Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
31
BAB V
PERAN PEMERINTAH DESA PITU MEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM PENGELOLAAN WISATA PANTAI DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI
5.1. Peran Pemerintah Desa dalam Pemberdayaan Masyarakat Pengelolaan
Wisata Pantai Pitu
Dalam Pasal 3 UU No 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa salah satu bentuk
asas pengaturan desa adalah “pemberdayaan” dan “keberlanjutan”. Asas
pengaturan desa ini sejalan dengan makna pemberdayaan, yakni to give power or
authority to dan to give ability to atau to enable. Dalam pandangan seperti ini,
maka pemerintah desa berfungsi meningkatkan serta memperkuat kapasitas
manusia (masyarakat) termasuk kapasitas kelembagaan lokal, agar dengan
kemampuan atau kapasitas yang dimiliki bisa keluar dari keterkungkungan
masalah yang dihadapi, terutama keterkungkungan dalam masalah kemiskinan.
Dalam konteks penelitian ini, salah satu fungsi pemerintah desa Pitu itu adalah
memberdayakan masyarakat untuk siap menjalankan wisata pantai di desa Pitu
atau wisata pantai Pitu.
Upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan wisata pantai Pitu
yang dilakukan oleh pihak pemerintah desa bertujuan agar masyarakat lokal dapat
mengembangkan potensi mereka sehingga dapat turut berperan aktif dalam
pembangunan kepariwisataan. Peran pemerintah desa Pitu dalam pemberdayaan
masyarakat guna pengembangan wisata pantai diimplementasikan dalam bentuk
32
kebijakan dan pelaksanaan kegiatan yang meliputi kegiatan penyadaran
masyarakat (sosialisasi) tentang wisata pantai, kebijakan anggaran pemerintah desa
dalam pengembangan wisata pantai, realisasi program dan anggaran pengelolaan
wisata pantai, penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat desa. Dengan
demikian, maka analisis guna menjawab tujuan penelitian ini dilakukan dalam
beberapa sub bab, yakni:
5.1.1. Peran Pemerintah Desa dalam Proses Sosialisasi dan Penyadaran
Masyarakat
Pembangunan harus menerapkan prinsip-prinsip desentralisasi, bergerak
dari bawah (bottom up), mengikut-sertakan masyarakat secara aktif, dan perlu
dilaksanakan bersama masyarakat (Fadil, 2013). Upaya mewujudkan hal tersebut
pemerintah desa Pitu melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan dan pemberdayaan desa. wadah
untuk menampung aspirasi masyarakat yaitu pelaksanaan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Sekretaris Desa tanggal 8 Januari
2018, dikemukakan bahwa fokus Pemerintah Desa saat ini adalah upaya
mendorong pembangunan ekonomi warga masyarakat. Upaya itu dilakukan dengan
adanya pengembangan wisata pantai pitu pemerintah desa berkomitmen dengan
masyarakat saat memberikan pengarahan, sambutan guna menyadarkan
masyarakat dalam Musrenbangdes pada tahun 2016 lalu. Dalam Musrenbangdes
itu aspirasi warga masyarakat di dengar, ditampung dan salah satu hasil
33
realisasinya adalah pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang
kemudia diberi nama Pitu Marahai.
Selain itu, dalam prosesnya setelah BUMDes Pitu Marahai terbentuk, maka
sosialisasi dan penyadaran warga masyarakat untuk terlibat aktif dalam
pengembangan diri dan desa, secara berkala dilakukan. Pertemuan-pertemuan
dengan warga yang tinggal di lokasi pantai wisata (Pitu) maupun warga secara
umum terus dilakukan dalam rentang waktu 3 bulan sekali sejak pembentukan Pitu
Marahai itu. Pertemuan tersebut dilakukan baik oleh pemerintah desa, pengurus
BUMDes Pitu Marahai termasuk juga melibatkan BPD. Bahkan BPD sendiri
terkadang melakukan pertemuan dengan warga juga mengundang pemerintah desa
dan pengurus Pitu Marahai. Jadi sifatnya saling mengundang. Kalau inisiatif
pertemunnya datang dari pemerintah desa, maka BUMDes dan BPD dilibatkan
demikian pula sebaliknya jika inisiatif pertemuan dengan warga itu datangnya dari
Pitu Marahai, maka perwakilan pemerintah desa akan hadir dan BPD juga akan
diundang hadir. Demikian kutipan wawancara dengan Sekretaris Desa:
“Selain kegiatan Musrenbangdes, kami bekerjasama
dengan BPD dan BUMdes rutin melakukan pertemuan
berkala 3 bulan sekali dengan masyarakat. Pertemuan itu
untuk mensosialisasikan lebih lanjut tentang rencara
pemerintah desa menjadikan pantai Pitu sebagai lokasi
wisata pantai, dan harapannya masyarakat dapat sadar dan
berpartisipasi untuk menghidupkan dan menjalankan wisata
pantai, baik lewat bantuan pemerintah desa, maupun usaha
swadaya masyarakat, termasuk juga usaha warga
perseorangan yang sadar mau membantu pemerintah desa
dalam mengembangkan pantai Pitu.
Tujuan dari sosialisasi kebijakan wisata pantai itu adalah untuk
menyadarkan warga sekaligus memberi warga “akses terhadap informasi”, yakni
34
lewat sosialisasi program dan kegiatan, masyarakat memiliki ruang aspirasi untuk
menimbang dan menilai informasi terbaik bagi mereka dan kemudian berupaya
untuk terlibat (berpartisipasi) baik sebagai penerima manfaat, maupun sebagai
“partisipasi swadaya”. Menurut (Sekretaris Desa), komitmen kuat pemrintah desa
untuk membangun wisata pantai Pitu salah satunya ditunjukan dengan cara
Pemerintah desa selalu melakukan pertemuan dan memberi motivasi kepada warga
masyarakat.
Proses sosialisasi dalam tahap perencanaan lewat Musrenbangdes yang
dilanjutkan dengan proses penguatan kesadaran wagra agan pentingnya wisata
pantai di desa Pitu ternyata tidak berhenti ketika warga telah sadar dan mulai
melakukan aktivitas penunjang wisata di pantai Pitu dengan cara membuka usaha
di sana. Pola sosialisasi 3 bulanan yang dilakukan pada saat perencanaan ternyata
tetap dipakai ketika pariwisata telah beroperasi. Seperti yang dikatakan oleh
Sekretaris desa Pitu, bahwa:
“pertemuan 3 bulan sekali itu tidak berhenti ketika wisata
pantai Pitu telah dibuka, walaupun dengan fasilitas
seadanya. Pertemuan itu tetap kami lakukan dengan warga
yang berjualan di lokasi wisata pantai Pitu. Tujuannya
adalah membicarakan tentang masalah apa saja yang
dihadapi di lapangan dan mencari solusi bersama, hal ini
tentu baik untuk kepentingan bersama dalam membangun
wisata pantai kedepan‟‟.
Berdasarkan ungkapan Sekretaris desa Pitu di atas, dapat dimaknai
pelaksanaan peran pemerintah desa dalam proses sosialisasi dan penyadaran warga
masyarakat agar pemberdayaan sebagai salah satu dari asas pengaturan desa sesuai
amanat UU Desa dapat terus berkelanjutan. Ini artinya pemerintah desa Pitu sadar
bahwa pemberdayaan merupakan proses yang terus berkelanjutan. BUMDes Pitu
35
Marahai dalam hal ini kemudian memainkan fungsi sebagai “pemegang kendali”
untuk mengontrol, mengawasi dan mengevaluasi proses wisata pantai Pitu, lewat
pertemuan berkala dengan warga yang berjualan di wisata pantai, tentu dengan
kontrol dari aparatur desa Pitu dan pengawasan dari BPD.
5.1.2. Peran Pemerintah Desa dalam Kebijakan Anggaran Pariwisata
Fasilitas fisik wisata pantai Pitu, dalam hal ini pembangunan reklamasi
talud di pantai Pitu tentu tidak seluruhnya dilakukan oleh pemerintah desa, atau
boleh dikatakan pembangunan reklamasi guna pembuatan talud yang
mempercantik dan memperindah pantai tidak dilakukan oleh pemerintah desa Pitu.
Pembangunan tersebut dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupatan Halmahera
Utara lewat Dinas Pekerjaan Umum. Oleh kepala desa Pitu, didapatkan informasi
bahwa pembangunan talud dilakukan pemerintah Kabupaten sekitar tahun 2015
dengan kisaran dana hamper 1 milyar rupiah, kemudian ditahun 2016 pemerintah
Kabupaten juga terus membangun talud yang difungsikan sebagai lokasi wisata
pantai.
Dalam proses pembangunan itulah muncul ide untuk mempersiapkan warga
masyarakat desa Pitu agar bisa terlibat dalam mempersiapkan fasilitas wisata yang
lain, seperti tempat usaha dan barang usaha atau barang-barang yang bisa dijual.
Termasuk bagaimana menyiapkan Badan Usaha Milik Desa. Upaya kebijakan
anggaran pada tingkat desa, dikatakan oleh Sekretaris Desa bahwa tidak mungkin
semua anggaran dibebankan pada pemerintah desa, sebab Pendapatan Asli Desa
tentu tidak mencukupi, maka dalam banyak hal dibutuhkan swadaya warga
masyarakat. Pemerintah desa akan memfasilitasi dalam keberlanjutannya. Sebab
36
pendapatan terbesar desa Pitu masih bersumber dari Negara–Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).1
Pendapatan desa pitu terbesar bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja Negara (APBN) yang disebut dana desa (DD) sebesar Rp 755.145.000
diikuti dengan alokasi dana desa (ADD) merupakan bagian dari dana perimbangan
yang diterima Kabupaten Halmahera Utara sebesar Rp 232.789.394 dan
pendapatan asli desa (PAD) sebesar Rp 57.000.000. alokasih dana tersebut
digunakan untuk menunjang program desa yang meliputi penyelenggaraan
pemerintah sebesar Rp 271.509.394, pelaksanaan pembangunan sebesar Rp
538.100.000 dan pemberdayaan masyarakat sebesar Rp 235.325.000 khusus
pemberdayaan masyarakat di bidang pariwisata dialokasihkan sebesar Rp
25.000.000 yaitu bantuan dilokasi wisata pantai Pitu.
Setelah pembentukan BUMDes Pitu Marahai, kebijakan anggaran
pemerintah desa Pitu “mempercayakan” anggaran bidang pemberdayaan
masyarakat sebesar Rp. 235.325.000., untuk dikelola oleh Pitu Marahai dalam
pemberdayaan masyarakat guna menunjang keberlanjutan wisata pantai Pitu.
Anggaran yang diberikan kepada Pitu Marahai inilah yang kemudian oleh
pemerintah desa “diperintahkan” untuk mengadaan fasilitas wisata dan penguatan
kelembagaan pariwisata di pantai Pitu.
Pemerintah desa tidak hanya berperan memfasilitasi kebijakan anggaran
bagi pengembangan wisata Pitu, namun juga berperan dalam pembangunan fisik
seperti pembangunan kamar mandi bagi pengunjung, pembangunan tempat
1 Disarikan dari hasil wawancara dengan kepala desa Pitu 12 Januari 2018 dan Sekretaris Desa Pitu 8 Januari 2018.
37
bersantai (gazebo) bagi wisatawan, pembangunan jaringan listrik dan tempat parkir
yang masih dalam proses perbaikan dan pengerjaan.
Dengan demikian, kebijakan anggaran oleh pemerintah desa Pitu itu
terbangun dalam sebuah usaha pembentukan kesadaran warga lewat pola
sosialisasi, ketepatan menyalurkan aspirasi dalam pertemuan 3 bulanan. Pola
tindakan serta interaksi pemerintah desa, Pitu Marahai dan BPD dengan warga
yang bersifat terbuka, demokratis, dan bertanggung jawab telah memotivasi warga
untuk terlibat langsung dalam upaya pengembangan wisata pantai, baik yang
didasarkan pada relasi sosial yang bersifat kekeluargaan dan kekerabatan, maupun
yang didasarkan pada relasi ekonomi lewat kebijakan alokasi anggaran
pemberdayaan masyarakat kepada Pitu Marahai untuk dikelola dalam
pemberdayaan dan pengembangan masyarakat desa Pitu.
5.1.3. Peran Pemerintah Desa dalam Realisasi Anggaran dan Program
Pengelolaan Wisata Pantai
Realisasi program dan anggaran kebijakan pemerintah desa Pitu melalui
program pemberdayaan masyarakat dengan memberikan bantuan kepada kelompok
tani, usaha budidaya ikan air tawar, dan usaha penjualan dilokasi wisata pantai
Pitu. Artinya realisasi anggaran tersebut bersifat holistic bagi warga dengan tujuan
saling menopang dalam pengembangan usaha yang menunjang pariwisata (wisata
pantai Pitu.
Lewat BUMDes Pitu Marahai, realisasi anggaran pemberdayaan
masyarakat tahun 2016-2017 direalisasikan sebagian untuk pengadaan fasilitas
pariwisata di pantai Pitu, yakni: pengadaan pengadaan mesin 40 PK satu unit
38
senilai Rp.47.800.000,00; pengadaan banana boat satu unit senilai
Rp.22.000.000,00; pengadaan speed boat satu unit senilai Rp.51.764.700. Fasilitas
inilah yang memberi nilai tambah bagi lokasi wisata dan menarik minat wisatawan
baik local, nasionl, maupun internasional. Walaupun wisatawan kategori
internasional ini masih cukup jarang berkunjung, namun menurut bendahara Pitu
Marahai, pengadaan fasilitas itu berguna untuk jangka panjang yang
berkelanjutan.2 tidak hanya realisasi dalam bentuk pengadaan fasilitas itu, namun
juga adanya bantuan usaha kepada pedagang yang berjualan di pantai Pitu.
Selain itu realisasi anggaran tahun 2017-2018, yang masih dalam proses
pelaksanaan anggaran, oleh Sekretaris Desa dan Sekretaris BUMDes Pitu Marahai
yang diwawancarai tanggal 8 dan 9 Januari 2018, pada intinya mengatakan bahwa
alokasi dan realisasi anggaran pemberdayaan masyarakat lebih bervariasi
dibanding tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan pembangunan pariwisata tidak
hanya difokuskan pada wisatanya saja tetapi juga bidang lain yang menunjang
pariwisata. Pada intinya kedua informan ini mengatakan bahwa:
„„Program pemberdayaan masyarakat sudah dilakukan oleh
pemerintah desa Pitu. Kami memberikan bantuan bibit dan
pupuk kepada kelompok tani itu anggaranya 10 juta rupiah,
bantuan untuk perikanan darat anggarannya 10 rupiah dan
bantuan modal untuk penjualan dilokasi wisata
anggarannya 25 juta rupiah. Khusus untuk bantuan 25 juta
itu diberikan untuk 50 kk yang bekerja sebagai pedangang
baik itu penjual kue, sayur dan ikan matang, itu mereka
dapat masing-masing 500.000 ribu rupiah. Jadi dana 25 juta
realisasinya bukan hanya untuk para penjual di lokasi
wisata. Tetapi juga lokasi yang berdekatan di pantai yang
dianggap sebagai lokasi penunjang”.3
2 Wawancara dengan Meldia Kapita (bendahara BUMDes Pitu Marahai) tanggal 6 Januari 2018 3 Disarikan dari wawancara dengan Abner Tidore (Sekdes Pitu) dan Viktor Bitjoli (Sektretaris Pitu Marahai).
39
Sekalipun demikian, dikarenakan pada saat penelitian berlangsung, tahun
anggaran masih dalam proses realisasi, maka menurut bendahara BUMDes Pitu
Marahai, realisasi bantuan untuk para penjual di lokasi wisata, khusus untuk
pemberian bantuan modal usaha di lokasi wisata baru teralisasi sebesar Rp.
3.500.000., kepada 7 orang pedagang. Masing-masing pedagang mendapatkan
bantuan sebesar Rp 500.000., dan rencana anggaran yang di alokasikan untuk para
penjual di lokasi wisata, realisasinya diberikan juga pada penjual lain diluar lokasi
wisata, baik itu yang berjualan kue, ikan dan sayuran matang. Hal ini dilakukan
agar tercipta pembangunan pariwisata yang saling membantu antar berbagia sektor.
Lebih jelas tentang kebijakan dan realisasi anggaran pemberdayaan
masyarakat dalam menunjang pembangunan pariwisata (wisata pantai) oleh
pemerintah desa Pitu tahun anggran 2017-2018 dapat dilihat pada table:
Tabel 5.1.
Rencana Realisasi Anggaran Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Pelayanan Alokasi Dana
-Pemberdayaan Masyarakat Rp. 235.325.000
A.Kegiatan PKK Rp. 36.000.000
B.Kegiatan Posyandu Rp. 20.400.000
C.RT/RW Rp. 20.400.000
D.Peningkatan Kapasitas
Pemdes
Rp.75.000.000
E.Tim Penyusun Program Rp. 9.000.000
F. Pembuat Profil Desa Rp. 4.000.000
G.Bantuan Usaha Pertanian Rp. 10.000.000
H.Bantua Usaha Budidaya
Ikan Air Tawar
Rp. 10.000.000
I.Bantuan Usaha Penjual
di Lokasi Wisata
Rp. 25.000.000
J.Bantuan Duka Rp. 5000.000
K.Hari Besar Nasional Rp. 20.525.000
Sumber: Kantor BUMdes Pitu Marahai
40
Menurut para informan kebijakan realisasi anggran pemberdayaan
masyarakat seperti tampak pada table 2 atas, dilakukan agar ada kesinambungan
dalam upaya peningkatan dan pengembangan wisata pantai Pitu. Artinya segala
bentuk kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat diarahkan dan
dikuatkan untuk menunjang aktivitas wisata pantai Pitu. Bantuan kepada PKK
tidak berarti bahwa aktivitas PKK berjalan sendiri tanpa membantu BUMDes
dalam upaya meningkatkan wisata Pitu, demikian pula bantuan pengadaan fasilitas
Posyandu. Desa Pitu belum memiliki rumah sakit maka kegiatan dan fasilitas
Posyandu perlu dipikirkan untuk juga memberi kenyamanan bagi pengunjung
wisata jika terjadi kecelakaan yang membutuhkan pertolongan medis, tentu selain
memenuhi kebutuhan wagra desa Pitu maka aspek lain itu diperhitungkan juga.
5.1.4. Peran Pemerintah Desa dalam Penguatan Kapasitas
Kelembagaan Pengelolaan Wisata Pantai Pitu
Penguatan kapasitas kelembagaan guna menunjang keberadaan wisata
pantai Pitu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri, lepas dari aktivitas pemerintah
desa lainnya. Proses penguatan kelembagaan ini adalah proses berkelanjutan yang
perlu terus dibina dan diupayakan. Proses awal yang dilakukan pemerintah desa
Pitu adalah mengambil manfaat dari kebijakan pemerintah daerah Kabupaten
Halmahera Utara, ketika membangun reklamasi talud di pantai Pitu, maka
pemerintah desa pada titik awal ini melakukan sosialisasi lewat pertemuan-
pertemuan dengan warga masyarakat desa guna membangun kesadaran bersama
atas manfaat pembangunan talud untuk wisata tersebut.
41
Pada titik awal ini penguatan kelembagaan itu dilakukan lewat membangun
kesadaran bersama. Atas dasar kesadaran yang terbentuk itulah pemerintah
membentuk Badan Usaha Milik Desa yang dinamakan Pitu Marahai. Inilah
kelembagaan formal yang dibentuk pemerintah desa bersama warga masyarakat
desa guna menunjang perkembangan wisata pantai Pitu.
Pembentukan organisasi pengelola wisata penting sebagai wadah
mengumpulkan ide dan gagasan dari masyarakat melalui pertemuan atau sarasehan
yang membahas mulai dari perencanaan, pengelolaan dan mengatur segala sesuatu
yang terkait dengan pengembangan wisata. Karenanya setelah kelembagaan formal
itu terbentuk, maka terbentuk pula kesadaran wisata pada masyarakat desa Pitu.
Lembaga formal yang diberi tugas salah satunya pengelolaan wisata pantai ini
dibentuk sejak tahun 2016. Ini artinya gayung-bersambut dengan pengerjaan
reklamasi talud oleh pemerintah kabupaten.
Pada tahun 2016-2017, lembaga formal yang diberi nama Pitu Marahai ini
dipimpin oleh Komisaris James Bicoli yang sekaligus sebagai Kepala Desa,
jabatan Direktur oleh Andarias Higaro, Viktor Bitjoli menjabat Sektretaris dan
Meldia Kapita sebagai Bendahara. Pada saat penelitian berlangsung (Desember
2017 – Januari 2018) struktur kelembagaan BUMDes Pitu Marahai masih tetap,
namun pada bulan Februari 2018 struktur kelembagaannya berganti orang, yakni:
Posisi Direktur ditempati oleh Jukri Bawole, posisi Sekretaris ditempati oleh Tasya
Kitong dan posisi Bendahara ditempati oleh Rita Huragana.
Hal pergantian posisi dalam struktur kelembagaan Pitu Marahai ini
menunjukan organisasi memang perlu “bergerak” dalam rotasi kepemimpinan,
42
agar pembentukan nilai kelembagaan dapat terwariskan. Dengan “pewarisan” nilai
kelembagaan itu diharapkan terjadi penguatan kapasitas kelembagaan yang
menyeluruh dan bisa “digerakan secara sehat” dalam membangun kapasitas
kelembagaan yang lebih besar (masyarakat) guna menunjang kesadaran dalam
pengembangan wisata (pantai) Pitu.
Selain pembentukan kelembagaan formal (Pitu Marahai) dan proses
penguatannya, pertemuan dengan warga masyarakat yang dilaksanakan secara
berkala (3 bulan sekali) juga merupakan bentuk penguatan kelembagaan
(kelompok masyarakat) menunjang pariwisata. Hal demikian, sebab dalam
pertemuan 3 bulanan itu ada upaya saling memberi masukan, koreksi serta saling
mengevaluasi pelaksanaan peran masing-masing pihak, baik pemerintah desa,
BUMDes, BPD, maupun warga masyarakat sebagai pedagang di lokasih wisata.
Hal ini merupakan adalah proses penguatan kelembagaan lewat pemberian
bantuan usaha bagi warga yang berdagang di lokasi wisata. Bantuan usaha yang
diberikan pemerintah desa lewat BUMDes tersebut dimaksudkan dalam kerangka
penguatan kelembagaan ekonomi (usaha) agar dapat menunjang keberadaan dan
keberlanjutan wisata pantai Pitu.
Dalam kaitan bantuan usaha itu, bersadarkan hasil observasi dan
wawancara, tampaknya pemerintah desa Pitu tidak hanya berfokus pada
kelembagaan (usaha) yang ada di lokasi wisata pantai, namun telah dengan sadara
membangun kelembagaan masyarakat local secara lebih luas dengan memberikan
bantuan juga kepada usaha pertanian, perikanan, posyandu, bahkan bantuan
43
kepada Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Hal ini dapat “dibaca”
sebagai uyapa sadar pemerintah desa Pitu membangun pariwisata dengan
perspektif jauh ke depan.
Permberdayaan pada hakikatnya adalah kemampuan membangun nilai-nilai
bersama (modal sosial) yang mampu memberikan penguatan bagi setiap orang atau
kelompok untuk bertindak menggapai harapan-harapan yang diinginkan. Dalam
perspektif inilah, John Friedmann (1992) mengatakan pemberdayaan masyarakat
pada hakikatnya adalah nilai kolektif pemberdayaan individual yang berlangsung
dalam suatu proses. Sejalan dengan itu, Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007)
mengemukakan bahwa sebagai sebuah proses, pemberdayaan dilakukan lewat
penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. Dan rasanya itu yang sedang
dilakukan pemerintah desa Pitu dalam memberdayakan warganya untuk memiliki
kapasitas membangun pariwisata. Caranya adalah dengan sosialisasi (pertemuan)
kerkala, bantuan usaha yang holistik–tidak hanya bagi warga yang beraktivitas
(berjualan) di lokasi wisata namun juga bagi sector lain dengan kesadaran bahwa
sector lain tersebut adalah juga penunjang pariwisata.
5.1.5. Peran Pemerintah Desa dalam Peraturan Pengelolaan Wisata Pantai
Berdasarkan permendagri nomor 111 tahun 2014 tentang pedoman teknis
peraturan di desa menjelaskan bahwa Peraturan Desa adalah peraturan Perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati
bersama BPD. Untuk mengoptimalkan potensi wisata pantai Pitu, maka wajib bagi
pemerintah desa untuk membuat peraturan desa (Perdes). Wawancara dengan
Sekretaris desa Pitu dalam kaitan dengan kebijakan aturan pengelolaan wisata
44
pantai Pitu, dikemukakan bahwa pemerintah desa telah membuat Perdes No. 03
Tahun 2017 yang bertujuan untuk menjaga dan menciptakan suasana aman dan
tentram bagi setiap pengunjung. Suasana aman dan tentram ini perlu upayakan
oleh semua warga desa agar pengunjung ikut merasa aman, tentram dan tertib
ketika berkunjung. Kesan aman dan tentram itu perlu menjadi kesadaran bersama
warga, supaya wisatawan tidak merasa takut atau khawatir ketika berkunjung.
Seperti dalam kutipan:
‟‟Tujuan pemerintah desa membuat perdes No 03 tahun
2017 untuk menjadikan pantai wisata Pitu bersih dan aman.
pantai yang bersih dan suasana yang aman tentu dapat
menambah daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung‟‟4
Beberpa point penting dalam Peraturan Desa Pitu No. 03 Tahun 2017 itu
adalah: 1). Dilarang membuang sampah di pantai; 2) Dilarang membersihkan ikan
di atas swering dan membuang sisa kotoran ikan di air laut; 3). Dilarang membawa
binatang peliharaan ke air laut; 4). Dilarang menjual dan mengkonsumsi minuman
keras.
Dalam kaiatan dengan peraturan di atas, pertanyaan yang muncul adalah
mengapa peraturan tersebut dibuat? Keempat point larangan dalam peraturan desa
tersebut tentu bukan tanpa sebab. Secara kultur tipe masyarakat yang dihidupnya
di daerah pantai atau pesisir memiliki cara hidup yang memanfaatkan alam (laut,
pantai) sebagai segalanya: tempatnya mencari makan, tempatnya membuang
kotoran, bahkan tempatnya untuk bersantai baik dipagi hari maupun di sore hari.
Konteks pantai sebagai tempat bersantai ini adalah juga bagian dari pantai sebagai
tempat mengkonsumsi minuman keras, menikmati angin sepoi-sepoi. Apalagi
4 Wawancara dengan Abner Tidore (Sekdes Pitu) 8 Januari 2019
45
kondisi panorama pantai Pitu yang juga sangat menunjang keindahaannya. Maka
peraturan desa No. 03/2017 itu ditetapkan untuk mengatur cara hidup masyarakat
pantai seperti itu.
Peraturan ini pun tidak ditetapkan sepihak saja oleh pemerintah desa Pitu,
berdasarkan hasil diskusi panjang antara pemerintah desa Pitu, BPD dan warga
masyarakat maka keputusan penetapan peraturan desa No. 03/2017 itu diambil atas
dasar mufakat. Wakil Ketua BPD, Yohanis Hohedu, yang diwawancarai tanggal 9
Januari 2018 mengatakan bahwa:
”Perdes 03/2017 itu merupakan kesepakatan antara
pemerintah desa, BPD dengan warga masyarakat.
Sebenarnya keinginan untuk membuat peraturan itu sudah
ada dan disosialisasikan oleh pemerintah desa sejak tahun
2016. Itu dilakukan karena rencana pantai Pitu akan
dijadikan objek wisata, sebebarnya fungsinya sebagai
tempat wisata (rekreasi) warga masyarakat, baik yang di
desa Pitu maupun desa sekitarnya sudah ada sejak dulu.
Hanya saja ketika pemerintah Kabupaten melakukan
reklamasi untuk talud pantai, maka perlu adanya norma
yang disepakati bersama untuk kebersihan dan keindahan
lokasi, maka aturan itu dibuat. Dulu kan masih cukup kotor,
warga membuang sampah disitu, ketika melaut hasilnya
(ikan) dibersihan dan kotorannya juga dibuang disitu,
warga mandi bahkan ada juga yang buang air disitu, itu
dulu ya, makanya bersama warga kami sepakati aturan itu.
Tujuannya bukan membatasi ruang gerak warga tetapi lebih
pada mengatur cara hidup mereka untuk lebih tertib saja.
Aktifitas warga tetap seperti biasanya di pantai, tapi perlu
menjaga kebersihan dan keindahan agar wisatawan yang
lain tidak merasa terganggu”.
Dalam prakteknya, pemerintah desa memerintahkan kepada BUMDes Pitu
Marahai untuk mensosialisasikan peraturan tersebut kepada warga masyarakat.
Termasuk memasang pengumuman (aturan) diarea pantai. Selain itu dalam
pertemuan 3 bulanan aturan itu terus disosialisasikan agar warga dapat secara
46
perlahan-lahan mengurangi kebiasaannya dalam membuang sampah di pantai,
memandikan hewan peliharaan dan menjual dan mengkonsumsi minuman keras di
pinggir pantai. Khusus untuk minuman keras ini, pada saat penelitian (observasi)
selama kurang lebih satu minggu di desa pantai desa Pitu, tidak ditemukan adanya
penjual yang menjual minuman keras. Yang terjadi adalah anak muda yang
berkunjung dipantai terkadang sudah ”berbauh” minuman keras, walaupun
demikian sampai dengan penelitian ini selesai tidak ada keributan atau keonaran
yang dilakukan oleh mereka-mereka yang ”berbauh” minum keras di pantai Pitu.
Berdasarkan hasil pengamatan, kebiasaan warga (yang katanya suka)
membuang sampah di pantai sudah mulai tidak dilakukan, termasuk mebersihkan
ikan di pantai. Tampaknya warga mulai sadar bahwa keberadaan wisata pantai Pitu
perlu dijaga kebersihan, keindahan dan kelestariannya secara bersama-sama sebab
wisata Pitu secara berkelanjutan dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial
bagi warga desa Pitu. Keinginan warga, salah satunya adalah agar pemerintah desa
dapat segerah menambah fasilitas seperti parkir, pintu masuk dan loket, termasuk
kalau bisa disipkan homestay di lokasi wisata, dan penambahan wahana
permainan. Keinginan ini tentu tidak berlebihan dan sebenarnya keinginan itupun
telah disadari oleh pemerintah desa, seperti yang dikatakan Kepala Desa Pitu,
James Bicoli yang ditemui tanggal Januari 2018, bahwa:
”dalam pertemuan-pertemuan dengan warga masyarakat
yang dikoordinasikan oleh BUMDes Pitu Marahai,
memang aspirasi warga adalah supaya kami cepat
membangun pintu masuk atau gerbang ke lokasi pantai
sekaligus dengan loket pembayaran karcis atau tiket masuk,
selain itu juga parkir dan homestay dan penambahan
wahana permainan. Sebenarnya semua itu sudah
direncanakan tetapi anggaran desa kan perlu kebijakan
47
ketat karena dananya sedikit, tidak mencukupi untuk
membangun semua sekaligus. Karenanya kita juga
menghimbau kepada warga agar juga ikut berpartisipasi,
berswadaya dalam membatu pemerintah desa. Jadi kedepan
memang aspirasi warga itu akan kami jawab, tetapi perlu
bertahap. Pantai Pitu adalah aset desa yang bisa dikelola
untuk menambah pendapatan desa, karenanya kami
memang berkomitmen untuk membangun wisata pantai
Pitu menjadi lebih baik lagi, akan terus kami kontrol dan
pantau agar pembangunan dapat berjalan dengan baik juga
kami himbau agar warga bisa ikut serta dalam swadaya.
Jadi aspirasi warga sudah ada dan masuk dalam rencana
kebijakan pembangunan pantai Pitu sebagai objek wisata
kedepan. Mudah-mudahan dalam tahun-tahun berikut dapat
kami bagun secara bertahap”.
Sekalipun fasilitas akan dibangun dengan lebih lengkap namun kalau
perilaku cara hidup warga tidak juga ikut berubah atau dirubah maka akan mubasir
destinasi wisata itu. Dalam diskusi dengan Kepala Desa maupun dengan direktur
BUMDes Pitu Marhai, ditemukan juga bahwa pembangunan dan penyediaan
fasilitas adalah sebuah keharusan, namun meruba cara berpikir dan cara hidup
warga masyarakat desa Pitu adalah hal yang tidak kalah penting juga. Karenanya
proses pemberdayaan yang dilakukan memang bertujuan untuk membentuk dan
menciptakan perilaku warga yang berubah sesuai dengan tuntutan pantai Pitu
sebagai destinasi wisata. Bagi mereka bagaimana kita akan membangun homestay
kalau nanti setiap pagi atau sore warga membuang sampah dan memandikan
binatang peliharaannya di pantai? Karenanya perubahan cara hidup itu menjadi
strategi utama yang sedang dilakukan, kalau sudah ada perubahan perilaku maka
pembangunan fasilitas akan mengikuti.
Ketika peneliti bertanya tentang konsekuensi apa yang diterima warga
ketika peraturan desa No. 03/2017 itu dilanggar? Hampir semua informan
48
mengatakan bahwa penegakan aturan desa itu belum memiliki sangksi hukum.
”Aturan itukan disepakati bersama warga masyarakat jadi harapannya ada cukum
dengan hukuman sosial saja: ditegur, dicibir, dinasehati, bahkan dimarahi. Jadi
tidak ada sangksi akan masuk penjara atau didenda sekian juga. Kami berharap
warga sadar saja untuk merubah kebiasaan lama itu, dan sampai saat ini tampaknya
menunjukan ada perubahan perilaku” demikian yang dikatakan ketua BPD.
Hasil observasi juga menunjukan hal yang sama dengan yang disampaikan
ketua BPD bahwa telah ada perubahan perilaku. Selama 6 hari ketika penulis
berada di desa Pitu memang tidak tampak adanya warga masyarakat yang
membuang sampah di pantai atau laut, walaupun rumahnya sangat ”rapat” dengan
pantai. Beberapa warga yang rumahnya di pantai telah membuat tempat sampah
dan membuang sampah rumah tangga tersebut ke kolam yang digali dengan
ukuran kurang lebih 1 x 1 mater, beberapa rumah yang berdekatan dengan pantai
telah membuat tempat sampah. Bahkan nelayan yang biasaya membersihkan hasil
tangkapan di pantai saat ini sudah tidak terlihat. Selain itu, para pedagang di pantai
Pitu juga dituntut untuk mengumpulkan sampahnya diwadah yang disipkan sendiri
kemudian setelah berjualan akan dibuang ke tempat sampah. Perubahan perilaku
ini adalah sesuatu yang baik untuk menunjang wisata pantai.
Penegakan aturan desa untuk perubahan perilaku warga desa dalam konteks
wisata pantai Pitu ini tidak hanya agar warga sadar, namun juga agar dapat
memberi kesan yang baik kepada para wisatawan yang datang ke pantai Pitu,
mereka perlu dilayani dan dibuat nyaman, demikian dikatakan Sekretaris desa Pitu,
bahwa:
49
”kami sadar bahwa destinasi wisata (pantai) itu bukan
sekedar milik kami warga desa Pitu, yang kami miliki
adalah wilayah pantainya tapi keindahan pantainya itu
milik semua orang yang datang berkunjung. Itu sebabnya
kami perlu memberi kesan yang baik. Kesan baik itu perlu
ditata atau dilembagakan, makanya dibentuklah atauran
desa No. 03/2017 itu. Fungsinya adalah mengatur dan
memperbaiki kebiasaan warga yang membuang sampah di
pantai tapi tujuannya adalah agar tercipta kesan yang baik
dimata pengunjung. Kesan kebersihan, kesan kenyamanan,
kesan keindahan. Itu hakikat atauran desa dibuat. Dengan
kesan itu harapannya wisatawan yang berkunjung akan
terus meningkat. Saat ini berdasarkan data yang kami
punya, sudah mulai ada peningkatan, setidaknya sudah
mencapai 500 orang pengunjung wisata Pitu setiap
minggunya. Masalahnya ada pada fasilitas pintu masuk
untuk penjualan tiket masuk itu belum tertata dengan baik.
Seandainya sudah ditata dengan baik maka pendapatan
desa akan meningkat pula. Misalnya untuk tiket masuk Rp.
5000., saja per orang maka kalau ditata dengan baik maka
dalam seminggu desa Pitu sudah memiliki penghasilan
sekitar Rp. 2.500.000.,”.
Dalam konteks ini implikasi dari implementasi kebijakan untuk pengaturan
wisata pantai Pitu khususnya dalam hal tiket masuk perlu secara cepat dibenahi
apabila tujuannya adalah meningkatkan pendapatan desa. Pada saat penelitian
berlangsung, belum ada pengelolaan yang baik tentang karcis masuk ini. Yang
terjadi adalah pemuda-pemuda yang menjaga beberapa titik pintu masuk meminta
wisatawan (pengunjung) untuk membayar karcis masuk. Secara resmi memang
telah ditetapkan oleh pemerintah desa lewat BUMDes Pitu Marahai bahwa karcis
parkirnya adalah sebesar Rp. 5000., untuk kendaraan bermotor, namun koordinasi
dan tata kelola untuk penarikan karcis masuk dan parkir ini belum terkelola dengan
baik.
Penerapan aturan guna menciptakan perubahan perilaku tersebut telah
dengan sadar mulai dilakukan oleh warga yang berjualan di pantai Pitu, dalam hal
50
membuang sampah dan sekaligus juga dibebankan untuk menambah keindahan
pantai dengan cara menanam bunga disekitaran tempat berjulan. Dalam hal
kebersihan, walaupun pemerintah desa lewat BUMDes Pitu Marahai telah
menyiapkan kelembagaan kebersihan lewat penugasan petugas kebersihan yang
bekerja pagi dan sore hari, namun oleh warga yang berjualan di pantai Pitu juga
telah tercipta perubahan perilaku dalam menjaga kebersihan dengan cara
menyiapkan tempat sampah sendiri dan membersihkannya sendiri. Dukungan
warga ini tentu hal yang sangat positif dalam pengembangan wisata pantai Pitu
kedepan.
5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberdayaan Wisata Pantai Pitu
5.2.1. Faktor pendukung
a. Lokasih Wisata yang Strategis
Pantai Pitu merupakan destinasi wisata yang strategis karena berada
berdekatan dengan jalan trans utama Sofifi. Dari jalan trans Sofifi kurang lebih
berjarak 1,5 km menuju pantai Pitu dengan kondisi lebar jalan 5 meter dan
beraspal. Jarak tempuh 1,5 km menuju pantai dihiasi oleh pemandangan alam yang
indah dan asli. Karenanya sebelum sampai ke pantai Pitu pengunjung telah
menikmati pemandangan indah: pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi, alam
yang hijau dan sejuk dalam balutan angina sepoi-sepoi.
Ketika pengunjung sampai di pantai Pitu, sejauh mata memandang,
pandangan pengunjung dimanjakan hamparan pasir dan air laut yang berkilau
putih kebiruan, dan kondisi tempat para pedagang yang bersih dan tertata.
Ditambah lagi dengan hasil pembangunan reklamasi dan pembuatan talud yang
51
menjadi semacam palung, berfungsi sebagai tempat bersantai guna menikmati
pemandangan laut, menikmati pengunjung lain yang sedang mandi dan berenang
di air laut yang tenang, bersih (jernih). Situasi air laut yang tenang dan jernih inilah
yang “memaksa” wisatawan untuk selalu tidak saja menikmati dalam pandangan
namun ikut berenang di laut.
b. Fasilitas Penunjang
Jika membandingkan ketersediaan fasilitas penunjang wisata pantai Pitu
dengan fasilitas di lokasi lain, misalnya di Bali tentu perbedaannya ibarat bumi dan
langit. Namun dalam konteks kebutuhan masyarakat lokal pengunjung wisata
pantai Pitu (yang terus meningkat–500 orang dalam seminggu) dapat dikatakan
bahwa fasilitas yang ada hamper cukup dalam menjawab kebutuhan masyarakat
local pengunjung wisata.
Fasilitas dalam hal ini tidak hanya berbentuk fisik, namun juga “fasilitas
non fisik seperti keramahan dan kebersihan lokasi wisata. Pemerintah desa Pitu
dalam “memanjakan” para mengunjung wisata telah mengadakan pembangunan
tempat bersantai (gazebo), pengadaan bananaboat, pengadaan speedboat, penataan
lokasi berjualan dan jenis jualan yang beragam, pemasangan listrik, wahana
bermain, dan termasuk juga pengelolaan kamar mandi yang baik dan bersih.
Akumulasi fasilitas penunjang baik fisik maupun non fisik telah membuat
para pengunjung untuk pulang dan akan kembali lagi. Keramahan pelayanan dan
rasa kekeluargaan yang ditonjolkan oleh para pengelola dan para pelaku usaha di
pantai Pitu telah memfasilitasi para pengunjung untuk ingat dan akan kembali lagi
pada waktu hari luang (libur). Akumulasi fasilitas itulah yang membuat kunjungan
52
wisata ke pantai Pitu tampaknya akan terus mengalami peningkatan. Sekalipun
fasilitas fisik yang tersedia perlu terus diupayakan penambahannya, apabila
destinasi wisata pantai Pitu hendak membuka sayap pelebaran bagi kunjungan
wisatawan regional, nasional dan internasional.
c. Adanya Dukungan Masyarakat
Ketersediaan fasilitas yang lengkap pada salah satu lokasi wisata akan
mubasir jika warga masyarakat pemilik lokasi itu tidak memberikan dukungan
yang baik dalam hal menjaga dan merawat fasilitas yang ada, dan dalam hal
merubah kebiasaan bersampah disembarang tempat apalagi tempat wisata.
Selama penelitian berlangsung ditemukan bahwa dukungan warga
masyarakat Pitu bagi keberlanjutan wisata pantai Pitu sangat baik. Warga
mengalami perubahan cara hidup dari dulunya membuang sampah sembarang
menjadi membuang sampah pada tempatnya; dari dulunya kurang tertib menanam
bunga dipekarangan rumah menjadi terbiasa menanam bunga dilokasi berjualan;
dari dulunya membersihkan hasil tangkapan ikan di pantai menjadi terbiasa
membersihkan ikan di rumah; dari dulunya memandikan binatang peliharaan
(anjing) di pantai menjadi tidak lagi memandikan anjing di pantai.
Perubahan perilaku itu dimaknai sebagai adanya dukungan positif (baik)
dari warga masyarakat bagi pengembangan wisata pantai Pitu. Apalagi para pelaku
usaha di lokasi wisata sadar bahwa mereka mendapatkan keuntungan secara sosial
(berjumpah dan berkenalan dengan banyak orang) juga keuntungan secara
ekonomi keluarga karena berjualan di lokasi wisata dan mendapatkan bantuan dari
pemerintah desa lewat BUMDes Pitu Marahai.
53
d. Kelembagaan Yang Baik
Perubahan cara hidup warga masyarakat desa Pitu, menunjukan cara kerja
kelembagaan yang baik. Pembentukan kelembagaan yang baik itu salah satu
nilainya adalah adanya kesadaran bersama, dan warga Pitu menunjukan ciri
kesadaran bersama itu. Hal lain adalah upaya dan peran pemerintah desa yang
dengan sadar dan cepat engambil manfaat dari proses pembanguan talud yang
dikerjakan oleh pemerintah Kabupaten Halut untuk membentuk kelembagaan
wisata di desa Pitu, yakni BUMDes Pitu Marahai.
