Upload
phungtruc
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
57
BAB V
KEBIJAKAN LUAR NEGERI DUTERTE DAN
PENGARUHNYATERHADAP HUBUNGAN BILATERAL
FILIPINA-AMERIKA SERIKAT
Pada Bab ini, penulis akan memaparkan bagaimana kebijakan luar negeri
Filipina di bawah pemerintahan Rodrigo Duterte. Kebijakan tersebut mencakup
kebijakan yang kurang lebih telah dijalankan selama satu tahun terhadap China,
Jepang, dan Rusia dalam bidang ekonomi dan militer & pertahanan serta kebijakan
Duterte terkait penyelesaian sengketa Laut China Selatan. Duterte nampaknya
sedang mengupayakan hubungan bilateral yang berkelanjutan dengan negara-
negara adidaya lainnya dan mencoba mengurangi pengaruh AS di negaranya.
Dalam Bab ini penulis juga akan memaparkan pengaruh dari kebijakan luar negeri
Duterte terhadap hubungan bilateral Filipina dan AS dalam beberapa bidang utama
yakni pertahanan dan ekonomi.
5.1. Kebijakan Luar Negeri Presiden Rodrigo Duterte
Nama Rodrigo Roa Duterte sudah tidak asing lagi di kalangan pelaku politik
Filipina. Sebelum terpilih sebagai Presiden Filipina pada pemungutan suara yang
dilakukan pada Mei 2016, Duterte mengawali karir politiknya pada tahun 1986-
1987 sebagai Wakil Wali Kota Davao, kemudian beliau menempati posisi Wali
Kota Davao pada periode 1988-1998. Setelah turun dari jabatan Wali Kota, karir
politik Duterte berlanjut sebagai anggota dewan Filipina mewakili Davao sejak
tahun 1998 hingga 2001. Duterte kemudian melanjutkan karirnya sebagai Wali
Kota Davao selama tiga periode tahun 2001-2010. Darah politikus juga ternyata
diwariskan Duterte kepada anak keduanya, Sara Duterte. Pada periode selanjutnya,
Davao dipimpin oleh Sara Duterte sebagai Wali Kota dan Rodrigo Duterte sebagai
Wakil Wali Kota pada periode 2010-2013. Usainya masa jabatan Sara Duterte pada
tahun 2013 kemudian kembali dilanjutkan oleh sang ayah, Rodrigo Duterte, yang
kembali menjabat sebagai Wali Kota Davao hingga tahun 2016.
58
Pada usianya yang ke-71 tahun, Rodrigo Roa Duterte yang dikenal dengan
sebutan Digong memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat
Presiden Filipina pada pemilihan umum tahun 2016. Melalui riwayat politiknya,
Duterte dikenal sebagai seorang pemimpin yang terang-terangan, tegas, dan
terkenal dengan kebijakan untuk memberantas kejahatan yang sudah terbukti
selama kurang lebih 30 tahun masa baktinya sebagai pejabat daerah di Davao.
Selama masa kepemimpinannya di Davao, Duterte mengerahkan polisi setempat
untuk melakukan patroli setiap malam untuk mengawasi tindakan kriminal dalam
bentuk apapun. Sosok yang dikenal dengan sebutan Digong ini juga melakukan
patroli dengan sepeda motornya, mengelilingi kota Davao bersama pihak
kepolisian.1 Pencalonan diri Duterte sebagai calon Presiden Filipina untuk periode
2016-2022 membawa harapan baru bagi masyarakat Filipina yang optimis terhadap
kebijakan anti tindakan kriminal dan anti terorismenya. Namun tidak sedikit juga
yang merasa khawatir mengenai kebijakan anti tindakan kriminal Duterte yang
mengusung konsep eksekusi tanpa peradilan bagi mereka yang melakukan tindak
kriminal, terutama terkait kasus obat-obatan terlarang. Bahkan presiden pertahana
saat itu, Benigno Aquino III, mengungkapkan ketakutan akan terciptanya sistem
pemerintahan yang otoriter dan bertentangan dengan hukum HAM jika Duterte
menjadi Presiden dan menerapkan kebijakan anti tindakan kriminalnya.2
Sosok Duterte juga dianggap sebagai sosok pemimpin yang kontroversial
tidak hanya dari kebijakan-kebijakannya, namun juga perkataannya yang terang-
terangan, yang bagi sebagian orang tidak patut diucapkan oleh seorang pemimpin.
Duterte pernah melampiaskan kekesalannya kepada mantan Presiden AS, Barack
Obama dengan menyebut presiden kulit hitam pertama Amerika tersebut “son of
whore” serta beberapa ungkapan kasarnya terhadap perwakilan AS di Filipina,
1 Washington Post, Before Duterte was the Death Squad Mayor, September 2016
(https://www.washingtonpost.com/world/asia_pacific/before-duterte-was-the-philippines-
president-he-was-the-death-squad-mayor/2016/09/28/f1d1ccc4-800b-11e6-ad0e-
ab0d12c779b1_story.html?utm_term=.88be07617109) diakses pada tanggal 27 Desember 2017
pukul 18.00 WITA. 2 Detik News, Wali Kota Kontroversial Rodrigo Duterte Menangi Pemilihan Presiden Filipina,
Mei 2016 (https://news.detik.com/internasional/3206704/wali-kota-kontroversial-rodrigo-duterte-
menangi-pemilihan-presiden-filipina) diakses pada tanggal 31 Oktober 2017 pukul 11.30 WIB.
59
Philip Goldberg.3 Namun disamping berbagai kontroversi dan gambaran negatif
tentang dirinya, lebih dari 14 juta masyarakat Filipina menjagokan sosok yang
dijuluki “the punisher” ini sehingga berhasil memenangi kursi kepresidenan untuk
periode 2016-2022. Duterte memperoleh 38.51% suara melalui pemilihan yang
mengikutsertakan lima calon presiden dan enam calon wakil presiden. Duterte
unggul hampir 6 juta suara dari pesaing dengan selisih jumlah suara terdekat, Mar
Roxas.4 Duterte kemudian dilantik dan mengambil sumpah sebagai Presiden resmi
Filipina pada 30 Juni 2016, bersama dengan wakil presidennya, Leni Robredo yang
berhasil memenangi 13 juta suara pada pemilihan wakil presiden mengalahkan lima
pesaingnya. Berbeda dengan beberapa negara demokratis bahkan mitra
tradisionalnya, Amerika Serikat, pemilihan presiden dan wakil presiden di Filipina
dilakukan secara terpisah. Hal ini diyakini sebagai salah satu cara untuk
menghindari korupsi di kalangan pemerintah pusat sehingga masa bakti terhadap
masyarakat tidak dipengaruhi kepentingan kelompok maupun individu.
Setelah dilantik menjadi Presiden Filipina pada Juni 2016, nama Presiden
Duterte menjadi sorotan media nasional maupun internasional. Tidak hanya karena
gaya bicaranya yang spontan dan cenderung tidak sopan, namun juga kontroversi
yang dimunculkannya melalui kebijakan luar negerinya. Presiden Rodrigo Duterte
mengusung sebuah kebijakan luar negeri yang diberi judul besar Independent
Foreign Policy. Salah satu yang menarik perhatian masyarakat domestik maupun
internasional adalah kebijakan anti-Amerika Duterte. Istilah Independent Foreign
Policy sendiri bukanlah hal baru dalam menentukan arah kebijakan luar negeri di
Filipina. Istilah tersebut pertama kali tertuang dalam 1987 Constitution dengan
perhatian utama terhadap perjanjian mengenai keberadaan basis militer antara
Filipina-Amerika Serikat di wilayah Filipina. Seperti yang sudah dijelaskan pada
Bab IV sebelumnya, konstitusi tersebut menyatakan bahwa basis militer AS di
3 The Guardian, Barack Obama Cancels Meeting after Philippines President Calls Him ‘son of
whore’, September 2016, (https://www.theguardian.com/world/2016/sep/05/philippines-president-
rodrigo-duterte-barack-obama-son-whore) diakses pada tanggal 5 Januari pukul 18.00 WITA. 4 Sindo News, Inilah Hasil Lengkap Pilpres Filipina, Mei 2016
(https://international.sindonews.com/read/1107282/40/inilah-hasil-lengkap-pilpres-filipina-
1462841970) diakses pada tanggal 31 Oktober 2017 pukul 14.00 WIB.
60
Filipina harus ditutup pada tahun 1991. Dalam upaya mempertahankan kedaulatan
melalui kebijakan luar negeri, dalam Section 7 Konstitusi tahun 1987 dijelaskan
mengenai konsep kebijakan luar negeri yang seharusnya dan didukung oleh
penjelasan tentang pertimbangan presiden sebagai badan eksekutif dalam
memetakan kebijakan luar negeri Filipina melalui Section 20-21:
Sec. 7: “The State shall pursue an independent foreign policy. In its
relations with other states the paramount consideration shall be national
sovereignty, territorial integrity, national interest, and the right to self-
determination.”
Sec. 20: “The President may contract or guarantee foreign loans on
behalf of the Republic of the Philippines with the prior concurrence of the
Monetary Board, and subject to such limitation as may be provided by
law. The Monetary Board shall within thirty days from the end of every
quarter of the calendar year, submit to the Congress a complete report of
its decisions on applications for loans to be contracted or guaranteed by
the Government or government-owned and the controlled corporations
which would have the effect of increasing foreign debt, and containing
other matters as may be provided by the law.
Sec. 21: “No treaty or international agreement shall be valid and effective
unless concurred in by at least two-thirds of all the Members of the Senate.
Secara umum, Independent Foreign Policy merupakan salah satu cara untuk
melindungi kepentingan nasional Filipina, dan dalam kosep kedaulatan keseluruhan
kebijakan ini dapat mengurangi ketergantungan Filipina terhadap negara lain,
dalam Konstitusi 1987 difokuskan pada ketergantungannya terhadap AS.
Berdasarkan Konstitusi 1987, ada beberapa karaktersistik penting yang perlu dilihat
dari Independent Foreign Policy, yang pertama adalah landasan utama perumusan
kebijakan luar negeri harus berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional dan
keseimbangan hubungan timbal balik, dan bukan oleh perintah ataupun ancaman
kekuatan asing atau kelompok asing. Kedua, melindungi warisan nasional dan
independensi ekonomi nasional, dan tidak bergantung pada manfaat material yang
diperoleh dari kekuatan asing; dan yang terakhir adalah implementasi dengan
tujuan mempertahankan kehormatan, kedaulatan dan integritas teritorial bangsa dan
61
tidak terpengaruh oleh ancaman yang berasal dari kekuatan asing (Villacorta, hal
4-5).
Posisinya sebagai Presiden Filipina, tidak memberikan Duterte banyak
pilihan selain menjalankan tugas dan tanggung jawab serta memberikan yang
terbaik bagi negaranya. Sejak kurang lebih 20 tahun sejak Konstitusi 1987
membahas mengenai Independent Foreign Policy, Presiden Rodrigo Duterte
merupakan satu-satunya presiden yang mendasarkan kebijakan luar negerinya pada
hal tersebut. Namun hal ini bukan berarti bahwa presiden-presiden sebelumnya
tidak memiliki tanggung jawab untuk membela kedaulatan Filipina, hanya saja
dalam pemerintahan Duterte isu mengenai kebijakan luar negeri yang independent
lebih ditekankan dengan menolak keberadaan AS lebih lama di Filipina. Konstitusi
1987 menjadi salah satu landasan kuat Duterte dalam menjalankan kebijakan luar
negerinya yang secara umum menolak ada campur tangan asing di wilayah
kedaulatan Filipina. Dalam menjawab permasalahan utama yang dibahas penulis,
maka di bawah ini merupakan kebijakan luar negeri Presiden Rodrigo Duterte dan
implementasinya selama kurang lebih satu tahun berjalan.
