Upload
ameersabry
View
41
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
BENARKAH ISLAM TERSEBAR DENGAN PEDANG
Telaah Sosial-Historis Dinasti Umayyah
Doni Herdiyansyah
Stap Pengajar TIM PPBA
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstract
The reality that Islam is the biggest reliogion in the world and the foremost one, it frecuently
couses the jealousy around the peoples or groups which are uncontenting with the fact.
Therefore, to discredit the Islam, they bring out into view the negative assumption about Islam,
that it was appeared with sword. This article tries to find out the answers for the assumption. It
by analizing the history of Islam’s authority in Umayyah Dynasty, because in this dynasty the
expansion and the dissemination of Islam is to fantastic. It is including three continents; Asia,
Africa and Europe (S.W). The writer finds that Islam’s disseminations and its expansions
preferences of peacefulness value of Islam. It is rahmatan lil ‘alamin.
Key word: dissemination, discredit, Islam, Sword,
Pendahuluan
Sejak Muhammad saw mengemaban tugas sebagai utusan Allah swt untuk berdakwah –atau
dalam istilah bahasa Arabnya dikenal dengan istilah Rasulullah-, yaitu ketika usia Beliau
menginjak 40 tahun atau tepatnya sejak diturunkannya ayat pertama al-Qur’an pada tanggal 17
Ramadhan 611 M, Islam sebagai agama yang “baru” dikalangan arab Qurays, lahir. Agama yang
dibawa oleh Muhammad ini adalah agama yang mengemban misi atau ajakan kepada ummat
manusia untuk meng-esakan Tuhan yang pada masa jahiliah waktu itu benar-benar tercemarkan
dan ternodai oleh penyembahan yang dilakukan oleh masyarakat jahiliah kepada “Tuhan” Latta,
Uza, Hubal dan Manat yang sesungguhnya adalah patung-patung buatan mereka sendiri.
Selanjutnya dakwah untuk meng-esakan Tuhan dan mempersaksikan bahwa Beliau
(Muhammad) adalah utusan Allah, mulai berjalan bermula dari ajakan kepada keluarga dan
kerabat Beliau. Inilah sesungguhnya awal atau cikal bakal –yang pada tahapan-tahapan
berikutnya setelah kewafatan Beliau, baik itu pada masa khulafa’ur rasyidin, dinasti Umayyah,
dinasti Abbasyiah dan yang lainnya- menjadi motivasi atau ruh dilakukannya dakwah islamiyah
dan perluasan daerah kekuasaan Islam atau ekspansi-ekspansi yang bahkan mencapai kawasan
Eropa pada masa dinasti Umayyah. Namun, tentu dengan da’wah bil hikmah wal mauizoh
hasanah seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an (QS, 16:125), bukan dengan kekerasan apalagi
dengan pedang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa kejayaannya, Islam pernah menjadi negara
“adidaya/adikuasa” yang sangat disegani oleh dunia. Sehingga sampai saat ini dapat kita
saksikan bahwa Islam tetap menjadi agama terbesar yang dianut oleh mayoritas penduduk dunia.
Fakta sejarah membuktikan kepada kita bahwa pada abad ke tujuh hingga abad ke delapan
masehi, pasukan Islam atas nama khalifah berhasil menduduki wilayah-wilayah kristen. Mereka
berhasil menduduki kerajaan Byzantium di Syiria, yaitu dengan menduduki provinsi-provinsi
yang menjadi wilayah kekuasaan Byzantium pada waktu itu. Begitu juga dengan Mesir, Holy
Land, Afrika Selatan, Spanyol dan Sisilia (Albert Hourani, 1996:07). Bahkan pada masa
pemerintahan al-Walid l (705-715 M), arus ekspansi Islam mencapai puncaknya, -yang
sebelumnya memang sudah dirintis oleh pendahulu-pendahulu Beliau sejak masa Khulafa’ ar-
Rasyidin (Abu Bakar)-, yaitu meliputi wilayah jazirah Arab dan sekitarnya, yang dikepalai oleh
Gubernur Jendral Ummar II, al-Masyrik (Front Timur) yang dikepalai oleh Hajjaj ibnu Yusuf,
dan al-Magrib (Front Barat) di bawah pimpinan Musa ibnu Nusair. Bahkan wilayah
kekuasaannya meluas di wilayah timur sampai ke daerah anak benua India (Pakistan sekarang)
dan perbatasan Cina. Sementara di bagian utara meliputi Aleppo (di barat laut), Asia Kecil,
Cecnia dan Armenia sampai timur laut. Termasuk daerah-daerah yang sekarang disebut negara
Turmenistan, Kirgistan, Uzbekistan, Kazakstan di Asia Tengah termasuk juga Afganistan di
Persia. Di bagian barat, Islam menguasai seluruh Afrika Utara sampai semenanjung Liberia
(Spanyol dan Portugal) dan sebagian Prancis serta kepulauan di laut tengah (Karim, 2009:120).
