Upload
hoangkhuong
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Page | 1
BIOFUEL DILEMMA : ALTERNATIVE ENERGY VS FOOD CRISIS
Studi Kasus mengenai Dilema Penggunaan Biofuel sebagai Sumber Energi
Alternatif dan Krisis Pangan yang Ditimbulkannya
Disusun oleh :
Erika
0706291243
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Tugas Makalah Akhir
Mata Kuliah Politik Internasional
Program Studi S1 Reguler Ilmu Hubungan Internasional
Semester Genap 2007/2008
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2008
Page | 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semakin menipisnya sumber minyak bumi menyebabkan harga minyak bumi terus
meroket, yang lantas berbuntut pada kepanikan di kalangan warga dunia lantaran minyak
merupakan sumber energi paling krusial dalam segala aspek kehidupan. Ketersediaan sumber
minyak yang semakin sedikit itu tak pelak memunculkan berbagai alternatif untuk mengganti
posisi minyak sebagai sumber energi utama. Dari sekian banyak alternatif yang timbul mulai dari
bahan bakar hidrogen sampai ide penggunaan energi matahari, penggunaan biofuel disebut-sebut
sebagai alternatif energi yang paling menjanjikan. Betapa tidak, biofuel—yang merupakan
sumber energi dari bahan-bahan materi biologis non-fosil—menawarkan sejumlah keuntungan
yang menggiurkan, mulai dari kemudahannya untuk diproduksi, bersifat renewable, sampai pada
efek polusi dari biofuel yang kabarnya relatif tidak berbahaya dibanding bahan bakar minyak dan
jauh lebih ramah lingkungan. Strategi pengembangan biofuel sebenarnya sudah merupakan
strategi global, bahkan sudah dimulai sejak tahun 1970-an1. Akan tetapi usaha pengembangan
biofuel ini kemudian berhenti dikarenakan harga minyak kembali melemah, dan usaha itu kini
kembali dilanjutkan merespon harga minyak yang semakin melambung.
Sekilas terlihat bahwa biofuel merupakan jawaban yang sangat baik bagi masalah energi
dunia, akan tetapi jika mau dirunut lebih lanjut, ternyata semua kebaikan biofuel itu tidak lantas
menjadikannya sebagai sumber energi tanpa cela karena ternyata biofuel memberikan dampak
negatif bagi masyarakat dunia dalam hal ketersediaan pangan. Seiring dengan penggunaan
biofuel secara masal, tampak terjadi kenaikan harga beberapa bahan pangan pokok, yang
kemudian menyebabkan ketidakmampuan dari masyarakat untuk mengakomodasinya.
Ketidakmampuan ini lantas mengakibatkan banyak terjadinya protes di seperti yang terjadi di
Haiti, Afrika Selatan, Malaysia, Egypt, Indonesia, Filipina, Mexico, Pakistan, Kamerun, Senegal,
Mauritania, Yemen, London, sampai di Amerika Serikat. Keadaan dunia yang semula
menghadapi krisis energi kini telah berubah, dunia kini berada dalam “a new era of food pricing”,
1 Wayan R. Susila. Pengembangan Biofuel : Si Miskin Versus Si Kaya. http://www.ipard.com/art_perkebun/ Sep11-06_wrs.asp,
diakses pada 8 Desember 2008, pukul 03.55.
Page | 3
seperti yang disebutkan Joachim von Braun, ketua International Food Policy Research Institute2.
Dilema yang disebabkan biofuel tersebut lantas memancing reaksi berbagai negara dunia.
Ada negara yang terang-terangan mendukung penggunaan biofuel secara masal, namun tidak
sedikit pula negara yang menentang penggunaan biofuel ini. Makalah ini kemudian akan
membicarakan mengenai reaksi negara-negara dunia sehubungan dengan dilema biofuel ini.
1.2. Perumusan Masalah
Makalah ini akan menghadirkan dua sisi dari penggunaan biofuel, sisi positif dan sisi
negatif. Makalah ini juga akan membahas mengenai pertentangan kebijakan dan aksi-reaksi
terhadap penggunaan biofuel dari negara-negara sehubungan dua sisi penggunaan biofuel
tersebut.
1.3. Kerangka Teori
1.3.1. Politik Internasional
K. J. Holsti mendefinisikan world politics atau politik internasional sebagai studi
kebijakan politik luar negeri, di mana kebijakan ini didefinisikan sebagai keputusan-keputusan
yang merumuskan tujuan, menentukan preseden, atau melakukan tindakan-tindakan tertentu, dan
tindakan yg diambil untuk mengimplementasikan keputusan-keputusan itu3.
Untuk mempermudah pendefinisian politik internasional, Holsti pun menjelaskan politik
internasional ke dalam bagan berikut4 :
Objectives Actions
Response Response
NATION A Actions Objectives NATION B
2 Elizabeth Chiles Shelburne. The Great Disruption. http://www.theatlantic.com/doc/200809/food-scarcity, diakses pada 12
November 2008, pukul 20.08. 3 K. J. Holsti. International Politics : A Framework for Analysis, (New Jersey : Prentice Hall, 1997), hal. 6.