5.1.1. Kebijakan Terkait Sengketa di Laut China Selatan
Laut China Selatan merupakan wilayah perairan yang berada di Samudra
Pasifik dan kurang lebih memiliki luas sebesar 3 juta kilometer persegi. Wilayah
ini merupakan perairan yang strategis karena menjadi jalur lalu lintas perdagangan
internasional dengan nilai mencapai US$ 5,3 triliun setiap tahunnya. Tidak sampai
di situ saja, 90 persen lalu lintas pengangkutan minyak bumi dari Timur Tengah
menuju Asia pada 2035 diperkirakan akan melintasi perairan ini.5 Menurut data
yang dikutip oleh US Energy Information Administration (EIA), China
memperkirakan bahwa ada sebesar 213 miliar barel serta gas alam hingga 900
triliun kaki kubik di wilayah Laut China Selatan yang menjadi sengketa tersebut.
5 Kompas.com, Laut China Selatan, Perairan Menggiurkan Sumber Sengketa 6 Negara, Juli 2016
(http://internasional.kompas.com/read/2016/07/13/17401251/laut.china.selatan.perairan.menggiur
kan.sumber.sengketa.6.negara?page=all) diakses pada tanggal 13 November 2017 pukul 21.20
WIB.
62
Salah satu daerah yang menjadi perhatian adalah kepulauan Spratly. Kepulauan
Spratly diperkirakan kaya akan kandungan minyak maupun gas dan juga berada di
jalur pelayaran internasional. 6
Kondisi alam yang kaya dan posisi yang strategis bagi rute pelayaran
internasional menjadikan wilayah ini sebagai wilayah yang diperebutkan enam
negara yakni China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
China mendasarkan klaimnya terhadap wilayah Laut China Selatan berdasarkan
peta tradisional China yang secara sejarah diyakini sebagai bagian dari kedaulatan
negara tersebut. Pada tahun 1947 China mengklaim teritorial Laut China Selatan
dengan garis berbentuk U yang terdiri dari sebelas tanda hubung di peta, yang
mencakup sebagian besar wilayah tersebut. Namun pada tahun 1953, di bawah
kepemimpinan Partai Komunis, China menghapus dua garis dan menyisakan
sembilan garis yang disebut dengan istilah nine-dash-line.7
6 BBC Indonesia, Sengketa Kepemilikan Laut China Selatan, Juli 2011
(http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict) diakses pada
tanggal 13 November 2017 pukul 21.30 WIB. 7 Inquirer.net, Timeline: The China-Philippines South China Sea dispute Juli 2016
(http://globalnation.inquirer.net/140995/timeline-the-china-philippines-south-china-sea-dispute)
diakses pada tanggal 14 November 2017 pukul 07.50.
63
Gambar 2.
Wilayah sengketa Laut China Selatan oleh enam negara.
Sumber: http://rsilpak.org/case-brief-on-the-south-china-sea-arbitration/
Secara khusus bagi Filipina, wilayah yang diperdebatkan adalah kepulauan
Spratly dan Scarborough Shoal. Keadaan konflik yang terjadi antara Filipina dan
China di dua wilayah tersebut pada tahun 2013 dibawa ke Permanent Court of
Arbitration (PCA). Filipina mendasarkan tuntutannya pada lebar Zona Ekonomi
Eksklusif sebesar 200 mil atau 370,4 km, di mana Konvensi Jenewa 1982 telah
melahirkan UNCLOS atau United Nations Convention on the Law of the Sea yang
menyatakan bahwa lebar zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut
dari garis pangkal dari mana lebar laut wilayah diukur (Mauna, 2013, hal. 362).
Meskipun sebelumnya pemerintah China telah mengusahakan untuk
dilakukannya negosiasi namun pemerintah Filipina yang saat itu dipimpin oleh
Benigno Aquino III lebih memilih penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase
internasional. Pada Juli 2016, keputusan PCA terkait klaim kedua negara di Laut
China Selatan menyatakan kemenangan di pihak Filipina, berdasarkan UNCLOS
1982. Mahkamah Arbitrase Internasional mengatakan bahwa China tidak memiliki
hak atas wilayah tersebut dan telah melanggar kedaulatan Filipina melalui aktivitas
64
pembangunan pulau-pulau buatan, pelaksanaan reklamasi dan penangkapan ikan
secara ilegal yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Mahkamah juga
menyatakan tidak ada bukti sejarah bahwa China menguasai dan mengendalikan
sumber daya secara eksklusif di wilayah tersebut.8
Meskipun Mahkamah Arbitrase memenangkan pihak Filipina dalam
sengketa ini, namun China menolak untuk mengakui hasil keputusan Mahkamah
yang berada di Den Haag tersebut. Pihak China menyatakan keengganannnya untuk
menerima, mengakui, atau melaksanakan keputusan Mahkamah. Pada
kenyataannya UNCLOS tidak memiliki mekanisme apapun untuk menegakkan
keputusan yang dihasilkannya, dengan kata lain keputusan itu tidak mengikat.9 Hal
itu menjadi alasan mengapa China tetap akan memperjuangkan kepemilikannya
atas wilayah tersebut.
Keputusan Mahkamah Arbitrase atau PCA yang dikeluarkan pada Juli 2016
bertepatan dengan awal pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte yang baru saja
terpilih sebagai presiden Filipina menggantikan Benigno Aquino III. Sejak masa
kampanye, penyelesaian sengketa di Laut China Selatan antara Filipina dan China
menjadi salah satu fokus Duterte dalam penyelenggaraan kebijakan luar negerinya
ke depan. Namun berbeda dengan Aquino III yang memilih penyelesaian sengketa
melalui Mahkamah Arbitrase Internasional, Duterte lebih memilih menggunakan
jalur diplomasi dan negosiasi. Meskipun begitu, Duterte tetap berpegang pada
keputusan Mahkamah pada Juli 2016 yang menyatakan kemenangan di pihaknya.
Namun untuk menghindari penggunaan hard-power oleh China dengan alasan
penolakannya terhadap keputusan PCA, maka Duterte memilih jalur negosiasi dan
penyelesaian secara bilateral antara kedua negara.
8 Detik News, Ini Putusan Lengkap Mahmakah Arbitrase soal Laut China Selatan, Juli 2016
(https://news.detik.com/internasional/3251971/ini-putusan-lengkap-mahkamah-arbitrase-soal-laut-
china-selatan) diakses pada tanggal 14 November 2017 pukul 08.00 WIB. 9 VOA Indonesia, Pengadilan PBB Batalkan Klaim China atas Laut China Selatan, Juli 2016
(https://www.voaindonesia.com/a/pengadilan-pbb-batalkan-klaim-china-atas-laut-china-
selatan/3414729.html) diakses pada tanggal 14 November 2017 pukul 08.10 WIB.
65
Duterte mengambil arah kebijakan luar negeri yang lebih kooperatif
terhadap China dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan. Dalam sebuah
wawancara yang dilakukan pihak Al Jazeera News kepada Presiden Duterte, beliau
menyatakan bahwa dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan terdapat
dua pilihan utama. Pilihan pertama adalah penggunaan hard-power dengan melihat
China sebagai musuh, dan pilihan kedua adalah penggunaan soft-power melalui
negosiasi kedua pihak.10 Duterte memilih menggunakan jalur negosiasi dan
penyelesaian sengketa secara bilateral. Hal ini dibuktikan Duterte melalui
penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Philippine Coast
Guard (PCG) dan China Coast Guard (CCG) di Bejing, China pada Oktober 2016.
MoU antara kedua negara ini kemudian menghasilkan sebuah kerja sama bilateral
di bawah Joint Coast Guard Committee on Maritime Cooperation (JCGC). Pada
15-16 Desember 2016, pertemuan pertama dalam kerangka JCGC dilakukan di
Manila oleh kedua negara. Pertemuan perdana tersebut menjadi awal dari
implementasi MoU yang ditandatangani kedua kepala negara di Beijing dan sebagai
awal dari kerja sama bilateral dalam bidang maritim di Laut China Selatan, kedua
negara membahas mengenai struktur organisasi, prosedur operasi yang akan
dilakukan di wilayah dengan potensi sumber daya yang tinggi, perlindungan
lingkungan hidup, pemberantasan kejahatan maritim termasuk penjualan dan
penyeludupan obat-obatan terlarang, serta pembangunan di beberapa daerah.11
Diawal tahun 2017 tepatnya pada 20-23 Februari, JCGC kembali
melakukan pertemuan di Subic, Zambales, Filipina. Pertemuan ini diikuti oleh
delegasi dari Philippine Coast Guard, China Coast Guard, Departemen Luar
Negeri Filipina, dan Kementerian Luar Negeri China. Secara umum, pertemuan
10 Wawancara Duterte dengan Al Jazeera, Oktober 2016
(https://www.youtube.com/watch?v=x6B0doR69Rc) diakses pada tanggal 11 November 2017
pukul 20.00 WIB. 11 The Diplomat, China-Philippines Mull New Coast Guard Cooperation, Desember 2016
(https://thediplomat.com/2016/12/china-philippines-mull-new-coast-guard-cooperation/) diakses
pada tangal 14 November 2017 pukul 10.30 WIB.
66
kedua ini bertujuan umtuk memperkuat kepercayaan kedua negara.12 Pada
pertemuan kedua ini, pihak PCG maupun CCG di bawah JCGC mengusung
beberapa prospek kedepan, antara lain peningkatan kerja sama antara dua badan
pengawas pantai, persetujuan kedua pihak untuk melaksanakan aktivitas pertukaran
secara bilateral di tahun 2017 termasuk kegiatan high-level visits, operasi maritim
dan pelatihan terkait, berbagai bentuk kunjungan armada maritim dan
pembangunan kapasitas bersama. Pihak CCG juga mengundang pihak PCG untuk
melakukan kunjungan resmi ke China dalam pembahasan mengenai pelatihan
bersama.13 Salah satu acara berita di Filipina, Unang Balita, melaporkan ada sekitar
20 personil PCG yang akan dikirim ke China untuk melakukan pelatihan terkait
pengawasan pantai, dan sebagai timbal baliknya, CCG akan mengirimkan sebuah
perahu yang akan membantu patroli di pelabuhan Manila.14
Jennifer Batrice (2017) dalam tulisannya mengungkapkan bahwa perubahan
arah kebijakan luar negeri Filipina terhadap China dalam kasus Laut China Selatan
merupakan salah satu bentuk kebijakan luar negeri Duterte yang lebih memilih
penyelesaian konflik melalui jalur negosiasi bilateral dibandingkan penyelesaian
konflik menggunakan badan arbitrase internasional. Bahkan Presiden Duterte
sendiri pernah mengatakan: “I have a similar position as China’s. I don’t believe
solving the conflict through an international tribunal” (hal. 74).
Hal ini sejalan dengan Konstitusi Filipina 1987 sebagai dasar dalam
pengambilan kebijakan luar negeri Filipina, di mana negara ini akan lebih
cenderung menerapkan kebijakan yang damai, dalam persamaan dan keadilan.
