikut bergerak. Tanggal 23 November 2016, pemuda yang disebut sebagai Bapak Blogger Indonesia, Enda Nasution bertemu dengan Kapolri Tito Karnavian dan menghasilkan Piagam Anti-Hoax. Bahkan akhirnya terbentuklah komu-nitas relawan masyarakat anti-hoax yang dideklarasikan pada tanggal 8 Januari 2017 dalam acara "Deklarasi Anti-Hoax" pada saat car free day di Jakarta. Komunitas tersebut diberi nama Masyarakat Anti-Hoax dan Fitnah Indonesia (Mafindo). Mente r i Komunikas i dan Informatika Rudiantara mengatakan untuk penanganan berita palsu atau hoax akan dilakukan melalui dua cara. Ini dilakukan untuk mencegah beredarnya kabar hoax yang membe-rikan dampak negatif kepada masya-rakat. Cara pertama, kalau di media sosial, dilakukan penapisan. Cara ke-dua, dengan tindakan hukum melalui aparat penegak hukum.

C. LITERASI SEBAGAI PE- NANGKAL HOAX1. Hakikat Literasi Literasi yang berasal dari bahasa Inggris literacy berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang pengertian-nya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-kon-vensi yang menyertainya. Saat ini

Slamet Iswanto, Menangkal Hoax Melalui Penguatan Literasi44

Page 49: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

kajian literasi telah meluas tergan-tung bagaimana kata itu disematkan dalam sebuah kalimat. Terdapat diantaranya literasi informasi dan literasi media yang memiliki defi-nisinya masing-masing. Sulzby (1986) mengartikan literasi sebagai kemampuan berba-hasa seseorang (menyimak, berbi-cara, membaca dan menulis) untuk berkomunikasi dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Jadi, secara singkat singkat, penger-tian literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Graff (2006) mendefinisikan literasi sebagai ke-mampuan untuk membaca dan menulis. Menurut 7th Edition Oxford Advanced Learner's Dictionary ( 2005:898) literasi adalah kemam-puan membaca dan menulis. Pengertian literasi secara umum adalah kemampuan individu mengo-lah dan memahami informasi saat membaca atau menulis. Literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis, oleh karena itu, literasi tidak terlepas dari ketrampilan bahasa yaitu penge-tahuan bahasa tulis dan lisan yang memerlukan serangkaian kemam-puan kognitif, pengetahuan tentang genre dan kultural. Meskipun literasi merupakan sebuah konsep yang memiliki makna kompleks, dinamis, terus ditafsirkan dan didefinisikan dengan beragam cara dan sudut pandang, namun hakekatnya kemam-puan baca tulis seseorang merupakan dasar utama bagi pengembangan

makna literasi secara lebih luas. Istilah literasi dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Inggris literacy yang secara etimologi berasal dari bahasa Latin literatus, yang berarti orang yang belajar. Dalam bahasa Latin juga terdapat istilah littera (huruf) yaitu sistem tulisan dengan konvensi yang menyertainya . Pengertian literasi menurut U-NESCO adalah seperangkat kete-rampilan nyata, khususnya keteram-pilan kognitif membaca dan menulis, yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dari siapa serta cara memperolehnya. Pema-haman orang tentang makna literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasio-nal, nilai-nilai budaya dan juga pengalaman. Dalam kamus online Merriam-Webster, pengertian literasi adalah kualitas atau kemampuan "melek aksara" yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis serta kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (video, gambar). Education Develop-ment Center (EDC) menyatakan bahwa literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan sege-nap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya, bukan hanya kemampuan baca tulis. National Institute for Literacy, mendefinisikan literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara,

45TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 50: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Slamet Iswanto, Menangkal Hoax Melalui Penguatan Literasi46

menghitung dan memecahkan masa-lah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluar-ga dan masyarakat . Literasi pada awalnya dimaknai 'keberaksaraan' dan selanjutnya dimaknai 'melek' atau 'keterpaha-man'. Pada langkah awal, "melek baca dan tulis" ditekankan karena kedua keterampilan berbahasa ini merupakan dasar bagi pengem-bangan melek dalam berbagai hal. Pada abad pertengahan, sebutan literatus ditujukan kepada orang yang dapat membaca, menulis dan bercakap-cakap dalam bahasa Latin. Sejarawan Itali Carlo M. Cipolla istilah "semi-iliterate" untuk mereka yang dapat membaca tetapi tidak dapat menulis. Dengan kata lain, pengertian literasi hanya ber-kaitan dengan keaksaraan atau bahasa . Pemahaman literasi pada akhir-nya tidak hanya merambah pada masalah baca tulis saja. Agar mampu bertahan di abad XXI, masyarakat harus menguasai enam literasi dasar, yaitu literasi baca-tulis, matematika, sains, teknologi informasi dan komunikasi, keuangan, serta kebuda-yaan dan kewarganegaraan. Tiga literasi lainnya yang perlu dikuasai adalah literasi kesehatan, kesela-matan (jalan, mitigasi bencana) dan criminalLiterasi gesture pun perlu dipelajari untuk mendukung keter-pahaman makna teks dan konteks dalam masyarakat multikultural. Semua ini merambah pada pema-

haman multiliterasi. Multiliterasi dapat dimaknai sebagai keterampilan menggunakan beragam cara untuk menyatakan dan memahami ide-ide dan informasi dengan menggunakan bentuk-bentuk teks konvensional maupun bentuk-bentuk teks inovatif, simbol dan multimedia. Beragam teks yang digunakan dalam satu konteks ini disebut teks multimoda (multimodal text). Adapun pembelajaran yang bersifat multiliterasi--menggunakan strategi literasi dalam pembelajaran dengan memadukan karakter dan keterampilan abad ke-21 (keteram-pilan berpikir tingkat tinggi)--diha-rapkan dapat menjadi bekal kecakap-an hidup sepanjang hayat. Dalam perkembangan waktu, pengertian literasi berkembang menjadi konsep fungsional. Pada tahun 1960-an istilah literasi dikait-kan dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup individu. Konsep literasi merupakan seperangkat kemampuan mengolah, menganalisa dan memahami informasi dari bahan bacaan. Literasi bukan tentang membaca dan menulis saja, melain-kan dapat mencakup bidang lain, seperti ekonomi, matematika, sains, sosial, lingkungan, keuangan, bah-kan moral (moral literacy). Saat ini, penggunaan istilah literasi mulai digunakan dalam arti yang lebih luas, namun tetap merujuk kepada kompetensi atau kemampuan dasar literasi yaitu kemampuan

Page 51: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

47TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

membaca dan menulis. Beberapa isti-lah yang ada seperti literasi Infor-masi, literasi komputer, literasi sains dan lain sebagainya. Hal yang terpenting dari literasi adalah seseorang harus bebas buta aksara atau melek huruf (bisa baca-tulis) agar mampu memahami semua konsep fungsionalnya. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila telah memperoleh kemampuan dasar ketrampilan baha-sa yaitu membaca dan menulis. Salah satu langkah untuk memperoleh kemampuan literasi adalah melalui pendidikan. Seiring berkembangya zaman literasi telah memiliki perkembangan dalam maknanya. Karenanya menu-rut Freebody dan Luke terdapat empat model dalam literasi. Pertama, memahami konteks dalam teks, yakni mengenali dan menggunakan fitur seperti alfabet, suara, ejaan, konvensi dan pola teks. Kedua, ter-libat dalam memaknai teks. Mema-hami dan menyusun teks tertulis dan teks virtual dan lisan yang berati dari budaya tertentu, lembaga, keluarga, masyarakat, negara-negara dan lain-lain; atau menggambarkan skema yang ada. Ketiga, menggunakan teks secara fungsional. Keempat, mela-kukan analisis dan mentransfor-masikan teks secara kritis. Dalam konteks ini kita perlu memahami dan bertindak atas pengetahuan bahwa teks-teks tidak netral. Teks mewakili pandangan tertentu, diam, mem-pengaruhi ide-ide orang. Desain teks dan wacana dapat dikritik dan didesain ulang dengan cara baru dan hibrida. Terdapat tujuh dimensi yang berkaitan dengan literasi (Sumber-pengertian. com). Pertama, dimensi geografis. Dimensi geografis meli-puti lokal, nasional, regional dan internasional. Dimensi geografis bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial dan vokasionalnya (kecakapan kejuruan). Kedua, di-mensi bidang. Dimensi bidang meli-puti pendidikan, komunikasi, admi-nistrasi, hiburan, militer dan lain-lain. Literasi suatu bangsa tampak dalam dimensi ini. Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Hal ini karena bidang pendidikan merupakan ujung tombak kebang-kitan suatu bangsa. Ketiga, limensi keterampilan. Dimensi keterampilan meliputi keterampilan membaca, menulis, menghitung dan berbicara. Literasi seseorang tampak atau tercermin dari dimensi ini. Semua sarjana mampu membaca, akan tetapi tidak semua sarjana mampu menulis. Oleh sebab itu, keterampilan sangat diperlukan. Selain itu, tidak cukup dengan mengandalkan literasi saja (dalam hal ini membaca dan menulis) namun harus juga memiliki kemam-puan numerasi (keterampilan meng-hitung). Keempat, dimensi fungsi. Di-mensi fungsi memecahkan per-soalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan,

Page 52: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

mengembangkan po-tensi diri. Orang yang literat karena pendidikannya mampu memecahkan masalah dan mengatasi semua tentang kehidupan yang mengham-pirinya. Kelima, dimensi media. Dimensi media meliputi teks, cetak, visual, digital. Zaman sekarang orang harus m e n g a n d a l k a n k e m a m - p u a n membaca dan menulis teks cetak, visual dan digital. Perkem-bangan IT sangat penting dan berpengaruh banyak terhadap gaya berliterasi. Keenam, dimensi jumlah. Dimensi jumlah (satu, dua, bebe-rapa): Jumlah dapat merujuk pada banyak hal, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu dan media. Literasi seperti halnya kemampuan berko-munikas i , bersifat relatif. Ketujuh, dimensi bahasa. Dimensi bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional): ada literasi yang singular dan ada yang plural.

2. Gerakan Literasi di Sekolah Pendidikan dan kemampuan literasi adalah dua hal yang sangat penting dalam hidup kita. Kemajuan suatu negara secara langsung tergan-tung pada tingkat melek huruf di negara tersebut. Oleh karena itulah, orang berpendidikan diharapkan untuk melakukan tugasnya dengan baik. Literasi diartikan sebagai kemampuan orang dalam "melek wacana". Keterampilan awalnya menekankan pada pengembangan

kompetensi menulis dan membaca. Kemampun berliterasi merupakan bentuk integrasi dari kemampuan mendengarkan, berbicara, memirsa, membaca, menulis dan berpikir kritis. Dalam pengembangannya, literasi merupakan upaya pening-katan kemampuan berbahasa dan bersastra yang berhubungan dengan keberhasilannya dalam meraih kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Hal itu di antara-nya ditandai dengan kegemaran dan kemampuannya dalam membaca makna tersurat dan tersirat, kemam-puan menulis secara benar dan jelas; serta dapat mengembangkan kemam-puannya itu melalui berbagai kegiat-an sehari-hari di sekolah, di masya-rakat, ataupun di dunia kerja nanti-nya. Dalam kurikulum sekolah (SD-SMA/SMK) literasi diprogramkan dengan adanya Gerakan Literasi Sekolah yang ditopang antara lain oleh pelajaran Bahasa Indonesia. Itulah sebabnya selama ini berkem-bang pendapat bahwa literasi hanya ada dalam pembelajaran bahasa atau di kelas bahasa. Pendapat ini tentu saja tidak tepat karena literasi berkembang rimbun dalam bidang matematika, sains, ilmu sosial, teknik, seni, olahraga, kesehatan, ekonomi, agama, prakarya dll. (cf. Robb, L, 2003). Lingkup materi pembelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum sekolah meliputi materi berbahasa,

Slamet Iswanto, Menangkal Hoax Melalui Penguatan Literasi48

Page 53: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

bersastra dan literasi. Ruang lingkup kebahasaan mencakupi aspek keba-hasaan, ragam bahasa dan keteram-pilan berbahasa. Ruang lingkup sastra mencakupi pembahasan ragam sastra, tanggapan terhadap karya sastra, menilai karya sastra dan menciptakan karya sastra. Ruang lingkup literasi mencakupi kemam-puan peserta didik dalam meman-faatkan informasi dan pengetahuan melalui kegiatan berbahasa, terutama membaca dan menulis. Peran mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah membina dan mengembangkan kepercayaan diri peserta didik sebagai komunikator dan pemikir (termasuk pemikir imajinatif). Mata pelajaran Bahasa Indonesia menekankan agar peserta didik mampu mendengarkan, berbi-cara, memirsa (viewing), membaca dan menulis. Kemampuan membaca dan menulis sangat diperlukan untuk membangun sikap kriitis dan kreatif terhadap berbagai fenomena kehi-dupan yang mampu menumbuhkan kehalusan budi, kesetiakawanan dan sebagai bentuk upaya melestarikan budaya bangsa. Sikap kritis dan kreatif terhadap berbagai fenomena kehidupan dengan sendirinya menuntut keca-kapan personal (personal skills) yang berfokus pada kecakapan berpikir rasional. Kecakapan berpikir rasional mengedepankan kecakapan meng-gali informasi dan menemukan informasi, serta bernalar dengan

menghubung-hubungkan informasi ditemukan. Kecakapan menggali dan menemukan informasi menjadi keterampilan yang perlu dikuasai oleh para peserta didik. Keterampilan menemukan informasi ditunjukkan melalui kemampuan mengidentifi-kasi informasi yang dibutuhkan, kemampuan mengakses dan mene-mukan infromasi, kemampuan mengevaluasi informasi dan meman-faatkan informasi secara efektif dan etis. Dalam kurikulum sekolah dijelaskan bahwa tahapan pelaksa-naan literasi di sekolah mencakupi tahap pembiasaan, tahap pengem-bangan dan tahap pembelajaran. Tahap I (pembiasaan): penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca (Permendikbud 23/2015) tanpa tagihan. Tahap II (pengem-bangan): meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menangapi buku pengayaan; ada tagihan non-akademik. Tahap III (pembela-jaran): meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran; menggunakan buku pengayaan dan strategi membaca di semua mata pelajaran; ada tagihan akademik dan/atau nonakademik. Pembelajaran yang menerapkan strategi literasi penting untuk menumbuhkan pembaca yang baik dan kritis dalam bidang apapun. Berdasarkan beberapa sumber, dapat disarikan tujuh karakteristik pembe-lajaran yang menerapkan strategi

49TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 54: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

literasi yang dapat mengembangkan kemampuan metakognitif, yaitu pemantauan pemahaman teks (siswa merekam pemahamannya sebelum, ketika dan setelah membaca); penggunaan berbagai moda selama pembelajaran (literasi multimoda); instruksi yang jelas dan eksplisit; pemanfaatan alat bantu seperti pengatur grafis dan daftar cek; respon terhadap berbagai jenis pertanyaan; membuat pertanyaan; analisis, sin-tesis dan evaluasi teks; dan mering-kas isi teks. Menyimak karakteristik pembe-lajaran yang menerapkan strategi literasi, dapat disimpulkan bahwa strategi literasi dapat diterap-kan dalam pembelajaran kooperatif, berbasis teks, berbasis proyek, berbasis masalah, inquiry, discovery dan saintifik sesuai dengan karak-teristik mata pelajaran dan kompe-tensi yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut. Yang ingin dituju dengan muatan literasi di sekolah adalah terbentuk-nya masyarakat literat. Masyarakat yang literat tidak akan mempan disentuh hoax karena mereka memiliki kemampuan memilah dan memilih informasi yang diterima untuk ditindaklanjuti. Dengan mengunakan gaya Pramoedya Anan-ta Toer ketika memandang karya-karyanya sebagai anak rohani yang kehidupannya bermacam-macam (ada yang lahir langsung mati, dewasa baru mati, atau bahkan ada

yang mampu hidup selamanya); demikian halnya masyarakat literat dalam menghadapi informasi: ada yang tidak perlu dipikirkan, ada yang perlu ditindaklanjuti, ada yang harus dipelihara dan lain-lain. Masyarakat literat adalah masyarakat yang mampu menyikapi informasi yang diterima sebagaimana seharusnya. Pembelajaran bahasa akan mem-bawa anak-anak mampu memahami informasi dan pembelajaran sastra akan membawa anak-anak mampu merasakan informasi. Perpaduan kemampuan memahami dan merasa-kan informasi inilah yang nantinya akan membawa anak-anak mampu membedakan mana hoax dan mana yang bukan hoax. Literasi merupa-kan perpaduan antara pengajaran bahasa dan sastra yang didukung dengan kemampuan berpikir kritis siswa. Dengan adanya aspek literasi dalam pembelajaran Bahasa Indone-sia diharapkan akan mempercepat terwujudnya masyarakat literat. Jika kondisi ini tercapai maka hoax tidak perlu lagi ditakuti. Peran mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah membina dan mengembangkan kepercayaan diri peserta didik sebagai komunikator dan pemikir (termasuk pemikir imajinatif). Mata pelajaran Bahasa Indonesia menekankan agar peserta didik mampu mendengarkan, ber-bicara, memirsa (viewing), membaca dan menulis. Kemampuan membaca

Slamet Iswanto, Menangkal Hoax Melalui Penguatan Literasi50

Page 55: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

dan menulis sangat diperlukan untuk membangun sikap kriitis dan kreatif terhadap berbagai fenomena kehi-dupan yang mampu menumbuhkan kehalusan budi, kesetiakawanan dan sebagai bentuk upaya melestarikan budaya bangsa. Sikap kritis dan kreatif terhadap berbagai fenomena kehidupan dengan sendirinya me-nuntut kecakapan personal (personal skills) yang berfokus pada kecakapan berpikir rasional. Kecakapan berpikir rasional mengedepankan kecakapan menggali informasi dan menemukan informasi, serta bernalar dengan menghubung-hubungkan informasi ditemukan. Kecakapan menggali dan menemukan informasi menjadi keterampilan yang perlu dikuasai oleh para peserta didik. Keterampilan menemukan informasi ditunjukkan melalui kemampuan mengiden-tifikasi informasi yang dibutuhkan, kemampuan mengakses dan mene-mukan infromasi, kemampuan mengevaluasi informasi dan meman-faatkan informasi secara efektif dan etis. Pembelajaran yang menerapkan strategi literasi penting untuk menumbuhkan pembaca yang baik dan kritis dalam bidang apapun. Berdasarkan beberapa sumber, dapat disarikan tujuh karakteristik pembe-lajaran yang menerapkan strategi literasi yang dapat mengembangkan kemampuan metakognitif, yaitu pemantauan pemahaman teks (siswa merekam pemahamannya sebelum,

ketika dan setelah membaca); penggunaan berbagai moda selama pembelajaran (literasi multimoda); instruksi yang jelas dan eksplisit; pemanfaatan alat bantu seperti pengatur grafis dan daftar cek; respon terhadap berbagai jenis pertanyaan; membuat pertanyaan; analisis, sinte-sis dan evaluasi teks; dan meringkas isi teks. 3. Literasi di Kampus Agent of change adalah julukan yang disematkan kepada para pemuda bangsa ini. Melihat posisi pemuda yang sangat strategis, khususnya mahasiswa dengan daya nalar dan semangat yang tinggi, tak heran jika masyarakat menaruh harapan besar kepada mahasiswa sebagai agen perubahan. Perubahan seperti apa yang mampu mahasiswa perbuat untuk bangsa ini? Tentu saja, masyarakat mengharapkan perubah-an ke arah lebih baik di segala bidang dalam menjawab tantangan global. Indonesia membutuhkan pemikiran-pemikiran kritis para intelektual muda ini untuk bersaing di tingkat dunia. Sebagai ikon intelektual, maha-siswa diharapkan mampu menyam-paikan gagasan melalui proses kritik dan memiliki kredibilitas tinggi. Untuk mencapainya, mahasiswa perlu membudayakan literasi dalam kehidupannya, paling tidak dalam proses perkuliahan. Besnier menga-takan literasi adalah komunikasi inkripsi yang terbaca secara visual,

51TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 56: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat. Sedangkan intelektual, menurut Bottomore, diartikan seba-gai kelompok kecil yang secara langsung memberikan kontribusi kepada pengembangan, transmisi dan kritik gagasan-gagasan. Jadi, dapat dikatakan bahwa mahasiswa bertugas menyuarakan gagasan kritis tersebut serta menuangkannya de-ngan pena . Untuk bisa menjadi pemuda yang diharapkan tersebut, kaitannya dengan dunia literasi, seorang pemu-da, khususnya mahasiswa, haruslah memiliki kemampuan membaca yang baik. Secara teknis membaca dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu membaca dalam hati dan membaca nyaring. Membaca dalam hati bertujuan untuk mema-hami isi bacaan. Karena itulah jenis membaca ini sering disebut mem-baca pemahaman. Membaca nyaring atau membaca bersuara bertujuan untuk menginformasikan atau menyampaikan isi bacaan kepada orang lain. Karena itulah jenis membaca ini ser ing disebut membaca teknik. Dalam praktiknya membaca teknik harus didahului oleh membaca pemahaman. Tidak ada orang yang bisa membaca teknik dengan baik jika ia tidak memahami isi bacaan yang akan dibacakannya. Ada empat tingkatan pemahaman dalam membaca, yaitu tingkat pema-haman literal, tingkat pemahaman interpretatif, tingkat pemahaman

kritis dan tingkat pemahaman kreatif. Pada tingkat pemahaman literal kita hanya memahami hal-hal yang tersurat dalam bacaan. Hasil tingkat pemahaman ini antara lain kemam-puan mendeskripsikan fakta, menca-tat inti peristiwa dan menyusun fakta tersurat untuk menuju pemahaman komprehensif. Pada tingkat pema-haman interpretatif kita berusaha menarfsirkan sesuatu yang tersirat. Hasil pemahaman ini antara lain berupa kemampuan meramal atau memperkirakan dan mencari ide-ide baru dari hal-hal yang tersirat. Pada tingkat pemahaman kritis kita tidak hanya berusaha memahami bacaan tetapi juga menilainya. Adapun pada tingkat pemahaman kreatif kita dapat menghasilkan sesuatu yang baru dari sesuatu yang kita pahami. Membaca sebuah teks, dalam praktiknya tidak hanya berada pada satu tingkatan pemahaman, tetapi bisa berada pada beberapa tingkat pemahaman. Artinya, dalam berha-dapan dengan sebuah teks, tingkat pemahaman yang dituntut tidak hanya satu tingkat pemahaman, tetapi bisa beberapa tingkat pemaha-man. Tingkat pemahaman ini melekat pada kecepatan membaca. Artinya, kecepatan dalam membaca juga perlu diperhatikan agar keefek-tifan dalam membaca dapat tercapai. Di layar televisi, misalnya, pada film yang tidak dialihsuarakan, tertera teks dialog para tokoh. Sebagai penonton, kita harus mem-

Slamet Iswanto, Menangkal Hoax Melalui Penguatan Literasi52

Page 57: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

baca secara cepat karena teks tersebut cepat berlalu dan berganti dengan teks dialog lainnya. Dengan melaku-kan aktivitas seperti itu, kita sesung-guhnya telah melakukan membaca pemahaman secara cepat. Hasil membaca seperti ini dinama-kan kecepatan efektif membaca (KEM). Di sini kita tidak sekadar membaca kata dan kalimat dalam teks yang ditampilkan, tetapi juga memahami isi atau makna teks tersebut. Selain itu, kita juga mencoba menghubung-hubungkan dialog para tokoh sehing-ga pemahaman isi cerita dapat kita capai. Di sini tampak bahwa tingkat pemahaman terhadap teks dialog tersebut bermacam-macam, mulai dari tingkat pemahaman literal sampai tingkat pemahaman kritis. Proses membaca menyertakan berbagai perilaku di dalamnya, sehingga membaca sering dikateg-orikan sebagai kegiatan yang sangat kompleks. Di dalam kegiatan mem-baca dituntut kemampuan-kemam-puan dalam berbagai aspek, yaitu (1) aspek sensori (sensory aspect), yaitu kita harus mampu melihat simbol-simbol yang berupa tulisan; (2) aspek persepsi (perceptual aspect), yaitu interpretasi dari apa yang dilihat sebagai symbol; (3) aspek urutan (sequential aspect), yaitu kemam-puan untuk mengikuti pola-pola linier, logika dan gramatikal kata-kata yang tertulis; (4) aspek asosiasi (associational aspect), yaitu kemam-puan mengenali hubungan antara

simbol dan suara, antara kata dan apa yang diwakili; (5) aspek pengalaman (experiential aspect), yakni penga-laman yang dimiliki yang memiliki peran dalam proses membaca; (6) aspek belajar (learning aspect), yaitu kemampuan meng-ingat apa yang telah dipelajari dan menggabungkan dengan gagasan atau fakta baru; (7) aspek berpikir (thinking aspect), yaitu kemampuan membuat simpul-an dan melakukan penilaian; dan (8) aspek afektif (affective aspect), yaitu minat atau motivasi pribadi dan sikap-sikap yang dapat memengaruhi tugas membaca. Selain adanya berbagai aspek yang terkait, membaca pemahaman juga menuntut berbagai syarat. Kita dapat melakukan membaca pemaha-man secara cepat dan benar jika kita memiliki kosakata yang banyak; memiliki kemampuan menafsirkan makna kata, frasa, kalimat dan waca-na; memiliki kemampuan menang-kap ide pokok dan ide penunjang; memiliki kemampuan menangkap garis besar dan rincian; dan memiliki kemampuan menangkap urutan peristiwa dalam bacaan. Syarat-syarat ini hanya bisa diperoleh melalui pelatihan secara terus-menerus dan dengan cara yang benar. Membaca dalam konteks ini merupakan literasi yang bersifat reseptif. Untuk menjadi agen peru-bahan seorang mahasiswa juga dituntut berliterasi secara produtif, salah satunya melalui tulisan. Oleh

53TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 58: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

karena itu, seorang pemuda, khusus-nya mahasiswa, juga harus memiliki kemampuan menulis yang bak. Menulis adalah mengemukakan pikiran, perasaan, pengalaman dan hasil bacaan dalam bentuk tulisan, bukan dalam bentuk tutur (Djibran 2008:17). Menurut Sofyan (2006:62) proses kreatif dalam menulis yang paling pokok adalah menghasilkan ide yang baik dan cemerlang. Baik untuk isi tulisan ataupun cara penuturan tulisan. Syarat utama melakukan proses kreatif adalah dengan memahami masalah secara mendalam. Tentu hal ini bisa dilaku-kan dengan cara terus menerus menambah wawasan dan penga-laman. Menulis merupakan suatu aktivitas komunikasi bahasa yang menggunakan tulisan sebagai mediumnya. Tulisan itu terdiri atas rangkaian huruf yang bermakna dengan segala kelengkapan lambang tulisan seperti ejaan dan pungtuasi (Pardiyati 2002:17). Menurut Akhadiah (1997:1-3), menulis sebagai salah satu bentuk komuni-kasi verbal (bahasa). Menulis merupakan sebuah sistem komuni-kasi antar manusia yang meng-gunakan simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati pemakainya. Dalam komunikasi tertulis, paling tidak terdapat empat unsur yang terlibat. Keempat unsur itu adalah penulis sebagai penyampai pesan, pesan atau isi tulisan, saluran atau medium tulisan dan pembaca

sebagai penerima pesan. Dapat dikatakan di sini bahwa menulis itu penting dan besar kegunaannya bagi kehidupan seseo-rang. Dari kegiatan menulis itu, dapat dijumpai bermacam-macam manfaat menulis antara lain; (1) menulis menyumbang kecerdasan, (2) menu-lis mengembangkan daya inisiatif dan kreatifitas, (3) menulis menum-buhkan keberanian, (4) menulis mendorong kemauan dan kemam-puan mengumpulkan informasi (Akhadiah dalam Pardiyati 2002:18). Jadi dapat disimpulkan bahwa menulis adalah suatu kegiatan untuk menyampaikan gagasan, pikiran, perasaan kepada orang lain dalam bentuk wacana (Faristiyanto 2008: 25). Begitu besar manfaat menulis bagi pengembangan diri, baik intelektual, mental ataupun sosial. Meskipun begitu, ternyata tidak banyak orang yang suka menulis. Banyak faktor penyebabnya antara lain; 1) seseorang enggan menulis karena tidak tahu untuk apa dia menulis, 2) seseorang enggan menu-lis karena merasa tidak berbakat menulis, 3) seseorang enggan menulis karena merasa tidak tahu bagaimana harus menulis (Pardiyati 2002:18). Dalam kaitannya dengan literasi, mau tidak mau seorang mahasiswa dituntut untuk selalu menulis. Kemampuan membaca dan me-nulis merupakan tuntutan bagi

