143
i

Buku Fismat II Bab 1 -3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

FISIKA

Citation preview

  • i

  • 1

    DAFTAR ISI

    Sambutan Dekan FMIPA Untad ................................ Error! Bookmark not defined.

    HALAMAN PENGESAHAN BUKU AJAR ...................... Error! Bookmark not defined.

    DAFTAR ISI ....................................................................................................... 1

    BAB I TURUNAN PARSIAL ................................................................................. 3

    1.1 UMUM ............................................................................................................. 3

    1.2 PENGERTIAN TURUNAN PARSIAL ..................................................................... 3

    1.3 DIFERENSIAL TOTAL ....................................................................................... 7

    1.4 FUNGSI IMPLISIT ......................................................................................... 12

    1.5 PERSOALAN EKSTREM TAKTERKENDALA ......................................................... 15

    1.6 PERSOALAN EKSTREM TERKENDALA ............................................................... 17

    BAB II INTEGRAL LIPAT DAN TRANSFORMASI KOORDINAT ........................ 27

    2.1 UMUM ........................................................................................................ 27

    2.2 DEFINISI INTEGRAL LIPAT DUA................................................................... 27

    2.3 INTEGRAL BERUANG DUA ........................................................................... 29

    2.4 TRANSFORMASI VARIABEL INTEGRAL .......................................................... 38

    2.5 INTEGRAL LIPAT TIGA ................................................................................ 49

    2.6 BESARAN FISIKA SEBAGAI INREGRAL LIPAT ................................................ 55

    2.7 INTEGRASI DALAM KOORDINAT SILINDER DAN BOLA .................................. 57

    BAB 3 ANALISIS VEKTOR DAN PENGERTIAN MEDAN .................................... 67

    3.1 UMUM ........................................................................................................... 67

    3.2 FUNGSI VEKTOR SATU VARIABEL ................................................................... 67

  • 2

    3.3 DIFERENSIASI FUNGSI VEKTOR SATU VARIABEL ............................................ 68

    3.4. MEDAN SKALAR DAN VEKTOR ....................................................................... 72

    3.5. GRADIEN DAN TURUNAN ARAH ..................................................................... 73

    3.6. DIVERGENSI DAN CURL ............................................................................... 77

    3.7. INTEGRAL DAN VEKTOR BIASA ..................................................................... 82

    3.8. INTEGRAL LINTASAN .................................................................................... 84

    3.9. INTEGRAL PERMUKAAN................................................................................. 88

    3.10. TEOREMA GREEN DALAM BIDANG ............................................................... 97

    3.11. TEOREMA STOKES .................................................................................... 100

    3.12 TEOREMA DIVERGENSI ............................................................................. 103

    BAB 4 PERSAMAN DIFERENSIAL BIASA ....................................................... 108

    4.1 UMUM ...................................................................................................... 108

    4.2 PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN PEMECAHANNYA ....................................... 109

    4.3 ORDE SATU : VARIABEL TERPISAHKAN ...................................................... 111

    4.4 ORDE SATU : HOMOGEN ........................................................................... 113

    4.5 ORDE SATU : LINIER................................................................................. 115

    4.6 LINIER KOEFISIEN TETAP ......................................................................... 120

    4.7 ORDE DUA LINIER HOMOGEN DENGAN KOEFISIEN TETAP.......................... 122

    4.8 ORDE DUA LINEAR TAKHOMOGEN DENGAN KOEFISIEN TETAP ................... 126

    4.9 PENERAPAN PADA PERSOALAN FISIKA ....................................................... 135

  • 3

    BAB I TURUNAN PARSIAL

    1.1 UMUM

    Bahasan kita mengenai fungsi di depan hanyalah terbatas pada fungsi dari satu

    fariabel . suatu besaran fisika, yang secara kuantitatif kita kaitkan dengan suatu fungsi, suhu

    ruang misalnya, berbeda dari satu tempat ketempat lainnya, yang berarti suatu

    fungsi dari tiga variabel dan yang berkaitan dengan ketiga koordinat sebuah titik dalam

    ruang.

    Dalam bab ini kita akan membahas tentang defenisi fungsi lebih dari satu variable,

    deferensiasinya, dan persoalan ekstrem fungsi variable banyak, takterkendala dan yang

    terkendala.

    1.2 PENGERTIAN TURUNAN PARSIAL

    Untuk memperoleh pengertian awal mengenai turunan parsial, marilah kita tinjau selembar pelat

    logam datar panas D yang dalam keadaan mantap tersebar suhu tak seragam T. Andaikanlah

    bidang koordinat xy dipilih pada bidang pelat loga. Maka sebaran suhunya dinyatakan oleh

    fungsi dua variable :

    Untuk mengetahui rata-rata perubahan suhu pelat per satuan panjang dalam arah sumbu ,

    sejauh , untuk ordinat yang tetap, kita hitung nisbah:

    Begitupula, rata rata perubahan suhu per satuan panjangdalam arah sumbu sejauh ,

    untuk absis yang tetap, diberikan oleh nisbah:

  • 4

    Lazimnya kita cenderung menghitung perubahan suhu per satuan panjang di setiap titik .

    Dalam hal ini,kita mengambil 0, dan 0, pada masing-masing nilai nisbah di

    atas,kemudian menghitung limitnya.Jika limitnya ada, kita tulis:

    Berturutturut,

    , dan

    menyatakan perubahan suhu per satuan panjang di setiap panjang

    setiap titik dalam arah , dan

    (a)

    adalah turunan fungsi terhadap dengan memperlakukan sebagai suatu

    tetapan, yang disebut turunan parsial fungsi terhadap ; sedangkan

    (b)

    adalah turunan fungsi terhadap dengan memperlakukan sebagai suatu

    tetapan, yang disebut turunan parsial fungsi terhadap .

    Lambang lain yang digunakan bagi

    adalah ,begitupula bagi

    adalah

    Secara geometris,jika dan adalah koordinat koordinat Kartesis, maka

    menyatakan himpunan titik dalam ruang berdimensi tiga. Dalam hal bergantung pada koordinat

    dan melalui persamaan , maka himpunan titik

    menyatakan suatu permukaan dalam ruang berdimensi tiga, seperti diperlihatkan pada Gambar

    1.1. Persamaan permukaan .Himpunan titik pada permukaan S yang koordinat -nya tak

    berubah, tetap,jadi memenuhi persamaan ,terletak pada sebuah kurva

    dengan koordinat y berperan sebagai parameter kurva.Ini adalah kurva irisan bidang

    dengan permukaan , yakni kurva pada Gambar 1.1. Begitupula, persamaan

  • 5

    ,menyatakan sebuah kurva hasil irisan bidang dengan permukaan

    yakni garis CD pada gambaar 7.1. Jika tetap, maka persamaan

    disebut kontur atau tingkat kurva dari persamaan .

    Gambar 1.1

    Dengan tafsiran geometris ini turunan parsial

    , dan

    berturutturut menyatakan kemiringan

    permukaan sepanjang kurva dan ).

    Karena turunan Parsial (1.4) pada umumnya jugamerupakan fungsi dari dan , maka jika

    diturunkan lebih lanjut, kita menuliskannya sebagai berikut:

    (

    )

    (

    )

    (

    )

    Yang disebut turunan parsial kedua. (Perhatikan baikbaik urutan variable pada kedua penulisan

    di ruas kanan). Begitu seterusnya untuk semua turunan yang lebih tinggi.

    Contoh Soal 7.1:

    Misalkan . Maka

    ,

    0

    z

    D A

    B

    C

    S

    y

    x

  • 6

    (

    )

    (

    )

    (

    )

    (

    )

    dan seterusnya. Tampak bahwa :

    (

    )

    (

    )

    Perlu dicatat bahwa kesamaan turunan campuran ini dijamin berlaku jika dan kontinu

    pada titik yang ditinjau.

    Contoh 1.2 :

    Tinjau persamaan gas ideal , dengan dan berturut-turut adalah tekanan,

    volume dan suhu gas ideal ; sedangkan adalah jumlah mol gas dan suatu tetapan fisika, yakni

    tetapan gas semesta (Universal).Berikut kita akan menganggap tetap.

    Jika persamaannya kita pecahkan bagi , kita peroleh:

    Sebagai fungsi dari dan , sehingga:

    Sebaliknya, pemecahan persamaan keadaan gas ideal bagi memberikan:

    di mana dan T sekarang adalah variable bebas. Dengan demikian, kita peroleh:

  • 7

    Jika kita nyatakan sebagai fungsi dari dan , yakni:

    maka,

    Dari Pers. (1.7) dan (1.8) kita peroleh:

    (

    ) (

    ) (

    )

    Perhatian, jika ruas kiri kita perlakukan sebagai perkalian tiga buah pecahan, kita seharusnya

    memperoleh nilai 1 ; suatu perbedaan penting yang perlu dicatat!

    Jika adalah fungsi dari tiga variable dan , atau lebih, kita definisikan

    pula turunan parsial , , dan seperti di atas.

    1.3 DIFERENSIAL TOTAL

    Pada bahasan turunan parsial di atas, kita hanyalah meninjau perubahan fungsi bila

    dan keduanya bertambah secara bebas?

    Misalkan fungsi mempunyai turunan parsial di . Pertambahan fungsi

    jika bertambah menjadi dan menjadi adalah :

    (1.10)

    Jika kita tambahkan dan kurangkan di ruas kanan, kita peroleh :

    [ ] [ ]

  • 8

    Suku pertama dalam kurung siku pada ruas kanan Pers. (1.11) adalah pertambahan dalam

    fungsi dengan mempertahankan tetap. Karena itu, kita sebenarnya

    berurusan dengan fungsi satu variable , untuk mana berlaku teorema nilai rata-rata kalkulus.

    Teorema ini menyatakan :

    Jika memiliki turunan pada setiap titik dalam selang : [ ], maka:

    [ ] (1.12)

    dengan = sebuah titik dalam selang : [ ].

    Dengan demikian, kita dapat menulis :

    [ ]

    dengan . Dengan cara yang sama, penerapan teorema nilai rata-rata pada suku

    kedua Pers. (1.11), dengan S dipertahankan tetap, menghasilkan :

    [ ]

    dengan .

    Jika turunan parsial dan kontinu di , maka :

    (1.15a)

    (1.15b)

    dengan = 0, dan = 0, bila dan menuju nol.

    Dengan demikian, Pers. (1.11) menjadi :

    Dengan mengambil lim , dan , kita peroleh diferensial total fungsi :

  • 9

    Definisi di atas berlaku pula untuk fungsi dari tiga atau lebih variable, , yakni :

    Setiap fungsi yang deferinsialnya memenuhi hubungan diferensial total (1.18)

    disebut deferensial eksak.

    Contoh 1.3 :

    Hitunglah diferensial total fungsi pada contoh 6.1.

    Pemecahan:

    Karena dan kontinu, maka Pers (1.17)

    menghasilkan :

    [ ] [ ]

    CONTOH 1.4 : KESALAHAN RELATIF PENGUKURAN

    Percepatan gravitasi g dapat ditentukan dari panjang l dan periode bandul matematis;

    rumusnya adalah : . Tentukanlah kesalahan relative terbesar dalam perhitungan g

    jika kesalahan relative dalam pengukuran l adalah 5%, dan T, 2%.

