18
BAB VI RANGKAI KELAMIN DAN PENENTUAN JENIS KELAMIN Kromosom Kelamin dan Autosom Gen Rangkai Kelamin Tipe Penentuan Jenis Kelamin Organisme

Buku Ajar Gen 06

Embed Size (px)

DESCRIPTION

lili

Citation preview

Page 1: Buku Ajar Gen 06

BAB VI

RANGKAI KELAMIN

DAN

PENENTUAN JENIS KELAMIN

Kromosom Kelamin dan Autosom

Gen Rangkai Kelamin

Tipe Penentuan Jenis Kelamin

Organisme

Kromatin Kelamin dan Hipotesis

Lyon

Pengaruh Hormon Kelamin dalam

Penentuan Jenis Kelamin

Page 2: Buku Ajar Gen 06

BAB VI. RANGKAI KELAMIN

DAN PENENTUAN JENIS KELAMIN

Pada Bab V telah kita pelajari pola pewarisan sifat yang diatur oleh gen-gen

berangkai atau gen-gen yang terletak pada satu kromosom. Keberadaan gen

berangkai pada suatu spesies organisme, yang meliputi urutan dan jaraknya satu

sama lain, menghasilkan peta kromosom untuk spesies tersebut, misalnya peta

kromosom pada lalat Drosophila melanogaster yang terdiri atas empat kelompok gen

berangkai (Gambar 5.4).

Salah satu dari keempat kelompok gen berangkai atau keempat pasang

kromosom pada D. melanogaster tersebut, dalam hal ini kromosom nomor 1, disebut

sebagai kromosom kelamin. Pemberian nama ini karena strukturnya pada individu

jantan dan individu betina memperlihatkan perbedaan sehingga dapat digunakan

untuk membedakan jenis kelamin individu. Ternyata banyak sekali spesies

organisme lainnya, terutama hewan dan juga manusia, mempunyai kromosom

kelamin.

Gen-gen yang terletak pada kromosom kelamin dinamakan gen rangkai

kelamin (sex-linked genes) sementara fenomena yang melibatkan pewarisan gen-

gen ini disebut peristiwa rangkai kelamin (linkage). Adapun gen berangkai yang

dibicarakan pada Bab V adalah gen-gen yang terletak pada kromosom selain

kromosom kelamin, yaitu kromosom yang pada individu jantan dan betina sama

strukturnya sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin.

Kromosom semacam ini dinamakan autosom.

Seperti halnya gen berangkai (autosomal), gen-gen rangkai kelamin tidak

mengalami segregasi dan penggabungan secara acak di dalam gamet-gamet yang

terbentuk. Akibatnya, individu-individu yang dihasilkan melalui kombinasi gamet

tersebut memperlihatkan nisbah fenotipe dan genotipe yang menyimpang dari hukum

Mendel. Selain itu, jika pada percobaan Mendel perkawinan resiprok (genotipe tetua

jantan dan betina dipertukarkan) menghasilkan keturunan yang sama, tidak demikian

halnya untuk sifat-sifat yang diatur oleh gen rangkai kelamin.

Gen rangkai kelamin dapat dikelompok-kelompokkan berdasarkan atas macam

kromosom kelamin tempatnya berada. Oleh karena kromosom kelamin pada

81

Page 3: Buku Ajar Gen 06

umumnya dapat dibedakan menjadi kromosom X dan Y, maka gen rangkai kelamin

dapat menjadi gen rangkai X (X-linked genes) dan gen rangkai Y (Y-linked

genes). Di samping itu, ada pula beberapa gen yang terletak pada kromosom X tetapi

memiliki pasangan pada kromosom Y. Gen semacam ini dinamakan gen rangkai

kelamin tak sempurna (incompletely sex-linked genes). Pada bab ini akan

dijelaskan cara pewarisan macam-macam gen rangkai kelamin tersebut serta

beberapa sistem penentuan jenis kelamin pada berbagai spesies organisme.

Pewarisan Rangkai X

Percobaan yang pertama kali mengungkapkan adanya peristiwa rangkai

kelamin dilakukan oleh T.H Morgan pada tahun 1910. Dia menyilangkan lalat D.

melanogaster jantan bermata putih dengan betina bermata merah. Lalat bermata

merah lazim dianggap sebagai lalat normal atau tipe alami (wild type), sedang gen

pengatur tipe alami, misalnya pengatur warna mata merah ini, dapat dilambangkan

dengan tanda +. Biasanya, meskipun tidak selalu, gen tipe alami bersifat dominan

terhadap alel mutannya.

