105
Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan Sekolah Staf Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI) Angkatan XXXI BRANCHLESS BANKING SETELAH MULTILICENSE : ANCAMAN ATAU KESEMPATAN BAGI PERBANKAN NASIONAL PUNGKY PURNOMO WIBOWO NIP. 11853

Branchless Banking Setelah Multilicense (Publik)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Economic Paper

Citation preview

  • Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan Sekolah Staf Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI)

    Angkatan XXXI

    BRANCHLESS BANKING SETELAH MULTILICENSE:

    ANCAMAN ATAU KESEMPATAN BAGI PERBANKAN NASIONAL

    PUNGKY PURNOMO WIBOWO NIP. 11853

  • KATA PENGANTAR

    Dengan mengucapkan syukur Alhamdulilah ke hadirat Allah SWT dan atas berkat

    dan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan

    jadwal yang ditentukan. Makalah ini Penulis susun dan persembahkan sebagai salah

    satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan kepemimpinan di Bank Indonesia pada

    SESPIBI Angkatan XXXI Tahun 2013. Dalam keterbatasan waktu yang tersedia dalam

    program SESPIBI XXXI, Penulis berusaha untuk menghasilkan makalah yang dapat

    memberikan kontribusi serta sumbangan pemikiran yang signifikan untuk Bank

    Indonesia.

    Dalam kesempatan ini, Penulis menyampaikan ungkapan terima kasih kepada

    Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Pimpinan Satuan Kerja yang telah memberikan

    kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti SESPIBI XXXI ini. Ucapan terima kasih juga

    Penulis haturkan kepada Direktur Program SESPIBI XXXI, Pimpinan dan seluruh Staf

    Departemen Sumber Daya Manusia, Ibu Eni V. Panggabean selaku pembimbing,

    kawan-kawan yang sangat inspiratif di program SESPIBI XXXI, khususnya Sdri. Yunita

    Resmi Sari, Sdri. Elisabeth Sukawati, Sdr. Yudi Permana, kawan-kawan di Tim Financial

    Inclusion yang telah membantu penyediaan data dan referensi guna penyusunan

    makalah ini, dan para pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, yang telah

    berkontribusi sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.

    Akhir kata, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata

    sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan

    saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak.

    Jakarta, 27 Juni 2013

    ii

  • ABSTRAK

    Peran dan fungsi bank dalam perekonomian yang sangat strategis, membuat posisi perbankan sangat penting untuk mendorong kegiatan ekonomi. Bank dapat mempengaruhi dan menentukan semua aspek kegiatan ekonomi di suatu negara. Ketidakmampuan bank dalam memberikan layanan yang optimal akan menyebabkan kegiatan ekonomi terganggu dan bisa mengakibatkan semua sektor ekonomi tidak bisa bekerja optimal. Melihat dari perspektif demand dan supply, terlihat fungsi Bank sebagai agent of development dapat dikatakan belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan adanya kebijakan insentif yang dapat mengoptimalkan fungsi bank sebagai sebagai agent development. Diakhir tahun 2012 Bank Indonesia mengeluarkan Pengaturan multilicense dan pembukaan jaringan kantor diarahkan untuk mendorong Bank agar meningkatkan efisiensi kegiatan operasionalnya dan daya saing dengan ditunjang oleh permodalan yang kuat. Masih dalam upaya mengoptimalkan fungsi bank sebagai agent development, diawal 2013, Bank Indonesia meluncurkan program branchless banking dalam kerangka besar sebagai salah satu kegiatan financial inclusion. Dengan dukungan inovasi delivery channel Branchless Banking, pangsa pasar untuk unbanked people akan menjadi target bisnis yang menarik bagi perbankan di Indonesia. Disamping itu, dukungan kondisi geografis dan kondisi masyarakat Indonesia, branchless banking diharapkan akan dapat mendukung perluasan akses layanan jasa keuangan bagi masyarakat. Dari sini dapat terlihat adanya sinergi dari kedua kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Kedua kebijakan tersebut memiliki tujuan yang saling mendukung dalam rangka menjembatani permasalahan disparitas layanan keuangan perbankan dimana multilicense dan pengaturan pembukaan kantor cabang akan memberikan insentif bagi bank untuk membuka layanan di daerah yang masih minim layanan perbankan dan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Kedua kebijakan ini juga akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi operasional bank memperluas jangkauan akses layanan perbankan bagi masyarakat dan meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM. Berdasarkan analisa kuantitatif dan kualitatif yang telah dilakukan, terdapat beberapa kesimpulan dan saran kepada Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengawasi dan mengatur perbankan nasional saat ini dan OJK pada waktunya. Selanjutnya disampaikan juga strategi yang dapat ditempuh oleh perbankan nasional, OJK dan BI untuk menjaga agar tujuan dan pelaksanaan kegiatan branchless banking dapat terlaksana secara benar, tepat dan terukur. Keyword: Branchless Banking

    iii

  • EXECUTIVE SUMMARY

    Bank sebagai lembaga intermediasi sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi

    utamanya bank yang sehat dan efisien. Perbankan yang efisien akan mendukung pertumbuhan

    ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, masih banyak

    penduduk Indonesia belum berbank baik menabung ataupun mendapat fasilitas pembiayaan.

    Berdasarkan hasil survei Bank Dunia, kurang dari 50% penduduk Indonesia memiliki rekening

    bank pada institusi keuangan formal (bank) dan hanya 17% dari penduduk yang mempunyai

    akses kredit. Lebih jauh, hasil survei rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun

    2010 menunjukkan bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali. Jumlah

    kepemilikan rekening masyarakat Indonesia dinilai masih rendah bahkan se-ASEAN.

    Disisi lain, sektor UMKM yang merupakan sektor yang terbukti tangguh dalam menghadapi

    krisis ekonomi kurang mendapat perhatian karena berbagai kendala. Sektor ini diperkirakan

    memberikan kontribusi sebesar 57,1% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dengan

    pangsa mencapai 99 persen dari total unit usaha di Indonesia serta menyerap 97.2% dari total

    tenaga kerja. Ironisnya, pangsa kredit UMKM hanya 20% dari total kredit perbankan. Padahal

    tiga penelitian yang ada terkait UMKM mengungkapkan potensi pembiayaan perbankan untuk

    UMK masih cukup tinggi. Dengan menggunakan asumsi bahwa PDB sampai dengan tahun

    2018 tumbuh 6,5%, dan potensi usaha Mikro dan Kecil di tahun 2018 diperkirakan mencapai

    Rp1.588,42 triliun.

    Fakta dimaksud mengakibatkan rasio outstanding kredit perbankan (27,49% terhadap GDP),

    Kredit UMKM (0,67% terhadap GDP) maupun outstanding dana pihak ketiga (36,41%

    terhadap GDP) terendah dikawasan. Masyarakat Indonesia ternyata lebih banyak

    memanfaatkan layanan keuangan dari sektor informal atau tidak menabung sama sekali.Fakta

    ini menjadi kendala untuk percepatan pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan

    maupun mendukung sustainability pertumbuhan ekonomi.

    Salah satu faktor yang menjadi penyebab terbatasnya layanan perbankan ke masyarakat

    diseluruh pelosok adalah terbatasnya infrastruktur karena kondisi alam Indonesia yang

    berkepulauan. Perhitungan skala ekonomis operasional bank di suatu daerah tersebut menjadi

    faktor penting seperti tergambar kecilnya indikator jumlah layanan perbankan seperti kantor

    cabang dan ATM untuk setiap 1000 km2 luasan wilayah.

    Lebih jauh, masyarakat sendiri masih merasakan hambatan dalam memperoleh layanan jasa

    keuangan formal dari perbankan. Selain keterbatasan infrastruktur lembaga keuangan

    Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 iv

  • dimaksud, juga disebabkan rendahnya penghasilan sehingga pendapatan yang diterima

    penduduk desa lebih banyak digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia

    79% masyarakat yang tidak memiliki tabungan karena tidak memiliki uang. Namun demikian,

    masyarakat berpendapatan rendah adalah active money managers yang sangat membutuhkan

    akses keuangan terhadap lembaga keuangan khususnya perbankan. Selain itu, rendahnya

    pemahaman masyarakat tentang keuangan (financial literacy) dan belum tersedianya produk

    yang sesuai untuk kelompok masyarakat kecil menambah rumit persoalan.

    Untuk itu, perlu terobosan dan inovasi agar seluruh masyarakat dapat menikmati jasa layanan

    dari perbankan. Hal ini juga terjadi diberbagai belahan dunia terutama di emerging economies

    melalui dengan apa yang dinamakan dengan kebijakan keuangan inklusif. Salah satunya

    melalui penerapan branchless banking. Keuangan Inklusif adalah sebuah kondisi dimana

    masyarakat memiliki akses yang berkesinambungan terhadap jasa keuangan yang dibutuhkan

    atau sebuah proses untuk menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat luas dan rumah

    tangga berpenghasilan rendah pada harga yang dapat dijangkau.

    Untuk menajwab persoalan dimaksud dan atas dasar fakta dan trend yang terjadi, Bank

    Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan dengan tujuan meningkatakan jangkauan akses

    namun tanpa menimbulkan dampak negative yang berlebihan baik bagi perbankan sendiri,

    masyarakat maupun perekonomin. Kebijakan dimaksud ditekankan kepada penguatan

    ketahanan, daya saing, sekaligus penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk

    penguatan ketahanan dan daya saing perbankan dilakukan melalui penerapan aturan ijin

    berlapis (multilisence). Sedangkan kebijakan dalam rangka perluasan akses keuangan

    masyarakat melalui kebijakan branchless banking. Kedua kebijakan ini juga didukung dengan

    penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui mewajibkan bank untuk

    menyalurkan 20 persen dari total kredit untuk sektor UMKM secara gradual.

