98
Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 1 K O N F L I K A G R A R I A D I K A B U P A T E N A S A H A N D A N L A B U H A N B A T U Sebuah Gambaran Umum Sebuah Gambaran Umum Sebuah Gambaran Umum Sebuah Gambaran Umum Tentang Konflik Pertanahan di Tentang Konflik Pertanahan di Tentang Konflik Pertanahan di Tentang Konflik Pertanahan di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Oleh: Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si Didukung Oleh: Sentra Transformasi Agraria Kelompok Pelita Sejahtera Lentera Rakyat Medan Sumatera Utara 2007

Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tentang realitas konflik pertanahan di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Terutama antara masyarakat dengan Perkebunan Besar di Propinsi Sumatera Utara

Citation preview

Page 1: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 1

KONFLIK AGRARIA DI KABUPATEN

ASAHAN DAN LABUHAN BATU

Sebuah Gambaran Umum Sebuah Gambaran Umum Sebuah Gambaran Umum Sebuah Gambaran Umum Tentang Konflik Pertanahan di Tentang Konflik Pertanahan di Tentang Konflik Pertanahan di Tentang Konflik Pertanahan di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Asahan dan Labuhan BatuLabuhan BatuLabuhan BatuLabuhan Batu Oleh: Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si

Didukung Oleh: Sentra Transformasi Agraria Kelompok Pelita Sejahtera Lentera Rakyat Medan Sumatera Utara 2007

Page 2: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 2

PengantarPengantarPengantarPengantar

Terimakasih saya ucapkan kepada teman-teman dari Sentra Transformasi Agraria,

Lentera Rakyat, Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera dan kawan-kawan yang

memberikan dukungan terhadap selesainya penelitian ini. Didasari oleh kerisauan

terhadap banyaknya kasus-kasus konflik pertanahan yang terjadi di Sumatera

Utara kemudian lahirnlah penelitian ini. Tidak banyak mungkin yang bisa

dipelajari dari hasil penelitian ini, namun ini menjadi titik awal bagi semua pihak

untuk lebih peduli terhadap nasib rakyat dan buruh perkebunan yang nyaris tak

bertanah akibat kerakusan perusahaan-perusahaan perkebunan.

Mohon maaf jika penelitian ini kurang sempurna. Jika ingin lebih memahami

nasib rakyat yang tak bertanah, tiada referensi yang bisa memuaskan kecuali

datang, tinggal sejenak, bahkan jika mungkin, hiduplah dengan mereka. Untuk

kawan-kawan di STA, PKPS dan Lentera Rakyat, semoga menjadikan pengalaman

kawan-kawan semakin membatin dalam hidup.

Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si

Medan, Januari 2006

Page 3: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 3

Daftar IDaftar IDaftar IDaftar Isisisisi

I. Pendahuluan .............................................................................................

II. Sejarah Singkat Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Indonesia

III. Situasi Politik Pertanahan di Indionesia ...................................................

3.1. Dua Periode Masa Permasalahan Pertanahan....................................

3.2. Babak Baru Politik Pertanahan di Indonesia......................................

IV. Situasi Umum Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu .........................

4.1. Gambaran Umum Wilayah ................................................................

4.2. Sengketa Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu...........................

4.2.1. Gambaran Umum Sengketa Pertanahan.................................

4.2.2. Akar Konflik Pertanahan........................................................

4.2.3. Analisis Tentang Akar Konflik Pertanahan di

Kabupaten Asahan dan labuhan batu .....................................

4.2.4. Upaya-upaya Penyelesaian Sengketa Pertanahan...................

4.2.5. Struktur Sosial Ekonomi Kelompok-Kelompok

Perjuangan Tanah ...................................................................

4.2.6. Keluarga Petani Sebagai Supply Tenaga Kerja Murah ............

4.2.7. Sistem Kelembagaan Penyelesaian Sengketa Pertanahan.......

4.2.8. Tekanan Eksternal dan Kendala Internal Organisasi Rakyat..

4.2.9. Konflik Internal Organisasi dan Pelehaman Organisasi

Perlawanan ..............................................................................

V. Kesimpulan dan Masa Depan Reforma Agraria ........................................

VI. Daftar Bacaan ............................................................................................

VII. Lampiran ...................................................................................................

Page 4: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 4

I. I. I. I. PendahuluanPendahuluanPendahuluanPendahuluan

Tidak dipungkiri sebenarnya struktur ekonomi Indonesia masih berbasis

pertanian. Hal itu dapat dilihat dari data tahun 2002, dari total luas daratan

seluruh Indonesia sebesar kurang lebih 193 juta Ha, urutan kedua setelah kawasan

hutan adalah sektor pertanian, baik itu sawah, tegalan dan perkebunan, yakni

sebesar kurang lebih 37 juta Ha, atau 19% dari total seluruh daratan di Indonesia.

Walaupun saat ini pertumbuhan sektor pertanian mengalami peningkatan namun

ternyata berdampak pada menipisnya luas hutan, baik hutan lindung dan hutan

konservasi. Ironisnya, degradasi hutan tersebut ternyata diakibatkan oleh konversi

hutan secara legal maupun ilegal bagi pertumbuhan industri perkebunan.

Menurut catatan terakhir, sebahagian besar penduduk di Indonesia masih

bermatapencaharian sebagai petani. Pada tahun 2003, kurang lebih 42 juta orang

atau 46,26% dari total penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Namun

besarnya penduduk yang hidupnya tergantung pada pertanian tersebut sangat

tidak didukung oleh ketersediaan tanah sehingga mengakibatkan produktivitas

yang cukup rendah, yakni sebesar 1,68 juta per tahun. Tentu saja rendahnya

produktivitas tersebut punya hubungan yang cukup kuat terhadap rasio petani

dengan luas tanah yang dikelola untuk pertanian. Berdasarkan data yang ada, dari

tahun ke tahun jumlah petani gurem atau hanya mengelola lahan kurang dari 0,5

Ha semakin besar. Mereka yang tergolong sebagai petani gurem tersebut tentu

bukan saja yang menjadi pemilik, namun juga para petani yang harus menyewa

tanah milik petani pemilik lahan luas ataupun penduduk yang bukan petani

namun sekedar mengambil keuntungan dari ketidakjelasan hukum pertanahan.

Pertambahan petani gurem tersebut ternyata tidaklah kecil. Menurut

penelitian, pertambahan jumlah petani gurem tersebut mencapai 2,6% setahun.

Jika pada tahun 1993 jumlah petani gurem sebesar 10,8 juta kepala keluarga, maka

pada tahun 2003 sudah mencapai 13,7 juta kepala keluarga. Ini artinya,

berdasarkan kalkulasi sederhana, maka pada tahun 2007 jumlah petani gurem

sudah mencapai 15,7 juta kepala keluarga. Ini berarti, semakin lama kondisi sektor

pertanian di Indonesia tidaklah semakin membaik, salah satunya disebabkan oleh

semakin menyempitnya lahan yang dikelola oleh petani. Jika kondisi seperti ini

yang terjadi, rasio antara petani dengan tanah semakin kecil, maka produktivitas

pertanian akan semakin kecil dan pemerataan kemiskinan (sharing poverty) akan

terjadi di perdesaan.

Page 5: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 5

Selain disebabkan oleh menyempitnya lahan yang dapat dikelola oleh petani,

tentu saja sebenarnya rendahnya produktivitas pertanian dan kemiskinan petani

di perdesaan dilatarbelakangi oleh kebijakan dan sistem ekonomi yang tidak

memihak kepada petani miskin atau petani gurem. Berdasarkan seluruh

latarbelakang yang ada, sistem penguasaan dan pengelolaan lahan dianggap

menjadi faktor penentu kemiskinan petani.

Pentingnya tanah bagi kesejahteraan rakyat secara umum, khususnya petani

sudah dijadikan landasan ekonomi negara. Sejak masa kolonial, era pemerintahan

Soekarno, rejim pemerintahan Soeharto sampai saat ini tanah tetap menjadi

sumberdaya utama pembangunan. Namun sayangnya sumberdaya alam,

khususnya ketersediaan lahan atau tanah juga dikuasai secara timpang sehingga

menimbulkan sengketa terbesar di Indonesia. Sejak Soekarno berkuasa sampai saat

ini tanah tetap menjadi rebutan pihak-pihak yang saling berkepentingan dan

akhirnya merugikan mayoritas rakyat, terutama petani yang kelangsungan

hidupnya sangat tergantung dengan tanah.

Dapat dikatakan sejarah ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah di

Indonesia sudah lebih dari umur republik ini. Para pengritik dari kalangan

organisasi non pemerintah, ilmuan berhaluan sosialistik maupun fungsionalisme

menyatakan situasi tersebut disebabkan oleh kesalahan disetiap rejim yang tidak

memiliki kemampuan politik dalam menjalankan landreform dan reforma agraria

seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu

melakukannya. Sebahagian lagi memiliki analisis tentang terlalu kuatnya

kepentingan modal sehingga menjadikan negara tidak memungkinkan untuk lepas

dari kekuatan kapital yang sudah ratusan tahun memberi keuntungan kepada para

pemburu rente pertanahan.

Di sisi lain sebenarnya pemerintah sudah memiliki beberapa momentum

penting dalam meletakkan dasar sistem penguasaan dan pengelolaan tanah

ataupun membangun hukum pertanahan yang berkeadilan. Kemerdekaan tahun

1945, lahirnya UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, pembentukan Badan

Pertanahan Nasional, Keluarnya Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001 maupun

pertemuan-pertemuan tingkat nasional dan internasional dalam rangka

penyusunan kebijakan pertanahan. Seluruh tahapan-tahapan tersebut dilewatkan

Page 6: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 6

sia-sia tanpa perubahan yang berarti terhadap sistem penguasaan dan pengelolaan

tanah yang lebih adil.

Perubahan yang terjadi malah terbalik dari yang diharapkan oleh rakyat, hal

ini ditunjukkan dengan dijadikannya tanah sebagai faktor produksi. Ketika tanah

menjadi faktor produksi, maka sudah tentu penguasaan dan pengelolaan tanah

ditentukan oleh pihak-pihak yang memiliki akses ke penguasa, modal, dan

kepentingan kapitalisme global yang sudah sangat mengikat pemerintah tanpa

mempertimbangan kondisi rakyat yang sudah tidak lagi bertanah dan diperbudak

di perusahaan-perusahaan perkebunan ataupun bekerja sebagai buruh tani

penggarap tanah-tanah desa yang sudah menjadi milik orang-orang kaya di kota

dan di perdesaan.

Ketidakseriusan dari pemerintah dalam menata sistem penguasaan dan

pengelolaan tanah tersebut dapat dilihat dari jumlah konflik tanah yang terjadi di

Indonesia. Menurut catatan dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada

tahun 2004, per tahun 2001 saja telah tercatat ada 1753 sengketa tanah di seluruh

Indonesia yang melibatkan 1.189.482 keluarga dan 10.892.203 ha tanah. Tentu

saja angka ini sangat luarbiasa dibandingkan dengan jumlah sengketa tanah yang

diselesaikan oleh pemerintah. Sebagai contoh adalah yang terjadi di Kabupaten

Asahan. Dari kurang lebih 300 sengketa lahan yang tercatat dan seratusan

sengketa yang pernah muncul ke permukaan, sampai tahun 2006 hanya satu kasus

yang diselesaikan dalam bentuk ganti rugi tanah dan satu kasus yang berakhir

dengan pengembalian tanah kepada masyarakat. Itu pun tidak seluruhnya

memuaskan. Penyelesaian ganti rugi hanya terjadi pada sengketa yang melibatkan

satu keluarga dan luas tanah yang tidak lebih dari 8 hektar, dan penyelesaian

dengan pengembalian tanah tidak dilakukan oleh mekanisme yang diatur

pemerintah, namun melalui institusi-institusi militer sebagai induk dari

perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat.

Secara nasional analisis terhadap situasi pertanahan di Indonesia sudah

banyak mengemuka ke permukaan. Seperti yang disampaikan dalam Tap MPR RI

No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya

Alam. Disitu dinyatakan ada empat permasalahan agraria di Indonesia, yakni

kepemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan, inkonsistensi

hukum serta kerusakan sumberdaya alam. Demikian juga dari sisi sektor

pertanian. Permasalahan pertanian terdiri atas semakin sempitnya penguasaan

Page 7: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 7

tanah, kesulitan membendung konversi ke penggunaan pertanian, konflik

penguasaan, fragmentasi tanah dan sebagainya. Semua persoalan-persoalan

tersebut menjadi dasar rencana reforma agraria pemerintah.

Rencana reforma agraria yang dicanangkan dalam Tap MPR tersebut sampai

saat ini masih sekedar slogan-slogan kosong semata. Buktinya sampai saat ini

setelah 6 tahun dicanangkan, belum ada kebijakan yang signifikan mengarah pada

reforma agraria. Memang setahun belakangan pemerintah melalui Presiden sudah

memberi pernyataan tentang mulai dijalankannya reforma agraria. Presiden

menyatakan pemerintah akan menyediakan lahan seluas 8,15 juta hektar yang

diperuntukkan kepada petani penggarap, buruh tani dan penduduk miskin.

Presiden juga telah membentuk sebuah tim yang diketuai oleh Kepala BPN.

Namun sayangnya sampai saat ini rencana tersebut belum terrealisasi, bahkan

semakin menimbulkan kecurigaan dari banyak kalangan, karena dari sisi

pembiayaan, motif politik maupun tujuannya sangat tidak jelas.

Rencana untuk melakukan pembaharuan agraria tersebut tampaknya

semakin tidak jelas karena ternyata pemerintah seperti memiliki agenda baru

terselubung yang sebenarya menipu masyarakat. Berbarengan dengan statement

pembaharuan agraria yang dikeluarkan pemerintah, ternyata pembahasan tentang

perpanjangan HGU dari 25 tahun dan 30 tahun menjadi 60 tahun dan dapat

diperpanjang 45 tahun dijalankan. Belum lagi masalah pembiayaan pembaharuan

agraria yang katanya selain berasal dari APBN, juga dibiayai oleh Bank Swasta

maupun negara dan Bank Asing, seperti Deutsche Bank dan Commonwealth

Bank. Hal ini jelas-jelas rencana penipuan yang pada akhirnya akan kembali

menjebak rakyat.

Beberapa realitas yang dijelaskan di atas hanya sebahagian kecil dari

kompleksitas persoalan yang terkait dengan sistem penguasaan dan pengelolaan di

negeri ini. Dua kawasan yang menjadi representasi rumitnya masalah pertanahan

tersebut terjadi di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Dua wilayah tersebut

sangat sarat dengan berbagai persoalan pertanahan, antara lain tingginya intensitas

sengketa, rumitnya penerapan hukum pertanahan, besarnya kepentingan modal

yakni investasi dan perkembangan industri perkebunan maupun dinamika

perlawanan rakyat. Hal itulah yang mendasari penelitian ini dilakukan di dua

wilayah administratif tersebut.

Page 8: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 8

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yakni; membuat gambaran secara

umum tentang sistem penguasaan dan pengelolaan tanah, sengketa pertanahan

yang terjadi, situasi sosial ekonomi kelompok-kelompok perlawanan maupun

pitensi-potensi pemberdayaan yang memungkinkan dilakukan dalam rangka

reforma agraria. Pendekatan utama dalam penelitian adalah pengamatan secara

langsung terhadap kondisi penguasaan dan pengelolaan tanah dengan

menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam, studi literatur maupun

studi dokumentasi.

Ada banyak kendala yang ditemui dalam penelitian ini. Selain keterbatasan

waktu dan tenaga lapangan, sulitnya mengakses data ke pemerintahan, ketiadaan

data lengkap dari kelompok-kelompok tani maupun minimnya data skunder

membuat penelitian tidak bisa menggambarkan secara holistik seluruh persoalan

pertanahan. Namun dengan data-data yang telah dikumpulkan peneliti meyakini

pada tahap awal hasil penelitian dan analisis yang dilakukan bisa menjadi acuan

awal bagi pihak-pihak yang memiliki perhatian terhadap isu pertanahan, baik di

Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu maupun Sumatera Utara secara

keseluruhan.

Page 9: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 9

II. II. II. II. Sejarah Singkat Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di IndonesiaSejarah Singkat Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di IndonesiaSejarah Singkat Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di IndonesiaSejarah Singkat Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Indonesia

Secara umum konflik pertanahan di Sumatera Utara, khususnya di

Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik

nasional, terutama pergantian rejim kekuasaan, terutama dari rejim Soekarno ke

rejim orde baru. Pergantian rejim tersebut tentu diwarnai dengan peristiwa-

peristiwa politik yang latarbelakang kemunculan dan dampak yang ditimbulkan

punya hubungan yang sangat kuat dengan kemudian dimanfaatkan oleh rejim

yang berkuasa untuk mengumpulkan sumberdaya sebesar-besarnya, termasuk

penguasaan lahan.

Begitu pentingnya penguasaan lahan atau tanah dalam sistem politik

sehingga dalam sebuah rejim berbagai pihak punya kepentingan besar untuk

menguasainya. Pada era kepemimpinan nasional Soekarno, tanah dianggap sebagai

syarat penting terjadinya revolusi, dikarenakan, tanpa landreform, revolusi

diibaratkan gedung tanpa alas, pohon tanpa batang ataupun sama saja dengan

omong besar. Apa yang diungkapkan oleh Soekarno tersebut dianggap sebagai

representasi ideologis Sosialisme Indonesia. Tanah dianggap oleh Soekarno sebagai

hak milik petani dan penggarap tanah, dan tidak dapat dijadikan alat penghisapan

kepada pihak manapun, terutama kepada petani.

Pemikiran seperti itulah yang kemudian mengilhami Soekarno untuk

mendorong keluarnya kebijakan umum tentang pertanahan, yakni Undang

Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA No. 5 Tahun 1960).

Undang-Undang ini pada pokoknya adalah bertujuan melakukan penataan

kembali kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan tanah yang dianggap selama

ratusan tahun tidak membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Tujuan tersebut pemerataan melalui penataan pengelolaan dan penguasaan

tanah tersebut tentu saja merupakan impian yang jika diterapkan dapat

meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama petani yang sebelumnya mengalami

ketertindasan oleh pengusaha-pengusaha perkebunan, tuan tanah dan penguasa

politik. Namun sayangnya, kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana sampai saat

ini.

Sebelum Belanda keluar dari Indonesia, sistem penguasaan, kepemilikan dan

pengelolaan tanah diatur oleh hukum agraria kolonial yang dikenal dengan nama

Page 10: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 10

Agrarische Wet yang mulai diberlakukan pada tahun 1870. Tentu saja hukum

agraria tersebut sama sekali tidak bertujuan membangun keadilan penguasaan dan

pengelolaan tanah, namun sekedar meluluskan kepentingan investasi dan

liberalisme penguasaan lahan di wilayah jajahan.

Keluarnya hukum agraria tersebut kemudian mulai dimanfaatkan oleh

pemerintahan kolonial Belanda dan pengusaha-pengusaha di Eropa maupun

Amerika. Berama-ramai kemudian mereka menanamkan modalnya di bidang

usaha perkebunan yang pada saat itu sedang booming. Jika sebelumnya

pengusaha-pengusaha perkebunan mengalami kesulitan mendapatkan lahan

perkebunan dalam jumlah luasan besar dan jangka waktu lama, maka

diberlakukannya Agrarische Wet, maka kendala-kendala memperoleh lahan

tersebut mulai hilang dan pengusaha perkebunan dapat memperluas lahan

perkebunan dengan mudah.

Jika sebelum Agrarische Wet diberlakukan sistem tanam paksa cultuur

stelsel, maka diberlakukannya hukum agraria kolonial maka pengusaha di Hindia

Belanda dimungkinkan untuk memperoleh hak persewaan dan pengelolaan secara

lebih leluasa melalui sistem hak erfpacht dan hak eigendom. Tragisnya,

pemberlakuan hukum agraris tersebut ternyata telah merampas kepemilikan

tanah komunal rakyat, baik yang dikelola oleh masyarakat adat maupun petani

penggarap. Salah satu aturan yang dianggap merugikan tersebut adalah

diberlakukannya Domein Verklaring, dimana dinyatakan bahwa negara berhak

atas tanah yang tidak bisa dibuktikan oleh pihak lain.

Fungsi Domein Verklaring tersebut jelas merugikan rakyat, karena

sebahagian besar tanah dikelola secara komunal oleh masyarakat adat. Hal ini

berbeda dengan kepemilikan raja ataupun sultan yang pada saat itu sudah tunduk

kepada Belanda, sehingga hak-haknya diakui oleh pemerintah kolonial. Hal itu

terjadi saat Sultan Deli memberikan konsesi kepada pengusaha perkebunan yang

sebenarya menjadi hak datuk-datuk kepala suku Batak Karo. Pelanggaran hak

tersebut kemudian menimbulkan konflik diantara masyarakat adat dengan pihak

perkebunan.

Sampai masa Indonesia merdeka, praksis sebenarnya tidak ada perubahan

apapun dalam sistem hukum pertanahan. Perubahan hanya terjadi ketika Jepang

masuk namun tanpa diiringi dengan perubahan sistem hukum pertanahan. Jepang

Page 11: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 11

hanya memanfaatkan situasi kekacaubalauan sistem hukum bagi kepentingan

perang mereka. Masyarakat pun kemudian memanfaatkan kondisi dengan

menggarap sebahagian lahan perkebunan dan lahan tak bertuan, sedangkan

pengusaha-pengusaha perkebunan meninggalkan Indonesia dan menelantarkan

perkebunan yang telah mereka bangun.

Masa pendudukan Jepang yang pendek tersebut ternyata tidak membawa

perubahan yang lebih terhadap masyarakat. Tidak ada perubahan sistem yang

terjadi, karena Jepang hanya memberi toleransi kepada petani dan masyarakat

umum untuk menduduki lahan perkebunan dan membuka lahan-lahan pertanian

baru. Namun pasca 1945, pemerintah Indonesia mulai menyadari bahwasannya

penataan ulang kepemilikan lahan menjadi syarat penting perbaikan negara.

Kemudian pada tahun 1948 terbentuklah panitia yang menggodok tersusunnya

hukum pertanahan yang baru menggantikan hukum agraria kolonial.

Panitia tersebut bekerja lambat dan terseok-seok akibat revolusi fisik,

pergantian sistem negara dan kabinet, sehingga barulah pada tahun 1960 UUPA

secara resmi disyahkan oleh DPR. Namun keluarnya produk hukum agraria

tersebut ternyata tidak serta-merta mampu merubah sistem penguasaan dan

pengelolaan tanah, karena Indonesia terikat dengan Konferensi Meja Bundar

(KMB) yang salah satu pernjanjiannya adalah adanya perlindungan dan

pengakuan terhadap bekas-bekas perkebunan milik Belanda dan swasta asing

lainnya.

Sejak pendudukan Jepang sampai menjelang dengan keluarnya UUPA No. 5

Tahun 1960 diakui sebagai sebuah masa dimana pemerintah menghadapi dilema.

Di satu sisi, Sosialisme dijadikan pegangan pimpinan nasional dalam melaksanakan

pembaharuan agraria, namun di sisi lain pemerintah harus mentaati pasal-pasal

KMB yang melindungi perkebunan milik Belanda. Namun diakibatkan belum

adanya hukum yang tegas mengatur sistem penguasaan tanah, maka rejim yang

berkuasa (baik masa pendudukan Jepang maupun Republik Indonesia Serikat dan

NKRI) mentoleransi penggarapan dan pendudukan lahan perkebunan maupun

pembukaan lahan baru.

Pada periode 1945 sampai dengan 1960-an juga dikenal sebagai masa revolusi

sosial dan gerakan sosial radikal yang tidak puas dengan plin plannya negara

untuk berpihak kepada rakyat tertindas. Pada saat itu berlangsung gerakan-

Page 12: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 12

gerakan terideologi yang mencoba melepas kepentingan-kepentingan pengusaha

perkebunan Belanda dan asing lainnya yang berkolaborasi dengan penguasa-

penguasa lokal untuk kembali menancapkan kepentingannya di perkebunan-

perkebunan yang telah mereka tinggalkan. Namun gerakan radikal tersebut

mendapat tentangan dari gerakan militer separatisme yang mencoba membolisasi

massa merebut perkebunan-perkebunan, khususnya di Sumatera timur.

Usaha masuknya perkebunan Belanda dan asing lainnya sebahagian

mengalami keberhasilan. Walaupun disertai dengan gantirugi, pergantian lahan

dan sebagainya, tetap saja tidak memuaskan masyarakat yang merasa berhak atas

pendudukan lahan yang telah dilakukan. Dikarenakan semakin meluasnya

penggarapan lahan perkebunan, kemudian pemerintah mengeluarkan beberapa

kebijakan tegas pelarangan pendudukan lahan bagi yang tidak berhak.

Keluarnya peraturan-peraturan pelarangan tersebut ternyata tidak berjalan

efektif ketika pemerintah melakukan nasionalisasi perkebunan, infrastruktur dan

fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh Belanda pada tahun 1958, yang juga kemudian

menjadi pintu masuknya militer dalam menguasai aset-aset nasionalisasi. Namun

selama proses perumusan hukum agraria berjalan, rakyat sendiri sudah tidak sabar

menunggu dan semakin beratnya beban ekonomi pada saat itu, pendudukan lahan

perkebunan dan pembukaan lahan terus berlangsung, terutama setelah didukung

oleh pemerintah melalui Undang-Undang Darurat No. 8 tahun 1954 Tentang

Pemakaian Tanah Perkebunan Untuk Rakyat. Demikian juga pasca keluarnya

UUPA tahun 1960. Ketiadaan aturan pelaksanaan UUPA membuat undang-

undang tersebut tidak dapat dilaksanakan, selain ketiadaan ahli-ahli agraria.

Seperti yang terlah dijelaskan di atas, ketidaktegasan pemerintah yang

plinplan menjalankan landreform berdasarkan UUPA No. 5 Tahun 1960, masih

kuatnya Belanda yang mendorong separatisme dan mengikat pemerintah dengan

KMB, besarnya kepentingan petani dan masyarakat adat atas tanah menjadi kunci

persoalan sengketa agraria. Akibat dari kebingungan tersebut, pemerintah

mengeluarkan kebijakan yang saling tumpang tindih dan bertolak belakang. Di

satu sisi landasan filosofi dan ideologi UUPA sangat berpihak kepada masyarakat

tertindas, terutama petani. Namun di sisi lain pemerintah tidak berani dan

tampaknya tidak memiliki kapasitas dalam mengatur proses landreform berjalan.

Page 13: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 13

Ketika kekuatan masyarakat semakin besar dalam melepas kepentingan

Belanda dan modal asing muncullnya momentum politik yang kemudian

membuyarkan proses landreform di Indonesia. Walaupun di tingkat perundangan

tidak banyak perubahan, namun pada prakteknya di lapangan penyingkiran hak

masyarakat adat dan petani atas tanah semakin dipersempit. Upaya-upaya politik

dalam bentuk intimidasi pada masa orde baru telah merampas hak yang

sebelumnya sudah dilindungi, terutama dialami oleh petani yang di cap berhaluan

kiri oleh pemerintah.

Periode 1965 sampai dengan 1980 dapat dikatakan merupakan masa paling

berat yang dirasakan oleh petani penggarap, dikarenakan pada saat itulah stigma

komunisme digunakan oleh pemerintah untuk memperoleh tanah. Pada periode

itu pula muncul tiga undang-undang yang menjadi cikal bakal semakin

menguatnya kapitalisme di Indonesia, yakni keluarnya UU Pokok Kehutanan, UU

Penanaman Modal Asing dan UU Pokok Pertambangan. Untuk melancarkan hal

tersebut, tentu saja pemerintah berusaha memuluskan jalan dengan memberikan

stigma politik terhadap masyarakat terorganisir yang mencoba mempertahankan

haknya.

Ada banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah pada saat itu, mulai

membentuk masyarakat yang apolitis, melakukan pembunuhan terhadap tokoh-

tokoh organisasi yang dianggap berhaluan kiri, mengintimidasi organisasi-

organisasi perlawanan, menarik kembali surat-surat ijin penggarapan lahan yang

sebelumnya dilegitimasi oleh Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, dan

mengambangkan UUPA yang semuanya bermuara pada stabilitas politik dan

mengutamakan pembangunan ekonomi.

Pada saat yang bersamaan, pada periode tersebut (terutama tahun 1970-an)

pertumbuhan perkebunan swasta dan negara (BUMN) mulai berkembang cepat.

Negara sendiri melihat potensi perkebunan semakin besar sehingga nasionalisasi

perkebunan Belanda kemudian diteruskan dengan terbentuknya perusahaan

Aneka Tanaman (ANTAN), Perusahaan Nasional Perkebunan dan kemudian

menjadi PTPN. Besarnya kepentingan pemerintah terhadap perkebunan,

tingginya animo swasta dalam negeri dan asing juga semakin memperburuh

kondisi pertanahan khusususnya di Sumatera Utara. Dengan berbagai cara,

pemerintah kemudian merancang sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan

Tanaman Industri, pola PIR, dan menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah

Page 14: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 14

Propinsi (RTRWP) yang semuanya bermuara pada pengembangan ekonomi

berbasis kehutanan dan perkebunan.

Situasi sistem penguasaan dan pengelolaan pertanahan juga tidak mengalami

perobahan sama sekali, karena UUPA tidak pernah menjadi prioritas bahkan

dipeti-eskan oleh pemerintah. Buktinya, pemerintah malah semakin menegaskan

keberadaan perkebunan-perkebunan asing dengan mengeluarkan Keputusan

Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka

Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak Barat atau pemberian Hak

Guna Usaha kepada pihak penguasaha perkebunan.

Keluarnya kebijakan ini jelas mengingkari hakekat lahirnya UUPA. Apalagi

di lapangan, ternyata kebijakan tersebut berjalan jauh menyimpang dari yang

tertulis. Kepentingan politik lebih kuat mempengaruhi dibandingkan ketentuan

hukum dan mekanisme pengambilalihan lahan oleh pemerintah dari petani dan

masyarakat penggarap. Tidak ada proses musyawarah yang terjadi, namun

intimidasi, pengambilalihan sepihak oleh perusahaan perkebunan setelah

mendapatkan ijin dari pemerintah.

Sepanjang 1980 sampai dengan 1997 hampir tidak terlihat perlawanan yang

berarti dari rakyat mengingat ekonomi menjadi panglima pada saat itu.