Hasil persilangan Morgan tersebut, khususnya pada generasi F1, ternyata

berbeda jika tetua jantan yang digunakan adalah tipe alami (bermata merah) dan

tetua betinanya bermata putih. Dengan perkataan lain, perkawinan resiprok

menghasilkan keturunan yang berbeda. Persilangan resiprok dengan hasil yang

berbeda ini memberikan petunjuk bahwa pewarisan warna mata pada Drosophila ada

hubungannya dengan jenis kelamin, dan ternyata kemudian memang diketahui

bahwa gen yang mengatur warna mata pada Drosophila terletak pada kromosom

kelamin, dalam hal ini kromosom X. Oleh karena itu, gen pengatur warna mata ini

dikatakan sebagai gen rangkai X.

Secara skema pewarisan warna mata pada Drosophila dapat dilihat pada

Gambar 6.1. Kromosom X dan Y masimg-masing lazim dilambangkan dengan

tanda dan .

P : + + w P : w w + x x betina normal jantan mata putih betina mata putih jantan normal

F1 : + w + F1: + w w

82

Page 4: Buku Ajar Gen 06

betina normal jantan normal betina normal jantan mata putih a) b)

Gambar 6.1. Diagram persilangan rangkai X pada Drosophila

Jika kita perhatikan Gambar 6.1.b, akan nampak bahwa lalat F1 betina

mempunyai mata seperti tetua jantannya, yaitu normal/merah. Sebaliknya, lalat F1

jantan warna matanya seperti tetua betinanya, yaitu putih. Pewarisan sifat semacam

ini disebut sebagai criss cross inheritance.

Pada Drosophila, dan juga beberapa spesies organisme lainnya, individu betina

membawa dua buah kromosom X, yang dengan sendirinya homolog, sehingga

gamet-gamet yang dihasilkannya akan mempunyai susunan gen yang sama. Oleh

karena itu, individu betina ini dikatakan bersifat homogametik. Sebaliknya, individu

jantan yang hanya membawa sebuah kromosom X akan menghasilkan dua macam

gamet yang berbeda, yaitu gamet yang membawa kromosom X dan gamet yang

membawa kromosom Y. Individu jantan ini dikatakan bersifat heterogametik.

Rangkai X pada kucing

Warna bulu pada kucing ditentukan oleh suatu gen rangkai X. Dalam keadaan

heterozigot gen ini menyebabkan warna bulu yang dikenal dengan istilah tortoise

shell. Oleh karena genotipe heterozigot untuk gen rangkai X hanya dapat dijumpai

pada individu betina, maka kucing berbulu tortoise shell hanya terdapat pada jenis

kelamin betina. Sementara itu, individu homozigot dominan (betina) dan hemizigot

dominan (jantan) mempunyai bulu berwarna hitam. Individu homozigot resesif

(betina) dan hemizigot resesif (jantan) akan berbulu kuning.

Istilah hemizigot digunakan untuk menyebutkan genotipe individu dengan

sebuah kromosom X. Individu dengan gen dominan yang terdapat pada satu-satunya

kromosom X dikatakan hemizigot dominan. Sebaliknya, jika gen tersebut resesif,

individu yang memilikinya disebut hemizigot resesif.

Rangkai X pada manusia

Salah satu contoh gen rangkai X pada manusia adalah gen resesif yang

menyebabkan penyakit hemofilia, yaitu gangguan dalam proses pembekuan darah.

Sebenarnya, kasus hemofilia telah dijumpai sejak lama di negara-negara Arab ketika

beberapa anak laki-laki meninggal akibat perdarahan hebat setelah dikhitan. Namun,

waktu itu kematian akibat perdarahan ini hanya dianggap sebagai takdir semata.

