15
BEBERAPA ALASAN MUHAMMADIYAH MEMILIH HISAB DALAM PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH 1 Oleh : M. Dihyah W ahid 2 A. PENDAHULUAN Diturunkannya al-Qur’an secara bertahap merupakan suatu proses “ta’lim” kepada manusia, di mana ayat-ayat Al-Qur’an telah memberi berbagai ilmu pengetahuan kepada manusia sedunia. Disamping didalamnya terkandung ilmu yang berkaitan dengan Akidah dan Syari’ah, al-Quran juga mempunyai penjelasan dasar berkenaan berbagai ilmu sains termasuklah di dalamnya ilmu astronomi ( ilmu falak). Allah swt. sentiasa memerintahkan umatnya untuk berfikir dan mengkaji fenomena alam dan segala isinya, bukan hanya untuk kepentingan hidup mereka tetapi juga untuk menambahkan rasa keyakinan kepada Allah s.w.t. Diantara fenomena alam yang menarik perhatian ummat sejak masa pra sejarah, hingga zaman modern sekarang ini adalah fenomena benda-benda langit. Diantara benda-benda langit, Matahari dan Bulan merupakan dua benda langit yang oleh Allah swt dijadikan patokan didalam menentukan bilangan tahun dan perhitungan. Kedua benda langit tersebut oleh Allah swt diabadikan dalam al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5 : َ وُ ه يِ ذَ ّ الَ لَ عَ جَ سْ مَ ّ ش ل اً ء آَ يِ ضَ رَ مَ ! قْ ل اَ و اً ورُ نُ هَ رَ ّ ذَ ! قَ وَ لِ آرَ يَ م واُ مَ لْ عَ ! تِ لَ دَ ذَ عَ 2 ن4 يِ يِ ّ س ل اَ آبَ سِ حْ ل اَ وَ ! قَ لَ خ اَ مُ له ل اَ C كِ لَ دَ ّ لاِ G اِ ّ ! قَ حْ ل اِ بُ لِ ّ صَ فُ يِ ! ابَ بَ N لاْ اٍ مْ وَ ! قِ لَ 2 ونُ مَ لْ عَ ي“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan- Nya manzilah-manzilah (tempat- tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak 1 Disampaikan pada Pengajian Pimpinan Daerah Muhammadiyah Pontianak di Pontianak 27 Ramadhan 1434 H / 3 Agustus 2013 M. 2 Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat dan Anggota Badan Hisab Rukyat Propinsi Kalimantan Barat 1

Beberapa Alasan Muhammadiyah Memilih Hisab Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Alasan Muhammadiyah

Citation preview

Page 1: Beberapa Alasan Muhammadiyah Memilih Hisab Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah

BEBERAPA ALASAN MUHAMMADIYAH MEMILIH HISAB DALAM PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH1

Oleh : M. Dihyah Wahid2

A. PENDAHULUAN

Diturunkannya al-Qur’an secara bertahap merupakan suatu proses “ta’lim” kepada manusia, di mana ayat-ayat Al-Qur’an telah memberi berbagai ilmu pengetahuan kepada manusia sedunia. Disamping didalamnya terkandung ilmu yang berkaitan dengan Akidah dan Syari’ah, al-Quran juga mempunyai penjelasan dasar berkenaan berbagai ilmu sains termasuklah di dalamnya ilmu astronomi ( ilmu falak). Allah swt. sentiasa memerintahkan umatnya untuk berfikir dan mengkaji fenomena alam dan segala isinya, bukan hanya untuk kepentingan hidup mereka tetapi juga untuk menambahkan rasa keyakinan kepada Allah s.w.t.

Diantara fenomena alam yang menarik perhatian ummat sejak masa pra sejarah, hingga zaman modern sekarang ini adalah fenomena benda-benda langit. Diantara benda-benda langit, Matahari dan Bulan merupakan dua benda langit yang oleh Allah swt dijadikan patokan didalam menentukan bilangan tahun dan perhitungan. Kedua benda langit tersebut oleh Allah swt diabadikan dalam al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5 :

و� ع�ل� ال�ذ�ي ه� م�س� ج� ي�آء� الش� ر� ض� م� ال�ق� ا و� ه� ن�ور� د�ر� ن�از�ل� و�ق� ل�ت�ع�ل�م�وا م�ن�ين� ع�د�د� اب� الس* س� ال�ح� ل�ق� و� اخ� � ذ�ل�ك� الله� م� �ال ق* إ ل� ب�ال�ح� ص* ا�أل�ي�ات� ي�ف�

و�م; ي�ع�ل�م�ون� ل�ق�“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan- Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.