    Namun demikian, kebijakan dimaksud tidak serta merta dapat mencapai tujuan yang

    diharapkan, banyak kendala yang dihadapi seperti disebutkan diatas. Harapan agar kebijakan

    ini diharapkan dapat menjangkau unbanked people dan masyarakat remote area untuk

    menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan bank dalam penyaluran kredit bagi

    UMKM bukanlah pekerjaan mudah. Namun hal ini patut dilakukan mengingat berbagai

    landasan teori mendukung kearah tersebut diantaranya :

    Tujuan negara yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap

    bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

    kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

    dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

    Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 v

  • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai

    pandangan hidup bangsa Indonesia dimana implementasi branchless banking diharapkan

    dapat membantu pemerataan pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, yang

    merupakan pengamalan moral politik kenegaraan sila pertama, dimana meningkatkan

    kesejahteraan umum adalah merupakan tanggung jawab yang suci, dalam membangun

    dunia baru yang lebih baik berdasarkan keadilan sosial (sila kedua) serta dalam kerangka

    memperjuangkan kepentingan nasional (sila ketiga), dengan demikian kedaulatan rakyat

    (dalam bidang ekonomi) akan semakin tinggi. Karena itu negara wajib mendengarkan suara

    rakyat (sila keempat) dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat dan mengikut

    sertakan seluruh rakyat dalam (sila kelima) kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya serta

    secara khusus memperhatikan warga bangsa yang lemah kedudukannya agar tidak terjadi

    ketidakadilan serta kesewenang-wenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang

    lemah.

    Pasal 27 ayat (2) UUD 45 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan

    dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

    Pasal 28 ayat (2) UUD 45 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan

    kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama

    guna mencapai persamaan dan keadilan.

    Ketahanan Nasional, dimana kemiskinan yang disebabkan salah satunya karena rendahnya

    akses pada lembaga keuangan. Implementasi BB merupakan salah satu strategi

    pengentasan kemiskinan, secara tidak langsung akan meningkatkan ketangguhan

    masyarakat, otomatis akan meningkatkan ketahanan ekonomi, yang pada gilirannya akan

    meningkatkan Ketahanan Nasional.

    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

    Nasional (RPJPN) 2005-2025 dimana untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing,

    dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang berorientasi dan berdaya saing global,

    dimana salah satunya adalah melalui pengembangan sektor keuangan. Pengembangan

    sektor keuangan dilakukan melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank

    dan non-bank dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan

    bagi orang yang kurang beruntung dimanapun berada.

    Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa

    untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, pelaksanaan

    pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya perekonomian nasional yang

    berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu

    bersaing di kancah perekonomian internasional.

    Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 vi

  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank sebagai badan

    usaha dalam kegiatannya adalah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

    Teori Pembangunan untuk Rakyat oleh Ginanjar Kartasasmita menyebutkan bahwa

    pembangunan dan kebijakan yang berorientasi serta berpihak pada kepentingan rakyat

    dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam bukunya Pembangunan

    untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (1996). Pertumbuhan hanya

    akan berkesinambungan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat

    sendiri, baik berupa produktifitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan

    rakyat. Makin tumbuh dan bekembang pembangunan yang berdasar pada daya rakyat

    sendiri, maka makin kukuh pula kemandirian suatu bangsa. Kemandirian yang dibangun

    adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain,

    bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandegan (Kartawan, 2011).

    Teori Pengembangan UMKM oleh Selanjutnya hasil penelitian Syamsul Hadi dan kawan-

    kawan dari CIReS dalam bukunya Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF menyebutkan

    bahwa pembangunan Indonesia akan lebih kuat dan mandiri jika dalam prosesnya selalu

    mengembangkan program pembangunan usaha kecil dan menengah yang komprehensif

    (Syamsul Hadi dkk, 2004).

    Survei Bank Dunia di seluruh dunia menunjukkan bahwa sektor keuangan memiliki peran

    penting dan signifikan dalam pengentasan kemiskinan, mengurangi perbedaan

    pendapatan, dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian.

    Karya tulis ini akan mencoba mengukur dan menganalisa efektivitas kebijakan yang dikeluarkan

    yaitu pengaturan multi-license dan pembukaan jaringan kantor serta implementasi BB dalam

    memperkuat struktur perbankan Indonesia dan pengaruhnya terhadap akses keuangan

    masyarakat luas. Terdapat empat pokok permasalahan terkait kebijakan multi-license dan

    branchless banking dimaksud dengan penekanan sebagai berikut:

    1. Tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB dalam meningkatkan

    akses keuangan masyarakat.

    2. Tingkat potensi pembiayaan khususnya untuk UMKM yang besar akan semakin besar.

    3. Tingkat efisiensi yang mungkin timbul.

    4. Tingkat kebehasilan kebijakan Branchless Banking dalam meningkatkan akses keuangan,

    dengan penekanan pada probabilitas peningkatan kepemilikan rekening tabungan serta

    Estimasi Penambahan Rekening Tabungan.

    Berbagai metode yang ada akan dimanfaatkan untuk menjawab rumusan permasalahan diatas,

    baik dengan metode kuantitatif maupun kualitatif seperti Metode Data Envelope Analysis (DEA)

    dan Matrix BCG untuk menjawab rumusan permasalahan pertama; dan Concentration Ratio

    Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 vii

  • (CR) serta Herfindahl-Hirschman Index (HHI) untuk permasalahan yang ketiga. Prediksi

    peningkatan pengunaan jasa perbankan akan digunakan pendekatan regresi linear maupun

    logistik untuk menjawab permasalahan keempat. Sementara itu analia kuatitatif melalui

    konfirmasi dengan hasil penelitian yang ada dilakukan untuk menajwab permasalahan kedua.

    Kajian ini juga diperkuat dengan anlisa SWOT dari penerapan branchless banking dan

    multilicense sekaligus strategi untuk mengantisipasi ataupun memperkuatnya. Adapun analisa

    SWOT terkait kedua kebijakan dimaksud antara lain sebagai berikut :

    Strength : seperti perbankan local lebih mengenal nilai-nilai kedaerahan, kemampuan

    mengembangkan produk yang sesuai dengan karakteristik masyarakat, kemampuan untuk

    bekerjasama dengan unit ekonomi lokal

    Weaknesses : seperti tingkat efisiensi usaha yang masih rendah, tingginya suku bunga pinjaman khususnya kredit UMKM, masih kalahnya profesionalitas SDM, kurangnya inovasi

    produk dan jasa, pelayanan yang rigid dan formalitas dan kemampuan pengelolaan risiko

    dibidang mass market masih terbatas.

    Opportunity : seperti masih luasnya pangsa pasar, menurunkan risiko likuiditas dengan

    mperoleh sumber dana retail baru, menurunkan risiko kredit dan melalui diversigikasi risiko

    dengan peningkatan kredit UMKM khususnya kredit mikro dan efisiensi.

    Threat : seperti meningkatnya persiangan dengan ASEAN banking integration,

    meningkatnya risiko operasional serta risiko reputasi.

    Adanya kebijakan branchless banking dan multilicense tentunya perlu diliat efektivitasnya

    melalui beberapa indicator, diantaranya a) Bertambahnya jumlah layanan bank. b) Tersedianya

    produk bank yang sesuai, c) Bertambahnya jumlah pemilik rekening d) Tercapainya pemerataan

    pendapatan masyarakat yang tercermin dari menurunnya Gini Ratio; e) jika keempat indikator

    sebelumnya dapat terpenuhi, maka diharapkan tingkat kemisikinan akan turun.

    Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan multilicense dan pembukaan

    jaringan kantor dapat menjawab permasalahan disparitas layanan keuangan perbankan dan

    kebijakan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan

    masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Lebih jauh, kebijakan

    multilicense dan branchless banking akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi

    operasional serta dapat meningkatkan penyaluran kredit bagi UMKM sekalgisu memudahkan

    bank memnuhi kewajiban untuk menyalurkan kredit UMKM sebesar 20%.

    Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 viii

  • DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii ABSTRAK ...................................................................................................... iii EXECUTIVE SUMMARY ................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1

    1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 3

    1.3 Tujuan ...................................................................................................... 4

    1.4 Metode Analisis ........................................................................................ 4

    1.5 Alur Pikir ................................................................................................... 7

    1.6 Pola Pikir ................................................................................................... 8

    BAB 2. LANDASAN PEMIKIRAN DAN OPERASIONAL .......................................... 10

    2.1 Landasan Pemikiran .................................................................................. 10

    2.2 Paradigma Nasional .................................................................................. 11

    2.2.1 Pancasila sebagai Landasan Ideal ..................................................... 11

    2.2.2 UUD NRI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional .................... 11

    2.2.3 Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konseptual .......................... 12

    2.3 Peraturan Perundang-undangan sebagai Landasan Operasional ................. 12

    2.3.1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana

    Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 ..................... 12

    2.3.2 Undang-undang nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia ..... 13

    2.3.3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan .13

    2.4 Landasan Operasional Perbankan .............................................................. 14

    2.4.1 Jenis Bank ....................................................................................... 14

    2.4.2 Produk dan Kegiatan Usaha Bank .................................................... 14

    2.5 Landasan Teori .......................................................................................... 15

    2.5.1 Teori Akses Lembaga Keuangan ...................................................... 16

    2.5.2 Teori Pembangunan untuk Rakyat ................................................... 16

    2.5.3 Teori Pengembangan UMKM .......................................................... 18

    Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 ix

  • 2.6 Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 18

    2.6.1 Sarwono Sudarto, 2004: Optimalisasi Peran Perbankan Guna

    Mendorong Pertumbuhan UMKM dan Koperasi dalam rangka

    Meningkatkan Ketahanan Nasional .......................................................... 16

    2.7 Perkembangan Lingkungan Strategis ......................................................... 16

    2.8 Implikasi Financial Inclusion ....................................................................... 17

    2.8.1 Terhadap Percepatan Perekonomian Masyarakat ............................. 17

    2.8.2 Terhadap Ketahanan Nasional ......................................................... 17

    2.9 Pokok-Pokok Persoalan dalam Financial Inclusion ...................................... 18

    2.10 Kondisi Financial Inclusion yang Diharapkan ............................................ 18

    2.11 Indikasi Keberhasilan ............................................................................... 19

    BAB 3. KEBIJAKAN MULTILICENSE DAN PERLUASAN JARINGAN

    KANTOR BANK .............................................................................................. 20

    3.1 Banyak Masyarakat yang Belum Terlayani .................................................. 22

    3.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat terhadap Jasa Keuangan .... 23

    3.2.1 Tingkat Pendapatan Masyarakat ...................................................... 23

    3.2.2 Keterbatasan Ketersediaan Jasa Perbankan ...................................... 23

    3.3 Latar Belakang Kebijakan Multilicense ....................................................... 24

    3.3.1 Inefisiensi Perbankan nasional ......................................................... 24

    3.3.2 Fokus Khusus pada Usaha Kecil, Mikro dan Menengah .................... 25

    3.4 Kebijakan Perizinan Berjenjang (Multilicense) ............................................. 26

    3.4.1 Modal Inti ....................................................................................... 27

    3.5 Latar Belakang Kebijakan Branchless Banking ............................................ 29

    3.5.1 Alternatif Model Branchless Banking .............................................. 31

    BAB 4. ANALISA KEBIJAKAN BRANCHLESS BANKING SETELAH PENERAPAN

    KEBIJAKAN MULTILICENSE UNTUK MEMPERLUAS BASIS NASABAH BANK .......... 37

    4.1 Studi Empiris Kebijakan Multilicense, perluasan jariangan Kantor, dan BB di

    Indonesia ........................................................................................................ 38

