11
Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung 145 Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesia Ida Liana Tanjung Universitas Negeri Medan email: [email protected] Received: 30-10-2019, Accepted: 17-11-2019 Abstract At present the community groups that still maintain their identity as seafarers are coastal people (waterside). They live along the coast and build maritime culture. Coastal people are the spearhead of the development of Indonesian culture. This is caused by the beach is the gateway for the entry of new culture into Indonesia. Coastal people are sailors who are able to navigate the high seas. The activity of coastal people as sailors is related to their livelihood as fishermen. Coastal people have local knowledge about fishing time and place. The maritime culture of coastal people in Indonesia has developed since the pre-colonial period. Today Indonesia's maritime glory is only a story of Indonesia's past. At present the representation of the Indonesian maritime world is the life of the poor and marginalized fishermen and the maritime strength of Indonesia which is under army superiority. Keywords: coastal people, maritime culture, maritime glory in Indonesia. Abstrak Saat ini kelompok masyarakat yang masih mempertahankan identitasnya sebagai pelaut adalah orang-orang pesisir (pasisir). Mereka hidup di sepanjang pantai dan membangun budaya maritim. Orang-orang pesisir merupakan ujung tombak perkembangan kebudayaan Indonesia. Hal ini disebabkan karena pantai menjadi pintu gerbang masuknya kebudayaan baru ke Indonesia. Orang pesisir merupakan pelaut yang sanggup mengarungi lautan lepas. Aktivitas orang pesisir sebagai pelaut terkait dengan mata pencaharian mereka sebagai nelayan atau penangkap ikan. Orang pesisir memiliki pengetahuan lokal tentang waktu dan tempat mencari ikan. Budaya maritim orang pesisir di Indonesia telah berkembang sejak masa prakolonial. Saat ini kejayaan maritim Indonesia hanya menjadi cerita masa lalu. Saat ini representasi dunia maritim Indonesia adalah kehidupan nelayan yang miskin dan terpinggirkan dan kekuatan maritim yang berada di bawah superioritas kekuatan darat. Kata kunci: orang pesisir, budaya maritim, kejayaan maritim Indonesia. Latar Belakang Nenek moyangku seorang pelaut merupakan sebuah lagu yang menggambarkan identitas budaya maritim bangsa Indonesia. Namun identitas ini mulai memudar dan menghilang seiring dengan perkembangan zaman. Modernisasi dan daratisasi yang dilakukan oleh pemerintah sejak masa kolonial hingga kemerdekaan lambat laun menghilangkan identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa pelaut. Saat ini kelompok masyarakat yang masih mempertahankan identitasnya sebagai

Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesiajurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2020/01/Budaya-Maritim... · 146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesiajurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2020/01/Budaya-Maritim... · 146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume

Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung │145

Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesia

Ida Liana Tanjung

Universitas Negeri Medan email: [email protected]

Received: 30-10-2019, Accepted: 17-11-2019

Abstract At present the community groups that still maintain their identity as seafarers are coastal people (waterside). They live along the coast and build maritime culture. Coastal people are the spearhead of the development of Indonesian culture. This is caused by the beach is the gateway for the entry of new culture into Indonesia. Coastal people are sailors who are able to navigate the high seas. The activity of coastal people as sailors is related to their livelihood as fishermen. Coastal people have local knowledge about fishing time and place. The maritime culture of coastal people in Indonesia has developed since the pre-colonial period. Today Indonesia's maritime glory is only a story of Indonesia's past. At present the representation of the Indonesian maritime world is the life of the poor and marginalized fishermen and the maritime strength of Indonesia which is under army superiority.

Keywords: coastal people, maritime culture, maritime glory in Indonesia. Abstrak Saat ini kelompok masyarakat yang masih mempertahankan identitasnya sebagai pelaut adalah orang-orang pesisir (pasisir). Mereka hidup di sepanjang pantai dan membangun budaya maritim. Orang-orang pesisir merupakan ujung tombak perkembangan kebudayaan Indonesia. Hal ini disebabkan karena pantai menjadi pintu gerbang masuknya kebudayaan baru ke Indonesia. Orang pesisir merupakan pelaut yang sanggup mengarungi lautan lepas. Aktivitas orang pesisir sebagai pelaut terkait dengan mata pencaharian mereka sebagai nelayan atau penangkap ikan. Orang pesisir memiliki pengetahuan lokal tentang waktu dan tempat mencari ikan. Budaya maritim orang pesisir di Indonesia telah berkembang sejak masa prakolonial. Saat ini kejayaan maritim Indonesia hanya menjadi cerita masa lalu. Saat ini representasi dunia maritim Indonesia adalah kehidupan nelayan yang miskin dan terpinggirkan dan kekuatan maritim yang berada di bawah superioritas kekuatan darat.