Menurut ayat ini, dengan mengamati perjalanan kedua benda tersebut ummat Islam dapat menentukan akan datangnya awal tahun dan dengan sendirinya awal bulan, awal dan akhir waktu shalat serta arah kiblat, dimana ketiganya terkait erat dengan praktek ibadah seorang muslim kepada rabb-Nya. Pengamatan terhadap Matahari berguna untuk menentukan waktu shalat dan arah kiblat, sedangkan pengamatan terhadap Bulan (hilal) berguna dalam menentukan awal dan akhir bulan qomariyah (hijriyah) terutama awal dan akhir bulan Ramadlan serta awal bulan Dzulhijjah.

1 Disampaikan pada Pengajian Pimpinan Daerah Muhammadiyah Pontianak di Pontianak 27 Ramadhan 1434 H / 3 Agustus 2013 M.

2 Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat dan Anggota Badan Hisab Rukyat Propinsi Kalimantan Barat

1

Page 2: Beberapa Alasan Muhammadiyah Memilih Hisab Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah

B. PENANDA AWAL BULAN QOMARIYAH

Banyak pandangan mengenai penentuan penanda awal bulan qomariyah, Dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, penentuan penanda awal bulan qomariyah Muhammadiyah menganut pendapat hisab hakiki wujudul hilal. Dalam hisab hakiki wujudul hilal, bulan baru qomariyah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria berikut:

1) telah terjadi ijtimak (konjungsi),

2) ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan

3) pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).

Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai. Kriteria ini difahami dari isyarat dalam firman Allah swt pada surat Yasin (36) ayat 39 dan 40 yang berbunyi:

ر� م� ال�ق� ن�اه� و� د�ر� ن�از�ل� ق� ت�ى م� ون� ع�اد� ح� ج� د�يم� ك�ال�ع�ر� {39} ال�ق�م�س� آ ي�نب�غ�ي ال�الش� ر� ت�د�ر�ك� أ�ن ل�ه� م� اب�ق� و�ال�ال�ي�ل� ال�ق� ار� س� و�ك�لN الن�ه�

ل�ك; ف�ي ون� ف� ب�ح� {40} ي�س�”Dan telah Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah,sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya”

Penyimpulan tiga kriteria di atas dilakukan secara komprehensif dan interkonektif, artinya difahami tidak semata dari ayat 39 dan 40 surat Yasin semata-mata, melainkan dihubungkan dengan ayat, hadis dan konsep fiqih lainnya serta dibantu ilmu astronomi. Dalam surat ar-Rahman dan surat Yunus dijelaskan bahwa Matahari dan Bulan dapat dihitung geraknya dan perhitungan itu berguna untuk menentukan bilangan tahun dan perhitungan waktu. Di antara perhitungan waktu itu adalah perhitungan bulan. Pertanyaannya adalah kapan bulan baru dimulai? Apa kriterianya? Ayat 39 dan 40 surat Yasin ini dapat menjadi sumber inspirasi untuk menentukan kriteria bulan baru tersebut.

Dalam kedua ayat ini terdapat isyarat mengenai tiga hal penting, yaitu (1) peristiwa ijtimak, (2) peristiwa pergantian siang ke malam (terbenamnya matahari), dan dari balik pergantian siang ke malam itu terkait (3) ufuk, karena terbenamnya matahari artinya berada di bawah ufuk. Peristiwa ijtimak diisyaratkan dalam ayat 39 Yasin dan awal ayat 40. Pada ayat itu ditegaskan bahwa Allah swt telah menetapkan posisi-posisi tertentu bagi Bulan dalam perjalanannya.

Sementara dari sudut pandang astronomi dapat dipahami bahwa posisi-posisi itu adalah posisi Bulan dalam perjalanannya mengelilingi bumi. Pada posisi akhir saat Bulan dapat dilihat dari bumi terakhir kali, Bulan kelihatan seperti tandan tua dan ini menggambarkan sabit dari Bulan tua yang terlihat di pagi hari sebelum menghilang dari penglihatan. Kemudian dalam perjalanan itu Bulan menghilang dari penglihatan dan dari astronomi diketahui bahwa pada saat itu Bulan melintas antara Matahari dan bumi. Saat melintas antara Matahari

2

Page 3: Beberapa Alasan Muhammadiyah Memilih Hisab Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah

dan bumi itu ketika ia berada pada titik terdekat dengan garis lurus antara titik pusat Matahari dan titik pusat bumi adalah apa yang disebut ijtimak (konjungsi). Perlu diketahui bahwa Bulan beredar mengelilingi bumi rata-rata selama 29, 530569 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 02,89 detik. Matahari juga, tetapi secara semu, berjalan mengelilingi bumi [Sesungguhnya bumilah yang mengelilingi matahari]. Dalam perjalanan keliling itu Bulan dapat mengejar Matahari sebanyak 12 kali dalam satu tahun, yaitu saat terjadinya ijtimak, yaitu saat Bulan berada antara Matahari dan bumi.