Slamet Iswanto, Menangkal Hoax Melalui Penguatan Literasi54

Page 59: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

mahasiswa atau pemuda pada umum-nya. Oleh karena itu, proses perku-liahan di kampus harus diciptakan sedemikian rupa sehingga literasi dana tumbuh menjadi kuat; salah satunya dengan cara mencipta-kan iklim agar mahasiswa tidak henti-hentinya selalu membaca dan menulis. Kampus harus dipola yang memudahkan bagi mahasiswa untuk membaca dan menulis, berdiskusi, berdialog dan beraktivitas lain yang mendukung gerakan literasi. Penciptaan iklim literai di Akade-mi Kepolisian dapat dilakukan melalui pengajaran, pelatihan dan pengasuhan. a. Melalui Pengajaran Pengajaran adalah proses interak-si antara pendidik dan peserta didik yang dilakukan secara sisitematik dengan tujuan menciptakan situasi yang membuat peserta didik mau belajar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Depdiknas 2008:23) pengajaran diartikan sebagai (1) proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan, (2) perihal mengajar dan (3) peringatan. Atas dasar definisi tersebut kita bisa melihat bahwa dalam konsep pengajaran titik berat sudut pandang terletak pada aspek pendidik. Pendidik dalam konsep ini menjadi titik sentral yang akan menentukan berjalannya proses yang dikehen-daki. Simpulan ini didasarkan pada pembentuk kata pengajaran adalah kata mengajar. Makna kata mengajar

memang lebih menekankan pada pentingnya peran pengajar (guru, dosen, pendidik, pelatih). Peserta didik dalam hal ini "hanya" berfungsi sebagai objek yang melengkapi pendidik untuk mewujudkan proses belajar-mengajar. Mengacu pada definisi pengajaran tersebut, kita pun bisa mengidentifikasi ciri pengajar-an, yaitu (1) adanya unsur pendidik dan peserta didik, (2) merupakan interaksi antara pendidik dan peserta didik atau antarpeserta didik, (3) merupakan proses yang direncana-kan dan (4) memiliki tujuan tertentu. Seperti yang sudah disampaikan di atas, paradigma pengajaran memang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didik. Oleh karena itu, dalam konsep pendidikan dewasa ini, istilah penga-jaran telah bergeser pada istilah pembelajaran. Paradigma pembela-jaran memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreati-vitas dirinya dalam rangka memben-tuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mu-lia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keteram-pilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Kata pembelajaran dibentuk oleh kata belajar. Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu (Depdiknas 2008:23). Itu sebabnya,

55TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 60: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

sudut pandang pembelajaran berada pada peserta didik, bukan pada pendidik. Dalam pengajaran berbagai mata kuliah di perguruan tinggi pastilah tuntutan membaca dan menulis tidak pernah berhenti. Oleh karena itu, secara langsung maupun secara tidak langsung proses pengajaran pastilah ikut menguatkan literasi mahasiswa. b. Melalui Pelatihan Pelatihan merupakan hasil mela-tih. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas 2008:794) melatih berarti mengajar seseorang agar terbiasa (mampu) melakukan sesuatu atau agar seseorang mem-biasakan diri melakukan sesuatu. Atas dasar definisi melatih tersebut pelatihan dapat diartikan sebagai se-buah proses yang diharapkan mampu mengubah seseorang menjadi mam-pu melakukan sesuatu (Depdiknas 2008:794). Kata melakukan dalam pengertian ini lebih mengacu kepada keterampilan. Oleh karena itu, jika proses pendidikan pada akhirnya berkeinginan mengubah sisi kognitif, afektif dan psikomotor seseorang; pelatihan pada prinsipnya lebih mengutamakan psikomotor seseo-rang. Dalam Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 pelatihan dirumuskan sebagai bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendi-dikan yang berlaku, dalam waktu yang relatif singkat dan dengan

menggunakan metode yang lebih mengutamakan praktik dari-pada teori. Keterampilan berkaitan dengan kemampuan melakukan sesuatu. Penerapan pelatihan di Akpol dalam konteks ini juga demikian, yakni sebuah proses yang dilakukan oleh lembaga agar para taruna memiliki kemampuan untuk melakukan sesua-tu. Sebagai pendidikan kedinasan Akpol berkewajiban untuk membe-kali taruna agar nantinya mampu melakukan tugas sesuai dengan kewajibannya dengan baik. Kemam-puan itu tidak akan muncul secara tiba-tiba. Kemampuan itu membu-tuhkan proses yang lama dalam bentuk pelatihan. Akhir pelatihan adalah terbentuknya kebiasaan sese-orang untuk melakukan sesuatu. Budaya literasi yang sesuai untuk ditumbuhkan dalam pelatihan adalah membaca dan berdiskusi. Membaca dalam konteks ini berkaitan dengan cara memahami instrukri yang harus dilakukan oleh taruna. Berbagai eterampilan tentu memiliki pedoman atau petunjuk secara tertulis. Pema-haman terhadap pedoman, panduan, atau petunjuk tersebut merupakan wujud konkret literasi. Demikian juga jika dilanjutkan dengan diskusi, memperbincangkan petunjuk atau pedoman yang ada untuk diimple-mentasikan dalam praktik; merupa-kan penumbuhan budaya literasi yag baik. c. Melalui Pengasuhan

Slamet Iswanto, Menangkal Hoax Melalui Penguatan Literasi56

Page 61: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Mengasuh berarti membimbing (membantu dan melatih) orang supaya dapat berdiri sendiri (Dep-diknas 2008:96). Atas dasar definisi mengasuh itu, pengasuhan dapat diartikan sebagai proses atau cara mengasuh. Dengan demikian, tujuan akhir pengasuhan adalah seeorang itu menjadi mampu berdiri sendiri. Dalam dunia pendidikan, tujuan pengasuhan adalah menjadikan pe-serta didik mampu berdiri sendiri, dalam arti siap melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Pengertian konsep siap dalam konteks ini tidak semata-mata ber-kaitan dengan pengetahuan dan keterampilan, tetapi ini yang terpen-ting siap berkaitan dengan mental. Kesiapan mental itulah yang menja-dikan seseorang mampu berdiri sendiri dalam pengertian yang sebenarnya. Dalam dunia keluarga, penga-suhan berkaitan dengan hubungan antara orang tua dan anak. Orang tua berposisi sebagai pengasuh dan anak berposisi sebagai pihak yang diasuh. Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara orang tua dan anak yang biasanya ditandai oleh aktivitas pendisiplinan, kehangatan, kasih sayang dan tuntutan yang didasarkan pada konvensi yang diberlakukan di rumah. Menurut Frank dan Ching-man (2001:16) pola asuh sangat menentukan partisipasi orang tua. Pola asuh yang diterapkan orang tua akan menentukan prestasi seorang

anak. Karena itu, pola asuh selalu mengandung dua unsur penting, yaitu tanggapan atau kehangatan dan tuntutan orang tua. Tanggapan atau kehangatan orang tua mengacu pada keseriusan orang tua mendorong individualitas, pengendalian diri, kepercayaan diri untuk supportive dan kesediaannya terhadap kebutuh-an dan tuntutan-tuntutan khusus anak. Tuntutan orang tua atau pengendalian perilaku anak mengacu pada klaim orang tua menjadikan anak sebagai bagian integral kese-luruhan keluarga melalui tuntutan kematangan, pengawasan, pendisi-plinan dan keinginan untuk melawan anak yang menentang atau tidak mematuhinya (Baumrind dalam Darling 1999:1). Oleh karena pengasuhan di Akpol lebih banyak dilakukan di asrama, penumbuhan budaya literasi dapat dilakukan dengan memberikan fasili-tas asrama yang memungkinkan taru-na membaca, menulis dan berdiskusi. Peranan perpustakaan menjadi penting dalam konteks ini. Melalui perpustakaan taruna dapat membaca buku-buku di luar buku ajar. Taruna dapat membaca fiksi yang berfungsi untuk mengasah kepekaan hatinya. Taruna juga dapat membaca majalah, koran, atau berselancar di dunia maya untuk memperluas pengetahu-an dan wawasannya. 4. Penguatan Literasi di Masyarakat Sejak September 2015, sekelom-pok orang sudah mengambil inisiatif

57TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 62: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

untuk mendirikan sebuah forum facebook yang digunakan untuk menangkal hoax. Dalam waktu setahun, forum yang menamakan dirinya Anti-Fitnah, Hasut dan Hoax itu bisa mendapat 25. 000 lebih anggota, kata salah satu administra-tornya, Eko Juniarto. Mengapa harus menggunakan forum facebook? Eko Juniarto menjelaskan bahwa keba-nyakan sumber hoax itu sendiri juga dari facebook. Selain itu, jika orang harus membuat mailing list, grup di WhatsApp atau telegram; orang cenderung malas. Hal ini berbeda dengan grup di facebook. Orang jauh lebih mudah membuka facebook. Awalnya, yang diunggah di forum tersebut "seharusnya" sudah meru-pakan hasil analisis yang membong-kar hoax atau berita bohong tersebut; sumbernya dari mana, kemudian data-data yang membantah hoax ter-sebut. Namun, sekarang sudah mulai bertambah member (anggota). Keba-nyakan hoax yang dihadapi oleh para administrator forum tersebut berkait-an dengan unsur SARA dan etnik Tionghoa. Meskipun begitu, terlepas dari berbagai upaya membongkar atau mengoreksi berita palsu, ada hal yang mendasar, yang seharusnya disadari oleh setiap pengguna internet serta media sosial, kata pengamat hukum kejahatan siber dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edmon Maka-

rim. Dalam menghadapi suatu sistem yang terbuka, (pengguna) seakan-akan jadi kebebasan tak berbatas, apalagi jika dia bisa menggunakan nama yang tidak jelas, anonim, sehingga dia merasa kebebasan mutlak tidak ada pertanggungjawab-an. Yang tercakup dalam 'pem-batasan' kebebasan tersebut, selain HAM orang lain, juga reputasi dan privasi orang lain tersebut, selain juga kepentingan umum seperti kesehatan umum, moral publik dan keamanan nasional .

D. PENUTUP Inti literasi adalah masyarakat mampu memahami, memilih dan menindaklanjuti informasi yang diperoleh. Jika berhadapan dengan informasi baru, masyarakat literat akan memahaminya secara bnar lebih dahulu; kemudian memilih mana yang perlu dan mana yang tidak perlu; baru kemudian ditindaklanjuti, mana yang harus disimpan, mana yang harus diteruskan kepada orang lain dan mana yang harus disanggah atau dikomentari. Jika masyarakat sudah menjadi masyarakat literat seperti ini, maka berita bohong (hoax) tidak akan memengaruhi ma-syarakat. Masyarakat telah memi-liki alat penyaring (filter) tersendiri sehingga hanya informasi yang benar dan perlu saja yang akan diterima oleh masyarakat.

Slamet Iswanto, Menangkal Hoax Melalui Penguatan Literasi58

Page 63: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

59TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

DAFTAR PUSTAKA

Akhadiyah, Sabarti dkk. 1997. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Beals, R. 1953. "Acculturation", dalam Anthropology Today: An Encylopedic Inventory (Ed. A. L. Kroeber). Chicago: The University of Chicago Press.

Brooks, J. B. . 2001. Parenting. Chapter 1 dan Chapter 2. Mayfield Publish Company.

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia.

Djibran, Fahd. 2008. Writing Is Amazing. Yogyakarta : JuxtaposeGeertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa

(terjemahan Aswab Mahasin). Jakarta: Pustaka Jaya. Geertz, Clifford. 1992a. Tafsir Kebudayaan (terjemahan Francisco Budi

Hardiman). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Geertz, Clifford. 1992b. Kebudayaan dan Agama (terjemahan Francisco Budi

Hardiman). Yogyakarta: Penerbit Kanisus. Hutomo, Suripan Sadi. 2001. Sinkretisme Jawa-Islam. Yogyakarta: Yayasan

Bentang Budaya. Ihromi, T. O. 1981. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. Kaplan, David dan Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya (terjemahan

Landung Simatupang). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Cetekan II. Jakarta: UIKoentjaraningrat (Ed. ). 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.

Jakarta: Djambatan. Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi

Simbolik terhadap Kemiskinan. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia. Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer Suatu

pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana. Zeffry. 1998. Manusia, Mitos dan Mitologi. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

Page 64: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

TRANSFORMASI KOMPETENSI ABAD KE-21 SEBAGAI KURIKULUM TERSEMBUNYI PADA LEMBAGA

PENDIDIKAN KEPOLISIAN

1Oleh: Suparyono

ABSTRAKAkpol sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi harus fleksibel dalam mengembangkan kurikulum. Fleksibilitas pengembangan kurikulum ditandai dengan mudahnya menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Bekal yang harus dikuasai oleh Lulusan Akpol saat ini tidak cukup untuk menghadapi tantangan hidup dan kehidupan pada Abad ke-21. Pada Abad ke-21, tuntutan pekerjaan dan permasalahan sosial kemasyarakatan akan sangat berbeda oleh karena itu, Akpol perlu mengakomodasi kompetensi Abad ke-21 dalam kurikulumnya. Hal ini bukan berarti setiap saat harus ada perombakan kurikulum. Materi dan keterampilan yang disajikan dalam kurikulum boleh tetap tetapi orientasaai dan cara belajar dapat mengakomodasikan kompetensi Abad ke-21. Oleh karena itu, transformasi kompetensi abad ke-21 perlu dilakukan sebagai kurikulum tersembunyi di Lembaga Pendidikan Kepolisian sebagai upaya menghadapi tantangan Abad ke-21.

Kata kunci: transformasi, kompetensi abad ke-21, kurikulum tersembunyi, lemdikpol

A. PENDAHULUAN1. Pengantar Kurikulum merupakan salah satu bagian penting dalam proses penye-lenggaraan pendidikan. Karena pen-didikan tanpa adanya kurikulum yang baik tidak akan terselenggara dengan baik pula. Maka dari itu kuri-kulum dalam kegiatan belajar meng-ajar sangat penting, tidak terkecuali dalam pendidikan tinggi, termasuk Lembaga Pendidikan Kepolisian seperti Akpol. Kurikulum dalam pendidikan Tinggi merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, tujuan tersebut seperti yang tercantum pada visi dan misi pendidikan tinggi, hal tersebut sekaligus digunakan sebagai pedo-man dalam pelaksanaan proses belajar mengajar dalam suatu

lembaga pendidikan. Sebagai sebuah perguruan tinggi, Akpol perlu mengakomodasi fleksi-bilitas kurikulum. Artinya, pengem-bangan dan pelaksanaan kurikulum di Akpol perlu fleksibal dan komo-datif terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. Hal ini karena, sebagus apa pun sebuah kurikulum perguruan tinggi secara konten akan selalu ketinggalan zaman. Perkem-bangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan jauh meninggalkan rumusan kurikulum yang berlaku di perguruan tinggi. Selain itu, maha-siswa juga tidak akan cukup bila hanya menguasai pengetahuan dan keterampilan yang ditawarkan dalam sebuah kurikulum yang harus ditem-puh di lembaga pendidikannya. Materi yang mereka pelajari akan

Page 65: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

61TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

selalu tertinggal oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum Akpol sebagai kuri-kulum pendidikan tinggi dapat dikembangkan oleh institusi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Kurikulum yang baik itu penting tetapi cara pandang sumber daya manusianya juga penting, karena keberhasilan suatu kurikulum dapat terjadi jika sumber daya manusianya juga dalam keada-an siap menerima segala apa yang akan diberikan. Oleh karena itu, sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif diperlukan untuk mengolah kurikulum yang nota bene sebagai benda mati atau alat yang sangat memerlukan sentuhan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif. Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Pasal 97 menyatakan bahwa kurikulum perguruan tinggi dikembangkan dan dilaksanakan berbasis kompetensi (KBK). Pernya-taan ini telah menegaskan kembali Kepmendiknas No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, serta No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Selain itu, kurikulum perguruan tinggi juga harus memenuhi kuali-fikasi terhadap lulusan perguruan tinggi di Indonesia sesuai Perpres No. 08 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

(KKNI) dan Lampirannya yang menjadi acuan dalam penyusunan capaian pembe-lajaran lulusan dari setiap jenjang pendidikan secara nasional. Terbitn-ya Perpres No. 08 tahun 2012 dan UU PT No. 12 Tahun 2012 Pasal 29 ayat (1), (2) dan (3) telah berdampak pada kurikulum dan pengelolaannya di setiap program. Kurikulum yang pada awalnya m e n g a c u p a d a p e n c a - p a i a n kompetensi menjadi mengacu pada capaian pembelajaran (learning outcomes). Berdasarkan penjenjangan KK-NI dapat diketahui bahwa Program Sarjana (S1) dan Sarjana Terapan (D4) masuk dalam jenjang 6. Akpol sebagai lembaga pendidikan kedi-nasan berjenjang D4, harus memper-siapkan lulusannya untuk memiliki kualifikasi berdasarkan KKNI sebagai berikut: (1) Mampu meng-aplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi. (2) Menguasai konsep teoretis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural. (3) Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data dan mampu memberikan

Page 66: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

62

petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok. (4) Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas penca-paian hasil kerja organisasi. Dengan adanya KKNI ini diha-rapkan akan mengubah cara melihat kompetensi seseorang, tidak lagi hanya melihat ijazah tapi dengan juga melihat kepada kerangka kualifikasi yang disepakati secara nasional sebagai dasar pengakuan terhadap hasil pendidikan seseorang secara luas (formal, non formal, atau in formal) yang akuntanbel dan transpa-ran. Pelaksanaan KKNI melalui 8 tahapan yaitu melalui penetapan Profil Kelulusan, Merumuskan Learning Outcomes, Merumuskan Kompetensi Bahan Kajian, Pemetaan LO Bahan Kajian, Pengemasan Matakuliah, Penyusunan Kerangka kurikulum, Penyusuan Rencana Perkuliahan. Hal yang menjadi kunci kuriku-lum perguruan tinggi yang mengacu pada KKNI adalah capaian pembe-lajaran. Capaian Pembelajaran (learning outcomes) merupakan internalisasi dan akumulasi ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap dan kompetensi yang dicapai melalui proses pendidikan yang terstruktur dan mencakup suatu bidang ilmu/ keahlian tertentu atau melalui peng-alaman kerja. Untuk meningkatkan kualitas lulusan perguruaan tinggi. rambu-rambu yang harus dipenuhi di

tiap jenjang perlu dapat membedakan learning outcomes, jumlah sks, waktu studi minimum, mata kuliah wajib untuk mencapai hasi l pembelajaran dengan kompetensi umum, proses pembe-lajaran yang b e r p u s a t p a d a m a h a s i s - w a , akuntabilitas asesmen dan perlu-nya d i p l o m a s u p p l e m e n t ( s u r a t keterangan pelengkap ijazah dan transkrip). Untuk melengkapi kualitas lear-ning outcomes, perlu diperhatikan pencapaian dampak pengiring pem-belajaran yang sering dikenal dengan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Lulusan perguruan tinggi saat ini tidak akan mampu menghadapi tuntutan pekerjaan dan permasalahan mapa masa yang akan datang. Apa yang saat ini dipelajari akan jauh berbeda dengan apa yang akan dihadapi pada masa yang akan datang. Jenis pekerjaan, jenis tan-tangan, jenis teknologi yang akan dihadapi pada masa depan akan berbeda dengan jenis pekerjaan, tantangan dan teknologi yang ada saat ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan transformasi pendidikan, khususnya mentransformasikan kompetensi Abad ke-21 dalam kurikulum-kurikulum yang saat ini sedang dijalankan. Wujud transfor-masi tersebut adalah menjadikan kompetensi Abad ke-21 sebagai bagian dari kurikulum yang saat ini berlaku, yaitu sebagai kurikulum tersembunyai (hidden curriculum).

Suparyono, M. , Transformasi Kompetensi Abad Ke-21. . .

Page 67: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

63TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Oleh karena itu, setiap mahasiswa, termasuk taruna Akpol perlu diberi bekal lebih dari sekadar apa yang dirumuskan dalam kurikulum riil tetapi perlu dibekali dengan berbagai kompetensi yang diperlukan untuk hidup dan menghadapi tantangan Abad ke-21.

B. PEMBAHASAN1. Kurikulum Pendidikan Tinggi Menurut Arifin kurikulum secara epistemologi adalah berasal dari Bahasa Yunani yaitu curir yang arti-nya "pelari" dan curere yang berarti "tempat berpacu". Istilah kurikulum berasal dari dunia olahraga, terutama pada bidang atletik pada zaman Romawi Kuno di Yunani. Adapun dalam bahasa Perancis, istilah kuri-kulum berasal dari kata Courier yang berarti berlari. Berarti kurikulum adalah suatu jarak yang harus ditempuh untuk memperoleh medali atau penghargaan. Jarak yang harus ditempuh tersebut kemudian diubah menjadi program pendidikan. Pro-gram tersebut berisi mata kuliah yang harus ditempuh Mahasiswa selama kurun waktu tertentu (Arifin, 2012: 5-6). Secara terminologi istilah kurikulum adalah sejumlah mata kuliah yang harus ditempuh atau diselesaikan peserta didik di lembaga pendidikan untuk memperoleh ijazah. Muhaimin (2010: 1-3) menye-butkan bahwa kurikulum lebih mene-kankan pada isi mata kuliah, dalam

arti sejumlah mata kuliah di pergu-ruan tinggi yang harus ditempuh untuk mendapatkan tingkat atau semua pengalaman yang ditawarkan kepada mahasiswa di bawah bantuan atau bimbingan perguruan tinggi, pengalaman tersebut terjadi di perguruan tinggi ataupun di luar seperti rumah ataupun masyarakat. Termasuk di dalamnya berbagai upa-ya dosen dalam mendorong terjadi-nya pengalaman tersebut serta fasilitas yang mendukungnya. Landasan pengembangan kuri-kulum pada hakikatnya merupakan faktor-faktor yang harus dipertim-bangkan pada waktu mnegembang-kan suatu kurikulum (Hemawan, 2010: 2-3). Adapun landasan pengembangan kurikulum pendidikan tinggi itu terdapat empat landasan, yaitu landasan filosofis, psikologis, sosio-logis dan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata "philos" dan "shopia". Philos artinya cinta yang mendalam dan shopia adalah kearif-an atau kebijaksanaan. dengan demikian secara harfiah dapat diarti-kan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Sebagia suatu landas-an fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses pe-ngembangan kurikulum. Filsafat dapat menentukan ke arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan hidup atau value system,

Page 68: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

maka dapat ditentukan mau dibawa kemana mahasiswa dalam sebuah perguruan tinggi (Arif, 2009). Kurikulum pendidikan tinggi haruslah dikembangkan berdasarkan latar belakang psikologis peserta didik dan keseluruhan lingkungan-nya, agar pengalaman belajar yang diperoleh mempunyai makna dan tujuan (Syaiful, 2009). Dalam mengembangkan iklim perkuliahan maka dalam mata kuliah harus sesuai dengan psikologisnya. Penyusunan kurikulum hendaknya terdiri dari unit-unit yang luas menyeluruh, serta memadukan pola pengalaman yang bermakna dan bertujuan. Dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kurikulum diberikan serangkaian pengalaman, yang melibatkan dosen dan mahasiswa secara bersama, sehingga diharapkan akan mendo-rong keberhasilan belajar mahasis-wa. Berbicara mengenai landasan sosiologis sebuah kurikulum, sedikit banyak bersinggungan dengan kea-daan sosial, masyarakat dan budaya. Karena faktanya, budaya tidak bisa dilepaskan dari aspek sosial kema-syarakatan. Budaya merupakan hasil dari interaksi sosial yang terjadi melalui ide-ide yang muncul dari sebuah komunitas manusia. Para pengembang kurikulum itu sendiri memiliki tugas untuk mempelajari dan memahami kebutuhan masyara-kat. Adapun apabila kita menghu-bungkan dengan sosiologi dan kuri-

kulum maka, peran sosiologi dengan kurikulum itu sendiri, dengan tujuan agar siswa atau masyarakat dapat bersosialisasi lebih luas untuk mendapatkan pengaruh tekanan masyarakat terhadap pendidikan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam landasan pengembangan kurikulum harus mengikuti salah satu prinsip yakni relevansi maksud-nya pengalaman belajar yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Relevansi terbagi menjadi dua, yaitu: a. Relevansi internal: setiap kuri- kulum harus memiliki keserasian antara komponen-kompo-nennya. b. Relevansi eksternal: relevan dengan perkembangan zaman, relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan, perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia, sehingga dunia pekerjaan membutuhkan lulusan yang banyak mengetahui IPTEK. 2. Kompetensi Abad ke-21 Berkaitan dengan kompetensi abad ke-21 perlu diperhatikan hasil penelitian Trilling dan Fadel (2009) yang menunjukkan bahwa tamatan pendidikan tinggi masih kurang kompeten dalam hal: (1) komunikasi oral maupun tertulis, (2) berpikir kritis dan mengatasi masalah, (3) etika bekerja dan profesionalisme, (4) bekerja secara tim dan berkola-borasi, (5) bekerja di dalam kelom-pok yang berbeda, (6) menggunakan

64 Suparyono, M. , Transformasi Kompetensi Abad Ke-21. . .

Page 69: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

teknologi dan (7) manajemen projek dan kepemimpinan. Hal ini diperkuat dengan survai yang dilakukan oleh ASEAN Business Outlook Survey ta-hun 2014 yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tenaga kerja dengan keahlian rendah dan murah. Pekerjaan di abad 21 bersifat lebih internasional, multikultural dan saling berhubungan. Pada abad terakhir ini telah terjadi pergeseran yang signifikan dari layanan manu-faktur kepada layanan yang mene-kankan pada informasi dan pengeta-huan (Alwasilah, 1994). Pengetahu-an itu sendiri tumbuh dan meluas secara eksponensial. Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah cara belajar, sifat pekerja-an yang dapat dilakukan dan makna hubungan sosial. Pengambilan kepu-tusan bersama, berbagi informasi, berkolaborasi, berinovasi dan kece-patan bekerja menjadi aspek yang sangat penting pada saat ini. Siswa diharapkan tidak lagi berfokus untuk berhasil dalam melakukan peker-jaan-pekerjaan manual atau pekerja-an rutin berbantuan mesin ataupun juga pekerjaan yang mengandalkan pasar tenaga kerja murah. Saat ini, indikator keberhasilan lebih didasar-kan pada kemampuan untuk berko-munikasi, berbagi dan menggunakan informasi untuk memecahkan masa-lah yang kompleks, dapat beradaptasi dan berinovasi dalam menanggapi tuntutan baru dan mengubah keadaan dan memperluas kekuatan teknologi

untuk menciptakan pengetahuan baru. Wagner (2010) dan Change Lea-dership Group dari Universitas Harvard mengidentifikasi kompe-tensi dan keterampilan bertahan hidup yang diperlukan oleh siswa dalam menghadapi kehidupan, dunia kerja dan kewarganegaraan di abad ke-21 ditekankan pada tujuh (7) keterampilan berikut: (1) kemam-puan berpikir kritis dan pemecahan masalah, (2) kolaborasi dan kepe-mimpinan, (3) ketangkasan dan kemampuan beradaptasi, (4) inisiatif dan berjiwa entrepeneur, (5) mampu berkomunikasi efektif baik secara oral maupun tertulis, (6) mampu mengakses dan menganalisis infor-masi dan (7) memiliki rasa ingin tahu dan imajinasi. US-based Apollo Education Group mengidentifikasi sepuluh (10) keterampilan yang diperlukan oleh siswa untuk bekerja di abad ke-21, yaitu keterampilan berpikir kritis, komunikasi, kepemimpinan, kolabo-rasi, kemampuan beradaptasi, pro-duktivitas dan akuntabilitas, inovasi, kewarganegaraan global, kemampu-an dan jiwa entrepre-neurship, serta kemampuan untuk mengakses, menganalisis dan mensintesis infor-masi (Barry, 2012). Berkaitan dengan keterampilan Abad ke-21, Delors Report (1996) dari International Commission on Education for the Twenty-first Century, mengajukan empat visi

65TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 70: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

pembelajaran yaitu pengetahuan, pemahaman, kompetensi untuk hidup dan kompetensi untuk bertin-dak. Selain visi tersebut juga diru-muskan empat prinsip yang dikenal sebagai empat pilar pendidikan yaitu learning to know, lerning to do, learning to be dan learning to live together. Kerangka pemikiran ini dirasa masih relevan dengan kepen-tingan pendidikan saat ini dan dapat dikembangkan sesuai dengan keper-luan di abad ke-21. Pada bagian berikut dijelaskan sekilas tentang kompetensi dan keterampilan sesuai empat pilar pendidikan Abad ke-21 yang terdapat pada Delors Report. Learning to know adalah belajar mengetahui. Hal ini merupakan kegiatan untuk memperoleh, mem-perdalam dan memanfaatkan materi pengetahuan. Penguasaan materi merupakan salah satu hal penting bagi siswa di abad ke-21. Siswa juga harus memiliki kemauan untuk belajar sepanjang hayat. Siswa harus siap untuk selalu belajar ketika menghadapi situasi baru yang memerlukan keterampilan baru. Learning to do adalah kemam-puan untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi dalam masyarakat yang berkembang sangat cepat. Setiap individu perlu belajar berkarya. Siswa maupun orang dewasa sama-sama memerlukan pengetahuan akademik dan terapan, dapat meng-hubungkan pengetahuan dan kete-

rampilan, kreatif dan adaptif, serta mampu mentrasformasikan semua aspek tersebut ke dalam keteram-pilan yang berharga. Learning to be adalah kemam-puan menanggapi kegagalan serta konflik dan krisis, serta siap menghadapi dan mengatasi masalah sulit di abad ke-21. Secara khusus, generasi muda harus mampu bekerja dan belajar bersama dengan beragam kelompok dalam berbagai jenis pekerjaan dan lingkungan sosial dan mampu beradaptasi dengan perubah-an zaman. Keterampilan sosial dan lintas budaya penting dalam mewu-judkan kesuksesan di sekolah maupun kehidupan. Keterampilan ini memungkinkan individu untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain, bekerja secara efektif dalam sebuah tim yang memiliki anggota beragam, berpikiran terbuka terhadap ide-ide dan nilai-nilai yang berbeda dan menggunakan perbeda-an sosial dan budaya untuk meng-hasilkan ide-ide, inovasi dan kualitas kerja yang lebih baik. Kemampuan berempati juga termasuk keteram-pilan sosial yang diharapkan tumbuh di kehidupan abad ke-21. Anak-anak pada umumnya memperoleh kete-rampilan sosial yang positif melalui interaksi sehari-hari dengan orang dewasa dan teman sebaya mereka. Namun, guru dan orang tua harus memperkuat pembelajaran ini dengan teladan secara langsung. Learning to live together

