Upload
nurdian
View
1.085
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Buat kk' semua yang bisa saling melengkapi file3xnya...
Citation preview
BIOGRAFI KAHLIL GIBRAN
Perasaan dalam pandangan
Gibran adalah letupan hati
yang memberikan
ketentraman dan
ketenangan jiwa. Dalam
suasana yang demikian,
perasaan dapat
mengenyahkan
keterasingan dan
kehampaan batin lantas
menciptakan suasana batin
dengan kegembiraan yang meluap. Gibran melukiskan salah satu
bentuk perasaan itu dalam pengalaman ciuman pertama (dlm
Triloginya: Sang Nabi, Taman Sang Nabi, dan Suara Sang Guru,
Yogyakarta, Pustaka Sastra, 2004)
“Kecapan pertama dari cangkir sang bidadari berisi anggur kehidupan yang sangat
lezat. Garis pembeda antara keraguan yang melemahkan jiwa dan menyedihkan hati,
dengan kepastian yang mengisi batin manusia dengan kegembiraan yang meluap. Intro
bagi kehidupan dan awalan drama manusia sempurna. Ikatan yang menyatukan
keterasingan masa lalu dengan cahaya masa depan, antara kebisuan perasaan dan
senandung lagunya. Kata yang terucap oleh empat bibir, mengikrarkan bahwa hati
adalah singgasana, cinta sebagai raja, dan kesetiaan adalah mahkotanya. Belaian
lembut jemari angin semilir di atas kelopak mawar-teriring desah panjang pembebasan
dan sebuah rintihan yang manis”
Gibran melanjutkan:
“Getar magis yang membawa para pencinta dari dunia yang penuh beban dan ukuran
menuju dunia mimpi dan ilham. Penyatuan dari dua bunga yang harum semerbak,
campuran dari keharuman mereka menciptakan jiwa ketiga. Bila pandangan pertama
adalah benih yang ditaburkan sang dewi di ladang hati manusia, maka ciuman pertama
adalah bunga di ujung dahan pohon kehidupan.”
Melalui perasaan rahasia terdalam jiwa manusia tersingkap. Dalam Senandung Asmara
(dlm Martin L. Wolf (ed), Treasury of Kahlil Gibran, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002)
Gibran mempertegas hakikat perasaan tidak hanya sebagai kembang inspirasi tetapi
sebagai kebenaran.
“Akulah rumah sejati sang anugerah, dan mata air kenikmatan, sumber kedamaian dan
ketenteraman. Akulah ungkapan penyair, khayalan para seniman, dan ilham para
pemusik. Akulah warna dari zaman ke zaman, membangun hari ini dan merusak esok
harinya; aku seperti dewa, pencipta reruntuhan; aku lebih manis dari senyum bunga;
tapi lebih galak dari amuk samudera. Wahai para pencari, akulah kebenaran, kebenaran
sejati yang kalian cari; kebenaran yang memberi dan menerima, rawatlah aku, dan
kalian akan terlindungi.”
Kebenaran diungkapkan, menyembul lewat untaian puisi para penyair, lukisan para
seniman, juga senandung dendang para pemusik. Penyair, pemusik dan seniman, bagi
Gibran mengikuti Willian Blake merupakan penghubung antara manusia dan Allah.
William Blake melihat bahwa penyair, seniman dan pemusik sebagai malaikat dan orang
suci. Mereka adalah manusia sebagaimana manusia-manusia yang lain, namun dia
memiliki tugas keilahian. Artinya mereka dapat menjadi ‘lidah’ dan ‘tangan’ Allah dalam
dunia untuk mengatakan tentang kebenaran-Nya.
Dengan demikian, perasaan dalam pandangan Gibran tidak berhenti sebagai ungkapan
estetis, tetapi lebih dari itu sebagai wahana pembebasan. Tulisan Gibran amat kental
dengan tuturan puitik mistik, oleh karenanya ia disebut penyair dan sebagian orang
menyebutnya sebagai mistikus. Pandangan dan gagasannya diungkapkan menjadi sebuah
tarian, sehingga penderitaan menjadi seperti sedang tersenyum. Jika dicermati dengan
sungguh tulisan-tulisan Gibran sebenarnya bukan untuk tujuan estetika semata, tetapi
lebih dari itu menyerukan sebuah sebuah pembebasan.
Pembebasan yang ditegaskan Gibran melalui pandangan estetikanya tidak berbeda
dengan proyek pembebasan yang diproklamirkan Theodor Adorno, Herbert Marcuse atau
Walter Benyamin dengan teori kritisnya. Substansi pembebasan yang ada dalam teori
kritis sebenarnya adalah sebuah proyek besar bagaimana mengembalikan manusia pada
“keutuhannya” serta mengenyahkan berbagai alienasi. Artinya antara manusia dengan
alam, manusia dengan sesamanya, subjek dengan objek, atau aspek eksistensi manusia
personal lainya tidak saling teralienasi.
Namun demikian gagasan pembebasan demi mewujudkan pengutuhan yang ditegaskan
Gibran bukan semata-mata karena latar belakang politis, seperti apa yang digiatkan
Adorno, Marcuse dan Benyamin. Lebih dari itu adalah karena alasan spiritual, seperti
yang diperjuangkan pada abad pertengahan. Pada abad pertengahan perasaan, lebih-lebih
pengalaman keindahan, dikaitkan dengan kebesaran Allah. Gibran memandang perasaan
sebagai ibu yang melahirkan keindahan, dan keindahan merupakan sesuatu Yang Kudus.
Sebagai sesuatu Yang Kudus, perasaan menciptakan harmoni dalam setiap pengalaman
kehidupannya.