95
BENTUK KHIYAR DALAM JUAL BELI DI PASAR BANDARJO UNGARAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh: ARFA LAILA RAHMAWATI NIM. 214 14 040 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2019

BENTUK KHIYAR DALAM JUAL BELI DI PASAR BANDARJO …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5213/1/SKRIPSI FIX... · 2019. 4. 8. · membimbing dan berkorban jiwa raga, kasih sayang,

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • BENTUK KHIYAR DALAM JUAL BELI

    DI PASAR BANDARJO UNGARAN

    DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

    SKRIPSI

    Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

    Oleh:

    ARFA LAILA RAHMAWATI

    NIM. 214 14 040

    PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

    FAKULTAS SYARI’AH

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

    SALATIGA

    2019

  • ii

  • iii

  • iv

    PERNYATAAN KEASLIAN

    Yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : ArfaLailaRahmawati

    NIM : 214 14 040

    Jurusan : Hukum Ekonomi Syari‟ah

    Fakultas : Syari‟ah

    Judul Skripsi : BENTUK KHIYAR DALAM JUAL BELI DI PASAR

    BANDARJO UNGARAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM

    ISLAM

    Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri,

    bukan jiplakan dari karya tulis orang. Pendapat atau temuan orang lain yang

    terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

  • v

    MOTTO

    “Many of life’s failures are people who did not

    realize how close they were to success when they

    gave up”

    (BanyakKegagalanhidup yang

    terjadikarenamerekatidakmenyadariseberapadeka

    tkesuksesansaatmulaimenyerah)

  • vi

    PERSEMBAHAN

    Alhamdulillahirobil‟alamin. Dengan menyebutnama Allah SWT Tuhan

    Yang Maha Esa, penuh cinta kasihnya yang telah memberikan saya kekuatan,

    dan telah menuntun dan menyemangatiku menyelesaikan skripsi ini. Yang

    mana skripsi ini kupersembahkan untuk:

    1. Kedua orang tuaku, Bapak Zumroni dan Ibu Sri Sunarsih yang telah

    membimbing dan berkorban jiwa raga, kasih sayang, doa dan motivasi yang

    selalu menguatkan langkahku setiap harinya. Ku ucapkan terimakasih semoga

    Allah SWT selalu memberikan nikmat-Nya kepada Bapak dan ibu.

    2. Suami dan Anakku tercinta, Eko Oktavianto dan Bilqis EkoShillanada yang

    selalu memberiku motivasi setiap mendapati kesulitan. Memberikan doa dan

    dukungan dan kasih sayang serta selalu menjadi pelipur hati.

    3. Kakakku tersayang, Kunti Naili Sifa yang selalu memberikan doa dan

    dukungan setiap harinya.

    4. Seluruh keluarga besar yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun

    materil sehingga aku bisa menyelesaikan studiku dengan baik.

  • vii

    KATA PENGANTAR

    ااسالم عليكن ورحمة هللا وبركاته

    Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,

    taufik serta hidayahnya, sehingga skripsi dengan judul “Bentuk Khiyar

    Dalam Jual Beli Di Pasar Bandarjo Ungaran Menurut Perspektif Hukum

    Islam” dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam penulis

    sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, parasahabat dan para

    pengikutnya yang setia kepadanya hingga akhir zaman.

    Skripsi ini ditulis dan diselesaikan sebagai salah satu persyaratan untuk

    menyelesaikan studi pada program Strata Satu (S1) Jurusan Hukum Ekonomi

    Syariah Fakultas Syariah IAIN Salatiga guna memperoleh gelar Sarjana

    Hukum (S.H) dalam bidang Ilmu Syariah.

    Atas semua pihak dalam proses penyelesaian skripsi ini, tak lupa

    penulis haturkan terima kasih sebesar-besarnya. Secara rinci ungkapan

    terimakasih itu saya sampaikan kepada:

    1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.,selaku Rektor Institut Agama Islam

    Negeri Salatiga.

    2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syar‟iah Intitut Agama

    Islam Negeri Salatiga dan juga sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi yang

    telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta dukungannya untuk

    mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini.

  • viii

    3. Ibu Heni Satar, S.H., M.Si, selaku Ketua Program Studi Fakultas Syariah

    Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah yang telah mengizinkan penulis untuk

    membahas judul skripsi ini sekaligus Dosen Pembimbing Akademik Institut

    Agama Islam Negeri Salatiga.

    4. Ibu Lutfiana Zahriani, S.H., M.H.selaku Kepala Laboratorium Fakultas

    Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

    5. Keluarga tercinta Ibu, Bapak,Suami, Anak, Mertua dan Saudaraku yang tak

    henti-hentinya selalu mendoakan dan memberikan semangat.

    6. Sahabat-sahabat tercinta Via, Ucik, Rima, dan Eka yang telah berbagi suka,

    duka, bahagia serta mengisi hari-hariku selama menempuh S1.

    7. Teman-teman senasib seperjuangan Hukum Ekonomi Syari‟ah angkatan 2014

    Institut Agama Islam Negeri Salatiga, yang telah memberikan semangat dan

    motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

    8. Kepada semua narasumber yang berkenan memberikan informasi.

    9. Seluruh jajaran Akademik Institut Agama Islam Negeri Salatiga Fakultas

    Syariah yang tidak bisa penulis sebutkan semuannya terimakasih banyak telah

    banyak membantu penyusunan skripsi ini.

    10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah

    memberikan Konstribusi dan dukungan yang cukup besar sehingga penulis

    dapat menjalani perkuliahan dari awal hingga akhir di Institut Agama Islam

    Negeri (IAIN) Salatiga.

    Semoga amal kebaikan mereka semua di balas berlipat ganda oleh

    Allah SWT dan dijauhkan dari sifat dengki dan berlaku dzalim, Amin.

  • ix

    Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

    kesempurnaan dalam arti yang sebenarnya, namun penulis berharap semoga

    skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada

    umumnya. Amin yarabbal „alamin.

    ة هللا وبركاتهوالسالم عليكن ورحم

    Salatiga, November 2018

    Penulis

    Arfa Laila Rahmawati

    NIM. 214 14 040

  • x

    ABSTRAK

    Arfa Laila Rahmawati. 2018. Bentuk Khiyar Dalam Jual Beli Di Pasar

    Bandarjo Ungaran Menurut Perspektif Hukum Islam. Skripsi. Jurusan Hukum

    Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

    Salatiga.Pembimbing, Dr. Siti Zumrotun, M. Ag.

    Kata Kunci: Khiyar, Pasar Bandarjo Ungaran

    Khiyar merupakan hak pilih salah satu kedua belah pihak untuk

    melangsungkanatau membatalkan jualbeli. Hak khiyar ditetapkan syariat islam

    bagi orang-orang yang melaksanakan jual beli agar tidak dirugikan dalam

    transaksi jual beli. Salah satunya di Pasar Bandarjo Ungaran telah

    memperselisihkan khiyar. Proses khiyar yang tidak di aplikasikan secara

    menyeluruh karena sering kali pembeli merasa kurang puas dengan barang

    yang telah diberi, apabila mendapati cacat atau tidak sesuai ukuran dengan

    tidak boleh dikembalikan atau dibatalkan. Dari latar belakang diatas, maka

    rumusan masalahnya adalah pertama, bagaimana praktik khiyar dalam jual beli

    di Pasar Bandarjo Ungaran? Kedua, Apa saja bentuk-bentuk khiyar dalam jual

    beli di Pasar Bandarjo Ungaran? Dan Ketiga, apakah bentuk khiyar dalam jual

    beli di Pasar Bandarjo Ungaran sesuai dengan hokum islam?.

    Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan, penelitian yang

    langsung dilakukan di Pasar Bandarjo Ungaran dengan sifat penelitian

    deskriptif dan untuk memecahkan masalah dengan pendekatan yuridis dengan

    analisa kualitatif. Data diperoleh melalui observasi ketempat penelitian secara

    langsung yaitu Pasar Bandarjo Ungaran dan wawancara dengan pihak yang

    mendukung, yaitu kepala pasar, penjual, dan pembeli.

    Hasil dari penelitian dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu praktik khiyar

    dalam jual beli yang dilakukan pedagang dan pembeli apabila mendapati cacat

    barang atau tidak sesuai ukuran, bukanlah pembatalan melainkan tetap

    melanjutkan jual beli dengan syarat tukar barang yang sudah dibeli dengan

    barang yang sejenis atau seharga, bias juga tukar tambah, dan tukar yang lebih

    murah. Khiyar yang sering terjadi di Pasar Bandarjo Ungaran yaitu khiyar „aib

    dan khiyar syarat. Bentuk khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo Ungaran

    dalam hokum islam ini diperbolehkan. Hal ini dikaitkan dengan „urf, tukar

    barang menjadi kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh masyarakat

    dalam jual beli.dimana kebiasaan itu di anggap baik dan selagi kedua belah

    pihak tidak ada yang dirugikan dan atas dasar suka sama suka.

  • xi

    DAFTAR ISI

    COVER ...................................................................................................... i

    NOTA PEMBIMBING ............................................................................ ii

    PENGESAHAN ........................................................................................ iii

    PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................. iv

    MOTTO ..................................................................................................... v

    PERSEMBAHAN ..................................................................................... vi

    KATA PENGANTAR .............................................................................. vii

    ABSTRAK ................................................................................................. x

    DAFTAR ISI ............................................................................................. xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1

    B. Rumusan Masalah ............................................................................... 5

    C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6

    D. Penegasan Istilah ................................................................................. 7

    E. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 8

    F. Metode Penelitian................................................................................ 10

    G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 12

    BAB II LANDASAN TEORI

    A. Hukum Islam Tentang Jual Beli

    1. Pengertian Jual Beli ........................................................................ 14

    2. Dasar Hukum Jual Beli ................................................................... 15

    3. Rukun dan Syarat Jual Beli ........................................................... 17

  • xii

    B. Hukum Islam Tentang Khiyar

    1. Pengertian Khiyar ........................................................................... 20

    2. Dasar Hukum Khiyar ...................................................................... 21

    3. Syarat-Syarat Khiyar ...................................................................... 22

    4. Macam-Macam Khiyar ................................................................... 23

    5. Cara Penggunaan Khiyar ................................................................ 31

    6. Hikmah Khiyar ............................................................................... 33

    C. Hukum Islam Tentang „Urf

    1. Pengertian „Urf ............................................................................... 34

    2. Macam-Macam „Urf ....................................................................... 35

    3. Kehujjahan „Urf .............................................................................. 38

    4. Syarat-Syarat „Urf .......................................................................... 40

    5. Hukum „Urf .................................................................................... 41

    BAB III PRAKTIK KHIYAR DI PASAR BANDARJO UNGARAN

    A. Gambaran Umum Pasar Bandarjo Ungaran ........................................ 43

    B. Praktik Khiyar Dalam Jual Beli Di Pasar Bandarjo Ungaran ............. 49

    BAB IV ANALISIS BENTUK KHIYAR

    A. Bentuk Khiyar Dalam Jual Beli Di Pasar Bandarjo Ungaran ............. 58

    B. Bentuk Khiyar Dalam Jual Beli Di Pasar Bandarjo Menurut

    Perspektif Hukum Islam ...................................................................... 61

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ......................................................................................... 66

    B. Saran .................................................................................................... 67

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dan menjadi bagian

    dalam agama Islam, ketika berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam

    pikiran adalah peraturan-peraturan atau norma yang mengatur tingkah laku

    manusia dalam suatu masyarakat. Bentuknya mungkin hukum yang tidak

    tertulis atau hukum adat dan hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk

    mengatur hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya di

    masyarakat (Basyir, 2000:11). Dalam mencukupi kebutuhan hidupnya,

    manusia saling memenuhi dan saling melengkapi layaknya sebagai makhluk

    sosial.

