19
67 Bab IV Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru Bab ini merupakan pemaparan hasil penelitian lapangan berupa temuan empiris tentang bagaimana peranan para agen perubahan yang mampu menginspirasi dan memotivasi masyarakat desa Tlogoweru sehingga terjadi proses pemberdayaan masyarakat yang dapat menghasilkan kemajuan dalam pembangunan masyarakat mereka. Adapun kemajuan pembangunan tersebut berupa: Pertama, peningkatan kesejahteraan material (ekonomi) yang dihasilkan dari meningkatnya pendapatan hasil pertanian melalui tersedianya pengairan bagi tanah persawahan yang dihasilkan dari pembangunan sumur-sumur pantek, terkendalinya wabah tikus melalui penangkarangan burung Tyto Alba, dan berhasilnya pengembangan peternakan sapi. Kedua, peningkatan kesejahteraan non-material berupa meningkatnya rasa percaya diri yang lebih baik, semakin eratnya hubungan antar warga, serta semakin banyaknya warga desa, khususnya para ibu rumah tangga, yang terlibat dalam kegiatan sosial maupun usaha. Dengan demikian, bab ini diharapkan akan dapat dijadikan rujukan bagi siapa saja yang berkehendak melakukan proses pendekatan dan memotivasi masyarakat agar berpartisipasi dalam pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat dengan efektif. Memperkenalkan Para Agen Perubahan Sebagaimana telah dipaparkan di bab II, bahwa keberhasilan suatu pembangunan masyarakat yang efektif tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan ditentukan oleh tingkat partisipasi

Bab IV Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13095/4/D_902007005_BAB IV.pdf · masing kelompok pertanian, maka barulah proposal

Embed Size (px)

Citation preview

67

Bab IV

Peranan Para Agen Perubahan

dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa

Tlogoweru

Bab ini merupakan pemaparan hasil penelitian lapangan berupa

temuan empiris tentang bagaimana peranan para agen perubahan yang

mampu menginspirasi dan memotivasi masyarakat desa Tlogoweru

sehingga terjadi proses pemberdayaan masyarakat yang dapat

menghasilkan kemajuan dalam pembangunan masyarakat mereka.

Adapun kemajuan pembangunan tersebut berupa: Pertama,

peningkatan kesejahteraan material (ekonomi) yang dihasilkan dari

meningkatnya pendapatan hasil pertanian melalui tersedianya

pengairan bagi tanah persawahan yang dihasilkan dari pembangunan

sumur-sumur pantek, terkendalinya wabah tikus melalui

penangkarangan burung Tyto Alba, dan berhasilnya pengembangan

peternakan sapi. Kedua, peningkatan kesejahteraan non-material

berupa meningkatnya rasa percaya diri yang lebih baik, semakin

eratnya hubungan antar warga, serta semakin banyaknya warga desa,

khususnya para ibu rumah tangga, yang terlibat dalam kegiatan sosial

maupun usaha. Dengan demikian, bab ini diharapkan akan dapat

dijadikan rujukan bagi siapa saja yang berkehendak melakukan proses

pendekatan dan memotivasi masyarakat agar berpartisipasi dalam

pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat dengan efektif.

Memperkenalkan Para Agen Perubahan

Sebagaimana telah dipaparkan di bab II, bahwa keberhasilan

suatu pembangunan masyarakat yang efektif tidak terjadi dengan

sendirinya, melainkan ditentukan oleh tingkat partisipasi

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

68

masyarakatnya sehingga pemberdayaan masyarakatnya dapat berjalan

dengan efektif pula. Dan tingkatan partisipasi masyarakat tersebut

ditentukan oleh peranan dari para agen perubahan dalam hal

menginspirasi, memotivasi dan menggerakkan masyarakat untuk

berpartisipasi dalam proses pembangunan masyarakat setempat yang

digerakkan oleh para agen perubahan untuk melakukan segala upaya

sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat. Hal ini sesuai dengan

pemahaman Nasution (1990:37) yang menyatakan bahwa para agen

perubahan adalah perseorangan atau kelompok orang yang berpotensi

menggerakkan partisipasi masyarakat untuk terlaksananya suatu

perubahan sosial atau suatu pembangunan yang terencana. Soekanto

(1992:273) lebih lanjut menyatakan bahwa seorang agen perubahan

yang efektif adalah seorang agen perubahan yang mampu menciptakan

sikap kepercayaan (trust) dalam diri anggota masyarakat, sehingga ia

dapat berperan sebagai mitra dari masyarakat setempat dalam

pembangunan dalam rangka perencanaan dan pengimplementasian

suatu perubahan-perubahan pada suatu kelompok masyarakat atau

organisasi masyarakat dimana ia berada dengan cara mempengaruhi

masyarakat tersebut melalui sistem yang terbuka, teratur dan

direncanakan. Dengan demikian para agen perubahan merupakan

individu atau kelompok orang yang menginspirasi terjadinya suatu

rekayasa sosial (social engineering), dengan kata lain, seorang agen

perubahan dapat pula disebut sebagai seorang perencanaan perubahan

masyarakat atau (social change planning).