66 Suparyono, M. , Transformasi Kompetensi Abad Ke-21. . .

Page 71: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

menunjukkan bahwa siswa yang bekerja secara kooperatif dapat mencapai level kemampuan yang lebih tinggi jika ditinjau dari hasil pemikiran dan kemampuan untuk menyimpan informasi dalam jangka waktu yang panjang dari pada siswa yang bekerja secara individu. Belajar bersama akan memberikan kesem-patan bagi siswa untuk terlibat aktif dalam diskusi, senantiasa memantau strategi dan pencapaian belajar mereka dan menjadi pemikir kritis. Keterampilan bekerja dalam sebuah tim melibatkan rasa hormat dan menghargai permasalahan orang lain dan budaya yang berbeda dari budaya mereka, sehingga mereka akan memperoleh keterampilan sosial dan lintas budaya. Hal ini juga akan membangun kesadaran dan pengeta-huan tentang perbedaan yang ada di antara individu dan masyarakat. Hasil survei Conference Board (2006) menemukan bahwa profesio-nalisme, etika kerja yang baik, komunikasi secara lisan dan tertulis, kerja tim, kolaborasi, berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah merupakan keterampilan paling penting. Keterampilan-keterampilan ini memungkinkan se-seorang mendapatkan nilai lebih di mata kolega sekaligus berkembang di lingkungan kerja yang kolaboratif. Di antara kompetensi penting di Abad ke-21 adalah kemampuan untuk membantu perkembangan kerjasama interdisipliner dan pertu-

karan ide-ide global untuk melawan potensi diskriminasi karena suku, jenis kelamin atau usia. 3. Kompetensi Abad ke-21 sebagai Kurikulum Tersembunyi (Hid- den Curricullum) Undang-Undang Sistem Pendi-dikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat (19) menyatakan bahwa: "Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedo-man penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu". Dalam beberapa pendapat, pemahaman tentang kurikulum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) kelompok yang memandang kurikulum sebagai suatu rencana atau bahan tertulis yang dapat dijadikan pedoman pelaksanaan pendidikan dan (2) kelompok yang memandang kurikulum sebagai program yang direncanakan dan dilaksanakan dalam situasi yang nyata di kelas. Sehubungan dengan pengertian kurikulum tersebut, maka fungsi kurikulum difokuskan pada tiga aspek berikut, yaitu (1) kurikulum sebagai alat untuk mencapai sepe-rangkat tujuan pendidikan yang diinginkan dan sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan sehari-hari, (2) kurikulum sebagai pemeliharaan proses pendidikan dan penyiapan tenaga kerja dan (3) kurikulum sebagai sebagai keikutsertaan dalam

67TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 72: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

memperlancar pelaksanaan program pendidikan dan kritik yang mem-bangun dalam penyempurnaan pro-gram yang serasi. Terdapat dua hal yang dapat di-pahami dalam pengertian kurikulum, yaitu kurikulum pada aspek program atau rencana, yang pada hakikatnya adalah kurikulum ideal (ideal curri-culum) dan kurikulum pada aspek pengalaman belajar siswa, yang pada hakikatnya adalah kurikulum actual (actual curricullum). Kurikulum ideal merupakan kurikulum yang menggambarkan cita-cita dalam bidang pendidikan. Kurikulum ideal ini diharapkan dapat dilaksanakan dan berfungsi sebagai acuan atau pedoman guru dalam proses pembe-lajaran. Sedangkan kurikulum aktual merupakan kurikulum yang disajikan di hadapan kelas atau yang dilaksana-kan oleh guru di sekolah. Kurikulum aktual ini merupakan penjabaran dari kurikulum resmi/formal ke dalam pengembangan program pembela-jaran, dimana kurikulum aktual secara riil dapat dilaksanakan oleh guru sesuai dengan kondisi yang ada. Termasuk di dalam kurikulum aktual ini adalah kurikulum tersembunyi (hidden curricullum) karena kuriku-lum tersembunyi ini disajikan dan dialami oleh siswa di sekolah baik di kelas ataupun di luar kelas. Dalam proses pendidikan dan pembelajaran, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal tidak hanya menerapkan kurikulum yang

berlaku, namun menerapkan juga kurikulum tersembunyi yang wujud-nya tidak tercantum dalam kuri-kulum formal. Kurikulum Tersembunyi (Hid-den Curricullum) secara umum dapat dideskripsikan sebagai hasil (sam-pingan) dari pendidikan dalam latar sekolah atau luar sekolah, khususnya hasil yang dipelajari tetapi tidak secara tersurat dicantumkan sebagai tujuan. Kurikulum tersembunyi juga dapat merujuk pada transmisi norma, nilai dan kepercayaan yang disam-paikan baik dalam isi pendidikan formal, nonformal dan informal dengan adanya interaksi sosial. Kurikulum tersembunyi (hidden curricullum) juga dapat diartikan sebagai kurikulum yang tidak diren-canakan, kurikulum yang tidak tercantum dalam kurikulum formal. Kurikulum tersembunyi tersebut tidak tampak, tetapi dialami, dirasa-kan dan mampu mempengaruhi dan membentuk karakter peserta didik. Menurut Bellack dan Kiebard Hidden curricullum memiliki tiga dimensi (Bellack dan Kiebard dalam Wina Sanjaya, 2011:26), antara lain: (1) Hidden curricullum dapat menunjukkan suatu hubungan seko-lah yang terdiri dari interaksi guru, peserta didik, maupun keseluruhan sistem sosial di sekolah, (2) Hidden curricullum dapat menjelaskan sebuah proses implementasi di dalam maupun di luar sekolah meliputi yang terdiri dari hal-hal yang memiliki

68 Suparyono, M. , Transformasi Kompetensi Abad Ke-21. . .

Page 73: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

nilai tambah, sosialisasi dan pemeli-haraan struktur kelas dan (3) Hidden curricullum juga dapat memuncul-kan proses yang tidak diharapkan (unintended) dari penyusunan kuri-kulum dalam kaitannya dengan fungsi sosial pendidikan. Kompetensi Abad ke-21, misal-nya yang diungkapkan oleg Trilling dan Fadel adalah (1) komunikasi oral maupun tertulis, (2) berpikir kritis dan mengatasi masalah, (3) etika bekerja dan profesionalisme, (4) bekerja secara tim dan berkolaborasi, (5) bekerja di dalam kelompok yang berbeda, (6) menggunakan teknologi dan (7) manajemen projek dan kepe-mimpinan bukan merupakan materi pembelajaran yang diajarkan kepada peserta didik. Keterampilan-kete-rampilan tersebut dikuasai dalam proses pembelajaran untuk materi apa saja karena kompetensi tersebut merupakan cara berkikir, bekerja dan aktivitas. Oleh karena itu, keteram-pilan tersebut dapat dikatakan seba-gai kurikulum tersembunyi. Kompetensi Abad ke-21 menurut Wagner (2010) dan Change Leader-ship Group dari Universitas Har-vard, yaitu (1) kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, (2) kolaborasi dan kepemimpinan, (3) ketangkasan dan kemampuan ber-adaptasi, (4) inisiatif dan berjiwa entrepeneur, (5) mampu berkomuni-kasi efektif baik secara oral maupun tertulis, (6) mampu mengakses dan menganalisis infor-masi dan (7)

memiliki rasa ingin tahu dan imaji-nasi. Ketujuh keterampilan tersebut juga bukan materi yang harus dipelajari tetapi kebiasaan dan sikap yang harus dibudayakan dalam proses pembelajaran, baik di dalam lembaga pendidikan maupun di luar lembaga pendidikan. Jadi materi apa pun, baik dalam ranah pengetahuan maupun keterampilan dapat diman-faatkan untuk menginternalisasikan kompetensi abad ke-21 sebagai kurikulum tersembunyi. Selain itu, pendidikan dan pembelajaran pada abad ke-21 juga harus didasarkan pada empat pilar, yaitu (1) learning to think, (2) learning to do, (3) learning to be dan (4) learning to live together. Kempat pilar pembelajaran tersebut oleh UNESCO disebut sebagai sokoguru dari manusia abad ke-21 dalam menghadapi arus informasi dan transformasi kehidupan yang terus-menerus berubah. Pertama, dalam belajar berpikir (learning to think) ditunjukkan bahwa arus informasi yang begitu cepat berubah dan semakin lama semakin banyak tidak mungkin lagi dikuasai oleh manusia karena kemampuan otaknya yang terbatas. Oleh karena itu, proses pendidikan dan pembelajaran yang terus-menerus sepanjang hayat ialah bagaimana berpikir. Dengan sendiri-nya, proses pendidikan dan peng-ajaran yang hanya membeo tidak mempunyai tempat lagi dalam era informasi global di Abad ke-21.

69TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 74: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Kedua, menuju Indonesia baru, lem-baga pendidikan menuntut manusia yang bukan hanya dapat berpikir melainkan juga manusia yang dapat berbuat (to do). Manusia yang dapat berbuat adalah manusia yang ingin memperbaiki kualitas hidup dan kehidupannya. Dengan berbuat dia dapat menciptakan produk-produk baru dan meningkatkan kualitas produk-produk tersebut. Tanpa berbuat, suatu pemikiran atau konsep tidak akan mempunyai makna yang berarti dan fungsional bagi kehi-dupan. Kehidupan manusia Indone-sia baru adalah kehidupan yang mementingkan kualitas. Kualitas tersebut apakah bentuknya dalam suatu produk atau suatu service adalah hasil karya seorang akade-misi. Dalam era Indonesia baru tidak ada lagi tempat bagi manusia yang tidak dapat berkarya, termasuk menelorkan dan mempublikasikan karya-karya ilmiah yang berkualitas apalagi dapat mematenkannya. Ketiga, learning to be, yaitu belajar untuk mengaktualisasikan diri. Artinya, setiap manusia di muka bumi ini secara sadar belajar bagai-mana untuk tetap hidup sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki pertimbangan dan tang-gung jawab pribadi, sosial dan moral-nya. Termasuk ke dalam learning to be ini adalah belajar untuk menyadari dan mewujudkan diri sebagai warga negara yang berbudaya dan beradab, dengan segala konsekuensi dan

tanggung jawabnya (Surya, 1997: 19). Keempat, learning to live toge-ther, -- dunia yang semakin mengecil dan semakin bersatu akan mende-katkan kelompok-kelompok dan anggota masyarakat, kelompok etnis, kelompok budaya/tradisi, kelompok agama dan kelompok bangsa sema-kin dekat satu dengan yang lain. Oleh karena itu, mereka harus dapat belajar untuk dapat hidup bersama. Hidup bersama artinya mengetahui, menghargai dan memahami adanya perbedaan serta satu sama lain saling menghargai dan memahaminya sebagai milik seluruh umat manusia dan bukan sebagai dasar untuk memecah belah kehidupan manusia (disintegrasi). Proses pendidikan yang dijalan-kan dengan empat pilar paradigma itu diharapkan mampu menciptakan anak-anak bangsa yang maju, man-diri, tanpa kehilangan jati diri sebagai pribadi, warga masyarakat, bangsa dan warga dunia. Kebijakan dalam pengembangan sistem pendi-dikan guru tidak sekadar menem-patkan pendidikannya dalam arti adminis-tratif, tetapi juga harus memperl-akukan lembaga pendidikan guru sebagai pusat pendidikan dan pem-belajaran, pusat riset dan pusat penyebaran ipteks dan budaya.

C. Penutup Proses belajar mengajar semua mata kuliah, baik teori maupun

70 Suparyono, M. , Transformasi Kompetensi Abad Ke-21. . .

Page 75: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

71TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

praktik di Akpol sebagai bentuk implementasi kurikulum yang ber-laku dapat dimodifikasi untuk memaksimalkan munculnya dampak pengiring pembelajaran. Dampak pengiring pembelajaran dapat dide-sain agar taruna terbiasa berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan kompetensi Abad ke-21. Kompetensi Abad ke-21 yang perlu dibiasakan dalam proses pembe-lajaran di Akpol, adalah pembiasaan empat pilar pendidikan, yakni (1) learning to think, (2) learning to do, (3) learning to be dan (4) learning to live together. Dalam proses im-plementasi empat pilar pendidikan Abad ke-21 tersebut, dapat ditum-buhkembangkan keterampilan berpi-kir kritis dan pemecahan masalah, (2)

kolaborasi dan kepemimpinan, (3) ketangkasan dan kemampuan ber-adaptasi, (4) inisiatif dan berjiwa entrepeneur, (5) kemampuan berko-munikasi efektif baik secara oral maupun tertulis, (6) kemampuan mengakses dan menganalisis infor-masi dan (7) memiliki rasa ingin tahu dan imajinasi. Ketujuh keterampilan tersebut juga bukan materi yang harus dipelajari tetapi kebiasaan dan sikap yang harus dibudayakan dalam proses pembelajaran, baik di dalam lembaga pendidikan maupun di luar lembaga pendidikan. Jadi materi apa pun, baik dalam ranah pengetahuan maupun keterampilan dapat diman-faatkan untuk menginternalisasikan kompetensi abad ke-21 sebagai kurikulum tersembunyi.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Ch. (1994). "Teknologi Pengajaran dalam Sistem Pendidikan Kita", Media Indonesia, edisi 8 Juni 1994.

Arif Rohman. (2009). Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang Mediatama.

Arifin, HM. 2012. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama. Jakarta : Bulan BtgBarrett, K. E. , Barman, S. M. , Boitano, S. , and Brooks, H. L. , 2010. Ganong's

Review of Medical Physiology. 23rd ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Barry, Peter. 2010. Beginning Theory. Jalasutra: Yogyakarta. Delors, Jacques. (1996). "Learning": The Treasure Within, Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty First Century. Paris: UNESCO Publishing

Hermawan Kartajaya. 2010. Brand Operation The Official MIM Academy course book. Jakarta : Esesnsi Erlangga Group.

Page 76: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

72

Muhaimin. 2010. Manajemen Pendidikan "Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah". Jakarta: Kencana Pernada

Redeker, G. 1991. Review Article: Linguistis Markers of Disscourse Structure. Linguistics Volume 29. No. 6 pp. 1139-1172.

Sagala, Syaiful. 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : CV. ALFABETA

Sanjaya, Wina. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Prenada Media Group

Wagner, John A. & Hollenbeck, John R. 2010 Organizational Behavior Securing Competitive Advantage. New Yor: Routledge.

Suparyono, M. , Transformasi Kompetensi Abad Ke-21. . .

Page 77: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

MENJAGA KEBERAGAMAN DI INDONESIA

1Oleh Agus Leksono

ABSTRAKIndonesia adalah negara kesatuan yang penuh dengan keragaman. Indonesia terdiri atas

beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, dll. Namun Indonesia mampu mepersatukan bebragai keragaman itu sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia "Bhineka Tunggal Ika" yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Sebagai masyarakat majemuk, Indonesia memiliki dua kecenderungan atau dampak akibat keberagaman budaya tersebut, yankni keuntungan dan kerugian. Keuntungan dengan adanya keberagaman budaya di Indonesia adalah (1) dapat mempererat tali persaudaraan; (2) menjadi aset wisata yang dapat menghasilkan pendapatan Negara; (3) memperkaya kebudayaan nasional; (4) sebagai identitas negara Indonesia di mata seluruh negara di dunia; (5) dapat dijadikan sebagai ikon pariwisata sehingga para wisatawan dapat tertarik dan berkunjung ke Indonesia; (6) dengan banyaknya wisatawan maka dapat menciptkan lapangan pekerjaan; (7) sebagai pengetahuan bagi seluruh warga di dunia; (8) sebagai media hiburan yang mendidik; (9) timbulnya rasa nasionalisme warga negara terhadap negara Indonesia; dan (10) membuat Indonesia terkenal dimata dunia berkat keberagaan budaya yang kita miliki. Pada satu sisi, adanya keberagaman juga berpotensi merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Potensi negatif tersebut berupa (1) berkembangnya perilaku konflik di antara berbagai kelompok etnik dan (2) pemaksaan oleh kelompok kuat sebagai kekuatan utama yang mengintegrasikan masyarakat. Mengahadapi kondisi yang demikian, kita sebagai anggota masyarakat harus selalu menjaga keberagaman ini berada pada tataran kecenderungan positif. Cara yang dapat kita tempuh adalah (1) memahami benar hakikat keberagaman tersebut secara baik dan (2) meningkatakan kemampuan berkomunikasi secara efektif kepada masyarakat lain yang nota bene berbeda suku, agama, golongan, atau kebudayaannya.

Kata Kunci: keberagaman masyarakat, keberagaman budaya, literasi, komunikasi

A. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara kesatuan yang penuh dengan keragaman. Indonesia terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, dll. Namun Indonesia mampu mepersa-tukan bebragai keragaman itu sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia "Bhineka Tunggal Ika" yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Keragaman budaya (cultural diversity) adalah keniscayaan yang

ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri ke-beradaannya. Dalam konteks pe-mahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 250 juta orang

1)Kompol Agus Leksono, S. Sos. adalah Paur Bid Pengsos Akademi Kepolisian

Page 78: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

74 Agus Leksono, Menjaga Keberagaman di Indonesia

lebih dimana mereka tinggal tersebar di pulau-pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah de-ngan kondisi geografis yang ber-variasi. Mulai dari pegunungan, te-pian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat per-adaban kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda-beda . Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga ber-kembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebuda-yaan Indonesia sehingga memcer-minkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern dan kewilayahan. Potensi keberagaman budaya ini pada satu sisi merupakan keun-tungan, tetapi pada sisi lain juga ada kerugian. Pola kemajemukan masya-rakat Indonesia dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan adat istiadat (custom differentiation)

karena adanya perbedaan etnik, budaya, agama dan bahasa. Kedua, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan struktural (structural differentiation) yang disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan untuk mengakses potensi ekonomi dan politik antar etnik yang menyebab-kan kesenjangan sosial antaretnik. Dengan keanekaragaman kebuda-yaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibanding-kan dengan negara lainnya. Sebagai masyarakat majemuk, Indonesia memiliki dua kecenderungan atau dampak akibat keberagaman budaya tersebut, yankni keuntungan dan kerugian. Dalam dijelaskan beberapa keuntungan dengan adanya keber-agaman budaya di Indonesia, yaitu sebagai berikut. 1. Dapat mempererat tali persau

daraan. 2. Menjadi aset wisata yang dapat

menghasilkan pendapatan Nega-ra.

3. Memperkaya kebudayaan nasio-nal.

4. Sebagai identitas negara Indo-nesiad i mata seluruh negara di

dunia. 5. Dapat dijadikan sebagai ikon

pariwisata sehingga para wisata-wan dapat tertarik dan berkun-jung ke Indonesia.

6. Dengan banyaknya wisatawan maka dapat menciptkan lapangan pekerjaan.

7. Sebagai pengetahuan bagi

Page 79: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

75TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

seluruh warga di dunia.8. Se bagai media hiburan yang

mendidik. 9. Timbulnya rasa nasionalisme

warga negara terhadap negara Indonesia.

10. Membuat Indonesia terkenal dimata dunia berkat keberagaan budaya yang kita miliki.

Pada satu sisi, adanya keber-agaman juga berpotensi merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Potensi negatif tersebut berupa (1) berkembangnya perilaku konflik di antara berbagai kelompok etnik dan (2) pemaksaan oleh kelompok kuat sebagai kekuatan utama yang meng-integrasikan masyarakat. Kemajemukan kebudayaan sela-lu menyimpan dan menyebabkan terjadinya potensi konflik antaretnik yang bersifat laten (tidak disadari) maupun manifes (nyata) yang dise-babkan oleh adanya sikap etno-sentrisme, primordialisme dan ke-senjangan sosial. Salah satu gejala yang selalu muncul dalam masya-rakat majemuk adalah terjadinya ethnopolitic conflict berbentuk gerakan separatisme yang dilakukan oleh kelompok etnik tertentu. Etnopolitic conflict dapat dilihat dari terjadinya kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Gerakan perlawan-an ini bukan hanya timbul karena didasari oleh adanya ketidakpuasan secara politik masyarakat Aceh yang merasa hak-hak dasarnya selama ini direbut oleh pemerintah pusat.

Selama ini rakyat Aceh merasa terpinggirkan untuk mendapatkan akses seluruh kekayaan alam Aceh yang melimpah ditambah adanya s i k a p p r i m o r d i a l i s m e d a n etnosentrisme masyarakat Aceh yang sangat kuat. Pola etnopolitic conflict dapat terjadi dalam dua dimensi, yaitu pertama, konflik di dalam tingkatan ideologi. Konflik ini terwujud dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh pendukung suatu etnik serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Kedua, konflik yang terjadi dalam tingkatan politik. Konflik ini terjadi dalam bentuk pertentangan dalam pembagian akses politik dan ekonomi yang terbatas dalam masyarakat. Perbedaan kesejarahan, geo-gra-fis, pengetahuan, ekonomi, peranan politik dan kemampuan untuk mengembangkan potensi kebuda-yaannya sesuai dengan kaidah yang dimiliki secara optimal sering me-nimbulkan dominasi etnik dalam struktur sosial maupun struktur politik, baik dalam tingkat lokal maupun nasional. Dominasi etnik tersebut pada akhirnya melahir-kan kebudayaan dominan (dominant culture) dan kebudayaan tidak domi-nan (inferior culture) yang akan melahirkan konflik antaretnik yang berkepanjangan. Dominasi etnik dan kebudayaan dalam suatu masyarakat apabila dimanfaatkan untuk kepen-tingan golongan selalu melahirkan

Page 80: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

konflik yang bersifat horizontal dan vertikal. Ciri khas masyarakat majemuk seperti keanekaragaman suku bangsa telah menghasilkan adanya potensi konflik antarsuku bangsa dan antara pemerintah dengan suatu masyarakat suku bangsa. Potensi-potensi konflik tersebut merupakan permasalahan yang ada seiring dengan sifat suku bangsa yang majemuk. Selain itu, pembangunan yang berjalan selama ini menimbulkan dampak berupa terjadinya ketimpangan regional (antara Pulau Jawa dengan luar Jawa), sektoral (antara sektor industri dengan sektor pertanian), antarras (antara pribumi dan nonpribumi) dan antarlapisan (antara golongan kaya dengan golongan miskin) . Adanya dua kecenderungan itu mewajibkan kita sebagai masyarakat sekaligus warga negara Indonesia untuk menjaga agar keragaman budaya yang ada di Indonesia ini selalu berada pada kecenderungan yang positif.

B. KEBERAGAMAN DI INDO- NESIA Keberagaman adalah suatu kon-disi dalam masyarakat yang terdapat banyak perbedaan dalam berbagai bidang. Perbedaan tersebut dalam hal suku bangsa, ras, agama, keyakinan, ideologi politik, sosial-budaya dan ekonomi. Keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia merupa-kan kekayaan dan keindahan wilayah

negara Indonesia. Keberagaman merupakan anugerah yang patut disyukuri karena tidak mudah mengelola keberagaman di Indone-sia. Pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia sebaiknya mendo-rong keragaman itu menjadi sebuah kekuatan guna mewujudkan persa-tuan dan kesatuan bangsa. Meng-hormati keberagaman adalah sikap terpuji sebagaimana Tuhan mencip-takan makhluknya yang beraneka ragam pula. Ada beberapa bentuk keber-agaman di Indonesia, yakni keber-agaman suku bangsa, keberagaman agama dna kepercayaan, keberagam-an ras dan keberagaman golongan . 1. Keberagaman Suku Bangsa Menurut Koentjaraningrat, suku bangsa berarti sekelompok manusia yang memiliki kesatuan budaya dan terikat oleh kesadaran dan identitas tersebut. Kesadaran dan identitas biasanya dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Jadi, suku bangsa merupakan gabungan sosial yang dibedakan dari golongan-golongan sosial karena mempunyai ciri-ciri paling mendasar dan umum berkaitan dengan asal usul dan tempat asal serta kebudayaan . Ciri-ciri mendasar yang membe-dakan suku bangsa yang satu dengan lainnya, antara lain bahasa daerah, adat istiadat, sistem kekerabatan, kesenian daerah dan tempat asal. Beberapa suku bangsa di Indonesia berdasarkan asal daerah tempat tinggal antara lain di Pulau Sumatra

76 Agus Leksono, Menjaga Keberagaman di Indonesia

Page 81: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

terdapat suku Aceh, Gayo Alas, Batak, Minangkabau dan Melayu. Di Pulau Jawa terdapat suku Jawa, Sunda, Badui dan Madura. Di Kalimantan terdapat suku Dayak. Di Sulawesi terdapat suku Bugis, Mana-do, Gorontalo, Makasar. Kawasan Maluku terdapat suku Ambon, Sangir Talaud, Ternate. Kawasan Bali dan Nusa Tenggara antara lain suku Bali, Lombok, Bima dan Timor. Sedang-kan di Papua terdapat suku Asmat dan suku Dani. 2. Keberagaman Agama dan Keper- cayaan Mengapa Indonesia memiliki keragaman agama? Kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia diperlukan oleh bangsa lain. Hal inilah yang membuat para pedagang dari bangsa-bangsa lain banyak berdatangan. Selain berdagang, mereka juga menyebarkan ajaran agama Ajaran agama Hindu dan Budha dibawa oleh bangsa India yang sudah lama berdagang dengan Indonesia. Ajaran agama Islam dibawa oleh pedagang Gujarat dan Parsi sekitar abad ke-13. Kedatangan bangsa Eropa membawa ajaran agama Kristen dan Katolik, sedangkan pedagang dari Cina menganut agama Kong Hu Chu. Berbagai ajaran agama diterima oleh bangsa Indone-sia karena masyarakat sudah menge-nal kepercayaan seperti animisme dan dinamisme. 3. Keberagaman Ras

Istilah ras berasal dari bahasa Inggris, race. Dalam Undang-Un-dang Nomor 40 Tahun 2008 tentang "Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis", disebutkan bahwa ras adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan. Setiap manusia memiliki perbedaan ras dengan manusia lainnya karena adanya perbedaan ciri-ciri fisik, seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, bentuk muka, ukuran badan, bentuk badan, bentuk dan warna mata dan ciri fisik yang lain . Masyarakat Indonesia memiliki keberagaman ras. Hal ini disebabkan oleh kedatangan bangsa asing ke wilayah Indonesia, sejarah penye-baran ras di dunia, serta letak dan kondisi geografis wilayah Indonesia. Beberapa ras yang ada dalam masyarakat Indonesia antara lain ras Malayan-Mongoloid yang ada di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan dan Sulawesi. Kedua adalah ras Melanesoid yang mendiami daerah Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Ketiga adalah ras Asiatic Mongoloid seperti orang Tionghoa, Jepang dan Korea. Ras ini tersebar di seluruh Indonesia. Terakhir adalah ras Kaukasoid, yaitu orang India, Timur Tengah, Aus-tralia, Eropa dan Amerika. 4. Keberagaman Golongan Keberagaman masyarakat di Indonesia dapat dilihat dari struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat Indonesia menurut Syarif Moeis

77TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 82: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

(2008) ditandai dengan dua ciri atau dua titik pandang. Pertama, secara horizontal ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat dan kedaerahan. Secara vertikal, ditandai dengan adanya lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam . Dalam sosiologi, adanya lapisan dalam masyarakat itu disebut "Social Stratification" atau biasa disebut dengan kelas sosial. Adanya perbe-daan kelas dalam lapisan masyarakat menyebabkan terjadinya penggo-longan kelas-kelas secara bertingkat. Hal itu diwujudkan dalam kelas tinggi, kelas sedang dan kelas rendah dengan ditandai oleh adanya ketidak-seimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban individu dan kelom-pok di dalam suatu sistem sosial. Dengan demikian, dalam kelas sosial terdapat pengolongan manusia se-cara bertingkat atas dasar kedudukan atau status sosial sehingga menye-babkan perbedaan antara hak dan kewajiban. Selain dilihat dari lapisan masya-rakat atau kelas sosial, keberagaman masyarakat ditandai adanya segmen-tasi dalam bentuk kelompok-kelompok yang memiliki kebudaya-an yang berbeda satu sama lain. Kelompok-kelompok tersebut dapat berupa kesatuan-kesatuan sosial dan organisasi kemasyarakatan. Adanya kelas sosial dan kesatuan sosial mem-bentuk golongan-golongan di masya-

rakat. Setiap golongan terdiri dari atas dua orang atau lebih yang mem-punyai hubungan satu sama lain dalam sebuah struktur. Keberagaman tersebut pada satu sisi memberi warna yang indah karena masyarakat kita terdiri atas berbagai corak. Namun, pada sisi lain juga berpotensi melahirkan konflik. Sampai hari ini, konflik antargo-longan, konflik antarsuku; masih saja terjadi. Keberagaman antargolongan tidak boleh menyebabkan terjadinya perselisihan dan perpecahan di masyarakat. Adanya keberagaman antar golongan harus menjadi pen-dorong terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa dan pendorong tum-buhnya kesadaran setiap warga negara akan pentingnya pergaulan demi memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa misalnya golongan kelas tinggi membantu golongan kelas rendah. Oleh karena itu, ciri golongan tidak ditonjolkan demi kepentingan nasional. Pertanyaan-nya adalah, agaimanakah keber-agaman ras, agama dan golongan ini mampu kita jaga sehingga tidak melahirkan konflik apalagi perpe-cahan di masyarakat, tetapi justru melahirkan keharmonisan hidup.

