109

BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas
Page 2: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

ii

BEDAH ANGGARAN KESEHATAN © 2020, Kementerian PPN/Bappenas

Penanggung Jawab

Dr. Ir. Subandi Sardjoko, M.Sc & Pungkas Bahjuri Ali, STP, M.S., Ph.D

Penulis

Dewi Amila Solikha, SKM, M.Sc

Sidayu Ariteja, SE, MPP

Prastuti Soewondo, SE, MPH, Ph.D

Editor

Pungkas Bahjuri Ali, STP, M.S., Ph.D.;

Pengolah Data

Yunita, MKM, Mohammad Dzulfikar Arifi, SKM, Bahagiati Maghfiroh, S.Si.

Kontributor Utama

Prof. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH; Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc.,

Ph.D; dr. Siswanto, MPH, DTM; Kunta WD Wibawa SE, MA, Ph.D; Erwin

Dimas, MSi; Drs Bayu Teja Muliawan, M.Pharm, MM; dr. Kalsum Komaryani,

MPPM; Renova GM Siahaan, SE, M.Sc; Inti Wikanestri, SKM, MPA;

Ardhiantie, SKM, MPH; dan Muhammad Zaki Firdaus, S. Farm, Apt.

Tim Lay Out

Budiyono, Hafid Wahyu Ramadhan, Hana Taqiyah

Diterbitkan dan dicetak oleh

Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kedeputian Pembangunan

Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas

Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310

Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603, Email: [email protected]

Cetakan pertama: Mei 2020

ISBN: 978-623-93153-8-2

Hak Penerbitan @ Kementerian PPN/Bappenas

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penulis dan

penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,

photoprint, microfilm dan sebagainya.

Page 3: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

iii

KATA PENGANTAR

Pembangunan kesehatan membutuhkan dukungan pembiayaan yang cukup

memadai. Alokasi anggaran yang adekuat, terintegrasi, stabil, dan

berkesinambungan memegang peran yang vital untuk penyelenggaraan

pelayanan kesehatan. Sejak tahun 2016, pemerintah pusat dan sebagian

besar pemerintah daerah telah mengalokasikan besaran anggaran

kesehatan sesuai dengan yang amanat UU No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, yaitu minimal 5% (lima persen) dari APBN dan 10% (sepuluh

persen) dari APBD.

Tantangan pembangunan kesehatan masih cukup banyak, sehingga review

terhadap pemanfaatan anggaran kesehatan menjadi prioritas untuk

dilakukan. Peraturan yang ada saat ini belum secara rinci menjelaskan

bagaimana anggaran kesehatan ini digunakan. Dukungan studi untuk

membedah postur anggaran kesehatan selama empat tahun terakhir ini

menjadi sangat penting. Studi ini merupakan studi yang pertama kali

dilakukan setelah empat tahun pemenuhan mandat terhadap anggaran

kesehatan.

Harapannya, studi ini mampu menjawab belum jelasnya peraturan mengenai

definisi, lingkup, kriteria, formulasi, peruntukan, dan pemanfaatan anggaran

kesehatan dalam postur APBN dan APBD serta memperoleh gambaran

tingkat efisiensi anggaran kesehatan sebagai salah satu input kepada

pemangku kebijakan terkait dalam peningkatan kualitas penganggaran ke

depan.

Jakarta, Mei 2020

Dr. Ir. Subandi Sardjoko, M.Sc

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan

Kementerian PPN/Bappenas

Page 4: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

iv

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN

Buku ini diperuntukkan bagi para pemangku kepentingan, akademisi,

mahasiswa, dan masyarakat secara luas yang mendalami ilmu ekonomi

kesehatan dan kebijakan kesehatan. Buku ini memberikan pengkayaan ilmu

khususnya dalam memberikan gambaran rinci postur anggaran kesehatan

dan review potensi efisiensi dalam anggaran kesehatan. Penghargaan dan

ucapan terima kasih setinggi-tingginya kami sampaikan kepada seluruh pihak

yang membantu dan memberikan kontribusi atas kerja kerasnya sehingga

buku ini dapat disusun dengan baik.

Penghargaan dan ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada:

▪ Rekan-rekan Kementerian PPN/Bappenas yaitu Erwin Dimas, Msi; Woro

Srihastuti Sulistyaningrum, ST, MIDS; Prahesti Pandanwangi, SH, Sp.N,

LLM; R.M Dewo Broto Joko P., SH, LLM; Dra. Sri Rahayu, M.Ed; Mahendra

Arfan Azhar, S.Sos, MSi; Icha Puspitasari, S.Si; Rati Handayani, SKM;

Tanti Dian Ruhama, SH, MH; Fauzal Muslim, SE, MSc; dan Alfi Ma'rufi Ardi

Kusuma. Rekan-rekan Kementerian Keuangan yaitu Kunta WD Wibawa,

Ph.D dan Adinugroho Dwiutomo, M.Sc. Rekan-rekan Kementerian

Kesehatan yaitu dr. Siswanto, MPH, DTM, Bayu Teja Muliawan, M.Pharm,

MM, dan dr. Kalsum Komaryani, MPPM.

▪ Para pakar pembiayaan kesehatan, Prof. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH,

Prof.dr. Laksono Trisnantoro,MSc.,Ph.D.

▪ Para informan dalam focus group discussion dan diskusi tingkat pusat dan

diskusi tingkat daerah (Pemerintah Provinsi DIY, Pemerintah Kota

Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Bantul, dan Pemerintah Kabupaten

Kulonprogo).

▪ WHO Indonesia yang telah berkontribusi mendukung terselenggaranya

studi bedah anggaran kesehatan.

Page 5: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN ............................................... iv

DAFTAR ISI ........................................................................................................... v

DAFTAR TABEL ................................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. vii

DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................... ix

RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1

1.2. Tujuan ....................................................................................................... 2

1.3. Metodologi ................................................................................................ 2

1.4. Keterbatasan Studi ................................................................................... 3

BAB 2. TREN FISCAL SPACE DAN NHA 2016–2018.......................................... 6

BAB 3. TREN DAN POSTUR ANGGARAN KESEHATAN 2016–2020 ............... 10

BAB 4. ANALISIS POSTUR ANGGARAN KESEHATAN PUSAT ...................... 14

4.1. Definisi dan Lingkup Anggaran Kesehatan.............................................. 14

4.2. K/L yang Terhitung dalam Anggaran Kesehatan ..................................... 30

4.3. Hasil Perhitungan Kedua Opsi ............................................................... 33

4.4. Peruntukan Anggaran Kesehatan ........................................................... 34

4.5. Mekanisme Pengalokasian Anggaran Kesehatan ................................... 37

BAB 5. ANALISIS POSTUR ANGGARAN KESEHATAN DAERAH ................... 45

BAB 6. ANALISIS POTENSI EFISIENSI ANGGARAN KESEHATAN ................ 57

6.1. Budget Execution ...................................................................................... 62

6.2. Potensi Pendanaan Ganda ........................................................................ 70

6.3. Fleksibilitas Anggaran ............................................................................... 73

6.4. Review Performance dan Baseline ............................................................ 80

BAB 7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................................... 85

REFERENSI ........................................................................................................ 88

Page 6: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perkembangan Alokasi DAK Kesehatan 2016-2020 ......................... 11

Tabel 2. Fungsi Kesehatan berdasarkan Systems of Health Accounts ............ 16

Tabel 3. Perbandingan Lingkup Fungsi Anggaran Kesehatan ......................... 19

Tabel 4. Rangkuman Definisi dan Lingkup Anggaran Kesehatan .................... 28

Tabel 5. Rangkuman Analisis dari Kegiatan K/L terkait Kesehatan ................. 31

Tabel 6. Jenis-Jenis Upaya Kesehatan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 . 35

Tabel 7. OPD dalam Perhitungan Anggaran Kesehatan di Kota Yogyakarta,

Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo, Tahun 2019 ........... 48

Tabel 8. Perhitungan Proporsi Anggaran Kesehatan terhadap APBD di Kota

Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo,

Tahun 2019 ....................................................................................... 50

Tabel 9. Metode Evaluasi Ekonomi dari Program atau Intervensi Kesehatan .. 60

Page 7: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tingkat Pertumbuhan PDB & Belanja Kesehatan Indonesia,

2010-2018 ......................................................................................... 6

Gambar 2. Proporsi Belanja Kesehatan Nasional & Belanja Kesehatan

Pemerintah terhadap PDB, 2010-2018 .............................................. 7

Gambar 3. Proporsi Total Belanja Kesehatan terhadap PDB Negara Terpilih,

2010-2017 ......................................................................................... 8

Gambar 4. Anggaran Kesehatan dalam Postur APBN, 2016-2020 .................... 10

Gambar 5. Trend Belanja K/L dalam Postur Anggaran Kesehatan APBN,

2016-2020 (dalam Rp Trilyun) ......................................................... 12

Gambar 6. Hasil Perhitungan Anggaran Kesehatan 2019 .................................. 33

Gambar 7. Gambaran Peruntukan Anggaran Kesehatan, 2019 ......................... 37

Gambar 8. Mekanisme Alokasi Anggaran Kesehatan ........................................ 41

Gambar 9. Skema Mekanisme Koordinasi ......................................................... 43

Gambar 10. Rata-rata Belanja APBD Kesehatan Kab/Kota menurut Provinsi,

2017 ................................................................................................ 45

Gambar 11. Rata-rata Belanja APBD Kesehatan dan Proporsinya terhadap

APBD Kab/Kota, 2017 .................................................................... 46

Gambar 12. Rata-rata Belanja langsung APBD Kesehatan menurut OPD, 2017 . 47

Gambar 13. Komponen Anggaran Kesehatan dalam Perspektif APBN dan

APBD .............................................................................................. 54

Gambar 14. Tren Belanja Kemenkes, 2016 – 2018 (di luar Iuran PBI dan

Poltekkes) ........................................................................................ 63

Gambar 15. Proporsi Belanja Kemenkes per November 2019 ............................. 64

Gambar 16. Proporsi Belanja Pada Eselon Utama Kemenkes per November

2019 ................................................................................................ 65

Gambar 17. Alokasi, Realisasi dan Penyerapan pada Output Penyediaan Obat

dan Vaksin di Ditjen Farmalkes, 2013-2018 ..................................... 65

Gambar 18. Tren Belanja Kemenkes menurut Jenis Kewenangan, 2016 – 2018

(di luar iuran PBI dan Poltekkes) ...................................................... 66

Gambar 19. Tren Belanja Kemenkes menurut Jenis Kewenangan dan Jenis

Belanja, 2016 – 2018 (di luar iuran PBI dan Poltekkes) .................. 67

Page 8: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

viii

Gambar 20. Tren Belanja Dana Dekonsentrasi pada Eselon Utama Kemenkes,

2016 – 2018 (di luar iuran PBI dan Poltekkes) ................................. 68

Gambar 21. Tren Anggaran Dekonsentrasi menurut Nama Kegiatan di Ditjen

Kesmas, 2016 – 2019 ...................................................................... 69

Gambar 22. Potensi Duplikasi Pendanaan pada Program Pelayanan Ibu Hamil

dan Bersalin ..................................................................................... 71

Gambar 23. Penyelenggaraan Program Imunisasi ............................................... 72

Gambar 24. Tren Alokasi Kementerian Kesehatan Secara Nominal, 2010-2020 . 75

Gambar 25. Tren Alokasi Kementerian Kesehatan Secara Proporsi (diluar

Jamkes), 2010-2020 ........................................................................ 75

Gambar 26. Anggaran Kesehatan menurut Fungsi Layanan, 2019 ..................... 78

Gambar 27. Belanja Kesehatan Sektor Publik menurut Fungsi Layanan,

2020-2017 ....................................................................................... 78

Gambar 28. Belanja Kesehatan menurut Skema Pembiayaan dan Fungsi

Layanan, 2015-2017 ........................................................................ 79

Gambar 29. Contoh Nomenklatur dan Satuan Output Saat Ini Berikut

Rekomendasi Perbaikan yang Diusulkan ......................................... 80

Page 9: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

ix

DAFTAR SINGKATAN

ADH : Atas Dasar Harga

ADS : Auto Disable Syringe

ANC : Antenatal Care

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

APBN-P : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara- Perubahan

BA BUN : Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara

Bapelkes : Balai Pelatihan Kesehatan

BHP : Bahan Habis Pakai

Binwas : Pembinaan dan Pengawasan

BLU : Badan Layanan Umum

BLUD : Badan Layanan Umum Daerah

BMHP : Bahan Medis Habis Pakai

BOK : Bantuan Operasional Kesehatan

BOKB : Bantuan Operasional Keluarga Berencana

BPK : Badan Pemeriksa Keuangan

BPKAD : Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah

DAK : Dana Alokasi Khusus

DAU : Dana Alokasi Umum

DBH : Dana Bagi Hasil

DBHCHT : Dana Bagi Hasil dari Cukai Hasil Tembakau

DEA : Data Envelopment Analysis

DHA : District Health Account

DID : Dana Insentif Daerah

DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

DTPK : Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan

GDP : Gross Domestic Product

FA : Financing Agents

FKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut

FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

FS : Revenue of Financing Schemes

HC : Health Care Functions

HF : Health Care Financing Schemes

HK : Capital Expenditure

HP : Health Care Providers

Page 10: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

x

ISCO : International Standard Classification of Occupations

KIE : Komunikasi, Informasi, dan Edukasi

KIS : Kartu Indonesia Sehat KKBPK : Kependudukan Keluarga Berencana dan Pengendalian

Penduduk KP : Kantor Pusat

Labkesda : Laboratorium Kesehatan Daerah

LRA : Laporan Realisasi Anggaran

NAPZA : Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif

NHA : National Health Accounts

NSPK : Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria

OECD : Organisation for Economic Co-operation and Development

OPD : Organisasi Perangkat Daerah

Otsus : Otonomi Khusus

P2P : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit P4GN : Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan, Peredaran

Gelap Narkoba

PAD : Pendapatan Asli Daerah

PBI : Penerima Bantuan Iuran

PDB : Produk Domestik Bruto

Pemda : Pemerintah daerah

PER : Public Expenditure Review

Perkonsil : Peraturan Konsil Kesehatan Indonesia

Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri

Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan

Permenkeu : Peraturan Menteri Keuangan

Perpres : Peraturan Presiden

PFM : Public Financial Management

PHLN : Pinjaman dan Hibah Luar Negeri

PHE : Public Health Expenditure

PMK : Peraturan Menteri Keuangan

PMT : Pemberian Makanan Tambahan

PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak

POLRI : Polisi Republik Indonesia

Poltekkes : Politeknik Kesehatan

PP : Peraturan Pemerintah

PPKBD : Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa

PTM : Penyakit Tidak Menular

QALY : Quality-Adjusted Life Years

Page 11: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

xi

Rajal : Rawat Jalan

Ranap : Rawat Inap

Rehab : Rehabilitasi

Renja : Rencana Kerja

Renja-K/L : Rencana Kerja Kementerian/ Lembaga

Renstra : Rencana Strategis

RKA : Rencana Kerja dan Anggaran

RKA-K/L : Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga

RKP : Rencana Kerja Pemerintah

RM : Rupiah Murni

RMP : Rupiah Murni Pendamping

RPP : Rancangan Peraturan Pemerintah

RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

RS : Rumah Sakit

RUU : Rancangan Undang Undang

Satker : Satuan Kerja

SDM : Sumber Daya Manusia

SEA : Stochastic Frontier Analysis

Setjen : Sekretariat Jenderal

SHA : System of Health Account

SIP : Surat Izin Praktik

SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah

SPM : Standar Pelayanan Minimal

STR : Surat Tanda Registrasi

TB : Tuberkulosis

THE : Total Health Expenditure

TKDD : Transfer Ke Daerah dan Dana Desa

TP : Tugas Pembantuan

Tupoksi : Tugas Pokok dan Fungsi

UHC : Universal Health Coverage

UKMPPD : Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter

WB : World Bank

Page 12: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

xii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pemenuhan minimal 5 persen anggaran kesehatan dan 10 persen anggaran

kesehatan daerah yang diamanatkan dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang

kesehatan saat ini tidak memiliki batasan yang jelas, sehingga berpotensi

menyebabkan perbedaan interpretasi antar-stakeholders terutama mengenai

definisi, lingkup, peruntukan dan mekanisme pengalokasian. Tantangan lain juga

ditemui dalam bagaimana mengalokasikan anggaran kesehatan secara efisien.

Kompleksitas dalam perencanaan dan penganggaran menimbulkan kesulitan

dalam menghubungkan antara kinerja anggaran dengan pencapaian

pembangunan kesehatan.

Studi ini menggunakan metode: 1) telaah literatur (laporan National Health

Account Indonesia, India, Vietnam, dan United Kingdom; 10 pedoman

internasional; dan 35 peraturan perundang-undangan), 2) wawancara mendalam

(Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam

Negeri, Kementerian Kesehatan, dan Pemerintah Provinsi & Kabupaten/Kota

terpilih Daerah Istimewa Yogyakarta, 3) diskusi pendalaman internal Direktorat

Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas, 4) analisis

kuantitatif (NHA 2016 – 2019, APBN tahun 2019, nota keuangan 2016 – 2020,

dan sumber relevan lainnya).

Studi ini berupaya menjawab bagaimana sebaiknya anggaran kesehatan

dialokasikan, terutama pada 1) kejelasan definisi, lingkup, peruntukan dan

mekanisme pengalokasian; 2) komposisi belanja kesehatan daerah pada daerah

terpilih; dan 3) potensi efisiensi pada anggaran Kementerian Kesehatan dan

Dana Alokasi Khusus (DAK) Kesehatan.

Page 13: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

xiii

Simpulan serta rekomendasi yang dihasilkan dari studi ini, antara lain:

1) Diskursus anggaran kesehatan minimal 5% tidak relevan lagi dan

pengalokasian anggaran kesehatan ke depan lebih difokuskan pada efisiensi

anggaran kesehatan;

2) Belum ada panduan teknis perhitungan anggaran kesehatan, sehingga

diperlukan regulasi atau petunjuk teknis yang memberi batas yang jelas

tentang definisi, ruang lingkup, dan mekanisme pengalokasian;

3) Dengan berbagai pertimbangan literatur, diskusi pakar, dan hasil

pembahasan dengan para pemangku kepentingan, lingkup anggaran

kesehatan minimal 5% di tingkat pusat masih mencakup gaji, mengakomodasi

double tagging dengan anggaran pendidikan (internsip, Poltekkes Kemkes),

mengakomodasi double tagging anggaran perlindungan sosial (JKN/KIS),

menghitung anggaran K/L terkait kesehatan secara lebih tajam (anggaran

kependudukan BKKBN tidak termasuk anggaran kesehatan), menghitung

beberapa RS di luar Kemkes (RS TNI, RS POLRI, RS Olahraga Nasional, RS

BP Batam, dan RS Pengayoman);

4) Pemenuhan peruntukan anggaran kesehatan 2/3 untuk pelayanan publik

telah terpenuhi, namun kriteria pemanfaatan anggaran kesehatan yang perlu

diperjelas dan disepakati bersama;

5) Mekanisme pengalokasian anggaran kesehatan perlu dirumuskan dalam

forum bersama antara Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian

Keuangan minimal pada awal tahun dan menjelang penetapan pagu alokasi;

dan

6) Terkait dengan efisiensi, proses review anggaran kesehatan perlu dilakukan

secara rutin dan periodik, termasuk pentingnya monitoring terhadap anggaran

kesehatan di luar Kemenkes dan transfer ke daerah yang meningkat tiap

tahun.

Page 14: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

xiv

BAB 1.

PENDAHULUAN

Page 15: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 memberikan amanat

“mandatory spending” anggaran kesehatan sebesar minimum 5% dari APBN

dan 10% dari APBD yang harus dialokasikan untuk pembiayaan di sektor

kesehatan. Mandat ini telah digunakan oleh pemerintah sebagai acuan

penetapan postur anggaran kesehatan yang fokus pada pemenuhan

kewajiban pembiayaan 5% dari APBN di tingkat pusat dan 10% dari APBD di

tingkat pemerintah daerah. World Bank (2019) dalam literaturnya

mengedepankan tiga pilar utama dalam pembiayaan kesehatan yaitu aspek

kecukupan (sufficiency), pengalokasian anggaran yang efisien dan efektif

(efficiency and effectivenes), dan keberlanjutan pembiayaan kesehatan

(sustainability).

Di tingkat pusat, pemerintah telah berhasil menjaga pemenuhan minimal

“mandatory spending” untuk penetapan anggaran 5% dari APBN di bidang

kesehatan. Statistik menunjukkan bahwa pemerintah dalam periode 4 tahun

terakhir, telah memenuhi porsi 5% APBN untuk anggaran kesehatan,

meskipun masih terdapat beberapa catatan yang perlu diputuskan oleh para

pemangku kebijakan. Beberapa catatan tersebut akan dibahas satu persatu

dalam bab berikutnya. Definisi dan peruntukan anggaran kesehatan yang

dicantumkan dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 terlalu luas, sehingga

berpotensi adanya multi-interpretasi dan memberikan ruang pengalokasian

belanja kesehatan menjadi tidak sesuai peruntukan yang seharusnya.

Sampai dengan saat ini, belum terdapat perangkat peraturan yang sifatnya

operasional dan dapat digunakan sebagai panduan dalam pengalokasian

dan pemanfaatan anggaran sesuai dengan amanah yang telah ditetapkan.

Tantangan utama yang dihadapi dalam penyusunan anggaran kesehatan

adalah masih belum optimalnya koordinasi dan sinergi antar pemangku

kepentingan, sehingga masing-masing pihak belum mempunyai persepsi

Page 16: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

2

yang sama. Ketepatan besaran peruntukkan anggaran kesehatan untuk

mendanai intervensi utama yang mendukung capaian prioritas nasional juga

menjadi isu kritis, sejalan dengan peningkatan anggaran kesehatan dari

tahun ke tahun.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memberikan rekomendasi kepada

Bappenas dan Kementerian Keuangan untuk lebih memperjelas

pengalokasian mandatory spending, terutama anggaran kesehatan dan

pendidikan. Pemanfaatan anggaran kesehatan perlu dipertajam terutama

tentang perencanaan penganggaran yang utuh, penggunaan anggaran yang

tepat dan berdaya guna, dan ketercapaian output dan outcome sesuai target

prioritas pembangunan nasional. Hasil dari studi ini diharapkan dapat

memberikan masukan untuk lebih mempertajam pengalokasian anggaran

kesehatan agar lebih tepat dan berkualitas.