    4.1.1 Studi Empiris Multilicense Terkait Modal inti, Perluasan Jaringan

    Kantor, dan Tingkat Kejenuhan Bank........................................................ 38

    4.1.2 Studi Empiris Pemetaan, Potensi, serta Forecasting Pembiayaan UMKM

    (BCG Matrix) ............................................................................................ 46

    Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 x

  • 4.1.3 Studi Empiris Analisis Efisiensi Perbankan Indonesia Berkaitan Dengan

    Tingkat Efisiensi Yang Timbul dari Sinergi Pengaturan Multilicense,

    Pembukaan Jaringan Kantor dan Implementasi Branchless Banking ........... 58

    4.1.4 Analisis Penerapan Branchless Banking Dalam Meningkatkan Jumlah

    Rekening .................................................................................................. 61

    BAB 5. ANALISA SWOT PENERAPAN BRANCHLESS BANKING SETELAH KEBIJAKAN

    MULTILICENSE DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERBANKAN NASIONAL ............. 64

    5.1 Kapasitas Bank di Indonesia dibandingkan Bank di Negara ASEAN ............. 64

    5.1.1 Perbandingan Asset dan Modal Inti Perbankan Nasional dengan

    Regional ................................................................................................... 64

    5.1.2 Modal Inti ....................................................................................... 65

    5.1.3 Capital Adequacy Ratio (CAR) ......................................................... 66

    5.2 Tingkat Efisiensi Bank di Indonesia ............................................................ 68

    5.2.1 BOPO Bank ..................................................................................... 69

    5.2.2 Net Interest Margin ......................................................................... 69

    5.2.3 Loan to Deposit Ratio ...................................................................... 70

    5.3. Analisis SWOT Perbankan Nasional dalam Melaksanakan Kebijakan

    Branchless Banking setelah Penerapan Multilicense Policy ......................... 73

    5.3.1 Penguatan Strategi SWOT dan Konsepsi Kebijakan .......................... 73

    BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 75

    6.1 KESIMPULAN ............................................................................................ 75

    6.2 SARAN ..................................................................................................... 75

    DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 76

    LAMPIRAN .................................................................................................... 85

    Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 xi

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1.1 Jumlah Bank Perkapita Maret 2012 ........................................................ 1

    Gambar 1.2 Tingkat Kepadatan Bank di Beberapa Pulau Besar di Indonesia 2011 ....... 2

    Gambar 1.3 Indeks Stabilitas Sistem Keuangan .......................................................... 11

    Gambar 2.1 Kerangka Kerja Kebijakan Keuangan Inklusif (Financial Inclusion) ............ 12

    Gambar 3.1 Persebaran Jaringan Kantor Bank di Indonesia ........................................ 21

    Gambar 3.2 Rasio Jumlah Kantor Bank dengan Jumlah Kecamatan ............................ 21

    Gambar 3.3 Pergeseran Distribudi Pendapatan Masyarakat Indonesia ......................... 22

    Gambar 3.4 Presentase Jumlah Bank Komersial dan BPR di Pedesaan ......................... 24

    Gambar 3.5 Akses Kepada Jasa Tabungan ................................................................. 24

    Gambar 3.6 Kontribusi UMKM Dalam Perekonomian Indonesia ................................. 25

    Gambar 3.7 Jumlah Bank Menurut Modal Inti ............................................................ 27

    Gambar 3.8 Analisis GAP Kebijakan Multilicense di Indonesia ..................................... 28

    Gambar 3.9 Ruang Lingkup Kegiatan Usaha Bank Berdasarkan BUKU ........................ 29

    Gambar 3.10 Tingkat Akses Keuangan di Berbagai Negara Asia ................................. 30

    Gambar 3.11 Model Branchless Banking .................................................................... 31

    Gambar 3.12 Alur Bank-based Model ........................................................................ 35

    Gambar 3.13 Alur Non-bank Based............................................................................ 35

    Gambar 3.14 Alur Hybrid Model ................................................................................ 36

    Gambar 4.1 Kerangka Kerja Analisis DEA Perbankan Indonesia .................................. 39

    Gambar 4.2 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia ................................. 43

    Gambar 4.3 BCG Matriks Tingkat Kepadatan Bank di Indonesia ................................. 44

    Gambar 4.4 Sepuluh Provinsi dengan Share Dana Pihak Ketiga dan Kredit Terbesar di

    Indonesia ................................................................................................................... 46

    Gambar 4.5 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia dan Kebijakan

    Branchless Banking .................................................................................................... 46

    Gambar 4.6 Pemetaan Kondisi Pembiayaan UMKM di Indonesia ................................ 48

    Gambar 4.7 Pemetaan Kondisi UMK di Indonesia ....................................................... 52

    Gambar 4.8 Forecast Total kredit dan Kredit UMKM di Indonesia ............................... 53

    Gambar 4.9 Analisis Perkembangan Kredit UMKM di Indonesia ................................. 54

    Gambar 5.1 Perbandingan Asset 5 Bank Terbesar di Beberapa Negara ASEAN ............ 66

    Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 xiii

  • Gambar 5.2 Modal Inti Bank Besar di ASEAN ............................................................. 66

    Gambar 5.3 CAR Perbankan di Beberapa Negara ASIA Triwulan IV-2011.................... 68

    Gambar 5.4 Perkembangan CAR, ATMR, dan Modal Industri Perbankan Nasional ...... 68

    Gambar 5.5 Perkembangan ROA dan NIM Industri Perbankan Nasional ...................... 69

    Gambar 5.6 BOPO Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011 .................. 69

    Gambar 5.7 Perkembangan BOPO Industri Perbankan Nasional .................................. 70

    Gambar 5.8 NIM Perbankan di Beberapa Negara ASIA Triwulan IV-2011 .................... 70

    Gambar 5.9 LDR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011 ..................... 72

    Gambar 5.10 Rata-Rata Suku Bunga Kredit dan DPK Rupiah ...................................... 73

    Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 xiv

  • DAFTAR TABEL

    Tabel 3.1 Perbandingan Tingkat Penggunaan Layanan Keuangan Indonesia dengan

    Negara Lain Tahun 2010 ............................................................................. 20

    Tabel 3.2 Perbandingan Tingkat Akses Terhadap Perbankan Tahun 2010 ................... 21

    Tabel 3.3 Bank Based Model ...................................................................................... 33

    Tabel 3.4 Non-Bank Based Model .............................................................................. 34

    Tabel 4.1 Status persaingan Usaha Tingkat Provinsi .................................................... 45

    Tabel 4.2 Estimasi Kreditel Ritel dengan Alternatif 1 ................................................... 49

    Tabel 4.3 Estimasi Kreditel Ritel dengan Alternatif 2 ................................................... 50

    Tabel 4.4 Rangkuman Estimasi Potensi Pembiayaan UMK ........................................... 51

    Tabel 4.5 Hasil Estimasi Markov Switching untuk Fungsi Kredit ................................... 56

    Tabel 4.6 Matriks Transisi dan Matriks Durasi ............................................................. 57

    Tabel 4.7 Perkembangan Efisiensi Perbankan dan Cooperation Ratio .......................... 59

    Tabel 4.8 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia-Kredit ............................. 61

    Tabel 4.9 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia-Kredit ............................. 61

    Tabel 4.10 Hasil Perhitungan model regresi Logistik ................................................... 62

    Tabel 4.11 Hasil Analisis Model Regresi Linier ............................................................. 63

    Tabel 4.12 Estimasi Pertambahan Rekening Berdasarkan Zona Provinsi ....................... 64

    Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 xv

  • BAB 1 PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Fungsi utama bank adalah sebagai lembaga intermediasi, antara pihak yang kelebihan dana

    (supply unit) dengan pihak yang membutuhkan dana (demand unit). Dana yang diterima

    bank dapat disalurkan pada kegiatan-kegiatan produktif, menyerap tenaga kerja,

    meningkatkan output dan pada akhirnya menggerakkan siklus perekonomian. Oleh karena

    itu, pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat memerlukan dukungan industri perbankan1

    yang sehat dan efisien.

    Dalam proses intermediasi, bank memiliki kemampuan untuk menjembatani kepentingan

    yang berbeda antara deposan dan peminjam dalam hal preferensi likuiditas atau waktu dari

    uang. Pada level ekonomi makro bank merupakan sarana transmisi dari kebijakan moneter;

    sedangkan pada level mikro ekonomi, bank merupakan sumber utama pembiayaan bagi para

    pengusaha maupun individu (Konch, 2000).

    Keberadaan masyarakat merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan oleh

    perbankan, oleh karena itu, jumlah kantor bank di suatu wilayah harus memperhatikan

    tingkat populasi dan kepadatan penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk di suatu

    wilayah, maka semakin tinggi kebutuhan mereka terhadap jasa perbankan. Gambar 1.1

    menunjukkan jumlah kantor bank dan jumlah bank perkapita di setiap provinsi di Indonesia.

    Gambar 1.1 Jumlah Bank Perkapita Maret 2012

    Sumber: Statistik Perbankan, Bank Indonesia, diolah.

    DKI Jakarta merupakan provinsi dengan rasio jumlah bank perkapita tertinggi. Hal ini

    disebabkan karena provinsi tersebut merupakan ibukota negara dengan tingkat aktivitas

    1 Sampai dengan saat ini sistem keuangan masih didominasi oleh perbankan dengan pangsanya dilihat dari sisi asset mencapai 75,8 persen. Sementara itu, kontribusi lembaga keuangan lainnya seperti asuransi hanya mencapai 10,1 persen, perusahaan pembiayaan sebesar 6,1 persen, dan lembaga keuangan lainnya memiliki pangsa asset kurang dari 5 persen. Dari gambaran tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat kita yang melek lembaga keuangan lebih memilih perbankan, padahal di sisi lain apabila masyarakat membutuhkan pembiayaan atau ingin mencari outlet penempatan dananya, pasar modal atau asuransi dapat dijadikan sebagai pilihan.