C. KEBERAGAMAN BUDAYA DI INDONESIA1. Hakikat Kebudayaan Kebudayaan adalah gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasa-kannya dengan belajar, beserta

78 Agus Leksono, Menjaga Keberagaman di Indonesia

Page 83: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu (Koentjaraningrat 1984:9). Dari definisi ini ada dua konsep yang terkandung dalam pengertian kebudayaan, yaitu (1) kebudayaan itu dapat berwujud gagasan, dapat pula berwujud karya dan (2) pemerolehan kebudayaan dilakukan dengan cara belajar. Dalam konsep yang pertama terkandung pengertian bahwa kebu-dayaan itu dapat bersifat abstrak-gagasan, nilai, pedoman dan sema-camnya-dapat pula bersifat konkret-hasil budi yang berupa perilaku manusia dan benda-benda sebagai hasil karya manusia. Dalam konsep yang kedua terkandung pengertian bahwa kebudayaan itu diperoleh secara sengaja melalui proses yang terjadi secara turun-temurun dalam sebuah masyarakat. Proses pembela-jaran itu terjadi dari generasi tua ke generasi muda. Pihak yang lebih berkepentingan dalam hal ini adalah pihak generasi tua, yaitu mereka merasa berkewajiban untuk memper-tahankan dan mengembangkan ke-budayaan yang dimilikinya. Salah satu cara yang tidak dapat dilepaskan adalah dengan mewariskannya ke-pada generasi berikutnya. Jika dilihat dari pihak generasi muda, sebagai penerima warisan budaya, konsep pemerolehan budaya dengan cara belajar mengandung pengertian adanya perubahan. Pada hakikatnya proses belajar selalu ditandai dengan adanya perubahan, misalnya dari

belum tahu menjadi tahu, dari belum suka menjadi suka dan sebagainya. Melalui proses pembelajaran inilah generasi muda akan memahami budayanya kemudian akan menya-ringnya dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat tersebut bersumber dari pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh seorang antropolog bernama Clyde Kluckhohn dalam buku Mirror for Man. Dalam bukunya tersebut C. Kluckhohn mencoba mendefinisikan kebudayaan sebagai (1) keseluruhan cara hidup suatu masyarakat, (2) warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya, (3) suatu cara berpikir, merasa dan percaya, (4) suatu abstraksi dari tingkah laku, (5) suatu teori pada pihak antropolog tentang cara suatu kelompok masya-rakat nyatanya bertingkah laku, (6) suatu "gudang untuk mengumpulkan hasil belajar", (7) seperangkat orientasi-orientasi standar pada masalah-masalah yang sedang ber-langsung, (8) tingkah laku yang dipe-lajari, (9) suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat normatif, (10) seperangkat teknik untuk menyesuaikan diri, baik dengan lingkungan luar maupun dengan orang-orang lain dan (11) suatu endapan sejarah (dalam Geertz 1992:4-5). Menurut Kroeber dan Kluckhohn definisi kebudayan dapat digolong-kan menjadi tujuh (dalam Alisjah-

79TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 84: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

bana 1986:207-208). Pertama, kebu-dayaan sebagai keseluruhan hidup manusia yang kompleks, yang meliputi hukum, seni, moral, adat-istiadat dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anaggota masyarakat. Kedua, mene-kankan sejarah kebudayaan yang memandang kebudayaan sebagai warisan tradisi. Ketiga, kebudayaan yang bersifat normatif, yaitu kebu-dayan dianggap sebagai cara dan aturan hidup manusia, seperti cita-cita, nilai dan tingkah laku. Keempat, pendekatan kebudayaan dari aspek psikologis. Kelima, kebudayaan sebagai langkah penyesuaian diri manusia kepada lingkungan sekitar-nya. Keenam, kebudayaan dipan-dang sebagai struktur yang membica-rakan pola-pola dan organisasi kebu-dayaan serta fungsinya. Ketujuh, kebudayaan sebagai hasil perbuatan dan kecerdasan. Sejajar dengan konsep kebuda-yaan yang dikemukakan oleh Koen-tjaraningrat tadi adalah simpulan T. O. Ihromi yang memandang kebuda-yaan sebagai seperangkat kepercaya-an, nilai-nilai dan cara berlaku (artinya kebiasaan) yang dipelajari yang pada umumnya dimiliki ber-sama oleh para warga dari suatu masyarakat (1981:21-22). Tambahan dalam pengertian kebudayaan ini dari pendapat Koentjaraningrat adalah bahwa kebudayaan itu milik berssama warga suatu masyarakat. Konse-kuensi dari milik bersama

adalah bahwa kebudayaan itu mati hidupnya sangat bergantung kepada masya-rakat yang menjadi pemilik kebuda-yaan dimaksud. Dalam pandangan yang terlalu keras dapat dikatakan bahwa jika sebuah kebudayaan masih dibutuhkan oleh sebuah masyarakat, kebudayaan itu akan hidup; sebaliknya, jika kebudayaan i tu sudah t idak dibutuhkan oleh pe-miliknya, kebudayaan itu akan mati. Menurut Clifford Geertz kebuda-yaan merupakan keseluruhan sistem pengetahuan manusia sebagai makh-luk sosial yang digunakan untuk me-mahami dan menginterpretasi ling-kungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi terwujudnya pola perilaku (Geertz dalam Zefrry 1998:37). Dengan demikian kebudayaan hanya ada dalam abstraksi atau berada dalam pemikiran individu-individu sebagai rangkaian konsep yag bersifat normatif yang menjadi keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, serta pola-pola tingkah laku individu yang bersangkutan. Konsep kebudayaan ini jika dibandingkan dengan konsep yang disimpulkan oleh Koentjara-ningrat terletak pada sifat universa-litasnya. Oleh karena kebudayaan ada dalam pikiran individu, sifat universalitas yang melekat pada konsep kebudayaan tradisional telah mencair. Pengetahuan yang kemudian menjadi sistem yang menjadi

80 Agus Leksono, Menjaga Keberagaman di Indonesia

Page 85: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

pedoman dalam berperilaku itu ada tiga macam, yaitu pengetahuan yang bersiat alamiah, pengetahuan yang bersifat empirik dan pengetahuan yang bersifat logis-rasional (Zeffry 1998:38). Pengetahuan yang bersifat alamiah masih dipenuhi oleh emosi dan perasaan, seperti pengetahuan yang sifatnya biologis—makan, minum, seks. Oleh karena sifatnya alamiah atau bawaan, maka pemer-olehannya pun secara otomatis, yaitu setiap orang dengan sendirinya akan memiliki pengetahuan tersebut secara naluriah. Pengetahuan yang bersifat empiris diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman di sini dapat merupakan pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil eksperimen oleh para ahli termasuk jenis pengetahuan ini. Pengetahuan yang bersifat logis-rasional didasarkan pada penalaran manusia. Pengetahuan ini diperoleh dari hasil pemikiran tentang sesuatu. Tentu saja, pemikiran tentang sesuatu tersebut dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk di dalamnya jenis peng-etahan yang lain, terutama pengeta-huan yang bersifat empiris. Pengertian kebudayaan dari Clifford Geertz ini didasarkan pada pendapat Goodenough. Goodenough berpendapat bahwa kebudayaan ter-susun dari struktur-struktur psikolo-gis yang menjadi sarana individu-individu atau kelompok individu-indivdu yang mengarahkan tingkah

laku mereka. Dengan demik-ian kebudayaan terdiri atas apa saja yang harus diketahui atau dipercayai seseorang supaya dapat berjalan dengan suatu cara yang dapat diterima oleh anggota-anggotanya. (dalam Geertz 1992:13). Clifford Gertz (dalam Saifuddin 2005:288) mengemukana definisi kebudayaan sebagai (1) suatu system keterauturan dari makna dan symbol-simbol, yang dengan makna dan symbol tersebut individu-dindividu mendefiniskan dunia meeka, meng-ekspresikan perasaan-perasaan mereka dan membuat penuilaian meraka (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantap-kan dan mengembangkan pengetahu-an mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan (3) suatu per-alatan simbolik bagimengontorol perilaku, sumber-sumber ekstraso-matik dari informasi dan (4) oleh karena kebudayan merupakan sietem symbol maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan dan diinterpretasi. Menurut Koentjaraningrat (1984 : 5) ada tiga wujud kebudayaan, yaitu (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas perilaku berpola

81TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 86: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

dari manusia dalam masyarakat; dan (3) wujud kebudayaan sebagai ben-da-benda hasil karya manusia. Wujud pertama bersifat abstrak, berada dalam pikiran masing-masing individu sebagai pemilik suatu kebudayaan. Wujud ideal ini sering disebut juga dengan istilah adat perilaku atau adat-istiadat, yang berfungsi untuk mengatur, mengen-dalikan dan memberi arah kepeda perilaku atau perbuatan individu dalam masyarakatnya. Wujud ideal ini dapat berupa nilai budaya, sistem norma dan konvensi. Wujud kedua sering disebut dengan istilah sistem sosial yang terdiri atas aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi. Wujud ketiga disebut juga kebuda-yaan fisik yang sifatnya konkret. Ketiga wujud tersebut dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak terpisah satu sama lain. Kebudayaan ideal memberikan arah kepada individu-individu dalam berbuat atau melakukan sesuatu, ter-masuk dalam menghasilkan kebuda-yaan yang ketiga, yaitu hasil karya manusia. Pakar sosiologi Talcott Parsons maupun pakar antropologi A. L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan antara wujud kebu-dayaan sebagai sistem dari gagasan-gagasan serta konsep-konsep dan wujudnya sebagai rangkaian tindak-an serta aktivitas manusia yang berpola. Dalam rangka itu J. J. Honingmann membuat perbe-daan

atas tiga gejala kebudayaan, yakni (!) ideas, (2) activities dan (2) artifacts. Ketiga wujud kebudayaan terse-but dapat dirinci lagi menjadi unsur-unsur yang lebih kecil. Unsur kebudayaan yang bersifat universal menurut Koentjaraningrat (1984:2) ada tujuh, yaitu (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata penca-harian hidup dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur tersebut dikatakan bersifat universal karena dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat yang ada di bumi ini. Ketujuh unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi menjadi subunsur atau sub-subunsur yang lebih kecil. Subunsur atau sub-subunsur inilah yang membedakan antara kebudayaan yang satu dan kebudayaan yang lain. Jika ketujuh unsur tadi dikatakan bersifat univer-sal, subunsur atau sub-subunsurnya disebut bersifat lokal. Pemecahan menjadi unsur yang lebih kecil terjadi secara berbeda untuk masing-masing masyarakat. Hal ini sangat bergan-tung kepada kekuatan keyakinan atau kepercayaan masyarakat tersebut terhadap kebudayaan yang dimiliki dan sikap masyarakat tersebut ter-hadap kebudayaan asing yang mempengaruhi. Kedua penyebab itulah yang akan menentukan berubah tidaknya atau bahkan hidup matinya suatu kebudayaan.

82 Agus Leksono, Menjaga Keberagaman di Indonesia

Page 87: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Tata urutan ketujuh unsur kebu-dayaan menurut Koentjaraningrat tersebut sekaligus merupakan urutan tingkat kesukaran akan perubahan. Unsur pertama, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan adalah unsur yang paling sulit berubah, sedangkan unsur ketujuh, yaitu sistem teknologi dan peralatan merupakan unsur yang paling mudah berubah. Jika unsur pertama membutuhkan waktu yang sangat lama, sampai berganti bebe-rapa generasi untuk berubah, unsur ketujuh justru dapat berubah bebera-pa kali dalam satu generasi.

2. Bentuk Kebudayaan di Indonesia Dalam masyarakat majemuk, yang terdiri atas sejumlah masyara-kat suku bangsa, terdapat kelompok-kelompok yang memunyai kebuda-yaan-kebudayaan yang dapat dibeda-kan karena: (1) kegiatan-kegiatan pranata-pranatanya yang khusus; (2) tingkat dari kegiatan-kegiatan atau pranata-pranata tersebut yang ber-fungsi untuk mempertahankan ada-nya perbedaan-perbedaan kebu-dayaan dan menjadi dasar bagi integrasi sosial dan kebudayaan ma-syarakat tersebut. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, yang berfungsi untuk melayani pengintegrasian ke-lompok-kelompok yang berbeda-beda kebudayaannya pada tingkat lokal (daerah) dapat dilihat sebagai kebudayaan suku bangsa dan umum lokal; sedangkan yang melayani inte-grasi berbagai kelompok ke-buda-

yaan pada tingkat masyarakat (yaitu masyarakat negara) dapat dilihat sebagai kebudayaan nasional. Dalam msyarakat Indonesia yang mejemuk, terdapat tiga gologan kebudayaan yang masing-masing memunyai corak sendiri-sendiri. Ketigagolongan ini satu sama lain saling berbeda, tetapi saling ber-kaitan dan merupakan suatu kesatuan yang namanya kebudayaan Indone-sia. Ketiga golongan kebudayaan tersebut adalah: (1) Kebudayaan Suku Bangsa (yang lain dikenal secara umum di Indonesia dengan nama Kebudayaan Daerah); (2) Kebudayaan Umum Lokal dan (3) Kebudayaan Nasional. Masing-masing kebudayaan itu digunakan oleh orang Indonesia sesuai dengan penggolongan ling-kungan dan pola intraksi yang diha-dapi dan untuk kerangka acuan (referensi) bagi identitas sesuai dengan pola interaksi di mana dia terlibat di dalamnya. Karenanya, masing-masing kebudayaan tersebut bukan hanya menjadi landasan bagi corak pranata-pranata sosialnya, tetapi juga mewarnai corak dari berbagai situasi-situasi sosial yang secara keseluruhan merupakan suasana-suasana (srperes) kehidupan sosial yang dapat digolongkan se-bagai suasana suku bangsa, suasana umum lokal dan suasana nasional. 3. Kebudayaan Daerah Suasana suku bangsa merupakan perwujudan dan kegiatan-kegiatan

83TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 88: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

kehidupan dari para warga masya-rakat suku bangsa yang berlandaskan pada pranata-pranata sosial yang bersumberkan pada kebudayaan suku bangsa. Suasana ini terwujud dalam kehidupan keluarga, kehidup-an komunitas di desa khususnya, hubungan-hubungan kekerabatan dan dalam berbagai upacara dan ritual sosial dan keagamaan. Dalam interaksi sosial, para pelakunya menggunakan identitas yangsesuai, yang berdasarkan atas sistem peng-golongan sosial dan peranan yang ada dalam kebudayaan suku bangsa-nya. 4. Kebudayaan Lokal Suasana umum lokal merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan kehidupan dari para warga sesuatu bagian dari masyarakat majemuk yang masyarakatnya terdiri atas lebih dari suku bangsa, sehingga kegiatan-kegiatan kehidupan tersebut berlan-daskan atas pranata-pranata sosial yang bersumberkan atas kebu-dayaan-kebudayaan suku bangsa yang berlaku setempat; dan dalam bebrapa hal juga dipengaruhi oleh kebudayaan nasional. Suasana umum lokal yang terwujud di tempat-tempat umum, pasar dan di tempat-tempat pergaulan terjadi. Suasana umum lokal merupakan wadah bagi terjadinya interaksi di atntara warga dari berbagai suku bangsa yang menjadi komponen dari masyarakat tersebut. Susanan umum lokal dapat didominsi oleh salah satu kebuda-

yaan suku bangsa yang ada setempat, tetapi dapat juga merupakan hasil perpaduan dari berbagai unsur kebudayaan suku bangsa yang ada setempat; bergantung pada corak hubungan kekuatan yang berlaku di antara suku-suku bangsa dalam masyarakat tersebut. Suasana umum lokal biasanya lebih tampak perwujudannya dalam kehidupan di pesantren. Hal itu tercermin dalam lkesederhanaan, pengabdian yang tinggi dan keber-samaan. Selain itu, di kota suasana umum lokal lebih mewujud daripada di pedesaan, karena di kotalah biasanya warga dari berbagai suku bangsa itu lebih banyak dan lebih sering bertemu. 5. Kebudayaan Nasional Suasana nasional biasanya ter-wujud dalam berbagai kegiatan di kantor-kantor pemerintah, sekolah, universitas, TNI dan berbagai kegiatan-kegiatan upacara yang bersifat nasional. Karena pada umunya pusat dari kegiatan-kegiatan tersebut adanya di perkotaan dengan kota Jakarta menjadi pusatnya karena kedudukannya sebagai ibukota negara Indonesia, maka susana nasional biasanya juga lebih terwuju di perkotaan dari pada di pedesaan. Perwujudan suasana nasional itu juga bertingkat-tingkat menurut jarak jauh-pendeknya dengan Jakarta se-bagai pusat kebudayaan nasional dan menurut tingkat kedudukan kota dalam sistem administrasi peme-

84 Agus Leksono, Menjaga Keberagaman di Indonesia

Page 89: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

rintahan. Dalam susana nasional, identitas yang digunakan oleh para pelakunya dalam interaksi adalah bersumber pada sistem penggo-longan dan peranan yang ada dalam kebudayaan nasional. Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah berkenaan dengan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal dan dengan kebudayaan nasional. Di antara hubungan-hubungan ini, yang paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa dan umum lokal di satu pihak dengan kebuda-yaan nasional di lain pihak.

D. MEMPERTAHANKAN BHI- NEKA TUNGGAL IKA1. Pentingnya Memahami Keber- agaman Budaya Aspek kewilayahan menjelaskan bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah meru-pakan negara kepulauan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, menye-butkan pengertian negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Dalam konsep wawasan nusan-tara, laut bukan merupakan unsur pemisah akan tetapi menjadi unsur pemersatu . Selain kondisi kewilayahan, as-pek sosial budaya menunjukkan bah-wa masyarakat Indonesia diwarnai

oleh berbagai macam perbedaan. Kondisi sosial budaya yang demikian menjadikan kehidupan bangsa Indo-nesia menyimpan potensi terjadinya konflik. Kenyataan juga menun-jukkan, bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia sering terjadi kon-flik antarkelompok masyarakat yang dilatarbelakangi oleh perbedaan-perbedaan tersebut. Kenyataan terjadinya konflik perlu manjadikan perhatian bagi semua komponen bangsa agar dapat tetap memper-tahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Atas dasar dua alasan tersebut, maka penting sekali memahami keberagaman dalam masyarakat Indonesia yang ditujukan untuk mengusahakan dan mempertahankan persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa kesadaran akan keberagaman yang kita miliki, bangsa Indonesia bisa saja terjerumus ke arah perpecahan. Keberagaman masyarakat Indo-nesia memiliki dampak positif sekaligus dampak negatif bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Dampak positif memberikan manfaat bagi perkembangan dan kemajuan, sedangkan dampak nega-tif mengakibatkan ketidakharmo-nisan bahkan kehancuran bangsa dan negara. Bagi bangsa Indonesia keberagaman suku bangsa, budaya, agama, ras dan antargolongan meru-pakan kekayaan bangsa yang sangat berharga. Meskipun berbeda-beda

85TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 90: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

suku bangsa, adat istiadat, ras dan agama kita tetap bersatu dalam perjuangan mengisi kemerdekaan untuk mewujudkan cita-cita negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Keberagaman bukan merupakan unsur perpecahan namun justru yang menciptakan kesatuan bangsa. Kesatuan adalah upaya untuk mempersatukan perbe-daan suku, adat istiadat, ras dan agama untuk menjadi satu, yaitu bangsa Indonesia. Tuhan mencip-takan manusia dengan berbeda-beda bukan untuk saling bermusuhan melainkan untuk saling mengenal dan bersaudara. Hal tersebut sesuai dengan semboyan negara kita: Bhinneka Tunggal Ika. Berdasarkan Wikipedia Bahasa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indone-sia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat "Berbeda-beda tetapi tetap satu". Jika diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berar-ti "itu". Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Berane-ka Satu Itu", yang bermakna meski-pun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini

digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan . Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara Republik Indone-sia. Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika Lambang negara Indonesia berben-tuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu" ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda . Bhinneka Tunggal Ika merupa-kan semboyan negara Indonesia sebagai dasar untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia, dimana kita harus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari seperti hidup saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, warna kulit dan lain-lain. Tanpa adanya kesadaran sikap dan perilaku untuk mewujudkan Bhinneka Tung-gal Ika pasti akan terjadi perpecahan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena setiap orang hanya akan hanya mementingkan diri atau

86 Agus Leksono, Menjaga Keberagaman di Indonesia

Page 91: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

daerahnya sendiri daripada kepen-tingan bangsa dan Negara . 2. Membangun Komunikasi yang Efektif Salah satu sarana untuk tetap mempertahankan bhineka tunggal ika adalah melalui komunikasi yang tepat. Masing-masing anggota ma-syarakat harus memiliki kemampuan komunikasi yang efektif sehingga dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat yang beragam ini tidak akan meninbulkan salah paham, konflik, atau bahkan perpecahan. Banyak ahli komunikasi yang memiliki kesamaan pandangan mengenai hubungan antara proses komunikasi dan kinerja seseorang. Mereka bersepakat bahwa komuni-kasi efektif dan tingkat kinerja seseorang berhubungan secara signifikan. Memperbaiki komunikasi berarti memperbaiki kinerja seseo-rang. Dalam rangka menciptakan komunikasi yang efektif kita perlu memperhatikan hukum komunikasi yang efektif, yakni 5 hukum komuni-kasi yang efektif (The 5 Inevitable Laws of Efffective Communication) yang biasa disingkat REACH, yang berarti merengkuh atau meraih. REACH sendiri merupakan singkat-an dari kata respect, empathy, audible, clarity dan humble. 3. Respect Hukum pertama dalam mengem-bangkan komunikasi yang efektif adalah sikap menghargai setiap

individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum yang pertama dalam kita berkomunikasi dengan orang lain. Ingatlah bahwa pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita bahkan harus mengkritik atau memarahi seseo-rang, lakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaaan seseorang. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka kita dapat membangun kerja-sama yang menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan efektifitas kinerja kita baik sebagai individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim. Bahkan menurut mahaguru komunikasi Dale Carnegie dalam bukunya How to Win Friends and Influence People, rahasia terbesar yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam berurusan dengan manusia adalah dengan memberikan penghar-gaan yang jujur dan tulus. Seorang ahli psikologi yang sangat terkenal William James juga menga-takan bahwa "Prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai. " Dia mengatakan ini sebagai suatu kebut-uhan (bukan harapan ataupun keinginan yang bisa ditunda atau tidak harus dipenuhi), yang harus dipenuhi. Ini adalah suatu rasa lapar manusia yang tak terperikan dan tak

87TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 92: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

tergoyahkan. Lebih jauh Carnegie mengatakan bahwa setiap individu yang dapat memuaskan kelaparan hati ini akan menggenggam orang dalam telapak tangannya. 4. Empati Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Secara khusus Covey menaruh kemampuan untuk mendengarkan sebagai salah satu dari tujuh kebiasaan manusia yang sangat efektif, yaitu kebiasaan untuk mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti (seek first to under-stand–understand then be under-stood to build the skills of empathetic listening that inspires openness and trust). Inilah yang disebutnya dengan komunikasi empatik. Dengan mema-hami dan mendengar orang lain terle-bih dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun kerjasama atau sinergi dengan orang lain. Rasa empati akan memampukan kita untuk dapat menyampaikan pe-san (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan (receiver) meneri-manya. Oleh karena itu dalam ilmu pemasaran (marketing) memahami perilaku konsumen (consumer's behavior)

merupakan keharusan. Jadi sebelum kita mem-bangun komunikasi atau mengirim-kan pesan, kita perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan kita; sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima. Empati bisa juga berarti kemam-puan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan ataupun umpan balik apapun dengan sikap yang positif. Banyak sekali dari kita yang tidak mau mendengarkan saran, masukan apalagi kritik dari orang lain. Padahal esensi dari komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan. Oleh karena itu dalam kegiatan komunikasi pemasaran above the lines (mass media adverti-sing) diperlukan kemampuan untuk mendengar dan menangkap umpan balik dari audiensi atau penerima pesan. 5. Audible Makna dari audible antara lain dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati berarti kita harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan. Hukum audible mengatakan bahwa

88 Agus Leksono, Menjaga Keberagaman di Indonesia

Page 93: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

pesan harus disampaikan melalui media atau delivery channel sedemi-kian hingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Hukum ini mengacu pada kemampuan kita untuk menggunakan berbagai media maupun perlengkapan atau alat bantu audio visual yang akan membantu kita agar pesan yang kita sampaikan dapat diterima dengan baik. Dalam komunikasi personal hal ini berarti bahwa pesan disampaikan dengan cara atau sikap yang dapat diterima oleh penerima pesan. Dari sisi delivery channel, peng-gunaan teknologi bisa membantu melipatgandakan pancaran sinyal pesan yang ingin disampaikan sehingga bisa diterima oleh jauh lebih banyak orang. Ini yang disebut sebagai kerja cerdas. Misalnya saja, dengan menggunakan media inter-net, kita bisa berkomunikasi dengan sangat mudah dan murah kepada banyak orang. Pendeknya high tech namun tetap high touch. 6. Clarity Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka hukum keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Karena kesalahan penafsiran atau pesan yang dapat menimbulkan berbagai penaf-siran akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan

transparansi. Dalam berko-munikasi kita perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan atau anggota tim kita. Karena tanpa keterbukaan akan timbul sikap saling curiga dan pada gilirannya akan menurunkan se-mangat dan antusiasme kelompok atau tim kita.7. Humble Hukum kelima dalam mem-bangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk mem-bangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki. Sikap rendah hati pada intinya antara lain sikap yang penuh melayani (dalam bahasa pemasaran customer first attitude), sikap menghargai, mau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong dan memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta menguta-makan kepentingan yang lebih besar. Jika komunikasi yang kita bangun didasarkan pada lima hukum pokok komunikasi yang efektif ini, maka kita dapat menjadi seorang komunikator yang handal dan pada gilirannya dapat membangun jaringan hubungan dengan orang lain yang penuh dengan penghargaan (respect), karena inilah yang dapat

89TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 94: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

membangun hubungan jangka pan-jang yang saling menguntungkan dan saling menguatkan. Keberagaman budaya masyara-kat di Indonesia dapat terjaga jika masing-masing anggota masyarakat mampu menciptakan komunikasi yang efektif dalam bergaul atau berhubungan dengan pihak lain yang nota bene berbeda agama, ras, suku, bahasa dan golongannya.

E. PENUTUP Sebagai masyarakat majemuk, Indonesia memiliki dua kecen-derungan atau dampak akibat keber-agaman budaya tersebut, yankni keuntungan dan kerugian. Keuntung-an dengan adanya keberagaman budaya di Indonesia adalah (1) dapat mempererat tali persaudaraan; (2) menjadi aset wisata yang dapat menghasilkan pendapatan Negara; (3) memperkaya kebudayaan nasio-nal; (4) sebagai identitas negara Indonesia di mata seluruh negara di dunia; (5) dapat dijadikan sebagai ikon pariwisata sehingga para wisatawan dapat tertarik dan berkun-jung ke Indonesia; (6) dengan banyaknya wisatawan maka dapat menciptkan lapangan pekerjaan; (7) sebagai pengetahuan bagi seluruh warga di dunia; (8) sebagai media hiburan yang mendidik; (9) timbul-nya rasa nasionalisme warga negara terhadap negara Indonesia; dan (10) membuat Indonesia terkenal dimata dunia berkat keberagaan budaya

yang kita miliki. Pada satu sisi, a d a n y a k e b e r a - g a m a n j u g a berpotensi merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Potensi nega t i f t e r sebut berupa (1) berkembangnya perilaku konflik di antara berbagai kelompok etnik dan (2) pemaksaan oleh kelompok kuat sebagai kekuatan utama yang meng-integrasikan masyarakat. Meng-hadapi kondisi yang demikian, kita sebagai anggota masyarakat harus selalu menjaga keberagaman ini berada pada tataran kecenderungan positif. Cara yang dapat kita tempuh adalah pertama, memahami benar hakikat keberagaman tersebut secara baik. Kenyataan juga menunjukkan, bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia sering terjadi konflik antarkelompok masyarakat yang dilatarbelakangi oleh perbedaan-perbedaan tersebut. Kenyataan terjadinya konflik perlu manjadikan perhatian bagi semua komponen bangsa agar dapat tetap memper-tahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Atas dasar dua alasan tersebut, maka penting sekali memahami keberagaman dalam masyarakat Indonesia yang ditujukan untuk mengusahakan dan memper-tahankan persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indone-sia. Tanpa kesadaran akan kebera-gaman yang kita miliki, bangsa Indonesia bisa saja terjerumus ke arah perpecahan.

90 Agus Leksono, Menjaga Keberagaman di Indonesia

Page 95: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

91TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

DAFTAR PUSTAKA

Beals, R. 1953. "Acculturation", dalam Anthropology Today: An Encylopedic Inventory (Ed. A. L. Kroeber). Chicago: The University of Chicago Press.

Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (terjemahan Aswab Mahasin). Jakarta: Pustaka Jaya.

Geertz, Clifford. 1992a. Tafsir Kebudayaan (terjemahan Francisco Budi Hardiman). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Geertz, Clifford. 1992b. Kebudayaan dan Agama (terjemahan Francisco Budi Hardiman). Yogyakarta: Penerbit Kanisus.

Hutomo, Suripan Sadi. 2001. Sinkretisme Jawa-Islam. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Ihromi, T. O. 1981. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. Kaplan, David dan Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya (terjemahan

Landung Simatupang). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian

Rakyat. Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Cetekan II. Jakarta: UI Koentjaraningrat (Ed. ). 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.

Jakarta: Djambatan. Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi

Simbolik terhadap Kemiskinan. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia. Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer Suatu

pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana.