    PEMECAHAN

    Kesalahan relatifdalam pengukuran l adalah kesalahan sebenarnya dalam pengukuran l dibagi

    dengan panjang terukur l. karena kita dapat mengukur l lebih besar atau lebih kecil daripada

    sesungguhnya, maka kesalahan relative terbesar mungkin - 0,05 atau 0,05. Begitupun

    | | terbesar adalah 0,02. Karena kita menginginkan | |, kita hitung turunan dari

    hubungan : , kita peroleh :

    Dengan demikian,

  • 10

    Karena menurut ketaksamaan segitiga :

    | | = 0,05 + 2 (0,02) = 0,09

    ATURAN RANTAI

    Tinjaulah kembali fungsi yang secara geometris menyatakan persamaan

    permukaan S dalam ruang. Jika variable dan berubah kurva C sebarang, yang persamaan

    parameternya adalah :

    (1.19)

    dengan s sebagai parameter, maka sepanjang kurva tersebut, z adalah fungsi dari s, atu variabel :

    ( )

    Sehingga sepanjang kurva C:

    Dengan demikian, menurut Pers. (1.17):

    Untuk kasus khusus :

    Perluasannya untuk fungsi dari variabel, , dengan masing-masing

    variabelnya fungsi dari variabel :

    ..

    adalah langsung. Menurut Pers. (1.18):

  • 11

    Karena masing-masing variabel adalah juga fungsi dari maka menurut

    (1.18):

    . . . . .

    Sisipkan (1.23b) ke dalam (1.23a) memberikan:

    (

    )

    (

    )

    Contoh 1.5 :

    Jika , dengan , , dan , tentukan

    PEMECAHAN :

    Menurut Pers. (1.23c):

  • 12

    1.4 FUNGSI IMPLISIT

    Pada bahasan diatas, ketergantungan salah satu variabel pada lainnya diberikan dalam bentuk

    eksplisit, seperti . Berikut kita akan meninjau ketergantungan variabel diberikan dalam

    bentuk implicit seperti . Untuk menghitung , kita dapat terlebih dahulu

    memecahkan persamaan bagi yang kemudian menurunkannya terhadap .Tetapi,

    cara ini yang sering kali cukup rumit, dapat diatasi, karena menurut Pers. (1.17):

    Yang darinya kita peroleh:

    asalkan . Secara geometris, fungsi implisit menyatakan sebuah kurva

    pada bidang xy, dan menyatakan kemiringan gars singgungnya di titik di mana

    Contoh 1.6 :

    Tentukanlah kemeringan garis singgung pada kurva di titik (1, -1).

    PEMECAHAN :

    Tuliskan persamaan kurva di atas kembali dengan ruas kanan nol :

  • 13

    Turunan parsialnya terhadap dan :

    , di titik (1, -1) :

    , di titik (1, -1) :

    Jadi, kemiringan kurva di titik (1, -1) adalah :

    ]

    Untuk fungsi implisit dalam tiga atau lebih variabel yakni : , menurut

    Pers. (1.18) :

    Jika persamaan ini kita dapat pecahkan bagi dz:

    (

    )

    Dari persamaan ini terbaca:

    Contoh 1.7:

    Tentukan . dari persamaan

    PEMECAHAN :

    Dari fungsi implisit : ,

    Maka dari Pers. (1.24):

  • 14

    Jelas, jika z = 0, yang adalah sepanjang lingkaran kedua turunan parsial ini tak

    terdefinisikan.

    PENERAPAN DALAM TERMODINAMIKA

    Penerapan turunan parsial untuk mendapatkan hubungan antara berbagai besaran fisika, lebih

    sering digunakan dalam cabang Termodinamika, yang mengkaji kaitan antara energy dan kalor.

    Hokum pertama Termodinamika menyatakan bahwa jika pada sebuah system yang berinteraksi

    secara termal dengan lingkungan melakukan usaha terhadap lingkungan sebesar , maka

    system tersebut akan mengalami pertambahan energy dalam dU, dan menerima atau melepas

    kalor sebanyak , menurut hubungan:

    (1.25)

    Notasi , dan untuk membedakan bahwa pertambahan kalor, dan usaha bergantung pada

    jenis proses, sedangkan dU menyatakan diferensial total energi fungsi dalam sistem. Untuk

    system gas, keadaan sistem ditentukan oleh suhu ,tekanan , volume , yang berkaitan melalui

    suatu persamaan keadaan :

    F (P, V, T) = 0

    Sebagai contoh, untuk gas ideal berlaku . Bagi system gas, energy dalam U pada

    umumnya merupakan fungsi dari suhu dan volume sedangkan ,

    dengan P tekanan gas.

    Hukum Termodinamika kedua mengatakan bahwa bagi proses irreversible (terbalikkan), kalor

    , dengan adalah entropi. Dengan demikian, hukum pertama Termodinamikadapat

    dinyatakan dalam diferensial total sebagai berikut :

    Pers. (1.26) memperlihatkan bahwa energy dalam U juga merupakanfungsi dari entorpi S, dan

    volume V, U = U (S, V). Jadi, menurut rumusan diferensial total (1.27):

  • 15

    (

    ) (

    )

    Perbandingan antar Pers. (1.26) dan (1.27) memperlihatkan bahwa berlaku hubungan :

    Turunan parsial dari (1.28) adalah:

    (

    )

    (

    )

    Karena

    (

    )

    (

    )

    persamaan kedua (1.29) adalah salah satu dari sehimpunan relasi Maxwell antara besaran-

    besaran termodinamika.

    Dengan cara yang sama, diturunkan pula relasi-relasi Maxwell berikut :

    1.5 PERSOALAN EKSTREM TAKTERKENDALA

    Pada kuliah kalkulus satu variabel, kita pelajari bahwa fungsi bernilai ekstrem

    (maksimum atau minimum) pada sebuah titik jika turunan pertamanya di titik

    tersebut adalah nol : .

  • 16

    Pada fungsi dua variabel atau lebih, berlaku pula persyaratan ekstrem yang sama,

    yang dapat dinalar sebagai berikut. Misalkan ( ) adalah titik ekstrem fungsi

    . Dengan memilih menjadi fungsi dari satu

    variabel sedangkan jika dipilih menjadi fungsi dari

    satu variabel . dengan demikian, berlaku syarat ekstrem seperti pada fungsi satu variabel, tetapi

    dalam hal ini ada dua persamaan yaitu :

    ( ) ( ) (1.30)

    Jika variabel x dan y adalah bebas, maka persoalan ekstrem ini disebut ekstrem takterkendala

    (unconstraint).

    Untuk mencirikan jenis ekstremnya, kita perlu menghitung turunan parsial keduanya,

    dan besaran :

    [

    ] (1.31)

    Penentuan jenis ekstremnya sebagai berikut :

    Titik ( adalah titik ekstrem fungsi ) jenis :

    (a) maksimum, jika :

    (b) maksimum, jika :

    (c) titik pelana (saddle), jika :

    Jika tak ada yang dapat kita simpulkan mengenai jenis ekstrem fungsi

    Contoh 1.8 :

    Carila titik ekstrem dari fungsi , dan tentukan jenis

    ekstremnya.

    PEMECAHAN :

    Dari syarat ekstrem (1.30), kita peroleh :

  • 17

    atau

    jadi titik adalah satu-satunya titik ekstrem fungsi .

    Jenis ekstremnya, kita tentukan dari turunan kedua fungsi f :

    Dan nilai diskriminannya di titik (-2, -2) adalah :

    Karena adalah titik ekstrem

    maksimum fungsi . nilai ekstremnya adalah :

    .

    1.6 PERSOALAN EKSTREM TERKENDALA

    Pada persoalan ekstrem fungsi yang ditinjau di atas,variabel x dan y berubah secara

    bebas. Tetapi dalam berbagai persoalan fisika dan gometri, variabel x dan yseringkali

    disyaratkan memenuhi suatu hubungan tertentu, . di dalam bab ini kita akan

    membahas dua cara pemecahannya, yaitu cara eliminasi dan pengali Lagrange.

    CARA ELIMINASI :

    Pada cara eliminasi, kita pecahkan dahulu persamaan kendala, untuk salah satu

    variabel bersangkutan dari fungsi f, dan selanjutnya mencari nilai ekstrem fungsi f, dalam

    variabel yang sisa. Sebagai contoh, tinjaulah contoh soal berikut.

    Contoh 1.9 :

    Tentukanlah letak titik pada sebuah permukaan bidang , yang

    jaraknya terdekat ke titik asal 0.

    PEMECAHAN :

  • 18

    Pada Bab 4 kita pelajari bawa jarak sebuah titik ke titik asal 0 adalah : | |

    . Karena | | minimum jika fungsi :

    maka kita dapat mengambil f sebagai fungsi yang hendak dicari nilai ekstremnya. Karena titik

    haruslah terletak pada bidang , maka persamaan bidang ini

    adalah persamaan kendala :

    Cara jelas untuk memecahkan persoalan ekstrem terkendala ini adalah cara eliminasi. Yaitu,

    memecahkan dahulu persamaan kendala bagi salah satu variabel kemudian disisipkan ke dalam

    fungsi .

    Dari persamaan kendala kita peroleh :

    Sisipkan dalam fungsi kuadrat jarak , memberikan :

    Penerapan syarat ekstrem, memberikan :

    Pemecahannya memberikan : Untuk menyelidiki jenis ekstrem yang

    bersangkutan, dalam variabel , kita hitung lagi turunan parsial keduanya :

    Karena maka adalah

    titik ekstrem minimum fungsi . Koordinat x dari titik pada bidang :

    adalah .

  • 19

    Jadi, titik terdekat yang kita cari adalah : p (1/3, -1/3, 2/3).

    METODE PENGALI LAGRANGE :

    Persamaan kendala (x, y, z0 = 0 seringkali sangatlah rumit untuk dipecahkan, begitupula

    halnya dengan pemecahan syarat ekstrem : fx = 0, fz = 0, atau dalam dua variable lainnya. Untuk

    mengatasinya, matematikawan perancis Louis Lagrange mengembangkan metode pengali

    lagrange, yang menghasilkan suatu system persamaan setara yang relative mudah mencari

    pemecahanya. Gagasan darsarnya bertolak dari hasil penalaran berikut.

    Telah kita lihat bahwa syarat perlu bagi fungsi f(x, y, z) memiliki suatu nilai ekstrim adalah : fx =

    0, fy = 0, fz = 0. Karena df = fxdx + fy dy + fzdz, maka di titik ekstrem berlaku :

    df = fx dx + fy dy + fz dz = 0 (1.32)

    Sebaliknya, jika df = 0, maka fx = 0, fy =0, fz = 0, karena dx, dy, dan dz bebas linear. Jika :

    (x, y,z) = 0 (1.33)

    Adalah persamaan kendala, maka juga berlaku :

    d = xdx + y dy + z dz = 0 (1.34)

    kalikan pers. (1.34) dengan sebuah parameter kemudian jumlahkan dengan (1.32) memberikan

    :

    (fx + x) dx + (fy + y)dy + (fz + z)dz = 0 (1.35)

    Dengan memandang x, y, dan z bebas, maka dx, dy, dan dz juga bebas sehingga kita peroleh :

    fx + x = 0 fy + y= 0 fz + z = 0 (1.36)

    ketiga persamaan (1.36) bersama dengan persamaan kendala (1.33) memberikan

    empat sistem persamaan yang dapat dipecahkan bagi ke empat variable x, y, z dan .

