Upload
voanh
View
224
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
4
TINJAUAN PUSTAKA
Kalsium
Kalsium merupakan mineral yang paling melimpah dalam tubuh.
Diperkirakan 1,5 - 2% berat badan orang dewasa atau setara dengan 1,0 -1,4 Kg
terdiri dari kalsium (Winarno 2008). Menurut Almatsier (2006) 99% kalsium
berada dalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi dalam bentuk hidroksiapatit
(3Ca3(PO4)2.Ca(OH)2). Selebihnya kalsium tersebar luas di dalam tubuh, baik
dalam cairan ekstraseluler maupun cairan intraseluler.
Kalsium tulang berada dalam keadaan seimbang dengan kalsium plasma
(darah) pada konsentrasi kurang lebih 2,25 – 2,60 mmol/l atau 9 - 10,4 mg/100
ml. Kadar kalsium dalam sirkulasi darah cenderung konstan dan jika bervariasi
tidak sampai 10% (Almatsier 2006). Kalsium plasma berada dalam 3 bentuk yaitu
ion bebas (47%), bentuk kompleks yang ikatannya lemah dengan fosfat, sitrat,
dan sulfat (13%), serta bentuk terikat dengan protein terutama dengan albumin
(40%). Konsentrasi kalsium dalam cairan tubuh ini diatur oleh hormon-hormon
paratiroid (PTH) dan vitamin D (1,25-(OH)2D3) (Brody 1999).
A. Fungsi Kalsium
Kalsium mempunyai berbagai fungsi dalam tubuh. Rolfes & Whitney
(2008) menyebutkan, kalsium tulang memiliki dua peranan utama dalam tubuh
yaitu (1) sebagai bagian integral dalam strujtur tulang, memberi bentuk dan
kekuatan pada tulang dan gigi sehingga dapat bergerak; (2) sebagai tempat
penyimpanan kalsium, sehingga dapat membantu mengatur keseimbangan
kalsium plasma. Menurut Anwar & Khomsan (2009), kurang lebih 5% dari total
kalsium tulang siap untuk dipertukarkan setiap harinya
Kalsium plasma yang tersebar dalam cairan ekstraseluler maupun
intraseluler, meskipun jumlahnya hanya 1% dari total kalsium tubuh namun
memiliki peranan yang sangat vital. Winarno (2008) menyebutkan, kalsium
plasma berperan dalam kontraksi otot, transmisi syaraf, penggumpalan darah,
mengatur permeabilitas membran sel serta aktivasi enzim. Pada waktu otot
berkontraksi kalsium berperan dalam interaksi protein di dalam otot, yaitu aktin
dan miosin. Bila kalsium darah kurang dari normal otot akan kejang karena
kepekaan serabut syaraf dan pusat syaraf terhadap rangsangan meningkat
(Almatsier 2006).
5
Kalsium juga berperan dalam proses pembekuan darah. Protrombin
mula-mula harus berikatan dengan kalsium sebelum diaktifkan menjadi trombin.
Trombin kemudian membantu perubahan fibrinogen menjadi fibrin yang
merupakan gumpalan darah. Kalsium juga merupakan bagian dari enzim yaitu
lipase, suksinat dehidrogenase, dan beberapa enzim proteilitik tertentu. Selain
itu, kalsium juga berperan dalam pengiriman impuls syaraf ke jaringan-jaringan
tubuh, penyimpanan dan pelepasan neurotransmiter, penyimpanan dan
pelepasan hormon, penyerapan dan pengikatan asam amino, pengaturan sekresi
gastrin serta menjaga keseimbangan osmotik (Muchtadi, Palupi, & Astawan
1993).
B. Metabolisme kalsium
Pengaturan keseimbangan kalsium melibatkan sistem hormon dan
vitamin D. Menurut Brody (1999), kalsium diabsorbsi melalui duodenum dan
jejenum proksimal oleh protein pengikat kalsium yang disintesis sebagai respon
terhadap kerja 1,25-dihidroksikolekalsiferol (1,25-dihidroksivitamin D3). Kalsium
membutuhkan pH 6 agar dapat berada pada keadaan terlarut. Absorbsi
umumnya dilakukan secara aktif menggunakan calsium-binding-protein, adapun
absorbsi pasif hanya terjadi pada permukaan saluran cerna (Almatsier 2006).
Rolfes & Whitney (2008) menyebutkan, rata-rata orang dewasa menyerap
25% kalsium yang dicerna. Persentase ini dapat meningkat jika kebutuhan
kalsium tubuh tinggi. Wanita hamil mampu menyerap 50%, sementara anak dan
remaja yang berada pada masa pertumbuhan dapat menyerap hingga 60%
kalsium yang dicerna. Lebih lanjut menurut Almatsier (2006), kemampuan
absorbsi kalsium memang lebih tinggi pada masa pertubuhan dan menurun pada
proses menua. Kemampuan absorbsi kalsium laki-laki juga lebih tinggi daripada
perempuan pada semua kelompok usia.
Manusia mempunyai kemampuan adaptasi terhadap konsumsi kalsium
yang rendah sehingga dapat memelihara kalsium plasma pada batas normal.
Keseimbangan konsentrasi kalsium plasma dikontrol oleh kombinasi daya kerja
dari hormon paratiroid (PTH), kalsitosin, dan metabolit-metabolit aktif vitamin D.
Penurunan kadar kalsium plasma sekalipun dalam jumlah kecil akan
menstimulasi kelenjar paratiroid untuk mensekresi hormon paratiroid (PTH).
Hormon paratiroid akan merangsang perubahan vitamin D menjadi metabolit
yang paling aktif yaitu 1,25- dihidroksivitamin D3. Vitamin D bersama PTH bekerja
secara sinergis menstimulasi ginjal untuk meningkatkan resorpsi kalsium serta
6
menstimulasi osteoclast untuk melepaskan kalsium tulang ke dalam plasma.
Sebaliknya, jika kadar kalsium dalam darah meningkat kelenjar tiroid akan
terstimulasi untuk mengeluarkan hormon kalsitosin. Hormon kalsitosin akan
menghambat aktivasi vitamin D, mencegah reabsorpsi kalsium pada ginjal,
membatasi absorpsi kalsium pada saluran cerna, serta menghambat pelepasan
kalsium tulang oleh osteoclast (Rolfes & Whitney 2008).
Almatsier (2006) menambahkan, kalsium tulang tersebar di pool
(cadangan) yang relatif tidak berubah/stabil dan pool yang cepat dapat berubah.
Pool kalsium yang dapat cepat berubahlah terlibat dalam mekanisme
homeostatis kalsium plasma. Cadangan kalsium tulang terutama disimpan pada
bagian ujung tulang panjang dalam bentuk kristal yang dinamakan trabekula dan
dapat dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat pada masa
pertumbuhan, kehamilan, dan menyusui.
Menurut Martin et al. (1987), kalsium yang diabsorpsi akan diekskresikan
melalui beberapa jalan. Sebagian besar kalsium disekresikan ke dalam lumen
usus dan hampir semuanya hilang dalam feses. Ginjal mengekskresikan kalsium
bila kadar kalsium plasma di atas 7 mg/100mL dan hanya sejumlah kecil kalsium
diekskresikan melalui keringat. Weavey & Heaney (2008) menambahkan, jumlah
kalsium yang diekskresikan melaui urin setiap hari berkisar antara 100-200 mg,
adapun melalui feses 100-120 mg dan 16-24 mg melalui keringat.
C. Kebutuhan kalsium
Menurut Winarno (2008), keperluan kalsium dalam tubuh biasanya
dihitung berdasarkan keseimbangan kalsium dimana cara perhitungannya
hampir sama dengan cara menghitung keseimbangan nitrogen. Meskipun
demikian menurut Muhilal, Jalal & Hardinsyah (1998), kecukupan kalsium untuk
Indonesia lebih rendah daripada yang dianjurkan di berbagai negara industri,
dengan pertimbangan bahwa perbandingan Ca dan P hidangan serta konsumsi
protein umumnya rendah.