Realita bahwa Islam pada akhirnya menjadi agama yang memiliki peranan dan pengaruh besar di
dunia –baik dalam bidang politik, sosial maupun ekonomi- yang merupakan dampak dari
kejayaan historik Islam masa lampau, melahirkan kecemburuan-kecemburuan bahkan
pandangan-pandangan miring dan miris dari segelintir orang dan golongan, terutama para
orientalis dan Nasraniyyun yang memang sejak awal mula penyebarannya, Islam menjadi
masalah bagi kaum Kristiani di Eropa. Bahkan sejak awal dikuasainya Byzantium oleh
kekuasaan Islam, kaum Kristiani Eropa menganggap setiap pemeluk Islam adalah musuh. Albert
Hourani (1996: 7) mengatakan “From the time it first appeared, the religion of Islam was the
problem for the Cristian Europe. Those who belived in it were the enemy on the frontire”.
Sehingga tidaklah mengherankan jika pada akhirnya keluar statment-stantment miring bahwa
sejak awal, Islam disebarkan dengan pedang. Tentu masih segar dalam ingatan kita ketika Paus
Benekdetus XVI dalam kuliah umumnya di Universitas Regenberg Jerman, 12 September 2006
lalu. Paus yang menyebut Kristen sebagai agama logika telah menyerang ajaran Islam tentang
Jihad. Ia mengatakan kekerasan tidak sejalan dengan jiwa ketuhanan dan spiritual, sedangkan
jihad dalam agama Islam adalah ajaran kekerasan yang tidak sesuai dengan ketuhanan. Paus
lantas mengutip pernyataan Kaisar Bizantium Manuel II Paleologus yang berkata kepada salah
seorang ulama Muslim. Ia mengatakan: “Tunjukkan kepadaku bahwa Muhammad membawa hal
yang baru selain kekerasan dan tindakan yang tidak manusiawi. Ia datang untuk menyebarkan
Islam dengan pedang.” (UCA News dalam http://mirifica.net). Dengan kata lain Islam identik
dengan kekerasan. Hal ini tentu diperparah [jika dikaitkan dengan fenomena dan realita saat ini,
ada bom bali, JW marriot, Rich Calton dll-] dengan banyaknya aksi pengeboman oleh para
teroris yang berkedok agama (Islam).
Dalam tulisan ini penulis ingin mengajak para pembaca untuk melihat ke belakang,
“bernostalgia” dengan kejayaan Islam masa lampau, untuk kemudian mencoba membaca dan
menganalisa kembali kejayaan Islam khususnya pada masa Dinasti Umayyah. Telah diketahui
bahwa pada masa ini banyak dilakukan ekspansi-ekspansi termasuk salah satunya adalah apa
yang dilakukan oleh Khalifah al-Walid. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kemajuan-kemajuan,
prestasi-prestasi dan motif dari beberapa ekspansi yang terjadi pada masa dinasti Umayyah ini.
Apakah ekspansi-ekspansi yang dilakukan tersebut semata-mata dilakukan hanya untuk
menyebarkan dan memperluas daerah kekuasaan Islam? Ataukah memang ada motif-motif lain
yang melatar belakangi ekspansi-ekspansi yang dilakukan tersebut. Selanjutnya dari analisa ini
penulis berharap bisa menjadi jawaban yang empiris terhadap tuduhan-tuduhan negatif yang
dialamatkan terhadap Islam.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menguraikan bagaimana berdirinya dinasti Umayyah,
perkembangan dan juga sekilas penyebab keruntuhannya. Dalam uraian tentang perkembangan
Dinasti Umayyah, akan dipaparkan kondisi sosial dan ekspansi-ekspansi yang terjadi di beberapa
periode kekhalifahan. Penulis tidak akan membahas keseluruhan kekhalifahan yang pernah
memimpin pada masa dinasti ini, melainkan beberapa saja yang memiliki prestasi atau kontribusi
besar terhadap kemajuan Islam.