    Sistem persamaan (1.33) dan (1.36) dapat dipandang sebagai persamaan syarat

    ekstrem dari fungsi :

  • 20

    F (x, y, z, ) = f +

    Contoh 1.10 :

    Tentukanlah ukuran ketiga sisi sebuah kotak tanpa penutup atas, dengan volume

    maksimum, jika luas permukaannya 108 cm3.

    PEMECAHAN :

    Tinjau kotaknya berada dalam oktan pertama dan ketiga sisinya berimpit dengan sumbu x, y,

    dan z. maka volume kotak ini adalah xyz, jadi fungsi yang hendak diselidiki ekstremnya adalah :

    f( x, y, z) = xyz

    jumlah luas kotak tanpa penutup atas adalah : L = xy + 2xz + 2yz. Karena luas permukaan

    kotak dikendalakan bernilai 108 cm2, maka persamaan kendalanya adalah :

    (x, y, z) = xy + +2xz + 2yz = 108 (1.37)

    persamaan (1.36) menghasilkan :

    yz + (y + 2z) = 0,

    xz + (x + 2y) = 0, (1.38)

    xy + (2x + 2y) = 0

    untuk memecahkannya, kalikan persamaan pertama dengan x, kedua dengan y, dan

    ketiga dengan z, kemudian jumlahkan, kita peroleh :

    Gunakan persamaan kendala (1.37), memberikan :

    Sisipkan kembali nilai ini ke dalam (1.38) kemudian sederhanakan kita peroleh:

  • 21

    Dari kedua persamaan pertama kita perole x = y. sisipkan x = y ke dalam

    persamaan ketiga, memberikan z = 18/y. sisipkan y dan z ke dalam persamaan

    pertama, menghasilkan x =6.

    Jadi, x = 6, y = 6, dan z = 3 memberikan ukuran isi kotak yang dikehendaki .

    DUA ATAU LEBIH KENDALA

    Perluasan metode pengali lagrange untuk persoalan mencari nilai ekstrem fungsi f dengan n

    variable dan m kendala (m < n) ditempuh dengan cara yang sama. Yinjau fungsi :

    W = f (x, y, z) (1.39)

    Dengan m buah kendala :

    (1.40)

    Dalam hal ini, kita bentuk fungsi baru :

    (1.41)

    Dengan menganggap x, y, z, 1, 2 , ., m bebas, kita peroleh system persamaan berikut

    bagi persyaratan ekstrem fungsi F :

  • 22

    (1.42d)

    Pemecahannya memberikan nilai ekstrem terkendala yang dicari.

    Contoh 1.11:

    Carilah titik-titik pada kurva perpotongan kerucut K : z2 = x

    2 + y

    2 dengan bidang v = x + y - z

    = 1, yang jaraknya ke titik asal 0 adalah terdekat dan terjauh.

    PEMECAHAN :

    Di sini fungsi yang hendak dicari nilai ekstremnya adalah kuadrat jarak titik (x, y, z) ke titik

    asal 0 (0, 0, 0) :

    f(x, y, z) = x2 + y2 + z2

    dengan kendala :

    (a) (x, y, z) pada kerucut k :

    g (x, y, z) = x2 + y

    2 + z

    2 = 0

    (b) (x, y, z) pada bidang v :

    h (x, y, z) = 1 + x + y - z = 0

    untuk menerapkan metode pengali Lagrange, kita bentuk fungsi :

    F(x, y, z) = f + g + h (1.430)

    Persyaratan ekstrem (1.42) memberikan :

    2x + 2x + = 0, (1.44a)

    2y + 2y + = 0, (1.44b)

  • 23

    2z - 2y - = 0, (1.44c)

    x2 - y2 - z2 = 0, (1.44d)

    1 + x + y - z = 0 (1.44.e)

    Dari (1.44a) dan (1.44b) kita peroleh :

    (x - y) = - (x - y) (1.45)

    Sedangkan dari (1.44b) dan (1.44c) :

    (y + z) = - (y - z) (1.46)

    Pers. (1.45) dipenuhi jika x = y, atau jika x y, = -1.

    Marilah kita selidiki apakah = -1, memberikan titik pada kurva perpotongan c. Dari

    (1.46) kita peroleh :

    y + z = y - z, atau z = 0

    dan pers. (1.44d) memberikan : x2 + y

    2 = 0, atau x = 0, y = 0.

    Karena titik (0, 0, 0) tak memenuhi persamaan bidang (1.44e), maka pemecahan = -1

    diabaikan !

    Karena itu, kita peroleh pemecahan :

    -1, dan x = y (1.47)

    sisipkan (1.47) ke dalam (1.44e), kita peroleh :

    z = 1 + 2x (1.48)

    sisipkan (1.47) dan (1.48) ke dalam (1.44d) :

    x2 + x 2 - (1 + 2x ) 2 + 0

    2x2 + 4x + 1 = 0

  • 24

    Yang memiliki akar-akar : x = -1

    Jadi, titik-titik yang ditanyakan adalah :

    (

    )

    dan (

    )

    Sisipkan koordinat titik P ke dalam fungsi jarak :

    =

    Untuk titik P : (

    )

    Untuk titik Q : (

    )

    Jika kurva perpotongan C antara kerucut K dan bidang V adalah elips, maka P adalah titik

    terdekat, sedangkan Q titik terjauh ke titik asal 0(0, 0, 0). Sedangkan, jika C adalah hiperbola,

    maka P dan Q adalah titik terdekat, dari masing-masing cabang, ke titik asal 0. ( selidikilah jenis

    kurva C).

    SOAL-SOAL :

    TURUNAN PARSIAL :

    1. Hitunglah , dan untuk setiap fungsi berikut :

    (a). z = y/x, (b). z = sin xy + x2y,

    (c). z = ey ln z

    2. Hitunglah

    , dan untuk setiap fungsi berikut :

    (a). u = xy2 + yz2 - xz, (b). u = xyz + ln xy,

    (c). u = x sin-1 (y/z)

  • 25

    3. Perlihatkan bahwa jika :

    (

    )

    ATURAN RANTAI :

    4. Hitunglah du/dt dengan cara : (a). nyatakan dulu u sebagai fungsi eksplisit dari

    t, (b). gunakan aturan rantai ; jika :

    (a). u = xey + y sin x , x = t2, y = t

    (b). u = x2 + y2 + z2, x = et cos t, z = et sin t

    5. Jika f(x, y) = exy, dengan x = ln dan y = tan-1 (u/v), hitunglah

    FUNGSI IMPLISIT

    (a). xy2 - sin z + z3 =0

    (b). 3xy - xz + yz2 = 0

  • 26

    NILAI EKSTREM

    8. Selidiki titik ekstrem maksimum, minimum, dan pelana, serta nilai ekstrem yang

    bersangkutan dari fungsi-fungsi berikut :

    (a). z = x2 + xy + y2 - 3x + 3y + 4

    (b). z = x3 - y3 - 2xy + 6

    (c). z = x sin y

    9. Sebuah pelat lingkaran x2 + y2 1, dipanasi hingga suhunya di setiap titik (x,

    y) adalah : T(x, y) Suhu T pada setiap titik dalam ruang adalah T = 400xyz2.

    Carilah suhu tertinggi pada permukaan bola x2 + y2 + z2 = 1.

    11. Carilah nilai maksimum fungsi w = xyz pada garis potong bidang x + y + z

    = 40, dan z = x + y.

  • 27

    BAB II INTEGRAL LIPAT DAN TRANSFORMASI KOORDINAT

    2.1 UMUM

    Dalam fisika, kita seringkali perlu menghitung berbagai besaran fisika total suatu benda, sebagai

    contoh, massa total benda bila rapat massanya diketahui, pusat massa, momen lembam (Inersia),

    medan listrik yang ditimbulkan suatu distribusi muatan, dan lain sebagainya. Dalam hal

    bendanya berdimensi dua atau tiga, perhitungan kita umumnya melibatkan integral lipat.

    Pada bab ini akan disajikan definisi integral lipat serta beberapa teorema, contoh perhitungan,

    dan penerapannya dalam fisika. Perhitungan integrali suatu integral lipat dilakukan dengan

    merumuskannya ulang sebagai suatu integral berulang, atau bertahap. Sebagai contoh, untuk

    menghitung massa pelat datar (berdimensi dua), integral lipatnya yang disebut integral lipat dua,

    dirumuskan sebagai integral dua-tahap dalam mana kita melakukan dua kali integrasi. Dalam

    bab ini kita hanya membahas integral lipat dua dan tiga. Disamping itu, dibahas pula

    transformasi koordinat pada variable integrasi, guna memudahkan perhitungan suatu integral

    lipat, yang memperkenalkan factor determinan Jacobi. Khususnya, akan akan dibahas

    trasformasi koordinat Kartesis ke polar, untuk persoalan dua dimensi. Ketiga system koordinat

    ini tidaklah hanya penting bagi perhitungan integral lipat, tetapi juga bagi persoalan analisis

    kalkulus lainnya. Bahasan bab ini akan diawali dengan pedefenisian integral lipat-2.

    2.2 DEFINISI INTEGRAL LIPAT DUA

    Marilah kita tinjau persoalan fisika menghitung massa total M suatu pelat datar berhingga (jadi

    berdimensi dua), dengan distribusi massa takseragam (nonuniform) . Misalkan geometrinya

    berupa suatu daerah terbatas D dalam bidang kartesis xy, dengan rapat massa atau massa

    persatuan luas pada setiap titik (x, y) adalah = f(x, y) seperti diperlihatkan pada Gambar 2.1.

    x

    y

    Yi-yi

    Yi

    x I xi-xi

    i

  • 28

    GAMBAR 2.1 Daerah D pada bidang xy dengan elemen daerah kecil 1

    Kita akan menghitung dahulu nilai hampiran bagi massa totalnya. Untuk itu, daerah pelat D kita

    bagi atas n-buah elemen daerah kecil { }. Dan memilih sebuah titik wakil

    (x1, y1) di dalam elemen daerah 1 ( I = 1, 2, 3, . . ., n). maka massa setiap elemen daerah 1

    dihampiri oleh :

    m1 = f(x1, y1) 1 (2.1)

    Dengan 1adalah luas elemen daerah 1 massa total pelat D, dengan demikan secara hampiran

    diberikan oleh.

    Hampiran diruas kanan mendekati nilai pasti M, jika pembagian elemen daerah 1 dibuat sekecil

    mungkin sehingga 1 0,1, yang demikian meningkatkan jumlah nilai elemen n 0,. Jika

    memilih 1 berbentuk petak dengan sisi x1 dan y1 maka 1= x1 y1, dan dalam

    keadaan limit diatas :

    | |

    Limit pada ruas kanan, jika ada diimbang oleh :

    Yang di sebut integral lipat dua (double integral) dari fungsi f (x, y) terdapat daerah D.

    pembuktian keberadaan (eksistence) integral ini dapat dilihat pada buku-buku matematika lanjut.

  • 29

    Juga bahwa limit M pada pers. (2.3) tidak bergantung pada cara pembagian D kedalam elemen

    1, dan pemilihan titik wakil (x1, y1) dalam 1.