Kata kunci: orang pesisir, budaya maritim, kejayaan maritim Indonesia.

Latar Belakang

Nenek moyangku seorang pelaut

merupakan sebuah lagu yang

menggambarkan identitas budaya maritim

bangsa Indonesia. Namun identitas ini mulai

memudar dan menghilang seiring dengan

perkembangan zaman. Modernisasi dan

daratisasi yang dilakukan oleh pemerintah

sejak masa kolonial hingga kemerdekaan

lambat laun menghilangkan identitas bangsa

Indonesia sebagai bangsa pelaut. Saat ini

kelompok masyarakat yang masih

mempertahankan identitasnya sebagai

Page 2: Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesiajurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2020/01/Budaya-Maritim... · 146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume

146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume 7 Nomor 2

pelaut adalah orang-orang pesisir (pasisir).

Mereka hidup di sepanjang pantai dan

membangun budaya maritim.

Sejak masa prakolonial, orang-orang

pesisir merupakan ujung tombak dari

perkembangan kebudayaan Indonesia. Hal

ini dikarenakan pantai menjadi pintu gerbang

masuknya kebudayaan baru ke Indonesia.

Berbagai aspek kebudayaan seperti bahasa,

agama dan kesenian sampai ke pantai

melalui lautan. Perdagangan internasional

yang telah terjadi di Indonesia sejak awal

abad Masehi telah menjadi saluran

perkembangan agama dan kebudayaan.

Masuknya kebudayaan baru melalui

perdagangan internasional telah melahirkan

peradaban pesisir di sepanjang pantai

Indonesia. Sejak awal abad Masehi, wilayah

pesisir Indonesia telah menjadi pusat

pertemuan berbagai kebudayaan. Para

pedagang dan pelancong yang berasal dari

India, Cina, Arab, dan Eropa saling

berinteraksi dengan orang-orang Melayu,

Bugis, dan Jawa di kota-kota pelabuhan.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa

bahwa pada masa itu wilayah pesisir bersifat

sangat dinamis secara sosial, budaya, dan

ekonomi (Vickers, 2009: 6). Di pesisir secara

terus menerus telah terjadi dialektika antara

penduduk lokal dengan para pendatang dari

berbagai kelompok etnik. Dialektika ini

melahirkan budaya campuran atau hybrid.

Batas-batas budaya kelompok etnik di pesisir

sangat kabur. Hal ini sejalan dengan yang

dikemukakan Vickers (2009: 1) bahwa di balik

gambaran rapi tentang aneka budaya atau

kelompok etnik yang terpisah-pisah itu,

bersemayam suatu prinsip interaksi dinamis

atau pergerakan dan kreasi aktif

heterogenitas yang digambarkan sebagai

peradaban pesisir. Pendapat Vickers

menyiratkan bahwa antara kelompok etnik

yang satu dengan kelompok etnik yang lain

memiliki ikatan kultural yang melahirkan apa

yang disebut dengan peradaban pesisir.

Adrian Vickers melihat bahwa dalam

peradaban pesisir, orang dapat dengan

mudah berganti identitas dan budaya.

Satu hal yang menarik dari peradaban

pesisir yang mungkin dilupakan oleh Adrian

Vickers adalah proses perubahan identitas

etnik dan budaya yang dialami oleh kelompok

etnik dalam peradaban pesisir. Proses ini

akan menjelaskan mengapa ada kesamaan

unsur-unsur budaya pada kelompok etnik

yang berbeda di Asia Tenggara. Kajian Barth

(1988) tentang batas-batas etnik

memperlihatkan bahwa perubahan identitas

etnik seseorang tidak selalu diiringi dengan

perubahan budaya. Saat seseorang berganti

identitas etnik maka bersamaan ia akan

melakukan proses peminjaman budaya dari

kelompok etnik tersebut. Namun proses ini

ternyata tidak menghilangkan budaya

aslinya. Jejak-jejak budaya inilah yang

kemudian menyebabkan adanya kesamaan

budaya antara satu kelompok etnik dengan

kelompok etnik yang lain.

Proses budaya yang melahirkan

peradaban pesisir dapat dilihat dengan jelas

Page 3: Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesiajurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2020/01/Budaya-Maritim... · 146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume

Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung │147

dalam kasus Barus dan Sibolga. Kedua kota

pelabuhan ini didiami oleh berbagai

kelompok etnik. Pada awalnya masing-

masing kelompok etnik memiliki batasan etnik

dan budaya yang jelas. Akan tetapi interaksi

ekonomi dan sosial yang terjalin antara

kelompok etnik mengakibatkan terjadinya

percampuran kelompok etnik.