Zeffry. 1998. Manusia, Mitos dan Mitologi. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

Kedua, meningkatakan kemam-puan berkomunikasi secara efektif kepada masyarakat lain yang nota bene berbeda suku, agama, golongan, atau kebudayaannya. Dalam rangka menciptakan komunikasi yang efek-tif kita perlu memperhatikan hukum komunikasi yang efektif, yakni 5 hukum komunikasi yang efektif (The 5 Inevitable Laws of Efffective Communication) yang biasa dising-kat REACH, yang berarti mereng-kuh atau meraih. REACH sendiri merupakan singkatan dari kata

respect, empathy, audible, clarity dan humble. Respect berarti sikap meng-hargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan; empathy berarti kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain; audible berarti dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik; clarity berarti kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan; dan humble adalah sikap rendah hati.

Page 96: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

1) Artikel ini diangkat dari skripsi Brigadir Taruna Fery Afrilio Christanto oleh Dr. Mukh Doyin, M.Si.

OPTIMALISASI PENGGUNAAN APLIKASI AVIS ONLINE AREA TERBATAS BERBASIS ANDROID DALAM PELAYANAN UJI

TEORI SURAT IZIN MENGEMUDI OLEH SATUAN LALU LINTAS KEPOLISIAN RESOR CIMAHI

1Oleh: Fery Afrilio Christanto

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya inovasi yang dilakukan oleh Satlantas Polres Cimahi pada bulan April 2017 berupa penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android untuk membantu pelayanan uji teori SIM guna menghadapi peningkatan angka pembuatan SIM baru selama 4 tahun terakhir. Namun hingga bulan Februari 2018 jumlah penggunanya masih di bawah 1000, sehingga dinilai belum optimal. Oleh karena itu, dilakukanlah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android, faktor–faktor yang mempengaruhi, dan optimalisasi penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, menggunakan metode penelitian deskripti analisis, serta teknik pengumpulan data dengan wawancara, pengamatan, dan telaah dokumen. Hasil penelitian menemukan bahwa penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android sampai saat ini untuk komponen dasar hukum, sarana, prasarana/fasilitas, pengawasan internal, dan evaluasi kinerja pelaksana belum memenuhi standar. Faktor–faktor yang mempengaruhi yaitu inovasi, saluran komunikasi, dan sistem sosial menjadi faktor penghambat. Optimalisasi yang sudah dilakukan diantaranya dengan penggunaan dwi fungsi ruang pencerahan, pengajuan SOP ke Korlantas, penyampaian inovasi melalui petugas, pengawasan pengendalian oleh pimpinan, penganggaran internet SATPAS, dan perencanaan kerja sama dengan unit Dikyasa. Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyarankan untuk melakukan penganggaran tetap terkait pemeliharaan aplikasi, pengadaan earphone, pengajuan hak paten ke Kominfo, perluasan platform ke iOS, optimalisasi penyampaian petugas kepada pemohon melalui video singkat, pembuataan laporan pelaksanaan secara rutin disertai analisa dan evaluasi pimpinan, upaya sosialisasi melalui kerja sama dengan unit Dikyasa dalam pelaksanaan Dikmas rutin bermediakan video singkat, dan melakukan kerja sama dengan radio maupun stasiun televisi lokal untuk membantu sosialisasi.

Kata Kunci: optimalisasi, aplikasi AVIS online, area terbatas berbasis android, Polres Cimahia dengan nettiket.

A. PENDAHULUAN Polri selalu berbenah dari keku-rangan yang dimiliki agar selalu siap dalam kondisi apapun menjadi pelin-dung, pengayom, dan pelayan bagi masyarakat Indonesia. Beberapa u-paya Polri dapat dilihat melalui Visi Polri saat ini yakni mewujudkan Po-lisi yang Profesional, Modern, dan

Terpercaya (Promoter) dimana hal tersebut dijabarkan dalam 11 Pro-gram Prioritas Kapolri yang siap membawa Polri ke arah yang lebih baik. Program Prioritas Polri poin 2 yang berbunyi "Peningkatan Pe-layanan Publik yang Lebih Mudah Bagi Masyarakat dan Berbasis Tek-nologi Informasi" menjadi sebuah

Page 97: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

93TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

pemacu yang kuat bagi Polri untuk melakukan beberapa akselerasi ino-vasi khususnya berbasis teknologi dan informasi dalam segi pelayanan terutama kepada masyarakat (Grand Startegy Polri 2016 - 2025) Data dari Badan Pusat Statistik (BPS, diunduh 30 Januari 2018: URL) , jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indone-sia pada tahun 2014 mencapai 114.209.260 unit, kemudian pada tahun 2015 mencapai 121.394.185 unit, dan pada tahun 2016 mencapai 129.281.079 unit. Data tersebut menunjukan terjadinya peningkatan kendaraan bermotor yang cukup tinggi dari tahun ke tahun. Pening-katan jumlah kendaraan bermotor ini bisa terjadi karena bertambahnya pengguna ken-daraan bermotor. Pertambahan ken-daraan bermotor dan penggunanya tentunya memberikan dampak pada peningkatan pembuatan SIM. Hal ini tentu karena dalam penggunaan kendaraan bermotor, pengguna diwajibkan memiliki SIM sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi. Fenomena peningkatan pem-buatan SIM rupanya terjadi di daerah Cimahi, dimana pembuatan SIM dari 4 tahun terakhir oleh Satuan Lalu Lintas Polres Cimahi relatif naik. Selain karena bertambahnya peng-guna kendaraan bermotor, hal ini ter-jadi karena Polres Cimahi mem-

bawahi 2 wilayah kabupaten sehing-ga wajar bila angka permintaan pem-buatan SIM di Polres Cimahi lebih besar bila dibanding Polres lain di Polda Jawa Barat Tujuan daripada diwajibkannya pengguna kendaraan bermotor untuk memiliki SIM merupakan bentuk kontrol kompetensi pengendara bermotor (Peraturan Kepala Kepo-lisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi). Pembuataan SIM juga sekaligus merupakan upaya preventif munculnya kecelakaan lalu lintas akibat kesalahan pengguna yang belum cakap menggunakan ken-daraan bermotor. Dilihat dari data tersebut, dapat disimpulkan masyarakat daerah Cimahi khusus-nya sudah memiliki kesadaran yang cukup tinggi akan pentingnya me-miliki SIM sebagai fungsi pence-gahan. Namun, banyaknya permin-taan pembuatan SIM memunculkan masalah baru bagi Polri terutama di bidang pelayanan karena beberapa keterbatasan yang dimiliki Polri da-lam memenuhi permintaan masya-rakat. Di sisi lain, kemajuan teknologi dan informasi di dunia dan di Indonesia khususnya terlihat sangat pesat di berbagai dimensi. Kemajuan teknologi seperti dua mata pisau, bisa sebagai penolong bagi kehidupan manusia juga bisa memberikan dam-pak negatif bagi manusia itu sendiri. Salah satu kemajuan teknologi yang

Page 98: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

94 Fery Afrilio Christanto, Optimalisasi Penggunaan Aplikasi Avis Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan ....

sangat dirasakan adalah munculnya penemuan handphone canggih yang kita kenal dengan nama smartphone. Tidak berlebihan bila smartphone saat ini dinyatakan sebagai kebutuh-an primer bagi masyarakat Indonesia. Hal ini tentu karena aplikasi – aplika-si yang ada di dalamnya sangat mem-bantu dan memberikan kemudahan bagi manusia dalam berbagai hal di kehidpuan sehari – hari. Bahkan hingga saat ini, pengguna smart-phone di Indonesia sudah mencapai sekitar 100 juta jiwa dari 250 juta penduduk yang ada (Kemenkomin-fo, Diunduh 30 Januari 2018, URL). Besarnya pengguna smart-phone yang ada di Indonesia tentunya dapat dijadikan peluang positif bagi pemerintah dan Polri khususnya sebagai media dan sarana dalam menyalurkan inovasi melalui pem-buatan aplikasi – aplikasi yang dapat meningkatkan pelayanan publik yang berbasis teknologi dan infor-masi sesuai Program Prioritas Ka-polri Poin ke-2. Peluang besarnya angka peng-guna smartphone di Indonesia ini rupanya dimanfaatkan dengan baik oleh Polres Cimahi terutama dalam pelayanan pembuatan SIM. Pada tanggal 25 April 2017 bersamaan dengan diresmikannya renovasi Satuan Administrasi Penyelenggara SIM Polres Cimahi, Satuan Lalu Lantas Cimahi juga melakukan launching penggunaan aplikasi AVIS On-line Area terbatas berbasis

android (Laporan Hasil Pelaksanaan Kasat Lantas Polres Cimahi, 2017) . Aplikasi online ini tentunya menja-wab permasalahaan yang ada di Ci-mahi dimana angka pembuatan SIM oleh Satuan Lalu Lintas Polres Ci-mahi terus mengalami peningkatan selama 4 tahun terakhir ini. Aplikasi AVIS Online Area Ter-batas Berbasis Android merupakan aplikasi online pertama di Indonesia yang membantu pemohon SIM bisa melaksanakan tes teori langsung di smartphone berbasis android milik pemohon tanpa perlu mengantri menggunakan komputer yang ada di Polres (Satuan Lalu Lantas Polres Cimahi, 24 Januari 2018 : URL). Pemohon bisa mengunduh aplikasi tersebut di website Polres Cimahi dan menggunakannya di area terbatas dalam hal ini adalah di dalam ruang ujian teori. Sehingga, permasalahan keterbatasan komputer untuk ujian teori di Polres Cimahi yang hanya sebanyak 17 unit untuk pelayanan pembuatan seluruh golongan SIM dapat teratasi. Inovasi yang dilakukan Polres Cimahi berupa penggunaan aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan Uji Teori SIM rupanya masih belum optimal. Terhitung hampir 1 tahun dari tanggal 25 April 2017 sejak aplikasi online tersebut diluncurkan, jumlah penggunaan aplikasi oleh pemohon SIM di Polres Cimahi hanya se-banyak 500 kali (Sat Lantas Polres

Page 99: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

95TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Cimahi, 24 Januari 2018 : URL) Pada hal rata – rata dalam satu bulannya, jumlah pembuataan SIM baru di Polres Cimahi adalah sebanyak 5000 buah. Inovasi aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android oleh Polres Cimahi yang masih terbilang baru ini tentu saja masih memerlukan banyak perbaikan dan penyempur-naan. Inovasi yang sudah dibuat, ten-tunya harus bisa lebih efektif lagi dimanfaatkan agar apa yang menjadi harapan dari dibuatnya aplikasi Online ini dapat tercapai. Segala kendala dan permasalahan yang menghambat penggunaan aplikasi Online ini harus segara ditemukan solusinya. Oleh karena itu, berangkat dari permasalahan tersebut maka statement of intent dari penelitian ini adalah " Belum Optimalnya Peng-gunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan Uji Teori Surat Izin Mengemudi oleh Satlantas Polres Cimahi" Berdasarkan latar belakang terse-but, rumusan masalah penelitian ini adalah (1) bBagaimana penggunaan aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan Uji Teori SIM oleh satlantas Polres Cimahi; (2) apa faktor - faktor yang mempengaruhi penggunaaan aplika-si AVIS Online Area Terbatas Ber-basis Android dalam Pelayanan Uji Teori SIM oleh Satlantas Polres Cimahi; dan (3) bagaimana optima-

lisasi penggunaan aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis An-droid dalam Pelayanan Uji Teori SIM oleh Satlantas Polres Cimahi. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu (1) untuk mendeskrip-sikan penggunaan AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan Uji Teori oleh Satlantas Polres Cimahi; untuk mendeskrip-sikan faktor - faktor yang mem-pengaruhi penggunaaan aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan Uji Teori SIM oleh Satlantas Polres Cimahi; dan untuk mendeskripsikan optima-lisasi penggunaan aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan Uji Teori SIM oleh Satlantas Polres Cimahi. Dengan adanya penelitian yang dilakukan di Polres Cimahi ini, pe-nulis mengharapkan adanya man-faat praktis dari penelitian ini. Adapun manfaat praktisnya adalah untuk memberikan bahan masukan bagi Polri khususnya Polres Cirmahi dalam hal pelayanan pembuatan SIM terkhusus lagi dalam penggunaan AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan Uji Teori SIM .Diharapkan hasil penelitian dapat menjadi saran dan pemikiran terhadap pimpinan dalam mengambil kebijakan sebagai upaya pengem-bangan tugas dan fungsi kepolisian yang terkait permasalahan penelitian ini terkhusus dalam penggunaan aplikasi AVIS Online Area Terbatas

Page 100: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

ini agar berlangsung dengan optimal.

B. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan da-lam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Yang menjadi fokus dalam penelitian adalah bagaimana optim-alisasi penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android dalam pelayanan pembuatan SIM oleh satlantas Polres Cimahi Pene-litian ini juga mencoba mengungkap faktor – faktor yang mempengaruhi penggunaan aplikasi online tersebut serta bagaimana penggunaan aplikasi online tersebut saat ini. Penelitian ini dilakukan di area wilayah hukum Polres Cimahi, dan unit tugas Sat Lantas Polres Cimahi khususnya pada bagian Pelayanan Pembuatan SIM. Secara garis besar pendekatan kualitatif menggunakan teknik pengumpulan data : wawan-cara tidak berstruktur, pengamatan (observasi), studi dokumen, dan diskusi kelompok terarah (focused-group discussion) serta (dalam hal –hal tertentu dapat digunakan) kuesioner /angket. Dalam melakukan analisis data dilakukan secara tiga tahap yaitu : reduksi data, sajian data, dan pena-rikan kesimpulan. Reduksi data pada proses analisis data adalah bentuk analisis yang bertujuan untuk mem-pertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tak pen-ting dan mengatur data, sehingga dapat dibuat kesimpulan (Farouk,

2010: 97). Sajian data adalah susunan informasi yang memungkinkan dapat ditariknya suatu kesimpulan pene-litian. Penarikan kesimpulan atau verifikasi sudah dilakukan sejak awal pengumpulan data dimana peneliti sudah mulai memahami makna dari hal – hal yang ditemui dengan meca-tat keteraturan, pola – pola, pernya-taan dari berbagai konfigurasi yang mungkin, arah hubungan kausal dan proporsi (Farouk dan Djaali, 2005: 98).

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Penggunaan Aplikasi AVIS Online a. Waktu Pelayanan Berdasarkan data dari Play Store jumlah penggunaan aplikasi avis online area terbatas berbasis android dari bulan April lalu sampai Februari 2018 adalah sebanyak 500 -1000 pemasangan dibandingkan dalam se tahun jumlah produksi sim bisa mencapai 50.000. Ditambah dari observasi yang dilakukan dalam sehari bisa berkisar antara 250 -500 pemohon. Besarnya pemohon dan terbatasnya PC di Satlantas Polres Cimahi yang hanya 17 buah dengan 13 gelombang 1 harinya seharusnya penggunaan aplikasi ini bisa lebih dioptimalkan dibanding yang seka-rang. Dalam observasi yang dilakukan oleh peneliti, Terdapat limit waktu dalam penyelesaian uji teori SIM, secara keseluruhan terdapat 30 butir

96 Fery Afrilio Christanto, Optimalisasi Penggunaan Aplikasi Avis Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan ....

Page 101: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

soal yang mana 1 soalnya diberi wak-tu pengerjaan selama 30 detik. Secara keseluruhan memang dalam 1 ge-lombang waktu pengerjaannya seki-tar 30 menit karena memang sebelum pengerjaan didahului dengan per-siapan dan pemberian penjelasan tentang bagaimana menguna-kan aplikasi ini. Penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dili-hat dari aspek jangka waktu sebenar-nya tidak ada yang perlu diperma-salahkan karena menyesuaikan de-ngan gelombang ujian teori yang menggunakan PC hanya saja peng-gunaan aplikasi ini rupanya masih belum optimal dalam membantu antrian PC untuk Uji Teori karena keterbatasan jumlah PC dan gelom-bang ujian. Terutama dalam waktu – waktu tertentu dikarenakan masih banyak pemohon yang enggan untuk menggunakan smartphone android-nya padahal mereka memiliki karena belum paham bagaimana mekanis-menya.b. Biaya Berdasarkan observasi yang dila-kukan oleh peneliti tidak ada pungutan liar yang dilakukan oleh Petugas Uji Teori SIM dalam mem-berikan pelayananya. Penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dilihat dari aspek biaya atau tarif dapat disimpulkan tidak ada yang perlu dipermasalahan karena penggunaan aplikasi ini sudah menjadi satu dengan pelayanan SIM

secara umum sehingga tidak dila-kukan pemungutan / tambahan biaya bila ingin menggunakannya.c. Produk Pelayanan Produk pelayanan merupakan bukti fisik/ nyata dari pelayanan itu sendiri. Sehingga produk yang dihasilkan harus jelas dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Ber-dasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti dalam pelayanan uji teori SIM menggunakan aplikasi AVIS Online area terbatas berbasis android yang menjadi hasil dari pengerjaan ujian teori itu adalah Hasil Print Out daripada Penggunaan Aplikasi yang tertera di smartphone pemohon. Desain Visual yang di-munculkan pada aplikasi tentunya memiliki bentuk yang sama dengan pada PC, sehingga selesai menda-patkan hasil dari uji teori tersebut, langkah yang dilakukan pemohon SIM adalah menyampaikan kepada petugas uji teori untuk mendapatkan print out hasil yakni lulus tidaknya pemohon dalam melakukan uji teori tersebut. Sehingga, Penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dilihat dari aspek produk pelayanan sudah memenuhi standar pelayanan karena jelas hasil dari uji teori yang ada di smartphone sama dengan yang ada di PC dan pemohon yang menggunakan aplikasi ini di android juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan Print Out hasil sama seperti yang ada di PC.

97TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 102: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

d. Sarana dan Prasarana/Fasilitas Dalam menjalankan pelayanan sarana dan prasarana sudah pasti menjadi hal yang paling utama dalam sebuah pelayanan. Berikut disajikan daftar sarana dan pra sarana yang terdapat di ruang uji teori bagi yang menggunakan PC, dan di ruang pencerahan bagi yang menggunakan smartphone berbasis android. Dalam penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android ini, ruangan yang digunakan adalah ruangan pencerahan. Sehingga dapat disimpulkan Penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android ini bila dilihat dari segi sarana dan pra sarana baik ruangan, jaringan inter-net, intranet dan pendukung lainnya sebenarnya sudah memenuhi standar. Tapi ternyata ditemui kendala lain yakni masalah earphone di mana pe-mohon yang menggunakan smart-phone agak bias mendengar audio yang keluar sehingga petugas harus meminjamkan earphone miliknya karena banyak pemohon yang tidak membawa. e. Kompetensi Pelaksanaf. Kompetensi pelaksana adalah kecakapan yang dimiliki oleh petu-gas dalam menggunakan aplikasi ini secara teknis. Memang belum ada pelatihan yang sifatnya formal terkait penggunaan aplikasi ini, namun un-tuk penjelasan terkait pelatihan secara non formal terkait pengguna-an aplikasi AVIS online area terbatas

berbasis android sudah dilakukan. Sehingga dapat disimpulkan Penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android ini bila dilihat dari segi kompetensi adalaha Ttdak perlunya dilakukan pelatihan formal karena memang penggunaan aplikasi ini sebenarnya cukup mudah hanya perlu diberikan penjelasan secara lisan saja kepada petugas seperti yang sudah dilakukan oleh Polres Cimahi.g. Pengawasan Internal Pengawasan Internal dalam hal ini dilakukan baik oleh Kasat lantas, Kanit Regident, maupun Ba Ur SIM terhadap berjalannya penggunaan aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android ini. Sehingga dapat disimpulkan pengawasan Internal yang dilakukan oleh Unsur Pimpinan dalam hal ini Kasat Lantas, Kanit Regident, mapun Ba Ur SIM terha-dap penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis An-droid ini walaupun sudah dilaksana-an secara rutin masih belum mende-tail dan optimal karena walaupun dilakukan pengawasan dan pengen-dalian tapi di bagian uji teori Petugas-nya tidak menjelaskan mekanisme penggunaan aplikasi ini kepada pemohon padahal pada waktu itu uji teori dalam keadaan mengantri.h. Penanganan Pengaduan, Saran, dan Masukan Penanganan pengaduan, saran, dan masukan merupakan bentuk feed back yang diberikan oleh pemohon

98 Fery Afrilio Christanto, Optimalisasi Penggunaan Aplikasi Avis Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan ....

Page 103: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

kepada petugas SIM, sehingga apa yang menjadi kekurangan dari pela-yanan yang diberikan dapat menjadi bahan koreksi dan perbaikan agar kedepannya pelayanan yang diberi-kan dapat optimal. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti di ruangan uji teori SIM walaupun memang ada kotak saran di pintu masuk SATPAS, namun sebenarnya belum ada kotak saran secara khusus untuk memberikan kritik dan saran terkait pelayanan yang diberikan terhadap uji teori tersebut baik yang menggunakan PC terutama penggunaan area terbatas berbasis android. Observasi peneliti selanjutnya adalah terhadap pelayan-an yang diberikan petugas Uji Teori SIM, selama memberikan instruksi sebelum pelaksanaan ujian maupun setelah ujian selesai dilaksanakan, Petugas Uji Teori dalam hal ini tidak memberikan kesempatan bagi Pemo-hon untuk menyampaikan saran atau kritik terkait pelayanan yang diberi-kan.i. Jumlah Pelaksana Berdasarkan Observasi yang dila-kukan oleh Peneliti terdapat 5 ang-gota yang menjadi petugas uji teori sekaligus membantu berjalannya pelaksanaan penggunaan aplikasi online ini. Sehingga dapat disim-pulkan dari segi jumlah pelaksana, Penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android sampai saat ini juga tidak ditemukan kendala / masalah yang berarti terkait

pelayanan yang diberikan.j. Jaminan Pelayanan Berdasarkan Janji Layanan yang diberikan oleh Satpas Polres Cimahi maka tentunya Inovasi terkait Peng-gunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas ini dapat membantu ter-wujudnya janji poin pertama yakni jaminan daripada kepastian waktu dalam proses pembuatan SIM Baru yang harus diselesaikan selama 2 jam. Karena tentunya dengan adanya inovasi ini bisa mewujudkan pela-yanan uji teori sim yang bebas an-trian. Sehingga dari segi jaminan pela-yanan, penggunaan aplikasi AVIS Online Area terbatas saat ini sudah memenuhi standar yang ditentukan.k. Jaminan Keamanan dan Kese- lamatan Berdasarkan beberapa hasil wa-wancara tersebut maka dapat disim-pulkan dari segi jaminan keamanan dan keselamatan, Penggunaan Apli-kasi AVIS online Area Terbatas Ber-basis Android saat ini tergolong aman. Dan hampir tidak mungkin terjadinya kejahatan cyber karena avis menggunakan sistem intranet, untuk masalah kecurangan juga demikian karena jumlah pelaksana yang cukup sehingga kecurangan juga dapat dibilang hampir tidak mungkin.2. Faktor–Faktor yang Mempenga- ruhi Penggunaaan Aplikasi AVIS Online a. Belum Adanya Hak Paten

99TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 104: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android itu sendiri yang menjadi permasalahan /faktor yang mempengaruhi adalah terletak pada belum adanya hak paten dari kemenkominfo atas aplikasi ini walaupun secara operasional sudah diperbolehkan oleh Korlantas kemu-dian juga di dalam Aplikasi AVIS Online area terbatas berbasis android ini belum ditemukannya juga fitur pemberian saran / kritik terkait pelayanan yag diberikan sehingga pemohon tidak bisa menyampaikan kritik / saran nya.b. Sosialisasi Sehingga faktor yang menjadi permasalahan / faktor yang mem-pengaruhi pelayanan penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android ini adalah belum adanya spanduk terkait keabsahan dari aplikasi ini di satpas karena memang aplikasi ini merupakan sebuah inovasi yang baru disetujui oleh korlantas dan belum dilaporkan hak patennya ke Diskominfo. Di samping itu faktor lain yang mem-pengaruhi adalah belum adanya pengadaan earphone dalam pelayan-an uji teori yang menggunakan an-droid sehingga terkadang bila pemohon banyak yang menggunakan aplikasi area terbatas ini maka suara-nya akan bias. Yang terakhir adalah belum adanya ang-garan yang disediakan secara khusus untuk me-lakukan perawatan, pemeliharaan

maupun pengembangan aplikasi ini sehingga pelayanan penggunaan aplikasi ini masih belum optimal. Berdasarkan metode/ cara peng-gunaan aplikasi AVIS online area terbtas ini langkah – langkah yang diinstruksikan jelas dan sebenarnya terbilang tidak susah apalagi bagi pemohon yang masih muda. Yang menjadi permasalahan sebenarnya pada sosialisasi terkait metode / cara penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas ini karena sampai saat ini seperti hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti masih banyak pemohon SIM yang belum mema-hami betul bagaimana pengo-perasian aplikasi ini.c. Saluran komunikasi Saluran Komunikasi adalah alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada pene-rima. Dalam menyebarkan inovasi Penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android tujuan dari penyebaran inovasi ini adalah jelas agar masyarakat pada umumnya dan pemohon SIM pada khususnya dapat mengetahui menge-nai aplikasi ini dan menggunakanya agar Pelayanan Uji Teori SIM yang diberikan lebih baik dan bebas dari antrian. Namun kenyataannya dalam sosi-alisasi terkait penyebaran inovasi penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android ini ma-sih sangat terbatas. Sehingga ini menunjukan minim-

100 Fery Afrilio Christanto, Optimalisasi Penggunaan Aplikasi Avis Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan ....

Page 105: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

nya penyebaran dari inovasi aplikasi ini, penyebaran yang dilakukan hanya melalui Website Satlantas Polres Cimahi, pamflet yang ada di satpas dan terkadang hanya dilaku-kan oleh petugas uji teori secara lisan. Padahal, saluran Komunikasi adalah alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima sehingga merupakan faktor penting berhasilnya inovasi ini.d. Jangka waktu Dalam melakukan sebuah inovasi memang salah satu faktornya adalah jangka waktu . Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakuakan dapat disim-pulkan bahwa memang inovasi penggunaan aplikasi AVIS online ini memang melalui beberapa tahapan hingga dapat digunakan seperti saat ini. Mulai dari pengiedean dari tahun 2009 sampai dengan 2016 melihat kesempatan yang ada karena besar-nya pengguna android hingga pada bulan april 2017 dilakukan launching pengunaan aplikasi. Di tahap penye-baran inovasi ini tentunya memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Sehingga memang faktor jangka waktu sejak aplikasi laun-ching hingga saat ini menjadi faktor yang mempengaruhi penggunaan aplikasi. Semakin lama aplikasi ini disebarkan dan disosiali-sasikan tentu saja penggunanya akan sema-kin banyak. Sehingga yang terpen-ting dan harus dilakukan yakni jang-ka waktu penyebaran inovasi

penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android ini harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin agar dapat secepatnya dinikmati oleh pemohon SIM.e. Sistem sosial Sistem Sosial merupakan kumpul-an unit yang berbeda secara fungsio-nal dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini yang termasuk dalam sistem sosial dari penggunaan aplikasi AVIS online berbasis android adalah mulai dari Kasatlantas, Kanit Regident, Ba Ur SIM, Anggota Petugas Uji Teori, hingga Program-mer dari Aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android itu sendiri. Berdasarkan hasil wawancara denga Kasat Lantas yang dilakukan oleh peneliti, secara kuantitas jumlah personel sebenarnya cukup mema-dahi untuk melakukan pelayanan penggunaan aplikasi avis online area terbatas berbasis android pada khususnya dan uji teori pada umum-nya. Berdasarkan hasil observasi terse-but maka dari segi sistem sosial (unsur pimpinan maupun pelaksana) maka yang sudah sesuai dengan standar adalah poin 1,2,3,4,5,6,8 dan 9. Sementara yang belum sesuai dengan standar adalah poin 7,10,11, dan 12. 3. Optimalisasi Penggunaan Aplika- si AVIS Online a. Strategi Pertumbuhan (Growth

101TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 106: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Strategy) Di dalam strategi pertumbuhan terdapat dua pilihan strategi, yaitu strategi yang difokuskan pada pengembangan pemberian pelayanan biasa disebut consentration growth strategy. Selain itu, bila pengem-bangan pelayanan dilakukan dengan menambah jumlah dan jenis program pelayanan yang telah ada di porto-folionya, strategi ini disebut diver-sification growth strategy. Selajutnya optimalisasi yang telah dilakukan Satlantas terkait peng-gunaan aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android Area Terbatas ini akan menggunakan consentration growth strategy karena pengembangan akan difokuskan pada pemberian pelayanan pada program – program pelayanan yang telah ada sesuai portofolio (posisi dan tupoksinya), diantaranya yakni peng-gunaan ruang pencerahan menjadi ruang dwifungsi dimana selain sebagai ruang memberikan penjelas-an juga ruang untuk mengerjakan ujian teori bagi yang menggunakan android karena tentunya ruang uji teori yang ada sudah penuh, Untuk kenyamanan, maupun jaringan da-lam penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas yang dilaksanakan di ruang pencerahan ini sebenarnya sudah dinilai cukup, yang perlu menjadi perhatian adalah masih banyak pemohon yang tidak mem-bawa earphone sehingga terpaksa ke-rap kali petugas harus meminjamkan

earphone nya agar pemohon dapat menjalankan ujiannya dengan nya-man. Aplikasi Online bila ingin memili-ki izin dan hak paten sebenarnya sangat mudah, syarat dan ketentuan-nya tergantung di bidang apa aplikasi ini bekerja. Dan karena Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android ini sifatnya hanya inovasi dari program pemerintah yang sudah ada yakni yang konvensionalnya di PC sekarang lebih praktis di android yang menjadi syarat asalkan secara audio dan visual sudah memenuhi standar kelayakan konsumen. Juga tentunya tidak mengancam privasi atau data -data tertentu dari pemohon SIM. Dan dari sistemnya saya rasa aplikasi itu aman dan sudah meme-nuhi, tinggal pengajuan saja ke Kominfo karena memang sampai saat ini belum ada pengajuan sama sekali. Sehingga tentunya pengajuan Korlantas agar SOP inovasi ini segera dilegitimasi merupakan lang-kah tepat yang sudah dilakukan oleh Kasatlantas.b. Strategi Meningkatkan Efisiensi (Retrenchment Strategy) Dalam Retrenchment Strategy, ada tiga macam strategi : turnaround, divesment, liquidation. Strategi turnaround (perputaran) dipakai bila kinerja organisasi menurun, tetapi prospek untuk melakukan revitalisasi masih baik. Strategi divestasi dilaku-kan bila strategi perputaran tidak memungkinkan lagi dilaksanakan

102 Fery Afrilio Christanto, Optimalisasi Penggunaan Aplikasi Avis Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan ....

