9
Bakteri Corynebacterium diphtheriae Gambar Corynebacterium diphtheriae Klasifikasi Kingdom : Bakteri Filum : Actinobacteria Kelas : Actinobacteria Order : Actinomycetales Keluarga : Corynebacteriaceae Genus : Corynebacterium Spesies : Corynebacterium diphtheriae Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan difteri berupa infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas. Penyakit ini bersifat setempat dan juga menyeluruh disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh galur-galur Corynebacterium diphtheriae yang bersifat

Bakteri Corynebacterium diphtheriae

Embed Size (px)

DESCRIPTION

KUMAN

Citation preview

Page 1: Bakteri Corynebacterium diphtheriae

Bakteri Corynebacterium diphtheriae

Gambar Corynebacterium diphtheriae

Klasifikasi

Kingdom : Bakteri

Filum : Actinobacteria

Kelas : Actinobacteria

Order : Actinomycetales

Keluarga : Corynebacteriaceae

Genus : Corynebacterium

Spesies : Corynebacterium diphtheriae

Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan difteri berupa

infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas. Penyakit ini bersifat setempat dan juga

menyeluruh disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh galur-galur Corynebacterium

diphtheriae yang bersifat toksigenik. Ia juga dikenal sebagai basil Klebs-Löffler, karena

ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich

Löffler (1852-1915).

Page 2: Bakteri Corynebacterium diphtheriae

Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan

penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu :

a. gravis : agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya juga paling besar.

bentuk pemukul dan bentuk halter, granula metakromatik sedikit, pada area sel terwarnai

dalam perbedaan corak biru. karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu

membentuk selaput pada permukaan.

b. mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan sejumlah

granula metakromatik, batasan sel tersusun huruf v & w, mirip spt karakter tulisan kuno.

Penyakit : ringan, karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.

c. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna hitam. batang

pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru terang & gelap, tidak adanya granula

metakromatik . penyakit : pertengahan pada kaldu akan membentuk endapan.

. Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti

kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga tipe dapat dikaitkan

dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan

kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi

(in vitro) dari 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100 menit,

dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo),

tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan

besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.

Morfologi dan Sifat Biakan

Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak

berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. diphtheriae bersifat

anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan

kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan

agar darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis

dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae

lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini

mudah dimatikan oleh desinfektan.

Page 3: Bakteri Corynebacterium diphtheriae

Epidemiologi

Difteri terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Penyakit ini

terutama menyerang anak umur 1-9 tahun. Difteri mudah menular dan menyebar melalui

kontak langsung secara droplet. Banyak spesies Corynebacteria dapat diisolasi dari berbagai

tempat seperti tanah, air, darah, dan kulit manusia. Strain patogenik dari Corynebacteria dapat

menginfeksi tanaman, hewan, atau manusia. Namun hanya manusia yang diketahui sebagai

reservoir penting infeksi penyakit ini. Bakteri ini umumnya ditemukan di daerah beriklim

sedang atau di iklim tropis, tetapi juga dapat ditemukan di bagian lain dunia.

Penentu Patogenitas

Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu

1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi

bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap difteri C.

diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat

dalam kolonisasi tenggorokan.

2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik

dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung jawab atas

gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C. diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan

toxigenesis saja, sejak fase invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan.

Namun, belum dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses

penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.

Patogenesis

Organisme ini menghasilkan toksin yang menghambat sintesis protein seluler dan

bertanggung jawab atas kerusakan jaringan lokal dan pembentukan membran. Toksin yang

dihasilkan di lokasi membran diserap ke dalam aliran darah dan didistribusikan ke jaringan

tubuh. Toksin yang bertanggung jawab atas komplikasi utama dari miokarditis dan neuritis

dan juga dapat menyebabkan rendahnya jumlah trombosit (trombositopenia) dan protein

dalam urin (proteinuria).

Page 4: Bakteri Corynebacterium diphtheriae

Penyakit klinis terkait dengan jenis non-toksin umumnya lebih ringan. Sementara kasus yang

parah jarang dilaporkan, sebenarnya ini mungkin disebabkan oleh strain toksigen yang tidak

terdeteksi karena contoh koloni tidak memadai.

Gambaran klinis

Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan

lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada

tempat penyakit.

1)Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen

(berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup

ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh

antitoksin dan terapi antibiotik.

2)Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan

tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak

terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi

cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien

dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan

leher anterior bersama dengan limfadenopati.

3)Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk

demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan obstruksi jalan

napas, koma, dan kematian.

4)Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh

ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk

selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.

Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh

toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah

miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan

dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat

fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak,

otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah

minggu kelima penyakit.

Page 5: Bakteri Corynebacterium diphtheriae

Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan

napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%,

dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk

difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.

Diagnosis

Diagnosis klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikus-klinikus dan

sering terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C. Diphtheriae baik yang

toksigenik maupun nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula spesies Corynebacterium yang

lain pun secara morfologik mungkin serupa. Karena itu bila pada pemeriksaan mikroskopik

ditemukan kuman khas difteri, maka hasil presumtif adalah: ditemukan kuman-kuman

tersangka difteri. Hal ini menunjukkan pentingnya dilakukan diagnosis laboratorium secara

mudah, cepat, dan dengan hasil yang dipercaya untuk membantu klinikus. Walaipun

demikian, diagnosis laboratorium harus dianggap sebagai penunjang bukan pengganti

diagnosis klinik agar penanganan penyakit dapat cepat dilakukan. Hapusan tenggorok atau

bahan pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian obat antimikroba, dan harus

segera dikirim ke laboratorium.

Pengobatan

Antitoksin difteri diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di Amerika

Serikat pada tahun 1891. Pengobatan difteri dilakukan dengan pemberian antitoksin yang

tepat jumlahnya dan juga cepat. Antitoksin dapat diberikan setelah diagnosis presumtif

keluar, tanpa perlu menunggu diagnosis laboratorium. Hal ini dilakukan karena toksin dapat

dengan cepat terikat pada sel jaringan yang peka, dan sifatnya irreversibel karena ikatan tidak

dapat dinetralkan kembali. Jadi penggunaan antitoksin bertujuan untuk mencegah terjadinya

ikatan lebih lanjut dari toksin dalam sel jaringan yang utuh dan akan mencegah

perkembangan penyakit.

Selain antitoksin, umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau

Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan

pengobatan bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui

suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain

Page 6: Bakteri Corynebacterium diphtheriae

G harian, intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan

600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.

Pencegahan

Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan

diri dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif

juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan

pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus

dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak akan bersekolah.Imunisasi pasif

dilakukan dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak

kebal yang sering berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus

dibatasai pada keadaan yang memang sanagt gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap

penyakit difteri juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.