Dalam kasus desa Tlogoweru, para agen perubahan adalah

terdiri dari dua kelompok utama; Kelompok pertama adalah kelompok

internal, yakni tim kerja yang terdiri dari para staf kantor

pemerintahan desa dibantu dengan beberapa anggota masyarakat desa

Tlogoweru yang diwakili oleh bapak Soetedjo selaku Kepala Desa.

Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok eksternal, yakni tim

pelayanan (kerja) dari Persekutuan Doa Putri Sion di Semarang yang

diwakili oleh ibu Elisabeth Philip.1 Sebelum bulan Agustus tahun 2008,

pak Soetedjo sama sekali tidak mengenal sosok pribadi ibu Elisabeth

1 Identitas secara detail personil dari kedua kelompok ini telah diungkapkan di Bab III.

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

69

Philip demikian sebaliknya. Namun dari sejak adanya perkenalan

tersebut dan melalui silahturami yang sering mereka adakan dalam

rangka untuk mendiskusikan persoalan pembangunan masyarakat dan

merencanakan pembangunan masyarakat desa Tlogoweru, maka kedua

agen perubahan ini bersama dengan anggota kelompok mereka (tim

kerja) mampu berperan sebagai penggerak dari partisipasi masyarakat

desa Tlogoweru melalui pemberdayaan masyarakat yang mereka

lakukan dengan efektif.

Dari catatan penelitian dalam rangka penulis ikut serta

berkunjung sebagai rekan pelayanan ibu Elisabeth maupun dalam

rangka melakukan penelitian sejak Maret 2009 di desa Tlogoweru,

penulis dapat memberi gambaran bahwa sosok kepribadian dari pak

Soetedjo dan ibu Elisabeth secara natural merupakan dua pribadi yang

memiliki kesamaan dalam hal kemampuan berinteraksi dengan orang

lain secara intuitif melalui keterbukaan diri, yakni kemampuan intra-

personal intuitif. Kemampuan ini terlihat dari sifat keterbukaan

mereka yang sederhana apa adanya dengan mengesampingkan

perbedaan agama maupun suku di antara mereka. Sebagai contoh, Pak

Soetedjo seringkali tanpa ada sekat sosial apapun dengan leluasa

mengucapkan kata “Shalom” dengan polos dan santun, demikian pula

ibu Elisabeth sering pula memakai kata “Assalamulaikum” sebagai

ungkapan saling sapa baik di antara mereka maupun di antara anggota

tim kerja. Bahkan acap kali ibu Elisabeth diminta menaikkan doa

secara iman Kristiani secara terbuka di acara-acara pertemuan yang

dihadiri oleh para anggota masyarakat desa Tlogoweru. Kemampuan

yang menonjol lainnya dari kedua agen perubahan ini, yakni pak

Soetedjo dan bu Elisabeth, yang penulis perlu kemukakan adalah

adanya sikap saling percaya yang terjalin di antara mereka sehingga

menular kepada para anggota tim kerja dari kedua kelompok agen

perubahan ini. Sebagai contoh, kepercayaan dari pak Soetedjo kepada

ibu Elisabeth bahwa misi pelayanan Persekutuan Doa Putri Sion

bukanlah misi keagamaan melainkan misi pelayanan sosial yang

bertujuan untuk pengembangan masyarakat agar dapat hidup lebih

sejahtera lahir dan batin, demikian pula kepercayaan ibu Elisabeth

secara totalitas kepada pak Soetedjo bahwa beliau memiliki komitmen

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

70

dan integritas dalam mengelola setiap jumlah dana bantuan untuk

pembangunan dengan tepat guna dan dapat dipertanggung jawabkan.