Lahirnya Dinasti Umayah
Dinasti Umayyah dimulai sejak Muawiyyah ibnu Abi Sofian menjabat sebagai khalifah. Sahabat
Nabi yang juga putra Abu Sofian ini sebelumnya menjabat sebagai Gubernur di Damaskus di
masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Namun, dalam perjalanannya ia melakukan pemberontakan
terhadap Ali. Puncak pemberontakan yang ia lakuakan adalah terjadinya perang Shiffin pada
tanggal 26 Juli 657 M, antara Muawiyyah sendiri dengan khalifah Ali bin Abi Thalib. Perang ini
bearkhir dengan diadakanya tahkim atau arbitrase yang lebih dikenal dengan tahkim dummatul
jandal. Tahkim ini merupakan bentuk “kelihaian dan kelicikan” Muawiyyah, meskipun
sebenarnya muncul atas usulan Amr bin Ash ketika pasukan Ali hampir saja memenangkan
peperangan. Pada akhirnya tahkim dummatul jandal ini menjadi titik balik bagi Muawiyyah,
karena setelah tahkim tersebut pasukan Ali terpecah menjadi dua kubu yaitu khawarij dan syi’ah,
yang berujung pada terbunuhnya Ali oleh salah seorang pasukan dari anggota khawarij yang
tidak menyetujui diadakannya tahkim.
Selanjutnya kekuasaan dapat diambil alih oleh Muawiyyah. Hal ini disebabkan karena Hasan Ali
bin Ali yang dibaiat menggantikan Ali, tidak terlalu cakap dalam memerintah. Apalagi ditambah
dengan situasi politik yang memang sedang tidak stabil sejak kematian Ali. Akhirnya Husein
putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala.
Memasuki awal kekuasaan Muawiyyah (661-680 M), dinasti Umayyah bermula. Sampai kurang
lebih 90 tahun. Nama Diansti Umayyah sendiri diambil dari nama Umayyah ibnu Abdi Syam
ibnu Abdi Manaf. Ia adalah orang yang cukup dikenal dalam persukuan di masa Jahiliyah,
bersaing dalam hal sosial-politik dengan pamannya Hasyim ibnu Adbi Manaf. Namun, dalam
persaingan tersebut Umayyah selalu lebih dominan dari pada Hasyim, karena ia adalah
pengusaha sukses dan memiliki harta kekayaan lebih banyak.
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang
semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan.
Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang
Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan.
Pada realitanya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena
keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh
sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang
mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju system monarkhi.
Pemerintahan yang bersifat Islamiyyah berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun
temurun), yaitu setelah al-Hasan bin 'Ali Radhiallahu ‘anhuma menyerahkan jabatan
kekhalifahan kepada Muawiyah ibnu Abu Sufyan Radhiallahu ‘anhu dalam rangka mendamaikan
kaum muslimin yang pada saat itu sedang dilanda fitnah akibat terbunuhnya Utsman ibnu Affan
Radhiallahu ‘anhu, perang jamal dan penghianatan dari orang-orang al-khawarij dan syi'ah.
Namun demikian, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik
politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi.
Dalam bidang yang terakhir ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinas pos dan tempat-
tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya disepanjang jalan,
beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.
Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan
diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid
bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut
adalah:
1. Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
2. Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para
pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3. Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai
tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana
seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil
keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
4. Selain itu kekuasaan Muawiyah pada wilayah Syam telah membuatnya mempunyai basis
rasional untuk karier politiknya. Karena penduduk Syam yang diperintah Muawiyah mempunyai
ketentaraan yang kokoh, terlatih dan terpilih di garis depan dalam melawan Romawi. Mereka
bersama-sama dengan bangsawan Arab dan keturunan Umayyah yang berada sepenuhnya di
belakang Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak habis-
habisnya, baik moral, manusia maupun kekayaan.
Kondisi Sosial Pada Masa Dinasti Umayyah
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, karena banyak kebijakan
politiknya yang bertumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Hanya dalam jangka
90 tahun, banyak bangsa yang masuk kedalam kekuasaannya. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika utara, Syria, Palestina Jazirah Arab, Iraq, Persia, Afganistan, Pakistan,
Uzbekistan, dan wilayah Afrika Utara sampai Spanyol seperti yang dipaparkan sebelumnya.
