Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
102
BAB V
ANALISIS STRUKTUR DAN ISI
A. Struktur Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah
Teks Kifāyatu `l-Ibādah yang termasuk ke dalam jenis sastra kitab memiliki
struktur yang khas, meliputi: struktur penyajian, gaya penyajian, pusat penyajian,
dan gaya bahasa.
1. Struktur Penyajian
Di dalam sastra kitab, struktur penyajian terdiri dari tiga bagian yang
tetap, yaitu: pendahuluan, isi, dan penutup. Uraian mengenai struktur narasi
akan dijelaskan sebagai berikut.
a. Pendahuluan
1a: basmalah, hamdalah, selawat dan salam kepada Nabi Muhammad
1. Basmalah
Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diawali dengan basmalah dalam
bahasa Arab disertai artinya dalam bahasa Melayu, seperti dalam
kutipan, “Bismi `l-Lāhi `r-Rahmāni `r-Rahīm. Kumulai kitab ini
dengan nama Allah Yang Mahamurah pada memberi rezeki akan
segala hamba-Nya mukmin dan kafir dalam negeri dunia ini, lagi
Yang Amat Mengasih akan segala hamba-Nya dalam negeri akhirat
ini” (Kifāyatu `l-‘Ibādah:1). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa
teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diawali dengan basmalah dalam bahasa Arab
dan artinya dalam bahasa Melayu.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
103
2. Hamdalah
Setelah basmalah, pembukaan dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah
dilanjutkan dengan hamdalah. Hamdalah ditulis dalam bahasa Arab,
dan disertai terjemahan dalam bahasa Melayu sesuai dengan kutipan
berikut, “Al-hamdu li `l-Lāhi `l-Lazī khalaqa ‘ibādatan ‘alā ‘ibādih.
Segala pu[ji]-pujian bagi Allah yang menjadi Ia akan segala ibadah
atas segala hamba-Nya” (Kifāyatu `l-‘Ibādah:1). Dari kutipan tersebut
dapat dibuktikan bahwa dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah terdapat
hamdalah dalam bahasa Arab disertai artinya dalam bahasa Melayu.
3. Selawat dan salam kepada Nabi Muhammad
Selawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw pada pembukaan
teks Kifāyatu `l-‘Ibādah ditulis dalam bahasa Arab disertai terjemahan
dalam bahasa Melayu. Pernyataan tersebut ditunjukkan dalam kutipan,
“Wa `sh-shalātu wa `s-salāmu ‘alā sayyidinā Muhammadin sayyidi `l-
anbiyā`i wa `l-mursalīn. Dan rahmat Allah dan salam Allah atas
penghulu kita Muhammad, yaitu penghulu segala anbiya dan segala nabi
mursal” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa
terdapat selawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw. dalam
pembukaan teks Kifāyatu `l-‘Ibādah yang ditulis dalam bahasa Arab
disertai artinya dalam bahasa Melayu.
2a: kata ammā ba’du
Kata ammā ba’du di dalam teks yang diterjemahkan menjadi
„adapun kemudian daripada itu‟ sesuai dengan kutipan “Ammā ba’du fa
innahu risālatun...” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1). Kata ammā ba’du dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
104
teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diterjemahkan menjadi „adapun kemudian
daripada itu‟ dalam bahasa Melayu. Kata tersebut merupakan ungkapan
tetap setelah doa dan pujian dalam sastra kitab.
3a: maksud penulisan karangan
Maksud penulisan teks Kifāyatu `l-‘Ibādah adalah sebagai
ringkasan ajaran yang dapat dibaca oleh masyarakat umum. Maksud
penulisan ini ditunjukkan dalam kutipan berikut, “Ammā ba’du fa innahu
risālatun mukhtasharatun wa sammaituhā Kifāyatu `l-‘Ibādah. Adapun
kemudian [dari] daripada itu maka inilah suatu ibarat risalah yang simpan
dan kunamai akan dia “Kifāyatu `l-‘Ibādah”” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1).
Kutipan di atas menunjukkan maksud penulisan teks Kifāyatu `l-‘Ibādah
yaitu sebagai ringkasan ajaran.
4a: judul karangan
Judul karangan secara tersurat di dalam teks yaitu Kifāyatu `l-
‘Ibādah. Judul tersebut berbahasa Arab dan tidak disertai arti dalam
bahasa Melayu seperti yang tertera dalam kutipan berikut “....fa innahu
risālatun mukhtasharatun wa sammaituhā Kifāyatu `l-‘Ibādah. Adapun
kemudian [dari] daripada itu maka inilah suatu ibarat risalah yang simpan
dan kunamai akan dia “Kifāyatu `l-‘Ibādah” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa judul karangan di dalam teks
adalah Kifāyatu `l-‘Ibādah yang ditulis secara tersurat. Judul tersebut
menggunakan bahasa Arab dan tidak diikuti terjemahan dalam bahasa
Melayu.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
105
b. Isi
1b: pasal kewajiban mukalaf
1. Pengertian mukalaf
Mukalaf merupakan laki-laki dan perempuan yang sudah
mencapai usia akil balig. Pengertian ini ditunjukkan oleh kutipan
berikut, “Fasal pada menyatakan permulaan wajib atas segala
mukalaf, yaitu orang yang akil lagi balig laki dan perempuan”
(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 2). Kutipan di atas menunjukkan bahwa
pengertian mukalaf adalah laki-laki atau perempuan yang balig dan
berakal.
2. Kewajiban mukalaf
Mukalaf merupakan laki-laki ataupun perempuan yang sudah
dikenai kewajiban. Berdasarkan teks, salah satu kewajiban bagi
mukalaf adalah mengucapkan dua kalimat syahadat dan
mentasdikkannya di dalam hati, serta mengetahui sifat wajib Allah.
Dua kalimat syahadat tersebut ditulis dalam bahasa Arab disertai
artinya dalam bahasa Melayu. Pernyataan ini dibuktikan dengan
kutipan:
Bahwasanya permulaan wajib atas segala mukalaf laki-laki dan
perempuan itu yaitu mengucap dua kalimah syahadat serta
mentasdikkan dalam hati mengenai keduanya. Kalimah itu yaitu
Asyhadu an lā Ilāha illā `l-Lāh. Saksi aku bahwasanya tiada
yang disembah, melainkan Allah. Wa asyhadu anna
Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh. Dan saksi aku bahwasanya nabi
Muhammad itu pesuruhnya Allah. Bermula fardu atas segala
mukalaf itu mengetahui segala wajib pada Allah Taala (Kifāyatu
`l-‘Ibādah: 2).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
106
Kutipan di atas menunjukkan bahwa salah satu kewajiban mukalaf
yang paling awal adalah mengucap dua kalimat syahadat serta
mentasdikkannya. Dua kalimat syahadat tersebut ditulis dalam bahasa
Arab dan diikuti terjemahan dalam bahasa Melayu.
3. Sifat-sifat Allah
Sifat-sifat Allah terdiri dari dua puluh sifat wajib, satu sifat jaiz,
dan sifat-sifat mustahil yang merupakan lawan dari sifat wajib. Semua
sifat Allah harus diketahui oleh setiap mukalaf. Sifat wajib Allah
ditulis dalam bahasa Arab, dan disertai artinya dalam bahasa Melayu,
sesuai dengan kutipan berikut
Maka setengah daripada yang wajib pada Allah Taala itu dua
puluh sifat yaitu: Wujūd artinya „ada-Nya‟; Qidam artinya
[„tidak berpermulaan ada-Nya‟]; [Baqā artinya] „sedia yang
kekal zat-Nya‟; Mukhālafatuhu lil hawādis artinya „berselain Ia
dengan segala yang baru‟; Qiyā[muhu] bi nafsih artinya „berdiri
dengan sendiri-Nya; Wahdāniyah artinya „Esa‟. {Qudrat artinya
„kuasa‟}; {Iradāh artinya berkehendak}; [‘Ilmu artinya
„berpengetahuan‟]; Hayāt artinya „yang hidup‟; Sam’a artinya
„menengar‟; Bashar artinya „melihat‟; Kalām artinya „berkata-
kata‟; {Qadīran artinya yang kuasa}; {Murīdan artinya yang
berkehendak}; {‘Āliman artinya mengetahu}; {Hayyan artinya
yang hidup}; Samī’an artinya „yang menengar‟. Bashīran
artinya „yang melihat‟. Mutakallimun artinya „yang berkata-
kata‟. Itulah yang disebut dua puluh sifat (Kifāyatu `l-‘Ibādah:
2).
Kutipan di atas menjelaskan tentang dua puluh sifat wajib Allah.
Sifat- sifat tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disertai terjemahan
dalam bahasa Melayu.
Sifat jaiz Allah berjumlah satu. Sifat jaiz di dalam teks ini
dijelaskan dengan kutipam, “Bermula yang jaiz pada Allah Taala fi’lu
kulli mumkinin (aw) aw tarkuh. Artinya „bermula berbuat tiap-tiap
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
107
mumkin atau meninggalkan Dia‟” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 2). Sifat jaiz
menjelaskan bahwa Allah boleh melakukan sesuatu yang dikehendaki-
Nya.
Sifat mustahil Allah adalah lawan dari sifat wajib yang
berjumlah dua puluh, seperti dalam kutipan, “Bermula yang mustahil
pada Allah Taala segala lawan sifat dua puluh”(Kifāyatu `l-‘Ibādah:
3). Kutipan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki dua puluh
sifat mustahil yang merupakan lawan dari sifat wajib.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Allah memiliki
dua puluh sifat wajib, satu sifat jaiz, dan sifat mustahil yang
merupakan lawan dari sifat wajib. Sifat-sifat tersebut dijelaskan dalam
bahasa Arab, dan disertai artinya dalam bahasa Melayu. Setiap
mukalaf wajib mengimani sifat-sifat ini.
4. Identitas Nabi Muhammad
Identitas Nabi Muhammad yang wajib diketahui oleh mukalaf
meliputi asal keturunan, tempat lahir, hijrah, wafat, dan usia. Identitas
tersebut ditunjukkan dalam kutipan.
Demikian lagi fardu atas segala mukalaf menngetahui ia
bahwasanya nabi kita Muhammad itu laki-laki anak Abdullah,
anak Abdul Muthalib. Ialah ‘arabi lagi Quraisy, lagi Hasyim.
Negeri tempat jadinya di Mekah, kemudian berpindah ia ke
Medinah. Di sanalah wafatnya. Dan adalah umur nabi kita enam
puluh tiga tahun pada qaul yang \sahih\ (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3).
Kutipan di atas menunjukkan identitas singkat Nabi Muhammad Saw..
Nabi Muhammad merupakan putra Abdullah, cucu Abdul Muthalib. Ia
berasal dari suku Quraisy dan Bani Hasyim. Nabi Muhammad lahir di
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
108
Mekah, kemudian hijrah, hingga wafat di Medinah pada usia enam
puluh enam tahun.
2b: pasal hukum air
1. Pembagian air berdasarkan hukum untuk bersuci
Air dibagi menjadi empat macam berdasarkan hukum untuk
bersuci, yaitu: air suci yang mensucikan, air suci yang makruh, air
suci yang tidak mensucikan, dan air najis. Macam-macam air ini
terdapat dalam kutipan teks berikut.
Bahwasanya tiada sah menghilangkan najis, dan mandi junub,
dan mengambil air sembahyang, melainkan dengan air yang
mutlak, yaitu air yang suci lagi menyucikan. Maka air itu
terbahagi kepada empat bahagi: pertama air yang mutlak, kedua
air makruh, ketiga air mustakmal, keempat air najis (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 3).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa macam-macam air berdasarkan
fungsinya untuk bersuci dibagi menjadi empat, yaitu: air suci yang
mensucikan, air suci yang makruh, air suci yang tidak mensucikan,
dan air najis.
Air jenis pertama adalah air suci yang mensucikan atau biasa
disebut air mutlak. Macam-macam air mutlak meliputi tujuh macam,
yaitu: air hujan, air embun, air beku, air laut, air sungai, air mata air,
dan air telaga. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan berikut, “Maka
air yang mutlak itu yaitu tujuh bahagi: pertama air hujan, kedua air
embun, ketiga air beku, keempat [air] laut, kelima air sungai, keenam
air mata air, ketujuh air telaga” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Berdasarkan
kutipan di atas, terdapat tujuh macam air yang dapat digunakan untuk
bersuci atau disebut sebagai air mutlak.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
109
Air jenis kedua adalah air suci yang mensucikan, namun makruh
digunakan untuk bersuci. Air jenis ini meliputi tiga macam, seperti
ditunjukkan dalam kutipan berikut, “Dan air yang makruh itu yaitu
tiga perkara: pertama air yang sangat hangat, kedua air sangat sejuk,
ketiga air yang tercemar pada negeri yang sangat hangat” (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 3). Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga jenis air
suci yang mensucikan, namun makruh, yaitu: air yang dipanaskan, air
yang terlalu dingin, dan air yang menjadi panas karena terkena sinar
matahari secara langsung.
Air jenis ketiga adalah air suci yang tidak mensucikan atau
disebut pula air mustakmal, yaitu air yang sudah digunakan untuk
bersuci dan akan digunakan lagi. Jenis air ini ditunjukkan dalam
kutipan berikut, “Dan air yang \mustakmal\ itu air yang sudah terpakai
pada segala basuh yang wajib”(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Kutipan di
atas menunjukkan bahwa air mustakmal merupakan air yang sudah
pernah digunakan untuk bersuci namun akan digunakan lagi. Air jenis
ini merupakan air suci yang tidak mensucikan.
Air jenis keempat adalah air najis, yaitu air yang memiliki
volume kurang dari dua qullah, dan terdapat najis di dalamnya. Hal ini
seperti ditunjukkan dalam kutipan, “Dan yang air najis itu yaitu air
yang kurang daripada dua qullah, maka dimasukkan najis ke
dalamnya, sama ada ia berubah atau tiada, maka air itu najislah jua
{hukumnya}” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Kutipan di atas menunjukkan
bahwa air najis adalah air yang sedikit dan kemasukan najis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
110
2. Air bervolume dua qullah
Volume dua qullah diukur berdasarkan hasta orang dengan
tinggi yang pertengahan. Air tersebut berukuran enam jari dengan
kedalaman yang sama. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan.