4 Ibid, hal 9.
Page | 4
1.3.2. Kaitan Produksi Biofuel dengan Kenaikan Harga Bahan Pangan Dunia
Studi yang dilakukan IMF mengatakan kenaikan permintaan akan bahan dasar biofuel
memberikan pengaruh sebesar 15-30% terhadap kenaikan bahan pangan dunia5. Meningkatnya
penggunaan biofuel secara global tentu saja membuat permintaan akan bahas dasar biofuel
meningkat. Di antara berbagai bahan dasar pembuat biofuel, bahan dasar yang paling menjadi
favorit para produsen biofuel adalah gandum, kedelai, jagung, dan tebu. Kenaikan permintaan
akan bahan dasar biofuel—yang juga merupakan sumber pangan krusial bagi masyarakat negara
berkembang—menyebabkan harga bahan pangan tersebut meroket tajam. Seperti yang terjadi di
Amerika Serikat, saat para petani Amerika Serikat mereduksi lahan pertaniannya sebesar 16%
untuk menanam kacang kedelai untuk kepentingan produksi biofuel6. Hal ini pada akhirnya
menimbulkan The Butterfly Effect, berupa meningkatnya permintaan kedelai di Amerika Serikat
yang lantas berbuntut pada peningkatan harga minyak kedelai di seluruh dunia. Peningkatan
tersebut menyebabkan para konsumen berpindah ke penggunaan minyak kelapa sawit, yang
kemudian juga menyebabkan peningkatan pada harga kelapa sawit di dunia, lalu berbuntut pada
peningkatan harga tahu, dan berbagai bahan pangan yang bersumber dari kedelai dan kelapa
sawit.
Selain menyebabkan peningkatan permintaan yang lantas berbuntut pada peningkatan
harga bahan pangan dunia, peningkatan permintaan bahan dasar biofuel tersebut juga membuat
para petani lebih memilih menggunakan lahannya untuk menanam tanaman-tanaman bahan dasar
biofuel, ketimbang menanam tanaman pangan. Petani-petani dunia merasa mereka akan
mendapat keuntungan dan insentif yang lebih besar bila mereka menanam bahan dasar biofuel
tersebut. Preferensi menggunakan lahan untuk menanam tanaman bahan dasar biofuel kemudian
akan menyebabkan lahan yang tadinya digunakan untuk menanam tanaman pangan menjadi
digunakan untuk kepentingan pengadaan bahan bakar7, persediaan bahan pangan dunia pun
semakin menipis karena para petani beralih menanam demi kepentingan produksi biofuel, dan
persediaan yang menipis itu tidak disikapi dengan permintaan bahan pangan yang berkurang.
Sebaliknya, permintaan akan bahan pangan relatif tetap dan mungkin bertambah, inilah sebabnya
harga bahan pangan pun kian meroket tajam.
5 CBS News. Biofuel Battle Highlights U.N. Food Summit, U.S., Brazil And Other Countries Lay Out Disagreements Over
Biofuel's Role In Higher Food Prices. http://www.cbsnews.com/stories/2008/06/04/ world/main4151450.shtml, diakses pada
12 November 2008, pukul 21.47. 6 Elizabeth Chiles Shelburne, op.cit. 7 Paula Kruger. Biofuel Contributing to Food Crisis. http://www.abc.net.au/pm/content/2008/s2225758.htm, diakses pada 8
Desember 2008, pukul 04.02.
Page | 5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Biofuel
Biofuel adalah sumber energi yang berasal dari materi organik8 berupa materi biologis
yang telah mati (atau sumber-sumber non-fosil) dan juga tumbuh-tumbuhan yang mengalami
proses fotosintesis. Adapun biofuel saat ini kebanyakan dikembangkan dari jagung, kedelai, tebu,
dan gandum. Sebenarnya terdapat banyak varian dari biofuel, yaitu biofuel generasi pertama,
biofuel generasi kedua, biofuel generasi ketiga, sampai pada biofuel generasi keempat. Perbedaan
dari semua varian itu terletak pada bahan dasar pembuatannya. Akan tetapi, dari semua varian
biofuel itu, varian yang paling sering digunakan adalah biofuel generasi kedua, yang terdiri dari
biodiesel, bioalkohol, dan biogas. Biodiesel merupakan varian biofuel yang paling banyak
digunakan di Eropa, dengan bersumber dari minyak kelapa, minyak kedelai, dan reep seed9.
Varian kedua yang juga terkenal dan banyak digunakan adalah bioalkohol, yang banyak
digunakan di seluruh dunia, terutama di Brazil. Berbeda dengan biodiesel, bioalkohol berbahan
dasar tebu, gandum, jagung, dan beet. Biogas sendiri penggunaannya masih belum populer di
masyarakat, oleh karena itu tidak akan begitu dibahas di sini.