Namun demikian, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik
politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi.
Dalam bidang yang terakhir ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinas pos dan tempat-
tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya disepanjang jalan,
beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.
Sedangkan dalam bidang sosial secara umum, kondisi masyarakat selama 14 periode
kekhalifahan dinasti Umayyah terbagi ke dalam empat strata sosial. Philip K. Hitti (2001:97)
yang dikutip oleh Manshur (2003:173) membagi strata sosial masa Dinasti Umayyah menjadi
empat stratifikasi sosial. Pertama adalah kelas tertinggi yang ditempati oleh kaum Muslimin
yang memegang kekuasaan, dan kaum ningrat dari bangsa Arab. Ke dua adalah kaum neo
Muslim yang atas dasar keyakinan sendiri, mereka memeluk Islam. Secara teori kelompok ini
memliki hak-hak dan kewajiban sebagaimana kaum Muslimin lainnya. Yang ke tiga adalah
kelompok Zimmi atau penganut agama lain seprti Yahudi dan Nasrani, yang memilih tinggal di
wilayah kekuasaan Islam dan bersedia membayar pajak sebagai konsekwensinya. Ke empat
adalah golongan budak-budak yang menempati strata sosial paling rendah.
Kondisi sosial masyarakat Muslimin pada masa Dinasti Umayyah tergolong aman dan damai.
Demikian juga dengan masyarakat non Muslim. Masyarakat Muslim dan non Muslim bisa hidup
berdampingan. Kendatipun Islam pada masa ini berkuasa di seluruh imperium, namun kondisi
masyarakat non Muslim sangat terjamin. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
kehidupan bernegara. Para Khalifah melindungi gereja, kartedral, candi, sinagog dan tempat-
tempat suci lainnya. Bahkan semua tempat peribadatan yang rusak dibangun kembali dengan
dana yang dikeluarkan dari kas Negara. Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa
terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga mereka ikut berpartisipasi mewujudkan
peradaban Arab Islam di Spanyol khususnya. Untuk orang-orang Kristen, sebagaimana juga
orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran
agama mereka masing-masing. Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk,
terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi
beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya
masing-masing.
Keadilan yang diperoleh oleh warga non Muslim pada masa Dinasti Umayyah tidak hanya dalam
hal kebebasan beragama. Akan tetapi, kebebasan dalam bidang hukum dan peradilan juga
mereka terima. Para khalifah memberikan kebebasan bagi mereka untuk menggunakan
kebebasan yuridiksi mereka sebagaimana yang diatur dalam agama mereka masing-masing.
Dalam pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk lembaga yang bernama Nidzam
al Qadai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi kedalam tiga badan
yaitu:
- Al-Qadha’, bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada
“mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu para qadhi menggali hukum
sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad.
- Al-Hisbah, bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang
memerlukan tindakan cepat.
- An-Nadhar fil Madhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding.
Selain itu, Khalifah Bani Umayyah juga mengangkat pembantu-pembantu sebagai pendamping
yang sama sekali berbeda dengan Khalifah sebelumnya. Mereka merekrut orang-orang non
Muslim menjadi pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter
dan kesatuan dalam militer. Hal ini terjadi sejak Muawiyah menjabat sebagai Khalifah, yang
kemudian diwarisi oleh keturunannya. Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis kebijakan
tersebut dihapus, karena orang-orang non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang
memperoleh privilage di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam,
bahkan menganggap mereka rendah.
Dalam lapangan sosial, dapat dikatakan Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara
bangsa-bangsa Muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki
kebudayaan yang telah maju seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya akulturasi budaya antara Arab (yang memiliki ciri-ciri Islam) dengan
tradisi bangsa-bangsa lain yang bernaung dibawah kekuasaan Islam (Amin, 1997:106).
Hubungan tersebut kemudian melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni
bangunan (arsitektur) dan ilmu pengetahuan.
