Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA
Volume 10, No.5
November 2009
ISSN 1829-9334
BADAN RI POM
IPendahuluan
Komunikasi adalah tulang punggung dalam pelaksanaan sebuah
program di institusi mana pun. Dalam pelayanan kesehatan, komunikasi
menjadi lebih penting karena menyangkut kelangsungan hidup serta hak
sehat manusia. Komunikasi antar dokter dan antara dokter dengan
profesi lain sudah banyak dibahas, walau pun masalah yang ada belum
sepenuhnya teratasi. Komunikasi antara dokter dengan ahli farmasi
menjadi semakin penting mengingat aktivitas pemberian obat kepada
pasien ternyata bukan sekedar penyerahan obat dari penyedia obat
kepada pasien. Berbagai aspek layak disimak mengenai komunikasi
(dapat juga disebut kerja sama atau kolaborasi) antara dokter dengan ahli
farmasi.
Peran saling melengkapi
Kamus Oxford English Dictionary menyebutkan definisi collaborate
sebagai: bekerja sama pada sebuah kegiatan atau proyek; pengertian
lain adalah: bekerja sama dengan lawan (dengan kecurigaan/
traitorously). Dalam kenyataan sehari-hari, pengertian yang kedua lebih
sering mengemuka (disadari atau tidak) terutama jika pihak yang bekerja
sama bukan berasal dari induk disiplin ilmu yang sama. Dengan
kompleksnya permasalahan kesehatan maka kerja sama yang lebih baik
antar profesi menjadi terasa semakin kebutuhan. Mahasiswa kedokteran
diminta ikut dalam rotasi perawat agar dapat lebih memahami peran
perawat dalam pengelolaan pasien; perawat diajak bekerja sama dengan
fisioterapis dalam berbagai tindakan rehabilitasi untuk mempercepat
tercapainya target pengobatan jasmani. Kerja sama antara ahli farmasi
dengan dokter belum banyak dibahas dan dilaksanakan dalam praktek
pelayanan kesehatan sehari-hari di rumah sakit baik di rawat inap mau
pun di rawat jalan. Manfaat yang dapat diperoleh setidaknya dalam hal
efisiensi pengobatan mau pun peningkatan keselamatan pasien.
InfoPOM
KERJA SAMA DOKTER
DAN AHLI FARMASI
PADA LAYANAN INFORMASI KESEHATAN
Dalam Rangka Peningkatan Keselamatan Pasien
DAFTAR ISI
Editorial
2
Pembaca yang terhormat,
Komunikasi yang baik antara dokter dengan apoteker sebagai tenaga kefarmasian dapat memberikan banyak manfaat terutama dalam hal keamanan dan keselamatan pasien. Tetapi sangat disayangkan jalur komunikasi ini sangatlah minim. Komunikasi yang terjalin ketika masalah muncul seringkali terjadi secara informal dan bersifat insidentil. Agar komunikasi terjalin dengan efisien, komunikasi tersebut harus masuk dalam sebuah sistem sehingga baik dokter maupun ahli farmasi dapat berdiskusi tentang pengelolaan pasien tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut pada kesempatan kali ini kami sa j i kan ar t i ke l ten tang Kerjasama Antara Dokter dan Ahli Farmasi Pada Layanan Informasi K e s e h a t a n D a l a m R a n g k a Peningkatan Keselamatan Pasien. Artikel ini merupakan makalah DR., Dr., Czeresna Heriawan Soejono, SpPD-Kger., MEpid., FACP yang disampaikan pada Launching IONI 2008 pada tanggal 26 Oktober 2009.
A r t i k e l b e r i k u t n y a a d a l a h Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa. Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Untuk itu d iha rapkan pena ta laksanaan keracunan akibat gigitan ular berbisa dapat diketahui oleh masyarakat luas sehingga apabila ada korban gigitan ular, dapat dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi dampak racunnya.
Sebagai institusi pemerintah yang berwenang dalam pengawasan obat dan makanan, Badan POM berupaya memperkuat Sistem Pengawasan O b a t d a n M a k a n a n y a n g komprehensif dan menyeluruh. Untuk itu kami sajikan artikel Pengawasan Pasca Pemasaran oleh Badan POM RI agar pembaca lebih memahami tugas pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM.
Edisi kali ini ditutup dengan artikel mengenai Profil Balai Besar POM di Surabaya. Semoga InfoPOM edisi November ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca semua.
Selamat membaca.
Pekerjaan yang dilakukan dokter
dan ahli farmasi sebenarnya
bersi fat sal ing melengkapi
( k o m p l e m e n t e r ) ; s e c a r a
hipotetikal dapat dikatakan bahwa
kerja sama tersebut dapat
memberikan pengaruh positif
terhadap keluaran pasien (patient
outcome). Wujud kolaborasi
antara dokter dan ahli farmasi
a n t a r a l a i n m i s a l n y a :
penelusuranan informasi riwayat
obat yang lengkap dan akurat;
penyediaan informasi obat yang
lege artis; pemanfaatan evidence-
based prescribing; deteksi dini
kesalahan peresepan obat;
pemantauan obat (meningkatkan
keamanan obat); meningkatkan
c o s t - e f f e c t i v e n e s s d a l a m
peresepan obat; meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan
masing-masing pihak demi
kepuasan pasien. Kolaborasi yang
tidak optimal dapat merugikan
pasien. Pemberian obat oral yang
tidak disesuaikan dengan sifat
f a rmakok ine t i k oba t yang
b e r s a n g k u t a n p o t e n s i a l
menurunkan efektivitas obat dan
bahkan dapat meningkatkan risiko
interaksi obat.
Komunikasi
Dengan komunikasi yang baik antara dokter dengan ahli farmasi sebenarnya banyak manfaat yang dapat diperoleh terutama dalam hal keamanan dan keselamatan (pengobatan) pasien.
Namun dalam praktek sehari-hari
baik di rumah sakit (rawat inap)
mau pun rawat jalan, jalur untuk
membina komunikasi ini sangatlah
minim atau tidak ada sama sekali.
Jalur komunikasi yang tertata
dalam sistem tidak pernah terjalin.