83

Page 5: Buku Ajar Gen 06

Hemofilia baru menjadi terkenal dan dipelajari pola pewarisannya setelah

beberapa anggota keluarga Kerajaan Inggris mengalaminya. Awalnya, salah seorang

di antara putra Ratu Victoria menderita hemofilia sementara dua di antara putrinya

karier atau heterozigot. Dari kedua putri yang heterozigot ini lahir tiga cucu laki-laki

yang menderita hemofilia dan empat cucu wanita yang heterozigot. Melalui dua dari

keempat cucu yang heterozigot inilah penyakit hemofilia tersebar di kalangan

keluarga Kerajaan Rusia dan Spanyol. Sementara itu, anggota keluarga Kerajaan

Inggris saat ini yang merupakan keturunan putra/putri normal Ratu Victoria bebas

dari penyakit hemofilia.

Rangkai Z pada ayam

Pada dasarnya pola pewarisan sifat rangkai Z sama dengan pewarisan sifat

rangkai X. Hanya saja, kalau pada rangkai X individu homogametik berjenis kelamin

pria/jantan sementara individu heterogametik berjenis kelamin wanita/betina, pada

rangkai Z justru terjadi sebaliknya. Individu homogametik (ZZ) adalah jantan,

sedang individu heterogametik (ZW) adalah betina.

Contoh gen rangkai Z yang lazim dikemukakan adalah gen resesif br yang

menyebabkan pemerataan pigmentasi bulu secara normal pada ayam. Alelnya, Br,

menyebabkan bulu ayam menjadi burik. Jadi, pada kasus ini alel resesif justru

dianggap sebagai tipe alami atau normal (dilambangkan dengan +), sedang alel

dominannya merupakan alel mutan.

Pewarisan Rangkai Y

Pada umumnya kromosom Y hanya sedikit sekali mengandung gen yang aktif.

Jumlah yang sangat sedikit ini mungkin disebabkan oleh sulitnya menemukan alel

mutan bagi gen rangkai Y yang dapat menghasilkan fenotipe abnormal. Biasanya

suatu gen/alel dapat dideteksi keberadaannya apabila fenotipe yang dihasilkannya

adalah abnormal. Oleh karena fenotipe abnormal yang disebabkan oleh gen rangkai

Y jumlahnya sangat sedikit, maka gen rangkai Y diduga merupakan gen yang sangat

stabil.

Gen rangkai Y jelas tidak mungkin diekspresikan pada individu betina/wanita

sehingga gen ini disebut juga gen holandrik. Contoh gen holandrik pada manusia

adalah Hg dengan alelnya hg yang menyebabkan bulu kasar dan panjang, Ht dengan

alelnya ht yang menyebabkan pertumbuhan bulu panjang di sekitar telinga, dan Wt

dengan alelnya wt yang menyebabkan abnormalitas kulit pada jari.

84

Page 6: Buku Ajar Gen 06

Pewarisan Rangkai Kelamin Tak Sempurna

Meskipun dari uraian di atas secara tersirat dapat ditafsirkan bahwa kromosom

X tidak homolog dengan kromosom Y, ternyata ada bagian atau segmen tertentu

pada kedua kromosom tersebut yang homolog satu sama lain. Dengan perkataan lain,

ada beberapa gen pada kromosom X yang mempunyai alel pada kromosom Y.

Pewarisan sifat yang diatur oleh gen semacam ini dapat dikatakan tidak dipengaruhi

oleh jenis kelamin, dan berlangsung seperti halnya pewarisan gen autosomal. Oleh

karena itu, gen-gen pada segmen kromosom X dan Y yang homolog ini disebut juga

gen rangkai kelamin tak sempurna.

Pada D. melanogaster terdapat gen rangkai kelamin tak sempurna yang

menyebabkan pertumbuhan bulu pendek. Pewarisan gen yang bersifat resesif ini

dapat dilihat pada Gambar 6.2.

P : P : + + x b b b b x + + betina normal jantan bulu pendek betina bulu pendek jantan normal

F1 : F1:

+ b + b + b + b betina normal jantan normal betina normal jantan normal a) b)

Gambar 6.2. Diagram pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna

Dapat dilihat pada Gambar 6.2 bahwa perkawinan resiprok untuk gen rangkai

kelamin tak sempurna akan memberikan hasil yang sama seperti halnya hasil yang

diperoleh dari perkawinan resiprok untuk gen-gen autosomal. Jadi, pewarisan gen

rangkai kelamin tak sempurna mempunyai pola seperti pewarisan gen autosomal.