Saat terjadinya ijtimak menandai Bulan telah cukup umur satu putaran bulan karena ia telah mencapai titik finis dalam perjalanan kelilingnya. Oleh karena itu kita dapat memanfaatkannya sebagai kriteria mulainya bulan baru. Namun ijtimak saja tidak cukup untuk menjadi kriteria bulan baru, karena ijtimak bisa terjadi pada sembarang waktu atau kapan saja pada hari ke-29, bisa pagi, bisa siang, sore, malam, dini hari, subuh dan seterusnya. Oleh karena itu diperlukan kriteria lain di samping kriteria ijtimak. Untuk itu kita mendapat isyarat penting dalam ayat 40 surat Yasin. Pada bagian tengah ayat 40 itu ditegaskan bahwa malam tidak mungkin mendahului siang, yang berarti bahwa sebaliknya tentu siang yang mendahului malam dan malam menyusul siang. Ini artinya terjadinya pergantian hari adalah pada saat terbenamnya matahari.

Saat pergantian siang ke malam atau saat terbenamnya matahari itu dalam fiqih, menurut pandangan jumhur fuqaha, dijadikan sebagai batas hari yang satu dengan hari berikutnya. Artinya hari menurut konsep fiqih, sebagaimana dianut oleh jumhur fuqaha, adalah jangka waktu sejak terbenamnya matahari hingga terbenamnya matahari berikut. Jadi gurub (terbenamnya matahari) menandai berakhirnya hari sebelumnya dan mulainya hari berikutnya. Apabila saat itu adalah hari terakhir dari suatu bulan, maka terbenamnya matahari sekaligus menandai berakhirnya bulan lama dan memulainya bulan baru. Oleh karenanya adalah logis bahwa kriteria kedua bulan baru, di samping ijtimak, adalah bahwa ijtimak itu terjadi sebelum terbenamnya matahari, yakni sebelum berakhirnya hari bersangkutan.

Berbicara tentang terbenamnya matahari, yang menandai berakhirnya hari lama dan memulainya hari baru, tidak dapat lepas dari ufuk karena terbenamnya matahari itu adalah karena ia telah berada di bawah ufuk. Oleh karena itu dalam ayat 40 surat Yasin itu sesungguhnya tersirat isyarat tentang arti penting ufuk karena kaitannya dengan pergantian siang dan malam dan pergantian hari. Dipahami juga bahwa ufuk tidak hanya terkait dengan pergantian suatu hari ke hari berikutnya, tetapi juga terkait dengan pergantian suatu bulan ke bulan baru berikutnya pada hari terakhir dari suatu bulan.

Dalam kaitan ini, ufuk dijadikan garis batas untuk menentukan apakah Bulan sudah mendahului Matahari atau belum dalam perjalanan keduanya dari arah barat ke timur (perjalanan semu bagi matahari). Dengan kata lain ufuk menjadi garis penentu apakah Bulan baru sudah wujud atau belum. Apabila pada saat terbenamnya Matahari, Bulan telah mendahului Matahari dalam gera knya dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk, maka itu menandai dimulainya bulan qomariyah baru. Akan tetapi apabila Bulan belum dapat mendahului Matahari saat terbenam, dengan kata lain Bulan berada di bawah ufuk saat Matahari tenggelam, maka bulan qomariyah baru belum mulai; malam itu dan keesokan harinya masih merupakan hari dari bulan kamariah berjalan.

Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat Matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan qomariyah baru juga merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan

3

Page 4: Beberapa Alasan Muhammadiyah Memilih Hisab Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah

penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat. Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk. Apabila Bulan pada hari ke-29 berada di bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan yang bersangkutan digenapkan 30 hari, maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal Bulan sudah pasti berada di atas ufuk.