1.2. TUJUAN

Studi ini bertujuan memberikan analisis terhadap pengalokasian postur

anggaran kesehatan 2016-2019 sekaligus memberikan rekomendasi dalam

definisi, kriteria, peruntukan, dan pemanfaatan serta mekanisme

pengalokasian anggaran kesehatan. Khusus anggaran kesehatan daerah,

studi ini bertujuan untuk memberikan analisis terhadap komposisi belanja

kesehatan daerah (daerah sampel). Selain ranah postur anggaran

kesehatan, studi ini mencoba menggali potensi efisiensi pada beberapa

komponen anggaran kesehatan (case study anggaran Kemkes dan DAK

kesehatan).

1.3. METODOLOGI

Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif ditambah dengan studi literatur,

analisis berbasis data sekunder. Studi literatur dilakukan dengan

menganalisis 4 laporan, mencakup: National Health Account (NHA) dari

berbagai negara, 10 pedoman internasional, dan 35 peraturan perundangan-

undangan untuk menganalisis postur anggaran kesehatan. Lebih lanjut,

analisis kuantitatif dilakukan terhadap data NHA tahun 2010-2017, alokasi

anggaran kesehatan pada level K/L dalam postur APBN tahun 2019, nota

Page 17: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

3

keuangan tahun 2016-2020, serta beberapa sumber pendukung lain untuk

mengetahui formulasi anggaran kesehatan yang ada saat ini dan aspek

efisiensi anggaran kesehatan. Selain itu, analisis juga diperkaya dengan

wawancara mendalam, focus group discussion baik di tingkat pusat maupun

daerah, dan diskusi secara intensif. Wawancara mendalam dilakukan dengan

informan dari Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Direktorat Penyusunan

APBN Kemenkeu, Biro Perencanaan dan Anggaran Kemenkes, Pusat

Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes, Direktorat Alokasi

Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas, dan Direktorat

Perencanaan Anggaran Daerah Kemendagri dan World Bank. Dalam proses

sintesis dan finalisasi temuan studi postur dan efisiensi anggaran kesehatan,

maka dilakukan diskusi secara intensif dengan Direktorat Kesehatan dan Gizi

Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas.

Hasil dari studi literatur, analisis kuantitatif, wawancara mendalam dan

diskusi intensif kemudian didiskusikan melalui FGD di tingkat pusat.

Sementara itu, FGD di tingkat daerah dilakukan di daerah sampel yang

melibatkan perwakilan pemangku kebijakan terkait anggaran kesehatan dari

Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten

Bantul, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan Pemerintah Kota

Yogyakarta untuk mengetahui postur anggaran kesehatan daerah.

1.4. KETERBATASAN STUDI

Studi ini memiliki keterbatasan, diantaranya sebagai berikut:

1. Telaah literatur dilakukan dengan mengakses berbagai dokumen seperti

laporan National Health Account, laporan realisasi anggaran kesehatan,

dan regulasi kesehatan di negara yang bersangkutan.

2. Data yang dianalisis pada level K/L dalam postur APBN hanya data alokasi

tahun 2019 mencakup informasi program, kegiatan, output, suboutput,

komponen, subkomponen, dan rincian subkomponen. Namun belum

dapat melakukan analisis mendalam menurut satuan kerja, sumber dana,

Page 18: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

4

jenis kewenangan dan jenis belanja dikarenakan keterbatasan data yang

tersedia.

3. Untuk postur APBD belum dapat dianalisis seperti postur APBN karena

variasi data pelaporan yang cukup lebar. Data yang dianalisis pada level

daerah dalam postur APBD hanya pada data belanja tahun 2017 dan data

sampel dari tiga kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

dikarenakan keterbatasan data yang tersedia.

4. Analisis efisiensi melalui metode evaluasi ekonomi secara komprehensif

belum dapat dilakukan. Keterbatasan data anggaran juga menyebabkan

analisis dilakukan hanya pada anggaran Kemenkes dan DAK kesehatan

secara selected (tidak seluruh bagian dilakukan analisis).

Page 19: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

5

BAB 2.

TREN FISCAL SPACE DAN NHA

2016-2018

Page 20: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

6

BAB 2. TREN FISCAL SPACE DAN NHA 2016–2018

Perekonomian di Indonesia terus tumbuh selama kurun waktu 2010-2018.

Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan dari Rp 6,864

triliun (2010) menjadi Rp 10,425 triliun (2018) atas dasar harga konstan 2010.

Meskipun mengalami perlambatan pada tahun 2012-2015, tingkat

pertumbuhan PDB Indonesia (perhitungan atas dasar harga konstan) dari

tahun 2015-2018 relatif stabil. Hal ini tidak sejalan dengan tingkat

pertumbuhan dari belanja barang dan jasa pada sektor kesehatan yang

cenderung fluktuatif dan menurun signifikan pada tahun 2017 (Gambar 1).

Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui

penyelenggaraan program kesehatan, dibutuhkan komitmen dari pemerintah

maupun dukungan berbagai pihak untuk menjamin kecukupan pembiayaan

kesehatan di Indonesia. Selain itu, pelaksanaan monitoring pembiayaan

kesehatan juga perlu diperkuat untuk dapat menilai bagaimana kualitas

belanja kesehatan yang telah dianggarkan.

Gambar 1. Tingkat Pertumbuhan PDB dan Belanja Kesehatan Indonesia, 2010 - 2018

Sumber: GDP deflator dipublikasikan oleh World Bank, PDB Indonesia 2010-2018 dipublikasikan oleh BPS, Data National Health Accounts (NHA) Indonesia, 2010-2018

World Health Organization (WHO) telah mengembangkan tools untuk

menggambarkan dan memonitor belanja kesehatan nasional secara

komprehensif dalam konteks sistem kesehatan, yaitu National Health

-

6,2% 6,0% 5,6% 5,0% 4,9% 5,0% 5,1% 5,2%

-

6,5%

4,2%

8,9% 8,5%8,3% 8,1%

-1,6%

3,5%

-5%

0%

5%

10%

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Pertumbuhan PDB Indonesia (ADH Konstan)Pertumbuhan Belanja Kesehatan Indonesia (ADH Konstan)

Page 21: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

7

Accounts (NHA). Secara konstan, total belanja kesehatan Indonesia

meningkat dari Rp 204,7 triliun (2010) menjadi Rp 320,0 triliun (2017). Belanja

kesehatan perkapita per tahun Indonesia juga mengalami peningkatan dari

Rp 858 ribu (2010) menjadi Rp 1,2 juta (2018) menurut harga konstan.

Meskipun demikian, kontribusi belanja kesehatan terhadap total konsumsi

barang dan jasa di Indonesia cenderung stagnan karena proporsi total

belanja kesehatan terhadap nilai PDB hanya sekitar 3 persen selama tahun

2010-2018. Pada periode yang sama, hasil NHA dapat menunjukkan adanya

penguatan komitmen pemerintah dalam pembiayaan kesehatan mengingat

proporsi belanja kesehatan pemerintah terhadap PDB terus mengalami

peningkatan (Gambar 2).

Gambar 2. Proporsi Belanja Kesehatan Nasional & Belanja Kesehatan Pemerintah

terhadap PDB, 2010-2018

Sumber: GDP deflator dipublikasikan oleh World Bank, PDB Indonesia 2010-2018 dipublikasikan oleh BPS, Data National Health Accounts (NHA) Indonesia, 2010-2018

Total belanja kesehatan Indonesia terbilang cukup rendah jika dibandingkan

dengan beberapa negara di Asia (Gambar 3). Sebagian besar negara di

wilayah Asia Tenggara memiliki proporsi belanja kesehatan terhadap PBD

yang lebih tinggi dari Indonesia, kecuali Laos dan Brunei Darussalam.

Proporsi belanja kesehatan di negara Asia lainnya seperti India, Timor Leste,

3,0 3,0 2,9 3,0 3,1 3,2 3,3 3,13,1

0,9 0,9 1,0 1,1 1,21,4 1,6 1,6 1,7

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Persentase THE terhadap PDB Persentase GHE terhadap PDB

Page 22: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

8

China, dan Korea Selatan cenderung meningkat setiap tahun serta memiliki

proporsi belanja kesehatan terhadap PDB yang juga lebih tinggi dari

Indonesia.

Gambar 3. Proporsi Total Belanja Kesehatan terhadap PDB Negara Terpilih, 2010-2017

Sumber: PDB Indonesia 2010-2017 dipublikasikan oleh BPS; Data National Health Accounts (NHA) Indonesia, 2010-2017; Proporsi total belanja kesehatan terhadap PDB negara terpilih 2010-2017 dipublikasikan oleh WHO

Dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil (sekitar 5%), maka pengeluaran

kesehatan baik Total Health Expenditure (THE) maupun Public Health

Expenditure (PHE) meningkat. Dengan kompleksitas permasalahan

kesehatan seharusnya pertumbuhan Total Health Expenditure (THE) dan

Public Health Expenditure (PHE) melebihi atau setidaknya sama dengan

pertumbuhan PDB. Untuk itu, perlu kemauan politik (political will) .

3,0 3,0 2,9 3,0 3,13,2 3,3 3,1

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017India Indonesia MyanmarThailand Timor-Leste CambodiaChina Lao People's Democratic Republic MalaysiaPhilipines Republic of Korea Brunei Darussalam

Page 23: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

BAB 3.

TREN DAN POSTUR

ANGGARAN KESEHATAN

2016-2020

Page 24: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

10

BAB 3. TREN DAN POSTUR ANGGARAN KESEHATAN 2016–2020

Postur Anggaran Kesehatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) disusun oleh Kementerian Keuangan yang dituangkan dalam

Nota Keuangan APBN setiap tahunnya. Anggaran kesehatan dalam postur

APBN terdiri dari anggaran pemerintah pusat dan anggaran transfer ke

daerah serta dana desa (TKDD). Anggaran pemerintah pusat terdiri dari

anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) dan non-K/L (Bagian Anggaran

Bendahara Umum Negara/BA BUN), sementara TKDD yang dihitung

mencakup Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Otonomi Khusus Papua.

Gambar 4. Anggaran Kesehatan dalam Postur APBN, 2016-2020

Sumber: Nota Keuangan Kemenkeu 2016-2020

Terdapat perubahan pola anggaran kesehatan dalam postur APBN dimana

anggaran non-K/L (BA BUN) yang merupakan kewenangan Kementerian

Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan DAK meningkat setiap

70,161,2

70,6 68,2 66,2

12,819,7

10,9 20,1 31

20 22,8 28,432,5

32,5

1,2 1,21,2

1,2

2,4

5% 5% 5% 5%5,2%

0%

1%

2%

3%

4%

5%

6%

0

20

40

60

80

100

120

140

160

2016 2017 2018 2019 2020

Rp

tri

liun

K/L Non-K/L DAK Otsus Rasio Anggaran Kesehatan terhadap APBN

Pemerintah Pusat

Transfer ke Daerah dan Dana Desa

Page 25: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

11

tahunnya, sedangkan anggaran K/L cenderung menurun (Gambar 4).

Penggunaan anggaran BA BUN ini antara lain adalah untuk membayar iuran

program JKN bagi pegawai pemerintah dan cadangan untuk anggaran yang

tidak terduga, misalnya untuk kemungkinan defisit program JKN dan alokasi

penanganan bencana.

Anggaran transfer ke daerah juga menunjukkan peningkatan secara

signifikan sebesar 62,5% pada tahun 2020 dibandingkan tahun 2016. DAK

fisik mengalami peningkatan yang lebih besar, terutama pada sub bidang

pelayanan kesehatan dasar dibandingkan dengan DAK non fisik. Mulai tahun

2017, DAK diperjelas peruntukannya bagi pencapaian target nasional dengan

adanya DAK penugasan.

Tabel 1. Perkembangan Alokasi DAK Kesehatan 2016-2020

Jenis/ Subbidang DAK

Alokasi (Rp Miliar)

2016 2017 2018 2019 2020

DAK Fisik Reguler 14.665,7 16.539,6 14.521,6 19.251,2 20.168,9

Subbidang Dasar 6.460,3 3.205,1 2.659,2 3.168,2 4.901,7

Subbidang Rujukan 4.563,5 4.201,8 2.485,8 5.598,3 6.913,5

Subbidang Farmasi 3.641,9 2.113,8 1.908,8 1.814,4 1.366,2

DAK Fisik Penugasan

4.767,1 4.241,6 5.558,6 3.867,7

DAK Fisik Afirmasi 2.251,8 3.226,2 3.111,7 3.119,8

DAK Non Fisik 4.567,0 6.910,0 10.460,0 10.258,6 9.708,6

Sumber: Direktorat KGM Bappennas

K/L yang terhitung dalam anggaran kesehatan saat ini hanya K/L utama saja,

mencakup: Kemenkes, BKKBN, BPOM, dan K/L lainnya (Kemhan dan

TNI/POLRI). Dalam anggaran K/L tersebut, masih menghitung komponen

gaji. Berdasarkan Gambar 5, terlihat komposisi pengalokasian anggaran

pada K/L cukup berfluktuasi. Kemenkes sebagai bagian dari anggaran K/L

Page 26: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

12

merupakan komponen terbesar pada anggaran kesehatan dalam postur

APBN. Anggaran kesehatan pada Kemenkes dan K/L lainnya (Kemhan dan

TNI/POLRI) cenderung menurun, sedangkan anggaran pada BKKBN

meningkat tajam pada tahun 2018 dibanding tahun 2017, namun kemudian

menurun.

Gambar 5. Trend Belanja K/L dalam Postur Anggaran Kesehatan APBN, 2016-2020 (dalam Rp Trilyun)

Sumber: Nota Keuangan Kemenkeu 2016-2020

62,7

54,259,1 58,7 57,4

1,5

1,5

2,2 2,0 1,9

3,6

2,2

5,5 3,8 3,6

2,3

3,3

3,83,7

3,3

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2016 2017 2018 2019 2020

Rp

tri

liun

K/LLainnya

BKKBN

BPOM

Kemenkes

Page 27: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

BAB 4.

ANALISIS POSTUR

ANGGARAN KESEHATAN

PUSAT

Page 28: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

14

BAB 4. ANALISIS POSTUR ANGGARAN KESEHATAN PUSAT

4.1. Definisi dan Lingkup Anggaran Kesehatan

Definisi Anggaran Kesehatan

Definisi anggaran kesehatan Pemerintah diatur dalam Undang-Undang

Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dalam Pasal 171 ayat 1 yang menyatakan

bahwa alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara untuk kesehatan

sebesar minimal 5% (di luar gaji). Mengacu pada definisi tersebut, gaji tenaga

kesehatan seharusnya tidak dihitung ke dalam porsi 5% anggaran kesehatan.

Pada praktiknya gaji masih dihitung ke dalam porsi 5% APBN untuk anggaran

kesehatan. Kementerian Keuangan sendiri mengeluarkan dua peraturan

Menteri yang membahas mengenai klasifikasi dari anggaran negara

berdasarkan aspek fungsi dan tematik. Dalam Lampiran II Peraturan Menteri

No. 102/PMK.02/2018, kesehatan diklasifikasikan sebagai fungsi 07, yang

mencakup hal-hal berikut:

a. 07.01: obat dan peralatan kesehatan

b. 07.02: pelayanan kesehatan perorangan

c. 07.03: pelayanan kesehatan masyarakat

d. 07.04: keluarga berencana

e. 07.05: penelitian dan pengembangan kesehatan

f. 07.90: kesehatan lainnya

Dalam lampiran tersebut tidak tertulis secara jelas mengenai penghitungan

gaji sebagai anggaran kesehatan. Peraturan tersebut menyatakan bahwa

hal-hal administratif dan operasional yang mendukung berjalannya sub-

fungsi di atas, digolongkan ke dalam fungsi kesehatan. Peraturan lain yang

dikeluarkan Kementerian Keuangan adalah Peraturan Menteri Keuangan No.

142/PMK.02/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan

Page 29: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

15

Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan

Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. Dalam aturan ini

dinyatakan bahwa output dari anggaran kesehatan adalah seluruh output

dalam kegiatan yang termasuk dalam fungsi kesehatan. Tidak ditemui aturan

tertulis mengenai penghitungan gaji dalam anggaran kesehatan di dalam

peraturan tersebut.

Landasan penghitungan 5% termasuk gaji mengacu pada hasil judicial review

di Mahkamah Konstitusi mengenai anggaran pendidikan. Kebijakan untuk

menghitung gaji sebagai bagian dari anggaran kesehatan dilakukan melihat

adanya kesamaan kondisi antara anggaran pendidikan dan anggaran

kesehatan. Dalam Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 026/PUU-

IV/2006 diputuskan bahwa gaji terhitung sebagai anggaran pendidikan untuk

meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik sebagai bagian yang tidak bisa

dipisahkan dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional. Diharapkan

bahwa dengan menerapkan kebijakan serupa, kesejahteraan tenaga

kesehatan dapat meningkat dan berdampak positif bagi ketercapaian target

pembangunan kesehatan nasional.

Kementerian Kesehatan sedang menyusun Rancangan Peraturan

Pemerintah (RPP) Pembiayaan Kesehatan sebagai peraturan turunan dari

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009. Dalam dokumen tersebut, anggaran

kesehatan merupakan seluruh pengeluaran atas barang dan jasa, termasuk

anggaran untuk investasi yang tujuan utamanya berkaitan dengan sektor

kesehatan (termasuk promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), dan

dialokasikan pemerintah pusat sekurang-kurangnya 5% di luar gaji

(Kementerian Kesehatan, 2019).

Dalam studi literatur tidak ditemukan rekomendasi definisi baku mengenai

anggaran kesehatan. Berdasarkan UK National Health and Social Care Act

2012 dan laporan National Health Account dari Vietnam, India, dan Inggris,

gaji dihitung sebagai bagian dari alokasi anggaran kesehatan (UK Health and

Page 30: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

16

Social Care Act 2012; Ministry of Health Vietnam 2016; Ministry of Health and

Welfare India 2017; UK Department of Health and Social Care 2018). Hal ini

dilakukan dengan pertimbangan bahwa gaji merupakan komponen yang tidak

terpisahkan dari implementasi pelayanan kesehatan bagi masyarakat (UK

Department of Health and Social Care, 2018). Dalam Focus Group

Discussion (FGD) antara Kementerian PPN/Bappenas dengan Kementerian

Keuangan dan mempertimbangkan berbagai hal diatas, gaji masih terhitung

dalam anggaran kesehatan.

Lingkup Anggaran Kesehatan

WHO dalam panduan Systems of Health Accounts (SHA) mengklasifikasikan

lingkup anggaran kesehatan berdasarkan fungsi pelayanan kesehatan

(health care functions), dan fungsi modal (capital formation in health system),

sebagai berikut (WHO, 2011):

Tabel 2. Fungsi Kesehatan berdasarkan Systems of Health Accounts

Kode Deskripsi

Fungsi Pelayanan Kesehatan (Health Care Function)

HC.1 Pelayanan kuratif

HC.1.1 Rawat inap

HC.1.2 Pelayanan kuratif satu hari (one day care)

HC.1.3. Rawat jalan

HC.1.4 Pelayanan kuratif berbasis rumah

HC.2 Pelayanan rehabilitatif

HC.2.1 Pelayanan rehabilitatif dengan rawat inap

HC.2.2 Pelayanan rehabilitatif satu hari (one day care)

HC.2.3 Pelayanan rehabilitatif dengan rawat jalan

HC.2.4 Pelayanan rehabilitatif berbasis rumah

HC.3 Pelayanan jangka panjang

HC.3.1 Pelayanan rawat inap jangka panjang

HC.3.2 Pelayanan jangka panjang one day care

HC.3.3 Pelayanan rawat jalan jangka panjang

HC.3.4 Pelayanan rawat jalan jangka panjang berbasis rumah

HC.4 Pelayanan penunjang

HC.4.1 Pelayanan laboratorium

HC.4.2 Pelayanan radiologi dan imaging

HC.4.3 Transportasi pasien

HC.5 Barang medis

Page 31: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

17

Tabel 2. Fungsi Kesehatan berdasarkan Systems of Health Accounts (Lanjutan)

Kode Deskripsi

HC.5.1 Sediaan farmasi dan barang medis habis pakai

HC.5.2 Alat terapi dan barang medis lain

HC.6 Pelayanan preventif

HC.6.1 Informasi, edukasi, dan konseling

HC.6.2 Program Imunisasi

HC.6.3 Deteksi dini penyakit

HC.6.4 Pengawasan kondisi kesehatan masyarakat

HC.6.5 Surveilans epidemiologi, risiko, dan pengendalian penyakit

HC.6.6 Mitigasi bencana dan kondisi kegawatdaruratan

HC.7 Tata kelola, sistem kesehatan, pembiayaan, dan administrasi kesehatan

HC.7.1 Tata kelola dan administrasi sistem kesehatan

HC.7.2 Administrasi pembiayaan kesehatan

HC.9 Pelayanan kesehatan lain yang tidak terklasifikasi

Memorandum items

Reporting items

HC.RI.1 Total belanja sediaan farmasi

HC.RI.2 Obat tradisional

HC.RI.3 Pencegahan dan program kesehatan masyarakat

Health care related

HCR.1 Pelayanan jangka panjang (social care)

HCR.2 Promosi kesehatan dengan pendekatan multisektor

Fungsi Modal (Capital Formation in Health System)

HK.1 Modal kotor

HK.1.1. Modal tetap (termasuk infrastruktur; mesin dan peralatan; produk kekayaan intelektual)

HK.1.2. Perubahan persediaan (changes in inventories)

HK.1.3. Acquisitions less disposals of valuables

HK.2 Aset non-finansial

HK.2.1 Tanah

HK.2.2 Aset lain

Memorandum items

HKR.1 Pinjaman

HKR.2 Akumulasi simpanan

HKR.3 Public-private partnership

HKR.4 Riset dan pengembangan bidang kesehatan

HKR.5 Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan

Sumber: WHO, 2011

Dari hasil studi literatur terhadap dokumen peraturan perundang-undangan

dan laporan National Health Account dari Inggris, Vietnam, dan India,

ditemukan pendekatan berbeda dari ketiga negara tersebut dalam

menentukan lingkup anggaran kesehatan di negaranya masing-masing. India

Page 32: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

18

dan Vietnam tidak menghitung riset dan pengembangan, serta pendidikan

dan pelatihan bagi tenaga kesehatan ke dalam anggaran kesehatan mereka.