A. Khalifah-khalifah Yang Cukup Berpengaruh pada Masa Daulah Umayyah
Pemerintahan dinasti Umayyah yang berlangsung kurang lebih hampir satu abad ini (90 tahun),
dipimpin oleh empat belas khalifah. Berikut ini akan penulis paparkan secara singkat beberapa
kekhalifahan yang pernah berkuasa pada masa dinasti Umayyah, yang mempunyai prestasi dan
pengaruh besar pada eksistensi dinasti ini khususnya dan kemajuan Islam umumnya. Ini tidak
berarti bahwa khalifah-khalifah yang tidak disebutkan di sini tidak berjasa. Akan tetapi, penulis
hanya ingin memperjelas titik tekan dari pembahasan tulisan ini adalah mengetahui motif atau
modus ekspansi yang terjadi pada kekhalifahan beberapa khalifah berikut ini.
1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah
pertama. Ia memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam
wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam
yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Ia mengirimkan angkatan perangnya di
bawah pimpinan al-Muhallab ibnu Abi Sufrah ke India, seorang pimpinan perang yang terkenal
gagah berani, namun hanya sampai ke Kabul (Ibu kota Afganistan sekarang), dan Multan.
(Karim, 2003: 08) Walau demikian Tunisia dan daerah Kurasan dapat dikuasai.
Pada masa pemerintahan dinasti Umayyah, Mua’wiyah membagi dua kelompok dewan syura
khas (pusat) dan majelis syura sementara. Mua’wiyah juga melakukan pembangunan dan
komunikasi diberbagai provinsi dan kota, berkonsultasi dengan majelis syura. Disini Mua’wiyah
membuka ruang demokrasi dalam system pemerintahannya namun disisi lain dia mempraktekkan
pemerintahan yang monarki dengan mengangkat yazid sebagai putra mahkota. Disamping itu ia
juga mengatur tentara dengan cara baru dengan meniru aturan yang ditetapkan oleh tentara di
Bizantium, membangun administrasi pemerintahan dan juga menetapkan aturan kiriman pos.
Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di Damaskus di pemakaman
Bab Al-Shagier.
2. Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
Sebelum kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan, dinasti Umayyah dipimpin oleh Yazid Ibn
Muawiyyah (681-683 M) yang ditunjuk langsung oleh Muawiyyah sebagai penggantinya,
kemudian Muawiyyah Ibn Yazid (683-684 M) yang juga menggantikan ayahnya Yazid. Setelah
itu dinasti Umayyah dipimpin oleh Marwan Ibn al-Hakam (684-685 M), yang hanya memimpin
selama satu tahun.
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685
M, meskipun sebelumnya terjadi pertikaian antara dia dan Abdullah Ibnu Zubair. Di bawah
kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan dan kemulian. Ia terpandang
sebagai Khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali
kesatuan Dunia Islam dari para pemberontak, sehingga pada masa pemerintahan selanjutnya, di
bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik Daulah bani Umayyah dapat mencapai puncak
kejayaannya. Ia meneruskan ekspansi ke timur yang sebelumnya dilakukan Muawiyah. Ia
mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai
Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan. Ia wafat pada tahun 705 M dalam usia
yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karyakarya terbesar didalam sejarah Islam. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 21 tahun, 8 bulan.
3. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban.
Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu peristiwa besar,
yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa,
yaitu pada tahun 711 M. Sesungguhnya ia bukanlah khlifah yang ahli dalam peperangan, akan
tetapi pada masanya muncul para panglima yang terkemuka seperti Musa ibn Nushair, Thariq bin
Ziad yang melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai ke Andalusia (Spanyol),
sehingga dapat menguasai kota Kordova, Granada, Seville, Elvira dan Toledo, kemudian Jendral
Hajjaj ibn yusuf di front timur, Muhammad ibn Qasim dan Quthaibah ibn Muslim yang
menaklukkan Sind-Punjab dan sebagian Sentral Asia (Karim, 2006: 14). Ketika penaklukan
Kordova oleh Thariq ibn Ziyad melalui selat yang selanjutnya dikenal dengan selat Gibraltar
(Jabal Thariq), dan beberapa tempat yang sudah disebutkan tersebut, pasukan Islam memperoleh
kemenangan selain karena semangat pasukan yang dikobarkan oleh Thariq, juga karena
mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa
sebelumnya (Byzantium) (Badri Yatim, 1998: 43). Dalam pidatonya yang sangat terkenal, Thariq
memerintahkan pasukannya untuk membakar perahu-perahu yang mereka gunakan setibanya di
daratan. Sehingga hanya ada satu pilihan, yaitu maju dan memenangkan pertempuran. Sebab
sudah tidak mungkin lagi untuk mundur karena perahu-perahu sudah dibakar. Pada masa al-
Walid ini peta Islam paling luas dalam sejarah perluasan Islam yaitu meliputi tiga benua, Asia,
Afrika dan Eropa (Barat Daya). Karenanyalah ia dikenal dengan sang penakluk.