    Ketiga sifat integral lipat dua berikut dapat dibuktikan melalui definisi limit (2.3) :

    (1). Jika f = f(x, y) dan g = g (x, y) dua fungsi terdefinisikan melalui definisi limit (2.3) :

    [ ]

    (2). Jika c sebuah tetapan, maka :

    [ ]

    (3). Jika D merupakan gabungan daerah D1 dan D2, atau D = D1 , D2, dengan D1 D2 = c,

    sebuah kurva batas, maka :

    2.3 INTEGRAL BERUANG DUA

    Untuk dapat menghitung sebuah integral lipat, yang dalam pasal ini akan dikhususkan pada

    integral lipat dua, kita akan menggunakan sesuatu proseduar yang mengalihkan perhitungan

    integral lipat ke integral berulang. Pertama, kita akan batasi bahasanya pada daerah normal yang

    didefinisikan sebagai berikut:

    DEFINISI 2.2:

    Suatu daerah D disebut normal terhadap:

    a. sumbu-x, jika setiap garsi tegak lurus sumbu-x hanya memotong dua kurva batas

    D yang fungsi koordinatnya y = y1 (x), dan y = y2 (x) takberubah bentuk.

    b. sumbu-x, jika setiap garis tegak lurus sumbu-y hanya memotong dua kurva batas

    D yang fungsi koordinatnya x = x1 (y), dan x = x2 (y) takberubah bentuk.

  • 30

    Untuk memperoleh kesan gambarnya, perhatikan daerah D1 dan D2 pada Gambar 2.2. Daerah D1

    normal terhadap sumbu-x, seadangkan D2 normal terhadap sumbu-y.

    GAMBAR 2.2 (a). Daerah D1 normal terhadap sumbu-x, sedangkan D2 normal terhadap sumbu-y.

    Sauatu daerah D dapat terjadi tidak normal terhadap sumbu-x maupun y. Dalam hal seperti itu,

    daerah D dibagi ke dalam beberapa subdaerah normal. Sebagai contoh, pada Gambar 2.3, daerah

    D taknormal terhadap sumbu-x maupun sumbu y, tetapi setiap subdaerah D1, D2, D3, normal

    terhadap sumbu-x.(Bagilah pula daerah D ke dalam sub-subdaerah yang normal terhadap sumbu-

    y).

    GAMBAR 2.3. Daerah D taknormal terhadap sumbu-x dan y subdaerah D1, D2, dan D3 normal terhadap sumbu-x.

    x

    y

    Y=y2(x

    )

    0

    xi

    D1

    Y=y1(x

    )

    a b

    (a) (b)

    x

    y x=x1(x

    )

    0

    yi

    D2

    x=x1(x

    ) a

    c

    X=x1(y

    )

    X=x1(y

    )

    y=y1(x

    )

    y=y1(x

    )

    D1 D2 D3

    x

    y

    0

  • 31

    Sekarang, tinjaulah pelat D yang normal terdahap sumbu-x, seperti pada Gambar 2.2a,

    dengan tepi bawah dibatasi oleh kurva y = y1 (x), dan tepi atas oleh y = y2 (x) ; sedangkan tepi

    kiri dan kan annya masing-masing oleh garis tegak x = a, dan x = b, (b > a, bilangan tetap). Jadi,

    secara ringkas:

    D = { }

    Jadi rapat massa pelat D adalah f (x, y ), maka integral lipat dua:

    Yang menyatakan massa totalnya, dihitung secara terhadap, melalui definisi limit, sebagai

    berikut:

    (a) Ambil sebarang titik (x1, 0) pada sumbu-x, dengan a x1 b.

    (b) Tarik garis x = y, kemudian tinjau sebuah lempeng tegak dengan sumbu x = x1, dan tebal

    1, dalam Daerah D, yang di sebut lempeng ke-i.

    (c) Hitung hampiran massa tiap petak ( i, j), pada koordinat (x1 , yj) dalam lempeng ke-I,

    yakni :

    1 J = f ( xI , yI ) 1

    (d) Hitung massa total lempeng ke-I, sebagai limit jumlah seluruh petak di dalamnya:

    *

    +

    (e) Massa total pelat adalah limit jumlah massa seluruh lempeng dalam D, yakni:

    *

    +

    (f) Limit jumlah berulang di ruas kanan mendefinisikan integral berulang :

  • 32

    *

    +

    Jika kita memilih D normal terhadap sumbu-y, integral lipat duanya dihitung sebagai limit

    jumlah semua lempeng datar penyusun daearh D. Jika daerah D = {

    } , maka integral lipat dua yang bersangkutan dalam

    bentuk integral berulang dua adalah

    *

    +

    Bagaimana cara menghitung integaral berulang (2.9), dan (2.10) ? Tinjau kembali berulang

    (2.9). Berdasarkan urutan pengambilan limit jumlah (2.8) , Lngkah perhitungannya adalah

    sebagai berikut:

    (1). Hitung integaral taktentu dalam tanda kurung terhadap y dengan memperlakukan x

    sebagai suatu etapan. Hasilnya, adalah suatu fungsi primitif dalam y:

    ( x, y ) =

    (2). Sisipkan batas atas dan bawahnya, maka diperoleh hasil integral tentu:

    [ ( ) ]

    (3). Integarasiakn fungsi g(x) pada langkah (2), dari xi = a s/d b, memberikan hasil akhir:

    Langkah perhitungan yang sama, dengan menggantikan x dan y, juga berlaku bagi integral

    berulang (2.10). (Uraikanlah rincian langkahnya!).

    Contoh 2.1 :

    Hitunglah integral lipat-2 berikut:

    *

    +

  • 33

    PEMECAH:

    Pertama, kita integrasikan dari dalam terhadap y dengan mempertahankan x tetap:

    ]

    [ ]

    Kemudian, integrasikan hasil ini terhadap integaral luar, yakni terhadap variabel x, kita peroleh:

    [

    ]

    Contoh 2.2 :

    Hitunglah integral lipat-2 pada Contoh 2.1, dengan mengintegrasikan dahulu terhadap variable

    x, kemudian terhadap y.

    PEMECAHAN:

    Pertama, gambarlah dahulu daerah integrasi Dxy integral lipat-2 pada Contoh 2.1. dari

    batas integrasinya, terbaca bahwa Dxy adalah daerah antara sumbu-x dan parabola y = y2 yang

    terletak antara garis x = 0, dan x = 1, separti dilukisan pada gambar. 8.4.

    GAMBAR 2.4 Daerah integrasi D .

    Untuk menentukan batas-batas integarsinya, kita tempuh langkah berikut:

    Langkah 1. Selidiki apakah Dxy normal terhadap sumbu-y. Karena garis normal terhadap sumbu-

    y hanyalah memotong kurva batas x = di kiri, dan x = 1 di kanan untuk seluruh daerah Dxy1

    maka ia normal terhadap sumbu-y.

    Y=x

    2

    Dx

    Y

    1 0 x

  • 34

    Langkah 2. Jika ya, lanjutkan ke langkah 3. Jika tidak, bagi Dxy atas sejumlah minimal daearh

    terhadap sumbu-y, dan langkah 3 bagi setiap subdaerah.

    Langkah 3. Tarik sebuah garis sejajar sumbu-x. kurva potong terkiri adalah batas bawah,

    sedangkan yang terkanan batas atas integral terdalam (terhadap x).

    Karena garis normal sumbu-y memotong batas terkiri pada parabola y = x2, maka x1 = dan

    batas kanan pada garis x = 1, maka x2 = 1.

    Langkah 4. Tentukan batas terbawah dan teratas, koordinat y, dari daerah Dxy. Dari bagan

    daerah Dxy terbaca bahwa batas terbawahnya adalah sumbu-x, untuk mana y = 0, jadi y1 =0.

    Batas teratasnya adalah koordinat y titik potong parabola y = x2 dengan garis x = 1, yakni y = 1,

    jadi y2 = 1.

    Langkah 5. Tuliskan integral berulangnya, dan hitunglah hasilnya.

    Dari hasil penjajagan pada keempat langkah di atas, kita dapati bahwa pernyataan integral

    berturutan soal ini, adalah:

    Integral terdalam, terhadap x adalah:

    *

    +

    Sisipakan kembali pada integral I di atas, kemudian integrasikan y, kita peroleh:

    ]

    Sesuai dengan hasil yang kita peroleh di atas.

    INTEGRAL LIPAT-2 SEBAGAI VOLUME

    Jika z = f(x, y) adalah sebuah persaman permukaan, maka integral lipat-2:

  • 35

    Adalah volume bagian ruang tegak antara D pada bidang xy dengan permukaan z = f (x, y),

    seperti pada Gambar.5.

    Tafsiran geometris yang sama diberikan pula bagi integral serupa dengan variable x, y, dan z

    bertukaran. Sebagai contoh, integral lipat-2:

    Menyatakan volume bagian ruang tegak antara daearh D pada bidang xz, dengan permukaan y = f

    (x, z).

    Perhatian : karena volume geometris bernilai positif , maka jika suatu bagian ruang

    memiliki nilai-nilai integral volume negatif ia perlu diubah terlebih dahulu menjadi positif, yaitu

    dengan mengambil nilai mutlaknya. Jadi, jika D = D1 U D2, dengan D1 dan D2 dua subdaerah

    normal D, dan dalam D1 : z > 0, sedangkan dalam D1 : z > 0, maka:

    dan volume geometris adalah :

    y

    z

    0

    x

    F(x,y

    S

    Dx

    Gambar 2.5 Volume ruang V antara permukaan z=f(x,y) dan bidang Dxy

  • 36

    Berikut adalah dua contoh perhitungan volume dengan menggunakan integral lipat dua.

    Contoh 2.3

    Hitunglah volume bagian silinder parabolic y =

    dalam kuadran pertama, yang alasnya

    dibattasi bidang xy dan penutup atasnya dibatasi bidang 2x + 4y + z = 4.

    PEMECAHAN :

    Berikut diuraikan beberapa tahapan langkah pemecahan sebagai pedoman memecahkan

    persoalan sejenis ini.

    Langkah 1. Sketsakan bagian ruang yang ditanyakan.

    Pertama, kita gambarkan silinder parabolic y=

    , dan bidang datar 2x + 4y + z = 4. kurva

    pepotongan masing-masing permukaandengan bidang xy adalah : parabola y=

    (dengan

    silinder), dan garis lurus 2x + 4y + = 4 (dengan bidang datar). Sketsa bagian ruang yng

    ditanyakan adalah yang diperlihatkan pada Gambar 2.6a.

    Langkah 2. Cirikan permukaan s, dan rumuskan persamaan eksplisitnya : z = f (x,y).

    Permukaan s adalah permukaan batas atas bagian ruang yang ditanyakan. Dalam hal ini, s adalah

    bidang datar 2x + 4y + = 4 persamaan eksplisitnya, terhadap (x,y) adalah: z=4 2x 4y

    DX

    y

    =

    x2

    2x + 4y +

    = 4

    Y=

    z

    0 Y

    x 1

    0

    y

    x

  • 37

    Gambar 2.6 (a). volume bagian ruang Contoh 2.3 . (b). daerah integral Dxy.

    LANGKAH 3. Tentukan daerah integral Dxy pada bidang xy.

    Berdasarkan sketsa bagian ruang pada gamb. 8.6a, daerah Dxympada bidang xy (z = 0), sebagai

    alas, dibatasi oleh sumbu y positif, parabola C : y =

    x

    2 dan garis lurus L : 2x + 4y + z = 4.

    sketsa dimensi duanya diperlihatkan pada Gambar 2.6b. Garis lurus L memotong parabola C di

    titik P (1,

    ), dan sumbu-y di Q (0,1).

    LANGKAH 4 : Rumuskan integral berulangnya, dan hitung hasilnya!

    Karena Dxy normal terhadap sumbu-x, kita integrasikan terlebih dahulu terhadap variable y.

    Tarikkan sebarang garis tegak tegaklurus sumbu-x. Dari perpotongan kedua kurva batas, terbaca

    bahwa batas bawah integrasi terhadap y adalah parabola : y =

    dan batas atasnya garis: y

    =

    Karena seluruh daerah terletak antara garis x = 0 dan 1, maka kedua nilai ini

    berturut-turut adalah batas bawah dan atas integrasi terhadap variabel x. Jadi, integral berulang

    volume yang dihitung adalah:

    [ ]

    Contoh 2.4

    Hitunglah volume bagian silinder x2 + y

    2 - 2ay = 0 yang diiris oleh permukaan silinder parabolik

    z2 = 2ay.

    PEMECAHAN:

    Karena sketsa gambar ruangnya, v, bertumpang-tindih, maka untuk kejelasan, kita gambarkan

    saja proyeksinya pada bidang yz, seperti tampak pada Gambar 2.7a. Cirinya: permukaan atas

    dibatasi oleh helai z = (positif), alas oleh helai z =

    dan sisi tegaknya oleh silinder

    x2 + y

    2 2ay = 0, atau x2 + (y-a)2 = a2, yang sumbunya melewati titik (0,a,0) dan berjari-jari a.

  • 38

    Karena relative terhadap sumbu xy (z = 0), bagian ruang atas dan bawah simetris, maka volume

    V yang dinyatakan adalah dua kali volume ruang bagian atas. Di sini, S adalah permukaan batas

    abagian ruang V, yaitu permukaan silinder: . Sedangkan alas Dxy adalah irisan silinder

    dengan bidang z = 0, yaitu bidang lingkaran: , yang diperlihatkan pada

    gambar (2.7b), volume bagian ruang yang dihitung adalah :

    Daerah integrasi Dxy normal terhadap x maupun y. karena integrasi terhadap variabel y dahulu

    memberikan fungsi g(x) tang rumit, kita integrasikan terlebih dahulu terhadap variabel x. Batas

    bawahnya separuh lingkaran : x1 = . Sedangkan terhadap variabel y kemudian, batas

    bawah dan atasnya berturut-turut adalah 0 dan 2a.

    (

    )

    ( )

    (

    )

    hasil akhirnya dihitung dengan menggunakan integrasi parsial.

    2.4 TRANSFORMASI VARIABEL INTEGRAL

    Perhitungan integral lipat dua :

    GAMBAR 2.7 (a) Proyeksi volume bagian ruang Contoh 2.4 pada bidang yz. (b). Daerah integrasi Dxy.

    Dxy

    (b) (

    0

    2 y 2a

    y z

    a

    x

  • 39

    Seringkali dipermudah dengan melakukan pengubahan variabel integral x dan y. Marilah kita

    meninjau ulang perhitungan integral tunggal dengan metode subtitusi ini. Perhatikan integral

    tunggal:

    Penggunaan variabel baru u melalui subtitusi :

    mengalihkan integral tunggal (2.14) dalam tiga hal :

    (a) Pengalihan selang (daerah) integrasi : Selang integrasi baru dalam x: Dx = a x b,

    terpetakan ke selang integrasi baru dalam u : Du = u (a) u u (b).

    (b) Pengalihan elemen diferensial dx, menjadi :

    (

    )

    (c) Pengalihan fungsi integran f(x,y) menjadi :

    Jadi, perubahan variabel integral (2.15a), mengalihkan integral (2.14) terhadap variabel

    baru:

    (

    )

  • 40

    Tentu saja, diinginkan agar perhitungan integral baru ini menjadi lebih mudah daripada yang

    lama. Hal ini bergantung pada pemilihan transformasi koordinat (2.15a) yang memadai.

    Hal yang sama juga dapat diterapkan pada integral lipat dua, yang tentu saja dengan

    kerumitan yang semakin meningkat. Pertama yang kita catat adalah bahwa elemen diferensial

    dxdy = d adalah elemen luas daerah Dxy dalam bidang xy. Sehubungan dengan itu, kita perlu

    mengingat kembali dari bahasan aljabar vector pada bab 4, bahwa luas d adalah vector luas d,

    yakni:

    d = (dx x dy) (2.17)

    dengan dx = dan operator hasil kali silang. Karena itu, dalam pernyataan vector,

    integral lipat (2.13) berbentuk :

    | |

    Dengan demikian, jika kita melakukan variabel atau transformasi koordinat dari sistem (x,y) ke

    sistem (u,v)menurut persamaan transformasi:

    maka setiap elemen diferensial vector bertransformasi menjadi :

    (

    )

    (

    ) (

    )

    dengan du = dan serta masing-masing adalah vector satuan dalam arah

    pertambahan positif u dan v pada sistem koordinat (u,v).

    Elemen luas dA dalam koordinat (u,v) menjadi :

  • 41

    | | |

    |

    (

    ) | |

    atau

    (

    ) | |

    Dengan

    (

    ) (

    ) [

    ]

    adalah factor jakobi yang bersangkutan.

    Di sini kita akan khusus memilih transformasi koordinat yang memiliki invers. Jadi,

    terhadap transformasi koordinat (2.19) terdapat pula transformasi invers,

    dengan factor jakobian bersangkutan adalah

    (

    )

    [

    ]

    karena elemen luas adalah takberubah, maka :

    (

    ) | | (

    ) (

    )

    yang adalah taat-asas jika :

  • 42

    (

    ) (

    ) (

    ) (

    )

    Seringkali dalam perhitungan, transformasi koordinat invers (2.23) yang diberikan,

    bentuknya rumit untuk diubah ke bentuk transformasi langsung (2.19). Dalam hal ini, factor

    Jacobi (

    ) diperoleh dengan menghitung terlebih dahulu factor Jacobian invers (

    ),

    kemudian menggunakan hubungan (2.25), seperti pada Contoh 2.5 dan 8.6 seperti berikut.

    Catatan : Dalam bahasan berikut, bila factor Jacobi dituliskan tanpa argument, J saja,

    maka yang dimaksudkan adalah (

    ), dan J-1 untuk inversinya!

    Hubungan (2.25) memperlihatkan bahwa kedua factor Jacobi ini tak boleh nol untuk

    semua nilai (x,y) atau (u,v). Titik (x,y) atauu (u,v) pada mana J=0, disebut titik singuler. Artinya,

    hubungan transformasi koordinatnya takterdefinisikan (karena tidak memiliki invers).

    Perubahan variabel integrasi yang lazim digunakan adalah transformasi koordinat kartesis

    (x,y) ke polar (r, ) melalui persamaan transformasi :

    dengan transformasi invers :

    Faktor Jacobi yang bersangkutan adalah:

    (

    ) *

    +

    dan

    (

    ) [

    ]

    sesuai dengan hubungan (2.25).

    Tampak pada nilai r = 0, atau (x = 0, y=0), factor Jacobi J=0, atau . Titik r=0

    ini disebut titik singular koordinat polar (r, ).

  • 43

    Masalah berikut adalah pencirian peta daerah integrasi Dxy sistem x,y pada daerah integrasi Duv

    dalam sistem (u,v). Di sini ditinjau peta kurva batas Dxy ke dalam bidang (u,v). Penjelasan

    terincinya diberikan pada ketiga soal berikut, yang menguraikan langkah-langkah

    pemecahannya.

    Contoh 2.5

    Gunakan koordinat polar (r, ) untuk menghitung integral lipat-2 berikut :

    dengan adalah daerah pada kuadran I dalam bidang xy yang dibatasi oleh sumbu x, sumbu y,

    dan lingkaran x2

    + y2 = 4.

    PEMECAHAN :

    Langkah 1. Tentukan peralihan integran f (x,y) ke g (r, ).

    Karena f (x,y) = xy, maka terhadap transformasi koordinat polar (r, ), ia beralih ke pernyataan :

    Langkah 2. Gambarkan daerah integrasi Dxy .

    GAMBAR 2.8 (a). Daerah integrasi Dxy soal 8.4, dan (b) . petanya, Dr.

    Secara sepintas, Dxy tampak dibatasi oleh tiga kurva, yakni :

    C1 : y = 0, 0 x 2,

    E 2

    2

    E

    y

    Dxy

    2 2

    E

    C1

    r

    C3

    C4 C2

    Dr

  • 44

    C2 : x2 + y

    2 = 4,

    C3 : x = 0, 0 y 2,

    yang diperlihatkan pada Gambar 2.8a. Karena factor Jacobi, J = r, bernilai nol di titik 0, r = 0,

    maka untuk menghindari kesinguleran ini, kita bentuk kurva batas ke-4, C4 , berupa lingkaran :

    C4 : x2 + y

    2 = 2, 0 < < 2,

    dan pada akhirnya mengambil limit .

    Langkah 3. Gambarkan peta daerah integrasi Dr :

    Untuk menggambarkan peta daerah Dxy pada bidang Dr , kita petakan masing-masing

    kurva batas lalu mencirikan daerah batas yang diperoleh.

    C1 : y = 0, 0 x < 2, dipetakan ke kurva :

    C1 : r = , (

    )

    Pada bidang (r, ), x adalah parameter kurva C ; jadi, C adalah selang terbuka r < 2 pada

    sumbu r.

    C2 : x2 + y

    2 = 4, dipetakan ke kurva :

    C2 : r = , (

    )

    Di sini, y adalah parameter kurva C2 pada bidang (r, ). Karena, sejajar sumbu , yang

    memotong sumbu r di r = 2.

    Dengan cara yang sama, C3 dipetakan ke pengaal garis C3 sejajar sumbu r, yang

    memotong sumbu di , dan terletak antara y 2, maka 0

    , yang memotong

    sumbu r di r = < 2. C4 dipetakan ke penggal garis C4 sejajar sumbu , antara 0

    , yang

    memotong sumbu r di r = < 2.

    Ke empat kurva dalam bidang (r, ) ini, membatasi daerah Dr berbentuk empat persegi

    panjang, seperti pada gamb. 8.8b.

  • 45

    Jadi, terhadap koordinat polar, integral lipat-2 pada contoh ini teralihkan menjadi:

    [

    ]

    [

    ]

    CATATAN : Khusus untuk koordinat polar (r, ) untuk menenetukan batas integral koordinat r

    dan , tidaklah terlalu perlu. Karena, kaitan geometris koordinat polar ( r, dengan ( x , y )

    pada bidang xy sudahlah jelas, sehingga Batas integral variabel r dan yang meliputi daerah Dxy

    jelas terbaca. Dengan demikian, selanjutnya perhitungan integral lipat -2 dengan koordinat polar

    (r, , dapat mengabaikan langkah pemetaan daerah integrasi yang diuraikan pada Contoh 2.5

    diatas.

    Contoh 2.6

    (

    )

    Lakukanlah perubahan variabel :

    Kemudian hitunglah integralnya dalam variabel u dan v.

