21
Budaya Politik Di Indonesia Budaya politik adalah kebiasaan berpolitik. Negara kita ini adalah negeri yang menganut paham Demokrasi. Yang dimana dalam prakteknya semua hal harus dibicarakan bersama dan mencapai kesepakatan yang mufakat, contohnya pemilu yang merupakan Budaya politik di Indonesia. Indonesia memiliki kepala negara yaitu presiden, tetapi kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat dan dikembalikan lagi untuk rakyat. Indonesia harus melewati 4 tahap dalam mencapai kemerdekaanya, tahapan-tahapan itu sebagai berikut : Angkatan Perintis ( 1908 ) Dalam angkatan perintis ini, Indonesia masih bersifat kedaerahan. Angkatan ini dimulai dari berdirinya organisasi budi utomo yang diketahui oleh sutomo, yang merupakan pelopor dari berdirinya organisasi-organisasi daerah. Angkatan Penegas (1928 ) Dalam angkatan penegas ini, Indonesia telah bersifat Nasional atau kebangsaan yang dipelopori oleh patih gajah mada. Yang teklah mempersatukan organisasi-organisasi di daerah-daerah untuk bersatu dan menjadi organisasi nasional dengan dipersatukan melalui semboyan Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetap satu jua. Angkatan Pendobrak ( 1945 ) Pada angkatan pendobrak ini Indonesia Merdeka. Dan otomatis perubahan status indonesia yang awalnya berbentuk kebangsaan menjadi kenegaraan. Menurut isi yang ada di UUD 1945 alenia 1 merupakan penjabaran Indonesia sebelummerdeka yang ditandai dengan kalimat “Penjajahan diatas dunia harus dihapuskan”, alenia 2

Budaya Politik Di Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Budaya Politik Di Indonesia

Budaya Politik Di Indonesia

Budaya politik adalah kebiasaan berpolitik. Negara kita ini adalah negeri yang menganut paham Demokrasi. Yang dimana dalam prakteknya semua hal harus dibicarakan bersama dan mencapai kesepakatan yang mufakat, contohnya pemilu yang merupakan Budaya politik di Indonesia. Indonesia memiliki kepala negara yaitu presiden, tetapi kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat dan dikembalikan lagi untuk rakyat.

Indonesia harus melewati 4 tahap dalam mencapai kemerdekaanya, tahapan-tahapan itu sebagai berikut :

Angkatan Perintis ( 1908 )

Dalam angkatan perintis ini, Indonesia masih bersifat kedaerahan. Angkatan ini dimulai dari berdirinya organisasi budi utomo yang diketahui oleh sutomo, yang merupakan pelopor dari berdirinya organisasi-organisasi daerah.

Angkatan Penegas (1928 )

Dalam angkatan penegas ini, Indonesia telah bersifat Nasional atau kebangsaan yang dipelopori oleh patih gajah mada. Yang teklah mempersatukan organisasi-organisasi di daerah-daerah untuk bersatu dan menjadi organisasi nasional dengan dipersatukan melalui semboyan Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetap satu jua.

Angkatan Pendobrak ( 1945 )

Pada angkatan pendobrak ini Indonesia Merdeka. Dan otomatis perubahan status indonesia yang awalnya berbentuk kebangsaan menjadi kenegaraan.

Menurut isi yang ada di UUD 1945 alenia 1 merupakan penjabaran Indonesia sebelummerdeka yang ditandai dengan kalimat “Penjajahan diatas dunia harus dihapuskan”, alenia 2 merupakan penjbaran Indonesia hampir merdeka yang ditandai dengan kalimat “Menuju pintu depan kemerdekaan”, alenia 3 merupakan penjabaran Indonesia merdeka yang ditandai dengan kalimat “Rakyat indonesia menyatakan dengan ini Kemerdekaannya”, alenia 4 merupakan penjabaran Indonesia setelah merdeka yang ditandai dengan 4M,yaitu :

1. Melindungi segenap bangsa indonesia2. Memajukan kesejahteraan umum

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa

4. Melaksanakan ketertiban dunia

Page 2: Budaya Politik Di Indonesia

Indonesia telah melaksanakan pemilu 10 kali,pemilu yang pertama pada tahun 1945 kepemimpinan diketuai oleh Ir.Soekarnon dengan wakilnya MOH. Hatta akan tetapi kepemimpinan ini belum berbentuk kepresidenan dikarenakan tidak adanya pelantikan. Pada tahun 1955,1971,1977,1982,1987,1992,1997 Indonesia dibawah pimpinan Soeharto, 1999 Habibi,2004 Gusdur yang lengser dan hanya sesaat dalam masa jabatannya kemudian digantikan oleh Megawati,yang pemilihannya dilakukan oleh MPR dan terakhir tahun 2009 SBY, yang cara pemilihannya dilakukan secara pemilu oleh semua rakyat indonesia.