Vietnam juga tidak mencantumkan pelayanan rehabilitatif dan pelayanan

jangka panjang ke dalam lingkup anggaran kesehatannya (Ministry of Health

Vietnam, 2016; Ministry of Health and Welfare India, 2017). Hal berbeda

diterapkan di Inggris, negara tersebut menerapkan seluruh fungsi SHA di atas

ke dalam perhitungan anggaran kesehatannya (UK Health and Social Care

Act, 2012; UK Department of Health and Social Care, 2018).

Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tidak mencantumkan

pelayanan kesehatan jangka panjang dan pelayanan penunjang. Namun

berdasarkan Lampiran Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang

Sistem Kesehatan Nasional, tercantum bahwa layanan laboratorium

diperlukan untuk mendukung subsistem kesehatan nasional yang ada. Dalam

RPP Pembiayaan Kesehatan tercantum subkomponen sediaan farmasi dan

alat kesehatan, yang dapat disimpulkan terkait dengan fungsi pelayanan

kuratif, rehabilitatif, pelayanan penunjang, barang medis, dan pelayanan

preventif. Secara keseluruhan berdasarkan review 3 peraturan perundang-

undangan di atas, sebetulnya Indonesia sudah mengimplementasikan

pendekatan yang sama dengan pedoman yang direkomendasikan WHO

serta praktik dari negara lain terkait lingkup fungsi anggaran. Hanya saja

lingkup pelayanan jangka panjang di Indonesia belum secara eksplisit

dipisahkan dari pelayanan kuratif-rehabilitatif yang sudah berjalan. Tabel 3 di

bawah ini mencantumkan rangkuman hasil studi literatur lingkup anggaran

kesehatan di Indonesia dan negara lain:

Page 33: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

19

Tabel 3. Perbandingan Lingkup Fungsi Anggaran Kesehatan

Fungsi Anggaran

Kode SHA

SHA 2011

UU No. 36

Tahun 2009

Perpres 72/2012

RPP Pembiayaan Kesehatan

India NHA 2016

Vietnam NHA 2013

UK Health

& Social Care Act

2012

Pelayanan kuratif HC.1 √ √ √ √ √ √

√ Pelayanan rehabilitatif

HC.2 √ √ √ √ √ -

Pelayanan jangka panjang

HC.3 √ - - - √ - √

Pelayanan penunjang

HC.4 √ - √ √ √ √ √

Barang medis HC.5 √ √ √ √ √ √ √

Pelayanan preventif-promotif

HC.6 √ √ √ √ √ √ √

Tata kelola, sistem kesehatan, pembiayaan, dan administrasi kesehatan

HC.7 √ √ √ √ √ √ √

Infrastruktur HK

1.1.1 √ √ √ √ √ √ √

Riset dan pengembangan

HKR.4 √ √ √ √ - - √

Pendidikan dan pelatihan untuk tenaga kesehatan

HKR.5 √ √ √ - - - √

Sumber: Undang-undang No. 36 Tahun 2009; WHO, 2011; Perpres No. 72 Tahun 2012; UK Health and

Social Care Act 2012; Ministry of Health Vietnam, 2016; Ministry of Health and Welfare India,

2017

Di dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah disebutkan

amanat “mandatory spending” anggaran kesehatan sebesar minimum 5%

dari APBN dan 10% dari APBD yang harus dialokasikan untuk pembiayaan

di sektor kesehatan. Namun demikian, belum terdapat batasan atau ukuran

yang digunakan untuk menetapkan bahwa suatu pelayanan dapat

dikategorikan sebagai bagian dari anggaran kesehatan. Dengan

mempertimbangkan hal tersebut, selain kegiatan yang secara jelas bertujuan

untuk pelayanan kesehatan, kegiatan yang dapat dikategorikan dalam

anggaran kesehatan antara lain: pelaksanaan program dokter internsip,

Page 34: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

20

pendidikan di Politeknik Kementerian Kesehatan, RS Pendidikan, klinik dan

rumah sakit di K/L, serta anggaran terkait kependudukan. Studi literatur

terhadap regulasi dalam negeri, pedoman internasional, serta praktik di

negara lain dilakukan untuk menganalisis jenis kegiatan yang termasuk

dalam anggaran kesehatan.

Berdasarkan studi literatur, WHO melalui dokumen SHA 2011

merekomendasikan 4 (empat) kriteria yang digunakan untuk dapat

menentukan suatu kegiatan termasuk sebagai belanja kesehatan, yaitu:

a. Tujuan utama kegiatan (the primary intent) adalah untuk meningkatkan,

memelihara atau mencegah status kesehatan termasuk untuk mitigasi

konsekuensi kesakitan dari individu, kelompok populasi tertentu, maupun

keseluruhan populasi.

b. Kegiatan dilakukan oleh dan/atau di bawah supervisi profesi yang

mempunyai pengetahuan dan keahlian medis maupun kegiatan terkait

fungsi administrasi dan pendanaan tata kelola sistem kesehatan. Profesi

yang dimaksud misalnya dokter dan paramedis, perawat, bidan, ahli

kesehatan masyarakat, atau tenaga kesehatan yang terdidik dan terlatih

lainnya, termasuk tenaga profesi pengobatan tradisional (tergantung

kebijakan masing-masing negara), sesuai dengan International Standard

Classification of Occupations (ISCO) kategori 2200 dan 3200.

c. Konsumsi yang terjadi merupakan konsumsi akhir oleh residen dari suatu

wilayah, bukan konsumsi antara/intermediate. Konsumsi akhir adalah

konsumsi yang langsung dirasakan oleh penerima manfaat, misalnya

rumah tangga yang berobat ke fasilitas kesehatan. Konsumsi akhir ini

dilakukan oleh residen, terlepas dimana pelayanan kesehatan ini terjadi

dan siapa yang membiayai. Seseorang disebut sebagai residen apabila

tinggal di wilayah tersebut minimal selama 6 (enam) bulan. Residen dapat

melakukan konsumsi akhir di dalam maupun di luar negara tempat tinggal

residen tersebut. Hal ini menyebabkan belanja kesehatan yang dihitung

Page 35: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

21

mencakup impor (barang dan jasa kesehatan yang diberikan oleh

penyedia layanan kesehatan dari luar negeri), namun tidak termasuk

ekspor (barang dan jasa kesehatan yang diberikan oleh penyedia layanan

kesehatan dalam negeri kepada non-residen).

d. Adanya transaksi yang terjadi dalam kegiatan konsumsi barang dan jasa

pelayanan kesehatan. Transaksi adalah pertukaran antara barang dan

jasa pelayanan kesehatan yang diterima oleh konsumen dengan

pembayaran konsumen atau dengan kata lain aliran barang dan jasa

pelayanan kesehatan diikuti dengan aliran finansial, baik dibayarkan

langsung oleh pasien maupun secara tidak langsung yang dibayarkan oleh

pihak ketiga dalam suatu sistem kesehatan (misalnya dibayarkan oleh

pemerintah maupun oleh asuransi kesehatan). Transaksi yang dicatat

adalah transaksi yang terkait dengan penyediaan dan konsumsi barang

dan jasa pelayanan kesehatan untuk meningkatkan status kesehatan.

Program dokter internsip

Berdasarkan PP No. 52 Tahun 2017 Pasal 1 Ayat 6, program dokter internsip

merupakan proses untuk memantapkan mutu dan profesi dari dokter dan

dokter gigi, dengan menerapkan kompetensi yang diperoleh selama masa

studi secara terintegrasi, komprehensif, mandiri, dengan tujuan untuk

memahirkan dan menyelaraskan hasil pendidikan dengan kondisi di

lapangan. Proses ini dijalani seorang dokter setelah lulus Uji Kompetensi

Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPPD), menjalani prosesi sumpah

profesi dokter, dan mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin

Praktik (SIP) sementara (Perkonsil Nomor 1 Tahun 2010 tentang Registrasi

Dokter Program Internsip; Permenkes Nomor 2052 Tahun 2011 tentang Izin

Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran).

Dengan pendekatan fungsi, dokter internsip seharusnya dicatat sebagai

fungsi 10 (pendidikan), sesuai dengan aturan dalam Permenkeu No. 142

Tahun 2018. Di sisi lain, selama ini dokter internsip juga dicatat sebagai

Page 36: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

22

fungsi anggaran 07 (kesehatan), sehingga terjadi double counting atau

penghitungan dua kali. Menurut PP No. 52 Tahun 2017 Pasal 7, program

internsip dokter dikoordinasikan oleh Menteri yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Dari aturan tersebut, wewenang

koordinasi program di bawah Menteri Kesehatan, bukan Menteri Pendidikan.

Permenkes No. 39 Tahun 2017 Pasal 23 menyatakan bahwa biaya

penyelenggaraan program tersebut dibebankan pada APBN, pemerintah

daerah dapat memberikan dukungan berupa penyediaan fasilitas dan

insentif. Regulasi serupa tidak ditemui dalam peraturan-peraturan yang

dikeluarkan oleh Menteri bidang pendidikan. WHO merekomendasikan

penyelenggaraan program dokter internship dihitung ke dalam anggaran

kesehatan (WHO, 2011). Diperlukan kejelasan batasan lingkup untuk fungsi

07 (kesehatan) dan 10 (pendidikan) untuk menentukan penghitungan

anggaran untuk program dokter internsip. Apabila program dokter internsip

akan dihitung sebagai output anggaran pendidikan, diperlukan penyesuaian

lebih lanjut terhadap PP No. 52 Tahun 2017 untuk memberi wewenang

kepada Menteri bidang pendidikan dalam mengkoordinasikan implementasi

dan penganggaran program tersebut. Pilihan klasifikasi tersebut memberikan

beberapa implikasi, antara lain:

▪ Jika dihitung sebagai anggaran kesehatan maka tenaga kesehatan yang

mengikuti internsip dapat ditempatkan di fasilitas pelayanan kesehatan milik

pemerintah.

▪ Jika dihitung sebagai anggaran pendidikan, maka diusulkan Kemenkes

secara bertahap menurunkan anggaran internship, untuk selanjutnya

dialihkan ke Kemendikbud.

Dalam Focus Group Discussion (FGD) antara Kementerian PPN/Bappenas

dengan Kementerian Keuangan dan mempertimbangkan berbagai hal di

atas, internsip masih terhitung dalam anggaran kesehatan.

Page 37: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

23

Pendidikan di Politeknik Kementerian Kesehatan

Politeknik Kesehatan adalah perguruan tinggi di lingkungan Badan

Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan

(BPPSDMK) Kementerian Kesehatan, dan melaksanakan program

pendidikan vokasi dan profesi. Sebagai Badan Layanan Umum (BLU) dari

Badan PPSDM, selama ini anggarannya termasuk dalam anggaran

kesehatan, dan sumber pendapatan lain dari masyarakat (Permenkes No. 38

Tahun 2018).

Berdasarkan pendekatan fungsi, Kementerian Keuangan telah melakukan

tagging untuk pendidikan Poltekkes dalam fungsi 10 (pendidikan)

(Permenkeu No. 102 Tahun 2018; Permenkeu No. 142 Tahun 2018), namun

masih diperhitungkan juga ke dalam anggaran kesehatan karena berada di

bawah Kementerian Kesehatan (Permenkes No. 38 Tahun 2018).

Penghitungan anggaran Poltekkes ke dalam lingkup anggaran pendidikan

didukung justifikasi bahwa program pendidikan di Poltekkes tidak termasuk

ke dalam pendidikan kedinasan (Permenkeu No. 142 Tahun 2018). Dalam

PP No. 14 Tahun 2010 Pasal 4 Ayat 1 dinyatakan bahwa “program

pendidikan kedinasan hanya menerima peserta didik pegawai negeri dan

calon pegawai negeri.” Penyelenggaraan pendidikan di Poltekkes tidak

termasuk klasifikasi ini, karena peserta didiknya merupakan masyarakat

umum yang tidak terikat ikatan dinas dengan Kementerian Kesehatan.

WHO merekomendasikan bahwa penyelenggaraan pendidikan perguruan

tinggi untuk dihitung ke dalam fungsi pendidikan, bukan kesehatan (WHO,

2011). Diperlukan kejelasan dan batasan penamaan fungsi 07 (kesehatan)

dan 10 (pendidikan). Jika pendidikan di Poltekkes tetap dihitung ke dalam

anggaran kesehatan, maka dibutuhkan perubahan fungsi organisasi menjadi

institusi pendidikan kedinasan melalui penetapan mekanisme penempatan

dinas setelah lulus masa studi dalam jangka waktu tertentu. Pilihan klasifikasi

tersebut memberikan beberapa implikasi, antara lain:

Page 38: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

24

▪ Jika dihitung sebagai anggaran kesehatan, maka lulusan Poltekkes

didayagunakan di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah.

▪ Jika dihitung sebagai anggaran pendidikan, maka diusulkan Kemkes secara

bertahap menurunkan anggaran Poltekkes untuk selanjutnya dialihkan ke

Kemendikbud.

Dalam Focus Group Discussion (FGD) antara Kementerian PPN/Bappenas

dengan Kementerian Keuangan dan mempertimbangkan berbagai hal diatas,

Politeknik Kementerian Kesehatan masih terhitung dalam anggaran

kesehatan.

Rumah Sakit pendidikan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 Pasal 1 Ayat 15 menyatakan bahwa

“rumah sakit pendidikan adalah rumah sakit yang mempunyai fungsi sebagai

tempat pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan secara terpadu

dalam bidang pendidikan kedokteran, pendidikan berkelanjutan, dan

pendidikan kesehatan lainnya secara multiprofesi.” Berdasarkan

rekomendasi WHO, penyediaan infrastruktur dan pendidikan bagi tenaga

kesehatan dihitung ke dalam lingkup anggaran kesehatan (WHO, 2011).

Praktik serupa ditemui di Inggris dimana pembangunan dan pengelolaan

infrastruktur kesehatan seperti gedung dan fasilitas pendukungnya dihitung

ke dalam anggaran kesehatan (UK Health and Social Care Act 2012; UK Dept

of Health Care Services Report 2018). Sesuai PP No. 93 Tahun 2015 Pasal

5 Ayat 1, RS pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mendidik tenaga

kesehatan (seperti dokter spesialis dan subspesialis) yang bekerja di

lingkungan Kementerian Kesehatan, tapi juga mendidik tenaga kesehatan di

luar Kemenkes, dan mahasiswa yang sedang menjalani proses studi untuk

menjadi tenaga kesehatan (seperti mahasiswa program profesi pendidikan

dokter dan dokter gigi). Manfaat dari pendanaan RS pendidikan dari

Page 39: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

25

anggaran kesehatan tidak hanya dirasakan oleh tenaga kesehatan, tapi juga

non-tenaga kesehatan.

Rumah sakit di lingkungan K/L selain Kementerian Kesehatan

Rumah sakit yang didirikan pemerintah merupakan unit pelaksana teknis dari

instansi pemerintah yang bersangkutan (termasuk TNI, Kepolisian, dan K/L

lain), penyelenggaraan aktivitasnya berdasarkan asas pengelolaan

keuangan badan layanan umum (BLU) (Permenkes No. 56 Tahun 2014).

Selain itu, fasilitas pelayanan kesehatan tersebut melayani masyarakat

umum, tidak hanya diperuntukan untuk kalangan internal. RS tersebut

mendapatkan alokasi anggaran dari instansinya masing-masing. Di sisi lain,

Permenkeu No. 102 Tahun 2018 menyatakan bahwa RS di lingkungan TNI

yang termasuk ke dalam fungsi pertahanan adalah yang dibangun dan

beroperasi di lapangan. Sedangkan RS militer tetap dihitung ke dalam fungsi

anggaran kesehatan (07.03).

WHO merekomendasikan bahwa penyediaan infrastruktur kesehatan untuk

dihitung ke dalam anggaran kesehatan, dan tidak terbatas hanya pada

lingkungan Kementerian Kesehatan (WHO, 2011). Praktik serupa juga

ditemui di Inggris, dimana pembangunan dan pengelolaan infrastruktur bagi

instansi pemerintah di luar departemen kesehatan juga dihitung ke dalam

anggaran kesehatan (UK Health and Social Care Act 2012; UK Dept of Health

Care Services Report 2018).

Pada praktiknya, terdapat kesulitan untuk menghitung realisasi anggaran

terkait output kegiatan RS di lintas K/L karena penamaannya tidak pada level

output. Perlu ada kejelasan penamaan fungsi dan batasan antara fungsi 07

(kesehatan), dan fungsi lain (misal jika terkait RS militer adalah fungsi 02).

Jika klinik dan RS di lingkungan K/L tidak dihitung sebagai anggaran

kesehatan, maka perlu ada pengaturan mekanisme pendanaan melalui

alokasi anggaran BLU di masing-masing K/L, serta revisi terhadap

Permenkeu No. 102 Tahun 2018. RS yang diusulkan masuk dalam

Page 40: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

26

perhitungan anggaran kesehatan yakni RS yang memberikan pelayanan

kesehatan untuk masyarakat umum, mencakup: 1) RS TNI, 2) RS POLRI, 3)

RS Olahraga Nasional, 4) RS BP Batam, dan 5) RS Pengayoman.

Anggaran kependudukan

Isu ini muncul karena tugas pokok dan fungsi dari Badan Kependudukan dan

Keluarga Berencana cukup luas, tidak hanya menjalankan fungsi kesehatan

terkait penyediaan alat kontrasepsi dan implementasi program keluarga

berencana. Berdasarkan Undang-undang No. 52 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat

2, kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur,

pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, dan kondisi

kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial budaya, agama,

serta lingkungan penduduk setempat. Sehingga, ada cakupan program

BKKBN yang diperdebatkan apakah dihitung dalam anggaran kesehatan

atau tidak. Berdasarkan Renstra BKKBN tahun 2015-2019 tercantum

program-program terkait pengendalian penduduk dan kesejahteraan

keluarga yang mencakup aktivitas di luar lingkup fungsi kesehatan (BKKBN,

2015).

Perpres No. 62 Tahun 2010 Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa BKKBN

merupakan Lembaga pemerintah non kementerian yang berada di bawah

dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang bertanggung

jawab di bidang kesehatan. WHO merekomendasikan hanya program

keluarga berencana yang dihitung ke dalam anggaran kesehatan (WHO,

2011), dan diimplementasikan pula di Inggris (UK Health and Social Care Act

2012). Perlu ada batasan lingkup fungsi 07 (kesehatan) dan kependudukan.

Dalam Focus Group Discussion (FGD) antara Kementerian PPN/Bappenas

dengan Kementerian Keuangan dan mempertimbangkan berbagai hal di

atas, anggaran kependudukan pada BKKBN tidak perlu dihitung pada

anggaran kesehatan.

Page 41: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

27

Anggaran Perlindungan Sosial

Anggaran jaminan kesehatan nasional (JKN) dalam pengalokasian premi PBI

disalurkan melalui Kementerian Kesehatan. Dalam penandaan (tagging)

tematik, PBI JKN terhitung sebagai anggaran kesehatan sekaligus sebagai

anggaran perlindungan sosial.

Page 42: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

28

Tabel 4. Rangkuman Definisi dan Lingkup Anggaran Kesehatan

No. Aspek Faktor Penguat Terhitung

Dalam Anggaran Kesehatan Faktor Penghambat

Terhitung Dalam Anggaran Kesehatan Rekomendasi Kebijakan

1 Gaji ▪ Mengacu pada Surat Putusan MK No. 026/PUU-IV/2006 tentang anggaran Pendidikan.

▪ Pedoman internasional dari WHO. ▪ Praktik serupa di negara lain.

▪ Tidak sesuai dengan mandat UU No. 36 Tahun 2009, terutama Pasal 171 ayat 2: Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.

▪ Gaji dihitung dalam anggaran kesehatan.

2 Program dokter internsip

▪ Koordinasi di bawah Menteri Kesehatan.

▪ Pedoman internasional dari WHO.

▪ Selama ini dihitung sebagai output fungsi pendidikan dan kesehatan.

▪ Internsip terhitung dalam fungsi kesehatan. ▪ Jika dihitung sebagai anggaran kesehatan,

maka diusulkan tenaga kesehatan yang mengikuti internsip dapat ditempatkan di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah.

3 Pendidikan di Politeknik Kementerian Kesehatan

▪ Berada di bawah supervisi BPPSDM Kesehatan Kementerian Kesehatan.

▪ Selama ini sudah dihitung sebagai fungsi 10 (pendidikan).

▪ Tidak termasuk pendidikan kedinasan ▪ Tidak direkomendasikan oleh WHO.

▪ Pendidikan di Politeknik Kementerian Kesehatan terhitung dalam fungsi kesehatan.

▪ Jika dihitung sebagai anggaran kesehatan, maka lulusan Poltekkes dapat didayagunakan di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah.

4 RS pendidikan ▪ Berada di bawah koordinasi Menteri Kesehatan.

▪ Pedoman internasional dari WHO. ▪ Praktik serupa dari negara lain.

▪ Mendidik mahasiswa yang belum menjadi tenaga kesehatan.

▪ Mendidik tenaga kesehatan yang bekerja di luar lingkungan Kementerian Kesehatan.

▪ RS Pendidikan dihitung dalam fungsi pendidikan.

5 Rumah sakit di K/L terkait (di luar Kementerian Kesehatan

▪ RS militer dihitung dalam fungsi kesehatan (07.03).

▪ Pedoman internasional dari WHO. ▪ Praktik serupa di negara lain. ▪ Memberikan pelayanan kepada

masyarakat secara umum.