2.2. Prospek Cerah Biofuel sebagai Sumber Energi Alternatif
Telah disebutkan sebelumnya, masyarakat dunia kini menghadapi krisis energi karena
semakin menipisnya persediaan bahan bakar minyak yang merupakan sumber energi yang tidak
dapat diperbaharui. Bahan bakar minyak yang tadinya merupakan sumber energi paling krusial
pun membutuhkan alternatif pengganti, dan biofuel dianggap tepat menggantikan posisi bahan
bakar minyak sebagai sumber energi alternatif. Prospek cerah biofuel ini dikarenakan biofuel
mampu memberikan berbagai dampak positif yang tidak diberikan bahan bakar minyak.
International Energy Agency melihat kehadiran biofuel mampu memberi solusi pada beberapa
masalah utama lingkungan saat ini10
. Pertama, dalam hal energy security. Manusia sangat
tergantung pada bahan bakar fosil (minyak bumi, batu bara), padahal persediaan kedua bahan
8 United Nations. Sustainable Bioenergy : A Framework for Decision Makers. http://esa.un.org/un-energy/pdf/
susdev.Biofuels.FAO.pdf, diakses pada 8 Desember 2008, pukul 03.56. 9 Wayan R. Susila, op.cit. 10 International Energy Agency, Biofuels for Transport: An International Perspective, (Paris: Chirat, 2004), hal. 25-26.
Page | 6
bakar tersebut semakin menipis karena keduanya tidak dapat diperbaharui. Kehadiran biofuel
dianggap mampu “mengamankan” kepentingan energi beberapa negara yang memproduksinya.
Dampak positif dari penggunaan biofuel secara masal adalah biofuel lebih ramah lingkungan,
karena biofuel menghasilkan emisi CO2 yang jauh lebih sedikit dari pada bahan bakar fosil
sehingga penggunaan biofuel, tidak seperti bahan bakar minyak, tidak merusak lingkungan.
Dampak positif selanjutnya adalah ketersediaan biofuel yang relatif lebih mudah diproduksi oleh
kebanyakan negara karena sumbernya dapat diperbaharui dan bahan dasarnya lebih banyak
tersedia.
2.3. Dampak Negatif Biofuel
Selain memberikan berbagai dampak positif seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
ternyata penggunaan biofuel juga menghasilkan berbagai dampak negatif. Dampak negatif yang
akan dibahas di makalah ini adalah efek yang timbul dari kenaikan harga bahan pangan tersebut
pada penduduk dunia.
Situasi naiknya harga bahan pangan dunia secara tajam ini berpotensi untuk
memperburuk situasi ketahanan pangan, apalagi bagi negara-negara yang net-importir dalam
pangan atau negara-negara yang jumlah penduduknya relatif banyak11
. Bagi negara-negara
pengekspor sumber pangan bahan dasar biofuel tersebut, tentu tidak mengalami kesulitan sebesar
negara-negara pengimpor, yang harus dengan cepat beradaptasi pada kenaikan secara mendadak
dari harga bahan pangan tersebut. Kenaikan harga bahan pangan tersebut lantas membuat
penduduk mengalami kesulitan akses pangan, yang lantas mengakibatkan terjadinya krisis
pangan yang akan dijelaskan berikutnya.
2.3.1. Krisis Pangan Dunia dan Masalah yang Ditimbulkannya
Sejak tahun 2000, World Bank memperkirakan harga pangan dunia kini mengalami
kenaikan sebesar 75%, dengan kenaikan harga gandum sebesar 200%, dan jagung berada dalam
posisi harga tertingginya dibanding 12 tahun terakhir12
. Kenaikan harga jagung dan gandum serta
berbagai bahan dasar biofuel tersebut juga mengakibatkan naiknya harga bahan pangan lain
seperti daging, telur, dan lain-lain. Sehubungan dengan hal ini, The Food and Agriculture
Organization (FAO) telah mengidentifikasi 36 negara masuk dalam kategori “krisis”, dan 21 di
11 Wayan R. Susila, loc.cit. 12 Kate Smith dan Rob Edwards. 2008 : The Year of Global Food Crisis. http://www.sundayherald.com/news
/heraldnews/display.var.2104849.0.2008_the_year_of_global_food_crisis.php, diakses pada 7 Desember 2008, pukul 06.52.
Page | 7
antaranya berada di Benua Afrika13
. Senada dengan FAO, World Bank menyatakan kenaikan
harga pangan dunia selama tiga tahun terakhir telah merusak kerja keras World Bank selama tujuh
tahun terakhir dengan memaksa 100 juta orang kembali pada keadaan miskin14
. Pernyataan kedua
lembaga dunia itu seakan menyadarkan kita akan betapa gawatnya keadaan dunia saat ini, dunia
kini berada dalam kondisi krisis pangan, dan hal itu tentu bukanlah kabar baik. Krisis pangan
yang dialami dunia saat ini sudah berada dalam kondisi yang semakin menyedihkan, diperkirakan
pada tahun 2007 kemarin, sekitar 50 juta orang dikategorikan berada dalam kondisi kelaparan
karena kenaikan harga pangan15
.