Pada era Al-Walid I ini tercatat sebuah keputusan khalifah yang kontroversial untuk memperluas
area disekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut direnovasi. Umar membacakan
keputusan ini di depan penduduk Madinah termasuk ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga
banyak dari mereka yang mencucurkan air mata. Berkata Said Al-Musayyib : "Sungguh aku
berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang
akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana".
Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga melakukan pembangunan
besar-besaran selama masa pemerintahannya untuk kemakmuran rakyatnya. Ia membangun
gedung-gedung yamg indah, masjid dan sekolah kedokteran. Ia bahkan memberikan tunjangan
hidup secara cuma-cuma kepada para lansia, orang buta, lumpuh, orang gila dan perempuan-
perempuan yang tidak mampu membiayai sekolah putra-putrinya karena ditinggal mati suami
mereka di medan perang. Selain itu, al-Walid juga membangun armada laut raksasa yang
merupakan lanjutan dari armada laut yang sebelumnya telah dibangun oleh Muawiyyah ibn Abu
Sofian. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat harum dalam sejarah Daulah
Bani Umayyah dan merupakan puncak kebesaran dinasti tersebut.
4. Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
Khalifah sebelum Umar ibn Abdul Aziz adalah Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
menggantikan al-Walid yang merupakan saudara kandungnya sendiri. Umar ibn Abdul Aziz
menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun. Ibunya adalah cucu dari khlifah Ummar Ibn
Khattab, dan kemungkinan karenanyalah yang menjadi salah satu sebab ia dikenal dengan Umar
II. Ia terkenal adil dan sederhana. Ia ingin mengembalikan corak pemerintahan seperti pada
zaman khulafaur rasyidin. Pemerintahan Umar II meninggalkan semua kemegahan Dunia yang
selalu ditunjukkan oleh orang Bani Umayyah. Padahal dahulu Umar II adalah seorang pangeran
yang hidup dalam gelimang harta yang konon selalu menjadi omongan karena kerapian,
ketampanan, kewangian dan kegemerlapan pakaiannya, bahkan gaya berjalannya diikuti banyak
orang karena begitu indahnya. Bahkan ia sering terlambat solat karena para pembantunya belum
selesai merawat rambutnya. Ia tidak mau memakai satu pakaian lebih dari satu kali karena
dianggap telah usang. (Abdul Karim, 2009: 122-123).
Amin (1978: 104) mengatakan satu hal yang sangat mencolok dari pemerintahan Umar ibn
Abdul Aziz ini yang berbeda dengan para pendahulunya, yaitu ketika dinobatkan sebagai
Khalifah. Ia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam
wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya (Badri Yatim, 1998: 47). Ini
menunjukkan bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Akan tetapi, itu tidak
berarti bahwa pada masa Umar ini tidak terjadi ekspansi. Bahkan pada masa Umar II inilah
terjadi penyerangan ke Prancis melalui Pinaree di bawah pimpinan Abd rahman Ibn Abdullah
Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers kemudian dari sana ia mencoba
menaklukkan Tours, walupun pada akhirnya al-Ghafiqi terbunuh. Prestasi lain yang juga sangat
mengesankan dari Umar II ini adalah ia berhasil menjalin hubungan baik dengan Syi’ah. Ia juga
membari kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari Arab)
disejajarkan dengan Muslim Arab. Pemerintahannya membuka suatu pertanda yang
membahagiakan bagi rakyat. Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi teladan. Ia selalu
berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720 M dalam usia 39
tahun, dimakamkan di Deir Simon.
5. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
Khalifah sebelum Hisyam adalah Yazid Ibn Abdul Malik yang juga merupakan saudara dari al-
Walid dan Sulaiman. Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah pada usia yang ke 35
tahun. Ia terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Namun, pada masa
pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan
Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan
mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan
baru ini mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan Dinasti baru,
Bani Abbas. Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak
untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa membayar
kesalahan-kesalahan para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu kuat, sehingga Khalifah
tidak mampu mematahkannya. Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam
kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan. Dua tahun
sesudah penaklukan pulau Sisily pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia 55 tahun. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun, 9 bulan. Sepeninggal Hisyam, Khalifah-
Khalifah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin
mempercepat runtuhnya Daulah Bani Ummayyah.
6. Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa pemberontak dapat
ditumpas, tetapi dia tidak mampu mengahadapi gerakan Bani Abbasiyah yang telah kuat
pendukungnya. Marwan ibn Muhammad melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus. Namun
Abdullah bin Ali yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas As-Syaffah selalu
mengejarnya. Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair, daerah al Fayyun Mesir, dia
mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima penyerahan tugas dari Abdullah.
Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M. Dengan demikian
tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak lanjutnya dipegang oleh Bani
Abbasiyah.
Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa ekspansi yang dilakukan oleh orang Islam di masa
Bani Umayyah adalah untuk perluasan wilayah yang memang merupakan tradisi imperium,
sebagai dakwah yang mengemban misi kemanusiaan. Selain itu tindakan ekspansi juga dilakukan
sebagai sesuatu tindakan untuk membela diri (defensif). Perluasan yang dilakukan pada masa
Bani Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu daerah-daerah yang telah dicapai dan gerakan
Islam terhenti sampai di situ, ketika masa Khalifah Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai
berikut :
1) Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Dimasa pemerintahan Bani
Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas, sampai meliputi pengepungan terhadap kota
Konstantinopel, dan penyerangan terhadap beberapa pulau di laut tengah.
2) Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai Atlantik, kemudian menyeberangi selat
Jabal Thariq dan sampai ke Spanyol.
3) Front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang, yang satu menuju ke utara, ke daerah-
daerah diseberang sungai Jihun (Amru Dariyah). Dan cabang yang kedua menuju ke Selatan,
meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian Barat.
B. Keruntuhan Dinasti Umayyah
Ada beberapa penyebab keruntuhan dinasti Umayyah seperti yang dikemukakan oleh Badri
Yatim (1998:48-49) dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam, yaitu:
1. Sisitim pergantian pemerintahan melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru dalam
tradisi Arab, setidaknya semenjak era khulafa’ ar-rasyidun. Sehingga menyebabkan terjadinya
persaingan yang tidak sehat dalam intern keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Umayyah yang tidak terlepas dari konflik-konflik politik
yang terjadi di masa Ali.
3. Terjadinya pertentangan antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dengan Arabia selatan (bani
Kalb) yang semakin meruncing, sehingga sulit untuk menggalang persatguan dan kesatuan.
4. Pola hidup mewah dan foya-foya yang dilakukan oleh beberapa khalifah.
5. Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan. Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan
diantara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk ath-
Thawaif muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh ke
tangan Ferdinand dan Isabella, diantaranya juga disebabkan permasalahan ini.
6. Keterpencilan dan luasnya daerah kekuasaan. Islam di Spanyol bagaikan terpencil dari dunia
Islam yang lain. Ia selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara.
Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen
di sana.
7. Penyebab langsung tergulirnya kekuasaan dinasti ini adalah munculnya kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn Abdul Muthalib yang mendapat dukungan dari Bani
Hasyim.
Sebuah Analisa dan Kesimpulan
Selanjutnya dalam bab ini penulis akan memaparkan beberapa argumen untuk menjawab
pertanyaan benarkah Islam disebarkan dengan pedang?. Sebagai replay dari pertanyaan ini dan
landasan pertama untuk kemudian memparkan beberapa argumen berdasarkan fakta empiris
yang penulis temukan, terlebih dahulu penulis mengutip sebuah ayat dalam surat an-Nahl ayat
125 yang berbunyi: أحسن هي بالتى وجادلهم الحسنة والموعظة بالحكمة ربك سبيل إلى ...أدع
(serulah –manusia- kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik). Inilah menurut penulis yang menjadi konsep
dakwah yang menjadi pegangan dalam penyebaran agama Islam yang diajarkan oleh Rasul saw,
bukan bis shaif melainkan bil hikmah, yaitu perkataan yang tegas dan benar yang dapat
membedakan antara yang hak dan yang batil (QS, an-Nahl: 125). pertama. Jika dalam tataran
praksis ada beberapa kelompok yang mempunyai pandangan berbeda dalam memahami konsep
dakwah dalam Islam, seyogyanya tidak bisa dijadikan alasan menjeneralisir, untuk kemudian
menjastifikjasi bahwa Islam tersebar dengan pedang. Oleh karena itu, perlu memahami dan
membedakan antara Islam dan orang yang ber-Islam.