Budaya pesisir yang berkembang di Barus

dan Sibolga merepresentasikan kemaritiman

Indonesia. Mereka hidup dari sektor

perdagangan maritim, menjadi penguasa

pelabuhan, hidup sebagai pelaut dan memiliki

budaya hybrid. Permasalahan yang dikaji

dalam tulisan ini adalah tentang budaya

maritim orang pesisir (pasisir) di Indonesia.

Orang Pesisir sebagai Pelaut (Nelayan), Penguasa dan Pedagang.

Orang pesisir merupakan pelaut yang

sanggup mengarungi lautan lepas. Aktivitas

orang pesisir sebagai pelaut terkait dengan

mata pencaharian mereka sebagai nelayan

atau penangkap ikan. Setiap hari mereka

berlayar untuk mencari ikan di daerah

penangkapan ikan (fishing ground). Biasanya

Orang pesisir memiliki pengetahuan lokal

tentang waktu dan tempat mencari ikan. Saat

bulan purnama ketika air pasang adalah

waktu yang tepat mencari ikan di daerah-

daerah beting karang. (Lapian, 2011: 128).

Potensi sumber daya laut di wilayah laut

Indonesia yang begitu besar, belum

dimanfaatkan dengan baik oleh orang pesisir.

Hal ini disebabkan karena mereka hanya

menjadi nelayan tradisional yang sangat

tergantung dengan suasana laut seperti

musim, arah angina, dan derasnya arus.

Aktivitas penangkapan ikan dilakukan hanya

untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-

hari. Jika persediaan ikan masih cukup maka

seringkali mereka juga tidak melaut. Hal inilah

yang menyebabkan sebagian besar Orang

pesisir yang berprofesi sebagai nelayan

identik dengan kemiskinan (Retnowati, 2011:

158).

Pandangan masyarakat terhadap

kehidupan nelayan di pesisir tampaknya tidak

banyak bergeser sejak masa kolonial hingga

saat ini. Di dalam novel bersetting sejarah

Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Gadis

Pantai digambarkan tentang budaya

kampung nelayan yang dianggap remeh dan

direndahkan oleh priyayi. Menurut priyayi

suami dari Gadis Pantai, kampung-kampung

di sepanjang pantai kotor, miskin, dan

orangnya tak pernah beribadah. Namun

pandangan negatif terhadap orang pesisir ini

berbanding terbalik dengan pandangan

Gadis Pantai terhadap diri dan keluarganya

yang berasal dari pesisir. Baginya para pelaut

yang berlayar mencari ikan di tengah lautan

dan menerjang ombak besar adalah sosok

yang heroik. Dibutuhkan keberanian yang

besar untuk dapat mengarungi laut dengan

segala misteri dan kekuatan yang dimilikinya.

Gambaran tentang sosok pelaut Indonesia

yang pemberani memang hanya menjadi

cerita masa lalu. Sejak Belanda mendominasi

kehidupan maritim pada awal abad ke-18,

kemiskinan, kotor, malas, dan boros seakan

Page 4: Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesiajurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2020/01/Budaya-Maritim... · 146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume

148 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume 7 Nomor 2

menjadi label yang telah dilekatkan pada

orang pesisir.

Para ilmuwan saat ini perlu kiranya

membangkitkan kembali nilai-nilai budaya

maritim dari para pelaut Indonesia. Pada

tahun 2010, seorang Antropolog Indonesia,

Kusnadi (2010: 6) berusaha mendekonstruksi

pandangan negatif tentang orang pesisir.

Adapun yang menjadi objek kajiannya adalah

orang pesisir pantai utara Jawa. Menurutnya,

orang pesisir memiliki nilai-nilai budaya

kepesisiran sebagai berikut:

a. Etos kerja tinggi untuk memenuhi

kebutuhan hidup dan mencapai

kemakmuran.

b. Kompetitif dan mengandalkan

kemampuan diri untuk mencapai

keberhasilan.

c. Apresiasi terhadap prestasi seseorang

dan menghargai keahlian.

d. Terbuka dan ekspresif, sehingga

cenderung kasar.

e. Solidaritas sosial yang kuat dalam

emgnhadapi ancaman bersama atau

membantu sesama ketika menghadapi

musibah.

f. Kemampuan adaptasi dan bertahan hidup

yang tinggi.

g. Bergaya hidup konsumtif.

h. Demonstratif dalam harta benda (emas,

perabotan rumah, kendaraan, bangunan

rumah, dan sebagainya) sebagai

manifestasi keberhasilan hidup.

i. Agamis dengan sentimen keagamaan

yang tinggi.

j. Temperamental, khususnya jika terkait

dengan harga diri.