▪ Merupakan BLU K/L terkait. ▪ Kesulitan dalam proses penelusuran

realisasi anggaran karena mekanisme tagging-nya tidak pada level output.

▪ RS milik K/L di luar Kemenkes jika ditujukan untuk memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat umum, maka dapat dikategorikan sebagai fungsi kesehatan.

▪ Perlu ada kejelasan penamaan fungsi dan batasan antara fungsi 07 (kesehatan) dan

Page 43: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

29

No. Aspek Faktor Penguat Terhitung

Dalam Anggaran Kesehatan Faktor Penghambat

Terhitung Dalam Anggaran Kesehatan Rekomendasi Kebijakan

fungsi lain (misal jika terkait RS militer adalah fungsi 02).

▪ RS yang diusulkan masuk dalam perhitungan anggaran kesehatan yakni RS yang memberikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat umum, mencakup: 1) RS TNI, 2) RS POLRI, 3) RS Olahraga Nasional, 4) RS BP Batam, dan 5) RS Pengayoman.

6 Anggaran terkait kependudukan

Kepala BKKBN bertanggung jawab pada Presiden melalui Menteri Kesehatan.

Fungsi BKKBN terkait pengendalian penduduk dan kesejahteraan keluarga di luar lingkup fungsi 07 (kesehatan).

▪ Anggaran kependudukan pada BKKBN tidak perlu dihitung pada anggaran kesehatan.

7. Anggaran Perlindungan Sosial

Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam pengalokasian premi PBI disalurkan melalui Kementerian Kesehatan.

Dalam penandaan (tagging) tematik, PBI JKN terhitung sebagai anggaran kesehatan sekaligus sebagai anggaran perlindungan sosial.

▪ Anggaran JKN terhitung dalam anggaran kesehatan dan perlindungan sosial.

Sumber: Putusan MK No. 026/PUU-IV/2006, UU No. 36 Tahun 2009, Direktorat KGM Bappenas 2019

Page 44: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

30

4.2. K/L yang Terhitung dalam Anggaran Kesehatan

Komponen belanja pusat yang dimanfaatkan langsung untuk pemenuhan

program dan kegiatan untuk mendukung pencapaian prioritas nasional yaitu

belanja K/L. Saat ini K/L yang terhitung dalam anggaran kesehatan hanya

K/L utama saja, mencakup: 1) Kementerian Kesehatan (seluruh anggaran),

2) BPOM (seluruh anggaran), 3) BKKBN (seluruh anggaran), 4)

Kementerian Pertahanan (anggaran pengelolaan RS TNI), dan 5) POLRI

(anggaran pengelolaan RS POLRI).

Setelah melakukan analisis rencana kerja dan anggaran K/L, ditemukan

bahwa terdapat 19 K/L memiliki output terkait kesehatan dan 3 K/L

diantaranya telah di tag anggaran pendidikan (Kemristekdikti,

Kemendikbud, dan Kemnag). Jika ditelusuri lebih lanjut hanya K/L yang

memiliki pengelolaan RS dan memberikan pelayanan kesehatan terhadap

masyarakat umum, maka tidak hanya Kemenkes, Kemhan, dan TNI/POLRI,

namun juga Kemenpora (pengelolaan RS olahraga nasional), BP BATAM

(pengelolaan RS BP BATAM), dan Kemkumham (pengelolaan RS

Pengayoman).

Berdasarkan hasil diskusi antara Kementerian PPN/Bappenas dan

Kementerian Keuangan, studi ini merekomendasikan perhitungan anggaran

kesehatan ke depan menggunakan opsi 2. Perhitungan tersebut,

mencakup:

1. Kemkes (seluruh anggaran)

2. BPOM (seluruh anggaran)

3. BKKBN (anggaran kesehatan pada BKKBN, kecuali anggaran

kependudukan)

4. Kemhan (pengelolaan RS TNI)

5. TNI/POLRI (pengelolaan RS POLRI)

6. Kempora (pengelolaan RS olahraga nasional)

7. BP BATAM (pengelolaan RS BP Batam)

8. Kemkumham (pengelolaan RS Pengayoman)

Page 45: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

31

Tabel 5. Rangkuman Analisis dari Kegiatan K/L terkait Kesehatan

Saat ini (Eksisting) Analisis terhadap 19 K/L (Opsi 1) Analisis terhadap

8 K/L (Opsi 2) Rekomendasi

1. Kemenkes

(seluruh

anggaran)

2. BPOM (seluruh

anggaran)

3. BKKBN (seluruh

anggaran)

4. Kemhan

(pengelolaan RS

TNI)

5. TNI/POLRI

(pengelolaan RS

POLRI)

Secara umum, terdapat 19 K/L memiliki output terkait kesehatan

dan 3 K/L diantaranya telah di tag anggaran pendidikan

(Kemenristekdikti, Kemendikbud, Kemnag).

Rincian K/L yang terhitung dalam anggaran kesehatan,

mencakup:

1. Kemenkes (seluruh anggaran)

2. BPOM (seluruh anggaran)

3. BKKBN (anggaran kesehatan pada BKKBN, kecuali anggaran

kependudukan)

4. Kemhan (pengelolaan RS TNI)

5. TNI/POLRI (pengelolaan RS POLRI)

6. Kemkumham (pengelolaan RS Pengayoman, perawatan

kesehatan dan rehabilitasi, pelaksanaan rehabilitasi medis,

perawatan kesehatan warga binaan)

7. Kemsos (terapi fisik dan perawatan kesehatan, honor pekerja

sosial/tenaga kesejahteraan sosial/konselor adiksi bidang

NAPZA)

8. BNN (rehabilitasi narkoba instansi pemerintah, penggiat anti

narkoba, advokasi pembangunan berwawasan anti narkoba,

diseminasi informasi P4GN)

9. KemdesPDTT (penguatan kader pemberdayaan masyarakat

dalam pelayanan sosial dasar pencegahan stunting)

10. KPPPA (fasilitasi pemenuhan hak anak atas kesehatan,

sosialisasi ASI eksklusif, gizi seimbang, pembatasan GGL,

rokok, dan kesehatan reproduksi)

11. Kemnaker (peningkatan kualitas dan pengelolaan K3,

peningkatan penerapan norma keselamatan dan kesehatan

kerja)

12. Kemen PUPR (pelatihan ahli muda K3)

1. Kemenkes (seluruh

anggaran)

2. BPOM (seluruh

anggaran)

3. BKKBN (anggaran

kesehatan pada

BKKBN, kecuali

anggaran

kependudukan)

4. Kemhan (pengelolaan

RS TNI)

5. TNI/POLRI

(pengelolaan RS

POLRI)

6. Kemenpora

(pengelolaan RS

olahraga nasional)

7. BP BATAM

(pengelolaan RS BP

Batam)

8. Kemkumham

(pengelolaan RS

Pengayoman)

Studi ini

merekomendasikan

bahwa perhitungan

anggaran kesehatan

perlu dipertajam

dengan menggunakan

opsi 2.

Page 46: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

32

Saat ini (Eksisting) Analisis terhadap 19 K/L (Opsi 1) Analisis terhadap

8 K/L (Opsi 2) Rekomendasi

13. Kemhub (pembangunan gedung balai kesehatan

penerbangan, pengadaan fasilitas pengujian kesehatan

pelaut, pengujian kesehatan personil penerbangan)

14. Kemenpora (pengelolaan RS Olahraga Nasional, peningkatan

kesehatan reproduksi pemuda)

15. BATAN (pelaksanaan inspeksi radiasi bidang kesehatan,

penerbitan KTUN bidang kesehatan)

16. BP BATAM (pengelolaan dan penyelenggaraan RS BP

BATAM)

17. Kemenristekdikti (operasional RS Pendidikan)

18. Kemendikbud (pemberian bantuan makanan sehat,

pelaksanan PROGAS, pembinaan UKS)

19. Kemnag (operasional dan pemeliharaan rumah sakit,

peningkatan mutu layanan kesehatan dan sanitasi di

pesantren).

Sumber: Nota Keuangan, Kemenkeu; Direktorat KGM Bappenas

Page 47: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

33

4.3. Hasil Perhitungan Kedua Opsi

Anggaran kesehatan pada Opsi 1 merupakan anggaran kesehatan yang

menjadi perhitungan postur anggaran kesehatan saat ini dan studi ini

merekomendasikan perhitungan anggaran kesehatan (opsi 2). Pada opsi 2

postur anggaran kesehatan yang mencakup beberapa kementerian/lembaga

baru yang dapat dikategorikan memiliki anggaran kesehatan.

kementerian/lembaga dimaksud antara lain: 1) Kementerian Hukum dan

HAM (RS Pengayoman sebesar Rp 22,7 miliar); 2) Kementerian Pemuda dan

Olahraga (RS Olahraga Nasional sebesar Rp 6,9 miliar); serta 3) Badan

Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

(RS BP Batam sebesar Rp 87,3 miliar). Dengan tambahan ini, jumlah

kementerian/lembaga yang dikategorikan memiliki anggaran kesehatan

menjadi delapan (dari sebelumnya lima).

Berikut adalah gambaran anggaran kesehatan di tingkat pusat untuk kedua

opsi tersebut:

Gambar 6. Hasil Perhitungan Anggaran Kesehatan 2019 (dalam Rp triliun)

Opsi 1 (saat ini) Opsi 2 (rekomendasi)

A. Pemerintah Pusat 88,3 88,3

1. K/L 68,2 68,2

a. Kemenkes 58,7 58,7

b. BPOM 2,0 2,0

c. BKKBN 3,8 3,8

d. Kemenhan 1,7 5,2

e. Polri 2,0 2,9

f. K/L Lain 0,1

▪ KemenkumHAM 0,0

▪ Kemenpora 0,0

▪ BP Batam 0,1

2. Non K/L

a. BA-BUN 20,1 20,1

B. Transfer ke Daerah dan Dana Desa

33,4 33,4

1. DAK Fisik 19,9 19,9

2. DAK Non-Fisik 12,2 12,2

3. Otsus Papua 1,3 1,3

Page 48: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

34

Opsi 1 (saat ini) Opsi 2 (rekomendasi)

a. Perkiraan Anggaran Kesehatan

1,3 1,3

Total (persen) 122,0 (5,0 persen) 126,4 (5,2 persen)

Sumber: FGD&Koordinasi Review Postur Anggaran dan Efisiensi Anggaran Kesehatan Bappenas, 2019

4.4. Peruntukan Anggaran Kesehatan

UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa 2/3 dari

anggaran kesehatan diperuntukkan untuk pelayanan publik, dan sisanya

untuk membiayai pelayanan lainnya. Dalam Pasal 171 ayat 3 Undang-

Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa: “Besar

anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)

diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang sekurang-kurangnya

2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan

belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah”. Lebih lanjut,

dalam lampiran undang-undang tersebut dijelaskan “Yang dimaksud dengan

“kepentingan pelayanan publik” dalam ketentuan ini adalah pelayanan

kesehatan baik pelayanan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif yang

dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Biaya

tersebut dilakukan secara efisien dan efektif dengan mengutamakan

pelayanan preventif dan promotif dan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)

dari APBN dan APBD”.

Pasal 172 ayat 1 mengamanatkan bahwa alokasi pembiayaan kesehatan

ditujukan untuk pelayanan publik yang diutamakan bagi penduduk miskin,

kelompok lanjut usia, dan anak terlantar. Secara umum, definisi pelayanan

publik diatur dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2009. Dalam peraturan

tersebut pada pasal 4 dinyatakan bahwa “penyelenggaraan pelayanan publik

berasaskan kepentingan umum; kepastian hukum; kesamaan hak;

keseimbangan hak dan kewajiban; keprofesionalan; partisipatif; persamaan

Page 49: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

35

perlakuan/tidak diskriminatif; keterbukaan; akuntabilitas; fasilitas dan

perlakuan khusus bagi kelompok rentan; ketepatan waktu; dan kecepatan;

kemudahan dan keterjangkauan.”

Lebih lanjut dalam Pasal 5 Ayat 1 dinyatakan bahwa ruang lingkup pelayanan

publik mencakup pelayanan barang publik, jasa publik, serta pelayanan

administratif. Sejauh ini belum ada regulasi di Indonesia yang secara jelas

mendefinisikan peruntukkan pelayanan publik di bidang kesehatan. Dalam

Pasal 46 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 membagi upaya kesehatan ke

dalam upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.

Pasal 47 menyatakan bahwa upaya kesehatan yang dimaksud sebelumnya

dilaksanakan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Jenis-jenis upaya kesehatan lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 48, serta

Pasal 126-166 sebagai berikut:

Tabel 6. Jenis-Jenis Upaya Kesehatan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009

No Pasal Upaya Kesehatan

1 Pasal 48 Ayat 1 Pelayanan kesehatan; pelayanan kesehatan tradisional; peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; kesehatan reproduksi; keluarga berencana; kesehatan sekolah; kesehatan olahraga; pelayanan kesehatan pada bencana; pelayanan darah; kesehatan gigi dan mulut; penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran; kesehatan matra; pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan; pengamanan makanan dan minuman; pengamanan zat adiktif; dan / atau bedah mayat.

2 Pasal 126-140 Kesehatan ibu, bayi, anak, remaja, lanjut usia, dan penyandang cacat

3 Pasal 141-143 Gizi

4 Pasal 144-151 Kesehatan jiwa

5 Pasal 152-161 Penyakit menular dan tidak menular

6 Pasal 162-163 Kesehatan lingkungan

7 Pasal 164-166 Kesehatan kerja

Sumber: UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Page 50: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

36

Mengacu pada regulasi-regulasi di atas, dapat dikategorikan bahwa

pelayanan publik di bidang kesehatan mencakup:

a. Pelayanan kuratif: Layanan yang bertujuan untuk mengobati dan

mengurangi tingkat kesakitan, mencakup ranap dan rajal, termasuk biaya

visit dokter, perawatan, konsultasi, barang medis (obat dan BMHP),

pemeriksaan laboratorium, infrastruktur, diklat, dan litbang pendukung

pelayanan kuratif.

b. Pelayanan rehabilitatif: Layanan terintegrasi yang bertujuan untuk

menjaga kualitas hidup pasien dengan kondisi disabilitas, termasuk

diantaranya terapi.

c. Pelayanan promotif dan preventif: Termasuk KIE, imunisasi, deteksi dini,

pemantauan kondisi sehat, surveilans epidemiologi, serta termasuk

infrastruktur, diklat, dan litbang pendukung pelayanan promotif preventif.

d. Jaminan Sosial Nasional bidang kesehatan: iuran PBI, ASN, pegawai

pemerintah.

Sementara anggaran kesehatan untuk pelayanan non-publik mencakup tata

kelola administrasi dan sistem kesehatan (kegiatan tatakelola termasuk

perencanaan dan perumusan kebijakan sistem kesehatan, administrasi dan

manajemen kesehatan, serta termasuk infrastruktur, diklat, dan litbang

pendukung kegiatan tatakelola administrasi dan sistem kesehatan). Berikut

adalah gambaran peruntukan anggaran kesehatan tahun 2019 di tingkat

pusat:

Page 51: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

37

Gambar 7. Gambaran Peruntukan Anggaran Kesehatan, 2019

Pelayanan* K/L Non-K/L

Transfer ke Daerah

TOTAL Peruntukkan

DAK Fisik

DAK Non-Fisik

Otsus Papua

DID

Nominal Persentase

Pelayanan Kuratif

54,6 20,1 17,6 1,9 1,9 96,1 76,6% Pelayanan Publik

95,4%

Pelayanan 79,8%

Infrastruktur 20,2%

Pelayanan Rehabilitatif

0,2 0,2 0,1%

Pelayanan Promotif Preventif

9,7 2,1 10,3 1,2 23,4 18,7%

Tata Kelola Administrasi dan Sistem Kesehatan

5,6 0,2 5,7 4,6% Pelayanan Non-

Publik

4,6%

TOTAL 70,1 20,1 19,9 12,2 1,2 1,9 125,4 100,0%

Sumber: Renja Kemenkes, diolah oleh Direktorat KGM Bappenas 2019

*Keterangan = klasifikasi dilakukan oleh tim Bappenas dengan mengacu pada definisi yang ada dan menempatkan output pada klasifikasi tertentu dengan mempertimbangkan porsi dukungan yang lebih besar. Hal ini dilakukan karena ketiadaan definisi operasional yang jelas yang telah disepakati bersama oleh para pakar.

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, peruntukan anggaran kesehatan telah

memenuhi amanat UU minimal 2/3 untuk pelayanan publik. Peruntukan

anggaran kesehatan ke depan, mencakup:

• Sejalan dengan policy objective (RPJMN, RKP, dll)

• Mengutamakan anggaran yang dapat dimanfaatkan langsung oleh

masyarakat dan diutamakan bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia,

dan anak terlantar

• Sesuai kewenangan dan kegiatan yang bersifat afirmasi

4.5. Mekanisme Pengalokasian Anggaran Kesehatan

Mekanisme pengalokasian anggaran kesehatan diatur dalam Peraturan

Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan

dan Penganggaran Pembangunan Nasional. Dalam peraturan tersebut

Page 52: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

38

dinyatakan bahwa proses perencanaan anggaran dilaksanakan dengan

menerapkan pendekatan berbasis program (money follow programs) melalui

penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting). Pada proses

ini Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas secara bersama-

sama mengawal setiap tahapan perencanaan anggaran. Tahap pertama dari

proses penganggaran adalah penyusunan tema, sasaran, arah kebijakan,

dan prioritas pembangunan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas. Hasil dari

proses penyusunan ini disampaikan kepada Presiden di bulan Januari untuk

disetujui, kemudian diumumkan kepada seluruh kementerian/lembaga,

pemerintah daerah, dan pihak terkait. Tema, sasaran, arah kebijakan, dan

prioritas pembangunan ini digunakan sebagai dasar penyusunan program

dan kegiatan di berbagai instansi.

Selanjutnya, Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas

melakukan tinjau ulang (baseline review) angka dasar untuk menyusun pagu

indikatif bagi kementerian/lembaga. Proses ini dilakukan dengan mengacu

pada realisasi pelaksanaan program dan anggaran tahun sebelumnya,

program dan alokasi anggaran tahun berjalan, program dan angka prakiraan

maju tahun pertama, serta hasil evaluasi kinerja dari kementerian/lembaga

terkait. Proses ini dilaksanakan pada bulan Februari.

Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas kemudian bersama-

sama melakukan proses penyusunan kerangka ekonomi makro dan pokok-

pokok kebijakan fiskal serta ketersediaan anggaran. Pertama-tama, Menteri

Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas bersama-sama menetapkan

besaran indikator ekonomi makro. Indikator ekonomi makro ini digunakan

untuk penyusunan dokumen RKP dan dokumen kerangka ekonomi makro

dan pokok-pokok kebijakan fiskal. Hasil dari proses ini kemudian

disampaikan pada Presiden paling lambat di minggu ketiga bulan Februari

untuk memperoleh persetujuan. Menteri Keuangan kemudian menyampaikan

Page 53: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

39

ketersediaan anggaran yang disetujui Presiden kepada Menteri PPN/Kepala

Bappenas paling lambat pada minggu pertama bulan Maret.

Setelah proses di atas, Menteri PPN/Kepala Bappenas menyusun dan

mengoordinasikan rancangan awal RKP, prioritas nasional, program

prioritas, kegiatan prioritas, proyek prioritas, penetapan lokasi dan keluaran,

serta berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Menteri

PPN/Kepala Bappenas kemudian menyampaikan hasil dari proses di atas

kepada Menteri Keuangan, untuk bersama-sama menyusun rancangan pagu

indikatif kementerian/lembaga. Selanjutnya, Menteri Keuangan dan Menteri

PPN/Kepala Bappenas menyampaikan rancangan kerangka ekonomi makro,

pokok-pokok kebijakan fiskal, ketersediaan anggaran, rancangan awal RKP,

dan rancangan pagu indikatif pada Presiden di bulan Maret. Rancangan dan

pagu indikatif yang telah disetujui kemudian disampaikan kepada

kementerian/lembaga terkait melalui Surat Bersama Menteri Keuangan dan

Menteri PPN/Kepala Bappenas tentang pagu indikatif kementerian/lembaga.

Rancangan awal RKP dan pagu indikatif ini menjadi dasar penyusunan

rancangan Renja-K/L. Dalam proses ini, Menteri Keuangan juga didukung

oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan untuk aktif

berkoordinasi dengan Kementerian PPN/Bappenas.

Renja-K/L yang disusun oleh masing-masing institusi kemudian disampaikan

kepada Menteri PPN dan Menteri Keuangan paling lambat di minggu kedua

bulan April. Setelahnya, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan,

dan Menteri/pimpinan lembaga melakukan pertemuan tiga pihak (trilateral

meeting) dalam rangka mengkaji rancangan Renja-K/L. Hasil dari proses

penelaahan ini bersifat mengikat. Dalam tahap ini, Kementerian Keuangan

melibatkan Direktorat Jenderal Anggaran, dan tidak lagi menyertakan BKF.

Berdasarkan hasil koordinasi dan trilateral meeting, Menteri PPN/Kepala

Bappenas kemudian menetapkan rancangan RKP yang akan didiskusikan

dalam sidang kabinet bersama DPR di bulan Mei. Selanjutnya, Menteri

Page 54: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

40

Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas melakukan pemutakhiran

ketersediaan anggaran berdasarkan hasil sidang kabinet. Hasil dari

pemutakhiran ini, bersama-sama dengan kerangka ekonomi makro, pokok-

pokok kebijakan fiskal, rancangan akhir RKP, dan rancangan pagu anggaran

disampaikan pada Presiden di bulan Juni. Rancangan akhir RKP kemudian

diatur dengan Peraturan Presiden pada bulan yang sama, sedangkan

rancangan pagu anggaran diumumkan kepada kementerian/lembaga terkait

melalui Surat Bersama Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala

Bappenas terkait pagu anggaran. RKP yang sudah diatur dalam Perpres di

atas kemudian dijadikan pedoman dalam menyusun RUU tentang APBN dan

Nota Keuangan, serta menjadi rujukan pemutakhiran rancangan Renja-K/L

menjadi Renja-K/L.