Komunikasi yang terjalin ketika
masalah muncul sering kali terjadi
secara informal dan bersifat
insidentil. Komunikasi informal ini
memang dapat membantu; namun
ada beberapa komponen dalam
berkomunikasi yang hi lang
sehingga belum memadai untuk
sebuah kolaborasi. Komunikasi
i n f o rma l (me la l u i t e l epon
misalnya) sering kali waktunya
(timing-nya) tidak tepat; saat
dokter menerima telepon belum
tentu ia langsung dapat mengingat
pasien mana yang sedang
dibicarakan. Jika seorang ahli
farmasi harus menyampaikan
pesan temannya yang kebetulan
sudah lewat waktu tugasnya
namun belum sempat berjumpa
dengan dokter yang merawat,
maka belum tentu ahli farmasi
t e rsebu t memahami be tu l
keadaan klinis pasien sehingga
h a s i l a k h i r p e m b i c a r a a n /
konsultasi tidak optimal.
Agar komunikasi terjalin dengan
efisien, interaksi/ komunikasi
harus masuk dalam sebuah sistem
(tim terpadu misalnya); akan ada
k e s e m p a t a n u n t u k
memperkena l kan d i r i dan
menjelaskan peran ahli farmasi
pada pengelolaan pasien yang
bersangkutan. Selanjutnya, baik
dokter mau pun ahli farmasi dapat
saling berbagi (dari sudut pandang
masing-masing) dan berdiskusi
tentang pengelolaan pasien
tersebut. Dengan sistem yang
dibangun seperti di atas maka
Nopember 2009
k e s a l a h a n a k i b a t
misscommun i ca t i on dapa t
dihindari.
Kerja sama tim multidisiplin
secara interdisiplin
Dalam hubungan kerja sama
antara dokter dengan ahli farmasi
setidaknya terdapat dua disiplin
ilmu dan dua profesi yang
berhubungan. Hubungan kerja
sama tersebut tentu merupakan
hubungan multidisiplin yang
pendekatannya seharusnya
bersifat interdisiplin dan bukan
bersifat multidisiplin. Pendekatan
yang bersifat multidisiplin paling
sering keliru diinterpretasikan
sebagai model interdisiplin. Pada
pendeka tan yang be rs i fa t
multidisiplin ini disiplin atau bidang
ilmu terkait berupaya untuk
mengintegrasikan pelayanan demi
kepentingan pasien. Mereka
bertemu, saling berbagi informasi,
merencanakan dan menetapkan
siapa yang akan ikut berperan/
berkontribusi dan jenis keahlian
apa yang dapat diperankan.
Namun demikian, setiap bidang
i l m u m e n g e m b a n g k a n
pengalaman di bidang masing-
masing kecuali untuk keahlian
yang memang berada pada area
'abu-abu' pada saat mereka
melakukan koordinasi. Tugas dan
tanggung jawab diterapkan pada
setiap bidang i lmu dengan
batasan yang tegas sesuai disiplin
masing-masing. Setiap bidang
melaksanakan (mempraktekkan)
peke r jaan mereka seca ra
independen, sangat berhati-hati
untuk tidak 'memasuki wilayah'
bidang lain. Pengembangan
profesionalisme terjadi di dalam
bidang masing-masing (Satin,
1996).
Pada pendekatan yang bersifat
interdisiplin, semua perencanaan,
pengembangan pengalaman, dan
p e l a k s a n a a n p e l a y a n a n
d iker jakan dengan penuh
pemahaman bahwa terdapat
tumpang t indih dalam hal
kompetensi; dipahami pula bahwa
masalah-masalah pasien dapat
saling terkait. Setiap bidang
mampu mengembangkan diri
bersama. Mereka bertemu untuk
mengevaluasi masalah yang
sedang dihadapi, membicarakan
tujuan spesifik yang harus dicapai
serta mendiskusikan berbagai
intervensi yang harus diambil
untuk mencapai tujuan tadi.
Pekerjaan, tugas dan tanggung
jawab diterapkan tidak semata-
mata berdasarkan disiplin atau
bidang terkait namun juga
berdasarkan kompetensi atau
kemampuan individu, mau pun
atas dasar kebutuhan dan situasi
masalah yang sedang dihadapi.
Peran dan tanggung jawab setiap
disiplin tidaklah kaku namun
d a p a t b e r a l i h s e s u a i
perkembangan masalah yang ada
saat itu. Pada model ini, identitas
dan praktik setiap bidang tidak
terikat pada disiplin terkait,
melainkan dapat tumbuh dan
berkembang sesuai dengan
paparan dengan disiplin lain saat
bekerja, juga dengan pengalaman
yang didapat serta sejalan
d e n g a n p e r k e m b a n g a n
kebutuhan profesional yang
semakin mendalam; yang lebih
penting adalah sesuai pula
d e n g a n k e m a m p u a n d a n
k e t e r t a r i k a n u n t u k
mengembangkan profesinya
masing-masing (Satin, 1996;
Siegler, 2006).
Proses Kolaborasi
P r o s e s k o o r d i n a s i u n t u k
mendapatkan kolaborasi yang
dapat bekerja secara optimal
m e m a n g t i d a k l a h m u d a h ;
diperlukan serangkaian proses
yang harus dilalui baik secara
formal mau pun informal. Pertama,
masing-masing pihak harus
sepakat untuk membangun
kolaborasi ini. Kedua belah pihak
seyogyanya duduk bersama dan
menuangkan seluruh pemikiran,
impian, dan keinginan masing-
masing. Kedua pihak harus
memahami buah pikiran masing-
m a s i n g d a n m e n y a t a k a n
pentingnya kerja sama ini serta
setuju untuk berkolaborasi.
Langkah berikutnya adalah
menetapkan peran dan fungsi
m a s i n g - m a s i n g d a l a m
pengelolaan pasien. Batasan
kegiatan masing-masing pihak
perlu dielaborasi secara rinci
d a n d i s e p a k a t i d e n g a n
berpatokan pada kesepakatan
pemikiran yang telah dicapai
s e b e l u m n y a ( b a h w a s a n y a
keselamatan dan kepuasan
pasien adalah yang utama serta
merupakan tujuan bersama).