Tahapan Awal Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat

Desa Tlogoweru

Semenjak pertama kali melakukan kunjungan ke desa

Tlogoweru dalam rangka pelayanan sosial pada bulan Agustus 2008,

ibu Elisabeth amat antusias untuk menjalin kerjasama dengan pihak

pemerintah desa, dalam hal ini dengan pak Soetedjo selaku Kepala

Desa. Menurut pengakuan dari ibu Tantio maupun pak Hizkiah Totok

selaku anggota tim Persekutuan Doa Putri Sion yang juga ikut serta

dalam kunjungan awal ke desa Tlogoweru menyatakan bahwa

ketertarikan ibu Elisabeth untuk menyediakan dana maupun bantuan

teknis bagi usaha-usaha pembangunan masyarakat desa Tlogoweru

didasarkan pada dua alasan mendasar. Pertama, adanya kenyataan atas

terpuruknya perekonomian masyarakat desa yang disebabkan sangat

minimnya setiap hasil panen pertanian yakni hanya sekitar 3-4 ton di

tiap tahunnya, kondisi jalan akses ke desa yang amat jelek serta tidak

adanya sarana pembinaan bagi masyarakatnya. Alasan lainnya adalah

sikap dari para pemuka masyarakat, dalam hal ini para tokoh

masyarakat maupun tokoh agama yang dengan keterbukaan hati mau

menerima kehadiran ibu Elisabeth walaupun berbeda agama dan suku.

Sikap keterbukaan ini nampaknya dimanfaatkan oleh ibu Elisabeth

sebaik mungkin untuk menawarkan kerjasama dalam pelayanan sosial

untuk pembangunan masyarakat desa Tlogoweru. Maka sebagai

langkah konkritnya, ibu Elisabeth pada pertengahan September 2008

mengajak pak Soetedjo bersama dengan para pemimpin masyarakat

desa Tlogoweru untuk mengadakan pertemuan untuk berdialog

tentang bagaimana melakukan kerjasama untuk mengatasi masalah

hasil panen yang selama ini amat minim dan bagaimana

memberdayakan anggota masyarakat desa Tlogoweru agar memiliki

ketrampilan-ketrampilan yang dapat membantu pengembangan

ekonomi keluarga.

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

71

Bab ini hanya menyajikan tahapan awal bagaimana ibu

Elisabeth besama dengan pak Soetedjo melakukan peran mereka

sebagai agen perubahan untuk menggerakkan masyarakat desa

Tlogoweru untuk berpartisipasi secara aktif sehingga terjadi

pemberdayaan masyarakat yang berhasil dalam pengembangan

pertanian, penanggulangan hama tikus dan pengembangan pertenakan

sapi. Sedangkan tahapan pemberdayaan masyarakat dalam

pengembangan ketrampilan praktis bagi masyarakat desa Tlogoweru

akan diutarakan pada bab berikutnya.

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pembuatan Sumur-

Sumur Pantek

“Kami setiap tahun hanya berhasil memanen padi hanya sekitar

3 sampai 4 ton pertahunnya, dan sebagian besar berkualitas kurang

baik, sehingga harga jualnya rendah” demikian ungkap pak Soetedjo

pada pertemuan di bulan Agustus 2008. Dari pertemuan tersebut

disimpulkan bahwa penyebab utama dari minimnya hasil panen

pertanian adalah tidak adanya debit air yang memadai untuk pengairan

ke tanah persawahan para petani, kemudian adanya serangan hama

tikus yang ganas di setiap musim panen, serta kurang tersedianya

pupuk yang baik karena banyaknya beredar pupuk yang palsu.

Pembahasan tentang pencarian solusi terhadap masalah

pengairan tanah persawahan tersebut di atas ditindaklanjuti dengan

pertemuan pada Oktober 2008 yang dihadiri oleh pak Soetedjo selaku

kepala desa, pak Kyai Achmad selaku pemuka agama bersama dengan

tiga orang pemimpin lainnya dengan ibu Elisabeth, pak Hizkia Totok

bersama empat orang ibu selaku anggota Persekutuan Doa Putri Sion di

Semarang2 dan menghasilkan usulan pembuatan sumur pantek sebagai

pemecahan masalah kebutuhan pengairan tanah pertanian. Maka

sebagai pilot project, Ibu Elisabeth memberi sumbangan dana awal

sebesar lima juta rupiah untuk pembuatan sebuah sumur pantek. Pak

2 Lihat di Bab III.

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

72

Soetedjo bersama dengan pak Pujo Arto selaku ketua kelompok tani

Tulodo Makaryo segera melakukan koordinasi untuk pembuatan

sumur yang dimaksud. Pembuatan sumur perdana tersebut ternyata

membuahkan hasil yang memuaskan sehingga mampu mengairi sekitar

dua lahan tanah pertanian. Keberhasilan ini menimbulkan semangat

dari para pemuka desa dan petani untuk bangkit dari kelesuhan hasil

panen padi dan jagung yang selama ini mereka alami. Sebagai tindak

lanjut dari keberhasilan tersebut, Pak Soetedjo melaporkan hal ini

kepada ibu Elisabeth. Setelah mengadakan pembicaraan tentang

rencana kelanjutan pembuatan sumur-sumur berikutnya, baik melalui

hubungan telepon maupun kunjungan singkat di kantor pak Soetedjo,

maka sekitar sebulan kemudian, dimulailah proyek dengan target

pembuatan 200 buah sumur pantek hingga tahun 2013 untuk

pengairan area sawah pertanian seluas 225.2 ha (77,25%) dengan

bantuan dana sebesar seratus juta rupiah dari para donatur yang

dikoordinir oleh ibu Elisabeth bersama tim Persekutuan Putri Sion

Semarang.