    1

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853

  • ekonomi yang tinggi. Sementara itu, Bali dan DI Yogyakarta memiliki rasio jumlah bank

    perkapita tertinggi kedua dan ketiga setelah DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena kedua

    Provinsi tersebut memiliki volume transaksi dan perputaran uang yang cukup tinggi mengingat

    banyaknya wisatawan asing maupun lokal yang berkunjung. Di sisi lain, banyak Provinsi-

    Provinsi yang memiliki jumlah penduduk yang banyak namun hanya dilayani dengan sedikit

    kantor bank, seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Meskipun industri

    perbankan memiliki perkembangan yang signifikan di Indonesia, akan tetapi, tingkat

    persebaran bank di Indonesia tidak merata. Gambar 1.2 di bawah ini menunjukkan tingkat

    kepadatan bank (bank density) di pulau-pulau besar di Indonesia.

    Gambar 1.2 Tingkat Kepadatan Bank di Beberapa Pulau Besar di Indonesia 2011

    Sumber: SEKDA-Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik, 2011, diolah.

    Kepadatan bank dapat dilihat dari sisi spasial yaitu jumlah bank per kilometer persegi maupun

    dari sisi ukuran pasar, yaitu jumlah bank per seribu penduduk. Gambar di atas menunjukkan

    bahwa Jawa adalah pulau dengan jumlah kantor bank per kilometer persegi tertinggi. Setiap

    dua kilometer persegi wilayah di Jawa dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan, di Maluku,

    setiap 253 kilometer persegi wilayah hanya dilayani oleh satu kantor bank. Dari sisi ukuran

    pasar, Sumatera merupakan pulau dengan jumlah kantor bank per seribu penduduk tertinggi.

    Setiap seribu penduduk mampu dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan di Papua, setiap

    17.000 penduduk hanya mampu dilayani oleh satu bank.

    Untuk dapat berperan optimal dalam perekonomian, bank perlu untuk bekerja secara efisien.

    Perbankan yang efisien berkaitan erat dengan sistem keuangan yang efisien. Sektor keuangan

    yang efisien akan mendorong efektivitas alokasi sumber daya keuangan dan mengurangi

    misalokasi sumber daya produktif. Selain itu, perbankan yang efisien akan mendukung

    pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

    Data terakhir yang menunjukkan bahwa perbankan Indonesia masih belum efisien. Salah satu

    indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin. Secara khusus, 14 bank Tier 3 dan Tier 4

    dapat memenuhi himbauan BI untuk menurunkan suku bunga dana pihak ketiga yang

    2

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853

  • mendekati BI rate. Namun, ketika BI Rate stabil di kisaran 6.5 s.d 6.75% dan suku bunga dana

    pihak ketiga (DPK) stabil di kisaran suku bunga penjaminan LPS, suku bunga kredit secara

    umum masih berada di atas 10%. Hal ini menujukkan sebuah anomali, dimana seharusnya

    suku bunga kredit berada di bawah 10%. Kondisi tersebut menyebabkan net interest margin

    perbankan Indonesia masih berada pada kisaran 6% atau tertinggi di kawasan ASEAN+52.

    Sebagai upaya untuk merealisasikan hal tersebut, maka Bank Indonesia mengeluarkan

    beberapa kebijakan dalam rangka penguatan ketahanan, daya saing perbankan, sekaligus

    penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk penguatan ketahanan dan daya

    saing perbankan dilakukan melalui penerapan aturan ijin berlapis (multilisence). Sedangkan

    dalam rangka penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui kebijakan yang

    mewajibkan bank untuk menyalurkan 20% dari total kredit untuk sektor usaha mikro, kecil,

    dan menengah; dan melalui perluasan akses keuangan masyarakat melalui kebijakan

    branchless banking (selanjutnya disingkat BB).

    1.2. Rumusan masalah

    Terdapat empat pokok rumusan permasalahan yang coba dibahas terkait dengan

    kebijakan branchless banking setelah multi license apakah merupakan ancaman dan

    keuntungan bagi perbankan nasional. Keempat rumusan permasalahan di bawah ini

    untuk menganalisis sinergi dari kedua kebijakan dimaksud dengan penekanan kepada:

    5. Tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB3 oleh Bank

    Indonesia (BI) dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat terhadap perbankan;

    khususnya masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang UMKM (Usaha Mikro,

    Kecil dan Menengah).

    6. Tingkat potensi pembiayaan khususnya untuk UMKM yang besar diprediksi akan

    semakin mendorong perbankan untuk mengambil potensi tersebut, terutama dengan

    adanya kebijakan multilicense dan BB tersebut. Tingkat sinergi dari kedua kebijakan

    tersebut selanjutnya akan berdampak positif; tidak hanya terhadap industri perbankan

    dan perekonomian nasional; Namun dalam penulisan penelitian ini, akan dilihat lebih

    jauh apakah terjadi down-side effect atau ancaman yang mungkin timbul apabila

    tidak terjadi sinergi di antara kedua kebijakan tersebut.

    7. Tingkat efisiensi yang mungkin timbul, sebagai akibat adanya sinergi pengaturan

    multilicense, pembukaan jaringan kantor dan implementasi BB, terhadap kondisi

    perbankan dan perekonomian Indonesia. Pengukuran peluang ini dilakukan dengan

    2 Asean+5 terdiri dari negara Indonesia, Philipine, Thailand, Malaysia, Singapur dan Brunei, Kamboja,Laos, Myanmar dan Vietnam. 3 Kebijakan multilicense dan branchless banking (BB) tersebut akan dibahas secara mendalam di Bab 3.

    3

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853

  • membandingkan down-side effect atau ancaman dan sinergi antara kebijakan

    multilicense dan BB tersebut.

    8. Tingkat kebehasilan kebijakan branchless banking dalam meningkatkan akses

    keuangan terhadap perbankan, dengan penekanan pada probabilitas peningkatan

    kepemilikan rekening tabungan serta Estimasi Penambahan Rekening Tabungan.

    Dalam hal ini apabila tingkat keberhasilan BB tersebut menunjukan hasil yang kurang

    memuaskan, maka kebijakan BB tersebut dapat dipandang sebagai ancaman (down-

    side effect) bagi perbankan nasional.

    1.3 Tujuan Penelitian

    Karya tulis ini akan mengukur dan menganalisa kemampuan pengaturan multilicense dan

    pembukaan jaringan kantor serta implementasi BB dalam memperkuat struktur

    perbankan Indonesia dan pengaruhnya terhadap akses keuangan masyarakat luas sebagai

    bagian dari program inklusi keuangan, dengan menjawab keempat rumusan

    permasalahan di atas. Dengan memiliki analisa yang komprehensif dari seluruh

    permasalahan dalam penelitian ini, karya tulis ini diharapkan mampu menjawab dampak

    positif berupa keuntungan atau kesempatan maupun ancaman (down-side effect) yang

    mungkin timbul dari kebijakan branchless banking dan multilicense terhadap perbankan

    dan perekonomian nasional. Penulisan penelitian ini mencoba menjelaskan pula critical

    point yang perlu menjadi perhatian dalam implementasi kedua kebijakan tersebut.

    1.4 Metode Analisis

    Keempat rumusan pokok permasalahan di Sub Bab 1.2 di atas dapat dianalisa dengan

    menggunakan 4 analisa kuantitatif4. Dua analisa kuantitatif (DEA dan Matrix BCG) yang

    pertama dilakukan untuk menjawab rumusan permasalahan pertama dan kedua; dan

    analisa kuantitatif Concentration Ratio (CR) yang selanjutnya dianalisis lebih jauh dengan

    menggunakan metode Herfindahl-Hirschman Index (HHI) untuk menjelaskan rumusan

    permasalahan yang ketiga; sementara rumusan permasalahan keempat dilakukan dengan

    metode regresi logistik dan lineaer . Alur anisa kuantitatif yang akan dibahas secara

    mendalam di Bab 4 dalam penulisan penelitian ini, dapat dijelaskan secara singkat sebagai

    berikut:

    1. Menjawab rumusan permasalahan pertama (tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB)

    a. Analisa kuantitatif mengenai perlunya diatur produk dan kegiatan perbankan

    secara lebih terinci berdasarkan kapasitas yang dimiliki oleh bank yang meliputi

    kapasitas modal inti, skala ekonomi dan struktur organisasi perusahaan dijelaskan

    4 Analisa secara menyeluruh dengan menggunkaan analisa kuantitatif dapat diiukuti secara lengkap di Bab 4. 4

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853

  • dengan menggunakan Metode Data Envelope Analysis (DEA)5.DEA ini

    menggambarkan pentingnya kebijakan multilicense (perijinan berjenjang),

    khususnya dalama pembukaan jaringan kantor bank dalam mendorong

    optimalnya pelayanan kantor bank kepada masyarakat Indonesia.

    b. Sebagai kelanjutan dari hasil yang diperoleh dari Analisa DEA di point 1 tersebut,

    dilakukan analisa kejenuhan bank (bank density6) di seluruh wilayah Indonesia

    sebagai dasar untuk perlunya dilakukan kebijakan inovatif untuk perluasan

    pelayanan perbankan (antara lain kebijakan BB). Tingkat kejenuhan tersebut

    diukur menggunakan teknik Matrix BCG, yang dikembangkan oleh Boston

    Consulting Group pada tahun 19707, berdasarkan economic of scale dan financial

    service coverage8.

    2. Membahas permasalahan kedua (Tingkat Pemetaan dan Potensi Pembiayaan

    UMKM Khususnya UMK)

    Dilakukan dengan Analisa BCG Matriks untuk tingkat kejenuhan layanan perbankan

    di suatu daerah tertentu. Hal ini dikonfirmasi pula dengan tiga hasil penelitian dari

    Bank Tabungan Pensiunan Nasional, Kementerian Koperasi dan UMKM serta Bank

    Indonesia (penelitian berdasarkan household survey tahun 2010) dan forecasting

    kebutuhan kredit UMKM.

    3. Merespon Permasalahan Ketiga (Tingkat Efisiensi dari Sinergi Pengaturan

    Multilicense and BB)

    a. Dalam menjelaskan tingkat efisiensi yang mungkin timbul dari sinergi kebijakan

    multilicense dan BB, dilakukan perhitungan ukuran penguasaan pangsa pasar

    kredit dan dana pihak ketiga (DPK) yang dilakukan oleh kelompok bank, yang

    dikategorikan besar berdasarkan peraturan multilicense, terhadap total kredit

    dan DPK. Ukuran tersebut disebut dengan Concentration Ration (CR).