Nilai-nilai budaya orang pesisir yang

dikemukakan Kusnadi dapat digunakan untuk

membangkitkan kembali semangat dan rasa

percaya diri orang pesisir. Sejak masa

kolonial Belanda hingga kemerdekaan, rasa

percaya diri orang pesisir lambat laun mulai

memudar seiring dengan modernisasi dan

daratisasi. Orang-orang pesisir terus

menerus mengalami keterpinggiran, baik

secara sosial, ekonomi, dan budaya maupun

politis. Padahal pada masa prakolonial,

orang-orang pesisir adalah penguasa di

seluruh wilayah Indonesia. Mereka

menguasai perdagangan baik lokal maupun

internasional dan merupakan salah satu

bagian dari budaya maritim yang dimiliki oleh

orang-orang pesisir di Indonesia sejak masa

prakolonial. Bagi orang pesisir, laut menjadi

penghubung daerahnya dengan dunia luar

yang menjadi sumber mata pencaharian dan

kesejahteraanya (Ikram, 2013: 312).

Hubungan dagang Indonesia dan India telah

lebih dahulu dibandingkan dengan Cina.

Bukti-bukti historis menunjukkan bahwa sejak

abad ke-2 Masehi sudah ada hubungan

dagang antara Indonesia dan India.

Selanjutnya sejak abad ke-5 juga sudah

mulai tercatat adanya utusan ke Cina.

Komoditi yang diperdagangkan adalah lada,

Page 5: Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesiajurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2020/01/Budaya-Maritim... · 146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume

Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung │149

cengkih, pala, kayu cendana, beras dan kain

(Sulistiyono, 2004).

Salah satu alasan orang India berdagang

ke Indonesia adalah berkaitan dengan

hilangnya sumber perdagangan emas India

yang berasal dari Asia Tengah menjelang

abad Masehi. Oleh karena itu orang India

harus mencari sumber emas di daerah lain.

Meskipun pada akhirnya negeri yang mereka

anggap sebagai penghasil emas ternyata

menghasilkan rempah-rempah, kayu

cendana, kayu gaharu, kamper, dan

kemenyan, sehingga muncul nama Barus

menjadi Karpūradvīpa atau Pulau Kapur

Barus (Coedes, 2017: 48).

Komoditi ini sangat disukai oleh India dan

Cina untuk kepentingan upacara keagamaan.

Sebaliknya komoditi dagang dari Cina yang

disenangi orang Indonesia terutama untuk

kepentingan prestise adalah porselen seperti

piring, mangkok, cangkir, dan jambangan serta

kain sutra Cina yang sangat mahal harganya

sehingga hanya para bangsawan yang dapat

membelinya. Sedangkan orang India

memperdagangkan kain mori yang berkualitas

bagus. Keterlibatan orang pesisir dalam

perdagangan dengan Cina dimulai pada abad

ke-5 yang ditandai dengan pengiriman utusan

ke Cina oleh kerajaan Tarumanegara.

Pengiriman utusan ke Cina juga dilakukan oleh

Sriwijaya pada abad ke-7. Menurut Wolters

(2011) utusan Sriwijaya membawa kapur barus

sebagai upeti. Diperkirakan kapur barus itu

berasal dari Barus, karena pada masa itu Barus

berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Para penguasa pesisir pada masa

prakolonial mendominasi jalur perdagangan

dan pelayaran di Indonesia disebabkan karena

keuntungan yang diperolehnya. Mereka

membutuhkan surplus uang tunai dan

peralatan militer. Dua hal ini hanya dapat

dipenuhi dari keuntungan perdagangan.

Penguasa juga sangat tertarik dengan

perdagangan karena memudahkan mereka

untuk mendapatkan komoditi yang prestisius

yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan

dan kewibawaan. Jika penguasa pedalaman

memanfaatkan surplus kekayaan dengan

membangun monumen-monumen keagamaan

yang megah maka penguasa pesisir

mengoleksi barang-barang import yang mewah

(Chauduri, 1989, Sulistiyono, 2004).

Penguasaan agraris dengan maritim

memiliki perbedaan. Dalam dunia agraris,

penguasaan terhadap rakyat adalah

penguasaan bidang ekonomi melalui

penarikan upeti dan kedudukan sosial melalui

kerja bakti, baik untuk raja maupun para priyayi.

Rakyat dikenakan pajak dan tenaga kerja,

selain itu rakyat juga menjadi kesatuan militer

bagi penguasanya (Onghokham, 1983: 83).

Kondisi ini tidak akan ditemui pada kerajaan

maritim. Penguasaan atau perdagangan

menjadi tujuan para sultan maupun para

hulubalangnya. Dasar kekuatan dan

kekuasaannya adalah pada pajak dan cukai

perdagangan internasional, serta ekspor hasil

bumi. Sumber pendapatannya bukan berasal

dari pajak hasil bumi penduduknya, sehingga

penguasaaan atas tenaga kerja tidak penting

Page 6: Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesiajurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2020/01/Budaya-Maritim... · 146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume

150 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume 7 Nomor 2

dalam pandangan penguasa maritim.