    Dalam kehidupan bermuamalat, Islam telah memberikan garis kebijakan

    yang jelas. Muamalat sebagai tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam

    hubungan dengan orang lain yang menimbulkan hak dan kewajiban itu

    merupakan bagian terbesar dalam hidup manusia. Oleh karenanya, agama

    Islam menempatkan bidang muamalat ini sedemikian pentingnya (Basyir,

    2000:12). Salah satu bidang muamalat yang disyari‟atkan oleh Allah SWT

    adalah Jual beli.

    Mendengar istilah jual beli, tentulah tidak dapat dipisahkan dari kata

    pasar.Berdagang adalah aktifitas paling umum yang dilakukan di pasar. Pasar

    merupakan alat yang memungkinkan individu berinteraksi untuk membeli dan

    menjual barang atau jasa tertentu. Menurut kajian ilmu ekonomi, pasar adalah

  • 2

    suatu tempat atau proses interaksi antara permintaan (pembeli) dan penawaran

    (penjualan) dari suatu barang atau jasa tertentu, sehingga akhirnya dapat

    menetapkan harga keseimbangan (harga pasar) dan jumlah yang

    diperdagangkan (Suprayitno, 2008: 205).

    Oleh sebab itu Islam membolehkan pengembangan harta dengan

    berbisnis, yang salah satunya melalui jalur perdagangan atau jual beli.

    Sebagaimana firman Allah SWT:

    َنُكْم بِاْلَباِطِل ِإَلَّ َأْن َتُكوَن ِِتَارًَة َعْن تَ رَاضٍ يَا أَي َُّها الَِّذيَن آَمُنوا ََل تَْأُكُلوا أَْمَواَلُكْم بَ ي ْ

    ِإنَّ اللََّو َكاَن ِبُكْم َرِحيًما ۚ َسُكْم َوََل تَ ْقتُ ُلوا أَنْ فُ ۚ ِمْنُكْم

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakanharta

    sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

    berlaku atas suka sama suka diantara kamu dan janganlah kamu membunuh

    dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyanyang kepadamu (QS. An-

    Nisa: 29).

    Jual beli menurut bahasa berarti al-bai‟, al-tijarah dan al mubaladah yang

    berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.

    Sedangkan menurut istilah yang dimaksud jual beli adalah menukar barang

    dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik

    dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan (Suhendi,

    2008:67). Dasar hukum jual beli di atas sebagaimana Firman Allah SWT:

    ۚ َوَأَحلَّ اللَُّو اْلبَ ْيَع َوَحرََّم الرِّبَا

    Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,,,,”. (Al-

    Baqarah: 275)

    Islam telah memberikan tuntunan dalam melaksanakan jual beli, agar

    tidak ada yang merasa dirugikan antara penjual dan pembeli. Tuntunan yang

  • 3

    diberikan oleh Islam antara lain adanya kerelaan kedua belah pihak yang

    berakad, dan barang yang dijadikan objek dalam jual beli dapat dimanfaatkan

    menurut kriteria dan realitanya. Jual beli yang mendapatkan berkah dari Allah

    adalah jual beli yang jujur, yang tidak curang. Tidak mengandung unsur

    penipuan dan penghianatan (Antonio, 2007: 109).

    Disamping itu hukum Islam memberikan solusi sebagai pelengkap

    daripada rukun dan syarat jual beli yang telah terpenuhi, yakni berupa khiyar.

    Hal ini bertujuan untuk melindungi pembeli dari kemungkinan penipuan dari

    pihak penjual. Jual beli dalam Islam selalu memperhatikan maslahat-maslahat

    yang Allah syariatkan berupa hak memilih bagi orang yang bertransaksi,

    supaya dia puas melihat maslahat dan mudharat yang ada dari sebab akad

    tersebut sehingga dia mendapatkan apa yang diharapkannya dari pilihannya itu

    atau membatalkan jual belinya (Sabiq, 1983:164).

    Khiyar secara bahasa yakni kata nama dari ikhtiyar yang berarti mencari

    yang baik dari dua urusan baik meneruskan akad atau membatalkannya.

    Sedangkan menurut istilah khiyar yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik

    berupa meneruskan akad atau membatalkannya (Mardani, 2012: 105). Status

    khiyar menurut para ulama fiqh adalah disyariatkan atau dibolehkan karena

    suatu keperluan mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-

    masing pihak yang bertransaksi (Haroen, 2007: 129).

    Dalam proses khiyar dikenal ada beberapa macam-macamnya namun

    khiyar yang paling mansyur yang sering terjadi dalam jual beli di bagi menjadi

    tiga, yakni khiyar majlis, khiyar syarat, dan khiyar „aibi (At-Thayar dkk,

  • 4

    2004:93). Misalnya ketika proses jual beli masih dilakukan sederhana, khiyar

    sangat dipegangi oleh para pelaku jual beli karena mereka bertemu langsung

    dan melihat objek transaksi. Jika barang yang dibeli dirasa belum sesuai

    dengan kehendaknya, maka masih dapat ditukar selama masih ditempat

    transaksi, maka terjadilah khiyar majlis. Jika barang dibeli bergaransi, maka

    ketika suatu hari terdapat cacat, masih dapat dikembalikan sesuai perjanjian

    maka terjadilah khiyar syarat dan khiyar „aib.

    Khiyar dalam transaksi jual beli di pasar saat ini belum bisa dikatakan

    sesuai. Salah satunya Pasar Bandarjo Ungaran sebagai objek penelitian dengan

    alasan bahwa Pasar Bandarjo Ungaran merupakan salah satu pasar tradisional

    di Ungaran yang menyediakan berbagai macam barang dengan harga miring

    baik itu barang bekas maupun barang baru. Dan di pasar tersebut terdapat

    kejanggalan-kejanggalan dalam transaksi jual beli mengenai barang yang

    diperjual belikan.

    Di Pasar Bandarjo Ungaran para pedagang telah memperselisihkan

    khiyar dan ada pedagang yang tidak melaksanakan khiyar.Sebenarnya mereka

    telah menerapkan beberapa ketentuan khiyar. Akan tetapi proses khiyar

    menurut Islam tidak diaplikasikan secara menyeluruh. Seharusnya pedagang

    harus mengetahui konsep khiyar yang harus diikuti dengan pengetahuan

    bentuk-bentuk khiyar sesuai dengan hukum Islam. Seperti halnya ada beberapa

    pedagang sepatu dan sandal yang mengatakan apabila barang yang ingin dibeli

    harus benar-benar diperhatikan , agar tidak salah seketika sudah dibawa.

  • 5

    Dan pada pedagang elektronik juga mengatakan bahwa sebelum barang

    yang akan dibeli maka terlebih dahulu harus dilihat dan diperhatikan. Dengan

    alasan barang yang sudah dibeli apabila tidak sesuai maka untuk ditukar atau

    dikembalikan sangatlah rumit dengan alasan lain sudah menjadi kesalahan

    konsumen/pembeli bukan kesalahan penjual.

    Lain halnya pada pedagang pakaian, dimana memberikan pernyataan

    apabila baju atau pakaian lain yang berjumlah banyak seperti perbalan atau

    perkodian dan seketika sudah di bawa pulang dicek ada yang rusak atau cacat

    maka dapat ditukarkan selama lebelnya belum lepas atau capnya belum dicabut

    dengan barang yang seharga. Dan tidak bolehnya aturan jika barang tersebut

    terdapat cacat kemudian dikembalikan atau dibatalkan dalam jual beli tersebut

    dengan alasan kesalahan pembeli karena kurang teliti sebelum membeli. Belum

    pernah adanya penjual mengembalikan 100% yang sudah diterima bagi si

    pembeli jika pakaiannya terdapat cacat (Wawancara, 05 Mei 2018).

    Dari peristiwa tersebut dalam transaksi jual beli maka pembeli tidak

    mendapatkan hak-haknya secara utuh dan merasa dirugikan atas transaksi yang

    telah dilakukan pedagang dalam menjual barang dagangannya.

    Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan

    penelitian lebih lanjut tentang konsep khiyar dalam jual beli yang saat ini

    terjadi dengan judul “Bentuk Khiyar dalam Jual Beli di Pasar Bandarjo

    Ungaran Dalam Perspektif Hukum Islam”.

  • 6

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah diatas ada beberapa hal yang

    menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

    1. Bagaimana praktik khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo Ungaran?

    2. Apa saja bentuk atau model khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo

    Ungaran?

    3. Apakah bentuk-bentuk khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo Ungaran

    sesuai dengan hukum Islam?

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    1. Tujuan penelitian

    Sesuai dengan permasalahan pokok diatas tujuan yang ingin dicapai dalam

    penelitian ini adalah:

    a. Untuk mengetahui praktik khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo

    Ungaran.

    b. Untuk mengetahui bentuk atau model khiyar dalam jual beli di Pasar

    Bandarjo Ungaran.

    c. Untuk mengetahui bentuk khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo

    Ungaran menurut perspektif hukum Islam.

    2. Kegunaan Penelitian

    a. Secara teoritis

    Penelitian ini sebagai upaya untuk memberikan pengetahuan dan

    pemahaman sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran apabila

    dalam masyarakat terdapat bentuk atau model khiyar dalam jual beli yang

  • 7

    tidak sesuai dengan hukum islam, maka dapat dijadikan sebagai solusi

    untuk permasalahan tersebut.

    b. Secara praktis

    1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan yang dapat memberikan

    informasi mengenai bentuk atau model khiyar dalam jual beli di Pasar

    Bandarjo Ungaran yang sesuai dengan hukum Islam.

    2) Penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu syarat untuk memenuhi tugas

    akhir guna memperoleh gelar S.H., pada Fakultas Syariah di IAIN Salatiga.

    D. Penegasan Istilah

    Untuk menghindari pemahaman yang kurang tepat terhadap judul diatas

    maka perlu ditegaskan kembali pengertian kata penting yang terdapat pada

    judul penelitian tersebut, diantaranya sebagai berikut :

    1. Hukum Islam seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah

    Rasul tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini

    mengikat untuk semua yang beragama islam (Syarifuddin, 2009: 6) .

    2. Jual beli adalah suatu akad menukar barang dengan barang atau barang

    dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari satu kepada yang lain

    atas dasar saling merelakan (Suhendi, 2008:67).

    3. Khiyar secara bahasa yakni kata nama dari ikhtiyar yang berarti mencari

    yang baik dari dua urusan baik meneruskan akad atau membatalkannya.

    Sedangkan menurut istilah khiyar yaitu mencari yang baik dari dua urusan

    baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya (Mardani, 2012: 105).