Pertumbuhan ekonomi nasional memang cukup tinggi. Namun di sebalik

pertumbuhan tersebut tersimpan ratusan bahkan ribuan masalah pertanahan di

Sumatera Utara. Pecahnya reformasi 1998 dan kejatuhan Soeharto dijadikan

moment kebangkitan perlawanan kelompok-kelompok petani yang haknya telah

dirampas oleh perkebunan. Namun sayangnya perlawanan tersebut selalu

dihadapkan dengan mekanisme penyelesaian secara hukum yang sebenarnya

menjadi titik terlemah rakyat, karena peristiwa politik sudah menghancurkan

segala bukti otentik hak formal masyarakat, dan kurang diutamakannya

kepemilikan tanah ulayat oleh komunitas-komunitas adat.

Kini industri perkebunan telah menjadi prioritas negara karena memberikan

kontribusi ekonomi yang luar biasa besar. Rakyat yang mencoba merebut hak nya

tidak punya cukup bukti formal dan kalah cepat dengan perpanjangan HGU

perkebunan besar asing yang rata-rata berakhir tahun 1998. Berbagai mekanisme

penyelesaian berakhir buntu ketika pemerintah dan lembaga-lembaga yang

berwenang selalu mengarahkan penyelesaian melalui proses hukum.

Page 15: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 15

IIIIIIIIIIII. . . . Situasi Politik Pertanahan di IndonesiaSituasi Politik Pertanahan di IndonesiaSituasi Politik Pertanahan di IndonesiaSituasi Politik Pertanahan di Indonesia

Salah satu isu politik yang saat ini kembali mencuat ke permukaan setelah

selama puluhan tahun hanya terpendam dalam bentuk sengketa-sengketa di

tingkat lokal adalah politisasi isu pertanahan. Entah memang hanya kebetulan

atau memang sudah menjadi strategi politik rejim, yang pasti pemerintah,

kalangan modal, organisasi non pemerintah maupun rakyat secara umum sudah

mulai ramai berkomentar ataupun melakukan aksi-aksi yang mengusung isu

pertanahan secara nasional.

Awalnya adalah statement dari Presiden Soesilo Bambang Yudoyono

bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Kepala BPN tentang rencana

melakukan redistribusi tanah dengan judul reforma agraria. Tentu saja statement

ini disambut secara beragam oleh berbagai pihak. Atas nama mensejahterakan

rakyat, ketahanan pangan dan pendayagunaan lahan, pengurangan kemiskinan

dan pengangguran. Ada tiga topik yang menjadi fokus rencana reforma agraria

yang diungkapkan, yakni masalah kepemilikan tanah, dimana tanah yang dikuasai

oleh negara dapat digunakan oleh petani. Kedua, terkait dengan ketahanan

pangan, dimana akan dikembangkan program yang mampu meningkatkan

kesejahteraan petani dan meningkatkan ketahanan pangan, dan yang ketiga

adalah pendayagunaan lahan-lahan hutan. Menurut pemerintah, ketika ketiga

program ini dijalankan, maka nantinya dapat mengatasi pengangguran dan

kemiskinan.

Rencana tersebut seharusnya memberi angin segar terhadap pihak-pihak

yang punya kepentingan besar jika reforma agraria benar-benar dilakukan,

terutama kelompok-kelompok perjuangan tanah-tanah rakyat yang dirampas oleh

pengusaha maupun penyelewengan kekuasaan oleh pemerintah. Sekali lagi,

statement ini adalah janji yang perlu dibuktikan oleh pemerintah.

Bicara tentang politik pertanahan di Indonesia, maka tidak akan bisa

dilepaskan dari keberadaan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tanggal 24 September 1960 sebagai

pengganti undang-undang agraria kolonial yang sudah berlaku selama ratusan

tahun. Begitu pentingya UUPA pada saat itu sehingga pembahasannya

berlangsung selama 12 tahun, yakni mulai tahun 1948 sampai dengan tahun 1960.

Pada saat itu Soekarno memahami bahwasannya hukum agraria kolonial sama

Page 16: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 16

sekali tidak berpihak kepada rakyat. Tanah sama sekali tidak memiliki fungsi

sosial dan ekonomi bagi masyarakat namun sudah menjadi barang dagangan dan

dijadikan alat untuk mengeksploitasi rakyat. Inilah yang kemudian mendasarinya

untuk melakukan perubahan.

Jelas atmosfir sosial politik sebelum dan pada saat lahirnya UUPA No. 5

Tahun 1960 tergolong tidak normal. Semangatnya adalah melakukan perubahan

radikal terhadap sistem penguasaan dan pengelolaan peninggalan kolonial yang

eksploitatif. Namun pada saat dimulainya pembahasan, Indonesia dalam kondisi

baru saja merdeka. Memang pemerintah mencoba melakukan langkah-langkah

percobaan dengan melakukan landreform di Banyumas. Dikarenakan

menunjukkan keberhasilan, kemudian keluarlah Undang-Undang Darurat No 13

Tahun 1948 yang dilanjutkan dengan melakukan landreform di Yogyakarta dan

Surakarta.

Situasi politik yang tidak menentu, seperti agresi militer Belanda I dan II

pada akhir tahun 1948, terjadinya perubahan negara menjadi Republik Indonesia

Serikat, keluarnya Dekrit Presiden yang mengembalikan bentuk negara NKRI dan

sistem pemerintahan parlementer, jatuh bangunnya parlemen pada tahun 1950-

an, maupun pemberontakan-pemberontakan di daerah, seperti pemberontakan

DI/TII, Permesta dan lainnya.

Seluruh persoalan tersebut tentunya cukup mempengaruhi proses lahirnya

UUPA. Namun secara substansi, kelahiran undang-undang tersebut pada saat itu

cukup mendapat tanggapan yang positif dari beberapa aliran politik yang

terideologis, terutama oleh Partai Komunis Indonesia, karena dengan adanya

undang-undang tersebut maka sisa-sisa kapitalisme, terutama penguasaha-

pengusaha dan pemerintah kolonial maupun asing tidak lagi menguasai sumber-

sumber hidup rakyat.

Dukungan partai politik, antara lain dari Partai Komunis Indonesia dan

Partai Nasional Indonesia (PNI) dan NU menjadi kekuatan bagi pemerintah untuk

melaksanakan landreform. Dukungan dari organisasi-organisasi yang terideologis

bukan hanya sampai disitu. Pada tahun 1946 sudah dilakukan sebuah gerakan

yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pencerabutan

kekuatan kapital bersama penguasa-penguasa lokal sebagai representasi dari

kekuatan feodal, terutama di Sumatera Timur, antara lain dengan meruntuhkan

Page 17: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 17

beberapa kerajaa kecil. Proses penghancuran tersebut dikenal dengan revolusi

sosial yang terjadi pada tanggal 3 Maret 1946 yang mengakibatkan Kesultanan

Langkat, Kesultanan Serdang dan Deli, Kesultanan Asahan maupun raja-raja di

Simalungun, dan Labuhan Batu.

Besarnya kekuatan yang mendukung revolusi sosial dan pembaharuan secara

radikal sistem penguasaan, pemilikan dan pengelolaan tanah tersebut semakin

memperkuat pemerintah mengeluarkan UUPA. Melalui Front Nasional yang

dibentuk oleh Soekarno pada tahun 1950-an mobilisasi semakin menguat sehingga

rakyat, terutama petani di Sumatera Timur mendapat dukungan oleh pemerintah

untuk memanfaatkan lahan yang ditinggalkan oleh perkebunan-perkebunan dan

membuka lahan-lahan baru untuk pertanian.

Walaupun pada saat itu negara dalam keadaan labil dimana sistem

pemerintahan yang belum rapi dan efisien, jatuh bangunnya kabinet, dan

kemunculan beberapa pemberontakan di daerah, namun secara prinsip

pemerintah memiliki kemauan politik yang sangat jelas dalam mendorong

berlangsungnya landreform dan agrarian reform. Namun sayangnya niat dan

kemauan politik tersebut terpaksa pelan-pelan mulai melemah ketika berlangsung

Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Selain menyetujui penyerahan

kedaulatan dan rencana pengembalian Irian Barat, ternyata KMB menghasilkan

kesepakatan tentang perkebunan-perkebunan milik swasta Belanda yang telah

diduduki rakyat untuk dikembalikan kepada Belanda. Tentu saja pasal ini

bertolakbelakang dengan statement-statement politik pemerintah sebelumnya

yang serius akan melakukan reformasi agraria.

Keterikatan Indonesia terhadap KMB kemudian mengalami perubahan

ketika Indonesia yang sebelumnya bernama Republik Indonesia Serikat berubah

kembali menjari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam waktu yang tidak

begitu lama setelah KMB. Namun perubahan tersebut hanya dalam hal bentuk

negara, sedangkan kesepakatan-kesepakatan lain tidak mengalami perubahan. Hal

inilah yang kemudian memancing pemberontakan di beberapa daerah, sehingga

tetap tidak bisa membuat stabil negara.

Pemerintah yang sebelumnya sudah terikat dalam KMB kembali

menguatkan rencana perubahan agraria dan penguatan ekonomi melalui sektor

pertanian. Bersamaan dengan itu juga, pemerintah merasa Belanda tidak konsisten

Page 18: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 18

dengan kesepakatan tentang pengembalian Irian Barat pasca jajak pendapat.

Setelah 7 tahun KMB Irian Barat tetap tidak dikembalikan ke Indonesia sehingga

memancing pembatalan sepihak. Salah satu tindakan lanjutan dari pembatalan

sepihak tersebut adalah menasionalisasi perkebunan-perkebunan yang kemudian

ternyata pengelolaannya diambil alih oleh militer.

Lahirnya UUPA pada tahun 1960 yang pada saat itu cukup berpihak kepada

rakyat ternyata tidak banyak membawa perubahan yang berarti sesuai dengan

tujuan awal pembuatan undang-undang tersebut. Hal itu dibuktikan dengan

minimnya aturan-aturan pelaksanaan yang sangat menentukan landreform dan

agrarian reform dapat dilakukan. Menurut beberapa ahli yang pernah melakukan

penelitian pada saat itu, landreform sangat sulit untuk dilakukan disebabkan

beberapa hal, antara lain kendala birokrasi yang masih sangat rumit, pengetahuan

tentang keagrariaan yang belum mencukupi, penguasaan aparat tentang hukum

agraria yang masih minim, penjelasan detail mengenai proses landreform yang

belum lengkap maupun tidak konsistennya peraturan pelaksanaan yang telah

dibuat.

Periode tahun 1960 sampai dengan 1965 pasca keluarnya UUPA merupakan

periode dimana pemerintah mencoba meletakkan dasar landreform. Tingginya

kemauan politik pada saat itu untuk melakukan landreform dan agrarian reform

sebenarnya cukup tinggi. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh rejim

Soekarno pada saat itu adalah Undang-Undang Landreform No. 56 Tahun 1960

yang salah satu isinya adalah mendistribusikan tanah maksimal 29 Ha untuk setiap

kepala keluarga petani. Namun kebijakan tersebut terus mendapat kritik karena

tidak menyentuh aspek lainnya, seperti perkebunan, kehutanan, pertambangan

dan kelautan.

3.1. 3.1. 3.1. 3.1. DuaDuaDuaDua Periode Masa Permasalahan Pertanahan Periode Masa Permasalahan Pertanahan Periode Masa Permasalahan Pertanahan Periode Masa Permasalahan Pertanahan

Boleh dikatakan pemerintah pada masa pasca kemerdekaan sampai sebelum

1965 memiliki kemauan politik yang cukup tinggi terhadap landreform dan

reforma agraria. Hal itu dibuktikan dengan terbentuknya tim atau panitia agraria

yang merumuskan undang-undang pokok agraria, dilakukanya reformasi agraria

skala kecil di beberapa wilayah di Jawa, keluarnya gagasan-gagasan revolusi sosial

dan politik yang selaras dengan prinsip-prinsip reforma agraria dan kemudian

akhirnya dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1960.

Page 19: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 19

Seluruh indikator tersebut menjadi penanda bahwasannya secara prinsip

pemerintah memiliki kemauan melakukan reforma agraria. Kekuatan politik pada

saat itu juga cukup mendukung, dimana ideologi sosialisme dan komunisme

mendapat tempat dalam sistem politik. Masyarakat juga memiliki kesempatan

yang cukup besar untuk berpartisipasi dalam bidang politik dan mengambil bagian

dalam perjuangan-perjuangan yang digariskan oleh masing-masing kekuatan,

terlepas dari ideologi yang dianut. Kebebasan berpartisipasi dalam bidang politik

dan memilih pilihan ideologis tersebutlah kemudian yang mendorong rakyat

untuk melakukan perlawanan-perlawanan di daerah, baik menyangkut perebutan

kekuasaan politik dan pendudukan tanah di daerah-daerah.

Tentu saja kemauan politik pemerintah pada saat belum dapat dilaksanakan

diakibatkan beberapa kendala politik dan teknis, seperti rumitnya birokrasi,

minimnya pengetahuan tentang mekanisme reforma agraria, situasi politik yang

tidak stabil akibat sistem pemerintah yang belum solid, munculnya

pemberontakan-pemberontakan di daerah maupun masih besarnya kepentingan

modal yang pada saat itu mencoba menancapkan kembali kekuatannya. Namun di

tingkat rakyat tindakan-tindakan penguasaan dan pendudukan lahan telah

dijalankan dengan perlindungan aturan yang masih minim.

Pada masa sebelum Indonesia kerja-kerja pendudukan lahan juga sudah

dilakukan oleh rakyat, terutama oleh buruh-buruh perkebunan yang bekerja di

perusahaan perkebunan yang telah ditingalkan oleh Belanda dan swasta asing.

Masa tiga tahun pendudukan Jepang memang benar-benar dimanfaatkan oleh

rakyat untuk menduduki lahan, disamping memang rejim fasis Jepang pada saat

itu memberi toleransi yang cukup besar terhadap rakyat yang mencoba menguasai

tanah untuk kepentingan pertanian. Perkembangan sosial politik seperti itulah

yang kemudian menimbulkan kekhawatiran pihak-pihak pengusaha perkebunan,

sehingga pasca kekalahan Jepang, Belanda dan pengusaha perkebunan yang

menguasai tanah jumlah besar mencoba melindungi perkebunan-perkebunan

mereka, salah satunya dengan meminta kepada pemerintah Indonesia untuk

menjamin keberadaan tanah dan perkebunan mereka.

Rejim Soekarno memang memiliki kemauan politik yang cukup tegas untuk

menjalankan reforma agraria. Beberapa kebijakan politik juga sudah coba

digulirkan sebagai pedoman dijalankannya reforma agraria, antara lain Undang-

Page 20: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 20

Undang No. 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah Partikelir, maupun

Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian.

Namun diakui pada saat itu pemerintah juga cukup moderat karena mengeluarkan

Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1958 tentang penyelesaian masalah tanah-

tanah perkebunan yang digarap oleh rakyat, Peraturan Pemerintah No 8 Tahun

1953 tentang penyerahan pengelolaan tanah negara kepada menteri dalam negeri

maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1952 tentang pemindahan hak-hak barat

baik berupa tanah maupun benda.

Kebijakan-kebijakan yang disebut terakhir tampaknya jika dilihat dari

semangat landreform yang mulai dicanangkan pada tahun 1946 sudah mulai

melemah. Semangat landreform dan agrarian reform, kebencian dan penolakan

terhadap kapitalisme dan imperealisme mulai mengendur. Hal ini ada

hubungannya dengan tekanan-tekanan dunia internasional melalui konferensi

meja bundar dan kelihaian perusahaan-perusahaan perkebunan non Belanda yang

mencoba bernegosiasi dengan rejim Soekarno. Jika ditarik sedikit ke belakang,

mulai awal tahun 1950 lah pihak-pihak perkebunan yang pernah angkat kaki dari

Indonesia mulai memberanikan diri untuk memasuki lahan-lahan perkebunan

mereka. Pada saat itu jugalah berbagai gejolak politik berupa pemberontakan-

pemberontakan di beberapa daerah kerap terjadi. Pemerintah kemudian

disibukkan dengan aksi-aksi pemadaman pemberontakan yang memakan banyak

biaya dan konsentrasi, sehingga reforma agraria akhirnya terhenti dengan

lahirnya UUPA Tahun 1960.

3.2. 3.2. 3.2. 3.2. Babak Baru Politik Pertanahan di IndonesiaBabak Baru Politik Pertanahan di IndonesiaBabak Baru Politik Pertanahan di IndonesiaBabak Baru Politik Pertanahan di Indonesia

Dua periode penting peletak dasar politik pertanahan di Indonesia, sekaligus

menjadi sumber konflik pertanahan yang marak terjadi saat ini. Kini, sebelum

akar persoalan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan

penguasaan dan pengelolaan tanah, pemerintah mulai membangun babak baru

yang tidak kalah pentingnya dengan apa yang sudah terjadi pada periode-periode

sebelumnya.

Babak baru yang dimaksud pun tampaknya memiliki bermacam-macam

wajah. Satu sisi memperlihatkan wajah populis dengan nama program redistribusi

tanah atau landreform yang rencananya akan membagi-bagikan kurang lebih 8,15

Ha di seluruh Indonesia yang ditujukan terutama untuk petani-petani miskin.

Page 21: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 21

Rencana ini pun mulai dirancang di beberapa Kabupaten, antara lain di Kabupaten

Asahan dan Serdang Bedagai. Namun sampai sekarang rancangan tersebut sama

sekali tidak diketahui masyarakat. Tanpa melibatkan rakyat, pemerintah daerah

mulai membicarakan proses redistribusi tanah yang secara nasional ditangani oleh

BPN, Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan.

Program populis yang sebenarnya bisa menaikkan pamor pemerintah pun

mulai dijalankan. Di Kabupaten Asahan, ada satu kasus sengketa, yakni antara

masyarakat di Desa Gajah dengan perusahaan perkebunan bernama PUSKOPAD.

Walau merupakan hasil perjuangan rakyat, namun kurang lebih 590 Ha tanah

sudah dikuasai oleh rakyat dan dilanjutkan dengan proses sertifikasi dibantu

Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Asahan. Namun sayangnya kebijakan

tersebut tidak banyak diketahui oleh rakyat dan belum menyentuh persoalan

terbesar yang saat ini terjadi, yakni tanah-tanah sengketa antara masyarakat

dengan perusahaan perkebunan.

Sebelum rencana tersebut dijalankan secara luas, kini pemerintah sudah

berencana akan mengeluarkan kebijakan baru tentang Undang-Undang

Penanaman Modal, Undang-Undang ketenagakerjaan dan Undang-Undang

perpajakan. Ketiga undang-undang tersebut dilatarbelakangi oleh usaha perbaikan

investasi sehingga menjadikan Indonesia sebagai surga bagi investor. Upaya-upaya

tersebut semakin kuat ketika salah satu komoditi perkebunan, yakni kelapa sawit

mengalami lonjakan yang luarbiasa karena menjadi bahan utama bahan bakar

nabati maupun produk-produk lanjutan kelapa sawit.

Saat ini malah hampir seluruh pihak sudah gonjang ganjing tentang besarnya

keuntungan yang diperoleh negara dan pemodal untuk pembangunan

perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit. Semua orang mulai memprediksi

besaran pendapatan dan pertumbuhan ekonomi yang didapat jika pemerintah

membuka lebar-lebar investasi perkebunan kelapa sawit. Menurut pemerintah,

pertumbuhan kelapa sawit Indonesia tahun 2010 akan mencapai 18 juta ton

pertahun, sehingga untuk mencapai target tersebut maka harus ada perluasan

lahan perkebunan 10 sampai 20% di tiap-tiap daerah, antara lain di Sumatera

Utara, Jambi, Riau, Papua, kepulauan Riau, Kalimantan dan Sulawesi.

Rencana tersebut nampaknya sangat serius dijalankan pemerintah. Sebagai

buktinya, mulai tahun 2006 pemerintah jor joran memunculkan program

Page 22: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 22

revitalisasi perkebunan dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang

mendukung program tersebut, antara lain:

1. Peraturan Menteri Pertanian No.33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang

Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan.

2. Keputusan Menteri Pertanian No. 490/Kpts/OT. 160/8/2006 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pelaksanaan Program Revitalisasi Perkebunan.

3. Peraturan Menteri Keuangan No. 117/PMK.06/2006 tentang Kredit

Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan.

4. Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan No. 03/Kpts/RC.110/1/07 tentang Satuan Biaya Pembangunan Kebun Peserta Program Revitalisasi Perkebunan Tahun 2006/2007.

Selain mengeluarkan kebijakan-kebijakan teknis tersebut, pemerintah juga

sudah mencoba mengutak-atik kebijakan yang lebih umum, salah satunya adalah Undang-Undang Penanaman Modal. Walaupun mulai tahun 1998 sudah diperbincangkan, kebijakan memperpanjang HGU, dari yang saat ini hanya 25 sampai 30 tahun, menjadi 60 tahun dan dapat diperpanjang 45 tahun. Tentu saja rencana ini langsung mendapat penolakan dari kalangan lembaga swadaya masyarakat yang melihat kebijakan tersebut sangat sarat dengan kepentingan modal yang berusa melindungi kepentingan mereka akan investasi di Indonesia.

Bukan hanya berencana akan memperpanjang masa kontrak HGU, pemerintah

juga mengeluarkan beberapa jurus agar revitalisasi perkebunan dijalankan. Pemerintah sekarang membuka lebar-lebar lembaga-lembaga keuangan internasional, Bank Swasta nasional dan internasional yang berminat membiayai investor perkebunan. Alhasil, puluhan perbankan internasional dan nasional pun mulai menyatakan minatnya, seperti Bank BRI yang akan menyalurkan kredit Rp. 12 triliun, Bank Mandiri RP. 11 Triliun, Bank Bukopin Rp. 1 triliun, dan bank-bank pembangun daerah lain.

Pemerintah benar-benar sangat total dalam mengembangkan perkebunan, selain

mengeluarkan payung hukum melindungi dan memfasilitasi pengembangan perkebunan, membuka lebar kepada pihak perbankan yang akan membiayai revitalisasi perkebunan, pemerintah juga berencana akan memperpanjang waktu HGU hingga menjadi 100 tahun lebih dengan alasan menciptakan keamanan investasi bagi seluruh penanam modal di bidang perkebunan. Untuk mengimbangi hal tersebut, pemerintah juga menggulirkan beberapa program yang terkesan populis, yakni melakukan pensertifikasian tanah kepada rakyat dengan berbagai sumber

Page 23: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 23

pembiayaan, melakukan redistribusi tanah, dan mengoptimalisasikan peran-peran pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional dalam membangun ketertiban penguasaan dan pengelolahan tanah.

Sayangnya kebijakan penciptaan investasi perkebunan dan penciptaaan keadilan

sistem penguasaan dan pengelolaan tanah tersebut saling kontradiktif satu sama lain. Padahal, tanpa program redistribusi tanah, pemerintah sebenarnya punya banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan, yakni penyelesaian tanah sengketa tanah rakyat dengan pihak perkebunan yang sudah berlangsung puluhan tahun tanpa ada kejelasan. Tentu saja kebijakan ini malah menimbulkan polemik baru yang lebih besar tanpa memberi kejelasan tentang kasus-kasus sengketa yang dihadapi rakyat.

Page 24: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 24

IV.IV.IV.IV. Situasi Umum Pertanahan di Kab. Asahan dan Labuhan BatuSituasi Umum Pertanahan di Kab. Asahan dan Labuhan BatuSituasi Umum Pertanahan di Kab. Asahan dan Labuhan BatuSituasi Umum Pertanahan di Kab. Asahan dan Labuhan Batu

4.1. 4.1. 4.1. 4.1. GaGaGaGambaran Umum Wilayahmbaran Umum Wilayahmbaran Umum Wilayahmbaran Umum Wilayah

Dua wilayah Kabupten di Sumatera Utara yang dari sisi sejarah maupun

sampai saat ini menjadi sentra perkembangan perkebunan adalah Kabupaten

Asahan (yang sekarang dipecah menjadi dua, yakni Kabupaten Asahan dan

Kabupaten Batubara) dan Kabupaten Labuhan Batu. Berdasarkan catatan sejarah,

dua kabupaten tersebut termasuk kawasan cuulturgebeid atau wilayah sabuk

perkembangan industri perkebunan Belanda, selain Kabupaten Deli Serdang dan

Serdang Bedagei. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan

perkebunan peninggalan Belanda yang saat ini menjadi perusahaan perkebunan

milik negara (PTPN II, PTPN III dan PTPN IV) maupun perusahaan asing milik

eropa dan Amerika Serikat yang diantaranya diwakili oleh PT Socfindo, PT

London Sumatera, PT Bakrie Sumatera Plantation, dan sebagainya.

Kini Ada ratusan perusahaan perkebunan di dua Kabupaten tersebut.

Menurut rekapitulasi sementara, di Kabupaten Asahan saja saat ini terdapat

kurang lebih 100 perkebunan diluar perkebunan milik rakyat dan milik pribadi.

Rata-rata perusahaan tersebut adalah perkebunan kelapa sawit dan karet dengan

luas lahan antara 500 sampai dengan 20.000 Ha. Belum lagi di Kabupaten Labuhan

Batu yang juga merupakan salah satu kawasan potensial pengembangan

perkebunan.

Secara geografis, wilayah Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu umumnya

bertopografi dataran, sedikit berbukit dan hanya sebahagian kecil yang

bertopografi perbukitan dan pergunungan. Hampir sama dengan Kabupaten

Labuhan Batu, letak dataran di Kabupaten Asahan sebahagian besar berada di

antara 0 sampai dengan 100 meter di atas permukaan laut, dan hanya sedikit,

yakni di sekitar bagian barat yang berada 100 meter di atas permukaan laut,

sehingga kawasan ini memang cukup memungkinkan untuk menjadi kawasan

perkebunan sehingga tidak membutuhkan biaya yang besar berinvestasi di bidang

pertanian monokultur.

Demikian juga dari sisi klimatologi. Curah hujan di dua kabupaten tersebut

rata-rata 100 sampai dengan 120 hari dalam satu tahun atau 1500 sampai 1800 mm

per tahun. Berdasarkan data tersebut, maka Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu

Page 25: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 25

cenderung daerah dengan curah hujan normal, dan dalam sejarah memang tidak

pernah mengalami musim kering berkepanjangan, malah di kawasan sekitar

pesisir menjadi wilayah langganan banjir. Disebabkan berbatasan dengan daerah

tanggapan air (catchment area) Danau Toba di sebelah barat, maka dua Kabupaten

ini mendapat keuntungan, karena dialiri oleh beberapa sungai besar, antara lain

sungai Barumun, Sungai Bilah, Sungai Merbau di Labuhan Batu, Sungai Asahan,

Sungai Silau dan sungai-sungai kecil lain di Asahan.

Topografi yang sebahagian besar dataran rendah namun berbatasan dengan

daerah perbukitan dan pergunungan di sebelah barat yang dekat dengan daerah

tangkapan air Danau Toba menjadikan dua kabupaten ini memiliki beberapa

daerah aliran sungai besar yang diidentifikasi menjadi penentu kesuburan tanah,

yakni Daerah Aliran Sungai (DAS) Silau, DAS Asahan, DAS Kualuh, DAS Bilah

dan DAS Barumun, sehingga kehancuran dua Kabupaten ini ditentukan oleh

kerusakan sungai-sungai dan hutan yang berada di atas DAS tersebut.

Di sebelah timur dua kabupaten tersebut dikenal sebagai kawasan dataran

rendah yang kaya akan keanekaragaman hayati dan secara ekologis merupakan

daerah serapan air, seperti hutan mangrove, rawa pasang surut, dan gambut.

Walaupun bukan merupakan kawasan dengan luas hutan mangrove dan gambut

terbesar di Sumatera Utara, namun di dua kabupaten tersebut fungsi rawa, gambut

dan hutan bakau sangat vital sebagai kawasan penyeimbang di timur sebagai

sumber air utama. Namun saat ini jumlah hutan mangrove dan gambut di dua

kabupten tersebut semakin lama semakin menipis akibat konversi lahan untuk

perkebunan yang berlangsung sangat cepat.

Secara demografis jumlah masing-masing penduduk sudah mencapai satu

juta orang dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 0,58% pertahun dan

tingkat kepadatan penduduk rata-rata 214 orang per kilo meter per segi. Secara

kultural, sebahagian besar penduduk di Kabupaten Asahan Adalah etnis Jawa,

disusul suku Batak, Melayu dan lainnya, sedangkan di Kabupaten Labuhan Batu

komposisinya lebih merata, karena daerah Labuhan Batu tergolong kawasan yang

perkembangannya kemudian setelah Kabupaten Asahan, sehingga tingkat migrasi

masuk yang cukup besar.

Berdasarkan agama, mayoritas di dua kabupaten tersebut adalah agama islam

mencapai lebih dari 75%, sedangkan sisanya adalah Protestan, Budha, Hindu dan

Page 26: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 26

lainnya. Namun jika diteliti berdasarkan data lapangan, dari sejarah proses migrasi

masuk ke dua kabupeten tersebut terbentuk satu pola permukiman yang

cenderung berkelompok berdasarkan etnis dan agama kecuali di permukiman

perkebunan. Di dataran tinggi, yang wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten

Simalungun, Toba Samosir dan Tapanuli Utara yang berbatasan secara langsung

dengan Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu, penduduknya sebahagian besar

beragama Kristen dan Batak, sedangkan yang tinggal di kawasan timur, khususnya

dataran rendah dan pesisir adalah Melayu dan etnis lain yang beragama Islam.

Penggunaan lahan di dua kabupaten tersebut sebahagian besar adalah untuk

perkebunan monokultur, sedangkan untuk perkebunan campuran, sawah irigasi

teknis dan non irigasi, permukiman, hutan, padang/semak/belukar, perairan darat,

tanah kering/tegalan dan sebagainya masing-masing jauh di bawah peruntukan

perkebunan. Seperti di Kabupaten Asahan. Untuk perkebunan monokultur

penggunaan lahan paling besar adalah untuk perkebunan monokultur yakni

sebesar lebih dari 30% sedangkan tanah tegalan atau tanah kering hanya 3% dari

total penggunaan lahan.

Kondisi di Kabupaten Labuhan Batu juga tidak jauh berbeda dengan di

Kabupaten Asahan. Malah di Kabupaten Labuhan Batu potensi konversi hutan,

rawa, tanah kering, lahan gambut dan sebagainya untuk perkebunan monokultur

masih lebih besar, sehingga persentase penggunaan lahan untuk perkebunan akan

semakin besar. Kecenderungan seperti inilah yang dikhawatirkan akan semakin

merusak sistem ekologis dua kabupaten tersebut. Apalagi pada saat ini beberapa

program pemerintah tentang revitalisasi perkebunan semakin gencar dilakukan

sehingga akan semakin mengancam keberadaan hutan dan penggunaan lahan

untuk pertanian, keberadaan lahan gambut, rawa dan sebagainya.