Sebermula air yang dua qullah itu jika ada banyak yang empat
persegi dan jika disukat pada tiap-tiap segi itu // ja[uh]nya enam
jari dengan hasta orang yang pertengahan, dan dalamnya pun
sekian jua. Dan jika bejana itu besar seperti telaga, maka
dalamnya dua hasta dan luas bagian sehasta. Dan jika disukat air
itu dengan air Negeri Aceh dua alapan telah segenang (Kifāyatu
`l-‘Ibādah: 3).
Kutipan di atas menjelaskan tentang volume air yang dapat
digunakan untuk bersuci, yaitu dua qullah. Pengukuran volume
didasarkan pada hasta orang denngan tinggi pertengahan, yaitu
berukuran panjang enam jari hasta orang yang pertengahan dengan
kedalaman dua hasta.
3b: pasal wudu
1. Sunah dan rukun wudu
Sunah-sunah wudu adalah membasuh kedua telapak tangan
sambil membaca basmalah, mendahulukan tubuh bagian kanan,
membasuh telinga, dan membaca doa sambil menghadap kiblat.
Rukun-rukun wudu adalah membasuh muka sambil membaca niat,
membasuh kedua tangan hingga siku, membasuh kepala, dan
membasuh kaki. Niat wudu dijelaskan dalam bahasa Arab, disertai
terjemahan dalam bahasa Melayu. Doa setelah wudu dijelaskan
dalam bahasa Arab tanpa disertai terjemahan dalam bahasa Melayu.
Pernyataan ini sesuai dengan kutipan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
111
Fasal pada menyatakan [perintah pada mengambil air]
sembahyang itu mula-mula sunah membasuh kedua telapak
tangan hingga pergelangan serta mengucap bismi ‘l-Lāhi ‘r-
Rahmāni ‘r-Rahīm, dan serta menghadap kiblat. Setelah itu
maka wajib memasuh muka beserta dengan niat nawaitu raf’a
`l-had(a)s Artinya „sengaja kuangkatkan hadas‟. Setelah itu,
maka wajib memasuh kedua tangan hingga kedua si(gh) ku, dan
sunah didahulukan tangan kanan. Setelah itu, maka wajib
membasuh kepala jikalau sehelai rambut sekalipun. Setelah itu
maka sunnah memasuh dua telinga. Setelah itu, maka wajib
memasuh dua-dua kaki hingga mata kaki kedua. Itulah perintah
mengambil air sembahyang. Setelah sudah mengambil air
sembahyang maka sunah menghadap kiblat serta
mengangkatkan mata ke langit dan menengadahkan kedua tapak
tangan ke langit serta memaca asyhadu an lā Ilāha illā `l-Lāh.
Wahdahu lā syarīka lah. Wa asyhadu anna Muhammadan
‘abdu[hu] wa rasūluh. Allahumma ij’alnī mina `t-tawwābīna.
Wa ij’alnī mina `l-mutathahhirīn. Subhānaka `l-Lāhumma wa bi
hamdik. Wa asyhadu an lā Ilāha illa anta astaghfiruka wa atūbu
ilaik. Wa shala `l-Lāhu ‘alā [Muhammadin wa ‘alā] āli
Muhammadin wa sallam. Setelah itu maka dirahapkan kedua
tapak tangan itu ke muka (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 4).
Kutipan di atas menginformasikan tentang sunah dan wudu.
Penjelasan sunah dan rukun beserta niat dan doa sesudah wudu
dituliskan secara runtut. Niat wudu dijelaskan dalam bahasa Arab,
disertai terjemahan dalam bahasa Melayu. Doa setelah wudu
dijelaskan dalam bahasa Arab tanpa disertai terjemahan dalam bahasa
Melayu.
2. Sebab-sebab yang membatalkan wudu
Wudu dianggap batal dengan sebab-sebab berikut, yaitu: keluar
sesuatu dari salah satu diantra dua jalan, hilang akal, bersentuhan
dengan yang bukan mahram, menyentuh kubul atau dubur, dan tidur.
Hal ini dijelaskan dalam kutipan berikut
Bermula yang membatalkan air sembahyang ini ada lima
perkara: pertama // keluar salah satu daripada dua jalan
melainkan mani dirinya, kedua hilang akal, ketiga bersentuh
kulit laki-laki dengan perempuan yang harus nikah dengan dia,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
112
keempat menjabat kubul atau dubur, kelima tidur (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 5).
Kutipan di atas menunjukkan sebab-sebab batalnya wudu di dalam
teks. Wudu dapat dianggap batal oleh hal-hal berikut, yaitu: keluar
sesuatu dari salah satu diantra dua jalan, hilang akal, bersentuhan
dengan yang bukan mahram, menyentuh kubul atau dubur, dan tidur.
3. Hal-hal yang diharamkan pada orang yang berhadas ashghar
Orang berhadas ashghar merupakan orang yang tidak sah
wudunya. Mereka tidak diperbolehkan untuk salat, tawaf, dan
menyentuh Alquran. Larangan-larangan ini sesuai dengan kutipan,
“Adapun haram pada orang yang hadas ashghar, yaitu orang yang
tiada berair sebahyang tiga perkara: pertama sembahyang, kedua
tawaf, ketiga menjabat mushaf atau barang yang suatu yang disurat
padanya quran” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5). Kutipan di atas menunjukkan
larangan bagi orang berhadas ashghar, yaitu salat, tawaf, dan
menyentuh Alquran seperti yang diungkapkan di dalam teks.
4b: pasal tayamum
1. Sebab-sebab tayamum
Tayamum merupakan cara bersuci pengganti wudu dengan
menggunakan debu. Tayamum boleh dilakukan saat tidak ada air atau
ada anggota tubuh yang tidak dibolehkan terkena air. Wajibnya
tayamum ini sesuai dengan kutipan.
Fasal pada menyatakan tayamum. Ketahui olehmu bahwasanya
tayamum itu wajib jika tiada ada beroleh air, atau ada air itu
tiada dapat memakaikan air ini pada anggotanya, seperti karena
luka yang berobat, atau berbalut yang kesukaran pada
menghilangkan keduanya. Maka wajib tayamum itu akan ganti
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
113
air pada orang mandi yang wajib adanya, atau sunah, atau pada
orang mengambil sembahyang (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5).
Tayamum boleh dilakukan apabila tidak memperoleh air yang dapat
digunakan untuk bersuci, atau adanya pantangan terkena air pada
kulit, seperti karena suatu penyakit. Sebab-sebab tersebut dijelaskan di
dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah.
2. Rukun tayamum
Tayamum memiliki empat rukun, yaitu: memindahkan tanah,
niat, mengusap wajah dan mengusap tangan hingga ke siku, dan tertib.
Rukun tersebut diungkapkan dalam kutipan berikut
Bermula rukun tayamum itu empat perkara: pertama
memindahkan tanah kemudian daripada menepuk dengan tangan
ke muka, kedua niat, dipersuratkan niat itu pada pertama-tama
tapak. Maka diniatkan oleh yang berhadas ashghar nawaitu
istibāhata fardhi `s-salāh artinya „sengaja aku memperharuskan
fardu sembahyang‟. Maka diniatkan oleh orang yang berhadas
akbar nawaitu fardlu tayamuma li `l-junubi fardu alā li `l-Lāhi
ta’āla. artinya „sengaja‟ aku fardu tayamum karena junub fardu
atasku karena Allah Taala, ketiga menyapu tangan serta
si(gh)ku, keempat tertib (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Tayamum memiliki empat rukun
sesuai dengan yang disebutkan di dalam teks. Keempat rukun tersebut
adalah memindahkan tanah, niat, menyapu wajah serta tangan sampai
siku, dan tertib.
5b: pasal haid
1. Masa haid
Masa haid perempuan dimulai sejak berusia sembilan tahun.
Rentang waktu masa haid adalah sehari semalam hingga lima belas hari
lima belas malam, namun umumnya masa haid bagi perempuan adalah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
114
enam hari enam malam. Hal tersebut ditunjukkan oleh kutipan berikut,
“Bermula sekurang-kurang umur perempuan yang haid sembilan tahun
dan sekurang-kurang masa haid ini sehari semalam. Dan sebanyak-
banyak masa haid ini lima belas hari lima belas malam. Dan yang
banyaknya // perempuan itu enam hari enam malam” (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 5-6). Berdasarkan kutipan di atas rentang masa haid bagi
perempuan adalah sehari semalam hingga lima belas hari lima belas
malam, tetapi pada umumnya adalah enam hari enam malam.
2. Perbedaan haid, nifas, dan istihadah
Darah haid dan istihadah dibedakan atas sifat darahnya. Darah haid
berwarna kuning, keruh dan lengket, sementara darah istihadah cair dan
pekat. Sedangkan nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan.
Pernyataan ini sesuai dengan kutipan
Bermula darah yang kuning, lagi keruh, lagi lengket itulah darah
haid, dan jika sekurang-kurang masanya sehari semalam. Bermula
darah yang cair ini darah istihadah namanya, yaitu darah pekat.
Adapun wajib atas perempuan istihadah ini memasuh farji serta
darah yang di dalamnya. Dan mengambil air sembahyang atau
tayamum pada tiap-tiap fardu dalam waktu. Dan darah yang
kemudian daripada beranak itu darah nifas namanya (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 6)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa darah haid dan istihadah dibedakan
berdasarkan sifat darahnya. Sementara nifas dibedakan berdasarkan
definisinya.
3. Hukum wadi dan mazi.
Hukum wadi dan mazi bagi laki-laki sama halnya dengan hukum
istihadah. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan, “Syahdan bermula hukum
wadi, dan mazi ini seperti hukum istihadah jua” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 6).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
115
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa hukum pada mazi dan wadi adalah
sama dengan istihadah, yaitu wajib membasuh kemaluan beserta darah
yang ada di dalamnya, serta wajib melakukan salat fardu.
6b: Pasal salat
1. Azan dan ikamah
Azan terdiri dari dari lima belas kalimat, sementara ikamah terdiri
dari sebelas kalimat. Keduanya ditulis dalam bahasa Arab tanpa disertai
terjemahan dalam bahasa Melayu. Azan dan ikamah adalah panggilan
untuk melaksanakan salat. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan.
Fasal pada menyatakan segala perintah sembahyang yang
dipersuratkan dengan sunah dan wajib. Bermula awal-awal para
pekerjaan itu sunah bang yaitu lima belas kalimat. Demikian
bunyinya .Allāhu akbar. Allāhu akbar. Allāhu akbar. Allāhu akbar.
Kemudian dari itu maka diucap Asyhadu an lā Ilāha illā `l-Lāh dua
kali. Wa asyhadu anna Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh dua kali
dengan perlahan-lahan. Kemudian maka mengucap pula dengan
barang Asyhadu anna Muhammad. Lā Ilāha illa `l-Lāh. Asyhadu an
lā Ilāha illā `l-Lāh. Wa asyhadu anna Muhammada `r-rasūlu `l-
Lāh. Wa asyhadu anna Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh. Hayya ‘ala
`sh-shlāh. Hayya ‘ala `sh-shlāh. Hayya ‘ala `l-falāh. Hayya ‘ala `l-
falāh. Allāhu akbar. Allāhu akbar. Lā Ilāha illa `l-Lāh. Dan jika
yang subuh ditambah kemudian daripada hayya ‘ala `l-falāh. Ash-
shalātu khairun mina `n-naum dua kali. Kemudian daripada bang
maka sunah ikamah. Dan ikamah itu {sebelas} kalimah yaitu
Allāhu akbar. Allāhu akbar. Asyhadu an lā Ilāha illā `l-Lāh.
Asyhadu anna Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh. Hayya ‘ala `sh-shlāh.
Hayya ‘ala // `l-falāh. Qad qāmati `sh-shalāh. Qad qāmati `sh-
shalāh. Allāhu akbar. Allāhu akbar. Lā Ilāha illa `l-Lāh (Kifāyatu
`l-‘Ibādah: 6-7)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa azan terdiri dari lima belas kalimat,
sementara ikamah terdiri dari sebelas kalimat. Azan dan ikamah ditulis
dalam bahasa Arab dan tidak diikuti terjemahan dalam bahasa Melayu.
Terdapat perbedaan azan dan ikamah pada salat subuh, yaitu pada
kalimat ash-shalātu khairun mina `n-naum.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
116
2. Sunah bagi yang mendengar azan dan ikamah
Sunah untuk yang mendengar azan dan ikamah adalah
mengucapkan lā haula wa lā quwwata illā bi `l-Lāhi `l-‘aliyyi `l-‘adzhīm
dan aqāmahā `l-Lāhu wa adamahā māza mina `s-samāwāti wa `l-ardli
fabi’alanī mina `sh-shālihīna ahlahā, serta shadāqatun wa bararah. Hal
ini dijelaskan dalam kutipan berikut.
Dan sunah yang menengar bang dan ikamah itu hendaklah
diucapnya seperti yang diucap oleh orang yang bang dan ikamah
melainkan pada hayya ’ala `sh-shalāh dan hayya ‘ala `l-falāh.
Maka diucap lā haula wa lā quwwata illā bi `l-Lāhi `l-‘aliyyi `l-
‘adzhīm. Dan pada ikamah salat maka diucapnya aqāmahā `l-Lāhu
wa adamahā māza mina `s-sam[ā]wāti wa `l-ardli fabi’alanī mina
`sh-shāli[hī]na ahlahā. Dan pada Ash-shalātu khairun mina `n-
naum maka diucap shadāqatun wa bararah (Kifāyatu `l-‘Ibādah:
7).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa lafal lā haula wa lā quwwata illā bi
`l-Lāhi `l-‘aliyyi `l-‘adzhīm diucapkan ketika hayya ’ala `sh-shalāh dan
hayya ‘ala `l-falāh, lafal aqāmahā `l-Lāhu wa adamahā māza mina `s-
samāwāti wa `l-ardli fabi’alanī mina `sh-shālihīna ahlahā diucapkan
ketika ikamah, serta lafal shadāqatun wa bararah diucapkan ketika ash-
shalātu khairun mina `n-naum.
3. Doa sesudah azan
Doa sesudah azan diucapkan bagi orang yang mendengar azan
dan ikamah. Lafal doa tersebut ditulis dalam bahasa Arab tanpa
disertai artinya dalam bahasa Melayu. Hal ini sesuai dengan kutipan.
Demikianlah sunah bagi orang yang bang dan ikamah. Dan bagi
menengar keduanya, kemudian daripada selesai keduanya
mengucap Allahumma shalli ‘alā Muhammad, wa ‘alā āli
Muhammad. Allahumma Rabba haazihi `d-d’awati `t-tāmmah. Wa
`sh-shalāti `l-qā`imah, āti Muhammadani `l-wasīlata wa `l-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
117
fadlīlah. [Wa `d-darajata `l-‘āliyata `r-rafī’ah]. Wa ib’ashu
maqāman mahmūdani `l-lazi wa‘adtah (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 7).