Berdasarkan WKNPG (2004), ditetapkan angka kecukupan kalsium
remaja (10 - 18 tahun) dan dewasa (19 – 65+ tahun), baik pria maupun wanita,
berturut-turut adalah 1000 mg/hari dan 800 mg/hari. Ibu hamil maupun menyusui
membutuhan tambahan asupan kalsium sebanyak 150 mg/hari. Konsumsi
kalsium sebesar 200-400 mg/hari menyebabkan keseimbangan kalsium tubuh
menjadi negatif, sedangkan konsumsi 500-800 mg/hari dapat menyebakan
keseimbangan normal dan cenderung positif.
7
Sumber kalsium dalam pangan yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi
adalah susu dan hasil olahannya seperti keju dan yoghurt. Pangan sumber
kalsium lain adalah sayuran berdaun hijau seperti kangkung, bayam, dan daun
lobak cina, brokoli, kubis, bunga kol, kecambah, dan makanan yang difortifikasi
kalsium seperti sereal dan jus buah (Bredbenner et al. 2007).
D. Kekurangan dan Kelebihan kalsium
Ketidakcukupan asupan kalsium, rendahnya absorpsi kalsium dan atau
kehilangan kalsium yang berlebihan berkontribusi terhadap defisiensi kalsium.
Defisiensi kalsium akan menyebabkan ketidaknormalan pada tulang seperti
riketsia dan osteoporosis. Selain itu, defisiensi kalsium juga berasosiasi dengan
kejadian kejang (tetani), hipertensi, kanker kolon, dan obesitas atau berat badan
berlebih (Gropper et al. 2005).
Osteoporosis terjadi akibat aktifitas osteoklas yang berlanjut dan tidak
diimbangi dengan aktifitas osteoblast sehingga resorpsi kalsium tulang lebih
besar daripada formasi kalsium tulang. Osteoporosis lebih banyak terjadi pada
wanita daripada pria karena wanita mengalami penurunan estrogen yang
membantu penyerapan kalsium pada plasma darah khususnya pada masa
manopause. Selain itu orang kulit putih (kaukasia dan asia) lebih beresiko
mengalami osteoporosis daripada orang kulit berwarna (Afrika) karena massa
tulangnya lebih kecil. Osteoporosis juga lebih banyak terjadi pada perokok dan
peminum alkohol (Almatsier 2006; Brody 1999).
Kondisi di mana kadar kalsium plasma berada di bawah kisaran normal
(9-10 mg/100 mL) disebut hypokalsemia. Hypokalsemia dapat menyebabkan
tetani atau kejang karena kepekaan serabut saraf dan pusat saraf terhadap
rangsangan meningkat. Sebaliknya, konsumsi kalsium lebih dari 2500 mg sehari
berpotensi menyebabkan hyperkalsemia yang selanjutnya dapat menyebabkan
hyperkalsuria (kondisi dimana kadar kalsium dalam urin melebihi 300 mg/hari).
Hyperkalsuria dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal. Disamping
itu dapat juga menyebabkan konstipasi (kesulitan buang air besar). Kelebihan
kalsium jarang terjadi akibat konsumsi makanan alami, umumnya terjadi karena
mengkansumsi suplemen kalsium secara terus menerus (Almatsier 2006; Brody
1999).
Bioavailabilitas Kalsium
Tidak semua kalsium dalam bahan pangan dapat dimanfaatkan oleh
tubuh. Hal ini bergantung pada ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas).
8
Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk
digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi (Miller
1996).
Terdapat beberapa cara untuk mengukur bioavailabilitas dari kalsium,
yakni secara in vitro ataupun in vivo. Metode in vivo mengukur mengukur
absorpsi zat gizi pada manusia atau hewan. Adapun metode in vitro merupakan
simulasi proses pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal dalam
kondisi tetap (Roig et al. 1998). Prinsip pengukuran bioavailabilitas metode in
vitro adalah teknis dialisis menggunakan kantung dialisis. Dialisis digunakan
untuk memisahkan molekul-molekul besar dan molekul-molekul kecil
berdasarkan sifat membran semi permeabel yang meloloskan molekul kecil
namun menahan molekul besar (Nur et al. 1989). Molekul kecil berpindah secara
difusi, dimana terdapat suatu bagian larutan yang memiiki konsentrasi lebih tinggi
sehingga terjadi perpindahan molekul kecil dari daerah berkonsentrasi tinggi ke
daerah berkonsentrasi rendah (Gaman & Sherrington 1992).
Metode in vitro dapat digunakan untuk mendeteksi faktor yang
mempengaruhi penyerapan kalsium dalam usus, namun tidak dapat mengukur
bioavailabilitas secara tepat dibandingkan metode in vivo (Gueguen & Pointillart
2000). Hal ini dikarenakan pada metode in vitro enzim yang digunakan hanya
dua jenis, yakni pepsin dan pankreatin bile yang berfungsi untuk memecah
protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam
kantung dialisis. Pada pencernaan manusia sebenarnya tidak hanya terdapat
dua enzim dimana aktivitas enzim yang berbeda akan menghasilkan tingkat
bioavailabilitas yang berbeda pula. Adanya interaksi yang kompleks antar
mineral-mineral, serat pangan, dan komponen lain dalam makanan juga
menyebabkan keseimbangan mineral pada manusia sulit dipelajari secara in
vitro (Wilson et al. 1979). Meskipun demikian metode ini dinilai lebih
menguntungkan karena dapat dilakukan dengan cepat, praktis, dan lebih murah
(Damayanthi & Rimbawan 2008). Metode in vitro juga memungkinkan
pengontroloan kondisi secara tepat selama pengujian dan mengurangi
keragaman yang terjadi dalam penentuan secara in vivo (Sudharma 1995).
Secara umum bioavailabilitas kalsium dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
faktor interinsik dan eksterinsik. Faktor interinsik berkaitan dengan keadaan
fisiologis individu seperti umur, jenis kelamin, kondisi kesehatan, genetik, status
gizi, efisiensi absorbansi dan interaksi zat gizi dalam tubuh. Adapun faktor
9
eksterinsik berkaitan dengan keadaan makanan seperti perlakuan pengolahan
dan pemasakan, daya cerna makanan, keanekaragaman pangan, kelarutan zat
gizi, interaksi sinergisme dan antagonisme dengan zat gizi lain dalam makanan
yang berpengaruh pada penyerapan (O‘dell 1997; Potter & Hotckiss 1995; WHO
1996 dalam Rajagukguk 2004).
Allen (1982) menyebutkan, komponen makanan yang mempengaruhi
bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat,
dan oksalat), laktosa, dan lemak. Lebih lanjut Gropper et al. (2005)
menambahkan, keberadaan kation divalen (bervalensi dua) juga dapat
mengurangi absorpsi kalsium. Berikut adalah penjelasan masing-masing
komponen makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium.
A. Fosfor
Kalsium dan fosfor saling memiliki hubungan yang erat dalam proses
absorpsi kalsium. Secara teoritis, pengaruh fosfor terhadap absorpsi kalsium
terjadi melalui dua jalan yaitu 1). secara langsung, mempengaruhi ketersediaan
kalsium melalui interaksinya dalam diet dan 2). secara tidak langsung, dimediasi
oleh respon hormonal tubuh terhadap kekurangan atau kelebihan fosfor (Allen
1982). Linder (2006) menyebutkan, konsumsi kalsium hendaknya dalam kisaran
yang sama dengan konsumsi fosfor walaupun rasio kalsium dengan fosfor 1:1,5
mungkin dapat diterima. Tetapi rasio yang lebih dari 1:2, terutama jika konsumsi
kalsium rendah, akan menyebabkan pengaruh negatif seperti demineralisasi
tulang.