Page 27: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 27

4.2. 4.2. 4.2. 4.2. Sengketa Sengketa Sengketa Sengketa Pertanahan di Asahan dan Labuhan BatuPertanahan di Asahan dan Labuhan BatuPertanahan di Asahan dan Labuhan BatuPertanahan di Asahan dan Labuhan Batu

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran secara

umum tentang sengketa pertanahan di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Dua

kabupaten ini dipilih dengan beberapa pertimbangan, diantaranya; di dua

kabupaten tersebut selama ini dikenal sebagai wilayah dengan tingkat sengketa

pertanahan yang cukup tinggi, minimnya proses penyelesaian sengketa

pertanahan yang berlangsung di tempat tersebut, dinamika perjuangan rakyat

yang tinggi, banyaknya perusahaan-perusahaan perkebunan dan sejarah konflik

yang panjang karena terkait dengan masa kolonialisme dan seluruh pergantian

rejim politik yang pernah terjadi.

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebutlah kemudian sengketa pertanahan

di dua kabupaten tersebut menjadi salah satu fokus dalam penelitian ini.

4.2.14.2.14.2.14.2.1. Gambaran Umum Konflik Pertanahan. Gambaran Umum Konflik Pertanahan. Gambaran Umum Konflik Pertanahan. Gambaran Umum Konflik Pertanahan

Berdasarkan dari hasil rekapitulasi berbagai sumber, baik dari DPRD

Kabupaten dan beberapa kelompok perlawanan, di Kabupaten Asahan saja pada

saat ini terdapat lebih dari 136 kasus pertanahan dengan luas tanah sengketa lebih

dari 30.000 hektar, melibatkan lebih dari 30.000 kepala keluarga atau sekitar

100.000 orang dan terjadi di seluruh Kecamatan di Kabupaten Asahan. Jumlah

kasus tersebut hanyalah sengketa pertanahan yang pernah tercatat di Dewan

Perwakilan Daerah Kabupaten Asahan, ataupun yang pernah diadukan oleh

masyarakat ke dewan legislatif maupun pemerintah Kabupaten Asahan.

Sayangnya tidak seluruh 136 kasus tersebut yang tercatat, hanya 123 kasus

yang dapat diidentifikasi. Demikian juga dengan di Kabupaten Labuhan Batu.

Menurut catatan, di Kabupaten Labuhan Batu pada tahun 2000 terdapat konflik

lahan sebanyak 100 sengketa pertanahan, namun dari jumlah kasus sengketa

pertanahan tersebut, hanya sebahagian kecil yang muncul ke permukaan karena

adanya proses penguatan dan publikasi dari organisasi non pemerintah, sedangkan

kasus lainnya tanpa proses sama sekali.

Berdasarkan identifikasi langsung di lapangan ditambah dengan data-data

yang diperoleh dari kelompok-kelompok petani, secara riil pada saat penelitian

dilakukan telah diperoleh angka 122 kasus. Sengketa pertanahan terjadi di 16

Page 28: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 28

Kecamatan dari 19 Kecamatan di Kabupaten Asahan, yakni: Kecamatan Bandar

Pulo, Kecamatan Buntu pane, Kecamatan Sei Kepayang, Kecamatan Bandar Pasir

Mandoge, Kecamatan Sei Suka, Kecamatan Air Putih, Kecamatan Simpang Empat,

Kecamatan Air Joman, Kecamatan Limapuluh, Kecamatan Medang Deras,

Kecamatan Aek Kuasan, Kecamatan Pulau Rakyat, Kecamatan Meranti,

Kecamatan Sei Balei, Kecamatan Tanjung Tiram, dan Kecamatan Air Batu.

Sedangkan Kecamatan Kisaran Timur, Kecamatan Kisaran Barat, Kecamatan

Tanjung Balai dan Kecamatan Talawi belum diperoleh informasi.

Boleh dikatakan data yang diperoleh dari proses penelitian lapangan cukup

menjadi dasar bahwasannya kompleksitas persoalan pertanahan di Kabupaten

Asahan maupun Labuhan Batu cukup tinggi dan melibatkan pihak-pihak yang

selama ini punya peran besar menghancurkan ekonomi rakyat. Dari proses analisis

data, kecamatan dimana sengketa paling banyak adalah di Kecamatan Bandar Pasir

Mandoge, yakni untuk sementara mencapai 22 kasus, kemudian di Kecamatan

Bandar Pulo sebanyak 15 kasus dan di Kecamatan Buntu Pane sebanyak 14 kasus.

Berikut data jumlah kasus sengketa tanah berdasarkan kecamatan.

Jumlah Kasus Berdasarkan Jumlah Kasus Berdasarkan Jumlah Kasus Berdasarkan Jumlah Kasus Berdasarkan Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten AsahanAsahanAsahanAsahan

KecamatanKecamatanKecamatanKecamatan Jumlah KasusJumlah KasusJumlah KasusJumlah Kasus

Kec. Aek Kuasan 4

Kec. Air Batu 7

Kec. Air Joman 3

Kec. Air Putih 4

Kec. B.P.Mandoge 22

Kec. Bandar Pulo 15

Kec. Buntu Pane 14

Kec. Limapuluh 8

Kec. Medang Deras 1

Kec. Meranti 3

Kec. Pulau Rakyat 8

Kec. Sei Balei 3

Kec. Sei Kepayang 5

Kec. Sei Suka 2

Kec. Simpang Empat 8

Kec. Tanjung Tiram 1

Blm teridentifikasi 15

Total 123

Page 29: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 29

Berdasarkan data di atas kita bisa menyimpulkan beberapa hal. Pertama, kasus

pertanahan paling banyak memang terjadi di kecamatan yang secara geografis

paling luas di Kabupaten Asahan, seperti Kecamatan Bandar Pasir Mandoge,

Kecamatan Bandar Pulo, dan Kecamatan Buntu Pane. Kecamatan Bandar Pulo

sendiri adalah Kecamatan yang wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten

Labuhan Batu, sedangkan Kecamatan Buntu Pane berbatasan dengan Kabupaten

Simalungun, sedangkan Kecamatan Bandar Pasir Mandoge berbatasan dengan

Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Tapanuli Utara.

Kesimpulan kedua adalah tentang karakteristik wilayah beberapa kecamatan

dimana jumlah konflik sangat tinggi. Kecamatan Bandar Pulo, Bandar Pasir

Mandoge, Buntu Pane, Pulau Rakyat dan beberapa Kecamatan lainnya adalah

wilayah kecamatan dengan jumlah perusahaan perkebunan yang cukup banyak

dan jauh dari Kota Kabupaten. Sebagai contoh adalah Kecamatan Bandar Pasir

Mandoge dan Bandar Pulo yang berjarak lebih dari 40 km dari Kota Kisaran, dan

yang ketiga adalah, bahwasannya wilayah konflik tertinggi adalah Kecamatan

yang bukan daerah pesisir seperti Kecamatan Tanjung Tiram, Kecamatan Medang

Deras, Kecamatan Air Joman dan Kecamatan Tanjung Balai yang wilayahnya

berbatasan secara langsung dengan selat Malaka.

Saat penelitian dilakukan memang data secara detail tentang jumlah

perkebunan di Kabupaten Asahan belum dapat diperoleh. Namun di Kabupaten

Asahan jumlah perusahaan perkebunan didominasi oleh perkebunan swasta

Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN). Rata-rata perusahaan perkebunan PMDN

bukanlah perusahaan-perusahaan yang telah lama berdiri, karena sebahagian

besar berdiri pada tahun 1970-an. Walaupun begitu ada juga beberapa PMDN

yang memiliki sejarah panjang karena asal usul perusahaan adalah milik

perusahaan-perusahaan asing milik eropa dan Amerika Serikat, seperti PT Bakrie

Sumatera Plantation yang sebelumnya adalah perusahaan milik Amerika Serikat.

Berdasarkan karakteristik jenis perusahaan perkebunan, konflik pertanahan

yang terjadi di Asahan adalah perusahaan perkebunan Penanam Modal Dalam

Negeri atau swasta dalam negeri. Menurut data sementara, dari 122 kasus yang

terjadi di Asahan, ada 82 sengketa yang terjadi antara masyarakat, terutama petani

dengan Perusahaan Perkebunan PMDN, sedangkan kasus yang dihadapi oleh

Penanam Modal Asing (PMA) sebanyak 9 kasus. Berikut data lengkap tentang

kasus sengketa pertanahan berdasarkan jenis kepemilikan lahan.

Page 30: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 30

Jenis KepemilikanJenis KepemilikanJenis KepemilikanJenis Kepemilikan JumlahJumlahJumlahJumlah %%%%

PMDN 83 67,3

Individu 13 10.7

BUMN 12 9.8

PMA 9 7,4

Yayasan 3 2,5

Perusahaan Pemda 3 2,5

Total 123 100

Jelas berdasarkan data tersebut, sengketa tanah paling banyak berlangsung di

perusahaan Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN), yakni 67% dari total

sengketa yang terjadi di Kabupaten Asahan. Tentu saja data ini belum termasuk

potensi sengketa yang selama ini masih terpendam akibat ketidakberanian

ataupun ketiadaan pengetahuan masyarakat terhadap alas hak yang dimiliki

perusahaan maupu hak sah yang dipunyai masyarakat. Demikian juga dengan

sengketa tanah yang terjadi pada kepemilikan tanah individu, BUMN, Penanam

Modal Asing (PMA), yayasan maupun perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah

daerah, khususnya propinsi.

Tingginya jumlah sengketa di tiap-tiap perusahaan tersebut ternyata juga

tidak tergantung pada banyaknya kebun atau estate masing-masing perusahaan.

Salah satu contoh adalah PT Sari Persada Raya (PT SPR) yang berlokasi di

Kecamatan Bandar Pasir Mandoge dan PT Asian Agri yang merupakan salah satu

anak perusahaan bidang perkebunan milik Raja Garuda Mas (RGM. Walaupun PT

SPR hanya memiliki satu estate, namun sengketa tanah yang dihadapi oleh

perusahaan tersebut ada 11 kasus, sedangkan di PT Socfindo yang memiliki 8

estate di Kabupaten Asahan terjadi lebih sedikit yakni sebanyak 8 kasus. Data ini

tentunya tidak menggambarkan bahwasannya potensi konflik di PT Socfindo

lebih rendah, karena kemungkinan-kemungkinan terungkapnya sengketa tanah

sangat besar kemungkinan terjadi.

Page 31: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 31

Jumlah Kasus Sengketa Tanah Berdasarkan PerusahJumlah Kasus Sengketa Tanah Berdasarkan PerusahJumlah Kasus Sengketa Tanah Berdasarkan PerusahJumlah Kasus Sengketa Tanah Berdasarkan Perusahaanaanaanaan

Nama PerusahaanNama PerusahaanNama PerusahaanNama Perusahaan Jumlah KasusJumlah KasusJumlah KasusJumlah Kasus

PT Asian Agri 18

PT BSP 6

PT EMHA 1

PT Inti Palm Sumatera 1

PT JBP 1

PT Karetia dan PT Sijabut 1

PT Kwala Gunung 1

PT Lonsum 2

PT Padasa Enam Utama 10

PT Paduan Karya 2

PT PSU 3

PT Sijabut 1

PT Socfindo 8

PT SPR 11

PT Tinggi Raja 1

PTPN III 5

PTPN IV 7

PUSKOPAD 4

Satu hal yang menjadi catatan adalah bahwasannya sengketa yang terjadi di

PT SPR memiliki karakteristik tersendiri sehingga jumlah sengketa yang terjadi

sangat tinggi. Wilayah HGU dan kelebihan HGU PT SPR selama ini telah

mengambil lahan Hutan Lindung Tormatutung yang termasuk register 1/A seluas

1300 Ha. Sementara di sekitar kawasan hutan lindung tersebut juga berdiam

banyak komunitas-komunitas setempat yang sudah lama mendiami dan membuka

lahan untuk pertanian. Berdasarkan realitas tersebut, maka PT SPR melanggar dua

hal, pertama melakukan perambahan terhadap hutan yang dilindungi negara dan

juga melanggar hak-hak komunitas lokal yang hidup lama berdampingan dengan

tanah dan hutan.

Sebahagian besar kasus sengketa tanah yang terjadi di Asahan maupun di

Kabupaten Labuhan Batu adalah kasus-kasus perampasan tanah miliki rakyat yang

telah dikelola sejak periode tahun 1942 sampai tahun 1965. Kasus-kasus sengketa

Page 32: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 32

periode ini sarat dengan muatan politis, karena kebanyakan petani adalah berasal

dari organisasi massa dan politik terideologis yang kemudian mendapat intimidasi

jika tidak bersedia menyerahkan tanahnya kepada pemerintah dan perusahaan.

Tipe sengketa kedua adalah yang terjadi di atas tahun 1965 ke atas hingga saat ini.

Pada periode ini, ada dua jenis akar konflik yang terjadi, yakni terkait dengan

perampasan tanah rakyat yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah,

pendudukan tanah terlantar di luar HGU perusahaan, manipulasi tanah PIR yang

kemudian dikuasai oleh pejabat-pejabat dan perusahaan, penguasaan tanah ulayat,

dan perambahan hutan.

Persoalan tanah di Asahan dan Labuhan Batu juga tidak selalu terkait dengan

perusahaan perkebunan swasta dan milik negara, sengketa masyarakat dengan

individu, pihak yayasan dan koperasi juga tidak sedikit jumlahnya. Bahkan di

banyak tempat, penguasaan perkebunan milik pribadi juga mulai banyak muncul

ke permukaan. Di Asahan dan Labuhan Batu, usaha keluarga atau pribadi yang

tidak memiliki HGU bisa memiliki tanah lebih dari 10 Ha, bahkan ada yang

mencapai 500 Ha sampai dengan 1000 Ha, seperti terjadi di Kecamatan Aek Loba

dan Bandar Pulau. Namun sengketa antara masyarakat dengan tanah milik pribadi

tersebut masih belum banyak terjadi, karena sebahagian besar tanah pribadi

tersebut dibeli secara sah, walaupun sebenarya sudah menyalahi Undang-Undang

Pokok Agraria yang tidak memperbolehkan kepemilikan pribadi lebih dari 2 Ha.

Keterlibatan pejabat-pejabat dalam sengketa tanah juga cukup banyak. Di

beberapa tempat, kalangan mantan pejabat, pejabat yang masih aktif dari

Departemen Perhubungan, Kantor Pemda, Kepolisian dan lainnya juga berperan

dalam sengketa lahan. Di Kecamatan Bandar Pulau, beberapa pejabat dan mantan

pejabat ada yang membeli tanah dengan harga murah dari perusahaan perkebunan

yang sebelumnya telah bersengketa dengan rakyat. Di Bandar Pasir Mandoge,

malah dua perusahaan, yakni PT BSP dan PT JBP, para pejabat malah menjadi

anggota petani yang ikut dalam pola PIR, padalah sebelumnya tanah tersebut

dimiliki oleh rakyat yang kemudian dibeli oleh para pejabat. Tanah yang

sebelumnya menjadi bagian program PIR kemudian dikuasai perusahaan dan

kondisi terakhir menjadi bagian HGU perusahaan perkebunan.

Page 33: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 33

4.2.4.2.4.2.4.2.2.2.2.2. Akar Konflik Pertanahan Akar Konflik Pertanahan Akar Konflik Pertanahan Akar Konflik Pertanahan

Secara umum akar sengketa tanah yang terjadi di Kabupaten Asahan dan

juga Labuhan Batu terbagi atas beberapa jenis, yakni:

1. Perampasan oleh perusahaan terhadap tanah penampungan masyarakat

2. Pengambilalihan tanah rakyat di luar HGU perusahaan

3. Perampasan tanah milik syah masyarakat

4. Penyelewengan pengukuran pada saat awal memperoleh HGU

5. Penggarapan lahan tidur bukan HGU perusahaan oleh masyarakat

6. Perambahan hutan lindung untuk perkebunan

7. Penolakan pembukaan perkebunan oleh masyarakat

8. Pengambilalihan lahan PIR milik masyarakat oleh perusahaan

9. Manipulasi perluasan HGU pada saat perpanjangan atau sebelum perijinan

baru

10. Pengambilalihan tanah milik komunitas ulayat

11. Penyalahgunaan perjanjian penggunaan tanah untuk perkebunan milik

masyarakat oleh perusahaan perkebunan

Sengketa tanah yang terjadi di Propinsi Sumatera Utara, khususnya wilayah

sabuk industri perkebunan jaman Belanda, seperti Kota Medan, Kabupaten Deli

Serdang, Kabupaten Asahan, sebahagian Simalungun, Serdang Bedagai dan

Labuhan Batu sebahagian besar adalah sengketa warisan jaman kolonial,

pendudukan Jepang dan orde kepemimpinan Soekarno. Akar konflik type seperti

ini tergolong yang paling rumit sekaligus sulit mencapai titik temu antara

perusahaan, pemerintah dan masyarakat. Salah satu contohnya adalah yang terjadi

antara Kelompok Tani Penampungan Desa Sengon Sari Kecamatan Aek Kuasan

dengan PT Socfindo Aek Loba.

Sejak tahun 1947 sekitar 250 masyarakat sudah melakukan penggarapan

tanah terlantar di dusun Aek Nagaga A dan B di Kecamatan Bandar Pulo sampai

tahun 1962. Kemudian pada tahun 1962 Kepala Desa Aek Nagaga

memberitahukan kepada seluruh petani penggarap bahwasannya pihak

perusahaan, yakni Harison (sekarang PT PP London Sumatera Gunung Melayu)

akan mengambilalih seluruh lahan yang digarap oleh petani, baik yang berada di

Desa Aek Nagaga Afdeling I dan Afdeling II. Pada saat itu masyarakat menolak

karena sudah lama mengusahakan lahan yang mereka buka. Pada masa

kepemimpinan Soekarno memang ada sebuah peraturan, bahwasannya

Page 34: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 34

perusahaan asing yang kembali mengelola perkebunan tidak boleh melanggar

hak-hak petani penggarap yang sudah mengelola tanah yang ditinggalkan oleh

pihak perkebunan maupun tanah yang memang baru dibuka oleh masyarakat.

Berdasarkan aturan tersebutlah kemudian dilakukan musyawarah antara petani

penggarap, pemerintah maupun pihak perusahaan. Dikarenakan tidak adanya

kesepakatan, kemudian kasus diajukan ke Panitia pertimbangan Landreform di

Kabupaten Asahan, yang dilakukan pada saat itu di Kota Tanjung Balai.

Proses yang dijalani melalui panitia landreform akhirnya menghasilkan

beberapa kesimpulan, antara lain; pengembalian tanah yang dikuasai oleh

masyarakat petani kepada pihak perkebunan, yakni PT PP London Sumatera

Kebun Gunung Melayu; petani diberikan tanah pengganti, dimana sebanyak 250

kepala keluarga mendapatkan masing-masing 2 hektar, sehingga total tanah yang

diberikan sebagai tanah pengganti adalah 500 Ha. Lokasi tanah pengganti pada

saat itu adalah di Desa Batu Ampat Sengon Sari; Ganti rugi tanaman milik

masyarakat oleh perkebunan, biaya pindah ditanggung oleh pihak perusahaan.

Ternyata kesepakatan tersebut tidak dipenuhi oleh pihak perusahaan

perkebunan. Dari 250 kepala keluarga yang dijanjikan mendapatkan lahan

pengganti, ternyata hanya 65 kepala keluarga yang mendapatkan, itu pun hanya 1

Ha per keluarga, sehingga total tanah pengganti yang dimukimi petani hanya 65

Ha, semenetara 435 Ha lagi belum direalisasikan. Kondisi ternyata semakin rumit

ketika pada tahun 1965 terjadi gejolak politik, dan sebahagian besar petani

penggarap pada saat itu menjadi anggota sebuah organisasi petani (Barisan Tani

Indonesia) yang pada saat itu dikategorikan sebagai organisasi terlarang.

Akibatnya banyak petani yang kemudian ditangkap oleh pemerintah berkuasa.

Akibat gejolak politik tersebut dan intimidasi yang dilakukan rejim Soeharto,

kemudian tindak lanjut dari pemberian lahan pengganti pun tidak dilakukan.

Malah pada tahun 1967 PT Socfindo kemudian menduduki dan mengelola tanah

pengganti di Desa Batu Ampat Sengon Sari, sehingga 435 Ha yang dijanjikan PT

PP Lonsum Gunung Melayu pun beralih ke PT Socfindo.

Kondisi yang hampir bersamaan juga terjadi di Desa Aek Korsik, Kecamatan

Aek Kuasan Kabupaten Asahan. Pada tahun 1950-an masyarakat sudah mulai

membuka lahan di Desa Aek Korsik dengan jumlah lahan kurang lebih 390 Ha.

Dikarenakan sudah lama mengusahai lahan cukup lama, pada tahun 1971

Page 35: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 35

Gubernur Sumatera Utara melakukan proyek landreform dengan memberikan

surat Hak Milik kepada masyarakat dengan nomor SK. 78/HM/LR/1971 pada

tanggal 21 Agustus 1971 sebanyak 347 persil tanah. Tentu saja pada saat itu

masyarakat cukup senang dengan adanya surat tersebut. Namun antara tahun

1972 sampai 1973 masuklah PT Socfindo yang kemudian melakukan perusakan

tanaman masyarakat dan membuat batas-batas tanah yang di klaim sebagai HGU

perusahaan.

Selama beberapa tahun kemudian masyarakat melakukan perjuangan, antara

lain mengadukan penyerobotan tanah tersebut kepada Camat dan Bupati Asahan

pada tahun 1973 dan 1984 dan 1998, namun sama sekali tidak mendapat

tanggapan. Barulah pada tahun 2000, 2003 dan 2005 pemerintah memberi

tanggapan kepada masyarakat dengan melakukan pembuktian di kedua belah

pihak, bahkan pada tahun 1998 menurut masyarakat, lahan yang dituntut untuk

dikembalikan sudah dikeluarkan dari HGU PT Socfindo Kebun Aek Loba. Pada

saat itulah kemudian dilakukan peninjauan lapangan yang dilakukan oleh pihak

pemerintah Propinsi Sumatera Utara, BPPN Sumatera Utara, Pemkab Asahan,

BPN Kabupaten Asahan dan Camat Aek Kuasan.

Selama beberapa tahun perjuangan berlangsung sama sekali tidak

membuahkan hasil. Pada tahun 2006 masyarakat di Aek Korsik bergabung dengan

Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR) hingga pada saat ini. Langkah terakhir

yang dilakukan adalah telah dilakukan beberapa kali perundingan dengan pihak

perusahaan yang ditengahi Pemda Kabupaten Asahan dan Kanwil BPN Propinsi

Sumatera Utara. Beberapa kemungkinan pun sudah mulai dijajaki, antara lain

adanya ganti rugi dari perusahaan terhadap 390 Ha tanah masyarakat.

Apa yang terjadi di Aek Korsik hampir bersamaan dengan yang terjadi di

Desa Persiapan Batu Anam, yang dahulu bernama kampung Wonorejo, Desa

Rahuning Kecamatan Bandar Pulo. Kasus ini dikatakan hampir bersamaan

jenisnya dengan yang terjadi di Desa Aek Korsik Kecamata Aek Kuasan. Pada

tahun 1969 kurang lebih 150 masyarakat di Kampung Wonorejo mengelola tanah

negara seluas kurang lebih 350 Ha karena tanah tersebut telah diterlantarkan atau

tidak dikuasai oleh pihak manapun. Sebelumnya tanah tersebut adalah bekas

kawasan pengambilan kayu atau balok yang dilakukan oleh PT Senwat. Kemudian

seorang penduduk bernama Wakijo pada tahun 1971 ditunjuk oleh Pemda Asahan

untuk mengatur pembagian tanah kepada masyarakat dengan dengan luas

Page 36: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 36

maksimal 2 Ha per kepala keluarga, sehingga total tanah seluas 350 Ha. Kemudian

masyarakat mengelola tanah tersebut dengan tanaman-tanaman tertentu.

Dikarenakan sudah dikelola masyarakat, maka masyarakat dikenakan pajak dan

dilanjutkan dengan proses pengurusan sertifikat BPN.

Rencana pensertifikatan tersebut kemudian berjalan dengan didahului oleh

pengukuran terhadap 6 orang penduduk dan membuat patok-patok batas pada 350

Ha tanah milik masyarakat. Dengan dasar-dasar pembayaran pajak tersebut, maka

proses pengukuran pun dilakukan yang dilanjutkan dengan proses peresmian yang

dihadiri oleh Bupati Asahan dan pejabat-pejabat pemerintah pada tahun 1974.

Proses pengukuran dan pensertikatan pada saat itu hanya dilakukan pada 6 kepala

keluarga, karena pada saat itu tidak semua masyarakat mampu membayar biaya

sertifikat.

Tidak beberapa lama setelah dilakukan pengukuran dan pembuatan batas-

batas tanah, kemudian masuklah sebuah perusahaan bernama PT Balai Asahan.

Pada saat itu perusahaan membuang dan memindahkan patok-patok batas yang

sebelumnya telah dibuat oleh pihak pemerintah dan BPN Kabupaten Asahan.

Pada saat itu masyarakat sudah menuntut perampasan tanah yang dilakukan

perusahaan, namun tetap saja pada saat itu intimidasi dan tuduhan PKI terhadap

masyarakat yang memprotes perusahaan telah melemahkan perjuangan

masyarakat. Perkebunan saat ini sudah tidak dikelola oleh PT Balai Asahan lagi,

namun sudah dikuasai oleh PT Asian Agri Kebun Gunung Melayu. Namun

sebelumnya selama beberapa tahun perkebunan sempat dikuasai oleh PT

MILANO dengan tetap menguasai 350 Ha tanah milik masyarakat.

Kondisi yang hampir bersamaan juga terjadi pada kelompok perjuangan

tanah, yakni kelompok Tani Kelapa Gading di Desa Aek Bange, Kecamatan Aek

Kuasan Kabupaten Asahan. Lokasi sengketa letaknya tidak begitu jauh dengan

kelompok Maju Lestari di Desa Aek Korsik di Kecamatan Aek Kuasan. Pada

awalnya tanah yang pada saat ini dikuasai oleh PT Socfindo Aek Loba adalah

tanah yang dikelola masyarakat sejak tahun 1950. Setelah 8 tahun dikelola oleh

masyarakat, terjadi pemekaran wilayah desa, sehingga dari yang sebelumnya

masuk Desa Aek bange Ledong Barat, menjadi dua Desa, yakni Desa Aek Bange

dan Desa Ledong Barat. Pada tahun 1967 kemudian pemerintah membuat sebuah

proyek tanaman karet seluas 25 Ha, bahkan pada tahun 1969 pemerintah

memberikan bantuan kepada masyarakat untuk mengembangkan proyek tersebut

Page 37: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 37

sebesar Rp. 100.000,-. Tidak lama setelah itu, yakni pada tahun 1971 masuklah

perkebunan PT Socfindo Kebun Aek Loba yang membuat batas-batas dalam

bentuk kanal-kanal atau parit di tanah masyarakat. Pada tahun 1972 dilakukan

ganti rugi sebesar RP. 10.000,- per hektar, dan bagi yang menolak akan dituduh

sebagai orang-orang PKI.

Total tanah yang diganti rugi pada saat itu adalah 166 Ha, sedangkan lahan

milik masyarakat yang dikuasai oleh PT Socfindo adalah 366 Ha, sehingga masih

ada 200 Ha yang belum diganti rugi. Pada saat itu pihak perkebunan menyatakan

akan melanjutkan proses ganti rugi kepada masyarakat, namun sebelumnya

menitipkan uang persekot sebesar Rp. 1.660.000,- kepada kepala Desa. Ketika

Kepala Desa Aek Bange diganti, ternyata proses ganti rugi tidak dilaksanakan oleh

perkebunan. Sampai saat ini tanah masih dikuasai oleh perkebunan tanpa ada

kejelasan penyelesaian, baik ganti rugi maupun pengembalian tanah. Tuntutan

dari masyarakat saat ini hanyalah meminta ganti rugi kepada pihak PT Socfindo

Kebun Aek Loba, namun tidak jelas proses penyelesaiannya.

Kasus yang berbeda dari sengketa yang telah dijabarkan adalah yang terjadi

di Dusun Pisang Binaya, Desa Pulo Besar, Kecamatan Simpang Empat. Pada

awalnya di tahun 1973 sampai dengan 1974, kurang lebih 20 kepala keluarga

dipindahkan dari Kampung Tangkahan Padang ke Dusun Pisang Binaya, dengan

alasan bahwasannya Kampung Tangkahan Padang rawan banjir karena berada di

sekitar Daerah Aliran Sungai Asahan. Di Dusun Pisang Binaya sudah disediakan

150 rumah yang kemudian disebut dengan perumnas oleh pemerintah. Pada tahun

1975 masuklah PTP VI yang berkantor pusat di Pabatu membuka perkebunan di

Desa Pulo Besar Kampung Tangkahan Padang dan sekitarnya.

Akibat pemindahan, ternyata berdampak negatif kepada masyarakat.

Sebelumnya masyarakat di Tangkahan Padang memiliki tanah. Pemindahan ke

Pisang Binaya ternyata tidak dilanjutkan dengan pemberian dan penggantian

tanah, sehingga masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Barulah pada

tahun 1980, Gubernur Sumatara Utara, yakni E.W.P Tambunan memberikan janji

kepada masyarakat, bahwasannya setiap kepala keluarga akan diberi tanah 1

pancang atau 2 Ha tanah. Namun ternyata janji tersebut tidak terealisasi, bahkan

pada saat bersamaan, PTP VI melakukan pengembangan perkebunan, baik di

Tangkahan Padang maupun di sekitar Pulo Besar.

Page 38: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 38

Pengembangan perkebunan PTP VI ternyata tidak berjalan lama, karena

kurang lebih pertengahan tahun 1980-an dijual ke PT Padasa Enam Utama,

termasuk seluruh tanah di Desa Tangkahan Padang. Akibat semakin sulitnya

ekonomi, tidak adanya tanah di sekitar tempat tinggal, maka sebahagian besar

warga pergi membuka, membeli tanah, bahkan menjadi buruh tani di Desa

Padang Mahondang yang lokasinya di seberang Sungai Asahan. Kesulitan tersebut

bermuara pada rencana untuk menguasai sekitar 800 Ha tanah di dalam HGU PT

Padasa Enam Utama yang diterlantarkan. Menurut masyarsakat, tanah yang

sebahagian besar merupakan rawa yang sudah kering tersebut bukan termasuk

HGU PT Padasa Enam Utama sehingga bisa dikelola oleh masyasrakat. Saat

dilaporkan ke pemerintah, keluarlah ijin lisan bahwasannya rakyat boleh

mengelola tanah yang diterlantarkan selama puluhan tahun tersebut. Pada saat

mendatangi Gubernur dan Kepala Kejaksaan Tingi Propinsi Sumatera Utara, ada

janji dari kedua pejabat tersebut, bahwasannya mereka akan turun ke lapangan

untuk membuktikan bahwasannya tanah tersebut sudah dikelola masyarakat,

sehingga nantinya status pengelolaan lahan akan semakin kuat.