    5 DEA merupakan studi empiris yang dapat digunakan untuk mengevaluasi produktivitas dan performa sebuah bank dengan menggunakan pendekatan non parametik. Grigorian dan Manole (2005) melakukan penelitian pada sektor keuangan di Bahrain sedangkan Wezel (2010) melakukan studi empiris di Amerika Tengah. 6 Bank density mengukur kepadatan bank di suatu wilayah berdasarkan jangkauan layanan dan proporsi jumlah penduduk yang dilayani. Tingkat kejenuhan tersebut dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan total jumlah kantor bank di suatu wilayah dengan luas wilayah untuk melihat kepadatan bank dari sisi spasial jangkauan pelayanan. Disamping itu, tingkat kejenuhan bank juga dapat dilihat dengan membandingkan jumlah kantor bank dengan jumlah penduduk untuk melihat kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanannya. 7 Matriks ini didasarkan pada teori siklus produk (life cycle theory). BCG Matrix merupakan matriks 2x2 dengan variabel pangsa pasar monopoli sebagai sumbu axis dan tingkat pertumbuhan pasar sebagai sumbu ordinat. Model analisis ini dapat digunakan juga untuk memetakan industri perbankan per provinsi di wilayah Indonesia yang memiliki banyak pelaku pasar dengan persaingan monopolistik. Pengembangan model analisis ini untuk industri perbankan dilakukan dengan penyesuaian variabel pada sumbu X dan sumbu Y. 8 McKinnon (1973) dan Levine (1977) menyatakan bahwa persaingan yang sangat ketat akibat penumpukan jumlah bank pada suatu wilayah dapat menimbulkan kejenuhan bank (bank saturation). Sehingga pendirian bank dalam suatu wilayah harus melihat aspek density ratio atau jumlah bank per jumlah penduduk (ritonga et al, 2004)

    5

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853

  • b. Concentration ratio yang diperoleh dianalisis lebih jauh dengan menggunakan

    Herfindahl-Hirschman Index (HHI). Indeks ini merupakan indeks yang secara umum

    diterima sebagai ukuran konsentrasi pasar. Nilai HHI diukur sebagai jumlah dari

    kuadrat pangsa pasar perusahaan yang berkompetisi. Dalam hal ini, apabila

    dianggap bahwa pada sektor perbankan, keempat kelompok BUKU9 (Bank Umum

    Kegiatan Usaha) bank sebagai kelompok yang berkompetisi dalam sektor

    perbankan di Indonesia, maka HHI sektor perbankan di Indonesia dapat dikukur.

    Nilai HHI ini diharapkan dapat menjawab tngkat efisiensi yang dapat timbul,

    sebagai akibat adanya sinergi pengaturan multilicense dan implementasi BB,

    sebagaimana dirumuskan dalam perumusan masalah kedua di atas.

    4. Menjelaskan tingkat keberhasilan Branchless Banking dalam meningkatkan

    probabilitas kepemilikan rekening tabungan dan estimasi peningkatan jumlah

    rekening tabungan tersebut, dengan melakukan analisa sebagai berikut:

    a. Untuk menghitung probabilitas kepemilikan rekening tabungan akan

    digunakan model regresi logistik dengan melibatkan enam variabel prediktor

    sebagai indikator kepemilikan rekening.

    b. Model regresi linear digunakan untuk melakukan estimasi peningkatan

    rekening tabungan jika ada penambahan layanan jasa keuangan. Dasar

    perhitungan dengan menggunakan model regresi linier dari setiap zona

    kejenuhan bank.

    9 Kebijakan Multilicense menggolongkan perbankan di Indonesia menjadi 4 (empat) sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha 1 s.d. 4. Penjelasan tentang hal ini dapat diikuti dengan lengkap di Bab 3.

    6

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853

  • 1.5 Alur Pikir

    Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka dapat dibuat alur pikir seperti gambar diatas. Terdapat disparitas (perbedaan) layanan keuangan

    perbankan di Indonesia, terutama layanan keuangan yang masih terpusat di Pulau Jawa. Permasalahan spasial ini mendorong Bank Indonesia untuk

    dapat meningkatkan layanan perbankan terutama di daerah luar Jawa. Kebijakan multilicense dan BB merupakan kebijakan yang tepat untuk keluar

    dari permasalah tersebut. hal ini disebabkan karena untuk membuka bank baru, terutama di luar Jawa, membutuhkan biaya yang besar. Dengan

    adanya branchless banking dan multilicense diharapkan kinerja dan akses layanan perbankan meningkat, sehingga pada akhirnya dapat

    meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional.

    DISPARITAS LAYANAN

    KEUANGAN PERBANKAN

    SECARA SPASIAL

    PERBANKAN DI

    INDONESIA

    PELUANG

    TANTANGAN

    KEBIJAKAN MULTILICENSE,

    BRANCHLESS BANKING

    TINGKAT LAYANAN

    PERBANKAN DI DAERAH

    PERTUMBUHAN

    EKONOMI

    KEBIJAKAN MULTILICENSE

    KEBIJAKAN PEMBUKAAN

    KANTOR CABANG

    PENINGKATAN KINERJA DAN

    AKSES LAYANAN PERBANKAN

    KESEJAHTERAAN

    MASYAKARAT

    7

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853

  • 1.6 Pola Pikir

    Pengaruh Lingkungan atau Lingkungan strategis: Global: Masyarakat Dunia Regional: Masyarakat Ekonomi Asean Nasional: Industri perbankan dan keuangan nasional

    PELUANG : menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM tantangan dan kendala: (i) potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan disegmen UMKM yang menjadi pemicu antara

    efisiensi pemain lain atau mematikan pemain lain (ii) penurunan resiko kredit UMKM (TAMBAL SULAM KREDIT) (iii) Jumlah penduduk yang tersebar di luar Jawa (iv) Ketidakstabilan kondisi lingkungan

    PERLUASAN JARINGAN LAYANAN

    PERBANKAN

    KEBIJAKAN BANK INDONESIA : 1. MULTILICENSE 2. BRANCHLESS BANKING (BB)

    Peningkatan (I) Performance (kinerja

    perbankan): Profitabilitas, Efisiensi dan Stabilitas Sistem Keuangan.

    (II) Memperluas akses layanan perbankan dan penyaluran kredit

    Subyek Obyek Metoda

    Seluruh bank di Indonesia yang meliputi supra struktur;. sub struktu dan infrastruktur.

    Peraturan Perundangan; Perbankan: melalui perluasan jaringan layanan Masyarakat.: dengan meningkatnya

    Legisasi dengan Perijinan berjenjang; branhless banking(BB) melalui bank & non bank-based model; Edukasi dan Sosialisasi

    KESEJAHTERAAN MASYAKARAT

    PERTUMBUHAN EKONOMI

    8

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853

  • Pola pikir kajian ini dapat dijelaskan melalui bagan pola pikir diatas. Perluasan

    jaringan layanan perbankan dapat dilakukan melalui kebijakan multilicense (perijinan

    berjenjang) dan BB. Kebijakan ini bertujuan untuk memperluas basis nasabah dan

    memperluas jaringan unit layanan keuangan dengan melakukan beberapa metode.

    Kebijakan ini juga didukung dengan lingkungan strategis yaitu lingkungan tingkat

    regional (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan nasional.

    Selanjutnya, peluang kebijakan ini diharapkan dapat menjangkau unbanked people

    dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan, serta

    meningkatkan peranan bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM. Adapun

    tantangan untuk kedua kebijakan ini adalah terdapat potensi munculnya kepadatan

    tingkat layanan perbankan di segmen UMKM. Secara umum dapat disebutkan,

    bahwa dampak jangka pendek dari kedua kebijakan tersebut adalah peningkatan

    performance, profitabilitas, efisiensi dan Stabilitas Sistem Keuangan yang saat ini

    telah terjaga dengan baik (Gambar 1.3), yang pada nantinya dapat meningkatkan

    kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Secara lebih

    khusus Bagan 1.5 dan 1.6 tersebut akan dijelaskan secara lebih mendalam di bab-

    bab selanjutnya dalam penulisan makalah ini.

    Gambar 1.3 Indeks Stabilitas Sistem keuangan

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 9

  • BAB 2 LANDASAN PEMIKIRAN DAN OPERASIONAL

    2.1 Landasan Pemikiran

    Sesuai Pembukaan UUD 1945, Pemerintah Negara Republik Indonesia, tujuan negara

    adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

    untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

    melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

    keadilan sosial. Selanjutnya, agar tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam

    Pembukaan UUD 1945 dapat tercapai, diperlukan suatu strategi pembangunan nasional

    yang tepat, terukur serta terarah.

    Gambar 2.1 Kerangka Kerja Kebijakan Keuangan Inklusif (Financial Inclusion)

    Sumber: Kantor Wakil Presiden RI, Strategi Nasional Keuangan Inklusif (Revisi), 2012

    Namun demikian, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tersentuh oleh jasa

    layanan sektor keuangan formal. Salah satu upaya mengatasi hal ini, di beberapa

    Negara, khususnya negara yang tergabung dalam G20, dengan melaksanakan program

    financial inclusion (selanjutnya disingkat FI) atau kebijakan keuangan inklusif.

    Pengurangan Kemiskinan

    Stabilitas Sistem Keuangan

    Pemerataan Pendapatan

    Masyarakat yang berdaya beli dan produktif Sistem Keuangan yang m udah d iakses

    Tujuan Utama

    Untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui pengurangan kemiskinan, pemerataan pendapatan & stabilitas sistem keuangan di Indonesia dgn menciptakan sistem keuangan yg dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat

    Kelompok Sasaran

    Kelompok Pekerja Migran dan Penduduk Daerah Terpencil Sangat Miskin Miskin Bekerja / Produktif Hampir Miskinir Miskin Tidak Miskin

    Lembaga Keuangan (Bank & Lembaga

    Keuangan Non Bank) Saluran

    Pemerintah

    Keuangan Publik Subsidi Insentif Fiskal Bantuan Sosial BLT Jamkesmas ,

    dll

    Produk / Jasa Keuangan Tabungan Kredit Asuransi Remitansi Dana Pensiun Reksa dana , dll

    Ketahanan Intermediasi

    Efisiensi

    Fasilitas Intermediasi & Distribusi

    Kebijakan / Peraturan Pendukung

    Pemetaan Informasi Keuangan

    Fasilitas Keuangan

    Publik Strategi Perlindungan

    Konsumen Edukasi

    Keuangan

    Pilar Keuangan Inklusif

    Mediasi Perbankan Transparansi Produk

    TabunganKu Branchless banking Kredit Start - Up Sertifikasi tanah

    Multilicensing Kebijakan

    B ranchless banking Kebijakan kredit start - up

    Edukasi Pelajar , TKI, dan masyarakat

    lain Kampanye Bersama

    Financial Identity Number (FIN)

    Credit Rating Contoh Program

    KERANGKA KEUANGAN INKLUSIF

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 10

  • Framework besar kegiatan FI Indonesia dapat digambarkan secara garis besar pada

    Gambar 2.1.