B. Protein
Protein harian juga berkaitan erat dengan absorpsi kalsium. Hasil
penelitian Heaney (2002) menjelaskan bahwa peningkatan asupan protein akan
meningkatkan ekskresi kalsium di urin dan menyebabkan keseimbangan kalsium
negatif. Menurut Broody (1999) efek ini disebut calciuric effect of protein. Heaney
(2002) menjelaskan bahwa hal ini disebabkan karena asupan protein yang tinggi
akan menigkatkan laju filtrasi glomerolus sehingga resorpsi kalsium di dalam
tubulus ginjal akan berkurang, dengan demikian kalsium lebih banyak dibuang ke
urin.
Menurut Hugges dan Harris (2002), pada asupan kalsium harian yang
rendah (<800 mg/hr), asupan protein 20% lebih tinggi berasosiasi dengan
penurunan jumlah kalsium yang diabsorpsi sebanyak 23%. Heaney (2002)
menyimpulkan bahwa protein dan kalsium bersifat sinergis terhadap tulang jika
10
keduanya tersedia dalam jumlah yang cukup dalam diet, dan bersifat antagonis
jika asupan kalsium rendah.
C. Komponen tumbuhan
Beberapa penelitian secara in vitro menjelaskan bahwa serat makanan
mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan
bioavailabilitasnya (Ink 1988). Komponen utama serat makanan diklasifikasikan
sebagai materi penyusun dinding sel tumbuhan (selulosa, polisakarida
nonselulosa, dan lignin) atau polisakarida nonstruktural seperti pektin, gum,
musilage, dan beberapa hemiselulosa (Allen 1982). Selulosa dapat
meningkatkan massa feses dalam usus dan mengurangi transit time sehingga
mengurangi waktu yang tersedia untuk absorpsi kalsium. hemiselulosa
menstimulasi proliferasi oleh mikroba, yang pada akhirnya akan mengikat
kalsium sehingga kalsium tidak dapat diabsorpsi (Gropper et al. 2005)
Adanya asam fitat akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut
sehingga tidak dapat diabsorpsi (Almatsier 2006). Fitat atau juga sering disebut
asam fitat atau mioinositol heksafosfat ditemukan pada beberapa pangan yang
berasal dari tumbuhan seperti kacang-kacangan, biji-bijian dan sereal. Fitat
mengikat kalsium dan menurunkan ketersediaannya khususnya jika rasio fitat :
kalsium lebih dari 0.2 (Gropper et al 2005).
Oksalat terdapat dalam jumlah yang besar pada sayuran daun berwarna
hijau seperti bayam. Rasio kalsium dengan oksalat biasanya kurang dari 0,5,
yang mengindikasikan bahwa semua kalsium yang terkandung dalam sayuran
daun hijau seluruhnya berada dalam bentuk terikat dengan oksalat (Allen 1982).
Absorpsi kalsium di usus dihambat oleh oksalat dengan mengkelat kalsium dan
meningkatkan ekskresinya lewat feses (Gropper et al 2005). Absorpsi kalsium
dalam bentuk kalsium oksalat hanya sekitar 10%. Kalsium yang berasal dari
bayam hanya diabsorpsi sekitar 5% (Broody 1999). Sama halnya dengan oksalat
dan fitat, keberadaan tanin dalam teh juga akan menghambat penyerapan
kalsium (Bredbenner et al. 2007).
D. Laktosa
Laktosa juga akan meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim
laktase. Laktosa meningkatkan transpor kalsium melalui difusi di ileum
dibandingkan dengan transpor aktif (Allen 1982). Reiser (1988) menjelaskan
bahwa laktosa diduga dapat meningkatkan potensial transmembran mukosa dan
11
mendorong influks kalsium lewat brush border dan dengan demikian akan
meningkatkan absorpsi kalsium.
Interaksi laktosa dengan kalsium membentuk kompleks kalsium laktat
yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh mikroba usus
akan menghasilkan asam yang dapat menurunkan pH sehingga absorpsi lebih
optimal. Penelitian yang dilakukan oleh Kabayashi et al. tahun 1975
memperlihatkan bahwa hidrolisis laktosa oleh enzim laktase menjadi galaktosa
dan glukosa lebih efektif dalam meningkatkan absorpsi kalsium (Allen 1982).
E. Lemak
Asam lemak makanan yang tidak terabsorpsi memiliki hubungan yang
signifikan dengan terjadinya steatorea yang dapat menurunkan absorpsi kalsium
melalui pembentukan kompleks asam lemak dan kalsium (insoluble calcium
shoaps) dalam lumen di usus halus yang tidak dapat diabsorpsi dan akan
diekskresikan lewat feses (Gropper et al. 2005). Pembentukan kompleks asam
lemak dan kalsium akan meningkatkan panjang rantai asam lemak dan
menurunkan tingkat ketidakjenuhannya (Allen 1982).
F. Kation divalen
Gropper et al. (2005) menjelaskan bahwa keberadaan kation divalen
(bervalensi 2) seperti magnesium dan seng dapat mengurangi absorpsi kalsium
ketika magnesium atau seng berada dalam keadaan berlebih dalam saluran
pencernaan karena kedua mineral tersebut akan saling berkompetisi dalam hal
penyerapannya di usus. Pengaruh kation divalen dalam bioavailabilitas kalsium
dapat dikurangi jika konsumsinya tidak bersamaan sehingga keberadaannya
dalam usus lebih rendah dari kalsium.
Zat Besi
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh.
Tubuh manusia mengandung 2-4 gram besi atau setara dengan 38 mg/kg berat
badan wanita atau 50 mg/kg berat badan pria. Lebih dari 65% zat besi dlm tubuh
ditemukan dlm hemoglobin, lbh dr 10% dlm bentuk myglobin, dan 1-5% sbg
bagian enzim. Sisanya beredar dlm darah atau disimpan. Makanan yang
dikonsumsi manusia normal umunya mengandung kira-kira 20-25 gram besi/hari
(Winarno 2008).
Menurut Muchtadi (1989), dalam tubuh zat besi dapat ditemukan dalam
hemoglobin atau pigmen respirasi (60-70% total besi), mioglobin atau protein otot
12
bergaris yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen, enzim-enzim heme
intraseluler(katalase dan sitokrom oksidase), metaloprotein (aktinoksidase,
suksinodehidrogenase, DPNH sitoreduktase), kromatin, ferritin atau bentuk
cadangan zat besi dalam jaringan retikuloendotelial (15% total besi), dan
transferin atau bentuk transpor besi yang terikat pada beta-globulin (0,1% total
besi).
Besi dalam badan sebagian terletak dalam sel-sel darah merah sebagai
heme, suatu pigmen yang mengandung inti sebuah atom besi. Dalam sebuah
molekul hemoglobin terdapat empat heme. Sel darah merah merah memiliki
masa hidup 120 hari. Dalam tubuh terdapat 20.000 milyar sel darah merah.
Setiap menit diproduksi dan didaur ulang 115 juta sel darah merah. Daur ulang
sel darah melah terjadi di limpa dan besi yang terlepas digunakan kembali dalam
metabolisme. Selain itu besi juga terdapat di sel-sel otot, khususnya miglobin.
Berbeda dengan hemoglobin, mioglobin terdiri dari satu pigmen heme untuk
setiap protein (Winarno 2008).
A. Metabolisme Zat Besi
Zat besi yang ada dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi yang
diperoleh dari daur ulang sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari
penyimpanan dalam tubuh, dan zat besi yang diserap dari saluran pencernaan.
Dari ketiga sumber tersebut besi hasil hemolisis merupakan sumber utama. Pada
manusia normal kira-kira 20-25 mg besi per hari berasal dari hemolisis, adapun
yang berasal dari makanan hanya berkisar 1 mg. Dalam keadaan normal
diperkirakan orang dewasa menyerap dan mengeluarkan zat besi sekitar 0,5 –
2,0 mg per hari (Winarno 2008).