Setelah proses di atas, Menteri dan pimpinan lembaga terkait menyusun

RKA-K/L berdasarkan RKP dan Surat Bersama yang ada. RKA-K/L ini

kemudian ditelaah oleh Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala

Bappenas, untuk menjadi bahan penyusunan nota keuangan dan RUU

APBN. Kedua dokumen ini kemudian disampaikan kepada Presiden, untuk

selanjutnya akan dibahas bersama dengan DPR. Dalam proses pembahasan

ini, Menteri Keuangan membentuk tim kerja lintas kementerian/lembaga

untuk terlibat dalam diskusinya. Hasil kesepakatan bersama dengan DPR ini

kemudian disampaikan kepada Presiden dan menjadi dasar dari alokasi

anggaran. Pada tahap ini, Menteri/pimpinan lembaga dapat mengajukan

perubahan dengan menyampaikan kepada Presiden untuk mendapat

persetujuan. Di sisi lain, Menteri dan pimpinan lembaga perlu melakukan

penyesuaian terhadap Renja-K/L dan RKA-K/L dengan memprioritaskan

target pembangunan yang tercantum dalam RKP. Hasil dari proses

penyesuaian ini kemudian ditelaah oleh Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan, Menteri Keuangan, dan Menteri PPN/Kepala Bappenas.

Hasil penelaahan kemudian bersifat mengikat sebagai dasar pengesahan

Page 55: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

41

DIPA. Gambaran dari proses perencanaan anggaran ini tercantum dalam

Gambar 8 berikut:

Gambar 8. Mekanisme alokasi anggaran kesehatan

Sumber: Kementerian Keuangan

Dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan perwakilan dari Biro

Perencanaan dan Anggaran Kemenkes, Pusat Pembiayaan dan Jaminan

Kesehatan Kemenkes, Direktorat APP Kementerian PPN/Bappenas, BKF

Kemenkeu, dan DJA Kemenkeu, teridentifikasi beberapa tantangan yang

ditemui selama proses alokasi anggaran. Pada tahap awal proses

penganggaran, Kementerian PPN/Bappenas belum bisa mendeteksi

anggaran untuk BA BUN, sehingga proses perencanaan menjadi kurang

komprehensif. Tantangan lain dihadapi oleh kementerian teknis saat proses

trilateral meeting berjalan. Pada tahap ini Kemenkeu tidak lagi diwakili oleh

BKF, dan digantikan oleh DJA. Pada tahapan ini, kemungkinan adanya

penyesuaian pagu anggaran sangatlah tinggi sehingga pada beberapa

kesempatan terdapat penurunan pagu yang telah diterima sebelumnya

karena adanya perubahan asumsi makro.

Penetapan pagu indikatif berdasarkan:

• historis

• kemampuan untuk absorpsi

• inflasi 7 persen

• capaian output yang menunjang program

• kesiapan K/L untuk melaksanakan program

Peluang bagi K/L mengusulkan anggaran (1)

Peluang bagi K/L mengubah anggaran (2)

Peluang bagi K/L mengubah anggaran (3)

Trilateral Meeting

Trilateral Meeting

Page 56: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

42

Secara ideal, kementerian/lembaga terkait seharusnya mendapat

kesempatan untuk mengadvokasikan perubahan anggaran sesuai kebutuhan

instansinya. Dalam praktiknya, kementerian teknis sering mengalami

kesulitan dalam proses negosiasi dan memberikan justifikasi ekonomi

mengenai urgensi perubahan anggaran yang mereka butuhkan, sehingga

inovasi program dan kegiatan terbatas pada ketersediaan alokasi

pembiayaan secara memadai.

Di sisi lain, terdapat kesenjangan antara historical budget dan money follows

program. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 merekomendasikan

perencanaan anggaran berbasis pada kebutuhan program, namun seringkali

saat pengalokasian anggaran program merujuk pada anggaran sebelumnya

(historical budget) dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan program

secara ideal (money follows program). Ke depan, perlu disusun suatu

mekanisme koordinasi dalam postur anggaran kesehatan terutama sebelum

pagu indikatif ditetapkan. Pembahasan di awal tahun (Januari-Februari)

difokuskan pada: 1) review capaian output terhadap target nasional (review

performance), 2) review baseline, dan 3) pembahasan peruntukan anggaran

kesehatan.

Jika diperlukan pembahasan postur anggaran kesehatan juga dapat

dilakukan diskusi lanjutan pasca pagu anggaran dan sebelum pagu alokasi

ditetapkan. Pembahasan lanjutan tersebut difokuskan pada: 1) review

pengalokasian anggaran kesehatan, dan 2) perbaikan kebijakan peruntukan

pengalokasian anggaran kesehatan.

Page 57: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

43

Gambar 9. Skema Mekanisme Koordinasi

Sumber: Usulan Bappenas

Review

Angka Dasar

Feb-Mar

Resource

Envelope

Pagu

Indikatif

Pertemuan 3

Pihak Pembahasan

Awal

Anggaran

Kesehatan SB Pagu

Indikatif

Renja K/L

Januari/Feb Apr-Mei

Pertemuan 3

Pihak

SB Pagu

Anggaran

Renja K/L

RKA K/L

Jun-Jul

Pertemuan 3

Pihak

SB Pagu

Alokasi

Renja K/L

RKA K/L

Okt-Nov

DIPA

Desember Agt-Sept

Pembahasan

Lanjutan

Anggaran

Kesehatan

(Jika

Diperlukan)

Page 58: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

44

BAB 5.

ANALISIS POSTUR ANGGARAN

KESEHATAN DAERAH

Page 59: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

45

BAB 5. ANALISIS POSTUR ANGGARAN KESEHATAN DAERAH

Berdasarkan data belanja kesehatan tahun 2017 dari DJPK Kemenkeu,

diketahui bahwa proporsi belanja APBD bervariasi di tiap kabupaten/kota.

Secara nasional, rata-rata belanja APBD kabupaten/kota untuk kesehatan

adalah sebanyak Rp 210 miliar dengan proporsi belanja langsung sebesar

67% dan belanja tidak langsung sebesar 33%. Rata-rata belanja APBD untuk

kesehatan tertinggi ada di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang

mencapai Rp 488 miliar, sedangkan yang terendah di kabupaten/kota di

Provinsi Maluku Utara (Gambar 10).

Gambar 10. Rata-rata Belanja APBD Kesehatan Kab/Kota menurut Provinsi, 2017

Sumber: Data DJPK Kemenkeu dan BPS, diolah tim NHA

70%

64%

64%

69%

68%

60%

69%

59%

63%

62%

56%

70%

68%

72%

58%

59%

60%

70%

74%

67%

63%

66%

69%

66% 67

%

61% 73

%

64% 63

%

54% 67

% 72% 76

% 70%

30%

36%

36%

31%

32%

40% 31

%

41%

37%

38%

44%

30%

32%

28%

42%

41%

40% 30

% 26%

33%

37%

34%

31%

34%

33%

39% 27

%

36% 37

%

46%

33% 28

%

24%

30%

10

0

10

3

10

9

11

3

11

3

12

2

13

4

13

5

13

7

13

7

13

8

13

9

14

2

14

5

15

5

15

6

16

4

16

8

17

7

17

7

18

9

19

5

20

4

20

6

21

0

21

9

22

8

24

9 29

1

30

8

32

6

34

3 38

6

48

8

-

100

200

300

400

500

600

Rp

Mili

ar

% Belanja Langsung % Belanja Tidak Langsung

Rata-rata APBD Kesehatan

Page 60: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

46

Jika belanja tidak langsung (gaji dan tunjangan) dikeluarkan dari perhitungan,

maka rata-rata proporsi belanja APBD untuk kesehatan terhadap total APBD

secara nasional adalah 9,2% dengan proporsi tertinggi di kabupaten/kota di

Provinsi Gorontalo sebesar 12,6% dan terendah di kabupaten/kota di Provinsi

Jambi sebesar 6,5% (Gambar 11). Mayoritas kabupaten/kota di daerah Jawa

mempunyai rata-rata proporsi belanja APBD untuk kesehatan diatas 10%.

Gambar 11. Rata-rata Belanja APBD Kesehatan dan Proporsinya terhadap APBD

Kab/Kota, 2017

Sumber: Data DJPK Kemenkeu dan BPS diolah tim NHA

Jika dilihat berdasarkan OPD, belanja langsung APBD untuk kesehatan

secara keseluruhan mencakup belanja di Dinas Kesehatan, rumah sakit dan

dinas lainnya (Gambar 12). Secara nasional, proporsi belanja langsung

APBD untuk kesehatan di dinas kesehatan adalah sebesar 71%. Dengan

distribusi yang demikian, belum dapat digunakan untuk mengukur apakah

alokasi anggaran kesehatan ini berdampak pada perbaikan indikator

kesehatan selanjutnya.

66

7

0

70

7

4

77

7

8

78

8

0

84

8

6

90

9

2

93

9

6

97

9

8

10

4

11

7

11

8

11

9

12

9

13

1

13

3

13

6

14

1

14

1

15

9

16

6

16

6

18

2

21

9

24

7

29

3

34

2

7,4%

8,3%7,9%

7,8%7,5% 7,5%

6,5%

8,6%

7,2%7,9%

7,2%

9,7%

6,8%7,5%

7,9% 7,9%

10,8%

12,6%

9,0% 8,8%

8,3%

11,2%

7,7%

9,9%

9,2% 9,5%

7,5%

13,0%

9,2%8,8%

10,7%

10,9%

10,0%

12,3%

0%

2%

4%

6%

8%

10%

12%

-

50

100

150

200

250

300

350

400

Rp

Mili

ar

Rata-Rata Belanja Kesehatan (diluar gaji)

Rata-Rata Proporsi APBD Kes thd Total APBD

Page 61: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

47

Gambar 12. Rata-rata Belanja langsung APBD Kesehatan menurut OPD, 2017

Sumber: Data DJPK Kemenkeu dan BPS diolah tim NHA

OPD yang Terhitung dalam Anggaran Kesehatan

Di dalam Permendagri No. 13 tahun 2006 (direvisi menjadi Permendagri

No.59 tahun 2007) tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pada

pada Lampiran A.VI Kode dan Klasifikasi Belanja Daerah Menurut Fungsi

Untuk Keselarasan dan Keterpaduan Pengelolaan Keuangan Negara

disebutkan perhitungan anggaran fungsi kesehatan daerah meliputi urusan

kesehatan dan keluarga berencana. Di dalam Lampiran A.I Kode dan

Klasifikasi Urusan Pemerintah Daerah dan Organisasi disebutkan bahwa

urusan kesehatan mencakup anggaran di dinas kesehatan, rumah sakit, dll,

sementara urusan keluarga berencana dan keluarga sejahtera mencakup

anggaran di badan koordinasi keluarga berencana daerah, dll.

Kendati demikian, pada praktiknya terdapat variasi di daerah dimana

komposisi OPD dalam perhitungan anggaran kesehatan tidak sepenuhnya

sesuai dengan peraturan dalam Permendagri tersebut. Dari hasil focus group

discussion dengan 3 perwakilan kabupaten/kota di provinsi DIY, diperoleh

gambaran sebagai berikut:

1% 4% 2% 3% 3% 1% 4% 5% 6% 3% 3% 1%9% 4% 3% 0% 1%

7%

2% 4% 8% 5% 1% 1% 4% 9% 8% 5% 8%10%3%

13%8% 5%

63

%

49

% 67

%

69

% 82

%

61

% 66

% 74

%

59

%

64

%

66

%

75

%

62

% 80

%

70

% 84

%

75

% 79

%

85

%

80

%

67

%

78

%

82

%

87

%

72

%

63

%

65

%

62

%

76

% 83

%

76

%

62

%

76

%

71

%

35

%

48

% 31

%

28

% 15

%

39

% 29

% 21

%

35

%

33

%

31

% 24

%

29

% 16

%

27

% 16

%

24

% 14

%

13

%

17

%

26

% 17

%

16

%

12

%

24

%

28

%

27

%

32

% 16

% 7%

21

%

25

% 16

%

24

%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Dinas Lain Dinkes RS

Page 62: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

48

Tabel 7. OPD dalam Perhitungan Anggaran Kesehatan di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo, Tahun 2019

Kab/Kota

OPD

Dinas

Kesehatan RSUD

Dinas PMD

Dalduk dan

KB

Dinas

PUPKP

Kota Yogyakarta √ √ √

Kabupaten Bantul √ √

Kabupaten Kulon

Progo √ √ √

Sumber: Paparan Perwakilan dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo

dalam FGD Postur APBD yang diolah Konsultan, 2019

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa perhitungan anggaran

kesehatan yang sesuai dengan Permendagri No. 13 tahun 2006 adalah

Kabupaten Kulon Progo, sementara Kabupaten Bantul hanya mencakup

OPD Dinas Kesehatan dan RSUD serta Kota Yogyakarta mencakup OPD

Dinas Kesehatan, RSUD, dan Dinas PUPKP. Anggaran kesehatan di Dinas

PUPKP Kota Yogyakarta adalah berupa pembangunan Kantor UPT

Laboratorium Kesehatan Lingkungan.

Gaji

Definisi anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota

diatur dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, dimana

dalam Pasal 171 ayat 1 dinyatakan:

“Besar anggaran kesehatan untuk pemerintah daerah provinsi,

kabupaten/kota dialokasikan minimal sebesar 10% (sepuluh persen) dari

anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji”.

Mengacu pada definisi tersebut, gaji tenaga kesehatan tidak dihitung ke

dalam porsi 10% anggaran kesehatan. Definisi diluar gaji dalam UU tersebut

belum dijelaskan secara rinci di dalam peraturan turunan seperti peraturan

pemerintah, sehingga pada praktiknya terdapat variasi interpretasi dari

Page 63: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

49

pemangku kebijakan terkait, sebagaimana disampaikan oleh informan

berikut:

“Menurut kami semua gaji tenaga yang mendukung pencapaian target

kesehatan kami masukkan, namun jika ada arahan perlu keluarkan maka

bisa dipisahkan.” (BPKAD, Kota Yogyakarta)

“Untuk perhitungan kami, yang dengan gaji di tahun 2018 itu 19.61%.

untuk 2019 itu termasuk gaji 16.79%, dan RAPBD 17.16%. Jika tanpa

gaji di 2018 itu 15.49%, di 2019 itu 12.62% di 2020 rencananya 13an %.”

(Bappeda, Kab. Bantul)

“Gaji sebenarnya perlu dimasukkan karena layanan pasti berkaitan erat

dengan SDM yang memberikan pelayanan. Kalaupun gaji masuk, pasti

lebih dari 10%” (Dinkes, Kab. Kulon Progo)

“Untuk kesehatan, misal tenaga administrasi yang tidak menangani

secara langsung layanan kesehatan. Agak sulit untuk dipisahkan.

Kalaupun masuk atau tidak, tidak harus sama dengan mandatory

spending 10%” (Bappeda, Kab. Kulon Progo)

“... yang jelas 10% dari APBD di luar gaji, tetap sesuai regulasi yang ada.

Masalah lengkap atau tidak lengkap jangan ditanya kepada kami.

Tanyalah kepada K/L yang mengatur karena kami ngga mungkin

mengurusi masalah urusan kesehatan. Itu silakan tanya kepada

kemenkes, kalau mau revisi, kami siap mengakomodir hasil revisi.”

(Keuda Kemendagri)

Terdapat dua pendapat terkait perlakuan komponen gaji dalam anggaran

kesehatan dimana daerah menyatakan gaji perlu dimasukkan, namun gaji

yang dimasukkan hanya mencakup komponen gaji pada tenaga yang

memberikan pelayanan langsung ke masyarakat. Meskipun pada praktiknya

akan ditemui kesulitan dalam mengidentifikasi gaji antara tenaga yang

Page 64: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

50

melakukan pelayanan langsung dan tenaga yang tidak melakukan pelayanan

langsung. Sementara, Kemendagri berpendapat bahwa gaji tidak

dimasukkan dalam anggaran kesehatan karena berpedoman pada UU yang

ada. Berikut adalah gambaran perhitungan proporsi anggaran kesehatan

terhadap APBD di ketiga daerah sampel.

Tabel 8. Perhitungan Proporsi Anggaran Kesehatan terhadap APBD di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo, Tahun 2019

Kab/Kota

Anggaran

APBD

(termasuk gaji)

APBD

(diluar gaji)

Kesehatan

(termasuk gaji)

Kesehatan

(diluar gaji)

Proporsi

Kesehatan

terhadap

APBD

(termasuk

gaji)

Proporsi

Kesehatan

terhadap

APBD

(diluar

gaji)

a b c d e f

Kota

Yogyakarta 1.933.398.837.146,52

(1.933.398.837.146,52-

372.553.176.104) =

1.560.845.661.042,52

359.784.558.191 18,6%

(e=c/a)

23,05%

(f=c/b)

Kabupaten

Bantul 2.383.356.028.670 400.199.378.335 300.894.975.152

16,79%

(e=c/a)

12,62%

(f=d/a)

Kabupaten

Kulon

Progo

1.771.951.990.877,35 328.145.290.081,24 18,52%

(e=c/a)

Sumber: Paparan Perwakilan dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo

dalam FGD Postur APBD yang diolah Konsultan, 2019

Dari data anggaran kesehatan tahun 2019 di Kota Yogyakarta, Kabupaten

Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo, dapat diketahui bahwa anggaran

kesehatan di ketiga kabupaten/kota tersebut sudah di atas 10% baik diluar

gaji maupun termasuk gaji. Kendati demikian, perhitungan anggaran

kesehatan diluar gaji berbeda persepsi antara Kota Yogyakarta dan

Kabupaten Bantul. Anggaran diluar gaji yang dihitung oleh Kota Yogyakarta

adalah pada anggaran APBD, sementara Kabupaten Bantul adalah pada

anggaran kesehatan. Perbedaan persepsi ini dikarenakan belum ada

peraturan yang jelas terkait perhitungan anggaran kesehatan diluar gaji

tersebut.

Page 65: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

51

Untuk mengatasi ketidakseragaman tersebut, daerah memberikan beberapa

input seperti berikut:

“Menurut kami, jangan dibatasi bahwa kesehatan hanya yang berada

di dinkes dan RS, karena jika seperti itu maka substansinya ga kena.

Yang penting penganggaran itu inklusif, yang penting substansi yang

dikedepankan. Masalah anggaran itu ditempatkan dimana, maka

biarkan itu berjalan sesuai sistemnya. Misal pembangunan Gedung RS

di PU, tapi saat penghitungan akan kita hitung sebagai fungsi

kesehatan. Yang penting justifikasinya jelas. Termasuk masalah

tenaga kesehatan yang disekolahkan dan akan dimanfaatkan di

pelayanan, maka harusnya bisa diklaim sebagai anggaran kesehatan.

Masalah gaji memang dilema, sejatinya gaji kan untuk melakukan

pelayanan. Jika ingin benar-benar inklusif, maka gaji PNS yang di luar

kesehatan dikeluarkan, tapi untuk gaji kesehatan maka tetap bisa

dimasukkan sebagai fungsi kesehatan

Mekanisme alokasi di kami mulai 2020 tidak ada pagu indikatif, dan

sesuai dengan kebutuhan. Meski ranah kesehatan, jika kurang penting

maka akan dihapus. Ada pertimbangan efektifitas dan efisiensi

anggaran juga.” (Bappeda, Kota Yogyakarta)

“Bagaimana harus efektif efisien. Bagaimana sosialisasi kita ga mesti

turun. Kita harus berinovasi, misal buat penyuluhan kita buat CD untuk

disebar ke sekolah-sekolah, ponpes dst, sehingga tidak harus nakes itu

terus turun ke lapangan. Misal kita mau pemberdayaan masyarakat

dengan mandiri. Kita akan mengusulkan saat musrenbang apa yang

perlu dilakukan masyarakat, tapi tidak perlu ada anggaran dr OPD. ”

Berdasarkan input tersebut, dapat disintesiskan sebagai berikut:

a. Urusan kesehatan tidak dibatasi pada OPD tertentu, tetapi

inklusif dengan mengutamakan substansi.

Page 66: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

52

b. Mekanisme penetapan alokasi pagu indikatif tidak

berdasarkan persentase, tetapi berdasarkan kebutuhan.

c. Mendorong inovasi agar anggaran dapat efektif dan efisien.

Dengan mempertimbangkan input tersebut, sehingga diusulkan agar disusun

regulasi yang lebih operasional dalam pengalokasian anggaran kesehatan

agar dapat mengakomodasi usulan tersebut dan dapat menjabarkan

perhitungan anggaran kesehatan sehingga perhitungan seragam

antardaerah dan dapat diperbandingkan.

Data belanja kesehatan daerah dari DJPK Kemenkeu belum dapat

diidentifikasi secara spesifik berdasarkan sumber. Informasi berdasarkan

sumber yang tersedia hanya pada total APBD, sedangkan untuk belanja

APBD untuk kesehatan tidak dirinci berdasarkan sumber. Dari 3 daerah

sampel, juga tidak secara spesifik menyajikan anggaran kesehatan

berdasarkan sumber, namun di dalam diskusi disampaikan informasi seperti

berikut:

“Alokasi dinkes dari APBD (PAD) 31 M. DAK Fisik 43 M, DAK non fisik

23 M. DBHCHT dan pajak rokok masuk ke PAD” (BPKAD, Kab. Kulon

Progo)

“Sumber anggaran kesehatan DAU, DAK, dan Pendapatan” (Bappeda,

Kab. Bantul)

“Kami sangat berharap dengan DAK karena pembangunan rehab

puskesmas dll baik fisik maupun non fisik. Peruntukannya semua untuk

di puskesmas / pelayanan langsung. Untuk non fisik sebagian besar

untuk bantuan operasional kesehatan di puskesmas untuk upaya

preventif promotif. Dari APBD tetap ada juga. BOK ini juga untuk

jampersal bagi ibu hamil sampai bersalin jika mereka tidak punya

jaminan kesehatan. DAK 2019 penyerapan turun karena sebagian

besar sudah include ke kepesertaan JKN, jadi jampersal menurun.