Lancarnya ekspor ke luar negeri menjadi

perhatian utama, baik bangsawan maupun

penguasa. (Rinardi, 2013: 291)

Pembangunan angkatan laut baru muncul

ketika terjadi operasi pembebasan Irian Barat.

Presiden Soekarno mencoba membangun

angkatan laut untuk menandingi kekuatan

Belanda di perairan Irian yang saat itu diperkuat

kapal induk Karel Doorman. Salah satunya

adalah dengan membeli kapal penjelajah KRI

Irian, yang saat itu dianggap menjadi monster

di perairan Asia Tenggara. Upaya lainnya

adalah dengan membangun kekuatan bawah

laut dengan mendatangkan kapal selam kelas

Whiskey dari Uni Sovyet untuk mengintimidasi

Belanda. Semua itu, membuat Belanda harus

berpikir ulang ketika mencoba

mempertahankan kolonisasinya di Irian. Akan

tetapi, pembangunan matra laut itu tidak

berlangsung lama. Berkuasanya Orde Baru

yang didominasi oleh Komando Strategis

Angkatan Darat telah mendorong kembali

perhatian dan strategi Indonesia kembali ke

arah daratan (Rinardi, 2013: 291).

Modernisasi telah menghilangkan budaya

pesisir orang Indonesia. Pembangunan jalan-

jalan dan rumah susun bagi masyarakat pesisir

tidak mempertimbangkan adat dan budayanya.

Masyarakat pesisir yang terbiasa bertempat

tinggal di tepi pantai dan memiliki ruang untuk

memperbaiki kapal dan alat tangkap ikannya

seakan tercerabut dari akar budayanya.

Program pembangunan yang dijalankan

pemerintah juga belum banyak menyentuh

sektor maritim.

Hibriditas dan Heterogenitas sebagai

Identitas Budaya Maritim

Perdagangan bukan hanya menjadi saluran

bagi masuknya agama dan kebudayaan baru,

akan tetapi juga menghadirkan realitas budaya

hybrid di antara berbagai kelompok etnik. Salah

satu contoh berkembangnya budaya hybrid di

kalangan orang pesisir adalah percampuran

antara orang Batak dan Minangkabau.

Penduduk Sibolga dan Barus menyebut

budaya hybrid ini dengan istilah budaya Pasisir

dan pemilik dari budaya ini disebut dengan

orang Pasisir atau etnik Pasisir (Sinar, 2010:

72). Namun tidak diketahui dengan pasti kapan

istilah Pasisir dijadikan sebagai identitas di

Barus dan Sibolga. Akan tetapi dapat

diperkirakan bahwa identitas sebagai orang

pasisir muncul di Barus pada awal abad ke-16,

saat Aceh mendominasi daerah ini dan unsur-

unsur budayanya digunakan oleh penduduk di

pesisir Barus. Hal ini seperti yang digambarkan

dalam kronik Raja Barus bahwa adat yang

terpakai di kota pelabuhan ini adalah campuran

dari Batak, Minangkabau, dan Aceh yang

disesuaikan dengan Islam (Drakard, 2003:

156). Namun unsur Aceh sebagai pembentuk

dari identitas etnik Pasisir tidak tampak di

Sibolga. H. Barstra menyebutkan bahwa

orang-orang Pasisir di Sibolga merupakan

campuran dari orang Batak dan Melayu yang

beragama Islam. Orang Melayu yang

dimaksud oleh Barstra adalah orang

Page 7: Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesiajurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2020/01/Budaya-Maritim... · 146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume

Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung │151

Minangkabau karena memiliki nama suku

Tanjung dan Chaniago.

Dalam berbagai literatur tentang Barus dan

Sibolga sebelum abad ke-20 sering

disebutkan bahwa penduduk pesisir di Barus

dan Sibolga adalah etnik Melayu Campuran

(Marsden, 2008: 337; Deutz, 1874: 156). Hal

ini disebabkan karena kecenderungan para

peneliti untuk mengategorikan penduduk

daerah pesisir yang beragama Islam sebagai

Melayu (Barnard,2001:331). Padahal etnik

Melayu yang dimaksud merupakan

percampuran dari berbagai kelompok etnik

seperti Batak, Minangkabau, dan Aceh. Pada

saat jaringan perdagangan Islam

berkembang pada awal abad ke-16,

kelompok-kelompok etnik yang dianggap

Melayu tersebut berdiam di daerah pesisir

Sumatera dan Semenanjung, sehingga

pesisir kemudian identik dengan Melayu dan

Islam. Studi Adrian Vickers (2009: 11)

tentang peradaban pesisir memperlihatkan

bahwa daerah pesisir Indonesia tidak selalu

identik dengan Islam. Realita ini juga dapat

ditemukan di Barus, dalam tradisi lisan orang

Batak, pesisir Barus dianggap sebagai

tempat bersemayamnya keturunan raja Batak

yang beragama Hindu, yaitu Raja Uti

(Tideman, 1936: 50).