Di tengah proses perjuangan, pada tahun 1998 ternyata seorang aktivis di

Asahan meminta sejumlah uang kepada masyarakat yang akan mengelola tanah

sehingga tidak seluruh masyarakat mampu memenuhi permintaan tersebut.

Dikarenakan tidak adanya kekuatan masyarakat, maka PT Padasa Enam Utama

kemudian kembali mencabuti patok yang telah dibuat masyarakat dan sekali lagi

menelantarkan tanah tersebut sampai saat ini.

Barulah pada tahun 2005 masyarakat membentuk kelompok-kelompok,

dengan jumlah keseluruhan sebanyak 375 KK. Selama satu tahun masyarakat

berorganisasi dan menggabungkan diri dengan Front Pembebasan Tanah Rakyat

(FPTR), terjadilah kesepakatan untuk menduduki 800 Ha lahan tidur yang tidak

dikelola perkebunan. Selama 2 bulan seluruh masyarakat yang dikoordinatori

FPTR melakukan pembukaan hutan rawa. Namun baru sekitar 200 Ha yang

dibabat, 1 orang ketua kelompok dan 2 orang pengurus pusat FPTR ditangkap dan

dijatuhi hukuman penjara selama 7 bulan. Sejak itulah perlawanan masyarakat

melemah dan hilang samasekali.

Persoalan pertanahan di Labuhan Batu pada prinsipnya tidak jauh berbeda

dengan yang terjadi di Kabupaten Asahan, yakni terkait dengan keberadaan

perkebunan, baik swasta maupun milik negara yang sebelumnya merupakan hasil

Page 39: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 39

nasionalisasi dari perusahaan perkebunan milik Belanda. Satu kasus yang memiliki

pola yang hampir bersamaan adalah yang terjadi terhadap masyarakat di Desa

Babussalam Sinar Jadi yang tanahnya dirampas oleh PTPN III Kebun Merbau

Selatan. Akar masalah sengketa juga terjadi pada tahun 1950-an (tepatnya tahun

1958) ketika sekitar 110 Kepala keluarga ditempatkan di Desa Babussalam dalam

program transmigrasi. Masing-masing keluarga mendapat 2 Ha tanah untuk

dikerjakan, namun pada tahun 1968 PTPN III Merbau Selatan yang sebelumnya

merupakan perusahaan perkebunan milik Belanda bernama NV Cultuur Merbau

Zuid melakukan perluasan areal dan mengambil tanah yang sebelumnya sudah

dibuka masyarakat dan mendapat ijin dari pemerintah seluas 250 Ha.

Pola sengketa tanah yang hampir bersamaan dengan yang terjadi di

Kampung Pisang Binaya, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan

bersamaan dengan yang terjadi di Dusun Wonosari Desa Sei Tampang, Kecamatan

Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu. Tanah yang sudah dibuka dan dikelola

masyarakat sejak tahun 1980 kemudian dikuasai oleh PT Cisadane Sawit Raya

dengan melakukan intimidasi terhadap warga. Masyarakat di Desa Sei Tarolat

Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu mengalami kasus yan sama.

Kemiskinan dan kebutuhan akan tanah, adanya lahan terlantar yang tidak dikelola

mendorong masyarakat untuk mengusahai kurang lebih 200 Ha. Sengketa di Desa

Tarolat dan Pisang Binaya maupun yang dialami oleh masyarakat di Desa

Pangkatan yang tanahnya dirampas PT Rantau Sinar Karsa dilatarbelakangi oleh

kebutuhan masyarakat akan tanah. Pola ini sebenarnya hampir bersamaan dengan

yang terjadi antara masyarakat dengan PT Socfindo di Kabupaten Asahan, yang

membedakan hanyalah waktu dan rejim yang berkuasa.

4.2.3. 4.2.3. 4.2.3. 4.2.3. Analisis Tentang Akar Konflik PertanahanAnalisis Tentang Akar Konflik PertanahanAnalisis Tentang Akar Konflik PertanahanAnalisis Tentang Akar Konflik Pertanahan di Kabupaten Asahan Dan di Kabupaten Asahan Dan di Kabupaten Asahan Dan di Kabupaten Asahan Dan

Labuhan Batu.Labuhan Batu.Labuhan Batu.Labuhan Batu.

Banyak analisis menyatakan akar konflik pertanahan di Indonesia adalah

disebabkan semakin menyempitnya lahan dibandingkan dengan kebutuhan akan

tanah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, rasio manusia dengan tanah di

Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan semakin nampak terjadi di Pulau

Sumatera, Kalimantan, Sulawesi maupun Papua. Berdasarkan sengketa tanah yang

terjadi di Asahan dan Labuhan Batu kebanyakan sengketa tanah adalah kombinasi

antara beberapa faktor, termasuk gejala semakin menyempitnya lahan untuk

masyarakat.

Page 40: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 40

Ratusan sengketa tanah yang terjadi di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu

secara umum adalah perampasan tanah masyarakat yang sebahagian besar

dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, dan hanya sebahagian kecil

yang disebabkan oleh perambahan hutan, pendudukan lahan yang diterlantarkan

oleh pihak perkebunan maupun sengketa antar individu. Dengan demikian dapat

diambil kesimpulan bahwasannya masyarakat memang sama sekali tidak

mendapat tempat di negeri ini, karena pemerintah cenderung memberi tempat

yang sangat besar kepada investor yang akan menanamkan modalnya di sektor

perkebunan.

Berdasarkan identifikasi terhadap ratusan konflik yang terjadi di Kabupaten

Asahan maupun Labuhan Batu, dari sisi waktu terjadinya sumber konflik dibagi

atas beberapa periode, yakni;

Periode 1942 sampai dengan 1965Periode 1942 sampai dengan 1965Periode 1942 sampai dengan 1965Periode 1942 sampai dengan 1965

Sebahagian besar sumber sengketa tanah yang terjadi pada periode ini adalah

perusahaan-perusahaan perkebunan asing milik Belanda maupun swasta asing,

seperti PTPN III, PTPN IV, PT Socfindo, PT London Sumatera dan PT SIPEF di

Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Seperti yang terjadi di Desa Sengon Sari,

Desa Aek Bange dan Aek Korsik, Tanah Gambus dan Limapuluh yang berhadapan

dengan PT Socfindo, masyarakat Desa Babussalam Sinar jadi berhadapan dengan

PTPN III Merbau Selatan dan kasus-kasus lainnya.

Periode ini sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik pada saat itu, terutama

sistem hukum pertanahan yang memang dalam kondisi sangat tidak menentu,

terutama pada saat masa penjajahan Jepang dari tahun 1942 sampai tahun 1945.

Pada saat itu pemerintah fasis Jepang yang sedang menghadapi perang dengan

Amerika Serikat. Untuk mendukung perang, pemerintah Jepang di Indonesia

memberi keleluasaan kepada rakyat untuk membuka lahan maupun menguasai

tanah yang ditinggalkan oleh perkebunan-perkebunan milik Belanda dan

perusahaan asing lainnya.

Pasca keluarnya perusahaan-perusahaan asing tersebutlah kemudian rakyat

merasa memiliki collective perception kembalinya tanah milik rakyat yang telah

dirampas oleh Belanda melalui pemberlakukan Undang-Undang Agraria Kolonial

Page 41: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 41

tahun 1870. Persepsi seperti inilah yang kemudian mendorong rakyat untuk

membuka dan menduduki lahan yang ditinggalkan perusahaan. Walaupun pada

saat itu pajak bumi yang dikenakan pemerintah fasis Jepang mencapai 40%,

namun tidak meredam pembukaan tanah untuk pertanian oleh masyarakat.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, beberapa rencana pun lahir, salah

satunya adalah tentang sistem pengelolaan, kepemilikan dan pengelolahan tanah.

Proses ppenyusunan sistem tersebut tidak mudah dilakukan karena Indonesia

dalam keadaan sangat tidak stabil, antara lain dengan adanya agresi militer

Belanda, pemberontakan di tahun 1950-an, pergantian sistem negara dan jatuh

bangunnya kabinet, sampai dengan gerakan-gerakan politik radikal organisasi-

organisasi massa terideologis.

Selama kurun waktu 1945 sampai 1965 dapat dikatakan sebagai masa-masa

penting peletakan dasar hukum pertanahan maupun keleluasaan rakyat

mendapatkan tanah, karena pada saat itu kemauan pemerintah dan kekuatan-

kekuatan politik cukup mendukung pelaksanaan landreform. Namun sayangnya

kebijakan landreform dan agrarian reform lebih banyak berjalan sendiri-sendiri

dilakukan oleh masyarakat dengan perlindungan kebijakan yang minimal.

Kebutuhan rakyat akan tanah yang mendorong perebutan lahan-lahan

perkebunan kemudian ternyata tidak dilindungi oleh pemerintah. Beberapa

kebijakan kemudian muncul bukan untuk melindungi rakyat yang mencoba

bertahan hidup dengan cara membuka lahan dan menguasai tanah milik bekas

perkebunan, malah membuat kebijakan-kebijakan yang terkesan melindungi

perkebunan-perkebunan asing yang telah dinasionalisasi dengan alasan menjaga

proses pengalihan, antara lain dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 35

Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah

Perkebunan Konsesi, PP 21/1964, Tentang Pembentukan Gabungan Perusahaan

Sejenis Perkebunan Besar, Peraturan Penguasa Perang Pusat No.

Prt/Perppu/041/1958 tentang Larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya

atau kuasanya

Beberapa kebijakan tersebut tampaknya menjadi penanda bahwasannya

pemerintah memang tidak memiliki konsep yang jelas tentang landreform dan

agrarian reform yang akan dilaksanakan. Namun memang tidak dipungkiri,

kondisi tersebut terjadi dalam konteks situasi keamanan dan politik yang sangat

tidak stabil. Pendudukan dan penguasaan lahan oleh rakyat yang dilakukan sejak

Page 42: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 42

1942 maupun pasca keluarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1954 Tentang

Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat ternyata menjadi pemicu utama

sengketa. Pada yang hampir bersamaan memang pemerintah berhadapan dengan

perusahaan-perusahaan milik swasta bukan Belanda yang mencoba memberi

penawaran-penawaran untuk kembali mengoperasikan perkebunan-perkebunan

mereka. Ditambah lagi pada tahun 1957 dan 1958 pemerintah harus memadamkan

Pemberontakan yang salah satunya dimotori oleh Kolonel Simbolon sebagai

Panglima Militer I Sumatera. Gerakan tersebut jika dianalisis tujuannya

bersamaan dengan kepentingan perusahaan-perusahaan asing khususnya di

Sumatera Timur yang ingin menguasai kembali aset-aset perkebunan.

Periode 1965 Sampai Saat IniPeriode 1965 Sampai Saat IniPeriode 1965 Sampai Saat IniPeriode 1965 Sampai Saat Ini

Menjadikan periode 1965 sampai saat ini sebenarnya telah mendistorsi

tahapan-tahapan penting yang sebenarnya berlangsung mulai dari tahun 1965

hingga tahun 2007. Namun jika dilakukan generalisasi terhadap periode panjang

tersebut, sebenarnya dalam hal keterkaitan dalam sengketa pertanahan, apa yang

terjadi pada periode panjang tersebut adalah satu, yakni bagaimana secara

sistematis kepemilikan dan pengelolaan tanah oleh rakyat dilucuti oleh

pemerintah yang bekerjasama dengan modal.

Satu momentum penting yang terjadi pasca gerakan politik 1965 adalah

penghancuran kekutan-kekuatan politik ideologis yang dianggap mengganggu

negara kesatuan Republik Indonesia, terutama kekuatan organisasi-organisasi

yang berafiliasi dan menjadi underbow PKI. Tragedi ini sebenarnya tidak masuk

akal jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan pada saat gerakan politik

berlangsung, namun jika dilihat tindakan dilakukan pasca penumpasan terhadap

komponen-komponen yang terkait dengan PKI, maka semakin jelas bahwasannya

disebalik keganasan pembasmian PKI tersimpan kepentingan modal yang cukup

besar, salah satunya adalah terhadap penguasaan kembali perusahaan-perusahaan

perkebunan di seluruh Indonesia, terutama di Sumatera Utara.

Pasca 1965, langkah paling awal yang dilakukan oleh rejim Soeharto adalah

mengeluarkan beberapa undang-undang penting, diantaranya adalah Undang-

Undang Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967, Undang-Undang Pertambangan Nomor

11 Tahun 1967 dan Undang-Undang Penanam Modal Asing Tahun 1967. Jelas

undang-undang ini secara tergesa-gesa dibuat untuk melindungi kepentingan

Page 43: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 43

pengusaha asing yang aset-asetnya diduduki oleh rakyat. Munculnya beberapa

undang-undang cikal bakal politik ekonomi rejim Soeharto inilah yang kemudian

membuka lebar pintu masuk perusahaan-perusahaan asing, baik yang pernah

menancapkan kukunya di Indonesia, mengeksploitasi sumberdaya alam, terutama

hutan dan bahan mineral.

Kesempatan tersebut tentu tidak disia-siakan oleh pemodal asing maupun

konglomerat-konglomerat yang telah dipelihara sebelumnya. Pasca keluarnya

beberapa undang-undang tersebut kemudian berlimpah ruah lah dana-dana asing,

termasuk lembaga-lembaga keuangan internasional yang bersedia mendukung

pendanaan pembangunan dindonesia, salah satunya adalah dukungan Bank Dunia

dalam pengembangan industri perkebunan kelapa sawit terhadap perusahaan

perkebunan rakyat, swasta dan perkebunan milik negara pada akhir tahun 1960-

an.

Kebijakan yang pro

investor asing (PMA),

penanam modal swasta

dalam negeri (PMDN) dan

Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) yang bergerak di

bidang perkebunan terus

berlanjut pasca keluarnya

undang-undang pendukung

pembangunan tahun 1967.

Tidak lama kemudian

pemerintah juga

mengeluarkan beberapa

peraturan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 Tentang

Hak Pengusahaan Hutan, hak guna usaha untuk perkebunan, peraturan dan

perundangan tentang perkebunan, sampai dengan aturan-aturan yang

mempermudah investor yang ingin menanamkan modal di Indonesia.

Terbukanya ruang investasi pasca 1967 semakin lama telah menelanjangi

bumi indonesia. Berbagai strategi disediakan oleh pemerintah untuk menarik

investor dan pemodal-pemodal dalam negeri yang memiliki minat tinggi

menanamkan modalnya, terutama di bidang perkebunan. Ada berbagai cara yang

Page 44: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 44

dilakukan oleh pemerintah, antara lain; membangun sistem pembiayaan yang

menarik bagi pengusaha-pengusaha perkebunan, perbaikan iklim investasi,

menawarkan buruh murah terhadap perusahaan, penyederhanaan birokrasi

investasi, bahkan secara khusus mengeluarkan Keputusan bersama antara Menteri

Pertanian dan Menteri Penggerak Dana Investasi dan Ketua Badan Koordinasi

Penanaman Modal Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Penanaman Modal Asing

Dibidang Perkebunan Kelapa Sawit. Bisa dibayangkan betapa daya tarik tersebut

telah membuat Indonesia, terutama Sumatera Utara menjadi surga pengembangan

industri perkebunan, khususnya perkebunan karet dan kelapa sawit. Namun

sayangnya pertumbuhan sektor perkebunan tersebut meminggirkan hak rakyat

terhadap sumberdaya pokok yakni tanah.

Jika diambil kesimpulan dari pemaparan di atas dan kasus-kasus sengketa

yang terjadi di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Asahan, maka jelas

bahwa sengketa tanah yang terjadi di Asahan dan Labuhan Batu secara umum

tearkait dengan beberapa hal, yakni:

1. Penguasaan, pembukaan dan pengelolaan tanah terutama sejak 1942

sampai 1965 ketika sistem hukum agraria dan politik pertanahan memberi

toleran terhadap kebutuhan rakyat akan tanah, antara lain terhadap lahan

perkebunan yang ditinggalkan dan membuka hutan untuk pertanian.

2. Kebijakan pemerintah pasca 1967 yang merevitalisasi kembali sektor

perkebunan dengan mengambilalih kembali tanah perkebunan yang

ditinggalkan dan memperluas arel perkebunan yang telah dikelola rakyat.

3. Sistem hukum agraria yang tidak jelas, informasi keagrariaan yang sangat

tertutup dan tidak berfungsi optimalnya institusi-institusi pertanahan.

Tiga hasil analisis terhadap akar persoalan sengketa pertanahan di Sumatera

Utara, khususnya di Asahan dan Labuhan Batu tersebut tentu saja tidak menjadi

representasi seluruh situasi sengketa pertanahan yang ada, karena masih ada

faktor-faktor lain, antara lain;

1. Pertarungan kepentingan dan juga ketidakjelasan pembanguan

kewenangan antara pemerintah pusat dan Kabupaten dalam sistem

penguasaan, kepemilikan dan pengelolaan tanah untuk perkebunan

2. Tidak jelasnya sistem penyelesaian sengketa tanah yang jelas,

sehingga konflik tanah yang terjadi menjadi berkepanjangan tanpa

kejelasan penyelesaian

Page 45: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 45

3. Tidak dilakukannya pemetaan terhadap luas HGU perkebunan,

sehingga perlindungan terhadap hak tanah rakyat sangat rentan

4.2.4. 4.2.4. 4.2.4. 4.2.4. UpayaUpayaUpayaUpaya----Upaya Penyelesaian Sengketa PertanahanUpaya Penyelesaian Sengketa PertanahanUpaya Penyelesaian Sengketa PertanahanUpaya Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Besarnya jumlah sengketa pertanahan di Kabupaten Asahan dan Labuhan

Batu ternyata tidak sebanding dengan kasus yang diselesaikan, baik melalui

musyawarah mufakat antar pihak-pihak yang bertikai maupun melalui

mekanisme pengadilan. Dari jumlah kasus yang selesai tersebut, ternyata jumlah

kasus yang dimenangkan oleh rakyat jumlahnya lebih sedikit lagi. Ini

mengindikasikan bahwasannya banyak yang tidak tertata dalam sistem hukum

agraria, khususnya aturan-aturan atau mekanisme penyelesaian sengketa

pertanahan.

Jauh sebelum keresahan tentang munculnya sengketa agraria seperti yang

terjadi saat ini, pemerintahan rejim orde lama maupun di masa-masa awal orde

Soeharto sudah merasakan kerumitan sengketa pertanahan, terutama yang terjadi

di daerah-daerah dimana perkebunan tumbuh subur. Sejak pemerintahan orde

lama, sebenarnya beberapa cara sudah diantisipasi untuk menghindari terjadinya

sengketa lahan, antara lain dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang

dipandang bisa mengurangi permasalahan agraria. Namun sayangnya kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah malah terkesan menambah

kerumitan yang berujung pada konflik tanah seperti yang terjadi saat ini, antara

lain dengan mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954

Tentang Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat dan Undang-Undang Nomor

51/Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang berhak

atau Kuasanya.

Pada satu sisi kelihatannya Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954

adalah kebijakan pro rakyat. Setelah sekian lama tidak memiliki tanah karena

dijual kepada penguasaha-pengusaha perkebunan, maka mulai tahun 1942 rakyat

mendapatkan momentum untuk memiliki kesempatan hidup dengan menduduki

tanah yang ditinggalkan oleh perkebunan-perkebunan asing dan membuka lahan

baru setelah bebas dari jeratan-jeratan pengusaha yang melarikan diri. Keluarnya

UU Darurat No. 8 Tahun 1954 adalah sebuah aturan yang membuat pendudukan

lahan yang tak terkendali menjadi lebih terkontrol. Kemudian 6 tahun setelah itu,

ketika pendudukan tanah-tanah perkebunan tetap tidak terkontrol, pemerintah

Page 46: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 46

mengeluarkan UU No. 51/Prp Tahun 1960. Aturan ini jelas pada prinsipnya

berusaha mengatur kekacauan sistem penguasaan dan pengelolaan tanah, namun

ternyata kebijakan tersebut kemudian dimanfaatkan untuk melindungi

pengusaha-pengusaha perkebunan yang menguasai perkebunan yang sebelumnya

porak-poranda karena ditinggalkan.

Khususnya di Sumatera Timur kebijakan yang mengatur kembali sistem

penguasaan dan pengelolaan tanah ditindaklanjuti dengan keluarnya Pedoman

Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1960 Tentang Penyelesaian Sengketa Pemakaian

Tanah Perkebunan di Sumatera Timur. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka bagi

rakyat yang sudah melakukan penggarapan terhadap tanah-tanah perkebunan

akan dilindungi, salah satunya adalah ditempatkannya orang-orang pemakai tanah

perkebunan ke lokasi-lokasi penampungan yang telah disediakan dengan tetap

menjamin kehidupan yang layak.

Berdasarkan aturan seperti itu, sebenarnya tidak ada satu celah apapun yang

bisa membuat rakyat terpinggirkan, karena ada syarat, bahwasannya penggarap

tanah perkebunan harus tetap dilindungi dan tidak boleh digusur begitu saja oleh

perkebunan. Namun perlindungan hukum ternyata tidak sesuai dengan realitas di

lapangan, karena ternyata masyarakat penggarap dan petani mengalami

penggusuran dan intimidasi dari penguasa perang, antara lain oleh pelaksana

DWIKORA daerah Sumatera Utara.

Begitu juga saat orde baru berkuasa. Jelas-jelas perlindungan terhadap petani

penggarap juga telah tersedia, antara lain dengan diberlakukannya Surat

Keputusan Panitia Landreform Pripinsi Sumatera Utara No. 961/LR/1969 Tanggal

26 September 1969 Tentang Pedoman Pengosongan Tanag Garapan Rakyat dalam

Areal Perkebunan. Pada peraturan tersebut disebutkan, pengosongan yang

dilakukan harus melalui musyawarah dengan pihak rakyat yang bersangkutan.

Namun tetap saja aturan tersebut tidak mampu melindungi hak-hak rakyat yang

secara ekonomi memang sangat membutuhkan tanah untuk bertahan hidup.

Secara umum, dari 122 kasus sengketa tanah yang terjadi di Asahan maupun

beberapa kasus tanah di Kabupaten Labuhan Batu punya berlatarbelakang sama

dengan konflik tanah lain yang terjadi di Sumatera Utara. Kejelasan akar sengketa

tersebut ternyata tidaklah selaras dengan kejelasan penyelesaiannya. Berdasarkan

penelitian, sengketa pertanahan sangat rumit karena terkait sangat kuat dengan

Page 47: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 47

aspek-aspek sosial, budaya, politik maupun pertahanan keamanan. Hal ini jugalah

yang terjadi di Asahan dan Labuhan Batu.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sengketa tanah di Asahan dan

Labuhan Batu punya akar sejarah yang panjang, mulai dari masa kolonial, rejim

orde lama, orde baru dan berlanjut sampai saat ini. Panjangnya waktu tersebut

ternyata terus menemui jalan buntu, sehingga menimbulkan kejenuhan dan

pesimisme di kalangan masyarakat yang tergabung dalam kelompok-kelompok

perjuangan tanah. Contoh paling tepat untuk menggambarkan type kasus sengketa

tanah seperti ini adalah 6 kasus sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat

dengan PT Socfindo di Kabupaten Asahan.

Menurut catatan dari pemerintah Kabupaten Asahan dan sebuah organisasi

perjuangan bernama Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR), ada 7 kasus

sengketa tanah antara kelompok masyarakat dengan PT Socfindo, yakni:

1. Kasus manipulasi HGU dan perampasan tanah rakyat yang tergabung

dalam Kelompok Tani Tanah PerjuanganTanah PerjuanganTanah PerjuanganTanah Perjuangan di Desa Simpang Gambus dengan

PT Socfindo Kebun Tanah Gambus Kecamatan Limapuluh seluas kurang

lebih 483 Ha.

2. Kasus manipulasi HGU dan perampasan tanah rakyat antara Kelompok

Tani Karang Makmur Karang Makmur Karang Makmur Karang Makmur di Desa Tanah Gambus dengan PT Socfindo Kebun

Tanah Gambus Kecamatan Limapuluh seluas kurang lebih 85 Ha.

3. Kasus manipulasi HGU dan perampasan tanah rakyat antara Kelompok

Tani Satu Kata Perjuangan Satu Kata Perjuangan Satu Kata Perjuangan Satu Kata Perjuangan di Desa Tanah Gambus dengan PT Socfindo

Kebun Tanah Gambus Kecamatan Limapuluh seluas 57,69 Ha.

4. Kasus perampasan tanah penampungan 250 kepala keluarga yang

tergabung dalam Kelompok Tani Penampungan Sengon Sari Penampungan Sengon Sari Penampungan Sengon Sari Penampungan Sengon Sari , Desa Sengon

Sari, Kecamatan Aek Kuasan dengan PT Socfindo Kebun Aek Loba seluas

kurang lebih 435 Ha.

5. Kasus manipulasi luas HGU dan perampasan tanah rakyat antara Kelompok

Tani Kelapa Gading Kelapa Gading Kelapa Gading Kelapa Gading di Desa Aek Bange Kecamatan Aek Kuasan, dengan PT

Socfindo Kebun Aek Loba, kurang lebih 360 Ha.

6. Kasus manipulasi luas dan perpanjangan HGU antara Kelompok Tani Maju Maju Maju Maju

Lestari Lestari Lestari Lestari di Desa Aek Korsik, Kecamatan Aek Kuasan dengan PT Socfindo

Kebun Aek Loba, kurang lebih 390 Ha.

Page 48: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 48

7. Kasus perampasan tanah garapan kelompokWakidi Wakidi Wakidi Wakidi dan kawan-kawan di

Desa Sengon Sari, Kecamatan Aek Kuasan dengan PT Socfindo Aek Loba

seluas kurang lebih 675 Ha.

Tujuh sengketa tanah yang saat ini dihadapi PT Socfindo Kebun Aek Loba

dan PT Socfindo Tanah Gambus tersebut sebenarnya sudah mulai diperjuangkan

mulai tahun 1970-an, namun baru muncul ke permukaan kembali pasca reformasi

tahun 1998 dan menemukan pola perjuangan yang lebih terorganisir pada tahun

2005 ketika bergabung dengan Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR)

Kabupaten Asahan. Kecuali sengketa tanah kelompok Wakidi cs, 6 kelompok

petani lainnya saat ini sedang ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Asahan

melalui keputusan Bupati Asahan Nomor 433-PEM/2005 Tanggal 19 Desember

2005.

Perjuangan yang telah dilakukan oleh FPTR sebenarnya belum begitu lama

dimulai, yakni pada tahun 2005 yang didukung oleh organiser-organiser

Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia. Sebelum forum lintas kelompok tani

tersebut terbentuk, sebenarnya masing-masing kelompok sudah pernah

melakukan perjuangan, seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Aek

Bange Kecamatan Aek Kuasan berhadapan dengan PT Socfindo Aek Loba.

Sebelum tergabung dalam FPTR masyarakat di Desa Aek Bange yang tanahnya

dirampas oleh PT Socfindo sudah menuntut pengembalian 366 Ha tanah yang

direbut kepada perusahaan dan pemerintah setempat pada tahun 1971. Upaya

tersebut ternyata gagal, malah perusahaan memaksa masyarakat menerima ganti

rugi dengan cara-cara intimidasi (antara lain dengan menuduh masyarakat sebagai

anggota PKI). Dikarenakan dilakukan dengan paksaan, masyarakat pun melepas

seluruh tanah dan menerima ganti rugi 166 Ha dengan bayaran Rp. 10.000,- per

Ha, sedangkan 200 Ha lainnya tidak dibayar.

Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Desa Aek Korsik, Kecamatan

Aek Kuasan yang merampas tanah yang telah dikelola sejak tahun 1950 dan

dimiliki secara syah pada tahun 1971 melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera

Utara Nomor 78/HM/LR/1971. Namun tidak berapa lama kemudian PT Socfindo

menguasai tanah rakyat sehingga masyarakat membuat pengaduan pada tahun

1973 ke Camat dan Bupati dan Dewan perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten

Asahan. Dikarenakan tidak mendapatkan tanggapan, kemudian kembali

Page 49: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 49

masyarakat mengadukan persoalan tanah mereka pada tahun 1984 dan juga pada

tahun 1998, sampai akhirnya ke Gubernur Sumatera Utara.

Beberapa langkah tersebut sama sekali tidak mendapat tanggapan. Pada

tahun 2000 masyarakat kembali menggugat perusahaan dengan mengadukan

kasus mereka ke Kantor Sospol Asahan. Namun tanggapan yang diterima malah

bukan semakin menguatkan, malah menuntut masyarakat untuk mengumpulkan

bukti-bukti atau alas hak yang pernah dimiliki oleh masyarakat. Pengaduan yang

dilakukan pada tahun 2000 tersebut kemudian didiamkan selama 3 tahun,

sehingga baru pada tahun 2003 dilakukan peninjauan lapangan dan plotting oleh

pemerintah dan BPN sesuai dengan peta HGU.

Seluruh upaya tersebut terbukti mengalami kegagalan, bahkan pada tahun

1998, PT Socfindo yang didukung keputusan Badan Pertanahan Nasional pusat

melalui Keputusan Menteri negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.

76/HGU/BPN/1997 kemudian memelakukan perpanjangan terhadap seluruh HGU

PT Socfindo di seluruh Kabupaten Asahan sampai dengan tahun 2023 (FPTR,

2005). Jelas-jelas tindakan BPN pada kasus ini telah melangkahi hak rakyat,

karena dalam situasi tanah dalam keadaan sengketa, BPN menyetujui usulan

perusahaan untuk memperpanjang HGU tanpa melihat adanya konflik yang

sedang berlangsung.

Pada tahun 2005 barulah gerakan perjuangan masyarakat Desa Aek Korsik

dan Desa Aek Bange mengkonsolidasikan diri dan bergabung dengan FPTR

bersama dengan kelompok petani di Tanah Gambus dan beberapa kelompok tani

lainnya yang bersengketa dengan perusahaan-perusahaan lain di Kabupaten

Asahan. Perjuangan yang terorganisir melalui FPTR tersebut berhasil

mengumpulkan 25 kelompok tani yang berjuang atas tanahnya dengan jumlah

anggota kurang lebih 4000 KK.

Langkah awal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok petani yang

tergabung dalam FPTR adalah melakukan aksi massa yang diikuti ribuan anggota

pada tanggal 26 September 2005 di Kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Asahan.