Krisis pangan yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan pangan dunia kemudian
mendatangkan berbagai dampak negatif lainnya, seperti yang terjadi di India, di mana sekitar
50% penduduknya mengalami kelaparan. India jugalah negara yang mengalami food-deficit
(kekurangan jumlah pangan), di mana sekitar 77% penduduknya hidup dengan pendapatan di
bawah $1 per hari. Sekitar 35% populasinya berada dalam keadaan food-insecure, dan parahnya,
46% dari anak-anak dunia usia tiga tahun ke atas yang mengalami malnutrisi berada di India16
.
Hal yang sama juga terjadi di Afrika, di mana satu dari tiga orang Afrika dikabarkan berada
dalam kondisi kurang gizi17
. Kondisi kurang gizi, terutama bagi anak-anak usia di bawah dua
tahun, sangatlah berbahaya karena dapat menurunkan imunitas tubuh yang lantas berdampak
pada tubuh orang yang kurang gizi tersebut menjadi rentan terhadap virus dan kuman penyakit.
Terjadinya malnutrisi pada anak-anak juga dapat mempengaruhi kecerdasan intelektual seorang
anak.
13 The Washington Post. Food Crisis, Soaring Prices are Causing Hunger Around the World.
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2008/03/13/AR2008031303347.html, diakses pada 7 Desember 2008,
pukul 06.28. 14 Elizabeth Chiles Shelburne, loc.cit. 15 Shobha Sukhla. World Food Scarcity and the Challenges of Climate Change and Bio Energy.
http://www.thaindian.com/newsportal/feature/world-food-scarcity-andthe-challenges-of-climate-change-and-bio-energy_1001
06470.html, diakses pada 8 Desember 2008, pukul 04.12. 16 Ibid. 17 US Aid. Initiative to End Hunger in Africa (IEHA). http://www.usaid.gov/locations/sub-saharan_africa /initiatives/ieha.html,
diakses pada 8 Desember 2008, pukul 02.49.
Page | 9
Gambar di halaman sebelumnya menunjukkan respon yang berbeda dari negara-negara dalam
menyikapi upaya penggunaan biofuel secara global. Negara dengan warna hijau menandakan
negara tersebut terlibat dalam usaha pengadaan bahan dasar biofuel, dan karenanya mendapat
subsidi dari negara pro-biofuel. Warna merah menunjukkan negara yang rawan dan mengalami
ketidakstabilan karena kenaikan harga bahan pangan dan harga minyak, negara-negara inilah
yang mengalami dampak negatif dari pengadaan biofuel. Sementara negara yang bergaris-garis
menyikapi kenaikan harga dan krisis pangan yang terjadi dengan melarang terjadinya ekspor
bahan pangan sehingga negara tersebut dapat mencukupi kebutuhan pangannya sendiri, yang
akan dijelaskan kemudian di sub-bab 2.5.
2.4. Kebijakan Negara-Negara yang Mendukung Penggunaan Biofuel Secara Masal
Penggunaan biofuel secara masal sudah mendapat banyak dukungan, terutama dari
negara-negara besar dan negara maju. Dalam makalah ini, penulis kemudian menyajikan
pandangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat, organisasi Uni
Eropa, dan pemerintah Inggris sehubungan penggunaan biofuel secara global.
Dalam memasalkan penggunaan biofuel sebagai sumber energi utama, pemerintah
Amerika Serikat mewajibkan sedikitnya 5% kendaraan bermotor menggunakan bahan bakar
biofuel, yang kemudian akan ditingkatkan menjadi 22% pada 202218
. Hal itu dilakukan agar
penduduk Amerika Serikat secara bertahap dapat mengurangi ketergantungannya pada pemakaian
bahan bakar minyak dan lantas beralih ke bahan bakar biofuel. Selain mewajibkan angka minimal
pemakaian biofuel pada kendaran bermotor penduduknya, tahun lalu pemerintah Amerika Serikat
juga mewajibkan 30% dari produksi jagung Amerika Serikat digunakan untuk produksi ethanol.
Ini menunjukkan keseriusan Amerika Serikat untuk memasarkan penggunaan biofuel secara
global. Amerika Serikat sebenarnya telah lama mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk
menggalakkan penggunaan biofuel, antara lain Clean Air Act pada tahun 1990, yang menyerukan
agar bahan bakar yang ramah lingkungan dijual di sembilan daerah dengan tingkat pencemaran
udara terburuk, dan Energy Policy Act pada tahun 2005 berupa perubahan Biomass Research &
Development Act (2000), Jaminan Pinjaman dan Kredit Pajak untuk penggunaan ataupun riset
18 Elizabeth Chiles Shelburne, loc.cit.
Page | 10
biofuel19
. Selain, itu pemerintah Amerika Serikat juga memberikan insentif berupa subsidi bagi
para petani yang menanam bahan dasar biofuel dan menjualnya untuk kepentingan produksi
biofuel. Pemerintah Amerika Serikat pada waktu itu memberi subsidi bagi petani yang menanam
bahan dasar ethanol seperti tebu, jagung, dan lain-lain20
. Adanya subsidi itu tentu saja membuat
para petani jauh lebih memilih menanam tanaman bahan dasar biofuel dibanding tanaman pangan,
yang lantas menyebabkan ketersediaan tanaman pangan dunia semakin menipis sementara
permintaan relatif tetap dan mungkin bertambah, harga bahan pangan pun meroket tajam.