Sebaliknya berapapun ketinggian Bulan seperti untuk awal Syawal 1434 H pada hari ijtimak yang bertepatan dengan hari Rabu tanggal 7 Agugtus 2013 pada saat terbenam matahari di Yogyakarta ( 07º 48’ LS dan 110º 21’ BT) ketinggian hilal adalah 03 º 54’ 11” dan diseluruh wilayah Indonesia hilal pada saat terbenam matahari tersebut Bulan sudah berada di atas ufuk (hilal sudah wujud). Dengan demikian, maka menurut Muhammadiyah senja hari itu dan keesokan harinya sudah masuk tanggal baru bulan qomariyah. Hal ini sebagaimana termuat dalam Maklumat yang dikeluarkan oleh Pimipinan Pusat Muhammadiyah Nomor: 04/MLM/1.0/E/2013 tanggal 13 Rajab 1434 H/ 23 Mei 2013 M yang menyatakan bahwa tanggal 1 Syawal tahun 1434 H jatuh pada hari Kamis 8 Agustus 2013.

Sekarang timbul pertanyaan, mengapa Muhammadiyah memilih hisab dan tidak memilih rukyat untuk menentukan awal bulan qamariyah atau untuk menyusun kalender? Mengapa Muhammadiyah memilih hisab wujudul-hilal atau bagaimana rumusan metodologisnya sehingga hisab wujudul hilal menjadi pilihan? Dan selanjutnya bagaimana metode perhitungan untuk menentukan konsep wujudul hilal tersebut ? Persoalan-persoalan ini sudah dikupas dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah pada Bab I halaman 13-18 dan pada Bab IV halaman 73-94. Dalam makalah ini kami berusaha mensarikan penjelasan dimaksud. Argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.

Dalam penentuan awal bulan qomariyah, hisab sama kedudukannya dengan rukyat [Putusan Tarjih XXVI, 2003]. Oleh karena itu penggunaan hisab dalam penentuan awal bulan qamariyah adalah sah dan sesuai dengan Sunnah Nabi saw. Dasar syar‘i penggunaan hisab adalah,

a . Al-Qur’an surat ar-Rahman (55) ayat 5:

م�س� ر� الش� م� ال�ق� ب�ان; و� س� ب�ح�”Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan ”

b. Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5

و� ع�ل� ال�ذ�ي ه� م�س� ج� ي�آء� الش� ر� ض� م� ال�ق� ا و� ه� ن�ور� د�ر� ن�از�ل� و�ق� ل�ت�ع�ل�م�وا م�ن�ين� ع�د�د� اب� الس* س� ال�ح� و�

”Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkan- Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)”.

c. Hadits al-Bukhari dan Muslim,

4

Page 5: Beberapa Alasan Muhammadiyah Memilih Hisab Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah

وا ل��ه در� �فطروا، ف��إن غ�م� عليكم فاق�� �يتم��وه� ف��أ إذا رأيتموه� فص�وموا وإذا رأ}رواه البخاري, والل+فظ له, و مسلم{

”Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah” [HR al-Bukhari - Muslim, dan lafal di atas adalah lafalnya dari al-Bukhari].

d. Hadis tentang keadaan umat yang masih ummi, yaitu sabdaNabi saw,

�ا 1ن �ة �م�ة أ إ م�ي� � أ �ب� ال ت �ك � ن �حس1ب� و�ال هر� ن �ذ�ا الش� �ذ�ا ه�ك ذ�ا و�ه�ك د� و�ه�ك��� ام� و�ع�ق��� ه��� األب

� ف1ي �ة1 الثا 1ث هر� ل �ذ�ا و�الش� �ذ�ا ه�ك �ذ�ا و�ه�ك �عن1ي و�ه�ك �م�ام� ي ن� ت 1ي �ث �ال الث”Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah seperti ini, seperti ini, beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini yakni sempurna 30 hari” [HR al-Bukhari dan Muslim].

Cara memahaminya (wajh al-istidlal-nya) adalah bahwa pada surat ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat 5, Allah swt menegaskan bahwa benda-benda langit berupa Matahari dan Bulan beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena itu peredaran benda-benda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat. Penegasan kedua ayat ini tidak sekedar pernyataan informatif belaka, karena dapat dihitung dan diprediksinya peredaran benda-benda langit itu, khususnya Matahari dan Bulan, bisa diketahui manusia sekalipun tanpa informasi samawi. Penegasan itu justru merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempelajari gerak dan peredaran benda- benda langit itu yang akan membawa banyak kegunaan seperti untuk meresapi keagungan Penciptanya, dan untuk kegunaan praktis bagi manusia sendiri antara lain untuk dapat menyusun suatu sistem pengorganisasian waktu yang baik seperti dengan tegas dinyatakan oleh ayat 5 surat Yunus . ”... agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu”.