Sistem Penentuan Jenis Kelamin

Telah disebutkan di atas bahwa pada manusia dan mamalia, dalam hal ini

kucing, individu pria/jantan adalah heterogametik (XY) sementara wanita/betina

adalah homogametik (XX). Sebaliknya, pada ayam individu jantan justru

homogametik (ZZ) sementara individu betinanya heterogametik (ZW). Penentuan

jenis kelamin pada manusia/mamalia dikatakan mengikuti sistem XY, sedang pada

ayam, dan unggas lainnya serta ikan tertentu, mengikuti sistem ZW.

Selain kedua sistem tersebut, masih banyak sistem penentuan jenis kelamin

lainnya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa di antaranya.

85

Page 7: Buku Ajar Gen 06

Sistem XO

Sistem XO dijumpai pada beberapa jenis serangga, misalnya belalang. Di

dalam sel somatisnya, individu betina memiliki dua buah kromosom X sementara

individu jantan hanya mempunyai sebuah kromosom X. Jadi, hal ini mirip dengan

sistem XY. Bedanya, pada sistem XO individu jantan tidak mempunyai kromosom

Y. Dengan demikian, jumlah kromosom sel somatis individu betina lebih banyak

daripada jumlah pada individu jantan. Sebagai contoh, E.B. Wilson menemukan

bahwa sel somatis serangga Protenor betina mempunyai 14 kromosom, sedang pada

individu jantannya hanya ada 13 kromosom.

Sistem nisbah X/A

C.B. Bridge melakukan serangkaian penelitian mengenai jenis kelamin pada

lalat Drosophila. Dia berhasil menyimpulkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin

pada organisme tersebut berkaitan dengan nisbah banyaknya kromosom X terhadap

banyaknya autosom, dan tidak ada hubungannya dengan kromosom Y. Dalam hal ini

kromosom Y hanya berperan mengatur fertilitas jantan. Secara ringkas penentuan

jenis kelamin dengan sistem X/A pada lalat Drosophila dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Penentuan jenis kelamin pada lalat Drosophila

Σ kromosom X Σ autosom nibah X/A jenis kelamin

1 2 0,5 jantan

2 2 1 betina

3 2 1,5 metabetina

4 3 1,33 metabetina

4 4 1 betina 4n

3 3 1 betina 3n

3 4 0,75 interseks

2 3 0,67 interseks

2 4 0,5 jantan

1 3 0,33 metajantan

Jika kita perhatikan kolom pertama pada Tabel 6.1 akan terlihat bahwa ada

beberapa individu yang jumlah kromosom X-nya lebih dari dua buah, yakni individu

dengan jenis kelamin metabetina, betina triploid dan tetraploid, serta interseks.

Adanya kromosom X yang didapatkan melebihi jumlah kromosom X pada individu

normal (diploid) ini disebabkan oleh terjadinya peristiwa yang dinamakan gagal

86

Page 8: Buku Ajar Gen 06

pisah (non disjunction), yaitu gagal berpisahnya kedua kromosom X pada waktu

pembelahan meiosis.

Pada Drosophila terjadinya gagal pisah dapat menyebabkan terbentuknya

beberapa individu abnormal seperti nampak pada Gambar 6.3.

P : AAXX x AAXY

gagal pisah

gamet : AXX AO AX AY

F1 : AAXXX AAXXY AAXO AAOY betina super betina jantan steril letal

Gambar 6.3. Diagram munculnya beberapa individu abnormal pada Drosophila akibat peristiwa gagal pisah

Di samping kelainan-kelainan tersebut pernah pula dilaporkan adanya lalat

Drosophila yang sebagian tubuhnya memperlihatkan sifat-sifat sebagai jenis kelamin

jantan sementara sebagian lainnya betina. Lalat ini dikatakan mengalami mozaik

seksual atau biasa disebut dengan istilah ginandromorfi. Penyebabnya adalah

ketidakteraturan distribusi kromosom X pada masa-masa awal pembelahan mitosis

zigot. Dalam hal ini ada sel yang menerima dua kromosom X tetapi ada pula yang

hanya menerima satu kromosom X.

Partenogenesis

Pada beberapa spesies Hymenoptera seperti semut, lebah, dan tawon, individu

jantan berkembang dengan cara partenogenesis, yaitu melalui telur yang tidak

dibuahi. Oleh karena itu, individu jantan ini hanya memiliki sebuah genom atau

perangkat kromosomnya haploid.