    PEMECAHAN:

    Mengikuti langkah pemecahan pada Contoh 2.5, kita hitung dahulu faktor Jacobinya:

    (

    ) [

    ]

  • 46

    Jadi, integralnya beralih menjadi:

    (

    ) (

    )

    Daerah integrasinya dalam bidang xy adalah yang dilukiskan pada Gamb. 8.9a. Kurva

    batasnya ada tiga buah, yaitu: c1, c2, dan c3; ketiga titik potongnya adalah 0(0,0),

    P(

    Persamaan masing-masing kurva adalah:

    C1: sumbu y positif: x = 0, 0 < y < 1,

    C2: garis y = x 0 < x < 1/2,

    C3: garis y = 1 x 0 < x < 1/2.

    Pemetaannya pada bidang (u, v), kita tentukan dengan menggunakan transformasi invers:

    u = (x + y), dan v = (-x + y)

    Peta kurva yang berkaitan adalah:

    Ketiga kurva ini dalam bidang (u, v) diperlihatkan pada Gamb. 8.9b, yang berpotongan di titik:

    0 (0,0), P

    (1,0), dan Q

    (1,1). Daerah Duv adalah yang diarsir.

    Y=

    Y

    Dxy

    0

    Y=1-

    Y

    0

    u

    u=

    Duy

    (b(a1

  • 47

    Karena daerah integrasi Duv normal terhadap sumbu u maupun v, maka dengan memilih

    kenormalan terhadap sumbu u misalnya, kita peroleh rumusan integral berulang:

    ]

    Contoh 2.7

    Diketahui daerah Dxy pada kuadran I bidang xy dibatasi oleh kurva-kurva xy = 2, xy = 16, y2 =

    x, dan y2 = 4x. Hitunglah :

    Dengan melakukan pengubahan variabel yang memudahkan.

    PEMECAHAN:

    Pertama, kita gambarkan dahulu daerah integrasi Dxy:

    GAMBAR 2.9 (a). Daerah integrasi Dxy soal 8.6, dan (b) petanya Duv.

    C1

    C

    Dxy

    y C

    0

    C3

    x

    4

    1/2

    v

    2 16 u

    0

    Duv

  • 48

    Kurva-kurva batasnya adalah :

    C1: xy = 2

    C2: xy = 16

    C3: y2 = x, atau (y

    2/x) =

    C4: y2 = 4x, atau (y

    2/x) = 4

    dengan x, y > 0. Keempat titik potongnya adalah: P(2,1), Q(8,2), R(4,4), dan S(1,2) (lihat

    Gambar 2.10a).

    Ada banyak transformasi variabel untuk menghitung integral diatas, dan kita memilih

    yang mempermudah perhitungan. Karena C1 dan C2 adalah sepasang hiperbola, C3 dan C4

    sepasang parabola, masing-masing pasang bentuk fungsinya sama hanyalah berbeda koefisien,

    maka kita dapat memilih variabel integral baru sebagai berikut:

    u = xy, dan v = (y2/x)

    Dalam hal ini, peta daerah Dxy pada bidang uv dapat dicirikan melalui peta masing-

    masing kurva batas seperti yang kita lakukan pada Contoh 2.5 dan 8.6 diatas. Kita peroleh:

    GAMBAR 2.10 (a). Daerah integrasi DxyContoh 2.7, dan (b) petanya Duv .

  • 49

    dengan keempat titik potong yang bersangkutan adalah:

    (

    ) (

    ) (lihat Gambar 2.10b).

    Tampak, Duv adalah sebuah daerah empat persegi panjang. Faktor Jacobi

    bagi

    transformasi diatas akan kita cari dari inversnya. Kita peroleh:

    (

    ) [

    ] (

    )

    Jadi, faktor Jacobi transformasinya adalah:

    (

    )

    Integran (x2/y), dibawah transformasi diatas, beralih menjadi:

    (

    )

    Dengan demikian, integral contoh soal ini teralihkan menjadi:

    (

    ) (

    ) (

    )

    2.5 INTEGRAL LIPAT TIGA

    Perluasan integral lipat dua ke dimensi tiga memperkenalkan integral lipat tiga yang akan kita

    bahas dalam pasal ini dan yang berikutnya. Sebagian besar gagasan dasarnya tidaklah berbeda

    dari integral lipat dua,kecuali analisisnya sedikit lebih rumit. Karena itu, berikut kita hanya

    memusatkan perhatian pada uraian ringkas hal-hal pentingnya serta beberapa contoh

    perhitungannya. Pada pasal berikut dibahas pengalihan variabel interasi, terutama transformasi

    kesistem koordinat bola dan silinder.

    DEFINISI INTEGRAL LIPAT TIGA

  • 50

    Tinjaulah persoalan menentukan massa sebuah benda tiga dimensi terbatas V (bola, kerucut, atau

    benda tak beraturan lainnya),yang memiliki rapat massa tak seragam Untuk

    menghitung massa totalnya, pertama volume benda kita bagi atas sejumlah elemen volume kecil

    = ( (lihat Gambar 2.11).

    Kemudian,pilih sebuah titik wakil (xi, yi, zi) dalam setiap elemen volume Maka massa

    elemen volume ke-i dapat dihampiri oleh:

    ( )

    Dengan menjumlahkan terhadap seluruh elemen volume, dan mengambil limit untuk n kita

    peroleh massa total benda:

    ( )

    Jika limit diruas kanan ada, kita menuliskannya sebagai integral lipat tiga terhadap volume V

    benda:

    GAMBAR 2.11 volume ruang integrasi V, dengan elemen volume kecil

    z

    0

    z

    y

    y

    x

    x

  • 51

    Perhatian, daerah integrasinya disini adalah suatu volume ruang terbatas V. Setiap integral lipat

    tiga memenuhi sifat-sifat berikut:

    (1). Kelinearan:

    (2). Jika V= V1 U V2, dan V1 V2 = S (suatu permukaan), maka:

    INTEGRAL BERULANG:

    Sama halnya dengan integral lipat dua, perhitungan integral lipat tiga juga dapat dirumuskan

    ulang menjadi integral berulang (tiga kali) terhadap masing-masing variabel x, y, dan z. Urutan

    integrasinya dilakukan dengan memperhatikan kenormalan daerah volume integrasi V, yan kita

    definisikan sebagai berikut.

    Suatu volume integrasi V adalah normal terhadap bidang koordinat xy, jika sebuah garis yang

    ditarik tegak lurus terhadap bidang xy memotong dua permukaan S1 dan S2 yang masing-masing

    persamaan permukaannya z = z1(x, y),dan z = z2(x, y) tetap bentuknya. Jadi,

    dengan Dxy, adalah proyeksi gabungan permukaan S1 : z = z1 (x,y), dan S2 : z = z2 (x, y), pada

    bidang xy, dan z selanjutnya disebut variabel takbebas permukaan. Dalam hal V normal terhadap

    bidang yz, persamaan kedua permukaan yang dipotong garis normal bidang yz berbentuk x =

    x(y, z); sedangkan terhadap bidang xz, persamaan permukaannya berbentuk y = y (x,z).

  • 52

    Misalkan integral lipat tiga (2.30) normal terhadap bidang xy. Maka, kita peroleh

    rumus perhitungan sederhana:

    Dengan kedua batas integral sebagai fungsi x dan y berkaitan dengan persamaan permukaan

    batas atas z = z2 (x, y), dan batas bawah z = z1 (x, y). Jadi, integral lipat tiga dapatb

    dihitung sebagai berikut.

    Pertama, perlakukan x dan y tetap, kita hitung integral biasa:

    Kedua, kita hitung integral lipat dua:

    Disini, sekali lagi diingatkan bahwa Dxy adalah proyeksi gabungan permukaan atas z = z2 (x, y),

    dan bawah z = z1(x, y). Perhitungan selanjutnya mengikuti langkah perhitungan integral lipat dua

    yang telah dijelaskan didepan. Berikut adalah beberapa contoh perhitungan integral lipat tiga.

    CONTOH 2.8

    Hitunglah integral lipat tiga

    dengan f (x,y,z) = (xyz) dan v adalah bagian

    ruang dalam oktan pertama, yang bagian atasnya dibatasi oleh bidang 2x + 3y + z 2 = 0.

    PEMECAHAN:

    Pertama, kita sketsakan dahulu daerah volume v. Permukaan batas bawahnya adalah bidang xy,

    atau permukaan z = 0, sedangkan permukaan batas atasnya adalah bidang: z = -2x 3y + 2.

    0

    z

    2x+3y+z-

    y

    y

    Y=(-

    x0

  • 53

    Jadi:

    [

    ]

    Daerah Dxy terdapat pada kuadran I bidang xy, antara x = 0, y = 0, dan garis perpotongan bidang

    z = -2x 3y + 2 dengan bidang z = 0, yakni garis: -2x 3y + 2 = 0. Dari denahnya pada Gamb.

    8.12b, tampak bahwa Dxy normal terhadap sumbu x maupun sumbu y. Dengan memilih

    integrasi terhadap variabel y dahulu, kita peroleh:

    Gunakan integrasi parsial, u = xy, dan dv = (-2x-3y+2)2dy, kita Peroleh :

    [

    ]

    )

    Dalam hal permukaan s1 dan s2 berpotongan di luar bidang koordinat, persamaan batas D integral

    lipat duanya dicari dengan mengeliminasi variable khas tak bebas kedua permukaannya. Sebagai

    misal, jika permukaan s1 dan s2 normal terhadapa bidang xy, yang masing-masing persamaan

    GAMBAR 2.12 (a). Volume integrasi V, (b). Daerah integrasi Dxy.

  • 54

    permukaannya adalah z = z1 (x,y), dan z = z2 (x,y),maka persamaan batas daerah D xy adalah :

    z1 (x,y) = z2 (x,y).

    Contoh 2.9

    Hitunglah integral lipat tiga

    dxdydz, jika v adalah volume ruang antara permukaan

    kerucut parabolic z = x2 + y

    2 , dan bidang 2x +2y + z = -1.

    PEMECAHAN :

    Seperti biasanya, pertama kita sketsakan dahulu volume V yang dibatasi oleh permukaan

    S1 : z = x2 + y

    2 dan S2 : 2x + 2y + z = -1.

    Gambar 2.13 (a).Volume integrasi V, (b). Daerah integrasi Dxy

    Keduanya berpotongan pada sebuah kurva yang koordinat x dan y nya terletak pada lingkaran :

    x2 + y

    2 = - 2x - 2y -1, atau (x + 1 )

    2 + ( y + 1)

    2 = 1

    proyeksi volume V pada bidang xy dibatasi oleh lingkaran dengan persamaan diatas. Karena

    volume V, yang dibatasi oleh permukaan S1 dan S2 normal terhadap bidang xy, maka integral

    berulang lipat tiganya adalah :

    Y

    X

    z

    X

    Y -

    1,1

    Z=x2

  • 55

    ((

    )

    [ ]

    Daerah integral lipat dua D xy adalah piringan yang dibatasi oleh lingkaran ( x + 1) 2 + (y + 1)

    2

    =1 , yang diperlihatkan pada gambit 8.13 b. untuk mengintegrasikannya, kita gunakan koordinat

    polar, yang berpusat di (-1, -1) :

    ( x + 1) = r ( y - 1) = r

    Dalam koordinat polar (r , ), integral lipat dua di atas teralihkan menjadi :

    2.6 BESARAN FISIKA SEBAGAI INREGRAL LIPAT

    Pada pasal 8.1 disinggung bahwa integral lipat penting untuk merumuskan besaran total fisika

    sebuah system. Sebagai contoh perhitungan massa total benda yang kita tinjau sebagai pengantar

    ke rumusan integral lipat dua maupun tiga. Pada pasal ini akan disajikan beberapa rumusan

    integral lipat besaran fisika lainnya.