  • 8

    4. Pasar, dalam arti sempit adalah suatu tempat dimana pada hari tertentu para

    penjual dan pembeli dapat bertemu untuk jual beli barang. Sedangkan

    pengertian pasar dalam arti luas yaitu dimana pertemuan antara penjual dan

    pembeli untuk melaksanakan transaksi jual beli tidak lagi terbatas pada

    suatu tempat tertentu saja maupun pada hari tertentu (Gilarso, 2004:154).

    E. Tinjauan Pustaka

    Dalam melakukan pembahasan yang berkaitan dengan masalah ini,

    penulis banyak menemukan buku-buku maupun literatur-literatur yang

    berkaitan dengan pokok masalah ini yang dapat membatu penulis melakukan

    pembahasan. Adapun buku maupun literatur yang menyinggung tentang

    permasalahan khiyar dalam jual beli, diantaranya:

    Buku yang berjudul “Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam Pandangan

    Empat Madzhab” karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk

    (2010: 225). Dalam buku tersebut membahas tentang pengertian jual beli, dasar

    hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, bentuk jual beli serta khiyar.

    Buku yang berjudul “Fiqh Ekonomi Syariah” karya Mardani (2012: 107),

    buku ini membahas bentuk-bentuk khiyar menjadi tiga yaitu khiyar majlis,

    khiyar syarat, dan khiyar „aibi.

    Selain dari buku-buku diatas, masih ada banyak skripsi yang bertemakan

    tentang khiyar. Seperti skripsi yang ditulis oleh saudara Tachrir (2013) yang

    berjudul “Prinsip An taradin dalam Jual Beli Tanpa Khiyar”, menyimpulkan

    bahwa dalam setiap akad-akad muamalah, ijab dan qabul yang merupakan

    bentuk kerelaan (An taradin) diantara pihak-pihak yang melaksanakan akad

  • 9

    harus tetap dapat terlaksana perwujudannya. Maka dalam skripsi ini lebih

    fokus pada kaedah fiqh khiyar serta konsep kerelaan saja.

    Skripsi dari saudara Haddatul Waton (2016) yang berjudul “Jual Beli

    Kain Potongan (Studi Kasus di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur).

    Skripsi ini membahas tentang transaksi jual beli kain potongan secara online,

    agar tidak terjadi penipuan dalam jual beli maka kedua belah pihak

    menggunakan prinsip khiyar yang sesuai dengan ajaran Islam.

    Selain itu skripsi dengan judul “Pandangan Hukum Islam Terhadap

    Pelaksanaan Khiyar dan Garansi Pada Produk Elektronik (Studi di Servise

    Center Lenovo Semarang) yang ditulis oleh Nanang Taufik Masruri (2014).

    Hasil penelitian ini menyatakan bahwa praktik pelaksanaan khiyar pada garansi

    produk elektronik laptop lenovo diperbolehkan dalam hukum Islam, dengan

    catatan pihak produsen maupun pihak servise center memberikan informasi

    yang jelas dan lengkap kepada konsumen mengenai proses pelaksanaan garansi

    dan prosedur atau tata cara pengajuan klaim garansi, agar konsumen tidak

    tertipu akibat kurangnya informasi yang didapatkan dari produsen maupun

    pihak service center.

    Dengan demikian meskipun telah ada penelitian yang telah dilakukan

    sebelumnya yakni pemberian khiyar dalam jual beli pada satu transaksi jenis

    barang tersebut. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang

    sudah ada, bahwa peneliti mencari bentuk atau model khiyar dalam jual beli

    yang terjadi di Pasar Bandarjo Ungaran kemudian kami menganalisis berbagai

    bentuk-bentuk khiyar ini dalam perspektif hukum Islam.

  • 10

    F. Metode Penelitian

    Untuk melakukan penelitian yang baik, maka dibutuhkan metode yang

    jelas. Agar dalam penelitian ini dapat memberikan hasil yang maksimal, maka

    penulis mencoba memakai metode sebagai berikut :

    1. Jenis penelitian

    Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (field research)

    yaitu data yang diperoleh dengan dengan hasil pengamatan langsung di

    lapangan yakni, di Pasar Bandarjo Ungaran.

    2. Sifat penelitian

    Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk

    mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Didalamnya terdapat

    upaya-upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterprestasikan

    kondisi-kondisi yang saat ini terjadi (Tika, 2006: 57). Penelitian ini

    menggambarkan bentuk atau model khiyar dalam jual beli di Pasar

    Bandarjo Ungaran.

    3. Pendekatan penelitian

    Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis. Dengan

    tujuan untuk mendekati masalah-masalah yang ada, benar atau tidak sesuai

    dalam teori hukum Islam dengan cara mengamati bentuk khiyar dalam jual

    beli di Pasar Bandarjo Ungaran.

    4. Sumber data

    Adapun sumber data yang berhasil dikumpulkan penulis secara garis

    menjadi dua, diantaranya adalah

  • 11

    a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden atau

    objek yang diteliti (Tika, 2006: 57). Dalam hal ini data primer yang

    diperoleh peneliti bersumber dari pedagang dan pembeli di Pasar

    Bandarjo Ungaran.

    b. Data sekunder adalah data yang telah lebih dulu dikumpulkan dan

    dilaporkan oleh orang atau instansi diluar dari peneliti sendiri,

    walaupun yang dikumpulkan sebenarnya data asli (Tika, 2006: 58).

    Data sekunder ini dipeoleh dari buku-buku yang mempunyai relevansi

    dengan permasalahan yang akan dikaji dalam peneliti ini.

    5. Metode pengumpulan data

    Dalam usaha menghimpun data untuk penelitian ini digunakan beberapa

    metode, yaitu:

    a. Observasi

    Observasi adalah cara dan teknik pengumpulan data dengan

    melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap

    gejala atau fenomena yang ada pada objek penelitian (Tika. 2006: 58).

    Metode ini dilakukan untuk melihat model khiyar daalam jual beli di

    Pasar Bandarjo Ungaran dengan cara pengamatan secara langsung ke

    lokasi objek penelitian dan pencatatan secara sistematis terhadap

    fenomena-fenomena yang sedang diteliti.

    b. Wawancara (interview)

    Wawancara (interview) adalah metode pengumpulan data

    dengan cara Tanya jawab yang dikerjakan dengan sistematik dan

  • 12

    berlandaskan pada masalah, tujuan, dan hipotesis penelitian (Tika.

    2006: 62). Pada praktiknya telah disiapkan daftar pertanyaan untuk

    diajukan secara langsung kepada pedagang dan pembeli di Pasar

    Bandarjo Ungaran.

    c. Dokumentasi

    Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder

    dalam bentuk buku-buku dan data-data tertulis lain mengenai hal-hal

    yang berhubungan dengan permasalahan jual beli diatas.

    6. Analisis data

    Setelah data diperoleh, selanjutnya data tersebut akan dianalisa.

    Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

    metode kualitatif. Analisis kualitatif ini dipergunakan dengan cara

    menguraikan dan merinci kalimat-kalimat sehingga dapat ditarik

    kesimpulannya dengan jelas. Dalam menganalisa data dengan

    menggunakan teknik penalaran induktif yaitu suatu analisis dari hal-hal

    yang bersifat khusus ke hal yang bersifat umum (Surahmad, 1986: 139).

    Hal ini berkaitan dengan bentuk atau model khiyar dalam jual beli yang

    terjadi di Pasar Bandarjo Ungaran kemudian setelah data terkumpul,

    dianalisa dengan menggunakan teori tentang khiyar dalam jual beli dalam

    perspektif hukum Islam.

    G. Sistematika Pembahasan

    Untuk lebih mempermudah pembahasan ini, maka penulis

    mendeskripsikan sistematika pembahasan menjadi beberapa bab, diantaranya:

  • 13

    Bab pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini penyusun

    mengemukakan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,

    tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, kemudian

    diakhiri dengan sistematika pembahasan.

    Bab kedua, memuat tentang khiyar dalam jual beli. Bab ini mmerupakan

    landasan teori yang akan digunakan untuk membahas bab-bab selanjutnya. Bab

    ini meliputi konsep khiyar menurut islam yang mencakup pengertia jual beli,

    dasar hukum jual beli, pengertian khiyar, dasar hukum khiyar ,macam-macam

    khiyar, pengertian „urf dan macam-macam „urf.

    Bab ketiga, penulis uraikan tentang gambaran umum di Pasar Bandarjo

    yang meliputi sejarah berdirinya dan kondisi Pasar Bandarjo Ungaran.

    Kemudian Praktik Khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo Ungaran.

    Bab keempat yang merupakan analisis menyeluruh dari bab sebelumnya

    dengan analisis yang menyeluruh. Didalamnya meliputi analisa dari bentuk

    khiyar serta praktiknya dalam jual beli di Pasar Bandarjo Ungaran dalam

    perspektif hukum Islam.

    Selanjutnya, Bab kelima adalah akhir pembahasan yang memuat

    kesimpulan dari seluruh pembahasan dan saran-saran yang dianggap penting

    yang berhubungan dengan penelitian ini serta untuk tetap eksisnya nilai-nilai

    hukum Islam yang universal dalam kehidupan masyarakat.

  • 14

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Hukum Islam tentang Jual Beli

    1. Pengertian Jual Beli

    Perdagangan atau jual beli secara bahasa berasal dari bahasa arab al-

    Bai‟, al-Tijarah, al-Mubaladah artinya mengambil, memberikan sesuatu

    atau barter (Nawawi, 2012:75). Adapun pengertian jual beli secara istilah,

    sebagaimana yang akan dijelaskan dalam definisi-definisi berikut ini.

    Jual beli menurut Taqiyuddin yakni “saling menukar harta (barang)

    oleh dua orang untuk dikelola (ditasharafkan) dengan cara ijab dan qabul

    sesuai dengan syara” (al- Husaini, Juz 1:147). Sedangkan Jual beli

    menurut Wahbah az-Zuhaili adalah “saling tukar-menukar harta dengan

    cara tertentu” (az-Zuhaili, juz 4:147).

    Dari definisi-definisi diatas dapat dipahami inti jual beli adalah suatu

    perjanjian tukar-menukar benda (barang) yang mempunyai nilai atas dasar

    kerelaan (kesepakatan) antara dua belah pihak sesuai dengan perjanjian

    atau ketentuan yang dibenarkan oleh syara‟.

    Yang dimaksud dengan ketentuan syara‟ adalah jual beli tersebut

    dilakukan sesuai dengan persyaratan –persyaratan , rukun-rukun dan hal-

    hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli. Maka syarat-syarat dan rukun

    nya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara‟.

    Menurut pandangan fuqaha Malikiyyah, jual beli dapat

    diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu jual beli yang bersifat umum

  • 15

    dan jual beli yang bersifat khusus.Jual beli dalam arti umum yaitu suatu

    perikatan tukar-menukar sesuatu bukan kemanfaatan dan kenikmatan.

    Artinya sesuatu yang bukan manfaat ialah benda yang ditukarkan adalah

    beruapa dzat (berbentuk) dan ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi

    bukan manfaatnya atau bukan hasilnya (Suhendi, 2002:150).

    Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang

    mempunyai kriteria antara lain buka kemanfaatan dan bukan pula

    kelezatan, yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan

    bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika (tidak

    ditangguhkan), tidak merupakan hutang baik barang tersebut telah

    diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu (Suhendi,

    2002:150).

    2. Dasar Hukum Jual Beli

    Jual beli disyariatkan oleh dalil-dalil Al-quran dan sunnah perkataan

    serta sunnah perbuatan dan ketetapan Rasulullah saw, sebagai berikut:

    Dalam surat Al-Baqarah ayat 275 firman Allah SWT:

    بَا َم الرِّ ُ اْلبَْيَع َوَحرَّ َوأََحلَّ هللاَّ

    Artinya :”padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan

    riba”. (QS. Al-Baqarah:275)

    Firman yang lain :

    َنُكْم بِاْلَباِطِل ِإَلَّ َأْن َتُكوَن ِِتَارًَة َعْن تَ رَاٍض يَا أَي َُّها الَِّذيَن آَمُنوا ََل تَْأُكُلوا أَْمَواَلُكْم بَ ي ْ

    ِإنَّ اللََّو َكاَن ِبُكْم َرِحيًما ۚ َوََل تَ ْقتُ ُلوا أَنْ ُفَسُكْم ۚ ِمْنُكْم

  • 16

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan

    harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan

    yang berlaku atas suka sama suka diantara kamu dan janganlah kamu

    membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyanyang

    kepadamu (QS. An-Nisa: 29).

    Adapun landasan hukum jual beli yang berasal dari hadist Rasulullah

    Saw adalah sebagaimana sabdanya:

    ،،اضٍ رَ ت َ نْ عَ عُ يْ ا الب َ ّنََّ إِ

    Artinya: “Sesungguhnya sahnya jual beli atas dasar kerelaan”.

    Sedangkan para ulama telah sepakat mengenai kebolehan akad jual

    beli. Ijma ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia

    berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain dan

    kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun

    harus ada kompensasi sebgai imbal baliknya. Sehingga dapat

    disyari‟atkannya jual beli tersebut merupakan salah satu cara untu

    merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya

    manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dan bantuan

    orang lain (Djuwaini, 2008:73).

    Adapun landasan dari ijma yakni, Agama Islam melindungi hak

    manusia dalam pemilikan harta yang dimilikinya dan memberi jalan keluar

    untuk masing-masing manusia untuk memiliki harta orang lain dengan

    jalan yang telah ditentukan, sehingga dalam Islam prinsip perdagangan

    yang diatur adalah kesepakatan kedua belah pihak yaitu penjual dan

    pembeli. Sebagaimana yang telah digariskan oleh prinsip mu‟amalah

  • 17

    yaitu: Prinsip kerelaan, Prinsip bermanfaat, Prinsip tolong menolong dan

    Prinsip tidak terlarang (Ali, 2007: 144).

    Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa jual

    beli dengan tidak mengikuti ketentuan hukum Islam tidak diperbolehkan

    dan tidak sah, seperti terdapat hal penipuan dan kecurangan serta saling

    menjatuhkan dan dalam usaha jual beli atau perdagangan tersebut seperti

    halnya transaksi jual beli barang dan pedagang yang dalam hal ini tidak

    dapat dilaksanakan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati karena

    terjadinya likuidasi terhadap suatu bank yang berhubungan pada pihak

    penjual dan pembeli mengenai uang yang harus diterima pada waktu yang

    ditentukan.

    3. Rukun dan Syarat Jual Beli

    Dalam pelaksanaan rukun dan syarat jual beli diuaraikan dibawah ini:

    a. Rukun jual beli

    Dalam pelaksanaan jual beli ada lima rukun yang harus dipenuhi

    seperti dibawah ini (Nawawi, 2012:77).

    1) Penjual. Ia harus memiliki barang yang dijualnya atau mendapatkan izin

    untuk menjualnya, dan sehat akalnya.

    2) Pembeli. Ia disyaratkan diperbolehkan bertindak dalam arti ia bukan

    orang yang kurang waras tau bukan anak kecil yang tidak mempunyai

    izin untuk membeli.

  • 18

    3) Barang yang dijual. Barang yang dijual harus merupakan hal yang

    diperbolehkan dijual, bersih, bisa diserahkan kepada pembeli, dan bisa

    diketahui pembeli meskipun hanya dengan cirri-cirinya.

    4) Bahasa akad, yaitu penyerahan (ijab) dan penerimaan (qabul) dengan

    perkataaan, misalnya pembeli berkata, “aku jual barang ini kepadamu”.

    Atau ijab dan qabul dengan perbuatan, misalnya pembeli berkata “aku

    menjual pakaian ini kepadamu”, kemudian penjual memberikan pakaian

    yang dimaksud kepada pembeli.

    5) Kerelaan kedua belah pihak: penjual dan pembeli. Jadi, jual beli tidak

    sah dengan ketidakrelaan salah satu dari dua pihak.

    b. Syarat jual beli

    Syarat-syarat dalam jual beli diuraikan dibawah ini:

    1) Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad (ijab dan qabul). Ijab

    dari segi bahasa berarti “pewajiban atau perkenaan”, sedangkan qabul

    berarti “penerimaan”. Ijab dalam jual beli dapat dilakukan oleh

    pembeli atau penjual sebagaimana qabul juga dapat dilakukan oleh

    penjual atau pembeli. Ucapan atau tindakan yang lahir pertama kali

    dari salah satu yang berakad disebut ijab kemudian ucapan atau

    tindakan yang lahir susudahnya disebut qabul (Jamil, 2002:138).

    2) Syarat-syarat Aqid (penjual dan pembeli). Penjaul dan pembeli

    digolongkan sebagai orang yang berakad. Persyaratan yang harus

    dipenuhi penjual dan pembeli itu sama. Adapun syarat-syarat yang

    harus dipenuhi keduanya adalah sebagai berikut:

  • 19

    a) Keduanya telah cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam hukum

    islamdikenal istilah baligh (dewasa) dan berakal sehat.

    Berdasarkan syarat ini maka jual beli dibawah umur dan rang tidak

    berakal sehat menurut jumhur ulama tidak sah.

    b) Keduanya melakukan akad atas kehendak sendiri. Karena itu

    apabila akad jual beli dilakukan karena terpaksa baik secara fisik

    atau mental, maka menurut jumhur ulama, jual beli tersebut tidak

    sah (Huda, 2011:58). Hal tersebut sesuai dengan firman Allah:

    ۚ بِاْلَباِطِل ِإَلَّ َأْن َتُكوَن ِِتَارًَة َعْن تَ رَاٍض ِمْنُكْم

    “.. kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku atas dasar suka

    sama suka (QS An-Nisa:29).

    3) Syarat-syarat dalam ma‟qud alaih (objek akad). Ma‟qud alaih (objek

    akad) adalah barang yang diperjualbelikan. Para ulama telah

    menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus ada dalam ma‟qul

    alaih ada empat macam (az-Zuhaili, Juz 5: 3360). Adapun syarat-syarat

    tersebut adalah sebagai berikut:

    a) Barang yang dijual ada dan dapat diketahui ketika akad akad

    berlangsung. Apabila barang tersebut tidak diketahui, maka jual

    beli tersebut tidak sah. Untuk mengetahuinya barang yang akan

    dibeli perlu dilihat sekalipun ukurannya tidak diketahui.

    b) Benda yang diperjualbelikan merupakan barang yang berharga.

    Berharga yang di maksud adalah suci dan halal ditinjau dari aturan

    agama islam dan mempunyai manfaat bagi manusia.

  • 20

    c) Benda yang diperjualbelikan maerupakan milik penjual. Maka jual

    beli barang yang bukan milik penjual hukumnya tidak sah.

    d) Benda yang dijual dapat diserahterimakan pada waktu akad.

    Artinya benda yang dijual harus konkret dan ada pada waktu akad.

    Bentuk penyerahan benda dapat dibedakan menjadi dua macam

    yaitu pada benda yang bergerak dan benda tidak bergerak (Huda,

    2011:62-66) .

    B. Hukum Islam tentang Khiyar

    1. Pengertian Khiyar

    Khiyar secara bahasa yakni kata nama dari ikhtiyar yang berarti

    mencari yang baik dari dua urusan baik meneruskan akad atau

    membatalkannya. Sedangkan menurut istilah khiyar yaitu mencari yang

    baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya

    (Mardani, 2012: 105).

    Secara termonologi, para ulama fiqh telah mendefinisikan, antara

    lain menurut Sayyid Sabiq,

    ،،اءِ غَ لْ اَِل وْ أَ اءِ ضَ مْ اَْلِ نْ مِ نِ يْ رَ مْ لَ الْ رُ ي ْ خَ بُ لَ طَ وَ ىُ ارُ يَ الِ

    “khiyar yakni mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau

    meninggalkan jual beli (Sabiq, 1999:164).

    Dalam perdagangan atau jual beli dalam islam dibolehkan untuk

    memilih (khiyar), apakah penjual dan pembeli akan meneruskan atau

    membatalkannya. Khiyar suatu keadaan yang menyebabkan orang yang

    melakukan orang yang melakukan transaksi (aqid) memilih hak pilih

    untuk meneruskan transaksi atau akadnya, yakni menjadikan atau

  • 21

    membatalkan jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, khiyar aib, khiyar

    ru‟yah atau hendaknya memilih dua barang jika khiyar ta‟yin (Nawawi,

    2012:85).

    2. Dasar Hukum Khiyar

    a. QS. An-Nisa ayat 29, sebagaimana Firman Allah:

    َنُكْم بِاْلَباِطِل ِإَلَّ َأْن َتُكوَن ِِتَارًَة َعْن تَ رَاضٍ يَا أَي َُّها الَِّذيَن آَمُنوا ََل تَْأُكُلوا أَْمَواَلُكْم بَ ي ْ

    ِإنَّ اللََّو َكاَن ِبُكْم َرِحيًما ۚ َوََل تَ ْقتُ ُلوا أَنْ ُفَسُكْم ۚ ِمْنُكْم

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling

    memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan

    jalan perniagaan yang berlaku atas suka sama suka diantara kamu dan

    janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha

    Penyanyang kepadamu” (QS. An-Nisa: 29).

    b. Hadist

    بَا َنا بُ ْورَِك ََلَُما ِفْ بَ ْيِعِهَما َوِاْن َكَتَما وَكَ ذَّ قَا َوبَ ي َّ َعاِن بِا ْلَِياِر َما َلَْ يَ تَ َفرَّقَا, فَِاْن َصدَّ الب َ ي ْ

    ْت بَ رَْكُة بَ ْيِعِهَما )رواه البخاري ومسلم( قَّ ُمُِ

    Artinya : “Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan

    khiyar selama belum berpisah. Jika keduanya benar dan jelas maka

    keduanya diberkahi dalam jual beli mereka.Jika mereka

    menyembunyikan dan berdusta, maka akan dimusnahkanlah

    keberkahan jual beli mereka”. (HR.Bukhori Muslim)

    Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli

    hukumnya dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli

    terdapat cacat yang bisa merugikan kepada pihak pembeli (Muslich,

    2015: 218)..