Page 67: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

53

Pendapatan puskesmas menurun karena cakupan kepesertaan BPJS-

nya menurun di 2020. DAK di tahun 2019 sekitar 46 M, tapi di 2020 itu

37 M. BOK tidak memberatkan, malah sangat dibutuhkan untuk

memenuhi indikator SPM, makanya problematik juga saat gap oleh

buat BMHP padahal puskesmas butuh beli reagen buat screening dst”

(Dinkes, Kab. Bantul)

“APBD murni 28,6 M, pajak rokok 18 M (75% untuk premi PBI),

DBHCHT 3M (digunakan untuk puskesmas, bisa rehab pkm, ada

program dan aktivitasnya juga). Juknis DBHCHT ini agak sempit. APBD

murni kita utamakan untuk pelayanan administrasi perkantoran,

pengawasan obat dan makanan, intinya yang tidak bisa menggunakan

dari APBN dan pajak rokok, maka ya dari APBD murni. Untuk promotif

dan preventif dari DAU juga ada” (Dinkes, Prov DIY)

Dari diskusi tersebut dapat diperoleh sintesis bahwa anggaran kesehatan

bersumber dari berbagai jenis pendanaan dimana dana perimbangan APBN

baik DAK fisik maupun DAK non-fisik merupakan sumber utama pendanaan

anggaran kesehatan di daerah. Hal ini sejalan dengan studi PER (WB, 2018)

yang memperoleh gambaran serupa dimana belanja program spesifik seperti

HIV, TB, malaria, imunisasi, kesehatan ibu dan gizi mayoritas bersumber dari

APBN.

Keterkaitan antara Anggaran Pusat dan Anggaran Daerah

Keterkaitan anggaran kesehatan pusat dan daerah adalah pada komponen

anggaran kesehatan yang dihitung. Pada anggaran kesehatan dalam APBN

memperhitungkan dana yang ditransfer dari pusat ke daerah sebagai bagian

anggaran kesehatan dalam APBN. Di sisi lain, pada anggaran kesehatan

APBD juga memperhitungkan dana yang ditransfer dari pusat ke daerah

sebagai bagian anggaran kesehatan dalam APBD. Hal ini mengindikasikan

Page 68: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

54

adanya komponen anggaran yang sama untuk kesehatan yang dihitung, baik

dalam perspektif APBN maupun APBD (Gambar 13).

Gambar 13. Komponen Anggaran Kesehatan dalam Perspektif APBN dan APBD

Sumber: Bappenas, 2019

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh informan, baik dari Biro

Perencanaan dan Penganggaran Kemenkes, Badan Kebijakan Fiskal (BKF)

Kemenkeu, serta Kemendagri menjelaskan bahwa memang terjadi duplikasi

perhitungan komponen anggaran kesehatan antara pusat dan daerah.

Terbatasnya kapasitas fiskal tiap daerah menjadi salah satu permasalahan

untuk dapat mengeluarkan komponen dana transfer pusat agar tidak menjadi

perhitungan anggaran kesehatan di daerah. Apabila dana transfer tersebut

dikeluarkan dari perhitungan anggaran kesehatan daerah, maka daerah yang

memilki kapasitas fiskal rendah tidak akan bisa memenuhi target indikator

yang ada. Dengan demikian, disepakati bahwa komponen anggaran

kesehatan di pusat dan daerah tetap memperhitungkan dana transfer. Ke

depan, diperlukan peninjauan ulang pada perhitungan alokasi anggaran

K/L Kesehatan

Non-K/L

DAK Kesehatan&KB

Otsus Papua

Belanja

PP

Belanja Transfer

DAK Kesehatan&KB

Otsus Papua

DAU&DBH-CT

PAD

≥10% APBD

>5% APBN

Page 69: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

55

kesehatan dalam UU Kesehatan untuk mencapai persamaan persepsi

antarjenjang pemerintahan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal tiap

daerah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya kecenderungan efek

susbtitusi dana transfer terhadap APBD murni daerah dalam pembiayaan

program.

Page 70: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

56

BAB 6.

ANALISIS POTENSI EFISIENSI

ANGGARAN KESEHATAN

Page 71: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

57

BAB 6. ANALISIS POTENSI EFISIENSI ANGGARAN KESEHATAN

Allocative efficiency merupakan pendekatan yang terdiri atas komposisi

beberapa jenis intervensi kesehatan (seperti obat-obatan dan pelayanan

kesehatan) yang dianggap sebagai komposisi input, sedangkan status

kesehatan komunitas merupakan output dari input tersebut (Liu, 2003).

Pendekatan ini bertujuan untuk memaksimalkan outcome kesehatan dengan

komposisi intervensi kesehatan seminimal mungkin (World Bank, 2016). Di

sisi lain, technical efficiency bertujuan untuk meminimalisasi input sebanyak

mungkin untuk mencapai target output yang diinginkan, atau memaksimalkan

pencapaian output dengan kondisi input yang ada (Cylus et al, 2016). Pada

umumnya, pemerintah suatu negara mengimplementasikan allocative dan

technical efficiency melalui kebijakan fiskal nasional yang dimiliki, maupun

dengan menerbitkan petunjuk teknis seperti pedoman kajian teknologi

kesehatan yang ditujukan untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan

alokasi belanja kesehatan (NICE UK, 2019; The Pharmaceutical Benefit

Scheme, 2019).

Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 4

Tahun 2017 untuk penerapan efisiensi belanja barang pada K/L dalam

rangka peningkatan dan penajaman prioritas pelaksanaan APBN di K/L.

Efisiensi ini dilakukan untuk mengendalikan defisit anggaran dalam batas

yang aman. Terdapat dua pendekatan yang dilakukan, yaitu:

a. Efisiensi belanja barang meliputi perjalanan dinas dan paket meeting,

honorarium tim/kegiatan, belanja operasional perkantoran, belanja jasa,

belanja pemeliharaan, belanja barang operasional, dan non operasional

lainnya.

b. Efisiensi belanja barang tidak termasuk pinjaman dan hibah dalam/luar

negeri; rupiah murni pendamping; PNBP dan pendapatan BLU, tambahan

belanja hasil pembahasan UU mengenai APBN (dana optimalisasi); dan

output cadangan.

Page 72: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

58

Presiden Joko Widodo memberi lima arahan penerapan Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020 – 2024 dalam sidang

kabinet paripurna tanggal 14 Oktober 2019, yang terdiri dari (Sekretariat

Negara, 2019):

a. RPJMN tidak menjadi dokumen formalitas semata, namun menjadi

panduan dan rencana dalam melangkah ke depan menuju Indonesia

Maju.

b. RPJMN harus memuat peta jalan dan bagaimana mencapai target-target

tersebut.

c. Seluruh jajaran pemerintah harus mengacu pada RPJMN sebagai

penuangan visi misi Presiden dan Wakil Presiden.

d. Rancangan perencanaan yang dibuat harus tersambung dengan

penganggaran dan tersampaikan dengan baik oleh kementerian.

Bappenas dan Kementerian Keuangan harus menjadi tangan Presiden

dalam memastikan RPJMN terwujud dalam rencana dan anggaran

kementerian/lembaga.

e. Ada sinergi antara lintas kementerian/lembaga dan pemerintah derah

sehingga ada kesamaan gerak langkah. Para Menteri perlu memperkuat

pengendalian atas eksekusi program-program prioritas di lapangan.

Seperti mandat di atas, pemerintah telah mengarahkan efisiensi anggaran di

tiap kementerian/lembaga, dan harus berkaitan dengan kebijakan nasional,

seperti RPJMN 2020–2024. Namun, upaya efisiensi anggaran harus

mempertimbangkan kemampuan alokasi belanja kesehatan saat ini untuk

mengakomodasi tantangan peningkatan usia harapan hidup penduduk

Indonesia yang diikuti dengan beban penyakit tidak menular yang meningkat,

perkembangan pesat teknologi kesehatan, dan pertumbuhan penduduk.

Pemerintah perlu mengevaluasi apakah alokasi belanja kesehatan yang ada

saat ini sudah memberikan daya ungkit langsung pada perbaikan indikator

kesehatan dan sudah dialokasikan secara tepat dan memprioritaskan aspek

efisiensi anggaran di atas. Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam

Page 73: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

59

menganalisis efektifitas dan efisiensi anggaran kesehatan meliputi evaluasi

ekonomi (economic evaluation) dan analisis benchmarking (benchmarking

analysis) sebagai berikut (Peacock et al, 2001):

Evaluasi ekonomi

Evaluasi ekonomi merupakan metode analisis perbandingan dari biaya

versus konsekuensi atau outcome dari implementasi program kesehatan

yang dilakukan. Hasil dari evaluasi ekonomi dapat digunakan oleh penyedia

layanan kesehatan untuk menentukan tindakan medis atau pelayanan

kesehatan lain yang efektif serta meningkatkan technical efficiency. Lebih

lanjut, analisis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan untuk menentukan

prioritas program kesehatan dan meningkatkan allocative efficiency. Pada

umumnya, evaluasi ekonomi memiliki tiga prinsip utama sebagai berikut:

a. Menghitung biaya dan konsekuensi dari suatu program atau intervensi

kesehatan yang dilakukan.

b. Membandingkan beberapa program kesehatan secara spesifik.

c. Menggunakan indikator outcome dalam mengukur konsekuensi dari suatu

program atau intervensi kesehatan yang dilakukan.

Suatu program kesehatan dinilai layak untuk diimplementasikan jika

berdasarkan hasil evaluasi ekonomi menunjukkan nilai manfaat yang lebih

besar dibanding biaya yang harus dikeluarkan. Terdapat beberapa metode

evaluasi manfaat program atau intervensi kesehatan sebagai berikut:

Page 74: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

60

Tabel 9. Metode Evaluasi Ekonomi dari Program atau Intervensi Kesehatan

No Jenis Metode Pertimbangan Pengukuran

Outcome

Pengukuran Outcome

Kriteria Seleksi

1. Cost minimisation analysis

Outcome identik dari beberapa program atau intervensi kesehatan, seperti dampak yang sama dari tindakan bedah dan intervensi obat

Evaluasi dari outcome tidak begitu penting

Minimalisasi biaya program; ranking dari program-program alternatif yang ada

2. Cost-effectiveness analysis

Hanya satu dimensi dari outcome (efek tunggal)

a. Numbers of lives saved

b. Life years gained

c. Penurunan insiden penyakit

d. Jumlah pasien yang melakukan screening

e. Hasil tes diagnosis yang positif

f. Operasi yang sukses

g. Dan lain-lain

a. Meminimalisasi biaya per unit outcome atau memaksimalkan outcome per unit biaya

b. Ranking dari program-program alternatif yang ada

3. Cost-utility analysis

Beberapa dimensi dari outcome (multi efek); dampak dari kesakitan terhadap kualitas hidup turut dihitung

Quality adjusted life years (QALYs)

a. Meminimalisasi biaya per QALY yang diperoleh, atau memaksimalkan QALY per unit cost

b. Ranking dari program-program alternatif yang ada

4. Cost-benefit analysis

Beberapa dimensi dari outcome (multi efek); dampak dari kesakitan terhadap kualitas hidup turut dihitung

Dollar Manfaat yang lebih besar daripada biaya

Sumber: McKie et al., 1998 dalam Peacock et al, 2001

Page 75: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

61

Analisis Benchmarking

Analisis benchmarking digunakan untuk menganalisis dan membandingkan

beberapa aktivitas pelayanan kesehatan yang dilakukan dan aspek

operasional yang diperlukan dalam menjalankan pelayanan kesehatan

tersebut, seperti contohnya pada rumah sakit. Berikut beberapa contoh

analisis benchmarking yang dapat diterapkan (Peacock et al, 2001):

a. Simple ratio analysis: jenis analisis ini membandingkan dua variabel,

meliputi kuantitas input dan output. Pemilihan variabel input dan output,

beserta indikator efisiensi yang digunakan, tergantung pada ketersediaan

data dan kedalaman analisis yang diinginkan.

b. Unit cost analysis: analisis unit cost dapat dilihat sebagai salah satu

indikator efisiensi dengan menggunakan harga dari input sebagai bobot

dalam membandingkan beberapa rasio dari input-input berbeda terhadap

suatu output tertentu. Pengukuran unit cost biasanya terkait dengan

recurrent costs, capital costs, atau total costs. Beberapa output perlu

diagregasi dalam menghitung unit cost dari keseluruhan proses produksi

yang dilaksanakan.

c. Stochastic frontier analysis (SEA): analisis ini menggunakan metode

ekonometri untuk mengestimasi persamaan batas produksi stokastik.

Jenis analisis ini dapat mengakomodasi berbagai jenis spesifikasi proses

produksi, termasuk faktor lingkungan. Uji statistik terhadap hipotesis

tentang batas produksi suatu pelayanan kesehatan juga dapat dilakukan

dengan menggunakan SEA. Namun, SEA memiliki keterbatasan dimana

analisis ini membutuhkan sampel yang besar untuk mendukung analisis

ekonometri yang diperlukan.

d. Data envelopment analysis (DEA): analisis ini menggunakan metode

pemrograman matematis dalam menganalisis efisiensi dari suatu unit

yang memakai beberapa input untuk mendapatkan output yang

diinginkan. DEA tercatat sebagai metode yang paling tepat dalam

Page 76: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

62

mengukur efisiensi pelayanan kesehatan, meskipun memiliki beberapa

keterbatasan dalam modelling yang digunakan.

Pembahasan terkait allocative dan technical efficiency tidak terlepas dari isu

Public Financial Management (PFM). Dari segi public finance, tujuan dari

PFM adalah menjaga sustainability dari posisi fiskal di suatu negara,

menjamin secara strategis dalam mengalokasikan sumber dana secara

efektif dan efisien, serta menjaga transparansi dan akuntabilitas anggaran

(Cashin et al, 2017). Dari perspektif PFM, kesehatan dianggap sebagai salah

satu sektor pengeluaran untuk barang dan jasa publik, namun memiliki

kekurangan dalam pemahaman peran PFM serta efektivitas dan akuntabilitas

keuangan (Rajan D, Barroy H, Stenberg K, 2016).

PFM mengatur bagaimana anggaran diformulasikan, pencairan dana,

pemanfaatan dana, serta pencatatan untuk pertanggungjawaban yang dapat

digunakan dalam proses monitoring evaluasi. Penerapan sistem PFM yang

baik dapat menyeimbangkan fiscal discipline dengan kebutuhan yang dapat

disesuaikan dengan tujuan kebijakan termasuk pada sektor kesehatan, serta

dapat meningkatkan kesesuaian antara pengeluaran dengan prioritas

pemerintah (Cashin et al, 2017).

Adapun dalam pembahasan efisiensi dalam studi ini mencakup review

terhadap beberapa input yang mengindikasikan adanya potensi inefisiensi,

yaitu dengan melihat isu budget execution, potensi pendanaan ganda,

fleksibilitas anggaran, serta review performance.

6.1. Budget Execution

Dalam hal budget execution, merupakan suatu proses eksekusi pemanfaatan

anggaran secara efektif dan efisien, serta sesuai dengan program prioritas

(Cashin et al, 2017). Implementasi anggaran dan kapasitas pelaksanaan

anggaran di beberapa negara masih lemah dengan sistem anggaran yang

Page 77: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

63

kurang tepat, sehingga pada pelaksanaan anggaran sangat jauh dari

anggaran yang telah direncanakan (Rajan D, Barroy H, Stenberg K, 2016).

Sebagian besar kelompok low-income countries, seringkali mengalami

permasalahan terkait belanja kesehatan yang secara aktual jauh lebih rendah

dari yang sudah dialokasikan sebelumnya (Rajan D, Barroy H, Stenberg K,

2016). Hal tersebut mencerminkan kesulitan yang dialami institusi dalam

melakukan perencanaan yang berpotensi pada terjadinya inefektivitas dan

inefisiensi anggaran.

Gambar 14. Tren Belanja Kemenkes, 2016 – 2018 (di luar iuran PBI dan Poltekkes)

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.02/2017 tentang

pengukuran dan evaluasi kinerja anggaran atas pelaksanaan rencana kerja

dan anggaran kementerian/lembaga disebutkan bahwa penyerapan menjadi

salah satu komponen dalam evaluasi kinerja anggaran K/L. Adapun

komponen lainnya yang diukur dalam evaluasi kinerja anggaran adalah

capaian keluaran, efisiensi, dan konsistensi penyerapan anggaran terhadap

perencanaan. Pada Gambar 14, terlihat kenaikan penyerapan anggaran

pada tahun 2017 dibanding tahun 2016. Akan tetapi, secara nominal (alokasi

dan realisasi) mengalami penurunan dibanding tahun 2016. Berdasarkan

36,8

30,933,3

29,727,0

29,2

80,6%

87,6% 87,7%

0,0%

20,0%

40,0%

60,0%

80,0%

100,0%

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

2016 2017 2018

Rp

Tri

liun

Alokasi Realisasi Penyerapan

Page 78: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

64

hasil wawancara mendalam dengan Biro Perencanaan dan Anggaran

Kemenkes dijelaskan bahwa penyerapan tahun lalu menjadi salah satu

perhitungan baseline pada perencanaan pagu indikatif.

Salah satu penyebab rendahnya penyerapan pada tahun 2016 adalah

adanya penghematan belanja K/L yang disampaikan melalui Instruksi

Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tentang langkah-langkah penghematan

belanja K/L dalam rangka pelaksanaan APBNP T.A 2016. Penghematan

anggaran di Kemenkes sebesar 9 persen atau Rp 5,6T dari total APBNP

2016.

Berdasarkan data realisasi Kemenkes per November 2019, proporsi belanja

Kemenkes yang terserap adalah sebesar 82,6 persen (Gambar 15). Ditjen

Farmalkes memiliki penyerapan belanja yang sangat rendah, yaitu hanya

25,6 persen dana terserap pada belanja per November 2019.

Gambar 15. Proporsi Belanja Kemenkes per November 2019

Sumber: DJA Kemenkeu, Realisasi per November 2019

Proporsi belanja

yang terserap 82,6 %

Proporsi belanja

yang TIDAK terserap

17,4%

Page 79: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

65

Gambar 16. Proporsi Belanja Pada Eselon Utama Kemenkes per November 2019*

Sumber: DJA Kemenkeu, Realisasi per November 2019

*Keterangan= dihitung dari pagu awal Kemkeu (sebelum terdapat pemotongan anggaran)

Keterbatasan kapasitas dalam melakukan perencanaan anggaran dapat

mengakibatkan adanya inefisiensi dalam pemanfaatan belanja dan juga

penyerapan anggaran. Pada Gambar 17 terlihat bahwa tren penyerapan

pada Ditjen Farmalkes cenderung fluktuatif.

Gambar 17. Alokasi, Realisasi dan Penyerapan pada Output Penyediaan Obat dan

Vaksin di Ditjen Farmalkes, 2013-2018

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Perencanaan pengalokasian obat program belum mencerminkan kebutuhan

di lapangan. Perencanaan kebutuhan obat sebenarnya sudah menyesuaikan

85,8 99,6 91,3 55,1 75,1 25,6 73,0 73,6 80,3

14,2 0,4

8,7

44,9

24,9

74,4

27,0 26,0 19,7

-

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

Dukman JKN Itjen Kesmas Yankes Farmalkes P2P Balitbangkes PPSDMK

Proporsi belanja yang terserap Proporsi belanja yang TIDAK terserap

1,4 1,5 1,6

2,9 3,1

4,8

1,4 1,3 1,62,5

3,13,9

95,5%

82,9%

98,2%

84,2%

99,7%

82,1%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

2013 2014 2015 2016 2017 2018

Rp t

riliu

n

Alokasi Realisasi Penyerapan

Page 80: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

66

dengan usulan dari program. Akan tetapi, pada saat proses pengadaan,

seringkali terdapat perubahan usulan dari program jauh lebih rendah

dibanding usulan awal. Hal ini berpotensi inefisiensi pada anggaran obat

program yang mengakibatkan penyerapan pada Ditjen Farmalkes mengalami

penurunan. Dengan demikian, diperlukan peningkatan kapasitas SDM dalam

proses perhitungan kebutuhan obat program sesuai dengan kondisi di daerah

(berbasis data sasaran).

Penyerapan rendah pada tahun 2016 terjadi di seluruh jenis kewenangan

dengan penyerapan terendah adalah pada jenis kewenangan Dekonsentrasi

(Gambar 18). Dalam evaluasi pelaksanaan program/kegiatan bersumber

APBN dan DAK Bidang Kesehatan Tahun 2018, Biro Perencanaan dan

Anggaran Kemenkes menjelaskan bahwa permasalahan pada pelaksanaan

dekonsentrasi adalah kecenderungan provinsi yang mengutamakan kegiatan

bersumber APBD. Salah satu penilaian kinerja instansi provinsi adalah

penyerapan APBD, sehingga prioritas pelaksanaan program/kegiatan di

dinas kesehatan provinsi adalah yang bersumber APBD. Selain itu, daerah

juga mengalami hambatan pelaksanaan kegiatan dana dekon karena

terdapat perubahan menu dekon.

Gambar 18. Tren Belanja Kemenkes menurut Jenis Kewenangan, 2016 – 2018

(di luar iuran PBI dan Poltekkes)

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

2,11,1 1,1

19,418,2 18,3

15,3

11,613,9

1,2 0,9 1,0

16,7 16,3 16,5

11,79,8

11,8

58,7%

88,1% 88,2% 86,0% 89,5% 90,0%

76,7%84,6% 84,7%

0,0%

20,0%

40,0%

60,0%

80,0%

100,0%

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018

DK KD KP

Rp

Tri

iliu

n

Alokasi Realisasi Penyerapan

Page 81: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

67

Berdasarkan jenis belanja pada tiap jenis kewenangan, belanja barang

cenderung fluktuatif di Kantor Pusat (KP) (Gambar 19). Pada tahun 2016,

belanja barang memiliki penyerapan yang rendah di seluruh jenis

kewenangan, terutama pada Dekonsentrasi (DK). Dalam Instruksi Presiden

Nomor 8 tahun 2016 disebutkan bahwa penghematan dilakukan utamanya

terhadap belanja honorarium, perjalanan dinas, paket meeting, langganan

daya dan jasa, honorarium tim/kegiatan, biaya rapat, iklan, operasional

perkantoran lainnya, pemeliharaan gedung, peralatan kantor serta

pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan, sisa dana lelang

dan/atau swakelola, anggaran dari kegiatan yang belum dikontrakkan atau

yang tidak akan dilaksanakan hingga akhir tahun, serta kegiatan yang tidak

mendesak atau dapat dilanjutkan (carry over) ke tahun anggaran berikutnya.