Kemungk inan t e rdapa tnya
tumpang tindih dari berbagai
peran yang ada akan terlihat
s e h i n g g a k o n f l i k d a p a t
Nopember 2009
k a r e n a m a s i n g - m a s i n g
p ihak te rnya ta mempunya i
v is i yang s a m a .
S e t e l a h k e s e p a k a t a n
bersama d i taa t i , mas ing-
m a s i n g p i h a k a k a n
m e n e g a s k a n k e m b a l i
p e n g e r t i a n p e n d e k a t a n
i n t e r d i s i p l i n y a n g h a r u s
d i terapkan -yang berbeda
d a r i m u l t i d i s i p l i n ,
p a r a d i s i p l i n m a u p u n
p a n d i s i p l i n . S e l a i n i t u ,
perbedaan yang ada dapat
d i s i k a p i d e n g a n t i n g k a t
to leransi yang t inggi dan
d i a n g g a p s e b a g a i a s e t
p o s i t i f . S e t i a p a n g g o t a
sal ing membantu dan saling
m e n d u k u n g ; m e r e k a
berpartisipasi aktif dan self-
initiated.
Dengan pelaksanaan kolaborasi
y a n g s e c a r a s a d a r
mengedepankan pemahaman
akan peran masing-masing
September 2009
d i h i n d a r i . K o n f l i k m a s i h
potensial timbul karena setiap
disiplin merasa paling memiliki
kompetensi (atau setidaknya
lebih kompeten daripada disiplin
la innya). Ter jadinya konf l ik
b u k a n l a h s a t u - s a t u n y a
ancaman; tidak tercapainya apa
yang disebut sebagai tujuan
bersama juga merupakan hal
y a n g p e r l u d i a n t i s i p a s i .
Pe rbedaan l a t a r be l akang
pend id i kan / pe la t i han dan
k u r a n g l a n c a r n y a
k o m u n i k a s i d i s a d a r i
merupakan ha l yang harus
d ise lesaikan dengan b i jak.
Keadaan te rsebu t d i a tas
d i s i k a p i d e n g a n
m e n g e d e p a n k a n s a l i n g
pengert ian dan pendekatan
i n t e r d i s i p l i n s e r t a
p e n t i n g n y a k o m u n i k a s i
a n t a r a n g g o t a s e b a g a i
l a n d a s a n t e r c a p a i n y a
p e n g e r t i a n b e r s a m a .
Kesepakatan dapat tercapai
Satin, DG., 1996The Interdisciplinary, Integrated Approach to Profesional Practice with the Aged. Dalam: Satin DG, Blakeney BA, Bottomley JM, Howe MC, Smith HD, eds. The Clinical Care of the Aged Person, An Interdisciplinary Perspective. New York: Oxford University Press. Hal 391-402.
Siegler, EL., 2006Developing and Managing a High-Functioning Interdisciplinary Team. Dalam : Gallo JJ, Bogner HR, Fulmer T, Paveza GJ, eds. Handbool of Geriatric Assessment. Boston: Jones and Bartlett Publishers. Hal 431-8.
Leape, LL., 1999Pharmacist participation on physician rounds and adverse drug events in the intensive care unit. JAMA; 281(3); July 1999: 267-70.
Nijjer, S., 2008Effective collaboration between doctors and pharmacists. Hospital Pharmacist; vol 15; May 2008: 179-82.
DAFTAR PUSTAKA
tersebut diharapkan hasil akhir
pengelolaan pasien dapat lebih
e f i s ien , te rh indarkan da r i
kesalahan yang tidak perlu, serta
terbangun sistem yang menjamin
keselamatan pasien dari sisi
pengobatan.
Penutup
Telah dibicarakan perlunya
kolaborasi antara dokter dengan
ahli farmasi (terutama ahli farmasi
klinik). Kesadaran akan adanya
peran yang saling melengkapi,
rasa percaya yang tinggi, serta
komunikasi yang optimal yang
tersusun dalam sebuah sistem
yang mengedepankan prinsip
interdisiplin dalam sebuah tim
multidisiplin maka keselamatan
dan keamanan pasien akan lebih
terjamin.
(Dr. Dr. Czeresna Heriawan
Soejono, SpPD-KGer., Mepid.,
FACP)
5
Ular Berbisa di Indonesia
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam
tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons
pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan
sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia.
Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan
kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di
sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada
beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah
gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis
dan subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan
akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah
pengetahuan masyarakat kami menyampaikan
informasi mengenai bahaya dan pertolongan terhadap
gigitan ular berbisa.
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak
terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas
ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki
sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring
tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan
bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau
intramuskular.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi
untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga
berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan
oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa
merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang
terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang
mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi
tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks,
terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya
tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis kelamin,
usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu
atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya
serangan yang terjadi.
Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili
Colubridae, tetapi pada umumnya bisa yang
dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang
termasuk famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus),
ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali
(Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis
geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di
Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae,
Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring
pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh
anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular
sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra
(Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring
panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian
rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang
menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada
Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae
memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah
panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung
dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular
bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma
rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus
albolabris).
Bagaimanakah Gigitan Ular Dapat Terjadi?
Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja
perkebunan, nelayan, pawang ular, pemburu, dan
penangkap ular. Kebanyakan gigitan ular terjadi ketika
orang tidak mengenakan alas kaki atau hanya memakai
sandal dan menginjak ular secara tidak sengaja.
Gigitan ular juga dapat terjadi pada penghuni rumah,
ketika ular memasuki rumah untuk mencari mangsa
berupa ular lain, cicak, katak, atau tikus.
Penatalaksanaan Keracunan
Akibat Gigitan
Nopember 2009
Ular Berbisa
B a g a i m a n a M e n g e n a l i U l a r
Berbisa?
Tidak ada cara sederhana untuk
mengident i f ikasi u lar berbisa.