Ada beberapa tuntutan yang disuarakan oleh massa FPTR pada saat itu, yakni:

1. Segera dibuat peraturan daerah tentang penyelesaian sengketa tanah di

Kabupaten Asahan

Page 50: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 50

2. Cabut HGU perusahaan-perusahaan BUMN maupun swasta yang tidak

menjalankan peraturan perundang-undangan tentang HGU

3. Segera didistribusikan tanah-tanah terlantar kepada petani

4. Tolak Perpres No, 36 Tahun 2005

5. Dengan segera melakukan penyelesaian kasus sengketa tanah kelompok

tani Front Pembebasan Tanah Rakyat

6. Hentikan intimidasi dan kriminaslisasi kepada rakyat

Pasca aksi massa tersebut kemudian muncullah kesepakatan diantara FPTR,

DPRD dan Bupati Asahan untuk membentuk tim yang berwenang menangani

permasalahan tanah yang dialami kelompok-kelompok yang tergabung dalam

FPTR. Berbagai rapat dan pertemuan pun kemudian dilangsungkan di Kantor

Bupati Asahan dengan mengundang pihak kelompok-kelompok petani, Badan

Pertanahan Nasional Asahan, PT Socfindo dan PT London Sumatera yang

difasilitasi oleh Bupati Asahan. Salah satu upaya yang dilakasanakan pada saat itu

adalah, kelompok-kelompok tani diharuskan mengumpulkan berbagai bukti yang

mendukung tuntutan terhadap tanah yang disengketakan. Pada tanggal 23

Februari 2006 FPTR memberikan 19 berkas kelompok tani yang menuntut

haknya, diantaranya adalah 6 kelompok tani yang bersengketa dengan PT

Socfindo di Kabupaten Asahan.

Pertemuan antara pemerintah, BPN, PT Socfindo dan FPTR kemudian

berlanjut, antara lain pembahasan tentang bukti-bukti, terutama yang dimiliki

masyarakat tanpa berusaha mendorong kepada PT Socfindo untuk juga melakukan

hal yang sama, yakni memberikan bukti-bukti penguasaan atau alas hak

perusahaan. Begitulah proses kerja tim dari tahun 2006 sampai saat ini.

Perkembangan terbaru malah telah memperlihatkan penyimpangan dari tujuan

tim. Jika sebelumnya tim bertugas menyelesaikan 6 kasus tanah dengan PT

Socfindo, ternyata hanya satu kasus yang ditindaklanjuti.

Perkembangan terbaru, yakni pada bulan April dan Mei tahun 2007, kerja

tim ternyata semakin jauh dari harapan. Dari 19 berkas kasus yang diajukan untuk

diselesaikan, 6 berkas tuntutan kelompok yang diutamakan untuk diselesaikan,

ternyata hanya satu kasus yang dibicarakan lebih lanjut, yakni Kasus Kelompok

Maju Lestari, Desa Aek Korsik Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan yang

bersengketa dengan PT Socfindo Kabun Aek Loba.

Page 51: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 51

Beberapa kali pembahasan yang dilakukan oleh tim, ternyata sebahagian

besar kasus pertanahan yang diajukan FPTR menemui jalan buntu kecuali kasus

kelompok tani Maju Lestari. Bahkan melalui surat Bupati Asahan Nomor

593/2065, Bupati menyampaikan surat yang ditujukan kepada Kakanwil BPN

Propinsi Sumatera Utara yang isinya antara lain menyatakan, sengketa yang

ditangani tim sudah sangat lama tanpa ada titik penyelesaian, adanya desakan dari

kelompok tani agar sengketa diselesaikan dan pihak perkebunan yang tetap

bertahan dengan mengusulkan sengketa diselesaikan melalui jalur pengadilan.

Kesimpulannya pada saat itu berdasarkan surat yang dikirim oleh Bupati Asahan,

sengketa tanah memohon kepada Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara untuk

menerima audiensi kelompok tani yang memohon bantuan penyelesaian sengketa.

Langkah yang dijalankan oleh Bupati Asahan, mulai dari pembentukan tim,

pembahasan tentang proses penyelesaian yang kemudian dilanjutkan dengan

pembuktian alas hak yang dimiliki masyarakat, kemudian berakhir dengan

penyerahan penyelesaian kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Propinsi Sumatera Utara kemudian direspon secara berbeda oleh pengurus FPTR.

Sebahagian, khususnya pengurus pusat FPTR menganggap tahapan ini adalah

langkah maju dalam penyelesaian sengketa, namun sebahagian besar anggota dan

pengurus masing-masing kelompok sudah curiga dengan proses yang berlangsung.

Kecurigaan pertama adalah semakin mengkerucutnya sengketa yang akan

diselesaikan. Jika sebelumnya FPTR memberikan 19 berkas kasus dan

mengutamakan 6 kasus kelompok petani yang berhadapan dengan PT Socfindo,

ternyata hanya satu yang ditindaklanjuti. Kecurigaan kedua adalah tentang proses

pembuktian. Pemerintah cenderung lebih memfokuskan diri agar kelompok-

kelompok tani yang harus membuktikan alas hak tanah yang mereka tuntut tanpa

ada upaya untuk memaksa perusahaan juga membuktikan secara formal maupun

di lapangan tentang alas hak mereka. Kecurigaan ketiga adalah surat Bupati

kepada Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara agar bersedia menyelesaikan kasus

yang dihadapi FPTR, dan kecurigaan keempat adalah respon dari DPRD

Kabupaten Asahan, khususnya Komisi A yang dianggap tidak serius dan tidak

memiliki kapasitas, baik dalam mendorong, memaksa Bupati dan memfasilitasi

penyelesaian kasus.

Situasi terakhir proses penyelesaian tampaknya secara awam memang

menunjukkan kemajuan. Hasil rapat terakhir yang dihadiri Humas PT Socfindo,

Page 52: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 52

pengurus FPTR dan pengurus kelompok tani Maju Lestari yang difasilitasi

Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara berakhir dengan rencana pengukuran

lapangan. Tuntutan kelompok tani Maju Lestari pada awalnya adalah

pengembalian tanah yang dikuasai perusahaan, namun kemudian mengalami

perubahan. Di antara kelompok tani dan perusahaan sudah mulai muncul

pembicaraan tentang proses ganti rugi, sehingga pengukuran lapangan akan

dilakukan. Namun uniknya, langkah pengukuran tersebut tidak disertai dengan

perumusan hal-hal teknis, seperti pembentukan tim pengukuran, biaya

pengukuran dan sebagainya, sehingga rencana pengukuran lapangan

kemungkinan besar tidak akan terlaksana, jika pun terlaksana maka hasilnya

kemungkinan akan sia-sia.

Hal yang sama juga terjadi terhadap sebuah kelompok tani di Kecamatan

Bandar Pasir Mandoge, yakni Kelompok Tani Inatani Saurmatua Pardembanan

yang tanahnya dirampas oleh PT Jaya Baru Pratama dengan luas tanah sengketa

sebesar kurang lebih 600 Ha. Sudah berkali-kali masyarakat melakukan aksi ke

Kantor Bupati, Komisi A DPRD Kabupaten Asahan, pembentukan tim

penyelesaian dan sebagainya. Kondisi terakhir, kelompok tani mengadakan

pertemuan yan difasilitasi oleh Komisi A DPRD, yang dihadiri oleh BPN dan

perwakilan Bupati Asahan maupun pihak PT Jaya Baru Pratama.

Kedudukan kasus sebenarnya sudah sangat menguatkan kelompok tani,

karena dari sisi sejarah, tanah yang disengketakan adalah tanah ulayat, bukan

tanah garapan seperti yang dianggap perusahaan, pemerintah dan pihak lain,

karena saksi dari kelompok tani yang masih memahami sejarah tanah masih

hidup. Kedua, menurut Komisi A DPRD Kabupaten Asahan, posisi kelompok tani

sebenarnya sudah semakin kuat karena PT Jaya Baru Pratama sama sekali tidak

memiliki HGU, walaupun luas tanah yang mereka kuasai sudah mencapai angka

2000 Ha. Pada pertemuan yang difasilitasi Komisi A tersebut, tidak ada keputusan

yang bisa diambil karena dari pihak perusahaan tidak bisa mengambil kebijakan

apapun, sebab utusan yang hadir pada saat itu bukanlah yang bisa mengambil

keputusan.

Pertemuan tersebut kemudian merekomendasikan pertemuan lanjutan yang

akan dilaksanakan di Kantor Camat Bandar pasir Mandoge pada bulan April tahun

2007. Pertemuan tersebut dihadiri oleh beberapa pihak, antara lain kelompok tani,

pihak SPSU sebagai pendamping, Camat Bandar Pasir Mandoge sebagai tuan

Page 53: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 53

rumah, BPN kabupaten Asahan, Komisi A DPRD Asahan, pihak perusahaan dan

Muspika Kecamatan Bandar Pasir Mandoge. Pertemuan ini dilangsungkan dengan

satu tujuan, yakni mencapai kesepakatan bersama tentang penyelesaian kasus,

khususnya pengembalian tanah rakyat.

Forum yang sangat diharapkan oleh masyarakat ini ternyata sangat tidak

sesuai dengan tujuan semula, karena tidak ada titik temu antar dua pihak yang

bersengketa. Pihak masyarakat yang ditanya terlebih dahulu sudah mau

menurunkan tuntutan. Dari 600 Ha yang sebenarnya menjadi hak rakyat,

masyarakat hanya meminta pengembalian sebanyak 400 Ha. Ternyata pihak

perusahaan tidak melakukan hal yang sama. Perusahaan pada saat pertemuan

tersebut hanya bersedia memberikan ganti rugi sebesar Rp. 50.000.000,- untuk

seluruh tuntutan kelompok tani. Pertemuan tersebut kemudian diteruskan dengan

pembicaraan secara tertutup antara pihak perusahaan, utusan kelompok tani dan

Camat Bandar Pasir Mandoge. Forum rapat kecil di dalam pertemuan tersebut

juga bernasib sama dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, yakni tidak

mencapai kesepakatan dikarenakan alasan sepele, yakni utusan pihak perusahaan

yang tidak punya kapasitas mengambil keputusan. Akhirnya pertemuan ditunda

dan akan dilaksanakan setelah pihak direksi PT Jaya Baru Pratama pulang dari

luar negeri.

Satu-satunya kasus sengketa tanah di Kabupaten Asahan yang dapat

diselesaikan dengan kemenangan masyarakat adalah kasus yang terjadi antara 3

kelompok tani di Desa gajah Kecamatan Sei Balei dengan Koperasi PUSKOPAD

Kodam I Bukit Barisan. Tanah yang disengketakan pada awalnya merupakan

tanah transmigrasi pensiunan tentara angkatan darat (TRANSAD) tahun 1974

yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Sebelum dikuasai oleh

PUSKOPAD, tanah dikuasai oleh penguasaha bermarga Banuarea yang kemudian

dijual kepada PT Bintang Hasea. Dikarenakan tidak sanggup mengelola, kemudian

tanah dijual kepada PUSKOPAD. Namun ternyata warga TRANSAD harus

membayar pembelian tanah dengan cara dicicil selama beberapa tahun dengan

total Rp. 7.000.000,- per kepala keluarga. Sebelum cicilan selesai, tanah dikelola

oleh PUSKOPAD dengan perjanjian, saat sudah luas akan dikembalikan kepada

keluarga TRANSAD.

Ketika perjanjian sudah sampai waktu yang ditentukan, ternyata pihak

PUSKOPAD ingkar janji atau tidak mengembalikan tanah yang seharusnya sudah

Page 54: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 54

menjadi milik masyarakat. Perjuangan kemudian dilakukan, dimulai pada tahun

1992, diantaranya adalah melakukan aksi massa ke Bupati, Gubernur, BPN, sampai

ke BPN pusat, namun tidak membuahkan hasil. Malah masyarakat pernah

mendapat intimidasi ketika Kodam I Bukit Barisan menjadikan lahan sebagai

lokasi latihan menembak yang tujuannya menakut-nakuti masyarakat sehingga

masyarakat tidak berani memasuki dan menduduki lahan.

Dikarenakan kuatnya posisi militer pada saat itu, selama beberapa tahun

perjuangan kelompok-kelompok tani berhenti. Barulah pada tahun 2002 pasca

reformasi perjuangan dimulai kembali dengan dukungan PBHI sebagai

pendamping masyarakat. Setelah beberapa lama perjuangan berlangsung, barulah

pada tahun 2006 kasus dapat diselesaikan. Namun penyelesaian tidak ditangani

oleh pemerintah, baik melalui Bupati, Gubernur maupun BPN daerah dan

propinsi. Malah sengketa diselesaikan oleh Panglima Angkatan Darat dengan

berpegangan kepada bukti-bukti yang dimiliki masyarakat, terutama surat

perjanjian antara masyarakat dengan PUSKOPAD.

Sengketa tanah lainnya di Kabupaten Asahan tidak seberuntung kelompok-

kelompok petani TRANSAD di Desa Gajah Kecamatan Sei Balei. Seperti yang

dialami oleh Kelompok Tani Betahamu yang juga bersengketa dengan

PUSKOPAD dengan luas tanah sengketa kurang lebih 180 Ha. Kasus ini malah

mengutamakan pendekatan litigasi, sehingga proses penyelesaian mencapai

mahkamah Agung yang kemudian akhirnya mengalahkan tuntutan masyarakat

petani. Nasib yang tidak jauh berbeda juga dialami oleh kelompok tani

Penampungan Sengon Sari yang kasusnya kemudian ditinggalkan oleh tim

penyelesaian sengketa, masyarakat petani di Labuhan Batu yang memiliki Surat

Keterangan Tanah (SKT) berhadapan dengan PT Sawita Ledong Jaya yang sama

sekali tidak memiliki HGU bahkan beberapa kelompok petani yang mencoba

menggarap tanah terlantar di Desa Pulau Besar Kecamatan Simpang Empat

Kabupaten Asahan maupun yang dialami oleh Kelompok Tani Tanjung Bunga di

Desa Kwala Gunung Kecamatan Limapuluh yang menuntut 180 Ha tanah mereka

yang dikuasai PT Kuala Gunung.

Beberapa kasus yang dijabarkan di atas hanyalah segelintir sengketa yang

menemui jalan buntu ataupun membentur tembok bernama kekuasaan, birokrasi

dan kepentingan modal. Situasi tersebut dapat ketahui dari sikap skeptis dan

pesimis dari pengurus-pengurus kelompok-kelompok petani yang selama ini

Page 55: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 55

melakukan perlawanan maupun pimpinan-pimpinan organisasi yang menaungi

kelompok-kelompok tani, antara lain Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR),

Yayasan Buruh Tani dan Nelayan (YBTN) dan Serikat Petani Sumatera Utara

(SPSU). Rata-rata mereka menilai, langkah-langkah maupun mekanisme

penyelesaian sengketa tanah yang dijalankan selama ini tidak bisa diharapkan

sama sekali. Ada beberapa alasan yang mereka ungkapkan, antara lain:

1. Rendahnya tingkat kepercayaan terhadap aparat pemerintah, khususnya

Badan Pertanahan dan Pemerintah Daerah

2. Seringnya pembahasan maupun dialog yang menemui jalan buntu

3. Adanya alasan-alasan teknis dan disengaja agar proses penyelesaian

sengketa tertunda

4. Aparat pemerintah, mulai dari Kepala Desa, Camat, Bupati, Muspida dan

Muspika, maupun kepolisian yang selalu berpihak kepada pengusaha

5. Adanya kebiasan dari birokrasi yang melempar tanggungjawab jika tidak

bisa mengambil keputusan dalam penyelesaian sengketa tanah

6. Sikap dan keputusan legislatif (DPRD), khususnya membidangi masalah

pertanahan yang berubah-ubah atau tidak konsisten

7. Rendahnya kapasitas atau pengetahuan legislatif (DPRD) yang membidangi

masalah pertanahan tentang hukum dan aturan pertanahan

8. Rendahnya kemauan eksekusi hasil kesepakatan, sehingga keputusan-

keputusan yang memenangkan rakyat tidak pernah dieksekusi

9. Kebiasaan-kebiasaan aparat pemerintah yang terus-menerus berjanji

namun tidak ditepati

10. Panjangnya proses penyelesaian sehingga membuat rakyat jenuh dan

pesimis

11. dan lain-lain

Seluruh respon yang muncul dari pemimpin, pengurus dan anggota-anggota

kelompok tani perjuangan tanah tersebut menjadi catatan penting bahwasannya

kerja-kerja perjuangan tanah di Asahan, termasuk juga di Labuhan Batu dalam

kondisi mati suri. Pada satu sisi memang proses atau langkah-langkah yang selama

ini sudah dijalankan memang masih berjalan, antara lain melalui tim penyelesaian

yang dibentuk oleh Bupati, penyelesaian yang difasilitasi DPRD maupun dialog-

dialog di tingkat kecamatan. Namun di sisi lain, respon pengurus dan pemimpin

maupun anggota kelompok petani tersebut kontradiksi terhadap langkah yang

masih diikuti oleh rakyat.

Page 56: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 56

Realitas yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut di permukaan adalah

sikap kontradiktif yang saat ini terjadi di masyarakat. Namun jika dianalisis lebih

dalam, sebenarya yang terjadi adalah rakyat tidak punya pilihan lain dalam

menuntut haknya. Ketidakpercayaan, antipati terhadap pemerintah, ketakutan

terhadap resiko yang muncul akibat perlawanan yang dilakukan mendorong

rakyat untuk tetap menjalani proses yang ditawarkan oleh pemerintah. Sedangkan

cara-cara penyelesaian melalui pengadilan sangat dihindari. Penghindaran

tersebut disebabkan oleh pengalaman bahwasannya pendekatan melalui

pengadilan tidak pernah memenangkan pihak rakyat.

Selain pendekatan formal melalui pengaduan-pengaduan ke legislatif untuk

kemudian dilimpahkan melalui eksekutif, baik bupati, Gubernur, Badan

Pertanahan Nasional di tingkat Kabupaten maupun Propinsi, sengketa-sengketa

pertanahan juga seringkali diupayakan dengan pendekatan-pendekatan intimidatif

dengan menggunakan jaringan-jaringan kekuatan organisasi-organisasi di tingkat

propinsi maupun nasional, seperti yang dilakukan oleh sebuah lembaga bernama

Lembaga Missi Reclaseering Republik Indonesia (LMRI). Organisasi ini

berkedudukan di Jakarta dan memiliki cabang di tingkat propinsi dan kabupaten.

Walau memiliki struktur yang rapi di seluruh Indonesia, lembaga yang baru saja

diresmikan dan tercatat secara formal di lembaran negara, namun keanggotaan di

tingkat kabupaten dan kecamatan masih bersifat individual.

Lembaga Missi Reclaseering Republik Indonesia (LMRI) memiliki fungsi

yang salah satunya adalah memonitoring dan mendorong penyelesaian sengketa

pertanahan yang terjadi di seluruh Indonesia, salah satunya di Kabupaten Asahan.

Anggota-anggotanya bukan saja dari individu-individu bebas, namun yang terjadi

malah termasuk juga pemimpin-pemimpin kelompok petani yang selama ini

melakukan perjuangan. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh kader maupun

anggota LMRI, yakni menemui pihak-pihak yang terakait dengan sengketa,

terutama dari kalangan pemerintah. Tindakan yang dilakukan bukan hanya

sekedar meminta informasi ataupun monitoring terhadap kasus, namun sudah

melakukan upaya-upaya menekan dan mengintimidasi aparat-aparat birokrasi,

kepolisian maupun militer yang dianggap melindungi pengusaha.

Salah seorang pemimpin kelompok tani di Tanah Gambus adalah salah satu

anggota LMRI yang saat ini sudah melakukan tugas-tugasnya. Salah satu kasus

yang saat ini sedang ditangani adalah kelompok tani yang bersengketa dengan PT

Page 57: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 57

Paduan Karya di Tanjung Tiram. Anggota LMRI rata-rata bergerak sendiri-sendiri.

Berbekal surat tugas dan kartu anggota, kader atau anggota akan mendatangi

pihak-pihak yang bersengketa, memperkenalkan diri, melakukan analisis terhadap

kasus dan membuka kesalahan, penyimpangan ataupun penyelewengan yang

dilakukan oleh aparat-aparat pemerintah, militer yang terlibat maupun kepolisian.

Menurut pengalaman mereka, dengan menunjukkan identitas sebagai anggota

LMRI sudah membuat banyak pihak takut sehingga tidak melakukan kesalahan

atau penyimpangan lagi. Apa yang ditemukan dari lapangan kemudian akan

dilaporkan ke tingkat propinsi maupun pusat. Kemudian pemimpin di tingkat

pusat dan propinsi akan menghubungi pihak-pihak yang dinilai menyimpang dan

menginformasikan beberapa bentuk tindakan yang akan dilakukan jika

penyimpangan tidak dihentikan, antara lain dengan dikoran kan atau melapor ke

petinggi militer (hal itu dimungkinkan, karena pembina LMRI salah satunya

adalah Badan Intelejen Nasional (BIN).

Pada saat penelitian dilakukan, beberapa anggota kelompok tani yang

sekaligus menjadi anggota LMRI punya pandangan yang berbeda tentang strategi

yang dijalankan. Bagi yang optimis, LMRI dianggap lebih memiliki kekuatan

dibandingkan menggunakan pola-pola lama. Namun optimisme tersebut lebih

banyak disebabkan oleh kekecewaan terhadap pemimpin atau pengurus kelompok

tani. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan mereka, bahwa sebenarya

keyakinan terhadap gerakan massa dalam sengketa pertanahan tetap diyakini

menjadi strategi terpenting dalam perjuangan merebut hak tanah.

Pola perjuangan selanjutnya adalah menggunakan tekanan-tekanan politik di

tingkat legislatif. Berdasarkan catatan-catatan perjuangan yang pernah dilakukan

oleh kelompok-kelompok tani di Asahan, peran anggota DPRD yang memiliki

konstituen di wilayah konflik tanah memang cukup besar, malah ada beberapa

kelompok tani yang lahir atas dorongan dari anggota legislatif tersebut. Namun

dorongan tersebut lebih banyak untuk kepentingan membangun kepercayaan

konstituen politik dan kepentingan partai sehingga kurang efektif mendukung

perjuangan kelompok. Bahkan kesan yang diterima kelompok tani malah saat ini

cenderung negatif, karena kalangan legislatif lebih banyak berjanji tanpa ada

jaminan dukungan yang lebih konsisten dan berkepanjangan.

Page 58: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 58

Pembentukan

Kelompok

Membuat Pengaduan

Kepada Bupati/DPRD

Publikasi

Kasus

Aksi

Massa

Dialog/Rembuk

Dgn Bupati/DPRD

TIM Penyelesaian

Sengketa

Rapat Berkala Tim

Penyelesaian

Aksi

Massa

Dialihkan

Ke BPN Kabupaten

Kunjungan

Ke Lokasi Kasus

Pengaduan

Ke Gubernur dan atau

Aksi Massa

Dialihkan

Ke BPN Propinsi

Pembuktian alas hak

Pengaduan

Ke Presiden/DPR-RI

Rembuk/pertemuan di

Kecamatan

Stop

Stop

Stop

Pengadilan

Kalah/menang tanpa eksekusi

Rencana Pengukuran

Tanah sengketa

Tidak dijalankan Biaya tidak jelas,

payung hukum tidak ada

Tawaran CD

Tanah sengketa

dikeluarkan dari

HGU

Pendudukan

Tanah

Kriminalisasi Petani

BAGAN PROSES DAN LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIAN

SENGKETA YANG PERNAH DILAKUKAN

Page 59: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 59

Banyak pihak yang menyatakan (terutama pemerintah dan pengusaha),

bahwasannya salah satu kelemahan kelompok-kelompok petani dalam

memperjuangkan haknya adalah minimnya alas hak yang dimiliki oleh rakyat.

Pandangan seperti itu ternyata juga tidak hanya berasal dari pemerintah dan

pengusaha, kalangan kelompok-kelompok tani juga berpendapat sama sehingga

berdampak pada upaya-upaya perjuangan yang dilakukan.

Persepsi ataupun paradigma seperti itulah yang tampaknya dari dahulu

sampai sekarang paling banyak dijadikan landasan perjuangan rakyat melalui

kelompok-kelompok tani saat mencoba menuntut kembali hak atas tanah ataupun

ganti rugi terhadap tanah yang dikuasai oleh pengusaha-pengusaha perkebunan.

Kecenderungan yang sama juga berlangsung terhadap kelompok-kelompok tani di

Kabupaten Asahan dan juga Labuhan Batu, maupun di wilayah-wilayah

perkebunan lainnya. Walaupun tidak menempatkan alas hak sebagai faktor utama,

namun tetap saja bukti-bukti formal tetap sangat menentukan.

Salah satu contoh menggambarkan hal tersebut adalah kasus sengketa antara

kelompok Maju Lestari dengan PT Socfindo Aek Loba di Desa Aek Korsik

Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan. Dari 30 kalompok tani yang

tergabung dalam Front Pembebasan Tanah Rakyat di Kabupaten Asahan, hanya

kasus ini yang kemudian direkomendasikan oleh tim penyelesaian sengketa tanah

untuk dibahas di Kanwil Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara.

Alasannya, pada tahun 1971 dan 1972 masyarakat sudah memiliki surat tanah

seluas 390 Ha dalam bentuk surat keterangan landreform dari Gubernur Sumatera

Utara pada tahun 1971 dan 1972.

Menurut salah saorang anggota kelompok Maju Lestari, posisi kasus mereka

tergolong lebih kuat dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya, karena

sudah memegang surat keterangan landreform dari gubernur, sehingga

penyelesaiannya harus diprioritaskan. Jika kasus kelompok Maju Lestari

diselesaikan bersamaan dengan kelompok-kelompok lain yang juga bersengketa

dengan PT Socfindo, maka penyelesaiannya akan lebih sulit, karena alas hak

masing-masing kelompok berbeda-beda.

Pada satu sisi, strategi seperti itu memang cukup efektif, mengingat selama

terjadi sengketa antara rakyat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan

maupun yang terjadi di tingkat nasional, kasus-kasus sengketa pertanahan tidak

Page 60: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 60

dapat diselesaikan dalam sekaligus dalam satu wilayah Kabupaten maupun

Kecamatan, namun ditangani satu-per satu. Demikian juga halnya dengan respon

Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Asahan yang menyatakan

ketidaksanggupan pemerintah untuk menyelesaikan kasus dalam jumlah banyak

secara bersamaan, karena pemerintah memiliki keterbatasan personal beban

tugas-tugas pemerintahan.

Pandangan seperti itu cukup masuk akal mengingat kelompok Maju Lestari

adalah yang memiliki bukti-bukti formal. Namun di sisi lain, mengutamakan satu

kasus yang terkuat dari sisi akan kontraproduktif terhadap kasus-kasus sengketa

lainnya, khususnya bila proses penyelesaian melalui sebuah tim yang dibentuk

pemerintah. Mandat tim yang seharusnya menyelesaikan kasus-kasus sengketa

tanah yang dituntut rakyat kemudian tereduksi oleh landasan-landasan atau

bukti-bukti formal yang pada umumnya memang menjadi titik lemah masyarakat

akibat manipulasi, intimidasi dan penyelewengan sejarah tanah.

Lemahnya posisi rakyat tersebutlah yang kemudian sebenarnya harus

menjadi dasar perubahan paradigma perjuangan tanah rakyat. Kelompok-

kelompok perjuangan tanah larut dalam permainan kekuasaan yang berlindung

disebalik aturan-aturan pertanahan legal formal. Bila bukti atau alas hak yang

menjadi kekuatan utama perjuangan, maka kecil kemungkinan kasus-kasus tanah

milik rakyat yang direbut perusahaan tidak akan terselesaikan. Sebagai contoh

adalah beberapa kasus sengketa tanah antara kelompok-kelompok perjuangan di

Desa Teluk Dalam dan Desa Pulau Besar Kecamatan Simpang Empat yang

bersengketa dengan PT Padasa Enam Utama.

Empat kelompok petani yang bersengketa dengan PT Padasa Enam Utama

ini berjuang menggarap kurang lebih 800 Ha tanah yang diklaim sebagai kawasan

HGU perusahaan. Kelompok-kelompok ini jelas tidak memiliki alas hak apapun,

namun hanya menggunakan Undang-Undang Dasar 1945, Prinsip-Prinsip Hak

Asasi Manusia dan UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai dasar bagi rakyat untuk

menggarap tanah. Berdasarkan landasan itulah kemudian dalam perjuangan

selanjutnya, kelompok ini tidak dimasukkan sebagai salah satu kasus yang akan

diselesaikan melalui tim penyelesaian sengketa tanah yang dibentuk oleh Bupati

Asahan.

Page 61: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 61

Situasi yang sama juga dialami oleh kelompok-kelompok tani yang tidak

memiliki alas hak resmi, seperti Forum Peduli Desa dan kumpulan-kumpulan

petani penggarap di Desa Tanjung Kaso dan Tanjung Kasori yang menggarap tanah

yang diterlantarkan di sekitar HGU PT Perkebunan Sumatera Utara (sebelumnya

bernama Perusahaan Daerah Perkebunan Sumatera Utara (PD PSU). Berdasarkan

hal itu maka kasus-kasus yang dilandasi oleh penggarapan tanah terlantar,

terutama yang terjadi di tahun 1980-ke atas akan sulit diperjuangkan.

Page 62: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 62

Tabel

Bukti-Bukti dan Alas Hak yang Dimiliki Kelompok-Kelompok Perjuangan Tanah

No Bukti

1 Adanya ganti rugi yang dilakukan perusahaan terhadap tanah yang

lokasinya berada di lokasi yang sama dengan tanah sengketa

2 Adanya areal perkuburan tanah wakaf di areal HGU

3 Surat Ketua DPRD tentang pengembalian tanah garapan masyarakat

4 Kartu Tanda Pendaftaran sebagai pemakai tanah perkebunan berdasarkan

UU darurat No, 8 Tahun 1954

5 Surat pengakuan saksi dari perusahaan yang mengetahui sah nya

kepemilikan tanah oleh rakyat

6 Peta lokasi tanah yang sebenarnya (bukan versi perusahaan)

7 Adanya sebahagian warga yang telah mendapat tanah penampungan

8 Bukti patok-patok batas tanah yang dahulu pernah dibuat BPN

9 Adanya patok-patok baru (bukan oleh BPN) yang dibuat perusahaan

10 Pengakuan perusahaan lain yang telah memberikan tanah penampungan

kepada rakyat yang tanahnya diambil oleh perusahaan

11 Surat pernyataan kepala desa tentang kepemilikan sah masyarakat atas

tanah sengketa

12 Surat panitia pertimbangan landreform

13 Surat pembayaran pajak tanah

14 Saksi mantan pekerja perusahaan yang melakukan penggusuran

15 Surat penggantian lahan yang dipakai oleh perusahaan perkebunan dari

Bupati

16 Surat Keterangan Landreform oleh Gubernur

17 Surat Keputusan legalisasi tanah yang dikuasai rakyat oleh DPRD

18 Bukti pembayaran pengukuran yang dimiliki rakyat

19 Surat pengumuman dari Badan Musyawarah Daerah Kecamatan Bandar

Pulau tentang Penggantian/pemindahan tanah

Terlepas apakah paradigma perjuangan yang dilakukan kelompok-kelompok

tani telah mereduksi substansi perjuangan tanah ataupun memoderasi gerakan,

namun penggunaan alas hak sebagai dasar perjuangan masih diyakini sebagai

pilihan paling rasional bagi masyarakat. Kebencian, ketidakpercayaan, dan

kekecewaan atas tindakan pengusaha maupun ketidakberpihakan pemerintah

Page 63: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 63

ternyata tidak memunculkan kemarahan maupun radikalisme di masyasrakat yang

haknya dirampas. Hal itu tampak dari sikap kebanyakan anggota kelompok

perlawanan yang saat ini memang sudah sangat pasif terhadap perjuangan.