Gambar 19. Tren Belanja Kemenkes menurut Jenis Kewenangan dan Jenis Belanja, 2016 – 2018 (di luar iuran PBI dan Poltekkes)

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Upaya peningkatan investasi dalam promotif preventif bersumber dana

dekonsentrasi belum dimanfaatkan secara optimal. Hal tersebut terlihat

dalam Gambar 20 bahwa tren penyerapan Ditjen Kesmas dan P2P Setjen

untuk jenis kewenangan Dekonsentrasi cenderung fluktuatif. Padahal Ditjen

Kesmas dan P2P memiliki tugas utama terkait promotif preventif (Permenkes

59%

88% 88%

87%91% 91%

79% 82% 78%

91% 92% 95%

71%

95%

87%69%

78%89% 93%

52%

69%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

120%

-

2

4

6

8

10

12

14

201

6

201

7

201

8

201

6

201

7

201

8

201

6

201

7

201

8

201

6

201

7

201

8

201

6

201

7

201

8

201

6

201

7

201

8

201

6

201

7

201

8

BELANJA BARANGBELANJA BARANG BELANJA MODAL BELANJAPEGAWAI

BELANJA BARANG BELANJA MODAL BELANJAPEGAWAI

DK KD KP

Rp

Tri

liun

Alokasi Realisasi Penyerapan

Page 82: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

68

Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian

Kesehatan). Sebagian besar pendanaan di Ditjen Kesmas dan P2P fokus

pada upaya promotif preventif yang meliputi deteksi dini, surveilans, KIE,

imunisasi, pemantauan kondisi kesehatan. Akan tetapi, dukungan dari pusat

kepada provinsi belum terserap secara optimal. Pendanaan yang

terfragmentasi masih menjadi tantangan bagi daerah dalam melaksanakan

program.

Gambar 20. Tren Belanja Dana Dekonsentrasi pada Eselon Utama Kemenkes,

2016 – 2018 (di luar iuran PBI dan Poltekkes)

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Selain itu, tantangan dan kendala lainnya yang dialami oleh provinsi dalam

pemanfaatan dana dekonsentrasi adalah menu dekon yang seragam untuk

seluruh provinsi. Tren anggaran dana dekon untuk kegiatan promosi

kesehatan dan pemberdayaan masyarakat cenderung fluktuatif (Gambar

21). Pada tahun 2018, penyerapan anggaran kegiatan tersebut rendah. Akan

tetapi, secara nominal alokasi mengalami peningkatan dari tahun 2016

sampai 2018. Kemudian pada tahun 2019, alokasi kegiatan untuk promosi

kesehatan dan pemberdayaan masyarakat mengalami penurunan kembali

sebesar 53 persen dibanding tahun sebelumnya.

47,6%

82,2%

89,6% 87,0%91,4%

92,0%

55,8%

89,1%

87,0%

55,2%

87,1%89,4%

59,2%

89,0%

87,7%81,5%

91,3%

90,2%

00%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

-

200,000

400,000

600,000

800,000

1000,000

1200,000

201

6

201

7

201

8

201

6

201

7

201

8

201

6

201

7

201

8

201

6

201

7

201

8

201

6

201

7

201

8

201

6

201

7

201

8BPPSDM Ditjen Farmalkes Ditjen Kesmas Ditjen Yankes Ditjen P2P Setjen

Rp

Mily

ar

Alokasi Realisasi Penyerapan

Page 83: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

69

Gambar 21. Tren Anggaran Dekonsentrasi menurut Nama Kegiatan di Ditjen Kesmas, 2016 – 2019

*Keterangan: Tahun 2019 hanya alokasi Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Sementara nominal alokasi anggaran pada kegiatan lainnya (selain kegiatan

promkes dan pemberdayaan masyarakat) mengalami penurunan setiap

tahunnya. Mengingat daerah yang cenderung mengutamakan pemanfaatan

dana APBD, apakah sebenarnya dana dekon masih diperlukan oleh daerah?

Diperlukan pemetaan kapasitas fiskal daerah untuk mengetahui daerah mana

yang masih membutuhkan dana dekon dan daerah yang sudah bisa mandiri

tanpa adanya dana dekon. Pendanaan yang terfragmentasi membutuhkan

keterampilan “konvergensi” multi sumber dan menjadi tantangan bagi daerah

dalam pelaksanaan program.

Untuk mencapai target kinerja nasional, diperlukan perhitungan anggaran

sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas fiskal daerah karena daerah

merupakan pelaksana teknis untuk keseluruhan program. Kinerja K/L tidak

hanya sebatas dari penyerapan anggaran, namun perlu diperkuat

kompetensi untuk mengkaitkan antara pelaksanaan kegiatan dengan

capaian output program prioritas. Hal tersebut penting untuk diperhatikan

agar menghindari terjadinya inefisiensi anggaran.

69,0%

89,4% 90,4%

62,0%

86,9%

91,0%

54,7%

91,9% 91,8%

58,3%

90,6% 90,7%

38,4%

92,3% 91,6%

59,8%

89,0%

81,3%

00%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

-

50,0

100,0

150,0

200,0

250,0

300,0

350,0

400,0

2016

2017

2018

2019

2016

2017

2018

2019

2016

2017

2018

2019

2016

2017

2018

2019

2016

2017

2018

2019

2016

2017

2018

2019

Dukman ProgramPembinaan Kesmas

Pembinaan GiziMasyarakat

PembinaanKesehatan Keluarga

Pembinaan UpayaKesehatan Kerja dan

Olahraga

PenyehatanLingkungan

Promkes danPemberdayaan

Masyarakat

Rp

Mily

ar

Alokasi Realisasi Penyerapan

Page 84: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

70

6.2. Potensi Pendanaan Ganda

Peningkatan kualitas belanja untuk mendukung perbaikan output dan

outcome di bidang kesehatan perlu diupayakan seiring dengan meningkatnya

anggaran kesehatan pada sektor publik. Pada era desentralisasi ini, potensi

pendanaan ganda antara anggaran kesehatan pemerintah pusat dan

pemerintah daerah menjadi salah satu tantangan yang dihadapi dalam

rangka mewujudkan belanja kesehatan yang berkualitas, efektif, dan efisien.

Sebagai contoh, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun

2019 tentang Standar Pelayanan Minimum, ditemukan terdapat beberapa

mekanisme pendanaan program pelayanan ibu hamil dan bersalin, dimulai

dari tahap pendaftaran peserta hingga rujukan untuk persalinan. Pada setiap

tahapan kegiatan, terdapat potensi duplikasi pendanaan, seperti pendanaan

untuk alat kesehatan pada pemeriksaan ANC dan pelayanan persalinan di

FKTP yang dapat didanai dengan rupiah murni (RM) APBN (KP) maupun

APBD.

Page 85: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

71

Gambar 22. Potensi Duplikasi Pendanaan pada Program Pelayanan Ibu Hamil dan Bersalin

Sumber: Permenkes No. 4 tahun 2019, Permenkes No. 52 tahun 2016, Juknis DAK Fisik dan DAK non

Fisik, Studi PER

Selain program pelayanan ibu hamil dan pelayanan ibu bersalin, potensi

pendanaan ganda juga dapat terjadi pada program imunisasi, misalnya

Page 86: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

72

dalam hal penyediaan Auto Disable Syringe (ADS), safety box, dan peralatan

cold chain yang dapat didanai melalui APBN maupun APBD sesuai dengan

penjelasan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 12 tahun 2017

tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Terkecuali kegiatan penyediaan tempat

penyimpanan vaksin dengan kendali suhu tertentu, yang secara sepenuhnya

merupakan tanggung jawab daerah (APBD) (Gambar 23). Dengan sistem

desentralisasi, tentunya daerah-daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan

(DTPK) atau daerah lain yang belum memiliki infrastruktur instalasi listrik

yang mendukung akan mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan

tempat penyimpanan vaksin sesuai dengan standar tersebut.

Gambar 23. Penyelenggaraan Program Imunisasi

Sumber: Permenkes No. 12 Tahun 2017

Selain kedua program tersebut, potensi pendanaan ganda juga dapat terjadi

pada program gizi, misalnya dalam hal penyediaan Pemberian Makanan

Tambahan (PMT). Direktorat Gizi Masyarakat di bawah Direktorat Jenderal

Kesmas Kemenkes mempunyai alokasi anggaran bersumber rupiah murni

(RM) dalam APBN Kemenkes (dengan jenis kewenangan KP) untuk

penyediaan PMT yang akan disalurkan ke daerah. Di samping bersumber RM

APBN (KP), daerah juga mempunyai keleluasaan untuk penyediaan PMT

Page 87: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

73

bersumber dari APBD, baik APBD bersumber DAK fisik (DAK fisik penugasan

untuk percepatan penurunan stunting sesuai dengan Permenkes No. 2 tahun

2019 tentang Petunjuk Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik

bidang Kesehatan tahun 2019), DAK non-fisik (DAK non-fisik untuk BOK di

puskesmas sesuai dengan Permenkes No. 3 tahun 2019 tentang Petunjuk

Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Non-fisik bidang Kesehatan

tahun 2019), maupun bersumber dari APBD murni (berdasarkan hasil studi

PER tahun 2016).

Berdasarkan contoh-contoh tersebut, diketahui bahwa satu kegiatan dapat

didanai dari berbagai sumber. Kendati demikian, narasumber dari Kemenkes

menyebutkan bahwa menu kegiatan kesehatan yang dirancang dalam

anggaran bersumber DAK fisik, DAK non-fisik, RM APBN ataupun sumber

lainnya dipastikan tidak akan tumpang tindih satu sama lain. Hal ini

dikarenakan Kemenkes sudah melakukan pemetaan lokus (wilayah) dan

sasaran untuk masing-masing sumber pendanaan, meskipun belum terdapat

evaluasi komprehensif untuk membuktikan pernyataan tersebut. Menyikapi

kondisi tersebut, untuk menghindari pendanaan ganda dan inefisiensi

anggaran di era desentralisasi, maka diperlukan satu koordinasi, integrasi

dan konvergensi antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan

belanja kesehatan tersebut berkualitas dan tepat sasaran. Selain itu, perlu

dibangun sistem informasi terintegrasi yang dapat digunakan oleh

pemerintah pusat dalam memonitor pemanfaatan anggaran kesehatan di era

desentralisasi.

6.3. Fleksibilitas Anggaran

Komitmen pemerintah dalam memenuhi anggaran kesehatan sesuai dengan

amanat Undang-undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 terus diupayakan

seiring dengan meningkatnya anggaran kesehatan pada sektor publik. Pada

tahun 2019, anggaran kesehatan dalam postur APBN (diluar PBI) mencapai

Rp 98,7 T, yang terdiri atas anggaran pemerintah pusat (Rp 63,5 T) dan

Page 88: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

74

Tranfer ke Daerah dan Dana Desa (35,2 T). Komponen anggaran kesehatan

pada pemerintah pusat terdiri dari anggaran Kemenkes (46,7 persen), BPOM

(3,1 persen), BKKBN (2,6 persen), Kemhan (9,2 persen), POLRI (5,2 persen),

K/L lain (1,6 persen), dan BA-BUN (31,7 persen). Sementara untuk

kompenan anggaran pada TKDD terdiri dari DAK Fisik (56,4 persen), DAK

Non-Fisik (34,7 persen), Otsus Papua (3,4 persen), dan Dana Insentif Daerah

(5,5 persen).

Data menunjukkan bahwa alokasi anggaran kesehatan untuk dana transfer,

premi PBI JKN, dan BA-BUN cenderung meningkat, sementara alokasi

belanja Kementerian Kesehatan mengalami penurunan. Artinya, pola alokasi

belanja kesehatan pada sektor publik mengalami pergeseran yang dapat

terjadi seiring dengan penyelenggaraan program JKN (pembayaran premi

PBI dan defisit JKN) sejak tahun 2014, serta perubahan mekanisme

penyaluran dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), dari mekanisme

Tugas Pembantuan (berada pada anggaran Kementerian Kesehatan)

menjadi mekanisme DAK nonfisik yang disalurkan melalui dana transfer sejak

tahun 2016.

Page 89: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

75

Gambar 24. Tren Alokasi Kementerian Kesehatan Secara Nominal, 2010-2020

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Gambar 25. Tren Alokasi Kementerian Kesehatan Secara Proporsi (diluar Jamkes), 2010-2020

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

69,3% 71,0% 70,6% 72,9% 68,8% 66,6% 69,4%58,9% 60,4% 60,0% 55,5%

8,8% 6,9% 4,6% 3,0%2,6% 2,0%

2,0%

3,6% 2,5% 0,9%0,8%

22,0% 22,0% 24,8% 24,1% 28,6% 31,4% 28,7%37,6% 37,1% 39,1% 43,7%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

RM & RMP PHLN BLU & PNBP

4,8 6,5 7,2 8,319,9 19,9 24,8 25,4 25,5 26,7 26,714,2

17,4 18,522,1

20,9 22,9

28,319,9 22 19,2 17,0

1,81,7 1,2

0,9

0,8 0,7

0,8

1,2 0,9 0,3 0,2

4,55,4 6,5

7,3

8,710,8

11,7

12,7 13,512,5 13,4

2531 33

39

5054

66

5962

58,7 57,4

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Jamkes RM & RMP PHLN BLU & PNBP Total

Page 90: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

76

Komposisi sumber dana pada anggaran Kementerian Kesehatan terdiri dari

dana Jaminan Kesehatan (Jamkes), Rupiah Murni (RM) dan Rupiah Murni

Pendamping (RMP), Penerimaan Hibah Luar Negeri (PHLN), Badan Layanan

Umum (BLU) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tren anggaran

Kementerian Kesehatan secara nominal cenderung mengalami penurunan

sejak tahun 2017 (Gambar 25). Jika diidentifikasi berdasarkan komposisi

sumber dana, premi PBI JKN yang diperhitungkan pada anggaran

Kementerian Kesehatan dengan jumlah nominal yang cukup besar

cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan juga terjadi pada alokasi

anggaran bersumber BLU dan PNBP. Sementara nilai nominal untuk sumber

dana lainnya seperti RM dan RMP maupun PHLN cenderung menurun.

Analisis secara proporsi (tanpa memperhitungkan dana Jamkes) menunjukan

bahwa komposisi sumber dana pada anggaran Kementerian Kesehatan

didominasi oleh RM dan RMP. Akan tetapi, tren menunjukkan bahwa proporsi

sumber dana tersebut terus menurun sejak tahun 2016 seiring dengan

meningkatnya dana bersumber BLU dan PNBP (Gambar 25).

Kementerian Kesehatan sebagai leading sektor pada urusan bidang

kesehatan perlu aktif melakukan berbagai upaya untuk menjamin tersedianya

pembiayaan yang memadai dalam melaksanakan tugas, pokok, dan fungsi

utama kesehatan. Proses penyusunan anggaran Kemenkes juga

membutuhkan berbagai inovasi sehingga dapat mengakomodir dinamika

tantangan kesehatan dan selaras dengan program prioritas nasional. Seiring

dengan meningkatnya anggaran kesehatan di luar Kementerian Kesehatan,

peningkatan koordinasi dengan lintas sektor sangat penting dilakukan dalam

rangka mencapai target indikator kinerja program.

Upaya monitoring terhadap pemanfaatan dana transfer bidang kesehatan

juga perlu diperkuat untuk dapat menilai apakah belanja kesehatan yang

semakin tinggi telah berkualitas dan berdampak baik pada perbaikan

indikator kesehatan masyarakat. Penurunan sumber dana RM dan RMP juga

menjadi tantangan untuk meningkatkan investasi pada upaya promotif

Page 91: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

77

preventif mengingat dana BLU dan PNBP maupun dana Jamkes yang

semakin tinggi cenderung diarahkan untuk upaya kuratif. Tingginya dana BLU

dan PNBP Kementerian Kesehatan juga kurang dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan investasi pada belanja promotif preventif karena merupakan

dana milik satker (Rumah Sakit) sehingga kurang fleksibel dan tidak dapat

diberlakukan mekanisme shifting.

Gambaran National Health Accounts (NHA) tahun 2010-2017 menunjukkan

bahwa sebagian besar barang dan jasa kesehatan pada sektor publik

(belanja kesehatan Kementerian Kesehatan, Kementerian atau Lembaga

lainnya, Pemerintah Daerah, dan Jaminan Kesehatan Nasional) dibelanjakan

untuk layanan kuratif, baik layanan rawat jalan dan rawat inap (Gambar 26).

Setiap tahun fungsi kuratif terus meningkat secara nominal, yaitu dari Rp 32,4

triliun (2010) menjadi Rp 164,0 triliun (2017) dan meningkat secara proporsi,

dari 52,8 persen (2010) menjadi 71,5 persen (2017). Dalam rangka

meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran, Undang-Undang Kesehatan

mengamanatkan bahwa alokasi anggaran kesehatan perlu diutamakan untuk

fungsi layanan promotif preventif (penjelasan pasal 171 ayat 3 UU Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan). Akan tetapi, belanja fungsi layanan promotif

preventif selama tahun 2010-2017 cenderung menurun secara proporsi,

meskipun secara nominal nilainya meningkat dari Rp 10,8 triliun (2010)

menjadi Rp 23,5 triliun (2017).

Page 92: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

78

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Tingginya belanja untuk fungsi layanan kuratif juga dihadapi oleh berbagai

negara. Secara rata-rata, hampir dua per tiga dari total belanja kesehatan

(diluar belanja investasi) pada sebagian besar negara OECD (Organisation

for Economic Co-operation and Development) digunakan untuk fungsi

layanan rawat inap dan rawat jalan (OECD, 2015). Kondisi demikian dapat

terjadi karena penyelenggaraan layanan tersebut cenderung membutuhkan

sumber daya dengan biaya yang tinggi.

Pemerintah perlu meningkatkan investasi pada layanan promotif preventif

untuk menekan beban biaya kesehatan yang semakin tinggi. Pada anggaran

kesehatan tahun 2019 dapat terlihat bahwa proporsi anggaran untuk fungsi

layanan promotif preventif semakin meningkat hingga mencapai 18,6 persen

(termasuk fungsi investasi) dari total anggaran kesehatan (Gambar 28). Akan

tetapi, peningkatan anggaran promotif preventif tersebut juga diikuti dengan

semakin besarnya proporsi anggaran kesehatan untuk layanan kuratif yang

Gambar 27. Belanja Kesehatan Sektor Publik

menurut Fungsi Layanan, 2020-2017

Gambar 26. Anggaran Kesehatan menurut

Fungsi Layanan, 2019

Kuratif76,6%

Rehabilitatif0,1%

Promotif Preventif

18,6%

Tata Kelola Administrasi &

Sistem Kesehatan4,6%

Page 93: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

79

mencapai 76,6 persen (termasuk fungsi investasi). Gambaran anggaran

kesehatan menurut fungsi layanan ini dapat menjadi bahan pertimbangan

apakah alokasi anggaran kesehatan saat ini sudah tepat atau masih

membutuhkan perbaikan.

Gambar 26. Belanja Kesehatan menurut Skema Pembiayaan dan Fungsi Layanan, 2015-2017

Sumber: Kementerian Kesehatan

Seluruh skema pembiayaan pada sektor publik memberikan kontribusi pada

fungsi layanan kuratif (Gambar 28). Setiap tahun pembiayaan untuk fungsi

kuratif cenderung mendominasi, khususnya pada skema JKN dan skema

Pemerintah Daerah. Pada skema JKN, belanja fungsi layanan kuratif berupa

pembayaran klaim rawat inap dan rawat jalan. Pada skema Kementerian

Kesehatan, skema K/L, dan skema Pemerintah Daerah, belanja fungsi kuratif

sebagian besar dalam bentuk belanja Rumah Sakit, antara lain Rumah Sakit

vertikal Kementerian Kesehatan, Rumah Sakit di Kementerian Pertahanan,

Rumah Sakit di Polri, dan Rumah Sakit di Kementerian Pendidikan, serta

Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah. Ke depan, dibutuhkan political will

untuk mewujudkan inovasi belanja kesehatan pada skema JKN dan

24,0% 28,1% 30,9%23,1%

40,8% 39,8%53,9% 60,9% 60,9%

94,1% 93,7% 95,2%

29,3%28,8% 28,1%

34,1%

30,6%26,3%

19,1%16,0% 14,4%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017

Skema Kementerian Kesehatan Skema K/L Skema Pemerintah Daerah Skema JKN

Kuratif Rehabilitatif

Promotif Preventif Tatakelola Administrasi & Sistem Kesehatan

HK. Investasi

Page 94: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

80

Pemerintah Daerah agar dapat berinvestasi lebih besar pada upaya promotif

preventif.

6.4. Review Performance dan Baseline

Dalam rangka mengoptimalkan sumber pembiayaan untuk mendukung

capaian program kesehatan nasional, proses pengalokasian anggaran

kesehatan perlu didorong untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kualitas

pembiayaan kesehatan juga perlu diperhatikan dengan menilai apakah

anggaran kesehatan sudah dialokasikan dengan tepat dan mencerminkan

allocative efficiency yang ideal. Inefisiensi anggaran terjadi karena perkiraan

basis anggaran yang tidak tepat. Selanjutnya, proses penganggaran yang

masih terjadi saat ini adalah penganggaran yang berbasis historis. Dalam

penilaian kinerja, diperlukan evaluasi pada Key Performance Indicators (KPI).

KPI tersebut harus dapat didefinisikan secara jelas. Dengan adanya KPI yang

jelas, dapat dilakukan performance based budgeting dengan menyesuaikan

input yang ada dan target kinerja yang akan dicapai.