Masuknya Minangkabau dan Aceh

sebagai bagian dari identitas Melayu di Barus

tidak terlepas dari proses historis yang

dialaminya. Barus merupakan koloni dari

orang Minangkabau dan Aceh di pesisir

Tapanuli. Selain orang-orang Melayu dan

Aceh, orang-orang Batak yang beragama

Islam di Barus juga dimasukkan dalam

kelompok etnik Melayu. Seperti yang

tergambar dalam pantun Melayu berikut ini:

Bukan kampak sembarang kampak, Kampak bisa jadi pembelah kayu, Bukan Batak sembarang Batak Tapi Batak yang telah jadi Melayu (Sinar, 2010: 73).

Pada pertengahan abad ke-19, fenomena

masuknya Batak menjadi Melayu mendorong

penguasa di pesisir membuat peraturan,

yang mengatur hubungan antara Melayu di

pesisir dan Batak di pedalaman Tapanuli.

Peraturan tersebut termuat dalam Hikajat

Tjarita Baros Pasal 17 sebagai berikut:

Kapan orang malaijoe pergie di negerie batak tida boleh dinijanja melainkan radja mistie tolong. Kapan batak datang di negeri Malaijoe bagitoe djoega.

Kapan orang Malaijoe masoek djadie batak tida boleh diganggoe kapan batak masoek djadie malaijoe bagitoe djoega. Kapan itoe orang poenja soeka sendirie dan tida boleh ditarek atau djadie parkara.

Adapoen tandanja orang batak kapan dija poenya soeka sendirie mau djadi Malaijoe (Islam) dija masoek di masdjied dija poekel Taboeh djaemäat dija kasie taú dija mau masoek Islam kamoedijan maka dija pergie kapada Imam dija minta masoek oegama Islam dan lantas dija dimasoekan dalam oegama Islam. Kamoedijan darie itoe miskie apa djoega dija poenja parkara die negerie Batak dan batak tida boleh boeka lagie, atau darie parkara kawien sekalipoen sabab tida lagie berlakoe adat Batak kepadanja lain derie oetang pioetang, dan tida boleh ditarek lagie dija kanegerie Batak.

Adapoen malaijoe tanda dija poenja soeka sendirie djadie batak, ija itoe dija pergie di negeri batak dija kawien di sana dengan parampoean batak dan dija toeroet bagaima oegama Batak. Tapie Batak kapan dija soeda masoek Islam kamoedijan dalam itoe negeri malaijoe djoega dija koembalike djadie Batak kanai hoekoem 1 karbaue 8 ringiet 20 soekat bras salah kepada negerie parlilipan namanja. Kapan orang mau lapas

Page 8: Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesiajurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2020/01/Budaya-Maritim... · 146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume

152 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume 7 Nomor 2

derie soedaranja atau mau lapaskan soedaranja bagitoe joega salanya (Chambert-Loir, 2015: 526).

Hikayat di atas menyiratkan bahwa

identitas etnik di Barus bersifat fleksibel dan

cair. Fenomena orang Batak dapat menjadi

Melayu sepertinya telah berlangsung sejak

sebelum abad ke-19. Saat Barus dikuasai

Aceh pada abad ke-16, Raja Aceh Alau’d-Din

Ri’ayat Shah mengawinkan penguasa Barus

keturunan Batak dengan adik perempuannya

dan memberinya gelar Sultan (Kathirithamby

Wells, 1969: 457). Secara tidak langsung,

orang-orang Aceh telah berperan dalam

menjadikan orang-orang Batak menjadi Islam

dan sekaligus menjadi Melayu melalui

perkawinan. Tidak berbeda dengan orang

Aceh, orang-orang Minangkabau juga

berusaha menjadikan orang-orang Batak

menjadi Melayu melalui perkawinan. Dalam

kronik Raja Barus pernah digambarkan

tentang perkawinan penguasa Barus, Sultan

Ibrahim yang berasal dari keturunan

Minangkabau dengan puteri dari Raja Batak

di Bakkara dan memperkenalkan agama

Islam. Sebagian besar dari mereka menolak

Islam, akan tetapi mereka mengakui

kekuasaan Sultan Ibrahim yang ditandai

dengan pengiriman upeti ke Barus. Saat

meninggalkan Bakkara, Sultan Ibrahim tidak

membawa istrinya tersebut ke Barus. Ia

meninggalkan istrinya di Bakkara dalam

kondisi mengandung. Pesan Sultan Ibrahim

kepada istrinya jika anak itu lahir maka harus

diberi nama Singa Maharaja dan anak itu

akan memerintah di seluruh daerah Batak

(James, 1902).