    Jika f(x, y, z) = ( x, y, z) adalah rapat massa benda yang menempati volume ruang V, maka

    seperti kita rumuskan di atas :

  • 56

    Memberikan massa total benda.

    Selanjutnya, jika r (x,y,z) adalah jarak elemen massa , dalam elemen volume ke garis

    L, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.14 momen lembam (inersia) nya ke sumbu L adalah:

    = r2( xk, yk, zk) r

    2 ( xk, yk, zk) ( xk, yk, zk) dV k

    Gambar 2.14 Momen lembam benda V terhadap sumbu L

    Dengan demikian, momen lembam benda secara keseluruhan ke sumbu L adalah :

    Jika L adalah sumbu z, maka r2 = x

    2 + y

    2 , dan lembam yang bersangkutan ditulis sebagai berikut

    :

    Z

    X

    Y

    R(xk, yk,

    L

  • 57

    Yang menyatakan momen lembam benda terhadap sumbu z. dengan cara yang sama, diperoleh:

    dan

    (2.39b,c)

    Momen massa benda ini terhadap masing-masing koordinat didefinisikan sebagai berikut L

    ; ; ( 8.40)

    Dan koordinat pusat massanya ( x, y, z) oleh rumus :

    X = ; Y = ; Z = (2.41)

    Dengan M adalah massa total benda pada pers. (2.37)

    2.7 INTEGRASI DALAM KOORDINAT SILINDER DAN BOLA

    Perhitungan integral lipat tiga, seperti halnya dengan integral lipat dua, untuk persoalan tertentu

    menjadi mudah ditangani dengan melakukan pengalihan variable integrasi.

    Tinjaulah kembali integral lipat tiga :

    Untuk memperoleh bentuk teralihkannya di bawah transformasi koordinat :

    ,

    Kita carikan dahulu hubungan transformasi elemen volume dV = dalam system

    koordinat ( x, y, z) dengan dV = dudvdw dalam system koordinat (u, v, w). mengacu ke pasal

    4.9, elemen volume dV = dxdydz, dapat dipandang sebagai hasil kali triple saklar :

    dV = (dx x dy) dz (2.44)

  • 58

    dengan dx = |dx|, dan seterusnya

    Terhadap informasi koordinat (2.43), masing-masing vektor dideferensialkan koordinat dx, dy,

    dan dz bertransformasi menjadi :

    Sisipkan pernyataan vector (2.45) ke dalam hasil kali triple skalar ( 8.44 ), maka melalui utak-

    atik al jabar vector hasil kali silang dan titik sederahan, kita peroleh hasil :

    dxdydz = J( dudvdw (2.46)

    Adalah determinan matriks Jacobi, atau factor Jacobi transformasi koordinat (2.43). jika factor

    Jacobi J tak nol, maka transformasi koordinat (2.43) memiliki invers, dan berlaku:

    Jadi, jika fungsi integran f ( x, y) beralih menjadi :

    f ( x ( u, v, w) , y ( u, v, w) ) = g ( u, v, w)

    Maka integral lipat tiga (2.42) bertransformasi menjadi :

    dengan V merupakan peta volume subruang V dalam system koordinat (u, v, w).

  • 59

    Berikut kita akan meninjau dua transformasi koordinat yang sering digunakan dalam menghitung

    integral lipat tiga, yaitu : dari sistem koordinat kartesis ke sistem koordinat silinder dan bola.

    SISTEM KOORDINAT SILINDER

    Integral lipat tiga dengan bentuk permukaan batas yang simetris terhadap senuah sumbu tertentu,

    menjadi lebih mudah ditangani bila digunakan system koordinat silinder. Dengan memilih

    sumbu-z sebagai sumbu simetri, system koordinat silinder merupakan perluasan system

    koordinat polar (r, ) dalam bidang xy, ke dalam ruang tiga dimensi. Jika ( x, y, z ) adalah

    koordinat sebuah titik P dalam system koordinat kartesis, maka dalam system koordinat silinder

    ini, koordinat P dicirikan oleh (r, , z), seperti diperlihatkan pada Gambar 2.15. disini (r, )

    adalah kordinat polar proyeksi tegak titik P pada bidang xy yakni P, sedangkan z adalah

    koordinat z titik P dalam system koordinat kartesis.

    Dari Gambar 2.15 kita peroleh hubungan berikut antara koordinat kartesis (x, y, z) dan silinder

    (r, , z) :

    Dalam system koordinat silinder ini, ketiga permukaan berikut memiliki pernyataan yang

    sederhana, yaitu :

    (a) Silinder berjari-jari R dengan sumbu simetri z ; r =R

    (b) Bidang yang memuat sumbu-z; o

    (c) Bidang yang memotong tegak lurus sumbu-z; z = zo

    Dengan R, o dan zo adalah tetapan.

    P (X, Y, Z) (r,

    Y

    Z

    X

    r

    Z

  • 60

    Factor Jacobi bagi transformasi koordinat (2.49) di atas, dapat dihitung langsung, dengan hasil:

    [

    ]

    Jadi, elemen volume dV dalam system koordinat kartesis dan silinder berkaitan melalui

    hubungan :

    dV = (dxdydz) = r (drd dz) (2.51)

    Contoh 2.10

    Hitunglah massa total dan koordinat z pusat massa benda yang menempati volume di dalam

    kerucut eliptik :

    Jika rapat massanya =c, sebuah tetapan. Gunakanlah koordinat silinder.

    PEMECAHAN :

    Menurut rumusan (2.37), massa total benda adalah:

    Untuk menggunakan koordinat silinder, pertama kita lakukan transformasi koordinat :

    x = ax; y = dy; z = z

    yang memiliki factor Jacobi J =ab. Persamaan permukaan kerucut eliptik dalam koordinat (x, y,

    z) adalah : z2 = h2 (x2 + y2), yang memperlihatkan simetri silinder terhadap sumbu-z.

    selanjutnya, terhadap koordinat (x, y, z) ini, kita lakukan transformasi ke koordinat silinder (r,

    , z) :

    x = r cos ; y = r sin ; z =z

  • 61

    dalam massa persamaan kerucut tersederhanakan menjadi:

    z2 = h

    2 r

    2

    pada Gambar 2.16, tampak volume V normal terhadap bidang xy, dengan permukaan batas

    bawah adalah kerucut eliptik z1 = hr dan bidang z2 = h sebagai batas atasnya.

    Gambar 2.16 benda dalam volume bagian ruang V

    Jadi, integral berulang massa benda adalah :

    M = abc

    =

    Proyeksi gabungan permukaan batas volume ruang ini pada bidang xy adalah piringan

    lingkaran dengan batas lingkaran berjari-jari : r = 1. Jadi,

    Untuk mengitung koordinat z pusat massa benda ini menurut pers. (2.41), kita hitung dahulu

    momen massanya terhadap bidang xy, Mxy. Dengan cara yang sama, kita dapati:

    Z

    Y

    X

    h

    0

  • 62

    Jadi, koordinat Z pusat massa benda, menurut Pers. (2.41) adalah :

    Z = Mxy/M = (

    )/ (

    )=

    SISTEM KOORDINAT BOLA

    Bagi bentuk volume ruang yang memiliki simetri bola terhadap sebuah titik, perhitungan integral

    lipat tiganya menjadi lebih sederhana bila digunakan system koordinat bola. Dengan mengambil

    titik asal O sebagai pusat simetri, maka sebuah titik P dengan koordinat kartesis (x, y, z) dalam

    system koordinat bola dicirikan oleh tiga koordinat (r, , ), dengan r berdimensi jarak,

    sedangkan dan adalah besaran sudut. Arti geometris masing-masing koordinat r adalah

    panjang vector kedudukan r titik P ke titik asal O, r = |r|, sudut yang dibentuk oleh vector r

    terhadap sumbu z positif, dan sudut yang dibentuk proyeksi vector r pada bidang xy terhadap

    sumbu x positif.

    Dari Gambar 2.17, kita peroleh hubungan berikut antara kooordinat kartesis (x, y, z) dan bola (r,

    , ) :

    Y

    X

    X

    Z

    Z

    Y Z

    r

    Q

  • 63

    Dalam system koordinat bola ini, ketiga permukaan berikut memiliki pernyataan yang sederhana,

    yaitu :

    (a) Bola berjari-jari R dengan pusat di O: r =R

    (b) Bidang yang memuat sumbu-z: o

    (c) Kerucut dengan puncak di O den bersumbu-z: = o

    Dengan R, o , o adalah tetapan.

    Factor Jacobi bagi transformasi koordinat (2.52) di atas, dapat dihitung langsung. Hasilnya:

    [

    ]

    (2.53)

    Jadi, elemen volume dV dalam system koordinat kartesis dan bola berkaitan melalui hubungan :

    dv = (dxdydz) = (drd d (2.54)

    CONTOH 2.11 :

    Sebuah volume benda dibatasi oleh permukaan kerucut x2 + y

    2 = p

    2z

    2 dan permukaan bola x

    2 +

    y2 + z

    2 = a

    2. Dengan menggunakan system koordinatt bola, hitunglah :

    (a) Volumenya,

    (b) Koordinat Z pusat massanya, jika massa jenisnya =c, sebuah tetapan.

    PEMECAHAN :

    Pertama, kita tuliskan ulang persamaan permukaan bola dan kerucut dengan menggunakan

    koordinat bola (r, , ). Penyisipan transformasi koordinat (2.52) ke dalam persamaan

    permukaan bola bola x2 + y

    2 + z

    2 = a

    2, memberikan r =a; sedangkan untuk permukaan kerucut

    = ( lihat Gambar 2.18)

    Z

  • 64

    Gambar 2.18 Benda dalam Volume bagian V

    a). volumenya diberika oleh:

    Untuk memeriksa kebenarannya, perhatikan bahwa bila =

    , maka bendanya berbentuk separuh

    volume bola. Volume geometris

    ,sesuai dengan hasil perhitungan diatas.

    b). koordinat Z pusat massa benda yang diberikan oleh: Z = Mxy / M. Mxy adalah momen

    massa terhadap bidang xy.

    Sedangkan M massa total benda:

    Jadi ,

    Z = Mxy / M = 3a ( 1 + cos )/

    SOAL SOAL :

    1. Hitunglah integral lipat dua berikut terhadap y dahulu :

  • 65

    2. Integrasikan integral lipat dua pada soal 1 terhadap variable x dahulu, dengan

    menggambarkan dahulu daerah integrasinya.

    3. Hitunglah integral berikut :

    dengan memilih terhadap variable, mana diintegrasikan dahulu.

    4. integrasikan masing-masing fungsi f (x,y) berikut terhadap daerah yang diberikan :

    a). f (x,y) = terhadap daerah segitiga yang dibatasi oleh garis x = x/y

    terhadap daerah

    yang dibatasi oleh garis x = 0, y = 0, dan zx + 3y =1

    b). f (x,y) = x/y terhadap daerah yang dibatasi oleh garis-garis y = x, y = 2x, x =1 ,

    dan x =2.

    5. Hitunglah integral lipat dua fungsi f (x,y) terhadap daerah yang diberikan dengan

    menggunakan transformasi koordinat yang diusulkan

    a). (x, y) = 1/ (1 + x2 + y2) terhadap daerah yang dibatasi lemniskat ( x2 + y2)2 (

    x2 y2) = 0. ( Gunakan koordinat polar).