Tidak hanya pemerintah Amerika Serikat yang sepertinya serius ingin menjadikan
biofuel sebagai sumber energi alternatif global. Keseriusan juga ditunjukkan oleh pemerintah
Inggris, yang mewajibkan setiap bahan bakar menggunakan paling sedikit 2.5% biofuel. Target
ini dikabarkan akan naik menjadi 5% pada 2010 untuk menunjukkan usaha pemerintah Inggris
pada usaha pengadaan kendaraan berbahan bakar ramah lingkungan21
. Usaha yang sama juga
ditunjukkan Uni Eropa, yang pada tahun 2006 setuju untuk mewujudkan pemakaian biofuel pada
10% kendaraan bermotor di dunia pada 202022
.
2.5. Respon Negara-Negara yang Kontra terhadap Biofuel
Selain mendapat respon positif dan didukung oleh berbagai kebijakan negara besar,
ternyata penggunaan biofuel secara masal juga mendapat tantangan berupa kritik, umumnya dari
negara berkembang, terutama negara yang menderita banyak kerugian dengan adanya produksi
biofuel, misalnya India dan Afrika Selatan, yang masyarakatnya banyak yang kini berada dalam
kondisi kelaparan karena ketidakmampuan membeli bahan pangan yang harganya kian meroket.
Kritik juga datang dari Presiden Kuba, Fidel Castro yang mengatakan “The sinister idea of
converting food into combustibles was definitively established as the economic line of foreign
policy of the United States”.23
Ucapan Castro ini mengisyaratkan bahwa penggunaan biofuel
secara masal sudah menjadi fokus kebijakan ekonomi Amerika Serikat, yang bertujuan untuk
mengamankan kepentingan energy security-nya dan mengurangi ketergantungan AS pada bahan
bakar minyak.
19 Jetta Wong. US Biofuel Policy Instrument. http://files.eesi.org/jw_berlin_121307.pdf, diakses pada 7 Desember 2008, pukul
06.54. 20 Vivienne Walt. The World’s Growing Food-Price Crisis. http://www.time.com/time/world/article/ 0,8599,1717572,00.html,
diakses pada 7 Desember 2008, pukul 07.00. 21 Paula Kruger, op.cit. 22 CBS News, op.cit. 23 BBC News. Castro Hits Out at US Biofuel Use, diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/ 6505881.stm, pada 12
November 2008, pukul 21.34.
Page | 11
Kritik mengenai produksi biofuel yang menggunakan bahan pangan, yang seharusnya
digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan dunia bukan untuk produksi bahan bakar
kendaraan, datang dari Afrika Selatan. Sebagai salah satu negara yang penduduknya mengalami
kelaparan dan berbagai akibat negatif lainnya sehubungan penggunaan biofuel secara masal
seperti yang disebutkan di sub-bab sebelumnya, Deputi Presiden Afrika Selatan, Phumzile
Mlambo-Ngcuka pada World Food Summit yang diselenggarakan pada 3-5 Juni 2008
mengatakan “production of bio-energy should not be allowed to negatively affect food security
nor the land tenure of smallholders and agro-biodiversity24
”. Melalui pernyataannya, Phumzile
Mlambo-Ngcuka menentang penggunaan sumber energi yang menggunakan pangan sebagai
bahan dasar pembuatannya, karena hal itu akan semakin memperparah kondisi ketahanan pangan
(food security) di negaranya.
Kritik mengenai produksi biofuel juga disampaikan oleh Sharad Pawar, Menteri
Pertanian, Permasalahan Konsumer, Pangan dan Distribusi Publik dari Pemerintahan India yang
pada Sidang World Food Summit lalu mengatakan, “the impact of diversion of land which grows
cereal for human consumption into production for biofuels is likely to be self-defeating25
”.
Melalui pernyataannya, Sharad Pawar mengatakan ketidaksetujuannya pada penggunaan biofuel
secara masal yang didukung oleh berbagai negara besar karena hal itu mendatangkan dampak
negatif pada India, yaitu semakin memperparah kondisi ketahanan pangan India serta membawa
ribuan penduduk India ke dalam kondisi kelaparan dan malnutrisi.