Pada zamannya, Nabi Muhammad saw dan para Sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan baru qomariyah, melainkan menggunakan rukyat seperti terlihat dalam hadis pada butir ( c ) di atas dan beberapa hadis lain yang memerintahkan melakukan rukyat. Praktik dan perintah Nabi Muhammad saw agar melakukan rukyat itu adalah praktik dan perintah yang disertai ‘illat (kausa hukum). ‘Illatnya dapat dipahami dalam hadis pada butir ( d ) di atas, yaitu keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi. Keadaan ummi artinya adalah belum menguasai baca tulis dan ilmu hisab (astronomi), sehingga tidak mungkin melakukan penentuan awal bulan dengan hisab seperti isyarat yang dikehendaki oleh al-Qur’an dalam surat ar-Rahman dan Yunus di atas. Cara yang mungkin dan dapat dilakukan pada masa itu adalah dengan melihat hilal (Bulan) secara langsung: bila hilal terlihat secara fisik berarti bulan baru dimulai pada malam itu dan keesokan harinya dan bila hilal tidak terlihat, bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa. Sesuai dengan kaidah fikih (al- qawaid al-fiqhiyyah) yang berbunyi,

وعدما وجودا وسببه +ته عل مع يدور الحكم”Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illat dan sebabnya”

Ketika ‘illat sudah tidak ada lagi, hukumnya pun tidak berlaku lagi. Artinya ketika

5

Page 6: Beberapa Alasan Muhammadiyah Memilih Hisab Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah

keadaan ummi itu sudah hapus, karena tulis baca sudah berkembang dan pengetahuan hisab astronomi sudah maju, maka rukyat tidak diperlukan lagi dan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini kita kembali kepada semangat umum dari al-Quran, yaitu melakukan perhitungan (hisab) untuk menentukan awal bulan baru qomariyah. Telah jelas bahwa misi al-Quran adalah untuk mencerdaskan umat manusia, dan misi ini adalah sebagian tugas yang diemban oleh Nabi Muhammad saw dalam dakwahnya. Ini ditegaskan dalam firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Jumu‘ah (62) ayat 2 :

و� ي*ين� ف�ي ب�ع�ث� ال�ذ�ي ه� � ا�أل�م* وال س� م� ر� ن�ه� م� ي�ت�ل�وا م* ء�اي�ات�ه� ع�ل�ي�ه�م� ك*يه� ي�ز� م� و� ه� ي�ع�ل*م� ة� ال�ك�ت�اب� و� ك�م� ال�ح� إ�ن و� ب�ل� م�ن ك�ان�وا و� ل�ف�ي ق�

ال�ل; ب�ين; ض� Wم”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul yang berasal dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan kebijaksanaan. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”

Dalam rangka mewujudkan misi ini, Nabi saw menggiatkan upaya belajar baca tulis seperti terlihat dalam kebijakannya membebaskan tawanan Perang Badar dengan tebusan mengajar kaum Muslimin baca tulis, dan beliau memerintahkan umatnya agar giat belajar ilmu pengetahuan seperti tercermin dalam sabdanya, yang artinya: Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim” [HR al Thabarani dari ‘Abdullah Ibn Mas‘ud, dan riwayat Waki‘ dari Anas].

Dalam kerangka misi ini, sementara umat masih dalam keadaan ummi, maka metode penetapan awal bulan dilakukan dengan rukyat buat sementara waktu. Namun setelah umatnya dapat dibebaskan dari keadaan ummi itu, maka kembali kepada semangat umum al-Quran agar menggunakan hisab untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Disamping itu kami ketengahkan penjelasan dari Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang juga merupakan Guru Besar Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431 H Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY. Bahwa dasar pijakan Muhammadiyah memilih hisab dalam penetapan awal bulan adalah sebagai berikut :

Pertama,semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat ”Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang- kadang dua puluh sembilan hari

6

Page 7: Beberapa Alasan Muhammadiyah Memilih Hisab Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah

dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qomariyah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qomariyah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di atas lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar.

Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah Timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah Timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qomariyah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman pertengahan menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah Barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah Timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qomariyah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Disamping itu faktor yang mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu (1) faktor geometris (posisi Bulan, Matahari dan Bumi), (2) faktor atmosferik, yaitu keadaan cuaca dan atmosfir, (3) faktor fisiologis, yaitu kemampuan mata manusia untuk menangkap pantulan sinar dari permukaan bulan, (4) faktor psikologis, yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering mendorong terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa hilal telah terlihat padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan teropong canggih, hilal masih mustahil terlihat.

