32
ISLAM DAN PESOALAN EKONOMI Oleh : Azhar Muttaqin, M.Ag. A. Pendahuluan Ekonomi Islam saat ini tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan ekonomi dunia yang sangat diperhitungkan. Pada saat dua sistem ekonomi dunia, kapitalisme dan sosialisme terevaluasi secara tajam, ekonomi Islam perlahan tapi pasti semakin tumbuh dan berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan dan kemajuan praktik keuangan Islam yang fantastis, telah mengubah peta pemikiran dan praktik keuangan dunia secara signifikan. Meski baru lahir pada 1975 (merujuk pendirian Islamic Development Bank/IDB di Jeddah), diskursus dan praktik keuangan Islam telah merambah negara maju dan berkembang di lima benua. Padahal, sebelum IDB berdiri, format ekonomi dan keuangan Islam masih kabur. Perkembangan itu tidak hanya menghapuskan keraguan sebagian umat Islam akan kemampuannya mengatasi persoalan-persoalan internal yang berat, melainkan juga mempertebal keyakinan mereka bahwa sistem keuangan Islam jauh lebih adil, fair, dan stabil dibanding sistem keuangan yang ada. Di beberapa universitas di Saudi Arabia, mulai diajarkan Dirâsah Fî al-Iqtishâd al-Islâmi , seperti di Universitas Imam di Riyadh dan Ummul Quro di Makkah. Di Pakistan didirikan International Institute of Islamic Economics pada 1980 dan di Malaysia didirikan Kulliyah of Islamic Economics pada 1

Bab VI Islam & Ekonomi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dibacaa yaa

Citation preview

Page 1: Bab VI Islam & Ekonomi

ISLAM DAN PESOALAN EKONOMI

Oleh : Azhar Muttaqin, M.Ag.

A. Pendahuluan

Ekonomi Islam saat ini tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan ekonomi dunia yang

sangat diperhitungkan. Pada saat dua sistem ekonomi dunia, kapitalisme dan sosialisme

terevaluasi secara tajam, ekonomi Islam perlahan tapi pasti semakin tumbuh dan

berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan dan kemajuan praktik keuangan

Islam yang fantastis, telah mengubah peta pemikiran dan praktik keuangan dunia secara

signifikan.

Meski baru lahir pada 1975 (merujuk pendirian Islamic Development Bank/IDB di

Jeddah), diskursus dan praktik keuangan Islam telah merambah negara maju dan

berkembang di lima benua. Padahal, sebelum IDB berdiri, format ekonomi dan keuangan

Islam masih kabur. Perkembangan itu tidak hanya menghapuskan keraguan sebagian umat

Islam akan kemampuannya mengatasi persoalan-persoalan internal yang berat, melainkan

juga mempertebal keyakinan mereka bahwa sistem keuangan Islam jauh lebih adil, fair,

dan stabil dibanding sistem keuangan yang ada.

Di beberapa universitas di Saudi Arabia, mulai diajarkan Dirâsah Fî al-Iqtishâd al-Islâmi,

seperti di Universitas Imam di Riyadh dan Ummul Quro di Makkah. Di Pakistan didirikan

International Institute of Islamic Economics pada 1980 dan di Malaysia didirikan Kulliyah

of Islamic Economics pada 1983. Di Indonesia, walaupun isu tentang ekonomi Islam

relatif terlambat masuk, namun ada antusiasme yang kuat untuk mempelajarinya, seolah

hendak mengejar ketertinggalan. Di Indonesia, perkembagan kajian ilmiah ini sangat

beragam dan dinamis, karena telah melibatkan perguruan tinggi negeri dan swasta, baik

yang dimiliki umat Islam maupun non-Muslim. Hampir setiap perguruan tinggi sudah

mulai membuka program khusus Ekonomi Islam atau dikenal juga dengan Ekonomi

Syari’ah.

Sistem Keuangan Ekonomi Islam -kemudian makin mendunia setelah Inggris

mengadopsinya- telah berkembang pesat selama dekade terakhir. Sistem ekonomi ini

telah menarik semua pemain internasional kunci, meninggalkan Amerika Serikat dalam

industri global yang semakin menguntungkan itu. Inggris telah menjadi penggerak

pertama bagi pengembangan perbankan syariah di Eropa, meskipun penduduk Muslimnya

1

Page 2: Bab VI Islam & Ekonomi

(1,8 juta orang) relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan Prancis (6 juta orang) dan

Jerman (3,3 juta orang). Indikator tersebut bisa dilihat dari posisi aset perbankan dan

keuangan syariah negara tersebut yang bertengger di posisi 8 dunia. Kinerja perbankan

Islam di Inggris sampai akhir 2010 ini masih terlihat mendominasi. Kemajuan pesat ini

disebabkan oleh kebijakan peraturan yang lebih kondusif dan mampu menyedot perhatian

investor, khususnya Timur Tengah. Hal yang sama juga berusaha dilakukan oleh negara-

negara Eropa lainnya, seperti Belanda yang berambisi mengejar ketertinggalannya sebagai

pemain di industri keuangan syariah.

Tidak hanya Inggris dan Belanda, kinerja perbankan dan keuangan Islam mengalami

kemajuan yang sangat pesat di beberapa Negara Eropa lainnya. Mereka berlomba-lomba

menyiapkan berbagai fasilitas baik regulasi, kebijakan dan infrastruktur untuk bisa

menangkap peluang pasar yang ada. Regulasi perbankan yang ada di Eropa

memungkinkan pendatang pasar baru untuk mengembangkan dan menembus pasar Eropa

tanpa harus membentuk kantor cabang di setiap negara anggota Uni Eropa. Prancis baru-

baru ini mengumumkan telah menghilangkan pajak bagi investor dan meningkatkan

kerangka regulasi yang kondusif untuk mendirikan lembaga keuangan Islam di negara ini.

Sedangkan Jerman telah menerbitkan sukuk, sebagai pintu investasinya. Di sisi lain, Italia

dan Belgia tengah melakukan kajian untuk menerbitkan sukuk, mengikuti jejak Jerman.

Karena tingginya tingkat pertumbuhan perbankan syariah, pasar keuangan syariah ini

menjadi sangat menarik bagi perbankan konvensional yang ada di Eropa. Bank-bank

internasional besar seperti HSBC, UBS atau Deutsche Bank telah menyiapkan diri untuk

memenuhi kebutuhan, khususnya para nasabah.

Perkembangan ini menunjukkan posisi strategis ekonomi Islam dalam ranah empiris

sangatlah strategis. Hal ini juga menjadi bukti (burhan) yang sangat jelas, bahwa Islam

sebagai sebuah ajaran Agama tidak terlepas dari isu-isu penting dan strategis dalam

kehidupan manusia di muka bumi. Monzer Kahf1 menegaskan ada hubungan yang sangat

kuat antara agama dan ekonomi. Ia Menjelaskan bahwa jika agama sebagaimana

didefinisikan oleh beberapa tokoh seperti Michel Mayor dan Muhammad Abdullah Draz

mencakup perilaku manusia dalam semua tahap dan aspeknya, tentu ekonomi juga

merupakan masalah yang diperhatikan dalam kajian agama. Karena ekonomi pada

umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya 1 Monzer Kahf, Ekonomi Islam, Telaah Analitik Terhadap Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1995, h. 1-2.

2

Page 3: Bab VI Islam & Ekonomi

dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-

barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Jelas ekonomi

merupakan salah satu aspek yang diperhatikan dalam agama, bahkan setiap agama

memiliki ajaran sendiri mengenai cara manusia mengorganisasikan kegiatan-kegiatan

ekonominya.

Dalam al-Qur’an terdapat beberapa contoh jelas mengenai ajaran para Rasul di masa lalu

yang menekankan bahwa perilaku ekonomi merupakan salah satu bidang perhatian agama.

Contoh pernyataan Nabi Syu’aib berikut merupakan pesan ekonomik.

Ketika Syu'aib Berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak

bertakwa?, Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan

(yang diutus) kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan 'taatlah

kepadaku; Dan Aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan

itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang- orang

yang merugikan; Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan

janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah

kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusaka.(QS. asy-

Syuara : 177-183)

Ini merupakan salah satu contoh bahwa di Makah, bahkan sebelum

terbentukanya masyarakat Muslim di Madinah, ayat-ayat al-Qur`an

sudah menampilkan pandangan Islam mengenai hubungan antara

agama dan keimanan terhad apa adanya Allah dan Hari Kiamat, di satu

pihak, dan perilaku ekonomi dan sistem ekonomi, di pihak lain2.

B. Pengertian Ekonomi Islam

2 Op.cit., h. 3.

3

Page 4: Bab VI Islam & Ekonomi

Dawam Rahardjo3, memilah istilah ekonomi Islam ke dalam tiga kemungkinan

pemaknaan, pertama yang dimaksud ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang

berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua, yang dimaksud ekonomi Islam adalah sistem.

Sistem menyangkut pengaturan yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu

masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara atau metode tertentu. Sedangkan pilihan

ketiga adalah ekonomi Islam dalam pengertian perekonomian umat Islam.

Beberapa definisi dan pengertian Ekonomi Islam telah dikemukakan oleh para pakar yang

mengembangkan keilmuan ini. Dapat disebutkan di sini antara lain para pakar ekonomi

Islam kontemporer seperti: 1) Umar Chapra4, Ilmu ekonomi Islam menurutnya adalah

suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui

suatu alokasi dan distribusi sumberdaya alam yang langka yang sesuai dengan Maqashid,

tanpa mengekang kebebasan individu untuk menciptakan keseimbangan makroekonomi

dan ekologi yang berkesinambungan, membentuk solidaritas keluarga, sosial dan jaringan

moral masyarakat; 2) S.M. Hasanuzzaman5: “Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan

dan aplikasi dari ajaran dan aturan syari’ah yang mencegah ketidakadilan dalam

memperoleh sumber-sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan

memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat.; 3) M. Nejatullah

Siddiqi6 mendefisinisikan: “Ilmu ekonomi Islam adalah jawaban dari pemikir muslim

terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada zamannya, dengan panduan Qur’an dan

Sunnah, akal dan pengalaman.”; 4) Syed Nawab Haider Naqvi7: “ Ilmu ekonomi Islam

adalah perwakilan perilaku kaum muslimin dala suatu masyarakat muslim tipikal”. Tidak

jauh berbeda dengan pemikir lainnya, Muhammad Abdul Manan8 berpendapat bahwa

ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah

ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Bagi Mannan ekonomi Islam

merupakan studi tentang masalah-masalah ekonomi dari setiap individu dalam masyarakat

yang memiliki kepercayaan terhadap nilai-nilai kehidupan Islam atau Homo

Islamicus. Secara keseluruhan gagasan ekonomi M.A Mannan dapat

3 M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta: LSAF, 1999, h. 3-4 4 M. Umar Chapra, The Future of Economics: an Islamic Perspektive, Jakarta: SEBI, 2001 5 Hasanuzzaman, “Definition of Islamic Economics” dalam Jurnal of Research in Islamic Economics, Vol

1 No. 2, 1984. 6 Muhammad N. Siddiqi, Muslim Economic Thinking: A Survey of Contemporary Literature. Jeddah and

The Islamic Foundation, 1981. 7 Syed Nawab Haider naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami, Bandung : Mizan, 1985 8 Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dhana Bakt Wakaf: 1997.

4

Page 5: Bab VI Islam & Ekonomi

dikategorikan sebagai gagasan Islamisasi ekonomi konvensional. Lebih lanjut Ia

mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap,

berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma dan

Qiyas.

C. Prinsip-prinsip dalam Ekonomi Islam

Menurut Metwally9, prinsip-prinsip ekonomi Islam secara garis besar dapat dijabarkan

sebagai berikut:

1. Sumber daya dipandang sebagai amanah Allah kepada manusia, sehingga

pemanfaatannya haruslah bisa dipertanggungjawabkan di akherat kelak. Implikasinya

adalah manusia harus menggunakannya dalam kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya

dan orang lain.

2. Kepemilikan pribadi diakui dalam batas-batas tertentu yang berhubungan dengan

kepentingan masyarakat dan tidak mengakui pendapatan yang diperoleh secara tidak

sah.

3. Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi Islam. Islam mendorong

manusia untuk bekerja dan berjuang mendapatkan materi/harta dengan berbagai cara,

asalkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Hal ini dijamin oleh Allah bahwa

Allah telah menetapkan rizki setiap makhluk yang diciptakan-Nya.

4. Kepemilikan kekayaan tidak boleh hanya dimiliki oleh segelintir orang-orang kaya,

dan harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran

produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

5. Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya dialokasikan untuk

kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari oleh sunnah Rasulullah yang

menyatakan bahwa masyarakat mempunyai hak yang sama atas air, padang rumput,

dan api.

6. Seorang muslim harus tunduk pada Allah dan hari pertanggungjawaban di akherat

(QS. 2:281). Kondisi ini akan mendorong seorang muslim menjauhkan diri dari hal-

9 Metwally, M.M, Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Bangkit Daya Insana. 1995, h. 25

5

Page 6: Bab VI Islam & Ekonomi

hal yang berhubungan dengan maisir, gharar, dan berusaha dengan cara yang bathil,

melampaui batas dan sebagainya.

7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab). Zakat ini

merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya yang ditujukan untuk orang

miskin dan mereka yang membutuhkan. Menurut pendapat para ulama, zakat

dikenakan 2,5% untuk semua kekayaan yang tidak produktif, termasuk di dalamnya

adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, dan 10% dari pendapatan bersih

investasi.

8. Islam melarang riba dalam segala bentuknya. Secara tegas dan jelas hal ini tercantum

dalam QS 30:39, 4:160-161, 3:130, dan 2:278-279.

Adapun yang terkait dengan transaksi, Abdul Ghafur10 menegaskan bahwa Islam secara

prinisip melarangnya apabila mengandung unsur perjudian (maisyir), unsur ketidakjelasan

(gharar), unsur riba, dan unsure bathil.

Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi11, ilmu ekonomi Islam memiliki tiga prinsip dasar

yaitu tauhid, akhlak, dan keseimbangan. Dua prinsip yang pertama dipastikan tidak ada

dalam landasan dasar ekonomi konvensional. Prinsip keseimbangan pun, dalam

praktiknya, justru yang membuat ekonomi konvensional semakin dikritik. Ekonomi Islam

dikatakan memiliki dasar sebagai ekonomi Insani karena sistem ekonomi ini dilaksanakan

dan ditujukan untuk kemakmuran manusia.

Sistem ekonomi konvensional yang didominasi oleh sistem kapitalis maupun sosialis jelas

tidak sesuai dengan sistem nilai dan prinsip Ekonomi Islam. Keduanya bersifat eksploitatif

dan tidak adil serta memperlakukan manusia bukan sebagai manusia. Kedua sistem itu

juga tidak mampu menjawab tantangan ekonomi, politik, sosial dan moral di zaman

sekarang. Hal ini bukan saja dikarenakan ada perbedaan ideologis, sikap moral dan

kerangka sosial politik, tetapi juga karena alasan-alasan yang lebih bersifat ekonomis

duniawi, perbedaan sumberdaya, stuasi ekonomi internasional yang berubah, tingkat

ekonomi masing-masing dan biaya sosial ekonomi pembangunan.

Teori pembangunan seperti yang dikembangkan di Barat, banyak dipengaruhi oleh

kakrakteristik unik dan spesifik, juga  dipengaruhi oleh nilai dan infra struktur sosial

politik ekonomi Barat. Teori demikian jelas  tidak dapat diterapkan persis di negara-negara

10 Abdul Ghafur, Asuransi Syari’ah di Indonesia, Regulasi dan Operasionalisasinya di dalam Kerangka Hukum Positif di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2007, h. 3

11 Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, Jakarta, 2004, h. 10.

6

Page 7: Bab VI Islam & Ekonomi

Islam. Terlebih lagi, sebagian teori pembangunan Barat lahir dari teori Kapitalis. Karena

kelemahan mendasar inilah, maka teori tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan

pembangunan di berbagai negara berkembang.

Ilmu Ekonomi Pembangunan sekarang ini menghadapi masa krisis dan re-evaluasi. Ia

menghadapi serangan dari berbegai penjuru. Banyak ekonom dan perencana pembangunan

yang skeptis tentang pendekatan utuh ilmu ekonomi pembangunan kontemporer. Menurut

Kursyid Ahmad, sebagian mereka berpendapat bahwa teori yang didapat dari pengalaman

pembangunan Barat kemudian diterapkan di negara-negara berkembang, jelas tidak sesuai

dan merusak masa depan pembangunan itu sendiri12.

C. Beberapa Persoalan Ekonomi dalam Islam

1. Perbankan Syari’ah

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya

disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk

menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa

Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a

Bank). Di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah

resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip

Syariah”.

Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni

sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari

masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang

membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam

jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank

konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah

dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-

up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain13:

Al-Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat

mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak

12 Kursyid Ahmad, Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam, dalam  Etika Ekonomi Politik, Jakarta: Risalah Gusti, , 1977, h. 9

13 http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah, diakses tgl. 6/02/2012

7

Page 8: Bab VI Islam & Ekonomi

berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank

Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.

Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang

tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan

dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau

joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati

sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-

masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada

campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur

tangan

Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap

keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko

kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh

kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti

penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.

Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak

dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.

Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di mana nasabah

hanya bertanggung-jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan sebagai

imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.

Bai' Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan

membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke

pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang

ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya

angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah

margin yang disepakati. Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank

100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama

waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.

Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari,

sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan

ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli berdasarkan keridhaan

8

Page 9: Bab VI Islam & Ekonomi

yang utuh antara kedua belah pihak. Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka

waktu yang pendek (2-6 bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung,

cabai) tidak dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam

kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir). Contoh lain

misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang

direkomendasikan penjual.

Bai' Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa

dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank

mengikat masing-masing kepada pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti

As-Salam di mana semua pihak diikat secara bersama sejak semula. Dengan

demikian, bank sebagai pihak yang mengadakan barang bertanggung-jawab kepada

nasabah atas kesalahan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi

tersebut.

2. Asuransi (Takâful)

Asuransi dalam bahasa Arab disebut At’ta’mîn yang berasal dari kata amanah yang berarti

memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman serta bebas dari rasa takut. Istilah

menta’minkan sesuatu berarti seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang

ditunjuk menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang.

Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian

pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah (ta’mîn, takâful’ atau tadhâmun)

adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak

melalui investasi dalam bentuk set dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian

untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan

syariah14.

Akad atau perjanjian yang menjadi dasar bagi setiap transaksi, termasuk dalam asuransi

atau yang lazim disebut dengan polis juga harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip

syari’ah, Untuk itu maka dalam pembuatan polis asuransi dapat menerapkan akad-akad

tradisional Islam. Berdasarkan fatwa DSN-MUI, jenis-jenis akad yang dapat diterapkan

14 Abdul Ghafur, Log.cit. , h. 4

9

Page 10: Bab VI Islam & Ekonomi

dalam asuransi syari’ah adalah : akad mudhârabah, akad mudhârabah musytarakah, akad

wakâlahbil-ujrah, dan akad tabarru’15.

Konsep asuransi syari’ah adalah risk sharing (pembagian resiko) berdasarkan prinsip

tolong menolong. Ini berbeda dengan asuransi konvensional yang menekankan pada

pengalihan resiko (risk transfering). Prinsip tolong menolong ini dalam Islam dikenal

dengan prinsip ta’âwuniyah. Hal ini didasarkan pada ketentuan al-Qur `an surat al-

Maidah ayat 2 berikut :

”..dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan

tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..”

3. Penggadaian (Rahn)

Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang, yang mana untuk suatu

kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan

barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Dalam istilah bahasa Arab, gadai

diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai al- habsu . Secara etimologis, pengertian

rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu barang

tersebut.

Praktik seperti ini telah ada sejak jaman Rasulullah SAW., dan Rasulullah sendiri pernah

melakukannya. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara

sukarela atas dasar tolong-menolong. Sesuai dengan PP 103 Tahun 2000 Pasal 8, Perum

Pegadaian melakukan kegiatan usaha utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar

hukum gadai serta menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan layanan

jasa titipan, sertifikasi logam mulia, dan lainnya.

Adapun boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam Al-Qur’an, As-Sunnah

dan Ijtihad. Dari ketiga sumber hukum tersebut disajikan dasar hukum sebagai berikut:

1. Al-Qur’an : Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai

adalah Q.S Al-Baqarah ayat 282 dan 283. Inti dari dua ayat tersebut adalah: “Apabila

kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu

15 Ibid, h. 22

10

Page 11: Bab VI Islam & Ekonomi

menuliskan, yang dipersaksikan dua orang saksi laki-laki atau satu seorang saksi laki-laki

dan dua orang saksi perempuan”.

2. As-Sunnah : Dalam hadist berasal dari ‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi Muhammad

SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang diutang, sebagai

tanggungan atas utangnya itu Nabi Muhammad SAW menyerahkan baju besinya (HR.

Bukhari).

Secara umum lembaga pegadaian mempunyai produk jasa berupa16 :

a. Gadai

Gadai merupakan kredit jangka pendek guna memenuhi kebutuhan dana yang harus dipenuhi

pada saat itu juga, dengan barang jaminan berupa barang bergerak berwujud seperti perhiasan,

kendaraan roda dua, barang elektronik dan barang rumah tangga.

b. Jasa taksir

Jasa taksir diberikan kepada mereka yang ingin mengetahui kualitas barang miliknya seperti

emas, perak dan berlian.

c. Jasa titipan

Jasa titipan merupakan cara pemecahan masalah yang paling tepat bagi masyarakat yang

menghendaki keamanan yang baik atyas barang berharga miliknya. Barang-barang yang dapat

dititipkan di pegadaian adalah perhiasan, surat-surat berharga, sepeda motor dan sebagainya.

Sistem operasional produk Pegadaian syari’ah dilakukan melalui prinsip-prinsip sebagai

berikut :

1) Prinsip Wadi’ah (Simpanan);

2) Prinsip Tijarah (Jual Beli atau Pengembalian Bagi Hasil);

3) Prinsip Ijarah (Sewa);

4) Prinsip al-Ajr wa al-Umulah (Pengembalian Fee);

5) Prinsip al-Qard (Biaya Administrasi)17.

4. Baitul Mâl wa Tamwîl (BMT)

Istilah BMT sebenarnya dapat dipilah sebagai Baitul Mâl (BM) dan Baitul Tamwîl (BT).

Menurut fungsinya, BM bertugas menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana ZIS

(Zakat, Infak, Sedekah) sebagai bagian yang menitikberatkan pada aspek sosial.

16 Mariam Darus Badrul Zaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: PT Alumni, 2005, h. 158-159

17 Ibid. h.6

11

Page 12: Bab VI Islam & Ekonomi

Sementara, BT merupakan lembaga komersial dengan pendanaan dari pihak ke tiga, bisa

berupa pinjaman atau investasi18.

Arti kata Baitul Tamwîl (BT) dari sudut etimologi adalah tempat pengembangan

harta/kekayaan. Dari sudut ekonomi Baitul Tamwîl (BT) adalah Lembaga Keuangan

Islam yang usaha pokoknya menghimpun dana dari pihak lain (anggota/deposan) dan

menyalurkannya kepada yang memerlukan melalui pembiayaan (kredit/pinjaman) untuk

usaha produktif dan investasi dengan sistem syariah.

Dapatlah disimpulkan bahwa penggunaan istilah BMT diambil dari kata-kata Baitul Mâl

dan Baitul Tamwîl, yang kemudian dalam perkembangannya menjadi Baitul Mâl Wa

Baitul Tamwîl yang disingkat menjadi BMT. Ada dua bagian dari BMT yang keduanya

memiliki fungsi dan pengertian yang berbeda.

Pertama, Baitul Mâl merupakan lembaga penerima zakat, infak, sedekah dan sekaligus

menjalankannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Sedangkan Baitul Tamwîl

adalah lembaga keuangan yang berorientasi bisnis dengan mengembangkan usaha-usaha

produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat

terutama masyarakat dengan usaha skala kecil. Dalam perkembangannya BMT juga

diartikan sebagai Balai-usaha Mandiri Terpadu yang singkatannya juga BMT.

Dengan mengetahui nama dan membaca pengertian diatas sudah sedikit tergambar

apa itu BMT, namun akan lebih jelas lagi bila kita lihat lebih jauh beberapa ciri dari BMT.

Adapun ciri dari BMT adalah :

1. Berorientasi bisnis dan mencari laba bersama

2. Bukan lembaga sosial tapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan penggunaan

zakat, infak dan sadaqoh.

3. Ditumbuhkan dari bawah dan berlandaskan pada peran serta masyarakat.

4. Milik masyarakat secara bersama, bukan milik perorangan.

5. Dalam melakukan kegiatannya para pengelola BMT bertindak aktif, dinamis,

berpandangan proaktif.

6. Melakukan upaya peningkatan wawasan dan pengamalan nilai-nilai Islam kepada

semua personil dan nasabah BMT. Biasanya dilakukan dengan pengajian-pengajian

atau diskusi-diskusi dengan topik-topik yang terencana.

18 Widodo, Hertanto, Panduan Praktis Operasional Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Dompet Duafa Republika, 1999, h. :36

12

Page 13: Bab VI Islam & Ekonomi

7. Manajemen BMT dikelola secara profesional dan Islami.

5. Pasar Modal Syariah

Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1995 tentang pasar modal mendefinisikan pasar

modal sebagai “Kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran umum dan perdagangan

efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga

dan profesi yang berkaitan dengan efek 19.

Menurut Kepres No. 60 Tahun1988, pasar modal adalah bursa yang merupakan sarana

untuk mempertemukan penawar dan peminta dana jangka panjang dalam bentuk efek20.

Sedangkan pasar modal syari’ah sendiri dapat diartikan sebagai pasar modal yang

menerapkan prinsip-prinsip syari’ah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari

hal-hal yang dilarang seperti: riba, perjudian, spekulasi, dan lain-lain21. Dari pengertian

tersebut tampak jelas sekali ada yang berbeda antara pasar modal konvensional dengan

pasar modal syari’ah.

Pasar modal syari’ah adalah pasar modal yang dijalankan dengan konsep syari’ah, di mana

setiap perdagangan surat berharga mentaati ketentuan transaksi sesuai dengan ketentuan

syari’ah. Pasar modal syari’ah tidak hanya ada dan berkembang di Indonesia tetapi jugadi

negara-negara lain, seperti negara Malaysia. Lembaga keuangan yang pertama kali

menaruh perhatian di dalam mengoperasikan portofolionya dengan manajemen portofolio

syri’ah di pasar syari’ah adalah Amanah Income Fund yang didirikan pada bulan Juni

1986 oleh para anggota The North American Islamic Trust yang bermarkas di Indiana

Amerika Serikat.

Pasar modal syari’ah dapat diartikan sebagai pasar modal yang menerapkan prinsip-

prinsip syari’ah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari hal-hal yang dilarang

seperti riba, perjudian, spekulasi, dan lain-lain.

Dalam Islam investasi merupakan kegiatan muamalah yang sangat dianjurkan, karena

dengan berinvestasi harta yang dimiliki menjadi produktif dan juga mendatangkan

manfaat bagi orang lain. Al-Quran dengan tegas  melarang aktivitas  penimbunan (iktinaz)

terhadap harta yang dimiliki (9:33). Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw

bersabda,”Ketahuilah, Siapa yang memelihara anak yatim, sedangkan anak yatim itu

19 Indah Yuliana, Investasi Produk Keuangan Syari’ah, Malang: UIN –Maliki Press, 2010, h. 3320 Sri Handaru Yuliati, dkk, Manajemen Portofolio dan Analisis Investasi, Yogyakarta: Andi, 1996, h. 221 Op. Ci.t, hal. 45

13

Page 14: Bab VI Islam & Ekonomi

memiliki harta, maka hendaklah ia menginvestasikannya (membisniskannya), janganlah ia

membiarkan harta itu idle, sehingga harta itu terus berkurang lantaran zakat”

D. Bekerja Sebagai Kewajiban dan Ibadah

Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah.

Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja.

Seorang muslim dalam mengerjakan sesuatu selalu melandasinya dengan mengharap ridha

Allah. Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sembrono, sikap

seenaknya, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja

berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan

pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin. Allah

mewajibkan atas segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya, “Yang membuat segala sesuatu

yang Dia ciptakan sebaik-baiknya“. (QS. As-Sajdah ayat 7).

Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul

bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridaan

Allah SWT.Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari.

Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti

terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai

Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan

cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu

beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang

tidak akan pernah disentuh api neraka”.

Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat

Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para

sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu

dapat digolongkan jihad fî sabilillâh, maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Rasul pun

menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah

fî sabilillâh; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia,

itu adalah fî sabilillâh; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak

meminta-minta, itu juga fî sabilillâh.” (HR Ath-Thabrani).

14

Page 15: Bab VI Islam & Ekonomi

Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya.  Dengan itu,

sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat

penting serta patut untuk diberi perhatian.  Amalan atau pekerjaan yang demikian selain

memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu

merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak;

apakah masuk golongan ahli surga atau sebaliknya. Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah

semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan

menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal

lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur

kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.

Islam menempatkan kerja atau amal sebagai kewajiban setiap muslim. Kerja bukan

sekedar upaya mendapatkan rezeki yang halal guna memenuhi kebutuhan hidup, tetapi

mengandung makna ibadah seorang hamba kepada Allah, menuju sukses di akhirat kelak.

Oleh sebab itu, muslim mesti menjadikan kerja sebagai kesadaran spiritualnya.

Dengan semangat ini, setiap muslim akan berupaya maksimal dalam melakukan

pekerjaannya. la berusaha menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaan yang menjadi

tanggungjawabnya dan berusaha pula agar setiap hasil kerjanya menghasilkan kualitas

yang baik dan memuaskan. Dengan kata lain, ia akan menjadi orang yang terbaik dalam

setiap bidang yang ditekuninya. Ada dua tahapan yang harus dilakukan seseorang agar

prestasi kerja meningkat dan kerjapun bernilai ibadah.

Pertama, Kerja Ikhlas. Betapa banyak para pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya

dengan tekun, cerdas, gigih dan penuh tanggungjawab namun jauh dari nilai-nilai

keikhlasan akhirnya menjadi petaka. Bekerja dengan dilandasi keikhlasan adalah suatu

keharusan agar materi dari hasil kerja didapat sementara pahala diraih. Sesuai dengan doa

yang seringkali dibaca ‘fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah…”Dan katakanlah :

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat

pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan

yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu

kerjakan” (al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 105)

Kedua, Kerja keras dan cerdas. Ukuran kerja keras adalah kesempatan berbuat, tanpa

pamrih, bekerja maksimal dan Kepasifan dalam menghadapi pekerjaan membatasi

seseorang tidak berusaha meningkatkan kemampuan profesionalismenya. Profesionalisme

15

Page 16: Bab VI Islam & Ekonomi

biasanya dijadikan ukuran dalam peningkatan prestasi di setiap pekerjaan. Dalam

mengerjakan sesuatu, seorang muslim selalu melandasinya dengan mengharap ridha Allah.

Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sembrono, sikap

seenaknya, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja

berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan

pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah

apa yang ada pada dirinya. (Q.S. Ar-Ra’du ayat 11).

“dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah

diusahakannya”.  (Q.S. Al-Najm ayat 39).

E. Akhlak (Etos) Bekerja dalam Islam

Pembahasan Akhlak bekerja, dikenal juga dengan istilah Etos kerja (work ethic). Etos

kerja suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pemahaman dan pengamalan atas

doktrin-doktrin keagamaan atau ideologi yang dianut. Agama atau ideologi merupakan

pembentuk etika yang paling dasar yang dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan

tuntutan aktual masyarakat.

Cendikiawan Muslim Nurcholis Majid dalam bukunya Islam Dogma dan Peradaban22

mencatat beberapa konsep ajaran Islam yang terkait erat dengan peningkatan kualitas etos

kerja umat, antara lain :

1. Niat dan Tauhidullah

Dalam Islam kedudukan niat merupakan yang paling fundamental dalam setiap praktek

ibadah baik mahdah maupun ghairu mahdah. Baik buruknya suatu pekerjaan tergantung

pada niat pelakunya. Rasulullah bersabda :

إنما األعمال بالنية وإنما لكل امرئ ما نوى"Sesungguhnya setiap amal itu dengan niatnya, dan setiap perkara tergantung pada apa

yang ia niatkan".

22 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, cet. I., Jakarta: Pramadina, 1992, h. 104

16

Page 17: Bab VI Islam & Ekonomi

Inilah yang membedakan antara sistem Islam dengan yang lain. Termasuk dengan

konfusianisme, faham ini secara nyata memang memberi pengaruh kuat kepada

pemeluknya untuk melakukan kerja keras. Sebab secara umum ajaran yang ditekankan

lebih mengarah kepada materialisme. Dimana kepemilikan seseorang akan materi akan

sangat menentukan tingkatan kastanya baik waktu di dunia maupun ketika sesudah mati.

Itulah karenanya dalam sistem ekonomi negara yang menganut paham kongfusianisme

lebih mengarah kepada sistem yang menjunjung tinggi materi sebagai pusat perbaikan

suatu bangsa.

Islam adalah agama yang mengajarkan tauhid pada setiap aspek kehidupan umatnya.

Seoarang muslim yang beriman wajib meyakini dengan lisan dan qalbunya syahadat Lâ

ilâha illallâh, lafadz ini berarti menafikan tuhan-tuhan lain selain Allah. Tuhan-tuhan itu

bisa berarti benda yang dicenderungi maupun disembah (paganisme), ideologi seperti

materialisme, hedonisme, atau sistem kepercayaan yang diikuti yang lebih diutamakan

dari pada Allah. Maka ketika seseorang bekerja dengan didasarkan pada tauhid, hal itu

menjadikanya merdeka untuk melakukan apa saja yang diyakini selama tidak bertentangan

dengan kehendak Allah Swt.

2. Ihsan dan Itqan

Untuk memperkuat dan memperjelas niat, umat Islam diperintahkan untuk mengucapkan

nama Allah (bismillâh) setiap awal pekerjaannya. Secara filosofis ikrar kepada sesuatu

berarti pengakuan atas apa yang dimiliki olehnya. Allah dalam pandangan umat Islam

adalah Tuhan yang maha segala-galanya, tidak ada yang lebih maha dari pada Dia. Hal ini

melahirkan kesadaran bahwa sesuatu yang didasarkan kepada derajat tertinggi akan

memberi motivasi kuat untuk menyamakannya. Itulah Ihsan. Ihsan merupakan bentuk

kerja yang didasarkan pada kualitas kerja terbaik. Rasulullah bersabda :

عن أبي يعلى شداد بن عوص رضي الله عنه، عن رسول قال: "إن الله كتب اإلحسان على كل شئ: فإذا الله

قتلتم فأحسنوا القتلة، وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة، وليحدأحدكم شفرته وليرح ذبيحته" رواه مسلم

"Sesungguhnya Allah mewajibkan Ihsan atas segala sesuatu, maka jika kamu membunuh

hendaklah membunuh degnan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih maka

sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaklah menajamkan pisau dan

menyenangkan hewan sembelihan itu (mempecepat proses matinya)".

17

Page 18: Bab VI Islam & Ekonomi

Berihsan dengan menajamkan pisau untuk menyembelih hewan qurban tidak saja dilihat

dari sudut pandang "kehewanan" tetapi juga menunjukkan kerja yang efektif dan efisien.

Dalam sistem kerja masyarakat modern, efektifitas dan efisiensi merupakan tuntutan

utama yang harus dimiliki semua orang jika ingin berhasil.

Selain ihsan dikenal juga itqan, yaitu proses kerja dengan standar mutu terbaik. Seorang

muslim dituntut untuk tidak kerja asal-asalan, tetapi berorientasi pada karya terbaik, indah

dan memiliki kualitas yang diperhitungkan semua orang. Rasulullah bersabda :

إن الله يحب أحدكم إذا عمل عمال أن يتقنه"Sesungguhnya Allah menyukai seseorang jika melakukan suatu kerja dengan ber-itqan"

3. Pentingya bekerja dalam Islam

Kerja merupkan wujud keberadaan manusia di muka bumi (mode of existence). Jika bapak

filsafat modern Rene Descartes memformulasikan sebuah prinsip, aku berpikir maka aku

ada (cogito ergo sum), maka dalam tema ini menjadi "aku bekerja maka aku ada".

Sesorang akan dikenal dan diperhitungkan berdasarkan kerja yang dilakukan. Selain kerja

sebagai usaha memenuhi kebutuhan, juga sebagai penunjukkan jati diri masyarakat dengan

ideologi yang diyakininya. Masyarakat di beberapa negara maju asia seperti Jepang, Korea

Selatan dan Hongkong dikenal sebagai masyarakat pekerja. Satu dengan yang lain saling

berlomba untuk bisa menjadi yang terbaik di Asia. Itulah yang disebut dengan fighting

Spirit (semangan bersaing) dalam rangka mencapai idealisme ideologi yang mereka anut.

Fighting Spirit sudah ada dalam sistem ajaran islam. Dianjurkan kepada pemeluknya

untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Allah berfirman :

eِتg hأ g ي iوا iون hك gنh مhا ت hي اِتe أ hرg ي hَخg g ال eقiوا hِب ت gاسhا فhيَهm َهhةo ُهiوh مiوhل gْجeو qلi eك وhلoيرeدhق rٍءgي hش mلi tهh عhلhى ك eنu الل tهi ْجhمeيعvا إ iمi الل eك ب

"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka

berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti

Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha

Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah : 148)

Bekerja dengan semangat beramal soleh dalam rangka kejayaan diri, agama dan bangsa

merupakan jargon yang tak akan pernah padam karena merupakan semangat utama yang

bisa menjadikan pemeluk agama ini berada pada tingkatan tertinggi dalam peradaban

manusia. Dan itu pernah terjadi pada masa sahabat dan daulah Islamiyah.

18

Page 19: Bab VI Islam & Ekonomi

4. Mukmin yang Kuat lebih dicintai Allah

Kebanggaan sebagai suatu bangsa secara nyata telah menjadikan bangsa tersebut sebagai

bangsa pesaing. Masyarakat Inggris pernah mengklaim dirinya sebagai manusia terdepan

dalam sistem evolusi manusia ketika ditemukannya fosil manusia Fieltdown, yang

kemudian berlanjut dengan penjajahan kepada bangsa-bangsa diberbagai tempat di dunia.

Islam tidak mengajarkan rasisme seperti itu, tetapi menanamkan keberanian dan

kepercayaan diri untuk melakukan banyak hal sebagai seorang muslim yang mukmin

kepadaNya. Allah berfirman :

eنhع hنgوhَهg hن وِفe وhت iرgعhمg eال ونh ب iرiمg hأ uاِسe ت eلن iْخgرeْجhْتg ل مuةr أ

i gرh أ ي hْخ gمi iنت كeهt eالل iونh ب iْؤgمeن hرe وhت gمiنك ال

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang

makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…." (QS. Ali-

Imran : 110)

Atau sabda Rasulullah saw. :

المْؤمن القوي ْخير وأحب إلى الله من المْؤمن الضعيف وفيكل ْخير

"Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang

lemah, dan dalam berbagai hal (nyata) lebih baik"

Juga sabdanya saw. :

اإلسالم يعلو وال يعلى عليه"Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya"

Kebanggaan sebagai seoarang muslim ini nyata telah menjadikan para sahabat dulu

memiliki jiwa dan semangat yang membara dalam rangka menyebarkan Islam ke berbagai

pelosok bumi. Semangat seperti ini seharusnya ditumbuhkan kembali dalam rangka

menjadikan umat Islam saat ini bangkit dari perasaan terkucilkan, lemah, malas dan takut

bersaing dengan negara atau bangsa lain.

19

Page 20: Bab VI Islam & Ekonomi

Daftar Pustaka

Ahmad, Kursyid, Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam, dalam  Etika Ekonomi

Politik, Jakarta: Risalah Gusti, , 1977.

An-Nabhani, Taqyiddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya,

Risalah Gusti : 1996.

Chapra, M. Umar, The Future of Economics: an Islamic Perspektive, Jakarta: SEBI, 2001

Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer,

Surabaya, Risalah Gusti : 1999.

Ghafur, Abdul, Asuransi Syari’ah di Indonesia, Regulasi dan Operasionalisasinya di dalam

Kerangka Hukum Positif di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2007

Hasanuzzaman, “Definition of Islamic Economics” dalam Jurnal of Research in Islamic

Economics, Vol 1 No. 2, 1984.

Indah Yuliana, Investasi Produk Keuangan Syari’ah, Malang: UIN –Maliki Press, 2010

Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah

Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, cet. I., Jakarta: Pramadina, 1992

Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dhana Bakt Wakaf: 1997.

Mariam Darus Badrul Zaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: PT Alumni, 2005

Metwally, M.M, Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Bangkit Daya Insana. 1995

Naqvi, Syed Nawab Haider, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami, Bandung :

Mizan, 1985

Rahman, Azalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid II, Yogyakarta, 1995

Siddiqi, Muhammad N., Muslim Economic Thinking: A Survey of Contemporary Literature.

Jeddah and The Islamic Foundation, 1981.

Sri Handaru Yuliati, dkk, Manajemen Portofolio dan Analisis Investasi, Yogyakarta: Andi,

1996

Widodo, Hertanto, Panduan Praktis Operasional Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Dompet

Duafa Republika, 1999

Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta : Robbani Press,

2004

http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah,

20