Kedua, jika kita melihat fakta empiris, misalnya salah satu ekspansi yang terjadi pada masa al-
Walid. Kenyataannya adalah rakyat sendiri yang mengharapkan bahkan meminta bantuan kepada
khalifah Islam untuk membebaskan mereka dari penguasa yang lalim pada waktu itu. Dari fakta
ini dapat kita simpulkan bahwa ada misi humanism yang melatar belakangi ekspansi tersebut.
Bukan semata-mata mengadakan perluasan apalagi dakawah bis shaif. Bahkan setelah daerah-
daerah tersebut dikuasai tidak ada pakasaan untuk memeluk Islam bagi rakyat yang masih
memegang teguh keyakinan mereka. Kalaupun ada yang beralih memeluk Islam, itu pure karena
mereka tertarik dengan kemuliaan ajaran Islam. Artinya, Islam akhirnya berhasil masuk dan
melekat sebagai keyakinan masarakat pada waktu itu adalah secara penetration pacifique atau
secara cultural (Ma’arif dalam Karim, 2007: 06). Dengan kata lain peperangan yang terjadi lebih
menunjukkan peran Islam dan inti ajarannya yang mengedepankan nilai-nilai persatuan, nilai-
nilai perdamaian, dan membangkitkan kembali jati diri manusia untuk tetap menjadi manusia
yang bermartabat.
Ketiga, jika dilihat pada masa dinasti Umayyah khususnya, masa ini adalah masa imperium. Dan
sebelum Islam datang, semenanjung arabia merupakan wilayah konflik peperangan antara dua
imperium besar, Romawi dan Persia. Sedangkan orang-orang Arab sendiri ketika itu tercerai-
berai dalam kabilah-kabilah yang tidak sedikit dan di antara mereka sendiri terjadi peperangan
dahsyat yang tidak kunjung habis-habisnya. Jadi sikap saling menduduki dan saling menguasai
antar satu imperialis dengan imperialis yang lain, sudah merupakan suatu tradisi, yang jika hanya
atas dasar itu diklaim Islam tersiarkan dengan pedang, sesungguhnya sangat tidak benar. Sebab
dalam tradisi imperial seperti itu, tentu jika tidak menguasai maka akan dikuasai.
Keempat, jika kita lihat kembali pada masa Rasulullah -sedikit keluar dari konteks pembahasan
tentang dinasti Umayyah-, disetiap peperangan yang akan Rasulullah atau umat Islam lakukan
notabene adalah untuk mempertahankan diri atau untuk merebut kembali apa yang menjadi hak
umat Ilsam sendiri. Dan point yang perlu digaris bawahi adalah sebelum memulai peperangan
Rasulullah selalu memperingatkan untuk tidak membunuh anak-anak, perempuan dan orang-
orang tua/jompo. Inilah beberapa argumen dan hasil analisa yang penulis dapat samapaikan dan
paparkan dari sedikit membaca sejarah perjuangan Islam pada masa dinasti Umayyah.
Wallahu a’lamu bis shawab.
Daftar Referensi
Amstrong, Karen, Islam A Short Story, terj. Surabaya: Ijkon Tranliterasia, 2004.
___________, Mushaf Al-Qur’an Tarjamah, Jakarta: Al-Huda, 2002.
Hourani Albert, Islam in Europan Thaught, Melbourn: Cmberidge Uneversity Press, 1996.
Yatim, Badri, Sejarah Perdadaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persadakerjasama LSIK,
1998.
Manshur, Munawwar, “Pertumbuhan dan Perkembangan Budaya Arab Pada Masa Bani
Umayyah”, Yogyakarta: Majalah Humaniora UGM, volume XV, no 2/2003.
Karim, Abdul, Islam di Asia Tengah, Yogyakarta: Bagaskara, 2006.
Karim, Abdul, Islam Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Karim, Abdul, Sejarah Islam di India, Yogyakarta: Bunga Grafies Prodaction, 2003.
Karim, Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2009.
Syalabi, A, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid II, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983.
http://id.wikipedia.org/wiki/
http://mirifica.net.