12
Bulan Sya’ban (Bagian Pertama: Amalan dan Keutamaannya) dakwatuna.com - Dia juga bermakna bercabang (asy-Sya’bu) atau berpencar (At-Tafriq), karena banyaknya kebaikan pada bulan itu. Kebiasaan pada zaman dahulu, ketika bulan Sya’ban mereka berpencar mencari sumber-sumber air. Definisi Sya’ban Imam Ibnu Manzhur Rahimahullah menjelaskan dalam Lisanul ‘Arab: ُ ن يِ ب عاَ ش وٌ ات ان بْ عَ ش ع م ج ل واٍ بَ جَ ورَ ان ض م رْ& يَ رْ هَ ش ن ي بَ رَ هَ + ظ& يَ - اَ بَ عَ ش ه نَ - لَ ان ب عَ شُ ان ب عَ شَ& يِ مُ س ما نِ 8 اDinamakan Sya’ban, karena saat itu dia menampakkan (menonjol) di antara dua bulan, Ramadhan dan Rajab. Jamaknya adalah Sya’banat dan Sya’abin. (Lisanul ‘Arab, 1/501) Dia juga bermakna bercabang (asy-Sya’bu) atau berpencar (At- Tafriq), karena banyaknya kebaikan pada bulan itu. Kebiasaan pada zaman dahulu, ketika bulan Sya’ban mereka berpencar mencari sumber-sumber air. Dianjurkan Banyak Berpuasa Bulan Sya’ban adalah bulan mulia yang disunnahkan bagi kaum muslimin untuk banyak berpuasa. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut: Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya: يَ لَ صِ َ اَ ولُ شَ رُ تْ & يَ - اَ ا رَ مَ فُ ومُ صَ & يَ لَ ولُ قَ ن يَ تَ جُ رِ طْ فُ & نَ وُ رِ طْ فُ & نَ لَ ولُ قَ ن يَ تَ جُ ومُ صَ & يَ مَ لَ سَ وِ هْ & يَ لَ عُ َ ي اَ لَ صِ َ اُ ولُ شَ رَ انَ كَ انَ بْ عَ ش& يِ فُ هْ يِ م اً امَ & بِ صَ رَ ثْ كَ - اُ هُ يْ & يَ - اَ ا رَ مَ وَ انَ ضَ مَ ر َ لِ 8 اٍ رْ هَ شَ امَ & بِ صَ لَ مْ كَ بْ س اَ مَ لَ سَ وِ هْ & يَ لَ عُ َ ا“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sehingga kami mengatakan dia tidak pernah berbuka, dan dia berbuka

Bulan Sya'Ban

Embed Size (px)

DESCRIPTION

FGTHHJG

Citation preview

Bulan Syaban (Bagian Pertama: Amalan dan Keutamaannya)

Bulan Syaban (Bagian Pertama: Amalan dan Keutamaannya)

dakwatuna.com -Dia juga bermakna bercabang (asy-Syabu) atau berpencar (At-Tafriq), karena banyaknya kebaikan pada bulan itu. Kebiasaan pada zaman dahulu, ketika bulan Syaban mereka berpencar mencari sumber-sumber air.

Definisi SyabanImam Ibnu Manzhur Rahimahullah menjelaskan dalam Lisanul Arab:

Dinamakan Syaban, karena saat itu dia menampakkan (menonjol) di antara dua bulan, Ramadhan dan Rajab. Jamaknya adalah Syabanat dan Syaabin. (Lisanul Arab, 1/501)Dia juga bermakna bercabang (asy-Syabu) atau berpencar (At-Tafriq), karena banyaknya kebaikan pada bulan itu. Kebiasaan pada zaman dahulu, ketika bulan Syaban mereka berpencar mencari sumber-sumber air.