4.2.5. 4.2.5. 4.2.5. 4.2.5. Struktur Sosial EkonoStruktur Sosial EkonoStruktur Sosial EkonoStruktur Sosial Ekonomi Kelompokmi Kelompokmi Kelompokmi Kelompok----Kelompok Perjuangan TanahKelompok Perjuangan TanahKelompok Perjuangan TanahKelompok Perjuangan Tanah

Sebahagian besar kelompok-kelompok perjuangan tanah tinggal di kawasan-

kawasan dalam maupun di luar enclave perkebunan. Anggota kelompok yang

masih tinggal di dalam enclave perkebunan adalah masyarakat yang masih

bertahan karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah tidak adanya tanah

penggantian yang diberikan perusahaan seperti yang telah disepakati oleh

perusahaan maupun pemerintah. Hal ini terjadi di Desa Aek Nagaga, Kecamatan

Bandar Pulau Kabupaten Asahan. Dari 250 KK yang dijanjikan untuk menempati

tanah penampungan dan diberikan 2 Ha per KK, hanya kurang lebih 65 KK yang

sudah dipindahkan namun hanya mendapatkan 1 Ha per KK. Sedangkan

sebahagian besar petani, yakni 185 KK masih menempat tempat tinggal mereka di

dalam areal PT London Sumatera Kebun Gunung Melayu.

Sebahagian besar anggota kelompok tani di Desa Aek Nagaga adalah bekerja

sebagai petani lahan sempit dan buruh tani, sedangkan sisanya bekerja sebagai

buruh di PT London Sumatera, bekerja sebagai pedagang keliling, jualan di rumah

dan menjadi buruh lepas yang bekerja mocok-mocok di kebun milik pribadi pada

saat panen kelapa sawit. Demikian juga dengan ibu-ibu maupun anak perempuan

yang telah dewasa. Banyak diantara mereka bekerja sebagai buruh harian lepas di

perkebunan dengan upah bervariasi, mulai dari Rp. 10.000,- sampai dengan Rp,

30.000,- per hari. Bagi perempuan yang bekerja sebagai buruh harian lepas (BHL)

di perkebunan tidak memiliki hari kerja yang tetap. Dalam satu bulan maksimal

mereka bisa mendapat 20 Hari Kerja (HK) tergantung dari musim-musim kerja di

perkebunan.

Bagi perempuan, baik istri anggota maupun anak perempuan yang telah

dewasa yang tidak bekerja di perkebunan sebagai BHL, mereka lebih banyak

menghabiskan aktivitas di sekitar rumah. Namun walaupun begitu mereka juga

memiliki aktivitas tambahan, salah satunya adalah mengambil lidi kelapa sawit

yang telah dibersihkan untuk dijual kepada pengumpul. Selain itu, di Desa Aek

Nagaga, rata-rata anggota kelompok (kecuali yang masih bekerja di perkebunan

dan tinggal di permukiman milik perusahaan) memelihara ternak lembu. Rata-

Page 64: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 64

rata mereka memiliki 2 sampai dengan 6 ekor lembu yang dipelihara di dalam

kandang yang lokasinya di belakang rumah.

Memang tidak seluruh anggota kelompok secara ekonomi dalam keadaan

sulit. Bagi beberapa anggota kelompok kondisi ekonominya sudah membaik,

namun hal itu dikarenakan adanya lahan yang mereka miliki di kawasan-kawasan

yang jauh dari permukiman mereka, bahkan ada yang memiliki tanah seluas 3

sampai 4 Ha di daerah Bagan Batu dan Provinsi Riau. Mereka mendapatkan tanah

tersebut dengan dua cara, yakni membuka lahan hutan dan dengan cara membeli.

Kondisi yang tidak jauh berbeda, bahkan lebih sulit ditemui pada anggota

kelompok perjuangan yang berada di Desa Teluk Dalam dan Desa Pulau Besar

Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan. Rata-rata anggota dan seluruh

masyarakat bekerja sebagai buruh tani di desa lain. Rata-rata dari masyarakat yang

berjumlah 150 kepala keluarga tersebut hanya mengandalkan pekerjaan di tanah

miliki warga desa lain, yakni Desa Padang Mahondang yang letaknya di seberang

Sungai Asahan karena mereka sama sekali tidak memiliki tanah kecuali tanah

tempat tinggal mereka.

Di kawasan Kecamatan Sei Balei sebahagian besar penduduk, termasuk

anggota kelompok juga adalah petani gurem yang hanya memiliki 2 rante sampai

5 rante, yang ditanami coklat dan beberapa pohon kelapa sawit. Agar dapat

memenuhi kebutuhan keluarga, mereka juga bekerja sebagai buruh tani di lahan

sawah milik orang lain yang rata-rata bukan penduduk setempat. Bagi keluarga

yang memiliki 3 rante tanah, maka jika hasilnya bagus, tidak ada hama, pupuk

cukup dan tidak banjir bisa menghasilkan 10 goni atau 1 ton padi. Pada saat

penelitian padi dihargai Rp. 2500,- per kg, sehingga dalam satu kali panen bisa

menghasilkan Rp. 2.500.000,-. Namun jumlah tersebut tetap tidak cukup bagi

ekonomi keluarga, karena biaya produksi, seperti untuk pemupukan, bibit, obat,

tenaga dan sebagainya mencapai Rp. 600.000,-, sehingga dalam masa 1 kali panen

(4 bulan) satu orang keluarga hanya mendapat penghasilan Rp. 475.000,- dalam

satu bulan.

Selain mengelola tanah mereka sendiri yang sempit, petani juga bekerja

mocok-mocok di sawah milik orang lain. Sistemnya ada dua, sebagai buruh tani

ataupun sistem perjanjian pembagian pertiga. Bagi buruh tani yang bekerja di

tanah orang lain, untuk proses menanam padi dalam satu rante penyewa hanya

Page 65: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 65

mendapat Rp. 15.000,-. Sedangkan dengan sistem pertiga, dalam satu kali panen,

buruh tani menerima 2/3 dari seluruh hasil, sedangkan pemilik mendapatkan 1/3

hasil. Pembagian tersebut sebenarnya sangat tidak adil, karena semua biaya

produksi ditanggung oleh penyewa. Jika terjadi gagal panen, banjir, hama tikus

dan tidak mendapat pupuk dan berdampak pada penurunan produksi, maka

seluruhnya ditanggung oleh petani penyewa.

Untuk menambah penghasilan, keluarga petani, baik anggota kelompok

maupun bukan anggota kelompok petani perjuangan mencari pekerjaan lain,

seperti ngomben atau pekerjaan merontokkan padi, ataupun mengambil sisa-sisa

padi yang jatuh setelah panen hanya untuk mendapatkan satu dua ikat padi untuk

kemudian mereka konsumsi sendiri. Bagi para suami, penghasilan tambahan

mereka dapatkan dari bekerja mocok-mocok di perkebunan milik pribadi, seperti

nonjok atau mendodos kelapa sawit milik orang lain. Kadang-kadang juga

ngomben atau teser pada saat panen.

Pendidikan KeluargaPendidikan KeluargaPendidikan KeluargaPendidikan Keluarga

Rata-rata pendidikan keluarga kelompok-kelompok tani bahkan seluruh

warga yang tinggal di sekitar kawasan perkebunan sangat rendah, yakni hanya

sampai SD (Sekolah Dasar) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Keluarga-

keluarga petani rata-rata memiliki 3 sampai 5 anak yang hanya bisa menamatkan

pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Rendahnya tingkat pendidikan

tersebut membuat anak-anak keluarga petani tidak memiliki banyak alternatif

dalam hidup. Bagi anak petani yang sudah tamat SD atau SMP, walau masih

berumur 12 sampai 15 tahun sudah harus bekerja untuk menambah pendapatan

keluarga ataupun sekedar untuk jajan sendiri.

Rata-rata anak petani anggota kelompok tani yang sudah tamat ataupun

tidak tamat SD bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan, bekerja sebagai

kenek (pendamping) kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh tetap atau buruh

harian lepas di perkebunan, bekerja sebagai kenek truk angkut kelapa sawit,

menggembalakan lembu di areal perkebunan, dan mencari lidi kelapa sawit. Bagi

sebahagian anak petani yang keluar dari kampung, mereka pergi ke kota bekerja

sebagai pembantu rumah tangga di keluarga-keluarga kota ataupun menjadi

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negara-negara tetangga, terutama Malaysia.

Page 66: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 66

Diakibatkan cepatnya anak-anak petani bekerja, maka tingkat kedewasaan

anak-anak pun lebih cepat dari anak-anak di kota. Bagi anak petani yang sudah

dianggap cukup umur (15 tahun ke atas) maka jika tidak berangkat ke kota akan

cepat-cepat dinikahkan agar hidupnya dapat lebih cepat mandiri dan tidak lagi

ditanggung oleh orang tua. Kecenderungan seperti itu memang marak terjadi di

masyarkat petani yang tinggal di sekitar perkebunan. Untuk bekerja sebagai buruh

tetap di perkebunan kemungkinannya sangat kecil, karena rata-rata saat ini yang

bisa masuk menjadi buruh tetap adalah orang-orang yang memiliki hubungan

dengan pegawai maupun staff perkebunan, sehingga tidak memungkinkan anak-

anak petani untuk mendapat pekerjaan di perkebunan.

Dapat dikatakan posisi petani yang tinggal di enclave perkebunan posisinya

memang sangat terjepit. Selain posisi permukiman petani memang benar-benar

berada di dalam areal perkebunan, tanah yang mereka miliki adalah hanya

sekedar tapak permukiman yang sering kali memang masih bagian dari tanah yang

disengketakan. Sebenarnya masih banyak tanah kosong yang tidak dikelola

perusahaan perkebunan karena terdiri atas tanah rawa-rawa dan luasnya pun

tidak begitu banyak. Namun untuk mengolah lahan rawa tersebut tidaklah mudah

dilakukan karena petani harus berhadapan dengan pihak perkebunan.

Beberapa petani di Desa Sungai Samsu, daerah Poncolan Kecamatan Sei Balei

mengalami hal yang sama. Ada kurang lebih 10 Ha rawa-rawa yang tidak dikelola

oleh perusahaan sehingga kemudian coba dikelola oleh puluhan petani. Ketika

rawa yang dikelola oleh petani tersebut sudah mulai bersih dan di beberapa bagian

sudah mengering, kemudian perusahaan mencoba merebutnya dengan cara me

membeko dan membuat kanal-kanal yang ternyata menutup saluran air ke sawah

yang dikelola masyarakat. Pernah terjadi perlawanan dari masyarakat, namun

tidak begitu lama karena perusahaan secara tegas melarang masyarakat mengelola

tanah tersebut.

4.2.6. 4.2.6. 4.2.6. 4.2.6. Keluarga Petani Keluarga Petani Keluarga Petani Keluarga Petani Sebagai Supply Tenaga Kerja MurahSebagai Supply Tenaga Kerja MurahSebagai Supply Tenaga Kerja MurahSebagai Supply Tenaga Kerja Murah

Seperti yang telah dijelaskan di atas, sebahagian besar petani yang tinggal di

dalam maupun di sekitar enclave perkebunan adalah petani tak bertanah ataupun

petani gurem yang rata-rata hanya memiliki 2 sampai dengan 5 rante tanah.

Dengan luas tanah seperti itu, maka sudah pasti tidak akan cukup untuk

menghidupi ekonomi keluarga. Untuk itu, keluarga petani, termasuk anggota-

Page 67: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 67

anggota kelompok tani yang sedang berjuang merebut haknya melakukan

beberapa cara agar bisa bertahan hidup. Sebahagian petani memang sudah jauh-

jauh hari mencari jalan keluar atas kesulitan yang mereka hadapi, antara lain

dengan membeli tanah yang jauh dari permukiman mereka, bahkan sampai di luar

propinsi, namun sebahagian besar bernasib lebih buruk. Tidak ada pilihan bagi

petani-petani miskin yang ada di sekitar perkebunan selain bertahan di

permukiman mereka sambil menunggu keberhasilan perjuangan atas tanah

mereka.

Ada beberapa strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh petani-petani

yang tinggal di sekitar perkebunan. Selain mengelola tanah yang berada jauh dari

permukiman mereka, petani juga banyak yang memelihara ternak, terutama

lembu, seperti yang terjadi di Desa Aek Nagaga, Kecamatan Bandar Pulau

Kebupaten Asahan. Daerah ini dikenal sebagai daerah sumber ternak di Asahan,

karena sebahagian besar memiliki ternak lembu. Sebahagian besar warga memang

dapat dikatakan memiliki ternak lembu, yakni rata-rata memiliki 2 sampai 5 ekor.

Pada awalnya sebahagian besar warga ketika memulai beternak lembu

menggunakan sistem maro atau setengah-setengah. Sistem tersebut harus diawali

oleh adanya lembu milik orang lain (biasanya warga di kota kecamatan, atau di

kota Asahan) yang menanamkan modalnya dalam bentuk seekor atau sepasang

lembu. Ketika lembu tersebut beranak seekor, maka lembu tersebut dianggap

milik bersama, namun ketika beranak lagi, maka satu ekor lembu menjadi milik si

penggembala. Lama-kelamaan sistem tersebut berkembang, sehingga rata-rata

warga di Desa Sengon Sari dan Desa Aek Nagaga memiliki ternak, terutama

lembu.

Cara lain yang dilakukan petani anggota-anggota kelompok rakyat pejuang

tanah adalah bekerja sebagai buruh tani. Namun hal ini hanya bisa dilakukan jika

di sekitar desa mereka terdapat desa-desa dimana perkebunan tidak ada. Desa-desa

dimana perkebunan tidak ada kondisi ekonomi petani malah lebih baik

dibandingkan desa yang posisinya berada di dalam enclave perkebunan, hal itu

tampak dari kondisi rumah-rumah penduduknya. Di Desa Pulau Besar, Desa

Teluk Dalam, sebagian besar penduduknya bekerja sebagai buruh tani di Desa

Padang Mahondang yang lokasinya cukup jauh dan berada di Kecamatan Pulau

Raja. Sebahagian dari mereka ada yang bekerja di lahan orang lain dengan

menerima upah, dan ada juga yang menyewa tanah. Walau sebahagian kecil

petani ada juga yang sempat membeli tanah di Desa Padang Mahondang, namun

Page 68: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 68

statusnya sangat rentan, karena bukan penduduk lokal, sehingga sering sekali

terjadi perebutan diantara warga Padang Mahondang dengan warga diluar desa

yang memiliki tanah di desa tersebut.

Beberapa cara bertahan hidup yang dilakukan oleh warga di sekitar

perkebunan seperti yang dijelaskan di atas adalah matapencaharian yang tidak

mengganggu sekaligus tidak tidak berhubungan dengan pihak perkebunan.

Namun salah satu pilihan petani agar dapat bertahan hidup adalah dengan bekerja

sebagai buruh harian lepas di perkebunan. Realitas seperti ini tampaknya biasa-

biasa saja bagi banyak orang, karena memang tekanan ekonomi mendorong rakyat

untuk melakukan apapun, termasuk bekerja di perusahaan perkebunan. Namun

jika dianalisis lebih dalam, sebenarnya keberadaan permukiman petani di dalam

enclave perkebunan adalah sumber tenagakerja yang murah dan mudah

dipekerjakan diperkebunan.

Posisi permukiman yang berada di dalam maupun di sekitar perkebunan,

ketiadaan tanah, sulitnya mencari pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan, dan

sebagainya tampak sebagai sebuah situasi yang dikondisikan. Jika dahulu pada

jaman kolonial buruh perkebunan didatangkan dari Pulau Jawa dan sulit untuk

dipertahankan, maka pada saat ini perkebunan tidak harus berusaha keras, karena

tenagakerja sudah tersedia dan kapan saja dapat diperas oleh perkebunan.

Perusahaan perkebunan tidak harus mendatangkan lagi buruh untuk melakukan

proses produksi karena di kawasan terdekatnya terdapat permukiman penduduk

miskin yang setiap saat bisa direkrut.

Penggunaan pekerja yang berasal dari permukiman penduduk yang tinggal

di perkampungan sekitar perkebunan tersebut tentu sangat efisien. Pertama,

dengan mempekerjakan penduduk di sekitar perkebunan, perusahaan tidak harus

menyediakan alat transportasi, karena warga perkampungan memang tinggal di

dalam areal perkebunan. Kedua, kemiskinan penduduk perkampungan tidak

menyulitkan buruh merekrut pekerja, karena memang warga perkampungan tidak

banyak punya pilihan pekerjaan, sehingga tawaran bekerja di perkebunan

dianggap rejeki yang tidak bisa dilepas. Namun sayangnya pekerjaan yang

diberikan perusahaan terhadap warga perkampungan di sekitar perkebunan

adalah pekerjaan jenis harian lepas atau buruh tidak tetap yang sama sekali

statusnya tidak pasti. Pekerjaan yang dilakukan bagi perempuan adalah mboyan,

seperti membersihkan piringan, membabat gawangan, meracun menggunakan

Page 69: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 69

zat-zat kimia, memupuk, bahkan membersihkan parit atau jalan di sekitar

perkebunan.

Bagi buruh harian lepas laki-laki pekerjaan yang dilakukan adalah hampir

sama seperti yang dilakukan oleh buruh tetap (SKU) laki-laki, yakni sebagai buruh

pemanen ataupun meruning (menunas) pohon kelapa sawit. Walaupun

melakukan pekerjaan yang persis sama yang dilakukan buruh SKU, namun hak

yang diterima tidaklah sama, karena selain basis borong lebih besar, peralatan

kerja seluruhnya dibebankan kepada buruh dan tidak ada jaminan ataupun

perlindungan apapun. Namun tetap saja beban yang berat dan status yang tidak

jelas tersebut diterima oleh penduduk perkampungan di sekitar perkebunan.

Situasi yang digambarkan di atas adalah realitas di seluruh perkampungan

yang berada di dalam maupun di sekitar enclave perkebunan. Hal yang sama juga

dialami oleh anggota kelompok-kelompok pejuang tanah dimana penelitian ini

dilakukan, bahkan ada sebahagian anggota yang menjadi pekerja lepas di

perusahaan perkebunan yang bersengketa dengan mereka sehingga membuat

perjuangan sering terhenti. Realitas seperti itu menjadikan perusahaan

perkebunan akan semakin tumbuh subur di seluruh kawasan Sumatera Utara,

karena warga yang tinggal di perkampungan dan anggota kelompok perjuangan

telah menjadi sumber tenagakerja murah yang mudah diperoleh kapanpun

perkebunan membutuhkan.

Page 70: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 70

4.2.74.2.74.2.74.2.7. . . . Sistem Kelembagaan Penyelesaian Sengketa PertanahanSistem Kelembagaan Penyelesaian Sengketa PertanahanSistem Kelembagaan Penyelesaian Sengketa PertanahanSistem Kelembagaan Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Banyaknya jumlah sengketa pertanahan di Asahan maupun di Labuhan Batu

sebenarnya tidak seimbang dibandingkan dengan keberadaan organisasi maupun

kelompok-kelompok perlawanan yang ada. Dalam proses identifikasi di lapangan

maupun data-data skunder yang dimiliki beberapa kelompok, malah saat ini

perlawanan semakin melemah disebabkan oleh beberapa faktor, baik diakibatkan

oleh tekanan eksternal kelompok-kelompok perlawanan maupun dari internal

organisasi.

Memahami kelompok-kelompok perlawanan perjuangan tanah di Asahan

maupun di Labuhan Batu harus menggunakan beberapa kacamata. Dengan kata

lain, harus ada fleksibilitas penilaian secara subyektif dan objektif secara

berimbang, sebab jika menggunakan satu perspektif, maka penilaian subyektif

akan merusak realitas yang sebenarnya harus diungkap dalam penelitian ini.

Dari sudut pandang ideologi apapun gerakan perjuangan tanah di Asahan

dan Labuhan Batu, bahkan kemungkinan di seluruh Sumatera Utara, maka

kelompok ataupun organisasi-organisasi yang ada digolongkan sebagai gerakan

pragmatis, sebab tujuan utama perjuangan adalah bagaimana mendapatkan hak

atas tanah yang dimiliki tanpa punya orientasi jangka panjang atas penguasaan

tanah yang mereka perjuangkan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh kecil

kemenangan perjuangan yang kemudian memunculkan rasa puas sehingga tidak

kritis terhadap beberapa kemungkinan yang kontraproduktif terhadap

kemenangan yang diperoleh.

Sebelum memasuki analisis terhadap perjuangan kelompok-kelompok

maupun organisasi perjuangan tanah yang ada di Asahan dan sedikit di Labuhan

Batu, terlebih dahulu digambarkan sisi keberadaan organisasi-organisasi tersebut.

Di Kabupaten Asahan saat ini secara umum terdapat 4 (empat) organisasi

besar yang merupakan kumpulan kelompok-kelompok perjuangan dari seluruh

wilayah Asahan, yakni:

1.1.1.1. Front Pembebasan Tanah RakyatFront Pembebasan Tanah RakyatFront Pembebasan Tanah RakyatFront Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR) (FPTR) (FPTR) (FPTR)

Front Pembebasan Tanah Rakyat atau disingkat dengan FPTR adalah sebuah

organisasi perlawanan yang didirikan pada tahun 2005. Organisasi ini pada

Page 71: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 71

awalnya merupakan kelompok maupun embrio kelompok yang disatukan oleh

organiser PBHI di beberapa kecamatan. Namun sebelum FPTR terbentuk,

sebenarnya perlawanan masing-masing kelompok sudah pernah dilakukan atas

nama orang per orang, diantaranya individu-individu yang pernah dididik oleh

partai, terutama Partai Demokrasi Indonesia yang kemudian dilanjutkan oleh

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Front Pembebasan Tanah Rakyat adalah sebuah organisasi independen

dengan memiliki 5 tujuan, yakni:

1. Mewujudkan pembebasan terhadap tanah rakyat yang dirampas

2. Sebagai media perjuangan bersama bagi kelompok-kelompok tani yang

tanahnya dirampas

3. Mewujudkan pembebasan terhadap penindasan dan kesewenang-

wenangan yang terjadi terhadap lahan-lahan masyarakat petani

4. Melakukan usaha utnuk menghentikan segala bentuk intimidasi dan

kekerasan yang terjadi terahadap petani, sebagai akibat dari proses

perjuangan yang sedang dilakukan

5. Mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan tanah terlantar

maupun yang diterlantarkan oleh perusahaan kepada rakyat untuk

mengerjakan menjadi lahan produktif

Pada saat penelitian ini dilakukan, FPTR berkedudukan di Kota Kisaran

dengan anggota yang tersebar di 13 Kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan,

yakni:

1 Kecamatan Aek Kuasan 7 Kecamatan Bandar Pasir Mandoge

2 Kecamatan Bandar Pulau 8 Kecamatan Buntu Pane

3 Kecamatan Pulau Rakyat 9 Kecamatan Kisaran Timur

4 Kecamatan Air Batu 10 Kecamatan Sei Balei

5 Kecamatan Simpang Empat 11 Kecamatan Limapuluh

6 Kecamatan Sei Kepayang 12 Kecamatan Air Putih

13 Kecamatan Sei Suka

Di 13 Kecamatan tersebut saat ini di dalam FPTR bernaung 32 kelompok.

Masing-masing kelompok memiliki jumlah anggota bervariasi. Pada tahun 2005

FPTR mengklaim telah memiliki anggota sebanyak 4500 KK, belum termasuk

Page 72: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 72

anggota keluarga dari tiap-tiap anggota, sehingga jika satu keluarga minimal

memiliki 4-5 orang, maka massa FPTR di atas kertas bisa mencapai 18.000 hingga

kurang lebih 22.000 orang.

2.2.2.2. Yayasan Buruh Tani dan Nelayan (YBTN)Yayasan Buruh Tani dan Nelayan (YBTN)Yayasan Buruh Tani dan Nelayan (YBTN)Yayasan Buruh Tani dan Nelayan (YBTN)

Yayasan Buruh Tani dan Nelayan merupakan sebuah organisasi yang berpusat

di Kota Medan dan memiliki Cabang di beberapa Kabupaten di Sumatera Utara

dengan Ketua mantan anggota DPRD Sumatera Utara, yakni Patawi Bowi. Tidak

ada catatan jumlah anggota ataupun jumlah kelompok yang terdaftar di YBTN

sehingga menyulitkan mengetahui kerja-kerja yang dilakukan organisasi. Menurut

pengakuan Supardi Tampubolon sebagai Ketua Cabang YBTN di Kabupaten

Asahan, ada 5000 anggota YBTN, yang tersebar di setiap desa, karena basis

kelompok yang berada di bawah naungan YBTN adalah berdasarkan desa.

Saat penelitian dilakukan aktivitas YBTN hampir dikatakan mengalami

kevakuman. Beberapa kasus pertanahan yang sebelumnya didampingi YBTN tidak

lagi ditangani diakibatkan banyaknya kelompok-kelompok perjuangan yang

kemudian berpindah ke organisasi lain akibat sistem keanggotaan yang fleksibel

dan tidak rapinya administrasi organisasi. Secara struktural, YBTN memiliki

Dewan Pimpinan Pusat di Medan, sedangkan di Kabupaten disebut Dewan

Pimpinan Cabang. Di tingkat kecamatan dinamakan Dewan Perwakilan

Kecamatan dan tiap kelompok ada di tiap-tiap desa.

3.3.3.3. Aliansi Kelompok Tani Asahan (AKTA)Aliansi Kelompok Tani Asahan (AKTA)Aliansi Kelompok Tani Asahan (AKTA)Aliansi Kelompok Tani Asahan (AKTA)

Aliansi Kelompok Tani Asahan berdiri pada tahun 1998 oleh Zasnis Sulung

Marpaung yang pada saat itu merupakan salah satu pendiri LBH Pos Asahan.

Pendirian AKTA bersamaan dengan pemilihan Bupati Asahan Risuddin, sehingga

dianggap sebagai strategi mobilisasi massa untuk kepentingan politik. Sampai saat

ini AKTA masih aktif melakukan perjuangan melalui kelompok-kelompok dan

forum kelompok, khususnya dalam kasus-kasus kehutanan. Dikarenakan

berbentuk aliansi, maka AKTA bukan hanya menaungi kelompok-kelompok,

namun juga forum atau kumpulan kelompok-kelompok tani, seperti Gabungan

Kelompok Tani Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (Gerhan).

Menurut catatan terakhir, AKTA mengklaim memiliki hampir 4000 anggota

yang berasal dari 49 kelompok tani hampir di seluruh Kecamtan yang ada di

Kabupaten Asahan. Sebagai tokoh di Asahan, tentu saja Zasnis Sulungs Marpaung,

Page 73: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 73

AKTA lahir dari kelompok-kelompok yang sebahagian merupakan dampingan

LBH sebelumnya sehingga pendekatan-pendekatan perjuangan khas lembaga

bantuan hukum menjadi strategi utama.

4.4.4.4. Serikat Petani Sumatera UtaraSerikat Petani Sumatera UtaraSerikat Petani Sumatera UtaraSerikat Petani Sumatera Utara

Serikat Petani Sumatera Utara adalah organisasi yang tergolong sudah lama

melakukan kerja-kerja pergerakan mendukung perjuangan tanah rakyat di

Kabupaten Asahan. Saat ini sulit menentukan kelompok-kelompok yang

tergabung di dalam SPSU, karena ada banyak sebenarya kelompok-kelompok

SPSU yang keluar dari SPSU dan memasuki organisasi lain, seperti AKTA, FPTR,

YBTN ataupun berjuang secara mandiri bersama dengan Lembaga Swadaya

Masyarakat yang ada di Kabupaten Asahan.

Salah satu lokasi konsentrasi pengorganisasian SPSU adalah di Kecamatan

Bandar Pasir Mandoge. Di Kecamatan tersebut SPSU fokus menangani dua

kelompok tani, yakni kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan yang

bersengketa dengan PT Jaya Baru Pratama (PT JBP) dan Kelompok Maju Bersatu

yang berhadapan dengan PT Bakrie Sumatera Plantation di Desa Sei Kopas.

Kelompok-kelompok dampingan SPSU yang lain di Bandar Pulau, Limapuluh, Sei

Balei dan kecamatan lainnya mengalami stagnasi.

Secara organisasional SPSU dapat dikatakan mengalami kemunduran.

Pengurus-pengurus pusat yang baru saja terpilih dalam kongres pada tahun 2006

juga belum melakukan aktivitas, sehingga secara defakto SPSU hanya

mendampingi dua kelompok di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge. Namun

sebelumnya SPSU merupakan kelompok pergerakan petani terbesar di Asahan, hal

ini dibuktikan dari banyaknya kelompok-kelompok perjuangan di Asahan yang

pernah mendapat dampingan bahkan dibentuk oleh SPSU. Di Bandar Pulau

sendiri masih ada satu kelompok yang menjalankan program ekonomi sejenis

koperasi. Namun anggota-anggota kelompok usaha tersebut tidak selalu sebagai

anggota kelompok perjuangan tanah, karena keanggotaan usaha ekonomi

dibedakan dengan kelompok perjuangan.

Selain ke empat organisasi tersebut, perjuangan rakyat untuk menuntut hak-

hak atas tanah yang direbut perusahaan perkebunan juga tidak hanya melalui

organisasi-organisasi dengan type di atas. Ada banyak juga kelompok-kelompok

rakyat yang melakukan perjuangan tanpa bergabung dengan SPSU, YBTN, AKTA

Page 74: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 74

dan FPTR. Kelompok-kelompok tersebut berjuang melalui lembaga-lembaga

bantuan hukum yang ada di Kisaran ataupun melalui kantor-kantor pengacara

untuk menempuh penyelesaian melalui pengadilan, sedangkan kelompok-

kelompok perjuangan lain ada yang mendapat dukungan dari Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) di Kisaran yang sampai saat ini menurut catatan sudah

mencapai 300 lembaga.