Sementara itu, individu betina dan golongan pekerja, khususnya pada lebah,

berkembang dari telur yang dibuahi sehingga perangkat kromosomnya adalah

diploid. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partenogenesis merupakan sistem

penentuan jenis kelamin yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan

kromosom kelamin tetapi hanya bergantung kepada jumlah genom (perangkat

kromosom).

Sistem gen Sk-Ts

87

Page 9: Buku Ajar Gen 06

Di atas disebutkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin pada lebah tidak

berhubungan dengan kromosom kelamin. Meskipun demikian, sistem tersebut masih

ada kaitannya dengan jumlah perangkat kromosom.

Pada jagung dikenal sistem penentuan jenis kelamin yang tidak bergantung,

baik kepada kromosom kelamin maupun jumlah genom, tetapi didasarkan atas

keberadaan gen tertentu. Jagung normal monosius (berumah satu) mempunyai gen

Sk, yang mengatur pembentukan bunga betina, dan gen Ts, yang mengatur

pembentukan bunga jantan. Jagung monosius ini mempunyai fenotipe Sk_Ts_.

Sementara itu, alel-alel resesif sk dan ts masing-masing menghalangi

pembentukan bunga betina dan mensterilkan bunga jantan. Oleh karena itu, jagung

dengan fenotipe Sk_tsts adalah betina diosius (berumah dua), sedang jagung skskTs_

adalah jantan diosius. Jagung sksktsts berjenis kelamin betina karena ts dapat

mengatasi pengaruh sk, atau dengan perkataan lain, bunga betina tetap terbentuk

seakan-akan tidak ada alel sk.

Pengaruh lingkungan

Sistem penentuan jenis kelamin bahkan ada pula yang bersifat nongenetik. Hal

ini misalnya dijumpai pada cacing laut Bonellia, yang jenis kelaminnya semata-mata

ditentukan oleh faktor lingkungan.. F. Baltzer menemukan bahwa cacing Bonellia

yang berasal dari sebuah telur yang diisolasi akan berkembang menjadi individu

betina. Sebaliknya, cacing yang hidup di lingkungan betina dewasa akan mendekati

dan memasuki saluran reproduksi cacing betina dewasa tersebut untuk kemudian

berkembang menjadi individu jantan yang parasitik.

Kromatin Kelamin

Seorang ahli genetika dari Kanada, M.L. Barr, pada tahun 1949 menemukan

adanya struktur tertentu yang dapat memperlihatkan reaksi pewarnaan di dalam

nukleus sel syaraf kucing betina. Struktur semacam ini ternyata tidak dijumpai pada

sel-sel kucing jantan. Pada manusia dilaporkan pula bahwa sel-sel somatis pria,

misalnya sel epitel selaput lendir mulut, dapat dibedakan dengan sel somatis wanita

atas dasar ada tidaknya struktur tertentu yang kemudian dikenal dengan nama

kromatin kelamin atau badan Barr.

Pada sel somatis wanita terdapat sebuah kromatin kelamin sementara sel

somatis pria tidak memilikinya. Selanjutnya diketahui bahwa banyaknya kromatin

kelamin ternyata sama dengan banyaknya kromosom X dikurangi satu. Jadi, wanita

88

Page 10: Buku Ajar Gen 06

normal mempunyai sebuah kromatin kelamin karena kromosom X-nya ada dua.

Demikian pula, pria normal tidak mempunyai kromatin kelamin karena kromosom

X-nya hanya satu.

Dewasa ini keberadaan kromatin kelamin sering kali digunakan untuk

menentukan jenis kelamin serta mendiagnosis berbagai kelainan kromosom kelamin

pada janin melalui pengambilan cairan amnion embrio (amniosentesis). Pria dengan

kelainan kromosom kelamin, misalnya penderita sindrom Klinefelter (XXY),

mempunyai sebuah kromatin kelamin yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang

pria normal. Sebaliknya, wanita penderita sindrom Turner (XO) tidak mempunyai

kromatin kelamin yang seharusnya ada pada wanita normal.

Mary F. Lyon, seorang ahli genetika dari Inggris mengajukan hipotesis bahwa

kromatin kelamin merupakan kromosom X yang mengalami kondensasi atau

heterokromatinisasi sehingga secara genetik menjadi inaktif. Hipotesis ini dilandasi

hasil pengamatannya atas ekspresi gen rangkai X yang mengatur warna bulu pada

mencit. Individu betina heterozigot memperlihatkan fenotipe mozaik yang jelas

berbeda dengan ekspresi gen semidominan (warna antara yang seragam). Hal ini

menunjukkan bahwa hanya ada satu kromosom X yang aktif di antara kedua

kromosom X pada individu betina. Kromosom X yang aktif pada suatu sel mungkin

membawa gen dominan sementara pada sel yang lain mungkin justru membawa gen

resesif.

Hipotesis Lyon juga menjelaskan adanya mekanisme kompensasi dosis pada

mamalia. Mekanisme kompensasi dosis diusulkan karena adanya fenomena bahwa

suatu gen rangkai X akan mempunyai dosis efektif yang sama pada kedua jenis

kelamin. Dengan perkataan lain, gen rangkai X pada individu homozigot akan

diekspesikan sama kuat dengan gen rangkai X pada individu hemizigot.

Hormon dan Diferensiasi Kelamin

Dari penjelasan mengenai berbagai sistem penentuan jenis kelamin organisme

diketahui bahwa faktor genetis memegang peranan utama dalam ekspresi sifat

kelamin primer. Selanjutnya, sistem hormon akan mengatur kondisi fisiologi dalam

tubuh individu sehingga mempengaruhi perkembangan sifat kelamin sekunder.

Pada hewan tingkat tinggi dan manusia hormon kelamin disintesis oleh

ovarium, testes, dan kelenjar adrenalin. Ovarium dan testes masing-masing

mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai penghasil sel kelamin (gamet) dan sebagai

89

Page 11: Buku Ajar Gen 06

penghasil hormon kelamin. Sementara itu, kelenjar adrenalin menghasilkan steroid

yang secara kimia berhubungan erat dengan gonad.

Gen terpengaruh kelamin

Gen terpengaruh kelamin (sex influenced genes) ialah gen yang

memperlihatkan perbedaan ekspresi antara individu jantan dan betina akibat

pengaruh hormon kelamin. Sebagai contoh, gen autosomal H yang mengatur

pembentukan tanduk pada domba akan bersifat dominan pada individu jantan tetapi

resesif pada individu betina. Sebaliknya, alelnya h, bersifat dominan pada domba

betina tetapi resesif pada domba jantan. Oleh karena itu, untuk dapat bertanduk

domba betina harus mempunyai dua gen H (homozigot) sementara domba jantan

cukup dengan satu gen H (heterozigot).

Tabel 6.2. Ekspresi gen terpengaruh kelamin pada domba

Genotipe Domba jantan Domba betina

HH bertanduk bertanduk

Hh bertanduk tidak bertanduk

hh tidak bertanduk tidak bertanduk

Contoh lain gen terpengaruh kelamin adalah gen autosomal B yang mengatur

kebotakan pada manusia. Gen B dominan pada pria tetapi resesif pada wanita.

Sebaliknya, gen b dominan pada wanita tetapi resesif pada pria. Akibatnya, pria

heterozigot akan mengalami kebotakan, sedang wanita heterozigot akan normal.

Untuk dapat mengalami kebotakan seorang wanita harus mempunyai gen B dalam

keadaan homozigot.

Gen terbatasi kelamin

Selain mempengaruhi perbedaan ekspresi gen di antara jenis kelamin, hormon

kelamin juga dapat membatasi ekspresi gen pada salah satu jenis kelamin. Gen yang

hanya dapat diekspresikan pada salah satu jenis kelamin dinamakan gen terbatasi

kelamin (sex limited genes). Contoh gen semacam ini adalah gen yang mengatur

produksi susu pada sapi perah, yang dengan sendirinya hanya dapat diekspresikan

pada individu betina. Namun, individu jantan dengan genotipe tertentu sebenarnya

juga mempunyai potensi untuk menghasilkan keturunan dengan produksi susu yang

90

Page 12: Buku Ajar Gen 06

tinggi sehingga keberadaannya sangat diperlukan dalam upaya pemuliaan ternak

tersebut.

91