Page 3: Budaya Politik Di Indonesia

Budaya Politik Negara Maju & Berkembang lawan Budaya politik   Indonesia Oktober 18, 2009

Diarsipkan di bawah: 1 — mahierra @ 12:36 pm

A. Budaya Politik Di Negara Maju (Singapura)

Budaya politik di Singapura telah mengalami berbagai pengaruh dari luar terutama pengaruh ketika  dijajah oleh colonial Inggris, sehingga perkembangan sistem politik di Singapura lebih signifikan dan telah mengalami kemajuan daripada Negara lain.

Konstitusi Singapura berdasarkan sistem Westminster karana Singapura merupakan bekas jajahan Inggris. Posisi presiden adalah simbolis dan kekuasaan pemerintahan berada di tangan perdana menteri yang merupakan ketua partai politik yang memiliki kedudukan mayoritas di parlemen. Urutan Presiden Singapura adalah: Yusof bin Ishak, Benjamin Henry Sheares, C.V. Devan Nair, Wee Kim Wee, Ong Teng Cheong, dan yang sekarang menjabat adalah S. R. Nathan.

Arena politik dikuasai oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) yang telah memerintah sejak Singapura merdeka. Pemerintah PAP sering dikatakan memperkenalkan undang-undang yang tidak memberi kesempatan tumbuhnya penumbuhan partai-partai oposisi yang efektif. Cara pemerintahan PAP dikatakan lebih cenderung kepada otoriter daripada demokrasi yang sebenarnya. Namun, cara pemerintahan tersebut berhasil menjadikan Singapura sebuah negara yang maju, bebas daripada korupsi dan memiliki pasar ekonomi yang terbuka. Para ahli politik menganggap Singapura sebuah negara yang berideologi ‘Demokrasi Sosialis‘.

Meskipun begitu Lee Kwan Yew, pendiri dan perancang sistem politik negara Singapura juga telahmengembangkan konsep yang menempatkan nilai budaya sebagai elemen penting dalam sebuah sistem politik. Menurutnya politik berbasis multibudaya tidak akan pas bagi negara dengan masyarakat yang multirasial seperti Singapura.

Sebagai konsekuensinya, di Singapura ditetapkan sebuah sistem yang oleh dunia Baratdianggap tidak demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa Singapura merupakan “anauthoritarian Confucian anomaly among the wealthy countries of the world” (Huntington, 1991: 302).

Hasil pemikiran para pakar umunya menyimpulkan bahwa budaya memberikan pengaruh tertentu bagaimana demokrasi diadopsi oleh berbagai negara (lihat Alagappa, 1996;Fukuyama, 1996; Lipset, 1996; Huntington, 1996: Inglehart, 2000). Berkembang pemikiran nilai budaya sebagai faktor determinan yang menentukan suksesnya ekonomi negara-negara Asia Timur. Tetapi sejak terjadinya krisis ekonomi, argumentasi mengenai keunggulan nilai budaya Asia (Asian values) seakan menghilang.

Page 4: Budaya Politik Di Indonesia

Amartya Sen (2001: 6) mengritik hipotesis Lee Kwan Yew bahwa negara yang didominasi oleh budaya Confucianism mempunyai peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat,hanyalah berbasis pada perhitungan empiris yang sporadik dari informasi yang terbatas dan sangat selektif.

Kenyataan memang menunjukan negara-negara di Asia dalam membangun sistem demokrasinya lebih banyak mengedepankan gaya demokrasi ala barat seperti Filipina, Korea,Thailand, Taiwan dan sekarang ini Indonesia. Walaupun demikian nilai budaya masih dianggapsebagai variabel penting dalam pelaksanaan demokrasi. Seperti dinyatakan oleh Inglehart (2000: 96) bahwa dalam jangka panjang, demokrasi tidak hanya didasari pada perubahan institusi atau perilaku elit politik, melainkan keberlangsungannya akan tergantung pada nilai dan kepercayaan dari masyarakat awam di wilayahnya.

Dahl (1997: 34) memperkuat gagasan bahwa konsolidasi demokrasi menuntut budaya demokrasi yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada pentingnya budaya demokrasi pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuksistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan budaya demokrasi yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut.

Implikasinya proses demokratisasi tanpa budaya demokrasi yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah. Sejalan dengan pemikiran Dahl, Huntington (ibid: 258)memfokuskan pada isu budaya demokrasi dalam hubungan antara kinerja dan efektifitas pemerintah demokratis baru dan legitimasinya, sebagai bentuk kepercayaan publik dan elit politik terhadap sistem nilai demokrasi. Budaya demokratis harus berartiadanya pemahaman bahwa demokrasi bukanlah panacea. Karena itu, konsolidasi demokrasi terjadi bila masyarakat menyadari bahwa demokrasi merupakan solusi dari masalah tirani tetapi belum tentu untuk masalah lain (ibid: 263).