Beberapa spesies ular tidak berbisa
dapat tampak menyerupai ular
berbisa. Namun, beberapa ular
berbisa dapat dikenali melalui ukuran,
bentuk, warna, kebiasaan dan suara
yang dikeluarkan saat merasa
terancam. Beberapa ciri ular berbisa
adalah bentuk kepala segitiga, ukuran
gigi taring kecil, dan pada luka bekas
gigitan terdapat bekas taring.
Sifat Bisa, Gejala, dan Tanda Gigitan
Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh
mangsa, bisa ular dapat dibedakan
menjadi bisa hemotoksik, yaitu bisa
yang mempengaruhi jantung dan
sistem pembuluh darah; bisa
neurotoksik , yai tu bisa yang
mempengaruhi sistem saraf dan otak;
dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yang
hanya bekerja pada lokasi gigitan.
Tidak semua ular berbisa pada waktu
menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular,
meskipun tidak ada bisa yang
diinjeksikan ke tubuhnya dapat
menjadi panik, nafas menjadi cepat,
tangan dan kaki menjadi kaku, dan
kepala menjadi pening. Gejala dan
tanda-tanda gigitan ular akan
bervariasi sesuai spesies ular yang
menggigit dan banyaknya bisa yang
diinjeksikan pada korban. Gejala dan
tanda-tanda tersebut antara lain
adalah tanda gigitan taring (fang
marks), nyeri lokal, pendarahan lokal,
memar, pembengkakan kelenjar
getah bening, radang, melepuh,
infeksi lokal, dan nekrosis jaringan
(terutama akibat gigitan ular dari famili
Viperidae).
Penatalaksanaan Keracunan
Akibat Gigitan Ular
Langkah-langkah yang harus diikuti
pada penatalaksanaan gigitan ular
adalah:
1. Pertolongan pertama, harus
dilaksanakan secepatnya setelah
terjadi gigitan ular sebelum
korban dibawa ke rumah sakit. Hal
ini dapat dilakukan oleh korban
sendiri atau orang lain yang ada di
t e m p a t k e j a d i a n . Tu j u a n
pertolongan pertama adalah
untuk menghambat penyerapan
bisa, mempertahankan hidup
k o r b a n d a n m e n g h i n d a r i
k o m p l i k a s i s e b e l u m
mendapatkan perawatan medis di
rumah sakit serta mengawasi
gejala dini yang membahayakan.
Kemudian segera bawa korban ke
tempat perawatan medis.
Me tode pe r to l ongan yang
dilakukan adalah menenangkan
korban yang cemas; imobilisasi
(membuat tidak bergerak) bagian
tubuh yang tergigit dengan cara
mengikat atau menyangga dengan
kayu agar tidak terjadi kontraksi
otot, karena pergerakan atau
kontraksi otot dapat meningkatkan
penyerapan bisa ke dalam aliran
d a ra h d a n g e ta h b e n i n g ;
p e r t i m b a n g k a n p r e s s u r e -
immobil isation pada gigitan
Elapidae; hindari gangguan
terhadap luka gigitan karena dapat
Nopember 2009
Lubang HidungMata dengan pupil vertikal
Organ pendeteksi panas
Gambar 1 :Organ pendeteksi panas (pit organ) pada Crotlinaeterletak diantara lubang hidung dan mata
Gambar 2 : Bekas gigitan ular
A : Ular tidak berbisa tanpa bekas taring
B : Ular berbisa dengan bekas taring
6
meningkatkan penyerapan bisa
dan menimbulkan pendarahan
lokal.
2. Korban harus segera dibawa ke
rumah sakit secepatnya, dengan
cara yang aman dan senyaman
mungkin. Hindari pergerakan atau
kontraksi otot untuk mencegah
peningkatan penyerapan bisa.
3. Pengobatan gigitan ular
Pada umumnya terjadi salah
pengertian mengenai pengelolaan
gigitan ular. Metode penggunaan
torniket (diikat dengan keras
sehingga menghambat peredaran
darah), insisi (pengirisan dengan
alat tajam), pengisapan tempat
gigitan, pendinginan daerah yang
digigit, pemberian antihistamin
dan kortikosteroid harus dihindari
karena tidak terbukti manfaatnya.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka
dengan cairan faal atau air
steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan
imobil isasi menggunakan
perban katun elastis dengan
lebar + 10 cm, panjang 45 m,
yang dibalutkan kuat di
sekeliling bagian tubuh yang
tergigit, mulai dari ujung jari
kaki sampai bagian yang
terdekat dengan gigitan.
Bungkus rapat dengan perban
seperti membungkus kaki yang
terkilir, tetapi ikatan jangan
terlalu kencang agar aliran
darah tidak terganggu.
Penggunaan torniket tidak
dianjurkan karena dapat
mengganggu aliran darah dan
pelepasan torniket dapat
menyebabkan efek sistemik
yang lebih berat.
c. P e m b e r i a n t i n d a k a n
pendukung berupa stabilisasi
y a n g m e l i p u t i
penatalaksanaan jalan nafas;
penata laksanaan fungs i
p e r n a f a s a n ;
penatalaksanaan sirkulasi;
penatalaksanaan resusitasi
perlu dilaksanakan bila
kondisi klinis korban berupa
hipotensi berat dan shock,
s h o c k p e r d a r a h a n ,
k e l u m p u h a n s a r a f
pernafasan, kondisi yang
tiba-tiba memburuk akibat
ter lepasnya penekanan
perban, hiperkalaemia akibat
rusaknya otot rangka, serta
k e r u s a k a n g i n j a l d a n
komplikasi nekrosis lokal.
d. P e m b e r i a n s u n t i k a n
antitetanus, atau bila korban
pernah mendapatkan toksoid
maka diberikan satu dosis
toksoid tetanus.
e. Pemberian suntikan penisilin
kristal sebanyak 2 juta unit
secara intramuskular.
f. Pemberian sedasi atau
a n a l g e s i k u n t u k
menghilangkan rasa takut
cepat mati/panik.
g. Pemberian serum antibisa.
Karena bisa ular sebagian
besar terdiri atas protein,
maka si fatnya adalah
antigenik sehingga dapat
dibuat dari serum kuda. Di
Indonesia, antibisa bersifat
p o l i v a l e n , y a n g
mengandung an t ibod i
terhadap beberapa bisa
ular. Serum antibisa ini
hanya diindikasikan bila
t e r d a p a t k e r u s a k a n
jaringan lokal yang luas.
(Tanti Kuspriyanto, Ssi, Msi)
-Sentra Informasi Keracunan Nasional-
-Badan Pengawas Obat dan Makanan-
Pustaka
Guidelines for the Clinical Management of Snakes bites in the South-East Asia Region, World Health Organization, 2005.
Pedoman Pertolongan Keracunan untuk Puskesmas, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2002.
Snake Venom: The Pain and Potential of Poison, The Cold Blooded News Vol. 28, Number 3, March, 2001.
Nopember 2009
Gambar 3 :Imobilisasi bagian tubuhmenggunakan perban.
SEGENAP
KARYAWAN
BADAN PENGAWASOBAT DAN MAKANAN
Mengucapkan
SELAMAT TAHUN BARU
2010
Nopember 2009
Pengawasan Obat dan Makanan di Indonesia yang
merupakan bagian integral dari pembangunan
kesehatan secara umum harus dapat mengantisipasi
perubahan lingkungan strategis yang senantiasa
berubah secara dinamik. Perubahan-perubahan
tersebut, baik yang berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung pada sistem pengawasan obat
dan makanan, harus dapat diantisipasi secara cepat
dan tepat. Dalam upaya meningkatkan perlindungan
kesehatan masyarakat dari risiko produk obat dan
makanan yang berisiko terhadap kesehatan termasuk
diantaranya adalah produk palsu, substandar atau
ilegal, Badan POM berupaya memperkuat Sistem
Pengawasan Obat dan Makanan yang komprehensif
dan menyeluruh.
Tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan
makanan mempunyai lingkup yang luas dan
kompleks, menyangkut kepentingan dan hajat hidup
rakyat banyak dengan sensitifitas publik yang tinggi
serta berimplikasi luas pada keselamatan dan
kesehatan konsumen. Untuk itu pengawasan tidak dapat dilakukan
secara parsial hanya pada produk akhir yang beredar di masyarakat,
tetapi harus dilakukan secara komprehensif dan sistemik, mulai dari
kualitas bahan yang digunakan, cara-cara pembuatan, distribusi,
penyimpanan, sampai produk tersebut siap dikonsumsi oleh
masyarakat. Sejalan dengan kebijakan pasar global, pengawasan
harus dilakukan mulai dari produk masuk di entry point sampai
peredaran di pasar. Pada seluruh mata rantai tersebut harus ada
sistem yang memiliki mekanisme yang dapat mendeteksi kualitas
produk sehingga secara dini dapat dilakukan pengamanan jika terjadi
degradasi mutu, produk sub standar, kontaminasi dan hal-hal lain
yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Untuk menyelenggarakan tugas pemerintah di bidang pengawasan
obat dan makanan tersebut diperlukan institusi dengan infrastruktur
pengawasan yang kuat, memiliki integritas dan kredibilitas
profesional yang tinggi serta memiliki kewenangan untuk
melaksanakan penegakan hukum, maka pemerintah memberi
mandat kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk
melaksanakan tugas tersebut.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebelum produk diizinkan
untuk diproduksi atau diimpor dan diedarkan di Indonesia harus
dilakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap keamanan,
kemanfaatan dan mutunya.
Untuk produk obat, dalam evaluasi tersebut, dikembangkan suatu
mekanisme evaluasi yang obyektif melalui pembentukan tim
independen Komite Nasional Penilai Obat Jadi (KOMNAS POJ).
Komite tersebut terdiri dari pakar dan berasal dari berbagai
universitas serta institusi terkait. Pertemuan berkala dilakukan untuk
membahas dan mengevaluasi keamanan, kemanfaatan dan mutu
obat berdasarkan data ilmiah yang diserahkan, berupa data preklinik
dan data klinik serta data penunjang lain.
Evaluasi mutu dilakukan untuk menjamin terpenuhinya spesifikasi
dan standar untuk zat aktif, zat tambahan dan produk jadi serta bahan
kemasan. Untuk menjamin mutu produk, Badan POM mensyaratkan
bahwa setiap produk obat yang dihasilkan harus melalui proses
produksi sesuai Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
Sedangkan untuk setiap produk obat tradisional harus memenuhi
persyaratan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB),
produk kosmetik harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan
Kosmetik yang Baik (CPKB) dan setiap produk pangan harus
memenuhi persyaratan Cara Produksi yang Baik untuk Makanan.
Evaluasi terhadap penandaan atau label pada kemasan produk
dilakukan agar konsumen mendapat informasi yang lengkap,
obyektif dan tidak menyesatkan, sehingga dapat menjamin
PENGAWASAN
PASCA PEMASARAN
oleh BADAN POM RI
8
9Nopember 2009
penggunaan produk yang tepat dan
aman.
Seluruh rangkaian evaluasi yang
dilakukan sebelum produk diedarkan ke
masyarakat merupakan langkah-
langkah pengawasan pre-market (pra-
pemasaran).
Selain melakukan pengawasan melalui
evaluasi pre-market, Badan POM juga
melakukan post-market surveilans
dengan melakukan sampling dan
pengujian laboratorium atas produk yang
beredar.
Untuk pemantauan keamanan obat
sesudah beredar dilakukan melalui
program Monitoring Efek Samping Obat
(MESO). Untuk melaksanakan program
ini, Pusat MESO Nasional bekerjasama
dan berkomunikasi dengan mitra kerja
antara lain tenaga kesehatan (dokter,
apoteker, bidan), Rumah Sakit,
Akademisi, Organisasi Profesi di bidang
kesehatan, WHO dan Drug Regulatory
Authority Negara lain. Melalui program
ini Badan POM menerbitkan dan
mengirimkan buletin Berita MESO serta
menyebarkan formulir MESO yang
dikenal dengan form kuning MESO ke
seluruh Rumah Sakit dan Puskesmas di
seluruh Indonesia, 2 (dua) kali dalam
setahun. Metode pelaporan dalam
program MESO adalah pelaporan
secara sukarela dari tenaga kesehatan.
Terhadap laporan Efek Samping Obat
(ESO) yang diterima akan dilakukan
pengkajian mengenai validitas laporan,
validitas efek samping dan hubungan
kausal antara ESO dengan obat yang
digunakan. Pengkajian dilakukan
bersama Tim ahli MESO dari FKUI dan
selanjutnya hasil pembahasan ini
dilaporkan ke WHO. Selain itu juga
dilakukan pengkajian isu global terkait
keamanan obat yang berkembang di
negara lain. Bila diperlukan akan
ditetapkan suatu rekomendasi tindak
lanjut regulatori. Untuk produk lain
seperti obat tradisional, suplemen
makanan dan kosmetik juga dilakukan
Monitoring Efek Samping Obat
Tradisional (MESOT), Monitoring Efek
Samping Suplemen Makanan (MESM)
dan Monitoring Efek Samping Kosmetik
(MESK).
Selain itu, untuk memantau peredaran
dan mencegah penyimpangan dalam
distribusi obat impor perlu dilakukan
pengawasan sejak di entry point,
demikian juga untuk mencegah
penyalahgunaan bahan baku obat
untuk kepentingan ilegal, Untuk
memantau peredaran dan mencegah
penyimpangan dalam distribusi obat
impor perlu dilakukan pengawasan sejak
di entry point, demikian juga untuk
mencegah penyalahgunaan bahan baku
obat untuk kepent ingan i legal ,
dipandang perlu dilakukan pengawasan
sejak pemasukannya ke wilayah
Indonesia. Oleh karena itu pada tanggal
10 Juli 2005 diterbitkan peraturan Kepala
Badan POM No. HK.00.05.1.3459
tentang Pengawasan Pemasukan Obat
Impor dan No. HK.00.05.1.3460 tentang
Pengawasan Pemasukan Bahan Baku
Obat.
Salah satu hasil pengawasan post
market surveilans yang dilakukan oleh
Badan POM dipaparkan dalam text-box.
Dra. Tri Asti, Mpharm
Pusat Informasi Obat Nasional
TEMUAN PRODUK ILLEGAL DI PASAR PAGI ASEMKAPada hari Selasa, tanggal 21 Juli 2009, Tim Gabungan dari Badan POM RI, Balai Besar POM di Jakarta dan Korwas PPNS POLDA Metro Jaya melakukan pemeriksaan sarana distribusi Toko Obat SS, Toko Kosmetik HD, dan Toko Parfum (tanpa nama) berlokasi di Pasar Pagi ASEMKA Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Kodya Jakarta Barat.Pada pemeriksaan di Toko Obat SS ditemukan obat Tanpa Izin Edar (TIE) dan atau Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Farmakope, obat tradisional TIE dan atau mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), suplemen TIE terutama obat - obat China seperti Viagra, Cialis, obat Kuat Kebo, Obat Walet dan lain-lain sebanyak 96 item yang diamankan dalam 87 karton/ karung. Dalam pemeriksaan berhasil dilakukan pengembangan kasus sehingga ditemukan juga lokasi gudang yang berisi obat, obat tradisional, suplemen TIE dan atau TMS Farmakope di Lantai 2 Pasar Pagi Asemka. Pada pemeriksaan di Toko Kosmetik HD Asemka di Jakarta Barat ditemukan kosmetik TIE sebanyak 21 item yang diamankan dalam 6 karton dan 5 karung. Pada Toko Parfum (tanpa nama) ditemukan kosmetik TIE sebanyak 88 item, 52 kardus dan 3 karung. Parfum tersebut merupakan parfumimpor eks Taiwan yang dimasukkan ke Indonesia secara illegal. Terhadap seluruh produk illegal tersebut diamankan di Badan POM.Indikasi bahwa produk tersebut TIE dan atau TMS Farmakope antara lain ditemukan produk ruahan (siap kemas) beserta kemasan kosong dan hologram yang terpisah dari produk, kemasan yang tidak seragam, dan harga lebih murah dari harga normal.Kasus ini akan ditindaklanjuti secara pro-justitia (saat ini sedang dalam tahap pemeriksaan tersangka dan saksi serta penyusunan administrasi penyidikan) dengan jeratan Pasal 80 ayat (4) b, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ”Barang siapa dengan sengaja memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)” dan Pasal 81 ayat (2) c : ”Barang siapa dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah).Disamping itu tetap dilakukan pengembangan kasus yang terkait dengan temuan di Asemka Jakarta Barat ini.
Jawa Timur adalah sebesar 807 jiwa perkilometer persegi,
dengan angka kematian bayi di Jawa Timur pada 2007
32,93% dan angka harapan hidup 68,90. Laju pertumbuhan
ekonomi Jawa Timur pada tahun 2006 adalah 5,80%.
Jumlah sarana yang termasuk dalam ruang lingkup
pengawasan Balai Besar POM di Surabaya meliputi 42
Industri Farmasi, 5 Industri Obat Tradisional, 245 Industri Kecil
Obat Tradisional, 128 Industri Kosmetika, 77 Industri PKRT,
345 Industri Pangan, 17.063 Industri Rumah Tangga Pangan,
346 Pedagang Besar Farmasi, 161 Rumah Sakit Umum dan
Khusus, 909 Puskesmas, 1.706 Apotek, 338 Toko Obat, 38
Gudang Farmasi, 140 sarana distribusi obat tradisional, 497
sarana distribusi kosmetika, 1.150 saran distribusi pangan,
130 sarana distribusi suplemen makanan, sarana distribusi
bahan berbahaya dan 116 sarana penjualan parcel.