Gambar 27. Contoh Nomenklatur dan Satuan Output Saat Ini Berikut

Rekomendasi Perbaikan yang Diusulkan

Nomenklatur Existing (RKP) Satuan Rekomendasi Satuan

Layanan Imunisasi Layanan Pelaksanaan IDL %Bayi

Layanan Kewaspadaan Dini dan Respon KLB Layanan Respon Peringatan Dini KLB %Kab/Kota

Layanan Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS Layanan Pengobatan ODHA baru yang ditemukan %ODHA

Paket Penyediaan Vaksin Imunisasi Rutin Paket Penyediaan Vaksin IDL %Kab/Kota

Paket Penyediaan Obat dan Perbekalan KIA Paket Penyediaan Obat dan Perbekalan KIA Kab/Kota

Paket Penyediaan Obat dan Perbekalan HIV/AIDS Paket Penyediaan Obat dan Perbekalan HIV/AIDS %Kab/Kota

Sumber: Kementerian Kesehatan, Direktorat KGM Bappenas

Akan tetapi, nomenklatur dan satuan output yang tercantum pada dokumen

anggaran maupun dokumen realisasi yang tersedia belum menggambarkan

kinerja. Dengan kondisi demikian, review performance untuk mengukur

Page 95: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

81

“value for money” dari anggaran kesehatan yang sudah diinvestasikan

pemerintah dengan capaian indikator program tentunya sulit dilakukan.

Sebagai contoh, nomenklatur untuk anggaran kesehatan di Ditjen P2P

Kemenkes dengan output layanan imunisasi belum dapat menggambarkan

belanja program imunisasi seutuhnya karena masih terdapat komponen

anggaran vaksin yang terletak pada output paket penyediaan vaksin

imunisasi rutin di Ditjen Farmalkes Kemenkes. Kondisi yang sama juga terjadi

pada belanja program HIV/AIDS, TB, dan program prioritas lainnya.

Pada studi ini juga teridentifikasi beberapa contoh fragmentasi penganggaran

kesehatan yang dapat mempersulit pelaksanaan review performance, antara

lain karena adanya:

1. Fragmentasi input

Pengalokasian DAK Fisik Afirmasi hanya diperuntukkan untuk

pembangunan sarana dan prasarana, contohnya pembangunan

Puskesmas. Dalam rangka menyediakan pelayanan kesehatan yang

optimal, pembangunan Puskesmas tersebut juga perlu didukung dengan

adanya pendanaan untuk penempatan tenaga kesehatan. Hal ini

bertujuan agar peningkatan jumlah Puskesmas juga diimbangi dengan

jumlah tenaga kesehatan yang mencukupi, khususnya di Daerah

Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK). Menyikapi kondisi

tersebut, dibutuhkan pengalokasikan anggaran yang komprehensif,

mencakup penyediaan sarana dan prasarana, tenaga kesehatan, dan

operasional pemeliharaan dengan mengintegrasikan berbagai sumber

dana (DAK fisik, DAK non-fisik, APBN, dan APBD).

2. Fragmentasi jenjang atau kewenangan

Terdapat pengalokasian anggaran kesehatan di luar tupoksi utama (core

business) kesehatan sehingga mencerminkan adanya fragmentasi

kewenangan secara horizontal. Secara vertikal, fragmentasi dalam

pengalokasian terjadi karena adanya pembagian kewenangan/urusan

Page 96: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

82

antara peran pusat dan daerah yang mempersulit penyusunan anggaran

secara komprehensif, padahal ukuran capaian indikator nasional menjadi

tanggung jawab K/L terkait. Tingkat pusat mempunyai kewenangan

terbatas pada penyusunan NSPK, binwas, dan pengadaan obat/vaksin

tertentu. Sebagai pelaksana teknis, pemerintah daerah diharapkan dapat

mengusulkan perencanaan kegiatan program yang komprehensif. Akan

tetapi, ada keterbatasan kapasitas SDM dan transparansi berbagai

potensi sumber pendanaan yang ada.

3. Fragmentasi peran pemangku kebijakan daerah

Pengalokasian DAK non-fisik (BOK) melalui mekanisme APBD. Terjadi

perbedaan waktu dan prioritas saat penyusunan anggaran APBD.

Informasi alokasi DAK non-fisik di daerah tidak diketahui saat anggaran

APBD disusun. Sebagai akibatnya, inefisiensi terjadi dimana dana DAK

non-fisik tidak digunakan sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu,

diperlukan penyelarasan waktu penyusunan anggaran dana DAK Non-

fisik (BOK) agar sesuai dengan periode penganggaran di daerah.

Permasalahan lain yang terjadi adalah terkait dengan kewenangan

pencairan DAK non-fisik yang mengikuti mekanisme pencairan di daerah.

Pemangku kebijakan di Pemda (termasuk anggota DPRD) berperan

penting dalam kecepatan pencairan dana DAK non-fisik (BOK).

Diperlukan komitmen dan dukungan penuh dari pemerintah daerah atas

pelaksanaan kegiatan program prioritas dari berbagai sumber.

Kesulitan untuk melakukan review performance pada anggaran program

kesehatan akan terus terjadi apabila tidak ada perubahan kebijakan

penganggaran. Ke depan, diperlukan perbaikan nomenklatur dalam

penganggaran yang dapat secara langsung berhubungan dengan capaian

kinerja yang ditargetkan serta sinkronisasi nomenklatur penganggaran antara

pusat dan daerah.

Page 97: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

83

Selain review performance, dalam menilai efisiensi anggaran juga perlu

memperhatikan baseline yang digunakan sebagai basis dalam proses

penganggaran. Seperti yang dijelaskan dalam subbab 4.5 bahwa saat ini

pemerintah masih menggunakan sistem penganggaran berbasis historis

(historical budgeting), belum mengacu pada kebutuhan untuk mencapai

sasaran dan target indikator yang ditetapkan. Ke depan, diperlukan perbaikan

review baseline dalam penganggaran dengan berbasis kebutuhan

berdasarkan indikator yang ditargetkan dan tentunya dengan

mempertimbangkan berbagai potensial sumber pendanaan serta pembagian

kewenangan pemerintahan di era desentralisasi.

Page 98: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

84

BAB 7.

KESIMPULAN

DAN REKOMENDASI

Page 99: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

85

BAB 7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Temuan studi ini mengungkap bahwa definisi, lingkup, dan peruntukan

anggaran kesehatan yang cukup lebar yang tersurat dalam peraturan

perundang-undangan yang ada. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya

interpretasi yang berbeda-beda antar K/L di tingkat nasional, dan antar OPD

di tingkat daerah. Saat ini, sebagian besar porsi anggaran kesehatan terserap

untuk pelayanan kuratif. Di sisi lain, terdapat potensi duplikasi penghitungan

antara anggaran kesehatan dan pendidikan terkait alokasi untuk program

internsip bagi dokter dan dokter gigi, pendidikan di Poltekkes, anggaran RS

Pendidikan, anggaran bagi RS di lingkungan K/L, transfer anggaran ke

daerah dan duplikasi dengan anggaran fungsi perlindungan sosial. Untuk itu,

diperlukan regulasi atau petunjuk teknis yang memberikan pedoman detail

untuk alokasi anggaran kesehatan di tingkat pusat dan daerah untuk

mengatasi permasalahan tersebut.

Belum optimalnya koordinasi dalam proses perencanaan dan penganggaran

menimbulkan potensi terjadinya inefisiensi anggaran kesehatan. Hal tersebut

terlihat dengan belum adanya forum yang secara khusus membahas postur

anggaran kesehatan, baik evaluasi maupun perencanaan anggaran, yang

melibatkan kementerian/lembaga terkait. Kondisi ini berpotensi untuk

mempengaruhi kualitas perencanaan dan penganggaran program. Di sisi

lain, adanya beberapa mekanisme pendanaan yang terfragmentasi seperti

ditemukan dalam program pelayanan ibu hamil dan bersalin dapat

menyebabkan pendanaan ganda yang menimbulkan inefisiensi anggaran.

Lebih lanjut, saat ini belum terdapat mekanisme monitoring dan evaluasi

belanja kesehatan yang kuat untuk menilai keefektifan alokasi anggaran

dalam mencapai output program kesehatan yang diinginkan. Mekanisme

penandaan (tagging) masih tersebar di berbagai entitas yang berbeda untuk

satu jenis program yang sama dan menimbulkan kesulitan untuk mengukur

keefektifan anggaran.

Page 100: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

86

Secara rinci, berikut kesimpulan dan rekomendasi anggaran kesehatan

1. Diskursus anggaran kesehatan 5% tidak relevan (fokus pada efisiensi

anggaran kesehatan). Selain itu, anggaran kesehatan telah memenuhi 5%

dan peruntukannya sudah memenuhi amanat UU minimal 2/3 untuk

pelayanan publik.

2. Belum ada panduan teknis dalam menghitung anggaran kesehatan. Oleh

karena itu, diperlukan penyusunan regulasi atau petunjuk teknis yang

memberi batasan jelas tentang definisi dan ruang lingkup anggaran

kesehatan.

a. Gaji tetap dimasukkan dalam perhitungan anggaran kesehatan minimal

5% di pusat, namun tidak untuk anggaran kesehatan minimal 10% di

daerah.

b. Internsip dan Politeknik Kementerian Kesehatan dimasukkan dalam

perhitungan anggaran kesehatan

▪ Jika dihitung sebagai anggaran kesehatan maka tenaga kesehatan

yang mengikuti internsip dan lulusan Poltekkes Kemkes dapat

ditempatkan di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah.

▪ Jika dihitung sebagai anggaran pendidikan, maka diusulkan Kemkes

secara bertahap menurunkan anggaran internsip dan anggaran

Poltekkes Kemkes, untuk selanjutnya dialihkan ke Kemristekdikti.

c. RS pendidikan tidak dihitung dalam anggaran kesehatan. RS di

lingkungan K/L selain Kemkes. RS yang diusulkan masuk dalam

perhitungan anggaran kesehatan yakni RS yang memberikan

pelayanan kesehatan untuk masyarakat umum, mencakup: 1) RS TNI,

2) RS POLRI, 3) RS Olahraga Nasional, 4) RS BP Batam, dan 5) RS

Pengayoman.

d. Anggaran kependudukan pada BKKBN tidak perlu dihitung pada

anggaran kesehatan.

Page 101: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

87

e. Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih double tagging

antara anggaran kesehatan dan anggaran perlindungan sosial.

3. Mekanisme pengalokasian anggaran kesehatan, perlu dirumuskan dalam

forum bersama antara Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian

Keuangan di awal tahun dan menjelang penetapan pagu alokasi.

a. Pembahasan di awal tahun (Januari-Februari) difokuskan pada: 1)

review capaian output terhadap target nasional (review performance),

2) review baseline, dan 3) pembahasan peruntukan anggaran

kesehatan.

b. Jika diperlukan pembahasan postur anggaran kesehatan juga dapat

dilakukan diskusi lanjutan pasca pagu anggaran dan sebelum pagu

alokasi ditetapkan. Pembahasan lanjutan tersebut difokuskan pada: 1)

review pengalokasian anggaran kesehatan, 2) perbaikan kebijakan

peruntukan pengalokasian anggaran kesehatan.

4. Perhitungan alokasi anggaran kesehatan di daerah telah mampu sesuai

dengan amanat UU yakni diluar gaji. Dana transfer pusat ke daerah

dimasukkan dalam perhitungan anggaran kesehatan baik di pusat dan

daerah.

5. Allocative dan Technical Efficiency

▪ Proses review anggaran kesehatan perlu dilakukan secara terus

menerus dan sistematis tidak hanya waktu tertentu saja.

▪ Anggaran kesehatan di luar Kemenkes dan transfer ke daerah terus

meningkat, padahal Kemenkes belum mempunyai mekanisme yang

efektif untuk memonitor agar target kinerja kesehatan tercapai.

▪ Studi ini telah menyediakan analisis beserta usulan opsi terkait isu-isu

di atas secara detail dalam dokumen ini. Kesepakatan dan kolaborasi

antar pihak terkait diperlukan untuk peningkatan proses perencanaan

anggaran di tingkat pusat dan daerah, agar visi pembangunan

kesehatan dapat tercapai bersama-sama.

Page 102: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

88

REFERENSI

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan

RI. 2018. Laporan Nasional Riskesdas 2018.

http://labmandat.litbang.depkes.go.id/images/download/laporan/RKD

/2018/Laporan_Nasional_RKD2018_FINAL.pdf (Diunduh pada 5

September 2019)

Badan Pusat Statistik Indonesia. “[Seri 2010] PDB Triwulanan Atas Dasar

Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2010-2013

dan 2014-2019.”

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2015. Anggaran

Kependudukan

Biro Perencanaan dan Anggaran Sekretariat Jenderal Kementerian

Kesehatan. 2018. Evaluasi Pelaksanaan Program/Kegiatan

Bersumber APBN dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kesehatan

Tahun 2018. Pertemuan Koordinasi Monev Program Bersumber Dana

Dekon dan Transfer Daerah Kemenkes TA 2018, Jakarta: 06

Desember 2018. https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-

terkini/Monev-Program-Dekon-2018/Evaluasi-Pelaksanaan-Program-

Bersumber-APBN-dan-DAK-Bid-Kesehatan.pdf (diunduh pada 27

November 2019)

Bobadilla, J.L., Cowley, P., Musgrove, P. et al. 1994. Design, content and

financing of an essential national package of health services. Bulletin

of the World Health Organization 1994; 72: 653–662

Cashin et al. 2017. Aligning public financial management and health

financing: sustaining progress toward universal health coverage.

Geneve: WHO.

Cylus, J., Papanicolas, I., Smith, P.C. 2016. Health Systems Efficiency: How

to make measurement matter for policy and management. Denmark:

WHO Regional Office for Europe

Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan. 2018.

Evaluasi Pelaksanaan Program Kesmas Bersumber APBN (Pusat

dan Dekonsentrasi) sampai dengan November 2018. Pertemuan

Koordinasi Monev Program Bersumber Dana Dekon dan Transfer

Daerah Kemenkes TA 2018, Jakarta: 06 Desember 2018.

Page 103: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

89

https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/Monev-

Program-Dekon-2018/Evaluasi-Pelaksanaan-Program-Dekon-

Kesmas-TW-3.pdf (diunduh pada 01 Desember 2019)

Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2017 tentang Efisiensi Belanja Barang

Kementerian / Lembaga dalam Pelaksanaan APBN Tahun 2017

Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2106 tentang langkah-langkah

penghematan belanja K/L dalam rangka pelaksanaan APBNP Tahun

Anggaran 2016

Kementerian Kesehatan. 2019. Kolaborasi Pusat dan Dasrah dalam

Penguatan Pelayanan Kesehatan Menuju Cakupan Kesehatan

Semesta. Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2019,

Jakarta 11 Februari 2019.

https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-

terkini/rakerkesnas-2019/4-Kesimpulan-dan-Tindak-Lanjut-

Sesjen.pdf (diunduh 01 Desember 2019)

Kementerian Kesehatan. Laporan Akhir National Health Accounts (NHA)

Indonesia Tahun 2017. Jakarta; 2019

Kementerian Sekretariat Negara. 2019. “Prsedien Jokowi Beri Arahan soal

Penyusunan Pagu Indikatif RAPBN 2020”. Dipublikasi pada tanggal

15 Juli 2019. Diakses pada tanggal 01 Desember 2019.

https://setneg.go.id/baca/index/presiden_jokowi_beri_arahan_soal_p

enyusunan_pagu_indikatif_rapbn_2020

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/707/2018 tentang

Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/

Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. HK.02.02/MENKES/52/2015 tentang

Renstra Kemenkes RI 2015-2019

McKie, K., Richardson, J., Singer, P., and Kuhse, H. 1998. The allocation of

health care resources. England: Dartmouth Publishing.

Ministry of Health and Family Welfare, Government of India. 2017. National

Health Accounts Estimates for India (2014-15). New Delhi, Ministry of

Health and Family Welfare, Government of India

Ministry of Health Government of Vietnam. 2016. Vietnam 2013 General

Health Accounts and Disease Expenditures with Sub-analysis of 2013

HIV/AIDS Expenditure. Hanoi, Ministry of Health Government of

Vietnam

Page 104: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

90

Murray, SF., Hunter, BM., Bisht, R., Ensor, T., Bick, D. 2014. Effects of

demand-side financing on utilization, experiences, and outcomes of

maternity care in low- and middle-income countries: a systematic

review. BMC Pregnancy and Childbirth 2014, 14:30

NICE UK. 2019. Guidance and advice list. Diakses dari

https://www.nice.org.uk/guidance/published?type=ph pada 11

November 2019

Odendaal, WA., Ward, K., Uneke, J., Uro-Chukwu, H., Chitama, D.,

Balakrishna, Y., Kredo, T. 2018. Contracting out to improve the use of

clinical health services and health outcomes in low- and middle-

income countries. Cochrane Database Syst Rev, 2018 Apr

3;4:CD008133 DOI: 10.1002/14651858.CD008133.pub2

OECD, Eurostat, WH 2011. A System of Health Accounts, OECD Publishing.

doi: 10.1787/9789264116016-en

OECD. Health at a Glance 2015: OECD Indicators, OECD Publishing. Paris;

2015. http://dx.doi.org/10.1787/health_glance-2015-en.

Office of National Statistics. 2016. Introduction to Health Accounts (diakses

dari

https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/healthandso

cialcare/healthcaresystem/methodologies/introductiontohealthaccoun

ts#what-categories-do-the-health-accounts-use-to-analyse-

healthcare-expenditure pada 29 Oktober 2019)

Peacock, S., Chan, C., Mangolini, M., and Johansen, D. 2001. Techniques

for measuring efficiency in health services. Productivity Commission

Staff Working Paper.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Keuangan

Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Perubahan Atas

PermendagriNo 13Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Daerah

Peraturan Menteri Desa No. 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan

Dana Desa Tahun 2020

Peraturan Menteri Kesehatan No. 38 Tahun 2018 tentang OTK Politeknik

Kesehatan di Lingkungan Badan PPSDM

Page 105: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

91

Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan

Internship Dokter dan Dokter Gigi

Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan

Perizinan Rumah Sakit

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang

Penyelenggaraan Imunisasi

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2019 tentang Petunjuk

Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang

Kesehatan Tahun Anggaran 2019

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk

Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Non-fisik Bidang

Kesehatan Tahun Anggaran 2019

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2019 tentang Standar Teknis

Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal

Bidang Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif

Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan

Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Kementerian Kesehatan

Peraturan Menteri Keuangan No. 102 Tahun 2018 tentang Klasifikasi

Anggaran

Peraturan Menteri Keuangan No. 141 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Dana

Insentif Daerah

Peraturan Menteri Keuangan No. 142 Tahun 2018 tentang Petunjuk

Penyusunan dan Penelaahan RKAKL

Peraturan Menteri Keuangan No. 228/PMK/0.5/2016 tentang Mekanisme

Pelaksanaan Anggaran Bantuan Pemerintah Pada Kementerian

Negara / Lembaga

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.02/2015 tentang Klasifikasi

Anggaran

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.02/2017 tentang Pengukuran

dan Evaluasi Kinerja Anggaran atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan

Anggaran Kementerian Negara/Lembaga

Page 106: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

92

Peraturan Menteri PPN No. 5 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan

Rencana Kerja Pemerintah

Peraturan Menteri Sosial No. 1 Tahun 2018 tentang Program Keluarga

Harapan

Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2010 tentang Pendidikan Kedinasan

Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses

Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional Tahunan

Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan

UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran

Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan

Nasional

Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2015 tentang Rumah Sakit Pendidikan

Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelayanan Publik

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah

Putusan MK No. 026/PUU-IV/2006 tentang Anggaran Pendidikan

Rajan D, Barroy H, Stenberg K. Chapter 8. Budgeting for health. In: Schmets

G, Rajan D, Kadandale S, editors. Strategizing national health in the

21st century: a handbook. Geneva: World Health Organization; 2016.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019

SKB 4 Menteri No. 140-8698/2017 tentang Penyelarasan dan Penguatan

Kebijakan Percepatan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang

Desa

Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting). 2018.

http://tnp2k.go.id/filemanager/files/Rakornis%202018/Stranas%20Pe

rcepatan%20Pencegahan%20Anak%20Kerdil.pdf (diunduh 01

Desember 2019)

The International Network of Agencies for Health Technology Assessment.

2019. NECA- National evidence-based healthcare collaborating

agencies. Diakses dari http://www.inahta.org/members/neca/ pada 11

November 2019

The Pharmaceutical Benefit Scheme Australia. 2019. Schedule of

pharmaceutical benefits – efficient funding of chemotherapy. Diakses

Page 107: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

93

dari http://www.pbs.gov.au/publication/schedule/2019/11/2019-11-

01-efc-schedule.pdf pada 11 November 2019

UK Health Accounts 2016 (diakses dari

https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/healthandso

cialcare/healthcaresystem/bulletins/ukhealthaccounts/2016 pada 29

Oktober 2019 )

UK Health Accounts 2017 (diakses dari

https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/healthandso

cialcare/healthcaresystem/bulletins/ukhealthaccounts/2017 pada 29

Oktober 2019)

UK Health and Social Care Act 2012 (diakses dari

http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2012/7/contents/enacted pada

31 Oktober 2019)

UK Health and Social Care Annual Report and Accounts 2018-19 (diakses

dari https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/

system/uploads/attachment_data/file/832765/dhsc-annual-report-

and-accounts-2018-to-2019.pdf pada 14 Mei 2020)

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran

Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan

Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Berencana

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

World Bank. 2016. Public Expenditure Review (PER).

World Bank. World Development Indicators.

https://databank.worldbank.org/source/world-development-indicators.

Published 2019. Accessed October 25, 2019.

World Health Organization. 2003. Fifty-sixth world health assembly,

resolutions and decisions. Geneve: World Health Organization

World Health Organization. 2004. The role of contracting in improving health

systems performance. Geneve: World Health Organization

World Health Organization. Regional Office for the Western Pacific. 2015.

The Kingdom of Thailand health system review. Manila : WHO

Page 108: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

94

Regional Office for the Western Pacific.

https://apps.who.int/iris/handle/10665/208216

World Health Organization. Global Health Expenditures Database.

http://apps.who.int/nha/database/Select/Indicators/en. Published

2019. Accessed November 22, 2019.

Page 109: BEDAH ANGGARAN KESEHATAN - Bappenas

95