Huntington memperingatkan bahwa tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaanpemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadapberbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan bagikonsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.

B. Budaya Politik Di Negara Berkembang (Thailand)

Page 5: Budaya Politik Di Indonesia

Berbicara mengenai Thailand, masalah kudeta militer dan rezim junta militer sangatlah kental dalam perpolitikan di Thailand. Tak heran jika proses demokratisasi disana mengalami hambatan dan tantangan menuju sistem demokrasi yang sesungguhnya. Tentunya dinamika ini tak lepas juga dari budaya politik masyarakat Thai yang masih bersandar dan berpegang pada nilai-nilai tradisional, sementara dalam demokrasi membutuhkan nilai-nilai kontemporer yang mengacu pada budaya Barat. Hal inilah yang kemudian berimplikasi pada pembentukan state-building dan konstitusi yang mengatur distribusi kekuasaan politik Thailand dimana selalu diwarnai oleh perebutan dan persaingan antara elit militer, sipil, dan cendekiawan.

Nilai paternalisme dan patriakal dalam budaya Thai masih melekat erat, dimana mereka menganggap raja sebagai “father” dalam mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, raja dianggap sebagai perwakilan Wisnu, Siwa, dan Budhisattava yang merupakan titisan dewa. Sehingga tak heran bila masyarakat Thai lebih mencintai raja daripada politik. Segala tindak raja merupakan pengejahwantahan dewa yang harus dipatuhi. Hal ini kemudian bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang dilandaskan pada nilai-nilai liberal. Nilai-nilai tersebut tidak hanya bertentangan tapi nilai tradisional tersebut teatap dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Thai. Akibatnya, budaya politik dan derajat partisipasi masyarakat Thailand sangat pasif. Padahal untuk membangun sistem demokrasi diperlukan budaya dan derajat partisipasi politik yang signifikan, yaitu sebuah budaya politik partisipan dan subjek (Almond). Implikasinya adalah, dengan kepasifan politik masyarakat Thailand, maka perebutan kekuasaan antara militer, sipil, dan cendekiawan selalu terjadi dan ini menjadi salah satu problem lain dalam demokrasi di Thailand. Elit militer merasa dirinya memiliki kapabilitas dan kapasitas dalam menjalakan pemerintahan dan negara karena latarbelakang pendidikan akademi militer dapat membuat mereka berpikir strategis dan taktis yang memang diperlukan oleh pertahanan dan keamanan negara. Selain itu, secara historis mereka menganggap dirinya berjasa atas pertahanan dan keamanan Thailand dari kekuatan eksternal baik pada zaman monarki maupun saat revolusi. Di pihak lain, sipil menganggap bahwa masalah politik merupakan wilayah sipil yang harus lepas dari campur tangan militer. Mereka cenderung mendukung profesionalisme militer daripada fungsi militer di ranah politik. Anggapan mereka bahwa campur tangan militer dapat menghambat proses politik dan demokrasi. Menurut Sundhaussen (1999) bahwa kebiasaan militer cenderung anti-demokrasi. Lanjutnya bahwa persepsi tentang lawan dan bagaimana berurusan dengan mereka sering kali menggiring rezim militer memperlakukan lawan politik lebih keras dari sepatutnya sehingga merintangi penyelesaian politik. Sementara, pihak cendekiawan menganggap bahwa dalam menjalankan pemerintahan dan negara diperlukan sebuah kerangka berpikir dan ilmu mengenai pemerintahan dan politik dimana hanya kaum cendekiawan itulah yang bisa melakukan. Dengan pondasi pengetahuan dan ilmu yang yang mereka miliki tersebut mereka menganggap bisa menjalankan dan selalu menemukan penyelesaian masalah dalam menghadapi krisis.

Perselisihan dan persaingan politik tersebut pada hakikatnya tak membawa masyarakat Thailand pada kondisi riot seperti di Filipina ataupun Myanmar. Karena peran Raja tetap eksis sebagai simbol zaman keemasan Thailand dan sebagai pengayom masyarakat Thai.

Page 6: Budaya Politik Di Indonesia

Setidaknya pandangan tersebut menjadikan masyarakat Thai sebagai masyarakat yang “tentram” tanpa ada pertumpahan darah sebagai akibat persaingan kaum elit tersebut.