Metabolisme zat besi terbagi menjadi lima bagian utama, yakni
penyerapan, transportasi, pemanfaatan, penyimpanan, dan pembuangan. Besi
dalam bahan makanan umumnya terdapat dalam bentuk heme (organik) dan
nonheme (anorganik). Besi heme diabsorbsi di sel mukosa sebagai kompleks
poriferin utuh. Selanjutnya besi yang ada dalam protein heme harus dibebaskan
dahulu melalui pencernaan protein sehingga gugus hemenya terlepas. Proses
pemecahan ikatan protein dengan gugus besi heme terjadi di lumen duodenum.
Selanjutnya gugus besi heme yang telah dibebaskan dari protoforforin dengan
bantun enzim hemooksigenase yang memecah cincin porfirin akan menghasilkan
ion ferri (Fe3+), biliverdin, dan gas CO2 (Fairbank 1999).
13
Adapun besi non heme agar dapat diserap dalam tubuh melalui usus
halus harus berada dalam bentuk terlarut (Fe2+). Oleh karena otu besi non heme
akan diionisasi lebih dahulu oleh asam lambung, direduksi dalam bentuk ferro
dan selanjutnya dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula, dan
asam amino yang mengandung sulfur (Fairbanks 1999). Besi heme dan non
heme akan melawati jalur yang sama setelah meninggalkan sel mukosa usus
dalam bentuk yang sama dengan alat angkut yang sama.
Absorbsi fe terutama terjadi di bagian atas usus halus (duodenum)
dengan bantuan alat angkut protein khusus, yaitu transferin dan ferritin.
Transferin terdapat dalam dua bentuk, transferin mukosa yang mengangkut besi
dari saluran cerna ke dalam sel mukosa serta transferin reseptor yang ada di
dalam sel mukosa dan mengangkut besi melalui darah ke semua jaringan tubuh.
Transferin dapat mengikat dua ion ferri sekaligus dalam sekali waktu (Almatsier
2006). Taraf absorbsi oleh sel mukosa ditentukan oleh kebutuhan tubuh.
B. Fungsi Zat Besi dalam Tubuh
Zat besi terdapat dalam semua sel tubuh dan memegang peranan
penting dalam beragam reaksi biokimia. Besi yang terdapat dalam enzim-enzim
bertanggung jawab mengangkut elektron dari sitokrom, mengaktifkan oksigen
(oksidase dan oksigenase) serta mengangkut oksgen melaui ikatan hemoglobin
dan mioglobin (Hallberg 1988). Dalam setiap sel besi bekerjasama dengan
beberapa protein rantai transpor elektron dalam melaksanakan tahapan akhir
jalur metabolik yang menghasilkan energi. Proten memindahkan hidrogen dan
elektron dari zat-zat gizi penghasil energi kepada oksigen, membentuk air, dan
berperan dalam proses pembentukan ATP yang akan digunakan oleh sel (Rolfes
& Whitney 2008). Zat besi juga mempengaruhi kemampuan belajar, sistem
kekebalan tubuh.
C. Kekurangan dan Kelebihan Zat Besi
Jika tubuh mengalami kekurangan zat besi maka akan timbul anemia
yang ditandai dengan penurunan kadar hemoglobin. Selain itu secara fisik tubuh
penderita akan pucat, lemah, letih, pusing, kurang nafsu makan, menurunnya
kebugaran dan kekebalan tubuh, menurunnya kemampuan kerja dan konsentrasi
belajar, gangguan penyembuhan luka serta apatis dan mudah tersinggung pada
anak-anak (Almatsier 2006).
Kelebihan zat besi terjadi bila kadar besi dalam tubuh mencapai 200 –
1500 mg baik dalam bentuk simpanan protein ferritin ataupun homosiderin dalam
14
hati (30%), sum-sum tulang belakang (30%), dan dalam limpa dan otot. Dari
simpanan besi tersebut hingga 50 mg dimobilisasi setiap harinya untuk keperluan
metabolisme tubuh (Almatsier 2006).
Sebanyak 0,5 – 1 mg zat besi dikeluarkan setiap harinya melalui urine,
keringat, dan feses. Besi dalam bentuk hemoglobin juga dapat keluar dri dalam
tubuh jika terjadi pendarahan, menstruasi, kerusakan saluran urin (Suhardjo &
Kusharo 1992).
Bioavailabilitas Zat Besi
Bioavailabilitas didefinisikan sebagai proporsi zat gizi yang digunakan
oleh tubuh secara aktual dari pangan yang dikonsumsi (Hambracus 1999).
Adapun bioavailabilitas zat besi didefinisikan sebagai jumlah zat besi dari bahan
pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah (Latunde-Dada, & Neale
1986). Bioavailabilitas zat besi sangat terkait dengan proses absorbsi zat besi
dalam usus halus (duodenum) sehingga istilah bioavailabilitas zat besi dapat
disamakan dengan absorbsinya dalam usus. Secara umum faktor yang
mempengaruhii bioavailabilitas zat besi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
faktor endogen (kondisi tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan).
Faktor eksogen yang mempengaruhi bioavailabilitas zat besi meliputi
berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi,
yaitu kandungan zat besi dalam bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan
pangan, faktor pendorong dan penghambat absorbsi zat besi yang berasal dari
makanan.
A. Kandungan zat besi.
Hallberg (1988) mengemukakan bahwa kandungan zat besi dalam bahan
pangan khususnya zat besi nonheme menentukan jumlah zat besi yang
diabsorbsi. Weaver & Heaney (2008) juga menyatakan bahwa fraksi zat besi
yang diserap umumnya bervariasi dan rata-rata akan berkebalikan dengan
asupannya. Efisiensi absorbsi zat besi memang berbanding terbalik dengan total
zat besi dalam makanan. Semakin besar total zat besi makanan, maka
persentase zat besi yang diabsorbsi akan semakin rendah (Yeung & Laquarta
2003)
B. Bentuk zat besi.
Bentuk zat besi yang terkandung dalam makanan juga menentukan
ketersediaannya untuk diserap karena kelarutan besi dalam medium intralumenal
saluran pencernaan merupakan prasyarat bagi absorbsi. Garam ferro sederhana
15
lebih mudah diserap daripada garam kompleks dan garam ferri. Besi ferro
memiliki ketersediaan yang lebih tinggi karena memiliki kelarutan lebih besar
pada pH saluran cerna usus yang basa. Sedangkan besi ferri akan mengendap
sebagai ferri oksida pada pH di atas 3.5 sehingga berkurang kelarutannya dan
lebih sulit untuk diserap oleh usus. Oleh karena itu besi ferro dapat diserap 3 kali
lebih besar daripada besi ferri (Rolfes & Whitney 2008)
Zat besi heme dan noheme juga memiliki perbedaan dalam
bioavailabilitasnya. Zat besi heme memiliki bioavailabilitas yang tinggi yaitu
sekitar 15-30% karena diserap secara utuh dalam cincin porfirin dan tidak
terekspos ligan –ligan penghambat (pengikat) yang ada dalam makanan. Zat
besi nonheme dalam bahan pangan masuk ke dalam pool yang memudahkan
dipertukarkan (exchangeable pool). Pool ini menyebabkan adanya efek dari
ligan-ligan pendorong dan penghambat baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu hanya 2-20% besi non-heme yang dapat diserap
tergantung pada ligan dan status zat besi seseorang (Rolfes & Whitney 2008).