  • 66

    b). f (x, y) = x2y2 (y2 x2) terhadap daerah dalam kuadran pertama yang dibatasi

    hiperbola xy = 1, xy = 4, dan garis y = x + 1, y = x + 3.

    (Gunakan transformasi koordinat : u = xy, v =( y x).

    INTEGRAL LIPAT TIGA :

    6. Hitunglah volume ruang dalam oktan pertama yang dibatasi oleh ketiga bidang

    koordinat dan permukaan 2x + 3y + 6z =12.

    7. Hitunglah volume ruang di dalam kerucut : a ( b z ) = dan silinder x2

    + y2 = ax, yang dibatasi bidang z = 0.

    8. Hitunglah :

    dengan V adalah bagian kerucut , yang

    terletak antara bidang z = 0 dan z = 4.

    9. Sebuah benda padat dalam oktan pertama dibatasi oleh ketiga bidang koordinat

    dan bidang x + y + z = 2. Jika rapat massanya , hitunglah massa total,

    dan koordinat pusat massanya.

    10. Hitunglah momen lembam Ix dari benda yang dipotong dari bola x2 + y2 + z2 = a2

    oleh silinder x2 + y2 = a2.

    11. Hitunglah momen lembam terhadap sumbu-z, dari benda yang dibatasi oleh bola r

    = a, dan dibawahnya olehh kerucut

    .

  • 67

    BAB 3 ANALISIS VEKTOR DAN PENGERTIAN MEDAN

    3.1 UMUM

    Pada Fisika Matematika I kita membahas mengenai pengertian dasar besaran vector serta

    aljabarnya, yang dibatasi hanya pada vector-vektor bernilai tetap, baik besar maupun arahnya.

    Dalam bab ini, bahasannya akan kita tingkatkan pada fungsi bernilai vector atau medan vector,

    dan kalkulus vector, yakni diferensiasi serta integrasi fungsi-fungsi bernilai vector. Isi bahasan

    ini tergolong bidang kalkulus atau analisi vector yang memainkan peranan penting dalam kajian

    mekanika, hidrodinamika, dan teori electromagnet. Manfaatnya terutama memberikan rumusan

    ringkas berbagai besaran fisika, yang selain bergantung pada kedudukan juga pada arah, serta

    hukum-hukum fisika yang mengatur keterkaitan mereka.

    Uraian ini menggunakan pendekatan fisika untuk mengenalka pengertian dasar seperti medan

    vector, divergensi, integral lintasan, permukaan, serta teorema integral divergensi dan Stokes.

    Sebagai contoh, integral lintasan yang dikaitkan dengan pengertian usaha dalam mekanika,

    integral permukaan dengan fluks atau jumlah garis gaya yang menembus suatu permukaan.

    Bahasan kita akan diaali dengan pengertian fungsi bernilai vector.

    3.2 FUNGSI VEKTOR SATU VARIABEL

    Tinjau sebuah partikel yang bergerak dalam ruang berdimensi i-3, R3 karena bergerak, koordinat

    kedudukannya ( x, y, z ) selalu berubah, atau bergantung pada waktu t : x = x (t), y = y (t) dan z

    = z (t). ini berarti, vector kedudukan r nya juga bergantung pada waktu t :

    R = x (t) + y (t)

    = r (t) (3.1)

    Titik terminal vector r, dengan demikian, selalu berubah mengikuti kedudukan sesaat benda.

    Jadi, jejak titik terminal vector r (t) adalah kurva lintasan benda C : x = x (t), Y = y (t), z = z (t),

    dengan t sebagai parameter kurva, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.1a. sebagi contoh, vector

  • 68

    kedudukan sesaat benda yang bergerak sepanjang heliks C : x = cos t; y = sin t; z = t pada

    gamabr 9.1b dalah :

    Gambar 3.1 (a) Vektor kedudukan r(t) dan kurva linta; (b) Heliks C dan vector r(t)

    Vector kedudukan r (t) pada pers. (3.1) adalah contoh fungsi vector satu variable, yang secara

    geometris menyatakan sebuah kurva C dalam ruang dengan parameter t.

    Secara umum, vector A = Ax + Ay + Az dengan ketiga komponennya = Ax ,Ay dan Az

    merupakan fungsi dari sebuah variable u, yakni :

    A = Ax(u) + Ay + Az

    = A (u) (3.2)

    Adalah sebuah fungsi vector satu variabel.

    3.3 DIFERENSIASI FUNGSI VEKTOR SATU VARIABEL

    Tinjau Gambar 3.2a dengan C adalah kurva lintasan benda. Misalkan pada saat t = t1 benda

    berada dititik P dengan vector kedudukan r (t1), dan pada saat t = t2 ia berada dititik Q dengan

    vector kedudukan r (t2). Selisih kedua vektor kedudukan ini, yakni :

    Y

    r

    Z

    r(t

    O

    Y

    C

    r(t)

    (a) (b)

  • 69

    = [x - x ] + [y - y ] + [z - z ]

    = (3.3)

    Disebut vektor perpindahan benda.Pada Gambar 3.2a. adalah vektor Maka, dalam selang

    waktu = { }, kecepatan rata-rata benda didefinisikan sebagai berikut:

    (

    ) (

    ) (

    )

    Gambar 3.2 (a) vector perpindahan r =PQ, (b) Vektor Limit r 0 menyinggung kurva C.

    Jika sekecil mungkin, maka vektor perpindahan yang bersangkutan semakin

    menghampiri busur kurva lintasan C, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.2b bils maka

    vektor , yang kini beimpit dengan busur kurva dan arahnya sejajar garis singgung kurva

    lintasan di r (t). pada keadaan limit ini, kecepatan benda pada saat ketika kedudukanya di r (t),

    yang di sebut kecepatan sesaat atau kecepatan benda, yakni :

    (

    ) (

    ) (

    )

    Z

    X

    Y

    O

    C

    r

    Yr(t2

    (a)

    Yr(t1Y

    x

    d

    (b)

    z

    0

  • 70

    Setiap komponen di ruas kanan pers. (3.5), menurut kalkulus, berturut-turut adalah diferensiasi

    dx/dt, dy/dt dan dz/dt.

    Secara matematika, pers (3.5) adalah definisi diferensiasi atau turunan fungsi vektor aatau

    variable r (t) terhadap t, yang dinotasikan sebagai :

    (

    ) (

    ) (

    )

    karena diferensial

    menyinggung kurva C : r (t), maka kecepatan v pada pers (3.6) arahnya menyinggung pula kurva

    lintasan C. selanjutnya, didefinisikan pula turuna kedua vektor r (t) :

    yang adalah vektor percepatan benda.

    Secara umum, jika ketiga fungsi komponen Ax (u), Ay ( u) dan Az (u) dari fungsi vektor satu

    variable A (u) pada pers. (3.2) adalah diferensiabel, maka diferensiasi fungsi vektor A (u)

    didefinisikan sebagai :

    Jadi, trunan sebuah fungsi vektor A adalah sebuah vektor dA/dt yang komponen-komponennya

    adalah turunan dari masing-masing komponen A. begitupula didefinisikan orde tinggi ,

    , dan seterusnya.

  • 71

    CONTOH 3.1 :

    Hitunglah vektor kecepatan dan percepatan dari sebuah partikel yang bergerak sepanjang heliks

    C dengan persamaan vektor kedudukan r (t) = ( cost) .

    PEMECAHAN :

    Menurut pers. (3.5), vektor kecepatan benda adalah :

    = - (sin t)

    Sedangkan vektor percepatannya adalah :

    = - (cos t)

    RUMUS DIFERENSIASI

    Berikut adalah rumusan diferensiasi vektor yang pembuktiannya dapat diperlihatkan dengan

    menerapkan definisi (3.9).

    Jika A (u), B (u) dan C (U) adalah fungsi-fungsi vektor diferensiabel dari scalar u, maka:

    (2). Jika (u) adalah sebuah fungsi diferensiabel dari u,

  • 72

    (

    ) (

    )

    (

    )

    3.4. MEDAN SKALAR DAN VEKTOR

    Pada umumnya, nilai berbagai besaran fisika tidaklah sama pada titik yang berbeda dalam ruang.

    Sebagai contoh, suhu di dekat tempat perapian adalah lebih tinggi daripada di tempat yang jauh.

    Begitupula, besar dan arah kecepatan aliran fluida dalam sebuah pipa tak lurus yang luas

    penampangnya berubah ubah, tidaklah sama dalam berbagai titik sepanjang pipa.

    Kedua jenis besaran ini, secara umum, didefinisikan sebagai berikut:

    Definisi 3.1:

    Jika pada setiap titik P(x, y, z) dari suatu daerah D dalam ruang dikaitakan:

    (a). sebuah scalar , maka fungsi scalar ( x, y, z) mendefinisikan sebuah medan skalardalam

    daerah D.

    (b). sebuah vektor F, maka fungsi vektor F (x, y, z) mendefinisikan sebuah medan vector dalam

    daerah D. dalam komponen:

    F(x, y, z) = Fx (x, y, z)I + Fy (x, y, z)j + Fz (x, y, z)k (3.10)

    Medan scalar ( x, y, z), dan medan vektor F(x, y, z) seringkali disingkat dengan notasi (r) dan

    dan F(r).

    Contoh 3.2: Medan Saklar

    (a). Distribusi suhu T pada selembar logam D, mengidentifikasikan sebuah medan saklar T(x, y,

    z).

    (b). Fungsi (x, y, z) = z3 xy2 mengidentifikasi sebuah medan Saklar dalam ruang.

  • 73

    Contoh 3.3 : Medan Vektor

    (a). Kecepatan aliran fluida v pada setiap titik (x, y, z) dalam fluida, mengindetifikasikan

    sebuah medan saklar v(x, y, z).

    (b). Medan elektrostatik E(x, y, z) = xz xy2 + y3z mengidentifikasikan sebuah medan

    vektor dalam ruang. Di sini, ketiga komponennya adalah:

    Ex (x, y, z) = xz, Ey (x, y, z) = - xy2, Ez (x, y, z) = y

    3z

    3.5. GRADIEN DAN TURUNAN ARAH

    Tinjuahlah sebuah medan skalar yang terdefinisika dalam daerah D, misalkan suhu

    dalam ruang. Pada pasal 7.2, telah kita perlihatkan bahwa diferensial totalnya, diberikan

    oleh:

    Ruas kanan dapat dituliskan dalam pernyataan hasil kali titik:

    (

    ) ( )

    Ini adalah hasil kali titik antara vektor dr dengan medan vektor

    .

    Medan vektor ini disebut gradien yang dilambangkan dengan grad atau (baca del .

    Secara definisi:

    Dengan demikian, pers. (3.11) teringkaskan menjadi:

    Jika dr adalah deferensial vektor kedudukan sepanjang kurva C:

  • 74

    ( )

    | |

    Adalah diferensial panjang atau metrik dari kurva C. Jika s diambil sebagai parameter kurva C,

    maka:

    | |

    adalah vektor singgung satuan dari kurva C.

    Kita selanjutnya mendefinisikan turunan medan skalar dalam arah v sebagai:

    Dengan vektor satuan dalam arah v yang lazim disebut turunan arah medan skalar Secara

    fisika,

    ma