Berdasarkan penjelasan di dalam kutipan, doa sesudah azan diucap
setelah selesai mendengar azan dan ikamah. Di dalam teks doa
sesudah azan ditulis dalam bahasa Arab dan tidak diterjemahkan
dalam bahasa Melayu.
4. Niat-niat dalam salat fardu
Niat salat fardu dimulai dengan ushallī diikuti dengan nama salat
dan jumlah rakaat. Niat-niat salat ini ditulis dalam bahasa Arab yang
diikuti terjemahan dalam bahasa Melayu. Hal ini dibuktikan dengan
kutipan.
Setelah selesai daripada ikamah maka sunah membaca lafaz niat
yaitu ushallī fardla `zh-zhuhri arba’a raka’ātin mustaqbila `l-
qiblati adā`an li `l-Lāhi ta’āla. Artinya 'kusembahyangkan fardu
zuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat nawaitu karena Allah
Taala‟. Dan jika asar ushallī fardla `l-‘ashri arba’a raka’ātin
mustaqbila `l-qiblati adā`an li `l-Lāhi ta’āla. Artinya
„kusembahyangkan fardu ashar empat rakaat dengan menghadap
kiblat nawaitu karena Allah Taala. Dan jika magrib ushallī fardla
`l-maghribi salāsa raka’ātin mustaqbila `l-qiblati adā`an li `l-Lāhi
ta’āla. (Allāhu akbar). Artinya kusembahyangkan fardu [magrib]
tiga rakaat dengan menghadap kiblat nawaitu karena Allah Taala.
Dan jika isya ushallī fardla `l-‘isyā`i arba’a // raka’ātin mustaqbila
`l-qiblati adā`an li `l-Lāhi ta’āla. (Allāhu akbar). Artinya
kusembahyangkan fardu isya empat rakaat dengan menghadap
kiblat nawaitu karena Allah Taala. Dan jika subuh ushallī fardla
`sh-shubhi [raka’ataini mustaqbila `l-qiblati adā`an li `l-Lāhi
ta’āla]. [Artinya „kusembahyangkan fardu subuh] dua rakaat
de[ngan] menghadap kiblat nawaitu karena Allah Taala (Kifāyatu
`l-‘Ibādah: 7-8).
Kutipan di atas menunjukkan niat-niat pada tiap salat fardu. Niat tersebut
dimulai dengan ushallī diikuti dengan nama salat dan jumlah rakaat.
Niat-niat salat ini ditulis dalam bahasa Arab yang diikuti terjemahan
dalam bahasa Melayu.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
118
5. Satu rakaat salat dalam salat fardu
Satu rakaat salat dimulai dengan takbiratulihram hingga bangkit
dari duduk istirahat Dalam satu rakaat salat terdapat rukun salat, bacaan-
bacaan yang dihukumi wajib dan dihukumi sunah. Hal ini dibuktikan
dengan kutipan berikut.
Kemudian dari itu maka wajib mengata Allāhu akbar, serta
diniatkan segala niat yang telah tersebut itu pada permulaan
\takbiratulihram\. Setelah itu maka sunah membaca wajjahtu
wajhiya li `l-Lazī fathara `s-samaawāti wa `l-ardla hanīfan
musliman wa maa an(ā) mina `l-musyrikīn. Inna shalātī, wa nusukī
wa mahyāya, wa mamāti li `l-lāhi Rabbi `l-ālamīn. Lā syarīkalahu
wa bizalika umirtu wa an(ā) mina `l-muslimīn. Kemudian dari itu
maka sunah membaca doa a’ūzu bi `l-Lāhi mina `syaithāni `r-
rajīm. Kemudian dari itu maka wajib membaca bismi `l-Lāhi `r-
Rahmāni `r-Rahīm, al-hamdu li `l-Lāhi rabbi `l-‘ālamīn hingga
akhirnya. Kemudian dari itu maka sunah membaca [ayat].
Kemudian dari itu maka rukuk serta berhenti dalamnya, maka
sunah membaca dalamnya subhāna rabbiya `l-azhīmi wa bi hamdi
tiga kali. Kemudian dari itu maka iktidal, yaitu bangkit daripada
rukuk kepada berdiri tegak serta berhenti dalamnya, Maka sunah
membaca dalamnya sami’a `l-Lāhu liman hamidah rabbanā laka
`l-hamdu mil`a `s-samawāti wa mil`a `l-`ardli wa mil`a māsyi`kta
min syai`in b’adu. Setelah itu maka sujud dengan tubuh lungkup
dan berhenti dalamnya, dan sunah ketika hendak sujud mengata
Allāhu akbar, dan sunah membaca dalam sujud itu subhāna
rabbiya `l-a’lā wa bi hamdi. Setelah itu maka bangkit kepada
duduk antara dua sujud serta mengata Allāhu akbar dan berhenti
dalamnya, dan sunah membaca dalam duduk itu rabbighfirlī
warhamnī wajburnī warfa’nī warzuqnī wahdinī // wa ‘āfini wa
i‘fuannī. Setelah itu maka sujud pula seperti yang dahulu. Setelah
itu maka bangkit pula kepada duduk istirahat. Maka dinamai akan
segala yang telah dikerja itu serakaat (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 8-9).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa satu rakaat salat dimulai dengan
takbiratulihram hingga duduk istirahat. Adapun bacaan yang wajib dalam
satu rakaat adalah Alfatihah dan Allahu akbar pada takbiratul ihram.
Sedangkan bacaan-bacaan yang lain dihukumi sunah. Adapun rukun salat
sesuai dengan kutipan di atas adalah niat, takbiratulihram, membaca
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
119
fatihah, rukuk, thuma’ninah, iktidal, thuma’ninah, sujud, thuma’ninah,
duduk diantara dua sujud, thuma’ninah, dan duduk istirahat. Perbedaan
rakaat pertama dan kedua terletak pada takbiratulihram.
6. Membaca tahyat awal
Tahyat awal dibaca ketika duduk iftirasy pada rakaat kedua kecuali
pada saat salat subuh. Hal tersebut sesuai dengan kutipan.
Setelah selesai daripada mengerjakan dua rakaat maka sunah duduk
iftirasy serta membaca tahyat awal, yaitu seperti tahyat akhir yang
lagi akan tersebut. Setelah selesai memaca tahyat awal maka
bangkit pula kepada dua rakaat dan lagi jika sembahyang itu duhur
dan asar dan isya. Dan jika sembahyang itu maghrib maka bangkit
pula serakaat lagi kemudian dari itu maka duduk tawaruk (Kifāyatu
`l-‘Ibādah: 9).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tahyat awal dibaca pada rakaat
kedua saat duduk iftirasy kecuali pada salat subuh. Setelah selesai
membaca tahyat awal maka bangkit untuk rakaat selanjutnya.
7. Doa qunut
Doa qunut dibaca pada rakaat kedua setelah iktidal pada salat
subuh. Doa qunut memiliki dua versi bacaan, yaitu versi panjang dan
versi pendek. Keduanya ditulis dalam bahasa Arab dan tidak disertai
terjemahan dalam bahasa Melayu. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan
berikut.
Kemudian daripada membaca samiallahu [hingga akhir] [setelah itu
maka memaca] Allahumma ihdīni fīman hadaīt. Wa ‘āfinī fīman
‘āfaīt. Wa tawallanī fīman tawallaīt. Wa bāriklī fīman a’thaīt. Wa
qīni syarramā qadlaīt. Fainnaka taqdlī wa lā yuqdlā ‘alaīk. Wa
innahu lā yazillu man wālaīt. Wa lā ya’izzu man ‘ādaīt. Tabārakta
rabbanā wa ta’ālaīt. Falaka ‘l-hamdu ‘alā mā qadlaīt.
Wastaghfiruka wa atūbu ilaīk. Wa shalla `l-Lāhu ‘alā
Muhammadin `n-nabiyyi `l-`umiyyi wa ‘alā ālihi wa shahbihi wa
sallam. Bermula sekurang-kurang membaca qunut itu allahumma
ighfirlī ghafūrun bi rahmatika yā arhama `r-rāhimīn. Wa shalla `l-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
120
Lāhu ‘alā Muhammadin [wa ‘alā āli Muhammadin] wa shahbihi
wa bārikli wa sallam (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 9).
Kutipan di atas menunjukkan lafal doa qunut baik versi panjang ataupun
versi pendek. Doa qunut dibaca pada rakaat kedua salat subuh setelah
bacaan iktidal. Adapun doa qunut di dalam teks ditulis dalam bahasa
Arab dan tidak disertai terjemahan dalam bahasa Melayu.
8. Doa tahyat akhir
Lafal doa tahyat akhir ditulis dalam bahasa Arab dan tidak diikuti
dengan terjemahan bahasa Melayu. Hal ini sesuai dengan kutipan.
Kemudian sujud attahiyātu `l-mubārakatu `sh-shalawātu `th-
thayyibatu li `l-Lāh. Assalāmu ‘alaika ayyuha `n-nabiyyu wa
rahnatu `l-Lāhi wa barakātuh. Asslāmu ‘alainā wa ‘alā // ‘ibādi `l-
Lāhi `sh-shālihīn. Asyhadu an lā ilāha illa `l-Lāh. Wa asyhadu
anna Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh. Allahumma shalli ‘alā
Muhammad. Wa ‘alā āli Muhammad. Dan sunah menambah kamā
shallaita ‘alā Ibrāhīm. Wa ‘alā āli Ibrāhīm. Fi `l-‘ālamīna innaka
hamīdummajīd. Allahumma ighfirlī mā qaddamtu wa mā akhartu
wa mā asrartu wa mā a’lantu wa mā asraftu wa ammā anta a’lamu
bihi minnī anta `l-muqaddamu wa anta `l-muakhkharu lā ilāha illā
anta, yā muqalliba `l-qulūbi sabbit qalbī ‘alā dīnika, subhānaka
innī kunta mina `zh-zhālimīn. Allahumma innī zhalamtu nafsī
zhulman kasīran wa lā yaghfiru `zunūba illā anta fā ighfirlī
maghfiratun min ‘indika wa irhamnī innaka anta `l-ghafūru `r-
rahīm (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 9-10)
Kutipan di atas menunjukkan lafal doa tahyat akhir ditulis dalam bahasa
Arab dan tidak diikuti dengan terjemahan bahasa Melayu
9. Salam sebagai akhir salat
Salat diakhiri dengan mengucap salam sambil menolehkan muka
ke kanan hingga terlihat punggung kanan. Setelah menoleh ke kanan,
salam disunahkan untuk menoleh ke kiri hingga terlihat punggung
kiri. Ucapan salam ditulis dalam bahasa Arab tanpa diikuti
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
121
terjemahan dalam bahasa Melayu. Pernyataan ini sesuai dengan
kutipan.
Setelah itu maka wajib memberi salam yaitu As-salāmu’alaikum
wa rahmatu `l-Lāh sekali kanan hingga kelihatan punggung
kanan serta meniatkan keluar daripada sembahyang, dan jika
ter[da]hulu niat itu daripada salam niscaya batallah sembahyang.
Dan sunah meniatkan memberi salam itu dengan dengan segala
malaikat dan mukmin dan jin dan [seka]li ke kiri hingga
kelihatan pundak kiri demikianlah kita kerjakan (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 10)
Salam merupakan tanda berakhirnya salat. Salam diucapkan sambil
menolehkan muka ke kanan hingga terlihat punggung kanan, dan
disunahkan menoleh ke kiri hingga terlihat punggung kiri. Salat
dianggap batal apabila meniatkan membatalkan terlebih dahulu
daripada mengucap salam.
7b: Sunah setelah selesai salat
1. Sunah imam
Imam disunahkan untuk duduk dan menghadap kepada
makmum setelah selesai salat. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan,
“Fasal pada menyatakan segala sunah yang dikerjakan kemudian
daripada sembahyang itu yaitu apabila selesailah daripada memberi
salam maka hendaklah imam dudukkan serta imam menganankan
makmum dan me(ng)ratakan mihrab (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 10).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa imam disunahkan duduk dan
menghadap kepada makmum setelah selesai salat.
2. Zikir setelah salat
Zikir dibaca setelah imam menghadap kepada makmum.
Diantara zikir-zikir yang dibaca adalah hamdalah, istighfar, doa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
122
keselamatan, ayat kursi, dan selawat kepada Nabi Muhammad. Zikir
tersebut ditulis dalam bahasa Arab tanpa disertai terjemahan dalam
bahasa Melayu. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan.
Setelah itu maka mengucap al-hamdu li `l-Lāhi Rabbi `l-
‘ālamīna ‘alā kulli hālin tiga kali. Astghfiru `l-Lāha `l-‘azhīm.
Allazī lā ilāha illa huwa `l-hayyu `l-qayyūmu wa atūbu ilaīk.
Allahumma anta `s-salām wa minka `s-salām wa ilaika ya’ūdu
`s-salām fahayyinā rabbanā bi `s-salām wa adkhilna `l-jannata
dāra `s-salām tabārakta rabbanā // wa ta’ā laita yā zaljalāli wa
`l-ikrām. A’ūzu bi `l-Lāhi mina `sy-syaithāni `r-rajīm. Bismi `l-
Lāhi `r-Rahmāni `r-Rahīm hingga wa ilāhukum ilāhu wāhid lā
ilāha illā huwa `r-Rahmānu `r-Rahīm. Allāhu lā Ilāha illā huwa
`l-hayyu `l-qayyūm [lā] ta`kkhudzuhū sinatun wa lā naūm lahū
mā fi `s-samāwāti wa mā fi `l-ardli man za `l-lazī yasyfa’u
‘indahū illā biiznihī ya’lamu mā baina aidīhim wa mā
khalfahum wa lā yuhīthūna bi syai`in [min] ‘ilmihī illā bimā
syā`a wasi’a kursyyuhu `s-samāwāti wa `l-ardla wa Lā
ya`ūduhū hifzhuhumā wa huwa `l-‘alyyu `l-‘azhīm. Syahida `l-
Lāhu innahū lā ilāha illā huwa wa `l-malāikatu wa ūlu `l-‘ilmi
qāiman bi `l-qisthi lā ilāha illā huwa `l-‘azīzu `l-hakīm. Inna `d-
dīna ‘inda `l-Lāhi `l-islām. Quli `l-Lāhumma malika `l-mulki
tu`kti `l-mulka man tasyā`u [wa tanzi’u `l-mulka mimman
tasyā`u] wa t(ū)’izzu man tasyā`u wa tuzillu man tasyāu
biyadika `l-khaīru innaka ‘alā kulli syaiin qadīr. Tūliju `l-laila fi
`n-nahāri wa tūliju `n-nahāra fi `l-lail. Wa tukhriju `l-hayya
mina `l-mayyiti wa tukhriju `l-mayyita mina `l-hayyi, wa tarzuqu
man tasyā`u bighairi hisāb. Ilāhī yā rabbī subhana `l-Lāh tiga
puluh tiga kali. Subhāna `l-Lāhi `l-‘azhīmi wa bihamdika
dāiman al-hamdu li `l-Lāhi rabbi `l-‘ālamīn tiga puluh tiga kali.