Dianjurkan Banyak BerpuasaBulan Syaban adalah bulan mulia yang disunnahkan bagi kaum muslimin untuk banyak berpuasa. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut:

Dari Aisyah Radhiallahu Anha, katanya:

Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa sehingga kami mengatakan dia tidak pernah berbuka, dan dia berbuka sampai kami mengatakan dia tidak pernah puasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyempurnakan puasanya selama satu bulan kecuali Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat dia berpuasa melebihi banyaknya puasa di bulan Syaban. (HR. Bukhari No. 1868)Dari Aisyah Radhiallahu Anha juga, katanya:

Nabi shallallahu alaihi wa sallam belum pernah berpuasa dalam satu bulan melebihi puasa pada bulan Syaban. (HR. Bukhari No. 1869)Inilah bukan yang paling banyak Nabi shallallahu alaihi wa sallam berpuasa sunah. Tetapi, beliau tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan.

Apa sebab dianjurkan puasa Syaban?Pada bulan Syaban amal manusia di angkat kepada Allah Taala. Maka, alangkah baik jika ketika amal kita diangkat, saat itu kita sedang berpuasa.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Bulan Syaban, ada di antara bulan Rajab dan Ramadhan, banyak manusia yang melalaikannya. Saat itu amal manusia diangkat, maka aku suka jika amalku diangkat ketika aku sedang puasa. (HR. An-Nasai, 1/322 dalam kitab Al-Amali. Status hadits: Hasan (baik). Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah No. 1898. Lihat juga Tamamul Minnah Hal. 412. Dar Ar Rayyah)Adakah Keutamaan Malam Nishfu Syaban?Ya, sebagaimana diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, bahwa Beliau bersabda:

Allah Taala menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya pada malam nishfu Syaban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hamba-Nya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki. (Hadits ini Diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsalabah Al-Khusyani, Abdullah bin Amr, Auf bin Malik, dan Aisyah. Lihat Syaikh Al-Albani, As-Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Maarif. Juga kitab beliau Shahih Al-Jami Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al-Maktab Al-Islami. Namun, dalam kitab Tahqiq Misykah Al-Mashabih, justru Syaikh Al-Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang lebih kuat adalah shahih karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan)Hadits ini menunjukkan keutamaan malam nishfu Syaban (malam ke 15 di bulan Syaban), yakni saat itu Allah Azza wa Jalla mengampuni semua makhluk kecuali yang menyekutukan-Nya dan para pendengki. Maka wajar banyak kaum muslimin mengadakan ritual khusus pada malam tersebut baik shalat atau membaca Al-Quran, dan ini pernah dilakukan oleh sebagian tabiin dan generasi setelahnya, seperti Makhul, Ishaq bin Rahawaih, dan lain-lain, di mana mereka mengatakan ini bukanlah bidah. Tetapi, dalam hadits ini juga hadits lainnya- sama sekali tidak disebut adanya ibadah khusus tersebut pada malam itu, baik shalat, membaca Al-Quran, atau lainnya. Oleh, karena itu, wajar pula sebagian kaum muslimin menganggap itu adalah hal yang bidah (mengada-ngada dalam agama), seperti yang dikakatakan Ima Atha bin Abi Rabbah, para ulama Madinah, dan lainnya.

Maka, menghidupkan malam nishfu Syaban dengan berkumpul di masjid dan surau untuk melakukan ibadah tertentu adalah perkara yang diperselisihkan para ulama sejak masa tabiin. Namun yang pasti Rasulullah dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Hendaknya setiap muslim berlapang dada dan toleran terhadap perbedaan ini, dan mengikuti sunah adalah lebih baik bagi siapa pun. Agar keluar dari perselisihan pendapat dan perpecahan. (bersambung)

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/06/09/34792/bulan-syaban-bagian-pertama-amalan-dan-keutamaannya/#ixzz2XGu9OFWs Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on FacebookBulan Syaban (Bagian Kedua: Larangan pada Bulan Syaban

dakwatuna.com -Pada bulan ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang berpuasa pada yaumusy syak (hari meragukan), yakni sehari atau dua hari menjelang Ramadhan. Maksud hari meragukan adalah karena pada hari tersebut merupakan hari di mana manusia sedang memastikan, apakah sudah masuk 1 Ramadhan atau belum, apakah saat itu Syaban 29 hari atau digenapkan 30 hari, sehingga berpuasa sunah saat itu amat beresiko, yakni jika ternyata sudah masuk waktu Ramadhan, ternyata dia sedang puasa sunah. Tentunya ini menjadi masalah.