Upaya pemerintah desa Pitu dengan membentuk Pitu Marahai yang diberi
tugas utama pemberdayaan masyarakat guna menunjang wisata pantai Pitu telah
membuahkan hasi terbentuknya kelembagaan local baik pada level warga
masyarakat maupun pada level pemerintah desa. Realitasnya kelembagaan local ini
sedang mengarah ke penguatan kapasitas kelembagaan akibat dari uyapa
pemerintah desa dan BUMDes Pitu Marahai melakukan pertemuan-pertemuan
berkala (3 bulanan) sebagai upaya penyadaran warga untuk merubah cara hidup.
Upaya penyadaran yang dilakukan sejak tahun 2016 itu membuahkan hasil yang
tampak mengalami penguatan kelembagaan ketika penelitian ini berlangsung.
Kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan usaha, kelembagaan
fasilitas, kelembagaan kebersihan lingkungan, kelembagaan perparkiran,
kelembagaan nelayan, kelembagaan pertanian, kelembagaan wahana permainan
darat dan laut, yang semuanya bermuara pada kelembagaan kesadaran akan
pengembangan destinasi wisata di desa Pitu.
54
5.2.2. Faktor Penghambat
Kurangnya penyediaan dan fisilitas menjadi kendalah pengelolaan wisata
pantai pitu :
a. Ketersediaan Sarana Prasarana
Ketersediaan fasilitas penunjang yang belum memadai, sekalipun menjadi
factor penghambat, namun dapat dimaklumi karena wisata pantai Pitu baru
beroperasi tahun 2016. Beberapa fasilitas yang belum tersedia seperti: pintu
gerbang beserta loket, tempat parkir, akomodasi seperti penginapan atau homestay,
dan aspirasi warga tentang penambahan fasilitas permainan dilokasi wisata pantai
Pitu. Seperti yang dikatakan Sekretaris Desa Pitu, bahwa:
„„Sarana dan prasarana wisata pantai Pitu saat ini belum
begitu memadai. Belum dibangun tempat parkir, pintu
gerbang beserta loket dan homestay. Kalau dipantai Karlen
mereka sudah punya fasilitas yang memadai, sudah ada
homestay, gedung pertemuan, mini kafe dan fasilitas
pendungkung lainnya bagi wisatawan. Kedepan kami akan
memperhatikan hal ini untuk kemajuan wisata pantai Pitu.
Sekalipun tampak bahwa fasilitas penunjang wisata belum terlalu memadai,
namun komitmen pemerintah desa untuk pembangunan fasilitas telah ada dan
rencananya akan terealisasi tergantung ketersediaan anggaran. Dalam konteks ini
menurut peneliti, fasilitas yang telah tersedia setidaknya sudah mampu menjawab
kebutuhan masyarakat (wisatawan local), namun kedepan perlu untuk
direalisasikan beberapa fasilitas lain yang lebih baik dapam menunjang keberadaan
wisata pantai Pitu.
b. Kemampuan Pembiayaan / Anggaran
Secara kesiapan kelembagaan local dalam menunjang keberlanjutan wisata
pantai Pitu dapat dikatakan sudah ada dan sudah siap. Permasalahan sebagai factor
55
penghambat lainnya adalah ketersediaan anggaran pengembangan sektor
pariwisata. Jika hanya mengandalkan anggaran dari dana desa, maka tentu tidak
akan mencukupi dalam menjawab tuntutan warga masyarakat tentang penambahan
fasilitas.
Badan Usaha Milik Desa, Pitu Marahai diserahi tanggung jawab untuk
mengelola anggaran pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah desa Pitu. Hal ini
menunjukan komitmen pemerintah desa dalam membangun pariwisata, namun
masalahnya adalah anggaran pemberdayaan masyarakat harus dibagi-bagi untuk
pengembangan dan pemberdayaan bidang-bidang lainnya, sehingga bantuan untuk
pengembangan usaha bidang pariwisata kurang lebih hanya berjumlah Rp.
25.000.000., dan ini tentu bukan dana yang cukup besar dalam membangun
pariwisata.
Karenanya kedepan penataan pintu gerbang dan loket masuk lokasi wisata
perlu segera ditata agar dapat memberikan pemasukan bagi BUMDes Pitu Marahai
guna menyusun strategi pengembangan yang lebih baik lagi. Minimal pembayaran
tiket masuk lokasi wisata dan pajak usaha di lokasi wisata perlu ditata lebih baik
agar BUMDes Pitu Marahai lebih bisa mandiri dalam pengelolaan dan
pengebangan asset-aset desa dalam hal pariwisata.
Permasalahan kebijakan anggaran ini berimplikasi pada munculnya
kecemburuan sosial akibat pengelolaan anggaran yang tidak seberapa itu. Dalam
hasil wawancara dengan informan ditemukan adanya semacam protes dari warga
masyarakat desa Pitu akibat akses kepada bantuan usaha di lokasi wisata terbatas.
Terbatasnya akses tersebut direspon oleh pihak desa dan BUMDes Pitu Marahai
56
bahwa tidak mungkin semua warga masyarakat mendapatkan bantuan, sebab
anggarannya memang terbatas. Untuk tahun anggaran 2017/2018 hanya tersedia
Rp. 25.000.000, yang akan diperuntukan bagi 50 Kepala Keluarga (KK).
Tentu realisasi bantuan bagi 50 KK tersebut tidak dalam pengertian bahwa
yang belum memiliki modal usaha atau kemampuan usaha dalam hal berjualan dan
lainnya juga ikut diberikan. Mengingat kemampuan anggaran itu, maka mereka
yang mengajukan diri perlu membuktikan bahwa bantuan Rp. 500.000 per kepala
Keluarga itu nantinya tidak disia-siakan. Artinya mereka yang mengajukan akan
diseleksi tentang kemampuan dan motivasi usaha, keulatan usaha, dan komitmen
untuk terus mengembangkan usaha, dan yang paling penting memiliki riwayat
dibidang usah kios atau warung makan. penting untuk menjamin keberlanjutan
usaha, sebab keberlanjutan usaha di lokasi wisata pantai Pitu berkorelasi positif
dengan keberlanjutan destinasi wisata pantai Pitu itu sendiri.