Al-hamdu li `l-Lāhi rabbi `l-‘ālamīn ‘alā kulli hālin. Allāhu
akbar tiga puluh tiga kali. Allahu akbar kabīran. Lā ilāha illa `l-
Lāh wahdahu lā syarīkalah, lahu `l-mulku wa lahu`l-hamdu
yuhyī wa yumīt, wa huwa ‘alā kulli syaiin qadīr sepuluh kali.
Allahumma lā mani’a limā a’thaita. Wa lā mu’thiya limā
mana’ta wa lā yurādu limā qadlaita wa lā yanfa’u zi `l-jaddi
minka `l-jadda. Allahumma shalli ‘alā sayyidinā //
Muhammadin ‘abdika wa rasūlika `n-nabiyyi `l-ummiyyi wa
‘alā ālihi wa shahbihi wa sallim. Kullamā zakaraka `z-zakirūna,
wa ghafala zikraka `l-ghāfilūna wa sallim wa radliya `l-Lāhu
ta’alā ‘an sādatinā ashhābi sayyidinā rasūla `l-Lāhi ajma’īn
wa hasbuna `l-Lāhu wa ni’ma `l-wakīl, wa lā haula wa lā
quwwata illā bi `l-Lāhi `l-‘alyyi `l-‘azhīm. Astaghfiru `l-Lāhu yā
lathīfa yā kāfī yā lathīfa yā wafī yā rahīmu bi `l-Lāhi Lā illāha
illa `l-Lāh sepuluh kali. Lā illāha illa `l-Lāh Muhammadan
rasūlu `l-Lāh shalla `l-Lāhu ‘alaihi wa sallam ‘alaihā nuhyi wa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
123
‘alaihā namūtu wa ‘alaihā nab’asu insyā Allahu ta’alā wa anta
āmina al-āminīna bi rahmatika `l-Lāhi wa karamah. Setelah itu
maka mendahkan tangan itu ke langit serta memaca barang doa
yang mahsyur daripada nabi shalla `l-Lāhu ‘alaihi wa sallam.
Dan yaitu amat baik pahalanya daripada Allah Taala, dan sunah
setengah daripadanya Allahumma innī asluka mūjibāta
rahmatika wa ‘azā`ima maghfiratika wa `s-salāmata min kulli
ismin wa `l-ghanīmata min kulli birrin wa `l-fauzi bi `l-jannatin
wa `n-najāti mina `n-nār. Allahumma innī ‘aūzubika mina `l-
hammi wa `l-khazni wa `l-kasli wa mina `l-jubni [wa `l-buhli]
wa `l-fasli wa min ghalabati `d-daini wa qahri `r-rijāl.
Allahumma innī a’uzubika min juhdi `l-balā`i wa darki `sy-
syiqā`i wa sū`i `l-qadlā`i wa syimātati `l-‘adā`i. Allahumma innī
a`ūzubika min juhdi `l-balā`i wa zikrika wa syukrika wa husni
‘ibādik. Rabbanā ātinā fi `d-dunyā hasanah [wa fi `l-ākhirati
hasanah] wa qinā ‘azāba `n-nār. Wa shalla `l-Lāhu ‘alā khairi
khalqihi Muhammadin // wa ‘alā ālihi wa shahbihi ajma’īn.
Subhana rabbika rabbi `l-‘izzati ‘ammā wa salāmun ‘ala `l-
mursalīna wa `l-hamdu li `l-Lāhi rabbi `l-‘ālamīn (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 10-13).
Kutipan di atas menjelaskan tentang zikir yang disunahkan dibaca
oleh imam setelah salat. Zikir-zikir tersebut diantaranya adalah
hamdalah, istighfar, doa keselamatan, ayat kursi, dan selawat kepada
Nabi Muhammad. Terdapat kalimat tasbih yang disunahkan dibaca
sebanyak tiga puluh tiga kali. Zikir-zikir tersebut ditulis dalam
bahasa Arab tanpa disertai terjemahan dalam bahasa Melayu.
3. Membaca Alfatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas
Setelah membaca selawat kepada Nabi Muhamma, zikir
dikanjutkan dengan membaca surat Alfatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq,
dan An-Nas. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan.
Setelah itu maka sunah merahapkan kedua tangan itu ke muka
kemudian memaca al-fātihah, lilhdlarati `n-nabiyyi `l-
mushthafā rasūli `l-Lāhi shalla `l-Lāhu wa sallam. A’ūzu bi `l-
Lāhi mina `sy-syaithāni `r-rajīm. Bismi `l-Lāhi `r-Rahmāni `r-
Rahīm. Al-hamdu li `l-Lāhi rabbi `l-‘ālamīn hingga akhir akan
nabi Allah dan akan barang siapa yang dikehendakinya. Dan
memaca qul huwa `l-Lāhu ahad sekali, dan qul ‘aūzu bi rabbi `l-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
124
falaq sekali, dan qul ‘aūzu bi rabbi `n-nās sekali (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 13).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa surat yang disunahkan dibaca
saat zikir adalah Alfatihah, Al-Falaq, dan An-Nas sesuai dengan
yang tercantum di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah.
8b: Sebab-sebab yang membatalkan salat
Salat dapat dinilai batal karena sebelas perkara, yaitu: berkata-kata,
melakukan gerakan selain gerakan salat, makan dan minum, tidak yakin
terhadap niat yang diucapkan, meniatkan memutus salat, memutus salat
karena sesuatu yang muhal, hadas sebelum salam, terkena najis, terbuka
aurat, tidak menghadap kiblat, dan murtad. Perkara-perkara yang
membatalkan salat ini sesuai dengan kutipan.
Bermula segala yang membatalkan sembahyang itu sebelas
perkara: pertama berkata-kata dengan \disengaja\ jikalau suatu
huruf yang tiada mafhum mengatanya sekalipun, atau menangis
atau ter[t]awa-tawa gelak atau mengembis dengan hidung, atau
dengan mulutnya. Tetapi sunah mengata subhāna `l-Lāh dalam
sembahyang serta maksudkannya akan zikir // karena mengikut
imam daripada lupanya, atau memberi ingat orang buat daripada
<daripada> suatu bahaya, atau memberi izin orang masuk ke
rumah, atau barang yakin dan tiada dimaksud akan zikir, serta niat
atau semata-mata akan zikir maka batallah sembahyangnya. Kedua
mengerjakan pekerjaan yang <banyak> banyak seperti melangkah
tiga langkah, dibilangkan banyak [jika berturut-turut] atau diulang-
ulang sedikit tetap batallah sembahyang dengan \lompat\ karena
sengaja jikalau lupa sekalipun. Ketiga makan dalam sembahyang
dan minum dengan disengaja jikalau sedikit atau dikakah orang
sekalipun batallah sembahyangnya, tetapi tiada mengapa jika
sedikit dengan lupanya. Keempat mengerjakan rukun qauli atau
fi’li beserta syak akan sah niat takbiratulihram. Kelima meniatkan
memutuskan sembahyang, tetapi tiada ngapa dengan sebab khusus .
Keenam (meninggalkan) memutuskan sembahyang dengan suatu
jikalau dengan yang muhal <sekali> sekalipun, seperti katanya,
jikalau aku terbang niscaya kubatalkan sembahyang karena tiada
tekad niatnya. Ketujuh hadas dahulu daripada salam yang pertama
dengan disengaja atau dengan lupa Kedulapan \terkena\ najis yang
tiada dimangapkan pada kain atau pada badannya, dan jikalau
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
125
kedalam hidung atau ke dalam mulut sekalipun. Kesembilan
terbuka aurat, tetapi jika ditiup angin lalu sukar ditutupinya tiada
mengapa. Kesepuluh memaling dada daripada kiblat jikalau
setengah dada sekalipun. Kesebelas murtad, yaitu orang yang
mengiktikadkan seperti iktikad yang jadi akan kafir, seperti
mengiktikadkan yang menjadi alam ini tiada atau fana (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 13-14).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa di dalam teks terdapat sebelas
perkara yang dapat membatalkan salat.
9b: pasal salat Jumat
1. Orang-orang yang difardukan salat Jumat
Salat Jumat adalah fardu laki-laki dan perempuan yang merdeka,
sedang tidak dalam perjalanan, dan sehat. Hal ini ditunjukan dalam
kutipan berikut, “Bermula sembahyang Jumat itu fardu ain atas tiap-tiap
mukalaf laki-laki dan perempuan yang merdehaka, lagi mukim pada
negeri, lagi sehat badan” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15). Kutipan tersebut
menunjukkan bahwa yang difardukan salat Jumat adalah laki-laki dan
perempuan merdeka, tidak dalam perjalanan, serta sehat jasmani.
2. Dalil salat Jumat
Dalil wajibnya salat Jumat di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah
merupakan potongan ayat dari Alquran surah Al-Jumu‟ah ayat sembilan.
Potongan ayat tersebut ditulis dalam bahasa Arab disertai terjemahan
dalam bahasa Melayu, seperti pada kutipan.
Seperti firman Allah Taala, yāayyuha `l-ladzīna āmaū idzā nūdiya
li `sh-shalāti min yaumi `l-jumu’ati fas’au ilā zikri `l-Lāhi wa zaru
`l-bai’. Hai segala mereka itu yang percaya akan Allah, apabila
mukmin yang karena sembahyang pada hari Jumat, maka
hendaklah kamu pergi pada sembahyang tatkala itu tinggalkan
olehmu berniaga (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
126
Kutipan di atas menjelaskan tentang dalil salat Jumat berupa potongan
ayat dalam Alquran surah Al-Jumu‟ah ayat sembilan dalam bahasa Arab
disertai terjemahan dalam bahasa Melayu.
3. Niat salat Jumat
Niat salat Jumat di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah ditulis dalam
bahasa Arab disertai terjemahannya dalam bahasa Melayu, seperti dalam
kutipan, “Dan lafal niat ushallī fardla `l-jumm’ati rak’ataini makmūman
li `l-Lāhi ta’āla. Artinya kusembahyangkan fardu Jumat dua rakaat
kuikuti imam karena Allah Taala” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15). Kutipan
tersebut menunjukkan niat salat Jumat dalam bahasa Arab disertai artinya
dalam bahasa Melayu.
4. Syarat wajib salat Jumat
Syarat wajib salat Jumat adalah bermukim, jamaah berrjumlah
empat puluh, dan telah masuk waktu salat Jumat, sesuai dengan kutipan,
“Bermula syarat wajib itu tiga perkara, pertama pada orang yang dalam
negeri, kedua genap empat puluh, ketiga sampai waktu” (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 15). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa terdapat tiga syarat
wajib salat Jumat, yaitu bermukim, memiliki empat puluh jamaah, dan
telah masuk waktu salat Jumat.
5. Syarat sah salat Jumat
Syarat sah salat Jumat adalah membaca dua khotbah, duduk di
antara dua khotbah, dan melakukan salat dua rakaat, seperti dalam
kutipan, “Bermula fardu Jumat itu tiga perkara, pertama membaca dua
khotbah seraya berdiri, kedua duduk antara dua khotbah, ketiga
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
127
sembahyang dua rakaat berimam kemudian daripada membaca khotbah”
(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15). Kutipan di atas menunjukkan bahwa syarat sah
salat Jumat adalah membaca dua khotbah, duduk di antara dua khotbah,
dan melakukan salat dua rakaat.
10b: pasal salat mayit
1. Niat salat mayit.
Niat salat mayit adalah ushalli ‘alā hazihi `l-mayyti [arba’a
takbirātin] fardla `l-kifāyati makmūman li `l-Lāhi ta’ālā. Niat tersebut
ditulis dalam bahasa Arab disertai terjemahan dalam bahasa Melayu. Hal
tersebut ditunjukkan dalam kutipan, “Bermula sekurang-kurang
sembahyang mayit itu ushalli ‘alā hazihi `l-mayyti [arba’a takbirātin]
fardla `l-kifāyati makmūman li `l-Lāhi ta’ālā. Allahu akbar. Artinya
kusembahyangkan atas mayit ini fardu kifayah, kuikuti imam karena
Allah Taala”(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15). Kutipan tersebut menunjukkan
niat salat mayit dalam bahasa Arab disertai terjemahan dalam bahasa
Melayu.
2. Urutan salat mayit
Urutan salat mayit setelah niat adalah takbiratulihram, membaca
fatihah, takbir, membaca selawat, takbir, membaca doa salat mayit,
takbir, membaca doa salat mayit, dan salam. Kemudian disunahkan
membaca doa setelah salam. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
.... Allahu akbar... Kemudian dari itu maka membaca fatihah.
Setelah selesai daripada membaca fatihah maka takbir sekali.
Setelah itu maka membaca Allahumma shalli ‘alā Muhammadin
wa ‘alā āli Muhammadin. Setelah itu maka takbir sekali. Setelah
itu maka maka memaca Allahumma arhamhu Allahumma
ighfirlahu. Setelah itu maka takbir sekali. Setelah itu maka
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
128
memaca Allahumma lā tahrimnā // ajrahu wa lā taftinnā
ba’dahu wa ighfirlanā wa lahu. Setelah itu maka memberi
salam yaitu Assalāmu ‘alaikum wa rahmatu `l-Lāh. Serelah itu
maka sunah memaca Allahumma ij’al qabrahu raudlatan min
riyādli `l-jannāti wa lā taj’al hafrahu min hafrati `n-nīrāni wa
shalla `l-Lāhu ‘alā khairi khalqihi Muhammadin wa ālihi wa
shahbihi ajma’īn, bi rahmatika yā arhama `r-rāhimīn (Kifāyatu
`l-‘Ibādah: 15-16).