Dalilnya, dari Ammar katanya:

Barang siapa yang berpuasa pada yaumus syak, maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu Alaihi wa Sallam. (HR. Bukhari, Bab Qaulun Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam Idza Raaytumuhu fa shuumuu)Para ulama mengatakan, larangan ini adalah bagi orang yang mengkhususkan berpuasa pada yaumusy syak saja. Tetapi bagi orang yang terbiasa berpuasa, misal puasa senin kamis, atau puasa Nabi Daud, atau puasa sunah lainnya, lalu ketika dia melakukan kebiasaannya itu bertepatan pada yaumusy syak , maka hal ini tidak dilarang berdasarkan riwayat hadits berikut:

Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu. (HR. Bukhari No. 1815)Demikian. Semoga Syaban tahun ini kita bisa mengisi dengan berbagai kebaikan untuk mempersiapkan diri menuju bulan Ramadhan yang penuh diberkahi. (bersambung)

Bulan Syaban (Bagian Terakhir: Kontroversi Berpuasa Setelah 15 Syaban, Terlarangkah?)

dakwatuna.com - Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Syaban memang ada, yaitu sebagai berikut:

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Jika sudah pada separuh bulan Syaban, maka janganlah kalian berpuasa hingga masuk bulan Ramadhan.Hadits ini dan -yang semisalnya- diriwayatkan oleh:

Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 9707

Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 2337

Imam At-Tirmidzi dalam Sunannya No. 738

Imam An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra No. 2911

Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 6151

Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 3589

Imam Ath-Thabarani dalam Al-Mujam Al-Awsath No. 1936

Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Baihaqi No.7750

Imam Ad-Darimi dalam Sunannya No. 1740

Imam Abu Uwanah dalam Musnadnya No. 2710

Imam Abu Jafar Ath Thahawi dalam Syarh Maanil Aatsar, 2/82

Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/21

Imam Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf No. 7325

Imam Ad-Dailami dalam Musnad Firdaus No. 1006

Semua sanad hadits ini berasal dari Al-Ala bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.

Tentang keshahihan hadits ini, para ulama berbeda pendapat.

Pihak yang menshahihkan Imam At-Tirmidzi mengatakan: hasan shahih. (Sunan At-Tirmidzi No. 738)

Imam Ibnu Hibban memasukkan hadits ini dalam kitab Shahihnya, maka menurutnya ini adalah shahih. (Shahih Ibni Hibban No. 3589)

Beberapa ulama masa kini, seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan shahih dalam berbagai kitabnya. (Shahih Abi Daud No. 2025, Shahih Ibni Majah No. 1651, Tahqiq Misykah Al-Mashabih No. 1973, Ar Raudh An Nadhiir No. 643, dll), juga Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan shahih. (Taliq Musnad Ahmad No. 9707), dan Syaikh Ibnu Baaz juga menshahihkan. (Majmu Fatawa, 15/385)

Pihak yang mendhaifkan Imam Ahmad dan Imam Yahya bin Main berkata: hadits ini munkar! (Mirah Al-Mafatih, 6/441, Taliq Musnad Ahmad No. 9707)

Imam Abdurrahman bin Al-Mahdi juga mengingkari riwayat Al-Ala bin Abdirrahman ini. (Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Thuraifi, Syarh Bulughul Maram, Hal. 47)

Imam Abu Zurah dan Imam Al-Atsram juga menyatakan munkar. (Lathaif Al-Maarif, Hal. 151)

Nah, perbedaan dalam menilai keshahihannya tentu berdampak pada berbeda pula dalam mengamalkannya. Bagi pihak yang mendhaifkan tentu sama sekali tidak masalah berpuasa setelah 15 Syaban. Bagi yang menshahihkan tentu mereka melarang berpuasa setelah 15 Syaban, yaitu larangan dengan makna makruh.