Zat besi heme lebih banyak ditemukan pada pangan hewani dan proporsi
zat besi nonheme dalam bahan pangan nabati lebih besar baik pada pangan
hewani maupun pangan nabati. Oleh karena itu Muhilal et al. (1998)
mengklasifikan makanan sehari-hari berdasarkan kemampuan tubuh dalam
mengabsorbsi zat besi dari makanan tersebut, yaitu absorbsi besi rendah atau
sama dengan 5% , (2) absorbsi besi sedang atau sama dengan 10% dan (3)
absorbsi besi tinggi atau sama dengan 15%. Sementara Whitney et al. (1998)
mengkategorikan ketersediaan besi nonheme dalam makanan berdasarkan
penyerapannya, yaitu (1) ketersediaan tinggi; jika besi nonheme diserap sebesar
8%, (2) ketersediaan sedang; jika besi nonheme diserap sebesar 5%, dan (3)
ketersediaan rendah; jika besi nonheme hanya diserap sebesar 3%. kecukupan
konsumsi zat besi
Menurut Hallberg (1988) absorbsi besi nonheme jelas dipengaruhi oleh
berbagai faktor makanan. Beberapa faktor dapat meningkatkan absorbsi yaitu
daging, ikan, dan asam askorbat. Bahan pangan lain yang dapat menghambat
adalah yang mengandung fitat dan tanin. Di sisi lain absorbsi besi heme
dipercepat oleh daging tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang
mempengaruhi absorbsi besi nonheme
Rolfes & Whitney (2008) menambahkan bahwa ketersediaan besi yang
dapat diserap oleh sel-sel mukosa juga ditentukan oleh kekuatan ikatan besi-
16
kelat, kelarutan dari kompleks, faktor lingkungan seperti pH dan adanya
competiting chelator lainnya. Selama pencernaan besi nonheme dapat berubah
valensinya dan secara cepat membentuk kompleks besi-kelat dengan ligan-ligan
seperti asam askorbat, fitat, tanin, dan oksalat. Kestabilan besi kelat meningkat
seiring denan peningkatan konsentrasi ligan pengkelat.
Adanya faktor pengendap dan pengkilasi (pengkelat) dalam bahan
makanan tidak hanya mempengaruhi daya guna besi heme dalam bahan
makanan tetpi juga daya guna besi nonheme dalam bahan makanan lain yang
berada pada diet yang sama. Jadi ketersediaan total besi dalam diet ditentukan
oleh campuran beberapa faktor yang berkompetisi dalam mengikat besi (Linder
2006).
Cookies PGT (Pati Garut dengan Penambahan Tepung Torbangun)
A. Cookies
BSN (1992) dalam SNI 01-2973-1992 mendefinisikan cookies sebagai
salah satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi,
relatif renyah bila dipatahkan dan penampang potongannya bertekstur padat.
Berikut adalah syarat mutu produk cookies yang berlaku secara umum di
Indonesia.
Tabel 1 Syarat mutu cookies berdasarkan SNI 01-2973-1992 Kriteria Uji Klasifikasi
Kalori (Kalori/100 gram) Minimum 400 Air (%) Maksimum 5 Protein (%) Minimum 9 Lemak (%) Minimum 9.5 Karbohidrat (%) Minimum 70 Abu (%) Maksimum 1.5 Serat kasar (%) Maksimum 0.5 Logam berbahaya Negatif Bau dan rasa Normal dan tidak tengik Warna Normal Sumber : BSN (1992)
Cookies terbuat dari adonan solid dan liquid (cair) dan mempunyai sifat
yang tahan lama. Bahan solid pada adonan cookies dapat berupa tepung, gula
dan susu, sementara bahan liquidnya berupa lemak dan telur.
a. Lemak. Kandungan lemak dalam adonan cookies merupakan salah
satu faktor yang berkontribusi pada variasi pembagian tipe cookies. Lemak di
dalam adonan berfungsi sebagai shortening sehingga tekstur cookies lebih
lembut. Lemak juga memberi flavor. Lemak yang umunya digunakan pada
pembuatan cookies adalah mentega (butter) dan margarin. Lemak yang
digunakan 65 – 75 % dari jumlah tepung. Agar rasa dan aroma cookies optimal,
17
mentega dan margarin dapat dicampur dengan proporsi berturut-turut 80% dan
20%. Penggunaan lemak berlebihan akan mengakibatkan kue melebar dan
mudah hancur, sedangkan jumlah lemak terlalu sedikit akan menghasilkan kue
bertekstur keras dengan rasa seret dimulut (Faridah 2008).
b. Gula. Jumlah gula yang ditambahkan berpengaruh terhadap tesktur
dan penampilan cookies. Fungsi gula dalam proses pembuatan cookies selain
sebagai pemberi rasa manis, juga berfungsi memperbaiki tesktur dan memberi
warna pada permukaan cookies. Peningkatan kadar gula dalam adonan
mengakibatkan cookies semakin keras. Waktu pembakaran juga harus sesingkat
mungkin agar cookies tidak hangus karena sisa gula yang masih terdapat dalam
adonan dapat mempercepat proses pembentukan warna. Jenis gula yang umum
digunakan yaitu gula bubuk (icing sugar) untuk adonan lunak dan gula kastor
(gula pasir yang halus butirannya) (Faridah 2008).
c. Telur. Telur berpengaruh terhadap tekstur produk patiseri sebagai
hasil dari fungsi emulsifikasi, pelembut tekstur, dan daya pengikat. Telur
merupakan pengikat bahan-bahan lain, sehingga struktur cookies lebih stabil.
Telur digunakan untuk menambah rasa dan warna serta membuat produk lebih
mengembang karena dapat menangkap udara selama pengocokan. Penggunaan
kuning telur memberikan tekstur cookies yang lembut karena kuning telur bersifat
sebagai pengempuk (Faridah 2008).
d. Susu Skim. Susu skim berbentuk padatan (serbuk) yang memiliki
aroma khas kuat dan sering digunakan pada pembuatan cookies. Skim
merupakan bagian susu yang mengandung protein paling tinggi yaitu sebesar
36.4%. Susu skim berfungsi memberikan aroma, memperbaiki tesktur dan warna
permukaan. Laktosa yang terkandung di dalam susu skim merupakan disakarida
pereduksi, yang jika berkombinasi dengan protein melalui reaksi maillard dan
adanya proses pemanasan akan memberikan warna cokelat menarik pada
permukaan cookies setelah dipanggang (Faridah 2008).
B. Umbi Garut (Maranta arundinaceae L)
Tanaman garut (Maranta arundinaceae L) oleh masyarakat Jawa Barat
(Sunda) dikenal dengan nama patat sagu, irut, arut, garut, jelarut. Di Amerika
tanaman garut dikenal dengan nama arrow-root. Garut merupakan tanaman
semak semusim yang memiliki tinggi 75-90 cm. Batangnya semu, bulat,
membentuk rimpang berwarna hijau. Daunnya tunggal, bulat memanjang dengan
ujung runcing berpelepah, berbulu dan berwarna hijau (Astuti 2008).
18
Gambar 1 Umbi garut
Deptan (2007) menyebutkan, tanaman garut mempunyai 2 kultivar utama
yaitu Creole dan Banana. Kedua kultivar tersebut sama-sama berwarna putih,
berikut adalah ciri dan sifat yang membedakan masing-masing kultivar :
a. Creole : Rhizomanya kurus panjang, menjalar luas dan menebus ke dalam
tanah. Sering disebut akar cerutu atau cigar root. Setelah dipanen kultivar ini
mempunyai daya tahan tujuh hari sebelum dilakukan pengolahan. Kultivar
creole telah tersebar luas di areal petani.
b. Banana, Rhizomanya lebih pendek dan gemuk, tumbuh dengan tandan
terbuka pada permukaan tanah. Umbinya terdapat dekat dengan permukaan
tanah sehingga lebih mudah dipanen. Memiliki akar cerutu sangat kecil sekali
sehingga hasil panen lebih tinggi. Kandungan serat lebih sedikit sehingga
lebih mudah diolah. Meskipun demikian, setelah pemanenan kualitas umbi
menurun cepat sekali sehingga harus segera diolah (paling lama 48 jam
setelah panen).
Berikut adalah kandungan zat gizi masing-masing kultivar. Kandungan
zat gizi dipengaruhi oleh umur tanam dan keadaan tempat tumbuhnya (Lingga et
al. 1986).
Tabel 2 Komposisi kimia umbi garut per 100 gram
Kandungan Umbi Garut
a,b
Creole Banana
Air (g) 69,1 72,0 Abu (g) 1,4 1,3 Lemak (g) 0,1 0,1 Protein (g) 0,3 2,2 Serat (g) 1,0 0,6 Pati (g) 21,7 19,4 Sumber : a. Lingga et al. 1986 b. Muchtadi 1989
Umbi garut sebagian besar diolah menjadi tepung. DKBM (2007)
menyebutkan dalam 100 gram tepung umbi garut terkandung kalori (355,00 kal),
protein (0,70 g), lemak (0,20 g), karbohidrat (85,20 g), kalsium (8,00 g), fosfor
(22,00 g), zat besi (1,50 g), vitamin B1 (0,09 mg), air (13,60 g). Garut juga
memiliki kandungan kimia saponin dan flavonoid. Selain diolah menjadi tepung,
19
pati umbi garut juga banyak digunakan oleh masyarakat. Pati adalah polisakarida
yang dibentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan ikatan -glikosidik
(Anggraini 2007).
Pati garut merupakan salah satu hasil olahan utama dari umbi garut
sebagai salah satu bentuk karbohidrat alami yang murni dan memiliki kekentalan
tinggi. Kekentalan dipengaruhi oleh keasamaan air yang digunakan dalam
proses pengolahanya (Kay 1973). Kandungan pati dalam umbi garut lebih dari
12% dan proteinnya 1-2% dari bobot kering (Rubatzky et al. 1995 dalam
Herminiati 2005). Villamajor & Jurkema (1996) menyatakan bahwa pati garut
mengandung mineral kalium dalam jumlah cukup besar.
Menurut Kay (1973) pati garut memiliki sifat-sifat, antara lain: (1) mudah
larut dan mudah cerna sehingga cocok untuk makanan bayi dan orang sakit, (2)
memiliki bentuk oval dengan panjang 15-17 mikron, (3) varietas banana memiliki
granula lebih besar dibandingkan varietas creole, (4) suhu awal gelatinisasi
adalah 70oC, (5) mudah mengembang jika kena panas dengan daya
mengembang 54%, dan (6) ada beberapa syarat untuk kepentingan komersial,
yaitu memiliki warna putih bersih, kadar air tidak boleh lebih dari 18,5%,
kandungan abu dan serat rendah, pH 4,5-7, kekentalan 512-640 satuan
Brabender.
Pati garut dapat digunakan sebagai alternatif pengganti tepung terigu
dalam penggunaan bahan baku olahan aneka macam kue, mie, roti kering, bubur
bayi, glukosa cair, dan diet pengganti nasi. Hal ini didukung oleh penelitian
Susanty (2002), Puspowati (2003), dan Sitorus (2004) yang diacu dalam
Herminiati (2005) bahwa pati garut dapat dimanfaatkan untuk membantu
memenuhi kebutuhan gizi anak-anak usia 6 sampai 36 bulan melalui pembuatan
makan sapihan.
C. Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour)
Tanaman torbangun (Coleus amboinicus Lour) biasa disebut ―Torbangun‖
oleh orang Simalungun atau daun bangun-bangun oleh orang Batak Toba dan
Karo (Damanik et al. 2001). Dalam bahasa Simalungun, ―Torbangun‖ berasal
dari kata ―bangun‖ yang berarti bangkit, dimana mereka percaya bahwa ibu yang
baru melahirkan pasti lemah dan membutuhkan kekuatan untuk penyembuhan.
Pemberian tanaman torbangun dapat mengembalikan ibu ke kondisi seimbang.
Daun torbangun juga telah digunakan oleh masyarakat Batak Sumatera Utara
20
sebagai makanan yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI serta
status gizi anak yang baru dilahirkan (Damanik 2005).
Gambar 2 Daun torbangun (Coleus amboinicus Lour)
Rumetor (2008) menyebutkan, dalam daun tanaman torbangun
ditemukan tiga komponen utama yang berkhasiat. Komponen pertama adalah
senyawa-senyawa yang bersifat laktagogue, yaitu komponen yang dapat
menstimulir produksi kelenjar air susu pada induk laktasi. Komponen kedua
adalah komponen gizi adapun komponen ketiga adalah komponen farmaseutika
(senyawa-senyawa yang bersifat buffer, antibakterial, antioksidan, pelumas,
pelentur, pewarna, dan penstabil). Hasil uji fitokimia menunjukkan dalam daun
tanaman torbangun terkandung alkaloid, flavonoid, dan tanin. Kandungan
kimiawi daun torbangun antara lain berupa kalium, minyak atsiri (2%), karvakrol,
isoprofil-o-kresol, karvon, limonen, dihidrokarvon, dihidrokarveol, asetaldehida,
furol, dan fenol (Adi 2006).
Menurut Savithramma et al. (2007), salah satu efek farmakologis
tanaman ini adalah dapat mengobati penyakit asma bila 15 mL jus daun
torbangun dicampur dengan madu dan diminum dua kali per hari.
menambahkan, campuran jus torbangun dengan madu juga sangat cocok untuk
menambah tenaga, sebagai expectorant (melancarkan keluarnya lendir pada
saluran pernafasan), mengobati asma, batuk kronis, bronkitis, sakit perut, perut
kembung dan rematik. Selain mengandung zat aktif, daun torbangun juga kaya
akan kandungan zat gizi. Berikut adalah kandungan gizi daun torbangun.
Tabel 3 Kandungan gizi daun torbangun per 100 gram Kandungan gizi Kadar
Energi kalori (Kal) 27 Protein (g) 1.3 Lemak (g) 0.6 Karbohidrat (g) 4.0 Zat Besi (mg) 13.6 Magnesium (mg) 62.5 Kalsium(mg) 279 Potasium (mg) 52 Abu (g) 1.6 Serat (g) 1.0
21
Kandungan gizi Kadar
Karoten total 13288 Vitamin B1 (μkg) 0.16 Vitamin C (mg) 5.1 Air (%) 92.5 Berat dapat dimakan(%) 66 Sumber: Mahmud et al. (2009)
Minuman
Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia
karena fungsinya tidak dapat digantikan oleh senyawa lain. Menurut Winarno
(2008), setiap hari manusia membutuhkan sekitar 2,5 L air, diperkirakan 1,5 L
dipenuhi dari air minum dan 1 L sisanya berasal dari bahan makanan. Popkin et
al. (2006) menyebutkan, pola konsumsi di Amerika menunjukkan 76% dari total
kebutuhan air dipenuhi dari minuman selain air putih (baverage). Jenis minuman
yang paling banyak dikonsumsi berturut-turut adalah air teh (33%), Air Minum
Dalam Kemasan (AMDK) (25%), air kopi (21%), susu (15%) dan jus jeruk (6%).
Jenis minuman yang dikombinasikan dengan cookies pada penelitian ini meliputi
AMDK, susu cair siap minum (susu UHT), air teh (diseduh dari teh hitam celup),
dan air kopi (diseduh dari kopi mix).
A. Air Minum Dalam Kemasan (AMDK)
BSN (2006) mendefinisi AMDK sebagai air baku yang telah diproses
dengan perlakuan khusus, dikemas dalam botol atau kemasan lain serta
memenuhi persyaratan sebagai air minum. AMDK terbagi atas dua jenis, air
mineral dan air demineral. Air mineral adalah AMDK yang mengandung mineral
dengan jumlah tertentu tanpa menambahkan mineral, sementara air demineral
adalah AMDK yang diperoleh melalui proses destilasi, deionisasi, reverse
osmosis, dan proses setara lainnya. Berikut adalah syarat mutu AMDK yang
dituangkan dalam SNI 01-3553-2006.
Tabel 4 Syarat mutu AMDK berdasarkan SNI 01-3553-2006 Kriteria Uji Air Mineral Air Demineral
Ph 6,0 - 8,5 5,0 – 7,5 Kekeruhan Maks 1,5 NTU Maks 1,5 NTU Zat yang terlarut Maks. 500 mg/L Maks. 10 mg/L Zat organik Maks. 1,0 mg/L - Total organik karbon - Maks 0,5 mg/L Sumber : BSN (2006)
Secara fisik air mineral dan air demineral nampak sama sehingga
keduanya sulit dibedakan, meskipun demikian pada kemasan air mineral akan
tertulis jenis dan kadar mineral yang terkandung di dalamnya (Andarwulan 2010).
AMDK mungkin mengandung kalsium dan magnesium dalam jumlah yang
22
berbeda-beda. AMDK juga mengandung flouride, namun kadarnya lebih sedikit
dari air ledeng yang dimasak pada umumnya. Kalsium, magnesium, dan flouride
AMDK dapat diserap dengan baik sehingga berkontribusi memenuhi kebutuhan
mineral sehari-hari (Popkin et al. 2006).
B. Susu Segar dalam Kemasan (Susu UHT)
Susu didefinisikan sebagai produk kelenjar susu (mammary gland) atau
sekresi dari kelenjar susu binatang menyusui (Marliyati, Sulaeman & Anwar
1992). Produk susu baik dalam bentuk segar maupun olahan sebagian besar
berasal dari sapi. Oleh karena itu, istilah susu biasanya mempunyai pengertian
sebagai susu sapi, kecuali bila dinyatakan jenis hewan lainnya di belakang kata
susu (Rahman et al. 1992).
Lebih lanjut Rahman et al. (1992) menjelaskan, secara kimia susu adalah
emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam-garam mineral, dan
protein dalam bentuk suspensi koloidal. Komponen utama susu ialah air, lemak,
protein (kasein dan albumin), laktosa (gula susu), dan abu. Dibandingkan dengan
pangan lain, kalsium di dalam susu tersedia dalam jumlah lebih tinggi dan
memiliki bioavailabilitas yang tinggi pula. Meskipun demikian kadarnya sangat
bervariasi bergantung pada jenis ternak, umur ternak, waktu pemerahan, urutan
pemerahan, musim, makanan ternak, dan penyakit. Secara umum komposisi zat
gizi dalam susu dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5 Komposisi susu segar (per 100 mL) Zat Gizi Jumlah
Energi 122 Kal Karbohidrat 8.6 g Protein 6.6 g Lemak 7.0 g Kalsium 286 mg Fosfor 120 mg Magnesium 26.9 mg Zat Besi 3.4 mg Vitamin A 90 RE Vitamin C 2 mg Vitamin B1 0.06 mg Riboflavin 0.34 mg Niasin 0.16 mg Asam Folat 6 – 16 µg Vitamin B12 1.0 µg Vitamin D 1.0 – 8.8 IU Vitamin E 0.16 mg Sumber : Hardisyah & Briawan (1994) Buckle et al (1987)
Menurut Jonsson (2009), susu tersedia dalam bentuk segar maupun
olahan. Produk olahan susu telah berkembang luas sejak lama, antara lain
23
berupa susu bubuk, susu kental manis, susu evaporasi, keju, yoghurt, kefir,
dadih, dan sebagainya. Susu segar biasanya berbentuk cair dan tersedia dalam
kemasan (ready to drink) ataupun tidak dalam kemasan (loose milk). Jenis susu
segar dalam kemasan yang paling umum dikenal adalah susu UHT (Ultra High
Temperature). Meningkatnya konsumsi susu cair ready to drink erat kaitannya
dengan keamanan, kesehatan, dan kenyamanan.
BSN (1998) mendefinisikan susu UHT sebagai produk susu yang
diperoleh dengan cara mensterilkan susu minimal pada suhu 135˚C selama 3
detik, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan atau bahan tambahan
makanan yang diizinkan, serta dikemas secara aseptik. Berdasarkan rasanya,
susu UHT diklasifikasikan menjadi susu UHT tawar dan berpenyedap citarasa.
Komarudin (2000) menambahkan, rasa susu yang paling disukai adalah rasa
coklat. Berikut adalah syarat mutu susu UHT yang ditetapkan BSN dalam SNI
01-3950-1998.
Tabel 6 Syarat mutu susu UHT berdasarkan SNI 01-3950-1998
Kriteria Uji Persyaratan Kadar
Susu UHT tawar Susu UHT bercitarasa
Protein Min. 2,7 (%b/b) Min. 2,4 (%b/b) Lemak Min. 3,0 (%b/b) Min. 2,0 (%b/b) Berat kering tanpa lemak Min. 8,0 (%b/b) - Total padatan - Min. 12 Seng (Zn) Maks. 40,0 mg/Kg Maks. 40,0 mg/Kg Sumber : BSN (1998)
C. Teh Hitam Celup
Teh merupakan jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi setelah
air, kurang lebih 120 mL/hari/kapita (McKay & Blumberg 2002). Agustina (2010)
menyebutkan, berdasarkan tingkat oksidasinya teh diklasifikasikan menjadi
empat jenis, yaitu teh putih (tidak mengalami proses oksidasi sama sekali), teh
hijau (mengalami proses oksidasi minimal), teh oolong (mengalami proses
oksidasi sebagian) dan teh hitam (teroksidasi sempurna). McKay & Blumberg
(2002) menambahkan, diantara jenis teh tersebut, teh hitam merupakan jenis teh
yang paling banyak dikonsumsi (76 – 78%), disusul teh hijau (20 - 22%), dan teh
oolong (< 2 %).
Berdasarkan jenis kemasannya, teh dapat dibedakan menjadi teh celup,
teh seduh, teh pres, teh stik, dan teh instant. Teh celup adalah teh yang dikemas
dalam kantong kecil dari kertas. Teh celup merupakan jenis teh kemasan yang
populer dan paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena praktis
(Agustina 2010). BSN (1995) dalam SNI 01-3753-1995 mendefinisikan teh hitam
24
celup sebagai teh kering hasil fermentasi pucuk dan daun muda termasuk
tangkai tanaman teh (Theasinensis L sims) yang dikemas dalam kantong khusus
untuk dicelup. Berikut adalah syarat mutu teh hitam celup yang ditetapkan BSN
dalam SNI 01-3753-1995.
Tabel 7 Syarat mutu teh celup hitam berdasarkan SNI 01-3753-1995 Kriteria Uji Persyaratan Kadar
Ekstrak dalam air Min. 32 (%b/b) Air Maks. 10 (%b/b) Serat kasar Maks. 16,5 (%b/b) Abu 4 – 8 (%b/b) Abu larut dalam air Min. 45 (%b/b) Abu tidak larut dalam air Maks. 1,0 (%b/b) Sumber : BSN (1995)
Komponen kimia yang terkandung dalam daun teh terdiri dari substansi
fenol (flavonol yang terdiri dari katekin dan isomernya), substansi bukan fenol
(karbohidrat, pektin, alkaloid, protein, klorofil, dan mineral), substansi aromatis
dan enzim. Komponen kimia tersebut bervariasi jumlahnya, bergantung pada
jenis klon, variasi musim dan kondisi tanah, perlakuan kultur teknis, umur daun,
dan banyaknya sinar matahari yang diterima. Komponen kimia daun teh segar
akan sangat berpengaruh terhadap mutu teh (warna, flavor, dan rangsangan
seduhan teh) meliputi yang dihasilkan (Nasution & Tjiptadi 1975). Berikut adalah
komposisi komponen kimia daun teh segar dan daun teh hitam :
Tabel 8 Komposisi komponen kimia daun teh segar dan daun teh hitam Komponen Daun Segar (%) Teh Hitam (%)
Selulosa & serat kasar 34 34 Protein 17 16 Klorofil dan pigmen 1,5 1 Pati 8,5 0,25 Tanin 25 18 Tanin teroksidasi 0 4 Kafein 4 4 Asam amino 8 9 Mineral 4 4 Abu 5,5 5,5 Sumber : Nasution & Tjiptadi (1975)
Hasil penelitian Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Jawa
Barat menunjukkan bahwa kandungan polifenol pada teh Indonesia kurang lebih
1.34 kali lebih tinggi dibandingkan teh dari negara lain (PPTK 2008). Katekin
merupakan senyawa polifenol utama pada teh, mencapai 90% dari total
kandungan polifenol. Katekin menyusun 20-30 persen dari berat kering daun teh
dan merupakan senyawa terpenting dalam menentukan perubahan rasa, warna,
dan aroma teh. Katekin adalah tanin yang tidak mempunyai sifat menyamak atau
25
menggumpalkan protein, berbeda dengan tanin yang terdapat pada tumbuhan-
tumbuhan lainnya (Kustamiyati 1987).
Tanin sendiri merupakan salah satu komponen asam amino yang
terdapat pada daun teh hijau. Tanin hanya terdapat dalam bentuk bebas (non
protein) dan sekitar 50% dari total asam amino bebas dalam teh adalah tanin.
Setiap 3 – 4 cangkir teh hijau mengandung 100 – 200 mg tanin. Tanin diketahui
dapat mengurangi kecemasan terutama pada wanita muda, mengurangi tekanan
darah tinggi dan meningkatkan konsentrasi dan belajar. Meskipun demikian,
Williams (1995) menyatakan kandungan tanin yang tinggi dalam teh dapat
menurunkan abosorbsi zat besi teh hingga 60%.
D. Kopi Mix
Tanaman kopi termasuk dalam famili Rubiaceae, terdiri banyak jenis kopi
namun yang paling umum dikenal adalah jenis Arabica, Robusta dan Liberica
(Ridwansyah 2003). Industri pengolahan kopi pada umumnya menggunakan
bahan baku biji kopi Arabika dan Robusta dengan komposisi perbandingan
tertentu. Kopi Arabika digunakan sebagai sumber citra rasa, sedangkan kopi
Robusta digunakan sebagai campuran untuk memperkuat body. Kopi Arabika
memiliki citra rasa yang lebih baik, tetapi memiliki body yang lebih lemah
dibandingkan kopi Robusta (Deperindag 2009).
Deperindag (2009) menyebutkan, saat ini diversifikasi produk kopi olahan
meliputi kopi bubuk, kopi instan, kopi biji matang (roasted coffee), kopi tiruan,
kopi rendah kafein (decaffeinated coffee), kopi mix, kopi celup, ekstrak kopi,
minuman kopi dalam botol dan produk turunan lainnya. BSN (1998)
mendefinisikan kopi mix sebagai produk berbentuk serbuk, mudah larut dalam
air, merupakan campuran kopi dengan atau tanpa bahan tambahan makanan
yang diizinkan. Berikut adalah syarat mutu teh hitam celup yang ditetapkan BSN
(1998) dalam SNI 01-4446-1998. .
Tabel 9 Syarat mutu kopi mix berdasarka SNI 01-4446-1998 Kriteria Uji Persyaratan Kadar
Air Maks. 7,0 (%b/b) Abu Min. 3,0 (%b/b) Kafein Min. 0,1 (%b/b) Seng (Zn) Maks. 40 mg/Kg Sumber : BSN (1998)
Kopi mix dikenal dengan berbagai istilah, misalnya kopi gula (duo), kopi
gula susu (duo susu), dan kopi gula kreamer (tree in one). Jenis – jenis kopi di
atas umumnya disajikan dalam kemasan, berupa produk berbentuk bubuk yang
berisi campuran kopi murni/instant, gula/pemanis, susu/krim, dan devariasinya
26
dengan atau tanpa tambahan pangan lain yang diizinkan (Anwar & Khomsan
2009).
Kandungan biji kopi yang terpenting adalah kafein yang berfungsi sebagai
perangsang dan kafeol sebagai unsure flavor dan aroma. Kafein adalah kristal
berwarna putih, mempunyai rasa pahit dan tergolong jenis alkaloid yang penting
dalam bahan obat-obatan. Kadar kafein dalam kopi robusta jauh lebih besar
daripada kopi arabika. Semakin kecil kadar kafein, rasa kopi akan semakin enak
Clarke & Macrae (1987).
Kafein yang terkandung pada teh sebenarnya lebih besar dibandingkan
pada kopi, mencapai 2 – 4% sementara kopi hanya 1,1 – 2 % bobot kering.
Meskipun demikian, karena jumlah kopi yang dibutuhkan untuk membuat
secangkir minuman lebih banyak dibandikan jumlah teh pada takaran air yang
sama, maka kadar kafein pada kopi seduhan lebih tinggi dibandingkan teh
seduhan. Secangkir kopi instant (240 mL) mengandung kafein 62-75 mg/cangkir,
lebih rendah dibandingkan kopi yang diseduh dengan sistem saring-tetes (filter-
drip) mengandung kafein 85-140 mg/cangkir namun, akan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan secangkir teh (240 mL) yang hanya mengandung kafein 9-
70 mg/cangkir (Wijaya 2009).
Kafein dalam kopi dapat memberi efek simultan psikoaktif atau memberi
efek ―jaga‖ (alert), tidak mengantuk, dan diuretik (meningkatan kecepatan
produksi urin) pada manusia maupun hewan. Oleh karena kafein juga
merupakan simultan metabolik dan sistem syaraf pusat maka kafein dapat
digunakan untuk pengobatan dengan tujuan mengurangi kelelahan dan
mengembalikan keterjagaan mental (Muchtadi 2009). Meskipun demikian Anwar
& Khomsan (2009) mengingatkan, kafein juga mempengaruhi fungsi fisiologis
tubuh dengan menstimulasi pernafasan dan jantung sehingga kelompok yang
sensitif terhadap kopi akan merasa efek samping gelisah, tidak dapat tidur dan
denyut jantung tidak teratur. Selain itu kopi juga merangsang pengeluaran asam
lambung dan jika berlebihan dapat mengakibatkan luka lambung, atau penyakit
lambung lainnya.
Anwar & Khomsan (2009) menyebutkan konsumsi kafein sebanyak 150 -
250 mg/hari dapat mengurangi kelelahan, menstimulir pancaindra, dan
meningkatkan aktivitas motorik tubuh. Meskipun demikian, jika kafein dikonsumsi
200 -500 mg/hari dapat menyebabkan sakit kepala tubuh gemetar, perasaan
gelisah dan gugup. Konsumsi kafein mencapai 1000 mg/hari akan menimbulkan
27
kafeinisme (gejala keracunan kafein seperti insomnia, sakit kepala tubuh
gemetar, perasaan gelisah dan gugup dan mudah tersinggung).
Anwar & Khomsan (2009) menambahkan, kopi yang diminum sewaktu
makan dapat meningkatkan pembuangan kalsium dari tubuh. Senada dengan
pernyataan di atas, hasil penelitian Rapuri et al. (2001) menunjukkan bahwa
konsumsi kafein >300 mg/hari dapat menyebabkan kehilangan mineral,
khususnya kalsium, lebih banyak dari tulang (bone loss). Oleh karena itu Massey
(2001) menyarankan, konsumsi kafein pada level sedang (< 300 mg/hari) atau
setara dengan 475 mL kopi seduh, 946 mL teh seduh, dan 355 mL soft drink
yang mengandung kafein.