Kutipan di atas menunjukkan urut-urutan salat mayit dengan empat
takbir beserta doa yang disunahkan setelahnya, yaitu setelah
takbiratulihram membaca alfatihah, kemudian takbir, kemudian
membaca selawat kepada Nabi Muhammad Saw., kemudian takbir,
kemudian membaca doa salat mayit, kemudian takbir, kemudian
membaca doa salat mayit, kemudian salam. Setelah salam
disunahkan membaca doa. Selawat dan doa untuk salat mayit di
dalam teks semuanya ditulis dalam bahasa Arab tanpa disertai
terjemahan dalam bahasa Melayu.
11b: pasal puasa
1. Orang-orang yang difardu puasa
Orang-orang yang difardukan berpuasa harus memenuhi tiga
syarat, yaitu: islam, berakal, dan mampu untuk berpuasa. Hal ini sesuai
dengan kutipan berikut, “Bermula yang menfardukan puasa itu tiga
perkara, pertama islam, kedua akil, ketiga kuasa ia puasa” (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 16). Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga syarat
bagi yang difardukan puasa, yaitu: islam, akil, dan mampu untuk
berpuasa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
129
2. Syarat sah puasa
Puasa memiliki tujuh syarat sah, yaitu: niat, menahan diri dari
hubungan intim, menghindari muntah secara sengaja, mencegah
masuknya benda ke dalam tubuh, islam, suci dari haid dan nifas, serta
berakal. Ketujuh syarat sah puasa tersebut ditunjukkan dalam kutipan
berikut.
Bermula syarat sah puasa itu tujuh perkara, pertama niat pada tiap-
tiap malamnya, kemudian daripada masuk matahari dahulu
daripada fajar. Dan lafal niat ashūmu ghadan min adā`i fardli
ramadlāni hāzihi `s-sanati li `l-Lāhi ta’ālā. Aku puasa esok hari
daripada memeri fardu ramadan pada tahun ini karena Allah Taala.
Dan sebagian \dibaca\ pada malam yang pertama ashūmu `sy-
syahran ‘an ramadlāna kullahu. Aku puasa esok hari sebulan
daripada bulan ramadan sekalinya tetap tiada niat itu lain daripada
malam yang pertama, kedua menahan diri daripada jamah dan
mengeluarkan mani jikalau dengan tangan sekalipun, ketiga
menahan diri daripada sengaja muntah, keempat menahan diri
daripada memasukkan suatu benda ke dalam segala batin jikalau
sedikit sekalipun, kelima menahan diri daripada murtad, keenam
suci daripada haid, dan nifas, dan beranak // daripada hari itu,
ketujuh menahan diri daripada hilang akal (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 16-
17).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat tujuh syarat sah puasa
seperti yang tertulis dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah yaitu: niat, menahan
diri dari mengeluarkan mani, menahan diri dari muntah yang disengaja,
tidak memasukkan benda ke dalam tubuh, menahan dari murtad, suci dari
haid, nifas, dan melahirkan, serta berakal.
3. Waktu diharamkan untuk berpuasa
Puasa tidak diperbolehkan pada tiga waktu berikut, yaitu lima hari
pertama hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, dan hari tasyrik. Waktu-
waktu tersebut dijelaskan dalam kutipan berikut, “Syahdan haram puasa
lagi tiada sah puasa itu pada lima hari pertama hari raya fitrah, kedua hari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
130
raya qurban dan tiga hari kemudian daripada hari raya qurban yaitu hari
tasyrik” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 17). Terdapat tiga waktu diharamkannya
puasa, sesuai dengan penjelasan di dalam teks, yaitu: lima hari pertama
hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, dan hari tasyrik.
4. Doa berbuka puasa
Hukum membaca doa berbuka puasa adalah sunah berdasarkan teks
Kifāyatu `l-‘Ibādah. Doa berbuka puasa dijelaskan dalam bahasa Arab
tanpa disertai terjemahan dalam bahasa Melayu. Hal ini sesuai dengan
kutipan.
Sebermula sunah memaca tatkala berbuka puasa itu pada tiap-tiap
hari fardu adanya atau sunah Allahumma zahaba `zh-zhamāu
wabtallati `l-‘urūfu wa sabata `l-ajru insyā`a `l-Lāh. Lalu
menadahkan kedua tangan itu ke langit, serta membaca Allahumma
lakashumtu wa bika amantu wa ‘alā rizqika afthartu yā wāsi’a `l-
maghfirah (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 17).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa hukum membaca doa berbuka puasa
merupakan sunah. Doa berbuka puasa memiliki dua variasi yang dibaca
secara berurutan. Doa-doa tersebut dijelaskan dalam bahasa Arab tanpa
disertai terjemahan dalam bahasa Melayu.
c. Penutup
1c: selawat kepada Nabi Muhammad Saw.
Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diakhiri dengan selawat kepada Nabi
Muhammad dalam bahasa Arab namun tidak diikuti dengan terjemahan
dalam bahasa Melayu, sesuai dengan kutipan berikut, “Wa shalla `l-Lāhu
‘alā khairi khalqihi Muhammadin wa ‘alā [ālihi] wa shahbihi wa sallam”
(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 17). Kutipan di atas menunjukkan bahwa teks
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
131
Kifāyatu `l-‘Ibādah diakhiri dengan selawat kepada Nabi Muhammad
Saw. yang tidak diikuti dengan terjemahan dalam bahasa Melayu.
2c: kata tamat
Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diakhiri dengan kata tamat, sesuai dengan
kutipan berikut, “....wa shahbihi wa sallam. Amīn yā rabbi `l-‘ālamīn.
Tamat” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 17). Dari kutipan tersebut dapat diketahui
bahwa teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diakhiri dengan kata tamat.
Bagan struktur narasi teks Kifāyatu `l-‘Ibādah adalah sebagai berikut.
Bagan 2
Struktur Penyajian teks Kifāyatu `l-‘Ibādah
a b
1a (1-2-3) – 2a – 3a – 3a – 4a 1b (1-2-3-4) – 2b (1-2) –
3b (1-2-3) – 4b (1-2) – 5b (1-2-3) – 6b (1-2-3-4-5-6-7-8-9) – 7b
c
(1-2-3) – 8b – 9b (1-2-3-4-5) – 10b (1-2) – 11b (1-2-3-4) 1c – 2c
2. Gaya Penyajian
Gaya penyajian teks Kifāyatu `l-‘Ibādah menggunakan bentuk
interlinier. Kalimat dengan bahasa Arab dikemukakan terlebih dahulu,
kemudian diikuti terjemahan dalam bahasa Melayu. Hal ini dapat dilihat
pada pendahuluan teks yang terdiri dari basmalah, hamdalah, dan selawat
dan salam kepada Nabi Muhammad yang ditulis dalam bahasa Arab
kemudian diikuti terjemahan dalam bahasa Melayu. Pernyataan di atas
sesuai dengan kutipan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
132
Bismi `l-Lāhi `r-Rahmāni `r-Rahīm. Kumulai kitab ini dengan nama
Allah Yang Mahamurah pada memberi rezeki akan segala hamba-Nya
mukmin dan kafir dalam negeri dunia ini, lagi Yang Amat Mengasih
akan segala hamba-Nya dalam negeri akhirat ini. Al-hamdu li `l-Lāhi
`l-Lazī khalaqa ‘ibādatan ‘alā ‘ibādih. Segala pu[ji] -pujian bagi
Allah yang menjadi Ia akan segala ibadah atas segala hamba-Nya. Wa
`sh-shalātu wa `s-salāmu ‘alā sayyidinā Muhammadin sayyidi `l-
anbiyā`i wa `l-mursalīn. Dan rahmat Allah dan salam Allah atas
penghulu kita Muhammad, yaitu penghulu segala anbiya dan segala
nabi mursal (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa di dalam pendahuluan teks Kifāyatu `l-
‘Ibādah gaya penyajian menggunakan dua bahasa, yaitu Arab yang diikuti
terjemahan dalam bahasa Melayu. Maka dapat disimpulkan bahwa gaya
penyajian teks bersifat interlinier.
Bagian isi dimulai dengan pasal yang pertama kali diwajibkan bagi
mukalaf. Sebelumnya dijelaskan terlebih dahulu pengertian mukalaf, yaitu
laki-laki dan perempuan yang balig berakal. Mukalaf memiliki tiga
kewajiban yang pertama kali harus dilakukan, yaitu: mentasdikkan dua
kalimat syahadat, mengimani sifat-sifat Allah, dan mengetahui identitas
Nabi Muhammad. Hal ini dijelaskan secara interlinier di dalam teks, yaitu
dengan menyebutkan kewajiban diikuti dengan penjelasan dari kewajiban
tersebut. Seperti ditunjukkan dalam kutipan berikut, “Fasal pada
menyatakan permulaan wajib atas // segala mukalaf, yaitu orang yang akil
lagi balig laki dan perempuan” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1). Di dalam kutipan
tersebut termuat penjelasan mengenai pengertian mukalaf. Setelah
pengertian, isi teks dilanjutkan dengan kewajiban yang pertama yaitu
mentasdikkan dua kalimat syahadat, sesuai dengan kutipan.
Ketahui olehmu hai talib! Bahwasanya permulaan wajib atas segala
mukalaf laki-laki dan perempuan itu yaitu mengucap dua kalimah
syahadat serta mentasdikkan dalam hati mengenai keduanya. Kalimah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
133
itu yaitu Asyhadu an lā Ilāha illā `l-Lāh. Saksi aku bahwasanya tiada
yang disembah, melainkan Allah. Wa asyhadu anna Muhammada `r-
rasūlu `l-Lāh. Dan saksi aku bahwasanya nabi Muhammad itu
pesuruhnya Allah (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 2).
Informasi mengenai kewajiban mukalaf untuk mentasdikkan dua kalimat
syahadat termuat dalam kutipan di atas. Teks ditulis secara interlinier
dengan mengemukakan bahasa Arab yang diikuti terjemahan dalam bahasa
Melayu.
Kewajiban kedua adalah mengetahui sifat-sifat Allah yang wajib
diketahui, meliputi: sifat wajib, jaiz, dan mustahil. Sifat-sifat tersebut sesuai
dengan kutipan.
Maka setengah daripada yang wajib pada Allah Taala itu dua puluh
sifat yaitu: Wujūd artinya „ada-Nya‟; Qidam artinya [„tidak
berpermulaan ada-Nya‟]; [Baqā artinya] „sedia yang kekal zat-Nya‟;
Mukhālafatuhu lil hawādis artinya „berselain Ia dengan segala yang
baru‟; Qiyā[muhu] bi nafsih artinya „berdiri dengan sendiri-Nya;
Wahdāniyah artinya „Esa‟. {Qudrat artinya „kuasa‟}; {Iradāh artinya
berkehendak}; [‘Ilmu artinya „berpengetahuan‟]; Hayāt artinya „yang
hidup‟; Sam’a artinya „menengar‟; Bashar artinya „melihat‟; Kalām
artinya „berkata-kata‟; {Qadīran artinya yang kuasa}; {Murīdan
artinya yang berkehendak}; {‘Āliman artinya mengetahu}; {Hayyan
artinya yang hidup}; Samī’an artinya „yang menengar‟. Bashīran
artinya „yang melihat‟. Mutakallimun artinya „yang berkata-kata‟.
Itulah yang disebut dua puluh sifat. Bermula yang jaiz pada Allah
Taala fi’lu kulli mumkinin (aw) aw tarkuh. Artinya „bermula berbuat
tiap-tiap mumkin atau meninggalkan Dia‟. Seperti memasukkan orang
yang mukmin ke dalam surga atau tiada memasukkan Dia. Dan
memasukkan kafir ke dalam neraka atau tiada memasukkan Dia.
Bermula yang mustahil pada Allah Taala // segala lawan sifat dua
puluh (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 2-3).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa sifat-sifat Allah dikemukakan secara
interlinier di dalam teks. Sifat-sifat diuraikan secara runtut mulai dari yang
wajib, jaiz, dan mustahil. Bahasa Arab dikemukakan terlebih dahulu,
kemudian diikuti terjemahan dalam bahasa Melayu.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
134
Kewajiban ketiga adalah mengetahui identitas Nabi Muhammad.
Identitas ini sesuai dengan kutipan.
Demikian lagi fardu atas segala mukalaf menngetahui ia bahwasanya
nabi kita Muhammad itu laki-laki anak Abdullah, anak Abdul
Muthalib. Ialah ‘arabi lagi Quraisy, lagi Hasyim. Negeri tempat
jadinya di Mekah, kemudian berpindah ia ke Medinah. Di sanalah
wafatnya. Dan adalah umur nabi kita enam puluh tiga tahun pada qaul
yang ashah (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa identitas minimal Nabi Muhammad
yang harus diketahui adalah asal keturunan, tempat lahir dan meninggal,
serta umur.
Setelah tiga kewajiban yang pertama kali dibebankan kepada mukalaf,
isi teks dilanjutkan dengan penjelasan mengenai bab ibadah. Ibadah dibagi
menjadi 9 macam, yaitu: hukum air, najis, wudu, tayamum, haid, salat, salat
Jumat, salat mayit, dan puasa. Setiap pergantian bahasan selalu diawali
dengan kalimat, “Fasal pada menyatakan...” seperti ditunjukkan pada
kutipan, “Fasal pada menyatakan hukum air” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3).
Kutipan tersebut menunjukkan permulaan bahasan mengenai hukum air.
Contoh lain ditunjukkan dalam kutipan, “Fasal pada menyatakan
sembahyang mayit” (Kifāyatu `l-‘Ibādah:15) yang menunjukkan permulaan
bahasan salat mayit.
Bagian penutup terdiri dari selawat kepada nabi dan kata tamat,
seperti ditunjukkan dalam kutipan “Wa shalla `l-Lāhu ‘alā khairi khalqihi
Muhammadin wa ‘alā [ālihi] wa shahbihi wa sallam. Amīn yā rabbi `l-
‘ālamīn. Tamat” (Kifāyatu `l-‘Ibādah:17). Kutipan tersebut menunjukkan
bahwa penutup teks Kifāyatu `l-‘Ibādah tidak menggunakan bentuk
interlinier.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
135
3. Pusat Penyajian
Pusat penyajian teks Kifāyatu `l-‘Ibādah menggunakan pusat
penyajian orang pertama dan orang ketiga. Pusat penyajian ini dapat dilihat
dari kata ganti yang muncul. Pusat penyajian orang pertama menggunakan
kata ganti aku, sedangkan pusat penyajian orang ketiga menggunakan kata
ganti mereka.
Tokoh “aku” muncul pada pendahuluan teks seperti dalam kutipan
berikut, “Kumulai kitab ini dengan nama Allah Yang Mahamurah pada
memberi rezeki akan segala hamba-Nya mukmin dan kafir dalam negeri
dunia ini, lagi Yang Amat Mengasih akan segala hamba-Nya dalam negeri
akhirat ini” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1). Kata “kumulai” sebagai kata ganti
orang pertama tunggal adalah kata yang pertama kali muncul setelah
basmalah. Kata tersebut menunjuk pada pengarang teks. Tokoh “aku”
tersebut sekaligus ingin menunjukkan bahwa pengarang terlibat dalam gaya
penyajian teks. Dengan begitu pengarang berperan sebagai orang yang lebih
tahu daripada pembacanya.
Selain orang pertama, teks Kifāyatu `l-‘Ibādah juga menggunakan
pusat penyajian orang ketiga lewat kata ganti “hai talib”, seperti yang
ditunjukkan oleh kutipan, “Ketahui olehmu hai talib! Bahwasanya tiada sah
menghilangkan najis, dan mandi junub, dan mengambil air sembahyang,
melainkan dengan air yang mutlak, yaitu air yang suci lagi menyucikan”
(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Kata ganti “hai talib” di dalam kutipan merujuk
pada kata “mereka” yang merupakan orang ketiga jamak. Kata “hai talib”
tersebut merujuk kepada pembaca yang ingin mengetahui kewajiban
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
136
mukalaf dan ajaran ibadah yang ada di dalam teks. Pembaca dianggap orang
yang belum mengetahui tentang kewajiban mukalaf dan ajaran ibadah
seperti yang dituliskan pengarang lewat tokoh “aku”.
4. Gaya Bahasa
Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah merupakan teks sastra kitab yang bercirikan
memiliki gaya bahasa khusus. Ungkapan dalam bahasa Arab sering
digunakan untuk penyebutan istilah tertentu, terutama yang berkaitan
dengan Islam. Selain itu, kekhususan juga terlihat dalam hal sintaksis dan
gaya bahasanya.
a. Kosakata
Kosakata yang terdapat dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah meliputi
kosakata bahasa Arab yang sudah diserap dan kosakata bahasa Arab
yang belum diserap. Adapun kosakata bahasa Arab yang sudah
diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
Tabel 13
Kosakata Arab yang Sudah Diserap
No Kosakata No Kosakata No Kosakata No Kosakata
1. Akbar 21. Istihadah 41. Najis 61. Tasdik
2. Akhirat 22. Isya 42. Niat 62. Tawaf
3. Akil 23. Jumat 43. Nifas 63. Tayamum
4. Allah 24. Junub 44. Puasa 64. Tertib
5. Anbiya 25. Kafir 45. Quran 65. Wadi
6. Asar 26. Khotbah 46. Rakaat 66. Wafat
7. Awal 27. Khusus 47. Rezeki 67. Wajib
8. Balig 28. Kiblat 48. Risalah 68. Zikir
9. Doa 29. Kubul 49. Rukuk 69. Zuhur
10. Dubur 30. Mafhum 50. Rukun
11. Fana 31. Magrib 51. Sahih
12. Fardu 32. Mani 52. Salam
13. Haid 33. Mayit 53. Subuh
14. Ibadah 34. Mazi 54. Sujud
15. Ibarat 35. Mukalaf 55. Sunah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
137
16. Ikamah 36. Mukmin 56. Syahadat
17. Iktidal 37. Mursal 57. Taala
18. Iktikad 38. Mushaf 58. Takbiratulihram
19. Imam 39. Mustahil 59. Talib
20. Iman 40. Nabi 60. Tamat
Adapun kosakata bahasa Arab dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah yang
belum diserap ke dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 14
Kosakata Arab yang Belum Diserap
No Kosakata No Kosakata
1. ‘Āliman 17. Mutakallimun
2. ‘Arabi 18. Mutawassithah
3. Ashghar 19. Qadīran
4. Baqā 20. Qaul
5. Bashar 21. Qidam
6. Bashīran 22. Qiyāmuhu bi nafsih
7. Hayāt 23. Qudrat
8. Hayyan 24. Qullah
9. Iftirasy 25. Qunut
10. ‘Ilmu 26. Sam’a
11. Iradāh 27. Samī’an
12. Kalām 28. Wahdāniyah
13. Mughallazhah 29. Wujūd
14. Mukhaffafah
15. Mukhālafatuhu lil hawādis
16. Murīdan
b. Ungkapan Bahasa Arab
Ungkapan-ungkapan bahasa Arab yang dijumpai dalam teks
Kifāyatu `l-‘Ibādah dapat dilihat pada tabel berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
138
Tabel 15
Ungkapan Bahasa Arab
No Ungkapam
1. Al-hamdu li `l-Lāhi Rabbi `l-‘ālamīn
2. Allāhu akbar
3. Assalāmu ‘alaikum wa rahmatu `l-Lāh
4. Astghfiru `l-Lāha `l-‘azhīm
5. Asyhadu an lā Ilāha illā `l-Lāh
6. Asyhadu anna Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh
7. Bismi `l-Lāhi `r-Rahmāni `r-Rahīm
8. Fi’lu kulli mumkinin aw tarkuh
c. Sintaksis
Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah merupakan teks sastra kitab dengan
struktur kalimat yang mendapatkan pengaruh dari bahasa Arab.
Pengaruh tersebut dapat dilihat dengan digunakannya kata “dan” dan
“maka” di awal kalimat. Padahal kedua kata ini berfungsi sebagai
konjungsi di dalam struktur kalimat bahasa Melayu. Penggunaan di
awal kalimat disebabkan oleh adanya kata wa dan fa dalam bahasa
Arab yang dapat diletakkan di awal kalimat bahasa Arab. Wa yang
berarti “dan”, dan fa yang berarti “maka” berfungsi sebagai kata
tumpuan dalam bahasa Melayu.
1) Dan
Struktur kalimat bahasa Melayu menggunakan “dan”
sebagai kata tumpuan yang dapat diletakkan di awal kalimat.
Struktur tersebut dapat dijumpai di dalam teks Kifāyatu `l-
‘Ibādah sesuai kutipan berikut, “Wa `sh-shalātu wa `s-salāmu
‘alā sayyidinā Muhammadin sayyidi `l-anbiyā`i wa `l-mursalīn.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
139
Dan rahmat Allah dan salam Allah atas penghulu kita
Muhammad, yaitu penghulu segala anbiya dan segala nabi
mursal” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1). Kutipan di atas membuktikan
bahwa kata “dan” digunakan sebagai kata tumpuan, tidak hanya
sebagai penghubung antarkalimat. Penggunaan kata tumpuan
didasarkan pada struktur kalimat bahasa Arab yang
menempatkan wa di awal kalimat.
2) Maka
Kata “maka” dalam bahasa Indonesia digunakan sebagai
penghubung, tetapi dalam bahasa Melayu kata tersebut
berfungsi sebagai kata tumpuan. Pernyataan tersebut sesuai
dengan kutipan, “Ammā ba’du fa innahu risālatun
mukhtasharatun wa sammaituhā Kifāyatu `l-‘Ibādah. Adapun
kemudian [dari] daripada itu maka inilah suatu ibarat risalah
yang simpan dan kunamai akan dia “Kifāyatu `l-‘Ibādah””
(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1). Kutipan di atas menunjukkan bahwa
kata “maka” berfungsi sebagai kata tumpuan. Hal ini disebabkan
oleh pengaruh bahasa Arab, yaitu kata fa yang diterjemahkan
menjadi “maka”.
d. Gaya Bahasa
Berdasarkan struktur kalimat yang digunakan, teks Kifāyatu `l-
‘Ibādah memiliki gaya pararelisme dan antitesis. Sementara itu,
sarana retorika yang terdapat dalam teks ialah polisindeton, asindeton,
eufemisme, dan litotes.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
140
1) Pararelisme
Gaya pararelisme adalah gaya berdasarkan struktur
kalimat yang berimbang di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah. Gaya
tersebut dapat dilihat dalam contoh kutipan berikut, “Ketahui
olehmu bahwasanya tayamum itu wajib jika tiada ada beroleh
air, atau ada air itu tiada dapat memakaikan air ini pada
anggotanya, seperti karena luka yang berobat, atau berbalut
yang kesukaran pada menghilangkan keduanya” (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 5). Struktur gramatikal di dalam contoh kalimat
majemuk di atas adalah setara, yaitu antara “bahwasanya
tayamum itu wajib jika tiada ada beroleh air” dan “ada air itu
tiada dapat memakaikan air ini pada anggotanya, seperti karena
luka yang berobat, atau berbalut”. Dari struktur yang setara
inilah dapat dikatakan bahwa di dalam teks menggunakan gaya
pararelisme.
2) Antitesis
Gaya antitesis (pertentangan) yang terdapat dalam teks
Kifāyatu `l-‘Ibādah mempertentangkan dua sifat Allah, yaitu
sifat wajib dan sifat mustahil. Pertentangan ini dapat dilihat dari
kutipan berikut, “Bermula yang mustahil pada Allah Taala
segala lawan sifat dua puluh (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Kutipan
tersebut menginformasikan bahwa terdapat pertentangan antara
dua sifat Allah yaitu sifat wajib dan sifat mustahil. Antitesis
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
141
tersebut bertujuan untuk memperjelas keterangan bahwa sifat
mustahil Allah adalah lawan dari dua puluh sifat wajib.
3) Analitik
Gaya analitik (penguraian) di dalam teks Kifāyatu `l-
‘Ibādah dapat dilihat dari kutipan berikut,
Bermula rukun tayamum itu empat perkara: pertama
memindahkan tanah kemudian daripada menepuk dengan
tangan ke muka, kedua niat, dipersuratkan niat itu pada
pertama-tama tapak. Maka diniatkan oleh yang berhadas
ashghar nawaitu istibāhata fardhi `s-salāh artinya ‘sengaja
aku memperharuskan fardu sembahyang’. Maka diniatkan
oleh orang yang berhadas akbar nawaitu fardlu tayamuma li
`l-junubi fardu alā li `l-Lāhi ta’āla. artinya ‘sengaja’ aku
fardu tayamum karena junub fardu atasku karena Allah
Taala, ketiga menyapu tangan serta si(gh)ku, keempat tertib (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5).
Kutipan di atas menginformasikan bahwa rukun tayamum
diuraikan secara jelas. Empat rukun tayamum tersebut adalah
memindahkan tanah dengan cara menepuk tangan ke muka, niat,
membasuh tangan dan siku, dan tertib.
4) Polisindeton
Gaya polisindeton yang terdapat pada teks Kifāyatu `l-
‘Ibādah ditandai dengan pemakaian kata sambung “dan”. Gaya
tersebut dapat dilihat pada kutipan, “Ketahui olehmu hai talib!
Bahwasanya tiada sah menghilangkan najis, dan mandi junub,
dan mengambil air sembahyang, melainkan dengan air yang
mutlak, yaitu air yang suci lagi menyucikan” (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 3). Kutipan di atas menunjukkan bahwa gaya bahasa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
142
yang digunakan di dalam teks adalah polisindeton, yaitu dengan
menghubungkan beberapa kata dengan kata “dan”.
5) Asindeton
Gaya asindeton di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah dapat
dilihat dari tidak adanya kata penghubung untuk kata-kata yang
sederajat. Sebagai gantinya, digunakan tanda koma seperti
dalam kutipan berikut, “Maka air yang mutlak itu yaitu tujuh
bahagi: pertama air hujan, kedua air embun, ketiga air beku,
keempat [air] laut, kelima air sungai, keenam air mata air,
ketujuh air telaga” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Kutipan di atas
menunjukkan bahwa untuk menghubungkan tiap frasa pada
kalimat digunakan tanda koma. Penulisan seperti itu sesuai
dengan gaya Asindenton.
6) Litotes
Gaya litoses di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah bertujuan
untuk merendahkan diri seperti terlihat dalam kutipan berikut,
“Kumulai kitab ini dengan nama Allah Yang Mahamurah pada
memberi rezeki akan segala hamba-Nya mukmin dan kafir
dalam negeri dunia ini, lagi Yang Amat Mengasih akan segala
hamba-Nya dalam negeri akhirat ini” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pengarang merendahkan
diri di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan menambahkan
kata Maha untuk menyebutkan kata Tuhan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
143
B. Isi Ajaran Ibadah
Kifāyatu `l-‘Ibādah merupakan sastra kitab yang membahas ajaran fikih
sebagai pedoman tata-cara beribadah. Fikih yang termuat meliputi hukum air,
najis, wudu, tayamum, haid, salat, salat Jumat, dan puasa.
1. Hukum Air
Air menurut hukumnya untuk bersuci dibagi menjadi empat, yaitu: air
suci yang mensucikan, air suci yang mensucikan namun makruh, air suci
yang tidak mensucikan, dan air najis. Macam-macam air tersebut di dalam
teks ditunjukkan dalam kutipan, “Bahwasanya tiada sah menghilangkan
najis, dan mandi junub, dan mengambil air sembahyang, melainkan dengan
air yang mutlak, yaitu air yang suci lagi menyucikan. Maka air itu terbahagi
kepada empat bahagi: pertama air yang mutlak, kedua air makruh, ketiga air
mustakmal, keempat air najis” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Pembagian air
tersebut bertujuan untuk mengetahui jenis air yang dapat digunakan untuk
menghilangkan hadas.
a. Air Suci yang Mensucikan
Air suci yang mensucikan disebut pula air mutlak, yaitu air yang
suci karena tidak ada zat yang menjadikan najis (Zuhaili, 2012: 88).
Air tersebut dibagi menjadi tujuh golongan. Pernyataan ini sesuai
dengan kutipan, “Maka air yang mutlak itu yaitu tujuh bahagi:
pertama air hujan, kedua air embun, ketiga air beku, keempat [air]
laut, kelima air sungai, keenam air mata air, ketujuh air telaga”
(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
144
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
tujuh golongan air suci yang mensucikan, yaitu: air hujan, air embun,
air beku, air laut, air sungai, air mata air, dan air telaga. Pendapat ini
didasarkan pada fikih mazhab Imam Syafii yang menyatakan bahwa
air yang boleh digunakan untuk bersuci dibagi menjadi tujuh macam
(Zuhaili, 2012: 85).
Macam-macam air mutlak ditunjukkan oleh bebrapa dalil naqli,
diantaranya QS Al-Anfal (8): 11 yang menyatakan bahwa Allah
menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk menyucikan kalian
dengan hujan itu. Selain itu kesucian air salju dan air embun
didasarkan pada hadis tentang doa iftitah yang dibaca nabi, “Wahai
Allah, jauhkan aku dan dosa-dosaku sebagaimana engkau jauhkan
antara timur dengan barat. Wahai Allah bersihkanlah aku dari segala
dosa-dosa sebagaimana baju putih yang bersih dari kotoran. Wahai
Allah cucilah aku dengan air salju dan air embut” (HR Bukhari dan
Muslim).
b. Air Suci yang Mensucikan namun Makruh
Air suci yang makruh disebut pula air musyammas.
Menggunakan air musyammas untuk bersuci hukumnya adalah
makruh seperti ditunjukkan dalam kutipan, “Dan air yang makruh itu
yaitu tiga perkara: pertama air yang sangat hangat, kedua air sangat
sejuk, ketiga air yang tercemar pada negeri yang sangat hangat”
(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
145
Kutipan tersebut sesuai dengan fikih Imam Syafii. Zuhaili
menyatakan bahwa air musyammas adalah air yang menjadi panas
karena diletakkan di tempat yang disinari matahari langsung dalam
wadah berbahan logam. Hukum menggunakan air musyammas adalah
makruh tanzih. Hukum makruh tersebut dikenakan untuk penggunaan
air pada badan, sebab menurut dugaan penggunaan air musyammas
dapat menyebabkan penyakit kusta. Begitu pula menggunakan air
yang terlalu panas dan terlalu dingin (Zuhaili, 2012: 90).
c. Air Suci yang Tidak Mensucikan
Air musta’mal termasuk ke dalam jenis air suci yang tidak
mensucikan. Air tersebut merupakan air yang jumlahnya sedikit, dan
telah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis pada basuhan
pertama. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan, “Dan air yang
\mustakmal\ itu air yang sudah terpakai pada segala basuh yang
wajib” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3).
Kutipan tersebut sesuai dengan fikih mazhab Imam Syafii. Air
musta’mal tidak dikategorikan ke dalam air suci mensucikan.
Penyebabnya adalah karena air musta’mal merupakan air yang
jumlahnya sedikit. Jika air musta’mal itu ditambahi dengan air yang
suci hingga mencapai dua qullah maka secara otomatis hukumnya
berubah menjadi air suci mensucikan (Zuhaili, 2012: 88-89).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
146
d. Air Najis
Air dapat dikatakan sebagai najis dan tidak sah digunakan untuk
bersuci apabila berukuran kurang dari dua qullah dan terdapat najis di
dalamnya. Pernyataan ini dibuktikan dalam kutipan.
Dan yang air najis itu yaitu air yang kurang daripada dua qullah,
maka dimasukkan najis ke dalamnya, sama ada ia berubah atau
tiada, maka air itu najislah jua {hukumnya}. Dan jika ada air itu
dua qullah atau lebih, maka dimasukkan ke dalamnya tatkala itu
tiada berubah rasanya, atau baunya, atau warnanya, maka air itu
\suci menyucikan\ jua {hukumnya} (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3).
Kutipan di atas diperkuat dengan pernyataan bahwa menurut mazhab
Syafii air najis merupakan air yang berjumlah kurang dari dua qullah
(air sedikit) yang sudah berubah sifatnya, baik rasa, warna, dan bau.
Air yang berjumlah lebih dari dua qullah juga dapat menjadi najis
apabila terdapat perubahan terhadap sifat-sifat air karena kemasukan
najis (Zuhaili, 2012: 91).
2. Wudu
Wudu berarti menggunakan air untuk bagian-bagian tubuh tertentu
sebagai syarat salat. Basuhan-basuhan di dalam wudu dapat dihukumi wajib
atau sunah. Wudu memiliki enam fardu dan basuhan selebihnya adalah
sunah. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan.
Fasal pada menyatakan ^perintah pada mengambil air^ sembahyang
itu mula-mula sunah membasuh kedua telapak tangan hingga
pergelangan serta mengucap bismi ‘l-Lāhi ‘r-Rahmāni ‘r-Rahīm, dan
serta menghadap kiblat. Setelah itu maka wajib memasuh muka
beserta dengan niat nawaitu raf’a `l-had(a)s. Artinya „sengaja
kuangkatkan hadas‟. Setelah itu, maka wajib memasuh kedua tangan
hingga kedua si(gh) ku, dan sunah didahulukan tangan kanan. Setelah
itu, maka wajib membasuh kepala jikalau sehelai rambut sekalipun.
Setelah itu maka sunnah memasuh dua telinga. Setelah itu, maka
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
147
wajib memasuh dua-dua kaki hingga mata kaki kedua. Itulah perintah
mengambil air sembahyang. Setelah sudah mengambil air
sembahyang maka sunah menghadap kiblat serta mengangkatkan mata
ke langit dan menengadahkan kedua tapak tangan ke langit (Kifāyatu
`l-‘Ibādah: 5)
Imam Syafii menyatakan bahwa wudu memiliki enam fardu, yaitu: niat
ketika membasuh muka, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai
kedua siku, mengusap sebagian kepala, membasuh kedua kaki hingga mata
kaki, dan mengurutkan basuhan (Zuhaili, 2012: 141-148). Zuhaili (2012:
150) juga mengungkapkan tiga belas sunah wudu sesuai dengan fikih
mazhab Imam Syafii. Ketiga belas sunah tersebut adalah: mengucap
basmalah sebelum melakukan wudu; membasuh kedua telapak tangan
sebelum memasukkannya. ke wadah air dan membasuh muka; bersiwak;
berkumur; istinsyaq (menghirup air dengan hidung lalu menyemburkannya);
mengusap kepala sampai merata; mengusap kedua telinga; menyela-nyela
jenggot, jari-jari tangan dan kaki; mendahulukan anggota tubuh kanan;
menyempurnakan basuhan, yaitu pada batas muka dan batas kedua tangan;
menyegerakan membasuh anggota tubuh selanjutnya sebelum anggota tubuh
yang telah dibasuh menjadi kering; menghindari meminta bantuan untuk
menuangkan air ketika berwudu; dan berdoa setelah wudu.
Kutipan di atas bersesuaian dengan teori yang terdapat dalam fikih
mazhab Imam Syafii. Rukun dan sunah wudu yang dijelaskan di dalam
kutipan teks tersebut bersumber pada fikih mazhab Imam Syafii.
Di dalam kitab Fathul Qorib dijelaskan soal sebab-sebab yang
membatalkan wudu. Sebab-sebab tersebut ditunjukkan dalam kutipan,
“Bermula yang membatalkan air sembahyang ini ada lima perkara: pertama
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
148
// keluar salah satu daripada dua jalan melainkan mani dirinya, kedua hilang
akal, ketiga bersentuh kulit laki-laki dengan perempuan yang harus nikah
dengan dia, keempat menjabat kubul atau dubur, kelima tidur” (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 5-6).
Di dalam kitab Fathul Qorib (al-Ghazy, Ibnu Qasim, 1992: 71)
dijelaskan bahwa terdapat lima perkara yang dapat membatalkan wudu.
Perkara tersebut yaitu: pertama keluarnya sesuatu dari kubul atau dubur,
kedua tidur tidak dengan posisi duduk, ketiga hilang akal, keempat
bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, kelima
menyentuh kemaluan dengan telapak tangan. Kifāyatu `l-‘Ibādah memiliki
kesesuaian isi dengan ajaran fikih berdasarkan mazhab Imam Syafii. Wudu
yang dijelaskan dalam di dalam teks tersebut bersumber dari ajaran fikih
Imam Syafii.
3. Tayamum
Tayamum merupakan salah satu cara bersuci dengan mengusapkan
debu ke seluruh wajah dan kedua tangan sebagai pengganti wudu atau
mandi. Syarat-syarat dibolehkannya tayamum adalah ketika sedang tidak
ada air atau angsugota tubuh memiliki pantangan terkena air karena sebab
tertentu. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan.
Ketahui olehmu bahwasanya tayamum itu wajib jika tiada ada beroleh
air, atau ada air itu tiada dapat memakaikan air ini pada anggotanya,
seperti karena luka yang berobat, atau berbalut yang kesukaran pada
menghilangkan keduanya. Maka wajib tayamum itu akan ganti air
pada orang mandi yang wajib adanya, atau sunah, atau pada orang
mengambil ^air^ sembahyang (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
149
Imam Syafii mempersyaratkan tiga hal dibolehkannya tayamum. Syarat-
syarat tersebut adalah: ketiadaan air dalam jarak 6000 langkah, terdapat
hewan-hewan yang lebih membutuhkan air, dan sakit yang dikhawatirkan
akan bertambah parah apabila terkena air. (Zuhaili, 2012: 180-183). Ktipan
di atas memenuhi dua syarat diperbolehkannya tayamum berdasarkan
mazhab Imam Syafii.
Tayamum memiliki empat rukun, yaitu: memindahkan tanah, niat,
menyapu muka dan tangan sampai siku, dan tertib. Niat tayamum tersebut
dijelaskan dalam kutipan.
Bermula rukun tayamum itu empat perkara: pertama memindahkan
tanah kemudian daripada menepuk dengan tangan ke muka, kedua
niat, dipersuratkan niat itu pada pertama-tama tapak. Maka diniatkan
oleh yang berhadas ashghar nawaitu istibāhata fardhi `s-salāh artinya
„sengaja aku memperharuskan fardu sembahyang‟. Maka diniatkan
oleh orang yang berhadas akbar nawaitu fardlu tayamuma li `l-junubi
fardu alā li `l-Lāhi ta’āla. artinya „sengaja‟ aku fardu tayamum
karena junub fardu atasku karena Allah Taala, ketiga menyapu tangan
serta si(gh)ku, keempat tertib (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5).
Zuhaili (2012: 186-188) memaparkan bahwa terdapat lima rukun tayamum,
yaitu: 1) memindahkan debu ke anggota tubuh, 2) niat, 3) mengusap wajah
dan kedua tangan melewati siku, 4) mengusap kedua tangan sampai kedua
siku setelah mengusap wajah, 5) Tertib. Meskipun memiliki perbedaan
dengan yang tercantum dalam pendapat di dalam mazhab Imam Syafii,
namun penjelasan mengenai rukun tayamum di dalam teks sudah sesuai.
Urut-urutan dan langkah-langkah dalam bertayamum di dalam teks
mengacu pada fikih mazhab Imam Syafii.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
150
4. Haid, Nifas, dan Istihadah
Haid merupakan siklus keluarnya darah dari dalam rahim perempuan
setelah balig, terhitung saat usia sembilan tahun. Penjelasan mengenai haid
ditunjukkan oleh kutipan berikut.
Bermula sekurang-kurang umur perempuan yang haid sembilan tahun
dan sekurang-kurang masa haid ini sehari semalam. Dan sebanyak-
banyak masa haid ini lima belas hari lima belas malam. Dan yang
banyaknya // perempuan itu enam hari enam malam. Bermula darah
yang kuning, lagi keruh, lagi lengket itulah darah haid, dan jika
sekurang-kurang masanya sehari semalam (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5-6).
Imam Syafii menjelaskan bahwa haid dialami perempuan yang minimal
berusia sebilan tahun. Masa haid adalah sehari semalam hingga lima belas
hari lima belas malam, namun umumnya adalah enam hari enam malam
(Zuhaili, 2012: 197). Pendapat tersebut sesuai dengan yang tertulis di dalam
teks Kifāyatu `l-‘Ibādah.
Selain haid, perempuan juga mengalami nifas dan istihadah. Kedua
fase ini dibedakan berdasarkan waktu terjadinya, seperti ditunjukkan dalam
kutipan berikut, “Bermula darah yang cair ini darah istihadah namanya,
yaitu darah pekat. Adapun wajib atas perempuan istihadah ini memasuh farji
serta darah yang di dalamnya. Dan mengambil air sembahyang atau
tayamum pada tiap-tiap fardu dalam waktu. Dan darah yang kemudian
daripada beranak itu darah nifas namanya” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 6).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa nifas dan istihadah dibedakan
atas waktu. Darah nifas merupakan darah yang keluar setelah proses
melahirkan, sementara darah istihadah dapat keluar setelah masa haid atau
tidak (Zuhaili, 2012: 195-196). Penjelasan tersebut sesuai dengan kutipan
yang terdapat di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
151
5. Salat
Rukun salat yang pertama kali diucapkan adalah niat. Niat salat antara
yang satu dengan yang lain dibedakan atas masuknya waktu dan jumlah
rakaat. Pernyataan ini dibuktikan dengan kutipan.
Setelah selesai daripada ikamah maka sunah memaca lafaz niat yaitu
ushallī fardla `zh-zhuhri arba’a raka’ātin mustaqbila `l-qiblati
adā`an li `l-Lāhi ta’āla. Artinya 'kusembahyangkan fardu zuhur empat
rakaat dengan menghadap kiblat nawaitu karena Allah Taala‟. Dan
jika asar ushallī fardla `l-‘ashri arba’a raka’ātin mustaqbila `l-qiblati
adā`an li `l-Lāhi ta’āla. Artinya „kusembahyangkan fardu ashar empat
rakaat dengan menghadap kiblat nawaitu karena Allah Taala. Dan jika
magrib ushallī fardla `l-maghribi salāsa raka’ātin mustaqbila `l-
qiblati adā`an li `l-Lāhi ta’āla. (Allāhu akbar). Artinya
kusembahyangkan fardu [magrib] tiga rakaat dengan menghadap
kiblat nawaitu karena Allah Taala. Dan jika isya ushallī fardla `l-
‘isyā`i arba’a // raka’ātin mustaqbila `l-qiblati adā`an li `l-Lāhi
ta’āla. (Allāhu akbar). Artinya kusembahyangkan fardu isya empat
rakaat dengan menghadap kiblat nawaitu karena Allah Taala. Dan jika
subuh ushallī fardla `sh-shubhi ^raka’ataini mustaqbila `l-qiblati
adā`an li `l-Lāhi ta’āla^. ^Artinya „kusembahyangkan fardu subuh^
dua rakaat de[ngan] menghadap kiblat nawaitu karena Allah Taala
(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 7-8)
Kutipan di ats menunjukkan bahwa salat diawali dengan niat, yaitu
menyengaja untuk melakukan suatu kegiatan. Dalam kitab Fathul Qarib
menjelaskan mengenai delapan belas fardu salat yang salah satunya adalah
niat. Gerakan dan bacaan salat yang tidak disebutkan dalam fardu dihukumi
sunah. Fardu-fardu salat tersebut ditunjukkan oleh kutipan-kutipan berikut.