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah melakukan tarjih sebagai berikut:

: : : Dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan selainnya. Para ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadits ini, kemudian berbeda pula tentang mengamalkan hadits ini. Ada pun pihak yang menshahihkan adalah lebih dari satu orang, di antaranya At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ath Thahawi, dan Ibnu Abdil Bar. Namun hadits ini diperbincangkan oleh para imam yang lebih besar dan lebih berilmu dibanding mereka, mereka mengatakan: ini adalah hadits munkar. Mereka adalah Ibnu Al-Mahdi, Imam Ahmad, Abu Zurah Ar-Razi, dan Al-Atsram. Imam Ahmad berkata: Al-Ala tidak pernah meriwayatkan hadits yang lebih munkar dari ini. (Lathaif Al-Maarif, Hal. 151)Nampak bahwa Imam Ibnu Rajab mendukung pendhaifan terhadap hadits ini, dengan alasan pihak yang mendhaifkan lebih senior dan lebih berilmu dibanding yang menshahihkan.

Alasan pihak yang melarangSebagian ulama yang melarang berpuasa setelah 15 Syaban mengatakan bahwa makruhnya hal ini karena dikhawatiri melemahkan pelakunya karena dia berpuasa sepanjang bulan dan akan berpuasa lagi ketika Ramadhan nanti, serta dikhawatiri dia telah menyambung dua bulan puasa secara berturut-turut, padahal tidak ada puasa full kecuali hanya Ramadhan saja. Jika tidak melemahkan, dan tidak pula dia menyambungkannya, maka tidak apa-apa berpuasa setelah 15 Syaban. Atau, kemakruhannya adalah jika dia berpuasa setelah 15 Syaban itu dilakukan sengaja dan tanpa sebab, tanpa didahului oleh puasa pada hari sebelumnya, dan sekadar ingin berpuasa saja. Sedangkan jika ada sebab seperti Senin Kamis, puasa Daud, atau dia sudah terbiasa berpuasa maka tidak apa-apa.

Pada titik ini, sebenarnya tidak ada perbedaan signifikan dengan para ulama yang membolehkan, mereka pun hampir mengatakan serupa.

Pihak yang memakruhkan, seperti Imam Mulla Ali Al-Qari Rahimahullah berkata:

. .Larangan hanya menunjukkan makruh tanzih, sebagai kasih sayang untuk umat di mana mereka dapat mengalami kelemahan untuk menjalankan shalat malam ketika Ramadhan yang begitu giat dilaksanakan, ada pun bagi orang yang berpuasa Syaban keseluruhannya maka pembiasaan itu dengan berpuasa bisa menghilangkan taklifnya Ramadhan. Oleh karenanya berpuasa setengah bulan itu atau larangannya, terikat oleh hal ini, karena hal itu (berpuasa setengah bulan setelah 15 Syaban) termasuk jenis larangan mendahulukan berpuasa ketika menjelang Ramadhan. Wallahu Alam. (Mirqah Al-Mafatih, 6/280)Maksud larangan mendahulukan puasa ketika menjelang Ramadhan adalah hadits berikut:

Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu. (HR. Bukhari No. 1815)Mulla Ali Al-Qari berkata lagi Beliau mengutip dari Al-Qadhi Iyadh, katanya:

Maksudnya adalah memberikan keringanan bagi orang yang tidak kuat puasa berturut-turut, maka dianjurkan baginya untuk tidak berpuasa, sebagaimana orang yang sedang wukuf di Arafah dianjurkan tidak berpuasa agar dia kuat berdoa. Ada pun bagi orang yang mampu melakukannya maka tidak ada larangan baginya, oleh karenanya Nabi pun menggabungkan puasa selama dua bulan, dst. (Ali Al-Qari berkata): ini adalah komentar yang bagus, tetapi berselisih dengan madzhabnya sendiri bahwasanya berpuasa tanpa sebab dilakukan setelah 15 Syaban adalah makruh. (Ibid)Koreksi dari pihak yang membolehkanSelain karena hadits tersebut dinilai dhaif, mereka pun mengoreksi alasan pihak yang melarang. Imam Al-Mundziri Rahimahullah berkata dan Beliau termasuk yang membolehkan puasa Syaban setelah tanggal 15:

. .Barang siapa yang mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah 15 Syaban adalah disebabkan kekuatan utuk puasa Ramadhan dan meringankannya, maka itu adalah pemahaman yang jauh. Jika memang setengah Syaban itu bisa melelahkan, maka berpuasa pada seluruh Syaban adalah lebih pantas untuk melemahkan. Para ulama telah membolehkan berpuasa pada seluruh hari Syaban. (Syaikh Waliyuddin At-Tibrizi, Misykah Al-Mashabih, 6/874)Jadi, jika puasa 15 hari dianggapmembuat lemah sehingga dia dimakruhkan, maka seharusnya berpuasa disemua hari Syaban lebih layak untuk dimakruhkan, karena puasa sepanjang bulan lebih melemahkan disbanding 15 hari saja.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Al-Makki Rahimahullah berkata:

: Sebagian imam kami berkata: dibolehkan secara mutlak dan tidak makruh berpuasa setelah separuh Syaban, berdasarkan dalil bahwa hadits yang melarangnya adalah tidak tsabit (kuat), atau (kalau pun kuat, pen) maknanya adalah makruh bagi orang yang menjadi lemah dengan puasanya tersebut. (Ibid)Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi Hafizhahullah berkata:

, Hadita Al-Ala ini menunjukkan larangan menyengaja berpuasa setelah saparuh Syaban, padahal puasa bukan kebiasaan dia, dan bukan pula sebagai tambahan dari sebelumnya. (Al-Ilmam bisy Syai min Ahkamish Shiyam, Hal. 6)Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah juga berkata:

Maksud dari larangan ini adalah memulai puasa setelah separuh Syaban, ada pun berpuasa lebih dari sebulan atau sebulan penuh maka itu sesuai dengan sunah. (Majmu Fatawa, 15/385)

Dengan memadukan semua pandangan ulama ini, kesimpulannya: Hadits ini diperselisihkan keshahihannya, pihak yang menshahihkan dan mendhaifkan adalah imam besar pada zamannya, namun pihak yang menshahihkan adalah ulama yang lebih besar dan berilmu, sebagaimana kata Imam Ibnu Rajab.

Sekali pun shahih, larangan ini bermakna makruh, bukan haram.

Larangan terjadi jika hal itu membuat pelakunya lemah ketika memasuki Ramadhan

Larangan juga berlaku bagi orang yang tidak terbiasa puasa, namun sekalinya berpuasa dia menyengaja melakukannya pada hari setelah separuh Syaban, tanpa dia dahului berpuasa pada hari-hari sebelumnya.

Makruhnya juga bagi orang yang melakukannya tanpa sebab.

Jadi, puasa setelah separuh Syaban adalah boleh bagi: 1. yang memang sudah terbiasa puasa lalu kebiasaannya itu diteruskan ketika setelah 15 hari Syaban, 2. Yang melakukannya karena sebab khusus seperti senin kamis, dan puasa Daud. 3. Yang tidak membuatnya lemah. Wallahu alam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa ala aalihi wa shahbihi ajmain.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/06/10/34795/bulan-syaban-bagian-terakhir-kontroversi-berpuasa-setelah-15-syaban-terlarangkah/#ixzz2XGvDUuQF Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook