Upload
ledan
View
237
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
247
BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN
Bab Lima merupakan deskripsi bentuk identitas kebalian
komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Sebuah (bentuk) identitas kebalian
yang kompleks, tidak kaku (monoton) dan terbatas bahwa komunitas ini
adalah orang Bali dan Hindu. Tidak pula terbatas pada seremoni atau
upacara-upacara besar yang menunjukkan eksistensi mereka seperti sebuah
negara teater Kampung Bali. Ada sistem sosial di dalamnya yang
memfungsikan identitas kebalian mereka – sebuah sistem sosial yang sama
kompleksnya dengan identitas itu sendiri sebagai sebuah kesatuan. Picard
(1997, 1999, 2005, 2008) menyebutkan identitas kebalian sebagai
kebudayaan Bali yang merupakan gabungan dari elemen-elemen penting
kebudayaan Bali seperti kepercayaan, adat istiadat (tradisi) dan kesenian.
Sistem Sosial - Kemasyarakatan Komunitas Bali Nusa
Ciri khas komunitas Bali Nusa di Balinuraga – yang secara umum
menjadi ciri khas transmigran Bali – adalah keterikatan sosialnya dengan
tanah kelahiran atau tanah leluhur. Ikatan sosial ini yang kemudian
menjadi ciri khas atau pengidentifikasian diri mereka sebagai Bali Hindu –
tetap menjadi Bali Hindu – meskipun sudah berada di luar Bali. Seperti
yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa sistem sosial ini
diadaptasi oleh para transmigran agar mereka tetap identik (sama) seperti
yang ada di tempat kelahirannya Nusa Penida, Bali. Bagi mereka menjadi
Bali setelah berada di Lampung bukan hanya karena mereka berasal dari
Bali, tetapi yang terpenting adalah bagaimana sistem sosial yang di
dalamnya terdapat nilai-nilai kultural-keagamaan (Bali Hindu) tetap
berjalan dan berlaku seperti di tempat asal dengan melakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan tempat yang baru (Lampung).
Keseluruhan sistem sosial ini – yang di dalamnya terdapat sistem adat dan
keagamaan, sistem kekerabatan dan kemasyarakatan, sistem pertanian dan
lain-lain – adalah dasar dari kebalian mereka, sekaligus menjadi Lampung
(bagian dari masyarakat Lampung). Mereka berpendapat dan berkeyakinan
bahwa mereka menjadi Bali (Bali Hindu) setelah berada di Lampung
ketika sistem sosial yang ada di tempat asal tetap dijalankan sebagaimana
mestinya (dengan melakukan beberapa penyesuaian-penyesuaian
248
berdasarkan konsep kala dan patra) melalui ritual dan upacara adat-
keagamaan layaknya di Bali secara eksklusif di dalam komunitasnya
(Kampung Bali); dan menjadi Lampung dalam proses interaksi dan
relasinya (hubungan sosial) dengan komunitas lain dalam masyarakat
Lampung yang majemuk, baik hubungan personal dan kelompok
(horisontal) maupun hubungan dengan instansi pemerintahan (vertikal).
Dengan kata lain, sistem sosial layaknya di Bali ini yang menjadikan
landasan identitas mereka sebagai “Bali Hindu” yang ada di Lampung.
Untuk menguraikan sistem sosial komunitas Bali Nusa di Desa
Balinuraga ini, maka pembahasannya akan dipilah-pilah menjadi beberapa
bagian, meskipun berada dalam sebuah sistem sosial di komunitas ini.
Sistem sosial ini adalah sistem yang kurang lebih sama dengan yang ada di
tanah kelahiran mereka, khususnya di Nusa Penida, Bali. Ada pun yang
menjadi bagian atau elemen-elemen dari sistem sosial yang turut mereka
adaptasi di Desa Balinuraga, Lampung Selatan, yang menjadi identitas
mereka sebagai Bali Hindu di Lampung adalah sistem adat dan keagamaan
dalam bentuk kewajiban-kewajiban terhadap pura tertentu (kahyangan
tiga, kawitan, dadia), banjar, krama subak, status sosial dalam sistem
warga (sistem kekerabatan dalam satu identitas leluhur), perkumpulan dan
keanggotaan seka (baca: seke, sebutan lain sekeha-sekeha) tertentu, dan
komunitas adat (banjar, desa adat / desa pakraman)224
. Berdasarkan
elemen-elemen tersebut, yang dalam adaptasinya dilakukan proses
penyesuaian berdasarkan konteks masyarakat Lampung yang majemuk,
maka menjadikan komunitas ini sebagai sebuah komunitas yang memiliki
ikatan sosial yang kuat ke dalam komunitasnya (melalui komunitas
Kampung Bali yang eksklusif, bonding) tapi juga sebagai sebuah
komunitas yang memiliki ikatan sosial yang kuat ke luar komunitasnya
(bridging, atau bonding dalam ruang identitas yang lebih besar, yaitu
ikatan sosial sebagai masyarakat Lampung).
224
Sebagai perbandingan dapat lihat Geertz (1959) “From and Variation in Bali
Village Structure”, dalam American Antropoligist Vol. 61. Pp.991-1012, segi-segi
kehidupan sosial apa saja yang mengikat masyarakat Bali dalam sistem sosialnya.
249
Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kawitan
Sebuah pertanyaan penting guna memastikan eksistensi komunitas
Bali Nusa di Desa Balinuraga adalah apa (wujud fisik pura tertentu) yang
melegalkan bahwa komunitas ini atau Desa Balinuraga merupakan sebuah
komunitas adat-keagamaan Bali Hindu yang ada di Lampung Selatan?
Cukup mudah untuk memastikan dan membuktikan bahwa desa ini
merupakan sebuah desa Bali Hindu yang ada di luar Bali, yaitu dengan
melihat wujud fisik Pura Kahyangan Tiga: Pura Desa (Pura Bale Agung),
Pura Puseh (sebutan lain: Pura Segara), dan Pura Dalem. Keberadaan Pura
Kahyangan Tiga ini, yang sejak di tahun-tahun awal mereka
bertransmigrasi sudah mulai dibangun dalam bentuk yang sangat
sederhana, merupakan elemen penting yang menyatukan komunitas
transmigran Bali Nusa dalam satu komunitas adat-keagamaan yang
nantinya bernama Desa Balinuraga. Dengan kata lain, eksistensi identitas
mereka sebagai sebuah desa atau komunitas Bali Nusa (Bali Hindu) yang
mengikat komunitas ini secara adat dan keagamaan dapat dilihat
keberadaan Pura Kahyangan Tiga.
Fungsi utama dari keberadaan Pura Kahyangan Tiga ini adalah
sebagai pemersatu anggota komunitas Desa Balinuraga yang
terfragmentasi ke dalam tujuh banjar (dusun) dengan komposisi warga-
warga tertentu dan sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa)225
. Meskipun Pura Kahyangan Tiga ini berfungsi
sebagai pemersatu dari warga-warga yang tersebar di tujuh banjar, namun
ada sebuah kasus menarik yang harus dipaparkan oleh penulis bahwa
pertentangan antar warga yang telah dibahas sebelumnya di Bab Lima juga
dimanifestasikan dalam salah satu Pura Kahyangan Tiga ini, yaitu adanya
dua Pura Puseh (tercakup di dalamnya Pura Penataran Bale Agung). Sejak
wafatnya Sri Mpu Suci sebagai patron utama sebagai pemersatu warga-
warga, kelompok warga yang bertentangan dengan kelompok warga yang
lain berusaha untuk membuat Pura Puseh tersendiri sebagai manifestasi
225
Fungsi lain dari Pura Kahyangan Tiga adalah mengendalikan tiga dasar sifat
dan bakat manusia yang dalam ajaran agama Hindu disebut Tri Guna (Wiana
2007), yaitu (1) Sattwam: dasar terbentuknya sifat-sifat baik, tenang, suci,
pengasih dan penyayang; (2) Rajas:dasar terbentuknya sifat-sifat aktif bergerak
energik; (3) dan Tamas: dasar terbentuknya sifat-sifat lamban, gelap dan malas.
250
Dewa Wisnu (Dewa Pelindung) bagi komunitas (banjar) warga tersebut.
Seolah-olah salah satu kelompok warga tersebut tidak mau memiliki satu
Pura Puseh, atau ingin memiliki Dewa Pelindung atau Pura Puseh sendiri
bagi komunitas warga-nya. Namun, Pura Desa (Pura Bale Agung) dan
Pura Dalem tetap satu dalam Desa Balinuraga. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila di dalam catatan statistik Kecamatan Way Panji tahun
2009 tercatat ada empat buah tempat peribadatan atau pura (seharusnya
ada tiga pura / Kahyangan Tiga) di Desa Balinuraga226
. Realitas
pertentangan warga yang turut dimanifestasikan dalam salah satu Pura
Kahyangan Tiga ini sebenarnya adalah sebuah dinamika dalam komunitas
Bali Nusa di mana setiap kelompok warga memiliki ego tersendiri untuk
menunjukkan status siapa tertinggi. Para tokoh atau sepuh sebenarnya
menyayangkan kejadian seperti ini, mengapa pertentangan antar warga
yang sebenarnya diwakili oleh para elit warga tertentu sampai melibatkan
umat. Dalam arti pertentangan elit warga sampai melibatkan dan
membawa umat pada tempat peribadatan (Pura Puseh dan Pura Desa) yang
berbeda, di mana sebelumnya (sebelum Sri Mpu Suci wafat) mereka tetap
beribadat dalam pura yang sama. Muncul kesan dan terkesan ingin
mengkotak-kotakan dan memertajamkan perbedaan tersebut atas identitas
warga (leluhur), khususnya Warga Pandé dan Warga Pasek, di mana
Warga Arya berada di pihak yang netral. Oleh karenanya, keberfungsian
Pura Kahyangan Tiga sebagai pemersatu komunitas Bali Nusa tetap
berjalan sebagaimana mestinya, meskipun ada perpecahan. Hal ini
disebabkan mereka masih memiliki satu Pura Desa dan Pura Dalem
bersama-sama, misalnya, dalam upacara Ngaben semua warga
menggunakan Pura Dalem yang sama. Dalam kasus tertentu (upacara
keagamaan Hindu Dharma) PHDI sebagai wadah umat Hindu Dharma
menjalankan fungsinya sebagai penengah, yaitu memutuskan pura mana
(Pura Desa) yang akan dijadikan tempat upacara bagi umat Hindu Dharma
di Desa Balinuraga, karena PHDI sendiri tidak mau ikut campur mengenai
urusan adat, tapi menekankan pada kepentingan umat Hindu Dharma. Bagi
PHDI keutuhan dan kesolidan umat Hindu Dharma di Balinuraga lebih
226
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Selatan (2009), Kecamatan Way
Panji Dalam Angka Tahun 2008-2009.
251
penting, dan mencegah agar pertentangan adat (warga) tidak merembet ke
persoalan umat. Di samping itu, untuk ibadah yang bersifat harian mereka
memiliki Pura Keluarga (Rong Telu) sebagai Pura Kahyangan Tiga di
level keluarga inti. Realitas yang tidak dapat dihindari dari pertentangan
warga ini terhadap bangunan Pura Kahyangan Tiga adalah warga-warga
lebih condong (memprioritaskan) renovasi Pura Kawitan warga-nya
daripada Pura Kahyangan Tiga milik desa mereka, karena persaingan
eksistensi identitas warga mana yang lebih unggul lebih mudah untuk
dimanifestasikan – Pura Kahyangan Tiga merupakan milik Desa
Balinuraga atau semua kelompok warga-warga, sedangkan Pura Kawitan
adalah milik satu kelompok warga tertentu.
252
Gambar 20. Pura Desa dan Pura Puseh I
(Atas: Pura Desa dan Puseh tampak depan; Bawah: pintu / gapura depan Pura
Desa dan Puseh)
(Sumber: Yulianto, 2010)
253
Gambar 21. Pura Desa dan Pura Puseh II
(Atas: bagian dalam Pura; bawah: Pura tampak depan menyerong ke kanan)
(Sumber: Yulianto, 2010)
254
Gambar 22. Pura Dalem
(Atas: bagian dalam Pura diambil dari sisi kiri tembok Pura; bawah: bagian depan
Pura)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Jika Pura Kahyangan Tiga merupakan pura bersama bagi warga-
warga di Desa Balinuraga, maka pada level di bawahnya (banjar atau
dusun yang mewakili identitas warga tertentu) mereka memilki Pura
Kawitan untuk warga-nya yang saat ini sudah membaur di berbagai
banjar. Artinya, dalam contoh kasus di Balinuraga, Warga Pandé dan
Warga Pasek memilki Pura Kawitan-nya sendiri (Pura Kawitan Warga
Pandé dan Pura Kawitan Warga Pasek); berbeda dengan Pura Kahyangan
Tiga yang mana digunakan oleh warga-warga. Pura Kawitan Warga
(dadia) ini berfungsi sebagai tempat suci (pura) untuk memuja roh suci
255
leluhur sebagai Sang Hyang Atma, dan sebagai pemersatu anggota-
anggota komunitas Desa Balinuraga yang tersebar di berbagai banjar
berdasarkan identitas warga-nya atau identitas leluhurnya (pada satu
leluhur pembentuk klan atau warga tersebut). Oleh karena itu, dalam
kasus-kasus tertentu penyelenggaraan upacara atau ritual adat-keagamaan
terkadang tidak dilakukan bersama-sama dan dalam waktu yang bersamaan
karena setiap warga memiliki Pura Kawitan-nya sendiri. Tidak
mengherankan jika di Desa Balinuraga dalam rentang waktu tertentu dan
dalam ritual dan upacara adat-keagamaan tertentu dilaksanakan di tempat
yang berbeda dengan massa yang berbeda, tapi masih berada dan
merupakan masyarakat Desa Balinuraga; dan bagi orang awam yang
melihat penyelenggaraan ritual dan upacara tersebut akan menilai bahwa
ritual dan upacara adat-keagamaan sepertinya berlangsung terus menerus
dengan jeda waktu yang tidak terlalu lama.
Gambar 23. Pura Kawitan Warga
(Gapura depan memasuki bagian jero Pura)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Dasar atau acuan dari pembangunan Pura Kawitan Warga di Desa
Balinuraga adalah Pura Kawitan mereka di tanah kelahiran (sebelum
mereka bertransmigrasi), yaitu di Nusa Penida. Lebih spesifiknya adalah
dalam wilayah adat atau banjar di Nusa Penida, namun tetap dalam satu
identitas leluhur (warga) yang sama. Pura Kawitan ini merupakan ikatan
256
sosial atas identitas leluhur dan tempat asal yang tidak dapat mereka
lepaskan meskipun mereka sudah berada di Lampung Selatan. Mereka
harus dan memiliki kewajiban adat-keagamaan terhadap Pura Kawitan
meskipun sudah berada di Lampung. Jati diri dan identitasnya sebagai Bali
Hindu ada di dalam Pura Kawitan tersebut. Dalam perkembangannya,
khususnya setelah beberapa anggota komunitas Desa Balinuraga merantau
ke luar Desa Balinuraga (beralih dari pertanian ke perkebunan), seperti ke
Lampung Timur (Tulang Bawang) dan Sumatera Selatan (daerah
perbatasan Lampung Timur dan Sumatera Selatan), Pura Kawitan di
Balinuraga tetap dijadikan sebagai tempat untuk melaksanakan kewajiban
adat-keagamaannya. Istilah orang Balinuraga yang sudah merantau (masih
di dalam pulau Sumatera) adalah pulang kampung ke Balinuraga ketika
ada upacara dan ritual adat-keagamaan penting yang diselenggarakan di
Pura Kawitan di Balinuraga berdasarkan identitas warga-nya sendiri. Bagi
mereka yang merantau, maka pulang kampung untuk melaksanakan
kewajiban adat-keagamaan sebanyak dua kali: ke Balinuraga, Lampung
Selatan dan Nusa Penida, Bali. Contoh kasusnya, dalam upacara penting
seperti Ngaben, anggota warga atau keluarga besar dari anggota keluarga
warga tertentu pasti akan datang ke Balinuraga untuk menghadiri upacara
tersebut. Bagi mereka tidak ada alasan untuk tidak menghadiri upacara
tersebut, karena ini merupakan acara yang bersifat sakral bagi mereka,
selain sebagai forum silatuhrami (medharma suaka). Oleh karena itu, akar
kesolidan (kekompakkan) etnis Bali di Lampung di level bawah (keluarga
besar warga), dalam kasus ini Bali Nusa di Balinuraga adalah keberadaan
Pura Kawitan. Di level desa adalah keberadaan Kahyangan Tiga, dan di
level provinsi (Bali Lampung) adalah keberadaan “Pura Besakih-nya
Lampung” atau “pura pemersatu” Bali Lampung yang berada di Way
Lunik (Bandar Lampung).
257
Gambar 24. Warga Banjar Bersembahyang di Pura Kawitan Warga saat
Upacara Galungan
(Atas: warga bersembahyang di bagian jero Pura; bawah: sulinggih memberikan
tirta kepada umat)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Kata “leluhur” (sebutan lain “leluhur”: “wit”) itu sendiri – terkait
dengan Pura Kawitan – yang dalam Bahasa Sansekerta disebut “pitr”
(pitra) – ibu dan bapak para leluhur yang sudah meninggal – memiliki dua
tipe, yaitu bapak, kakek, kumpi (buyut) ke atas, dan leluhur yang menjadi
asal dari seluruh umat manusia (Titib 2003). Pura kawitan yang berfungsi
sebagai tempat pemujuaan roh suci leluhur – seperti kasus Pura Kawitan
258
Warga di Balinuraga – didirikan oleh pihak keluarga inti, keluarga besar
sampai satu klan (satu warga). Karenanya, di dalam sebuah Pura Kawitan
Warga di Balinuraga, terdapat beberapa tipe pelinggih (bangunan suci)
sebagai tempat pemujaan leluhur (1-5), yaitu (1) sanggah atau merajan
sebagai tempat pemujaan leluhur level keluarga inti; (2) merajan kamulan
sebagai tempat pemujaan leluhur dengan level beberapa keluarga inti; (3)
merajan ibu pertiwi atau merajan Agung sebagai tempat pemujaan leluhur
sedikitnya sepuluh keluarga inti; (4) pura Ibu atau pura batur jika sudah
mencapai sedikitnya dua puluh keluarga inti; (5) pura dadia atau pura
panti jika sudah mencapai empat puluh keluarga inti; (6) pura padharman
sebagai tempat pemujaan leluhur untuk satu warga (satu klan) atau seluruh
keluarga besar yang berasal dari satu identitas warga. Keenam tipe ini
digolongkan sebagai Pura Kawitan227
.
Gambar 25. Bagian Dalam (jero) Pura Kawitan
(Sumber: Yulianto, 2009)
Banjar, Desa Adat, dan Seka
Konsep banjar yang digunakan di Balinuraga memiliki pengertian
dan fungsi yang sama seperti konsep banjar yang berlaku umum dalam
227
Untuk uraian singkat mengenai tingkatan atau level Pura Kawitan lihat: Ketut
Wiana (2007, hlm. 56-57) dalam “Tri Hita Karana menurut Konsep Hindu”,
Surabaya: Penerbit Paramita.
259
masyarakat Bali, yaitu sebagai kesatuan masyarakat adat. Hanya saja
banjar yang diadopsi oleh masyarakat Balinuraga adalah seperti banjar
yang ada di Nusa Penida. Seperti contoh banjar pertama yang menjadi
cikal bakal Desa Balinuraga, Banjar Pandéarga yang merupakan banjar
bagi Warga Pandé yang berasal dari Dusun (banjar) Soyor, Desa Tanglat,
yang ada di Nusa Penida. Saat ini Desa Balinuraga memiliki tujuh banjar,
yaitu Banjar Sumbersari, Jatirukun, Sukanadi, Sukamulya, Banjarsari,
Sidorahayu (baca: Siderahayu), dan Pandéarga. Umumnya setiap banjar
memilki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan banjar lain,
khususnya banjar yang didominasi keanggotaannya oleh kelompok warga
tertentu. Artinya, untuk saat ini anggota dari beberapa kelompok warga
sudah membaur, meskipun ada banjar-banjar tertentu yang didominasi
keanggotaannya oleh warga tertentu. Misalnya, untuk Banjar Pandéarga
keanggotaan di dalamnya terdapat juga anggota dari Warga Pasek dan
Arya, meskipun banjar ini tetap dengan ciri khasnya sebagai banjar-nya
Warga Pandé; begitu juga sebaliknya di Banjar Sidorahayu yang
didominasi oleh Warga Pasek. Selain kedua banjar ini yang kental dengan
identitas warga-nya dari kelompok warga tertentu, umumnya banjar-
banjar lain lebih moderat dan bersifat netral, terutama yang memilki
komposisi warga-nya berimbang (Pandé, Pasek, dan Arya).
Sama seperti di Bali pada umumnya, banjar di Balinuraga
merupakan kesatuan adat sekaligus keagamaan. Aktivitas adat dan
keagamaan sebenarnya lebih banyak di lakukan di level banjar daripada di
level desa. Jika ada hari raya keagamaan atau ritual adat-keagamaan
tertentu, pelaksanaannya terfokus pada setiap banjar. Ini disebabkan setiap
banjar memiliki karakteristik atau ciri khas tersendiri, khususnya tradisi
adat-keagamaan yang dilaksanakan oleh kelompok warga-warga. Artinya,
ritual dan upacara adat-keagamaan di Banjar Pandéarga (Warga Pandé)
berbeda dengan Banjar Sidorahayu (Warga Pasek), meskipun hari raya
atau jenis upacaranya sama. Terkadang anggota banjar yang warga-nya
berbeda bisa melakukan penyelenggaraan ritual dan upacara adat-
keagamaan-nya sendiri, atau bergabung dengan banjar lain di mana
menjadi basis warga tertentu. Hal ini cukup menarik karena dalam satu
hari raya tertentu prosesi ritual dan upacara adat-keagamaan dilakukan
dalam waktu yang tidak sama dan dengan cara yang berbeda berdasarkan
260
ciri khas dan karakteristik warga tertentu. Terkadang mereka memilih hari
yang lain, agar pelaksanaan ritual dan upacara adat-keagamaan tidak
berada di waktu yang sama. Sekaligus untuk menunjukkan eksistensi
identitas warga-nya bahwa mereka berbeda dengan warga lain dan
mempunyai keunikan tersendiri.
Untuk saat ini, yang membedakan banjar di Balinuraga dengan
banjar di Bali adalah banjar di Balinuraga tidak otonom secara
administratif. Artinya, secara administratif mereka merupakan bagian dari
Desa Dinas dengan kedudukan setara dengan Dusun. Awig-awig adatnya
bersifat informal (tidak tertulis), sanksinya tidak bersifat mengikat seperti
hukum legal (berupa sanksi sosial), dan hanya berlaku dalam banjar itu
sendiri. Karena itu, fungsi Desa Adat sebagai Desa Pakraman di
Balinuraga sebagai lembaga adat sekaligus keagamaan lebih banyak
dimainkan perannya oleh banjar-banjar sebagai komunitas adat-
keagamaan di level dusun. Otomatis ketika ketujuh banjar ini menjalankan
fungsinya sebagai lembaga adat-keagamaan, maka Desa Adat itu sudah
berjalan. Hal ini disebabkan karena Desa Adat di Balinuraga itu sendiri
merupakan gabungan dari ketujuh banjar. Ini yang menyebabkan awig-
awig untuk Desa Balinuraga sebagai “Desa Adat” belum rampung dan
masih terus menjadi perdebatan sampai sekarang, karena kesatuan adat-
keagamaan di setiap banjar sudah begitu kuat dan memiliki karakteristik
dan ciri khas tersendiri yang mewakili satu kelompok warga tertentu – dan
bagi mereka mungkin lebih baik tidak ada awig-awig Desa Adat daripada
menimbulkan perdebatan terus menerus. Setiap banjar memiliki awig-
awig-nya sendiri (tidak tertulis) berdasarkan kelompok warga tertentu, jika
dibuat awig-awig Desa Adat maka akan semakin mempertajam
pertentangan identitas warga pada setiap banjar. Tentu setiap elit warga
yang ada di banjar tertentu ingin mendominasi dalam pembuatan awig-
awig Desa Adat berdasarkan kepentingan atau dominasi warga-nya.
Selain itu, konsep “Desa Adat” Balinuraga menjadi satu dengan Desa
Administratif versi pemerintah yang mengakibatkan kerancuan. Bagi
mereka yang terpenting adalah komunitas adat-keagamaan di dalam
banjar, karena itu merupakan representasi “Desa Adat” Balinuraga dan
basis dari komunitas adat-keagamaan Bali Nusa di level desa.
261
Kehadiran tujuh banjar di Balinuraga memberikan satu dinamika
tersendiri dalam hubungan antar banjar, khususnya banjar yang
didominasi dan menjadi identitas dari kelompok warga yang memiliki
pengaruh dominan di Balinuraga: Pasek dan Pandé. Persaingan kedua
kelompok banjar dengan identitas warga-nya sangat tampak dalam setiap
aspek kehidupan sosial-kemasyarakatan mereka, terutama terkait dengan
adat-keagamaan. Misalnya, persaingan terkait banjar mana yang memiliki
kelompok seni (seka gong) dengan permainan gamelan dan pentas tarinya
yang paling menawan dengan cita rasa seni yang tinggi berdasarkan
konsep dan pemahaman mereka; banjar mana yang dapat
menyelenggarakan ritual adat-keagamaan yang paling mewah dan
bergengsi dengan massa yang besar; banjar mana yang memilki tim bola
voli, bulu tangkis atau sepak bola yang paling kuat; dan lain-lain. Mereka
menyebut persaingan ini, yang sebenarnya bukan terletak pada persaingan
antar banjar tapi lebih pada persaingan antar warga dalam memperebutkan
posisi yang dominan dan berpengaruh di Balinuraga. Patron atau
pemersatu banjar yang berbasiskan identitas warga adalah sulinggih.
Artinya, sulinggih mana yang pamor dan popularitasnya (kekuatan sekala
dan niskala) yang paling besar. Indikatornya adalah seberapa besar jumlah
tamu (dari berbagai kelompok etnis) atau pun pejabat penting yang
bertamu ke rumah sulinggih tersebut untuk berkonsultasi spiritual untuk
berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan asmara, bisnis, karir, atau
pun jabatan penting di pemerintahan daerah. Menariknya persaingan ini
dinilai oleh mereka bukan sebagai pemecah komunitas Bali Nusa di
Balinuraga. Justru melalui persaingan ini semakin meningkatkan
keterampilan kesenian (tari, gamelan, ukiran, lukisan, dan lain-lain) dan
perekonomian. Persaingan ini memacu mereka untuk lebih kreatif dan
inovatif dalam mengembangkan kesenian tradisional Bali, dan memotivasi
mereka untuk bekerja lebih agresif di bidang pertanian – di mana sebagian
dari mereka merantau ke daerah lain untuk membuka perkebunan karet dan
sawit yang hasil lebihnya bisa mereka donasikan untuk kemajuan
kelompok seni di banjarnya dan untuk keperluan penyelenggaraan ritual
adat-keagamaan penting. Akibatnya, pembangunan khususnya renovasi
Pura Kahyangan Tiga menjadi sedikit lebih terabaikan, karena adanya
gengsi kelompok banjar dengan identitas warga-nya.
262
Terlepas dari persaingan antar banjar, poin penting dari kehadiran
banjar ini adalah bagaimana banjar sebagai salah satu elemen dari sistem
sosial bagi komunitas Bali Nusa sebagai Bali Hindu menjadi wadah bagi
mereka agar eksistensi adat dan keagamaannya tetap bertahan dan lestari.
Hal ini disebabkan karena banjar sebagai kesatuan adat-keagamaan
menjadi jati diri mereka setelah berada di Lampung, di mana kewajiban
adat-keagamaan mereka laksanakan di dalam komunitas banjar. Ini yang
menyebabkan seberapa jauh mereka merantau ke luar Desa Balinuraga,
mereka akan berusaha datang ke desa atau banjar-nya jika ada ritual dan
upacara adat-keagamaan yang penting. Mereka tidak ingin kehilangan
keanggotaannya pada banjar tersebut, karena akan berdampak pada
eksistensi mereka sebagai Bali Hindu di Lampung. Begitu pula sebaliknya,
jika banjar asal mereka di Nusa Penida sedang melaksanakan ritual dan
upacara adat-keagamaan penting. Mereka sebisa mungkin menghadiri
kegiatan tersebut, dan mempersiapkan sejumlah dana dari jauh-jauh hari
agar bisa datang ke Nusa Penida. Karenanya, tidak mengherankan jika
mereka yang ekonominya mapan dan memiliki fisik yang masih prima
minimal satu tahun sekali pulang kampung ke Nusa Penida. Terutama
setelah hadirnya penerbangan Lampung-Jakarta-Bali, khususnya
Lampung-Jakarta, yang jumlah penerbangannya lebih banyak dan dengan
harga yang sangat terjangkau. Realitas ini menunjukkan bahwa sistem
sosial yang berasal dari tanah kelahiran mereka di Nusa Penida, Bali,
mengikat kuat dan melembaga dalam diri individu Bali Nusa yang ada di
Balinuraga. Seperti yang dijelaskan pada Bab Lima, bahwa mereka ingin
seidentik mungkin dengan sistem sosial-nya yang ada di Bali, sehingga
eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu tetap diakui meskipun
sudah berada di luar Bali, khususnya setelah perekonomiannya mereka
sudah mapan.
Di era reformasi, terutama setelah diterapkannya model
“pemilihan langsung” kepala daerah maupun anggota legislatif, banjar
baik langsung atau pun tidak langsung telah ikut terjun ke arena politik
praktis yang diwakili oleh elit-elit banjar. Semakin kompak dan
solid sebuah banjar dengan jumlah massa yang besar sebagai pemilih,
maka semakin banyak calon kepala daerah maupun calon legislatif yang
berkampanye di banjar tersebut, dan sebagai banjar pertama untuk
263
berkampanye. Model kampanye di Desa Balinuraga bukan berbasis desa,
tapi berbasiskan banjar atau dusun. Kekuatan kelompok masyarakat dan
massanya berkumpul pada setiap banjar. Karenanya, lebih mudah
menyatukan dan menggerakkan massa di level banjar daripada di level
desa. Para calon kepala daerah maupun anggota legislatif mengetahui
(sebelumnya sudah diberitahu oleh elit-elit setiap banjar) bahwa waktu
yang tepat untuk berkampanye adalah saat diselenggarakan upacara
penting pada hari raya tertentu, di mana massa berkumpul di setiap banjar-
nya tanpa dikomandoi oleh siapa pun. Massa yang berkumpul untuk
melaksanakan kewajiban adat dan keagamaannya justru dimanfaatkan oleh
para calon kepala daerah atau pun anggota legislatif sebagai ajang untuk
berkampanye. Tujuannya sangat jelas: penghematan biaya. Mereka tidak
perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk mengumpulkan massa, tapi setelah
kegiatan upacara dan kampanye selesai setiap calon cukup memberikan
sejumlah dana (bantuan) kepada pura dan banjar sebagai kas – alasan
klasiknya adalah untuk pembangunan dan renovasi pura. Sebagai catatan,
para calon kepala daerah dan legislatif yang berkampanye di level banjar
adalah mereka yang saat ini belum memiliki posisi di pemerintahan atau
pun di legislatif (non-imcumbent). Calon kepala daerah yang sedang
menjabat (incumbent) dan mencalonkan dirinya kembali sudah tentu
memanfaatkan posisinya untuk berkampanye pada saat upacara keagamaan
besar, di mana massa yang berkumpul adalah massa (umat Hindu Dharma)
setingkat kabupaten, seperti saat Upacara Melasti di Pantai Merak
Belantung (Maret 2010). Adalah sebuah kesalahan jika para calon berpikir
bahwa massa di setiap banjar adalah pemilih yang “penurut”. Umumnya
mereka sudah “melek” politik, karena seringnya para calon berkampanye
di banjar setiap kali akan digelar pemilihan langsung dengan janji-janji
yang hampir sama: “memperjuangkan dan menyuarakan eksistensi
identitas kebalian (Bali Hindu) di Lampung”. Para calon kepala daerah dan
legislatif yang umumnya berasal dari kalangan non-Bali tidak mengetahui
bahwa setiap banjar di Balinuraga sudah bermain politik praktis di level
banjar dan desa berdasarkan identitas warga-nya: sebuah pertarungan
politik antar warga yang berlangsung lebih dari empat dasawarsa (sejak
tahun 1970-an sampai sekarang). Setiap anggota banjar sudah tahu elit
warga-nya sendiri dan elit warga lain mana yang dapat dipercaya dan
264
tidak. Mereka pun tanpa segan-segan mengacuhkan elit warga dari banjar-
nya sendiri jika memang track-record-nya jelek di bidang politik,
khususnya yang sangat berambisius untuk berkuasa dan mencari uang
dengan “menjual” suara anggota banjar kepada calon tertentu untuk
kepentingan politiknya sendiri. Mereka sudah mengetahui bahwa elit di
banjar yang berambisi besar tidak layak dipercaya, dan dalam kasus
tertentu, jika elit tersebut mencalonkan diri pada jabatan strategis tertentu,
maka elit tersebut tidak dipilih (mendapatkan suara yang kecil).
Berdasarkan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan secara turun
temurun berdasarkan tradisi Bali Hindu, mereka umumnya mengetahui
calon mana yang pantas untuk dipilih, termasuk elit-nya sendiri, apakah
pantas dipercaya atau tidak (cara sederhana adalah dengan melihat pesona
wajah seseorang). Uniknya, setiap kali ada yang berkampanye di banjar
tertentu dalam Desa Balinuraga, setiap banjar berusaha memberikan yang
terbaik baik para calon yang berkampanye, meskipun waktu kampanye
sebenarnya dilakukan saat penyelenggaraan upacara dan ritual tertentu,
yaitu memberikan kata sambutan, memberikan tempat duduk yang khusus,
disuguhkan pentas kesenian Bali, makanan dan minuman bagi tamu, dan
lain-lain. Sebenarnya, ini bukan berarti mereka akan memilih calon
tersebut sebagaimana hangatnya sambutan yang diberikan oleh banjar –
dan ini sering disalah-tafsirkan oleh para calon dengan menganggap bahwa
mereka akan secara aklamasi mendapatkan dukungan penuh dari anggota
banjar – tetapi ini merupakan manifestasi dari pertarungan politik atau
perang dingin antar banjar yang menjadi perwakilan dari identitas warga
tertentu. Banjar tidak mau memusingkan dirinya dengan janji atau pun
jumlah donasi yang diberikan para calon untuk kas pura dan banjar, tapi
bagaimana mereka bisa menunjukkan harga diri banjar-nya sebagai banjar
dengan identitas warga tertentu, bahwa mereka memiliki prestise yang
tinggi, yaitu dengan memberikan sambutan yang hangat, menyuguhkan
pentas kesenian Bali, memberikan posisi dan tempat duduk yang baik,
menyajikan makanan dan minuman bagi calon sebagai tamu, dan lain-lain.
265
Gambar 26. Calon Kepala Daerah Berkampanye di Banjar di dalam Pura
Kawitan Warga
(Calon Kepala Daerah Ditampilkan Tari Barong)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Setiap banjar memilki sebuah bale banjar sendiri, termasuk seka-
seka dan krama subak228
, serta pemimpin adatnya (klian banjar). Bale
banjar merupakan tempat di mana seluruh anggota banjar berkumpul
secara rutin dalam periode waktu tertentu untuk membahas berbagai
permasalahan sosial-keagamaan. Di dalam bale banjar terdapat lumbung
(jineng) bagi krama subak yang ada di setiap banjar – saat sekarang setiap
petani yang sudah mapan memiliki lumbung dan penggilingan padi sendiri.
Di Balinuraga setiap banjar memiliki kelompok kesenian (seka gong) dan
krama subak berdasarkan banjar-nya masing-masing, termasuk kelompok
olahraga seperti bulu tangkis, bola voli, dan sepak bola. Secara
organisasional seka ini berada di bawah otoritas banjar. Seka (baca: seke),
sebutan lainnya sekeha-sekeha, menggunakan definisi Geertz (1977)
merupakan: suatu kelompok sosial, dibentuk berdasarkan kriteria yang
tunggal dan eksklusif, kriteria keanggotaan, dan dicurahkan untuk mencapi
tujuan sosial yang tertentu dan biasanya agak khusus, misalnya
228
Krama diartikan sebagai masyarakat atau anggota masyarakat adat. “Krama
Subak” berarti (dalam artian umum) anggota masyarakat adat untuk organisasi
Subak. “Krama” ini menjadi kata dasar dari Desa “Pa-krama-an” sebagai
persamaan dari Desa Adat.
266
keagamaan, politik, ekonomi, atau apa saja. Dalam kasus yang sampai
saat ini masih terjadi, keberhasilan sebuah seka, khususnya seka gong,
dalam menampilkan pentas seni (gamelan dan tari Bali), maka akan
meningkatkan popularitas sebuah banjar, dan juga status sosial kekompok
warga tertentu identik dengan banjar tersebut. Seka gong adalah seka yang
paling tua di Balinuraga, dan sampai sekarang masih eksis. Seka gong
tertua dimiliki oleh Banjar Pandéarga sebagai banjar pertama yang
menjadi cikal bakal Desa Balinuraga. Popularitasnya menjadikan seka
gong ini kerap mengisi pentas kesenian Bali untuk komunitas Bali di luar
Desa Balinuraga, baik yang ada di Lampung Selatan maupun yang ada di
Sumatera Selatan, dan untuk mengisi acara formal di pemerintahan daerah.
Saingannya adalah seka gong milik Banjar Sidorahayu, yang dalam
kesempatan tertentu juga diminta untuk mengisi acara kesenian di berbagai
tempat atas permintaan dari berbagai kalangan tertentu. Biasanya honor
yang diterima dari seka gong ini akan digunakan untuk kepentingan
banjar, terutama untuk biaya renovasi dan uang kas Pura Kawitan. Selain
seka gong masih terdapat seka-seka lainnya, seperti seka tani (krama
subak) untuk koordinasi petani dalam satu banjar (dusun), seka untuk
kaum lansia (lanjut usia), seka untuk mempelajari keagamaan, seka untuk
cabang olahraga tertentu, dan lain-lain. Seka yang dulu pernah populer
adalah seka yang beranggotakan para pemuda yang bertugas melakukan
inspeksi dan penertiban babi-babi yang sering berkeliaran di jalan desa
terutama ketika pemilik sedang bertani. Babi-babi yang tertangkap ketika
berkeliaran di jalan desa akan ditangkap, kemudian akan ditahan oleh seka
tersebut. Lalu, pihak pemilik diwajibkan untuk menebus atau membayar
denda atas babinya jika ingin diambil kembali. Jika sampai waktu tertentu
babi tersebut belum ditebus oleh pemiliknya, maka babi akan dijual. Uang
denda dan penjualan babi digunakan oleh seka tersebut untuk membiayai
seka cabang olahraga tertentu, seperti bulu tangkis, voli, sepak bola, catur,
dan lain-lain. Seka lain yang lebih spesifik dan lebih eksklusif adalah seka
atau perkumpulan berdasarkan tingkatan keluarga dalam satu identitas
warga berdasarkan satu garis keturunan leluhur (wit), misalnya: seka dari
keluarga inti dan keluarga besar dari warga tertentu. Selain anggota
keluarga inti, keluarga besar, atau warga ini, seseorang tidak dapat
menjadi anggota dari seka ini. Tugas dan kewajiban utama dari seka atau
267
kelompok ini, sebuah tugas yang tidak dapat digantikan oleh siapa pun
kecuali anggotanya sendiri adalah memilihara dan menjaga Pura Kawitan,
serta menyelenggarakan peribadatan (bersembahyang) untuk setiap
merajan (keluarga inti), dadia (keluarga besar), yang ada di Pura Kawitan.
Seka jenis ini pembentukkan terjadi secara otomatis, tanpa melalui proses
perencanaan yang berbelit-belit. Mereka yang berasal dari orang tua yang
sama, kakek yang sama, buyut yang sama, leluhur yang sama, secara
otomatis memiliki seka-nya, karena setiap tingkatan dari seka tersebut,
khususnya di level orang tua atau keluarga inti, di mana tugas dan
kewajiban di dalam Pura Kawitan (dalam merajan) tidak dapat digantikan
oleh anggota keluarga inti yang lain, meskipun berasal dari kakek yang
sama. Di level satu garis leluhur tunggal (wit), keanggotaan seka adalah
seluruh anggota keluarga inti yang berasal dari satu identitas leluhur yang
sama, atau disebut warga, dengan tugas dan kewajiban yang sama di Pura
Kawitan. Seka jenis ini biasanya masih berada di dalam satu banjar
tertentu, atau menjadi bagian dari banjar yang mewakili satu identitas
warga tertentu. Jenis seka lain yang masih berada di dalam satu banjar,
terkadang menjadi identitas sebuah banjar (menjadi satu), adalah seka
yang dibentuk berdasarkan keanggotaan keluarganya ketika berada di Nusa
Penida dalam satu banjar tertentu, misalnya: seka untuk Warga Pandé
yang ada di Dusun Soyor di Nusa Penida.
268
Gambar 27. Salah Satu Bale Banjar
(Atas: tampak depan; bawah: gedung utama bale banjar)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Kembali ke seka sebagai sebuah salah satu sistem sosial dalam
masyarakat Bali, seka yang ada di Balinuraga merupakan adaptasi dari
seka yang ada di Nusa Penida. Mereka yang sebelum bertransmigrasi
merupakan anggota dari seka gong atau seka tani, seka-seka tersebut
mereka terapkan lagi setelah bertransmigrasi. Untuk kasus seka gong dan
seka tani, mereka yang membentuk seka ini adalah mereka yang dulunya
sewaktu di Nusa Penida telah menjadi anggota dari seka tersebut di dalam
269
banjar-nya – dalam perkembangannya keanggotannya menjadi terbuka
ketika ada transmigran Bali Nusa (baik Bali Nusa dari Nusa Penida atau
pun yang berasal dari Jembrana, Bali Utara) yang bertransmigrasi ke
wilayah Balinuraga dalam banjar tersebut dalam transmigrasi gelombang
kedua. Kemudian, untuk kasus seka gong, kehadiran seka ini berfungsi
sebagai kaderisasi bagi generasi berikutnya untuk mengembangkan dan
meneruskan kesenian Bali. Ini yang menyebabkan seka gong tetap eksis di
Balinuraga, dan menjadikan desa ini populer akan pentas keseniannya,
baik di kalangan komunitas Bali di luar Balinuraga maupun di kalangan
pemerintah daerah. Selain sebagai tradisi dalam masyarakat Bali, seka di
Balinuraga secara sosial berfungsi untuk mempererat solidaritas
anggotanya, khususnya anggota di dalam satu banjar. Umumnya setiap
anggota banjar mempunyai keanggotaan di seka tertentu, dan
keanggotaannya lebih dari satu seka dalam satu banjar. Mereka akan
merasa canggung jika tidak memiliki keanggotaan atau terlibat aktif dalam
seka tertentu. Ada sebuah prestise tersendiri, khususnya bagi anak muda di
Balinuraga dan orang tuanya (ada regenerasi dari orang tua ke anaknya
dalam keanggotaan dan keterampilan seni dalam seka gong), jika menjadi
anggota seka gong, terutama memiliki keahlian tertentu di dalam seka
gong tersebut, seperti terampil memainkan gamelen Bali dan mementaskan
salah satu varian tarian Bali – bagi pemuda ini merupakan nilai tambah
untuk memikat seorang gadis Bali, baik di Balinuraga atau pun di luar
Balinuraga jika sedang diundang pentas ke perkampungan Bali lain di luar
Balinuraga.
270
Gambar 28. Seka Gong sedang Mentas
(Di malam hari dalam rangkaian upacara pitra yadnya)
(Sumber: Yulianto, 2010)
271
Gambar 29. Anggota dan Logo Seka Gong
(sebelah kiri: persiapan mentas Tari Baris saat upacara puncak ngaben pribadi;
kanan: logo seka gong yang ada di seragam resmi)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Subak
Sistem subak yang ada di Balinuraga berbeda dengan yang ada di
Bali pada umumnya. Hal ini ini disebabkan sawah di Balinuraga tidak
272
menggunakan irigasi, atau sistem irigasi (subak)229
, melainkan
menggunakan sistem sawah tadah hujan. Sama seperti pola pertanian
mereka ketika di Balinuraga yang sangat mengandalkan air hujan, karena
sangat terbatasnya air tanah dan curah hujan di Nusa Penida. Dapat
dikatakan mereka sudah terbiasa dengan lahan pertanian yang
mengandalkan air dari curah hujan. Konsep yang digunakan dalam adopsi
sistem subak ini terletak pada krama subak yang keanggotannya
berdasarkan banjar tertentu, yaitu dengan membentuk seka tersendiri di
masing-masing banjar. Krama subak kurang lebih mirip seperti kelompok
tani, atau biasa disebut seka tani. Pembedanya adalah pada dalam proses
pertaniannya dilihatnya unsur-unsur adat-keagamaan Bali Hindu yang
menjadi ciri khas mereka. Keanggotaannya adalah anggota banjar yang
berprofesi sebagai petani (pemilik sawah). Jadi, tidak didasarkan pada
identitas warga yang ada di dalam banjar tersebut. Siapa pun bisa menjadi
anggota, asalkan berasal dari banjar atau anggota dusun tersebut.
Sama seperti banjar, krama subak ini memiliki kekompakkan
yang khusus sebagai kelompok tani Bali Nusa. Proses pertanian dimulai
dan diakhiri bersama-sama, mulai dari masa pembenihan bibit sampai pada
proses panen dan penjualan, dengan waktu yang hampir bersamaan dengan
krama subak di banjar lain. Proses ini yang membedakan pola pertanian
antara kelompok petani Bali Nusa dengan kelompok petani Jawa. Unsur
adat-keagamaan yang dimasukan dalam proses pertanian menjadikan
kegiatan bertani sebagai sebuah proses sakral, sekaligus terkesan ribet bagi
orang awam (petani Jawa). Penunjuk utama bahwa lahan pertanian (sawah)
itu adalah milik petani Bali (Bali Nusa) adalah keberadaan sebuah pura di
lahan pertanian – biasa disebut dengan “pura tani”– yang secara rutin
mereka sajikan bantenan (sesajen). Salah satu peraturan tidak tertulis
(semacam awig-awig) yang berlaku bagi krama subak adalah mereka tidak
diperkenankan menjual hasil panennya sesaat setelah panen selesai
dilaksanakan. Setelah masa panen mereka wajib melakukan upacara
pengucapan syukur, dan menyimpan hasil panennya di dalam lumbung.
229
Sebagai perbandingan bagaimana sistem subak di Bali terkait dengan sistem
irigasinya, lihat: Sutawan (2008), Organisasi dan Manajemen Subak di Bali,
Denpasar: Pustaka Bali Post.
273
Penjualan dilakukan setelah harga jual gabah atau beras tinggi (harganya
pas atau sesuai, tidak nombok), kecuali ada kasus-kasus tertentu seperti
padi puso akibat banjir dan serangan hama wereng. Acara puncak dari
proses pertanian yang biasanya diselenggarakan dalam sebuah ritual dan
upacara yang besar adalah ruwatan hasil panen, khususnya ketika panen
besar berhasil diraih oleh krama subak dari banjar tertentu. Terkadang
dalam waktu tertentu acara ini turut disponsori oleh perusahaan swasta
yang menjual produk bibit, pupuk, dan pembasmi hama, dan juga
pemerintah daerah. Ini bukan berarti ketika hasil panen tidak baik dan
tidak ada sponsor upacara ini tidak dilakukan. Upacara ini tetap dilakukan
secara sederhana oleh mereka secara swakarsa, meskipun panen tidak baik
dan tidak ada sponsor. Inti dari upacara ini adalah wujud pengucapan
syukur atas anugerah dari Sang Hyang Widhi. Mereka percaya bahwa
pengucapan syukur melalui upacara ini akan mendatangkan keberhasilan
pada penanaman berikutnya, meskipun misalnya terjadi panen yang tidak
baik. Kemudian, pendapatan dari uang penjualan hasil panen ini digunakan
oleh mereka untuk berbagai kebutuhan sehari-hari, pendidikan anak,
pembangunan dan renovasi pura keluarga, kawitan, kahyangan tiga,
penyelenggaraan upacara adat-keagamaan penting, dan kebutuhan
sekunder lainnya.
Jadi, ritual dan upacara adat-keagamaan merupakan sebuah
kewajiban bagi krama subak dalam menjalankan profesi mereka di bidang
pertanian. Mereka percaya dan meyakini bahwa kealpaan dari ritual dan
upacara ini akan berdampak pada sanksi niskala, entah hasil panen yang
lebih buruk di masa tanam berikutnya, maupun malapetaka yang menimpa
anggota keluarganya. Hal penting dari sistem subak yang diadopsi oleh
masyarakat Balinuraga pada setiap krama subak di banjar-nya adalah
sebagai wadah atau organisasi sosial serta organisasi yang bersifat adat-
keagamaan. Berikutnya, yang jauh lebih penting adalah sebagai pemersatu
komunitas banjar yang terdiri dari anggota kelompok warga-warga
sebagai petani Balinuraga. Tentu, akan menjadi kebanggaan tersendiri jika
krama subak dari banjar tertentu mendapatkan hasil panen yang lebih baik
dari krama subak di banjar lain.
274
Arti penting dari keberadaan seka tani atau krama subak yang
berada di bawah banjar adalah fungsinya sebagai lembaga adat, agama,
dan perekonomian (pertanian). Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Ketiga
fungsi ini menjadi satu kesatuan. Oleh karena itu, dalam setiap
pelaksanaan kegiatan pertanian (ekonomi) krama subak tidak dapat
melepaskan kegiatan pertanian tersebut dengan kegiatan adat dan agama.
Secara simbolis, eksistensi krama subak dapat dilihat dari berdirinya “Pura
Subak” atau “Pura Empelan” sebagai pemersatu krama subak dalam
teritori banjar tertentu. Keanggotaan krama subak atau seka tani ini tidak
hanya keanggotaannya sebagai petani tapi juga sebagai anggota adat dan
keagamaan. Karenanya, di level keluarga inti (petani pemilik lahan), setiap
petani memiliki pura tani di lahan pertaniannya. Upacara penting yang
melibatkan krama subak – terkait dengan kegiatan pertanian, adat, dan
keagamaan – biasanya diselenggarakan di Pura Subak. Bila upacara
tersebut merupakan upacara yang besar – seperti ruwatan hasil panen –
upacara diselenggarakan di bale banjar, setelah upacara inti
diselenggarakan di pura subak. Sistem pertanian tradisional ini (subak)
yang menjadi pembeda antara petani Bali (Bali Hindu) dengan petani
Jawa. Petani Bali – seperti di Balinuraga – tetap mempertahankan sistem
pertaniannya yang tradisional, di mana unsur adat dan agama menjadi satu
dengan kegiatan pertanian mereka.
Gambar 30. Pura Tani
(Pura Tani di lahan pertanian krama subak)
(Sumber: Yulianto, 2008)
275
Gambar 31. Pura Subak / Empelan
(Sumber: Yulianto, 2009)
Salah satu inovasi yang dilakukan oleh petani di Balinuraga
sebagai solusi mengatasi kekurangan air adalah dengan membangun sumur
bor. Ketika musim hujan berdurasi singkat, sedangkan lahan pertanian
mereka tadah hujan, maka kehadiran sumur bor ini akan sangat
mendukung para anggota krama subak. Umumnya setiap petani memilki
sumur bor sendiri. Saat ini tidak membutuhkan biaya yang besar untuk
membuat sumur bor. Dengan biaya tiga sampai lima juta (harga paling
murah) mereka sudah dapat membangun sumur bor di lahan
pertaniannya230
. Kendala dari kehadiran sumur bor tersebut yang mulai
dirasakan oleh petani Balinuraga adalah sumur tradisional di rumah debit
airnya mengalami penurunan yang cukup signifikan ketika kemarau tiba.
230
Dalam kasus tertentu, ada yang menghabiskan sampai puluhan juta rupiah
untuk membangun sumur bor, namun hasilnya tidak memuaskan. Ini dikarenakan
karena tanah pertaniannya tidak berada pada jalur air tanah yang memiliki debit
air yang besar.
276
Gambar 32. Sumur Bor Krama Subak
(Sumber: Yulianto, 2008)
Keberhasilan dari kelompok tani (krama subak) di Balinuraga
adalah menjadikan desa ini sebagai salah desa penghasil beras di
Kabupaten Lampung Selatan. Kesolidan dan kekompakkan krama subak
ini yang menjadikan mereka sebagai petani yang diidentikkan dengan
petani pekerja keras, tekun, ulet, dan agresif. Bagi mereka tanah dua hektar
serasa belum memiliki tanah, karena masih dapat mereka kelola sendiri
tanpa menggunakan jasa dari buruh tani. Memiliki tanah lebih dari dua
hektar – rata-rata puluhan hektar – baru dianggap memiliki tanah, karena
mereka sudah menggunakan buruh tani dan tidak menggarapnya sendiri.
Saat musim hujan mulai tiba dan masa pembenihan serta penanaman telah
dimulai, Desa Balinuraga seperti kampung kosong sejak dini hari. Hanya
sekawanan babi, ayam, dan anjing yang berkeliaran di jalan desa dan
pekarangan rumah. Desa mulai ramai kembali di waktu sore hari setelah
petani dan beberapa anggota keluarganya telah pulang dari sawah, dan di
malam hari diisi dengan kegiatan olahraga atau bermain musik dan berlatih
tari dalam seka gong.
Sistem Warga
Sebelum membahas sistem warga yang berlaku dalam komunitas
Bali Nusa di Desa Balinuraga, ada beberapa fakta yang harus dikemukakan
terlebih dahulu, yaitu (1) masyarakat Bali Nusa termasuk dalam golongan
jabawangsa, yaitu sebuah golongan atau kelompok masyarakat Bali yang
277
berada di luar lingkungan kerajaan (puri) atau triwangsa (brahmana,
kesatria, dan weysia). Sebutan lain dari golongan jabawangsa ini – yang
bagi sebagian besar anggota kelompok warga yang tidak dimasukkan ke
dalam golongan triwangsa di masa kolonial sebagai sebuah sebutan yang
merendahkan harkat dan martabat mereka – adalah sudrawangsa atau
orang sudra. Dengan kata lain, saat mereka masih berada di Nusa Penida
dan setelah berada di Lampung, mereka termasuk golongan jabawangsa.
Secara geografis pun keberadaan mereka di Nusa Penida jauh dari
lingkaran dan jangkauan kekuasaan puri, di mana puri atau kerajaan
terdekat adalah Klungkung. Di samping itu, sejarah di masa kerajaan di
mana pulau ini dijadikan sebagai tempat pengasingan atau pembuangan
bagi tahanan politik pihak kerajaan yang berkuasa, di mana yang menjadi
tahanan politik (sebagian besar) adalah orang-orang penting yang memiliki
kedudukan atau status sosial yang tinggi, dan orang-orang buangan karena
melakukan praktek ilmu hitam ketika berada di pulau induk, Bali. Mereka
yang diasingkan ke Nusa Penida secara otomatis status atau kedudukan
sosialnya menjadi hilang. Dengan kata lain, mereka menjadi kawula atau
rakyat jelata, yang biasa disebut sebagai orang jaba (orang luar); (2)
sebuah realitas bahwa golongan jabawangsa ini terdiri dari beberapa
kelompok warga yang berasal dari leluhur yang berbeda, di mana leluhur
tersebut menjadi pembentuk dari warga atau klan generasi-generasi
berikutnya. Menariknya adalah leluhur dari beberapa kelompok warga
tersebut, baik berdasarkan sejarahnya atau pun berdasarkan versi elit-elit
warga tersebut, merupakan seseorang yang memiliki peran penting di
dalam pemerintahan dan keagamaan. Singkatnya, leluhur-leluhur warga
tersebut di masanya termasuk dalam golongan brahmana dan kesatria; (3)
konsep warga sebagai sebuah identitas sosial atau status sosial lebih
senang mereka gunakan daripada konsep wangsa atau kasta. Mereka lebih
sering mengidentifikasikan dirinya sebagai Warga Pasek, Warga Pandé,
dan Warga Arya daripada mengidentifikasikan dirinya sebagai jabawangsa
atau sudrawangsa. Terkadang mereka yang sudah generasi ketiga secara
meyakinkan dapat menyebutkan identitasnya sebagai Warga A, Warga B,
atau Warga C, tapi mereka menjadi bingung (belum paham) ketika Warga
A, Warga B, atau Warga C itu termasuk dalam kasta atau wangsa apa.
Bagi generasi sebelumnya yang sudah sepuh dan mereka yang memahami
278
konsep catur warna dalam agama Hindu, mereka lebih senang dengan
konsep warga karena dinilai lebih egaliter, tidak ada pembedaan kelas atau
status sosial berdasarkan kelahiran yang bersifat ajeg. Mereka pun bangga
dengan status sosial warga-nya, karena leluhur mereka di masanya
memiliki perang yang penting di pemerintahan kerajaan dan di bidang
keagamaan (sebagai kesatria dan sebagai brahmana). Hal ini diperkuat
dengan komposisi masyarakat Nusa Penida di waktu itu (sebelum
bertransmigrasi) yang lebih egaliter karena kedudukan pulau tersebut
sebagai tempat pengasingan dan lokasinya yang jauh dari pusat kerajaan
(puri). Dalam beberapa kasus, (dimungkinkan) terjadi beberapa kesalahan
dari beberapa kelompok masyarakat dalam mengidentifikasikan identitas
warga atau leluhurnya.
Beberapa fakta di atas merupakan dasar bagi berkembanganya
sistem warga di Balinuraga. Sistem wangsa yang dulu pernah berlaku di
masa kolonial – dan sampai sekarang masih (mungkin) masih berlaku atau
dianggap relevan bagi kalangan tertentu di Bali – tidak mereka adaptasi di
Balinuraga. Seperti fakta-fakta di atas, memang secara situasional sistem
wangsa tidak berkembang di Nusa Penida, baik karena posisi pulau
tersebut sebagai pulau pengasingan atau pun karena letaknya yang jauh
dari pusat kerajaan. Dengan kata lain, tidak ada bangsawan puri atau raja
menetap di Nusa Penida di era kolonial, yang dapat memastikan
berjalannya sistem wangsa tersebut atas dukungan pemerintah kolonial.
Oleh karena itu, mereka yang bertransmigrasi dari Nusa Penida ke
Lampung Selatan (generasi pertama transmigran Bali Nusa) tidak ada yang
berasal dari golongan triwangsa; dengan kata lain seluruh transmigran ini
berasal dari golongan jabawangsa atau non-puri. Hal ini dapat dibuktikan
dari pemakaian nama yang tidak menggunakan gelar kebangsawan seperti
halnya golongan triwangsa, seperti Anak Agung, Ida Bagus, Cokorda,
Gusti, Dewa Agung, dan lain-lain. Nama yang mereka kenakan adalah
nama-nama umum seperti yang digunakan masyarakat Bali pada umumnya
yang bukan berasal dari golongan puri, seperti: Nyoman, Kadek, Putu,
Wayan, Made, Ketut, Komang, dan sebagainya ( kata “I” di depan nama
tersebut untuk laki-laki, sedangkan “Ni” untuk wanita). Pemakaian “gelar”
bagi kalangan non-sulinggih umumnya hanya dengan nama warga,
contohnya dengan menambahkan nama “Pandé” di antara atau di belakang
279
nama “ I Made” menjadi “I Pandé Made Sutra” atau “I Made Pandé Sutra”
(biasanya jarang digunakan dan penempatannya tergantung dari orang tua
yang memberi nama), dan gelar bagi sulinggih warga seperti “Sri Mpu”
atau “Rsi” (sangat terbatas, hanya boleh digunakan oleh sulinggih warga
yang sah).
Sistem atau konsep warga digunakan atau diadaptasi dalam
komunitas Bali Nusa di Balinuraga dikarenakan di dalam konsep warga
atau soroh terdapat identitas mereka sebagai Bali. Menurut mereka,
bagaimana mungkin bisa mengaku sebagai orang Bali jika (seseorang)
tidak tahu berasal dari warga atau soroh apa. Sebagai (orang) Bali mereka
harus tahu siapa dan apa leluhur atau warga-nya. Terlebih setelah
keberadaan mereka di luar Bali (Lampung Selatan). Mereka butuh
kejelasan dan keabsahan dari identitasnya sebagai warga apa dan siapa
leluhurnya, agar diakui eksistensi identitasnya sebagai “Bali Hindu” baik
di Lampung (dalam komunitasnya) maupun di Bali. Selain itu, di dalam
sistem atau konsep warga ini terdapat sebuah status sosial atau prestise
tertentu melekat pada setiap anggotanya berdasarkan sejarah kebesaran
dari leluhur mereka di masanya yang membentuk klan atau warga tersebut.
Karenanya, dalam dinamika hubungan atau relasi sosial di dalam
komunitas ini tidak ada pertentangan atau pun konflik kasta antara mereka
yang berkasta tinggi (triwangsa) dengan mereka yang berkasta rendah
(sudrawangsa). Sebaliknya, pertentangan atau pun konflik tertutup (perang
dingin) yang justru terjadi antara warga satu dengan warga lainnya.
Dengan kata lain, konflik antar kelompok warga dalam golongan
jabawangsa. Inti dari pertentangan atau konflik tertutup ini adalah
memperebutkan siapa di antara warga tersebut (khususnya diwakili para
elit warga) yang memiliki status sosial yang paling tinggi. Pertentangan
klasik dan perang dingin yang masih terjadi sampai saat ini adalah antara
Warga Pandé dan Warga Pasek, sedangkan Warga Arya tetap berada di
posisi netral, tidak mau terlibat atau ikut campur perselisihan di antara
kedua warga tersebut.
Terlepas dari persaingan antar warga di Balinuraga, kehadiran
sistem warga ini menjadikan masyarakat Balinuraga secara umum lebih
egaliter: kedudukan mereka sama, tidak berlaku sistem kasta yang bersifat
diskriminatif, tidak ada hirarki sosial vertikal tertutup, dan perlakuan
280
istimewa terhadap kelompok warga tertentu. Setiap warga memiliki
sulinggih sendiri – Sri Mpu dan Rsi – yang bertugas sebagai pemimpin
spiritual sekaligus sebagai patron bagi komunitas adat-keagamaan warga
tersebut. Dengan demikian, mereka tidak bergantung pada peran pedanda
(pendeta brahmana) yang harus mereka datangkan dari Bali, karena
sulinggih warga memiliki fungsi kependetaan yang sama dengan pedanda
dengan pengakuan legal (resmi) dari PHDI sebagai organisasi resmi
(semi-pemerintah) agama-kemasyarakatan yang diakui oleh pemerintah
dan masyarakat Bali secara umum, baik untuk muput ritual dan upacara
adat-keagamaan maupun untuk memberikan tirta (air suci) kepada anggota
warga (dengan posisi sebagai umat Hindu Dharma) ketika dilangsungkan
upacara penting. Secara sosial dan psikologis penggunaan sistem atau
konsep warga ini di Balinuraga merupakan pembebasan dari belenggu
sistem kasta yang bersifat diskriminatif seperti yang dipraktekan di masa
kolonial. Sekaligus sebagai pembuktian bahwa komunitas mereka yang
disebut sebagai jabawangsa atau pun sudrawangsa ini bisa eksis secara
komunitas dan mapan secara ekonomi setelah berada di luar Bali – dan
beberapa di antaranya berhasil menduduki posisi strategis dalam
pemerintahan lokal dan di bidang politik, atau pun memiliki karir yang
menjanjikan sebagai profesional muda.
Bahasa Bali Nusa
Pembeda yang paling signifikan antara Bali dari Pulau Nusa
Penida (Bali Nusa) dengan Bali dari Pulau Bali adalah penggunaan bahasa.
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Bali Nusa Penida. Bahasa ini
berbeda dengan Bahasa Bali yang biasa digunakan secara umum oleh
masyarakat Bali di Bali, meskipun berasal dari satu rumpun yang sama.
Selain kosa kata, perbedaan yang mencolok terletak pada logat dan
ekspresi mimik wajah ketika berkomunikasi. Bagi masyarakat Bali yang
umum menggunakan Bahasa Bali, mereka akan kesulitan untuk memahami
Bahasa Bali Nusa Penida. Namun, bagi Bali Nusa mereka tidak cukup
kesulitan untuk memahami dan menggunakan Bahasa Bali yang umum
digunakan, yaitu Bahasa Bali tingkatan nista (kasar, dalam Bahasa Jawa
setingkat ngoko). Untuk kasus tertentu, jika ada orang Bali dari Bali dan
orang Bali Nusa sedang berkumpul atau berdiskusi, orang Bali Nusa akan
281
menggunakan Bahasa Bali Nusa untuk berbisik atau menggosipkan lawan
bicaranya yang berasal dari Bali. Jadi, cara termudah untuk
mengidentifikasikan sebuah Kampung Bali di Lampung apakah ini Bali
dari Bali atau Nusa Penida adalah dari bahasa dan logatnya, karena untuk
model banjar, subak, seka, warga, ritual dan upacara adat-keagamaan
umumnya hampir sama.
Sama seperti elemen-elemen dari sistem sosial yang melekat pada
masyarakat Bali, Bahasa Bali Nusa untuk sampai saat ini masih melekat
setiap anggota komunitas Balinuraga sampai generasi muda (Bali Nusa
yang sudah lahir dan besar di Lampung). Hal ini disebabkan Bahasa Bali
Nusa masih digunakan sebagai bahasa ibu dalam percakapan sehari-hari
baik di level keluarga maupun dalam pergaulan di lingkup banjar dan
Desa Balinuraga. Saat ini penggunaan Bahasa Bali Nusa oleh generasi
muda, kosa katanya sudah mulai tercampur dengan kosakata dalam Bahasa
Indonesia dan Bahasa Jawa (tingkat ngoko), dan menggunakan beberapa
kosa kata gaul yang mereka dapatkan dari pergaulan dengan teman-
temannya yang tinggal di perkotaan. Begitu pula logat bahasanya yang
sudah tercampur baur – mengingat ketika mereka bersekolah Bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi yang harus mereka gunakan dalam
berkomunikasi. Bahasa Indonesia adalah bahasa kedua yang umum
digunakan oleh masyarakat Balinuraga. Bahasa Indonesia biasa digunakan
untuk acara formal yang melibatkan komunitas lain non-Bali – umumnya
digunakan sebagai kata sambutan. Jika acara formal tersebut dikhususkan
untuk komunitas Bali (Bali dan Bali Nusa), maka bahasa yang digunakan
adalah Bahasa Bali yang halus, yaitu tingkat tertinggi yang disebut tingkat
utama (dalam Bahasa Jawa setingkat krama), dan tingkat mengengah yang
disebut tingkat madya . Di samping itu, Bahasa Indonesia digunakan oleh
masyarakat Balinuraga jika mereka bertemu pertama kali sesama orang
Bali Nusa yang ada di Lampung. Bahasa Bali Nusa baru mereka gunakan
setelah pada percakapan awal dengan Bahasa Indonesia mereka sudah
mengetahui bahwa lawan bicaranya adalah orang Bali Nusa yang bisa
menggunakan bahasa tersebut. Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua
cukup disukai pemakaian oleh masyarakat Balinuraga karena bahasa
nasional ini lebih egaliter, tidak ada tingkatan dalam berbahasa
(berkomunikasi) ketika berbincang dengan lawan bicara dengan
282
kedudukan atau status sosial yang tinggi – sama seperti ketika mereka
menggunakan Bahasa Bali Nusa yang tidak menekankan hirarki berbahasa
terhadap lawan bicara yang berkedudukan tinggi. Selain itu, pemakaian
Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam acara formal memberikan
prestise tersendiri bagi mereka, karena menjadikan mereka lebih Indonesia
(perasaan nasionalisme). Hal ini dapat dibuktikan dari penggunaan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar cum santun yang digunakan oleh para sepuh
yang memiliki latar belakang pendidikan mumpuni dan pergaulan yang
luas dengan kelompok masyarakat lain dan birokrasi pemerintahan.
Sebagian dari mereka juga bisa menggunakan Bahasa Jawa untuk
berkomunikasi dengan etnis Jawa. Selain dikarenakan jumlah etnis Jawa
jumlahnya besar di Lampung Selatan (khususnya di sekitar Desa
Balinuraga), kemampuan mereka berbahasa Jawa dikarenakan pergaulan
(pertemanan) atau pun hubungan kerja. Oleh karena itu, meskipun mereka
tetap mempertahankan dan menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida di
dalam komunitasnya, secara umumnya dialek atau pengucapannya dan
pengkomunikasiannya sudah tidak sama persis seperti di Nusa Penida.
Lingkungan sosial yang heterogen – dengan berbagai bahasa daerah dari
masing-masing komunitas etnis dan satu bahasa nasional – merupakan
faktor utama yang menyebabkan Bahasa Bali Nusa Penida tidak menjadi
sama persis seperti di Nusa Penida, terutama pada dialeknya. Di samping,
di Nusa Penida sendiri pada wilayah tertentu ada penggunaan Bahasa Nusa
Penida dengan dialek yang berbeda.
Penggunaan Bahasa Bali Nusa Penida di Desa Balinuraga
merupakan cerminan dari kuatnya ikatan komunitas Bali Nusa terhadap
tanah leluhurnya. Sekaligus menjadi identitas atau jati diri mereka sebagai
orang Bali dari Nusa Penida. Ini yang menjadi ciri khas dari Bali Nusa
yang ada di Lampung, dalam kasus ini di Balinuraga sebagai satu desa
yang mayoritas anggota komunitasnya adalah Bali Nusa. Secara sosial
Bahasa Bali Nusa Penida ini berfungsi untuk mempererat dan pemersatu
Bali Nusa sebagai sebuah komunitas orang Bali dari Nusa Penida. Sama-
sama orang Bali seperti orang Bali di Kampung Bali lain, tapi mereka
adalah orang Bali yang berbeda: orang Bali Nusa. Ada kehangatan dan
kedekatan secara psikologis ketika menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida
dengan sesama Bali Nusa, terutama Bali Nusa dari tempat lain di wilayah
283
Sumatera (perantau) di luar Kabupaten Lampung Selatan. Hal ini didukung
faktor tempat dan posisi mereka yang telah berada di luar Bali (Nusa
Penida) dan sebagai pendatang atau perantau (perasaan senasib-
sepenanggungan).
Namun sebaliknya, dalam kasus kecil, ada merasa canggung atau
minder (rendah diri) jika menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida, dan
lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan
seseorang itu telah lama merantau ke luar desa atau bekerja di kota, di
mana Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan, atau Bahasa Indonesia
bercampur Bahasa Jawa lebih banyak digunakan karena bekerja dan
bergaul dalam lingkungan yang mayoritas beretnis Jawa kelahiran
Sumatera. Perasaan canggung atau minder ini bisa disebabkan karena
merasa bahasa ibunya dinilai terlalu tradisional atau tidak “gaul”, dan
menggunakan Bahasa Indonesia seperti yang digunakan masyarakat
perkotaan memberikan prestise tersendiri bagi seseorang tersebut bahwa
dirinya telah menjadi modern atau “orang kota”. Selain itu, dalam kasus
yang lebih kecil, ada beberapa orang di Balinuraga yang tidak fasih atau
pandai menggunakan Bahasa Indonesia, tapi lebih fasih menggunakan
Bahasa Bali Nusa Penida. Mereka ini adalah para orang tua (usia lanjut) –
jumlahnya tinggal sedikit – yang dalam kesehariannya setelah berada di
Lampung jarang sekali bergaul atau berinteraksi dengan komunitas lain
yang heterogen selain komunitas atau keluarganya sendiri.
Kompleks Perkampungan Bali
Serasa seperti di Bali. Ini adalah kesan yang didapatkan jika
mengunjungi sebuah perkampungan Bali di Desa Balinuraga – kurang
lebih sama seperti mengunjungi perkampungan Bali lainnya yang ada di
wilayah Provinsi Lampung. Seseorang (dari kalangan non-Bali) yang
belum pernah ke Bali akan mengalami kesan “serasa seperti di Bali” ketika
mengunjungi atau melewati Desa Balinuraga. Terlebih jika seseorang
tersebut sudah pernah berkunjung ke Bali dan Nusa Penida. Kesan ini bisa
langsung didapatkan secara langsung ketika melihat bangunan atau
arsitektur Bali Hindu – pelinggih (bangunan suci) atau pura – begitu
memasuki Desa Balinuraga. Pelinggih atau bangunan suci – terutama pura
– semua didesain dan dibangun sama seperti yang ada di Bali. Detail
284
arsitekturnya bisa beragam antara satu keluarga atau warga yang lain
berdasarkan identitas dari warga atau soroh-nya (klan) – meskipun jika
dilihat bagi orang awam semua tampak sama seperti bangunan pura
lainnya, khususnya rong telu atau rong tiga (pura keluarga yang menjadi
khayangan tiga di level keluarga inti) dan Pura Kawitan Warga. Contoh
yang paling menonjol adalah penggunaan warna merah (terang) pada
pelinggih Warga Pandé sebagai simbol Dewa Api yang melindungi klan
mereka sebagai keturunan dari pandai wesi. Bagi mereka yang tingkat
perekonomiannya sudah mapan, pelinggih yang dibangun tidak hanya rong
telu saja, tapi juga dilengkapi oleh patung-patung dewa-dewi yang mereka
percayai sebagai pelindung dan manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa
dengan desain yang menawan dan warna-warna yang indah – umumnya
ditempatkan masih di dalam kompleks pura keluarga yang berada di depan
atau perkarangan rumah yang sudah dilengkapi dengan sebuah taman
bunga. Keindahan dan kemegahan pura keluarga yang mereka miliki
merupakan sebuah upaya dari mereka bagaimana menempatkan atau men-
sthana-kan Sang Hyang Widhi Wasa (dalam manifestasinya melalui pura
keluarga dan keberadaan patung atau arca dewa-dewi dalam Hindu) dalam
sebuah sthana layaknya seperti di khayangan (surga) – memberikan sebuah
tempat yang terbaik berdasarkan kemampuan ekonomi mereka di level
keluarga inti. Ada pula yang membangun pura keluarga-nya di depan teras
lantai rumahnya, sehingga dari kejauhan sudah tampak bangunan pura
keluarga. Sama seperti ketika membangun Pura Kawitan, bagaimana Pura
Kawitan ini dibangun seindah dan semegah mungkin, tidak hanya sebagai
wujud ketaatan mereka sebagai umat Hindu Sang Hyang Widhi Wasa, tapi
juga sebagai wujud nyata keeksistensian identitas warga (leluhur atau
bhatara) yang diupayakan oleh keturunannya yang telah berada di luar
Bali.
285
Gambar 33. Pura Keluarga di Pekarangan Rumah
(Sumber: Yulianto, 2010).
Gambar 34. Pura Keluarga di Teras Lantai Atas Rumah
(Sumber: Yulianto, 2010).
Dengan jumlah rumah tangga yang mencapai delapan ratus
delapan belas keluarga atau 818 KK231
menjadikan Desa Balinuraga
231
Berdasarkan “Jumlah Penduduk Kecamatan Way Panji Menurut Desa, Jenis
Kelamin dan Sex Ratio Tahun 2008” dalam Kecamatan Way Panji Dalam Angka
2008/2009 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Selatan 2009).
286
sebagai sebuah desa atau Kampung Bali “seribu pura”. Menyebutkan Desa
Balinuraga sebagai “desa seribu pura” (bangunan suci menurut Hindu
Bali) sangat beralasan. Setiap kepala keluarga dipastikan memiliki satu
pura keluarga, dan setiap kepala keluarga yang memiliki lahan pertanian
juga dipastikan memiliki pura tani yang mereka bangun di atas lahan
pertaniannya (di samping memiliki pura subak atau pura empelan sendiri
untuk setiap krama subak). Termasuk dengan Pura Kahyangan Tiga (Pura
Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem), Pura Kawitan berdasarkan identitas
warga, dan bangunan suci lainnya berupa tugu, baik yang ditempatkan di
titik sentral desa atau pun di tempat-tempat tertentu (biasanya
dipersimpangan atau perempatan jalan) yang dianggap keramat atau
angker. Jenis bangunan suci lainnya – sama fungsinya seperti pura sebagai
tempat ibadah kepada Sang Hyang Widhi Wasa – adalah meru (bangunan
suci yang menjulang ke atas, semakin ke atas semakin mengerucut,
berjumlah ganjil dan beratapkan ijuk) yang ada di pura-pura penting,
seperti Pura Kawitan dan Pura Kahyangan Tiga.
Gambar 35. Tugu Desa
(Sumber: Yulianto, 2008)
287
Gambar 36. Padmasana / Pelinggih di Perempatan Jalan
(Sumber: Yulianto, 2010)
Untuk pembangunan pura keluarga bagi sebuah keluarga baru
yang memiliki tempat tinggal baru (terpisah dari rumah orang tuanya),
mereka mempercayai (dan dipraktekkan) bahwa pura keluarga harus
dibangun terlebih dahulu sampai lengkap sebelum rumah atau tempat
tinggal mereka dibangun secara permanen. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila ada rumah yang masih terbuat dari papan (semi
permanen) tapi sudah memiliki pura keluarga yang permanen (biasanya
keluarga baru, atau pendatang baru yang jumlahnya sangat sedikit
mengingat tingkat hunian desa ini sudah padat).
Kompleks desa atau perkampungan Bali di Balinuraga sejatinya
dirancang atau didesain – awal mulanya oleh Sri Mpu Suci dan
keluarganya – sama seperti yang ada di Bali pada umumnya (permukaan
tanah yang menjadi tempat hunian dan pertanian relatif lebih datar, sama
seperti di Bali, tapi berbeda dengan Nusa Penida yang berbukit-bukit dan
bertanah keras). Jalan desa dibuat tidak terlalu lebar. Lebarnya hanya satu
jalur, kecuali jalan utama desa yang dibuat dua jalur (seukuran mobil
pribadi per jalur) yang menjadi jalan utama penghubung desa lain atau
kecamatan. Itu pun jika dilintasi kendaraan besar (ukuran mobil Fuso)
mobil dengan ukuran mobil pribadi harus menepi ke pinggir jalan.
Kompleks pura-pura penting, seperti Pura Kahyangan Tiga dan Pura
288
Kawitan, dikelilingi atau dipagari oleh tembok (penyeker) dan ada
penyangga sudut (paduraksa), sehingga menjadi seperti kompleks atau
kawasan tersendiri yang menyatakan bahwa ini merupakan sebuah
kompleks suci atau penting bagi mereka sebagai tempat peribadatan. Pura-
pura penting tersebut memiliki areal tanah yang terbilang luas – mengingat
saat pembangunannya di tahun 1960-an ketersediaan tanah masih banyak
dan murah. Rata-rata untuk kompleks pura penting areanya seluas
lapangan sepak bola – sama seperti kompleks bale banjar (sedikit lebih
kecil daripada lapangan sepak bola). Untuk kompleks Pura Desa dan Pura
Puseh (berada di sebelah barat dari tugu desa, merupakan pura pertama
sebelum terjadi pemisahan yang dilakukan oleh warga lain), di depan
kompleks pura (di luar tembok yang mengelilingi pura) masih terdapat
tanah milik Pura Desa dan Pura Puseh seluas lapangan sepak bola. Di
tanah ini pemuda-pemuda Balinuraga memanfaatkannya untuk bermain
sepak bola. Kompleks yang lebih luas adalah Pura Dalem. Dikarenakan di
luar kompleks Pura Dalem (di luar tembok yang mengelilingi Pura Dalem)
terdapat tanah pura (tanah milik pura) yang digunakan sebagai kompleks
setra (kuburan) dan tempat untuk prosesi ngaben. Sama seperti di Bali,
tanah milik pura tidak dapat diperjualbelikan atau dialihfungsikan. Dengan
kata lain, tanah milik pura hanya digunakan untuk kepentingan umat
Hindu Dharma yang ada di Desa Balinuraga.
Selain bale banjar, Desa Balinuraga juga memiliki beberapa bale
bengong. Bale bengong ini dibangun di setiap perempatan jalan atau lokasi
tertentu yang dianggap strategis di mana masyarakat mudah untuk
berkumpul di sana. Bale bengong ini merupakan bangunan semi permanen
dengan rata-rata luas bangunan 3 x 2 m2 (seperti rumah panggung pada
bagian fondasi bawahnya sebagai penyangga bangunan), beratapkan
genteng tanah liat dan memiliki ruang terbuka di bagian tengah. Di waktu
senggang, jika tidak ada kegiatan pertanian, masyarakat berkumpul di bale
bengong. Ibu-ibu biasa menggunakannya untuk kumpul-kumpul sambil
bergosip. Pemuda-pemuda menggunakannya sebagai tempat “nongkrong”
sambil memarkir motor barunya. Sebagian pemuda-pemuda dan bapak-
bapak menggunakannya untuk bermain kartu (umumnya kartu gaplek atau
kartu ceki), baik menggunakan uang sebagai taruhan atau hanya bermain
biasa untuk mengisi waktu. Ada pula yang menggunakannya untuk
289
bermain gamelan Bali, atau bernyanyi menggunakan gitar. Juga digunakan
untuk tempat bertemu seseorang atau menunggu jemputan (mobil atau
ojek). Melalui bale bengong dapat diketahui aktivitas perekonomian dan
keagamaan di Balinuraga. Jika sebagian besar bale bengong sepi, tidak ada
orang yang duduk-duduk atau bersantai di sana, maka dapat dipastikan
masyarakat sedang sibuk di pertanian, atau sedang sibuk untuk
mempersiapkan sebuah upacara dan ritual adat-keagamaan penting.
Gambar 37. Masyarakat Berkumpul di Bale Bengong
(Sumber: Yulianto, 2010).
Secara umum perumahan masyarakat Balinuraga bersifat terbuka,
jarang sekali menggunakan pagar besi atau pagar tembok, kecuali dalam
beberapa kasus diperuntukkan untuk pura-pura penting dan pura keluarga.
Begitu pula dengan kandang ternak yang tidak disekat atau dipagari secara
khusus. Ini yang menyebabkan hewan peliharaan seperti babi (umumnya
jenis babi celeng yang berwarna hitam), anjing, dan ayam berkeliaran di
jalan-jalan desa tanpa dapat diketahui milik siapa. Biasanya hewan ini
akan kembali ke kandangnya masing-masing baik atas perintah pemiliknya
atau pun karena keinginannya sendiri. Khusus hewan peliharaan babi,
kadang dapat menimbulkan permasalahan antar penduduk. Induk babi dan
anak babi yang sering berkeliaran di jalan terkadang – jika bernasib naas –
tertabrak oleh kendaraan roda dua atau roda empat. Dalam kasus kecil
insiden penabrakan babi bisa menimbulkan pertengkaran antar penduduk,
karena nilai ekonomis tinggi dan penjualannya lebih mudah dan cepat.
290
Tidak jarang dijumpai jika pemilik lengah ayam, babi, atau pun anjing bisa
dengan masuk ke dalam rumah penduduk dengan mudahnya. Ini yang
menyebabkan jika orang non-Bali mendapatkan kesan bahwa rumah orang
Bali “kotor”. Dapat dimaklumi mengapa kesan ini muncul di benak
mereka, karena bagi komunitas non-Bali – terutama etnis Jawa sebagai
mayoritas – jarang yang memilihara anjing, terlebih lagi babi. Ada pun
yang mereka pelihara adalah ayam, yang dibuat kandang khusus di
belakang rumah, atau dibuat sebuah kandang di tempat lain. Namun, bagi
penduduk Balinuraga hal ini adalah hal yang biasa saja, karena di Bali pun
juga seperti itu (di kampung halamannya). Justru ini yang menjadi ciri
khas atau identitas dari perkampungan Bali yang ada di Lampung: ada babi
yang berkeliaran bebas di jalan desa. Memang ada denda atau penyitaan
jika ada babi yang berkeliaran di jalan, namun babi yang berkeliaran di
jalan tetap saja ada di jalan desa. Di samping tidak dibuat kandang khusus
yang mencegah babi tersebut berkeliaran, juga disebabkan babi tersebut
kekurangan makanan atau ingin mencari makanan lain di luar kandangnya.
Umumnya disebabkan pemilik lupa atau memberikan makanan yang
sedikit sebelum pergi ke sawah dari subuh hingga sore hari. Tidak ada
sebuah desa atau sebuah perkampungan di Provinsi Lampung yang bisa
memelihara babi dan anjing secara bebas tanpa ada protes dari komuntias
etnis dan agama lain selain di perkampungan Bali, khususnya di
Balinuraga.
291
Gambar 38. Babi yang Berkeliaran
(Atas: anak Babi Australia / Babi Impor berkeliaran di jalan desa; bawah: babi
celeng berkeliaran di halaman belakang rumah)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Kompleks perkampungan Bali di Desa Balinuraga, yang dibuat
seidentik mungkin dengan yang ada di Bali mulai dari blue print sampai
pada pembangunannya (termasuk arsitektur bangunan suci bagi Bali
Hindu) dan bersifat eksklusif, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
keterikatan yang kuat terhadap perkampungannya yang ada di Bali. Jadi
tidak hanya sistem sosialnya saja, tapi juga sampai ke bentuk fisik
(bangunan suci dan kompleks perkampungan) yang mencirikan identitas
mereka sebagai Bali Hindu. Keterikatan yang kuat atas tempat asal
292
tersebut yang menjadikan mereka berpandangan bahwa perkampungan
mereka adalah yang paling ideal. Mereka tidak mau dibuatkan atau
membuat model perkampungan seperti transmigran lainnya, karena itu
bukan Bali, dan tidak membuat mereka merasa nyaman dan kerasan untuk
bekerja dan menetap di Lampung. Kebebasan untuk mendesain dan
membangun perkampungan Bali di Desa Balinuraga mereka dapatkan
karena mereka merupakan transmigran swakarsa, tanpa sponsor dari
pemerintah. Pembangunannya pun menggunakan pembiayaan dan tenaga
secara komunitas (mandiri), terutama infrastruktur-infrastruktur adat dan
keagamaan bagi Bali Hindu penting, seperti Pura Kahyangan Tiga, Pura
Kawitan, dan Bale Banjar. Oleh karena itu, elemen-elemen atau simbol-
simbol fisik yang menandakan identitas mereka sebagai Bali Hindu yang
ada di perkampungan mereka di Nusa Penida (atau pun yang ada di Bali)
sebisa mungkin untuk mereka penuhi. Dengan kata lain, bagaimana
perkampungan Bali yang indah dan asri seperti yang ada di Bali dan Nusa
Penida bisa mereka ciptakan setelah ada di Lampung. Tentu,
perkampungan mereka di Balinuraga dilihat dari arsitektur dan bahan
bangunannya lebih bagus daripada yang ada di Nusa Penida, karena di
Nusa Penida mereka memiliki banyak keterbatasan baik tempat atau pun
ketersediaan bahan bangunan. Acuannya (model perkampungan) adalah di
Bali dan Nusa Penida, dengan tetap melakukan penyesuaian-penyesuaian
berdasarkan konsep kala dan patra (tempat, keadaan dan waktu), tanpa
mengurangi hakikatnya.
293
Gambar 39. Perkampungan Balinuraga
(Di jalan utama desa menuju tugu desa)
(Sumber: Yulianto, 2008)
Gambar 40. Perkampungan Balinuraga Tampak Atas
(Sumber: Yulianto, 2010)
294
Gambar 41. Jalan Desa dan Plat Gang Desa
(sumber: Yulianto, 2010)
Kedua, menjaga serta mempertahankan kelekatan dan kedekatan
emosional dengan kampung halaman. Menjadikan Desa Balinuraga
sebagai perkampungan Bali di Lampung berarti semakin mendekatkan dan
melekatkan hubungan emosional dengan tanah leluhur. Mereka ingin agar
romantisme seperti perkampungan Bali yang ada di Bali ada di tempat
mereka yang baru (Lampung Selatan). Salah satu hal yang menyebabkan
transmigran Bali Nusa mempunyai keinginan yang kuat untuk kembali ke
kampung halamannya, khususnya transmigran pertama, adalah suasana
perkampungan Bali yang ada di Nusa Penida. Oleh karena itu, dengan
menjadikan Desa Balinuraga seperti perkampungan Bali keinginan yang
kuat untuk kembali ke kampung halaman dapat tertahankan. Dengan
demikian maka mereka bisa lebih fokus untuk bekerja di sektor pertanian,
sehingga dapat secara rutin pulang ke Nusa Penida untuk menunaikan
kewajiban adat dan keagamaannya.
Ketiga, secara sosiologis perkampungan Bali di Desa Balinuraga
sengaja dibuat eksklusif agar mereka dapat menunjukkan eksistensi
identitasnya sebagai Bali Hindu dan sebagai Bali dari Nusa Penida.
Dikatakan sebagai Kampung Bali karena anggota komunitas merupakan
etnis Bali Hindu. Melalui perkampungan Bali mereka dapat menunjukkan
bahwa mereka adalah kelompok pendatang yang berbeda dengan
kelompok pendatangan lainnya. Letak perbedaannya adalah bagaimana
295
mereka mempertahankan ciri khas yang selama ini melekat pada dirinya
sebagai Bali Hindu: kebudayaan Bali Hindu. Sekaligus menunjukkan
bahwa kebudayaan mereka yang luhur tersebut tetap eksis dan bertahan
sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan kondisi yang ada di
Lampung, serta tetap terbuka dalam interaksi sosialnya dengan komunitas
etnis dan agama lain. Melalui perkampungan Bali komunitas berbasis
identitas etnis-keagamaan ini mempererat dan mempersolid komunitasnya.
Singkatnya, mereka ingin menunjukkan eksistensi kebudayaan Bali Hindu-
nya setelah berada di Lampung, tidak hanya dalam wujud fisik berupa
bangunan suci dengan arsitektur Bali Hindu dan kompleks perkampungan
Bali, tapi juga sampai pelaksanaan kegiatan ritual dan upacara adat-
keagamaan yang mereka laksanakan dengan runut dan disiplin. Dengan
demikian, mereka bisa dihargai dan dihormati sebagai komunitas
pendatang yang tidak hanya menjadi pendatang (transmigran) untuk
kepentingan ekonomi, tapi turut melestarikan kebudayaan Bali Hindu-nya
sebagai identitas pembeda dengan keunikannya yang khas – tanpa
membatasi interaksi dan relasi dengan komunitas etnis dan agama lain.
Keempat, alasan praktis. Satu desa adat dengan tujuh banjar yang
mayoritas anggotanya Bali Nusa sangat mempermudah pelaksanaan
kegiatan adat dan keagamaan yang jumlahnya banyak dan jaraknya
berdekatan232
. Sumbangan tenaga (ngayah) lebih mudah dilakukan karena
masih berada dalam satu desa atau satu banjar yang sama, khususnya
persiapan dan pelaksanaan upacara besar seperti ngaben. Keuntungannya
adalah ada biaya yang bisa dihemat dan ditekan secara ekonomi dalam
proses dan pelaksanaan upacara tersebut. Sistem ngayah ini tidak hanya
dalam bentuk tenaga, tapi juga dalam bentuk bahan kebutuhan pokok,
terutama yang menunjang kinerja para pengayah ketika sedang dalam
232
Dalam Desa Adat Balinuraga seluruh anggotanya adalah etnis Bali dari Nusa
Penida – yang berasal dari Bali atau Lombok secara tidak disengaja karena ada
urusan pekerjaan dan kemudian menikah dengan penduduk Balinuraga dan
menetap di sana. Dalam Desa Administratif, di Desa Balinuaraga ada beberapa
orang yang bukan etnis Bali. Mereka secara kebetulan dalam pemetaan desa
masuk ke dalam Desa Bali Nuraga secara administratif. Karena itulah, orang non-
Bali yang masuk secara administratif Desa Balinuaraga tempat tinggalnya berada
di pinggir desa atau perbatasan desa.
296
proses persiapan dan pelaksanaan upacara besar. Sistem ngayah ini dapat
berjalan efektif di Balinuraga karena satu desa dengan tujuh banjarnya
didominasi oleh etnis Bali – satu etnis dan agama. Sistem ini sifatnya
mengikat, dan cenderung seperti arisan. Jika seseorang mengayah ke
tempat yang tetangganya (baik tenaga maupun sumbangan sembako),
maka saat seseorang tersebut sedang melaksanakan upacara besar (seperti
ngaben) tetangga tersebut wajib mengayah di tempat seseorang tersebut
(sesuai yang dulu pernah diayahkan. Selain itu, menghindari
ketersinggungan atau perasaan terganggu dari komunitas etnis lain yang
berbeda keyakinan mengingat banyaknya aktivitas keagamaan dan adat
yang harus mereka lakukan. Terutama yang menyangkut hewan peliharaan
jenis anjing dan babi, di mana bagi komunitas etnis lain dengan
kepercayaan tertentu tidak diperkenankan untuk memelihara – apalagi
mengonsumsinya – kedua jenis hewan tersebut. Sampai saat ini belum ada
kasus di mana anjing dan babi peliharaan penduduk Balinuraga yang
berkeliaran atau tersesat sampai ke desa tetangga dari komunitas etnis dan
agama lain sehingga menimbulkan keributan, karena jaraknya terlalu jauh
dan rata-rata dipisahkan oleh hamparan sawah yang luas.
Contoh Kasus: Arsitektur Bali Pada Beberapa Jenis Bangunan Suci
di Balinuraga
Ciri khas perkampungan Bali adalah keberadaan bangunan pura
sebagai tempat untuk peribadatan umat Hindu Dharma. Untuk sebuah
perkampungan Bali setingkat desa seperti di Balinuraga, keberadaan pura
yang ada di setiap rumah dan beberapa kompleks pura penting seperti Pura
Kahyangan Tiga dan Pura Kawitan merupakan penunjuk utama bahwa ini
adalah perkampungan atau komunitas Bali Hindu yang ada di luar Bali,
Lampung. Dengan kata lain, pura-pura yang ada di perkampungan Bali
menjadi identitas mereka secara simbolis bahwa mereka adalah Bali
Hindu. Namun, jika ditelusuri dan diamati lagi secara seksama, sebenarnya
di setiap pura memiliki ragam bangunan suci atau biasa disebut pelinggih,
di mana setiap pelinggih mempunya arti dan fungsinya masing-masing.
Bangunan suci atau pelinggih merupakan bangunan tempat men-stana-kan
Sang Hyang Widhi, manifestasi-Nya atau roh suci leluhur (Titib 2003).
Dalam pemaparan contoh kasus ini, penulis akan menyajikan gambar-
297
gambar ragam pelinggih yang ada di setiap pura di Balinuraga. Ciri khusus
dari setiap pelinggih yang ada di Balinuraga – umumnya sama di
perkampungan Bali lainnya di Lampung – adalah semen (adukan semen
dan pasir) sebagai bahan dasar konstruksi pelinggih. Ukir-ukiran patung,
motif, dan lainnya yang ada di pelinggih juga terbuat dari semen: ukir-
ukiran dibuat pada semen cetakan yang masih basah. Ukir-ukiran berbahan
semen tersebut ada yang memang diukir, tapi ada juga yang sudah dibuat
dari sebuah cetakan. Tergantung dari kemampuan ekonomi pemilik pura.
Harga yang cetakan lebih murah daripada yang diukir dengan tangan.
Modelnya secara umum mereka tiru dari Bali dan Nusa Penida, tapi ada
juga yang sudah dilakukan modifikasi. Jadi, jika dilihat dari jenis dan
model pelinggih pada pura, maka dapat dilihat perbedaan dengan yang ada
di Bali yang lebih banyak menggunakan batu (batu padas, batu karang laut
berwarna putih seperti yang umum digunakan di Nusa Penida, atau batu
lahar dari Gunung Agung) sebagai bahan dasar konstruksi pura dan
pelinggih di dalamnya. Dengan kata lain, secara umum dapat dikatakan
bahwa pura atau pelinggih yang ada di dalam pura di Balinuraga adalah
bangunan suci yang khas Bali dari Lampung.
Beberapa ragam pelinggih yang ada di dalam (kompleks) pura
yang akan penulis sajikan dalam bentuk gambar dan penjelasan singkat
mengenai arti dan fungsinya, antara lain sebagai berikut: (1) Prasada; (2)
Meru; (3) Padmasana; (4) Gedong; (5) Rong Tiga.
298
Prasada
Gambar 42. Prasada
(Prasada yang ada di dalam Pura Kawitan, sebelah kiri diambil dari atas, sebelah
kanan dari bawah)
(Sumber: Yulianto, 2009)
Prasada merupakan bangunan suci (pelinggih) yang bentuknya
menyerupai tugu dengan memiliki tiga bagian utama, yaitu dasar, badan
dan atap. Atapnya memakai gelungan mahkota segi empat yang mengecil
di bagian atasnya. Tingginya kurang lebih mencapi sepuluh meter. Bahan
utama pelinggih ini adalah semen (adukan semen dan pasir) dan batu bata
(untuk bagian fondasi). Fungsi prasada adalah sebagai tempat pemujaan
Sang Hyang Widhi Wasa atau roh suci233
.
233
Lihat: Titib (2003), Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu,
Surabaya: Penerbit Paramita;
299
Meru
Gambar 43. Meru
(Gambar pertama sebelah kiri: meru bertumpang sembilan di Pura Kawitan;
gambar kedua di tengah: meru bertumpang lima di Pura Desa dan Puseh I; gambar
ketga sebelah kanan: meru bertumpang tujuh di Pura Desa dan Puseh II, tumpang
tujuh simbol Tujuh Rsi leluhur Warga Pasek)
(Sumber: Yulianto, 2009 & 2010)
Meru merupakan pelinggih yang (hampir selalu ada) di setiap
(kompleks) Pura besar. Meru memiliki tiga bagian utama, yaitu dasar,
badan dan atap. Ciri khas dari meru adalah atapnya berjumlah ganjil (3, 5,
7, 9, dan 11), atapnya semakin ke atas semakin mengecil, dan (umumnya)
atap terbuat dari ijuk. Bagian dasar berbentuk bujur sangkar (sebagai
fondasi) yang berbahan batu dan adukan semen-pasir, sedangkan bagian
badan berbahan kayu. Meru merupakan simbol alam semesta (andha
bhuana) yang terdiri dari tiga bagian: bhurloka, bhuvahloka, dan svahloka.
Fungsi meru adalah sebagai tempat pemujaan bagi Sang Hyang Widi Wasa
atau manifestasi-Nya dan sebagai tempat pemujaan Devapitara atau
Atmasiddhadevata (roh suci leluhur)234
.
234
Op.cit. Titib (2003); lihat juga: Dwijendra (2008), Arsitektur Bangunan Suci
Hindu, Denpasar: Udayana University Press dan Bali Media Adhikarsa.
300
Padmasana
Gambar 44. Padmasana
(Gambar pertama kiri atas: padmasana di Pura Kawitan; gambar kedua tengah:
padmasana di Pura Desa dan Puseh I; gambar ketiga kiri: padmasana tampak
belakang condong ke kanan di Pura Desa dan Puseh II; gambar keempat bawah:
padmasana tampak belakang di Pura Dalem)
(Sumber: Yulianto, 2009 & 2010)
301
Padmasana diartikan sebagai stana Tuhan Yang Maha Esa
(padma: teratai merah; asana: tempat duduk). Padmasana terdiri dari tiga
bagian, yaitu dasar, badan dan puncak. Ciri khasnya terletak di bagian
puncak yang terdapat singhasano (berbentuk kursi). Fungsi padmasana
adalah memuja Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atau
manifestasinya. Jadi, padmasana tidak difungsikan untuk pemujaan roh
suci leluhur235
.
Gedong
Gambar 45. Gedong
(Sumber: Yulianto, 2009)
Gedong adalah jenis pelinggih yang mudah ditemukan di Pura.
Bentuknya berupa bujur sangkar atau persegi panjang. Memiliki tiga
bagian, yaitu dasar, badan dan atap. Bagian dasar dan badan gedong di atas
menggunakan bahan dasar batu dan adukan semen-pasir, karenanya
disetiap sudutnya diberikan ukiran garuda. Bagian atasnya terbuat dari
kayu, dengan beratapkan genteng bata dan ijuk. Fungsi gedong di
antaranya adalah sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur
(atmasidhadevata) dan tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa236
.
235
Op.cit. Titib (2003) dan Dwijendra (2008). 236
Op.cit. Titib (2003) & Dwijendra (2008).
302
Rong Tiga
Gambar 46. Rong Tiga
(Sebelah kiri bangunan rong tiga tampak depan beratapkan ijuk, sebelah kanan
tampak samping beratap seng)
(Sumber: Yulianto, 2009)
Rong tiga atau rong telu bentuk umumnya sama seperti gedong,
empat persegi panjang, dengan tiga bagian utama, yaitu dasar, badan dan
atap. Rong tiga di atas bagian dasarnya berbahan batu dan adukan semen-
pasi. Ciri khas dari bangunan rong telu adalah adanya tiga (telu) ruang
(rong) di bagian badan (tengah) bangunan yang menghadap ke depan.
Atapnya terbuat dari konstruksi kayu dengan atap ijuk atau bahan lain
(gambar di sebelah kanan menggunakan atap seng). Rong tiga ini adalah
pelinggih yang dapat dijumpai di setiap pura keluarga di Balinuraga, dan
biasanya ditempatkan juga di pamarajan atau kamulan. Fungsinya adalah
untuk memuja roh suci leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa dalam
manifestasi-Nya sebagai Brahma, Wisnu, dan Siwa237
.
Kehidupan Sosial-Keagamaan: Tradisionalisasi versus
Modernisasi
Kehidupan keseharian masyarakat Balinuraga tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan keagamaannya. Artinya, unsur keagamaan
237
Op.cit. Titib (2003) & Dwijendra (2008).
303
Hindu dan tradisi Bali yang menjadi kesatuan selalu mewarnai setiap
aktivitas hariannya. Bersembahyang harian tiga kali sehari menjadi
kewajiban mereka sebagai umat, selain kewajiban saat hari raya atau
upacara besar keagamaan. Waktunya adalah pagi hari (di waktu subuh
sebelum bertani), siang hari, dan sore hari (selepas pulang bekerja)238
.
Sembahyang harian ini mengambil tempat di rong telu atau pura keluarga
sebagai manifestasi Pura Kahyangan Tiga. Biasanya di pagi hari ketika
udara masih sejuk dan segar, wangi dupa dapat dengan mudah tercium saat
berjalan pagi mengelilingi desa. Wangi dupa ini berasal dari pura keluarga
yang letaknya di depan perkarangan rumah. Aktivitas sembahyang harian
ini dilengkapi dengan pemberian bantenan (sesajen) di tempat-tempat
tertentu di rumahnya – tempat yang dianggap sakral (selain di rong telu).
Tidak hanya itu, mereka juga punya kewajiban untuk bersembahyang (juga
memberikan sesaji) di pura tani yang ada di areal pertanian mereka.
Hal yang menarik dalam interaksinya dengan sesama penduduk
Balinuraga dan Bali Hindu dari Kampung Bali lain ketika bertemu atau
bertamu adalah pengucapan salam om swastiastu – terkadang disingkat
dengan menyebutkan swastiastu saja. Sama seperti umat Islam (Muslim)
mengucapkan “Assalam‟alaikum” atau “Syalom” bagi umat Kristiani.
Salam om swastiastu ini ternyata sudah lama mereka gunakan. Jauh
sebelum wacana Ajeg Bali dikumandangkan di seantero Bali, di mana
salah satunya dengan mempopulerkan salam om swastiastu239
. Salam om
238
Dalam prakteknya sembahyang harian – tiga kali sehari – tidak mutlak
sebanyak tiga kali sehari. Di waktu sibuk biasanya hanya dua kali sehari, pagi dan
sore hari. Bagi yang “taat” mereka selalu bersembahyang tiga kali sehari (biasanya
para orang tua dan sepuh yang aktivitasnya tidak padat), sedangkan yang “kurang
taat” (abangan) paling tidak sehari sekali di waktu pagi (alasan praktis lebih
ditekankan terkait waktu dan pekerjaan mereka, khususnya anak muda yang
bersekolah di luar desa atau pun yang sudah bekerja di luar desa tapi masih tinggal
di desa). 239
Schulte Nordholt (2010: hlm.70): “Kebudayaan Bali juga kian ditampilkan
sebagai eksklusif Hindu. Ini dicapai dengan menegaaskan kontras dengan Islam
dan, ironisnya, meniru gaya Islam. Kontras dengan ucapan salam Islam,
Assalam’alaikum, pembawa acara, reporter, dan pemandu acara wicara
membuka acara dengan ucapan khidmat Om Swastiastu, dan menutup acara
dengan Om Shanti Shanti Shanti Om…” Schulte Nordholt (2010) menambahkan
bahwa: “Makin hari makin banyak orang Bali mengucapkan “Om Swastiastu”
304
swastiastu selalu digunakan setiap diselenggarakan acara formal sosial-
keagamaan bagi umat Hindu Dharma di Balinuraga dan di tempat lain di
Lampung Selatan sebagai salam pembuka; kemudian ditutup dengan salam
om Shanti Shanti Shanti om. Selain itu, berdasarkan keterangan dari
seorang guru Agama Hindu lulusan Pendidikan Guru Agama Hindu di
Lombok yang bertugas di Balinuraga pada tahun 1978 adalah: bahwa
masyarakat Balinuraga sudah fasih melafalkan puja trisandya – salah satu
doa bagi umat Hindu Dharma – padahal (berdasarkan keterangannya)
sebagian penduduk Bali Lombok di Lombok dan sebagai penduduk Bali di
Bali puja trisandya belum begitu populer dan secara fasih dilafalkan. Hal
ini disebabkan puja trisandya merupakan sebuah doa yang baru bagi
kalangan masyarakat Bali – diadaptasi dari India yang diperkenalkan oleh
intelektual mudanya yang studi ke berbagai universitas besar di India,
kemudian dipopulerkan oleh PHDI.
Gambar 47. Spanduk Bertuliskan Om Swastiastu
(Sumber: Yulianto, 2010).
Terkait dengan profesi mereka sebagai petani (profesi mayoritas di
Balinuraga), itu pun tidak terlepas dari unsur keagamaan. Ini merupakan
kewajiban bagi mereka agar selalu melibatkan ritual dan upacara
keagamaan terkait dengan profesinya sebagai petani. Di level individu
mereka bisa melakukannya sendiri dengan bersembahyang secara personal
di setiap pura tani di areal pertaniannya. Tujuannya adalah untuk meminta
perlindungan, berkah, hasil panen yang baik, dan lain-lain kepada Sang
sebagai pengganti “Halo” saat menjawab panggilan telepon seluler mereka”
(op.cit. hlm. 70 footnote 10).
305
Hyang Widhi Wasa yang dimanifestasikan dalam dewa-dewi sebagai
perantara dari doa mereka kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Di level
komunitas, dalam krama subak di banjar kegiatan keagamaan terkait
dengan pertanian dilakukan secara bersamaan dari seluruh anggota krama
subak. Upacara puncaknya adalah ngeruwat atau ruwatan hasil panen.
Masyarakat Balinuraga selama ini (secara umum) dikenal dengan
keramahannya dalam menerima tamu. Mereka cukup terbuka bagi setiap
tamu yang ingin berkunjung ke rumahnya. Filosofi mereka adalah bahwa
tamu itu seperti dewa. Seperti yang termuat dalam Kitab Taittiruya
Upanisad I.11. yang menyebutkan bahwa ada empat dewa: seorang ibu
adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah juga
dewa dan para tamu pun adalah dewa240
(dalam Titib 2003). Karenanya,
harus diperlakukan dengan baik dan hangat. Disedikan makanan dan
minuman yang baik, meskipun seadanya. Mereka akan canggung saat
menerima tamu ketika mereka belum membersihkan diri (khususnya untuk
tamu yang baru pertama kali datang). Ada semacam kebanggaan dan
prestise tersendiri bagi mereka jika ada banyak tamu yang datang dan
sering berkunjung ke rumahnya. Banyak dan seringnya tamu yang
berkunjung bukan hanya menunjukkan prestise bahwa seseorang tersebut
adalah orang penting, tapi adalah bagaimana manifestasi “dewa” atau
“Sang Hyang Widhi Wasa” itu mengunjungi rumahnya. Jadi, tidak
mengherankan jika mereka sering mengajak tamu yang sedang bertamu ke
tempat saudaranya – ketika itu yang bersangkutan sedang ada di rumah
tersebut – untuk bertamu ke rumahnya. Jika tamu tersebut secara rutin
bersilatuhrami dan dipercaya, maka tamu tersebut akan diangkat
(dianggap) menjadi saudara. Sebenarnya keterbukaan masyarakat
Balinuraga terhadap komunitas lain berbeda etnis dan agama yang
dilandasi oleh filosofinya bahwa tamu seperti “dewa” mengikis stigma
sebagian masyarakat non-Bali yang segan (cenderung takut) jika bertamu
atau bermain ke Balinuraga, atau perkampungan Bali pada umumnya.
Stigma yang berkembang di masyarakat non-Bali terhadap perkampungan
240
Dalam Bahasa Sansekerta berbunyi: “matrdevo bhava pitrdevobhava,
acaryadevo bhava atithidevo bhava” (Taittiriya Upanisad I.11. dalam Titib 2003,
“Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu”, Surabaya: Penerbit Paramita).
306
Bali atau masyarakat Bali adalah kekuatan niskala atau kekuatan gaibnya
(mistik) yang tersohor. Namun, bagi sebagian kalangan stigma ini
dimanfaatkan untuk mencari perlindungan mistik kepada tokoh-tokoh
masyarakat Balinuraga yang diyakini memiliki kekuatan gaib tersebut,
mulai dari orang biasa sampai pengusaha besar dan pejabat (dari berbagai
etnis, termasuk penduduk asli Lampung). Keuntungan dari stigma tersebut
menjadikan setiap perkampungan Bali, termasuk Balinuraga, sebagai
tempat yang relatif lebih aman dari tindakan kriminal, seperti pencurian.
Meskipun stigma tersebut – terkait dengan kekuatan gaib – sulit untuk
dibuktikan dan dijelaskan, tapi berdasarkan keterangan dan bukti-bukti
yang ada, sulit untuk mengingkari kekuatan niskala yang ada di Balinuraga
yang diwakili oleh para sesepuhnya. Agak sulit dibuktikan karena ada
perbedaan yang tipis antara kemampuan memberikan sugesti dari seorang
sepuh (orang non-Bali menyebutnya sebagai dukun atau paranormal,
dalam Bali disebut balian) kepada tamunya yang ingin meminta sesuatu
dibandingkan dengan kekuatan transenden yang berasal dari dunia lain.
Hal ini disebabkan mayoritas para tamu tersebut sudah percaya seratus
persen dengan paranormal tersebut – didukung dengan stigma yang ada –
sehingga cukup diberikan sugesti sedikit saja melalui pendekatan
psikologis pengabulan permintaan itu terjadi. Jadi terkabulnya permintaan
tersebut lebih disebabkan oleh kerja keras tamu tersebut, dan yang
dibutuhkannya sebenarnya adalah kepercayaan diri melalui sugesti yang
diberikan oleh paranormal. Media sugestinya bermacam-macam. Ada yang
cukup diberikan nasihat atau petunjuk, ada yang tersugesti jika diberikan
sebuah catatan mantra untuk dirapalkan, ada yang melalui benda-benda
tertentu, dan lain-lain.
Tradisionalisasi versus Modernisasi
Karakteristik yang khas dari Bali Nusa di Balinuraga – seperti
yang telah diuraikan sebelumnya – adalah kuatnya ikatan terhadap apa pun
yang menjadi identitasnya sebagai Bali Hindu. Hal ini yang menyebabkan
mengapa masyarakat Bali Nusa di Balinuraga – umumnya Bali Nusa di
Lampung – dikenal dengan kekolotannya dalam mempertahankan tradisi
Bali Hindu-nya. Mereka ini dikenal sebagai golongan kolot atau
konservatif. Golongan konservatif ini, yang didominasi oleh orang tua
307
yang pemahaman dan pendidikannya mengenai Hindu Dharma (sebagai
Hindu modern) minim, menginginkan bagaimana setiap ritual dan upacara
baik adat maupun keagamaan dijalankan seketat mungkin dan harus sebisa
mungkin sama seperti yang dilakukan (dan pernah mereka lakukan) di
Nusa Penida, Bali. Golongan konservatif ini tidak menghendaki adanya
perubahan atau pun modernisasi. Menurut mereka perubahan atau pun
modernisasi dalam tata upacara dan ritual berarti ada proses pengurangan
tahapan dalam tata upacara dan ritual tersebut. Artinya, jika dilakukan
maka mereka percaya akan mengurangi hakikat dan inti dari upacara dan
ritual tersebut, dan akan berdampak negatif terhadap mereka (ada sanksi
niskala) berupa malapetaka, musibah, atau pun bencana. Kekhawatiran dan
ketakutan inilah yang sampai saat ini selalu menimbulkan perdebatan
panjang dan perang dingin antar kubu warga yang mengusung
tradisionalisme dan modernisasi.
Sebaliknya, bagi kubu warga tertentu dan anggota warga lain yang
pikirannya sudah maju dengan tingkat pendidikan yang mumpuni di
bidang keagamaan (Hindu Dharma), memandang bahwa modernisasi itu
perlu dilakukan. Bagi mereka, modernisasi yang dalam prakteknya
diadakan standarisasi upacara (bagi golongan konservatif disebut
mempersingkat tata upacara dan ritual) sama sekali tidak mengurangi
hakikat atau pun esensi dari setiap ritual dan upacara adat dan keagamaan.
Modernisasi dilakukan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan
tantangan zaman yang terus berubah, bukan dimaksudkan untuk
mengurangi nilai keluhuran dan kesucian dari ritual dan upacara tersebut.
Selain itu, melalui modernisasi masyarakat (umat Hindu Dharma di
Balinuraga) dapat melakukan upacara dan ritual besar dengan efektif dan
efisien, tidak memakan biaya dan tenaga yang besar serta waktu yang
lama. Terpenting adalah tujuan dari ritual dan upacara tersebut dapat
tercapai, dan proses pelaksanaannya berhasil.
Tema klasik perdebatannya antara kubu konservatif dan modern
adalah “kita ikut Hindu dari Bali atau ikut Hindu dari India”. Kubu
konservatif menilai bahwa mereka (kubu modern) telah mencampur
adukan Hindu Bali dengan Hindu dari India, seolah-olah ingin mengikuti
tata cara seperti yang ada di India. Kubu modern berargumen bahwa apa
yang mereka modernisasikan adalah tetap Hindu Bali. Namun, poin
308
penting yang dapat diambil dari perdebatan kedua kubu ini intinya adalah
bahwa tradisi keagamaan dan adat-istiadat mereka sebagai Bali Hindu
(orang Bali yang beragama Hindu) harus tetap ada dan eksis, tidak boleh
hilang. Hal ini disebabkan, dari kubu modernis, mereka pun tidak ingin
meng-India-nisasikan Hindu Bali mereka, karena jati diri mereka sebagai
Bali dan Hindu Bali akan hilang atau terkikis. Oleh karena Bali dan Hindu
seperti menjadi kesatuan, maka jangan sampai ketika modernisasi yang
dilakukan pada Hindu dapat menghilangkan jati diri Bali, karena di
sanalah letak identitas mereka sebagai Bali Hindu. Jadi, tujuan perdebatan
dari kedua kubu tersebut sebenarnya mempunyai tujuan yang sama –
mempertahankan identitas mereka sebagai Bali Hindu. Sebenarnya bila
diperhatikan seksama inti dari perdebatannya terletak pada tata cara
pelaksanaan ritual dan upacara keagamaan, bukan perdebatan apakah
tujuan tersebut melenceng jika diadakan sebuah perubahan tata cara ritual
dan upacara keagamaan. Akibatnya, karena kedua kubu tersebut saling
mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan mengusung
identitas warga, adalah aksi boikot: tidak menghadiri, atau hanya jadi
penonton jika kubu yang satu mengadakan sebuah upacara dan ritual adat
dan keagamaan penting (misalnya, ngaben). Tidak berhenti sampai pada
aksi boikot, tapi juga gosip-gosip yang menyindir satu kelompok warga
tertentu. Uniknya, setiap ada perubahan atau inovasi dalam tata upacara
atau pun upakara maka di saat yang sama muncul perdebatan, aksi boikot,
dan perang dingin; tapi, setelah beberapa waktu (ketika perang dingin
mereda), perubahan atau inovasi tersebut diadoptasi oleh kelompok yang
menentang. Proses ini telah terjadi sejak tahun 1970-an. Oleh karena
itulah, saat ini masyarakat non-Bali (tetangga Desa Balinuraga) menilai
bahwa sekarang masyarakat Balinuraga sudah mulai modern, tidak kolot
seperti dulu (tahun 1970-an sampai 1990-an). Indikatornya adalah:
“mereka tidak jor-joran (habis-habisan) seperti dulu jika ada upacara”.
Jika di masa Orde Baru, upacara dilakukan besar-besaran tidak menjadikan
perekonomian mereka menurun, karena di masa itu adalah masa-masa
emas perekonomian mereka di bidang pertanian: sebuah masa di mana
mencari uang tidak sulit. Saat ini upacara dilakukan tetap besar dan megah
bagi mereka yang mampu, tapi lebih sederhana – dalam arti lebih efektif
dan efisien. Namun, keefektifan dan keefisienan tersebut berguna bagi
309
mereka yang perekonomian pas-pasan, belum mampu menyelenggarakan
dalam skala besar. Salah satunya adalah kasus Ngaben Massal, di mana
dalam persiapan dan penyelenggaraannya sudah menggunakan manajemen
yang sederhana (pembentukan panitia kerja dan pelaksana), bagaimana
dengan biaya yang rendah upacara tetap bisa dilaksanakan secara bersama-
sama, tetap besar dan megah serta tidak mengurangi hakikat dan esensi
dari upacara tersebut.
Entah disadari atau tidak, karena proses perdebatan dan
pertentangan tetap saja terjadi hingga saat ini, pertentangan kubu
konservatif dan modernis sebenarnya telah memberikan sebuah perubahan
yang mendasar bagi komunitas Bali Nusa di Balinuraga dibandingkan
masa-masa awal kepindahan mereka di Lampung Selatan (tahun 1960-an).
Artinya, kehidupan sosial-keagamaan mereka telah berubah, dengan tetap
menjadi dan tidak kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu. Perubahan
ke arah kemajuan ini – karena dilandasi oleh kepentingan dan keuntungan
ketika perubahan tersebut dilaksanakan – bersifat spiral: dinamis,
sedinamis polemik hubungan dan pertentangan antar warga. Ini yang
menyebabkan mengapa Balinuraga kerap-kali dijadikan sebagai trend-
setter bagi komunitas Bali Hindu yang ada di tempat lain, terutama
perkampungan Bali yang menjadi pecahan dari Balinuraga (masyarakat
Balinuraga yang merantau ke tempat lain dan membentuk perkampungan
Bali). Misalnya, mengundang seka gong yang ada di Balinuraga ke
perkampungan Bali lain unuk mementaskan kesenian Bali, menggunakan
jasa pembuat (ahli, tukang) pura dan bangunan suci lainnya (termasuk
pembuat bade, wadah, atau patulangan untuk upacara ngaben) dari
Balinuraga, serta mengundang tokoh, sesepuh, atau pun sulinggih dari
Balinuraga. Termasuk pentas kesenian dalam acara formal pemerintahan
dengan mengundang seka gong dari Balinuraga.
Bonding dan Bridging Komunitas Bali Nusa
Komunitas Bali Hindu di Lampung dikenal luas oleh masyarakat
Lampung sebagai sebuah komunitas yang solid dan kompak. Hidup dalam
sebuah perkampungan Bali yang eksklusif, seluruh anggotanya adalah
entis Bali Hindu. Dengan kata lain, komunitas Bali Hindu yang ada di
Lampung – yang perkampungan Balinya tersebar ke berbagai kabupaten,
310
kecamatan, dan desa dalam Provinsi Lampung – memiliki ikatan sosial dan
kekerabatan yang kuat di dalam komunitasnya, atau memiliki bonding
komunitas yang kuat: mengikat anggotanya ke dalam sebuah komunitas (di
level dusun dan desa) berbasiskan identitas etnisitas dan keagamaan (Bali
Hindu). Namun, akar dari kuatnya ikatan ke dalam dari komunitas Bali
Hindu di Lampung tidak bisa dilihat utuh sebagai Bali Lampung atau
“Orang Bali Hindu yang ada di Lampung”. Mengapa? Karena akar dari
kuatnya identitas Bali Lampung tersebut sebenarnya berada di level banjar
(setingkat dusun), dan level di atasnya adalah desa pakraman
(dipersatukan dengan Pura Kahyangan Tiga). Jadi, untuk menilik lebih
jauh bonding komunitas Bali Hindu di Lampung, maka pengkajiannya
harus berada di level banjar dan desa pakraman. Dalam penelitian ini
penulis mengambil kasus Desa Balinuraga: sebuah Desa Pakraman dengan
tujuh banjar yang mayoritas anggotanya merupakan Bali Nusa (Bali Hindu
yang berasal dari Pulau Nusa Penida, Bali), di mana ketujuh banjar
tersebut dipersatukan menjadi sebuah Desa Pakraman dengan hadirnya
Pura Kahyangan Tiga. Model banjar dan desa pakraman komunitas Bali
Hindu di Lampung umumnya sama, tidak ada perbedaan yang mendasar,
kecuali karakteristik dari tempat asalnya. Sebuah model yang juga kurang
lebih sama dengan yang ada di tempat asalnya, Bali dan Nusa Penida,
sebagai sebuah sistem sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bersifat
mengikat komunitas Bali Hindu setelah berada di luar Bali, Lampung. Dari
beberapa kelompok pendatang di Lampung, terutama Jawa dan Bali
kedatangannya ke Lampung melalui program transmigrasi, hanya etnis
Bali Hindu yang secara konsisten dan ajeg mempertahankan dan
mengaplikasikan tradisi Bali Hindu-nya di Lampung – sampai pada
pengaplikasian sistem sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang
kompleks dan rumit, di mana setiap perkampungan Bali atau banjar
memiliki karakteristik yang berbeda dengan banjar yang lain berdasarkan
tempat asalnya (banjar tempat asal).
Pembahasan sub-bagian ini akan dimulai dari level banjar sebagai
basis kebertahanan dan eksistensi tradisi Bali Hindu – dasar dari identitas
kebalian mereka di Lampung. Kemudian, Desa Adat atau Desa Pakraman,
dan selanjutnya Bali Lampung. Setiap level mempunyai bonding
komunitasnya sendiri-sendiri, semakin ke bawah (level banjar) bonding
311
komunitasnya lebih bersifat spesifik dan unik, semakin ke atas (level Bali
Lampung), bonding komunitasnya sudah bersifat general.
Banjar Sebagai Akar Bonding Komunitas Berbasikan Identitas
Tertentu
Untuk melihat Bali Lampung secara utuh, maka yang harus ditilik
lebih jauh adalah banjar sebagai kesatuan komunitas adat dan keagamaan
(setingkat dusun) berbasiskan tradisi Bali Hindu berdasarkan tempat asal
yang menjadi identitas komunitas tersebut. Pada pembahasan sebelumnya
mengenai banjar di Desa Balinuraga diketahui bahwa setiap banjar
memiliki karakteristik dan ciri khas yang membedakannya dengan yang
lain. Pada banjar tertentu, seperti Banjar Pandéarga dan Sidorahayu,
karakteristik dan ciri khas yang melekat adalah identitas warga yang
mendominasi anggota banjar tersebut, yaitu identitas Warga Pandé pada
Banjar Pandéarga dan identitas Warga Pasek pada Banjar Sidorahayu.
Namun, karakteristik dan ciri khas banjar tidak bisa disempitkan pada satu
identitas warga tertentu, terutama saat ini di mana komposisi warga sudah
membaur. Di dalam Banjar Pandéarga terdapat Warga Pasek dan Arya,
begitu juga sebaliknya di Banjar Sidorahayu yang di dalamnya terdapat
Warga Pandé dan Arya.
Faktor berikutnya yang memperkuat komunitas banjar adalah
banjar asal mereka di Nusa Penida. Banjar Pandéarga – cikal bakal Desa
Balinuraga – adalah turunan (replikasi) dari banjar asal transmigran
pertama Nusa Penida (tahun 1963), yaitu Banjar Soyor (Dusun Soyor,
Desa Tanglat, Kecamatan Nusa Penida). Komposisi anggota Banjar
Pandéarga saat itu bukan seluruhnya Warga Pandé, tapi termasuk di
dalamnya Warga Pasek dan Arya. Penamaan Banjar Pandéarga adalah
untuk menghormati Sri Mpu Suci yang menjadi pemimpin transmigran
pertama yang berasal dari Warga Pandé. Dalam perkembangannya, Banjar
Pandéarga diidentikkan sebagai banjar-nya Warga Pandé, meskipun di
dalamnya terdapat anggota yang berasal dari warga lain.
Kesolidan dan kekompakkan banjar di Balinuraga tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan seka-seka yang ada di dalam banjar. Seka
menjadi sebuah perkumpulan komunitas adat-keagamaan dengan
spesifikasi tugas yang lebih khusus, seperti seka tani dan seka gong.
312
Sebagai sebuah perkumpulan di bawah otoritas banjar, seka mengikat
anggotanya dalam sebuah perkumpulan / komunitas yang eksklusif.
Dengan kata lain, seka menjadi fondasi dasar kesolidan dan kekompakkan
anggota banjar. Misalnya, seka tani yang keanggotaannya adalah krama
subak dari petani memiliki sawah dalam wilayah banjar tersebut.
Keanggotaan seka tani ini tidak terbatas pada satu identitas warga, tapi
lebih pada keberadaan lahan pertanian petani dalam wilayah banjar
(dusun) tertentu. Seka gong keanggotaannya lebih spesifik daripada seka
tani. Kasus Banjar Pandéarga dan Banjar Sidorahayu keanggotaannya
secara umum adalah anggota banjar, tapi secara khusus berasal dari warga
tertentu. Hal ini disebabkan salah tugas seka gong tersebut dalam upacara
yang ada di Pura Kawitan yang menjadi identitas warga tertentu.
Sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan,
banjar memiliki struktur organisasi yang salah satunya berfungsi
mempersatukan anggota komunitas sebagai anggota banjar dan umat
Hindu Dharma. Klian banjar adalah ketua adat sekaligus kepala dusun
yang bertugas memimpin masyarakat adat di dalam banjar dan bertugas
sebagai administratur pemerintah sebagai kepala dusun. Peran ganda ini
menyebabkan jabatan klian banjar atau kepala dusun tidak begitu
menonjol, karena lebih banyak memainkan peranan di bidang
administratif. Peran yang menonjol justru dimainkan oleh sulinggih warga,
pemangku, atau pun para sepuh sebagai tokoh sentral yang memperkuat
kesolidan dan kekompakkan banjar sebagai komunitas adat dan agama.
Realitas yang menarik adalah jumlah anggota banjar di Balinuraga
tidak akan menurun meskipun ada beberapa anggota banjar yang merantau
ke daerah lain di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan. Hal ini
disebabkan anggota banjar sudah terikat secara sosial dan emosional
dengan banjar lamanya: identitas atau jati dirinya sebagai Bali Hindu di
Lampung melekat pada banjar tersebut, khususnya yang lahir dan besar di
salah satu banjar di Balinuraga. Artinya, meskipun sudah merantau ke luar
Balinuraga, banjar asalnya tetap dianggap sebagai kampung halaman,
mereka (pasti) akan pulang ke banjar-nya di Balinuraga jika ada upacara
dan hari raya tertentu, misalnya upacara besar seperti pitra yadnya dan
Hari Raya Galungan. Mereka yang sudah merantau tetap dianggap sebagai
anggota banjar asalnya, dan sebagai konsekuensinya ada kewajiban-
313
kewajiban adat dan agama yang harus mereka laksanakan di banjar
tersebut – sama seperti kewajiban yang harus mereka penuhi di banjar
leluhurnya di Nusa Penida. Karenanya tidak mengherankan jika ada
upacara besar seperti ngaben, jumlah massa yang ada di sebuah banjar,
atau jumlah massa di Desa Balinuraga jika upacara ngaben massal,
menjadi lebih banyak daripada jumlah massa di hari-hari biasa.
Desa Adat Sebagai Pemersatu Banjar dan Warga yang Bersitegang
Desa Balinuraga sebagai desa adat atau desa pakraman, terkait
dengan bonding komunitas Bali Nusa, berfungsi sebagai pemersatu
ketujuh banjar. Peran desa adat tidak begitu menonjol di Balinuraga,
karena peran penting di bidang adat dan keagamaan sudah diambil-alih dan
dimainkan dengan baik oleh masing-masing banjar. Jadi, fungsinya
sebagai pemersatu ketujuh banjar lebih bersifat simbolis untuk
mengidentifikasikan bahwa Desa Balinuraga dengan ketujuh banjar-nya
merupakan sebuah desa atau komunitas Bali Hindu yang berasal dari Nusa
Penida, Bali. Sama seperti klian banjar, ketua desa adat perannya lebih
menonjol sebagai administratur pemerintahan desa dinas atau Kepala
Desa.
Faktor penting yang mempersatukan ketujuh banjar sebagai
komuntias adat dan keagamaan di Balinuraga (level desa) adalah
keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan PHDI sebagai majelis yang
mewadahi berbagai kepentingan masyarakat Desa Balinuraga sebagai umat
Hindu Dharma. Karena peran banjar sebagai kesatuan adat dan keagamaan
sudah menguat, keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan PHDI sebagai
pemersatu komunitas Bali Hindu lebih bersifat simbolis. Hal ini tidak
dapat dilepaskan dari perang dingin antar kelompok warga tertentu. Jadi,
meskipun keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan PHDI sebagai pemersatu
lebih bersifat simbolis, kehadiran keduanya tetap memiliki nilai penting
untuk mempersatukan kedua kubu warga yang bersitegang ini sebagai Bali
Nusa dan umat Hindu Dharma. Contoh sederhananya adalah sebagai
berikut: meskipun aktivitas adat dan keagamaan lebih banyak difokuskan
di Pura Kawitan, tapi masyarakat Balinuraga dalam menyelenggarakan
upacara pitra yadnya (ngaben) tetap menggunakan satu Pura Dalem (salah
314
satu dari Pura Kahyangan Tiga) yang sama, khususnya jika
diselenggarakan upacara ngaben massal. Hal ini tidak dapat dilepaskan
dari perang dingin antara kelompok warga yang menyebabkan satu kubu
warga membangun Pura Puseh (dan Penataran Bale Agung) untuk
kelompok warga-nya sendiri. Sebuah tindakan yang disesalkan oleh para
tokoh agama dan masyarakat, karena perang dingin para elit warga sampai
memecah umat, dengan memisahkan Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh).
Dalam kasus ini, kehadiran PHDI sebagai majelis umat Hindu Dharma di
Balinuraga sangat penting sebagai penengah sekaligus pemersatu, yaitu
menentukan Pura Desa dan Pura Puseh mana yang akan digunakan untuk
upacara besar keagamaan yang bersifat formal, sehingga semua umat
Hindu Dharma di Balinuraga bisa bersatu dan tidak terpecah belah –
biasanya yang dipilih adalah Pura Desa dan Pura Puseh yang pertama kali
dibentuk saat berdirinya Desa Balinuraga.
Bali Lampung: Bonding seluruh Komunitas Bali Hindu di Lampung
Apa yang mempersatukan seluruh anggota komunitas Bali Hindu
(umat Hindu Dharma) yang ada di Lampung, baik Bali Hindu yang berasal
dari Bali maupun Nusa Penida dengan berbagai identitas warga-nya?
Jawabannya cukup sederhana, yaitu keberadaan Pura Way Lunik, atau
biasa disebut oleh umat Hindu Dharma (Bali Hindu) “Pura Kahyangan
Kerthi Bhuana”241
. Pura ini disebut sebagai “Pura Besakih”-nya atau “Pura
Pemersatu”-nya Bali Hindu yang ada di Lampung dan sekitarnya. Pura ini
terletak di Kecamatan Way Lunik (daerah Panjang), Bandar Lampung.
Eksistensi pura ini sebagai pura pemersatu komunitas Bali Hindu di
Lampung biasanya dapat disaksikan saat Hari Raya Kuningan. Massa yang
jumlahnya ribuan datang dari berbagai wilayah Lampung. Seluruh umat
Hindu Dharma dari etnis Bali berkumpul di Pura ini untuk bersembahyang.
Terkadang oleh para pemuda dan pemudi Bali Hindu dijadikan sebagai
241
Pura Way Lunik – panggilaan umum Pura Kerthi Bhuana – termasuk dalam
pura kahyangan jagat atau pura untuk tempat pemujaan umum. Sebagai tempat
pemujaan umat (Hindu Dharma), pura ini tidak membeda-bedakan asal-usul
keluarganya, asal desanya maupun profesinya. Dengan kata lain, pura ini (dapat
dikatakan) tergolong pura yang egaliter, sebagai pemersatu umat dengan tidak
mempertimbangkan asal usul maupun status umat yang bersifat adat.
315
tempat untuk mencari jodoh, karena semua muda-mudi Bali Hindu dari
penjuru Lampung berkumpul di sini. Selain itu, Pura ini menjadi sebuah
tempat yang terbuka, orang non-Bali Hindu bisa memasuki tempat ini
untuk bermain atau berwisata, dan lokasinya yang berdekatan dengan
daerah industri dan pelabuhan menjadikan suasana Pura ini tidak lagi
kondusif sebagai tempat suci untuk peribadatan. Ini yang menyebabkan
para tokoh agama Hindu dan tokoh masyarakat Bali Hindu memilih opsi
lain untuk memindahkan “Pura Pemersatu” ini, agar kesuciannya tetap
terjaga dan tidak “dikotori” oleh pihak lain.
Secara organisasional, kehadiran organisasi semi-pemerintah –
PHDI Provinsi – sangat penting sebagai pemersatu komunitas Bali Hindu
secara legal dan resmi di Lampung sebagai umat Hindu Dharma. Melalui
cabang organisasinya yang sampai ke tingkat desa, PHDI mampu
mewadahi dan mempersatukan umat Hindu Dharma dari perpecahan yang
bersifat adat (pertentangan warga) dan perbedaan penafsiran dalam ajaran
Hindu Dharma.
Bonding yang Terbuka
Jika diperhatikan secara seksama kuatnya bonding komunitas Bali
Nusa di level banjar (dan seka-seka di dalamnya) dan level desa adat,
serta di level provinsi (Bali Lampung: Bali dan Bali Nusa), bukan sesuatu
yang sengaja atau pun tidak disengaja dibentuk untuk memperkuat
komunitas mereka, sehingga disegani atau ditakuti oleh kelompok etnis
dan keagamaan lain. Komunitas yang solid dan kompak yang berakar dari
level banjar merupakan hasil dari sebuah sistem sosial kemasyarakatan
dan keagamaan berdasarkan tradisi Bali Hindu yang telah mengikat
dengan kuat sampai pada setiap individu, di mana karena kuatnya ikatan
sosial tersebut mereka terapkan dan aplikasikan setelah keberadaannya di
Lampung. Dalam kasus banjar-banjar yang ada di Balinuraga, keberadaan
banjar tersebut merupakan aplikasi dan replikasi dari sistem banjar yang
ada di Nusa Penida, Bali – secara umum hampir sama dengan sistem
banjar, dan dalam skala lebih luas, hampir sama dengan sistem sosial
kemasyarakatan dan keagamaan yang umum berlaku di Bali.
316
Bonding komunitas Bali Nusa di level banjar merupakan model
bonding yang lebih eksklusif, peran dan fungsinya menjadi lebih spesifik
pada seka-seka yang ada di dalam banjar tersebut. Namun, bonding di
level desa adat (Desa Balinuraga) sifatnya lebih terbuka, karena banjar-
banjar dipersatukan dalam sebuah desa adat yang secara simbolis
dipersatukan dengan keberadaan dan eksistensi dari Pura Kahyangan Tiga.
Identitas warga dan banjar asal di Nusa Penida – yang secara umum
menjadi ciri khas banjar di Balinuraga – dipersatukan dalam satu identitas
“Desa Balinuraga” sebagai sebuah desanya Bali Nusa, orang Bali Hindu
dari Nusa Penida. Sama seperti halnya di level provinsi, identitas yang
mempersatukan mereka (mengikat ke dalam komunitas / bonding) lebih
bersifat terbuka, yaitu Bali Lampung. Keberadaan Pura Kahyangan Kerthi
Bhuana yang terletak di Bandar Lampung (ibukota Provinsi Lampung)
mempersatukan semua komunitas Bali Hindu yang tersebar di wilayah
Provinsi Lampung dan sekitarnya dengan segala identitas banjar dan
warga, yaitu dalam ikatan bonding yang lebih luas sebagai umat Hindu
Dharma Provinsi Lampung. Kasus ini menunjukkan bahwa bonding tidak
selalu tertutup pada satu identitas tungggal (level banjar), dalam level
tertentu yang lebih tinggi bonding sebuah komunitas bersifat terbuka (level
desa dan provinsi). Dengan kata lain, dalam bonding di level yang lebih
tinggi (desa dan provinsi) di dalam bonding tersebut ada bridging antar
kelompok yang berbeda identitas tempat asal, banjar, dan warga (status
sosial).
Karena itu, tidak mengherankan jika masyarakat Bali di Lampung
terkenal dengan kesolidan dan kekompakkan komunitasnya. Solidaritas
mereka telah mengakar kuat sampai di level banjar sebagai basis massa
komunitas mereka. Ini yang menyebabkan persatuan masyarakat Bali di
Lampung terkenal kuat, sampai ke perkampungan-perkampungan Bali.
Contoh konkritnya yang terkenal adalah perang kampung di awal tahun
1990-an. Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi komunitas mereka (Bali
Hindu) untuk membantu anggota komunitasnya yang menjadi korban
kekerasan dari komunitas lain (non-Bali Hindu). Dalam kasus perang
kampung, ada beberapa orang dari anggota komunitas yang menjadi
korban kekerasan pembegalan motor. Awalnya massa di level banjar dan
desa belum mengambil tindakan. Tindakan baru diambil setelah tindakan
317
pembegalan tersebut tidak dapat ditolerir. Massa yang berkumpul tidak
hanya massa dari salah satu banjar di Balinuraga yang menjadi korban
pembegalan, tapi seluruh massa yang ada di setiap banjar di Balinuraga.
Massa menjadi bertambah besar setelah mendapatkan bantuan massa dari
perkampungan Bali lain yang ada di Lampung Selatan. Sebagian massa
bertugas menjaga kampung untuk menjaga serangan balik, sebagian besar
massa bertugas menyerang kampung lain yang menjadi tempat kejadian
pembegalan. Dari kasus perang kampung ini menunjukkan solidaritas yang
kuat dari komunitas Bali yang ada di Lampung, dalam kasus ini Lampung
Selatan. Hal ini menyebabkan pihak militer dan kepolisian segera turun
tangan, karena jika tidak, massa (komunitas Bali Hindu) yang berasal dari
kabupaten lain (khususnya Lampung Tengah, dengan massa yang lebih
besar daripada di Lampung Selatan) sudah siap untuk membantu
penyerangan tersebut. Pihak keamanan, khususnya militer, tidak mau
ambil resiko lebih jauh, karena peristiwa ini terjadi tidak lama setelah
peristiwa berdarah di Talang Sari (1989)242
. Sejumlah tokoh yang
dilibatkan dalam proses perundingan dan beberapa anggota masyarakat
Balinuraga yang turut serta dalam penyerangan mengatakan bahwa jika
tindakan kekerasan yang menimpa salah satu anggota komunitas tidak
dapat ditolerir lagi, maka massa dari berbagai komunitas Bali akan
bergabung untuk mengadakan aksi balasan. Jika ini terjadi, maka akan
sulit dibendung, karena rasa solidaritas komunitas Bali Hindu di Lampung
sangat kuat – aksi massa seperti meniru semangat puputan (terkesan
seperti brutalisme massa). Bagi mereka tindakan pembegalan terhadap
anggotanya merupakan sebuah penghinaan harga diri mereka sebagai
orang Bali. Menurut mereka, jika sudah menyinggung harga diri, maka
massa yang akan bergerak. Kasus perang kampung ini menjadi klimaks
bagaimana solidaritas dan kekompakkan Kampung Bali: menjadi lebih
disegani bahkan seperti menjadi momok bagi komunitas lain. Ini yang
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mengapa Kampung Bali di
Lampung lokasinya relatif lebih aman daripada perkampungan lain.
242
Lihat: Chaidar, Al. (2000), Lampung Bersimbah Darah: Menelusuri Kejahatan
“Negara Intelejen” Orde Baru dalam Peristiwa Jama’ah Warsidi, Editor:
Zulfikar Salahuddin, Muhammad Muntasir, Imam Shalahudin, Taufik Hidayat,
Madani Press.
318
Batasan bonding yang terbuka ini adalah (dibatasi) pada ruang
lingkup komunitas Bali Hindu (Bali Nusa) di Desa Balinuraga, dan Bali
Lampung pada umumnya. Bonding yang terbuka dalam ruang yang lebih
luas – terutama dalam interaksi ekonominya dengan komunitas etnis lain –
akan diuraikan lebih lanjut pada bagian berikutnya. Bagian ini
menunjukkan bahwa bonding komunitas Bali Nusa – di dalam komunitas
Bali Nusa di Dea Balinuraga – bersifat terbuka pada level desa, di mana
batasan-batasan identitas banjar dan warga bisa dipersatukan (khususnya)
secara simbolis dengan adanya Pura Kahyangan Tiga (dan PHDI sebagai
majelis umat dengan perannya sebagai penengah dan pemersatu umat
Hindu Dharma dari pertentangan atau perselisihan yang lebih bersifat
adat).
Pembangunan Berbasis Identitas
Ciri khas sistem perekonomian Desa Balinuraga tidak dapat
dilepaskan dari sistem sosial yang diadaptasi dari Nusa Penida, Bali –
sebuah sistem perekonomian tradisional yang secara umum hampir sama
dengan yang ada di Bali. Peran banjar di Balinuraga tidak hanya sebagai
basis komunitas adat dan agama, tetapi juga sebagai basis perekonomian
bagi anggota banjar yang bersangkutan. Peran yang paling menonjol
adalah adanya seka tani sebagi bagian dari sistem subak (krama subak)
yang ada dalam teritori sebuah banjar.
Setiap banjar memiliki ciri khas dan karakteristik tersendiri yang
berbeda dengan banjar lain. Perbedaan ini menjadi identitas pada setiap
banjar. Identitas yang paling menonjol pada sebuah banjar adalah identitas
warga. Banjar sebagai komunitas adat dan agama menjadi berbeda dengan
yang lain karena perbedaan identitas warga. Setiap warga memiliki tata
cara upacara dan upakara yang berbeda dengan warga yang lain – secara
umum sama, tapi memiliki perbedaan pada ritual-ritual tertentu sebagai
pembeda, dan bagian pembeda ini (ritual dan tata cara upacara-upakara
khas warga) tidak bisa disamakan antara warga satu dengan warga yang
lain. Konsekuensinya, sistem ekonomi banjar – sebagai basis
perekonomian Desa Balinuraga – menjadi satu dengan sistem sosial yang
berlaku dalam banjar tersebut dengan identitas warga-nya. Penulis tidak
bermaksud menyempitkan banjar pada satu identitas tunggal sebuah
319
warga tertentu, karena keunikkan setiap banjar tidak hanya pada identitas
warga-nya – di mana berpengaruh pada ritual dan upacara adat-keagamaan
dalam menjalankan perekonomiannya – tetapi ada identitas lain, seperti
kesamaan banjar asal di Nusa Penida tapi dengan identitas warga yang
berbeda. Catatan penting yang ingin penulis sampaikan adalah setiap
banjar di Balinuraga dapat dikatakan sebagai sebuah komunitas ekonomi
yang otonom, di mana komunitas ekonomi ini menjadi kesatuan dengan
adat dan keagamaan dalam sebuah banjar. Sistem ekonomi di dalam
banjar berjalan seiring dengan sistem adat dan keagamaan dalam sebuah
sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat Bali – sebuah sistem sosial
yang mereka terapkan dan aplikasikan setelah berada di Lampung.
Karenanya, akan menjadi sulit jika menjelaskan sistem ekonomi banjar
secara terpisah dengan sistem adat dan keagamaan. Ketiganya saling kait-
mengait. Bukti bahwa komunitas ekonomi di dalam sebuah banjar
merupakan komunitas ekonomi yang otonom adalah pembangunan
infrastruktur sosial-adat-keagamaan yang menjadi tradisi Bali Hindu, yaitu
Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem), Pura
Kawitan Warga, tugu-tugu desa, bale banjar dan desa, jalan desa dan
dusun, dan lain-lain. Bangunan penting tersebut dibangun secara swakarsa,
khususnya bangunan suci keagamaan. Dana dan tenaga diusahakan secara
swakarsa oleh anggota masyarakat desa (banjar-banjar), tidak
mengandalkan bantuan dari pemerintah. Ini yang menyebabkan status
Desa Balinuraga sebagai Desa Swakarsa. Singkatnya, sistem ekonomi di
dalam banjar berjalan ketika sistem sosial (adat dan keagamaan, termasuk
sistem ekonomi itu sendiri) berjalan.
Sistem Sosial dan Ekonomi
Poin penting dalam bagian ini adalah bahwa banjar merupakan
basis perekonomian Desa Balinuraga, yang perannya dijalankan secara
khusus dengan keberadaan seka tani. Keberhasilan ekonomi sebuah banjar
di bidang pertanian, dapat digunakan untuk meningkatkan status sosial
anggota banjar. Status sosial ini melekat pada identitas warga tertentu, di
mana identitas warga tersebut juga menjadi bagian dari identitas banjar.
Manifestasinya – sebagai wujud eksistensi dan status sosial warga-nya –
adalah pembangunan Pura Keluarga (rong telu) dan Pura Kawitan yang
320
besar dan artistik, dan penyelenggaraan upacara-upacara penting, seperti
upacara pitra yadnya. Faktor ini yang menjadi salah satu faktor utama
keberhasilan ekonomi level keluarga inti Bali Nusa di Balinuraga – dan
Bali Hindu di Lampung pada umumnya. Ini yang menyebabkan mengapa
mereka harus bekerja keras, ulet, dan hemat untuk pengeluaran yang tidak
ada kaitan langsung dengan urusan adat dan agama.
Seka Tani sebagai Penggerak Perekonomian Banjar
Seka tani disebut sebagai penggerak perekonomian banjar
dikarenakan profesi utama masyarakat Balinuraga yang tersebar di ketujuh
banjar adalah sebagai petani padi lahan kering (sawah tadah hujan)243
.
Keberadaan seka tani ini, yang merupakan bagian dari sistem subak atau
krama subak dari setiap banjar, sangat vital sebagai penggerak ekonomi
setiap anggota banjar yang berprofesi sebagai petani. Melalui seka tani ini
para petani setiap banjar memiliki waktu pembenihan sampai waktu
pemanenan dan penjualan yang serempak, dan waktunya tidak berbeda
jauh dengan banjar-banjar yang lain244
. Sebagai bagian dari krama subak,
anggota dari seka tani ini melakukan ritual dan upacara adat-keagamaan
yang berhubungan dengan kegiatan pertanian mereka. Ritual dan upacara
243
Geertz (1977: 90) menyebutkan bahwa hampir seluruh kehidupan ekonomi di
Bali itu terrealisasi lewat salah satu dari seka-seka yang ada. Meskipun ada seka
yang memiliki tujuan keagamaan dan politik, namun implikasi-implikasi dan tugas
khusus yang bersifat ekonomis dilakukan di dalam seka tersebut (kategori seka
jemaah kuil dan kesatuan tempat tinggal). Kategori seka yang kegiatan
ekonominya lebih menonjol adalah masyarakat pengairan dan pertanian,
kelompok kekerabatan, dan perkumpulan sukarela. Dalam kasus di Balinuraga,
seka tani yang paling menonjol kegiatan ekonominya karena terkait dengan
profesi mereka sebagai petani, di samping masih ada seka-seka lain yang berperan
ekonomi (tidak semenonjol seka tani). Karenanya, seka tani dapat dikatakan
sebagai basis ekonomi banjar. 244
Keseragaman waktu dalam pola pertanian ini (pola tanam dan pola panen) yang
menyebabkan Desa Balinuraga menjadi seperti desa kosong ketika memasuki
masa tanam. Waktu libur, biasanya saat musim kemarau, digunakan untuk
mengadakan upacara penting, seperti upacara pitra yadnya, agar tidak
mengganggu kegiatan pertanian. Sebuah periode waktu yang sulit diprediksi saat
ini, ketika terjadi perubahan cuaca / iklim, di mana pola hujan dan kemarau
menjadi tidak jelas.
321
besarnya – Ruwatan Hasil Panen – dilakukan di Pura Subak dan bale
banjar, sedangkan ritual harian dilakukan di pura tani yang dimiliki setiap
petani di areal pertaniannya. Keanggotaannya bersifat eksklusif pada setiap
banjar, khususnya yang areal pertaniannya termasuk dalam teritori banjar
atau dusun. Sistem subak di Balinuraga berbeda dengan yang ada di Bali,
lebih mirip dengan yang ada di Nusa Penida. Perbedaaan utamanya
terletak pada sistem irigasi. Pertanian di Balinuraga merupakan pertanian
sawah tadah hujan. Jadi tidak ada sistem pembagian air yang menjadi ciri
khas dari subak seperti di Bali. Namun, persamaannya yang bersifat
penting adalah fungsi krama subak atau seka tani, yang tidak hanya
berfungsi sebagai lembaga ekonomi, tapi juga sebagai lembaga adat dan
keagamaan yang berada di bawah naungan banjar – sebagai bagian dari
sebuah sistem sosial besar yang berlaku dalam masyarakat Bali pada
umumnya.
Informasi yang penulis peroleh dari beberapa anggota komunitas
non-Bali, khususnya dari etnis Jawa, Tionghua, dan Lampung245
,
245
Narasumber dari etnis Jawa di antaranya: (1) seorang pengusaha muda
(nasrani) mempunyai usaha penggilingan padi, toko peralatan dan bengkel sepeda
motor, yang baru tahun 2010 menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di pemerintahan
kabupaten Lampung Selatan; (2) seorang pengusaha muda (muslim), yang sudah
diwarisi usaha penggilingan dan pengepul padi. Usahanya merupakan salah satu
yang terbesar di kecamatan. Pengusaha muda yang pertama pun, menjual hasil
penggilingan padinya ke pengusaha muda ini; (3) seorang PNS senior (nasrani),
jabatan Pengawas Sekolah, yang juga memiliki usaha penggilingan padi, beberapa
hektar sawah, dan peternakan ikan. Dalam profesinya sebagai pengusaha
penggilingan padi, mereka tahu daerah-daerah mana yang merupakan daerah
penghasil padi, salah satu daerah penghasil padi yang besar adalah Desa
Balinuraga. Terkait dengan profesi tersebut, bukan rahasia umum bagi mereka
bahwa petani-petani yang ada di Desa Balinuraga perekonomiannya sudah mapan
bila dilihat dari luas sawah dan hasil panennya. Untuk mendapatkan padi dari
Desa Balinuraga, para pengusaha ini harus bersaing dengan beberapa pengusaha
penggilingan padi yang ada di Balinuraga. Informan lainnya dari etnis Jawa adalah
tokoh pemuda (muslim) yang dalam pergaulannya mengetahui bagaimana pola
perilaku dari pemuda-pemuda Bali yang ada di Balinuraga, terutama pola
konsumerismenya; dan beberapa informan lainnya dari etnis Jawa yang menjadi
tetangga dan mengetahui masyarakat Balinuraga. Narasumber dari etnis Lampung
di antaranya adalah (1) salah satu tokoh muda yang memiliki pergaulan yang luas.
Sebagai salah seorang karyawan di salah satu dealer sepeda motor di pasar
322
menyebutkan bahwa perekonomian masyarakat Balinuraga dapat
dikatakan sudah mapan. Dengan kata lain, mereka sudah menjadi petani
yang sukses. Terkait dengan kemapanan perekonomian masyarakat
Balinuraga, untuk menghindari generalisasi dan subjektivitas berlebihan
yang menganggap masyarakat Balinuraga perekonomiannya lebih mapan
daripada komunitas lain (meskipun secara umum komunitas lain non-Bali
menyebutkan bahwa secara umum perekonomian mereka sudah mapan),
maka penulis menggunakan indikator kemapanan ekonomi berdasarkan
versi masyarakat Balinuraga. Hal ini didasarkan atas realitas yang ada di
Balinuraga, bahwa ada beberapa keluarga (dalam jumlah relatif kecil) yang
perekonomiannya belum mapan berdasarkan versi masyarakat Balinuraga
sebagai seorang Bali dan Hindu. Biasanya lebih disebabkan faktor
individu, yang lain daripada masyarakat Balinuraga pada umumnya, yaitu
malas, kurang ulet dalam bertani (sebutan mereka bawaan lahir). Berikut
ini adalah beberapa indikator kemapanan berdasarkan versi masyarakat
Bali Nusa di Balinuraga: (1) berhasil membangun Pura Keluarga secara
permanen yang menjadi manifestasi Pura Kahyangan Tiga di level
keluarga inti. Semakin besar Pura Keluarga dan semakin artistik (dicat
dengan berwarna, dilengkapi taman yang besar dan indah, serta patung /
arca dari beberapa dewa), maka menunjukkan perekonomiannya semakin
kecamatan, yang banyak berinteraksi dengan banyak konsumen dan aktivitas
ekonomi di pasar kecamatan, pemuda ini mengetahui bagaimana pola ekonomi –
khususnya membelanjakan uangnya untuk membeli sepeda motor baru dari dealer
– masyarakat Balinuraga; (2) beberapa etnis Lampung yang berprofesi sebagai
tukang ojek – sebuah profesi alternatif yang (banyak) ditekuni oleh penduduk asli,
karena peran ekonominya sudah banyak tergeser oleh pendatang (khususnya
transmigran Jawa dan Bali). Sebagai penduduk asli, mereka sudah mahfum benar
bagaimana kematangan perekonomian masyarakat Balinuraga dan
perkembangannya – sampai akhirnya menggeser perekonomian mereka sebagai
penduduk asli. Narasumber dari etnis Tionghua di antaranya adalah para pedagang
di pasar kecamatan. Pedagang Tionghua ini sudah berdagang puluhan tahun di
pasar kecamatan. Mereka sudah paham benar konsumennya yang berasal dari
masyarakat Balinuraga. Menurut mereka: “Orang Bali pembeli yang loyal. Jika
sudah percaya, mereka akan terus belanja di toko itu, dan jarang menawar
barang.” Beberapa pedagang memiliki hubungan yang dekat sekali – sudah
dianggap seperti keluarga sendiri – dengan tokoh / sesepuh di Balinuraga.
Biasanya terkait hubungan “pelancar bisnis”.
323
mapan. Tingkatan yang lebih tinggi adalah memberikan sumbangan dana
yang besar bagi pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga
(perioritas utama), berikutnya (perioritas kedua) sumbangan untuk Pura
Kahyangan Tiga; (2) berhasil membangun rumah permanen. Syarat untuk
membangun rumah permanen adalah telah membangun Pura Keluarga.
Jika Pura Keluarga pembangunannya belum selesai, maka rumah tidak bisa
dibuat permanen, atau dibangun dalam bentuk semi permanen. Rumah
yang besar dan artistik berikut dengan Pura Keluarga-nya menunjukkan
status sosial dan ekonomi; (3) berhasil menyekolahkan anak-anaknya.
Minimal setingkat SMU. Semakin tinggi jenjang pendidikan anak, maka
semakin mapan perekonomiannya; (4) memiliki sawah di atas dua hektar.
Menurut mereka, mempunyai tanah dua hektar sama saja belum “memiliki
tanah”. Hasil panen dari tanah dua hektar umumnya hanya mencukupi
kebutuhan dasar dan kebutuhan penyelenggaraan upacara dan ritual yang
bersifat rutin. Ini yang menyebabkan untuk tanah seluas dua hektar,
mereka dapat mengerjakannya sendiri, bersama anggota keluarga intinya.
Jadi, hasil pertanian baru bisa terlihat atau tampak dalam wujud fisik jika
memiliki tanah di atas dua hektar; (5) memiliki hewan ternak utama seperti
babi dan sapi. Hewan ternak babi dan sapi adalah bentuk tabungan yang
masih tradisional. Untuk mencairkannya menjadi uang tunai, tidak
membutuhkan waktu yang lama. Biasanya pengepul akan datang ke rumah
masyarakat Balinuraga untuk membeli babi dan sapi. Hasil penjualan babi
biasanya digunakan untuk keperluan keluarga yang biayanya relatif kecil,
sedangkan hasil penjualan sapi untuk keperluan yang lebih besar, seperti
pulang kampung ke Nusa Penida dan menyelenggarakan upacara ngaben.
Babi juga dijadikan sebagai persembahan dan hidangan jika ada upacara
besar; (6) mampu pulang kampung ke Nusa Penida secara rutin. Paling
tidak setahun sekali, atau dua tahun sekali. Minimal mampu pulang
kampung ke Nusa Penida ketika ada upacara penting di sana. Pulang
kampung adalah indikator kemapanan ekonomi mereka, tidak hanya di
lingkungan Balinuraga, tapi keluarga dan kerabat yang masih ada di Nusa
Penida; (7) mampu meng-aben-kan anggota keluarganya yang telah
meninggal. Upacara ngaben atau pitra yadnya adalah upacara besar dan
penting bagi masyarakat Balinuraga sebagai Bali Hindu. Sebuah upacara
besar dan penting yang tidak hanya menjadi kewajibaan anggota keluarga
324
yang masih hidup, tapi sebuah upacara yang secara ekonomi membutuhkan
biaya yang tidak sedikit. Anggaran minimal yang harus disiapkan untuk
upacara ngaben pribadi kurang lebih mencapai seratusan juta rupiah,
sedangkan upacara ngaben massal biaya yang dibutuhkan per keluarga
minimal kurang lebih mencapai puluhan juta rupiah (mulai dari sepuluh
sampai lima puluh juta rupiah). Oleh karena itu, hanya keluarga yang
perekonomiannya telah mapan yang sanggup menyelenggarakan upacara
pitra yadnya ini, khususnya upacara ngaben pribadi, dan jika belum
mampu menyelenggarakan upacara ngaben pribadi, pihak keluarga
biasanya menabung terlebih dahulu atau menunggu waktu yang tepat
untuk mengikuti upacara ngaben massal. Asumsi dasar dari ketujuh
indikator kemapanan versi masyarakat Balinuraga ini adalah bahwa
kebutuhan dasar seperti pangan dan pakaian, serta bantenan yang bersifat
harian sudah terpenuhi dengan baik.
Lalu yang menjadi pertanyaan penting adalah apa yang menjadi
kunci kemapanan perekonomian mereka – terkait dengan profesinya
sebagai petani? Menurut mereka, kunci keberhasilan ekonomi masyarakat
terletak pada eksistensi seka tani atau krama subak yang menjadi basis
perekonomian banjar. Unsur adat dan keagamaan yang ada di dalam
krama subak yang menjadi satu dengan kegiatan ekonomi mewajibkan
mereka untuk melalukan proses pertanian secara serempak. Mulai dari
masa pembenihan sampai masa panen dan penjualan. Ada ritual dan
upacara bersifat adat dan keagamaan yang harus mereka lakukan pada
setiap tahapan proses pertanian. Untuk memulai satu tahapan, misalnya
masa tanam, harus didasarkan hari baik dan ada ritual serta upacara yang
harus dilakukan. Relevansi ekonomi dari aktivitas adat dan keagamaan
dalam seka tani ini adalah pada penjualan hasil panen. Ini yang menjadi
pembeda dengan petani dari etnis lain non-Bali Hindu. Mereka tidak
diperkenankan menjual hasil panennya di saat masa panen itu berlangsung.
Ada upacara besar yang bernama ruwatan hasil panen yang harus
dilaksanakan oleh krama subak. Kemudian, ada kebiasaan untuk menunda
penjualan hasil panen, yaitu dengan menyimpan hasil panen di lumbung
(jineng). Hasil panen umumnya mereka jual setelah masa panen besar dari
petani-petani lain (non-Bali) mulai berakhir, atau saat paceklik.
Singkatnya, mereka menjual hasil panennya ketika harga jual gabah atau
325
beras mulai naik. Sudah menjadi rahasia umum jika pengepul akan
membeli hasil panen dengan harga yang rendah (di bawah harga pasar)
saat panen raya, dan ketika pengepul langsung membeli hasil panen di
lokasi panen saat panen berlangsung. Sebuah tindakan yang tidak
diperkenankan berdasarkan tradisi mereka dan pantang dilakukan (menjual
hasil panen saat panen): ada kewajiban untuk mempersembahkan hasil
panen kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pengucapan syukur. Selain
itu, waktu yang dibutuhkan untuk persiapan dan penyelenggaraan upacara
ruwatan hasil panen, di mana selama waktu tersebut hasil panen tetap
tidak diperkenankan untuk langsung dijual. Paling tidak, selama waktu
persiapan dan penyelenggaran upacara tersebut, mereka sudah terhindar
dari harga rendah karena sudah melewati masa panen.
Harga jual hasil panen yang baik tidak berdampak signifikan atas
kemapanan ekonomi mereka jika tidak disertai dengan pola konsumsi atau
pola belanja atas pendapatan hasil penjualan panen. Masyarakat
Balinuraga dikenal hemat untuk pengeluaran yang tidak perlu, khususnya
yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan adat dan keagamaan –
kecuali untuk kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, kesehatan, dan
pendidikan anak. Mengingat banyaknya upacara dan ritual adat-keagamaan
yang wajib mereka laksanakan, di mana membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Lalu, pertanyaan berikutnya apa solusi yang harus mereka lakukan
selain bekerja keras dan ulet di lahan pertaniannya? Solusinya adalah
dengan menambah luas areal persawahannya. Saat ini harga tanah di
Balinuraga sudah tinggi, dan sudah tidak memungkinkan (sudah sulit)
untuk membuka lahan baru atau menambah lahan baru. Untuk menambah
lahan baru di Balinuraga dan wilayah sekitarnya adalah dengan membeli
tanah pertanian yang dijual oleh petani lain, dan ini jarang terjadi di
Balinuraga karena tanah ini adalah aset ekonomi mereka. Oleh karena itu,
solusi yang mereka tempuh adalah dengan melakukan ekspansi lahan
pertanian di areal perkebunan di tempat lain, seperti Lampung Timur dan
Sumatera Selatan (perbatasan dengan Lampung Timur) yang harga
tanahnya di tahun 1980-1990an masih murah dan ketersediaan tanahnya
masih sangat luas. Ada yang menjual sebagaian tanahnya di Balinuraga, di
mana hasil penjualan tanah tersebut bisa mendapatkan tanah yang lebih
luas di tempat lain untuk perkebunan tanaman keras, seperti kelapa sawit
326
dan karet. Ada pula yang menggunakan uang tabungannya untuk membeli
tanah perkebunan di tempat lain – tabungan yang berhasil dikumpulkan
selama bertahun-tahun dengan pola belanja yang “hemat”. Tabungan ini
sangat mudah mereka kumpulkan khususnya di masa Orde Baru, di mana
menurut mereka mencari uang relatif lebih mudah daripada pasca Suharto.
Masa-masa ini (Orde Baru) ekspansi lahan lebih relatif mudah dilakukan,
megingat di tahun 1990-an lahan pertanian di Balinuraga sudah bersifat
stagnan (sudah tidak memungkinkan untuk diperluas, kecuali mencari
lahan baru di tempat lain). Biasanya tanah perkebunan tersebut tidak
mereka kerjakan sendiri, tapi menggunakan jasa orang lain, umumnya
berasal dari etnis Jawa. Di samping itu, ada beberapa keluarga yang
bertransmigrasi lagi ke tempat lain, tapi tetap menjadi anggota banjar di
Balinuraga, untuk menggarap perkebunan. Saat ini, meskipun tahun 2008
harga sawit sempat anjok, tapi secara umum hasil perkebunan seperti
kelapa sawit, khususnya karet, memiliki nilai jual yang lebih tinggi
daripada bercocok tanam padi tadah hujan. Oleh karena itu, jika melihat
keadaan ekonomi mereka yang mapan, terkadang di waktu-waktu tertentu
mereka terlihat santai di bale bengong, tapi memiliki rumah dan pura
keluarga yang bagus, mampu menyelenggarakan upacara besar dan pulang
kampung secara rutin, berhasil menyekolahkan anak dan membelikan
sepeda motor terbaru dari dealer sepeda motor; hasil ini bisa mereka
peroleh dan nikmati karena memiliki perkebunan tanaman keras di tempat
lain, di luar Balinuraga. Namun, fondasi dasar ekonomi mereka di banjar,
hingga akhirnya bisa melakukan ekspansi lahan pertanian dan perkebunan
guna pemapanan ekonomi di level keluarga inti adalah keberadaan seka
tani. Singkatnya, tidak mungkin bisa mencapai kemapanan ekonomi –
melihat banyak dan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk kewajiban adat
dan keagamaan – tanpa adanya penambahan aset (kapital fisik: tanah).
Kemudian, sebagian dari hasil pendapatan ini – yang sudah disisihkan –
digunakan untuk membangun banjar. Wujudnya yang paling menonjol
adalah pada pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga yang
menjadi identitas banjar tertentu. Ini adalah status sosial di level
komunitas – kelompok warga – yang dapat ditingkatkan dengan
pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga, di mana hanya bisa
dilakukan jika perekonomian anggota banjar tersebut (per level keluarga
327
inti) sudah mapan. Untuk anggota warga yang Pura Kawitan Warga-nya
tidak terletak di dalam banjar di mana ia tinggal dan tergabung dalam seka
tani atau krama subak di banjar tersebut, maka ia tetap memiliki
kewajiban ekonomi untuk pembangunan dan renovasi Pura Kawitan
Warga-nya yang berada di banjar lain, selain kewajiban adat dan agama.
Sistem Sosial sebagai Modal Sosial
Dalam sub-bagian ini penulis akan menguraikan konsep modal
sosial dalam perspektif lain: bukan berdasarkan perspektif Barat dalam
menguraikan konsep modal sosial, yang akhirnya (berakibat) dalam kasus
ini hanya akan melakukan pembenaran, tapi perspektif Barat tersebut lebih
digunakan sebagai rambu-rambu. Sebuah perspektif lain yang titik
pijaknya pada realitas yang ada dalam sebuah sistem sosial yang berlaku
dalam masyarakat Bali Nusa yang ada di Desa Balinuraga: sistem sosial
yang mereka adaptasi dan replikasi dengan beberapa penyesuaian
berdasarkan konsep kala dan patra. Penguraian ini akan terkait dengan
konteks pembangunan komunitas mereka di level banjar dan desa, dan
sumbangan perekonomian mereka di level kabupaten sebagai salah satu
daerah (desa) penghasil beras (pembangunan tingkat lokal) di Lampung
Selatan.
Dalam kasus masyarakat di Desa Balinuraga, penulis
menyebutkan bahwa sistem sosial – yang tampak dalam realitas sosial
masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, baik yang sudah menghasilkan wujud
fisik (bangunan suci) atau pun masih dalam bentuk nilai dan norma yang
berlaku dalam sistem sosial tersebut – sebagai modal sosial. Ada beberapa
poin penting yang akan diuraikan lebih lanjut mengapa sistem sosial yang
ada dan berlaku dalam masyarakat Bali Nusa di Balinuraga disebut sebagai
modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam (bonding social capital) dan
mengikat ke luar (bridging social capital):
Pertama, sistem sosial ini – yang di dalamnya terdapat sistem adat,
keagamaan (religi), sistem pertanian dan ekonomi – menjadi sebuah modal
yang berwujud kerja kolektif di level banjar dan desa yang menghasilkan
sebuah pembangunan fisik, atau modal sosial. Dalam kasus ini, dikatakan
sistem sosial dikatakan sebuah modal sosial karena dalam sistem sosial
328
yang telah mengikat kuat dalam komunitas (dan level individu) berhasil
mendorong komunitas ini secara kolektif untuk melakukan sebuah prose
pembangunan yang berwujud fisik, yang menjadi sebuah kewajiban atas
sistem sosial yang mengikat tersebut. Dikatakan sebagai “modal” karena
fungsinya ekonomi dari modal tersebut untuk menghasilkan sesuatu, dalam
kasus ini adalah pembangunan fasilitas dan infrastruktur sosial dan
keagamaan; dan dikatakan “sosial” karena dikerjakan secara kolektif,
dengan kesadaran atas kewajibannya sebagai konsekuensi dari ikatan
sistem sosial yang bersifat mengikat tersebut. Contoh konkretnya: (1)
Berdirinya Pura Kahyangan Tiga yang menjadi pemersatu ketujuh banjar
di Balinuraga sebagai umat Hindu Dharma. Eksistensi identitas mereka di
level desa sebagai masyarakat Bali Nusa di Lampung Selatan dan sebagai
umat Hindu Dharma adalah dengan berdirinya Pura Desa (Penataran Bale
Agung), Pura Puseh, dan Pura Dalem (Pura Kahyangan Tiga). Pura
Kahyangan Tiga ini merupakan infrastruktur keagamaan (dan sosial) untuk
komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Kuatnya sistem sosial yang
mengikat komunitas ini sampai ke level individu dan kebutuhan eksistensi
identitasnya sebagai masyarakat Bali Nusa mendorong mereka untuk
membangun Pura Kahyangan Tiga ini. Pembangunannya dilakukan oleh
masyarakat secara kolektif dan mandiri, baik dana maupun tenaga. Tidak
menggunakan dana atau bantuan dari pemerintah. Pembangunannya
didasarkan atas kebutuhan mereka sebagai kesatuan masyarakat di level
desa sebagai masyarakat Bali Nusa yang beragama Hindu, dan sebagai
kewajiban sosial atas sistem sosial yang telah mengikat dan melekat dalam
komunitas dan individu; (2) Berdirinya bale desa dan bale banjar. Ini
merupakan infrastruktur sosial dalam sistem sosial yang mengikat tersebut,
yang juga berfungsi untuk aktivitas keagamaan. Rapat atau perkumpulan
setingkat desa dan setingkat banjar (dusun), baik untuk permasalahan adat
dan agama maupun permasalahan yang bersifat administratif, dilaksanakan
di dalam bale desa dan bale banjar, di mana setiap banjar memiliki satu
bale banjar. Pembangunannya dilaksanakan secara kolektif, baik dana
maupun tenaga; (3) Berdirinya bangunan suci di level banjar atau
kelompok warga, yaitu Pura Kawitan Warga. Bangunan suci ini
merupakan bagian dari sistem sosial tersebut, yang memiliki fungsi utama
untuk keperluan adat dan keagamaan. Identitas sosial dan status sosial
329
terletak pada berdirinya Pura Kawitan Warga. Jika seseorang mengaku
bahwa identitas dengan warga A, tapi tidak bisa menunjukkan Pura
Kawitan Warga-nya, maka seseorang tersebut akan diragukan identitasnya
sebagai “Bali Hindu”. Pura Kawitan Warga menjadi simbol identitas di
level individu dan kelompok bahwa mereka berasal dari satu keturunan
yang sama, dan mereka dipersatukan dengan adanya Pura Kawitan Warga.
Pembangunnya dilakukan secara bersama-sama oleh anggota kelompok
warga yang bersangkutan. Mulai dari dana, tenaga, sampai model dan
rancangan arsitektur Pura Kawitan Warga tersebut. Setelah ada
perselisihan di antara dua kelompok warga yang berbeda identitas leluhur,
pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga lebih menjadi fokus
utama. Gengsi dan status sosial individu dan kelompok warga
termanifestasikan atau terwakilkan dengan keberadaan Pura Kawitan
Warga yang besar dan artistik; (4) Berdirinya Pura Subak yang dibangun
secara kolektif oleh anggota banjar yang tergabung dalam seka tani atau
krama subak. Ini merupakan kewajiban mereka sebagai anggota dari
sistem pertanian (subak) yang menjadi bagian dari sistem sosial yang
mereka adaptasi tersebut; (5) Dibangunnya jalan desa dan jalan dusun.
Jalan utama desa dan dusun yang ada saat ini merupakan hasil dari kerja
kolektif masyarakat Balinuraga, khususnya pembangunan awal dilakukan
oleh transmigran pertama dan kemudian secara bertahap dilakukan
perbaikan. Fungsi utama pembangunan jalan desa dan jalan dusun ini
adalah untuk memperlancar transportasi dalam aktivitas ekonomi dan
hubungan sosial dengan komunitas lain; (6) dan bangunan-bangunan fisik
lainnya yang mempunyai fungsi sosial dan religius, seperti tugu-tugu (tugu
desa dan tugu-tugu yang ada di tempat-tempat yang dianggap keramat) dan
bale bengong sebagai tempat untuk bersantai dan berkumpul bersama di
waktu senggang. Pembangunan tugu dan bale bengong dibangun secara
kolektif (dana dan tenaga) oleh beberapa anggota masyarakat berdasarkan
cakupan wilayah tertentu di mana bangunan tersebut didirikan, kecuali
tugu desa. Adanya bukti fisik dari bangunan-bangunan fisik tersebut, dan
bagaimana cara serta proses pembangunannya, menjadi bukti bagaimana
sistem sosial yang mengikat tersebut mampu mendorong kolektifitas
kelompok (individu-individu) untuk membangun infrastruktur adat dan
keagamaan (termasuk infrastruktur ekonomi). Tujuannya adalah untuk
330
menunjukkan, mempertahankan serta melestarikan eksistensi identitas
mereka sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida, di mana melalui
pembangunan tersebut sistem sosial yang bersifat mengikat tersebut dapat
terus eksis dan lestari. Dengan kata lain, sistem sosial yang bersifat
tersebut berhasil mendorong masyarakat untuk membangun infrastruktur
sosial, adat dan keagamaan secara kolektif, guna menjamin
keberlangsungan, keberfungsian, kelestarian dan kelancaran dari sistem
sosial tersebut. Sistem sosial ini, termasuk bangunan fisik di dalamnya,
merupakan simbol dari identitas mereka sebagai Bali Hindu dari Nusa
Penida. Ini adalah sebuah kewajiban yang bersifat mengikat, di mana
ikatan tersebut mem-bonding masyarakat Bali Nusa pada level tertentu
(banjar dan desa) untuk melakukan proses pembangunan (infrastruktur
adat, keagamaan dan ekonomi) yang hasil konkretnya dapat dilihat dan
diberfungsikan sesuai dengan sistem sosial yang berlaku tersebut.
Kedua, di dalam sistem sosial tersebut ada nilai dan norma yang bersifat
mengikat – ada sebuah kewajiban dan hak dari setiap anggota komunitas di
level banjar dan desa – di mana nilai dan norma tersebut yang
memungkinkan “modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam” ini bisa
berfungsi dan terealisasi sampai saat ini. Bukti fisiknya telah diuraikan
pada poin pertama. Bukti lainnya dapat dilihat dari contoh kasus upacara
ngaben pribadi, di mana setiap anggota banjar memiliki suatu kewajiban –
sebagai sebuah nilai dan norma yang harus mereka lakukan – untuk
membantu dan bekerja sama secara sukarela – tanpa ada paksaan – untuk
menyukseskan persiapan dan penyelenggaraan upacara ngaben pribadi
tersebut yang diselenggarakan oleh salah satu keluarga anggota banjar.
Catatan penting di sini, untuk kasus upacara ngaben pribadi dan
pembangunan fisik infrastruktur adat dan keagamaan adalah bahwa trust
tidak memainkan peranan penting dalam pelaksanaan modal sosial di
dalam komunitas ini246
. Justru nilai dan norma yang ada di dalam sistem
246
Hal ini bertentangan dengan konsep modal sosial dalam perspektif Barat
(Coleman 1988, Fukuyama 1995 1999 2001, Putnam 1995) di mana unsur trust
(kepercayaan) menjadi elemen penting dalam bekerjanya sebuah modal sosial
selain norma dan nilai (norms and value), dan jaringan sosial (networks). Konteks
Barat tentu berbeda dengan konteks “Indonesia” (dalam kasus ini masyarakat Bali
331
sosial tersebut yang menjadikan modal sosial itu berjalan dan
menghasilkan sesuatu. Dorongan mereka untuk bekerja secara kolektif
dengan sumbangan dana dan tenaga lebih cenderung karena adanya nilai
dan norma dalam sistem sosial yang bersifat “wajib” dan “sukarela” –
tidak ada paksaan, tapi jika tidak melakukannya menimbulkan “perasaan
tidak enak” dan merasa “dikucilkan”. Trust tidak memainkan peran yang
penting dalam pengaplikasian modal sosial yang mengikat ke dalam ini
karena setiap anggota masyarakat atau kelompok masyarakat yang ada di
dalam desa dan banjar memiliki identitas warga yang berbeda. Setiap
warga memiliki status sosial tersendiri yang telah diklaim oleh
kelompoknya, khususnya dua kelompok warga yang bertentangan247
.
di luar Bali yang masih mempertahankan sistem sosialnya yang tradisional) yang
sebagian masyarakatnya masih tradisional, di mana nilai dan norma dalam sistem
sosial masyarakat tradisional lebih dominan dalam mengikat komunitas itu
maupun dalam mengkonsolidasi aksi (kerja ekonomi kolektif) daripada trust antar
anggotanya. Konteks Barat masyarakatnya sudah mencapai tahap masyarakat
modern atau urban (masyarakat industri), unsur keprofesionalitasan lebih
ditekankan, dan adanya trust dinilai dapat menunjang perekonomian yang lebih
bersifat langgeng (sustainable) karena dapat menekan biaya transaksi. Dengan
kata lain, tanpa trust yang kuat pun, modal sosial itu tetap berjalan dalam konteks
masyarakat tradisional di Indonesia. Mereka yang ngayah atau gotong royong
(mungkin) lebih disebabkan karena keterikatan yang kuat dengan komunitas di
mana mereka tinggal – ada perasaan tidak enak jika tidak ikut terlibat, bukan
masalah trust. 247
Pertentangan identitas warga yang terjadi ini bukan sebuah realitas yang terjadi
setelah mereka berada di Lampung, tapi realitas yang juga terjadi di Bali dalam
bentuk yang hampir sama dengan, dan yang terpenting adalah berbagai
pertentangan identitas tersebut memiliki sejarah yang panjang . Dalam konteks
yang lebih luas dan berdasarkan sejarah di masa kerajaan sampai masa kolonial
dan pasca kolonial, masyarakat Bali selalu diliputi oleh peperangan dan kekerasan
dengan latar belakang identitas yang berbeda. Mulai dari konfik antar masyarakat
antar sekte-sekte keagamaan Hindu-Budha, perang penaklukan kerajaan Bali Aga
oleh Majapahit, perang antar kerajaan di masa kekuasaan Dinasti Sri Kresna
Kepakisan (pasca Majapahit berkuasa atas Bali), perang pihak kerajaan dengan
pihak kolonial, konflik antar wangsa di masa kolonial, sampai pembunuhan
massal pasca Gerakan 30 September 1965, dan berbagai kekerasan skala kecil di
level desa (lihat: Vlekke 2008, Vickers 1966, Robinson 1995, Rossa 2008, Schulte
Schulte Nordholt 2007 2009, Pringle 2004, Cribb 2003, Howe 2005, Geertz 1967
1977). Salah satu akar konflik tersebut adalah penguatan identitas antar kelompok
332
Hasrat yang mendalam untuk menunjukkan status sosial warga pada setiap
diri individu dan kelompok warga memungkinkan trust tidak dapat
menjadi “bahan bakar” berjalannya modal sosial yang mengikat ke dalam
ini. Fakta ini tidak dapat dipersalahkan, karena sistem warga atau status
sosial warga itu sendiri merupakan salah satu bagian dari sistem sosial
tersebut. Status sosial atau identitas warga begitu kuat pada diri individu,
karena jati diri atau identitasnya sebagai Bali Hindu ada di dalamnya248
.
Namun, toh modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam ini tetap
berjalan dan terbukti berhasil dalam aplikasi dan wujud fisik
pembangunannya, bukan disebabkan oleh unsur trust yang mengikat antar
identitas warga, tapi lebih disebabkan oleh nilai dan norma dalam sistem
sosial tersebut. Unsur dis-trust antar kelompok warga ini dapat dibuktikan
dengan adanya dua Pura Puseh (dan Penataran Bale Agung) – seharusnya
dalam satu desa hanya satu, tergabung dalam Pura Kahyangan Tiga – di
mana dalam pembangunannya tetap dilaksanakan secara kolektif dengan
nilai dan norma yang berlaku dalam salah satu kelompok yang
bertentangan tersebut. Unsur ketidak-percayaan (distrust) tidak bisa sama-
ratakan bahwa setiap indivu tidak percaya dengan warga lain, sehingga
modal sosial yang bersifat ke dalam tersebut tidak berjalan. Dalam kasus
upacara ngaben pribadi ada juga beberapa anggota warga yang berbeda
dengan warga dari pihak keluarga penyelenggara upacara yang turut serta
dalam ngayah (kerja sukarela). Atau, dalam kasus lain, seperti seka tani
(bersifat primordial) dengan simbol-simbol identitasnya, namun sebaliknya,
melalui penguatan identitas tersebut identitas kebalian mereka tetap bertahan
sampai sekarang. Dengan kata lain, berdasarkan fakta sejarah tersebut, dalam
konteks masyarakat Indonesia yang masih feodal, trust mungkin hanya terbatas
dalam ikatan komunitas yang lebih kecil dengan persamaan identitasnya. Di luar
itu unsur distrust lebih besar, jika tidak, mungkin “paradise” itu adalah paradise
yang sesungguhnya. 248
Dalam penelitiannya di Tihingan, Geertz (1967) menyebutkan bahwa konflik
atau pertentangan yang sengit perihal status sosial bukan terjadi antara golongan
triwangsa dan jaba, melainkan dua klan dari golongan jaba, Pandé dan Pasek.
Geertz (1967 & 1977) menambahkan bahwa meskipun jumlahnya kecil, klan
Pandé memiliki kekuatan yang solid dan mendapatkan kedudukan yang istimewa
terkait keprofesiannya sebagai pandai besi, sehingga memampukan klan ini
bersaing dengan klan Pasek sebagai sebuah klan dengan keanggotaan yang besar
(mayoritas di Bali).
333
atau keanggotaan krama subak, meskipun pada banjar tertentu didominasi
oleh warga mayoritas di banjar tersebut, keanggotaannya pun bersifat
demokratis, artinya ada warga lain yang menjadi anggota, keanggotaannya
tidak dimonopoli oleh satu warga yang mendominasi banjar tersebut.
Secara umum, poin dis-trust, atau unsur trust tidak menjadi begitu
berperan dalam modal sosial yang mengikat ke dalam, lebih disebabkan
karena adanya identitas warga yang di dalamnya telah mengakar status
sosial pada setiap individu. Menariknya tanpa dominannya unsur trust,
modal sosial tersebut tetap berjalan karena adanya sistem sosial yang
mengikat, di mana unsur nilai dan norma memegang peran dominan bagi
berjalannya modal sosial tersebut daripada unsur trust. Dengan kata lain,
penulis ingin menyampaikan bahwa untuk salah satu kelompok etnis di
Indonesia yang masih memegang erat ketradisionalannya dengan
mempertahankan dan melestarikan sistem sosialnya yang terdapat unsur
kefeodalan, modal sosial yang mengikat ke dalam karena adanya sistem
sosial yang mengikat komunitas tersebut unsur nilai dan norma lebih
dominan daripada unsur trust sebagai penggerak modal sosial komunitas
tersebut. Hal yang perlu diingat dalam kasus ini adalah komunitas ini
termasuk dalam lembaga sosial dengan kelembagaan adat dan agama yang
kuat, bukan sebuah lembaga bisnis atau corporate (perusahaan) yang
dalam kegiatan bisnisnya (transaksi dan perjanjian bisnis) sangat
mengandalkan trust sebagai salah satu cara untuk mengurangi
transactional cost dan inisible cost (biaya-biaya transaksi dan biaya-biaya
tidak terlihat dalam proses transaksi bisnis tersebut). Jadi, dalam sistem
sosial di dalam masyarakat Bali Nusa di Balinuraga yang menciptakan
modal sosial mengikat ke dalam unsur nilai dan norma dalam sistem sosial
tersebut lebih dominan dalam keberfungsian modal sosial komunitas.
Ketiga, untuk kasus yang spesifik dapat dilihat bagaimana sistem sosial ini
berhasil membangun sebuah modal sosial yang mengikat ke dalam. Kasus
pertama adalah seka tani yang menjadi basis ekonomi banjar. Krama
subak yang ada di dalam seka tani ini berhasil (secara umum)
memapankan perekonomian mereka. Modal sosial di dalam komunitas ini
dijalankan oleh sistem sosial yang ada di dalam seka tani tersebut.
Mengapa? Karena di dalam sistem sosial yang berlaku dalam krama subak
334
mengharuskan para anggotanya tidak hanya fokus pada kegiatan
ekonominya di bidang pertanian, tapi juga tetap fokus pada institusi subak
itu sendiri – meskipun tidak ada pembagian air irigasi – sebagai lembaga
adat dan keagamaan. Kerja kolektif diwujudkan dalam kebersamaan dan
kekompakkan dalam melaksanakan kegiatan pertanian (mulai dari
penetapan hari baik, tahap pembenihan sampai masa panen dan penjualan),
kegiatan adat dan keagamaan krama subak, seperti “kumpul tani” dan
pelaksanaan ritual dan upacara keagamaan dalam krama subak. Lembaga
ini lebih demokratis dalam keaanggotaannya – tidak dimonopoli oleh satu
warga – dan Pura Subak yang dibangun secara kolektif berfungsi sebagai
pemersatu krama subak dari perbedaan identitas warga. Kasus kedua
adalah seka gong yang menjadi basis kesenian (lembaga kesenian) banjar.
Lembaga ini tidak hanya bergerak di bidang kesenian saja, tapi juga
bergerak di bidang keagamaan, karena pentas kesenian dalam tradisi Bali
ikut serta dalam kegiatan ritual dan upacara keagamaan, misalnya: Tari
Baris (termasuk dalam Tari Wali atau Tari Persembahan) dan Tari Barong.
Keanggotaan seka gong bersifat sukarela, tidak ada paksaan. Keunikkan
lembaga ini adalah bagaimana para anggotanya membiayai
keberlangsungan dan eksistensi lembaga keseniannya dan keseniannya itu
sendiri sebagai bagian dari tradisi Bali Hindu, yaitu dengan mentas (tampil
pentas) – diundang untuk mementaskan kesenian Bali – di perkampungan
Bali lainnya di luar Balinuraga. Modal sosial dalam lembaga ini adalah
kesadaran dari setiap anggotanya untuk tetap kompak dan konsisten dalam
berlatih kesenian secara sukarela tanpa paksaan agar menghasilkan sebuah
pertunjukkan kesenian yang baik dan memukau. Hasilnya secara tidak
langsung dari kedisiplinan anggota seka gong tersebut dalam berlatih
adalah mendapat undangan mentas (bersifat komersial dan profesional),
meskipun kadang kala honor yang diberikan tidak dalam bentuk uang. Jika
ada honor, itu pun tidak dibagikan kepada para anggota, tapi dijadikan
sebagai kas banjar atau pura. Bagi anggota seka gong penampilan
kesenian yang dipentaskan secara baik dan memukau adalah bagian dari
kepuasan batin dan status sosial. Biaya transportasi, uang rokok, dan uang
makan yang ditanggung oleh pihak panitia sudah cukup sebagai honor dan
penghargaaan, kecuali dalam kasus tertentu pihak panita (pengundang)
secara khusus memberikan honor kepada setiap anggota seka gong. Modal
335
sosial yang ada di dalam seka gong, seperti kasus seka gong Banjar
Pandéarga (seka gong terbaik yang dimiliki Desa Balinuraga), menjadikan
lembaga kesenian ini sebagai lembaga di bawah naungan banjar yang
mandiri.