  • 22

    c. Ijma‟ Ulama

    Menurut Abdurrahman al-Jaziri, status khiyar dalam pandangan

    ulama Fiqh adalah disyariatkan atau dibolehkan, karena suatu

    keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan

    masing-masing pihak yang melakukan transaksi (Syarifudin, 2009:

    213).

    Di abad modern yang serba canggih, dimana sistem jual beli

    semakin mudah dan praktis, masalah khiyar ini tetap diberlakukan,

    hanya tidak menggunakan katakata Khiyar dalam mempromosikan

    barang-barang yang dijualnya, tetapi dengan ukapan singkat dan

    menarik, misalnya: “Teliti sebelum membeli”. Ini berarti bahwa

    pembeli diberi hak Khiyar (memilih) dengan hati-hati dan

    cermatdalam menjatuhkan pilihannya untuk membeli, sehingga ia

    merasa puas terhadap barang yang benar-benar ia inginkan.

    3. Syarat-Syarat Khiyar

    Hak pilih (khiyar) dalam jual beli itu disyariatkan dalam masalah-

    masalah (Nawawi, 2012: 85) sebagai berikut:

    a) Jika penjual dan pembeli masih berada dalam satu tempat belum

    berpisah maka keduanya mempunyai hak khiyar untuk melakukan jual

    beli atau membatalkannya.

    b) Jika salah satu dari pembeli dan penjual mensyaratkan hak khiyar itu

    berlaku untuk waktu tertentu, kemudian keduanya menyepakatinya

  • 23

    maka keduanya terikat dengan hak khiyar hingga waktunya habis

    kemudian jual beli dilakukan.

    c) Jika penjual menipu pembeli dengan penipuan kotor dan penipuan

    tersebut mencapai sepertiga lebih, misalnya menjual sesuatu yang

    harganya sepuluh ribu dengan lima belas ribu atau dua puluh ribu,

    pembeli diperbolehkan membatalkan jual beli atau membeli dengan

    harga standar.

    d) Jika penjual merahasiakan barang dagangannya. Misalnya, ia

    keluarkan yang baik dan merahasiakan yang jelek atau

    memperlihatkan yang bagus dan menyembunyikan yang rusak maka

    pembeli mempunyai hak khiyar untuk membatalkan atau

    melangsungkannya.

    e) Jika terlihat cacat pada barang yang mengurangi nilainya dana

    sebelumnya tidak diketahui pembeli dan ia ridha dengannya ketika

    proses tawar-menawar, maka pembeli mempunyai hak khiyar.

    f) Jika penjual dan pembeli tidak sepakat dengan harga suatu barang atau

    sifatnya, maka keduanya bersumpah kemudian keduanya mempunyai

    hak khiyar antara melangsungkan atau membatalkan jual beli.

    g) Jika penjual dan pembeli tidak sepakat, sedang barang dagangan nya

    ada dan tidak ada bukti, maka keduanya bersumpah.

    4. Macam-Macam Khiyar

  • 24

    Menurut Wahbah az-Zuhaili ada tujuh belas macam khiyar, namun

    didalam kitabnya dia hanya menyebutkan enam macam khiyar yang

    popular, sebagaimana akan diterangkan berikut ini,

    a. Khiyar Majlis

    Khiyar majlis adalah setiap aqidain mempunyai hak untuk

    memilih antara meneruskan akad atau mengurungkannya sepanjang

    keduanya belum berpisah. Artinya suatu akad belum bersifat lazim

    (pasti) sebelum berakhirnya majlis akad yang ditandai dengan

    berpisahnya „aqidain atau dengan timbulnya pilihan lain. Namun

    khiyar majlis ini tidak berlaku pada setiap akad, melainkan hanya

    berlaku pada al-mu‟awadhah, al-maliya, seperti akad jual beli dan

    ijarah (Huda, 2011:41-42).

    : الَ قَ مَ لَ سَ وَ وِ يْ لَ عَ اللُ ىلَّ صَ ِبِّ النَّ نِ ، عَ وُ نْ عَ اللُ يَ ضِ ، رَ امٍ زَ حِ نَ بْ مَ يْ كِ َعْن حَ

    تْ قَ ُمُِ مَ تَ كَ ا َو بَ ذَ كَ نْ إِ ا وَ مَ هِ عِ يْ ب َ ِف امَ َلَُ كَ رِ وْ ا ب ُ نَ ي ْ ب َ ا وَ قَ دَ صَ نْ إِ ا فَ قَ رَّ فَ ت َ ي َ اَلَْ مَ ارِ يَ الِْ بِ انِ عَ ي ِّ الب َ

    ا"مَ هِ عِ يْ ب َ ةُ كَ َر ب َ

    Artinya :”Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan

    khiyar selama belum berpisah. Jika keduanya benar dan jelas maka

    keduanya diberkahi dalam jual beli mereka.Jika mereka

    menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkanlah

    keberkahan jual beli mereka”. (HR Bukhari dan Muslim)

    Maksud dari hadist di atas, bagi tiap-tiap pihak dari kedua belah

    pihak ini mempunyai hak antara melanjutkan atau membatalkan

    selama keduanya belum berpisah secara fisik.Jika keduanya bangkit

    dan pergi bersama-sama maka pengertian berpisah belum ada.

  • 25

    Pendapat yang paling kuat bahwa yang dimkasud berpisah disesuaikan

    dengan adat kebiasaan setempat (Sabiq, 1983:164)

    Adapun penjual dan pembeli sudah berpisah dari tempat akat

    tersebut hak khiyarnya sudah tidak berlaku lagi. Batasan khiyar majlis

    sebagai berikut:

    1) Ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa transaksi

    dapat menjadi lazim dengan adanya aib dan qabul, sebab tidak bisa

    hanya dengan transaksi hak pilih. Selain itu akan sempurna bila

    kedua belah pihak ada keridhaan.

    Ulama hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dua orang

    yang bertransaksi pada jual beli orang yang melakukan tawar-

    menawar sebelum bertransaksi atau tidak. Adapun maksud dari

    berpisah adalah berpisah dari segi ucapan secara badan.Bagi yang

    belum melakukan serah terima (ijab boleh menarik ucapannya

    sebelum qabul). Sementara bagi yang lainnya, penerima boleh

    memilih pakaian, ia akan menerima di tempat tersebut atau

    menolak.

    Ulama syafi‟iyah dan Hanafiyah berpendapat adanya khiyar

    majlis, bahwa jika pihak-pihak yang bertransaksi menyampaikan

    ijab dan qabul, transaksi tersebut termasuk boleh atau tidak lazim,

    keduanya masih berada di tempat atau belum berpisah badan.

    Keduanya masih memiliki kesempatan untuk membatalkan,

    menjadikan, atau saling berpikir (Nawawi, 2012:86-87).

  • 26

    b. Khiyar syarat

    Khiyar syarat adalah hak „aqidain untuk melangsungkan atau

    membatalkan akad selama batas waktu tertentu yang dipersyaratkan

    ketika akad berlangsung. Seperti ucapan seorang pembeli “saya beli

    barang ini dengan hak khiyar untuk diriku dalam sehari atau tiga hari”

    (Huda, 2011: 43). Maka Rasulullah bersabda:

    َعْن اَنَِّس قاَل:هنى َرُسْوُل الِل َصلَّى الل َعَلْيِو َسَلَم، أَْنَت بِاْلَِياِر ِِف ُكلِّ ِسْلَعٍة ابْ تَ ْعتَ َها

    َثَلَث لََياٍل )رواه البيهقي(

    Artinya:”Kamu boleh khiyar (memilih) pada setiap benda yang telah

    dibeli selama tiga hari tiga malam”. (HR Baihaqi)

    Para ulama mazhab mengemukakan pendapat yang berkaitan

    dengan khiyar syarat, sebagai berikut:

    a) Mazhab Hanafiyah, Zafar, dan Syafi‟iyah, khiyar syarat

    diperbolehkan dengan menentukan jangka waktu secara pasti, tidak

    boleh lebih dari tiga hari karena sebenarnya khiyar ini tidak

    diperbolehkan dengan alasan khiyar ini pemindahan pemilikan dan

    kelaziman jual beli.

    b) Mazhab Hambali membolehkan khiyar syarat dengan batas waktu

    yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, kurang atau lebih

    dari tiga hari.

    c) Mazhab Malikiyah memberikan kriteria sesuai dengan komoditas

    yang ditransaksikan. Jika berupa buah-buahan waktunya tidak

    boleh lebih dari satu hari, untuk pakaian dan kendaraan biasa dalam

  • 27

    jangka waktu tiga hari dan untuk rumah atau tanah bisa satu bulan.

    Jika jangka waktu telah habis maka jual beli jadi lazim (Nawawi,

    2012:87).

    Khiyar syarat akan berakhir jika dengan salah satu dari sebab-sebab

    dibawah ini:

    a) Terjadi penegasan pembatalan atau penetapan akad.

    b) Batas waktu khiyar telah berakhir.

    c) Terjadi kerusakan pada obyek akad. Jika kerusakan tersebut terjadi

    dalam penguasaan pihak penjual maka akadnya batal dan

    berakhirnya khiyar. Namun jika kerusakan tersebut terjadi dalam

    penguasaan pembeli maka berakhirlah khiyar, akan tetapi tidak

    membatalkan akad.

    d) Terjadi penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak

    pembeli baik dari segi jumlah, seperti beranak, bertelur, atau

    mengembang.

    e) Wafatnya Sahib al-khiyar. Pendapat tersebut menurut pandangan

    Mazhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan menurut Mazhab Syafi‟I

    dan Maliki bahwa hak khiyar dapat berpindah kepada ahli waris

    menggantikan shahib al-khiyar yang wafat (Huda, 2011: 44).

    c. Khiyar „Aib

    Khiyar „aib adalah hal yang dimiliki oleh salah seorang dari

    „aqidain untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia

    menemukan cacat pada obyek akad yang mana pihak lain tidak

  • 28

    memberitahukannya pada saat akad (Huda, 2011:44). Khiyar „aib ini

    didasarkan pada sebuah hadis Rasulullah Saw:

    ََِ ََل مِ لِ سْ مُ الْ وْ خُ أَ مُ لِ سْ مُ الْ ،،،وُ لَ وُ نَ ي َّ ب َ َلَّ اِ بٌ يْ عَ وِ يْ ا فِ عً ي ْ ب َ وِ يْ خِ أَ نْ مِ اعَ بَ مٍ لِ سْ مُ لِ لُّ

    Artinya :“seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka

    tidak halal bagi seorang muslim menjual (barang) yang mengandung

    cacat („aib) kepada saudanya kecuali jika dia menjelaskan (adanya

    cacat) kepadanya”.(HR Ibn Majah dari „Uqbah ibn „Amir)

    Hak khiyar komoditas yang cacat (khiyar „aib) dapar dilakukan

    dengan ketentuan sebagai berikut:

    1) Cacat sudah ada ketika hak pilih dilakukan sebelum terjadinya

    serah terima. Jika cacat muncul setelah serah terima maka tidak

    ada hak khiyar.

    2) Cacat melekat pada komoditas setelah diterima oleh pembeli.