    Dalam Gambar 2.1 dapat diikuti bahwa salah satu program dalam keuangan inklusif (FI)

    adalah kebijakan BB yaitu kegiatan layanan jasa perbankan dan sistem pembayaran

    yang diselenggarakan oleh bank dan telco tanpa melalui kantor bank tapi

    menggunakan teknologi dan pihak ketiga (agen) sehingga dapat meningkatkan akses

    keuangan masyarakat dan kelompok miskin produktif) dan UMKM.

    2.2 Paradigma Nasional

    2.2.1 Pancasila sebagai Landasan Ideal

    Pancasila sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

    pandangan hidup bangsa Indonesia adalah suatu nilai-nilai luhur bangsa

    Indonesia, yang mencerminkan moral dan akhlak manusia Indonesia dan

    diyakini kebenarannya serta kesaktiannya.

    Dalam hal ini, implementasi branchless banking diharapkan dapat membantu

    pemerataan pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, yang

    merupakan pengamalan moral politik kenegaraan sila pertama, dimana

    meningkatkan kesejahteraan umum adalah merupakan tanggung jawab yang

    suci, dalam membangun dunia baru yang lebih baik berdasarkan kemanusian

    yang adil dan beradab (sila kedua) serta dalam kerangka memperjuangkan

    kepentingan nasional (sila ketiga), dengan demikian kedaulatan rakyat (dalam

    bidang ekonomi) akan semakin tinggi. Karena itu negara wajib mendengarkan

    suara rakyat (sila keempat) dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat

    dan mengikut sertakan seluruh rakyat dalam (sila kelima) kehidupan ekonomi,

    sosial, dan budaya serta secara khusus memperhatikan warga bangsa yang

    lemah kedudukannya agar tidak terjadi ketidakadilan serta kesewenang-

    wenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.

    2.2.2 UUD NKRI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional

    Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

    merupakan sumber dari segala sumber hukum positif di Indonesia. Sebagai

    sebuah negara hukum, maka seluruh penyelenggaraan negara diatur menurut

    hukum yang berlaku. Dalam sistem hukum, maka semua orang memiliki

    kedudukan yang sama dan setara tanpa diskriminasi. Sehingga semua orang

    menjadi terlindungi sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NKRI

    1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia.

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 11

  • Optimalisasi BB merupakan perwujudan dari amanat tujuan nasional yang

    tercantum dalam Pembukaan UUD NKRI 1945 tersebut yakni memajukan

    kesejahteraan umum yang berdasarkan keadilan sosial. Selanjutnya pada Pasal

    27 ayat (2) menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan

    dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Amanat pasal 28 ayat (2)

    menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan

    perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

    mencapai persamaan dan keadilan, salah satu caranya adalah dengan berbank.

    Dengan demikian pelaksanaan branchless banking sesuai dengan dasar

    konstitusional.

    2.2.3 Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konseptual

    Sudah jamak diketahui bahwa dalam mencapai tujuan nasional, bangsa

    Indonesia menghadapi berbagai tantangan, ancaman, hambatan, dan

    gangguan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar bangsa Indonesia.

    Karena itu bangsa Indonesia membutuhkan Ketahanan Nasional yang tangguh,

    salah satunya melalui pendekatan kesejahteraan. BB dapat sebagai sarana agar

    setiap orang memperoleh haknya dalam mendapatkan layanan penuh dari

    lembaga keuangan secara tepat waktu, aman, nyaman, dan terjangkau, tanpa

    mengurangi harkat dan martabatnya. Dalam konteks Ketahanan Nasional, maka

    ancaman kemiskinan yang juga disebabkan rendahnya akses pada lembaga

    keuangan, dapat dikurangi melalui implementasi BB. Karena itu BB merupakan

    salah satu strategi pengentasan kemiskinan, yang secara tidak langsung akan

    meningkatkan ketangguhan masyarakat, dan selajutnya secara otomatis akan

    meningkatkan ketahanan ekonomi, yang pada gilirannya akan meningkatkan

    Ketahanan Nasional.

    2.3 Peraturan Perundang-undangan sebagai Landasan Operasional

    2.3.1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

    Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.

    Dalam arah RPJPN 2005-2025 disebutkan bahwa untuk mewujudkan bangsa

    yang berdaya saing, dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang

    berorientasi dan berdaya saing global, dimana salah satunya adalah melalui

    pengembangan sektor keuangan. Pengembangan sektor keuangan dilakukan

    melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank dan non-bank

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 12

  • dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan bagi

    orang yang kurang beruntung dimanapun berada.

    2.3.2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

    Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan

    bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional

    dan pelaksanaan pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya

    perekonomian nasional yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata,

    mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian

    internasional. Sehingga menjadi tugas bagi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral

    (saat ini juga otoritas pengawas dan pengaturan perbankan) untuk mendukung

    semua upaya dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.

    Sesuai UU BI, tugas utama Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 8, yaitu:

    a) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b) Mengatur dan

    menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan c) Mengatur dan mengawasi Bank.

    Sementara, terkait pengaturan dan pengawasan bank, diarahkan untuk

    mengoptimalkan fungsi perbankan nasional sebagai: a) Lembaga kepercayaan

    masyarakat dalam penghimpunan dan penyaluran dana; b) Pelaksana kebijakan

    moneter; c) Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan

    ekonomi serta pemerataan. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut pendekatan

    yang dilakukan adalah dengan menerapkan: a) Kebijakan untuk memberikan

    keleluasaan berusaha (deregulasi); b) Kebijakan prinsip kehati-hatian bank

    (prudential banking); dan c) Pengawasan bank yang mendorong bank tetap

    mengacu kepada prinsip kehati-hatian. Berdasarkan Pasal 16 ayat (2) dan Pasal

    29 beserta penjelasannya, selanjutnya diatur kewenangan Bank Indonesia dalam

    pengaturan dan pengawasan bank10.

    2.3.3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

    Bank sebagai badan usaha dalam kegiatannya adalah dalam rangka

    meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam kegiatannya, perbankan

    10 (1) Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank; (2) Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan; (3)Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision); (4) Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 13

  • dihimbau dan diwajibkan untuk ikut membantu proses peningkatan taraf hidup

    rakyat melalui bisnis yang dilakukan. Perbankan dengan fungsi utamanya

    sebagai penghimpun dana dan penyalur pinjaman kepada masyarakat, memiliki

    peranan yang strategis untuk melakukan hal tersebut. Untuk mewujudkannya

    secara lebih efisien, salah satunya melalui penerapan BB.

    2.4 Landasan Operasional Perbankan

    2.4.1 Jenis Bank

    Secara umum, jenis Bank berdasarkan fungsinya menurut Undang-Undang No.

    7 Tahun 1992 yang telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 10 Tahun

    1998 adalah:

    No Jenis Keterangan

    1 Bank Umum Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada.

    2 Bank Perkreditan

    Rakyat (selanjut-nya

    disingkat BPR)

    BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum selain itu cakupan wilayah BPR juga lebih sempit dibandingkan dengan cakupan wilayah bank umum.

    2.4.2 Produk dan Kegiatan Usaha Bank

    Berdasarkan UU, produk dan kegiatan usaha bank dapat dibedakan menjadi

    beberapa jenis, antara lain:

    No Jenis Keterangan

    1 Penghimpunan Dana Dilakukan dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito.

    2 Penyaluran Dana Dilakukan dalam bentuk penyaluran dana pihak ketiga yang disimpan di bank melalui penyaluran kredit.

    3 Trade Finance Berkaitan dengan perdagangan internasional atau ekspor impor.

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 14

  • 4 Treasury

    Kegiatan inti dalam bank yang berfungsi dan bertanggung jawab untuk mengelola risiko likuiditas, risiko suku bunga, risiko nilai tukar, risiko kredit (dalam penempatan dana selain pada

    kredit dan pembelian surat berharga / investasi), risiko kepatuhan (compliance risk) yang terkait dengan treasury, dan risiko operasional yang terkait dengan fungsi treasury.

    5 Keagenan dan Ker-ja

    sama

    Keagenan produk keuangan dalam bentuk instrumen investasi yang diterbitkan oleh penerbit asing di dalam dan luar negeri, antara lain agen reksadana, agen penjualan Surat Berharga Negara (selanjutnya disingkat SBN), bank kustodian, dan wali amanat.

    6 Sistem Pembaya-ran

    Antara lain penyelenggara kartu kredit, penerbitan kartu Auto Teller Machine (selanjutnya disingkat ATM), penerbitan kartu debet, kliring, inkaso, transfer, dan e-money.

    7 E-banking

    Jasa dan produk bank secara langsung kepada nasabah melalui elektronik dan saluran komunikasi interaktif. Beberapa media E-banking, antara lain internet banking, SMS atau m-banking, phone banking, dan ATM.

    2.5 Landasan Teori

    2.5.1 Teori Akses Lembaga Keuangan

    Pengalaman Grameen Bank di Bangladesh sejak awal tahun 70-an, menjadi

    dasar bagi Muhammad Yunus untuk menyatakan bahwa kemiskinan adalah

    penyangkalan terhadap semua hak asasi manusia. Grameen Bank yang dikenal

    sebagai bank untuk kaum miskin, hakikatnya adalah pelaksanaan FI yang luar

    biasa, karena diberikan khusus kepada perempuan pada suatu negara dimana

    perempuan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Pengalaman itulah

    kemudian memunculkan tulisan yang saat ini sangat dikenal di dunia keuangan

    mikro, yaitu akses terhadap lembaga keuangan adalah hak asasi manusia

    (Yunus, 2007). FI yang salah satu kegiatannya dilakukan melalui BB, yang

    sebelumnya telah didahului dengan penerbitan kebijakan multilicense, pada

    dasarnya sama dengan grameen bank yang memberikan akses seluas-luasnya

    pada masyarakat untuk berbank.