Cahaya hilal yang sedemikian lemah teramat sulit untuk diamati ketika umur Bulan sangat

7

Page 8: Beberapa Alasan Muhammadiyah Memilih Hisab Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah

muda. Semakin muda usia Bulan semakin dekat ia dengan Matahari; sebaliknya makin tua usianya, Bulan akan makin menjauhi Matahari. Pada hilal yang sangat muda, beda azimut antara Bulan dan Matahari amat kecil (akibatnya jarak sudut antara keduanya pun kecil) demikian pula dengan luas hilal yang memantulkan sinar Matahari. Dari pemahaman ini, jelaslah bahwa mengamati hilal bukanlah pekerjaan yang ringan, sebab meskipun hilal berada di atas ufuk saat Matahari terbenam, namun belum tentu hilal bisa diamati.

Kesulitan itu semakin bertambah dengan adanya debu-debu dan molekul uap air di dekat horison yang dapat membiaskan cahaya hilal, mengurangi cahaya itu sampai dengan 40% dari yang seharusnya sampai ke mata pengamat. Pada usia Bulan yang amat muda bahkan redupnya cahaya hilal itu bisa habis di tengah jalan sebelum sampai ke mata pengamat di Bumi. Karena kenyataan ini jugalah tempat yang lebih tinggi, meskipun mempunyai medan pandang yang lebih luas dan dalam ke horison, bisa jadi kurang menguntungkan sebab makin besar serapan cahaya hilal oleh horison bila dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, para ahli kemudian membuat kriteria kenampakan (visibilitas) hilal, suatu kriteria yang bisa dihitung (di-hisab), pada titik mana hilal biasanya bisa dilihat.

Sebenarnya dalam pelaksanaan sholat, kita tidak lagi merukyat bayang-bayang Matahari, tapi cukup dengan melihat jam tangan kita dengan membandingkan pada jadwal waktu sholat yang merupakan hasil hisab. Padahal pada mulanya (pada masa Rasullulah SAW), waktu sholat itu ditentukan dengan merukyat efek cahaya Matahari, baik dengan mengamati bayang-bayang sebuah benda yang tersinari Matahari, maupun pada lembayung di langit, seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Tirmidzi (silakan diperiksa sendiri).

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qomariyah dikalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qomariyah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.

Pada kesempatan ini kami ketengahkan penjelasan lanjutan dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang ”mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab dalam menetapkan awal bulan qomariyah ?”. Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah senantiasa berangkat dari dalil Naqli Al-Qur'an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.

Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilal artinya memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan

8

Page 9: Beberapa Alasan Muhammadiyah Memilih Hisab Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah

dengan dasar Al-Qur'an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru'yah riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma'qul ma'na/tidak dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru'yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat- alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga ru'yah mengalami gagal total.

Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta'qul ma'na artinya dapat dirasionalkan maka ru'yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya. Sebaliknva dengan memahami bahwa hadis ru'yah itu ta'aquli ma'na maka hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul. Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itu dapat diijtihadi, misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.

Andaikata ketentuan hasil hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur'an surah Annisa ayat 59 "Athiullah wa athi'u ar rasul wa ulil amri minkum". Muhammadiyah tidak melanggar ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa puasa dan hari raya tanggal sekian dan bagi umat Islam yang memulai puasa dan merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya, maka dipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut.

Disamping itu jika kita mengacu kepada pendapat para ulama yang menyatakan jika terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan pemahaman nash-nash agama, diselesaikan dengan menggunakan kaedah-kaedah perbedaan pendapat yang sudah ada dan biasa dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Muhammadiyah memahami dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal dalam kaitannya dengan pelaksaan ibadah puasa Ramadhan dan Sholat ‘Idul Fitri, ini adalah murni persoalan agama sehingga oleh karenanya penyelesaiannya diserahkan kepada para pemimpin agama dalam membimbing ummatnya. Tetapi urusan libur ‘idul fitri dan hal-hal lain di luar urusan keagamaan murni, diputuskan oleh pemerintah.

C. PENUTUP

Dalam al-Quran ada semangat umum yang terkandung agar menggunakan hisab untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Semangat ini yang diambil dan lebih dikedepankan oleh Muhammadiyah dalam menetapkan awal bulan qomariyah, terlebih-lebih diera perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi dewasa ini.

9