Selain mendapat kritik tajam, penggunaan biofuel secara masal—yang mengakibatkan
kenaikan permintaan pada beberapa bahan pangan yang digunakan untuk bahan dasar biofuel,
yang kemudian berbuntut pada kenaikan harga bahan pangan—membuat negara-negara yang
biasa menjadi pengekspor bahan pangan dunia mengalami ketakutan, ketakutan kalau-kalau
negara mereka kemudian tidak sanggup membeli bahan pangan yang mereka ekspor sendiri
karena harganya yang melonjak begitu sampai pada pasar dunia. Ketakutan inilah yang kemudian
mendorong berbagai negara melakukan proteksionisme dalam bentuk larangan ekspor,
proteksionisme bahkan kini tidak hanya dilakukan oleh negara-negara pengekspor bahan pangan
24 Phumzile Mlambo-Ngcuka. Statement by the South African Delegation on High Level Conference.
http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/foodclimate/statements/zaf_mlambo_ngcuka.pdf, diakses pada 8 Desember 2008,
pukul 11.12. 25 Sharad Pawar. Statement by Honorable Sharad Pawar, Minister for Agriculture, Consumer Affairs, Food & Public
Distribution, Government of India. http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/foodclimate/ statements/ind_pawar.pdf, diakses
pada 8 Desember 2008, pukul 11.31.
Page | 12
bahan dasar biofuel, namun juga oleh negara-negara pengekspor bahan pangan lain. Contoh
negara yang menerapkan larangan ekspor bagi produksi bahan pangannya adalah Filiphina, India,
Vietnam, Egypt, Thailand, Pakistan, India, Kazakhstan, dan berbagai negara lain. Filiphina,
misalnya telah menerapkan prinsip self-sufficiency pada produksi beras, dan untuk mendukung
prinsip tersebut, pemerintah Thailand mengeluarkan Anti-Rice Hoarding Task Force yang
menerapkan hukuman bagi para penyimpan (hoarder) beras dengan tuduhan melakukan sabotase
ekonomi dan pencurian26
.
Larangan ekspor juga dilakukan oleh India, Vietnam dan Egypt pada produksi beras
domestiknya. Larangan ekspor inilah yang kemudian menyebabkan persediaan beras di pasaran
dunia semakin sedikit dan harganya pun melonjak tinggi dari $333 untuk satu ton pada 2006
menjadi $963 per ton pada Mei 200827
. Respon yang unik juga datang dari negara-negara di
Teluk Persia, yang kini telah mulai membeli tanah di Sudan dan sekitarnya dan bermaksud
menjadikan lahan tersebut sebagai “pertanian yang merdeka” (“sovereign farm”) untuk menanam
berbagai bahan pangan agar negar-negara tersebut dapat mencukupi kebutuhan pangannya tanpa
harus terkena imbas dari kenaikan harga bahan pangan dunia sehubungan dengan penggunaan
biofuel secara masal28
. Proteksionisme yang dilakukan negara-negara tersebut kemudian
berbuntut pada semakin menipisnya, atau bahkan tidak tersedianya, stok berbagai bahan pangan
di pasaran dunia padahal permintaan akan bahan pangan tersebut tetap dan bahkan meningkat.
Alhasil, proteksionisme yang dilakukan negara-negara sukses membuat harga berbagai bahan
pangan melonjak tinggi.
2.6. Analisa
Penggunaan biofuel secara masal yang ternyata menyebabkan terjadinya krisis pangan di
sejumlah negara dunia mengundang satu pertanyaan besar : jika memang keberadaan dan
penggunaan biofuel mendatangkan kerugian yang sangat fatal bagi masyarakat dunia, lantas
mengapa negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa tetap
“memaksa” agar biofuel digunakan secara global demi memenuhi kepentingan energi? Bukankah
akan lebih baik bila negara-negara yang pro-biofuel melakukan riset untuk kembali menemukan
sumber energi alternatif lain yang lebih aman dan tidak mendatangkan dampak buruk bagi
26 Elizabeth Chiles Shelburne, loc.cit. 27 Ibid. 28 Ibid.
Page | 13
masyarakat?
Seharusnya tidak sulit bagi negara-negara besar yang setuju akan penggunaan biofuel
untuk mengetahui akibat parah yang ditimbulkan dari digunakannya bahan pangan sebagai bahan
dasar pembuatan bahan bakar. Negara besar yang pro-biofuel seharusnya tahu dan paham bahwa
“pemaksaan” penggunaan biofuel secara global berdampak pada meningkatnya masalah
kelaparan di negara dunia yang lantas berbuntut pada permasalahan lain seperti penyakit dan
malnutrisi. Namun, penulis melihat, yang terjadi adalah negara-negara besar pro-biofuel seakan
menutup mata dan pura-pura tidak tahu akan dampak negatif yang ditimbulkan biofuel ini.
Negara yang pro-biofuel terus-menerus memberikan bantahan bahwa kenaikan harga pangan
dunia yang lantas berbuntut pada munculnya masalah krisis pangan bukan disebabkan oleh
penggunaan biofuel, padahal berbagai lembaga dunia telah membuktikan melalui berbagai riset
bahwa tanpa adanya fenomena biofuel ini, harga bahan pangan tidak akan mengalami kenaikan
setinggi sekarang.