Keeempat, sistem sosial masyarakat Bali Nusa di Balinuraga tidak hanya
membentuk modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam (bonding), tapi
juga mengikat ke luar (bridging). Akarnya adalah dari filosofi dan ajaran
yang tercakup dalam sistem sosial tersebut, di mana sudah melembaga
pada setiap individu. Inti dari filosofi dan ajaran tersebut adalah bagaimana
mereka sebagai masyarakat Bali bisa membangun relasi sosial yang
harmonis dengan orang lain. Relasi sosial yang harmonis dengan orang
lain tersebut – dalam pergaulan dengan masyarakat yang heterogen – yang
memungkinkan modal sosial yang bersifat terbuka ini memberikan hasil
bagi komunitas Balinuraga, yaitu ikut berpartisipasi, disertakan dan
dilibatkan dalam pembangunan di tingkat lokal dan kancah politik praktis
sebagai bagian dari masyarakat Lampung (Bali Lampung). Jadi, sistem
sosial yang mengikat tersebut bukan hanya menciptakan relasi yang
bersifat ke dalam komunitas mereka saja, tapi relasi dengan orang lain di
luar komunitasnya (non-Bali Hindu). Berikut ini adalah filosofi dan ajaran
umum yang menjadi landasan mereka untuk membangun modal sosial
yang bersifat terbuka: (1) filosofi Tri Hita Karana. Arti umum dari Tri
Hita Karana adalah “tiga penyebab kebagiaan”. Berasal dari bahasa
sansekerta di mana “Tri” berarti “tiga”, “Hita” berarti “kebahagiaan” atau
“kebajikan”, dan “Karana” berarti “penyebab”249
. Tri Hita Karana ini
merupakan ajaran yang mengajarkan agar manusia mengupayakan
hubungan harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan
alam lingkungannya (Wiana, 2007). Poin penting dari filosofi atau ajaran
Tri Hita Karana ini terkait dengan modal sosial terbuka (bridging social
capital) adalah bagaimana menjalin hubungan (relasi sosial) yang
harmonis dengan anggota atau komunitas lain (non-Bali Hindu). Ajaran ini
249
Lihat: I Ketut Wiana (2007), Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu,
Surabaya: Penerbit Paramita; dan Nyoman S Pendit (2001), Membangun Bali:
Menggugat Pembangunan di Bali untuk Orang Jakarta melalui Jalur Pariwisata,
Denpasar: Pustaka Bali Post.
336
menjadi fondasi bagi mereka untuk membangun hubungan sosial atau pun
relasi sosial (berhubungan dengan kegiatan ekonomi) dengan orang lain.
Tujuannya menciptakan keharmonisan hubungan dengan liyan, dan tujuan
yang bersifat ekonomi adalah terkait profesi mereka di bidang pertanian.
Cara umum yang digunakan untuk membangun dan mempertahankan
hubungan yang harmonis dengan liyan, baik terkait dengan hubungan
sosial kemasyarakatan maupun hubungan ekonomi (bisnis) adalah
bersilatuhrami, atau dalam istilah mereka disebut medharma suaka, ke
anggota komunitas lain saat hari raya atau hari besar keagamaan tertentu.
Menurut Wiana (2007) ajaran dari Tri Hita Karana ini bukan merupakan
ajaran yang baru, yang baru adalah penggunaan istilah “Tri Hita Karana”
itu sendiri yang baru dipopulerkan di tahun 1960-an di Bali. Lalu,
bagaimana istilah ini menjadi populer pada masyarakat di luar Bali seperti
di masyarakat Balinuraga? Istilah dan ajaran “Tri Hita Karana” sebenarnya
sudah populer di Balinuraga, diperkirakan sejak akhir tahun 1960-an, yaitu
melalui proses pendidikan di sekolah darurat dan sosialisasi dari Bimas
Hindu-Budha (PHDI) kepada tokoh masyarakat dan guru agama yang
bukan berasal dari lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA) Hindu –
lulusan PGA Hindu pertama kali bertugas di Desa Balinuraga pada tahun
1978, tapi guru agama Hindu sudah ada di sekolah darurat di Balinuraga.
Kemudian, istilah dan ajaran Tri Hita Karana ini disosialisasikan kepada
masyarakat melalui tokoh pendidikan dan tokoh agama yang ada di
Balinuraga, bersamaan dengan sosialisasi salam “om swastiastu”, salam
penutup “om shanti, shanti, shanti, om”, doa “tri sandya”, sebutan Tuhan
Yang Maha Esa “Sang Hyang Widhi Wasa” atau “Ida Sang Hyang Widhi”,
“catur guru bhakti”, “menyama braya” dan lain-lain250
. Pada masa-masa
ini masyarakat Balinuraga sudah dibentuk untuk menjadi umat Hindu
Dharma yang “resmi”, yaitu dengan dilakukannya standarisasi-standarisasi
di bidang keagamaan, seperti contoh di atas, di bawah pengawasan PHDI.
Ini yang menyebabkan istilah dan ajaran Tri Hita Karana menjadi populer
bagi masyarakat Balinuraga (sampai saat ini) sebagai umat Hindu Dharma,
dan menjadi landasan bagi mereka untuk membina dan membangun relasi
250
Sampai saat ini, Tri Hita Karana merupakan salah satu bagian wajib yang
diajarkan kepada murid-murid sekolah dalam pelajaran Agama Hindu.
337
yang harmonis dengan liyan; (2) konsep dan ajaran Catur Guru Bhakti.
Poin penting dari konsep dan ajaran Catur Guru Bhakti, dalam
hubungannya dengan modal sosial terbuka, adalah terkait dengan
resiprositas (reciprocity) atau hubungan simbiosis mutualisme (saling
menguntungkan) yang bersifat kelembagaan. Catur Guru Bhakti ini –
seperti yang dijelaskan oleh beberapa tokoh pendidikan dan agama di
Balnuraga – adalah fondasi penting dalam menjalin hubungan
kelembagaan yang baik antara masyarakat Balinuraga dengan pemerintah
(dalam konteks ini lebih dekat dengan institusi pemerintahan di level desa,
kecamatan, dan kabupaten yang diwakili oleh para pejabat dan
administraturnya). Hal ini seperti tertuang dalam ajaran Catur Guru Bhakti
di mana salah satu guru yang harus dihormati “Guru Wisesa”, yaitu
(diartikan secara khusus) pihak yang berkuasa atau pemerintah; selain
Guru Swadhyaya / Swadiaya (yaitu Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan
Yang Maha Esa), Guru Rupaka / Rek (yaitu orang tua yang melahirkan /
orang tua kandung), dan Guru Pengajian (yaitu guru yang mengajar dan
mendidik dalam pendidikan formal). Seperti yang dijelaskan oleh Surpha
(2004), kasus desa adat di Bali, bahwa ajaran Catur Guru Bhakti menjadi
landasan bagi suksesnya program pemerintah di level desa dan loyalitas
masyarakat desa kepada pemerintah251
. Sikap hormat dalam menjalin
hubungan dengan “Guru Wisesa” atau pemerintah ini yang memberikan
efek positif dalam perkembangan sosial kemasyarakatan dan ekonomi
masyarakat Balinuraga, yaitu dengan tidak melakukan tindakan yang
melanggar hukum dan taat terhadap peraturan pemerintah. Efek positifnya
adalah mereka turut dilibatkan secara aktif dalam setiap kegiatan dan acara
formal pemerintahan daerah, khususnya untuk mementaskan kesenian
Bali. Melalui hubungan yang baik ini, mereka memiliki posisi tawar
kepada pemerintah untuk pembangunan infrastruktur desa, khususnya jalan
desa. Ini bukan posisi tawar yang tidak seimbang, dalam artian masyarakat
menuntut penuh pembangunan jalan. Dalam kasus ini, pemerintah hanya
mengaspalkan jalan desa, karena jalan desa dan fondasi jalannya (jalan
berbatu) sudah dibuat oleh masyarakat – hubungan yang saling
251
Lihat: I Wayan Surpha (2004, hlm,9), Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di
Bali, Denpasar: Pustaka Bali Post.
338
menguntungkan karena masyarakat sudah berpartisipasi. Begitu pula
dalam hal pembangunan posyandu, puskesmas, dan sekolah negeri
(Sekolah Dasar). Masyarakat membuktikan rasa hormatnya kepada
pemerintah dengan membayar pajak (kewajiban) dan menjadi salah satu
daerah penghasil beras, kemudian kewajiban pemerintah adalah
memberikan fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat
Balinuraga. Jika realisasi pajak tidak sesuai dengan yang diharapkan,
kemungkinan yang terjadi (bersifat umum) dikarenakan prosedur yang
berbelit-belit (masalah teknis) dan masalah sosialisasi pembayaran pajak,
di mana menyebabkan wajib pajak mengurungkan niatnya atau
membatalkan pembayaran pajak. Hubungan mutuaslime (resiprositas)
antar lembaga ini terjadi tidak hanya dengan lembaga pemerintahan, tapi
juga dengan lembaga swasta, dalam kasus ini adalah perusahaan swasta
yang memproduksi dan menjual produk-produk pertanian. Contoh
konkretnya antara lain: (1) pembangunan bale bengong yang disponsori
perusahaan swasta bibit jagung. Pada atap bale bengong terdapat tulisan /
nama (sponsor) perusahaan tersebut; (2) plat atau papan nama “Desa
Balinuraga” yang di bawahnya ada nama (sponsor) perusahaan rokok
swasta, di mana rokok tersebut menjadi rokok favorit yang dihisap oleh
mayoritas masyarakat Desa Balinuraga; (3) pembuatan baju atau kaos
untuk panitia penyelenggara upacara ngaben pribadi. Sponsornya dari
perusahaan swasta yang memproduksi dan menjual insektisida; (4) dan
bentuk-bentuk lainnya yang mendapat sponsor dari perusahaan swasta.
Umumnya berupa spanduk-spanduk yang berisikan informasi
penyelenggaraan upacara tertentu.
339
Gambar 48. Bale Bengong dan Plat Nama Desa Bersponsor
(sebelah kiri: bale bengong dengan atap bertuliskan “Pioneer”; kanan: plat nama
desa dengan sponsor “Djarum”)
(Sumber: Yulianto, 2010)
340
Kasus Upacara Ngaben di Balinuraga
Sama seperti masyarakat Bali pada umumnya, upacara ngaben di
Balinuraga merupakan salah satu upacara besar dan penting. Kasus
upacara ngaben di Balinuraga perlu diuraikan untuk mengetahui
bagaimana identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Balinuraga sebagai
sebuah sistem sosial dalam masyarakat Bali yang mereka adopsi di
Lampung. Melalui kasus ini dapat dilihat beberapa persamaan dan
perbedaan yang bersifat mendasar atas identitas kebalian komunitas ini di
Lampung. Perbedaan inilah yang menjadikan mereka identik dengan Bali:
tetap menjadi Bali, tetapi Bali yang ada di Lampung.
Upacara Ngaben, atau biasa disebut Pitra Yadnya252
, merupakan
salah satu upacara sakral dan penting bagi masyarakat Bali Hindu, tidak
hanya di Bali, tapi juga bagi masyarakat Bali Hindu yang ada di Desa
Balinuraga, Lampung Selatan. Upacara ini merupakan kewajiban yang
harus dijalani oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarganya yang
telah meninggal – sebuah kewajiban yang bersifat mengikat sama seperti
kelekatan sistem sosial dalam masyarakat Bali yang mereka adopsi setelah
berada di Lampung. Dalam arti umum yang telah dikenal oleh masyarakat
luas, upacara ngaben adalah upacara pembakaran tubuh orang yang telah
meninggal (pitra, jenasah; mageseng: sebutan lain untuk pembakaran
pitra) yang berlaku (dan menjadi kewajiban) dalam masyarakat Bali
Hindu. Bertujuan untuk menghantarkan arwah yang telah meninggal ke
kahyangan (surga), sekaligus membebaskan atau melepaskan
keterikatannya dari unsur duniawi (wujud fisik berupa jenasah, badan, atau
kerangka tubuh) – yang dimanifestasikan dalam pembakaran jenasah atau
kerangka tubuh, menghanyutkan abu-nya ke laut (dikembalikan ke alam),
252
“Pitra Yadnya” adalah sebutan lain untuk upacara ngaben (pembakaran mayat
bagi masyarakat Bali Hindu). “Pitra” (baca: pitre) diartikan sebagai jenasah, badan
mati; sedangkan yadnya diartikan sebagai (upacara) korban suci.”Pitra Yadnya”
merupakan sebutan resmi untuk upacara ngaben, yang bersifat lebih formal dan
religius (Hindu). Karenanya, sebutan “pitra yadnya” ini lebih sering digunakan –
sifatnya yang lebih halus, formal, dan religius – daripada sebutan “ngaben” yang
lebih tradisional Bali. Bagi khalayak – etnis Bali dan etnis lain non-Bali – sebutan
“ngaben” sebagai pembakaran jenasah lebih populer daripada sebutan “pitra
yadnya”.
341
dan kemudian menempatkan arwah atau atman yang meninggal ke sebuah
tempat suci (pelinggih) yang telah disediakan: merajan atau sanggah.
Upacara Pitra Yadnya (ngaben) bagi masyarakat Bali Hindu di
luar Bali, dalam kasus ini di Desa Balinuraga, tidak bisa dilihat dari sudut
pandang sebagai upacara yang sangat sakral dan penting (aspek
religiusitas), tapi juga aspek sosiologisnya sebagai masyarakat Bali di luar
Bali dalam mempertahankan dan menunjukkan eksistensi identitasnya, dan
memperkokoh kesolidan komunitas Bali Hindu dengan identitas
kebudayaannya yang unik. Upacara ngaben, baik pribadi atau pun massal,
selalu melibatkan partisipasi aktif massa yang besar, khususnya yang
paling menonjol adalah di tingkat banjar. Seluruh anggota banjar,
meskipun bukan berasal dari keluarga besar dan warga tertentu, memiliki
kewajiban yang sangat mengikat untuk ikut terlibat aktif. Termasuk di
dalamnya, sebuah realitas yang menarik, adalah kehadiran dan keterlibatan
aktif dari kerabat, saudara jauh, atau pun anggota banjar bukan berasal
dari keluarga yang dulunya pernah menjadi anggota banjar yang ada di
Balinuraga yang sekarang sudah merantau ke tempat lain, serta saudara
atau pun teman dekat yang ada di Nusa Penida dan Bali. Dengan kata lain,
upacara ngaben di Balinuraga merupakan sebuah upacara yang
menyatukan komunitas Bali Nusa yang telah tersebar ke berbagai tempat
pada khususnya yang masih berada di dalam wilayah Provinsi Lampung
dan Sumatera Selatan, serta teman dan saudara yang ada di Bali dan Nusa
Penida pada umumnya. Kuatnya ikatan ini yang menyebabkan bagaimana
sebisa mungkin mereka yang telah menetap di luar Balinuraga (karena
alasan pekerjaan) untuk datang dan berpartisipasi aktif saat persiapan dan
prosesi upacara dilaksanakan. Meskipun tidak ada sanksi atau pun
hukuman jika tidak hadir dan berpartisipasi aktif, kuatnya ikatan
persaudaraan (kekerabatan) ini, yang semakin kuat setelah mereka berada
di Lampung, menyebabkan mereka merasa bersalah atau pun merasa (dan
percaya) akan ada sesuatu (sanksi niskala) jika tidak ikut hadir dan
berpartisipasi aktif dalam upacara tersebut – setidak-tidaknya adalah
mereka bisa hadir saat upacara puncak dilaksanakan. Baik langsung atau
pun tidak langsung, sengaja atau tidak disengaja, ketidakhadiran seseorang
yang memiliki hubungan atau keterikatan dengan komunitas di mana
upacara ngaben akan dilaksanakan (kecuali untuk sebuah alasan yang
342
masuk akal dan tidak dapat dielakkan, seperti menderita sakit parah), akan
menyebabkan seseorang tersebut disisihkan dari komunitasnya; dengan
kata lain, identitasnya akan terkikis atau tidak diakui sebagai bagian dari
sebuah komunitas Bali Hindu yang menjadi dasar dari identitasnya sebagai
Bali Hindu di Lampung, seperti: hilangnya atau tidak diakuinya
keanggotaannya sebagai anggota banjar tertentu, atau didiamkan atau
diacuhkan (semacam sanksi sosial) ketika suatu saat seseorang tersebut
datang ke banjar asalnya atau pun ketika ia suatu hari nanti
menyelenggarakan upacara ngaben.
343
Gambar 49. Krama Banjar Ngayah saat Persiapan Upacara Pitra Yadnya
(Atas: kaum laki-laki sedang membuat makanan olahan dari daging babi; bawah:
kaum ibu membuat bantenan)
(Sumber: Yulianto, 2010)
344
Gambar 50. Tamu Undangan di Hari-H Upacara Pitra Yadnya
(Para tamu di antaranya pejabat desa dan kecamatan, pemangku dan sulinggih,
tokoh masyarakat, keluarga dan kerabat jauh, dan lain-lain)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Pemaparan contoh kasus upacara “ngaben pribadi” ini bertujuan
menangkap realitas dari sistem sosial masyarakat Balinuraga: pertentangan
antara kubu konservatif dan kubu modernis, tata cara upacara dan upakara
(sesaji, bantenan), sulinggih yang muput pelaksanaan upacara, manajemen
persiapan dan pelaksanaan upacara, keterlibatan aktif anggota banjar dan
anggota lain dalam persiapan dan pelaksanaan upacara, kesungguhan
dalam pelaksanaan upacara, biaya yang dikeluarkan selama persiapan dan
pelaksanaan upacara, dan lain-lain.
Mengapa Ngaben Pribadi?
Ngaben Pribadi di Balinuraga merupakan upacara pitra yadnya
yang diperuntukkan hanya untuk satu anggota keluarga (yang telah
meninggal) dari sebuah keluarga. Berbeda dengan ngaben massal (yang
pernah diselenggarakan di Balinuraga) yang melibatkan banyak anggota
keluarga dari keluarga-keluarga yang berbeda, termasuk tempat dan asal
usul serta identitas warga yang berbeda. Pada perinsipnya, dalam upacara
ngaben massal siapa saja boleh mengikutinya, tidak ada syarat atau
345
ketentuan khusus yang membatasi, khususnya (yang diutamakan) mereka
yang perekonomian keluarganya pas-pasan.
Ngaben Pribadi di Balinuraga yang diselenggarakan pada bulan
Oktober 2010 ini, merupakan upacara ngaben dari salah satu anggota
keluarga terpandang di Balinuraga, yaitu istri dari putra laki-laki Sri Mpu
Suci, atau menantu perempuan dari Sri Mpu Suci. Kasus ini cukup unik,
dan karenanya akan menjadi perdebatan (dibahas pada bagian berikutnya),
disebabkan almarhumah bukan berasal dari etnis Bali, melainkan
peranakan Tionghua-Jawa (ayah Tionghua Totok dan ibu Jawa asli asal
Yogyakarta) yang menjadi Hindu setelah menikah. Almarhumah
meninggal tiga tahun yang lalu (2007) penyakit leukimia. Upacara ngaben
baru terealisasi tiga tahun berikutnya (2010) bukan disebabkan
ketidakmampuan biaya, tapi dikarenakan faktor-faktor lain yang
menghalangi (dibahas pada bagian berikutnya). Sebagai keluarga
terpandang di Balinuraga, dengan kemampuan ekonomi dan pengalaman
yang memupuni dalam menyelenggarakan upacara ngaben di Balinuraga
dan tempat lain, waktu tiga tahun adalah waktu yang terlampau lama.
Sebuah penantian yang lama – bagi mereka – untuk menyelesaikan
berbagai macam polemik karena pihak keluarga sebenarnya sudah siap dan
mampu menyelenggarakan ngaben pribadi saat almarhumah meninggal
dunia.
Kembali ke tema “mengapa ngaben pribadi diselenggarakan?”.
Dalam kasus ini, ngaben pribadi diselenggarakan karena beberapa alasan:
(1) pihak keluarga merupakan keluarga terpandang, yaitu sebagai keluarga
Sri Mpu Suci: tokoh penting yang sangat berjasa membawa transmigran
Bali Nusa ke Lampung Selatan dan membentuk Desa Balinuraga. Menurut
mereka, anggota dari keluarga terpandang, atau seorang tokoh terpandang,
sangat layak dan pantas untuk menyelenggarakan ngaben pribadi, seperti
sulinggih Sri Mpu Suci dan Sri Mpu Aji. Untuk sulinggih harus
diselenggarakan ngaben pribadi, tidak diperkenankan mengikuti ngaben
massal, karena sulinggih merupakan orang yang disucikan menurut
kepercayaan mereka. Mereka yang –non-sulinggih bisa menyelenggarakan
ngaben pribadi asalkan kemampuan ekonominya mencukupi; (2) pihak
keluarga memiliki kemampuan ekonomi yang mencukupi untuk
terselenggaranya upacara ngaben pribadi, dan biaya dapat dihemat karena
346
anggota keluarga adalah ahli pembuat sarana dan prasaran upacara titra
yadnya berpengalaman yang sering mendapatkan proyek di berbagai
tempat di Lampung dan Sumatera Selatan; (3) prestise dan status sosial
yang tinggi ketika mampu menyelenggarakan ngaben pribadi. Ini
didukung dengan kedudukan keluarga terpandang di Balinuraga,
kemampuan ekonomi yang mapan, serta pengalaman dalam
menyelenggarakan upacara ngaben. Hal lain yang tidak dapat diabaikan
adalah manifestasi perang dingin pertentangan antar warga di Balinuraga.
Kemampuan menyelenggarakan ngaben pribadi dari keluarga terpandang
menunjukkan secara jelas dan menjadi cerminan status sosial dan status
ekonomi keluarga tersebut, dan yang lebih penting adalah status sosial dan
ekonomi warga. Dengan kata lain, ngaben pribadi seperti “kontes” atau
“perang identitas” antar warga untuk mengukuhkan warga mana yang
memiliki status sosial paling tinggi; (4) wujud keteguhan hati, ketaatan
sebagai umat Hindu Dharma dan sebagai Bali Hindu, kesetiaan dan rasa
hormat yang mendalam terhadap atman almarhumah dan juga Sang Hyang
Widhi Wasa sebagai Kekuatan yang Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur.
Terlepas dari tiga alasan di atas yang bersifat sosial dan politis, mereka
percaya bahwa ngaben pribadi adalah pemberian terbaik dengan hati yang
tulus dari mereka sebagai anggota keluarga yang masih hidup agar atman
mendapatkan tempat kahyangan (surga) yang terbaik dengan jalan yang
indah, sehingga dapat mencapai pembebasan dan kesempurnaan (moksa).
Ada kepuasan batin, yang menurut pihak keluarga tidak dapat dihitung
atau diganti dengan uang ratusan juta rupiah yang mereka habiskan untuk
upacara ngaben pribadi ini – sebuah kepuasan batin yang tidak dapat
dihitung dan digantikan dengan uang atau pun harta. Sebagai umat Hindu
Dharma dan juga sebagai etnis Bali, upacara ngaben pribadi adalah
kewajiban utama yang harus dipenuhi oleh anggota keluarga yang masih
hidup – rasa hormat dan penghargaan yang tinggi yang diberikan kepada
atman harus sama seperti ketika masih hidup . Bagi mereka, inilah wujud
ketaatan sebagai seorang Hindu dan juga sebagai seorang Bali, terlebih
setelah mereka berada di Lampung.
347
Persiapan dan Pelaksanaan Upacara Ngaben Pribadi: Khas
Nusa Penida
Upacara ngaben (pribadi dan massal) merupakan sebuah upacara
yang membutuhkan waktu persiapan yang lama, baik upacara ngaben di
Bali maupun di Lampung. Rata-rata waktu yang dibutuhkan paling cepat
untuk persiapan sekitar empat minggu atau satu bulan. Umumnya bisa
menghabiskan waktu berbulan-bulan, khususnya jika upacara ngaben tidak
dikoordinasikan atau menggunakan sistem manajemen yang efektif dan
efisien.
Upacara ngaben pribadi dalam kasus di Balinuraga membutuhkan
waktu persiapan kurang lebih enam minggu, efektifnya sekitar empat
minggu atau satu bulan. Waktu yang panjang itu digunakan untuk
mempersiapkan bantenan (sesajen) yang jumlahnya banyak dan bervariasi
berdasarkan kebutuhan dan fungsi dari bantenan tersebut untuk kebutuhan
upacara. Selama waktu kurang lebih satu bulan tersebut, semua anggota
keluarga (keluarga inti dan keluarga besar) beserta anggota banjar turut
berpartisipasi aktif – mulai dari bapak-bapak dan ibu-ibu serta pemuda dan
pemudi – untuk membantu persiapan upacara tersebut. Para pria biasanya
mengambil tugas-tugas yang bersifat kasar (pekerjaan berat untuk pria),
seperti membuat tenda, membantu membuat sarana dan prasarana upacara
ngaben, memotong hewan (babi, ayam, dan entok / bebek), piket jaga
malam, dan lain-lain. Kaum wanita, ibu-ibu dan pemudi, tugas utamanya
adalah membuat bantenan dan memasak (membuat kue dan beragam
makanan ringan, minuman kopi, teh dan susu, sarapan, makan siang, dan
makan malam). Peran wanita (perempuan) dalam keberlangsungan acara
ini sangat penting sekali, karena semua urusan logistik perut kaum pria
tergantung penuh dengan pekerjaan kaum wanita. Semua pekerjaan
tersebut dilakukan secara terus menerus selama hampir satu bulan penuh.
Mereka mulai bekerja dari pagi hingga malam. Dua minggu terakhir saat
upacara akan berlangsung kegiatan semakin padat, mereka bekerja hingga
larut malam (lembur), dan menjelang “Hari-H” sebagian besar dari
mereka, kaum pria, tidak tidur sama sekali guna mempersiapan dan
mematangkan pelaksanaan upacara. Sebuah pekerjaan yang melelahkan,
tapi bagi mereka ini merupakan sebuah dharma yang harus mereka
lakukan untuk karma yang baik. Jadi, dalam satu bulan tersebut kegiatan
348
para anggota banjar yang tinggal di Balinuraga – dalam kasus ini Banjar
Pandéarga – terfokus untuk mempersiapkan upacara ngaben. Pembagian
tugas sangat penting di sini agar tidak terjadi tumpang-tindih. Artinya,
jangan sampai persiapan ini mengganggu kegiatan harian di dalam rumah
tangga setiap anggota banjar. Biasanya setelah urusan rumah tangga
selesai (peran ibu rumah tangga) di pagi hari – seperti bersembahyang,
menyiapkan sarapan bagi anak-anak yang akan ke sekolah, memberikan
makanan untuk babi dan ayam – mereka langsung pergi ke tempat
keluarga yang sedang mempersiapkan upacara ngaben. Untuk bapak-
bapak, setelah di waktu subuh sampai pagi hari telah selesai
bersembahyang dan mengontrol lahan pertaniannya (sawah), mereka akan
langsung pergi ke tempat kegiatan persiapan upacara. Saat kegiatan
persiapan ini berlangsung, para anggota banjar umumnya akan sarapan,
makan siang dan makan malam di tempat ini. Ibu-ibu umumnya tidak lagi
memasak di rumah, tapi memasak di tempat keluarga yang akan
melangsungkan upacara. Selama kegiatan ini berlangsung, makanan dan
minuman selalu ada dan tidak terputus. Semua bahan-bahan pokok
termasuk air mineral berbentuk cup, minuman berenergi sampai bir sudah
disimpan guna memenuhi kebutuhan para anggota banjar yang bekerja.
Sistem kerja yang kolektif ini dan bersifat mengikat anggota banjar
disebut dengan ngayah. Ngayah tidak hanya dalam bentuk tenaga, tapi
juga ada yang menyumbangkan sembako, mulai beras, teh, kopi, minyak
goreng, gas elpiji, minuman ringan, rokok, ayam, babi, bebek, dan lain-
lain. Semua sumbangan ini dicatat oleh pihak keluarga bersangkutan.
Kurang lebih seperti arisan, sehingga jika ada anggota banjar akan
menyelenggarakan upacara ngaben atau upacara lain, maka pihak keluarga
yang bersangkutan akan memberikan sumbangan yang sama, termasuk
sumbangan tenaga. Sumbangan bahan makanan dan minuman ini
sebenarnya wujud dari partisipasi dan solidaritas para anggota banjar.
Jumlahnya tidak ditentukan, tapi berdasarkan kemampuan ekonomi
masing-masing keluarga anggota banjar, karena sebenarnya tanpa
sumbangan ini pun pihak keluarga penyelenggara upacara secara ekonomi
sudah mampu memenuhi segala kebutuhan bagi para anggota banjar yang
ngayah. Contoh sederhananya, jika anggota banjar melihat bahwa
ketersediaan rokok sudah mulai menipis, maka ia akan segera pergi ke
349
warung atau ke mini market terdekat untuk membeli sejumlah rokok untuk
kebutuhan para pengayah. Oleh karena itu, sangat dimaklumi jika upacara
ngaben membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Paling tidak biaya yang
dikeluarkan, baik biaya yang terlihat dan tidak terlihat, jumlah mencapai
ratusan juta rupiah. Ini yang menyebabkan tidak setiap keluarga mampu
menyelenggarakan upacara ngaben pribadi, dan mengambil solusi
menyelenggarakan ngaben massal.
Gambar 51. Jenis Makan Siang
(Paling tengah dari tiga jejer wadah makanan adalah babi guling: makan khas
Balinuraga dan masyarakat Bali pada umumnya. Makanan ini menjadi hidangan
saat proses persiapan upacara, dan makanan olahan daging babi merupakan
menjadi menu utama)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Waktu dan biaya persiapan dan pelaksanaan upacara ngaben
pribadi yang lama dan besar harus sesuai dengan hasil yang diraih. Untuk
itu, pihak keluarga telah membuat sistem manajemen yang sederhana agar
waktu dan biaya yang telah dikeluarkan tidak sia-sia. Caranya adalah
dengan membuat panitia kerja dan pelaksana, di mana ada ketua panitia,
pelaksana, dan bendahara. Setiap anggota banjar yang ngayah sudah
ditentukan – dan ada yang menentukan sendiri pekerjaan apa yang akan
dia lakukan – jenis pekerjaannya dan spesifikasinya. Misalnya, dalam
persiapan upacara ada yang bertugas membantu membuat bade, wadah,
patuluangan, dan lain-lain (saranan dan prasarana upacara), seperti
mengecat, mendekorasi dan membuat konstruksi, kemudian bertugas di
bidang transportasi, dokumentasi dan informasi, dan lain-lain. Untuk
350
pekerjaan yang bersifat teknis, seperti membangun fondasi bade, pihak
keluarga menggunakan jasa tenaga dari tukang yang selama ini mereka
gunakan untuk mengerjakan proyek pembuatan sarana dan prasarana
upacara ngaben di tempat lain. Dan ketika, beberapa rangkaian upacara
sedang dilaksanakan, beberapa anggota banjar sudah bersiap dan
menjalankan tugasnya, seperti keanggotaan seka gong: pemain gamelan,
penari tarian wali (tari persembahan / tari wali yang disebut tari baris253
),
gadis-gadis Balinuraga pembawa banten gebogan / pajegan (bantenan
yang disusun vertikal, menjulang ke atas, terdiri dari bahan makanan,
bunga dan buah-buahan yang ketika dibawa / dijunjung ditaruh di atas
kepala), dan lain-lain. Setiap ketua panita dan anggota memiliki
tanggungjawab masing-masing. Tanpa perintah bersifat top-down mereka
bekerja dengan baik, karena dalam proses pemilihan jenis pekerjaan, para
anggota banjar diperkenankan secara demokratis memilih pekerjaan yang
bisa mereka kerjakan dengan baik sesuai dengan keahliannya. Kemudian,
ketua panitia dan anggota banjar bertanggungjawab kepada pihak keluarga
sebagai penyelenggara.
Untuk mempermudah pengidentifikasian para anggota panitia
(anggota banjar), pihak panitia dan keluarga telah membuatkan baju
khusus (kaus berlengan panjang) yang menandakan bahwa mereka adalah
anggota. Baju ini dipersiapkan untuk massa yang mengusung bade ke
setra. Uniknya baju tersebut disponsori oleh sebuah perusahaan swasta
yang memiliki produk obat pembasmi hama tumbuhan (insektisida multi
guna). Bagian depan baju terdapat gambar dan merek produk perusahaan
swasta tersebut, dan bagian belakang bertuliskan “upacara pitra yadnya”
(di atasnya masih dicantumkan nama perusahaan), logo tungku api yang
menyimbolkan upacara pitra yadnya, tanggal upacara, nama almarhumah,
dan tempat berlangsungnya upacara tersebut. Hal ini menjadi cukup unik,
bahwa pihak perusahaan dan pihak panitia (dari anggota keluarga) sama-
sama melihat bahwa upacara ini sebagai ajang untuk promosi dan
253
Tari baris ini dimainkan oleh para pemuda (lajang) yang menjadi anggota seka
gong. Ciri khasnya adalah para penari membawa (senjata) tombak yang terdapat di
pura (milik pura / banjar). Tari baris ini dipentaskan saat ngaskara kajang di Pura
Kawitan (H -1), dan saat Hari-H sebelum para sulinggih dan pihak keluarga
memulai prosesi inti mageseng (pembakaran jenasah).
351
memperkuat relasi dengan konsumennya. Pihak perusahaan tanpa berpikir
panjang langsung membuatkan baju tersebut sesuai dengan permintaan
pihak panitia upacara, sekaligus sebagai media promosi produknya, karena
mayoritas para peserta dan tamu dalam upacara ini adalah petani (yang
memiliki lahan pertanian) yang berasal dari berbagai tempat di Lampung
dan Sumatera Selatan. Dari pihak perusahaan sendiri, memang sudah
disiapkan anggaran untuk pembuatan baju gratis bagi para konsumennya
sebagai media promosi, sekaligus menarik minat pembeli dengan hadiah
baju. Dari pihak panitia, pengajuan baju ini sebenarnya untuk
membuktikan kesetiaan perusahaan terhadap konsumennya, karena jika
tidak, masih banyak perusahaan lain yang akan membuatkan baju untuk
keperluan upacara sekaligus media promosi. Sebenarnya pihak perusahaan
hanya menambahkan nama upacara, tanggal, nama almarhumah, dan
tempat di bagian belakang baju, dan tinggal meminta tukang sablon untuk
menambahkannya: sebuah hubungan mutualisme yang saling
menguntungkan kedua belah pihak. Bagi massa, pemberian baju khusus ini
seperti semacam penghargaan tersendiri dari pihak keluarga dan pihak
panitia, bahwa mereka ikut berpartisipasi aktif dalam upacara tersebut.
Mereka sangat senang dengan baju khusus tersebut, artinya setelah
digunakan saat upacara inti (memberangkatkan bade ke setra), baju
tersebut dapat digunakan saat bekerja di sawah atau pun sebagai baju
santai sehari-hari, sekaligus mengingat keterlibatan mereka dalam upacara
tersebut (baju kenang-kenangan dari pihak panitia dan keluarga).
352
Gambar 52. Kaus Panita Bersponsor
(Sebelah kiri: bagian belakang kaus; kanan: bagian depan kaus)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Acara inti dari upacara ngaben pribadi ini berlangsung selama
empat hari dengan satu hari acara puncak, yaitu pembakaran pitra dan
nganyut abu. Ini bukan berarti upacara dan ritual lain tidak memiliki arti
dan nilai penting. Setiap ritual dan acara dalam upacara ngaben pribadi
memiliki arti dan nilai penting tersendiri serta keberfungsiannya. Oleh
karena itu, pihak keluarga sangat menginginkan persiapan yang memakan
waktu efektif satu bulan penuh tersebut dan biaya yang besar berjalan
sukses saat berlangsungnya Hari H. Di bawah ini adalah Jadwal Kegiatan
Upacara yang disusun oleh panitia upacara ngaben pribadi (dicatat
kembali oleh penulis seperti aslinya, tidak ada penambahan dan
pengurangan:
353
No. TGL KEGIATAN PEMUPUT
1 30
September
2010
Ngendag Atma ke Setra Mangku
Puniatmaja
2 2 Oktober
2010
A. Ngaskara Kajang ke Pura Kawitan
Pandé Soyor
Langsung Murwa Daksina Desa
B. Ngangget Beringin Pura Soyor
C. Ngeringkes / Ngaskara
D. Merelina / Mati Lampu.
Sembahyang Keluarga Besar di
Peyadya
E. Meras Wadah
A. Mpu Galuh
B. Mangku Guru
Rsi
C. Ide Rsi Tri
Windu
E. Mangku
Sudama
3 3 Oktober
2010
(A)
A. Pemberangkatan Bade ke Setra
B. Upacara Pengiriman / Ngaskara ke
Setra
C. Nganyut Abu
(B) Ngeroras
A. Mecaru / Ngeresi Gana
B. Ngulapin Sekah Kurung ke
Prapatan
C. Nyatur
(A)
B. Ide Rsi
C. Mangku Nata
(B)
A. Ide Rsi
B. Mangku Sana
C. Empu Galuh
4 4 Oktober
2010
A. Nganyut Langsung Ngulapin ke
Segara
B. Ngelinggihin ke Sanggah
A. Mangku Gita
B. Empu Galuh
Tabel 2. Jadwal Kegiatan Upacara
Jadwal Acara Kegiatan ini dipasang pada dinding bale yang ada di
depan rumah, tempat di mana sesaji (bantenan) dan arwah almarhumah
ditempatkan (biasa disebut bale semanggen): terdiri dari empat upacara
inti, dan satu upacara puncak di tanggal 3 Oktober 2010. Dengan
demikian, setiap anggota banjar (anggota panitia) dapat melihat jadwal
tersebut. Tujuannya adalah segala persiapan yang dilakukan bisa
difokuskan pada setiap rangkaian ritual dan upacara yang telah
dijadwalkan. Misalnya, siapa yang bertugas menjemput dan menghubungi
354
sulinggih, menyiapkan sound system, menyiapkan gamelan Bali di teras
rumah, koordinator saat rangkaian upacara mulai dilakukan, gladi kotor
dan gladi bersih seka gong, massa yang akan mengusung bade dan wadah,
menyusun dan mengelompokkan bantenan yang telah dibuat untuk setiap
rangkaian ritual dan upacara, dan lain-lain.
Gambar 53. Jadwal Kegiatan Upacara
(Sumber: Yulianto, 2010)
355
Gambar 54. Bale Semanggen
(Atas: dari sudut depan; bawah: tampak samping)
(Sumber: Yulianto, 2010)
356
Rangkaian ritual dan upacara di atas merupakan model umum
yang biasa digunakan atau berlaku dalam masyarakat Bali, baik di Bali
maupun di Lampung254
. Perbedaan yang terjadi biasanya bersifat teknis
saat upacara dilaksanakan, untuk mempermudah dan mempersingkat (tidak
dijadikan berbelit-belit), tapi inti atau esensi dari upacara tersebut tetap
sama. Misalnya, upacara Nyekah (ngaskara/nagaskara, ngeringkes) –
upacara penyucian roh leluhur yang disimbolkan dengan daun beringin –
yang biasa dilaksanakan setelah upacara ngaben, oleh pihak keluarga dan
panitia dilaksanakan sehari sebelum upacara ngaben. Tujuannya agar
jadwal kegiatan upacara tidak menumpuk pada satu hari sehingga
pelaksanaan upacara menjadi lebih mudah dan fokus serta terealisasi
dengan maksimal.
Dalam pelaksanaannya ada yang mencirikan atau menjadi ciri khas
ngaben versi Nusa Penida. Ini yang membedakan pelaksanaan ngaben
yang biasa berlaku di Bali dan Bali di Lampung, yaitu (1) Murwa Daksina
Desa, melakukan pawai atau arak-arakan sarana pengusung jenasah
(dadong brayut dan gedong) dan patulangan lembu (sarana untuk
membakar jenasah) mengelilingi desa, tepatnya di Banjar Pandéarga
(Pura Kawitan Warga sebagai pusatnya) dan Tugu Desa (pusat desa).
Intinya adalah bagaimana arwah almarhumah yang telah “dihidupkan” dan
“disucikan” – disimbolkan dengan ranting / daun beringin yang ada di Pura
Kawitan yang telah dibungkus kain putih (ngaskara, sekah, ngangget
beringin), setelah sebelumnya ada ritual penghidupan atau pemanggilan
arwah oleh anggota keluarga yang dipimpin seorang sulinggih (mpu dari
Warga Pandé) – diperkenalkan kembali dengan lokasi tempat tinggalnya
sewaktu masih hidup. Diibaratkan arwah tersebut seperti seorang tamu
yang sebelum diajak menginap atau tinggal di sebuah tempat (merajan)
254
Ada tiga tahapan dalam upacara pitra yadnya yang bersifat umum (Titib 2003),
yaitu (1) ngaben, palebon, atau atiwa-atiwa. Tujuannya untuk membebaskan roh
(atma) dari ikatan badan wadag (fisik) melalui pembakaran jenasah, dengan
demikian atma akan bebas untuk mencapai kelepasan; (2) nyekah, ngeroras,
mamukur atau maligya. Tujuannya menyucikan roh leluhur. Simbol roh dibuat
dari daun beringin; (3) atmapratistha, devapitrapratistha atau ngalinggihang
dewahyang. Tahapan terakhir dalam upacara, roh leluhur yang sudah dipandang
suci disthanakan di tempat suci untuk dipuja oleh anak cucu keturunannya.
357
yang baru, dikenalkan terlebih dahulu dengan tempat atau lokasi yang ada
di sekitarnya, agar menjadi lebih familiar dengan daerah tersebut.
Gambar 55. Proses Ngangget Beringin / Ngaskara
(Pihak keluarga mengangget daun beringin yang akan digunakan sebagai simbol
roh leluhur)
(Sumber: Yulianto, 2010)
358
Gambar 56. Pentas Tari Baris di Pura Kawitan saat Upacara Ngaskara
(Sumber: Yulianto, 2010)
359
Gambar 57. Pihak Keluarga dan Massa Melakukan Pawai Desa setelah
Upacara Ngaskara
(Atas: pihak keluarga dan massa menuju Tugu Desa; bawah: pihak keluarga dan
massa memutari Tugu Desa)
(Sumber: Yulianto, 2010)
360
Ciri khas Nusa Penida dalam ritual ini adalah dalam proses pawai
atau arak-arakan. Pawai atau arak-arakan ini diikuti oleh massa banjar,
diiringi dengan permainan gamelan Bali oleh seka gong, dengan
mengelilingi banjar Pandéarga (pusatnya adalah Pura Kawitan Warga
Pandé di Banjar Pandéarga) dan Desa Balinuraga – mengelilingi Desa
Balinuraga dimanifestasikan dengan memutari tugu desa yang menjadi
sentral Desa Balinuraga, kemudian sulinggih melepaskan anak panah
(entas / mengentas) ke tugu desa yang menyimbolkan melepaskan ikatan
Panca Maha Bhuta (keterikatan unsur duniawi) yang mengikat atma
(bagian dari upacara ngeringkes / ngaskara / pabersihan / upacara
penyucian roh). Pawai atau arak-arakan dilakukan dengan suka cita dan
antusiasme dari massa yang terlibat dalam arak-arakan ini, yaitu dengan
menggoyang-goyangkan petulangan (wadah jenasah yang masih kosong)
saat diusung oleh sejumlah orang, dan sorak-sorai saat sulinggih
melepaskan anak panah ke tugu desa (mengentas). Menurut mereka, ini
merupakan sebuah ritual / rangkaian upacara yang meriah, sama seperti
yang dilakukan masyarakat Bali di Nusa Penida; (2) Pemberangkatan bade
ke setra (kuburan) yang berlokasi di Pura Dalem Desa Balinuraga. Ini
merupakan rangkaian dari acara puncak pembakaran jenasah (mageseng),
yaitu membawa bade ke lokasi pembakaran jenasah di Pura Dalem. Ciri
khas pemberangkatan bade ke setra yang menjadi ciri khas Nusa Penida
adalah: massa yang jumlahnya lebih dari seratus orang (terdiri dari pria
yang berfisik kuat dan sehat) menggotong bade yang beratnya lebih dari
lima ton dengan berlari sepanjang setengah kilometer dari rumah keluarga
ke lokasi setra di Pura Dalem. Di dalam bade tersebut terdapat sejumlah
anggota keluarga dan beberapa sulinggih yang akan memuput upacara
pembakaran jenasah serta beberapa orang sambil memainkan gamelan
Bali. Pemberangkatan bade yang dilakukan dengan berlari (cukup cepat,
sesuai dengan berat dan jumlah massa yang menggotong bade), diikuti
dengan massa (masyarakat desa) yang berlari mengikuti arah bade yang
menuju Pura Dalem. Kemudian, diikuti oleh beberapa orang yang
mengusung dadong brayut, petulangan, dan gedong dengan turut serta
berlari mengikuti massa yang menggotong bade dan menggoyang-
goyangkannya dengan antusias – bisa digoyang-goyangkan karena
beratnya ringan, cukup digotong oleh beberapa orang (lima sampai sepuluh
361
orang). Pemberangkatan bade ke setra ini diiringi dengan seka gong yang
memainkan gamelan Bali dengan sangat antusias, dan massa yang bersorak
sorai. Pemberangkatan bade ke setra dengan berlari dan diikuti dengan
jumlah massa yang besar yang juga ikut berlari serta diringi dengan
permainan gamelan Bali yang meriah oleh seka gong dan sulinggih yang
berada di atas bade adalah ciri khas prosesi ngaben di Nusa Penida.
362
Gambar 58. Arak-Arakan Massa Memberangkatkan Bade ke Setra
(Sumber: Yulianto, 2010)
363
Fakta ini menunjukkan kuatnya ikatan tanah leluhur (Nusa Penida)
bagi masyarakat Bali Nusa di Balinuraga yang tetap mereka lestarikan
dalam setiap upacara penting. Dalam kasus ini diwujudkan sampai pada
persoalan teknis seperti pemberangkatan bade ke setra dengan berlari,
karena bagi mereka dalam persoalan teknis tersebut terdapat ciri khas yang
mewakili identitas mereka sebagai Bali Nusa yang ada di Lampung dan
identitas Bali Hindu pada umumnya (pada upacara ngaben yang mewakili
identitas Bali Hindu yang ada di Lampung). Menurut mereka upacara
ngaben di Nusa Penida selalu diikuti dengan massa yang besar, meriah dan
ramai oleh sorak sorai massa yang berlari, dan tenaga yang diperoleh oleh
massa saat menggotong bade yang beratnya berton-ton sambil berlari
diperoleh dari kekuatan niskala yang diterima dari Sang Hyang Widhi
Wasa; dan ini tetap mereka praktekkan dan lestarikan ketika
menyelenggarakan upacara ngaben di Balinuraga, Lampung. Massa begitu
antusias ketika menggotong / mengangkat sarana dan prasarana ngaben,
terutama bade, dikarenakan mereka percaya bahwa ada karma baik yang
akan mereka terima dari Sang Hyang Widhi Wasa, dan wujud bakti serta
hormat yang mendalam kepada atma almarhumah. Selain itu, ada
kebanggaan tersendiri jika mereka bisa memberikan tenaganya untuk
mengusung bade yang beratnya berton-ton tersebut.
Peristiwa unik yang terjadi saat upacara puncak, mageseng
(pembakaran jenasah), adalah turunnya hujan yang sangat deras, disertai
dengan angin kencang dan kilatan petir. Sebelum pemberangkatan bade ke
setra hujan lebat sudah turun mengguyur Desa Balinuraga. Hujan berhenti
saat bade akan diberangkatkan oleh massa ke setra (Pura Dalem).
Kemudian, hujan lebat disertasi angin kencang dan kilatan petir turun
kembali saat bade sudah sampai di setra, yaitu ketika upacara pembacaan
doa dan pentas tari baris dimainkan. Meskipun demikian, upacara
pembakaran jenasah tetap dilaksanakan, dan uniknya, hujan semakin
menjadi lebat, angin semakin kencang berhembus, dan kilatan petir
semakin sering terjadi. Fakta yang terjadi adalah dalam kondisi seperti itu
(hujan deras disertasi angin kencang), bade yang di dalamnya sudah
terdapat patulangan / tumpangan (tempat jenasah diletakkan) dapat
terbakar dengan sempurna – api berhasil menyala dengan besar dan
364
membakar seluruh bade dan pitra. Kejadian ini akan dibahas pada bagian
berikutnya, yaitu bagaimana tafsir warga, terutama anggota keluarga, atas
peristiwa yang terjadi saat mageseng. Sebuah peristiwa yang sangat langka
dan jarang terjadi saat upacara puncak ngaben, mengingat Desa Balinuraga
terkenal dengan kekuatan magisnya dalam mendatangkan atau pun
menolak hujan.
Poin penting yang dalam persiapan dan pelaksanaan upacara
ngaben pribadi ini adalah: (1) banjar atau komunitas adat-keagamaan
merupakan basis dari kekompakkan dan kesolidan masyarakat Bali Nusa
di Desa Balinuraga. Dalam kasus ini dapat dibuktikan dari keterlibatan
aktif anggota banjar dalam penyelenggaran upacara ngaben pribadi salah
anggota keluarga dari anggota banjar-nya, mulai dari persiapan sampai
pelaksanaan upacara puncak. Melalui upacara ngaben rasa kekeluargaan
dan solidaritas semakin diperkuat, dan mengumpulkan kembali “para
perantau” asal Balinuraga dari banjar tersebut. Kekuatan massa dari setiap
banjar dapat dilihat atau “dipentaskan” kepada khalayak ketika acara
puncak dilaksanakan, terutama saat pemberangkatan bade ke setra.
Kekuatan massa yang lebih besar “dipentaskan” lebih terbuka ketika
upacara ngaben massal, karena melihatkan banyak keluarga dari berbagai
banjar dan warga tertentu, baik di Desa Balinuraga maupun dari beberapa
perkampungan Bali lain di Lampung dan Sumatera Selatan; (2) sistem
manajemen sederhana melalui pembagian tugas dengan pembentukkan
panitia telah diadopsi oleh anggota banjar dan pihak keluarga, agar
persiapan menjadi lebih efektif dan efisien. Intinya adalah bagaimana
biaya besar yang sudah dikeluarkan oleh pihak keluarga tidak semakin
membesar – penghematan – dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh panitia
sebanding dengan hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Hal
ini dapat dibuktikan bahwa hasil yang mereka dapatkan – dari pembuatan
sarana dan prasarana ngaben pribadi dan bantenan – bahwa jumlah biaya
yang dikeluarkan oleh pihak keluarga (dalam kisaran seratusan juta rupiah)
mendapatkan hasil yang lebih baik daripada upacara ngaben massal yang
dulu pernah diselenggarakan di Balinuraga dengan menghabiskan biaya
ratusan juta rupiah (di atas setengah miliyar rupiah). Menurut pihak panitia
dan keluarga, inti dari prosesi ngaben adalah di efisiensi dan efektifitas,
365
baik biaya maupun tenaga tapi dengan hasil yang maksimal. Dalam
beberapa diskusi di kalangan mereka, pola ini akan diterapkan jika akan
diselenggarakan upacara ngaben berikutnya, massal dan pribadi; (3)
konsistensi dan kebulatan tekad dari pihak keluarga dan penyelenggara
untuk tetap menyelenggarakan pembakaran jenasah meskipun kondisi
alam sangat tidak memungkinan – pembakaran jenasah di tengah hujan
lebat disertai angin kencang. Ini menunjukkan kuatnya kepercayaan
mereka akan kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa (kekuatan niskala) dan
wujud dari konsistensi mereka akan sebuah rencana yang telah mereka
susun sejak jauh-jauh hari – waktu persiapan yang lama dan biaya yang
besar; (4) upaya rekonsiliasi antar dua kubu warga yang bersitegang. Pihak
keluarga selaku pihak penyelenggara upacara dan wakil warga tetap
mengundang warga lain yang bersitegang dengan warga dari pihak
keluarga. Sebagai penghormatan kepada pihak warga lain tersebut, pihak
keluarga memberikan wewenang kepada sulinggih dari warga tersebut
untuk ikut muput upacara pitra yadnya, dan diberikan kehormatan
menyalakan api suci untuk membakar bade dan jenasa di dalamnya.
Hujan Deras Saat Upacara Pembakaran Pitra
Idealnya upacara ngaben dilaksanakan pada hari baik berdasarkan
perhitungan yang telah dilakukan oleh pihak keluarga dan para ahlinya –
biasanya diwakili oleh sulinggih warga. Sebuah hari baik berdasarkan
kepercayaan mereka sebagai Bali Hindu. Dikatakan hari baik tidak hanya
terkait bahwa di hari tersebut – Hari-H saat berlangsungnya pembakaran
jenasah – dipercaya tidak ada halangan dari dunia lain yang merintangi
proses perjalanan atma menuju kahyangan (dunia niskala), tapi juga yang
terpenting adalah keadaan cuaca yang riil terjadi di Hari-H. Artinya, Hari-
H dikatakan hari baik jika Hari-H yang ditentukan sudah berdasarkan
ketentuan yang berlaku dalam tradisi dan kepercayaan mereka, dan saat
Hari-H diberlangsungkan upacara puncak mageseng (pembakaran pitra)
cuaca dalam keadaan cerah, tidak turun hujan.
Sudah menjadi sebuah kelaziman bagi mereka untuk
menghadirkan pawang hujan terutama di saat musim penghujan agar hujan
tidak turun saat upacara puncak dilangsungkan. Dalam kasus ngaben
pribadi ini, kenyataan yang terjadi adalah hujan deras turun justru di saat
366
pembakaran jenasah dilakukan. Pihak keluarga tidak menghadirkan secara
khusus pawang hujan untuk mencegah atau memindahkan hujan ke tempat
lain selama proses pembakaran jenasah dilakukan. Mereka pun tidak
mengira bahwa hujan deras akan mengguyur lokasi setra yang menjadi
tempat pembakaran jenasah dilaksanakan, karena selama persiapan
dilakukan dan dua upacara inti dilaksanakan hujan tidak turun. Ini bukan
berarti di banjar ini tidak ada yang memiliki kemampuan sebagai pawang
hujan, justru dari pihak keluarga ada yang memiliki kemampuan ini. Di
samping itu, mereka percaya bahwa hujan tidak akan turun saat upacara
pembakaran jenasah dilakukan.
Hari pertama dan kedua pelaksanaan upacara inti cuaca sangat
kondusif. Penulis melihat sendiri bagaimana awan mendung – yang pasti
akan turun hujan – mendadak bergeser ke lokasi lain: gerimis sempat turun
beberapa menit, kemudian cuaca menjadi terang. Menariknya hujan turun
dilokasi lain yang berdekatan dengan lokasi upacara inti akan
dilaksanakan. Bade yang dibuat sedemikian indahnya dengan biaya
mencapai ratusan juta rupiah tidak terguyur hujan. Pagi hari di Hari-H tiba-
tiba awan mendung berwarna putih sudah menyelimuti Desa Balinuraga –
jika awan mendung berwarna putih maka hujan akan berlangsung lama
dengan intensitas deras. Hujan turus dengan derasnya di pagi itu, saat para
tamu dan undangan datang ke rumah keluarga untuk menerima kata
sambutan dan ikut serta dalam pemberangkatan bade ke setra. Menariknya
hujan tiba-tiba berhenti, awan masih mendung putih, ketika massa sudah
berkumpul dan bersiap-siap untuk mengangkat bade yang beratnya berton-
ton tersebut. Hujan tetap tidak turun saat massa memberangkatkan bade ke
setra. Hujan deras kembali turun setelah bade sampai ke setra, dan saat
prosesi upacara akan dimulai: pentas tari baris, kata sambutan dari pihak
keluarga, camat, PHDI, dan sulinggih. Hujan semakin deras dengan
hembusan angin kencang dan sambaran kilat (petir) saat upacara inti akan
diberlangsungkan (menyalakan api suci ke bade oleh sulinggih dan
anggota keluarga, dan pembacaan doa suci “puja siwa” untuk mengiri
proses pembakaran jenasah) dan terus terjadi sampai api berhasil
membakar keseluruhan bade dan pitra di dalamnya. Akibatnya, massa
yang hadir berhamburan keluar dari lokasi pembakaran jenasah, sebagian
berteduh di Pura Dalem dan sebagian besar lainnya pulang ke rumahnya
367
masing-masing karena hujan tidak reda dan semakin deras, yang tersisa
hanya anggota keluarga, panitia, tamu undangan dan sulinggih.
Air versus api. Ini yang menjadi perhatian para anggota keluarga
dan sulinggih. Pemenangnya adalah api, yang menyimbolkan Dewa
Brahmana, khususnya Dewa Api (Dewa Agni) yang menjadi pelindung
dari Warga Pandé sebagai pihak keluarga yang menyelenggarakan ngaben
pribadi. Api berhasil membakar bade dan pitra: upacara ngaben pribadi
berlangsung sukses di tengah hujan deras yang mengguyur lokasi Pura
Dalem (lokasi setra). Api membakar seisi bade dan pitra dengan
sempurnanya.
368
369
Gambar 59. Proses Pembakaran Jenasah di Tengah Guyuran Hujan Deras
(Mulai dari gambar pertama di sudut kiri paling atas: (1) keluarga mulai menyulut
api ke bade; (2) api berhasil menyala kecil; (3) api mulai meyala besar dari bawah
ke atas bangunan bade; (4) api mulai berhasil membakar jenasah yang diletakkan
di sudut kanan atas bade; (5) api mulai menghanguskan seisi bangunan bade; (6)
bade dan jenasah berhasil diabukan oleh api di tengah guyuran hujan deras dan
genangan air.)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Tanpa memihak, tetap bersikap netral dan tidak membawa uraian
ke wilayah metafisika, penulis yang menyaksikan kejadian tersebut secara
langsung cukup terkejut ketika api berhasil membakar dengan sempurna
seisi bade dan pitra di tengah hujan deras dan angin kencang. Keadaan
waktu itu yang terjadi adalah bade beserta kayu bakar dan ban bekas sudah
basah. Secara ilmiah yang mendukung kesempurnaan kerja api saat
pembakaran jenasah dilakukan adalah ban bekas (ban mobil, berbahan
dasar karet, bahan yang mudah terbakar), minyak tanah yang jumlah
mencapai beberapa galon besar (kurang lebih mencapai seratus liter), dan
angin kencang. Sebenarnya inti dari proses pembakaran itu bisa terjadi
dengan sempurna setelah ban bekas berhasil terbakar, kemudian secara
terus menerus disiram dengan minyak tanah. Ban bekas ditaruh di bagian
bawah bade sampai ke bagian atas bade di mana patulangan yang di
dalamnya berisi pitra diletakkan. Setelah api sudah mulai berhasil
menyala, minyak tanah terus disiram ke seluruh isi bade, terutama di
bagian bawah (tempat kayu bakar yang telah basah ditempatkan) dan
bagian atas (tempat jenasah di letakkan di dalam wadah / patulangan).
Ketika api sudah cukup besar, minyak tanah tetap disiramkan dalam
jumlah yang mulai berkurang daripada sebelumnya, tapi api semakin
membesar karena dibantu dengan hembusan angin yang besar. Akibatnya,
api berhasil berkobar dengan besar di tengah guyuran hujan deras dan
membakar seluruh isi bade dan pitra. Artinya, proses pembakaran jenasah
berjalan sukses di tengah guyuran hujan deras. Seorang sarjana kimia,
yang berasal dari anggota keluarga, mengatakan bahwa ketika api sudah
berhasil menyala (istilah mereka: api sudah matang), air hujan sudah tidak
berpengaruh, justru (bukan membenarkan, tapi sebuah perkiraan)
kandungan hidrogen (H2) dan okigen (O) yang ada di dalam “air” hujan
turut membantu proses pembakaran dengan dibantu hembusan angin yang
370
kencang dan ban bekas (bahan karet yang mudah terbakar dan sulit
dipadamkan).
Spekulasi bermunculan di kalangan anggota keluarga dan banjar
(selaku panitia) bahwa hujan ini “sengaja” didatangkan saat upacara
puncak (mageseng) oleh pihak tertentu yang selama ini terlibat dalam
perang dingin antar dua kubu warga di Desa Balinuraga – mengingat pihak
keluarga dan panita tidak menggunakan pawang hujan. Menurut mereka
ada pihak yang tidak senang saat upacara ngaben pribadi ini
dilangsungkan. Tanpa perlu disebutkan secara jelas, mereka sudah tahu
siapa pihak tersebut, karena hanya ada satu warga yang selama ini
bersiteru dengan warga yang menyelenggarakan upacara ngaben pribadi.
Spekulasi ini semakin kuat ketika sebagian besar warga yang bersiteru
tidak hadir saat upacara ini diselenggarakan, sebagian besar hanya
menonton arak-arakan massa saat memberangkatkan bade ke setra –
meskipun sulinggih dari warga tersebut turut hadir dalam upacara puncak
dan diberikan satu kehormatan besar secara simbolis untuk menyalakan
“api suci” untuk membakar bade. Pihak keluarga tidak membenarkan (dan
tidak juga menyalahkan) spekulasi yang berkembang saat itu, karena tidak
ingin mempertajam konflik di antara kedua warga, dan suasana dalam
upacara ngaben pribadi ini merupakan suasana duka cita. Bagi pihak
keluarga yang terpenting adalah upacara puncak berjalan dengan sukses:
“api berhasil mengalahkan air”. Menurut pihak keluarga, kesuksesan
upacara ngaben ini sangat besar artinya karena ada rintangan. Tentu tidak
dapat dikatakan sukses besar jika upacara ngaben berlangsung dalam
cuaca yang kondusif. Bagi mereka, dan dibenarkan oleh para sulinggih, ini
adalah wujud dari keteguhan hati umat sebagai Hindu Dharma, dan tidak
pada tempatnya berspekulasi menyudutkan pihak lain. Pihak keluarga
menambahkan, kesuksesan ini menunjukkan kebesaran Sang Hyang Widhi
Wasa, dan menjadi contoh bagi umat Hindu Dharma di Balinuraga bahwa
ketulusan hati dan kebulatan tekad dalam penyelenggaran upacara ngaben
pribadi ini tidak dapat dihalangi atau dirintangi oleh apa pun termasuk
hujan. Hujan adalah ujian atau cobaan bagi mereka. Buktinya adalah
upacara puncak berlangsung sukses. Rasa haru dan sorak sorai
diekspresikan secara terbuka (meneteskan air mata, bertepuk tangan, dan
melompat-lompat kegirangan) ketika api berhasil membakar habis seluruh
371
isi bade dan pitra – dan ketika itu juga, sebenarnya spekulasi tersebut
“hancur” (khususnya dari pihak keluarga dan anggota banjar pada
umumnya), tidak perlu diperdebatkan dan dipertajam (spekulasi tersebut)
karena proses pembakaran jenasah telah berhasil (dan secara ilmiah
sejatinya dapat berhasil dilangsungkan).
Bade dan Patulangan versi Kreasi Balinuraga
Ciri khas dari upacara ngaben pribadi di Balinuraga ini adalah
bentuk dan arsitektur bade yang sudah modern, invotif, dan kreatif – tanpa
menghilangkan makna bade tersebut sebagai tempat di mana jenasah
ditempatkan di puncak (tumpang) menara bade. Jumlah tumpang tidak
dipermasalahkan bagi mereka sebagai golongan jaba. Warga Pandé
(biasanya) menggunakan tumpang sembilan, sedangkan Warga Pasek
(biasanya) menggunakan tumpang tujuh (simbol Tujuh Pendeta / Rsi yang
menjadi leluhur Warga Pasek). Jadi, tidak ada batasan atau perarturan
ketat yang melarang mereka (golongan jaba) untuk menggunakan jumlah
atap tumpang yang berjumlah ganjil ini (khususnya mulai dari yang
tertinggi 9, 7, 5, 3, dan 1; di Bali pada masa kerajaan tumpang 11 biasanya
digunakan oleh raja, 9 menteri, dan 7 patih). Menurut mereka, setelah di
Lampung mereka bebas berkreasi dan berinovasi, jumlah atap tumpang
tidak menjadi perdebatan, asalkan pihak keluarga secara ekonomi mampu
membuatnya.
Keunikkan bade ini terletak pada desainnya yang modern. Bade
dibuat menyerupai bangunan pura dan rumah seperti yang umumnya
dimiliki masyarakat Bali Hindu. Jadi, tidak menonjolkan keberadaaan
jumlah atap tumpang seperti bale tempo dulu yang digunakan masyarakat
Bali pada umumnya. Tingginya atap tumpang ditonjolkan dengan
bangunan bade yang tinggi atau susunannya menyerupai menyerupai
bentuk atau bangunan pura. Setiap sudut (empat sudut) bangunan bade
dibuatkan sebuah paduraksa (penyangga sudut seperti di pura). Di bagian
depan bade (bagian bawah atau tingkat pertama dari badan bade)
dibuatkan sebuah gapura (biasa disebut: angkul-angkul). Di gapura
tersebut terpampang foto dan nama almarhumah, dan tulisan “Upacara
Pitra Yadnya”, yang di atasnya (gapura) diberikan sebuah rangkaian
bunga. Bagian depan ini dibuat seperti halaman depan perkarangan rumah
372
yang bercorakkan Bali Hindu, yaitu keberadaan sebuah gapura. Unikknya,
masih di bagian yang sama, seperti layaknya perkarangan sebuah rumah,
dibuatkan sebuah kolam kecil yang bisa diisikan air yang dilengkap
dengan taman bunga dan empat buah tempat lampu (sejenis lampu taman
yang biasa ada di perkarang rumah, masing-masing berjumlah dua di sisi
kiri dan sisi kanan). Kemudian, di samping dinding bade, sisi kiri dan
kanan, dipasangkan umbul-umbul dengan kain dasar berwarna emas
berlukiskan naga yang berwarna hijau.
Bagian kedua dari bangunan bade adalah bagian tengah. Sama
seperti di bagian depan, pada bagian tengah ini dibuatkan sebuah gapura,
dan dibuatkan sebuah tangga (lima anak tangga) dari bagian depan ke
bagian tengah. Bagian tengah ini terdapat sebuah ruang kosong agar nanti
pihak keluarga dan sulinggih berserta gamelan Bali bisa menempatinya
saat pemberangkatan bade ke setra. Bagian pertama dan bagian kedua dari
bangunan bade ini melambangkan dunia atau “alam tengah” (bhuva-loka)
atau disebut “gunungan”. Tempat ini merupakan penghubung atau sebagai
peralihan antara alam bumi dan surga. Karenanya, di bagian ini (bagian
pertama) dibuatkan hiasan yang menyerupai taman atau perkarangan,
sebagai simbol “alam tengah” atau “bumi”.
Bagian atas adalah bagian utama dari bangunan bade. Biasa
disebut “tumpang” yang melambangkan alam surga. Di sisi kiri bagian atas
dibuatkan (seperti) bukur (madya) – bentuknya seperti prasada – yang
bertumpang sembilan255
. Pada bagian belakang bukur pada bagian
tengahnya ditempelkan sebuah replika ukiran barong, dan di atasnya
(barong) ditempelkan daun enau (jika dilihat dari depan tampak seperti
sayap atau mahkota). Di sisi kanan bagian atas dibuatkan replika banguan
suci seperti gedong yang bagian tengahnya disediakan satu ruang kosong.
Ruang kosong di bagian tengah ini nantinya akan ditempatkanya
patulangan lembu (wadah jenasah) yang sudah berisikan jenasah saat
upacara pembakaran dimulai. Jadi, bagian atas dari bangunan bade ini
merupakan bagian terpenting, di mana jenasah ditempatkan. Pihak
255
Tumpang sembilan tidak secara eksplisit ditonjolkan di dalam bangunan bade.
Hal ini dikarenakan modifikasi bangunan bade yang lain daripada yang lain, atau
lebih dikarenakan persoalan teknis dan keindahan bangunan bade. Tumpang
sembilan biasa digunakan oleh Warga Pandé di Balinuraga.
373
keluarga, yang merupakan arsitek dari bade ini, menciptakan bade dalam
bentuk yang lain daripada yang lain, menyerupai sebuah rumah dan pura
bertujuan agar atma almarhumah mendapatkan tempat yang terbaik dan
merasa nyaman.
Di setiap bagian bagian bade dihiasi dengan berbagai hiasan, baik
yang terbuat dari kertas berwarna untuk replika ukir-ukiran, atau pun yang
terbuat dari bunga dan daun segar. Hiasan ini berfungsi untuk
memperindah bangunan bade agar bisa dinikmati keindahannya oleh
semua kalangan. Warna dominan dari bade ini adalah merah terang (merah
yang menyala). Ini adalah simbol atau ciri khas dari identitas Warga
Pandé: api yang menyimbolkan Dewa Api manifestasi dari Dewa
Brahmana. Setiap lantai bangunan bade (lantai dasar, tengah dan atas)
beralaskan karpet hijau, dan juga pada dinding bagian bawah.
Bagian bawah bangunan bade adalah fondasi bangunan bade yang
setinggi pinggang orang dewasa. Fondasi ini terbuat dari bambu tua yang
kuat (biasa disebut: sanan) dan kayu balok kualitas terbaik (kuat): kayu
balok merupakan penopang atau tiang utama bagunan bade (vertikal),
sedangkan bambu adalah fondasi tambahan untuk memperkuat kayu yang
ditempatkan horisontal dan bambu yang panjangnya melebar ini digunakan
sebagai tempat bagi masing-masing massa untuk memikul bade. Bagian
bawah ini, fondasi bade, merupakan lambang dari dunia bawah (bhuh-
loka). Fondasi ini adalah bagian terberat dari keseluruhan bangunan bade,
karena nantinya saat akan diberangkatkan ke setra di atasnya (di dalam
bangunan bade) akan diisi oleh beberapa anggota keluarga, panitia
(pemimpin massa dari atas dan beberapa anggota seka gong), dan
sulinggih – selain berat kayu dan bambu yang menjadi fondasi bade itu
sendiri. Setiap jarak kurang lebih setengah meter pada rangka fondasi
merupakan ruang dan tempat untuk masing-masing massa agar bisa
dengan mudah menggotong bade dan memungkinkan mereka untuk
menggotongnya sambil berlari – rangka bade pada bagian luar yang
berbahan bambu dibuat memanjang agar tangan dan pundak masing-
masing massa bisa memikul berat bade, kecuali di bagian dalam fondasi
atau di bawah bangunan bade. Ruang kosong yang disediakan pada
fondasi untuk pegangan tangan dan sanggahan bahu masing-masing massa
berjumlah kurang lebih seratus buah. Dalam prakteknya, yang menggotong
374
bade ini bisa memuat lebih dari seratus, akibatnya ada yang terhimpit
ketika massa mulai membawanya dengan berlari. Oleh karena itu, massa
yang bertugas membawa bade ini ke setra dengan jarang kurang lebih
setengah kilometer – dari rumah ke setra – harus pemuda atau laki-laki
yang sehat dan berfisik kuat. Ruang kosong yang berada di bawah fondasi
ini, nantinya ditaruh kayu bakar dan ban bekas saat akan dilakukan upacara
pembakaran jenasah. Dari bagian fondasi, bagian paling bawah, disediakan
sebuah tangga untuk menuju ke bagian depan (halaman depan,
perkarangan depan bangunan bade) bangunan utama bade yang terdapat
sebuah gapura, taman, lampu taman, dan umbul-umbul.
Bade yang digunakan dalam upacara ngaben pribadi ini
merupakan bade yang lain daripada yang umumnya digunakan oleh
masyarakat Bali. Sebuah kreativitas, inovasi dan terobosan baru dengan
membuat bade seperti layaknya sebuah rumah dan kompleks pura:
dilengkapi dengan kolam ikan, taman bunga, lampu taman, penempatan
prasada dan padmasana di bagian paling atas bade agar atma
mendapatkan tempat tertinggi dan terbaik. Arsiteknya adalah pihak
keluarga sendiri, di mana ahli pembuat pura dan sarana-prasarana ngaben,
ukir-ukiran dan lukisan. Keahlian keluarga ini, turun termurun, terkenal di
berbagai perkampungan Bali di Lampung sampai di Sumatera Selatan.
Menurut mereka, kebebasan berkreasi ini belum tentu dapat diterima di
Bali, terutama di daerah yang masih sangat kolot, seperti di Nusa Penida.
Intinya adalah tidak menyimpang dari ajaran Hindu Dharma, dan sudah
sepantasnya anggota keluarga memberikan yang terbaik bagi atma anggota
keluarga tercinta yang telah meninggal.
375
376
Gambar 60. Bade
(Mulai dari gambar pertama kiri atas: (1) bangunan bade keseluruhan tampak
depan; (2) bagian depan bade; (3) sudut kanan depan bade; (4) sudut kanan
belakang bade; (5) bade tampak belakang; (6) bagian bawah / fondasi bade)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Selain bade, sarana upacara ngaben pribadi yang mencolok adalah
patulangan: sarana (wadah) di mana jasad atau jenasah ditempatkan saat
upacara pembakaran jenasah dilakukan. Patulangan ini disebut juga
sebagai tunggangan atau kendaraan bagi atma dalam perjalannnya menuju
ke dunia lain yang berwujud hewan tertentu. Baik di Bali atau pun di Nusa
Penida, jenis tunggangan ini sudah ada aturannya. Artinya, setiap wangsa
atau warga memiliki tunggangan-nya sendiri. Misalnya, “lembu” untuk
wangsa brahmana dan singa makampid untuk golongan jaba seperti
Warga Pasek dan Warga Pandé. Kasus ngaben pribadi di Balinuraga ini
menjadi sangat unik dan menarik, karena patulangan atau tunggangan
yang digunakan sebagai kendaraan bagi pitra adalah menggunakan hewan
lembu. Lembu tersebut adalah lembu bertanduk emas bermata tajam
dengan ekor yang menjulang ke atas lalu menekuk ke bawah, bagian
kepalanya telah ditutup selembar kain putih. Lembu ini dicat berwarna
merah menyala – sesuai dengan identitas Warga Pandé – dan dikenakan
rompi emas pada bagian dada dan setiap sisi kaki serta bulu emas di
sepanjang tulang punggung sampai tulang ekor. Ada beberapa alasan
mengapa dikatakan unik dan menarik: (1) lembu merupakan jenis hewan
yang menjadi patulangan atau kendaraan bagi golongan brahmana. Tidak
sembarangan warga atau wangsa yang berhak menggunakannya. Menurut
pihak keluarga yang ber-warga Pandé, mereka berhak menggunakan
tunggangan lembu, tidak ada permasalahan jika digunakan di Lampung
(kecuali di Bali). Leluhur Warga Pandé adalah Mpu Pradah, seorang
pendeta brahmana, berarti keturunannya – meskipun almarhumah bukan
Bali Hindu, tapi setelah menikah menjadi Hindu dan otomatis menjadi
bagian dari keluarga besar Warga Pandé (ikut suami) – berhak
menggunakan tunggangan lembu. Dengan kata lain, “Lembu” bukan
tunggangan yang dimonopoli satu golongan tertentu, siapa pun berhak
menggunakannya asalkan memiliki bukti yang kuat bahwa leluhurnya
merupakan seorang pendeta brahmana. Menjadi menarik karena di Bali
377
dan Nusa Penida sendiri, “Singa Makampid” masih menjadi tunggangan
yang umum yang digunakan oleh Warga Pasek dan Pandé; (2) lembu yang
digunakan adalah lembu yang berwarna merah menyala dan menggunakan
rompi berwarna emas (warna merah dan emas adalah warna dominan).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, warna merah adalah identitas
Warga Pandé: simbol Dewa Brahmana dan Dewa Api. Ini menjadi ciri
khas tersendiri bila dibandingkan dengan warna lembu yang biasa
digunakan oleh para brahmana (keluarga pandita) di Bali, yaitu lembu
petak atau sapi putih. Artinya, “Lembu Merah” atau “Lembu Bang”
(“Bang”, baca: “beng” berarti merah, dalam Jawa: “abang”) adalah ciri
khas dari lembu-nya Warga Pandé yang ada di Balinuraga. Kasus bade
dan patulangan berbentuk lembu ini akan diuraikan lebih lanjut pada sub-
pembahasan berikutnya (masih dalam contoh kasus ngaben pribadi)
mengenai “Ketidak-berlakukan Dominasi Triwangsa: Pembebasan Kaum
Jaba dan Eksistensi Sudra Wangsa”.
378
Gambar 61. Lembu “Bang” Patulangan
(Atas: lembu patulangan yang sudah jadi; bawah: lembu patulangan digotong oleh
beberapa pria)
(Sumber: Yulianto, 2010)
379
Sarana lain yang menjadi ciri khas Bali Nusa adalah sarana
pengusung jenasah bernama dadong brayut256
: dua buah orang-orangan
seperti wayang orang, yaitu berwujud laki-laki (Pan Brayut) dan
perempuan (Men Brayut) yang saling berhadapan, keduanya ditempatkan
pada sebuah tempat seperti perahu. Sama seperti wayang orang pada
umumnya, di bawah perahu tersebut terdapat dua bilah bambu yang terikat
pada bagian tubuh wayang yang berfungsi menggerakkan badannya
tersebut, sehingga bisa digerakkan atau dimainkan saat diusung serta
digoyang-goyangkan saat melakukan pawai atau arak-arakan mengelilingi
desa (upacara ngaskara sebelum Hari-H), dan saat mengiringi
pemberangkatan bade ke setra (Hari-H). Sarana pengusung jenasah ini –
dadong brayut dan gedong – diusung oleh lima sampai enam pemuda:
diusung sambil digoyang-goyangkan, satu orang sambil ikut mengusung
berperan memainkan wayang tersebut secara bergantian. Dadong brayut
ini selalu digunakan oleh masyarakat Bali di Nusa Penida saat
diselenggarakannya upacara pitra yadnya, dan tetap digunakan oleh
masyarakat Bali Nusa di Balinuraga. Dadong Brayut ini menyimbolkan
keteguhan dan ketabahan hati serta keberhasilan orang tua laki-laki yang
bernama Pan Brayut dan orang tua perempuan yang bernama Men Brayut
dalam membesarkan kedelapan belas anaknya sehingga menjadi anak yang
berhasil dan berguna di dalam masyarakat (khususnya peran Men Brayut
sebagai seorang ibu). Dalam kasus ngaben pribadi ini, dadong brayut
menyimbolkan keberhasilan almarhumah sebagai Men Brayut yang selama
hidupnya berhasil membesarkan dan mendidik anak-anaknya (dan juga
suaminya) sehingga menjadi orang yang berhasil. Jadi, jika dalam sebuah
upacara pitra yadnya disertakan dadong brayut dalam arak-arakan massa
256
Kata “dadong” adalah sebutan untuk nenek dalam Bahasa Bali, sedangkan
“brayut” berasal dari legenda klasik dalam masyarakat Bali (dan juga termasuk /
adaptasi dari cerita / legenda Jawa Kuno) yang mengisahkan sepasang suami istri
yang bernama Pan Grayut (laki-laki) dan Men Grayut (perempuan) yang memiliki
banyak anak (delapan belas). “Brayut” juga diartikan sebagai tokoh perempuan
yang mempunyai banyak anak. Inti dari kisah dua sejoli grayut yang hidup dalam
kemiskinan ini adalah keberhasilannya membesarkan dan mendidik anak-anaknya.
Sebuah legenda yang berfungsi untuk memberikan pelajaran bagi para orang tua
bagaimana seharusnya membesarkan dan mendidik anak-anakanya, dan pelajaran
bagi anak-anak bagaimana harus menghormati orang tuanya.
380
yang mengiringi bade, maka dapat dipastikan bahwa upacara tersebut
dilakukan oleh masyarakat Bali Nusa, khususnya untuk
mengidentifikasikan upacara pitra yadnya (ngaben) masyarakat Bali Nusa
yang ada di Lampung. Secara umum fungsi Dadong Brayut sebagai sarana
pengusung jenasah. Sarana lain sebagai pengusung jenasah adalah gedong
(sanggah, merajan) dalam bentuk replika, dibuat dalam bentuk yang
sederhana, terbuat dari bahan kertas dengan warna dominan merah. Sarana
ini disertakan saat upacara ngaskara (penyucian roh leluhur) bersamaan
dengan patulangan dan dadong brayut, dan disertakan pula secara
bersama-sama saat memberangkatkan bade ke setra.
381
382
Gambar 62. Dadong Brayut dan Gedong
(Mulai dari gambar pertama di sudut kiri atas: (1) dadong brayut sebelum
diberangkatkan untuk Upacara Ngaskara; gambar (2) dan (3) dadong brayut
diarak oleh beberapa pria untuk mengiringi bade ke setra; (4) dadong brayut dan
gedong yang telah selesai dibuat; gambar (5) dan (6) gedong digotong oleh
beberapa pria untuk upacara ngaskara)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Tanpa bermaksud mengeneralisir, masyarakat Bali Hindu yang ada
di Lampung dalam penyelenggaraan setiap upacaranya – dalam kasus ini
upacara ngaben pribadi – selalu mempertahankan tradisi yang menjadi ciri
khas dari tempat asalnya – dalam kasus ini Nusa Penida, Bali. Meskipun
secara umum prosesi upacara tersebut hampir sama, tapi dalam
pelaksanaannya ada hal-hal yang bersifat teknis dan non-teknis yang
mencirikan tempat asal (Nusa Penida), seperti: membawa bade,
patulangan, dadong brayut, gedong dengan berlari dan mengoyang-
goyangkannya dengan semangat (sambil berteriak) – massa yang antusias
dalam mengusung sarana dan prasarana ngaben pribadi – serta keberadaan
dadong brayut yang (hanya) dijumpai dalam pelaksanaan upacara pitra
yadnya oleh masyarakat Bali Nusa.
Perdebatan Kubu Konservatif dan Kubu Modernis
“Bukan Bali jika masyarakatnya tidak dinamis.” Ungkapan
tersebut untuk menggambarkan bahwa perdebatan antara kubu konservatif
dan kubu modernis itu selalu ada dalam kehidupan masyarakat Bali, dalam
kasus ini Balinuraga. Masyarakat Balinuraga sendiri mengakui, baik dari
pihak konservatif dan modernis, bahwa masyarakat Bali Nusa Penida
sangat kolot (konservatif) dalam mempertahankan tradisi Bali Hindu
mereka, terutama setelah keberadaan mereka di Lampung. Sebenarnya
kedua kubu yang selalu berdebat dan bertentangan ini mempunyai tujuan
yang sama: mempertahankan tradisi Bali Hindu sesuai dengan tempat asal
mereka di Nusa Penida. Inti dari perdebatan kedua kubu ini sebenarnya
terletak pada perbedaaan tafsir. Ada yang menafsirkan berdasarkan cerita
dari para orang tua dan sesepuh yang ada di Nusa Penida dan pengalaman
pribadi saat mengikuti upacara-upacara tertentu di Nusa Penida,
berdasarkan buku teks keagamaan dan tradisi Bali Hindu yang mereka
383
dapatkan dari Bali atau pun sekolah agama (sekolah tinggi teologi), dan
berdasarkan realitas atau kenyataan yang ada setelah berada di Lampung.
Mereka yang termasuk dalam kubu konservatif dan modernis tidak
dapat disempitkan pengertiannya pada satu kelompok warga tertentu.
Artinya, menganggap satu kelompok warga sebagai kubu konservatif atau
pun modernis. Dalam kasus upacara ngaben pribadi ini mereka yang
digolongkan kubu konservatif adalah kelompok atau pun individu yang
menolak adanya perubahan dalam tata cara upacara dan upakara yang
berlaku dalam tradisi Bali Hindu seperti yang ada di Nusa Penida dan Bali
pada umumnya. Masyarakat Balinuraga menyebutnya sebagai orang kolot
– kukuh pada aturan adat yang bersifat rumit dan kompleks – yang
menganggap perubahan dalam tradisi, meskipun tidak mengubah makna
dan nilai dari keluhuran tradisi tersebut, sebagai sebuah ancaman terhadap
kelestarian tradisi leluhur. Biasanya yang termasuk dalam golongan ini
adalah orang tua yang sudah berusia lanjut (sepuh), yang menganggap
tradisi leluhur sebagai sesuatu yang ajeg – tidak boleh dilakukan
perubahan karena akan mendatangkan marabahaya. Tapi tidak semua
sepuh termasuk kolot, karena ada sepuh yang berpikiran modernis. Faktor
pendidikan adalah faktor utama yang mempengaruhi pemikiran para sepuh
ini. Sepuh yang berpendidikan (pernah mengenyam pendidikan formal),
pernah mendapat pengetahuan agama Hindu Dharma (melalui buku atau
semacam kursus), dan memiliki pergaulan yang luas, umumnya memiliki
pemikiran yang lebih terbuka mengenai tradisi Bali Hindu, khususnya
melestrasikan tradisi Bali Hindu sesuai dengan konteks kala dan patra di
Lampung. Sebaliknya, ada pula golongan muda yang berpikiran kolot
meskipun sudah mengenyam pendidikan formal: ke-kolotan-nya
didasarkan penafsiran yang sempit atas pengetahuan yang diterimanya dari
buku-buku teks yang berisikan tradisi Bali dan Hindu. Begitu pula dengan
kubu modernis (berpikiran moderat), tidak dapat disempitkan pada satu
kelompok warga tertentu, karena saat ini tidak semua banjar secara
keseluruhan anggotanya berasal dari satu identitas warga – umumnya
disebabkan perkawinan antar anggota warga yang berbeda. Mereka yang
yang digolongkan kubu modernis adalah kelompok atau pun individu yang
berpikiran lebih terbuka dalam memaknai dan mengaplikasikan tradisi
leluhurnya, dan perubahan adalah salah satu cara bagaimana
384
mendatangkan manfaat positif bagi umat Hindu Dharma dan kelestarian
tradisi Bali Hindu mereka sebagai warisan leluhur.
Dalam kasus ngaben pribadi ini, perdebatannya sudah berlangsung
sejak lama antara pihak keluarga (modernis) dan pihak lain (konservatif),
yaitu sejak almarhumah meninggal sampai tiga tahun sesudahnya saat
upacara ngaben pribadi akan dilaksanakan oleh pihak keluarga. Berikut ini
adalah beberapa tema perdebatan – yang sebenarnya kelanjutan dari
perang dingin yang sudah berlangsung sejak tahun 1970-an257
– antara
kedua kubu tersebut yang dimulai sejak almarhumah meninggal sampai
saat upacara pitra yadnya akan dilaksanakan:
Pertama, apakah seseorang yang bukan berasal dari etnis Bali, tapi sudah
menjadi Hindu, bisa atau diperkenankan untuk menerima upacara pitra
yadnya (ngaben). Kubu konservatif (kolot) berpendapat bahwa ngaben itu
adalah tradisinya orang Bali. Menurut mereka apakah orang non-Bali
mengenal tradsisi ngaben seperti yang dilakukan orang Bali. Mengingat
almarhumah bukan berasal dari etnis Bali, dan sebelum menjadi Hindu
menganut kepercayaan lain (yang tidak memiliki tradisi pembakaran
jenasah). Bagi kubu modernis, pendapat kubu konservatif tersebut sangat
kolot dan tidak dapat diterima, karena menurut kubu modernis, setiap
orang yang sudah menjadi Hindu, meskipun bukan orang Bali, sebagai
umat Hindu berhak untuk diupacarakan pitra yadnya (ngaben) oleh pihak
keluarganya. Kubu modernis memberikan contoh orang India yang
beragama Hindu: orang India bukan orang Bali tapi beragama Hindu, tapi
mereka memiliki tradisi yang jauh lebih tua daripada tradisi Bali Hindu
untuk melakukan pembakaran jenasah bagi anggota keluarganya yang
telah meninggal.
Kedua, perdebatan mengenai setra (kuburan Bali Hindu). Perdebatan ini
merupakan perdebatan paling panas di antara kedua belah kubu. Akibatnya
perang dingin yang sudah berlangsung lama semakin membeku. Pihak
257
Jika pada tahun 1970-an kubu modernis dan konservatif mencerminkan satu
identitas warga tertentu, maka saat ini, baik kubu modernis maupun konservatif
bisa terdiri dari beberapa anggota masyarakat Balinuraga yang berasal dari
identitas warga yang berbeda.
385
keluarga yang mewakili kubu modernis membangun makam almarhumah
sesuai dengan tradisi atau adat istiadat yang berlaku pada etnistas keluarga
almarhumah (Tiongua-Jawa). Makam dibuat permanen, ada batu nissan,
dan dibuat sebuah pendopo yang memayungi makam: sebuah tindakan
yang tidak dapat diterima bagi kubu konservatif, karena bagi mereka
(sesuai dengan tradisi Bali Hindu) kuburan itu bersifat sementara (kotor)
tidak boleh dibuat secara permanen sebab jasad nantinya akan di-aben-kan.
Pihak keluarga berargumentasi bahwa pendapat kubu konvervatif itu
memang berlaku bagi etnis Bali, tapi almarhumah bukan berasal dari etnis
Bali. Pembangunan makam yang bersifat permanen tersebut dimaksudkan
untuk menghargai almarhumah, selain itu, pihak keluarga yang sangat
mencintai almarhumah ingin agar agar atma almarhumah mendapatkan
perlindungan sementara yang benar-benar nyaman: karenanya dibangun
pendopo dan makam bersifat permanen yang bagus, lengkap dengan batu
nisannya. Nantinya makam ini pun akan dibongkar saat jenasah akan di-
aben-kan dan setelah mageseng selesai dilaksanakan makam ini akan
dihancurkan. Sebagai umat Hindu, almarhumah tetap berhak mendapatkan
upacara pitra yadnya dari pihak keluarga, tidak ada persoalan dengan
model makam yang modern (anti-konvensional) seperti model setra bagi
masyarakat Bali Hindu pada umumnya: makam atau kuburan dibuat apa
adanya, pada gundukan tanah tempat jenasah ditempatkan cukup diberikan
pagar bambu yang sederhana – sebuah pandangan yang menganggap
bahwa makam bersifat sementara karena jenasah nantinya akan di-aben-
kan.
386
Gambar 63. Setra
(Atas: makam pihak keluarga; bawah: makam / setra yang umum digunakan oleh
masyarakat Balinuraga dan masyarakat Bali pada umumnya sebelum di-aben-kan;
keduanya terletak di areal setra Pura Dalem di Balinuraga)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Ketiga, perdebatan apakah jenasah (kerangka tubuh / tulang) akan benar-
benar bersih (tidak ada daging yang melekat) setelah ditaruh di dalam peti.
387
Hal ini berkaitan dengan peti jenasah yang ditaruh di dalam makam. Model
peti jenasah tidak terbuat dari kayu, tapi dari semen, begitu pula dengan
penutup petinya. Kaum konservatif berpendapat bahwa dengan peti
jenasah seperti itu maka jenasah akan menjadi kotor, daging masih melekat
pada tulang, berbeda jika jenasah ditanam di dalam tanah (hanya
dibungkus dengan kain putih / kafan). Perdebatan ini akhirnya selesai
setelah saat kerangka jenasah diambil oleh pihak keluarga dan panitia dini
hari di Hari-H: kerangka jenasah bersih, tidak ada daging yang melekat
pada tulang, warna putihnya sempurna seperti tulang jenasah pada
umumnya. Kemudian, kerangka jenasah dibersihkan dengan air yang
berisikan bunga-bunga segar yang harum – secara praktis agar kerangka
jenasah menjadi harum dan bersih, sedangkan secara filosofis untuk
membersihkan dan menyucikan jasad fisik(kerangka jenasah) agar siap
untuk di-aben-kan atau disucikan (melalui api, sebagai unsur pelepas
antara wujud fisik / duniawi dengan atma) dalam proses pembakaran
jenasah.
Keempat, perdebatan tentang model bangunaan bade dan atap tumpang
bade dan jenis hewan yang kendaraan tunggangan jenasah (patulangan).
Pembuatan bade yang “lain daripada yang lain” tidak lepas dari
perdebatan. Sebuah inovasi, kreasi dan terobosan yang bagi kubu
konservatif sebagai sebuah “penyimpangan”, karena telah keluar dari
koridor umum yang biasa mereka lakukan dalam pembuatan bade: (1)
bade dibuat seperti bangunan rumah dan pura, tidak seperti yang umum
digunakan dalam masyarakat Bali; dan akibatnya (2) jumlah atap tumpang
bade menjadi tidak jelas: ada yang menafsirkan sembilan dan ada pula
yang menafsirkan sebelas. Kemudian, dari jumlah atap tumpang bade
muncul perdebatan lagi, apa dasarnya menggunakan jumlah seperti itu.
Bagi pihak keluarga yang modernis, permasalahannya bukan pada
bentuknya, tapi pada nilai estetika (keindahan dan seni), kreativitas dan
inovasi dalam pembuatan dan rancangan bangunan bade. Bagi mereka,
fungsi dan nilai filosofinya tetap sama, tidak ada yang menyimpang:
memberikan yang terbaik bagi atma, maka diciptakanlah sebuah bade yang
bagus dan indah. Selain itu, ini merupakan hasil kreasi dari pihak keluarga
sendiri yang merupakan ahli karya seni (termasuk pembuat sarana dan
388
prasarana upacara ngaben) yang dalam proses rancangan dan pembuatan
tetap berpedoman pada nilai dan filosofi Bali Hindu dalam pembuatan
bade dengan melakukan terobosan dan inovasi baru. Perdebatan
berikutnya adalah jenis hewan yang menjadi kendaraan tunggangan
jenasah. Kubu konservatif bersikukuh bahwa lembu adalah tunggangan
bagi golongan brahmana, dan tunggangan “singa makampid” adalah
tunggangan yang umum digunakan oleh Warga Pandé dan Warga Pasek di
Nusa Penida dan Bali – meskipun pihak konservatif mengetahui bahwa
jika ditelusuri dari silsilah leluhurnya mereka berhak menggunakan lembu
sebagai patulangan. Bagi pihak keluarga, mereka berhak menggunakan
lembu sebagai kendaraan tunggangan bagi atma dalam prosesi pitra
yadnya, karena leluhur mereka (Warga Pandé) berasal dari pandita
brahmana. Dengan kata lain, lembu tidak bisa dimonopoli oleh golongan
tertentu saja, setiap golongan berhak menggunakannya asalkan dapat
memberikan bukti-bukti mengenai sejarah leluhurnya. Terpenting adalah
lembu yang digunakan pun adalah lembu khas Warga Pandé dengan warna
merahnya sebagai identitas pembeda dengan lembu brahmana (berwarna
putih): Lembu Merah atau Lembu Bang.
Kelima, perdebatan mengenai versi upacara pitra yadnya (pembakaran
jenasah): India versus Bali. Kubu konservatif menilai upacara ngaben
pribadi ini lebih berkiblat pada India, sehingga unsur kebaliannya menjadi
hilang. Pihak keluarga menilai bahwa upacara ini tetap mengacu pada
tradisi Bali Hindu, karena Bali-nya akan hilang jika berkiblat pada India.
Inti perdebatan dari kedua belah pihak ini tetap sama: bagaimana
mempertahankan tradisi Bali Hindu, jangan sampai hilang hanya karena
mengikuti versi upacara pitra yadnya-nya India.
Keenam, perdebatan-perdebatan yang bersifat teknis dalam
penyelenggaraan upacara mageseng. Misalnya, posisi kepala jenasah
apakah searah dengan kepala lembu atau membelakangi kepala lembu.
Kedua pihak mempunyai tafsir sendiri. Pihak konservatif menyeletuk
bahwa kepala jenasah harus searah dengan kepala lembu, karena itu sesuai
dengan buku teks pernah dibacanya. Pihak modernis membalasnya
berdasarkan logika dan rasionalitas bahwa jika kepala jenasah searah
389
dengan kepala lembu, maka akan menyulitkan atma saat bangun dari
patulangan karena kepalanya akan bertabrakan dengan kepala lembu.
Perdebatan teknis lainnya adalah apakah upacara pembakaran tetap
dilakukan sesuai waktunya, atau menunda sampai cuaca kembali cerah:
tafsirnya adalah apakah prose pembakaran sudah diizinkan oleh Sang
Hyang Widhi Wasa atau belum diizinkan karena hujan turun deras. Pihak
keluarga tetap berikukuh bahwa upacara pembakaran harus dilakukan
sesuai waktunya, karena dengan niat yang tulus mereka percaya pada
kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa bahwa proses pembakaran akan
berhasil meskipun hujan turun dengan deras. Akhirnya proses pembakaran
jenasah tetap dilakukan sesuai dengan waktunya meskipun hujan turun
deras, dan proses ini berlangsung sukses. Kedua contoh ini merupakan
salah satu dari perdebatan kubu konservatif dan modernis tentang hal-hal
yang bersifat teknis. Sebuah perdebatan yang jumlahnya sangat banyak
sekali, karena setiap upacara memiliki banyak prosedur teknis sendiri-
sendiri, di mana setiap teknis memiliki arti dan filosofi serta penafsiran
sendiri-sendiri. Oleh karena itu, untuk kasus ngaben pribadi ini penulis
menyajikan dua contoh perdebatan yang bersifat teknis tersebut.
Perdebatan kedua kubu ini tidak dapat disebutkan sebagai
perpecahan komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Justru hadirnya kubu
konservatif yang berperan sebagai “oposisi” sangat berguna untuk
mempertahankan tradisi Bali Hindu yang dimodifikasi oleh kubu modernis
agar tetap lestari. Dengan kata lain, kubu konservatif berperan sebagai
pemberi rambu-rambu agar modernisasi tersebut tidak menyimpang dari
tradisi leluhur mereka sebagai Bali Hindu. Ini merupakan sebuah peran
penting bagi masyarakat Bali Hindu (Bali Nusa) di Balinuraga, terlebih
setelah keberadaan mereka di Lampung, di mana posisinya sebagai
minoritas dan jauh dari pusat yang dapat mengontrol atau meng-ajeg-kan
kebudayaaan Bali Hindu. Sisi positif dari hadirnya kedua kubu ini adalah
bagaimana masyarakat Bali Hindu di Balinuraga bisa melakukan
penyesuaian identitas Bali Hindu-nya setelah di Lampung dengan berbagai
inovasi, kreasi dan terobosan penyelenggaraan upacara dan ritual adat-
keagamaan – dalam kasus ini upacara ngaben pribadi – agar identitasnya
tetap lestari, dan bisa menjawab tantangan dan kebutuhan umat Hindu
Dharma – terutama dari prosedur upacara dan ritual yang kompleks dan
390
besarnya tenaga dan biaya yang dikeluarkan, dengan tetap
mempertahankan dan sesuai dengan hakikatnya.
Sulinggih Warga (Pendeta Warga, Pendeta Jaba) sebagai
Pemuput Upacara
Realitas menarik yang terjadi dalam kasus upacara ngaben pribadi
ini adalah pe-muput (pendeta yang memimpin upacara) adalah sulinggih
(pendeta/pandita) warga atau menggunakan sulinggih dari golongan
jabawangsa (golongan di luar puri atau kerajaan). Tidak ada perdebatan
yang berarti mengenai sulinggih warga yang memuput upacara pitra
yadnya ini. Artinya, sudah ada kesepakatan dari semua kubu bahwa
sulinggih warga berhak memuput upacara ngaben pribadi, tidak harus
menggunakan pendeta brahmana (pedanda). Hal ini serupa dengan
Anggaran Dasar PHDI yang menyatakan bahwa sulinggih warga memiliki
kedudukan yang sama dengan pedanda (sulinggih brahmana) – yang
berarti berhak memuput dan memberikan tirta pengentas dalam upacara
pitra yadnya. Ini dibuktikan dengan kehadiran perwakilan dari PHDI
sebagai tamu undangan dari pihak keluarga, dan turut serta (juga
memberikan kata sambutan dari PHDI sebagai majelis umat Hindu
Dharma) dalam prosesi upacara ngaben pribadi ini. Jika melihat “jadwal
kegiatan upacara” pitra yadnya pada bagian sebelumnya, maka dapat
diketahui bahwa “yang muput” upacara adalah sulinggih warga atau
pendeta dari golongan jaba. Ini dapat dilihat dari gelar yang digunakan:
Mpu (Sri Mpu) dan Rsi – secara struktural kedudukan mangku (pemangku)
masih di bawah Sri Mpu dan Rsi258
. Mereka adalah sulinggih warga dari
Warga Pandé, Pasek, Arya, dan Bhujangga Waisana. Berdasarkan
peraturan dari PHDI, sulinggih warga ini berhak untuk muput upacara dari
warga lainnya, bukan milik satu warga tertentu, terlebih jumlahnya yang
sangat terbatas. Bagi masyarakat Balinuraga ada kebanggaan tersendiri
258
Untuk menjadi sulinggih warga (dwijati) – seperti sri mpu dan rsi – tidak
semudah menjadi seorang pemangku. Ada prosedur yang cukup sulit dan panjang,
serta proses pembelajaran untuk mendalami kitab-kitab dan lontar. Prosedur
tersebut bersifat formal – berada di bawah pengawasan PHDI – dan jika berhasil,
kedudukannya sebagai sulinggih mendapatkan pengakuan secara resmi oleh
lembaga semi-pemerintah tersebut sebagai kepanjangan dari pemerintah.
391
jika menggunakan sulinggih warga, meskipun menggunakan pedanda dari
Bali dapat meningkatkan status sosialnya – tapi secara tidak langsung
“merendahkan” kedudukan dan kapasitas sulinggih warga-nya dan
(terpenting) status sosial dari leluhurnya yang (umumnya: Pandé dan
pasek) berasal dari golongan brahmana. Di samping, pertimbangan praktis
dan ekonomis, bahwa mengundang pedanda akan merepotkan (harus
menyesuaikan dengan jadwal pedanda yang bersangkutan, dan tidak dapat
dipastikan apakah pedanda yang umumnya sudah sepuh tersebut mau
memuput upacara di Lampung mengingat faktor jarak, kesehatan dan usia)
dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi, fakta ini menunjukkan
bahwa peraturan masa kolonial (masa proyek balinisasi pemerintah
kolonial) dan pra-kolonial (masa kerajaan dinasti Sri Kresna Kepakisan /
Majapahit) – yang sebagian masih dipraktekkan di Bali sampai sekarang –
yang menyatakan bahwa yang berhak memberikan tirta pengentas (air
suci) saat upacara pitra yadnya harus berasal dari seorang pendeta
brahmana atau pedanda sudah tidak berlaku lagi bagi masyarakat Bali
Hindu di luar Bali – dalam kasus ini upacara pitra yadnya di Desa
Balinuraga Lampung Selatan.
Ketidak-berlakuan Dominasi Triwangsa: Pembebasan
Kaum Jaba dan Eksistensi Sudra Wangsa
Contoh kasus upacara ngaben pribadi di Balinuraga, seperti yang
dipaparkan di atas, sebenarnya menunjukkan eksistensi dari golongan jaba
(sebutan yang kurang mereka sukai adalah: sudra wangsa atau kasta
sudra) untuk melepaskan dirinya dari dominasi triwangsa (golongan puri /
kerajaan). Hal ini dapat dibuktikan dari: (1) Bagaimana mereka merancang
dan membangun bade, tanpa terpaku pada jumlah atap tumpang bade yang
harus digunakan oleh golongan jaba dan triwangsa; (2) Jenis hewan
kendaraan tunggangan jenasah (patulangan). Dalam kasus ini,
menggunakan hewan lembu, dalam ketentuan umum yang berlaku dalam
masyarakat Bali pada umumnya, merupakan jenis hewan yang hanya
diperbolehkan atau dipergunakan bagi golongan brahmana. Untuk
membedakan dari lembu golongan brahmana, mereka menggunakan
warna merah menyala (merah api) yang menjadi identitas warga-nya
sebagai Warga Pandé: salah satu kelompok warga yang statusnya
392
dipertegas oleh pemerintah kolonial sebagai jaba (golongan di luar
triwangsa / puri) atau sudra wangsa; (3) Menggunakan pendeta warga
atau sulinggih warga sebagai pemuput (pemimpin) upacara pitra yadnya.
Sebuah tindakan yang tidak mungkin (sangat sulit diaplikasikan, dan jika
berani melakukannya akan menerima hukuman dari pihak penguasa)
dilakukan oleh golongan jaba di masa proyek balinisasi masa kolonial dan
di masa kerajaan feodal (pasca runtuhnya kerajaan Bali Aga dan
berkuasanya Majapahit atas Bali sampai berkuasanya Pemerintah Kolonial
Belanda), di mana masih menjadi konflik dan perdebatan di masa pasca
kolonial (pemerintah Republik Indonesia: Orde Lama dan Orde Baru), dan
mungkin masih terjadi di Bali – meskipun tidak seketat dulu; (4)
Penyelenggaraan upacara pitra yadnya oleh golongan jaba yang
melibatkan jumlah massa yang banyak dan menghabiskan biaya yang
besar, di mana menjadi tradisi atau kebiasaan dalam upacara pitra yadnya
yang diselenggarakan oleh golongan triwangsa (keluarga kerajaan dan
keluarga golongan brahmana). Tingkat perekonomian yang sudah mapan
setelah bertransmigrasi ke Lampung, dan kesolidan komunitas adatnya
(banjar dan desa pakraman) yang ada di wilayah Lampung,
memungkinkan mereka (golongan jaba) menyelenggarakan upacara pitra
yadnya – khususnya upacara ngaben pribadi – yang menghabiskan biaya
yang besar dan jumlah massa yang banyak. Rata-rata (minimal) untuk
upacara ngaben pribadi atau pun ngaben massal membutuhkan dana
minimal ratusan juta rupiah hingga milyaran rupiah. Untuk upacara ngaben
pribadi ini biaya yang dihabiskan (diperkirakan) di atas seratus juta rupiah
(sudah dan belum termasuk biaya yang tidak terhitung). Upacara ngaben
massal yang pernah diselenggarakan satu tahun sebelumnya mencapai
kisaran (perkiraan) di atas lima ratusan juta rupiah. Seorang pengusaha
Bali Nusa di daerah Sumatera Selatan (berbatasan dengan Lampung
Timur, Tulang Bawang), menghabiskan dana milyaran rupiah (di atas satu
milyar) untuk prosesi ngaben pribadi, di mana dalam pelaksanaannya
mengizinkan beberapa keluarga lain yang kurang mampu untuk ikut
bergabung dalam upacara ngaben tersebut.
Kasus ini menunjukkan bagaimana keegaliteran dan kemandirian
masyarakat Bali setelah berada di luar Bali dengan tetap mempertahankan
dan melestarikan dengan beberapa penyesuaian tradisi Bali Hindu,
393
khususnya masyarakat Bali Nusa di Desa Balinuraga. Mereka berhasil
membebaskan dirinya dari pengaruh golongan triwangsa dan menciptakan
masyarakat yang lebih egaliter. Mereka lebih bebas untuk melakukan
terobosan baru bagi keberlangsungan tradisi Bali Hindu tanpa dibatasi
aturan-aturan baku yang mengekang kebebasan berekspresi bagi golongan
jaba, seperti bangunan bade yang lain daripada yang lain (bentuk yang
lebih modern sebagai simbol anti-kemapanan); mempunyai hak yang sama
dengan golongan triwangsa untuk menggunakan atap bade bertumpang
tinggi; hak yang sama menggunakan hewan “lembu” sebagai kendaraan
tunggangan jenasah; dan menyelenggarakan upacara pitra yadnya dalam
skala besar, baik jumlah biaya maupun massa.
Kesimpulan
Identitas kebalian masyarakat Bali Nusa di Balinuraga merupakan
sebuah keutuhan yang bersifat multidemensi. Sebagai sebuah keutuhan
yang multidimensi, identitas kebalian di komunitas Balinuraga tidak dapat
dilihat secara terpisah. Identitas tersebut menjadi sebuah kesatuan di dalam
sebuah sistem sosial kemasyarakatan dalam masyarakat Bali yang diadopsi
oleh komunitas ini dengan berbagai penyesuaian yang ada berdasarkan
konsep kala dan patra. Karenanya, tidak cukup hanya memotret komunitas
ini secara fisik sebagai sebuah perkampungan Bali yang dipenuhi dengan
bangunan-bangunan suci (pura), tetapi juga (terpenting) bekerjanya sistem
sosial kemasyarakatan Bali di dalamnya sebagai sebuah kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan dalam identitas kebalian. Misalnya: sistem warga,
seka-seka dengan berbagai spesifikasi kerja, pelaksanaan ritual dan
upacara penting adat dan keagamaan, dan lain-lain. Picard (1997, 1999,
2005, 2008) menyebutkan identitas kebalian ini sebagai kebudayaan Bali
atau gabungan dari elemen penting kebudayaan Bali seperti kepercayaan,
adat (tradisi) dan kesenian.
Sama halnya ketika melihat realitas komunitas Balinuraga yang
merupakan golongan jaba (di luar kerajaan) – atau dalam kategorisasi
pemerintah kolonial disebut sebagai golongan sudra – identitas mereka
sebagai golongan jaba tidak bisa dilihat sebagai satu identitas yang
tunggal: kasta sudra. Di Balinuraga ada tiga warga atau klan yang pada
masa pemerintah kolonial dicampakkan menjadi golongan jaba, di mana
394
setiap warga memiliki sulinggih tersendiri dan tata-cara adat keagamaan
yang khas, yaitu Pasek, Pandé, dan Arya. Karenanya, komunitas
Balinuraga lebih nyaman menggunakan identitas warga daripada sudra
wangsa atau kasta sudra. Sistem warga yang digunakan menjadikan
komunitas ini lebih setara (egaliter) dan tidak diskriminatif. Tidak ada
yang bisa mendominasi satu dengan yang lain, meskipun setiap warga
memiliki kesamaan klaim berdasarkan silsilah leluhurnya bahwa leluhur
mereka di masa kerajaan memiliki kedudukan penting (pejabat dan
bangsawan kerajaan). Mendudukkan komunitas dengan identitas tunggal –
sudra – menjadi tidak tepat dan diskriminatif. Sama seperti yang dilakukan
Huntington (1996) ketika mengklasifikasikan peradaban dunia ke dalam
identitas tunggal: Barat dan Islam. Sependapat Sen (2007) dan Fukuyama
(2006) bahwa identitas memiliki fakta-fakta kesejarahan dan fakta nyata,
serta berakarakteristik multidimensi.
Pengklasifikasian sebuah kelompok masyarakat atau peradaban ke
dalam sebuah identitas tunggal akan menyebabkan gejolak dan benturan di
akar rumput. Hasil penelitian Schulte Nordholt (2009) dan Robinson
(1995) menunjukkan bahwa kebijakan Balinisasi pemerintah kolonial yang
mencampakkan warga-warga (klan-klan) di luar kerajaan (puri) sebagai
sudra menimbulkan gejolak dan perlawanan di akar rumput259
. Hal ini
yang menyebabkan mengapa komunitas Balinuraga lebih nyaman dengan
identitas warga-nya daripada kasta sudra. Mengingat di dalam identitas
warga mereka mendapatkan kejelasan atas jati diri (identitas) mereka
sebagai Bali Hindu melalui identitas kawitannya (warga) yang menjadi
dasar identitas kebalian mereka.
Proses pembangunan komunitas Balinuraga tidak dapat dilepaskan
dari bekerjanya sistem sosial kemasyarakatan mereka. Bekerjanya sistem
sosial kemasyarakatan Bali di Balinuraga menjadikan komunitas ini –
seperti yang disebutkan oleh Geertz (1980) – sebagai sebuah negara
sendiri. Pembangunan dalam komunitas ini baik fisik maupun non-fisik,
yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan perekonomian, ditopang oleh
krama subak atau seka tani. Sistem pertanian ini – dengan beberapa
259
Lihat juga hasil penelitian Vickers (2006), Kerepun (2003, 2007), dan
Dwipayana (2001).
395
perbedaan dengan yang ada di Bali – berhasil memapankan perekonomian
mereka di bidang pertanian, di mana hasilnya digunakan oleh komunitas
Balinuraga untuk membangun komunitasnya sebagai Kampung Bali
dengan identitas kebaliannya. Salah satu indikator kemapanan ekonomi
mereka sebagai seorang Bali adalah kemampuan ekonomi mereka untuk
menyelenggarakan salah satu upacara besar dan penting, yaitu upacara
ngaben.
Di samping itu, melalui upacara ngaben dapat dilihat bagaimana
perkembangan identitas kebalian komunitas Balinuraga. Dari kasus
upacara ngaben dapat dilihat pula bagaimana komunitas ini mereposisi
kedudukan mereka sebagai golongan jaba melalui atribut-atribut upacara
yang digunakan. Menjadi jelas bahwa status sosial dalam komunitas
Balinuraga (Bali di Lampung) lebih ditentukan oleh kemampuan
ekonominya. Sejak masa kerajaan, upacara ngaben yang besar digunakan
untuk menunjukkan status sosial seseorang, terutama dari kalangan pejabat
atau bangsawan kerajaan. Kini, setelah perekonomian mereka mapan
(golongan jaba), mereka pun bisa melakukannya, tidak hanya yang ada di
Bali, tapi juga (secara khusus) yang ada di Lampung, seperti di Balinuraga.
Di Bali pergeseran ini digambarkan oleh Dwipayana (2001) sebagai
pergeseran dari kasta ke kelas dengan mengkaji pergulatan kelas
menengah Bali.
396