4.2.84.2.84.2.84.2.8. . . . Tekanan Eksternal dan Kendala Internal Organisasi RakyatTekanan Eksternal dan Kendala Internal Organisasi RakyatTekanan Eksternal dan Kendala Internal Organisasi RakyatTekanan Eksternal dan Kendala Internal Organisasi Rakyat

Keberadaan kelompok dan organisasi-organisasi perlawanan rakyat merebut

kembali haknya seperti yang terjadi di Kabupaten Asahan bagaimanapun juga

telah tercatat sebagai bagian dari sejarah perjuangan rakyat atas keserakahan dan

carut-marutnya kepastian hukum agraria di Indonesia. Namun dalam catatan

sejarah tersebut tertera pula bagaimana sulitnya rakyat menyatukan diri dalam

gerakan yang lebih massif untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Dapat dikatakan perjuangan rakyat atas hak-hak tanah tidak hanya

mengalami stagnasi, namun mundur secara perlahan. Istilah bahwasannya

kehancuran organisasi perjuangan berakar dari persoalan-persoalan kecil atau

sepele mungkin tepat ditujukan pada kelompok-kelompok perjuangan di Asahan,

walaupun pengaruh dari luar, khususnya penghancuran oleh pengusaha dan

pemerintah juga tidak bisa dilepaskan sama sekali.

Tekanan EksternalTekanan EksternalTekanan EksternalTekanan Eksternal

Perjuangan rakyat, khususnya kelompok-kelompok perlawanan tanah tentu

saja tidak pernah berjalan mulus, karena pengusaha perkebunan yang merampas

tanah rakyat tidak akan tinggal diam dengan langkah-langkah yang dilakukan

organisasi rakyat. Berdasarkan kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi di

Kabupaten Asahan, perusahaan perkebunan memang harus melakukan berbagai

cara untuk melemahkan gerakan rakyat disebabkan memang posisi dan tuntutan-

tuntutan rakyat memang sangat kuat, karena selain memiliki alat-alat bukti yang

sangat kuat, apa yang dilakukan masyarakat juga dilindungi secara hukum. Hal

itulah sebenarnya yang paling ditakuti oleh perusahaan-perusahaan perkebunan

sehingga mencari berbagai macam cara untuk melemahkan organisasi perlawanan

rakyat.

Page 75: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 75

Berdasarkan pengalaman perjuangan yang dilakukan oleh kelompok-

kelompok masyarakat, selama menuntut hak-haknya, baik melalui aksi, dialog

dengan pemerintah, proses pengadilan, maupun pendudukan lahan, sangat sulit

bagi perusahaan perkebunan untuk bisa mengesampingkan ataupun

mementahkan argumentasi dan bukti-bukti yang dimiliki masyarakat. Berbagai

proses dialog, negosiasi dalam pertemuan maupun aksi pendudukan lahan,

perusahaan malah lebih sering diam tanpa argumentasi dan menjadikan

pemerintah sebagai juru bicara perusahaan. Menurut kelompok-kelompok

perjuangan, hal ini menunjukkan bahwasannya pihak perkebunan tidak memiliki

kekuatan untuk beradu argumentasi maupun bukti-bukti.

Kekuatan posisi dan bukti yang dimiliki rakyat tersebutlah yang kemudian

digunakan oleh perusahaan perkebunan untuk memperlemah rakyat, antara lain

dengan melakukan:

Posisi Pasif dalam Proses DialogPosisi Pasif dalam Proses DialogPosisi Pasif dalam Proses DialogPosisi Pasif dalam Proses Dialog

Tindakan ini adalah yang paling sering dilakukan oleh perusahaan,

khususnya utusan yang dikirim oleh pihak perkebunan. Sering kali dalam

pertemuan, dialog, rapat tim ataupun negosiasi lapangan yang difasilitasi atau

dimediasi oleh pemerintah, utusan yang dikirim adalah yang tidak memiliki

kapasitas untuk mengambil keputusan, seperti mengirim Kepala, wakil maupun

staff hubungan masyarakat, ataupun manager kebun/estate. Mereka-mereka yang

mewakili perusahaan dalam proses pertemuan, dialog, negosiasi maupun rapat tim

penyelesaian sengketa seperti yang dibentuk oleh Bupati Asahan adalah orang-

orang yang tidak bisa mengambil keputusan apapun.

Beberapa sengketa tanah, misalnya 6 kasus yang diajukan FPTR melawan PT

Socfindo juga mengalami hal yang sama. Ke enam kasus yang menjadi tema

pembahasan dan harus diselesaikan oleh tim yang dibentuk Bupati Asahan

berjalan tertatih-tatih. Sejak dibentuk pada tahun 2006 hingga saat ini tim belum

membuahkan hasil. Demikian juga dengan beberapa kasus di Kecamatan Bandar

Pasir Mandoge antara masyarakat dengan PT BSP, PTPN IV, PT Sari Persada Raya

dan PT Jaya Baru Pratama (PT JBP). Pertemuan demi pertemuan dilakukan

sehingga tampaknya sudah sampai akhir penyelesaian. Kasus terakhir adalah yang

dialami kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan berhadapan dengan PT JBP.

Walaupun pada pembicaraan sebelumnya di DPRD Asahan sudah ada kesepakatan

akan dibicarakan negosiasi pengembalian ataupun ganti rugi tanah, tetap saja

Page 76: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 76

pertemuan mengalami kebuntuan hanya karena pihak humas PT JBP tidak bisa

mengambil keputusan sehingga harus menunggu direksi yang sedang di luar

negeri.

Tentunya alasan seperti itu sangatlah dibuat-buat. Beberapa kali pertemuan

sebelumnya sebenarya pihak perusahaan sudah mengetahui tahapan penyelesaian

yang sedang dijalankan. Ketika pada saat pertemuan perusahaan tidak bisa

mengambil keputusan, ini jelas sudah bentuk permainan dari perusahaan yang

sama sekali tidak memiliki HGU atas kurang lebih 2000 Ha lahan yang mereka

kuasai.

Hal yang patut disayangkan adalah posisi pemerintah yang kemudian tidak

bisa mengambil sikap tegas terhadap permainan yang dilakukan perusahaan. Pada

satu sisi, alasan yang dikemukakan oleh perkebunan selalu alasan yang masuk

akal, seperti; direksi lagi tidak di tempat, belum dibicarakan dalam rapat internal

perusahaan, belum ada komunikasi dengan direksi, belum sempat membicarakan,

direksi tidak di tempat, dan berbagai alasan sepele lainnya. Namun jika alasan-

alasan seperti ini sudah menjadi pola, sebenarnya pemerintah bisa mengambil

sikap. Namun yang terjadi tidaklah demikian, pemerintah malah cenderung

menerima alasan-alasan tersebut tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat

yang harus menunggu dalam jangka waktu yang panjang dan tidak tidak pasti.

Ketidakpastian terhadap mekanisme penyelesaian, berbelit-belitnya proses

penyelesaian, terkendalanya penyelesaian akibat persoalan-persoalan teknis juga

sangat mengganggu tingkat kesabaran anggota maupun pengurus kelompok

perjuangan petani. Dalam jangka waktu tertentu kemungkinan rakyat masih sabar

dan belum sadar akan permainan tersebut, namun terus berulangnya kendala-

kendala tersebut membuat anggota maupun pengurus kelompok rakyat

mengalami kejenuhan sehingga berdampak terhadap daya tahan perjuangan.

Kendala-kendala teknis yang selalu dijadikan alasan penundaan penyelesaian

sengketa pertanahan jelas bukan persoalan sepele jika diperhatikan dari

pengalaman yang dialami oleh rakyat. Apa yang dilakukan oleh perusahaan

perkebunan merupakan strategi mempermainkan ekspektasi atau harapan

masyarakat. Ketika mendengar bahwasannya akan diadakan pertemuan, baik yang

difasilitasi oleh legislatif maupun pemerintah daerah (Bupati dan Camat), maka

akan melambungkan harapan masyarakat. Ada harapan dan kepercayaan di

Page 77: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 77

kelompok-kelompok bahwa sengketa akan selesai, namun ketika harapan tidak

terjadi, maka kekecewaaan akan terjadi. Hal itu berlangsung terus menerus

sehingga menghancurkan tingkat kepercayaan dan keyakinan akan selesainya

sengketa.

Tugas Fasilitator atau EksTugas Fasilitator atau EksTugas Fasilitator atau EksTugas Fasilitator atau Eksekutorekutorekutorekutor

Persoalan lain yang juga berpengaruh terhadap proses penyelesaian sengketa

pertanahan adalah ketidakjelasan posisi pemerintah, dalam hal ini pemerintah

tingkat Kabupaten, maupun Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan Keputusan

Presiden No. 34 Tahun 2003 , yakni pada Pasal 2 ayat 2 point c disebutkan dengan

jelas bahwasannya pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan dalam

penyelesaikan sengketa tanah garapan. Berdasarkan aturan ini, jelas pemerintah

daerah adalah pihak yang memegang dua fungsi, yakni sebagai fasilitator maupun

eksekutir. Sebagai fasilitator, pemerintah daerah berwenang menyusun normal,

standar dan mekanisme ketatalaksanaan berbagai sumberdaya yang diperlukan

untuk melaksanakan seperti yang tercantum dalam penyelesaian sengketa tanah.

Selain menjadi fasilitator, pemerintah juga menjadi eksekutor. Masih dari Kepres

No. 34 Tahun 2003, yang dimaksud dengan menyelesaikan adalah sampai sengketa

antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan tuntas, bukan malah

mengambang dan semakin berkepanjangan seperti yang terjadi selama ini.

Berdasarkan Kepres No. 34 Tahun 2003 sebenarnya sudah jelas bahwasannya

pemerintah daerah yang didukung oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di

tingkat kabupaten/kota memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa. Namun

yang menjadi persoalan, ternyata kewenangan yang dimiliki pemerintah

kabupaten/kota tersebut telah dimanfaatkan menjadi mekanisme mengaburkan

(bukan menyelesaikan), karena hanya menggunakan dua mekanisme, yakni

musyawarah, jika tidak diselesaikan akan dilanjutkan melalui pengadilan.

Seharusnya, yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun BPN bukan

sekedar mempertemukan pihak-pihak bertikai dalam mekanisme musyawarah

mufakat. Jika memang bukti-bukti atau alas hak yang dimiliki sama-sama kuat,

mungkin hal itu bisa dilakukan, namun dalam banyak kasus pertanahan, pihak

perusahaan perkebunan dalam posisi lemah, bahkan telah melanggar hukum,

seperti tidak memiliki HGU, arel perkebunan yang sudah mengambil sebahagian

bahkan keseluruhan tanah rakyat (yang dibuktikan dengan surat-surat milik

Page 78: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 78

rakyat), bahkan ketiadaan ijin lokasi perkebunan. Berdasarkan kondisi ini

sebenarnya pemerintah sudah bisa mengambil beberapa keputusan dalam proses

musyawarah. Kenyataannya hal itu tidak pernah dilakukan. Malah pemerintah

(yang juga didukung oleh kelompok-kelompok perlawanan) untuk melakukan

pengukuran ulang. Memang mekanisme pengukuran adalah salah satu bukti

terkuat untuk membuktikan sengketa kepemilikan, namun sebenarnya ini adalah

strategi mengarahkan pada kebuntuan penyelesaian, sebab untuk melakukan

pengukuran lahan dibutuhkan dana dan mekanisme baru yang sama besarnya

dengan penyelesaian sengketa.

Dalam kasus yang dihadapi oleh Kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan

di Kecamatan bandar pasir Mandoge, sebenarnya pemerintah harus melakukan

pembuktian terlebihdahulu terhadap ketiadaan HGU PT JBP, sehingga menjadi

jelas bahwasannya siapa yang telah melanggar hukum. Ketika hal itu sudah

dibuktikan, maka pemerintah tentu bisa mengambil tindakan yang diperlukan

sesuai dengan peraturan yang berlaku, setelah itu barulah dibicarakan tentang

tuntutan masyarakat.

Pecah Belah Kelompok PerlawananPecah Belah Kelompok PerlawananPecah Belah Kelompok PerlawananPecah Belah Kelompok Perlawanan

Watak perusahaan perkebunan saat ini dengan masa kolonial memang belum

berubah sama sekali, yakni dalam menerapkan strategi pecah belah terhadap

kekuatan-kekuatan rakyat. Hal ini juga terjadi di Asahan, bukan hanya dilakukan

secara langsung oleh perusahaan perkebunan, namun juga dengan cara meminjam

tangan-tangan lembaga swadaya masyarakat maupun pemerintah. Kecenderungan

seperti ini jelas telah terjadi di kelompok-kelompok perjuangan rakyat, sehingga

melemahkan langkah-langkah mendapatkan kembali hak-hak rakyat.

Salah satu pola klasik namun cukup efektif dalam melakukan pecah-belah

perjuangan rakyat adalah dengan cara memberi penawaran kepada salah satu

pihak (biasanya terhadap pihak-pihak yang bisa diajak kompromi, pengurus atau

pemimpin kelompok dan anggota yang memiliki bukti otentik kepemilikan

tanah). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di kelompok tani di Desa

Wonorejo Kecamatan Bandar Pulau. Beberapa kali perusahaan sudah mencoba

menawarkan uang puluhan juta kepada 6 orang anggota kelompok yang sempat

memiliki surat asli kepemilikan tanah untuk memecah kesatuan kelompok.

Page 79: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 79

Masih pada pola yang sama, perusahaan juga dalam kasus PT Socfindo

melakukan pecah belah kelompok dengan cara menyelesaikan kasus dengan luas

tanah terkecil yang menjadi sengketa. Memang sebenarnya dalam strategi

perjuangan dibutuhkan kemenangan-kemenangan kecil rakyat untuk

menumbuhkan kepercayaan diri dan keyakinan akan kekuatan rakyat, namun

pada prakteknya, pasca penyelesaian ataupun ganti rugi perusahaan dan

pemerintah menitipkan pesan agar kelompok rakyat yang mendapatkan hak nya

untuk tutup mulut rapat-rapat dan tidak lagi bergabung dengan kelompok-

kelompok lainnya. Ketika hal ini terjadi, maka akan memunculkan kekecewaan

terhadap kelompok lain yang pernah sama-sama berjuang dengan kelompok yang

dimenangkan oleh perusahaan.

Strategi selanjutnya adalah dengan memberi janji-janji penyelesaian kepada

kelompok tertentu dan memperlakukan secara khusus sebuah kasus. Pola seperti

ini cukup efektif dilakukan untuk memunculkan kecurigaan diantara beberapa

kelompok maupun beberapa orang dalam satu kelompok. Tahap awal yang

dilakukan adalah dengan membina hubungan dan komunikasi khusus, kemudian

pada saatnya akan diambangkan kembali. Pada kasus di Desa Aek Korsik, Sengon

Sari dan Aek Nagaga yang berhadapan dengan PT Socfindo hal ini dilakukan. Di

Aek Nagaga, pemerintah dan perusahaan sering mengundang beberapa orang

tertentu untuk membicarakan proses penyelesaian sengketa. Dalam pertemuan

tersebut biasanya perusahaan menyatakan akan memberi perlakuan khusus

sehingga penyelesaian akan cepat selesai. Ketika hal ini didengar oleh kelompok

lain, maka muncul kecemburuan bahkan ketidak percayaan.

Pada umumnya cara-cara ini cukup efektif memunculkan kehancuran

kepercayaan sesama anggota dan antar kelompok yang tergabung dalam satu

forum perjuangan rakyat. Tujuan utama dari perusahaan adalah melemahkan

kelompok, sehingga sudah dapat dipastikan janji-janji perusahaan tidak pernah

direalisasikan. Hal ini terjadi pada kelompok Wakidi dan kawan-kawan yang

bersengketa dengan PT Socfindo Aek Loba. Perusahaan menawarkan kepada

beberapa orang untuk melakukan pertemuan secara informal. Ironisnya, beberapa

anggota kelompok yakin bahwasannya mekanisme pembicaraan informal bisa

menyelesaikan masalah. Saat hal ini didengar oleh kelompok atau anggota lain,

maka reaksi yang muncul pun bervariasi. Ada yang percaya dan yakin dengan

pendekatan tersebut, ada yang mulai cemburu, ada sebahagian yang curiga adanya

permainan antara beberapa orang dengan perusahaan, bahkan bagi anggota yang

Page 80: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 80

sudah memiliki pengalaman akan membiarkan hal itu terjadi karena sudah

mengerti muara pembicaraan informal tersebut.

Pengetahuan Rakyat Terhadap Hukum PertanahanPengetahuan Rakyat Terhadap Hukum PertanahanPengetahuan Rakyat Terhadap Hukum PertanahanPengetahuan Rakyat Terhadap Hukum Pertanahan

Patut diakui, pengetahuan pengurus atau pemimpin organisasi perlawanan

terhadap hukum pertanahan sudah sangat baik. Mereka menguasai hampir

keseluruhan undang-undang dan peraturan yang terkait dengan masalah

pertanahan, khususnya tentang aturan dan perundangan yang mendukung

penyelesaian sengketa pertanahan. Pengetahuan tersebut rata-rata diperoleh

melalui pengalaman dan diskusi dengan banyak pihak, baik kalangan LSM, BPN,

legislatif maupun pemerintah. Demikian juga dengan tingkat pemahaman

pemimpin terhadap substansi hukum dan sosial ekonomi tanah. Sisi-sisi keadilan

pertanahan, hak tanah yang dimiliki masyarakat maupun sejarah pertanahan.

Pengetahuan dan pemahaman tersebut ternyata sangat jauh berbeda dengan

pemahaman dan pengetahuan anggota kelompok. Jika pengurus dan pemimpin

sering membaca undang-undang dan aturan pertanahan, malah sebahagian besar

anggota sama sekali tidak pernah membaca UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai

undang-undang paling pokok yang mengatur pertanahan. Berdasarkan

pengamatan dapat diketahui bahwasannya jarak yang lebar antara pengetahuan

dan pemahaman pemimpin dan anggota tersebut disebabkan minimnya

keterlibatan anggota dalam proses perjuangan.

Rendahnya keterlibatan anggota dalam proses penyelesaian sengketa secara

umum disebabkan oleh dua hal. Pertama, anggota pada umumnya sibuk dengan

pekerjaan sehari-hari, baik sebagai buruh di perkebunan, buruh tani, petani lahan

sempit maupun pekerjaan sampingan lainnya sehingga menyulitkan untuk

diikutsertakan dalam setiap tahapan yang dilalui dalam penyelesaian sengketa.

Memang diakui mobilitas pemimpin kelompok memang harus sangat tinggi,

karena harus secara aktif menghubungi dan mengunjungi banyak pihak yang

mendukung rakyat diluar dari pemerintah. Selain itu, pemimpin atau pengurus

organisasi harus juga aktif mendesak pemerintah dan perusahaan untuk segera

menindaklanjuti kesepakatan, karena jika hanya menunggu dan pasif, maka

biasanya akan dilupakan oleh pemerintah dan pihak perkebunan.

Page 81: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 81

Aktivitas-aktivitas tersebutlah yang selama bertahun-tahun dijalankan

pengurus atau pemimpin kelompok, sehingga mengharuskan adanya peningkatan

pengetahuan dan pemahaman tentang aturan dan perundangan pertanahan. Apa

yang dialami oleh pengurus dan pemimpin kelompok rakyat berbeda jauh dengan

para anggota yang sangat pasif dan hanya menunggu pemimpin untuk

mensosialisasikan informasi atau perkembangan terbaru dari sengketa. Akibat

minimnya aktivitas yang dilakukan oleh para anggota, maka keinginan

meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang hukum agraria menjadi

sangat rendah. Intinya, para anggota hanya menunggu perkembangan terbaru dan

sesekali memberi iuran atau keperluan logistik (terutama dana) untuk tugas-tugas

pemimpin.

Minimnya pengetahuan dan pemahaman anggota tentang peraturan dan

perundnag-undangan pertanahan juga disebabkan oleh minimnya diskusi yang

dilakukan di tingkat kelompok. Sejak kelompok terbentuk, diskusi di tingkat

kelompok sangat minim dilakukan, jikapun dilakukan hanya ketika menyangkut

hal-hal yang mendesak, sedangkan diskusi dalam upaya peningkatan pengetahuan

tidak pernah dilakukan. Menurut beberapa ketua kelompok tani, ketiadaan diskusi

tersebut bukan semata disebabkan tidak adanya inisiatif dari pengurus atau

pemimpin, namun lebih dikarenakan banyaknya anggota yang menganggap hal

itu tidak penting. Pengurus kelompok di mata anggota adalah orang-orang pintar

yang berbeda dengan anggota yang rata-rata memang sama sekali tidak

mengetahui tentang peraturan dan perundang-undangan pertanahan.

Rendahnya pengetahuan dan pemahaman rakyat tersebut ternyata

membawa dampak pada stagnasi organisasi. Seperti yang terjadi di FPTR sebagai

organisasi petani yang besar di Asahan. Dari 32 lebih kelompok tani yang

tergabung dalam FPTR, hanya 19 kelompok yang kasusnya dimasukkan ke tim

penyelesaian sengketa pertanahan yang dibentuk oleh Bupati Asahan. Dari 19

berkas yang dimasukkan tersebut, ternyata hanya 6 kasus yang kemudian menjadi

konsentrasi penyelesaian, karena berhadapan dengan satu perusahaan

perkebunan, yakni PT Socfindo. Ternyata dari 6 kasus tersebut, saat ini hanya 1

kasus, yakni Kelompok Maju Lestari di Desa Aek Korsik Kecamatan Aek Kuasan

yang direkomendasikan dibicarakan sampai ke Kanwil BPN Propinsi Sumatera

Utara.

Page 82: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 82

Seluruh anggota FPTR rata-rata sudah mengetahui bahwa aksi yang

dilakukan ribuan massa pada tahun 2005 telah berbuah dibentuknya tim oleh

Bupati Asahan. Namun yang tidak diketahui oleh anggota adalah tentang kondisi

terakhir, tentang tidak adanya kelanjutan pembicaraan 18 kasus lain yang pernah

dimasukkan ke dalam tim bentukan bupati tersebut. Di tingkat pengurus FPTR

sendiri sebenarnya hal itu sudah menjadi masalah, sebab masing-masing pengurus

berasal dari kelompok-kelompok yang berbeda, di kecamatan yang berbeda

dengan karakter sengketa yang berbeda. Memfokuskan pada satu konflik untuk

bisa diselesaikan pada satu sisi merupakan strategi membangun keyakinan akan

perjuangan. Namun di sisi lain, telah muncul kecemburuan dan ketidakseriusan

pengurus lain yang merasa kelompok atau sengketa yang mereka hadapi telah

ditinggalkan oleh organisasi.

Situasi yang agak berbeda ada Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU).

Aktivitas diskusi secara formal maupun informal kelompok Maju Bersatu dan

Kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan membuat para anggota cukup

memahami posisi situasi sengketa dan aturan-aturan dasar yang terkait dengan

permasalahan yang mereka hadapi. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat

pertemuan antara organiser atau pengurus SPSU ke kelompok-kelompok sehingga

melalui proses sosialisasi, diskusi pemecahan masalah dan dalam penyusunan

strategi, para anggota memiliki pemahaman terhadap tentang aturan dan

perundangan pertanahan.

4.2.4.2.4.2.4.2.9999. . . . Konflik Internal Organisasi dan Pelemahan Organisasi PerlawananKonflik Internal Organisasi dan Pelemahan Organisasi PerlawananKonflik Internal Organisasi dan Pelemahan Organisasi PerlawananKonflik Internal Organisasi dan Pelemahan Organisasi Perlawanan

Semakin lemahnya seluruh kelompok-kelompok dan organisasi rakyat juga

dipengaruhi adanya konflik internal diantara anggota dalam kelompok, antara

pemimpin kelompok, pemimpin kelompok petani dengan pemimpin organisasi

secara keseluruhan, maupun antar organisasi di level struktur yang lebih tinggi.

Akar konflik tersebut sangat bervariasi, namun yang paling mendominasi adalah

hal-hal sepele, sedangkan hal lainnya adalah terkait dengan perbedaan strategi

dan komunikasi.

Ungkapan bahwasannya lemah atau kehancuran kelompok-kelompok rakyat

disebabkan oleh persoalan-persoalan kecil sangat mungkin terjadi bagi kelompok-

kelompok dan organisasi perjuangan di Asahan, khususnya Front Pembebasan

Tanah Rakyat (FPTR) dan Yayasan Buruh Tani dan Nelayan (YBTN). Hal-hal

Page 83: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 83

kecil yang memunculkan konflik tersebut ternyata sangat mengganggu organisasi

sehingga menyebabkan stagnasi aktivitas keorganisasian. Ada beberapa masalah

yang dianggap oleh anggota maupun pemimpin kelompok memunculkan konflik,

yakni:

1. Tidak adanya transparansi keuangan kelompok

2. Anggota atau pemimpin kelompok yang memiliki kedekatan pribadi

dengan pihak perusahaan perkebunan

3. Pengurus atau pemimpin sakit hati karena dicurigai oleh anggota

4. Terlalu tingginya harapan anggota terhadap pengurus atau pemimpin

organisasi

5. Adanya isu tentang pertemuan-pertemuan tersembunyi atau secara khusus

antara anggota/pengurus dengan pemerintah

6. Minimnya perhatian atau keperdulian anggota terhadap pemimpin

kelompok

7. Tidak berjalannya sosialisasi perkembangan perjuangan

8. Hubungan yang terlalu dekat antara pemimpin kelompok dengan beberapa

anggota

9. Ketidakjelasan laporan pengutipan iuran

10. Anggapan tentang lambatnya kerja-kerja pengurus/pemimpin kelompok

11. Sebahagian orang di dalam kelompok yang terlalu banyak berkorban,

sedangkan yang lain merasa tidak mau tau dengan upaya-upaya organisasi

12. Sebuah kelompok petani yang merasa ditinggalkan

13. Perbedaan status sosial ekonomi

14. dll

Beberapa faktor penyebab tersebut muncul dan berkembang secara perlahan,

kemudian terakumulasi sehingga menimbulkan kekecewaan dan

ketidakpercayaan antara pengurus dengan anggota, anggota dengan pemimpin

kelompok, Salah satu faktor yang cukup besar adalah munculnya isu adanya

pertemuan rahasia atau tersembunyi antara segelintir atau satu orang

pengurus/anggota kelompok dengan pemerintah. Menurut seorang pemimpin

yang dicurigai melakukan hal tersebut, ia diundang secara khusus karena dianggap

memiliki pengetahuan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Namun menurut

anggota atau pemimpin kelompok lain, tindakan ini dianggap melewati

kewenangan dan tidak berdiskusi terlebih dahulu dengan pemimpin organisasi.

Page 84: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 84

Menurut anggota atau pemimpin kelompok yang mengetahui hal ini, telah

ada terjadi perjanjian-perjanjian khusus antara anggota atau pemimpin yang

melakukan pertemuan dengan pihak pemerintah dan akan meninggalkan

perjuangan kelompok. Demikian juga dengan adanya seorang pemimpin yang

merasa dicurigai oleh anggota. Situasi seperti ini banyak menimbulkan sakit hati

pada pengurus dan tidak mau lagi melakukan kerja-kerja organisasi. Dampaknya,

pemimpin tidak lagi aktif melakukan perjuangan karena dia merasa, apapun yang

dilakukan pemimpin tetap akan dicurigai oleh anggota.

Di luar persoalan-persoalan di atas, konflik juga disebabkan oleh perbedaan

strategi perjuangan, khususnya terjadi antar organisasi di tingkat Kabupaten.

Menurut salah seorang pemimpin organisasi, yang dilakukan oleh sebuah

kelompok rakyat sudah tidak sesuai dengan langkah-langkah yang seharusnya

dijalankan. Menurutnya, sebuah organisasi harus melihat terlebih dahulu kasus

mana yang harus diperjuangkan, mana yang harus ditinggalkan. Sengketa yang

pantas untuk diperjuangkan adalah yang memiliki alas hak yang kuat sehingga

perjuangan tidak menjadi sia-sia. Demikian juga dengan perbedaan antara

perjuangan melalui negosiasi, lobby dan surat menyurat. Menurut seorang

pengurus, langkah paling tepat yang dilakukan adalah terlebih dahulu mengirim

surat kepada pihak-pihak berwenang, antara lain kepada pemerintah daerah,

propinsi, BPN Kabupaten dan Provinsi, kepada Presiden, perusahaan dan

sebagainya. Langkah tersebut kemudian dilanjutkan dengan dialog pengurus

organisasi untuk membicarakan penyelesaian sambil melakukan publikasi melalui

media.

Langkah-langkah seperti itu dianggap tidak efektif oleh kelompok atau

organisasi lain, karena berdasarkan pengalamannya, dialog, pertemuan, negosiasi

dengan pemerintah dan perkebunan adalah sia-sia, sehingga yang paling

diperlukan adalah membangun kekuatan massa menunjukkan kekuatan agar

pemerintah dan perkebunan memperhitungkan kekuatan rakyat. Namun

sayangnya, pandangan yang kedua ini tidak selalu mendapat respon dari para

anggota, sehingga pilihan kekuatan massa yang kemudian tidak terlaksana

dianggap sebagai isapan jempol saja oleh organisasi lain.

Seluruh persoalan-persoalan konflik internal tersebut sebenarnya sangat

biasa dalam organisasi rakyat. Namun yang membuat masalah semakin rumit

adalah ketiadaan komunikasi diantara anggota, pengurus dengan anggota, antar

Page 85: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 85

pengurus dalam sebuah organisasi, maupun antara pengurus organisasi dengan

pemipin organisasi rakyat lainnya. Sampai saat ini, hampir tidak ada pertemuan di

tingkat basis kelompok maupun antar organisasi rakyat. Memang ada organisasi

rakyat yang mencoba membangun kekuatan bersama dengan membentuk aliansi

perjuangan tanah rakyat. Namun pemikiran tersebut belum mendapat respon

karena masih tingginya ego organisasi. Ego tersebut ditenggarai oleh kecurigaan

bahwasannya di tiap-tiap organisasi memiliki kepentingan dan dilatarbelakangi

oleh tujuan yang berbeda. Komunikasi tersebutlah yang sampai saat ini mandeg,

sehingga persoalan-persoalan yang memicu konflik internal kelompok maupun

internal organ perlawanan petani semakin subur dan merusak organisasi.