B. Lingkungan Internal
Jumlah pegawai Balai Besar POM di Surabaya seluruhnya
adalah 143 orang. Terdiri dari 54 pegawai laki-laki dan 89
pegawai perempuan (data per 31 Desember 2008) orang. Dari
jumlah tersebut 24 orang pegawai golongan IV, Golongan III
100 orang dan 19 orang golongan II. Pejabat struktural
berjumlah 11 orang, pejabat fungsional PFM golongan IV
berjumlah 5 orang, PFM golongan III berjumlah 43 orang dan
pejabat fungsional PFM golongan II 2 orang. Jumlah total
pegawai di Sub. Bag. TU adalah 30 orang, Bidang
Pemeriksaan dan Penyidikan 30 orang, Bidang Pengujian
Pangan dan Bahan Berbahaya 15 orang, Bidang Pengujian
Mikrobiologi 9 orang, Bidang Pengujian Produk Terapetik, OT,
Kosmetik dan Produk Komplemen 36 orang dan Bidang
Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen 13 orang.
Balai Besar POM di Surabaya beralamat di Jalan
Karangmenjangan No.20/22 Surabaya. Terdapat 4 saluran
telepon, 1 menggunakan sistem PABX kapasitas 36
ekstension untuk menghubungi Balai Besar POM di Surabaya
yaitu (031) 5022815, 5020575, 5048833, 5015486 dan
terdapat 5 saluran faximili.Sedangkan alamat e-mail yang
dapat dihubungi adalah [email protected] serta
HASIL KEGIATAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN
TAHUN 2008
Pada tahun 2008 telah dilakukan pemeriksaan terhadap
sarana produksi dan distribusi obat, NAPZA, obat tradisional,
kosmetika, suplemen makanan, pangan dan bahan
berbahaya serta dilakukan pengambilan contoh komoditi
produk-produk tersebut untuk diuji di Laboratorium Balai
Besar POM di Surabaya.
Nopember 2009
PROFIL
Di Surabaya
Balai Besar POM
Balai Besar POM di Surabaya merupakan salah satu Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Badan POM yang dibentuk
berdasarkan SK Kepala Badan POM No. 05018/SK/KBPOM
tanggal 17 Mei 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan
Makanan. Sebagai UPT, tentunya Balai Besar POM di
Surabaya mempunyai tugas dan fungsi pengawasan obat dan
makanan di wilayah Propinsi Jawa Timur dalam rangka
memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap risiko
yang berdampak pada kesehatan akibat penggunaan dan
penyalahgunaan obat, narkotika, psikotropika dan zat adiktif
(NAPZA), obat tradisional, pangan, suplemen makanan,
kosmetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT)
yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan
dan mutu.
KEADAAN UMUM DAN LINGKUNGAN
A. Lingkungan Eksternal
Wilayah kerja (catchment area) Balai Besar POM di Surabaya
adalah 29 kabupaten dan 9 kota di Jawa Timur. Luas wilayah 2 kerja 46.428,38 km dan wilayah terjauh dari Ibukota adalah
Kabupaten Banyuwangi dan Pacitan. Terdapat 4 Kabupaten
berada di pulau Madura. Untuk mencapai wilayah kerja Balai
Besar POM di Surabaya, bisa ditempuh dengan jalan darat
menggunakan mobil, dan beberapa daerah bisa
menggunakan kereta api, sedangkan untuk ke Pulau Madura
dapat ditempuh menggunakan kapal selain darat. Rata-rata
waktu perjalanan ke wilayah kerja ditempuh selama 4 jam
dimana paling lama perjalanan ditempuh selama 6 jam dan
paling cepat 2 jam. Sedangkan waktu perjalanan di satu
wilayah kerja rata-rata 3 jam dimana paling lama 4 jam dan
paling singkat 2 jam.
Jumlah penduduk di wilayah kerja Balai Besar POM di
Surabaya adalah 37.478.737 jiwa (Badan Pusat Statistik Jawa
Timur, Desember 2008). Kota Surabaya mempunyai jumlah
penduduk yang paling besar, yaitu 2.720.156 jiwa, diikuti
Kabupaten Malang sebesar 2.442.422 jiwa dan Kabupaten
Jember yaitu 2.293.740 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk
Pengawasan Produk Beredar
Pada tahun 2008 produk terapetik/Obat, NAPZA dan PKRT yang
diuji berjumlah 3.833 sampel. Sampel terdiri dari Obat (1866
sampel), NAPZA (114 sampel), Alkes (18 sampel), PKRT (117
sampel) sedangkan rokok tidak dilakukan sampling karena belum
berfungsinya alat uji yang ada di BBPOM di Surabaya. Sampling
pangan dilakukan pada 204 sampel jajanan anak sekolah, 382
sampling seri, 66 sampel garam beryodium, 941 sampel produk
pangan sesuai prioritas sampling. Obat Tradisional (875 sampel),
Kosmetika (697 sampel), Suplemen (101 sampel). Hasil uji
menunjukkan 0,59% sampel obat; 9,49% obat tradisional; 15,1%
kosmetika tidak memenuhi syarat. Jajanan anak perlu sangat
diperhatian karena jumlah yang tidak memenuhi syarat cukup
tinggi yaitu 60,8% dari 204 sampel MAJS yang diuji, utamanya
karena mengandung cemaran mikrobiologi dan boraks. Hasil uji
Obat Tradisional menunjukkan 11,2% sampel tidak memenuhi
syarat. Pelanggaran terbanyak pada produk obat tradisional
adalah adanya kandungan Bahan Kimia Obat (BKO). Jenis BKO
yang paling banyak ditemukan adalah parasetamol. Pada sediaan
kosmetika, yang terbanyak adalah pelanggaran pada label, yaitu
tidak mencantumkan nomor batch, nama pabrik atau keduanya.
Kosmetika beredar masih juga ditemukan mengandung bahan
berbahaya merkuri (1 sampel), pewarna yang dilarang (7 sampel),
dan penetapan kadar zat aktif yang melampaui batas yang
diperbolehkan.
Pemeriksaan Sarana Produksi Dan Distribusi Farmasi dan
Alat Kesehatan (Farmakes)
Cakupan pemeriksaan pada sarana produksi dan distribusi
farmakes masih kecil dibanding sarana yang ada.