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 15

  • 2.5.2 Teori Pembangunan untuk Rakyat

    Ginanjar Kartasasmita menyebutkan bahwa pembangunan dan kebijakan yang

    berorientasi serta berpihak pada kepentingan rakyat dapat meningkatkan

    pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam bukunya Pembangunan untuk Rakyat,

    Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (1996). Pertumbuhan hanya akan

    berkesinambungan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari

    rakyat sendiri, baik berupa produktifitas rakyat maupun dana yang dihimpun

    melalui tabungan rakyat. Makin tumbuh dan bekembang pembangunan yang

    berdasar pada daya rakyat sendiri, maka akan semakin kukuh pula kemandirian

    suatu bangsa. Kemandirian yang dibangun adalah dengan rasa percaya diri dan

    dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian

    yang menyebabkan kemandegan (Kartawan, 2011).

    2.5.3 Teori Pengembangan UMKM

    Selanjutnya hasil penelitian Syamsul Hadi dan kawan-kawan dari CIReS dalam

    bukunya Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF menyebutkan bahwa

    pembangunan Indonesia akan lebih kuat dan mandiri jika dalam prosesnya

    selalu mengembangkan program pembangunan usaha kecil dan menengah

    yang komprehensif (Syamsul Hadi dkk, 2004).

    2.6 Tinjauan Pustaka

    2.6.1 Sarwono Sudarto, 2004: Optimalisasi Peran Perbankan Guna

    Mendorong Pertumbuhan UMKM dan Koperasi dalam rangka

    Meningkatkan Ketahanan Nasional

    Dalam tulisannya, Sarwono Sudarto (2004) menyebutkan bahwa kendala

    pengembangan UMKM salah satunya adalah karena akses pembiayaan. Namun

    dalam tulisan tersebut tidak menyebutkan solusi bagaimana membuka akses

    dimaksud dalam rangka mengembangkan UMKM. Dalam hal ini, BI

    menekankan kebijakan BB sebaagi salah satu cara untuk meningkatkan akses

    keuangan masyarakat.

    2.7 Perkembangan Lingkungan Strategis

    Kondisi dunia yang semakin tanpa batas (borderless) membuat Indonesia tidak bisa

    bersifat eksklusif dari percaturan dunia yang ada dewasa ini. Masing masing negara

    saling membutuhkan mengingat terdapat perbedaan competitive advantage di masing-

    masing negara. Di kawasan Asia, penerapan masyarakat ekonomi Asia maupun Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 16

  • perdagangan bebas diregional perlu disikapi hati-hati dan dimanfaatkan. Langkah

    strategis yang perlu dilakukan adalah melakukan adaptasi agar bisa memanfaatkan

    peluang yang dihasilkan dari perubahan tersebut. Tingginya tingkat pertumbuhan

    ekonomi dan masih besarnya masyarakat yang belum tersentuh jasa layanan bank di

    Indonesia tentunya menarik industri perbankan dari negara lain (asing) untuk masuk ke

    Indonesia sebagai negara dengan potensi market yang besar.

    Peluang yang bisa diperoleh dari perubahan lingkungan tersebut, antara lain adalah a)

    Dukungan masyarakat dunia yang tinggi (APEC dan G20) terhadap program FI; b)

    Peningkatan hubungan dagang Indonesia dengan negara mitra semakin membutuhkan

    layanan jasa perbankan; c) Rendahnya akses masyarakat kepada lembaga perbankan

    sehingga mendorong terciptanya kebijakan strategis untuk meningkatkan akses

    keuangan dimaksud; d) Peningkatan kesempatan perbankan untuk melakukan ekspansi

    binisnya, e) lahirnya kebijakan yang integratif dan terpusat tentang FI.

    Adapun kendala yang bisa terjadi dari lingkungan strategis, antara lain: a) Implementasi

    Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 yang mendorong meningkatnya tingkat

    kompetisi di sistem keuangan dan perbankan nasional sebagai akibat masuknya

    lembaga keuangan dan perbankan asing; b) Fakta luasnya jangkauan wilayah Indonesia

    yang harus dilayani menuntut adanya inovatif and strategic action; c) Rendahnya tingkat

    efisiensi sektor perbankan nasional jika akan membuka jaringan kantor baru, dan d)

    Rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat (financial literacy).

    2.8. Implikasi Financial Inclusion melalui Branchless Banking

    2.8.1 Terhadap Percepatan Perekonomian Masyarakat

    Saat ini pendekatan pengentasan kemiskinan dengan penurunan tingkat

    pengangguran salah satunya dilakukan dengan pendekatan akses terhadap

    lembaga keuangan. Survei Bank Dunia di seluruh dunia menunjukkan bahwa

    sektor keuangan memiliki peran penting dan signifikan dalam pengentasan

    kemiskinan, mengurangi perbedaan pendapatan, dan meningkatkan

    pertumbuhan perekonomian.11 Melihat kesenjangan pendapatan yang masih

    lebar di Indonesia, maka akses terhadap lembaga keuangan sebagai alat untuk

    mempercepat pemerataan pendapatan menjadi relevan dan strategic untuk

    dilakukan.

    11 Keterangan lebih detail lihat www.worldbank.org Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 17

  • 2.8.2 Terhadap Ketahanan Nasional

    Data indeks Gini di Indonesia tahun 2012 sebesar 0,41 mengindikasikan

    kesenjangan pendapatan masih sangat tinggi, sehingga dibutuhkan suatu

    kebijakan nyata dalam mendukung percepatan pemerataan perekonomian,

    khususnya pemerataan pendapatan masyarakat.

    Kebijakan yang inovatif ini sangat diperlukan, mengingat apabila terdapat

    ketidakmerataan pendapatan masyarakat, maka akan mengganggu proses

    pembangunan nasional. Selanjutnya, disadari jika pembangunan nasional

    terhambat terhambat, hal ini berakibat pada lemahnya Ketahanan Nasional

    Indonesia. Sebagaimana dikemukakan diatas, salah satu wujud keberhasilan

    pembangunan nasional adalah dengan menurunnya tingkat kemiskinan. Salah

    satu strategi untuk mengatasi kemisikinan tersebut adalah melalui pemerataan

    pendapatan masyarakat dengan memperluas akses terhadap lembaga

    keuangan.

    2.9 Pokok-Pokok Persoalan dalam Financial Inclusion

    Berdasarkan uraian di atas, disadari bahwa pelaksanaan kegiatan FI di Indonesia tidak

    dengan mudah dapat dilaksanakan. Hal ini dikarenakan masih adanya beberapa

    persoalan strategis yang harus dicarikan solusinya. Beberapa pokok persoalan tersebut

    adalah: terbatasnya infrastruktur lembaga keuangan; rendahnya pemahaman

    masyarakat tentang keuangan (financial literacy); Belum tersedianya produk yang sesuai

    untuk kelompok masyarakat kecil; Belum optimalnya kebijakan Pemerintah tentang FI,

    dalam hal ini Pemerintah belum mengeluarkan kebijakan terpadu terkait dengan FI12.

    2.10 Kondisi Financial Inclusion yang Diharapkan

    Sesuai dengan pembukaan UUD1945 dan UU No. 17/2007 tentang RPJPN tersebut

    diatas, maka pembangunan perekonomian harus dapat menjamin kesempatan

    berusaha dan bekerja bagi seluruh masyarakat dan mendorong tercapainya

    penanggulangan kemiskinan.

    Berdasarkan dua landasan tersebut maka kebijakan perekonomian nasional juga harus

    mengutamakan kelompok masyarakat bawah (lemah) sehingga akses perbankan harus

    dibuka seluas-luasnya. Hal ini sangat sesuai dengan target dari kegiatan FI yang

    dilaksanakan oleh BI.

    12 Pada Bulan Juli 2012, telah diterbitkan Strategi National Keuangan Inklusif (SNKI) dari Tim Percepatan Penanggulangan Kemisininan dari kantor Wakil Presiden Republik Indonesia. Namun penerbitan SNKI tersebut masih bersifat soft launching, dan belum ditandatangani oleh Wapres RI maupun oleh Presiden Republik Indonesia. Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 18

  • 2.11 Indikasi Keberhasilan

    Beberapa indikator dalam percepatan FI yang diharapkan bisa terlaksana dengan baik di Indonesia adalah: a) Bertambahnya jumlah kantor bank. Dalam hal ini penambahan jumlah kantor bank difokuskan kepada daerah di luar Jawa dan Bali karena lebih dari 52% kantor bank berada di Jawa; b) Tersedianya produk bank yang sesuai, bank dituntut untuk dapat menyediakan produk bank yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tanpa harus mengurangi prinsip kehati-hatian dan menyediakan layanan produk keuangan tersebut dengan harga yang terjangkau untuk rakyat miskin; c) Bertambahnya jumlah pemilik rekening di bank. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa semikn banyak masyakarkat yang terlayani oleh perbankan; d) Tercapainya pemerataan pendapatan masyarakat yang tercermin dari menurunnya Gini Ratio yang saat ini sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi sebesar 0.41 di tahun 2012; e) jika keempat indikator sebelumnya dapat terpenuhi, maka diharapkan tingkat kemisikinan akan turun; sehingga total jumlah penduduk misikin akan berkurang tahap demi tahap.

    Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 19

  • BAB 3 KEBIJAKAN MULTILICENSE, PERLUASAN JARINGAN KANTOR DAN BRANCHLESS BANKING 3.1 Banyak Masyarakat yang Belum Terlayani

    Berdasarkan hasil survei Bank Dunia, kurang dari 50% penduduk Indonesia memiliki

    rekening bank pada institusi keuangan formal (bank). Selain itu kurang dari separuh

    penduduk Indonesia yang memiliki tabungan di bank dan hanya 17% dari penduduk

    yang mempunyai akses kredit melalui institusi keuangan formal (bank). Selebihnya

    masyarakat lebih banyak memanfaatkan layanan keuangan dari sektor informal ataupun

    tidak memiliki akses terhadap jasa keuangan dari segala jenis lembaga keuangan.13

    Tabel 3.1 Perbandingan Tingkat Penggunaan Layanan Keuangan Indonesia

    dengan Negara Lain tahun 2010

    Sumber: Bank Dunia dan IMF

    Hasil survei rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2010

    menunjukkan bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali. Jumlah

    kepemilikan rekening tabungan masih di bawah 50% total penduduk Indonesia. Saat ini

    yang hanya sekitar 19,6% masyarakat Indonesia berusia di atas 15 tahun yang

    mempunyai rekening tabungan. Sementara itu, jumlah rekening di Malaysia sudah

    66,2%, Thailand 72,7%, Singapura 98,2% dan Indonesia hanya lebih baik dari

    Kamboja. Jumlah kepemilikan rekening masyarakat Indonesia dinilai masih rendah

    bahkan se-ASEAN.

