Bedah Buku Gede Suwantana

Embed Size (px)

Citation preview

Resensi Buku Untaian Mutiara Vedanta dan Petikan Dawai Vedanta karya I Gede Suwantana1

Oleh : I Wayan Wiharta Nadi2

Cover buku : Pilihan untuk menampilkan gambar bunga teratai/padma sebagai gambar sampul dapat dimaknai bahwa buku ini ingin menampilkan filosofi bunga teratai/padma yang dalam ikonografi Hindu adalah merupakan symbol dari penebusan dosa dan juga kesucian. Judul : 1. Untaian Mutiara : Kalung yang terbuat dari mutiara adalah merupakan rangkaian dari banyak mutiara yang seperti juga buku ini merupakan artikel-artikel terpisah dengan berbagai tema dengan tetap konsisten merangkul tema besar Vedanta. Mutiara, satu butir pun sudah merupakan bentuk keindahan yang mengagumkan, apalagi bila dirangkai menjadi satu. 2. Petikan dawai : Dawai, misalnya pada sebuah gitar, memiliki nada dasar yang berbeda-beda namun dapat disatukan menjadi nada yang indah dengan melakukan penekanan-penekanan pada tempat tertentu. Buku ini juga berisi artikel yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, namun dengan penekanan yang tepat pada setiap artikelnya, secara keseluruhan buku ini menjadi satu nada yang harmoni yang memberi kegembiraan bathin bagi yang membacanya. Penulis :

1

Disampaikan dalam acara Bedah Buku yang dilaksanakan oleh UKM Yoga STAHN Gde Pudja Mataram tanggal 28 Mei 2011 2 Pemerhati masalah budaya dan agama

I Gede Suwantana merupakan salah seorang cendekiawan muda Hindu yang kompetensinya sudah tidak diragukan lagi. Ia merupakan harapan masa depan umat Hindu di Indonesia agar perkembangan agama dan umat menjadi lebih baik. Dengan rendah hati Gede tetap mencatumkan bahwa artikel yang ditulis merupakan renungan lanjutan terhadap ajaran-ajaran Guru beliau (BR Indra Udayana) dengan mencantumkan sub-judul Indra Udayana Vicharamritam. Ini merupakan hal yang patut diapresiasi yang menunjukkan rasa bhakti yang mendalam dari seorang murid terhadap Gurunya yang sesuai dengan etika berguru dalam Agama Hindu. Isi: Buku-buku tentang ajaran Vedanta jumlahnya sudah banyak, namun nama Vedanta dalam masyarakat kita jauh lebih popular dari isi filsafat Vedanta itu sendiri. Hampir setiap orang Hindu di Indonesia pasti pernah mendengar atau mengetahui nama Vedanta walaupun sangat sedikit dari sedikit orang Hindu mengetahui isi filsafat Vedanta. Buku ini dari awalnya tidak ditujukan untuk menjadi bacaan ilmiah walaupun tidak berarti isinya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Buku-buku tentang Vedanta biasanya memiliki dua kelemahan : pertama, isinya kurang membahas secara mendalam tentang ajaran Vedanta itu sendiri. Hanya merupakan gambaran umum yang jauh dari mampu untuk menerangkan secara filosofis (apa, bagaimana, untuk apa) Vedanta itu. Kedua, kalaupun bahasan dalam buku-buku tentang Vedanta itu cukup mendalam, kita akan mendapati bahwa bahasa yang digunakannya banyak yang bersifat terminologis-teknis sehingga menyulitkan bagi pembaca awam. Padahal, menurut saya, khalayak sasaran buku-buku tersebut haruslah seluas-luasnya pembaca agar ajaran Vedanta bisa diketahui oleh siapa saja. Dengan demikian, buku ini memiliki kelebihan dalam menutupi kelemahankelemahan tersebut. Kandungan dari artikel-artikel ini cukup dapat menyentuh bagian-bagian terdalam dari filsafat Vedanta sedangkan bahasanya sangat mudah dipahami sehingga kita tidak merasa seperti sedang belajar saat membacanya.