    3) Pembeli tidak mengetahui cacat atas komoditas yang

    ditransaksikan baik setelah melakukan transaksi maupun setelah

    menerimanya.

    4) Tidak ada persyaratan perubahan dari cacat dalam transaksi jual

    beli, jika disyaratkan maka hak khiyar gugur.

    5) Cacat masih tetap pada sebelum terjadinya pembatalan transaksi

    (Nawawi, 2012: 88).

    Hak khiyar „aib ini berlaku semenjak pihak pembeli mengetahui

    adanya cacat setelah berlangsung akad. Adapun mengenai batas waktu

    untuk menuntut pembatalan akad terdapat perbedaan pendapat

    dikalangan fuqaha. Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, batas waktu

    berlakunya, berlaku secara tarakhi. Artinya pihak yang dirugikan tidak

  • 29

    harus menuntut pembatalan akad ketika dia mengetahui cacat tersebut.

    Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi‟iyah batas waktunya secara

    faura (seketika). Artinya pihak yang dirugikan harus segera

    menggunakan hak khiyar secepat mungkin. Jika dia mengulur-ulur

    waktu tanpa memberikan alasan, maka hak khiyar menjadi gugur dan

    akad dianggap telah lazim (pasti).

    Hak khiyar „aib gugur apabila berada dalam kondisi berikut ini:

    1) Pihak yang dirugikan merelakan setelah dia mengetahui cacat

    tersebut.

    2) Pihak yang dirugikan sengaja tidak menuntut pembatalan akad.

    3) Terjadi kerusakan atau terjadi cacat baru dalam penguasaan pihak

    pembeli.

    4) Terjadi pengembangan atau penambahan dalam penguasaan pihak

    pembeli baik dari sejumlah seperti beranak atau bertelur maupun

    segi ukuran seperti mengembang (Huda, 2011: 25-46).

    d. Khiyar Ru‟yah

    Khiyar Ru‟yah adalah hak pembeli untuk membatalkan atau

    tetap melangsungkan akad ketika dia melihat obyek akad dengan

    syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya

    dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah

    terjadi perubahan atasnya (Huda, 2011: 46).

    Konsep khiyar ini disampaikan oleh para fuqaha Hanafiyah,

    Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus benda gaib (tidak

  • 30

    ada ditempat) atau benda yang belum pernah diperiksa. Namun

    menurut Syafi‟iyah, khiyar ru‟yah ini tidak sah dalam proses jual beli

    karena menurutnya jual beli barang yang gaib sejak mula dianggap

    tidak sah (Huda, 2011: 46-47).

    Adapun landasan hukum mengenai khiyar ru‟yah sebagaimana

    diterangkan dalam sebuah hadist:

    )رواه الدارقطىن( هُ آرَ اذَ اِ ارِ يَ ا لِْ بِ وَ هُ ف َ اهُ رَ ي َ ا َلَْ ئً يْ ى شَ رَ ت َ اشْ نِ مَ

    “Barang siapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya,

    maka baginya hak khiyar ketika melihatny”.(HR Dar al-Quthni dari

    Abu Hurairah).

    Akad seperti ini menurut mereka boleh terjadi disebabkan objek

    yang akan dibeli itu tidak ada ditempat berlangsungnya akad, atau

    karena sulit dilihat seperti ikan kaleng (sardencis). Khiyar ru‟yah

    menurut mereka, mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang

    akan dibeli.

    e. Khiyar Ta‟yin

    Khiyar ta‟yin adalah hak yang dimiliki oleh pembeli untuk

    memastikan pilihan atas sejumlah benda sejenis atau setara sifat atau

    harganya (Huda, 2011: 43). Keabsahan khiyar ta‟yin menurut mazhab

    Hanafi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

    1) Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek akad.

    2) Sifat dan nilai benda-benda yang menjadi obyek pilihan harus

    setara dan harganya harus jelas. Jika nilai dan sifat masing-masing

    benda berbeda jauh, maka khiyar ta‟yin ini menjadi tidak berarti.

  • 31

    3) Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih dari tiga hari.

    Adapun Imam Syafi‟I dan Ahmad Ibn Hanbal menyangkal

    keabsahan khiyar ta‟yin ini dengan alasan bahwa salah satu syarat

    obyek akad adalah harus jelas (Huda, 2011: 43).

    f. Khiyar Naqd (pembayaran)

    Khiyar Naqd tersebut terjadi apabila ada dua pihak melakukan

    jual beli dengan ketentuan jika pihak penjual tidak mau menyerahkan

    barang dalam batas waktu tertentu. Maka pihak yang dirugikan

    mempunyai hak untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad

    (Huda, 2011: 47).

    5. Cara Penggunaan khiyar

    Dalam jual beli agar dimaklumi adanya hak pilih (khiyar) antara pembeli

    dan penjual. Hal ini dengan cara sebagai berikut:

    a. Pengguguran dengan jelas adalah pengguguran bagi orang yang

    mempunyai hak khiyar dengan kata-kata seperti ini “saya batalkan hak

    pilih saya dengan suka rela (ridha)”.

    b. Pengguguran dengan cara dilalah, yaitu adanya kreativitas dengan

    barang tersebut (tasharuf) dari pelaku khiyar yang menunjukan jual

    beli tersebut jadi dilakukan, seperti pembeli menghibahkan barang

    tersebut kepada orang lain atau sebaliknya, pembeli mengembalikan

    pembeliannya pada penjual. Pembeli menyerahkan kembali barangnya

    pada penjual dan menunjukan bahwa ia membatalkan jual belinya.

  • 32

    c. Penggunaan hak pilih (khiyar) dengan kemadharatan. Dalam sistem

    transaksi jual beli yang memperbolehkan adanya hak pilih (khiyar)

    merupakan akad yang tidak lazim jika akad tersebut dibatalkan. Cara

    menggunakan khiyar itu ada tiga pola, yaitu sebagai berikut:

    1) Habis waktu. Khiyar dapat gugur setelah habis waktu yang telah

    ditetapkan walaupun tidak ada pembatalan dari yang khiyar.

    2) Kematian orang yang memberikan syarat hak khiyar, baik penjual

    maupun pembeli.

    3) Adanya berbagai hal yang semakna dengan kematian, mislanya

    gila, mabuk, dan lain-lain.

    4) Barang rusak ketika masih waktu adanya hak khiyar, apakah

    komoditasnya masih dipegang oleh penjual atau pembeli dengan

    penjelasan sebagai berikut:

    a) Jika barangnya masih ditangan penjual, batallah jual beli dan

    hak pilih menjadi gugur.

    b) Jika barang sudah ditangan pembeli, jual beli dianggap batal

    jika khiyar berasal dari penjual, bahkan pembeli harus

    menggantinya.

    c) Jika barang sudah ditangan pembeli dan khiyar berasal dari

    pembeli, jual beli menjadi lazim dan jual beli menjadi gugur.

    d) Menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanafiyah jika barang rusak

    dengan sendirinya, maka khiyar gugur dan jual beli batal.

  • 33

    5) Adanya barang cacat. Dalam masalah ini ada beberapa penjelasan

    sebagai berikut:

    a) Jika khiyar berasal dari penjual dan cacat terjadi dengan

    sendirinya , khiyar gugur dan jual beli juga batal akan tetapi,

    jika cacat karena pembeli atau orang lain, maka khiyar tidak

    gugur dan pembeli bertanggung jawab atas kerusakannya.

    Begitu pula jika orang lain yang merusaknya ia bertanggung

    jawab atas kerusakannya.

    b) Bila khiyar berasal dari pembeli dan ada cacat maka khiyar

    gugur, sebab barang sudah berada ditangan pembeli (Nawawi.

    2012:88-89).

    6. Hikmah Khiyar

    Diantara hikmah khiyar sebagai berikut (Ghazali dkk, 2010:104):

    a. Khiyar dapat membuat akad jual beli berlangsung menurut prinsip-

    prinsip Islam, yaitu suka sama suka antara penjual dan pembeli.

    b. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan akad jual beli,

    sehingga pembeli mendapat barang yang baik atau yang benar-benar

    disukainya.

    c. Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli, dan

    mendidiknya agar bersikap jujur dalam menjelaskan keadaan

    barangnya. Menjelaskan keadaan barang seperti kualitas, warna, berat,

    dan yansg lainnya dengan tidak menyembunyikan barang yang

    cacat/aib.

  • 34

    d. Terhindar dari unsur-unsur penipuan, baik dari pihak penjual maupun

    pembeli, karena tidak ada kehatihatian dalam proses jual beli.

    e. Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih kasih

    antar sesama. Adapun ketidakjujuran atau kecurangan pada akhirnya

    akan beraibat dengan penyesalan, dan penyesalan di salah satu pihak

    biasanya dapat mengarah kepada kemarahan, kedengkian, dendam, dan

    akibat buruk lainnya.

    Demikianlah hak khiyar itu memang perlu digunakan dalam jual

    beli. Karena tidak akan merugikan kedua belah pihak ketika pembeli

    merasa barang dibelinya itu tidak sesuai. Sehingga terjadinya jual beli

    tidak mengandung unsur paksaan.

    C. Hukum Islam tentang ‘Urf

    1. Pengertian Urf

    „Urf secara etimologi berasal dari kata „araf َعَرف, yu‟rifu ِرفيع . Sering

    diartikan dengan al-ma‟ruf ْلَمْعُرْوفا dengan arti “sesuatu yang dikenal” atau

    berarti “yang baik”. Ulama ushul fikih membedakan antara adat dengan „urf

    dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan

    hukum syara‟. Adat didefinisikan dengan:

    ةٍ يَّ لِ قْ عَ ةٍ اَْْلَْمُر اْلُمَتَكرُِّر ِمْن َغْْيِ َعَلقَ

    “Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan

    rasional.”

  • 35

    „Urf adalah sesuatu yang dikenal oleh masyarakat dan merupakan

    kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Atau

    kebiasaan atau hukum yang bersifat kedaerahan yang dapat saja bersanding

    dengan hukum Islam (Jumantoro dan Amin, 2005:333-334).

    Menurut Al-Ghazali „Urf diartikan dengan: “keadaan yang sudah tetap

    pada jiwa manusia, dibenarkannya oleh akal dan diterima pula oleh tabiat

    yang sejahtera.

    Adapun Badran mengartikan „Urf dengan :”Apa-apa yang dibiasakan dan

    diakui oleh orang banyak,baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan berulang-

    ulang dilakukan berbekas dalam jiwa mereka dan diterima baik oleh akal

    mereka (Jumantoro dan Amin, 2005:335).

    2. Macam-Macam ‘Urf

    Dilihat dari segi obyeknya, urf dibagi menjadi dua, yaitu urf lafzhi dan

    urf amali (Suwarjin, 2012:149).

    a. Urf lafzhi ialah kebiasaan masyarakat dalam mempermudah lafaz tertentu

    dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang

    dipahami dan terlintas di pikiran masyarakat.

    Contohnya: Ungkapan “daging” mencakup seluruh daging yang ada.

    Apabila seseorang penjual daging, sedangkan penjual daging itu

    memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli

    daging satu kilogram,” pedagang tersebut lalumengambil daging sapi,

    karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan

    kata daging pada daging sapi.

  • 36

    Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain

    maka tidak dinamakan „urf. Misalnya, seseorang datang dalam keadaan

    marah dan ditangannya ada tongkat kecil, seraya saya berucap “jika saya

    bertemu dia saya akan bunuh dengan tongkat ini. ”Dari ini dipahami yang

    dia maksud dengan membunuh tersebut adalah memukulnya dengan

    tongkat. Ungkapan seperti ini, tidak dinamakan „urf akan tetapi termasuk

    majaz (Jumantoro dan Amin, 2005:338).

    b. „Urf Amali adalah „urf yang berupa perbuatan. „Urf amali adalah

    kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau

    muamalah keperdataan. Adapun yang dimaksud perbuatan biasa adalah

    perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak

    terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada

    hari tertentu dalam satu minggu.

    Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan

    masyarakat dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Contoh

    lain jual beli masayarakat yang tanpa mengucapkan shighat akad jual beli.

    padahal menurut syara‟, shigat jual beli itu merupakan salah satu rukun

    jual beli. tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat

    melakukan jual beli tanpa shigat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang

    tidak diinginkan maka syara‟ membolehkannya. Contoh lain adalah

    kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesame teman tanpa adanya

    ucapan meminta dan memberii, hal ini tidak dianggap mencuri

    (Jumantoro dan Amin, 2005:336).

  • 37

    Dari segi cakupannya „urf dibagi menjadi dua, yaitu „urf amm dan „urf khas

    (Suwarjin, 2012:150).

    a. „Urf Amm adalah „urf yang berlaku pada suatu tempat, masa, dan

    keadaan. Atau kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh

    masyarakat dan seluruh daerah (Jumantoro dan Amin, 2005:337).

    Contohnya seperti memberi hadiah kepada orang yang telah

    memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada

    orang yang telah membantu kita. Pengertian hadiah ini dikecualikan bagi

    orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa

    itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa

    berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada seperti hubungan

    penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang

    menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat yang dilayani.

    b. „Urf Khas, adalah „urf yang hanya berlaku pada tempat, masa. Dan

    keadaan tertentu saja. Atau kebiasaan yang berlaku di daerah dan

    masyarakat tertentu (Jumantoro dan Amin, 2005:337).

    Contohnya mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan leh

    bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan

    ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada Negara-negara Islam lain

    tidak dibiasakan.

    Dilihat dari segi diterima atau ditolaknya „urf dibagi dua yaitu „urf shahih dan

    „urf fasid (Suwarjin, 2012:151).

  • 38

    a. „Urf Shahih adalah „urf yang baik dan dapat diterima karena tidak

    bertentangan dengan syara‟. Atau kebiasaan yang berlaku di tengah-

    tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat al-Quran

    atau Hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula

    membawa mudharat kepada mereka (Jumantoro dan Amin, 2005:339).

    Contohnya mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad

    nikah dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan

    tidak bertentangan denga syara‟.

    b. „Urf Fasid adalah „urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena

    bertentangan dengan syara‟. Atau kebiasaan yang bertentangan dengan

    dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟

    (Jumantoro dan Amin, 2005:337).

    Contohnya kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau

    suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima karena

    berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan Islam. Atau kebiasaan

    yang terjadi di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba seperti

    peminjaman uang anatara sesama pedagang.

    Hukum „urf yang shahih harus dipelihara dan dilestarikan sebagai bagian

    dari hukum Islam. Sedangkan urf fasid harus ditinggalkan karena

    bertentangan dengan dalil dan semangat hukum Islam dalam membina

    masyarakat (Suwarjin, 2012:151).

  • 39

    3. Kehujjahan ‘Urf

    Para ulama memandang „urf sebagai salah satu dalil untuk

    mengistinbathkan hukum islam. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ucapan

    ulama, misalnya:

    ةُ مَ كَّ ُمَُ ةُ ادَ العَ (Adat-istiadat itu dapat dijadikan hukum).

    طاملعروف عرفا كا ملشروطشر ا (sesuatu yang telah dikenal kebaikannya oleh „urf,

    itu seperti sesuatu yang disyaratkan).

    Ada juga sebagian ulama yang memperkuat kehujjahan „urf dengan dalil

    Al-Quran dan Hadist. Mereka mengemukakan ayat 199 ayat al-A‟raf sebagai

    dalilnya

    ,,ْيَ ْض َعِن اْْلَاِىلِ ُخِذ الَعْفَو َوْأُمْر بِا ْلُعْرِف َوأَْعرِ

    Artinya: “jadilah engkau pema‟af dan suruhlah orang mengerjakan yang

    ma‟ruf dan berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.

    Melalui ayat di atas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk

    mengerjakan yang ma‟ruf. Sedangkan yang disebut ma‟ruf itu sendiri ialah

    yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-

    ulang dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar dan

    dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran islam.

    Dan juga ucapan sahabat Rasulullah SAW, Abdullah bin Mas‟ud r.a.:

    ءُ آا رَ مَ فَ ُ

    ،، اللِ دَ نْ عِ وَ هُ ا ف َ نً سَ حَ نَ وْ مُ لِ سْ امل

    Artinya: “Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula

    di sisi Allah.

  • 40

    Berdasarkan diatas menunjukan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik itu

    berlaku didalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan syariat

    Islam, yakni sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu kebiasaan

    semacam itu patut dijaga dan dipelihara.

    Di samping dalil-dalil di atas, para ulama yang menggunakan „urf

    sebagai dalil mengemukakan beberapa argument kehujjahan urf:

    a. Kita mendapati Allah meresipir orang Arab yang dipandang baik. Seperti

    diakuinya beberapa sitem perdagangan dan perserikatan, baik berupa jual

    beli, mudharabah, ijarah, salam dan lain-lain. Beberapa jenis transaksi

    tersebut menunjukan bahwa Allah melestarikan urf shahih yang sesuai

    dengan kemaslahatan manusia.

    b. „Urf pada dasarnya disandarkan kepada salah satu dalil-dalil syara‟ yang

    mu‟tabarah, seperti ijma‟, maslahah mursalah dan sad al-zharai‟. Di

    antara „urf yang disandarkan pada ijma‟ misalnya akad istishna‟.

    kebolehan istishna telah menjadi ijma‟ ulama, dan ijma‟ ulama adalah

    dalil yang mu‟tabar.

    c. Para ulama dari masa ke masa telah menggubakan ijma‟ sebagai

    dalil/hujjah hukum Islam. Hal ini menunjukan bahwa para ulama

    mengakuinya sebagai dalil (Suwarjin, 2012: 151-153).

    4. Syarat-Syarat ‘Urf

    Oleh karena itu „urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri

    melainkan tergantung oleh dalil asli hukum syara‟, maka ada sejumlah

    persyaratan yang harus dipenuhi bagi penggunaan „urf tersebut, yaitu:

  • 41

    a. „Urf tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan masyarakat.

    Maksudnya kebiasaan sejumlah orang tertentu dalam masyarakat tidak

    dapat dikatakan „urf. Adanya sejumlah lain yang tidak melakukan

    kebiasaan itu menunjukan adanya pertentangan dalam masyarakat itu

    sendiri dalam memandang kebiasaan tersebut. jika demikian, berarti

    kebaikan dari kemaslahatan itu hanya diterima oleh sebagian masyarakat,

    sedang sebagian menolaknya. Karenanya „urf semacam itu belum dapat

    dijadikan hujjah.

    b. „Urf tersebut harus masih tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan

    pada „urf tersebut diterapkan. Jika urf telah berubah, maka hukum tidak

    dapat dibangun diatas „urf tersebut.

    c. Tidak terjadi kesepakatn untuk tidak memberlakukan „urf oleh pihak-

    pihak yang terlibat di dalamnya. Misalnya kalau dua orang membuat

    kontrak, dan di dalam kontraknya itu dia sepakat untuk tidak

    menggunakan „urf tetapi menggunakan hukum lain yang disepakatinya,

    maka „urf dalam hal ini tidak mengikat pihak-pihak tertentu.

    d. „Urf tersebut tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-prinsip umum

    syariat (Suwarjin, 2012:154).

    5. Hukum ‘Urf

    Hukum „urf yang shahih maka wajib dipelihara baik dalam pembentukan

    hukum atau dalam peradilan. Seorang mujtahid harus memperhatikan tradisi

    dalam pembentukan hukumnya. Seorang hakim juga harus memperhatikan

    „urf yang berlaku dalam peradilannya. Karena sesuatu yang telah menjadi

  • 42

    adat manusia dan telah biasa dijalani, maka hal itu termasuk bagian dari

    kebutuhan mereka, menjadi kesepakatan serta dianggap sebagai

    kemaslahatan. Jadi selama tidak bertentangan dengan syara‟, maka wajib

    diperhatikan. Syari‟ telah memelihara tradisi bangsa Arab dalam

    pembentukannya. Oleh karena itu, maka ulama berkata:

    ،،ةُ مَ كَّ ُمَُ ةَ عَ ي ْ رِ شَ ةُ ادَ العَ

    “Adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum”

    „Urf mendapat pengakuan berdasarkan syara‟.Imam Malik banyak

    mendasarkan hukumnya pada perbuatan penduduk madinah. Abu Hanifah

    dan para pengikutnya berbeda pendapat mengenai sejumlah hukum

    berdasarkan perbedaan „urf mereka. Imam Syafi‟I ketiak berada di Mesir, ia

    mengubah sebagian hukum yang pernah ditetapkan ketika berada di Baghdad,

    hal tersebut karena perbedaan „urf.

    Demikian pula di dalam fiqh mazhab Hanafiyyah terdapat sejumlah

    hukum yang didasarkan atas „urf. Di antaranya, apabila ada dua orang saling

    mendakwa dan salah satu dari mereka tidak bisa mendatangkan saksi, maka

    perkataan yang diterima adalah orang yang disaksikan oleh „urf.

    Persyaratan dalam suatu perjanjian itu dianggap sah, apabila ada

    pengakuan oleh syara‟, atau karena tuntunan perjanjian itu sendiri, dank arena

    adanya „urf di masyarakat.

    Hukum yang didasarkan atas „urf dapat berubah berdasarkan perubahan

    masa dan tempat. Karena hukum cabang akan berubah sebab perubahan

    hukum pokoknya. Oleh karena itulah, dalam perbedaan pendapat semacam

  • 43

    ini, fuqaha mengatakan “sesungguhnya perbedaan tersebut adalah perbedaan

    masa dan zaman, bukan perbedaan hujjah dan dalil”.

    Hukum yang didasarkan atas „urf bukan merupakan suatu dalil syari‟

    yang berdiri sendiri. Pada umumnya „urf hanya didasarkan pada pemeliharaan

    mashlahah mursalah. „Urf sebagaimana bisa ditetapkan sebagai hukum

    syara‟, ia juga harus dijaga dalam menginterpretasikan nash-nash Al-Quran.