Sarana Industri Farmasi yang ada 42 diperiksa 20 (47,62%),
11
semua sarana industri farmasi yang diperiksa belum menerapkan
CPOB dengan baik.
· PBF yang ada 346 sarana, yang diperiksa 175 PBF
(50,58%) dan ditemukan 19 sarana PBF yang tidak
memenuhi ketentuan.
· Produsen pangan jumlah 13.345 sarana, diperiksa 246
sarana (1,8%) tidak memenuhi ketentuan 59 sarana
(23,98%). Produsen IRTP diperiksa 297 sarana, tidak
memenuhi ketentuan 63 sarana (21,2%), perlu diketahui
bahwa pengawasan IRTP menjadi tanggung jawab
Kabupaten/Kota sehingga pengawasan rutin oleh Balai
POM sangat dikurangi. Pengawasan distribusi makanan
dilakukan terhadap 274 sarana, sedang pada kegiatan
pengamanan parcel Lebaran, Natal dan tahun Baru
diperiksa 111 sarana dan ditemukan 182 produk yang tidak
memenuhi syarat
· Sarana distribusi NAPZA meliputi 3 sarana PBF Narkotika
dan 52 sarana Psikotropika. Dari 3 sarana PBF Narkotika
diperiksa 2 sarana (66,67%) yang hasilnya satu sarana
tidak memenihi ketentuan. Dan dari 52 PBF sarana
Psikotropika diperiksa 14 sarana (26,92 %) yang hasilnya
3 saran tidak memenuhi ketentuan.
· Jumlah sarana produksi kosmetika di Jawa Timur
sebanyak 128 sarana. Diperiksa dalam rangka
pengawasan rutin: 75 (60%) sarana dan ditemukan 3 (4%)
sarana tidak memenuhi ketentuan.
· Cakupan pengawasan industri obat tradisional sebanyak
94 (38,37%) dari sarana yang ada, hasil pemeriksaan
menunjukkan 16 (17,02%) sarana tidak memenuhi
ketentuan.
· Tahun 2008 iklan yang diawasi dan dinilai sebanyak 4.350
iklan dan 1.731 (39,79%) diantaranya tidak memenuhi
ketentuan.
Penyidikan
Penyidikan kasus tindak pidana bidang obat dan makanan berhasil
menjaring 20 kasus, semua pemberkasan dilakukan oleh PPNS
Balai Besar POM Surabaya. Adapun sarana-sarana yang
melakukan pelanggaran tersebut terdiri dari sarana distribusi (toko,
toko jamu), sarana produksi kosmetika dan rumah tinggal tersebar
di beberapa kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Timur.
Pelayanan dan Pemberdayaan Masyarakat
Dalam rangka pelayanan dan pemberdayaan masyarakat telah
diterima dan ditindaklanjuti 779 pengaduan, serta telah
dilaksanakan penyebaran informasi ke berbagai instansi dan media
sebanyak 48 kali. Dan untuk meningkatkan pengetahuan petugas
Balai Besar POM di Surabaya, Dinas Kesehatan Kab/Kota dan
produsen telah dilatih tentang Distric Food Inspector sebanyak 38
orang dari perwakilan 38 Kab/Kota wilayah kerja Balai Besar POM
di Surabaya.
Nopember 2009
Kepala Balai Besar POM Surabaya
Drs.Sudiyanto, Apt.
Kepala Bidang Pengujian Teranokoko
Dra. Retno Chatulistiani P, Apt
Kepala Bidang Pengujian Pangan dan BB
Drs. Muhammad Muchtar, Apt., MH
Kepala Bidang Mikrobiologi
Dra. Puryani
Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan informasi Konsumen
Dra. Endang Widowati, Apt
Kepala Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan
Dra. Harlina Samadi, Apt
Ka Sub Bag TU
Dra. Retno Kurpaningsih, Apt
Ka Sie Layanan Informasi Konsumen
Drs. Suprihadi, Apt.
Ka Sie Sertifikasi
Dra. Lindawati, Apt
Ka Sie Pemeriksaan
Drs. Kotot Munarto, Apt
Ka Sie Penyidikan
Dra. Trikoranti Mustikawati, Apt
Alamat Redaksi : Pusat Informasi
O b a t d a n M a k a n a n B a d a n
Pengawas Obat dan Makanan, Jl.
Percetakan Negara No. 23, Jakarta
Pusat, Telp. 021-4259945, Fax. 021-
4 2 8 8 9 1 1 7 , e - m a i l :
Penasehat : Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan; Penanggung jawab : Sekretaris Utama Badan Pengawas Obat dan Makanan; Pimpinan Redaksi : Kepala Pusat Informasi Obat dan Makanan; Sekretaris Redaksi: Budi Djanu Purwanto, SH, MH; Tim Editor : Dra. Hardaningsih, MHSM, Dra. Sri Mulyani, Apt, Dra. Dyah Nugraheni, Apt, Suyanto, SP, MSi, Yustina Muliani, SSi, Apt, Yusra Egayanti, SSi, Apt, Yuli Hijrah Saputri, SSi, Apt, Ellen Simanjuntak, SE, Dra. Tri Asti I, Apt, Mpharm, Dra. Muti Hadiyani, Rohyanih, SKom, Dewi Sofiah, SSi, Apt; Redaksi Pelaksana : Y u l i n a r , S K M , I n d a h Widiyaningrum, Ssi, Apt, Eriana Kartika Asri, Ssi, Apt, Denik Prasetiawati, SFarm, Apt, Arlinda Wibiayu, Ssi, Apt; Sekretariat : Sandhyani ED, Ssi, Apt, Tanti Kuspriyanto, Ssi, Msi, Anis Siti Annisa, SKom; Sirkulasi : Surtiningsih, Netty Sirait.
Redaksi menerima naskah yang
berisi informasi yang terkait
dengan obat, kosmetika, obat
tradisional, produk komplemen,
zat adiktif dan bahan berbahaya.
Kirimkan melalui alamat redaksi
dengan format minimal MS. Word
97, spasi ganda maksimal 4
halaman A4.
InfoPOM
BALAI BESAR POM DI SURABAYA
LABORATORIUM TERANOKOKO