Negara pro-biofuel seharusnya sudah mengetahui akibat negatif ini, mereka sudah tahu
kenyataan bahwa di balik peran biofuel sebagai sumber energi alternatif, biofuel ternyata
merupakan penyebab dari melonjaknya harga pangan dunia namun alih-alih mereduksi dampak
negatif penggunaan biofuel di masyarakat, negara pro-biofuel malah terus berdalih dan
memaksakan penggunaan biofuel secara global. Penulis memandang, apa yang dilakukan negara
pro-biofuel—yang rata-rata adalah negara maju—untuk terus mendukung penggunaan biofuel
walaupun telah mengetahui dampak negatif yang ditimbulkannya, merupakan usaha
negara-negara tersebut untuk mengamankan energy security mereka, mengingat hingga saat ini
produksi utama biofuel masih dipegang oleh negara-negara besar. Penulis memandang ada motif
lain di balik kenaikan harga pangan yang terjadi karena penggunaan biofuel ini : usaha negara
maju untuk membuat negara berkembang dan miskin semakin tergantung padanya, baik dalam
hal energi maupun dalam hal pangan. Penulis melihat, adanya tendensi negara besar untuk
kembali “menjajah” negara-negara berkembang dan miskin dengan membuat negara berkembang
dan miskin terus tergantung. Di sinilah, penulis menyimpulkan, alasan politis kembali berperan.
Kenaikan harga pangan dunia yang menyebabkan krisis pangan, yang disebabkan oleh
peningkatan permintaan akan bahan dasar biofuel, mempunyai alasan politis di baliknya, yaitu
tendensi dari negara besar untuk terus mempertahankan ketergantungan negara berkembang dan
miskin pada negara besar.
Page | 14
BAB III
KESIMPULAN
Menipisnya cadangan minyak di permukaan bumi memaksa penduduk dunia untuk
mencari sumber energi alternatif baru guna memenuhi kebutuhan energinya. Di tengah usaha
mencari sumber energi alternatif, ditemukanlah biofuel, bahan bakar yang berasal dari materi
biologis non-fosil yang dapat diperbaharui. Kini, biofuel dengan bahan dasar jagung, tebu,
kedelai, gandum, dan berbagai bahan pangan lainnya itupun semakin meningkat penggunaannya.
Selain berperan sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak bumi, biofuel juga memiliki
berbagai kelebihan yang tidak dimiliki sumber energi sebelumnya. Biofuel merupakan jawaban
bagi masalah energy security, karena biofuel mampu mengamankan berbagai permasalahan
energi negara-negara dunia. Biofuel juga lebih ramah lingkungan, jika dibandingkan dengan
bahan bakar minyak. Tidak hanya itu, pembuatan biofuel yang didasari bahan-bahan pangan yang
dapat diperbaharui membuat biofuel kini semakin dilirik karena proses produksinya yang relatif
lebih mudah. Penggunaan biofuel secara masal pun mulai digencarkan, banyak negara
menyatakan kesetujuannya untuk mengembangkan proyek biofuel ini, salah satunya adalah
Amerika Serikat dan Uni Eropa melalui berbagai kebijakan yang pro-biofuel.
Namun di balik sisi positif dan peran biofuel sebagai sumber energi alternatif, biofuel
ternyata menyimpan satu dampak negatif yang cukup vital. Proses pembuatan biofuel yang
dibuat menggunakan berbagai bahan pangan ternyata membuat permintaan akan bahan pangan
tersebut meningkat tajam, yang lantas berbuntut pada menipisnya persediaan bahan pangan bahan
dasar biofuel tersebut pada pasaran dunia. Harga bahan pangan bahan dasar biofuel, yang
menjadi bahan pangan utama bagi masyarakat negara berkembang dan miskin pun meningkat
tajam. Kenaikan bahan pangan ini kemudian diikuti oleh kenaikan bahan pangan lain, yang
memaksa warga dunia berada dalam kondisi krisis pangan karena ketidakmampuan untuk
membeli bahan pangan yang harganya semakin meroket itu. Dunia pun berada dalam kondidi
krisis pangan. Berbagai respon negatif seiring meningkatnya harga bahan pangan pun muncul,
berbagai protes pun terjadi di negara-negara dunia. Kenaikan harga bahan pangan dunia juga
lantas menimbulkan reaksi proteksionisme berupa larangan ekspor yang diterapkan oleh
negara-negara pengekspor bahan pangan dunia, lantaran ketakutan akan tidak mampunya negara
Page | 15
tersebut mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya sendiri. Berbagai larangan ekspor yang terjadi
sebagai reaksi kenaikan harga pangan itu dilakukan oleh sejumlah besar negara seperti India,
Thailand, Filiphina, Vietnam, Egypt, dan lain-lain. Larangan ekspor dari negara-negara itu malah
memperparah situasi, persediaan bahan pangan di pasaran dunia semakin sedikit sementara
permintaan terbilang tetap bahkan meningkat, harga bahan pangan pun semakin tinggi, dan
dikabarkan krisis pangan ini akan bertahan selama beberapa tahun ke depan.