    Hal tersebut berdampak pada rasio outstanding kredit perbankan (27,49% terhadap

    GDP), Kredit UMKM (0,67% terhadap GDP), Jumlah depositor di perbankan per 1000

    13 The World Bank 2009. Improving Access to Financial Services in Indonesia Pungky Purnomo Wibowo NIP.11853 20

  • penduduk dewasa, maupun outstanding dana pihak ketiga (36,41% terhadap GDP)

    yang relatif lebih rendah sebagaimana Tabel 3.1. Kredit UMKM baru mencapai 0,67%,

    masih jauh dibandingkan Malaysia dan Thailand. Dana Pihak Ketiga (DPK) share

    terhadap GDP juga masih rendah yaitu sebesar 36,41%.

    Salah satu faktor yang menjadi penyebab adalah terbatasnya infrastruktur karena

    kondisi alam Indonesia yang berkepulauan menjadi kendala melayani masyarakat

    daerah terpencil. Terbatasnya layanan perbankan ke beberapa daerah tersebut sejatinya

    juga tidak terlepas dari perhitungan skala ekonomis operasional bank di suatu daerah

    tersebut. Hal ini terlihat pada indikator indikator jumlah layanan perbankan seperti

    kantor cabang dan ATM untuk setiap 1000 km2 serta rasio antara layanan perbankan

    dengan luasan wilayah sebagaimana Tabel 3.2.

    Tabel 3.2 Perbandingan Tingkat Akses Terhadap Perbankan Tahun 2010

    Sumber: Bank Dunia dan IMF

    Di daerah Papua Barat dan Papua, sebuah layanan perbankan melayani radius lebih dari

    1000 km2. Jarak yang jauh yang harus ditempuh masyarakat untuk menikmati layanan

    perbankan yang juga dipersulit dengan kondisi medan dan minimnya infrastruktur.

    Gambar 3.1 Persebaran Jaringan Kantor Bank di Indonesia

    Sumber: Statistik Keuangan Daerah Berbagai Provinsi, Bank Indonesia, diolah

    Pungky Purnomo Wibowo NIP.11853 21

  • Disparitas layanan perbankan juga terjadi di tingkat kecamatan. Tingkat layanan

    perbankan di tingkat kecamatan yang tertinggi ada di Jakarta, rata-rata setiap

    kecamatan dilayani oleh 91 kantor bank. Sedangkan di Papua tingkat layanan

    perbankannya paling rendah, dimana satu kecamatan hanya dilayani oleh kurang dari

    satu kantor bank atau tidak semua kecamatan tersedia layanan perbankan. Disparitas

    layanan bank menyebabkan terciptanya kondisi financial exclusion bahkan mengarah

    kepada financial explotation.

    Gambar 3.2 Rasio Jumlah Kantor Bank dengan Jumlah Kecamatan

    Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.

    Disparitas dalam pelayanan jasa keuangan tersebut selanjutnya menimbulkan kenaikan

    pendapatan dari kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi yang jauh lebih cepat dari

    pada kenaikan dari kelompok masyarakat terendah dan menengah (Gambar 3.3). Hal ini

    harus segera diatasi dengan kebijakan serta tindakan yang cepat dan strategik,

    khususnya dalam memperluas jaringan kantor perbankan nasional tanpa harus

    meningkatakan biaya overhead cost perbankan secara signifikan bagi perbankan namun

    dapat menjangkau masyarakat luas (outreach yang lebih luas).

    Gambar 3.3 Pergeseran Distribusi Pendapatan Masyarakat Indonesia

    Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.

    Pungky Purnomo Wibowo NIP.11853 22

  • 3.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat terhadap Jasa Keuangan

    3.2.1 Tingkat Pendapatan Masyarakat

    Masyarakat masih merasakan hambatan14 dalam memperoleh layanan jasa keuangan

    formal dari perbankan. Selain keterbatasan fasilitas lembaga keuangan, juga disebabkan

    rendahnya penghasilan di pedesaan sehingga pendapatan yang diterima penduduk desa

    lebih banyak digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 79%

    masyarakat yang tidak memiliki tabungan karena tidak memiliki uang. Namun demikian,

    masyarakat berpendapatan rendah adalah active money managers yang sangat

    membutuhkan akses keuangan terhadap lembaga keuangan khususnya perbankan.

    3.2.2 Keterbatasan Ketersediaan Jasa Perbankan

    Bank umum sebagai lembaga keuangan yang mendominasi sektor keuangan di

    Indonesia ternyata hanya melayani sebagian kecil keluarga di Indonesia. Sektor informal

    lebih banyak melayani masyarakat dibandingkan sektor perbankan. Dalam hal ini,

    sepertiga dari penduduk Indonesia bahkan tidak memiliki tabungan, dan masuk ke

    dalam kategori financially excluded atau penduduk yang terpinggirkan dari jasa

    tabungan. Berdasarkan survei PODES (tahun 2005) dan survei ATF (tahun 2007), jumlah

    layanan perbankan seperti keberadaan kantor bank komersil dan khususnya BPR

    (Gambar 3.4) yang seharusnya bisa menyentuh masyarakat kelas bawah masih sangat

    terbatas. Namun keberadaan bank komersil di daerah pedesaan menurut survei ATF

    hanya 25,9% walaupun angka tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan survei

    Bank Dunia yang hanya menunjukan porsi sebesar 16,1%.

    14 Beberapa faktor penghambat akses masyrakat terhadap layanan jasa keuangan tersebut antara lain jauhnya jarak tempuh atau lamanya waktu yang diperlukan dari rumah kecabang bank atau ATM terdekat; persyaratan yang ditetapkan oleh bank khususnya untuk persyaratan identitas sulit dan memerlukan proses yang kompleks; besarnya biaya administrasi bulanan atau saldo minimum yang tinggi; produk seperti tabungan sederhana, kredit investasi atau asuransi kesehatan yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan; tingkat pengetahuan keuangan (financial literacy) yang rendah; dan psikologi dan budaya yang belum terbiasa menggunakan layanan perbankan. Pungky Purnomo Wibowo NIP.11853 23

  • Gambar 3.4 Persentase Jumlah Bank Komersial dan BPR di Pedesaan

    Sumber : Improving Access to Financial Services in Indonesia, Bank Dunia. 2009

    Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 2009, menunjukkan bahwa 38% penduduk

    Indonesia termasuk financially excluded. Presentase penduduk yang masuk

    financially included namun menabung di sektor informal mencapai 18%,

    sehingga bila dijumlah dengan yang tidak memiliki perbankan adalah 56%

    penduduk tidak menggunakan jasa perbankan. Hal ini menutut adanya suatu

    kebijakan yang bersifat inovatif untuk meningkatkan akses layanan keuangan

    penduduk kepada perbankan melalui peningkatan kantor atau point-point

    layanan bank (Gambar 3.5).

    Gambar 3.5 Akses kepada Jasa Tabungan

    Sumber: meningkatkan akses terhadap jasa keuangan di Indonesia, Bank Dunia. 2009

    3.3 Latar Belakang Kebijakan Multilicense dan Perluasan Jaringan Kantor

    3.3.1 Inefisiensi Perbankan nasional

    Perbankan Indonesia masih menunjukkan adanya inefisiensi, dari sisi skala

    usaha, dimana struktur perbankan nasional memiliki rentang yang sangat lebar

    berdasarkan modal inti yang dimiliki. Struktur perbankan Indonesia saat ini

    didominiasi oleh 18 bank besar, dengan sebagian bank memiliki modal inti

    Pungky Purnomo Wibowo NIP.11853 24

  • dibawah Rp5 triliun; hal ini mengandung konsekuensi sebagian kecil bank

    Indonesia yang mampu beroperasi secara efisien.

    Salah satu indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin (selanjutnya

    disingkat NIM). Saat ini net interest margin perbankan Indonesia masih berada

    pada kisaran 6 persen atau tertinggi di kawasan ASEAN-5; padahal sektor

    perbankan yang efisien sangat penting adalah merupakan sangat strategik

    dalam rangka mendorong perekonomian dan stabilitas sistem keuangan.

    Perkembangan tersebut apabila dihubungkan dengan adanya rencana

    pembentukan Masyrakat Ekonomi Asean (selanjutnya disingkat MEA) pada

    tahun 2020, dimana akan dilakukan penghapusan pembatasan perdagangan

    jasa untuk semua sektor ekonomi yang tersisa, maka tingkat efisiensi sektor-

    sektor utama termasuk sektor perbankan menjadi sangat mutlak dalam menjaga

    momentum pertumbuhan ekonomi nasional, sebagai akibat meningkatnya

    persaingan yang mungkin timbul akibat terbentuknya MEA. Untuk itu perlu

    segregation pelayanan bank berdasarkan kekuatannya agar efisien dan

    berdampak positif bagi perbankan sendiri, ekonomi dan stabilitas dalam bentuk

    kebijakan perijinan berjenjang (multilicense).

    3.3.2 Fokus Khusus pada Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM)

    Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa sebagian besar pendudk Indonesia

    berusaha di sektor UMKM, maka perhatian kepada sektor UMKM menjadi suatu

    hal yang mutlak dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Sektor UMKM

    merupakan sektor yang terbukti tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi

    yang dialami Indonesia. Pada Krisis Asia 1998, sektor UMKM merupakan sektor

    yang dapat bertahan dibandingkan dengan sektor yang lebih besar.

    Gambar 3.6 Kontribusi UMKM dalam Perekonomian Indonesia

    Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.

    Pungky Purnomo Wibowo NIP.11853 25

  • Data Kementerian Koperasi dan UKM (2011) menunjukkan bahwa UMKM

    diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 57,1% terhadap Pendapatan

    Domestik Bruto (PDB) (dengan menggunakan harga konstan tahun dasar 2011).

    Dari kontribusi sebesar 57,1% tersebut, 32%merupakan kontribusi usaha mikro,

    dan 10,99% merupakan kontribusi usaha kecil. Pangsa UMKM sendiri mencapai

    99 persen dari total unit usaha di Indonesia. Sedangkan dalam hal tenaga kerja,

    UMKM menyerap 97.2% dari total tenaga kerja di Indonesia (Gambar 3.6).

    Menyadari peran penting UMKM dalam perekonomian, dan berdasarkan UU

    No.20 tahun 200815 mengenai Usaha Mikro Kecil dan Menengah, maka Bank

    Indonesia mengeluarkan PBI No.14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau

    Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka

    Pengembangan UMKM. Dalam