Kemudian dari itu maka wajib mengata Allāhu akbar, serta diniatkan
segala niat yang telah tersebut itu pada permulaan \takbiratulihram\.
Setelah itu maka sunah memaca wajjahtu wajhiya li `l-Lazī fathara `s-
samaawāti wa `l-ardla hanīfan musliman wa maa anā mina `l-
musyrikīn. Inna shalātī, wa nusukī wa mahyāya, wa mamāti li `l-lāhi
Rabbi `l-ālamīn. Lā syarīkalahu wa bizalika umirtu wa anā mina `l-
muslimīn. Kemudian dari itu maka sunah memaca doa a’ūzu bi `l-Lāhi
mina `syaithāni `r-rajīm. Kemudian dari itu maka wajib memaca
bismi `l-Lāhi `r-Rahmāni `r-Rahīm, al-hamdu li `l-Lāhi rabbi `l-
‘ālamīn hingga akhirnya. Kemudian dari itu maka sunah memaca
^ayat^. Kemudian dari itu maka rukuk serta berhenti dalamnya, maka
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
152
sunah memaca dalamnya subhāna rabbiya `l-azhīmi wa bi hamdi tiga
kali. Kemudian dari itu maka iktidal, yaitu bangkit daripada rukuk
kepada berdiri tegak serta berhenti dalamnya, Maka sunah memaca
dalamnya sami’a `l-Lāhu liman hamidah rabbanā laka `l-hamdu mil`a
`s-samawāti wa mil`a `l-`ardli wa mil`a māsyi`kta min syai`in b’adu.
Setelah itu maka sujud dengan tubuh lungkup dan berhenti dalamnya,
dan sunah ketika hendak sujud mengata Allāhu akbar, dan sunah
memaca dalam sujud itu subhāna rabbiya `l-a’lā wa bi hamdi. Setelah
itu maka bangkit kepada duduk antara dua sujud serta mengata Allāhu
akbar dan berhenti dalamnya, dan sunah memaca dalam duduk itu
rabbighfirlī warhamnī wajburnī warfa’nī warzuqnī wahdinī // wa
‘āfini wa i‘fuannī. Setelah itu maka sujud pula seperti yang dahulu.
Setelah itu maka bangkit pula kepada duduk istirahat. Maka dinamai
akan segala yang telah dikerja itu serakaat (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 8-9).
Kitab Fathul Qarib (al-Ghazy, Ibnu Qasim, 1992: 171) menjelaskan bahwa
rukun salat dirincikan menjadi delapan belas. Selain niat pada awal
melakukan salat, rukun-rukun tersebut adalah: berdiri bagi yang mampu,
takbiratulihram sambil mengucap Allāhu akbar, membaca fatihah, rukuk,
thuma’ninah (tenang sejenak) di dalam rukuk, bangun dari rukuk dan iktidal
dengan berdiri pada posisi semula bagi yang mampu, thuma’ninah di dalam
iktidal, sujud dengan menyentuhkan kening ke tempat sujudnya dua kali
dalam setiap rakaat, thuma’ninah di dalam sujud, duduk antara dua sujud
dalam setiap rakaat, thuma’ninah di dalam duduk antara dua sujud, duduk
akhir yang diiringi salam, membaca tahiyyat saat duduk akhir, doa selawat
kepada Nabi Muhammad Saw. setelah selesai membaca tahiyyat, salam
yang pertama, niat keluar dari salat, tertib.
Selesainya salat diakhiri dengan salam, setelah sebelumnya membaya
tahyat akhir pada rakaat terakhir salat. Pernyataan tersebut dibuktikan
dengan kutipan.
Kemudian sujud attahiyātu `l-mubārakatu `sh-shalawātu `th-
thayyibatu li `l-Lāh. Assalāmu ‘alaika ayyuha `n-nabiyyu wa rahnatu
`l-Lāhi wa barakātuh. Asslāmu ‘alainā wa ‘alā // ‘ibādi `l-Lāhi `sh-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
153
shālihīn. Asyhadu an lā ilāha illa `l-Lāh. Wa asyhadu anna
Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh. Allahumma shalli ‘alā Muhammad. Wa
‘alā āli Muhammad. Dan sunah menambah kamā shallaita ‘alā
Ibrāhīm. Wa ‘alā āli Ibrāhīm. Fi `l-‘ālamīna innaka hamīdummajīd.
Allahumma ighfirlī mā qaddamtu wa mā akhartu wa mā asrartu wa
mā a’lantu wa mā asraftu wa ammā anta a’lamu bihi minnī anta `l-
muqaddamu wa anta `l-muakhkharu lā ilāha illā anta, yā muqalliba
`l-qulūbi sabbit qalbī ‘alā dīnika, subhānaka innī kunta mina `zh-
zhālimīn. Allahumma innī zhalamtu nafsī zhulman kasīran wa lā
yaghfiru `zunūba illā anta fā ighfirlī maghfiratun min ‘indika wa
irhamnī innaka anta `l-ghafūru `r-rahīm. Setelah itu maka wajib
memberi salam yaitu As-salāmu’alaikum wa rahmatu `l-Lāh sekali
kanan hingga kelihatan punggung kanan serta meniatkan keluar
daripada sembahyang, dan jika ter[da] hulu niat itu daripada salam
niscaya batallah sembahyang (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 9-10).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa bacaan tahyat akhir dan salam
digunakan untuk mengakhirkan salat. Salam yang wajib dilakukan ketika
salat membuat keluarnya salat atau terkena hadas sebelum salam membuat
salat tidak sah.
Syarat mengenai salat di atas juga merupakan syarat-syarat yang juga
tertuang dalam Kifāyatu `l-‘Ibādah. Hal ini menunjukkan bahwa isi teks
yang membahas soal salat menganut mazhab Imam Syafii dan ajarannya
masih relevan hingga sekarang.
6. Salat Jumat
Hukum salat Jumat adalah fardu. Hal ini sesuai dengan kutipan
berikut, “Bermula sembahyang Jumat itu fardu ain atas tiap-tiap mukalaf
laki-laki dan perempuan yang merdehaka, lagi mukim pada negeri, lagi
sehat badan” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15).
Kutipan di atas didasarkan pada pendapat Imam Syafii mengenai
fardu salat Jumat. Hukum salat Jumat adalah fardu ain bagi muslim
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
154
mukalaf, laki-laki, sedang tidak dalam perjalanan, sehat, dan terbebas dari
uzur di luar salat Jumat (Zuhaili, 2012: 360). Pernyataan dalam teks
Kifāyatu `l-‘Ibādah mengandung kesesuaian dengan pendapat Imam Syafii
tersebut. Pendapat ini juga diperkuat dengan kutipan QS Al Jumu‟ah (62): 9
yang menjadi dalil naqli difardukannya salat Jumat.
Kifāyatu `l-‘Ibādah menuliskan petikan ayat dari QS al Jumu‟ah (62):
9 dalam kutipan.
Seperti firman Allah Taala, yāayyuha `l-ladzīna āmaū idzā nūdiya li
`sh-shalāti min yaumi `l-jumu’ati fas’au ilā zikri `l-Lāhi wa zaru `l-
bai’. Hai segala mereka itu yang percaya akan Allah, apabila mukmin
yang karena sembahyang pada hari Jumat, maka hendaklah kamu
pergi pada sembahyang tatkala itu tinggalkan olehmu berniaga
(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15).
Kutipan di atas menunjukkan nukilan QS Al-Jumu‟ah (62): 9 yang menjadi
dalil difardukannya salat Jumat. Kutipan ayat tersebut juga digunakan oleh
Imam Syafii sebagai dasar hukum salat Jumat. Zuhaili (2012: 360)
menjelaskan dalam kutipan berikut, “Wahai orang-orang yang beriman,
apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka
segeralah kalian mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” Kutipan di atas
merupakan terjemahan dari QS Al-Jumu‟ah (62): 9. Ayat tersebut dijadikan
dalil naqli untuk salat Jumat.
Salat Jumat memiliki tiga syarat wajib, yaitu: berada di daerah
pemukiman, dilaksanakan empat puluh orang atau lebih, dan sudah masuk
waktu salat. Syarat-syarat tersebut sesuai dengan kutipan, “Bermula syarat
wajib itu tiga perkara, pertama pada orang yang dalam negeri, kedua genap
empat puluh, ketiga sampai waktu” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
155
Mazhab Syafii mensyaratkan tiga hal dalam pelaksanaan salat Jumat.
Syarat pertama adalah berada di daerah pemukiman yang menyelenggarakan
salat Jumat, baik itu di kota ataupun desa. Syarat kedua adalah jumlah
jamaah minimal empat puluh orang, termasuk imam. Syarat terakhir adalah
salat Jumat tersebut dilaksanakan sesuai waktunya, yaitu ketika masuk
waktu Zuhur (Zuhaili, 2012: 363-365).
Kutipan di dalam naskah menunjukkan kesesuaian dengan pendapat
Imam Syafii mengenai syarat salat Jumat. Kesesuaian tersebut menunjukkan
bahwa Kifāyatu `l-‘Ibādah merupakan naskah fikih berdasarkan mazhab
Imam Syafii.
7. Salat Jenazah
Hukum salat jenazah adalah fardu kifayah yang dipersyaratkan dengan
empat takbiratulihram. Pernyataan ini dijelaskan dalam kutipan berikut.
Fasal pada menyatakan sembahyang mayit. Bermula sekurang-kurang
sembahyang mayit itu ushalli ‘alā hazihi `l-mayyti [arba’a takbirātin]
fardla `l-kifāyati makmūman li `l-Lāhi ta’ālā. Allahu akbar. Artinya
kusembahyangkan atas mayit ini fardu kifayah, kuikuti imam karena
Allah Taala. Kemudian dari itu maka memaca fatihah. Setelah selesai
daripada memaca fatihah maka takbir sekali. Setelah itu maka
memaaca Allahumma shalli ‘alā Muhammadin wa ‘alā āli
Muhammadin. Setelah itu maka takbir sekali. Setelah itu maka maka
memaca Allahumma arhamhu Allahumma ighfirlahu. Setelah itu maka
takbir sekali. Setelah itu maka memaca Allahumma lā tahrimnā //
ajrahu wa lā taftinnā ba’dahu wa ighfirlanā wa lahu. Setelah itu maka
memberi salam yaitu Assalāmu ‘alaikum wa rahmatu `l-Lāh. Serelah
itu maka sunah memaca Allahumma ij’al qabrahu raudlatan min
riyādli `l-jannāti wa lā taj’al hafrahu min hafrati `n-nīrāni wa shalla
`l-Lāhu ‘alā khairi khalqihi Muhammadin wa ālihi wa shahbihi
ajma’īn, bi rahmatika yā arhama `r-rāhimīn (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15-
16).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
156
Imam Syafii menjelaskan bahwa rukun salat jenazah meliputi: niat, empat
kali takbir, membaca Alfatihah, membaca selawat nabi, mendoakan jenazah,
berdiri bagi yang mampu, sera mengucapkan salam setelah takbir keempat.
Niat salat jenazah tidak memerlukan penyebutan nama jenazah secara
spesifik. Mendoakan jenazah diberi batasan minimal yaitu memohon
ampunan dan rahmat bagi si mayit (Zuhaili, 2012: 419-420). Kutipan di atas
menjelaskan bahwa urut-urutan salat mayit adalah niat, takbir, membaca
alfatihah, takbir, membaca selawat nabi, takbir, membaca Allahumma
arhamhu Allahumma ighfirlahu, takbir, membaca Allahumma lā tahrimnā
ajrahu wa lā taftinnā ba’dahu wa ighfirlanā wa lahu, terakhir adalah salam.
Doa-doa yang tercantum di dalam teks adalah doa yang dipersyaratkan
minimal dalam fikih Imam Syafii. Oleh karena itu, teks tersebut ditulis
berdasarkan ajaran fikih Imam Syafii.
8. Puasa
Puasa memiliki tiga syarat wajib, yaitu: balig, berakal, dan mampu
untuk berpuasa, syarat-syarat wajib tersebut sesuai dengan kutipan,
“Bermula yang menfardukan puasa itu tiga perkara, pertama islam, kedua
akil, ketiga kuasa ia puasa (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 16). Syarat-syarat tersebut
tertuang dalam fikih Imam Syafii. Zuhaili (2012: 483) menyatakan bahwa
puasa adalah kewajiban bagi orang berakal, balig, islam, dan mampu.
Orang-orang kafir, gila, dan orang tua yang dianggap tidak mampu tidak
diwajibkan untuk berpuasa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
157
Puasa memiliki tujuh syarat sah. Ketujuh syarat tersebut dijelaskan
dalam kutipan.
Bermula syarat sah puasa itu tujuh perkara, pertama niat pada tiap-tiap
malamnya, kemudian daripada masuk matahari dahulu daripada fajar.
Dan lafal niat ashūmu ghadan min adā`i fardli ramadlāni hāzihi `s-
sanati li `l-Lāhi ta’ālā. Aku puasa esok hari daripada memeri fardu
ramadan pada tahun ini karena Allah Taala. Dan sebagian \dibaca\
pada malam yang pertama ashūmu `sy-syahran ‘an ramadlāna
kullahu. Aku puasa esok hari sebulan daripada bulan ramadan
sekalinya tetap tiada niat itu lain daripada malam yang pertama, kedua
menahan diri daripada jamah dan mengeluarkan mani jikalau dengan
tangan sekalipun, ketiga menahan diri daripada sengaja muntah,
keempat menahan diri daripada memasukkan suatu benda ke dalam
segala batin jikalau sedikit sekalipun, kelima menahan diri daripada
murtad, keenam suci daripada haid, dan nifas, dan beranak // daripada
hari itu, ketujuh menahan diri daripada hilang akal (Kifāyatu `l-
‘Ibādah: 16-17).
Puasa memiliki tujuh syarat sah. Ketujuh syarat tersebut adalah: pertama
niat puasa setiap hari, kedua menahan diri dari hubungan intim atau
mengeluarkan sperma, ketiga menghindari muntah secara sengaja, keempat
mencegah masuknya benda ke dalam lubang tubuh, kelima islam, keenam
suci dari haid dan nifas, ketujuh berakal sempurna (Zuhaili, 2012: 486-488).
Pendapat tersebut sesuai dengan yang tertera di dalam teks Kifāyatu `l-
‘Ibādah. Hal ini menunjukkan bahwa teks dituliskan berdasarkan fikih
mazhab Imam Syafii.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id