Secara garis besar, ada beberapa karakteristik budaya politik Thailand, yaitu:

1. Otoritarianisme => budaya politik yang ada di Thailand cenderung mengarah pada otoritarianisme dimana kepemimpinan dipandang sebagai representasi dari dewa sehingga pelaksanaan perintah nyaris tanpa celah untuk dikritisi. Terlebih ini didukung dengan budaya patriakal dan paternalistik yang cenderung mengagungkan pemimpin sebagai “father” dalam keluarga yang punya wewenang dan kekuasaan atas keluarganya.

2. Patron Klien => kaum elit lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya sendiri dari pada kepentingan untuk melayani rakyat. Sehingga karakter elit lebih pada “tuan yang diagungkan” dari pada “servant of people”. Hal ini berdampak pada hubungan antar elit atas kelompoknya lebih kuat daripada dengan rakyat.

3. Personalisme => hubungan personal lebih penting dalam politik Thailand. Begitu pula fungsi seorang tokoh akan sangat menentukan garis kebijakan politik karena orang Thailand yang pragmatis lebih melihat figur tokoh daripda ideologi ataupun latarbelakang partai.

4. Hirarkis => orang Thailand lebih mementingkan tingkatan status daripada pencapaian seseorang. Senioritas, strata sosial, kekayaan, menjadi faktor utama daripada prestasi seseorang. Hal ini kemudian yang mengarahkan masyarakat Thailand pada masyarakat yang unequal.

5. Tradisionalisme => masyarakat Thailand masih memegang kuat kepercayaan mistis dan tahayul serta kepercayaan pada nenek moyang. Hal ini membuat irasionalitas menjadi hal yang umum terjadi dalam menghadapi kehidupan (sifat konservatif).

6. Pasivitas => sifat tradisional dan percaya pada adanya hirarki serta takdir membuat masyarakat Thailand menjadi pasif dan tidak memiliki interest terhadap proses dan partisipasi politik.

7. Cinta Damai => hal ini tak lepas dari pengaruh agama Budha yang dianut orang Thailand yang mengajarkan ajara-ajaran cinta dan damai. Sehingga mereka lebih memilih untuk mengalah dalam rangka mencapai kedamaian bersama aripada konfrontasi yang berdampak pada ketidakdamaian. Sehingga tak heran manakala terjadi kudeta militer tidak sampai terjadi peristiwa berdarah. Karena selain peran Raja yang berpengaruh terhadap legitimasi kudeta tersebut, peran agama Budha yang cinta damai juga tak kalah pengaruhnya terhadap way of life masyarakat Thai.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dilihat bahwa demokrasi yang ada di Thailand akan selalu mengalami dan menghadapi two face of dillema dan binarry opposition, yaitu di satu sisi nilai demokrasi berusaha diterapkan dan dijalankan dengan sepenuh hati namun disisi lain ada nilai-nilai tradisional yang berberturan dengan paham demokrasi. Terlebih hal itu diperparah dengan persaingan politik antara kaum elit yang ada. Jadi, proses transisi menuju Demokrasi yang sesungguhnya sesuai dengan nilai-nilai liberalisme sangat panjang dan berliku yang musti dihadapi oleh Thailand.

Page 7: Budaya Politik Di Indonesia

Tentunya untuk menerapkan sebuah rezim demokrasi di Thailand butuh waktu yang panjang dan proses adaptasi yang memakan biaya-sosial yang tinggi manakala nilai-nilai liberalisme Barat harus menjadi nilai utama dalam tranformasi sosial menuju demokrasi sesungguhnya. Hal ini diperlukan karena, demokrasi tidak akan bisa diterapkan tanpa menerapkan nilai-nilai Barat yang memang merupakan pondasi utama bagi kemajuan demokrasi suatu negara. Permasalahan yang muncul adalah apakah masyarakat bisa menerima dengan begitu saja sebuah nilai yang bukan merupakan nilai yang berasal dari budaya setempat? Tentunya antara ya dan tidak. Ya, jika mereka telah merubah tatanan nilai dan norma sesuai dengan nilai Barat. Tidak, jika mereka menganggap bahwa nilai tradisional mereka merupakan nilai yang tidak dapat dihilangkan dan ditinggalkan begitu saja karena telah mengakar kuat dalam akar budaya dan sistem kepercayaan mereka. Bagi masyarakat Thai, hal tersebut cenderung pada Tidak, karena nilai-nilai yang mereka miliki meruupakan nilai warisan nenek moyang dan merupakan hal yang sakral apabila ditinggalkan. Terlebih, akar budaya agama Budha sangatlah kental dalam membentuk karakter masyarakat Thai. Tak heran jika budaya politik mereka adalah Parokial, dicirikan dengan rendahnya pengetahuan dan kesadaran politik, dan Subjek, dicirikan kepatuhan pada pejabat-pejabat pemerintahan dan hukum yang berlaku.