    Dari itu „urf dapat digunakan untuk mentakhshiskan lafal yang „amm

    (umum) dari membatasi hukum yang mutlak. Qiyas juga terkadang

    ditinggalkan, karena berlakunya „urf. Oleh karena itu perjanjian produksi itu

    sah, karena berlakunya „urf.Jika di qiyaskan tentu tidak sah, karena

    merupakan atas segala sesuatu yang tidak ada (Khallaf, 2014: 149-152).

  • 44

    BAB III

    PRAKTIK KHIYAR DI PASAR BANDARJO UNGARAN

    A. Gambaran Umum Pasar Bandarjo Ungaran

    Pasar Bandarjo Ungaran merupakan salah satu pusat perekonomian

    terpenting di Kabupaten Semarang, yaitu sebagai salah satu pusat

    pembelanjaan tradisional bagi sebagian besar masyarakat Kabupaten

    Semarang. Seiring dengan meningkatnya tuntutan pemenuhan kebutuhan

    masyarakat Kabupaten Semarang, maka Pasar Bandarjo Ungaran turut

    mengalami perkembangan dari pembelajaan tradisional ke arah perdagangan

    modern terbukti dengan terdapatnya komplek pertokoan atau plaza modern

    yang ikut melengkapi kawasan perniagaan tersebut.

    Sebagai salah satu pusat kegiatan perekonomian, maka aktivitas utama

    yang terjadi adalah perdagangan.Pasar Bandarjo Ungaran memberikan segala

    kebutuhan yang diperlukan di masyarakat. Segala aktivitas yang berjalan di

    Pasar Bandarjo Ungaran antara lain adalah:

    1. Aktivitas perdagangan yang meliputi barang kebutuhan primer sehari-

    hari.

    2. Aktivitas perdagangan untuk kebutuhan barang sekunder seperti

    kebutuhan rumah tangga, pakaian jadi, alat-alat elektronik serta

    kebutuhan lainnya didapati terjadi pada plaza atau komplek pertokoan

    yang juga berada di kawasan tersebut.

    3. Aktivitas jasa pelayanan transportasi seperti ojek dan mobil angkutan

    umum juga banyak terdapat di sekitar kawasan pasar.

  • 45

    Untuk Jumlah pedagang yang terdaftar di Pasar Bandarjo Ungaran terbagi

    menjadi empat kelompok, yaitu terdiri dari pedagang los dalam, pedagang

    kios, pedagang pagi. Semuanya itu aktivitasnya disini kisaran kurang lebih

    dari 1000 pedagang, jadi bisa kurang atau lebih dari 1000 pedagang.

    Pasar Bandarjo Ungaran berdiri pada tahun 1987.Pasar Bandarjo terletak

    di Jalan Gatot Subroto, Desa Bandarjo Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten

    Semarang.Jalan Gatot Subroto merupakan jalan arteri primer arah Semarang-

    Solo.Letaknya yang strategis dan kondisi bangunan yang memadahi

    menjadikan pasar ini cepat berkembang menjadikan Pasar Bandarjo Ungaran

    didatangi oleh para pengunjung.

    Adapun batas-batas Pasar Bandarjo Ungaran sebagai berikut:

    a. Sebelah Utara dibatasi dengan perkampungan.

    b. Sebelah Selatan dibatasi dengan perumahan.

    c. Sebelah Barat dibatasi dengan jalan arteri Semarang-Solo.

    d. Sebelah Timur dibatasi dengan perkampungan.

    Pasar Bandarjo Ungaran mempunyai luas pasar mencapai 8.580 m2

    dengan terdapat berbagai 160 blok los beserta fasilitas umum didalamnya

    seperti mushola, kamar mandi, dan tempat parker. Berikut ini merupakan

    jumlah kios dan los yang ada di Pasar Bandarjo Ungaran yang sudah

    dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Semarang dengan bangunan

    permanen.Dari waktu jaman dahulu dengan bangunan sederhana hingga dari

    jaman modern perubahan konstruksi bangunan yang seperti sekarang ini

    (Wawancara, 06 Mei 2018).

  • 46

    Tabel 3.1

    Jenis-Jenis Bangunan di Pasar Bandarjo Ungaran

    Jenis Bangunan Jumlah Keterangan

    Kios

    Los

    Kantor Pasar

    Mushola

    Toilet

    160

    798

    1

    2

    4

    Kios dibagi menjadi tiga ukuran

    Jumlah los 798 dengan berbagai

    jenis penjual

    -

    -

    -

    Berikut merupakan jumlah kios yang ada di Pasar Bandarjo Ungaran dengan

    berbagai ukuran yaitu sebagai berikut.

    Tabel 3.2

    Jumlah Kios di Pasar Bandarjo Ungaran

    No Ukuran Kios Jumlah Kios

    1

    2

    3

    Ukuran 4m x 4m

    Ukuran 4m x 3m

    Ukuran 4m x 6m

    64

    22

    74

    Jumlah 160

    Jumlah kios di Pasar tersebut mencapai 160 dan terbagi menurut ukuran

    masing-masing

  • 47

    Tabel 3.3

    Jumlah Los di Pasar Bandarjo Ungaran

    No Los Jumlah Luas

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    11

    12

    13

    14

    15

    16

    17

    Los Gerabah

    Los Roti

    Los Klontong

    Los Pakaian

    Los Sepatu atau Sandal

    Los Plastik

    Los Sembako

    Los Ikan Asin

    Los Daging

    Los Kerupuk

    Los Tahu atau Tempe

    Los Makanan Kecil

    Los Bumbu

    Los Kelapa

    Los Buah

    Los Sayur

    Los Pindang

    27

    66

    37

    55

    31

    14

    203

    18

    56

    7

    66

    14

    38

    37

    25

    92

    12

    125,5 m2.

    201 m2.

    130,5 m2.

    164,5 m2.

    90,5 m2.

    49,5 m2.

    1050,0 m2.

    85,5 m2.

    224 m2.

    15 m2.

    165 m2.

    33,5 m2.

    97 m2.

    92,2 m2.

    63,1 m2.

    203,5 m2.

    29 m2.

    Jumlah 798 -

    Seperti yang terlihat tabel di atas jumlah los di Pasar tersebut mencapai

    798 los dengan berbagai jenis penjual di dalamnya. Los gerabah dengan luas

    12,5 m2 yang ditempati oleh 27 pedagang. Los roti dengan luas 201 m2 yang

    ditempati oleh 66 pedagang. Los klontong dengan luas 164,5 m2 ditempati

    oleh 37 pedagang. Los pakaian dengan luas 164,5 m2 ditempati oleh 55

    pedagang. Los sepatu atau sandal dengan luas 90,5 m2 ditempati oleh 31

    pedagang. Los plastik dengan luas 49,5 m2 ditempati oleh 14 pedagang. Los

  • 48

    sembako dengan luas 1050,9 m2 ditempati oleh 203 pedagang. Los ikan asin

    dengan luas 85,5 m2 ditempati oleh 18 pedagang. Los daging dengan luas

    224 m2 ditempati oleh 56 pedagang serta di lokasi los daging terdapat tiga

    macam pedagang antaranya pedagang daging sapi, ayam potong, dan ikan

    laut dan seterusnya seperti yang terlihat di table 1.3 diatas. Sedangkan untuk

    pembayaran restribusi kios dan los berbeda, berikut rinciannya.

    Tabel 3.4

    Pembayaran Restribusi Pasar Bandarjo Ungaran

    Jenis Bangunan Besar Retribusi Keterangan

    Kios 700,00 Penarikan retribusi

    dilakukan setiap hari

    Los 600,00 Penarikan retribusi

    dilakukan setiap hari

    Penarikan retribusi tersebut dikenakan kepada setiap pedagang yang ada

    di Pasar Bandarjo Ungaran. Pedagang yang menempati kios dikenai retribusi

    sebesar Rp 700,00 per hari. Sedangkan untuk pedagang yang menempati los

    dikenai retribusi sebesar Rp 600,00 perhari.Selain pembayaran retribusi pasar,

    pedagang juga membayar uang kebersihan, serta uang keamanan untuk setiap

    harinya.

  • 49

    Struktur Organisasi Pasar Bandarjo Ungaran

    Gambar 3.5 Struktur Organisasi Pasar Bandarjo Ungaran

    a) Kepala Pasar

    Kepala pasar adalah orang yang diberi wewenang untuk membantu direksi

    dalam melaksanakan kegiatan perpasaran, memimpin, dan mengkoordinasi

    kegiatan unit pasar.

    b) Bendahara

    Kepala Pasar Bandarjo

    Ungaran

    Singgih Agung Nugroho

    Bendahara

    Saleh

    Petugas Pemungut

    1. Wiwid Diyono

    2. Budiyono

    3. Jarni

    Petugas Keamanan

    1. Herlambang Ananta

    2. Mugiyono

    Petugas Kebersihan

    1. Mujiyono

    2. Ahmad Fahrudin

    3. Rahman

    4. Wahadin

  • 50

    Bendahara atau penyetor adalah orang yang berstatus pegawai sipil yang

    diberi tugas untuk melakukan administrasi penerimaan dan penyetoran.

    c) Petugas pemungut

    Petugas pemungutan adalah orang yang diberi kewenangan untuk

    melakukan restribusi pelayanan pasar yang dikelola oleh pemerintah

    daerah.

    d) Petugas ketertiban

    Petugas ketertiban adalah orang yang diberi kewenangan untuk menjaga

    ketertiban dan keamanan pasar.

    e) Petugas kebersihan

    Petugas kebersihan adalah orang yang bertugas untuk mbersihkan area

    pasar.

    B. Praktik Khiyar Dalam Jual Beli Di Pasar Bandarjo Ungaran

    Dari hasil penelitian ini menunjukan adanya praktik khiyar yang kurang

    sempurna. Hampir semua pedagang tidak sepenuhnya memahami tentang

    konsep khiyar dalam islam, meskipun realitanya para pedagang sudah

    menerapkan konsep khiyar dalam jual beli.

    Dalam praktik khiyar di Pasar Bandarjo Ungaran diawali dengan

    kesepakatan terlebih dahulu, ketika nantinya barang tidak sesuai ukuran

    maupun cacat atau rusak. Kesepakatan kedua belah pihak jika barang rusak

    atau cacat maka dapat ditukar barang yang sudah dibeli. Tukar menukar

    dengan harga yang sama, tukar tambah jika barang yang ditukar lebih mahal

  • 51

    dan tukar yang lebih murah maka sisa uang tersebut ada yang pedagang

    kembalikan dan ada yang dimintakan barang lainnya yang harganya sesuai

    dengan sisa uang tersebut.

    Adapun dengan hak pilih dengan cara membatalkan jual beli jarang

    ditemui di Pasar Bandarjo Ungaran. Hanya beberapa saja pedagang yang

    menerapkannya. Karena dianggap merugikan pihak penjual. Biasanya dengan

    batalnya jual beli tersebut disebabkan adanya tidak ada atau habisnya barang

    yang ingin ditukar. Maka pembeli bisa saja mengembalikan barang dan

    meminta uangnya kembali.

    Dalam penelitian ini tidak semua pedagang peneliti masukan dalam

    penelitian ini, peneliti hanya membatasi 3 jenis pedagang yang ada di Pasar

    Bandarjo Ungaran. Pedagang yang sering terjadi aadanya hak khiyar, seperti

    pedagang pakaian, pedag