Page 86: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 86

IV. Kesimpulan dan Masa Depan Reforma AgrariaIV. Kesimpulan dan Masa Depan Reforma AgrariaIV. Kesimpulan dan Masa Depan Reforma AgrariaIV. Kesimpulan dan Masa Depan Reforma Agraria

Sistem penguasaan dan pengelolaan tanah di Sumatera Utara, terutama di

Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu, baik dari sisi kebijakan maupun sengketa-

sengketa yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang politik

pertanahan sejak pra kemerdekaan hingga saat ini. Ini artinya, kompleksitas

sengketa dan berbagai kendala-kendala perubahan yang terjadi berakar dari

pergolakan dan dinamika politik yang berlangsung pada saat itu hingga sekarang,

ditambah dengan peran modal yang semakin kuat mencengkeram sistem

penguasaan tanah di Indonesia.

Pasca kemerdekaan tahun 1945, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk

melakukan perubahan sistem penguasaan tanah kolonial yang menjadi sumber

penghisapan rakyat oleh modal milik Belanda dan Swasta asing. Di samping itu,

peran kepemimpinan nasional pada saat itu memang cukup kuat yang didorong

oleh kekuatan-kekuatan politik terideologi, baik di tingkat nasional maupun di di

kalangan rakyat yang sudah tidak sabar dengan penindasan yang berlangsung.

Namun sayangnya rencana berdaulatnya tanah untuk rakyat tidak terlaksana

akibat tidak konsistennya kepemimpinan nasional, masuknya kekuatan militer,

dan yang paling penting adalah penghancuran secara sistematis kekuatan rakyat

dan perampasan hak-hak politik pasca 1965.

Sejak itu, sistem politik Indonesia diprioritaskan pada pertumbuhan

ekonomi, dimana seluruh sarana-sarana investasi dibuka se lebar-lebarnya, antara

lain dengan keluarnya undang-undang penanaman modal asing, kehutanan dan

pertambangan pada tahun 1967. Pasca keluarnya kebijakan tersebut, sistem

penguasaan dan pengelolaan tanah pun mundur ke masa kolonial, walaupun

dalam versi yang berbeda, dimana tanah dijadikan komoditas ekonomi. Dengan

paradigma pembangunan seperti itu, rakyat pun perlahan-lahan mulai terpinggir.

Periode awal peminggiran rakyat dari tanah sebagai penopang hidup adalah

pada kira-kira tahun 1957 ke atas. Pada saat itu, selain melakukan nasionalisasi

perusahaan-perusahaan milik Belanda, pemerintah rejim Soekarno juga mulai

menerima perusahaan-perusahaan asing selain Belanda yang mencoba menguasai

kembali perkebunan yang telah mereka tinggalkan sejak pemerintah fasis Jepang

menguasai Indonesia. Pada periode ini, rakyat yang sebelumnya telah mendapat

ijin menggarap tanah perkebunan, membuka hutan untuk pertanian mulai terusik.

Page 87: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 87

Walaupun pemerintah memberi perlindungan melalui Undang-Undang Darurat

No. 8 Tahun 1954 yang menyatakan pemerintah (melalui gubernur) diberi tugas

menyelesaikan penyelesaian masalah tanah dengan perusahaan tanpa merugikan

masyarakat.

Sayangnya, upaya perlindungan terhadap rakyat yang telah menggarap tanah

tersebut pun tidak berlangsung lama. Munculnya gejolak politik tahun 1965

menjadi titik balik kehancuran kekuatan rakyat, karena pemerintah dan

perusahaan perkebunan kemudian ingkar janji dan tidak melanjutkan penggantian

tanah atau pemindahan rakyat ke kawasan baru sesuai perjanjian dengan pihak

perkebunan. Rakyat yang menolak kemudian diintimidasi dan distigmatisasi

sebagai anggota organisasi terlarang. Ketakutan pun muncul, dan rakyat tidak

berani menuntut hak-hak yang telah direbut oleh perkebunan.

Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga melakukan hal yang

sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yang tidak

menghormati hak-hak ulayat, yakni dengan mengesampingkan kepemilikan tanah

secara adat. Pemerintah dengan sengaja menggunakan hukum positif dalam

penyelesaian sengketa tanah sehingga kepemilikan komunal yang didasarkan pada

hukum adat selalu dikalahkan dalam sengketa-sengketa tanah.

Keluarnya undang-undang dan segala aturan yang mendukung pertumbuhan

ekonomi melalui pengutamaan investasi pun menjadi momentum kedua akar

konflik. Rakyat yang telah mengelola tanah sejak lama pun kemudian digusur atas

nama hak guna usaha. Perkebunan dan pemerintah sengaja memanfaatkan

ketiadaan alas-alas hak formal atas tanah guna dijadikan perkebunan-perkebunan

swasta dan negara dalam skala luas.

Pada tahun 1970-an sampai1980-an pun situasi semakin sulit bagi

masyarakat. Investasi perkebunan yang membutuhkan tanah dalam luasan besar

pun menghalalkan segala cara, terutama mengkonversi tanah pertanian rakyat

untuk perkebunan karet dan kelapa sawit. Rakyat pun harus keluar dari tanah

yang telah puluhan tahun ditempati, digantikan oleh hamparan perkebunan.

Selama puluhan tahun pun rakyat kemudian diam diakibatkan politik

mengambang dan kuatnya hegemoni kekuasaan.

Page 88: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 88

Barulah pasca 1998 rakyat bergolak kembali, salah satunya adalah

perjuangan-perjuangan rakyat. Namun kali ini bukan hanya rakyat yang tanahnya

pernah dirampas oleh perusahaan yang melakukan perlawanan, masyarakat tak

bertanah, petani miskin yang tinggal di sekitar perkebunan dan hutan pun

menuntut hak-hak atas tanah dengan dasar keadilan sosial, hak-hak sipil dan

kemiskinan, sehingga wajar saja jumlah sengketa tanah pada tahun 2006, kasus

pertanahan di Indonesia sudah mencapai angka 2800 kasus.

Sayangnya, tingginya jumlah sengketa tanah tersebut tidak dibarengi dengan

keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan sengketa-sengketa tersebut. Di

Kabupaten Asahan saja saat ini sudah terjadi 122 kasus tanah yang belum

terselesaikan, belum lagi potensi konflik yang akan muncul akibat revitalisasi

perkebunan yang akan terjadi di masa yang akan datang akibat lambatnya

penanganan konflik tersebut, terjadi gejolak-gejolak di masyarakat dan akhirnya

berwujud pada hancurnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang

dianggap terlalu berpihak kepada perusahaan perkebunan.

Memang diakui selama ini masih sangat minim aturan-aturan yang bisa

digunakan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan. Cara paling umum yang

dilakukan ada dua, yakni musyawarah dan melalui pengadilan umum. Cara

pertama adalah yang paling sering dilakukan, sedangkan cara kedua adalah yang

paling disenangi perusahaan dan pemerintah. Walaupun dianggap cara paling

awam sekaligus tidak memberatkan pihak-pihak yang bersengketa, namun

pendekatan musyawarah pendekatan ini cenderung menjebak rakyat dalam alur

yang tidak berbelit dan berakhir dengan ketidakpastian. Sedangkan penyelesaian

melalui hukum sangat menguntungkan perusahaan perkebunan karena bisa

mempengaruhi proses hukum yang dijalankan dan punya ketahanan untuk

menjalani proses hukum dalam jangka waktu panjang.

Perjuangan rakyat semakin sulit ketika ternyata kendala bukan hanya datang

dari ketiadaan perlindungan hukum, rumitnya birokrasi, ketidakjelasan

mekanisme musyawarah yang ditawarkan pemerintah dan mahalnya penyelesaian

sengketa melalui pengadilan. Kendala juga muncul dari internal organisasi-

organisasi perlawanan, antara lain tentang ketimpangan pemahaman antara

pemimpin dan anggota, tidak berjalannya kerja-kerja konsolodasi kelompok,

macetnya komunikasi internal maupun antar kelompok perlawanan rakyat. Selain

itu rakyat masih mudah terpengaruh dengan tawaran-tawaran perusahaan yang

Page 89: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 89

cenderung memecah kelompok dengan membangun prasangka, kecemburuan,

curiga dan egoisme antar kelompok.

Masa Depan Reforma AgrariaMasa Depan Reforma AgrariaMasa Depan Reforma AgrariaMasa Depan Reforma Agraria

Keluarnya pernyataan-pernyataan presiden tentang akan dilakukannya

reforma agraria sangat menyegarkan untuk didengarkan dalam kondisi dimana

masyarakat semakin terpinggir. Ketika modal semakin menguat mencengkram

segala sisi negeri ini, pemerintah seakan menemukan kembali semangat reforma

agraria yang pernah digulirkan pemerintah rejim Soekarno. Namun jika dilihat

dari realitas di lapangan, tampaknya kecenderungan ke arah itu masih sangat jauh.

Di beberapa pemerintah kabupaten saat ini sudah mulai dibicarakan tentang

program landreform, bahkan di Asahan sudah dalam bentuk proyek percontohan,

walaupun objek tanah landreform bukan tanah negara, namun jelas-jelas tanah

milik rakyat yang dirampas perkebunan. Tentu saja rakyat senang dengan

program tersebut, karena lelahnya berjuang sudah menampakkan hasil. Sayangnya

kemenangan tersebut dinodai dengan ketidakjelasan pembiayaan sertifikasi dan

permintaan 15% oleh pemerintah dari tanah yang dimenangkan untuk

membangun fasilitas umum.

Rapat-rapat yang dilakukan pemerintah juga sangat tertutup. Beberapa kali

pertemuan pemerintah daerah tidak pernah mengikutsertakan masyarakat,

padahal suara rakyat adalah yang paling penting dalam proses perencanaan

landreform. Selain itu, landreform yang dicontohkan pemerintah ternyata tidak

diikuti dengan penguatan kapasitas rakyat. Di beberapa tempat, seperti di Asahan

dan Deli Serdang, landreform dibiarkan terlepas tanpa dilanjutkan dengan

reforma agraria, sehingga tanah yang dimenangkan rakyat kemudian dijual kepada

pihak lain yang bukan petani. Malah pemerintah, dalam hal ini Pemda Kabupaten

dan BPN membuka lebar-lebar pihak Bank dan perusahaan-perusahaan besar

untuk menjadi penjamin dan bapak angkat usaha masyarakat. Satu sisi ini langkah

baik, namun jika dilihat pengalaman sebelumnya, baik itu program bapak angkat,

Program Inti Rakyat (PIR), dan kredit lunak terhadap petani tidak berhasil

mengangkat ekonomi masyarakat, malah membuat rakyat semakin terjebak dalam

hutang sehingga terpaksa menjual tanahnya.

Page 90: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 90

Belum lagi dilihat dari kriteria-kriteria yang akan disusun untuk pelaksanaan

landreform. Sampai saat ini belum jelas untuk siapa tanah yang akan

didistribusikan, dan status tanah seperti apa yang akan dibagikan ke masyarakat.

Belum jelas bagaimana status kurang lebih 50.000 Ha tanah sengketa, lebih dari

25.000 kepala keluarga dan tidak kurang dari 125.000 orang yang saat ini sedang

berjuang mendapatkan hak-hak hidup di Kabupaten Asahan. Demikian juga di

Kabupaten Labuhan Batu, Deli Serdang, Langkat, Simalungun, dan Serdang

Bedagai yang selama ini menjadi sentra perkembangan perkebunan. Kondisinya

tidak jauh berbeda dengan di Kabupaten Asahan.

Page 91: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 91

DAFTAR PUSTAKADAFTAR PUSTAKADAFTAR PUSTAKADAFTAR PUSTAKA

Anonimous, Deforestasi dan Degradasi Hutan, 2005

Arnoldo Contreras-Hermosilla, Forest Trends dan Chip Fay, ICRAF:

‘Memperkokoh pengelolaan hutan di Indonesia melalui pembaruan

penguasaan tanah: Masalah dan kerangka kerja’, yang diluncurkan dan

dibedah oleh Working Group Tenure dan ICRAF di Gedung Manggala

Wanabhakti, Jakarta, 19 Desember 2005.

Basarsyah, Tuanku, Luckman, Sinar, Reinterpretasi dan Reposisi Terhadap Adat

dan Tradisi? Kasus Melayu Islam Beraja di Serdang, Medan, 2003.

Bachriadi, Dianto, Conversion or Occupation?, The Possibility of Returning Local

Communities, Control Over Forest Lands in Indonesia, Jakarta, 2005.

FPTR, Expos Sengketa Tanah Rakyat yang dirampas oleh PT Socfindo Aek Loba,

Bandar Pulau, 2005.

Goenadi, Didiek, H., Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit di

Indonesia, Tim Tanaman Perkebunan Besar, Jakarta, 2005.

Hutagalung. Arie, S., Endang Pandamdari, Irene Eka Sihombing, Workshop

Proceeding, Summary Of Workshop Discussion On Customary Land And

Land Disputes, Jakarta, 2002.

Wiradi, Gunawan, Latar Belakang Lahirnya UUPA 1960 dan Eksistensinya selama

46 Tahun: Antara Gagasan dan Tindakan, Rumahkiri, Jakarta, 2003.

Wiradi, Gunawan, Masalah Perkebunan dalam Konteks Reforma Agraria: Mencari

Pegangan di Tengah Ketidakpastian, Rumahkiri, 2003.

Kalo, Syafruddin, Perbedaan Persepesi Mengenai Penguasaan Tana dan Akibatnya

Terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Timur, Program Studi Hukum

Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 2003.

Kartodihardjo, Hariadi, Agus Supriono, Dampak Pembangunan Sektoral Terhadap

Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan

Perkebunan di Indonesia, Center International Forestry Research, Jakarta,

2000.

Managara, R., Sektor Pertanian Menanggung Beban Berat dalam Menciptakan

Kesempatan Kerja, Jakarta, 2004.

Page 92: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 92

Nasikun, Industrialisasi Kelapa Sawit Dalam Perspektif Sosial Budaya, Suatu

Kerangka Konseptual, Majalah EkonomiTahun XIVNo.2 Agustus 2004.

Parlindungan, Chalisah, Tanah Terlantar Menurut Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 36 Tahun 1998 an Permasalahan yang Terdapat di

Lapangan, Fakultas Hukum bagian Hukum Administrasi negara,

Universitas Sumatera, 2002.

Radjagukguk, Erman, Perlunya Reformasi UUPA, dalam

http://www.transparansi.or.id.

Rizal, Syamsul, Kebijaksanaan Agraria Sebelum dan Sesudah Keluarnya UUPA,

Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara,

Medan, 2003.

Sadikin, Tantangan Reforma Agraria: Sebuah Tinjauan Awal, Rumah Kiri

Indonesia, 2004.

Susila, Wayan, R., Liberalisasi perdagangan Pada Sub Sektor Perkebunan: Dampak

Upaya mengantisipasinya, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2004

Syahyuti, Kebijakan Lahan Abadi Untuk Pertanian Sulit Diwujudkan, Pusat

Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dalam Analisis

Kebijakan Pertanian, Vol, 4 No.2 Juni 2006, Bogor, 2006.

Syahyuti, Kendala Pelaksanaan Landreform di Indonesia: Analisis Terhadap

Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan

Reforma Agraria, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Pertanian, Dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 22 No. 2

Desember 2004, Bogor, 2004.

Media Massa dan WebsiteMedia Massa dan WebsiteMedia Massa dan WebsiteMedia Massa dan Website

www.kontan-online No. 18 Tahun xi, 5 Februari 2007

Kompas, Kamis, 28 September 2006

Harian Global, Jumat 27 April 2007

Kompas, 16 Juni 2006

TEMPO Interaktif, 18 Desember 2006.

Bisnis Indonesia : 24 Januari 2007

Page 93: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 93

Waspada, 13 April 2007

Medan Bisnis, 27 April 2007

Bisnis Indonesia, Januari 2007

www.Pemkab-Asahan.go.id

Peraturan dan PerundangPeraturan dan PerundangPeraturan dan PerundangPeraturan dan Perundang----undanganundanganundanganundangan

Undang-Undang No 28 Tahun 1956, Tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan

Hak Tanah-Tanah Perkebunan.

Peraturan Pemerintah No. P 38/1963, Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum

yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.

Peraturan Pemerintah No. 21/1964, Tentang Pembentukan Gabungan Perusahaan

Sejenis Perkebunan besar.

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.146/Kpts-II/2000 Tentang

Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan Untuk

Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan.

Keputusan Presiden Republik Indonesia, No, 34 Tahun 2003 Tentang kebijakan

Nasional di Bidang Pertanahan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah

Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan

Undang-Undang Republik ahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria

Undang0Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 Tentang Penyelesaian Soal

Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat

Perpu No. 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang

Berhak atau Kuasanya

Page 94: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 94

Lampiran

DATA KONFLIK PERTANAHAN DI KAB ASAHAN DAN LABUHAN BATU

1. Kelompok Tani Tanah Perjuangan Desa Simpang Gambus dengan PT Socfindo

Kebun Tanah Gambus, Kecamatan Limapuluh 2 Kelompok Tani Karang Makmur dengan PT Socfindo Tanah Gambus, Desa

Tanah Gambus, Kecamatan Limapuluh 3 Kelompok tani Satu Kata Perjuangan dengan PT Socfindo Kebun Tanah

Gambus, Desa Tanah Gambus, Kecamatan Limapuluh 4 Kelompok Tani Penampungan Sengon Sari dengan PT Socfindo Aek Loba,

Desa Sengon Sari Kecamatan Aek Kuasan 5 Kelompok Tani Kelapa Gading dengan PT Socfindo Kebun Aek Loba, Desa

Aek Bange, Kecamatan Aek Kuasan 6 Kelompok tani Maju Lestari dengan PT Socfindo, Desa Aek Korsik, Kecamatan

Aek Kuasan 7 Kelompok tani Wakidi cs dengan PT Socfindo Aek Loba, Desa Sengon Sari,

Kec. Aek Kuasan 8 Kelompok Tani bambu Runcing dengan PP Lonsum Gunung Melayu

Kecamatan Bandar Pulo 9 Kelompok Tani Batu Anam Dusun Margodadi Desa Batu Anam Kecamatan

Bandar Pulo dengan PT Asian Agri Gunung Melayu dan PT Balai Asahan 10 Kelompok Tani Warga Juang dengan PT Padasa Enam Utama Kebun Teluk

Dalam, Kecamatan Simpang Empat 11 Kelompok Tani Perjuangan dengan PT Padasa Enam Utamam Desa Teluk

Dalam, Kecamatan Simpang empat 12 Kelompok Tani Inti Juang dengan PT Padasa Enam Utama Kebun Teluk

Dalam, kecamatan Simpang Empat 13 Kelompok Tani Pro Reformasi dengan PT Padasa Enam Utama Kebun Teluk

Dalam, Dusun Tangkahan Padang, Desa Teluk Dalam Kecamatan Simpang Empat

14 Kelompok Tani Sepakat dengan PT Padasa Enam Utama, Kebun Teluk Dalam dusun Pulau Besar Desa Teluk Dalam Kecamatan Simpang Empat

15 Kelompok Tani Wasura dengan PTPN III Kebun Pulo Raja Desa Persatuan Kecamatan Pulau Rakyat

16 Kelompok Tani Pomparan Raja Putcuri Bintang dengan PTPN III Kecamatan Bandar Pulo (tanah penampungan 83 KK

17 Kelompok Tani Lansia dengan PTPN III Kebun Sei Dadap, Desa Sei Dadap Kecamatan Air Batu

18 Kelompok Tani Masyarakat titi Gambang (YBTN) dengan PTPN III Sei Silau, Desa Sei Silau Kecamatan Buntu Pane

Page 95: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 95

19 Kelompok Tani YBTN Buntu Pane dengan PTPN III Sei Silau, Desa Sei Silau Barat, Sei Silau Timur, Sei Silau Maraja, Sei Silau Tua dan Desa Prapat Janji Kecamatan Buntu Pane

20 Kelompok Tani Liang Natolpus dengan PTPN IV Desa Suka Makmur Kecamatan B.P Mandoge

21 Kelompok Tani M Idris dengan PT Sari Persada Raya Desa Huta Padang, Kecamatan B.P Mandoge

22 Kelompok Tani Maju Bersatu dengan PT Bakrie Sumatera Plantation, Desa Sei Kopas, Kecamatan B.P Mandoge

23 Kelompok Tani TPKM, basri Lubis dengan PT BSP, Desa Huta Padang 24 Kelompok Tani Ina Tani Saur Matua Pardembanan dengan PT Jaya Baru

Pratama di Desa Sei Kopas, Kecamatan B.P Mandoge 25 Kelompok Tani Reformasi dengan PT Karetia dan PT Sijabut desa Sijabut

Kecamatan Air Batu 26 Kelompok Tani Tempayang (Gundaling) dengan PT Perkebunan Sumatera

Utara Tanjung Kasau, Desa Tanjung Kasau, Kecamatan Sei Suka 27 Kelompok Tani Tanjung Bunga dengan PT Kwala Gunung seluas 180 Ha, Desa

Kwala Gunung Kecamatan Limapuluh 28 Kelompok Tani Betahamu desa Gajah dengan Koperasi PUSKOPAD Kodam I

BB, Desa Gajah, Kecamatan Sei Balei 29 Kelompok Tani Suka Makmur dengan PT Tinggi Raja Desa Tinggi Raja

Kecamatan Air Batu 30 Kelompok Tani Sadar Sempurna Desa Pembangunan Kecamatan Sei Kepayang 31 Kelompok Tani Anggota KUD Tridharma dengan Pengusaha AAN Manurung

dan H Zul di Desa Bangun Kecamatan Pulau Rakyat 32 Kelompok Tani Desa Lubuk Besar dengan Ramdas Naidu dan SM Situmorang

atas tanah bekas lapangan terbang 33 Kelompok Tani Dos Ni Roha dengan Aki als dan Riadi, Warga Tebing Tinggi,

Dusun Hutarau/Sigombar Gombur Desa Gonting Malaha Kecamatan bandar Pulau

34 Kelompok Tani 7 Marga dengan PT RGM Gunung Melayu di Kecamatan Buntu Pane

35 Kelompok Tani Ujung Masihi dengan PT RGM Gunung Melayu desa Sidomulyo Kecamatan Buntu Pane

36 Kelompok Tani Miskin Sepi Lawas dengan PT RGM Gunung Melayu desa Batu Anam Kecamatan bandar Pulau

37 Kelompok Tani Tunas Buana Karya Bangsa dengan PT RGM Gunung Melayu Desa Batu Anam Kecamatan Bandar Pulau

38 Kelompok Tani Harapan Jaya dengan PT Asian Agri RGM Gunung Melayu Kecamatan Bandar Pulau

39 Kelompok Tani Reformasi Damai dengan PT Asian Agri/RGM Gunung Melayu, Desa Sidomulyo Kecamatan Buntu Pane

Page 96: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 96

40 Kelompok Tani Tangkisan Meriam dengan PT Asian Agri/RGM Gunung Melayu Desa Batu Anam Kecamatan bandar Pulau

41 Kelompok Tani Masyarakat Pinggol Toba/Gonting Malaha dengan PT Asian Agri/RGM Gunung Melayu desa Gonting Malaha Kecamatan Bandar Pulo

42 Kelompok Perjuangan Petani Wonorejo dengan PT Asian Agri/RGM Gunung Melayu Desa Batu Anam Kecamatan Bandar Pulau

43 Kelompok Tani Wonorejo Batu Anam dengan PT Asian Agri/RGM desa Batu Anam, Kecamatan Bandar Pualu

44 Kelompok masyarkat Petani penggarap dengan Pihak PTPN IV Kebun Sei Kopas Kecamatan B.P Mandoge

45 Kelompok Tani Dr Sama Douglas dengan PT Sari Persada Raya, Kecamatan B.P Mandoge

46 Kelompok Tani Mardi Rahayu dengan PP Lonsum Kebun Dolok, Desa Sumber Padi Kecamatan Limapuluh

47 Front Perduli desa dan Masyarakat penggarap di Desa Tanjung Kasori dengan PT Perkebunan Sumatera Utara

48 Kelompok tani Sapilpil Bolon, Kecamatan BP. Mandoge 49 Masyarakat Desa Sinuhil dengan PT SPR 50 Masyarat Desa Tanjung Tonga-Tonga dengan PT SPR 51 Masyarakat Tani Surungan Batu dengan PT SPR di BP. Mandoge 52 Masyarakat Silo Hataran dengan PT SPR di BP. Mandoge 53 Masyarakat Tiga Lungon dengan PT SPR di BP. Mandoge 54 Masyarakat marhasing dengan PT SPR di BP. Mandoge 55 Masyarakat Desa Aeknatolu di BP. Mandoge 56 Kelompok Tani KOPASUS 57 Kelompok Tani Kembang Serang 58 Kelompok Tani Dos Ni Roha dengan PT Padasa Enam Utama 59 Kelompok Tani Batu Anam di Desa Rahuning 60 Kelompok Tani Paduan Karya Desa Bagan Baru, Kec. Tanjung Tiram 61 Kelompok Tani DOLMAR Desa Lobu Rappa 62 Kelompok Tani Kasturi TOP Pulau Rakyat 63 Kelompok Tani Nila Jaya Desa Bagan Asahan 64 Kelompok Tani Mandiri Desa Padang Mahondang 65 Kelompok Tani Sidorukun Desa Airjoman 66 Kelompok Tani Pirlok Silo Jawa 67 Kelompok Tani Medang Agung Desa pagurawan 68 Kelompok Tani Manggrove Lestari Desa pematang Sei Baru 69 Kelompok tani Wana Lestari Desa Gonting Malaha 70 Kelompok Tani Jaga Wana Lestari Desa Gonting Malaha 71 Kelompok Tani Gombur Lestari, Desa Gonting Malaha 72 Kelompok Tani TOR Sisalaen Desa Buntu Maraja 73 Kelompok Tani Maraja Lestari Desa Buntu Maraja 74 Kelompok Tani Cinta Mardongan Desa Buntu Maraja

Page 97: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 97

75 Kelompok Tani Elas Marpedan Desa Buntu Maraja 76 Kelompok tani Logu Lestari Desa Buntu Maraja 77 Kelompok tani Dambuan Raki Desa Silojawa 78 Kelompok Tani Teratai Indah desa Terusan tengah 79 Kelompok tani Gunung Lestari Desa Buntu Maraja 80 Kelompok Tani Sugapa Lestari Desa Buntu Maraja 81 Kelompok Tani Gorat Lestari Desa Buntu Maraja 82 Kelompok tani Ketapang, Desa Padang Mahondang 83 Kelompok tani Perintis, Desa padang Mahondang 84 Kelompok Tani Suka Taruna Baru Desa Rawang Pasar IV 85 Kelompok Tani Makmur Desa Rawang V 86 Kelompok Tani Anggiat Maju Desa Pematang Pao 87 Kelompok Tani Mawar Desa Panca Arga Meranti 88 Kelompok Tani Gabema, Kecamatan Sei Balei 89 Kelompok tani KSM Maduma Desa Kwala Sikasim 90 Kelompok Tani Maduma, Air Putih Sei Balei 91 Kelompok Tani Suka Makmur Desa pulau Besar 92 Kelompok Tani Maju Desa Rawang pasar V 93 Kelompok Tani KSM Pulau Maria desa Pulau Maria 94 Kelompok Tani Anugerah Tani Desa Rawang Lama 95 Kelompok Tani Serasi Desa Pematang Rambe 96 Kelompok Tani Rukun Sari dengan PT EMHA di Desa Sipare-pare Kecamatan

Air Putih 97 Makmur Panjaitan dengan Usman Sitorus 98 Tanah Persawahan POLRI dengan Hendrik (Jitwang) 99 Masyarakat Kelompok Tani Dos Tahi dengan Dailami dan Amiruddin 100 masyarakat Kiri Mudik Sei Masehi Masundung Rahuning Dengan PT Asian

Agri/RGM Desa Batu Anam Kec. Bandar Pulau 101 Kelompok Tani Mandiri Desa Padang Mahondang dengan IPP Paroki Santo

Pius Keuskupan Agung Medan 102 Burhanuddin Sitorus dengan PTPN IV B.P Mandoge, Desa BP Mandoge 103 Ishak Siregar dengan PT Perkebunan Sumatera Utara di Desa Laut Tador Kec

Sei Suka 104 Amanto CS dengan PT BSP di Dusun III Gedangan, Kecamatan Meranti 105 M Syafii Sitorus dengan PTPN IV Airbatu 106 Arisman Cs dengan PT Sijabut, Desa Danau Sijabut 107 Karmin Cs dengan PTPN IV Airbatu, Piasa Ulu Kecamatan Buntu Pane 108 Kelompok Tani Reformasi desa Tanjung Kubah dengan Lucas Saragih di Desa

Tanjung Kubah Kecamatan Air Putih 109 Kelompok Tani Saroha dengan PTPN IV Sei Kopas Kecamatan B.P Mandoge 110 Ubah Pardede dengan Aki alias Raidi di Dusun Hutarau Gonting Malaha

Kecamatan Bandar Pulau

Page 98: Buku Riset an Di Asahan Dan Lab Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 98

111 Masyarakat Desa Bangun Baru, Sei Paham dan Pertahanan dengan pemerintah dan H Adlin Siddin

112 Koperasi Karyawan Pulo Raja dengan Aan Manurung dan PT Asian Agri di Desa Bangun dan Desa Persatuan Kecamatan Pulau Rakyat

113 Kelompok Anak Manjae dengan Suhaimi Siagian di Desa Simpang Gambus Kecamatan Limapuluh

114 Jaffar Siddik dengan PT Socfindo 115 Kelompok Tani Gotong Royong penggarap lahan tidur di Desa padang

mahondang Kecamatan Pulau Rakyat 116 Kelompok tani Dos Ni Roha dengan PT Padasa Enam Utama, Desa Teluk

Dalam Kecamatan Simpang empat 117 Kelompok Tani Sepakat Tani dengan PTPN IV Sei Kopas di Desa Sei Kopas

Kecamatan B.P Mandoge 118 Kelompok tani Lubuk Besar dengan SM Aritonang, Ramdas naidu dan Santa

Dewi di Desa Lubuk Besar Kecamatan Limapuluh 119 Kelompok Masyarakat petani dengan PT Paduan Karya Desa bagan Baru, di

Tanjung Tiram 120 Kelompok Tani Karya Makmur dengan PT Inti Palm Sumatera Desa

Pembangunan dan Desa Sei Paham, Kecamatan Sei Kapayang 121 Kasus perambahan Hutan Lindung Tormatutung 122 Kasus Perambahan hutan lindung Tormatutung 123 Warga Desa Sungai Samsu, Kampung Araruna dengan PUSKOPAD