Page 107: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

karena organisasi pelayanan tidak mampu lagi menawarkan portofolio program pelayanan yang benar. Sedangkan strategi likudasi adalah strategi penghentian secara formal kegiatan pelayanan. Selanjutnya dalam optimalisasi penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android ini, Polres menggunakan strategi turna-round karena pada kasus ini ditemu-kan kinerja organisasi menurun, tetapi prospek untuk melakukan revitalisasi masih baik. Beberapa revitalisasi terkait penurunan kinerja organisasi yang telah dilakukan kepada petugas dalam hal ini baik unsur pimpinan mapun pelaksana.c. Strategi Stabilitas (Stabilty Strategy) Strategi ini didesain untuk melindungi posisi dan keberadaan organisasi di lingkungannya. Ada empat varian strategi, yaitu a) status quo strategy dipakai untuk memper-tahankan status dana arah organisasi yang ada sekarang, b) captive strategy digunakan untuk melin-dungi organisasi dari lingkungan yang merongrong, c) pause strategy dipakai untuk penyesuaian diri yang tepat karena adanya pertumbuhan efisiensi atau perubahan organisasi yang substansial, d) incremental strategy dipakai bila organisasi membutuhkan perubahan bertahap. Selanjutnya dalam optimalisasi penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android ini,

Polres menggunakan strategi status quo strategy dimana walaupun peng-gunaan aplikasi AVIS Online Area Terbatas ini masih belum optimal karena memang dinilai masih baru karena sifatnya inovasi. Namun jelas, inovasi ini adalah yang pertama di Indonesia sehingga ini merupakan sebuah brand dari Polres Cimahi yang patut dibanggakan. Kurang optimalnya juga bukan merupakan masalah yang menuntut agar aplikasi ini ditiadakan karena faktor –faktor penyebab dari kurang optimalnya pelayanan ini sebenarnya dapat diatasi. Sehingga, sudah barang tentu inovasi ini harus terus dipertahankan pelaksanaanya dan dilakukan pengoptimalan agar terus dapat memberikan pelayanan yang terbaik sebagai bukti dengan masih dianggarkannya uang bulanan pela-yanan internet dan intranet 4. Strategi Kolaborasi (Collabora- tive Strategy) Strategi ini terdiri tiga macam strategi: a) resource sharing, pihak yang terlibat saling berbagi sumber yang mereka miliki atau akan miliki untuk meningkatkan efisiensi pela-yanan. b) joint ventures, adanya ko-mitmen di antara dua organisasi atau lebih untuk menangani kebutuhan masyarakat secara bersama, c) strate-gic alliances, adanya komitmen dua organisasi atau lebih untuk menya-tukan kekuatan yang dimiliki yang diarahkan terhadap sejumlah isu stra-tegis guna mencapai tujuan yang me-

103TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 108: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

reka inginkan. Selanjutnya dalam optimalisasi penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android ini, Polres menggunakan strategi resour-ce sharing, di mana dalam hal ini Kasatlantas berencana melakukan kerja sama antara Unit Regident dengan Unit Dikyasa. Dalam pelak-saaan startegi ini tentunya tidak dikeluarkan biaya tambahan sama sekali. Maka, Unit Dikyasa dapat mem-bantu penyebaran inovasi pengguna-an aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dengan cara di setiap melakukan pesan – pesan keselamatan perlu disempat-kan adanya pengenalan aplikasi ini kepada masyarakat umumnya dan khususnya dikalangan pelajar SMA. Karena mayoritas pembuat SIM baru jelas adalah kalangan usia pelajar SMA. Sehingga strategi resource sha-ring yang dilakukan Unit Regident adalah dengan merencanakan sosiali-sasi inovasi aplikasi ini setelah pem-berian pesan – pesan keselamatan lalu lintas karena setidaknya dapat dilihat dalam tabel di atas di mana dalam Bulan Februari 2018 silam terdapat giat dikmas sebanyak 24 kali bila hal dioptimalkan tentu penyebar-an inovasi ini dapat dengan cepat dan tentunya efisien. Walaupun memang pelaksanaan strategi ini belum terlak-sana karena perencanaan dari pihak unit regident masih menunggu

persetujuan dari Kasat Lantas namun diperkiraan awal bulan April akan dilaksanakan.

D. PENUTUP1. Simpulan Penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android terhitung dari tanggal 19 April 2017 hingga Bulan Maret 2018 adalah sebanyak 500 -1000 pemasangan. Hasil penelitian menunjukan terda-pat 4 dari 14 komponen standar yang belom terpenuhi sehingga ini menun-jukan penggunaan aplikasi AVIS Online Area terbatas berbasis An-droid ini masih belum optimal. Faktor – faktor yang mempenga-ruhi Penggunaan Aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android berdasarkan teori Difusi Inovasi menurut Rogers (1961) dapat dilihat dari 4 unsur yakni inovasi, saluran komunikasi, jangka waktu dan sistem sosial. Dari ke-4 unsur tersebut hanya faktor jangka waktu yang bersifat netral artinya tidak dapat diperbaiki/ ditingkatkan karena unsur tersebut relatif berdasarkan lamanya inovasi tersebut diterima oleh masyarakat. Sementara unsur inovasi, saluran komunikasi, dan sistem sosial menjadi faktor yang lebih bersifat menghambat karena memang banyak yang diniali belum optimal Optimalisasi penggunaan aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan Uji Teori

104 Fery Afrilio Christanto, Optimalisasi Penggunaan Aplikasi Avis Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan ....

Page 109: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

SIM oleh Satlantas Polres Cimahi berdasarkan Teori Peningkatan Pelayanan Publik oleh Kearns (2010) dapat melalui 4 strategi yakni strategi pertumbuhan, strategi meningkatkan efisiensi, strategi stabilitas, dan strategi kolaborasi. Di dalam strategi pertumbuhan, Polres memilih meng-gunakan consentration growth stra-tegy melalui penggunaan dwi fungsi ruang pencerahan menjadi ruang uji teori, dan pengajuan SOP ke Korlan-tas Polri. Kemudian, dalam strategi meningkatkan efisiensi Polres menggunakan strategi turnaround dimana Polres yakni dari unsur petugas dengan menyampaikan aplikasi ini kepada pemohon bila di uji teori dalam keadaan mengantri. Selanjutnya dalam strategi stabilitas, Polres menggunakan status quo strategy dimana inovasi in tetao dilaksanakan dan dipertahankan terbukti dengan anggaran internet satpas yang masih dianggarkan setiap bulannya. Yang terakhir, dalam strategi kolaborasi peneliti menggu-nakan resource sharing dimana dila-kukan perencanaan kerja sama antara Unit regident dan Unit Dikyasa dalam pelaksanaan dikmas oleh Unit Dikyasa yang dapat disisipkan sosialisasi terkait Penggunaan Apli-kasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android.2. Saran Terdapat beberapa saran yang dikemukakan oleh peneliti dalam upaya optimalisasi penggunaan

aplikasi AVIS Online Area Terbatas Berbasis Android dalam pelayanan uji teori SIM oleh satlantas Polres Cimahi yakni sebagai berikut.a. Melakukan penganggaran terkait pemeliharaan dan perawatan aplikasi ini. Sejak aplikasi ini launching hingga saat ini anggaran untuk pemeliharaan dan perawatan aplikasi memang belum ada. Angga-ran harus segera dicanangkan sehing-ga program inovasi penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android ini dapat berjalan dengan baik. b. Segera membuat pengajuan ter- kait hak paten ke Kominfo dan mempercepat persetujuan SOP dari Korlantas. Aplikasi Online yang baik tentunya harus juga memiliki syarat – syarat aplikasi itu dinyatakan baik. Dalam hal ini aplikasi online AVIS online area terbatas ini sudah memiliki syarat – syarat tersebut baik dari segi audio visual nya maupun privasi dari pemohon itu sendiri. Sehingga dengan memilikinya hak paten, rasa aman dan nyaman masyarakat bila ingin menggunakan aplikasi ini semakin tinggi karena jelas sudah memiliki payung hukum-nya.c. Perluasan Aplikasi dari segi platform sehingga bukan hanya pengguna android saja yang dapat menggunakan inovasi ini melainkan pengguna smartphone berbasis iOS. Dengan demikian objek pelayanan inovasi ini juga semakin luas.

105TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 110: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal. 2016. Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian Kualitatif Dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.

Agustin, Risa.2012. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Serba Jaya.Aziz, Thoriq. 2015. "Upaya Peningkatan Pelayanan di Bidang Registrasi dan

Identifikasi Pengemudi oleh Satlantas Polres Wonosobo Guna Menca-pai Kepuasan Masyarakat". Skripsi Akpol Semarang.

Djamin, Awaloedin. 2011. Sistem Administrasi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

Dwi, Erlisa. 2010. "Pemanfaatan Teknologi Informasi (Studi pada SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 4 Surabaya)". Jurnal Teknologi Informasi.

Hanafi, Abdillah.2012. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru.Surabaya:Usana Offset.

Hemas, Tiara. 2017. "Keefektifan Pelayanan SMS Booking SIM dan Pelayanan Samsat Keliling untuk Meningkatkan Kepuasan Masya-rakat di Wilayah Hukum Polres Kudus". Skripsi Akpol Semarang.

Ismail. 2010. Menuju Pelayanan Prima: Konsep Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Malang: Averroes Press.

Istiono, Nur. 2013. Optimalisasi Pelayanan SIM Satuan Lalu Lintas Kepada Masyarakat Pemohon SIM di Wilayah Hukum Polres Semarang. Skripsi STIK-PTIK Semarang.

Moleong, J Lexy. 2005. Metodologi Penelitian. Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muhammad, Farouk dan Djaali. 2005. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: PTIK Press & CV. Restu Agung.

Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi.Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi

Kendaraan Bermotor.Rogerrs, Everett. 2014. Diffusion of Innovations. New York: Free Press.Sadjijono. 2006. Hukum Kepolisian: Perspektif Kedudukan dan

Hubungannya dalam Hukum Administrasi. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Shirley-Ann Hazlett dan Frances Hill. 2003. "E-Government : The Realities of Using IT to Transform The Public Sector". Managing Service Quality, Vol. 13 Iss 6 pp. 445-452.

Supratman, Dandan. 2005. Metodologi Penelitian Sosial: Suatu Sumber Belajar di Akademi Kepolisian Republik Indonesia. Semarang: UPT

106 Fery Afrilio Christanto, Optimalisasi Penggunaan Aplikasi Avis Online Area Terbatas Berbasis Android dalam Pelayanan ....

Page 111: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

UNNES Press.Tjiptono, Fandy. 2012. Service Management : Mewujudkan Layanan Prima.

Yogyakarta: Andi Offset.Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik.

107TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 112: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

A. PENDAHULUAN Kemajemukan agama dan keper-cayaan yang dianut oleh masyarakat merupakan realitas sosial yang ada di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Para pendiri bangsa (fo-unding father) memahami bahwa bangsa Indonesia sudah sejak lama terdiri dari masyarakat dengan ragam budaya yang di dalamnya terdapat bermacam-macam agama dan keper-cayaan. Ragam agama dan keper-

cayaan ini membentuk kelompok-kelompok penganut yang berbeda-beda satu sama lain. Beberapa ke-lompok umat beragama dianggap minoritas, yaitu Kristen, Katholik, Budha, Hindu, dan Khonghucu. Kelompok-kelompok umat ber-agama tersebut hidup bersama de-ngan kelompok mayoritas agama Islam (Pratiwi, 2010 : 11). Kelom-pok-kelompok umat beragama, baik minoritas maupun mayoritas harus

1) IPTU Wigiyadi, S.H., M.Si. adalah Tenaga Pendidik Akpol

PERAN BHABINKAMTIBMAS DALAM PENCEGAHAN KONFLIK SOSIAL BERBASIS AGAMA DI POLRESTA BOGOR KOTA

1Oleh: Aditya Rizky Nugroho

ABSTRAK

Keragaman agama merupakan bagian dari realitas sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Meski demikian, perbedaan agama dapat berpotensi memicu pertentangan bahkan tindak kekerasan di antara umat yang berbeda keyakinan, seperti konflik sosial berbasis agama yang terjadi di wilayah hukum Polresta Bogor Kota, Jawa Barat. Polri sebagai pelayan masyarakat berupaya agar situasi keamanan dan ketertiban di masyarakat dapat terpelihara melalui fungsi Pemolisian Masyarakat dan konsep Promoter yang dicanangkan Kapolri. Oleh karena itu, peran Bhabinkamtibmas sebagai garda terdepan pelaksana fungsi Polmas sangat penting dalam melakukan tindakan pencegahan (crime prevention) terhadap situasi konflik sosial berbasis agama di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peran Bhabinkamtibmas, terkait pendekatan kemitraan (partnership) dan upaya pemecahan masalah (problem solving) dengan menggunakan teori unjuk kerja dari Campbell dalam mencegah konflik sosial berbasis agama di wilayah hukum Polresta Bogor Kota. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang pengambilan datanya dilakukan melalui wawancara, observasi, studi dokumen, dan focus group discussion (FGD) kepada sejumlah narasumber, baik itu anggota kepolisian (Bhabinkamtibmas, Kapolresta, Kapolsek, dll) maupun tokoh masyarakat, di wilayah hukum Polresta Bogor Kota, khususnya wilayah Polsek Bogor Barat dan Bogor Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bhabinkamtibmas dianggap telah mampu menjalankan peran dan tugasnya dalam menjalin kemitraan dengan pihak-pihak yang bertikai sehingga situasi wilayah Polresta Bogor Kota dengan terjadinya konflik sosial berbasis agama telah dapat tertangani dengan efektif sehingga wilayah Bogor Kota cukup kondusif. Meskipun masih perlu peningkatan kemampuan dan keterampilan Bhabinkamtibmas dalam unjuk kerja menangani konflik sosial berbasis agama

Kata Kunci: peran, bhabinkamtibmas, konflik sosial, kekuatan agama

Page 113: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

saling menghormati, diakui dan dipertahankan sebagaimana sema-ngat kesatuan yang tersirat dalam semboyan NKRI yaitu Bhinneka Tunggal Ika (Lestari, 2016 : 31). Perbedaan dalam suatu bangsa dapat dinilai sebagai sebuah kekaya-an bagi bangsa itu sendiri, terutama jika antara penganut agama yang berbeda saling menghargai, saling belajar memahami satu sama lain dan berupaya memperkokoh nilai-nilai agama dan keimanan sesuai keya-kinan masing-masing (Novianty, 2017 : 25 ). Perbedaan tersebut, di satu sisi, juga dapat berpotensi memicu pertentangan, perpecahan, bahkan kekerasan di antara umat beragama. Hal ini sesuai dengan la-poran yang dikemukakan oleh SETARA Institute tentang 244 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang disertai dengan 299 bentuk tindakan kekerasan. Tindak kekeras-an berbasis atau mengatasnamakan agama juga telah menyebar ke berba-gai pelosok Indonesia, yaitu di 17 wilayah pemantauan, dan wilayah lainnya di luar wilayah pemantauan (Jamaludin, 2015 : 19). Wilayah Indonesia memiliki 5 (lima) provinsi yang tercatat memili-ki tingkat pelanggaran berbasis a-gama, antara lain provinsi Jawa Barat (57 kasus), Sulawesi Selatan (45 kasus), Jawa Timur (31 kasus), Sumatera Utara (24 kasus), dan Ban-ten (12 kasus) (Jamaludin, 2015 : 19). Data ini didukung oleh survei yang

dilaksanakan oleh Wahid Institute, yang dipaparkan dalam seminar nasional di Kota Bogor pada tanggal 6 Agustus 2016. Data survei menun-jukkan jumlah perilaku intoleran yang mengatasnamakan agama terus meningkat setiap tahunnya di Indo-nesia. Situasi itu sangat mempriha-tinkan karena kemajemukan agama di Indonesia tidak hanya berdimensi positif yang dapat dijadikan landasan keyakinan (common ground) untuk membangun hubungan antar agama yang sehat, humanis, dinamis dan berkualitas, tetapi dapat juga ber-dimensi negatif yaitu memicu atau menginspirasi oknum umat ber-agama melakukan tindak kejahatan dan kekerasan kepada umat bera-gama lainnya (Suedy dkk, 2012 : 48). Dennet dalam Rusmalia (2008 : 1) menjelaskan tentang konsep the ambivalence of sacred yang dapat dimaknai sebagai watak ambiguitas sebuah agama yaitu ketika agama di satu sisi dapat menjadi sumber kekerasan, perang, permusuhan, dan sebagainya, namun di saat yang ber-samaan, agama juga dapat menjadi sarana untuk menggerakkan perda-maian, cinta kasih, harmoni, keadil-an, dan berbagai aksi kemanusiaan lain yang mulia. Sejalan dengan pan-dangan tersebut, Harrold (2004 : 235) berpendapat bahwa agama pada prin-sipnya memiliki 2 (dua) kekuatan utama, yaitu bersifat konstruktif jika dihayati sebagai sarana menjalin

109TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 114: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

keharmonisan dan peradaban yang sejahtera, dan sebaliknya bersifat destruktif apabila digunakan sebagai alat untuk membenarkan tindakan kekerasan sehingga berdampak pada perpecahan suatu bangsa. Berdasarkan tinjauan terhadap data survei dan hasil penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa peristiwa konflik sosial antarumat beragama telah mengakibatkan ter-ganggunya keamanan dan keter-tiban masyarakat, bangsa, dan nega-ra, sehingga pemerintah diharapkan dapat bertindak cepat dan tepat. Polri (Kepolisian Negara Republik Indo-nesia) sebagai salah satu lembaga pemerintah berperan aktif menjaga Kamtibmas (Keamanan dan Keter-tiban Masyarakat). Terutama di era kepemimpinan Kapolri saat ini, Jenderal Pol. Prof. H. M. Tito Karna-vian, M.A., Ph.D. Kapolri telah mendeklarasikan sebuah program aksi yang dinamakan "11 Program Optimalisasi Aksi" dalam rangka mewujudkan Polri sebagai lembaga pemerintah yang 'Profesional, Mo-dern dan Terpercaya (Promoter)'. Program aksi yang dicanangkan Kapolri tersebut merupakan tindak-an nyata yang harus disadari dan dilakukan oleh semua pihak sebagai wujud nyata pengabdian Polri yang optimal kepada masyarakat, bangsa dan negara, terutama dalam pena-nganan kelompok radikal pro keke-rasan dan intoleransi. Program aksi ini secara konkret dijabarkan dalam 5

(lima) tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Polri yaitu: (1) Deteksi dini dan deteksi aksi dalam rangka pemetaan kelompok radikal pro kekerasan dan intoleransi; (2) Membangun daya cegah dan daya tangkal warga; (3) Bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat dan pemangku kepentingan (stake-holder); (4) Mengintensifkan kegiat-an dialogis antar kelompok radikal yang berpotensi melancarkan aksi kekerasan dan intoleransi, serta (5) Melakukan tindakan penegakan hu-kum yang optimal (Mabes Polri, 2016 : 25). Dua kegiatan utama dari kelima aksi konkret tersebut yang harus dilakukan oleh anggota Polri adalah membangun daya cegah dan daya tangkal warga serta mengoptimalkan kegiatan dialog antar kelompok yang dianggap radikal. Ini sejalan dengan upaya Polri dalam menjalankan tindak pencegahan dari berbagai aspek yang berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban di masya-rakat (crime prevention) melalui implementasi Pemolisian Masya-rakat (Polmas) yang telah dilaksa-nakan sebagai falsafah dan strategi lembaga kepolisian yang modern dan profesional. Upaya crime prevention ini dapat menjadi tindakan efektif yang dilakukan oleh anggota Polri di lapangan, terutama anggota yang wilayah tugasnya langsung bersen-tuhan dengan masyarakat, seperti Bhabinkamtibmas (Bhayangkara

110 Aditya Rizky Nugroho, Peran Bhabinkamtibmas dalam Pencegahan Konflik Sosial ...

Page 115: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyakarat) (Humberto, 2010 : 50; Wowor, 2016 : 2). Pandangan tersebut di atas se-jalan dengan pendapat mantan Kapolri, Jenderal Pol (P) Prof. Dr. Awaloedin Djamin, M.P.A., Ph.D, yang mengatakan bahwa aspek pencegahan terjadinya tindak keja-hatan (crime prevention) merupakan komponen utama dalam mencipta-kan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Djamin, 2011 : 124). Seorang anggota Bhabinkam-tibmas harus memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menyele-saikan masalah yang berkembang di masyarakat sejak dini, kemampuan mengakomodasi keluhan masyara-kat, mengutamakan kebersamaan dalam penyelesaian masalah, ter-masuk kesiapan diri petugas dalam menjalankan tugasnya (Mabes Polri, 2015 : 14). Peran anggota Bhabin-kamtibmas sangat dibutuhkan dalam membangun kemitraan (partner-ship) dan memfasilitasi masyarakat untuk memecahkan berbagai perma-salahan (problem solving) di ling-kungannya, termasuk permasalahan yang berkaitan dengan konflik sosial antarumat beragama di Indo-nesia. Tingkat konflik sosial berbasis agama yang cukup tinggi di beberapa wilayah Indonesia dan sejauh mana peran aktif Bhabinkamtibmas dalam mencegah konflik sosial berbasis agama menarik untuk diteliti teru-tama mengenai peran Bhabinkam-

btimas dalam mencegah konflik sosial berbasis agama di wilayah hukum Polresta (Kepolisian Resor Kota) Bogor Kota. Wilayah Polresta Bogor Kota dipilih sebagai lokasi penelitian karena Kota Bogor adalah kota yang menjadi penyangga Ibukota Negara Republik Indonesia, D.K.I. Jakarta, dan menjadi area tempat tinggal Presiden Republik Indonesia, Bapak. Ir. H. Joko Widodo, beserta keluarga, sehingga keterjaminan keamanan dan keselamatan simbol negara menjadi tugas dan tanggungjawab utama anggota Polri, terutama bagi Polresta Bogor Kota. Oleh karena-nya, sudah selayaknya Polri memberi perhatian khusus kepada Kota Bogor untuk memastikan terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat di wilayah tersebut. Selain itu, hasil survei oleh Wahid Institute (2016) menunjukkan salah satu wilayah provinsi di Indonesia yang dinilai paling rentan terjadinya konflik sosial berbasis agama adalah Jawa Barat. Hasil survei ini diperkuat oleh temuan peneliti dalam studi penda-huluan yang dilakukan selama 2 (dua) periode tanggal 27 Mei 2016 dan 5 Juli 2017 dalam rangka mela-kukan Latihan Kerja (Latja) di wilayah Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar), khususnya di Polresta Bogor Kota. Hasil studi pendahuluan menun-jukkan beberapa kejadian berkaitan

111TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 116: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

dengan kelompok beragama di beberapa lokasi dan waktu yang berbeda, antara lain penolakan warga terhadap rencana pembangunan masjid umat Syiah, munculnya berbagai spanduk aksi penolakan terhadap pemekaran bangunan Masjid Imam Ahmad Bin Hanbal dan pembangunan masjid di area SMP Nuraida Islamic Boarding School di Bogor Utara, serta aksi unjuk rasa di wilayah Polresta Bogor Kota yang dilakukan oleh Jemaat Gereja Yas-min yang masih meninggalkan rasa kecewa dan ketidakpuasan atas penyegelan pembangunan gereja. Hasil studi pendahuluan tersebut menjadi awal bagi peneliti untuk melakukan kajian lebih dalam mengenai sejauh mana upaya ang-gota Bhabinkamtibmas di wilayah hukum Polda Jawa Barat, khususnya yang bertugas di Polresta Bogor Kota, dalam menjalankan perannya sebagai pelaksana implementasi Polmas yang mendukung "11 Pro-gram Optimalisasi Aksi" yang telah dicanangkan oleh Kapolri. Pelak-sanaan implementasi "11 Program Optimalisasi Aksi" tersebut dikaitkan dengan upaya Bhabinkam-tibmas membangun kemitraan (partnership) dan kemampuan petugas Bhabin-kamtibmas dalam memecahkan permasalahan di masyarakat (pro-blem solving), mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat kinerja dalam pence-gahan konflik sosial berbasis agama di wilayah

tugasnya, dan hal-hal yang dapat meningkatkan kemam-puan dalam menghadapi tugas-tugasnya di lapangan. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka pertanyaan penelitian yang diangkat berdasarkan rumusan masalah tersebut adalah (1) bagai-mana peran Bhabinkamtibmas dalam pencegahan konflik sosial berbasis agama di Polresta Bogor Kota; (2) faktor–faktor apa yang menjadi penghambat Bhabinkamtibmas da-lam pencegahan terjadinya konflik berbasis agama di Polresta Bogor Kota; dan (3) bagaimana cara meningkatkan kemampuan Bhabin-kamtibmas dalam pencegahan terjadinya konflik sosial berbasis agama di Polresta Bogor Kota. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pendekatan Peran Bhabinkamtibmas dalam pencegah-an konflik sosial berbasis agama melalui kemitraan (partnership) dan penyelesaian masalah (problem solving) sesuai dengan karakteristik masyarakat di Polresta Bogor Kota; mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat kinerja Bhabinkam-tibmas dalam mencegah konflik berbasis agama di Polresta Bogor Kota; menemukan cara mening-katkan kemampuan Bhabinkam-tibmas dalam pencegahan konflik sosial berbasis agama di Polresta Bogor Kota. Hasil penelitian ini diharapkan

112 Aditya Rizky Nugroho, Peran Bhabinkamtibmas dalam Pencegahan Konflik Sosial ...

Page 117: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

dapat memberikan manfaat, baik dari manfaat teoritis maupun praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu dan pengetahuan di bidang kepolisian terkait konflik sosial berbasis agama. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah referensi mengenai faktor dominan kekuatan agama (power of religion) yang terjadi di masyarakat. Berkontribusi pada pengetahuan tentang teori Peran khususnya pada upaya pencegahan kejahatan (crime prevention) yang dirasa penting dewasa ini. Hasil penelitian ini secara khusus dapat memberikan masukan kepada Polresta Bogor Kota mengenai pemberdayaan peran Bhabinkamtibmas dalam pencegah-an konflik sosial berbasis agama. Hasil penelitian ini juga dapat memberikan masukan mengenai pendekatan kemitraan dan penyele-saian masalah yang tepat untuk men-cegah konflik sosial berbasis agama.

B. METODE PENELITIAN Edmund Huserl dalam Ikbar (2014 : 65) menjelaskan beberapa model penelitian kualitatif, antara lain case study, phenomenology, bio-graphy, grounded theory, etnogra-phy. Penelitian ini merupakan pene-litian kualitatif yang akan menggu-nakan pendekatan studi kasus untuk mempelajari dan meneliti peran Bhabinkamtibmas dalam pence-gahan konflik sosial berbasis agama untuk dikaji lebih mendalam.