12 GMA News Online, PCG to meet Chinese counterparts to tackle maritime cooperation, Februari
2017 (http://www.gmanetwork.com/news/news/nation/600206/pcg-to-meet-chinese-counterparts-
to-tackle-maritime-cooperation/story/) diakses pada tanggal 14 November 2017 pukul 11.30 WIB. 13 Philippine Coast Guard, Inaugural Meeting of the Joint Coast Guard Committee: Philippine and
China Coast Guard Agree to Further Advance Cooperation, Februari 2017
(http://www.coastguard.gov.ph/index.php/11-news/1484-inaugural-meeting-of-the-joint-coast-
guard-committee-philippine-and-china-coast-guard-agree-to-further-advance-cooperation) diakses
pada tanggal 14 November 2017 pukul 11.45 WIB. 14 GMA News Online, PCG and China Coast Guard agree to joint maritime exercise in June,
Maret 2017 (http://www.gmanetwork.com/news/news/nation/601480/pcg-and-china-coast-guard-
agree-to-joint-maritime-exercise-in-june/story/) diakses pada 14 November 2017 pukul 12.30
WIB.
67
Duterte mengusung penyelesaian konflik yang kooperatif dengan tujuan
menghindari konflik terbuka dengan China. Hal ini jelas berbeda dengan
pendahulunya, Benigno Aquino III, yang lebih memilih penyelesaian masalah
melalui jalur arbitrase internasional. Selain memilih untuk menyelesaikan konflik
melalui PCA, Aquino III juga membentuk EDCA, sebuah kerja sama militer yang
secara khusus mengawasi wilayah Filipina di Laut China Selatan. Kebijakan
Aquino III ini mendorong hubungan yang semakin dekat antara kedua negara.
Namun berbeda dengan pendahulunya, Duterte justru meminimalisir campur
tangan Amerika Serikat terkait kasus yang terjadi antara Filipina dan China
tersebut. Dalam wawancara yang dilakukan oleh Al Jazeera News, Duterte
menyatakan bahwa ada kemungkinan untuk membubarkan EDCA yang sengaja
dibentuk sebagai respon dari keberadaan China di Laut China Selatan. Duterte juga
mengungkapkan bahwa salah satu alasan mengapa Filipina saat ini lebih memilih
penyelesaian konflik melalui negosiasi dengan China, karena tidak ada negara yang
bersedia berjuang untuk mempertahankan kedaulatan negara lain.15 Keberadaan
militer AS yang menjadi bagian dari EDCA hanya sebatas “gertakkan” bagi China.
Namun jika terjadi perang terbuka, Duterte meragukan kesetiaan AS untuk
berperang bagi kedaulatan Filipina. Machiavelli (2017) mengungkapkan bahwa
sebuah negara dengan kekuatan militer asing tidak akan mampu meraih
kemenangan yang sesungguhnya (hal.100). Dalam hal ini, tentara asing tidak dapat
diandalkan untuk membela kedaulatan nasional sebuah negara lain. Hal tersebut
yang disimpulkan penulis dalam wawancara antara Duterte dengan Al Jazeera
News.
5.1.2. Kerja Sama Ekonomi dengan China dan Jepang
5.1.2.1.Kerja sama ekonomi Filipina-China
Selain Amerika Serikat, China juga merupakan negara yang sejak lama
telah bekerja sama secara bilateral dengan Filipina. Namun berbeda dengan AS,
15 Wawancara Duterte dengan Al Jazeera News, Oktober 2016
(https://www.youtube.com/watch?v=Ux6AhwIIbuw&t=1064s) diakses pada tanggal 12 November
2017 pukul 09.30 WIB.
68
hubungan China dengan Filipina tidak begitu mengikat apalagi pasca Perang
Dingin dan munculnya pengaruh globalisasi terhadap politik dan ekonomi
internasional. Awal kerja sama kedua negara dimulai pada tahun 1975 dan terus
berkembang hingga saat ini. Meskipun sempat mengalami ketegangan akibat
sengketa di Laut China Selatan, namun memasuki pemerintahan Duterte, Filipina
lebih bersikap kooperatif yang berdampak pada kerja sama ekonomi kedua negara.
Dalam bidang ekonomi dan perdagangan, China memang bukan merupakan
mitra kerja sama yang baru bagi Filipina. Pada tahun 2015-2016 misalnya, China
menduduki posisi pertama sebagai negara dengan jumlah impor terbesar di Filipina
yakni sebesar 20%, dan menjadi negara tujuan ekspor keempat setelah Jepang, AS,
dan Hong Kong dengan nilai ekspor sebesar 11%.16 Pada tahun 2016, total aktivitas
ekonomi antara Filipina mencapai US$ 22.11 miliar, dengan rincian US$ 6.19
miliar pada aktivitas ekspor dan US$ 15.92 miliar pada aktivitas impor Filipina.17
Selain aktivitas ekspor impor, kerja sama ekonomi Filipina-China juga terlihat dari
investasi masing-masing negara, dan bantuan pembangunan China bagi Filipina
sejumlah US$ 1.272 miliar tahun 2002-2013.18
Pada pertemuan antara Presiden Duterte dan Presiden Xi Jinping pada
Oktober 2016, kedua kepala negara berinisiatif untuk mempererat kerja sama
bilateral kedua negara. Dalam Joint Statement yang dikeluarkan kedua negara,
banyak poin penting yang mengarah pada kerja sama ekonomi (perdagangan dan
investasi) dan pembangunan. Dalam Joint Statement tersebut tertuang bahwa:
Both sides agree that bilateral economic cooperation remains strong,
but has room for growth. Both sides commit to enhanced economic
relations in the priority sectors of the two countries by leveraging their
complementarity and continuously promoting trade, investment and
economic cooperation, through the activities identified under the
16 Atlas Media, Philippines Exports, 2016
(https://atlas.media.mit.edu/en/profile/country/phl/#Exports) diakses pada tanggal 15 November
2017 pukul 23.00 WIB. 17 Trading Economics: Philippines (https://tradingeconomics.com/philippines) diakses pada
tanggal 15 November 2017 pukul 15.00 WIB. 18 ASEAN Briefing, The Philippines Economic and Political Relations with China, April 2017
(https://www.aseanbriefing.com/news/2017/04/10/philippines-economic-political-relations-
china.html) diakses pada tanggal 15 November 2017 pukul 15.30 WIB.
69
MOU on Strengthening Bilateral Trade, Investment and Economic
Cooperation.
Dalam Joint Statement tersebut disebutkan juga mengenai keinginan kedua
negara untuk memperbaharui program pembangunan lima tahun dalam bidang
ekonomi dan perdagangan.19 Kunjungan Duterte ke Beijing tersebut merupakan
awal dari pembaharuan kerja sama ekonomi bilateral antara Filipina dan China.
Kunjungan resmi yang berakhir pada tanggal 21 Oktober tersebut menghasilkan
rancangan investasi China ke Filipina sebesar US$ 24 miliar, yang dibagi menjadi
dua bidang utama. Yang pertama terkait kurang lebih 40 proyek government-to-
government atau G2G dengan jumlah US$ 9 miliar atau sekitar 450 miliar Peso
Filipina. Jumlah tersebut termasuk investasi sebesar US$ 5.5 miliar untuk
transportasi dan pembangunan infrastruktur, US$ 1 miliar untuk pembangunan
pembangkit listrik tenaga air, investasi sebesar US$ 700 juta untuk pabrik baja,
US$ 780 juta untuk proyek pengembangan pelabuhan di Davao yang diperkirakan
akan mengasilkan sekitar 2.6 juta pekerjaan.20 Bidang kedua adalah proyek
business-to-business atau B2B yang akan diimplementasikan melalui foreign direct
investments (FDI) oleh perusahan China yang akan melakukan kerja sama dengan
perusahaan Filipina sejumlah US$ 15 miliar atau sekitar 750 miliar Peso Filipina.21
Dalam kunjungan Duterte ke China tersebut, kedua negara juga telah
menandatangani sejumlah MoU dan MoA dengan menyertakan perkiraan biaya
dalam kerja sama tersebut dalam tabel berikut:
19 Philstar Online, Full Text Joint Statement Philippines and China, Oktober 2016
(http://www.philstar.com/headlines/2016/10/21/1635919/full-text-joint-statement-philippines-and-
china) diakses pada tanggal 14 November 2017 pukul 22.00 WIB. 20 ABS-CBN News Online, Duterte heads home from China with $24 billion deals, Oktober 2016
(http://news.abs-cbn.com/business/10/21/16/duterte-heads-home-from-china-with-24-billion-
deals) diakses pada tanggal 15 November 2017 pukul 09.00 WIB. 21 GMA News Online, China’s $24-B pledge to Duterte yet to become real, but brokers already
stalking deals, Mei 2017 (https://www.gmanetwork.com/news/news/specialreports/609920/china-
s-24-b-pledge-to-duterte-yet-to-become-real-but-brokers-already-stalking-deals/story/) diakses
pada tanggal 15 November 2017 pukul 09.00 WIB.
70
Tabel 5.1
Daftar MoU dan MoA antara Filipina dan China yang ditandatangani pada
Oktober 2016.
No Pelaku Kerja Sama Bentuk Kerja
Sama
Total
Investasi Filipina China
1 MVP Global Infrastructure
Group
Suli Group
Ltd.
Pembangunan
fasilitas
manufaktur
US$ 3 miliar
2 Greenergy Development
Corp.
Power China
Guizhou
Engineering
Corp.
Pengembangan
proyek Hydro
Pulangui-5
300MW
US$ 1 miliar
3 Zonar Systems Power China
Sino Hydro
Pembangunan
jembatan
penghubung
provinsi
kepulauan
nasional
US$ 800 juta
4 Mega Harbour Port and
Development, Inc.
China
Harbour
Engineering
Co. Ltd.
(CHEC)
Proyek
pengembangan
pelabuhan
pantai di
Davao
US$ 780 juta
5 Global Ferronickel, Inc.
Baiyin
International
Investment
Ltd.
Pembangunan
pabrik baja
US$ 500-700
juta
6 Zonar Construct Hydro Sino
Pembangunan
proyek
konstruksi
jembatan di
Sungai Pasig
dan Sungai
Marikina
Manggahan
US$ 600 juta
71
7 Mega Harbour Port and
Development Inc.
CCC
Dredging
Company
(CDC)
Proyek Cebu
International
and Bulk
Terminal
US$ 328 juta
8 One White Beach Land
Development Corp. Sino Hydro
Proyek
pengendalian
banjir di
Sungai
Mindanao
US$ 325 juta
9 Coach Company Zhuhai
Graton Bus
Pengembangan
fasilitas
manufaktur
US$ 300 juta
10 Manage Resources Trading
Cooperation
SIIC
Shanghai
International
Trade Hong
Kong
Pembangunan
pabrik baja US$ 200 juta
11 SL Agritech Group
Jiangsu
Hongqi Seed
Co. Ltd.
Produksi padi
hibrida
sejumlah dua
juta hektar
sawah
US$ 160 juta
12 R-II Bulders, Inc.
China
Harbour
Engineering
Co. Ltd
(CHEC)
Proyek Manila
Harbour
Center
Reclamation
US$ 148 juta
13 Philippine State Group of
Companies
Yangtse
Motor
Group Ltd.
dan
Minmetals
International
(HK) Ltd.
Program bus
EDSA US$ 100 juta
72
14 Colombus Capitana
China
CAMCE
Engineering
Co. Ltd.
Proyek
pengembangan
bersama pada
bidang energi
terbarukan,
infrastruktur
utama dan
real-estate
US$ 100 juta
15 AVLP Asia Pasific
Conglomerate, Inc.
Shanghai
Xinwo
Agriculture
Development
Co. Ltd.
Proyek
perkebunan
pisang
US$ 100 juta
16 Trademaster Resources
Corp. dan Servequest Inc.
TBIM
Xinjing
Sunoasis Co.
Ltd
Proyek energi
terbarukan
Tidak
disebutkan
Sumber:
(http://news.abs-cbn.com/business/10/21/16/duterte-heads-home-from-china-with-24-
billion-deals)
Dari sekian banyak MoU yang ditandatangani kedua negara untuk
meningkatkan kerja sama bilateral khususnya dalam bidang ekonomi, Department
of Finance (DOF) Filipina menyimpulkan ada 12 proyek prioritas yang diusung
Filipina dan China.22 Proyek-proyek tersebut kurang lebih telah disebutkan dalam
kesepakatan kedua negara dalam bentuk perjanjian dan MoU di atas. Sejumlah
proyek dalam kerja sama kedua negara merupakan upaya Presiden Duterte untuk
membangun negaranya, terutama dalam kesejahteraan ekonomi msyarakat Filipina.
Duterte melihat potensi kerja sama ekonomi dan pembangunan yang lebih efektif
di pihak China, dengan tujuan utama untuk menanggulangi kemiskinan,
pengangguran, tingkat kesejahteraan hidup di Filipina.23 Pada Oktober 2017, China
22 Department of Finance of the Republic of the Philippines
(http://www.dof.gov.ph/index.php/phl-proposes-12-priority-infra-projects-for-chinese-financing-
feasibility-study-support/) diakses pada tanggal 15 November 2017 pukul 12.00 WIB. 23 China, Philippines agree to cooperate on 30 projects worth $3.7 billion, 2017
(http://www.cnbc.com/2017/01/23/china-philippines-agree-to-cooperate-on-30-projects-worth-37-
billion.html) diakses pada tanggal 15 November 2017 pukul 12.20 WIB
73
meminta Filipina untuk mempercepat pelaksanaan beberapa proyek utama yang
ditargetkan selesai pada tahun 2018. Beberapa proyek yang akan dieksekusi kedua
negara pada akhir 2017 adalah jembatan Binondo-Intramuros dan jembatan
Estrella-Pantaleon di Manila (yang dibiayai melalui hibah China), proyek irigasi
Sungai Chico di provinsi Cagayan dan Kalinga, proyek bendungan Centennial
Water Source-Kaliwa, dua fasilitas rehabilitasi narkoba di Davao, dan
pembangunan kawasan industri.24
Pemerintahan Presiden Duterte yang meskipun masih kurang dari dua tahun
sudah banyak menuai perhatian dunia internasional. Dalam bidang ekonomi,
Filipina memfokuskan kerja sama ekonominya dengan negara-negara di Asia
seperti China dan Jepang. Hal ini tidak lepas dari keinginan Duterte untuk secara
perlahan lepas dari pengaruh AS di negaranya. Meskipun belum terealisasi, namun
proyek-proyek hasil kerja sama bilateral antara Filipina dan China akan menjadi
awal baru bagi hubungan kedua negara kedepannya. Karena sebagian besar proyek
yang dirancang oleh kedua negara merupakan proyek vital dalam mendukung
perekonomian dan pembangunan di Filipina secara menyeluruh.
5.1.2.2.Kerja sama ekonomi Filipina-Jepang
Pemerintahan Duterte yang dimulai sejak Juni 2016 merupakan awal baru
bagi kerja sama ekonomi Filipina dan Jepang. Jepang merupakan salah satu mitra
kerja sama ekonomi Filipina dalam beberapa dekade terakhir. Setelah Spanyol dan
Amerika Serikat, Jepang merupakan negara ketiga yang menduduki Filipina. Pada
awal pemerintahan Duterte, Jepang menjadi salah satu negara prioritas Filipina
untuk bekerja sama secara bilateral. Jepang bisa dikatakan merupakan salah satu
mitra tradisional Filipina, selain Amerika Serikat. Namun berbeda dengan arah
kebijakan luar negeri Duterte yang cenderung menjaga jarak dengan AS, hubungan
Filipina-Jepang justru diperkuat Filipina.
24 Philstar, 8 infra projects on China’s priority list, Oktober 2017
(http://www.philstar.com/business/2017/10/03/1744867/8-infra-projects-chinas-priority-list)
diakses pada tanggal 15 November 2017 pukul 12.30 WIB.
74
Sebagai salah satu mitra utama Filipina di Asia, Jepang menduduki urutan
pertama sebagai negara tujuan ekspor utama Filipina. Pada tahun 2016, ekspor
Filipina ke Jepang mencapai angka 22% dari keseluruhan ekspor Filipina dengan
nilai US$ 11.7 miliar. Selain itu, Jepang juga menjadi negara dengan aktivitas
impor terbesar kedua di Filipina, setelah China. Angka impor Jepang ke Filipina
pada tahun 2016 mencapai 13% dengan nilai US$ 10.3 miliar. Total aktivitas ekspor
dan impor Filipina terhadap Jepang berjumlah kurang lebih US$ 22 miliar. Nilai
tersebut tidak jauh berbeda dengan nilai aktivitas ekspor impor Filipina dan China,
US$ 22.11 miliar.25
Dalam upaya peningkatan kerja sama ekonomi antara Manila dan Tokyo,
pada Oktober 2016 Presiden Duterte melakukan kunjungan resmi ke Jepang. Dalam
pertemuan tersebut, kedua negara sepakat untuk mempererat kerja sama bilateral
kedua negara dalam bidang ekonomi dan bidang keamanan. Kunjungan Duterte ke
Jepang merupakan rangkaian dari lawatan resmi Filipina ke beberapa negara Asia
lainnya seperti China. Tujuannya adalah untuk menarik investasi dari negara-
negara “raksasa” Asia, China dan Jepang.
Berbeda dengan kunjungan Duterte ke China yang langsung menghasilkan
nota kesepakatan dengan China, kesepakatan kerja sama ekonomi dengan Jepang
ditandatangani Filipina-Jepang setelah satu tahun kunjungan resmi Duterte ke
Jepang, tepatnya pada 30 Oktober 2017.26 Dalam pertemuan Presiden Duterte
dengan Perdana Menteri Shinzo Abe di Tokyo tersebut, kedua negara
menandatangani 25 perjanjian kerja sama ekonomi. Perjanjian-perjanjian tersebut
mencakup investasi Jepang dalam bidang manufaktur, pembuatan kapal, besi dan
baja, investasi di bidang agribisnis, energi terbarukan, transportasi, pembangunan
dan peningkatan infrastruktur, pengolahan mineral, ritel, bidang teknologi
informasi dan komunikasi dan bidang bisnis lainnya. Meskipun belum dirilis secara
resmi mengenai perjanjian kedua negara yang disepakati pada Oktober 2017
25 https://atlas.media.mit.edu/en/profile/country/phl/#Exports 26 Sunstar News, Philippines-Japan firms sign $6 worth of investment deals, Oktober 2017
(http://www.sunstar.com.ph/manila/local-news/2017/10/30/philippines-japan-firms-sign-6b-worth-
investment-deals-572187) diakses pada tanggal 16 November 2017 pukul 10.00 WIB.
75
tersebut, namun sebagian besar kesepakatan bilateral yang disetujui kedua negara
melibatkan pelaku bisnis dan perusahaan-perusahaan multinasional asal masing-
masing negara. Dalam pertemuan tersebut, kedua negara juga membahas mengenai
pengurangan tarif untuk ekspor buah-buahan dari Filipina ke Jepang. Kedua negara
kembali mempertimbangkan JPEPA yang sebelumnya ditandatangani pada tahun
2006.27
Japan-Philippines Economic Partnership Agreement (JPEPA) merupakan
sebuah perjanjian kerja sama ekonomi oleh Jepang dan Filipina yang
ditandatangani pada tahun 2006. JPEPA merupakan perjanjian free-trade bilateral
pertama Filipina. Melalui JPEPA kedua negara tidak hanya menjamin pergerakan
barang dan jasa secara lebih luas, namun juga mengenai pengurangan tarif terutama
untuk ekspor Filipina ke Jepang terkait beberapa komoditas hasil perkebunan
(Senate Economic Planning Office-JPEPA: An Assessment, 2007, hal 1).
Dalam satu tahun pertama pemerintahan Duterte, Jepang menjadi salah satu
prioritasnya dalam usaha peningkatan kerja sama ekonomi. Pertemuan pada
Oktober 2017 merupakan salah satu cara pemerintahan Duterte untuk kembali
meningkatkan investasi Jepang di Filipina yang sempat menurun 56.6% menurut
Japan External Trade Organization (JETRO). Data dari JETRO menunjukkan
penurunan FDI Jepang di Filipina dengan nilai US$ 561 juta pada Agustus 2017.
Jumlah penurunan tersebut dilihat dari investasi Jepang di Filipina pada tahun 2016
yang meningkat 52.1% dari FDI pada tahun 2015.28 Oleh sejumlah media Filipina,
penurunan FDI Jepang di Filipina pada tahun 2017 merupakan salah satu akibat
dari arah kebijakan Duterte yang dalam setahun telah berusaha meningkatkan kerja
sama dengan China dan Rusia. Namun dengan penandatanganan 25 perjanjian
antara Duterte dan PM Abe pada Oktober 2017 diharapkan dapat meningkatkan
investasi Jepang di Filipina.
27 Philstar, Philippines-Japan sign $6B worth of business deals, Oktober 2017
(http://www.philstar.com/headlines/2017/10/30/1753966/philippines-japan-sign-6b-worth-
business-deals) diakses pada tangga; 16 November 2017. 28 Japan External Trade Organization (JETRO). Diakses melalui https://www.jetro.go.jp/en/ pada
tanggal 16 November 2017 pukul 12.00WIB.
76
5.1.3. Kerja Sama Keamanan & Pertahanan dengan China, Rusia dan
Jepang
Sejak terpilihnya Rodrigo Duterte sebagai Presiden ke-16 Filipina, arah
kebijakan luar negeri Filipina mulai bergerak ke arah yang berbeda. Jika
pemerintahan-pemerintahan sebelumnya mendekatkan diri ke Amerika Serikat
sebagai mitra kerja sama tradisional Filipina, berbeda dengan Duterte yang sejak
awal pemerintahannya menginginkan arah kebijakan yang tidak lagi bergantung
pada AS. Meskipun pemerintahannya baru menapaki tahun pertama, namun sudah
terjadi beberapa perubahan kebijakan, tidak terkecuali kebijakan keamanan dan
pertahanan. Duterte berniat untuk bekerja sama secara bilateral dalam bidang
pertahanan dengan negara-negara superpower lainnya, seperti China, Rusia, dan
Jepang.
Tahun 2017 merupakan awal baru bagi kerja sama antara Filipina dan Rusia.
Tepatnya 20 Oktober 2017, Rusia mendonasikan sejumlah peralatan militer bagi
Filipina untuk program counter-terrorism Presiden Duterte. Tiga kapal perang,
termasuk dua kapal anti-kapal selam milik Rusia berlabuh di pelabuhan Manila
dengan membawa pesenjataan dan kendaraan militer yang disumbangkan Moskow
untuk Manila sebagai awal baru kerja sama pertahanan antara kedua negara.29
Bantuan Rusia kepada Filipina berupa pengalihan produk militer mencakup 20 unit
kendaraan serbaguna, 5.000 unit senapan serbu AK-74M Kalashnikov, 1 juta unit
amunisi dan 5.000 unit helm baja. Peralatan tersebut secara resmi diserahkan oleh
Kementerian Pertahanan Rusia kepada pemerintah Filipina yang secara langsung
diterima oleh Presiden Duterte pada 25 Oktober 2017.30
Sejauh ini, belum ada perjanjian resmi antara kedua negara mengenai kerja
sama militer, namun wacana mengenai pelatihan militer gabungan sudah
29 VOA News, Russians Give Philippines Shiploads pf Wapons and Trucks, Oktober 2017
(https://www.voanews.com/a/russia-philippines-weapons-military-trucks/4078824.html) diakses
pada tanggal 17 November 2017 pukul 09.00 WIB. 30 Philstar, Pussia Donates Military Equipment to Philiippines, Oktober 2017
(http://www.philstar.com/headlines/2017/10/25/1752333/russia-donates-military-equipment-
philippines) diakses pada tanggal 17 November 2017 pukul 09.20 WIB.
77
dibicarakan kedua pemerintah pada pertemuan di Moskow, 23 Mei 2017.31 Kedua
negara juga mengambil langkah kerja sama dalam bidang perdagangan dan energi,
dengan jumlah 8 kesepakatan yang ditandatangani PM Rusia, Dmitry Mdvedev dan
Presiden Duterte pada November 2017. Jumlah perjanjian tersebut tidak termasuk
beberapa kesepakatan mengenai pengembangan nuklir untuk kepentingan
perdamaian. Kedelapan perjanjian tersebut antara lain sebagai berikut:32
1. Perjanjian tentang Mutual Legal Assistance in Criminal Matters.
2. Perjanjian Ekstradisi
3. MoU tentang kerja sama antara Departemen Energi Filipina dan State
Atomic Energy “Rosatom” Rusia.
4. MoU tentang kerja sama di Bidang Komunikasi Massa.
5. MoU tentang Pengembangan Kerja sama dalam bidang Transport
Education.
6. MoU antara Komisi Pendidikan Tinggi Republik Filipina dan
Kementerian Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Federasi Rusia.
7. MoU antara Intellectual Property Office of the Philippines dan Federal
Service for Intellectual Property of the Russian Federation.
8. Kesepakatan kerja sama antara Komisi Audit Republik Filipina dan
Kamar Dagang Federasi Rusia.
Selain Rusia, Filipina juga mendapat bantuan persenjataan dari China.
Bantuan yang dikhususkan untuk program counter-terrorism ini diberikan China
pada bulan Juni dan Oktober 2017. Pada bulan Juni, bantuan China bagi Filipina
mencakup 3.000 unit senapan – senapan sniper, senapan otomatis dan senapan
dengan presisi tinggi – dan sekitar 6.000 amunisi, dengan total nilai 50 juta
31 CNN Philippines, Gov’t: Russia donating weapons, military equipment for PH counter-
terrorism, Oktober 2017 (http://cnnphilippines.com/news/2017/10/12/Russia-Philippines-
donation.html) diakses pada tanggal 17 November 2017 pukul 09.40 WIB. 32 CNN Philippines, Russia-Philippines Sign 8 Agreemenets on Trade Energy, November 2017
(http://cnnphilippines.com/news/2017/11/14/philippines-russia-agreements-trade-energy-
asean.html) diakses pada tangga; 17 November 2017 pukul 11.00 WIB.
78
renminbi atau sekitar 370 juta peso Filipina atau senilai US$ 7.24 juta.33 Gelombang
kedua bantuan persenjataan China ke Filipina direalisasikan pada Oktober 2017.
China mengirimkan 3.000 senapan M4, tiga juta peluru dan berbagai jenis amunisi,
serta 30 sniper scopes dengan nilai mencapai US$ 22 juta.34
Berbeda dengan Rusia dan China yang menyumbangkan sejumlah
persenjataan untuk Filipina, Tokyo dan Manila bekerja sama dalam bidang
pemberantasan perompak di Filipina. Dalam beberapa tahun terakhir, ada banyak
kasus-kasus terkait perompakan yang terjadi di perairan Sulu-Sulawesi oleh
kelompok pemberontak asal Filipina, tepatnya di perbatasan antara Filipina dan
Indonesia. Melalui kerja sama tersebut, Jepang akan mendanai pembangunan empat
stasiun radar melalui anggaran Overseas Development Aid (ODA). Pembangunan
stasiun radar juga mencakup beberapa bantuan lainnya berupa bantuan patroli, dan
bantuan proyek infrastruktur seperti jalur kereta api dan pembangunan kembali kota
Marawi.35
Selain untuk menunjukkan konsistensinya dalam kebijakan luar negeri yang
tidak lagi bergantung kepada Amerika Serikat, Presiden Rodrigo Duterte juga ingin
merangkul banyak negara-negara adidaya untuk bekerja sama dengan Filipina.
Dalam beberapa tahun terakhir, konflik internal yang terjadi di Filipina
mengakibatkan hubungan Filipina-AS semakin erat, khususnya dalam bidang
militer. Bagi Duterte, kebradaan militer Amerika di Filipina di sisi lain juga dapat
membawa kerugian bagi kedaulatan Filipina. Untuk itu, dalam kebijakan luar
negerinya Duterte lebih cenderung menghindari kerja sama dengan AS. Hal
33 Rappler, China Gives P370M in Gus and Amunitions to PH, Juni 2017
(https://www.rappler.com/nation/174190-china-military-aid-guns-ammunition-philippines-
marawi-terrorism) diakses pada tangga; 17 Novmber 2017 pukul 19.00 WIB. 34 AA News, Philippines Gets More Military Supplies from China, Oktober 2017
(http://aa.com.tr/en/asia-pacific/philippines-gets-more-military-supplies-from-china/927331)
diakses pada tanggal 17 November 2017 pukul 19.40 WIB. 35 Japan Times, Japan to Build Four Radar Stations for the Philippines to Counter Piracy Surge,
November 2017 (https://www.japantimes.co.jp/news/2017/11/11/national/politics-
diplomacy/japan-build-four-radar-stations-philippines-counter-piracy-surge-sources-
say/#.WhJBV0qWbIW) diakses pada tanggal 20 November 2017 pukul 10.00 WIB.
79
tersebut merupakan strategi offensive Duterte, untuk melindungi kepentingan
nasional negaranya dari pengaruh asing.
Pada dasarnya, kebijakan luar negeri merupakan refleksi dari keadaan
domestik sebuah negara. Pelaksanaan kebijakan luar negeri merupakan salah satu
cara untuk memperjuangkan kepentingan domestik. Karena kebijakan luar negeri
sebuah negara pasti beriringan dengan kepentingan dan kebijakan domestiknya.
Pada pemerintahan Duterte yang meskipun baru berjalan satu tahun, terlihat bahwa
“senjata” utama dalam penerapan kebijakan luar negerinya adalah penggunaan soft
power melalui negosiasi antar negara. Hal tersebut dibuktikan Duterte pada
penyelesaian sengketa Laut China Selatan. Jika pada pemerintahan sebelumnya,
Aquino III lebih memilih jalur mediasi/arbitrase dengan mengundang pihak ketiga
untuk menyelesaikan sengketa, tidak demikian dengan Duterte yang
mengedepankan negosiasi antara Filipina dan China. Selain itu, berbeda dengan
kepemimpinan Aquino III yang bekerja sama dengan AS untuk meningkatkan
keamanan di wilayah laut Filipina, Duterte justru menolak adanya pihak asing yang
turut serta dalam sengketa kedua negara (Filipina dan China), termasuk AS.
Meskipun badan arbitrase internasional telah memenangkan Filipina dalam
sengketa tersebut, namun posisi China yang menolak hasil putusan tersebut
membawa ancaman bagi Filipina. Menyadari hal tersebut, lantas Duterte
mengambil jalur diplomasi dan negosiasi, di samping menghormati putusan
Mahkamah. Kerja sama yang terbentuk melalui dialog bilateral juga dihasilkan
Duterte dengan negara-negara super power lainnya seperti Jepang dan Rusia.
Meskipun realisasi dan implementasi dari perjanjian antara Filipina dan negara-
negara tersebut belum tercapai secara maksimal, namun keinginan untuk secara
perlahan memutuskan ketergantungan Filipina kepada AS terlihat jelas dalam
kepemimpinan Duterte.
Penulis melihat ada beberapa alasan utama pengambilan kebijakan luar
negeri dan kerja sama bilateral antara Filipina dengan negara-negara super power
– baik secara ekonomi maupun militer – pada pemerintahan Duterte. Yang pertama,
80
kebijakan luar negeri Duterte mencerminkan kepentingan nasional Filipina sebagai
sebuah negara berdaulat. Setiap negara berdaulat atas pemerintahan dan wilayahnya
serta masyarakat di dalamnya. Oleh karena itu, negara dapat mengambil langkah-
langkah baik itu berupa kebijakan maupun hukum tertulis untuk melindungi
kedaulatannya. Kedaulatan merupakan hal utama yang diperlihatkan Duterte dalam
menetapkan dan menerapkan kebijakan luar negerinya. Hal tersebut dapat dilihat
melalui beberapa kebijakan domestik yang mempengaruhi kebijakan luar
negerinya. Salah satu kebijakan domestik yang banyak menarik perhatian
masyarakat internasional, adalah kebijakan Duterte terhadap pengguna dan bandar
narkoba di Filipina melalui hukuman mati. Kebijakan ini lantas mengundang
banyak kritik dari negara-negara lain, tidak terkecuali mitra kerja sama tradisional
Filipina, Amerika Serikat. Kritik Presiden AS saat itu, Barack Obama, terhadap
kebijakan domestik Duterte mengacu pada pelanggaran HAM. Namun hal tersebut
justru menciptakan berbagai kontroversi lainnya, di mana Duterte membalas kritik
Obama dengan kata-kata kasar dan tidak sopan. Bahkan Duterte juga mulai
menunjukkan sikap “anti-Amerika” dalam menerapkan kebijakan luar negerinya.
Duterte juga banyak mengkritik keberadaan tentara AS di Filipina, yang
menurutnya menjadi salah satu penyebab utama kekacauan yang terjadi di Filipina
Selatan. Baginya, keberadaan pasukan asing merupakan penyebab munculnya
perpecahan domestik di negaranya. Pandangan “anti-Amerika” yang ditunjukkan
oleh Duterte tidak didasarkan pada faktor individual, namun berdasarkan tujuan
utama setiap negara untuk melindungi negaranya dari campur tangan negara lain.
Sehingga dalam penetapan kebijakan luar negerinya, Duterte kembali mengangkat
konsep Independent Foreign Policy yang tertuang dalam Konstitusi 1987 yang lahir
akibat keberadaan militer AS di Filipina.
Kedua, tujuan utama kebijakan luar negeri Duterte yang mencerminkan
kepentingan dalam bidang ekonomi, pembangunan dan keamanan. Jika sebelumnya
kebijakan keamanan Filipina sangat bergantung pada perjanjian dan
kesepakatannya dengan AS, namun pada pemerintahan Duterte hal tersebut
berusaha diperbaharui melalui kebijakan luar negeri dalam bidang kerja sama
81
militer dengan mitra kerja sama “non-tradisional” Filipina seperti China dan Rusia.
Keinginan besar untuk tidak lagi bergantung pada Amerika Serikat dalam bidang
pertahanan menjadi alasan kuat Duterte untuk bekerja sama dengan negara super
power lainnya seperti China dan Rusia. Kebijakan terkait bidang keamanan dan
pertahanan Filipina cenderung difokuskan pada pencegahan terhadap ancaman
keamanan domestik yang muncul dari kelompok muslim radikal di Filipina Selatan.
Selain itu, dalam kurun waktu satu tahun, Duterte telah menghasilkan lebih dari 30
kesepakatan ekonomi dengan negara-negara yang mapan secara ekonomi seperti
China dan Jepang. Kesepakatan-kesepakatan tersebut menjadi awal dari kerja sama
bilateral baru yang diciptakan Duterte dengan masing-masing negara tersebut.
Melalui kerja sama tersebut Duterte mencerminkan kepentingan besarnya dalam
bidang ekonomi dan pembangunan. Sebagai negara berkembang, Filipina nyatanya
membutuhkan mitra kerja sama yang dapat saling menguntungkan. Sama halnya
dengan negara-negara berkembang lainnya, Filipina merupakan negara dengan
sumber daya alam yang kaya namun tidak begitu berkembang dalam bidang
teknologi sehingga dibutuhkan pertukaran komoditas melalui kerja sama.
Poin ketiga sangat erat kaitannya dengan poin kedua, yakni kapabilitas
negara dengan mengutamakan kerja sama bilateral untuk mencapai tujuan
kebijakan luar negerinya. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa
kepemimpinan Duterte sangat mengutamakan diplomasi sebagai sarana pencapaian
kebijakan luar negerinya. Sebagai contoh konkrit, Filipina lebih memilih diplomasi
bilateral dengan China terkait kasus Laut China Selatan. Hal tersebut diinisiasi
Duterte bukan tanpa alasan. Namun Duterte melihat adanya celah yang dapat
menguntungkan Filipina sebagai mitra kerja sama China, dibandingkan sebagai
rival terkait sengketa tersebut. Penggunaan kerja sama bilateral merupakan salah
satu cara utama bagi negara berkembang, seperti Filipina, untuk mencapai tujuan
kebijakan luar negerinya. Keterbatasan dalam pengembangan instrumen militer
menjadi batasan bagi negara-negara berkembang untuk menggunakan militer
sebagai alat pencapaian tujuan dari kebijakan luar negerinya.
82
Pemerintahan Duterte yang sering menjadi perhatian masyarakat
intrenasional bukan saja terkait kebijakannya terhadap pengguna dan bandar
narkoba, namun juga pandangan dan kebijakannya yang cenderung “anti-
Amerika”. Namun disamping itu, penulis berpegang pada faktor utama yang
kemudian mempengaruhi kebijakan Duterte, yakni sifat realis klasik dalam
kepemimpinan Duterte. Salah seorang pemikir realisme klasik, Machiavelli,
meyakini bahwa sebagai seorang pengambil keputusan, aktor harus mampu
bersikap tegas namun cerdik di sisi lain. Terminologi singa dan rubah yang
dijelaskan Machiavelli mengacu pada bagaimana sebarusnya seorang aktor
bersikap dengan tujuan pencapaian tujuan dari kebijakannya, dalam hal ini dalam
lingkup internasional.
Melalui kebijakan luar negerinya, Duterte menunjukkan sikap tegasnya
dalam menyikapi keberadaan pengaruh asing di Filipina, dalam hal ini keberadaan
tentara AS. Meskipun masih terikat kerja sama militer EDCA antara Filipina dan
AS, namun Duterte dengan tegas menyampaikan keberatannya terhadap
keberadaan tentara AS di Filipina dan mengupayakan hengkangnya tentara AS dari
Filipina dalam kurun waktu dua tahun. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh
Obama dan Aquino III pada tahun 2014, dengan masa berlaku lima tahun. Duterte
sendiri tidak ingin memperpanjang kerja sama militer tersebut, seperti yang
disampaikannya melalui wawancara terkait kebijakan luar negerinya oleh Al
Zazeera News. Selain sikapnya terhadap pasukan militer AS di Filipina, Duterte
juga menunjukkan sikap tegasnya terhadap pengguna dan bandar narkoba di
Filipina dengan mentapkan hukuman mati. Meskipun banyak mendapat protes dari
negara-negara lainnya, Duterte tidak mempedulikan hal tersebut. Sebagai seorang
presiden, Duterte memiliki tanggung jawab terhadap negaranya dan hal tersebut
menjadi alasan Duterte yang tidak menghiraukan berbagai kritik yang ditujukan
kepadanya terkait kebijakan maupun sikapnya sebagai presiden.
Di samping bersikap seperti singa yang melambangkan kekuatan dan
kemampuan untuk memimpin dengan tegas, seorang pemimpin juga harus mampu
memanfaatkan kesempatan dan mengambil langkah dengan cerdik. Langkah-
83
langkah cerdik namun juga cenderung beresiko diterapkan Duterte pada
pemerintahannya. Tekad Duterte untuk melepaskan pengaruh AS dari negaranya
bukanlah hal yang mudah. Secara sejarah, AS merupakan mitra kerja sama Filipina
sejak awal kemerdekaan dan ada begitu banyak pengaruh AS di Filipina baik secara
sosial, ekonomi maupun militer dan keamanan. Mengambil langkah untuk menjauh
dari mitra kerja sama dengan catatan kerja sama yang panjang bukanlah hal mudah
bagi sebuah negara. Namun tidak demikian dengan keinginan Duterte untuk secara
perlahan menginginkan “perpisahan” dengan AS. Duterte seakan mencoba mencari
peruntungan lain melalui kerja sama dengan negara super power lainnya.
Selain itu, Duterte juga mengambil kesempatan untuk berdialog dengan
China di tengah sengketa yang dihadapi kedua negara. Kesempatan yang
dimanfaatkan Duterte menghasilkan berbagai kesepakatan antara Filipina dengan
negara-negara adidaya lainnya. Tidak hanya secara tegas menolak keberadaan
tentara AS lebih lama di Filipina, Duterte seakan menggunakan kedekatannya yang
terbentuk dengan Rusia, China dan Jepang sebagai ancaman bagi AS. Menurut
penulis, hal tersebut merupakan sebuah strategi kebijakan yang cerdik. Di satu sisi,
ancaman Duterte terhadap keberadaan tentara AS di Filipina dapat berujung dengan
berakhirnya pengaruh AS di Filipina melalui banyaknya kerja sama kedua negara
dalam bidang militer. Namun di sisi lain, pendekatan Duterte dengan “rival” AS
tersebut dapat berarti peringatan bagi AS untuk tetap mempertahankan Filipina
sebagai mitra terbesarnya di Asia Tenggara melalui kerja sama ekonomi yang
pendekatannya akan lebih mudah dibandingkan kerja sama militer.
5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Arah Kebijakan Luar Negeri Duterte
Pengambilan keputusan oleh seorang aktor dapat dilihat dari beberapa
faktor utama yang mempengaruhinya. Sebagai seorang aktor utama dalam
mencetuskan kebijakan luar negeri di Filipina, penulis melihat ada beberapa hal
utama yang mempengaruhi kebijakan Duterte berdasarkan teori pilihan rasional.
Yang pertama adalah nilai-nilai yang diyakini dan dipercaya oleh sang aktor.
Duterte merupakan presiden kedua Filipina yang didukung oleh partai PDP-Laban
setelah Corazon C. Aquino sebagai presiden kesebelas Filipina. Partai ini menganut
84
paham populisme yang secara umum merupakan bentuk modern dari demokrasi
yang berusaha mempertahankan bahkan memperjuangkan kepentingan rakyat
namun menghindari bentuk liberalisme ekstrim. Kaum populis cenderung
merupakan kelompok oposisi yang menentang kelompok elit yang berkuasa
(Muller, 2016, hal. 102). Sebagai seorang pengambil keputusan dalam sebuah
negara, Duterte berkewajiban untuk melindungi kedaulatan terutama tanggung
jawabnya kepada rakyat. Salah satu bentuk tanggung jawab terhadap warganya,
Duterte lantas mengeluarkan beberapa kebijakan dan pernyataan yang mengundang
perhatian masyarakat internasional. Namun Duterte mengaku bahwa hal tersebut
bukan masalah baginya, karena pemerintahannya tidak bertanggung jawab kepada
negara-negara lain, namun kepada masyarakat Filipina.
Nilai-nilai tersebut kemudian membentuk keyakinan Duterte pada
kebijakan yang diambilnya yang cenderung subjektif dan melihat di sisi yang lebih
menguntungkan untuk pencapaian kebijakannya. Keyakinan dan kepercayaan yang
menghasilkan kebijakan Duterte juga bisa dipengaruhi oleh perkembangan
informasi yang berkaitan dengan kebijakannya. Kebijakan Duterte banyak
mengambil keuntungan dari isu-isu yang berkaitan dengan politik di negaranya.
Sengketa Laut China Selatan misalnya, menjadi alat Duterte untuk melakukan
pendekatan ekonomi dan pertahanan dengan China demi melindungi kepentingan
nasional Filipina. Selain itu, perkembangan politik internasional juga menjadi
pertimbangan Duterte. Saat ini Amerika Serikat bukanlah satu-satunya negara yang
berpengaruh di dunia, berbeda dengan kondisi politik internasional pasca Perang
Dingin. Transfer teknologi memampukan negara-negara lain untuk berkembang
secara ekonomi dan militer untuk melindungi kedaulatannya dan di sisi lain
menyaingi kedudukan AS. Berdasarkan fakta tersebut, sebagai negara berkembang,
Filipina – melalui Duterte – memanfaatkan hal tersebut untuk mempererat kerja
sama bilateral dengan negara super power lainnya, dan mengurangi pengaruh AS
di negaranya.
Namun hubungan bilateral antara Filipina dan AS bukanlah hal baru,
sehingga menjadi salah satu kendala Duterte dalam mencapai kebijakannya. Faktor
85
kendala juga dapat mempengaruhi seorang aktor dalam menentukan kebijakan.
Fondasi Filipina sebagai negara yang merdeka sejak tahun 1946 banyak
dipengaruhi oleh AS, baik dalam kehidupan sosial maupun politik. Selain itu,
berbagai kebijakan yang dihasilkan Duterte juga masih bertentangan dengan
perjanjian dengan AS. Salah satu kebijakan Duterte adalah untuk menyudahi kerja
sama militer dengan AS dan bertekad untuk memulangkan pasukan militer AS yang
ada di Filipina. Namun hal tersebut masih bertentangan dengan perjanjian
Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) yang ditandatangani oleh
kedua negara pada tahun 2014. Perjanjian yang mengizinkan keberadaan pasukan
militer AS di Filipina tersebut juga merupakan perluasan dari perjanjian Mutual
Defense 1951 dan Visiting Forces Agreement 1998. Perjanjian tersebut berlaku lima
tahun, dan secara otomatis Duterte tidak memiliki otoritas untuk membatalkan
perjanjian tersebut hingga tahun 2019.
Meskipun begitu, keinginan Duterte untuk mendorong kebijakan luar negeri
yang independen – dalam hal ini independen dari pengaruh AS – berujung pada
kebijakan kerja sama bilateral Filipina dengan negara-negara lain yang maju secara
ekonomi dan militer. Faktor alternatif, merupakan pilihan lain yang dicetuskan sang
aktor untuk mencapai kebijakan laur negerinya. Dalam pandangan penulis, China,
Rusia dan Jepang merupakan pilihan alternatif Duterte untuk mencapai tujuan
kebijakan luar negerinya. Ketiga negara tersebut bukanlah mitra kerja sama
tradisional Filipina, dalam artian kedekatan Filipina dengan negara-negara tersebut
yang tidak sebaik hubungan Filipina dengan AS. Namun meskipun begitu, Duterte
berusaha untuk memperkuat hubungan bilateral Filipina dengan negara maju
lainnya. Negara-negara tersebut menggunakan pendekatan pertahanan terkait kerja
samanya dengan Filipina pada pemerintahan Duterte, misalnya untuk masalah
domestik di Filipina Selatan dan kebijakan terkait pemberantasan narkoba. Duterte
memanfaatkan kemampuan negara-negara tersebut untuk memberikan manfaat
bagi negaranya. Dalam era globalisasi, masing-masing negara berusaha untuk
menyetarakan kedudukannya dengan negara yang lebih maju. Hal tersebut
dilakukan sebagai sarana untuk membangun aliansi atau hanya sekedar penyebaran
86
pengaruh. Nyatanya hal tersebut yang coba dilakukan negara-negara maju lainnya,
selain AS, di Filipina.
China, Rusia dan Jepang merupakan tiga negara yang maju secara ekonomi
maupun militer, dan bahkan dua di antara mereka adalah rival dari Amerika Serikat
baik dalam bidang ekonomi maupun militer. Sebagai salah satu negara yang
memiliki sumber daya alam yang besar, Filipina memanfaatkan kekayaan alam dan
kerenggangan hubungannya untuk mendorong kerja sama bilateral dengan negara-
negara lain. Faktor keempat adalah manfaat yang akan dihasilkan melalui pilihan
alternatif sang aktor. Untuk saat ini, manfaat kebijakan Duterte tersebut akan lebih
berpengaruh pada sektor ekonomi dan pembangunan dibandingkan pada sektor
militer dan pertahanan. Investasi dan bantuan asing akan berdampak positif
terhadap pembangunan di Filipina dalam beberapa tahun kedepan. Selain itu,
peningkatan kerja sama bilateral antara Filipina dengan negara-negara terkait juga
dapat menghasilkan keuntungan yang mencakup banyak bidang di Filipina. Namun
faktor terakhir yang juga dapat mempengaruhi kebijakannya adalah dampak sosial
yang dihasilkan. Salah satu dampak sosial yang diperhatikan Duterte dalam
pengambilan kebijakan untuk menjaga jarak dari AS merupakan ketergantungan
Filipina terhadap pasukan militer AS. Diketahui dalam beberapa tahun terakhir,
tentara AS membantu masyarakat Filipina dalam memerangi kelompok
pemberontak di Filipina Selatan. Mempertimbangkan hal tersebut, Duterte
berusaha menjalin kerja sama pertahanan dengan negara lain untuk memfasilitasi
tercapainya keamanan domestik di Filipina.
Melalui Rational Choice Theory penulis dapat mengambil kesimpulan
bahwa sebagai seorang aktor yang rasional, Duterte mempertimbangkan banyak hal
sebelum melaksanakan kebijakannya, baik kebijakan luar negeri maupun kebijakan
domestik. Dalam menetapkan kebijakan luar negerinya, Duterte berusaha
memamksimalkan keuntungan dari berbagai bentuk kebijakannya. Duterte
memanfaatkan kondisi politik internasional yang tidak lagi dikuasai oleh pengaruh
AS. Munculnya negara-negara dengan kemampuan ekonomi dan militer yang maju,
dapat dengan mudah mempengaruhi arah kebijakan negara berkembang seperti
87
Filipina. Hal ini yang menjadi alasan Filipina, di bawah pemerintahan Duterte,
untuk mengubah arah kerja sama bilateralnya. Perubahan tersebut bertujuan untuk
mengurangi pengaruh AS di Filipina serta memperluas cakupan kerja sama bilateral
Filipina. Duterte melihat bahwa salah satu peluang besar dalam politik internasional
saat ini adalah bekerja sama dengan negara super power seperti China dan Rusia.
Di satu sisi, bantuan China dan Rusia di Filipina akan membantu pembangunan
negara tersebut, yang dalam beberapa tahun pertama sudah menawarkan berbagai
kesepakatan potensial di bidang pembangunan dan pertahanan. Namun di sisi lain,
ekspansi negara-negara super power tersebut juga bisa menjadi salah satu cara
untuk memperluas perngaruhnya di negara-negara berkembang, yang secara
perlahan akan mempengaruhi politik internasonal.
5.3. Pengaruh Kebijakan Luar Negeri Duterte terhadap Hubungan bilateral
Filipina-AS
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan bagaimana pengaruh kebijakan
luar negeri Duterte terhadap hubungan bilateral Filipina dan Amerika serikat dalam
bidang militer dan keamanan, relasi jangka panjang antara Filipina-Amerika
Serikat, dan pengaruhnya terkait sektor ekonomi dan sosial. Hubungan kerja sama
bilateral antara Filipina dan Amerika Serikat didasari oleh kepentingan nasional
masing-masing negara. Sebagai sebuah negara berkembang, Filipina membutuhkan
AS sebagai penyokong aktivitas ekonomi dan pertahanan dan sebagai sebuah
negara adidaya, AS membutuhkan Filipina sebagai mitra kerjasama untuk
menyebarkan pengaruhnya di Asia Pasifik. Namun pada pemerintahan Duterte,
hubungan kedua negara akan terlihat sedikit berbeda. Hubungan dua negara yang
telah terjalin lebih dari 70 tahun ini seolah tidak menjadi masalah besar bagi Duterte
dalam pengambilan kebijakan luar negerinya.
Sejak awal terpilihnya Duterte sebagai Presiden Filipina pada pertengahan
2016, kebijakan luar negeri yang independen merupakan salah satu prioritasnya.
Duterte mengkhawatirkan campur tangan AS di negaranya dapat menjadi ancaman
bagi kedaulatan Filipina jika dibiarkan lebih lama. Untuk itu, kebijakan luar negeri
yang independen diusung Duterte melalui pendekatannya dengan Rusia, China dan
88
Jepang. Selain itu, kritik Presiden Obama terhadap kebijakan terkait pemberantasan
narkoba Duterte di Filipina juga berpengaruh besar terhadap hubungan kedua
negara di tahun pertama Duterte menjabat sebagai presiden. Kritik AS terhadap
kebijakan war on drugs dipandang Duterte sebagai sebuah anggapan yang
berlebihan dan bukan hal yang perlu diperhatikannya. Pasalnya, setiap negara
memiliki hak untuk menentukan kebijakannya baik itu domestik maupun kebijakan
luar negeri. Sebagai dampak dari kebijakan domestik Duterte, AS membatalkan
pengiriman senjata sebanyak 26.000 unit dengan tipe M4 ke Filipina. Menurut
Senator Ben Cardin, penjualan senjata tersebut ke Filipina dapat memperburuk
keadaan domestik. Kecurigaan AS bermuara pada penggunaan senjata oleh
kepolisian Filipina sebagai alat untuk melancarkan operasi terkait kebijakan war on
drug yang dapat memperparah catatan pembunuhan terhadap pengguna narkoba di
Filipina.36 Meskipun begitu, salah satu Senator Filipina dari Partai Liberal, Ralph
Recto, menyampaikan bahwa pembantalan penjualan senjata oleh AS merupakan
salah satu bentuk gertakan kepada Filipina yang mulai mengubah arah kebijakan
luar negerinya terutama terkait kerja sama bilateralnya dengan rival AS yakni China
dan Rusia.37
Penulis juga melihat beberapa kemungkinan pengaruh kebijakan Filipina
terhadap hubungan kedua negara dalam bidang pertahanan. Yang pertama adalah
berakhirnya perjanjian EDCA pada tahun 2019. Perjanjian yang ditandatangani
antara Filipina-AS tahun 2014 tersebut akan berlangsung selama lima tahun yakni
hingga tahun 2019. Bagi Duterte, perjanjian yang didasari oleh permasalahan antara
China dan Filipina di LCS ini tidak lagi dibutuhkan karena upaya diplomasi yang
telah dilakukannya dengan China.38 Berakhirnya EDCA berarti berakhirnya upaya
36 Kompas, AS Tunda Penjualan 26.000 Pucuk Senjata ke Filipina, Duterte Berang, November
2011
(http://internasional.kompas.com/read/2016/11/03/19191281/as.tunda.penjualan.26.000.pucuk.senj
ata.ke.filipina.duterte.berang) diakses pada tanggal 27 November 2017 pukul 21.00 WIB. 37 CNN Indonesia, AS Batalkan Penjualan, Duterte Beli Senjata ke Rusia, November 2016
(https://www.cnnindonesia.com/internasional/20161102182205-106-169785/as-batalkan-
penjualan-duterte-beli-senjata-ke-rusia/) diakses pada tanggal 27 November 2017 pukul 21.30
WIB. 38 CNN Indonesia, Duterte Ingin Filipina Bebas Tentara Amerika dalam Dua Tahun, Oktober 2016
(https://www.cnnindonesia.com/internasional/20161026192040-134-168235/duterte-ingin-
89
kerja sama militer khususnya Angkatan Laut antara Filipina dan AS yang
beroperasi di wilayah Laut China Selatan. Di satu sisi, Filipina akan lebih aman
karena terbebas dari keberadaan militer asing di wilayahnya. Selain itu, Filipina
juga bisa dengan leluasa memilih rekan kerja sama di bidang militer tanpa khawatir
akan adanya ancaman dari pihak lain. Karena dalam EDCA, pasukan AS memiliki
akses untuk menggunakan fasilitas militer bahkan wilayah Filipina sebagai bagian
dari upaya pertahanan sehingga tidak memungkinkan adanya bentuk kerja sama
militer dengan negara lain khususnya dalam bentuk pelatihan gabungan atau
gabungan militer.
Pengaruh kedua dalam bidang militer adalah berkurangnya transfer senjata
AS ke Filipina. Nampaknya, Filipina telah menemukan rekan baru dalam hal
transfer dan pembelian senjata. Hingga tahun 2016, pengiriman pesawat tempur
seperti F-16 yang ditawarkan AS misalnya, terlalu berlebihan bagi Filipina karena
dua alasan. Alasan pertama, Filipina tidak membutuhkan jet “sebesar” itu karena
tidak memiliki musuh eksternal dan alasan kedua adalah harganya yang mahal. Apa
yang dibutuhkan Filipina adalah pesawat serang darat yang dapat digunakan untuk
melumpuhkan teroris di wilayah hutan, dan yang cocok untuk peran tersebut adalah
pesawat Su-25 (Frogfoot) atau Yak-130 milik Rusia.39 Jet tempur subsonik ini
dibandrol dengan harga US$ 15 juta per unit dibandingkan harga F-16 dengan harga
US$ 87 juta per unit40, sehingga cukup terjangkau bagi negara dengan anggaran
militer yang terbatas. Pemerintahan Duterte nampaknya tidak ingin menyia-
nyiakan anggaran besar untuk sesuatu yang tidak sesuai kebutuhan. Kondisi alam
Filipina yang kurang lebih sama dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya,
menjadi keuntungan sendiri bagi kelompok teroris sehingga dibutuhkan peralatan
filipina-bebas-tentara-amerika-dalam-dua-tahun/) diakses pada tanggal 27 November 2017 pukul
22.15 WIB. 39 Jakarta Greater, Kenapa Filipina Beralih ke Persenjataan Rusia, Desember 2016
(https://jakartagreater.com/kenapa-filipina-beralih-ke-persenjataan-rusia/) diakses pada tanggal 28
November 2017 pukul 00.10 WIB. 40 Jakarta Greater, Harga F-16 Mahal, Pakistan Melirik Jet Tempur China, Mei 2016
(https://jakartagreater.com/harga-f-16-mahal-pakistan-melirik-jet-tempur-china/) diakses pada
tanggal 28 November 2017 pukul 00.10 WIB
90
yang memadai. Itu sebabnya Filipina lebih tertarik untuk membeli persenjataan dari
Rusia dibandingkan dari AS, tidak hanya terkait harga namun juga kegunaannya.
Selanjutnya, penulis melihat bagaimana pengaruh kebijakan luar negeri
Duterte terhadap hubungan bilateral Filipina-AS di masa depan. Dalam melihat
kelanjutan hubungan bilateral kedua negara, penulis membagi atas dua poin penting
terkait kebijakan Duterte. Pertama, kebijakan yang dilontarkan Duterte bisa saja
menjadi sebuah gertakan bagi AS melalui kerja sama Filipina dengan Rusia dan
China sehingga mendorong AS untuk meningkatkan bargaining position dengan
Filipina. Kedua, kebijakan luar negeri Duterte merupakan upaya untuk
“membersihkan” Filipina dari tentara asing sehingga mempermudah negara ini
untuk terikat kerja sama bilateral dengan negara lain, khususnya dalam bidang
militer. Dengan konsekuensi yang besar, tentu saja, yakni ketergantungan Filipina
terhadap teknologi militer dan bantuan luar negeri AS, dan ketergantungan AS
terhadap sumber daya dan pengaruh politiknya di kawasan Asia Tenggara dan
bahkan Asia Pasifik.
Pengaruh yang terakhir adalah di bidang ekonomi. Kebijakan Duterte yang
menegaskan “pemisahan” dengan AS akan berpengaruh pada hal pergerakan tenaga
kerja dan perdagangan. Remittances dari AS sangat penting bagi ekonomi Filipina,
dan menyumbang sekitar 9.8% PDB pada tahun 2015. Hal ini karena ada lebih dari
3.5 juta penduduk Filipina menetap di AS.41 Hingga tahun 2016, total remittances
atau pengiriman uang dari AS ke Filipina mencapai 463.20 miliar Peso Filipina atau
sekitar US$ 9.1 miliar.42 Kebijakan ekonomi Filipina yang mendorong kedekatan
dengan China dapat mendorong penurunan ketersediaan tenaga kerja Filipina di
AS.
41 World Population Review, Philippines Population 2017
(http://worldpopulationreview.com/countries/philippines-population/) diakses pada tanggal 28
November 2017 pukul 09.00 WIB. 42 GMA News Online (http://www.gmanetwork.com/news/money/content/500918/infographic-
where-26-92b-of-ofw-remittances-come-from/story/) diakses pada tanggal 28 November 2017
pukul 09.22 WIB.
91
Selain akan berpengaruh pada remittances dan pergerakan tenaga kerja,
kebijakan luar negeri Duterte juga dapat mengakibatkan penurunan pada sektor
Business Outsource Process atau BPO yang adalah kegiatan untuk mengalihkan
sebagian proses bisnis kepada pihak ketiga. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
resiko pada perusahaan. BPO memberikan akses kepada para pelaku bisnis untuk
membagi bidang-bidang penting dalam perusahaannya kepada pelaksana/pelaku
BPO. Departemen Perdagangan dan Industri Filipina sendiri mendefinisikan BPO
sebagai delegasi bisnis dengan tipe layanan yang diproses ke penyedia layanan
ketiga. Industri ini umumnya terbagi dalam sektor berikut: Contact Center, back
office services, transkrip data, animasi, pengembangan perangkat lunak,
pengembangan teknik dan pengembangan game.43 Di Filipina, BPO menjadi salah
satu industri yang banyak menyerap tenaga kerja. Perkembangan industri ini di
Filipina dalam satu dekade terakhir dengan perkiraan dapat menambah hingga
100.000 lapangan kerja pertahun dengan pendapatan mencapai US$ 38.9 miliar
pada tahun 2020. Beberapa konsultan juga mengatakan bahwa industri ini dapat
menembus US$ 48 miliar dalam waktu empat tahun kedepan dan sekitar US$ 23
miliar berasal dari layanan perusahaan-perusahaan AS.44
Kebijakan luar negeri Duterte nampaknya akan membawa perubahan pada
industri BPO di Filipna. Hingga tahun 2016, AS menyumbang sekitar 73% dari
pendapatan industri BPO dengan nilai sekitar US$ 25 miliar. Deklarasi darurat
militer di Mindanao juga membawa kekhawatiran bagi pelaku industri BPO untuk
mendirikan kantor mereka di Filipina. Selain itu, Duterte berniat untuk menaikkan
pajak pada investasi di sektor BPO hingga 15%.45 Selain itu, kebijakan Duterte juga
dapat berpengaruh pada pembatasan masuknya warga AS ke Filipina tanpa visa.
43 ASEAN Briefing, Business Process Outsourcing in the Philippines, April 2017
(https://www.aseanbriefing.com/news/2017/04/17/business-process-outsourcing-philippines.html)
diakses pada tanggl 28 November 2017 pukul 09.50 WIB. 44 Bangka Tribun, Perusahaan ‘Outsourcing’ di Filipina Hadapi Ketidakpastian Gara-gara Trump,
Desember 2016 (http://bangka.tribunnews.com/2016/12/09/perusahaan-outsourcing-di-filipina-
hadapi-ketidakpastian-gara-gara-trump) diakses pada tanggal 28 November 2017 pukul 09.30
WIB. 45 Philippines Statistics Authority (https://psa.gov.ph/tags/bpo) diakses pada tanggal 29 November
2017 pukul 10.00 WIB.
92
Aturan ketat mengenai pergerakan masyarakat AS ke Filipina merupakan hal yang
mungkin saja terjadi, diikuti oleh beberapa perubahan dalam akses terhadap sumber
daya, kredit pajak dan tarif khusus preferensial pada industri yang dikendalikan
oleh orang Amerika.46
Dampak ekonomi AS kemungkinan besar akan minimal dalam jangka
panjang, dibandingkan dampaknya kepada Filpina. Namun, seperti yang disebutkan
sebelumnya, bisnis AS telah banyak berinvestasi di BPO Filipina dan juga sektor
ekonomi lainnya. Perubahan untuk mengakses sumber daya, kredit pajak dan tarif
khusus preferensial pada industri yang dikendalikan Filipina akan menjadi ancaman
bagi AS. Pada era globalisasi ini, negara-negara gencar memberi pengaruh melalui
kebijakan ekonominya terlebih untuk memfasilitasi kebijakan negara lain, terutama
dalam jangka panjang. Penyelarasan kembali hubungan Filipina-China merupakan
sebuah pukulan bagi AS karena Filipina telah menjadi tonggak utama AS di Asia
Tenggara dan Asia Pasifik. Selain itu, akan sulit untuk menghindarkan pengaruh
China di Filipina setelah tekad kedua negara untuk merekatkan hubungan bilateral
pasca sengketa Laut China Selatan. Bagaimanapun, kebijakan luar negeri Duterte
yang berusaha menarik diri dari AS merupakan sebuah ancaman besar bagi kedua
negara, Filipina dan AS, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek dalam
berbagai sektor.
Meskipun baru menapaki tahun ketiga, pemerintahan Duterte sudah
memunculkan perubahan terhadap arah kebijakan luar negeri Filipina. Hubungan
bilateral antara Filipina dan Amerika Serikat tentu saja tidak dapat dengan mudah
berakhir begitu saja. Namun Duterte, pada pemerintahannya berusaha mengurangi
ketergantungan Filipina terhadap Amerika Serikat. Untuk mencapai hal tersebut,
Duterte menjalin kerja sama bilateral dengan berbagai negara lainnya. Filipina
berusaha memenuhi kebutuhannya – yang sebelumnya diperoleh dari AS – melalui
kerja samanya dengan Jepang, China, maupun Rusia. Perubahan arah kebijakan
46 Philstar, BPO Sector at Risk, September 2017
(http://www.philstar.com/business/2017/09/21/1741033/bpo-sector-risk) diakses pada tanggal 28
November 2017 pukul 10.00 WIB.
93
luar negeri Filipina pada pemerintahan Duterte tentu saja akan berpengaruh pada
keadaan domestik. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, berbagai pengaruh
dari kebijakan Duterte dapat terjadi dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam jangka pendek, dampaknya akan lebih dirasakan Filipina terutama dalam
bidang militer dan ekonomi, maupun dampak bagi AS dalam bidang ekonomi
terkait investasi BPO di Filipina. Namun jika dilihat dalam jangka panjang, kedua
negara akan menghadapi tantangan masing-masing. Bagi Filipina, berkurangnya
pengaruh AS akan berdampak pada ketergantungan jangka panjang negara tersebut
pada bantuan militer AS.
Bagi penulis, berbagai kebijakan luar negeri yang dicetuskan Duterte
bertujuan untuk menjamin kepentingan nasional Filipina. Namun berbagai
pernyataan Duterte mengenai keinginannya untuk memisahkan diri dari AS tidak
dapat diartikan secara harafiah. Dalam hal ini, Duterte berusaha mengurangi
pengaruh AS dari negaranya dimulai dengan berbagai kebijakan luar negeri yang
mendorong kerja sama dengan negara-negara super power lainnya seperti China
dan Rusia. Namun tidak berarti kerja sama kedua negara berakhir. Setiap negara
tentu saja memiliki kedaulatan untuk menjalankan kebijakan dalam maupun luar
negerinya, disesuaikan dengan kebutuhan negara tersebut. Hal ini sejalan dengan
teori Rational Choice, di mana setiap aktor pengambil keputusan akan
mempertimbangkan hal-hal penting sebelum menetapkan kebijakannya. Sama
halnya yang dilakukan oleh Duterte, baik nilai-nilai yang membentuk keyakinan
Duterte, kendala dan alternatif kebijakan, serta manfaat dan konsekuensi dari
kebijakan tersebut. Selain faktor-faktor di atas, faktor pendorong lainnya yang
mengakibatkan perubahan pada arah kebijakan Filipina di bawah pemerintahan
Duterte adalah sikap AS yang sering memberikan respon negatif terhadap kebijakan
dalam negeri Filipina. Salah satu contohnya adalah respon Presiden Obama
terhadap kebijakan war on drugs Presiden Duterte pada tahun 2016. Sehingga
dalam kasus ini, kebijakan luar negeri Duterte untuk meminimalisir pengaruh AS
di Filipina merupakan bentuk untuk menjaga kedaulatan negara tersebut.