Sampai saat ini pun belum ada suatu kesepakatan yang pasti antar negara-negara dunia
terhadap pro-kontra isu ini. Penulis sendiri menganggap penggunaan biofuel memang sangat
penting dan tepat dalam menangani masalah lingkungan dan keterbatasan energi saat ini, hanya
saja perlu diupayakan suatu teknik yang lebih proporsional agar permasalahan krisis pangan tidak
terjadi. Permintaan bahan-bahan pangan untuk biofuel harus disertai dengan efisiensi energi,
sehingga permintaan dapat lebih dikontrol. Masalah global seperti isu biofuel ini memang
membutuhkan suatu pengertian dan kerja sama global di tengah-tengah berbagai kepentingan
yang mungkin saling bertentangan. Adanya kerja sama global diharapkan dapat membawa dunia
pada babak baru berupa terselesaikannya masalah krisis energi dan krisis pangan. Semoga.
Page | 16
DAFTAR PUSTAKA
Holsti, K.J. International Politics : A Framework for Analysis. New Jersey : Prentice Hall, 1997.
International Energy Agency. 2004. Biofuels for Transport: An International Perspective. Paris:
Chirat.
Rujukan dari internet :
Bailey, Robert. EU and US Biofuel Policy. http://www.edacork.org/Documents/
RobertBaileyOxfam.pdf, diakses pada 7 Desember 2008. Pukul 07.01.
BBC News. Castro Hits Out at US Biofuel Use, http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/
6505881.stm, diakses pada 12 November 2008, pukul 21.34.
CBS News. Biofuel Battle Highlights U.N. Food Summit, U.S., Brazil And Other Countries Lay
Out Disagreements Over Biofuel's Role In Higher Food Prices.
http://www.cbsnews.com/stories/2008/06/04/ world/main4151450.shtml, diakses pada 12
November 2008, pukul 21.47.
Kruger, Paula. Biofuel Contributing to Food Crisis. http://www.abc.net.au/pm/content/
2008/s2225758.htm, diakses pada 8 Desember 2008, pukul 04.02.
Mlambo-Ngcuka, Phumzile. Statement by the South African Delegation on High Level
Conference. http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/foodclimate/statements/zaf_
mlambo_ngcuka.pdf, diakses pada 8 Desember 2008, pukul 11.12.
Pawar, Sharad. Statement by Honorable Sharad Pawar, Minister for Agriculture, Consumer
Affairs, Food & Public Distribution, Government of India. http://www.fao.org/fileadmin/
user_upload/foodclimate/statements/ind_pawar.pdf, diakses pada 8 Desember 2008, pukul
11.31.
Schnepf, Randy. European Union Biofuels Policy and Agriculture: An Overview.
http://www.italy.usembassy.gov/pdf/other/RS22404.pdf, diakses pada 7 Desember 2008,
pukul 06.25.
Shelburne, Elizabeth Chiles. The Great Disruption. http://www.theatlantic.com/doc/
200809/food-scarcity, diakses pada 12 November 2008, pukul 20.08.
Smith, Kate dan Rob Edwards. 2008 : The Year of Global Food Crisis.
Page | 17
http://www.sundayherald.com/news/heraldnews/display.var.2104849.0.2008_the_year_of_glo
bal_food_crisis.php, diakses pada 7 Desember 2008, pukul 06.52.
Sparkes, Matthew. The Dangers of Biofuel. http://www.treehugger.com/files/2007/03/
dangers_of_biofuels.php, diakses pada 12 November 2008, pukul 20.54
Sukhla, Shobha. World Food Scarcity and the Challenges of Climate Change and Bio Energy.
http://www.thaindian.com/newsportal/feature/world-food-scarcity-andthe-challenges-of-climat
e-change-and-bio-energy_100106470.html, diakses pada 8 Desember 2008, pukul 04.12.
Susila, Wayan R. Pengembangan Biofuel : Si Miskin Versus Si Kaya. http://www.ipard.com/
art_perkebun/Sep11-06_wrs.asp, diakses pada 8 Desember 2008, pukul 03.55.
The Washington Post. Food Crisis, Soaring Prices are Causing Hunger Around the World.
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2008/03/13/AR2008031303347.html,
diakses pada 7 Desember 2008, pukul 06.28.
United Nations. Sustainable Bioenergy : A Framework for Decision Makers.
http://esa.un.org/un-energy/pdf/susdev.Biofuels.FAO.pdf, diakses pada 8 Desember 2008,
pukul 03.56.
US Aid. Initiative to End Hunger in Africa (IEHA). http://www.usaid.gov/locations/
sub-saharan_africa/initiatives/ieha.html, diakses pada 8 Desember 2008, pukul 02.49.
Walt, Vivienne. The World’s Growing Food-Price Crisis. http://www.time.com/time/world
/article/0,8599,1717572,00.html, diakses pada 7 Desember 2008, pukul 07.00.
Wong, Jetta. US Biofuel Policy Instrument. http://files.eesi.org/jw_berlin_121307.pdf, diakses
pada 7 Desember 2008, pukul 06.54.