Oleh karena itu, merujuk pada kaum postmodernis, nilai-nilai demokrasi pada hakikatnya bisa diterapkan sesuai dengan tata nilai dan budaya yang ada di Thailand sendiri, jadi Demokrasi ala Thailand. Karena, pembangunan politik dan sosial suatu bangsa bisa jadi sama, yaitu ingin mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan madani, namun wujud untuk mencapainya berbeda. Sehingga nilai terbaik bagi Thailand sebenarnya bukanlah nilai Demokrasi sesuai dengan standar Barat tetapi dapat diadaptasi dan dimodifikasi dengan nilai-nilai dan tradisi Thai yang pada akhirnya akan tercipta rezim demokrasi sesuai dengan social-character masyarakat Thai. Bila itu tercapai maka tidaklah suatu hal yang mustahil jika kondisi politik akan stabil tanpa ada persaingan antar elit.

Hal yang perlu dilihat lagi adalah untuk membangun rezim demokrasi ala Thailand seharusnya ketiga elit yang bertentangan tersebut harus menyadari akan nilai-nilai Thai sehingga mereka dapat berkumpul bersama dengan raja dan rakyatnya untuk membentuk semacam konsensus nasional bagi pembanguanan state building yang diinginkan. Tetapi, apakah itu mungkin? Kita lihat saja bagaimana tekanan dari negara tetangga terhadap Thailand akan merubah semua itu dan bagaimanan kaum elit tersebut sadar akan posisi nilai di masyarakat Thai. Sekali lagi kapan?

C. Perbandingan Dengan Budaya Politik Di Indonesia

Budaya yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan sintesa arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan sistem politik yang dianut suatu negara beserta segala unsur (pola bersikap & pola bertingkah laku) yang terdapat didalamnya.Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya.

Page 8: Budaya Politik Di Indonesia

Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat diperkirakan orang itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu, mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk.Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.

D. Kesimpulan

Meskipun, Negara Indonesia termasuk Negara baru merdeka atau baru berkembang dari Negara lainnya, namun Negara Indonesia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan dunia Internasional saat itu.

Budaya politik yang diterapkan oleh Negara Indonesia pun tidak mengalami pengaruh dari intimidasi Negara lain. Itulah dia budaya politik “Demokrasi” yang menjunjung sikap dan perilaku yang terpuji, baik dari per Individu maupun kolektif.

Kita sebagai warga Negara Indonesia sebaiknya kita berbanga hati karena Negara kita memiliki budaya politik yang sangat sistematis, dan tersusun rapi dalam pelaksanaan nya,  dan tidak mengalami pengaruh dari luar.

Meskipun, pengaruh dari luar memilki pengaruh yang sangat baik bagi perkembagan budaya politik kita. Namun, itu akan memudarkan keaslian dari budaya politik Indonesia yang sesungguhnya. Bhineka tunggal Ika itulah kita “berbeda-beda tetapi satu jua”

Itulah juga yang menjadi inspirasi bagi budaya politik kita.

Layaknya Negara Singapura yang dulunya juga merupakan wilayah jajahan Inggris sekarang telah menjadi atau termasuk salah satu Negara Maju itu karena mereka juga memilki kemampuan untuk menerima dan menyeleksi pengaruh dari luar agar dapat menjadi sebuah kemajuan bagi bangsanya sendiri terutama di bidang pembangunan, politik, ekonomi, dan lain lain. Malah mereka memiliki budaya politik yang lebih maju.

Saya mengatakan seperti itu, bukan berarti Negara Indonesia juga tidak bisa melakukan seperti apa yang bisa mereka lakukan. Beberapa factor mempengaruhi kenapa pengaruh luar itu sangat tidak sesuai bagi perkembangan Negara kita baik di bidang budaya, politik, patriotisme, dan lainnya.

Namun sepert itulah Indonesia, negara yang mampu, negara yang kuat, dan selalu berusaha serta tolong menolong.

Page 9: Budaya Politik Di Indonesia

…………di Indonesia, budaya kepemimpinan serta budaya politik masih saja menyisakan sejumlah masalah besar. Kendati bangsa ini sudah lama mendeklarasikan kemerdekaannya, namun hingga kini upaya pengisian kemerdekaan itu melalui pencerminan sikap dan perilaku, khususnya

para pemimpin bangsa ini tetap saja belum mengalami perubahan. Tradisi mempertahankan kekuasaan kendati sudah diambang kesalahan tetap saja dipertahankan. Bahkan yang dicari bukannya solusi, tetapi alasan pembenaran agar mereka terhindar dari jerat hukum yang sedang melilitnya.

Berbeda jauh misalnya kalau dibandingkan dengan Jepang. Penulis melihat perbandingan yang cukup kontras ini setelah baru-baru ini seorang pemimpin Jepang mengundurkan diri karena menganggap telah gagal dalam menjalankan amanah tugasnya. Adalah giliran Yukio Hatoyama yang memberi pelajaran itu. Kegagalannya memenuhi janji kampanye, yakni memindahkan pangkalan militer AS di kawasan penduduk padat di kepulauan bagian selatan, Okinawa, ke kawasan pantai yang lebih sepi di pulau itu, serta skandal pendanaan politik yang melibatkan dirinya bersama Sekjen Partai Demokratik Jepang Ichiro Ozawa, menjadi alasan bagi Perdana Menteri (PM) Jepang itu mengundurkan diri.

Hatoyama merupakan PM Jepang keempat yang mengundurkan diri dalam empat tahun terakhir. Hatoyama memenangi Pemilu Agustus 2009 berkat janjinya memindahkan Pangkalan Futenma milik AS di Okinawa atas desakan warga setempat. Namun, meski baru 8 bulan memimpin, dia memutuskan mundur karena tak berhasil menepati janji. Akhir-akhir ini PM Jepang itu memang terus mendapat tekanan.

Bahkan berdasarkan jajak pendapat beberapa media setempat, 61 persen dari responden menolak kabinet Hatoyama. Apa yang dilakukan Hatoyama dan beberapa perdana Menteri "Negeri Matahari Terbit" sebelumnya sangat bertolak belakang dengan yang diperlihatkan kebanyakan pemimpin di Nusantara. Di Indonesia, seorang pemimpin akan berjuang dengan berbagai cara mempertahankan kedudukannya, meski nyata-nyata gagal memenuhi janji dan tak habis-habisnya mendapat penolakan dari masyarakat, serta didemo dan dihujat.

Page 10: Budaya Politik Di Indonesia

Bahkan pemimpin di negeri ini cenderung menjadikan kekuasaan turun-temurun, berlanjut ke istri, anak, dan saudara. Tidak salah apabila ada pendapat bahwa urat malu para pemimpin di Indonesia sudah putus. Meski nama mereka berulang kali disebut-sebut terkait penyelewengan uang negara, diduga melakukan hal-hal terkait korupsi, tak satupun di antaranya yang bersedia mundur atau hanya sekadar meletakkan jabatan untuk sementara hingga kasus mereka terang benderang. Bahkan ketika bukti sudah kuat dan vonis sudah jatuh, tak sedikit di antara pemimpin yang jelas-jelas bobrok tetap keukeuh menyatakan diri mereka tidak salah.

Pernah Ada

Di Indonesia, budaya semacam itu memang pernah ada. Adalah Bung Hatta, wakil presiden pertama RI, yang telah menunjukkan jiwa dan semangat dari budaya politik itu. Dia mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956. Pengunduran diri itu setahun sebelumnya sudah diajukan. Hatta tidak ingin terhanyut dalam kekuasaan yang mulai tidak dikontrol lagi karena demokrasi mulai dibelokkan Soekarno menjadi demokrasi terpimpin. Setelah Hatta resmi mundur, dwitunggal Soekarno- Hatta yang telah melekat di hati rakyat selama lebih satu dasawarsa sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 retak.

Setelah itu, Soekarno melenggang sendiri sebagai presiden tanpa didampingi wakilnya hingga akhir kekuasaan dan akhir hidupnya. Dalam konteks berbeda, Soeharto juga mengundurkan diri sebagai presiden kedua RI di masa jabatan keenam, 21 Mei 1998, setelah aksi mahasiswa besar-besaran dalam gelombang reformasi yang tidak bisa dihindari. Keputusan Soeharto sangat berbeda dengan apa yang diambil Hatta. Soeharto mundur karena tekanan dan desakan, sedangkan Hatta karena inisiatif sendiri dan diajukan beberapa kali.

Dalam banyak aspek, masa pemerintahan Soeharto yang dikenal sebagai era Orde Baru justru banyak mematikan budaya politik yang telah ditanam para pendiri bangsa. Praktis, masa Orde Baru telah mengubah tradisi dan budaya politik Indonesia yang membekas hingga sekarang meskipun reformasi telah menjungkirbalikkan sistem dan tatanan politik lama. Tapi, budaya instan, korup, dan mengutamakan jabatan dan kepentingan kelompok makin kentara.

Page 11: Budaya Politik Di Indonesia

Tidak heran apabila dampak dari budaya instan dan korup di kalangan pejabat dan penyelenggara negara membuat mereka mempertahankan jabatan mati-matian.

Meskipun ada indikasi penyalahgunaan kewenangan, atau bahkan indikasi melakukan korupsi, mereka tidak mau mundur. Ironisnya, mereka terus berdalih dan mencari pengacara hebat untuk membela perbuatan dan mempertahankan kekuasaan. Mereka pun berdalih mundur bukan budaya Indonesia. Pelajaran politik berharga dari Jepang perlu direnungkan para pejabat dan penyelenggara negara.

Karena itu, seharusnya para pemimpin Indonesia belajar ke Jepang untuk membangkitkan kembali "urat malu". Pemimpin bangsa ini seharusnya terketuk dan sadar bahwa jabatan adalah amanah yang harus dijalankan, bukannya dijadikan untuk aji mumpung, berbuat sesuka hati, apalagi untuk mengumpulkan kekayaan pribadi dengan berbagai cara guna dimanfaatkan sampai tujuh keturunan. Agar seorang pemimpin benar-benar amanah, maka budaya malu memang harus selalu dijaga.

Sebagai sesama bangsa Timur, pemimpin di Indonesia seharusnya malu atas apa yang dilakukan pemimpin dari Jepang yang dengan sportif dan dalam waktu singkat melepas jabatan karena tak berhasil memenuhi janji. Beberapa pemimpin negara Eropa saja-yang menurut anggapan bangsa Timur tak memiliki latar belakang budaya malu-ada yang berani mundur dari jabatan, tentunya sudah sangat keterlaluan apabila pemimpin Indonesia tetap ngotot menguasai jabatan hanya karena alasan dipilih rakyat, meski tak mampu berbuat apa-apa. Bukti banyak pemimpin di Indonesia tak mampu memenuhi janji mereka sendiri sudah cukup banyak.

Tapi nyatanya, kita belum pernah mendengar seorang pemimpin Indonesia mundur dengan alasan tak mampu menepati janji. Jika pun ada yang "cabut", itu karena alasan lain, termasuk karena dimundurkan atasannya. Pemimpin di negeri ini lebih banyak yang berani malu ketimbang yang amanah. Buktinya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap marak. Sanggupkah bangsa ini keluar dari jerat korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya.? Tentu jawabannya akan

Page 13: Budaya Politik Di Indonesia

di Indonesia, budaya kepemimpinan serta budaya politik masih saja menyisakan sejumlah masalah besar. Kendati bangsa ini sudah lama mendeklarasikan kemerdekaannya, namun hingga kini upaya pengisian kemerdekaan itu melalui pencerminan sikap dan perilaku, khususnya

para pemimpin bangsa ini tetap saja belum mengalami perubahan. Tradisi mempertahankan kekuasaan kendati sudah diambang kesalahan tetap saja dipertahankan. Bahkan yang dicari bukannya solusi, tetapi alasan pembenaran agar mereka terhindar dari jerat hukum yang sedang melilitnya.

Berbeda jauh misalnya kalau dibandingkan dengan Jepang. Penulis melihat perbandingan yang cukup kontras ini setelah baru-baru ini seorang pemimpin Jepang mengundurkan diri karena menganggap telah gagal dalam menjalankan amanah tugasnya. Adalah giliran Yukio Hatoyama yang memberi pelajaran itu. Kegagalannya memenuhi janji kampanye, yakni memindahkan pangkalan militer AS di kawasan penduduk padat di kepulauan bagian selatan, Okinawa, ke kawasan pantai yang lebih sepi di pulau itu, serta skandal pendanaan politik yang melibatkan dirinya bersama Sekjen Partai Demokratik Jepang Ichiro Ozawa, menjadi alasan bagi Perdana Menteri (PM) Jepang itu mengundurkan diri.

Hatoyama merupakan PM Jepang keempat yang mengundurkan diri dalam empat tahun terakhir. Hatoyama memenangi Pemilu Agustus 2009 berkat janjinya memindahkan Pangkalan Futenma milik AS di Okinawa atas desakan warga setempat. Namun, meski baru 8 bulan memimpin, dia memutuskan mundur karena tak berhasil menepati janji. Akhir-akhir ini PM Jepang itu memang terus mendapat tekanan.

Bahkan berdasarkan jajak pendapat beberapa media setempat, 61 persen dari responden menolak kabinet Hatoyama. Apa yang dilakukan Hatoyama dan beberapa perdana Menteri "Negeri Matahari Terbit" sebelumnya sangat bertolak belakang dengan yang diperlihatkan kebanyakan pemimpin di Nusantara. Di Indonesia, seorang pemimpin akan berjuang dengan berbagai cara mempertahankan kedudukannya, meski nyata-nyata gagal memenuhi janji dan tak habis-habisnya mendapat penolakan dari masyarakat, serta didemo dan dihujat.

Bahkan pemimpin di negeri ini cenderung menjadikan kekuasaan turun-temurun, berlanjut ke istri, anak, dan saudara. Tidak salah apabila ada pendapat bahwa urat malu para pemimpin di Indonesia sudah putus. Meski nama mereka berulang kali disebut-sebut terkait penyelewengan uang negara, diduga melakukan hal-hal terkait korupsi, tak satupun di antaranya yang bersedia mundur atau hanya sekadar meletakkan jabatan untuk sementara hingga kasus mereka terang benderang. Bahkan ketika bukti sudah kuat dan vonis sudah jatuh, tak sedikit di antara pemimpin yang jelas-jelas bobrok tetap keukeuh menyatakan diri mereka tidak salah.

Pernah Ada

Di Indonesia, budaya semacam itu memang pernah ada. Adalah Bung Hatta, wakil

Page 14: Budaya Politik Di Indonesia

presiden pertama RI, yang telah menunjukkan jiwa dan semangat dari budaya politik itu. Dia mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956. Pengunduran diri itu setahun sebelumnya sudah diajukan. Hatta tidak ingin terhanyut dalam kekuasaan yang mulai tidak dikontrol lagi karena demokrasi mulai dibelokkan Soekarno menjadi demokrasi terpimpin. Setelah Hatta resmi mundur, dwitunggal Soekarno- Hatta yang telah melekat di hati rakyat selama lebih satu dasawarsa sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 retak.

Setelah itu, Soekarno melenggang sendiri sebagai presiden tanpa didampingi wakilnya hingga akhir kekuasaan dan akhir hidupnya. Dalam konteks berbeda, Soeharto juga mengundurkan diri sebagai presiden kedua RI di masa jabatan keenam, 21 Mei 1998, setelah aksi mahasiswa besar-besaran dalam gelombang reformasi yang tidak bisa dihindari. Keputusan Soeharto sangat berbeda dengan apa yang diambil Hatta. Soeharto mundur karena tekanan dan desakan, sedangkan Hatta karena inisiatif sendiri dan diajukan beberapa kali.

Dalam banyak aspek, masa pemerintahan Soeharto yang dikenal sebagai era Orde Baru justru banyak mematikan budaya politik yang telah ditanam para pendiri bangsa. Praktis, masa Orde Baru telah mengubah tradisi dan budaya politik Indonesia yang membekas hingga sekarang meskipun reformasi telah menjungkirbalikkan sistem dan tatanan politik lama. Tapi, budaya instan, korup, dan mengutamakan jabatan dan kepentingan kelompok makin kentara.

Tidak heran apabila dampak dari budaya instan dan korup di kalangan pejabat dan penyelenggara negara membuat mereka mempertahankan jabatan mati-matian.

Meskipun ada indikasi penyalahgunaan kewenangan, atau bahkan indikasi melakukan korupsi, mereka tidak mau mundur. Ironisnya, mereka terus berdalih dan mencari pengacara hebat untuk membela perbuatan dan mempertahankan kekuasaan. Mereka pun berdalih mundur bukan budaya Indonesia. Pelajaran politik berharga dari Jepang perlu direnungkan para pejabat dan penyelenggara negara.

Karena itu, seharusnya para pemimpin Indonesia belajar ke Jepang untuk membangkitkan kembali "urat malu". Pemimpin bangsa ini seharusnya terketuk dan sadar bahwa jabatan adalah amanah yang harus dijalankan, bukannya dijadikan untuk aji mumpung, berbuat sesuka hati, apalagi untuk mengumpulkan kekayaan pribadi dengan berbagai cara guna dimanfaatkan sampai tujuh keturunan. Agar seorang pemimpin benar-benar amanah, maka budaya malu memang harus selalu dijaga.

Sebagai sesama bangsa Timur, pemimpin di Indonesia seharusnya malu atas apa yang dilakukan pemimpin dari Jepang yang dengan sportif dan dalam waktu singkat melepas jabatan karena tak berhasil memenuhi janji. Beberapa pemimpin negara Eropa saja-yang menurut anggapan bangsa Timur tak memiliki latar belakang budaya malu-ada yang berani mundur dari jabatan, tentunya sudah sangat keterlaluan apabila pemimpin Indonesia tetap ngotot menguasai jabatan hanya karena alasan dipilih rakyat, meski tak

Page 15: Budaya Politik Di Indonesia

mampu berbuat apa-apa. Bukti banyak pemimpin di Indonesia tak mampu memenuhi janji mereka sendiri sudah cukup banyak.

Tapi nyatanya, kita belum pernah mendengar seorang pemimpin Indonesia mundur dengan alasan tak mampu menepati janji. Jika pun ada yang "cabut", itu karena alasan lain, termasuk karena dimundurkan atasannya. Pemimpin di negeri ini lebih banyak yang berani malu ketimbang yang amanah. Buktinya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap marak. Sanggupkah bangsa ini keluar dari jerat korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya.? Tentu jawabannya akan terlihat secara nyata bila negeri ini mampu menjadi pewaris tradisi politik Jepang, tradisi mundur bila ternyata gagal mengemban amanah rakyat.