Variabel yang menjadi fokus penelitian adalah Bhabinkamtibmas Polresta Bogor Kota, namun tidak hanya berkaitan dengan kegiatan Bhabinkamtibmas dalam menjalan-kan tugasnya, melainkan peneliti memperhatikan berbagai aspek yang bersifat dinamis dan berkaitan dengan peran Bhabinkamtibmas dalam pencegahan konflik sosial berbasis agama di lingkungannya. Komponen penting dalam pene-litian kualitatif adalah : tempat (place), Pelaku (actors) dan aktivitas (activity) yang oleh Spradley dalam Sugiyono (2017 : 215) dikenal dengan nama situasi sosial. Adapun aktor dalam penelitian ini adalah Bhabinkamtibmas dengan aktivitas menjalankan tugas kemitraan dan problem solving dalam pencegahan terjadinya konflik sosial berbasis agama, yang terjadi di Polresta Bogor Kota, khususnya wilayah Polsek Bogor Barat dan Bogor Utara. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penelitian kualitatif adalah dokumentasi, pencatatan data arsip, wawancara, FGD, observasi, perekaman gambar, perekaman suara (voice recorder), buku karangan, pencatatan dokumen pribadi. Peneliti melakukan pengumpulan data de-ngan menggunakan teknik wawan-cara, FGD dan observasi. Milles dan Huberman dalam Sugiyono (2017 : 246) menyatakan teknik analisis data penelitian kualitatif adalah upaya yang dilaku-

113TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 118: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

kan oleh peneliti dalam mengolah datanya. Selain itu, peneliti menge-lola atau mengorganisasikan data, memasukkan data ke dalam kategori-kategori tema dan memperhatikan keterkaitan antartema, sehingga kemudian menemukan pola, mene-mukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang akan dituliskan dan dipa-parkan dalam laporan hasil peneli-tian. Peneliti melakukan tahapan analisis data penelitian kualitatif seperti yang dikemukakan oleh Milles dan Huberman (Moleong 2017 : 247), yaitu kegiatan atau aktivitas peneliti yang mencakup data reduction, data display, conclu-sion dan verification.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Peran Bhabinkamtibmas dalam Pencegahan Konflik Sosial Ber-basis Agama Peneliti menemukan kategori-kategori yang menggambarkan dan menjelaskan "Peran Bhabinkam-tibmas dalam pencegahan konflik sosial berbasis agama di wilayah Polresta Bogor Kota" Bhabinkamtibmas dalam menja-lankan tugasnya mengemban 2 (dua) fungsi utama yaitu menjalin kemi-traan (partnership) dan kemampuan pemecahan masalah (problem solving) (Wowor 2016 : 5). Terkait dengan pertanyaan penelitian tentang bagaimana peran Bhabinkamtibmas

melalui pendekatan kemitraan dan kemampuan pemecahan masalah di wilayah Polresta Bogor kota dalam pencegahan konflik sosial berbasis agama?. Dari tema-tema yang mun-cul pada display data, kemudian dilakukan kategorisasi, ditemukan 2 (dua) komponen utama yang kuat muncul, yaitu Tugas (Task) dan Keterlibatan (Willing-ness). Dari 2 (dua) komponen di atas, peneliti akan membahas pertanyaan penelitian terkait dengan peran Bha-binkamtibmas melalui pendekatan kemitraan dan pemecahan masalah dalam pencegahan konflik sosial berbasis agama di Polresta Bogor Kota dengan menggunakan 2 pilar utama yaitu Tugas (Task) dan kedua adalah Keterlibatan (willingness). Tugas dan ketelibatan kerja merupakan 2 (dua) komponen yang saling mempengaruhi. Tugas dapat diartikan sebagai Kerja (KBBI) yang bermakna melaksanakan tugas yang diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh individu yang bersangkutan (Hasanah 2014 : 1). Sedangkan keterlibatan dalam beker-ja adalah kerelaan individu untuk memberikan waktu, tenaga, dan pikirannya demi pekerjaan yang dilakukan. Semakin individu memi-liki keterlibatan yang tinggi maka ia akan berpartisipasi aktif dan memun-culkan kinerja yang baik. Untuk memunculkan kerja atau tugas de-ngan keterlibatan yang baik, peneliti akan menjembatani pembahasan

114 Aditya Rizky Nugroho, Peran Bhabinkamtibmas dalam Pencegahan Konflik Sosial ...

Page 119: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

dengan menggunakan teori Unjuk kerja dari Campbell dalam Wowor (2016 : 360). Penguasaan tugas seperti yang disampaikan oleh Campbell dalam teori unjuk kerjanya, terdapat 8 (delapan) komponen utama yang harus dimiliki setiap petugas dalam menjalankan pekerjaannya. Delapan komponen unjuk kerja tersebut mencakup perilaku-perilaku yang dapat diobservasi yang dilakukan oleh individu dalam pekerjaan petugas yang relevan dengan tujuan organisasi. Unjuk kerja atau sering disebut dengan kinerja merupakan modal organisasi Polri yang harus dimiliki oleh semua anggota, tidak terkecuali Bhabinkamtibmas. Dari hasil pengolahan data, pen-dekatan kemitraan dan pemecahan masalah yang dilaksanakan oleh Bhabinkamtibmas di wilayah Pol-resta Bogor Kota akan efektif dalam pencegahan konflik sosial apabila Bhabinkamtibmas memiliki 8 (delapan) komponen kinerja antara lain Job specific task proficiency yaitu sejauh mana individu dapat mengerjakan tugas-tugas utama dari pekerjaannya; Non-job specific task proficiency yaitu sejauh mana indi-vidu mengerjakan sejumlah tugas khusus; Writtenoral communi-cation task yaitu sejauh mana keterampilan individu dalam menulis dan berkomunikasi; Demon-strating effort yaitu sejauh mana individu menunjukkan upaya ekstra menger-

jakan tugasnya secara konsisten; Maintaining personal discipline yaitu upaya individu untuk tidak melakukan hal-hal yang negatif dalam bekerja; Facilitating peer and team performance; Supervision yaitu kemampuan mempengaruhi rekan atau bawahan untuk meningkatkan unjuk kerja melalui interaksi inter-personal; Management adminis-tration. Kedelapan komponen kinerja Bhabinkamtibmas sesuai yang dikemukakan Campbell tersebut dapat tergambar lebih jelas dalam berbagai kegiatan Bhabinkamtibmas terkait menjalankan tugas-tugasnya (pembekalan, pembinaan, sosiali-sasi, koordinasi, dan evaluasi) dan keterlibatannya dalam menjalankan tugas tersebut (upaya komunikasi, diskusi, dan musyawarah dengan masyarakat atau para stakeholder) dalam rangka pencegahan konflik sosial berbasis agama. a. Faktor Penghambat Bhabin- kamtibmas Dalam Pencegahan Konflik Sosial Berbasis Agama Faktor penghambat pelaksanaan tugas Bhabinkamtibmas dalam Pencegahan konflik sosial berbasis a-gama, pertama bersumber pada diri individu Bhabinkamtibmas itu sendiri (internal). Keduayang ber-sumber dari faktor lingkungan atau situasi (eksternal). Campbell dalam Wowor (2016 : 32) menjelaskan bahwa faktor yang bersumber dalam diri individu mencakup: pengeta-

115TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 120: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

huan, pengalaman, pendidikan, motivasi dan sikap. Sedangkan yang bersumber dari luar diri individu seperti faktor lingkungan atau situasi yang bisa mendorong atau meng-hambat tugas. Dalam konteks ini, peneliti akan membahasnya mulai faktor internal kemudian dilanjutkan dengan faktor eksternal atau ling-kungan. b. Faktor Internal Adapun faktor internal yang menghambat tugas Bhabinkam-tibmas seperti yang dijelaskan pada teori unjuk kerja Campbell dalam pencegahan konflik sosial berbasis agama, dimulai dari sumber daya manusia itu sendiri. Aspek pengu-asaan tugas, pengetahuan, wawasan, kerangka berpikir seorang Bhabin-kamtibmas terhadap upaya pence-gahan konflik haruslah didapatkan melalui pendidikan terstruktur se-hingga dapat diketahui proses pem-belajaran yang diterima dari pen-didikan tersebut. c. Faktor Situasi (Eksternal) Faktor situasional yang meng-hambat Bhabinkamtibmas dalam pencegahan konflik sosial berbasis agama berfokus pada faktor di luar kemampuan Bhabinkamtibmas un-tuk mengendalikannya. Adapun fak-tor situasi yang menghambat tugas Bhabinkamtibmas adalah: sarana-prasarana, modal sosial (sumber daya manusia dalam masyarakat) dan nilai (kebiasaan atau nilai-nilai nor-ma yang menjadi prinsip) yang ter-dapat

di lingkup kehidupan masya-rakat kota Bogor. d. Sarana dan Prasarana Berdasarkan temuan di lapangan saat peneliti melaksanakan pene-litian di Polresta Bogor Kota, peneliti melihat bahwa petugas Bhabinkam-tibmas belum sepenuhnya mem-punyai perlengkapan yang harus dimiliki oleh seorang Bhabinkam-tibmas dalam melaksanakan tugas-nya. Sesuai Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Polmas. Kenyataan di lapangan belum semua Bhabinkamtibmas Polsek Bogor Utara dan Bogor Barat mem-punyai kelengkapan dimaksud. Perleng-kapan yang sudah dapat dipenuhi seperti rompi, HP dan HT, kartu nama, blangko kun-jungan, stiker kunjungan, buku agenda. Sedangkan untuk Komputer, para Bhabinkam-tibmas lebin "menumpang" kerja pada Polsek atau kelurahan di saat volume dan waktu kerja Polsek dan kelurahan longgar. Sepeda motor beserta helm, jas hujan, perlengkap-an lainya seperti senter, ransel kerja, kamera, printer, modem, alat komu-nikasi (HP, HT, Megaphone), garis polisi dan ATK (alat tulis kantor) dilakukan pengadaan sendiri guna mendukung pelaksanaan tugasnya. Sarana dan prasarana yang belum dapat dilengkapi oleh Polri tersebut menghambat performa kerja Bhabinkamtibmas. Khusus untuk penggunaan komputer, Bhabinkam-tibmas mengalami hambatan dalam

116 Aditya Rizky Nugroho, Peran Bhabinkamtibmas dalam Pencegahan Konflik Sosial ...

Page 121: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

pengoperasian secara mandiri, khu-susnya saat dihadapkan untuk mem-buat laporan dengan program excell dan word. Tugas yang bersifat adminitrasi dengan memanfaatkan teknologi terlebih pelaporan melalui E-Bhabinkamtibmas, belum berjalan optimal. Masih banyak Bhabinkamtib-mas yang tidak bertempat tinggal dekat kelurahan binaannya. Kondisi ini berpengaruh besar terhadap efektifitas dan efesiensi dalam pelak-sanaan tugas Bhabinkamtibmas. Jarak tempuh yang cukup jauh antara rumah Bhabinkamtibmas dengan kelurahan binaanya, didukung dengan kemacetan di semua ruas jalan di Kota Bogor, mengingat Bogor merupakan kota wisata dan kuliner, menjadikan pekerjaan tam-bahan bagi Bhabinkamtibmas karena perjalanan tersebut dapat ditempuh dalam waktu satu jam bahkan lebih. Belum lagi faktor personal saat ada keluarga yang sakit, sepeda motor yang rusak, serta faktor cuaca karena kota Bogor terkenal dengan kota hujannya. Belum tersedianya ruangan khu-sus atau kantor Bhabinkamtibmas, khususnya di Polsek Bogor Barat dan Polsek Bogor Utara. Bhabinkam-tibmas memanfaatkan fasilitas ruang kantor di Satbinmas Polsek serta kantor kelurahan yang dibatasi dengan waktu operasionalnya yaitu mulai jam 08.00 pagi hingga jam 14.00 siang. Selebihnya Bhabinkam-

tibmas menghabiskan waktu di Kan-tor Polsek. 6. Modal sosial Masyarakat merupakan modal sosial yang dapat mendukung tugas tugas pencegahan tejadinya konflik sosial berbasis agama. Masyarakat layaknya seperti individu juga memi-liki potensi yang kuat untuk mela-kukan kerja sama. Dari display hasil olah data, menunjukkan bahwa indikator yang kuat pada modal sosial sebagai berikut. · Kesamaan persepsi Anggota Bhabinkamtibmas harus mampu menciptakan kesamaan per-sepsi antarpihak dalam hal ini masyarakat selaku pemangku kepen-tingan pencegahan konflik sosial berbasis agama. Kesamaan persepsi dapat mencegah kesalahpahaman dan konflik. Masjid Imam Ahmad bin Hanbal itu sebenarnya salah penger-tian saja, salah satu pengertian karna dia orang akan membentuk agama anutan (As-Sunah)/agama paling benar dan dia agamanya tidak mengizinkan agama lain untuk datang ke kuburan (W,I2,04-03-2018, 46-53) 7. Penerimaan Sikap penerimaan warga masya-rakat atas segala perbedaan dan per-samaan menjadi komponen penting pada modal sosial. Sikap mau mene-rima, menghargai, termasuk kesedia-an untuk menerima bahwa ada kebu-tuhan orang lain atau kelompok lain dapat diupayakan melalui kegiatan

117TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 122: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

sosialisasi dan diskusi dalam suasana yang ondusif.8. Kondusifitas Wilayah hukum Polresta Bogor Kota tergolong masih kondusif. Sikap dan perilaku gotong royong dapat memelihara suasana kondusif dalam masyarakat. Untuk sampai saat ini sih wilayah binaan Alham-dulillah kondusif pak. Karakteristik warga di bogor utara, kelurahan tanah baru itu agamis ya pak, jadi gak kayak di tempat yang lain mayoritas itu di sana pesantren, dari pesantren itu kebanyakan memang orang yang jadi panutan di situ adalah anjengan, anjengan nachrowi makanya khusus-nya untuk di RT 05 RW 04 itu aga-misnya kental, karakteristik yang pertama agamis, kedua gotong royong yang pasti kuat permasalah-an-permasalahan di wilayah masih kondusif (W,I1,04-03-2018, 20-35) 9. Nilai dan Kebudayaan Nilai dan kebudayaan yang berkembang di kota Bogor cukup bervariatif, artinya masyarakat Kota Bogor masih menjunjung tinggi nilai, prinsip dan etika adat–istiadat. Nilai nilai yang diyakini oleh masyarakat Kota Bogor dapat menjadi faktor yang dapat dimanfaatkan guna pencegahan terjadinya konflik sosial berbasis agama. Faktor nilai, kebiasaan dan kultur yang terdapat pada masyarakat dipengaruhi oleh sumber daya masyarakatnya itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya ketimpangan

terkait perbedaan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan agama. Prinsip yang diyakini benar, tentang tidak boleh menerima tamu, saat suami atau kepala keluarga mencari nafkah, akan menghambat tugas Bhabin-kamtibmas saat bertugas untuk melakukan kunjungan dari rumah ke rumah (door to door) pada kelurahan binaanya saat siang hari. Nilai dan budaya tersebut harus diselesaikan oleh Bhabinkamtibmas agar kegiatan door to door dapat dilaksanakan. Faktor nilai yang muncul dalam display data adalah sebagai berikut.10. Silaturahmi Nilai silaturahmi yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah Polresta Bogor Kota mengarahkan sikap dan perilaku dalam forum diskusi dan kegiatan evaluasi sehingga diskusi dan evaluasi dapat berjalan lancar dan baik. Silaturahmi juga menjadi alat perekat sesama anggota masya-rakat sehingga suasana menjadi kondusif. 11. Respek Anggota Bhabinkamtibmas dan para pemangku kepentingan pence-gahan konflik sosial berbasis agama harus memiliki dan meningkatkan sikap dan perilaku saling menghor-mati satu sama lain. Sikap dan perilaku tersebut dapat menghilang-kan sikap dan perilaku arogan/ egois serta mampu meredam perdebatan, dengan demikian benturan kepen-tingan dan konflik dapat dicegah atau diselesaikan.

118 Aditya Rizky Nugroho, Peran Bhabinkamtibmas dalam Pencegahan Konflik Sosial ...

Page 123: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

12. Apresiasi Sikap dan perilaku saling meng-hargai, sebagaimana halnya dengan sikap saling menghormati, dapat menghilangkan sikap dan perilaku arogan/ egois serta meredam perde-batan, sehingga benturan kepen-tingan dan konflik dapat dicegah atau diselesaikan. Anggota Bhabinkam-tibmas dan para pemangku kepen-tingan pencegahan konflik sosial berbasis agama harus memiliki dan meningkatkan sikap serta perilaku saling menghargai satu sama lain. 13. Kekeluargaan Masyarakat di wilayah Polres Kota Bogor memiliki dan menja-lankan nilai kekeluargaan. Hal ini tampak dari kerukunan mereka menjalankan ibadah agama mereka masing-masing, dan perilaku tidak membeda-bedakan satu sama lain. Kesamaan persepsi, penerimaan dan kondusifitas saling berhubungan dan mendukung satu sama lain dengan silaturahmi, respek, apresiasi dan kekeluargaan. Jika silaturahmi sering dilakukan maka penerimaan semakin meningkat dan sebaliknya jika penerimaan meningkat maka sila-turahmi semakin sering dilakukan.2. Upaya Meningkatkan Kemam- puan Bhabinkamtimbas Dalam Pencegahan Konflik Sosial Berbasis Agama a. Kegiatan Deteksi Dini "Deteksi dini adalah suatu usaha atau pekerjaan untuk mencari dan mene-mukan seawal mungkin atau sece-

patnya terhadap setiap gejala per-ubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang dapat menim-bul-kan gangguan keamanan" (Suwardji, 2003 : 26). Kemampuan ini akan terlaksana apabila Bhabinkamtib-mas memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk menjalin relasi secara positif dengan masyarakat. Upaya untuk meningkatkan kemam-puan deteksi dini, dimulai dengan adanya keterlibatan aktif Bhabinkamtibmas dalam menjalan-kan tugasnya. Keterlibatan aktif akan terwujud apabila Bhabinkamtibmas mengenali dan memahami tugas pokok dan tugas khusus yang harus dijalaninya (Campbell dalam Wo-wor, 2016:36). Salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan peran Bhabinkamtibmas adalah melalui pendidikan. Pendidikan dapat yang bersifat formal maupun informal. Dengan memberikan tambahan pengetahuan kepada Bhabinkamtibmas tentang bagaimana pendekatan yang efektif dalam penanganan konflik sosial khususnya yang berbasis agama, hal ini akan berkorelasi dengan unjuk kerjanya. Saat pelaksanaan FGD yang dipra-kasai oleh peneliti, dengan tema "Membangun Perilaku Toleransi Beragama di Wilayah Kota Bogor". Terlihat bahwa masyarakat begitu antusias menghadiri acara FGD tersebut, idealnya semangat ini segera ditangkap oleh Bhabinkam-

119TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 124: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

tibmas sebagai peluang untuk me-nyampaikan harapan pimpinan Polri, untuk menekankan tidak ada lagi konflik sosial berbasis agama yang terjadi pada kelurahan binaan. Reali-ta di lapangan, Bhabinkam-tibmas belum sepenuhnya menyimak kegiatan FGD dan belum meman-faatkan moment tersebut untuk menyampaikan harapan pimpinan Polri. Bhabinkamtibmas lebih terli-hat pasif dan kurang percaya diri untuk ikut terlibat dalam FGD ter-sebut. Bentuk nyata dari tindakan deteksi dini adalah Bhabinkam-tibmas harus lebih menitik beratkan pada laporan informasi yang masuk dari masyarakat dan hasil observa-sinya. Sejauh ini di Kelurahan Curug Mekar dan Tanah Baru sebagai tempat binaan Bhabinkamtibmas belum ada tindakan-tindakan nyata untuk hidup berdamai pasca terjadi-nya perselisihan yang sampai penelitian ini dilangsungkan putusan Mahkamah Agung (MA) belum ada. b. Mediasi dan Negosiasi Membangun situasi yang aman, tertib dan kondusif di kelurahan merupakan tugas pokok Bhabin-kamtibmas yang termuat dalam Perkap Nomor 3 tahun 2015. Upaya yang dapat dilakukan oleh Bhabin-kamtibmas terhadap warga masyara-kat yang berselisih atau bertikai dapat diselesaikan melalui pendekatan non yuridis sebagai alternatif solusif se-lain pendekatan hukum. Pende-katan

tersebut oleh pakar Ilmu sosial disebut dengan Alternative Dispute Resolution dengan disingkat ADR. Menurut Ruth Charlton dalam Mihran (2009 : 2), pelaksanaan ADR dapat menggunakan beberapa meto-de, seperti Negosiasi dan Mediasi. Namun lebih jauh dijelaskan oleh Ruth Charton, metode Mediasi memiliki keunggulan dalam upaya penyelesaian kasus kasus sensitif seperti kasus agama, pertikaian rumah ibadah, isu isu rentan lainnya yang jika tidak diselesaikan lebih awal, akan mengusik kelompok mayoritas-minoritas untuk membela keyakinannya. Selama ini Bhabinkamtibmas belum mendapatkan pelatihan Nego-siator dan mediator dengan optimal. Pada kenyataannya peran Mediator yang harus dilakukan oleh Bhabin-kamtibmas, merupakan keterampilan yang harus dikuasai dalam upaya pencegahan konflik sosial berbasis agama mengarah pada perilaku destruktif. Pengetahuan dan keterampilan Bhabinkamtibmas, terkait menggu-nakan metode mediasi penting dipahamani dan dikuasai oleh Bhabinkamtibmas. Pengetahuan tentang keung-gulan Mediasi antara lain sebagai berikut. 1. Kerahasiaan (confidentially) Bhabinkamtibmas perlu mene-kankan bahwa pihak yang bertikai harus memegang teguh kerahasiaan.

120 Aditya Rizky Nugroho, Peran Bhabinkamtibmas dalam Pencegahan Konflik Sosial ...

Page 125: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Maksud dari Kerahasiaan di sini adalah bahwa pertemuan mediasi yang dilakukan oleh mediator kepada pihak bertikai bersifat rahasia dan tidak boleh disiarkan ke publik atau pers oleh masing masing pihak. 2. Kesukarelaan (voluntariness) Pihak yang bertikai harus ada kesukarelaan untuk datang ke forum mediasi atau musyawarah bukan ka-rena paksaan dari orang lain terma-suk oleh Bhabinkamtibmas. Prinsip kemauannya sendiri atau sukarela ini dibangun atas dasar bahwa orang yang akan mau bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari per-sengketaan mereka adalah mereka datang ketempat perundingan atas pilihan mereka sendiri. 3. Pemberdayaan (empowerment) Pemberdayaan di sini dimaksud-kan bahwa pihak pihak yang bertikai pada dasarnya memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya. Ke-mampuan mereka untuk mencapai kesepakatan harus diakui dan dihar-gai. Oleh karenanya setiap solusi tidak dipaksakan melainkan harus muncul dari pemberdayaan masing masing pihak, karena hal itu akan lebih memunkinkan bagi keduanya untuk menerima. Bhabin-kamtibmas hanya bersifat pendampingan untuk pihak bertikai berupaya mencari alternatif solusi yang disepakati bersama. 5. Netralitas (neutrality) Peran mediator hanyalah mem-

fasilitasi prosesnya saja dan isinya tetap menjadi milik pihak yang bertikai. Bhabinkamtibmas dalam menjalankan peran sebagai Mediator hanya mengontrol prosesnya dan tidak bertindak sebagai hakim atau juri yang memutuskan salah atau benar dari salah satu pihak. 6. Solusi unik (unique solution) Bentuk bentuk yang dihasilkan dalam mediasi, tidak selamanya berjalan mulus. Kadang kegiatan mediasi ini bisa beberapa kali diselenggarakan pertemuannya. So-lusi yang dihasilkan dari proses mediasi kadang kala tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dihasilkan dari proses kreatifitas dari pihak yang bertikai. Kondisi ter-gantung dari bagaimana Bhabin-kamtibmas bersama dengan pemda, tokoh agama, tokoh masyarakat melakukan pemberdayaan pada masing masing pihak. Dari penjelasan di atas, faktor yang perlu ditingkatkan oleh Bhabin-kamtibmas di Polresta Bogor Kota adalah kemampuan menjadi media-tor yang terampil dalam pencegahan konflik sosial berbasis agama dengan memperhatikan prinsip prinsip kerahasiaan, sukarela, netralitas, pemberdayaan dan solusi yang unik. Selain kemampuan deteksi dini dan mediasi kemampuan lain yang perlu ditingkatkan oleh Bhabin-kamtibmas adalah pertama, menjadi jembatan solusi. Penting bagi Bha-binkamtibmas untuk berperan seba-

121TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 126: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

gai jembatan solusi bagi masyarakat yang mengalami konflik. Seperti dalam penjelasan teori konflik, tidak ada kekerasan tanpa diawali oleh gejala konflik terlebih dahulu, dan sebaliknya konflik tidak berlanjut ke kekerasan jika gejala konflik sudah dapat diatasi (Elly M Setiadi dan Usman Kolip, 2011:349). Untuk itu peran Bhabinkamtibmas dalam kaitannya dengan penanganan atau pencegahan konflik sosial, harus memiliki kemampuan untuk me-angani konflik dan perbedaan per-sepsi di masyarakat (Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015). Kemampuan tersebut antara lain: keterampilan berkomunikasi, kepri-badian yang kokoh untuk menangani konflik dan perbedaan persepsi, keterampilan mediasi dan mema-hami keanekaragaman, kemaje-mukan dan prinsip non-diskriminasi dalam menjalan ibadah agamanya Bhabinkamtibmas memiliki sejumlah peran, tidak hanya peran yang terkait dengan pencegahan konflik sosial berbasis agama, namun peran peran lain yang terkait dengan kehidupan masyarakat yang dila-yaninya. Kedua, menjadi konsultan untuk menimbulkan perasaan damai dan menghilangkan permusuhan antar warga. Pasca peristiwa penyegelan rumah ibadah, menyisakan bentuk kekecewaan di hati masyarakat. Untuk itu penting bagi Bhabin-kamtibmas menguasai tehnik tehnik

konseling dasar guna membangun rasa percaya masyarakat. Bhabin-kamtibmas adalah garda terdepan dalam fungsi pencegah kejahatan dan peningkatan kualitas hidup masyara-kat, oleh karena itu mereka perlu mendapatkan pembekalan berupa pelatihan khusus Polmas. Serang-kaian kompetensi yang diperlukan untuk bekerja, telah dituangkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015. Salah satu kompetensi tersebut adalah pengetahuan dan keterampilan pencegahan dan me-nangani konflik sosial yang bersifat umum. Sampai saat ini, Bhabin-kamtibmas belum mendapatkan pelatihan khusus pencegahan dan penanganan konflik sosial yang bersifat spesifik, misalnya konflik sosial berbasis agama. Pencegahan konflik sosial ber-basis agama akan terlaksana apabila Bhabinkamtibmas cukup mampu mengenali dan memanfaatkan fak-tor-faktor pencegah konflik sosial berbasis agama yaitu modal sosial dan nilai. Indikator faktor modal sosial adalah kesamaan persepsi, penerimaan dan kondusifitas, se-dangkan indikator faktor nilai adalah silaturahmi, respek, apresiasi, keke-luargaan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 yang menyatakan Bhabinkam-tibmas harus memiliki kemampuan untuk menangani konflik dan perbe-daan persepsi di masyarakat. Kemampuan diri yang harus

122 Aditya Rizky Nugroho, Peran Bhabinkamtibmas dalam Pencegahan Konflik Sosial ...

Page 127: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

terus menerus ditingkatkan oleh Bhabinkamtibmas adalah: keteram-pilan berkomunikasi; keterampilan memahami dan memecahkan masa-lah; keterampilan dan kepribadian untuk menangani konflik dan per-bedaan persepsi; jiwa kepemim-pinan; kemampuan membangun tim serta mengelola dinamika dan moti-vasi kelompok; kemampuan mema-hami dan menghormati hak asasi manusia; keterampilan mediasi; kemampuan memahami keanekara-gaman; kemajemukan dan prinsip non-diskriminasi; kemampuan me-mahami hak-hak kelompok rentan dan cara menangani/ memper-lakukan komponen komunitas/ ma-syarakat tersebut. D. PENUTUP 1. Simpulan Bhabinkamtibmas memiliki peranan utama dalam melaksanakan tugas kemitraan (partnership) dan pemecahan masalah (problem sol-ving) dalam kehidupan masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya, Peran Bhabinkamtibmas dalam menjalankan tugasnya ditekankan pada perilaku Bhabinkamtibmas yang sungguh-sungguh ditampilkan atau dijalankan sesuai tugas yang diharapkan (Prescribed Role) oleh masyarakat selaku stakeholder serta kemampuan mengenali dan beradap-tasi serta menjalin hubungan dengan masyarakat di lingkup tugasnya (Role Set)..

Peran Bhabinkamtibmas dalam pencegahan konflik sosial berbasis agama di masyarakat dipengaruhi oleh faktor yang bersumber dari dalam dirinya (Faktor Internal) dan faktor yang bersumber dari ling-kungan atau situasi kerja (Faktor Eksternal). Faktor internal atau yang bersumber dari dalam diri Bhabin-kamtibmas antara lain Pendidikan yang diperoleh dari pendidikan for-mal maupun, Pengetahuan dan keterampilan, Pengalaman dan lama bekerja di wilayah kelurahan yang dibinanya. Dan pemahaman dan kesadaran diri sebagai penggerak partisipasi masyarakat. Peningkatan kemampuan, pe-ngetahuan tentang pembekalan kepa-da masyarakat, pembinaan kemitra-an, serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat, koordinasi dan evaluasi dengan unsur-unsur masya-rakat seperti pimpinan daerah, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh lembaga swadaya masyarakat, khu-susnya kelompok peredam konflik sosial berbasis agama. Keterlibatan aktif Bhabinkam-tibmas dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Keterlibatan aktif Bhabin-kamtibmas ditunjukkan oleh tinggi-nya inisiatif, persistensi dan konsis-tensi dalam melaksanakan tugas seperti hadir pada forum diskusi dan musyawarah dengan pimpinan dae-rah, tokoh agama dan tokoh masya-rakat.

123TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 128: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan, 2000. Kondisi Sosial yang Dibayangi Disintegrasi Tanpa

Ujung dalam Indonesia Abad XXI: Di Tengah Kepungan Perubahan Global. Jakarta: Kompas Grup.

Akademi Kepolisian, 2017. Petunjuk Teknis Penyusunan dan Pembimbingan Skripsi Program (D-IV) Terapan Kepolisian Taruna Akademi Kepolisian. Semarang.

Agustinova, Danu Eko. 2015. Memahami Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Calpulis.

Baidi. 2010. Agama dan Multikulturalisme ; Pengembangan Kerukunan Masyarakat melalui Pendekatan Agama. Surakarta. Sekolah Tinggi I

Daulay, Zainudin. 2015. Pandangan Pemuka Agama Tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia. Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan. Jakarta

Djamin, Awaloedin. 2011. Sistem Administrasi Kepolisian: Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit YPKIK.

Ikbar, Yanuar. 2012. Metode Penelitian Sosial Kualitatif. Bandung. PT Refika Aditama

Harold, Ellen. 2004. The Destructive Power of Religion: Violence in Judaism, Christianity, and Islam, Vol. 1. Contemporary Psychology. Praeger . USA

2. Saran Meningkatkan kemampuan pen-guasaan tugas (task) dan mening-katkan keterlibatan (willingness) kerja anggota Bhabinkamtibmas dapat dilakukan dengan peremajaan. Pola penempatan agar disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dan ket-erampilan yang dikuasai oleh Bha-binkamtibmas. Jarak tempuh antara tempat tinggal Bhabinkamtibmas dengan tempat kerjanya sebaiknya diupayakan tidak terlalu jauh demi memudahkan pelaksanaan kerja yang efisien dan efektif. Peman-

faatan Polwan (Polisi Wanita) seba-gai Bhabinkamtibmas untuk menga-tasi permasalahan nilai atau kultur yang diyakini beberapa masyarakat Bogor, terutama perempuan sebagai istri untuk tidak menerima tamu laki-laki di rumah ketika tidak ada suami (ditinggal bekerja). Bhabinkam-tibmas diharapkan dapat memper-oleh waktu serta tempat yang lebih banyak untuk melakukan pembina-an kemitraan melalui komunikasi dalam kunjungan, diskusi dan musyawarah dengan tokoh masya-rakat atau warga di wilayah binaan.

124 Aditya Rizky Nugroho, Peran Bhabinkamtibmas dalam Pencegahan Konflik Sosial ...

Page 129: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Humberto, Maria. 2010. Pokdarkamtibmas Pamulang sebagai Implementasi Kemitraan dalam Konteks Community Policing. Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol.7 No. I.

Hidayat, Komarudin & Bashori Khoiruddin. 2016. Psikologi Sosial. Aku, Kami dan Kita. Erlangga.

Jamaludin, Ardon. 2015.Agama & Konflik Sosial. Studi Kerukunan Umat Beragama, Radikalisme dan Konflik Antar Umat Beragama. Bandung. Pustaka Setia.

Khufron, M. 2014. Peranan Guru dalam Menanamkan Nilai Kejujuran pada Siswa

Kelas VIII SMP Negeri I Jati Agung. Digilib.unila.ac.id Latif, Yudi. 2011. Review Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan

Aktualitas Pancasila. Jakarta. Gramedia Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya. Poerwandari, E. Kristi. 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: LPSP3 UI.

Pratiwi, Poerwanti Hadi. 2010. Multikultural dalam Ethnic dan Cultural Groups. Yogyakarta. Makalah diskusi Pendalaman materi sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

Promoter Polri. 2017. Landing. Puspito, Hendro. 1983. Sosiologi Agama. Jakarta. BPK Gunung Agung Republik Indonesia,Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Rahayuningsih, Endah. 2013. Perilaku Agresi Verbal Pada Pria Dewasa

Dengan Pendekatan Pola Asuh. Fakultas Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan Jogyakarta.

Rumagit, Stev. 2013. Kekerasan dan Diskriminasi Antar Umat Beragama di Indonesia. Lex Administratum, Vol I/No.2.

SETARA Institute. 2015. Dari Radikalisme Menuju Terorisme. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara.

Setiadi, Elly & Kolip, Usman. 2011. Pengantar Sosiologi. Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial. Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta. Prenadamedia Group.

125TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 130: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

ABSTRAK 11 SKRIPSI TERBAIK TARUNA AKPOL 2018

Oleh Prawira Hirya

1OPTIMALISASI PENGGUNAAN APLIKASI AVIS ONLINE AREA

TERBATAS BERBASIS ANDROID DALAM PELAYANAN UJI TEORI SURAT IZIN MENGEMUDI OLEH SATUAN LALU LINTAS

KEPOLISIAN RESOR CIMAHI

Fery Afrilio Christanto(No. Ak 14.221, Pos-el: [email protected])

ABSTRAK

Tujuan Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya inovasi yang dilakukan oleh Satlantas Polres Cimahi pada bulan April 2017 berupa penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android untuk membantu pelayanan uji teori SIM guna menghadapi peningkatan angka pembuatan SIM baru selama 4 tahun terakhir. Namun hingga bulan Februari 2018 jumlah penggunanya masih di bawah 1000, sehingga dinilai belum optimal. Oleh karena itu, dilakukanlah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android, faktor–faktor yang mempengaruhi, dan optimalisasi penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, menggunakan metode penelitian deskripti analisis, serta teknik pengumpulan data dengan wawancara, pengamatan, dan telaah dokumen. Hasil penelitian menemukan bahwa penggunaan aplikasi AVIS online area terbatas berbasis android sampai saat ini untuk komponen dasar hukum, sarana, prasarana/fasilitas, pengawasan internal, dan evaluasi kinerja pelaksana belum memenuhi standar. Faktor–faktor yang mempengaruhi yaitu inovasi, saluran komunikasi, dan sistem sosial menjadi faktor penghambat. Optimalisasi yang sudah dilakukan diantaranya dengan penggunaan dwi fungsi ruang pencerahan, pengajuan SOP ke Korlantas, penyampaian inovasi melalui petugas, pengawasan pengendalian oleh pimpinan, penganggaran internet SATPAS, dan perencanaan kerja sama dengan unit Dikyasa. Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyarankan untuk melakukan penganggaran tetap terkait pemeliharaan aplikasi, pengadaan earphone, pengajuan hak paten ke Kominfo, perluasan platform ke iOS, optimalisasi penyampaian petugas kepada pemohon melalui video singkat, pembuataan laporan pelaksanaan secara rutin disertai analisa dan evaluasi pimpinan, upaya sosialisasi melalui kerja sama dengan unit Dikyasa dalam pelaksanaan Dikmas

rutin bermediakan video singkat, dan melakukan kerja sama dengan radio maupun stasiun televisi lokal untuk membantu sosialisasi.

Kata Kunci: optimalisasi, aplikasi AVIS online,area terbatas berbasis android, Polres Cimahi

Page 131: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

2PERAN BHABINKAMTIBMAS DALAM PENCEGAHAN KONFLIK

SOSIAL BERBASIS AGAMA DI POLRESTA BOGOR KOTA

Aditya Rizky Nugroho(No. Ak 14.208, Pos-el: [email protected])

ABSTRAK

Keragaman agama merupakan bagian dari realitas sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Meski demikian, perbedaan agama dapat berpotensi memicu pertentangan bahkan tindak kekerasan di antara umat yang berbeda keyakinan, seperti konflik sosial berbasis agama yang terjadi di wilayah hukum Polresta Bogor Kota, Jawa Barat. Polri sebagai pelayan masyarakat berupaya agar situasi keamanan dan ketertiban di masyarakat dapat terpelihara melalui fungsi pemolisian masyarakat dan konsep Promoter yang dicanangkan Kapolri. Oleh karena itu, peran Bhabinkamtibmas sebagai garda terdepan pelaksana fungsi Polmas sangat penting dalam melakukan tindakan pencegahan (crime prevention) terhadap situasi konflik sosial berbasis agama di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peran Bhabinkamtibmas, terkait pendekatan kemitraan (partnership) dan upaya pemecahan masalah (problem solving) dengan menggunakan teori unjuk kerja dari Campbell dalam mencegah konflik sosial berbasis agama di wilayah hukum Polresta Bogor Kota. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang pengambilan datanya dilakukan melalui wawancara, observasi, studi dokumen, dan focus group discussion (FGD) kepada sejumlah narasumber, baik itu anggota kepolisian (Bhabinkamtibmas, Kapolresta, Kapolsek, dll) maupun tokoh masyarakat, di wilayah hukum Polresta Bogor Kota, khususnya wilayah Polsek Bogor Barat dan Bogor Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bhabinkamtibmas dianggap telah mampu menjalankan peran dan tugasnya dalam menjalin kemitraan dengan pihak-pihak yang bertikai sehingga situasi wilayah Polresta Bogor Kota dengan terjadinya konflik sosial berbasis agama telah dapat tertangani dengan efektif sehingga wilayah Bogor Kota cukup kondusif. Meskipun masih perlu peningkatan kemampuan dan keterampilan Bhabinkamtibmas dalam unjuk kerja menangani konflik sosial berbasis agama.

Kata Kunci: peran, bhabinkamtibmas, konflik sosial, kekuatan agama

3OPTIMALISASI PENERAPAN E-TILANG DALAM PROSES

BIROKRASI DENDA TILANG DI POLRES CIANJUR

Putu Gede Ega Purwita(No. Ak 14.139, Pos-el: [email protected])

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tingginya angka pelanggaran lalu lintas namun masyarakat yang memilih membayar denda tilang melalui bank masih sangat rendah, sehingga penerapan E-tilang di Polres Cianjur belum optimal. Adapun perumusan

127TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 132: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

masalah dalam skripsi ini meliputi bagaimana penerapan E-tilang di Polres Cianjur, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan E-tilang dan bagaimana optimalisasi penerapan E-tilang. Sebagai pisau analisis penulis menggunakan teori faktor keberhasilan inovasi, teori difusi inovasi, konsep tata cara penindakan pelanggaran lalu lintas, konsep E-tilang dan konsep optimalisasi. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode field research (penelitian lapangan). Teknik analisis data melalui Reduksi Data, Sajian Data dan Penarikan Kesimpulan. Berdasarkan hasil temuan penelitian maka penerapan E-tilang menganjurkan pembayaran denda melalui bank dengan slip biru namun kurangnya pemahaman masyarakat tentang penerapan E-tilang serta belum optimalnya inovasi E-tilang membuat jumlah masyarakat yang membayar denda melalui bank masih sangat rendah. Dalam pembahasan perlunya optimalisasi baik dari segi inovasi, saluran komunikasi, jangka waktu dan lingkungan sosial. Dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa penerapan E-tilang sudah berjalan baik dan member bebrapa manfaat baik bagi kepolisian maupun masyarkat yakni transparansi, partisipasi masyarakat, akuntabilitas, keadilan serta efektif dan efisien. Pada pelaksanaannya masih ditemukan beberapa kekurangan dari penerapan E-tilang yakni aplikasi E-tilang belum terintegrasi secara optimal dengan back office. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan E-tilang adalah leadership, management/organization, risk management, human capital dan technology. Pelaksanaan optimalisasi penerapan E-tilang belum berjalan dengan baik dimana elemen-elemen penting dalam penerapan E-tilang sepert inovasi, saluran komunikasi, jangka waktu dan lingkungan sosial belum dapat dioptimalkan.

Kata Kunci: optimalisasi, penerapan e-tilang, birokrasi

4EFEKTIVITAS WHATSAPP SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI OLEH BHABINKAMTIBMAS UNTUK MENCEGAH KASUS

CURANMOR DI POLRES CIMAHI

Oleh : Fitriani Akrima

ABSTRAK

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keefektifan manfaat penggunaan sebagai media komunikasi dalam pelaksanaan tugas WhatsApp Bhabinkamtibmas untuk mencegah kasus Curanmor dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan yang memerlukan sistem atau WhatsApp mekanisme untuk mempermudah tugas Bhabinkamtibmas dalam menyampaikan pesan pencegahan kasus curanmor kepada masyarakat. Pendekatan penilitian yang digunakan oleh penulis adalah Pendekatan Kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan efektivitas WhatsApp sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan pencegahan curanmor sudah dilakukan dengan baik oleh Bhabinkamtibmas namun belum intensif sehingga diperlukan penyuluhan secara langsung kepada masyarakat dengan tatap muka ataupun sambang. Terdapat kekurangan pada kemampuan pengetahuan materi dan keaktifan Bhabinkamtibmas dalam menyampaikan pesan yang kurang memanfaatkan inovasi baru dengan menggunakan foto dan video. Terdapat kelebihan didalam pemanfaatan tersebut karena terdapat komunikasi yang aktif antara WhatsAppBhabinkamtibmas dengan masyarakat. Faktor- faktor yang mempengaruhi sebagai penghambat dan pendukung tugas Bhabinkamtibmas untuk mencegah kasus curanmor

128 Prawira Hirya, Abstrak 11 Skripsi Terbaik Taruna Akpol 2018

Page 133: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

di Polres Cimahi ada secara internal maupun eksternal. Secara internal faktor personel kepada kualitas dan kuantitas personel dilihat dari masa kerja dan dikjur serta jumlah Bhabinkamtibmas yang masih kurang dengan permasalahan di masyarakat yang semakin kompleks. Dimana jumlah Bhabinkamtibmas sebanyak 186 orang hanya 6 Bhabinkamtibmas yang sudah melaksanakan dikjur. Setelah itu koneksitas internet yang belum terbagi rata secara menyeluruh dengan koneksi yang baik, sarana smartphone, aplikasi WhatsApp dan kuota yang sudah dipenuhi oleh Bhabinkamtibmas dan sasaran yang dituju adalah masyarakat sebagai calon korban dan calon tersangka curanmor. Faktor eksternal yang mendukung adalah pikiran masyarakat yang terbuka dalam hal ini masyarakat bersikap kooperatif dan aktif menanggapi pesan yang disampaikan oleh Bhabinkamtibmas. Adanya dukungan dari fungsi lain yakni fungsi reskrim dan fungsi intel. Kondisi kerawanan daerah yang ada di cimahi yang paling menonjol adalah kasus curanmor. Beberapa hal yang menjadi penghambat dan pendukung tugas Bhabinkamtibmas dalam mencegah kasus curnamor membuat tugas Bhabinkamtibmas tidak berjalan dengan maksimal.

Kata Kunci: efektivitas, whatsapp, media komunikasi, bhabinkamtibmas, curanmor

5PENCEGAHAN GANGGUAN KAMTIBMAS MELALUI

PEMBERDAYAAN JAGA LEMBUR SISI JALAN (JABURSILAN) OLEH BHABINKAMTIBMAS DI POLRES SUMEDANG

Putu Ari Sanjaya Putra(No. Ak. 14.140, Pos-el: [email protected])

ABSTRAK

Maraknya gangguan Kamtibmas yang menggunakan sarana jalan utama dalam melakukan aksinya, mendorong Polres Sumedang untuk mencetuskan suatu inovasi kepolisian guna mencegah gangguan Kamtibmas yang terjadi. Inovasi tersebut bernama Jaga Lembur Sisi Jalan (Jabursilan). Bhabinkamtibmas sebagai Bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat serta pengemban Polmas, dipandang memiliki tanggungjawab dalam mendukung pelaksanaan Jabursilan tersebut. Dalam skripsi ini, peneliti mencoba memahami peran Bhabinkamtinbmas dalam memberdayakan inovasi Jabursilan di Polres Sumedang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan Jabursilan di Polres Sumedang, mengetahui metode yang diterapkan oleh Bhabinkamtibmas dalam mencegah gangguan Kamtibmas, dan mengetahui faktor penghambat pemberdayaan Jabursilan oleh Bhabinkamtibmas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara terstruktur guna menggali fakta yang lebih mendalam. Partisipan dalam penelitian ini dipilih sesuai dengan data yang dibutuhkan peneliti pada penulisan skripsi ini. Peneliti menganalisis hasil penelitian dengan menggunakan teori managemen P.O.A.C, teori analisis S.W.O.T, teori tools and management, teori kompetensi dan didukung oleh Konsep pemberdayaan, konsep sinergitas serta konsep koordinasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan hasil wawancara mendalam, pengamatan (observasi) dan data dokumen yang diperoleh dari sumber-sumber yang relevan. Jabursilan merupakan inovasi Pos Kambling yang dikemas lebih modern dan efektif, sehinnga diharapkan mampu mencegah gangguan Kamtibmas melalui pemberdayaan Jabursilan oleh Bhabinkamtibmas di Polres Sumedang. Namun dalam pelaksanannya Jabursilan dinilai belum optimal. Belum optimalnya pemberdayaan tersebut diakibatkan karena beberapa faktor penghambat.

129TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 134: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Faktor penghambat tersebut terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi sumber daya manusia, sarana dan prasaran serta anggaran. Sedangkan faktor eksternal yang menghambat adalah kebudayaan masyarakat heterogen, rendahnya pemahaman masyarakat terhadap Jabursilan dan kondisi geografis wilayah Sumedang yang kurang mendukung.

Kata Kunci: pelaksanaan jabursilan, metode pemberdayaan, dan faktor penghambat

6PENCEGAHAN RADIKALISME MELALUI OPTIMALISASI

PERAN BHABINKAMTIBMAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA BOGOR KOTA DALAM RANGKA HARKAMTIBMAS

Sang Made Satria Damara(No. Ak. 14.039)

ABSTRAK

Terjadi pada beberapa negara lainnya, radikalisme mengakibatkan negara bergejolak bahkan terjadi aksi-aksi terorisme. Di Indonesia radikalisme diantaranya bermetamorfosis dalam bentuk organisasi masyarakat (Ormas) yang seringkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras dan melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap orang atau kelompok lain yang tidak sepaham karenanya dikatakan sebagai radikalisme pro kekerasan (RPK) dan intoleransi. Dalam rangka mengetahui mengetahui peran Bhabinkamtibmas dalam mencegah radikalisme tersebut; mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peran Bhabinkamtibmas dalam pencegahan radikalisme di wilayah hukum Polresta Bogor Kota dan mengoptimalan peran bhabinkamtibmas di Polresta Bogor Kota dalam pencegahan radikalisme, penulis menggunakan beberapa teori yaitu, teori manajemen, teori peran dan teori gunung es pemolisian proaktif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara tak terstruktur guna menggali fakta lebih dalam. Lokasi penelitian dilakukan di Kota Bogor dengan fokus pada peran bhabinkamtibmas dalam pencegahan radikalisme. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan hasil wawancara mendalam, pengamatan dan data dokumentasi yang diperoleh dari sumber-sumber relevan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terhadap unsur-unsur manajemen (personil, dukungan keuangan, sarana dan prasarana serta metode yang digunakan) terkait peran Bhabinkamtibmas di Polresta Bogor Kota dalam pencegahan radikalisme adalah selama ini masih kurang memadai atau optimal dilakukan disebabkan berbagai faktor baik internal ataupun eksternal. Untuk itu, terhadap unsur-unsur manajemen (personil, dukungan keuangan, sarana dan prasarana serta metode yang digunakan) terkait peran Bhabinkamtibmas di Polresta Bogor Kota dalam pencegahan radikalisme perlu lebih ditingkatkan dan dioptimalkan pelaksanaannya. Selain itu sinergitas dengan instansi lain pendukung juga harus lebih ditingkatkan dan penggunaan teknologi informasi agar lebih dikembangkan untuk memberikan pesan-pesan anti radikalisme secara digital.

Kata Kunci: pencegahan, radikalisme, optimalisasi, peran, Bhabinkamtibmas

7OPTIMALISASI PATROLI BIRU SATUAN SABHARA DALAM

130 Prawira Hirya, Abstrak 11 Skripsi Terbaik Taruna Akpol 2018

Page 135: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

MENCEGAH TINDAK PIDANA DENGAN PEMBERATAN (CURAT) DI POLRES BANDUNG

Mega Ayundya Nirwaningtyas(No. Ak. 14.300)

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi karena tingginya angka tindak pidana pencurian dengan pemberatan di Kabupaten Bandung. Perlunya upaya pencegahan terhadap tindak pidana pencurian dengan pemberatan akan dibahas pada penelitian ini. Dalam melaksanakan tugasnya itulah, maka dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dijelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki tugas pokok dan fungsi guna mengatasi adanya ancaman, tantangan, gangguan, dan hambatan berupa potensi gangguan, ancaman gangguan, dan gangguan nyata. Pada penelitian ini Kepustakaan Penelitian yang menjadi acuan adalah skripsi dari Mahasiswa PTIK (2013) Batara Indra Aditya yang membahas tentang patroli Sabhara dalam mencegah tindak pidana oleh geng motor di Polres Sukabumi dan Ari Dwi Putra, Royan Antory, dan Eryke Herlita (FH UNIB 2012) yang berisi peran polisi dalam menanggulangi balapan liar remaja di Bengkulu. Konsep yang digunakan adalah konsep patroli dan menggunakan teori manajemen 6M dan teori pencegahan kejahatan yang nantinya akan dibahas pada pembahasan hasil penelitian. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang hasilnya diperkuat dengan adanya temuan-temuan, hasil observasi, studi dokumen, dan hasil wawancara dengan sumber-sumber informasi. Teknik yang digunakan untuk analisis data mencakup reduksi data, penyajian data, dan meyusun kesimpulan. Hasil penelitian menemukan bahwa patroli biru untuk mencegah curat masih belum optimal dengan adanya aturan dalam Perkabaharkam nomor 1 tahun 2017 yang belum dilaksanakan serta analisis sarana manajemen yang masih memiliki unsur penghambat pelaksanaan patroli biru seperti dari sisi manusia, uang, materi, mesin, metode, dan pasar. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan agar pimpinan memerintahkan anggota untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta diikutsertakannya peranan teknologi untuk mengoptimalisasikan pelaksanaan patroli dalam mencegah tindak pidana pencurian dengan pemberatan di Polres Bandung.

Kata Kunci: optimalisasi, patroli biru, satuan sabhara, pencurian dengan pemberatan

8OPTIMALISASI PERAN UNIT DIKYASA POLRES CIMAHI

DALAM KEGIATAN DIKMAS LANTAS UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN TERHADAP ETIKA BERLALU LINTAS

PADA PELAJAR SMA

Kevin Egananta Joshua

ABSTRAKABSTRAK

Tujan penelitian ini menjelaskan pelaksanaan dikmas lantas oleh unit Dikyasa Polres

131TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 136: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

Cimahi untuk meningkatkan kesadaran terhadap etika berlalu lintas pada pelajar SMA; menjelaskan faktor faktor apa yang mempengaruhi rendahnya kesadaran terhadap etika berlalu lintas pada pelajar SMA; menjelaskan optimalisasi peran Unit Dikyasa Polres Cimahi dalam kegiatan dikmas lantas; meningkatkan kesadaran terhadap etika berlalu lintas pada pelajar SMA. Dalam melaksanakan penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan metode penelitian dengan cara penelitian lapangan atau field research. Pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Selanjutnya, data yang diperoleh akan dianalisis dengan cara reduksi data, sajian (display) data, dan penarikan kesimpulan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pelaksanaan dikmas lantas masih belum optimal, dimana masih banyak yang belum maksimal dan belum sesuai dengan apa yang seharusnya menjadi ketentuan dalam melaksanakan komunikasi sehingga tujuan utama untuk meningkatkan kesadaran terhadap etika berlalu lintas pada pelajar SMA menjadi terhalang. Dari rendahnya kesadaran terhadap etika berlalu lintas pada pelajar SMA, menurut hasil wawancara ke beberapa pihak (pelajar SMA, Pihak sekolah dan Anggota Sat lantas) ternyata disebakan oleh 3 faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut, yaitu faktor keluarga, faktor ekonomi, dan faktor individu. Optimalisasi yang dilakukan yaitu dengan menyesuaikan standar pelaksanaan dan juga kemampuan kemampuan yang dimiliki oleh pelaksana dikmas lantas yaitu unit dikyasa agar dapat mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan dikmas lantas sesuai dengan apa yang tertera di dalam Perkap No 7 tahun 2008 dan juga Perkap No 3 tahun 2015, perkap tersebut merupakan perkap yang membahas tentang polmas, dan dikmas lantas merupakan bentuk polmas Model B43 maka hal hal yang berkaitan untuk membuat kegiatanya menjadi maksimal akan dibahas di dalamnya. Di dalam perkap tersebut dibahas bentuk bentuk kompetensi dan juga kemampuan serta prinsip prinsip yang harus dimiliki oleh anggota unit dikyasa di dalam melaksanakan tugasnya.

Kata Kunci: peran, unit dikyasa, dikmaslantas, etika berlalu lintas

9PENERAPAN PROGRAM E-TILANG SEBAGAI BENTUK

PENEGAKAN HUKUM ATAS PELANGGARAN LALU LINTAS DI POLRES CIMAHI

Nur Nisfi Ardiansari(No. Ak 14.273, Pos-el: [email protected])

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh jumlah pelanggaran lalu lintas yang meningkat setiap tahunnya.Upaya penindakan dari pihak kepolisian berupa pemberian bukti pelanggaran (Tilang). Seiring berjalannya waktu muncul konversi tilang konvensional menjadi tilang elektronik (E- tilang). Penulis menggunakan kepustakaan penelitian dan kepustakaan konseptual. Sumber penelitian yang dijadikan referensi berkaitan dengan E-Tilang. Teori yang digunakan adaah teori penegakan hukum dan teori difusi inovasi. Konsep yang digunakan adalah konsep teknologi kepolisian dan

132 Prawira Hirya, Abstrak 11 Skripsi Terbaik Taruna Akpol 2018

Page 137: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

konsep E-Tilang. Pengumpulan data dengan pengamatan, wawancara, dan studi dokumen. Penyajiannya menggunakan teknik analisis data. Tingginya jumlah pelanggaran lalu lintas memicu ketidakefektifan penggunaan tilang manual. Muncul dengan semangat mempermudah birokrasi dan meningkatkan integritas polri diterapkanlah E-Tilang sebagai prosedur baru penanganan penindakan pelanggaran lalu lintas. Peningkatan kinerja personil, peningkatan infrastruktur, penyesuaian jumlah personil adalah evaluasi intern. Sedangkan evaluasi ekstern adalah peningkatan kerjasama kooperatif dari pihak masyarakat. Keseimbangan kedua subjek ini akan menjamin terlaksananya E-Tilang sesuai dengan SOP yang berlaku.

Kata Kunci: penerapan, tilang, e-tilang, penindakan pelanggaran lalu lintas

10

PERAN BHABINKAMTIBMAS DALAM MENCEGAH TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR DI POLSEK

SUMEDANG SELATAN

Dina Rizkiana(No. Ak. 14.281, Pos-el: [email protected])

ABSTRAK

Polri lebih mengutamakan upaya preventif daripada upaya represif, untuk itu diperlukan peran Bhabinkamtibmas dalam mencegah gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat terutama pencurian kendaraan bermotor. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tingginya tindak pidana pencurian kendaraan bermotor (curanmor) di Polsek Sumedang Selatan. Oleh karena itu, dilakukanlah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui gambaran curanmor di Polsek Sumedang Selatan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan peran yang dilakukan oleh Bhabinkamtibmas. Penelitian ini menggunakan teori peran dan teori SWOT dengan konsep Bhabinkamtibmas dan konsep Curanmor; menggunakan pendekatan kualitatif dan metode

133TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 138: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, pengamatan, dan studi dokumen. Hasil penelitian menemukan bahwa gambaran curanmor di Polsek Sumedang Selatan dilakukan di Pemukiman pada malam hari dengan sasaran kendaraan matic terjadi di Kelurahan Regol Wetan dan Kota Kulon. Terdapat faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi yaitu Mempunyai Bhabinkamtibmas dengan kinerja yang baik, kreatif, dan inovatif namun sikap dalam pelaksanaan tugas sekedarnya serta masyarakat yang sudah terbuka terhadap Bhabinkamtibmas namun kesadaran akan pentingnya kamtibmas masih kurang.Peran yang dilakukan Bhabinkamtibmas yaitu Bintibmas, Binswakarsa, Binpolmas, dan Binpotmas. Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian tersebut maka penulis memberikan saran adanya komunikasi yang baik antara Bhabinkamtibmas dan Unit Reskrim agar pelaksanaan tugas Bhabinkamtibmas tepat sasaran, untuk anggota Bhabinkamtibmas agar lebih mengintensifkan pertemuan dengan masyarakat, penempatan Bhabinkamtibmas di desa binaannya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal dan kepada pimpinan untuk melakukan pengawasan langsung secara rutin dan berkala terhadap pelaksanaan tugas Bhabinkamtibmas.

Kata Kunci: peran, bhabinkamtibmas, pencurian kendaraan bermotor

11PERAN SATUAN BINMAS POLRES TASIKMALAYA KOTA

DALAM MENCEGAH TINDAK PIDANA PENIPUAN

Rerit Oktafiandi(No. Ak 14.020, Pos-el: [email protected])

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tingginya angka kasus tindak pidana penipuan di wilayah hukum Polres Tasikmalaya Kota, bahkan tindakan tersebut menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Upaya represif terhadap kasus penipuan tidak menyelesaikan permasalahan karena kerugian materiil yang diakibatkan tidak akan kembali kepada korban. Sehingga, upaya

134 Prawira Hirya, Abstrak 11 Skripsi Terbaik Taruna Akpol 2018

Page 139: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix

yang paling efektif adalah upaya preventif. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana peran pencegahan yang dilakukan oleh Satbinmas Polres Tasikmalaya Kota, terkhusus kepada penyuluhan yang dilakukan oleh Satbinmas, faktor-faktor yang menjadi kendala dalam melaksanakan penyuluhan, serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, serta teknik pengumpulan data dengan wawancara, pengamatan, dan telaah dokumen. Hasil penelitian menemukan bahwa kegiatan penyuluhan Satbinmas yang dianalisis dengan Pasal 8, 9, 10, dan 11 Perkap Nomor 21 Tahun 2007 masih belum optimal. Sedangkan faktor yang menghambat yaitu faktor struktur organisasi Satbinmas Polres Tasikmalaya Kota, faktor sumber daya manusia, faktor sarana dan prasarana, serta faktor ketimpangan antara pola pikir masyarakat yang semakin kritis dengan pola pikir personel Satbinmas yang masih belum bisa mengimbanginya. Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis menyarankan dilakukan penambahan dan penempatan personil sesuai dengan kompetensi dan jenjang kepangkatan, mengoptimalkan analisis dan evaluasi oleh Kasatbinmas, memberikan pelatihan/dikjur tentang penyuluhan, membekali petugas dengan kemampuan untuk menguasai audiens dan ilmu komunikasi. Selain itu, juga disarankan untuk melakukan penelitian yang mencakup upaya pencegahan dan penerapan konsep serta strategi lain, fokus penelitian di wilayah hukum Polres Tasikmalaya Kota, aspek dari penerima penyuluhan, serta analisis dengan teori lain, seperti manajemen atau komunikasi.

Kata Kunci: penyuluhan, pencegahan penipuan, satbinmas, Polre

135TANGGON KOSALA EDISI KHUSUS, Juli 2018

Page 140: BULETIN EDISI KHUSUS COMPLETE Fix