Buku ini mengacu pada sumber-sumber yang sangat luas yang dapat terlihat dari sloka-sloka yang dikutip dari berbagai sumber yang sangat beragam (mulai dari Bhagavadgita, Upanisad, Arthasastra, Vivekacudamani, Uddhava Gita, dan lain-lain) yang menunjukkan kekayaan khazanah filsafat Vedanta sekaligus menunjukkan kekayaan filsafat Hindu pada umumnya. Kutipan-kutipan (quote) yang diletakkan pada tiap halaman awal bab juga berasal dari sumber yang bukan hanya Hindu tapi juga dari Buddha dan pemikir Barat yang oleh Penulis tampaknya ingin ditunjukkan agar tercipta pemahaman tentang keselarasan pemikiran mereka dengan Vedanta. Apakah mereka terpengaruh pemikiran Vedanta? Untuk menjawab hal ini Gede harus menulis sebuah buku baru. Walaupun demikian, acuan dari berbagai sumber ini tidak membuat karya ini menjadi kehilangan orisinalitas pemikirannya. Gagasan-gagasan yang diluncurkan oleh Penulis terkadang cukup mengejutkan karena merupakan sebuah alternative pemikiran yang baru atau merupakan sebuah formulasi pemikiran yang tepat. Sebagai contoh adalah apa yang diutarakan penulis pada buku 1 hal 102 : Kontemplasi yang inferior terletak pada bentuk dan kesemarakannya sedangkan kontemplasi superior terletak pada transpormasi (transformasi) dan kualitasnya. Atau : Ketika eksistensi tersebut dapat kita saksikan tanpa campur tangan ego, maka apapun yang ada adalah spiritual (buku 1:32) Seperti halnyakita berjaan ke suatu tempat yang jauh. Kita tidak mesti mengubah bentuk langkah kita, atau mengubah jalan yang kita lalui, tetapi mengetahui arah mana yang akan kita lalui (Buku 1:42) Orang cerdas memerlukan jawaban yang cerdas pula. Jika tidak sesuai, maka niscaya ia akanterus mencarinya. Tidak tertutup kemungkinan jawaban baginya yang cocok justru muncul dari luar Hindu (Buku 1 : 158)

Buku-buku yang berasal dari proses perenungan biasanya juga memiliki kelebihan karena bersifat praktis. Penulis mengakui bahwa buku ini ditulis dalammood, situasi, dan kondisi pikiran, hati, serta lingkungan yang berbeda (hal. iii). Mood, situasi, kondisi pikiran, hati, dan lingkungan yang berbeda inilah yang sebenarnya merangsang Penulis untuk berpikir dan kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan. Proses ini merupakan dialog tunggal dalam pikiran penulis yang biasanya mengarah pada proses pemahaman terhadap stimulasi eksternal. Kecenderungan manusia adalah bahwa proses dialog ini (yang oleh Hegel disebut dialektika) biasanya mengarah kepada solusi sehingga ia mengandung sifat praktis. Dengan demikian, pembeca yang kebetulan berhadapan dengan permasalahan praktis yang sama bisa menggunakan hasil perenungan penulis sebagai solusi permasalahannya. Contohnya : Oleh karena itu jangan mempermasalahkan mempersalahkan kita (buku 1: 146) masalah sebelum masalah

Kesibukan tidak perlu diganti, tetapi kualitas, sudut pandang, dan energy yang mendasarilah yang perlu dirubah (buku2 : 11). Buku ini juga berusaha untuk menjangkau konteks kekinian dari perspektif Vedanta. Di dalamnya kita dapat menemui bahasan tentang pendidikan, multikulturalisme, renungan tentang pengaruh-pengaruh modernitas, kehidupan keberagamaan yang ritualistic, perkawinan, dan lain-lain. Di sini kita bisa melihat, bahwa perspektif Vedanta juga bisa digunakan sebagai sebuah perspektif kritis. Salah satunya yang sama-sama perlu kita renungkan lebih lanjut adalah pandangan Penulis tentang apa yang tengah terjadi di masyarakat tentang konsep kesederajatan (equality) : Pada prinsipnya mereka sama, yakni sama-sama tidak mau menghormati.(buku 2:7).

Kesimpulan : Buku ini cukup mampu menerangkan filsafat Vedanta dengan bahasa yang cukup mudah dimengerti sehingga akan memberanikan (encouraging) pembaca untuk menyelami lebih lanjut tentang filsafat Vedanta. Agama sering dianalogikan dengan sebutir telur yang terdiri dari bagian kulit, putih, dan kuningnya yang merupakan symbol dari upacara, susila, dan tattwa. Filsafat agama termasuk Vedanta adalah bagian tattwa dari agama. Bergelut terus menerus dengan kulit telur tidak akan menghasilkan apa-apa karena inti dari telur sebenarnya adalah kuningnya.