Dalam tradisi lisan yang berkembang di

Sibolga juga digambarkan bagaimana

terjadinya perkawinan campuran antara

orang-orang Minangkabau dan Batak.

Alkisah, tersebutlah seorang pemuda

Melayu Minangkabau yang berdiam di pulau

Poncan mencintai seorang gadis (boru) Batak

yang berdiam di Sibolga. Keduanya

mempuyai hakikat adat yang berbeda,

walaupun sama-sama memeluk agama

Islam. Sang pemuda berhari-hari menunggu

jemputan dari si pemudi, sedangkan si

pemudi setiap waktu menanti pinangan dari

sang pujaan. Ada penantian yang melelahkan

dari masing-masing pihak yang tak kunjung

tiba.

Bahkan ketika langkah-langkah pergaulan

lebih jauh hendak ditempuh pernikahan tidak

dapat dilangsungkan, karena pihak pemuda

menganut adat Minangkabau yang matriarkat.

Akhirnya diadakanlah musyawarah di antara

orangtua kedua belah pihak, guna mencari

jalan keluar dari kesulitan-kesulitan teknis yang

ada. Kedua pihak menganut sistem adat yang

ketat dan tentu sulit bagi seseorang untuk

mengalah penuh.

Akhirnya, toleransi tercapai dengan

mengendurkan beberapa ketegangan teknis

adat dari kedua belah pihak, yang melahirkan

adat Sumando, yang merupakan campuran

dari hukum Islam, adat Minangkabau, dan adat

Batak. Hal-hal yang baik diterima dan yang tak

sesuai dengan tata karma dan sikap hidup

Page 9: Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesiajurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2020/01/Budaya-Maritim... · 146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume

Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung │153

sehari-hari diabaikan. Itulah yang disebut adat

bersendi sara’ dan sara bersendi kitabullah

(Panggabean, 1995: 192).

Tradisi lisan di atas merupakan gambaran

realita perkawinan campuran yang terjadi di

Sibolga. Seperti perkawinan yang terjadi antara

puteri Datuk Itam yang yang menikah dengan

Raja Sibolga pada tahun 1888. Datuk Itam

merupakan keturunan penguasa di Pulau

Poncan yang berasal dari Minangkabau. Saat

Belanda memindahkan pelabuhan Tapanuli

dari Pulan Poncan Ketek ke Sibolga pada

tahun 1841, ia beserta penduduk Poncan

pindah ke Sibolga. Sejak saat itu, banyak orang

Minangkabau yang menikah dengan orang

Batak di Sibolga (Sinar, 2010: 81).

Kesimpulan

Budaya maritim orang pesisir di Indonesia

telah berkembang sejak masa prakolonial.

Orang-orang pesisir telah menjadi pelaut ulung

di Nusantara. Kerajaan Sriwijaya menjadi

representasi kejayaan maritim Indonesia.

Kekuatan armada maritim Sriwijaya dipercaya

mampu menaklukkan seluruh kepulauan di

Nusantara pada abad ke-7. Pada masa itu,

kota-kota pelabuhan berkembang akibat dari

kegiatan pelayaran dan perdagangan yang

dilakukan oleh orang-orang pesisir. Mereka

berpindah satu pulau ke pulau lain membawa

komoditi yang sedang dibutuhkan di pasaran

lokal dan internasional. Kegiatan ini bukan

hanya melibatkan para nelayan, tetapi juga

para pedagang dan penguasa. Pada akhirnya

aktivitas perdagangan menjadi saluran agama

dan kebudayaan, selain itu interaksi antara

orang-orang pesisir dengan berbagai kelompok

etnik telah melahirkan budaya dan generasi

hybrid.

Saat ini, kejayaan maritim Indonesia hanya

menjadi cerita masa lalu Indonesia. Saat ini

representasi dunia maritim Indonesia adalah

kehidupan nelayan yang miskin dan

terpinggirkan dan kekuatan maritim Indonesia

yang berada di bawah superioritas kekuatan

darat. Nilai-nilai budaya maritim orang pesisir

mulai memudar sejak kejatuhan Sriwijaya pada

abad ke-10 dan menguatnya dominasi Belanda

di kota-kota pelabuhan Indonesia pada awal

abad ke-18. Orang-orang pesisir sebagai agen

dari budaya maritim mulai terpinggirkan dan

diabaikan oleh pemerintah kolonial. Kondisi ini

semakin diperparah dengan meningkatnya

eksploitasi di bidang perkebunan pada abad

ke-19. Sejak saat itu, dunia dan budaya maritim

orang pesisir hanya menjadi bagian pelengkap

dari negara Hindia Belanda. Orang-orang

pesisir mulai hilang kepercayaan diri karena

yang ditampilkan dari mereka hanya sisi

negatifnya. Mereka dianggap miskin, kotor, dan

malas. Gambaran suram tentang kehidupan

orang pesisir masih tetap bertahan. Hingga

kemerdekaan. Pemerintah Indonesia juga tidak

menempatkan maritim sebagai primadona

dalam pembangunan. Baru pada tahun 2014,

saat Presiden Joko Widodo menyampaikan visi

poros maritim dunia sehingga kehidupan dan

budaya maritim Indonesia mulai bangkit

kembali.

Referensi

Page 10: Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesiajurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2020/01/Budaya-Maritim... · 146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume

154 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume 7 Nomor 2

Barnard, Timothy P. 2001. Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century. Journal of Southeast Asian Studies, Volume 32, No. 3.

Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: Universitas Indonesia.

Chambert-Loir, Henri. 2015. Syair Sultan Fansuri dalam Daniel Perret dan Heddy Surachman: Barus Negeri Kamper, Sejarah dari abad ke-12 hingga pertengahan abad ke-17. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, École française d’Extrême-Orient dan Pusat Arkeologi Nasional.

Chauduri, K.N. 1989. Trade and Civilization in Indian Ocean: An Economic History from the Rise of Islam to 1750. Cambridge: Cambridge University Press.

Coedes, George. 2017. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer.

Deutz, G.J.J. 1874. Baros. TBG, Vol. 22

Dhakard, Jane. 2003. Sejarah Raja-raja Barus; Dua Naskah dari Barus, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Ecole française d’Extrême-Orient.

Heddy Surachman. 2015. Barus Negeri Kamper, Sejarah dari abad ke-12 hingga pertengahan abad ke-17. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, École française d’Extrême-Orient dan Pusat Arkeologi Nasional.

Ikram, Achadiati. 2013. ‘Indonesia dengan Lautnya dalam Sastra Daerah’ dalam Dhanang Respatih Puguh (ed) Membedah Sejarah dan Budaya Maritim Merajut Keindonesiaan, Semarang.

James, K.A. 1902. De Geboorte van Singa Maharaja en het ontstaan van de Koeria (District) Ilir in de Onderafdeeling Baroes. TBG.

Kathirithamby-Wells, J. 1969. Achehnese Control over West Sumatra up to the

Treaty of Painan of 1663. Journal of Southeast Asian History, Vol. 10. No. 3. International Trade and Politics in Southeast Asia 1500-1800.

Kusnadi (makalah). 2010. Jelajah Budaya Tahun 2019 dengan tema ‘Ekspresi Budaya Masyarakat Nelayan di Pantai Utara Jawa’ yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Yogyakarta, 12-15 Juli 2010.

Lapian, Adrian B. 2011. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut, Jakarta: Komunitas Bambu.

Marsden, William. 2008. Sejarah Sumatera. Jakarta: Komunitas Bambu.

Onghokham. 1983. Sejarah Pembesar di Indonesia (Onghokham, Negara dan Rakyat). Jakarta: Sinar Harapan.

Panggabean, M. 1992. Berjuang dan Mengabdi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Purwanto, Bambang. 2009. “Kata Pengantar” dalam Adrian Vickers, Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar: Pustaka Larasan.

Retnowati, Endang. 2011. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perspektif Sosial, Ekonomi dan Hukum). Jurnal Perspektif, Vol. XVI, No. 3.

Rinardi, Haryono. 2013. Hilang Ditelan Daratan: Terpinggirnya Budaya Maritim dalam Historiografi Indonesia’ dalam Dhanang Respatih Puguh (ed): Membedah Sejarah dan Budaya Maritim Merajut Keindonesiaan. Semarang.

Sinar, Luckman dkk. 2010. Mengenal Adat dan Budaya Pesisir Tapanuli Tengah – Sibolga. Medan: Forkala Sumut.

Sulistiyono, Singgih Tri. 2004. Sejarah Maritim Indonesia (Program Hibah Penulisan Buku Teks, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Page 11: Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesiajurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2020/01/Budaya-Maritim... · 146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume

Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung │155

Tideman, J. 1936. Hindoe-invloed in Noordelijk Batakland, Uitgaven van het Bataksch Instituut No. 23. Amsterdam: N. V.De Valk.

Vickers, Adrian. 2009. Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya Asia

Tenggara. Denpasar: Pustaka Larasan.

Wolters. O.W. 2011. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III – Abad VII. Jakarta: Komunitas Bambu.