Sumber: arsip Soetedjo

Gambar 4.1 Profil sumur sawah pantek

Adapun proses pembangunan sumur-sumur pantek di desa

Tlogoweru adalah dimulai dengan penyampaian perencanaan oleh pak

Soetedjo selaku Kepala Desa pada pertemuan-pertemuan rutin pada

hari Jumat di depan kantor desa dan pada pertemuan khusus para

pemimpin masyarakat yang terdiri dari perwakilan kelompok wanita,

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

73

pemuda bahkan remaja. Dengan demikian program-program

pemberdayaan masyarakat tersebut mendapat respon posititf berupa

partisipasi masyarakat secara aktif mulai dari para pemimpin desa

tingkat pemerintahan, keagamaan, dan para petani sehingga

pemberdayaan masyarakat dapat terlaksana dengan efektif. Fenomena

sosial ini tanpa disadari terjadi sesuai dengan kajian teori

pemberdayaan masyarakat yang telah diutarakan oleh Dubois dan

Miley (1992:211-217) bahwa karaktersitik dari suatu usaha

pemberdayaan masyarakat yang efektif adalah; Pertama, terbangunnya

suatu relasi sosial berupa rasa saling tolong menolong yang

merefleksikan respon empati sosial, yaitu menghargai pilihan dan hak

anggota masyarakat dalam menentukan nasibnya sendiri (self-determination), menghargai perbedaan dan keunikan individu, dan

menekankan kerjasama dengan masyarakat (client participation).

Kedua, terjalinnya komunikasi dari anggota masyarakat yang

melahirkan sikap saling menghormati, sikap yang menjunjung

martabat dan harga diri masyarakat dengan mempertimbangkan

keragaman individu, yaitu dengan berfokus pada kepentingan anggota

masyarakat, dan upaya-upaya menjaga kerahasiaan pribadi dari setiap

anggota masyarakat. Ketiga, keterlibatan dua pihak, yaitu para agen

perubahan dan para pemimpin masyarakat dalam upaya pemecahan

setiap masalah sosial yang terjadi, sehingga memperkuat partisipasi

masyarakat dalam setiap aspek sodial untuk menuntaskan proses

pemecahan masalah, menghargai hak-hak masyarakat, menanggapi dan

meresponi tantangan-tantangan sebagai kesempatan belajar dan

bertumbuh, dan melibatkan masyarakat dalam setiap pembuatan

keputusan dan evaluasi proyek. Dengan kata lain, pemberdayaan

masyarakat dan partisipasi masyarakat di desa Tlogoweru dapat terjadi

adalah disebabkan dari keefektifan komunikasi yang dilakukan oleh

para pemimpin masyarakat dan agen perubahan, dalam hal ini pak

Soetedjo selaku kepala desa yang mewakili kepentingan masyarakat

dan ibu Elisabeth selaku agen perubahan. Ibu Elisabeth sendiri sejak

dari awal tidak pernah mendikte tentang bagaimana seharusnya

melaksanakan proyek pembuatan sumur-sumur pantek, melainkan

cukup mempercayakan sepenuhnya pada kebijakan dari pak kades

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

74

Soetedjo dan rekan-rekan pemimpinan desa lainnya. Yang ditekankan

oleh ibu Elisabeth adalah kejujuran, ketulusan dan kesungguhan. Hal

ini dibenarkan oleh Pak Pujo Arto selaku kepala kelompok tani yang

menyatakan bahwa sistem hubungan kerja yang dibangun oleh bu

Elisabeth di desa Tlogoweru adalah sistem partisipatif kemasyarakatan.

Berikut penuturannya,

“saya melihat cara kerja bu Elis itu semua orang harus terlibat dan siapa yang mau didorong untuk berusaha dan mampu melakukannya. Seperti proyek pembangunan sumur-sumur ini merupakan ide dan dukungan dana dari ibu Eliz, tapi yang memikirkan dan menjalankan pembuatannya adalah dari kami anggota kelompok tani” (wawancara, 13 Maret 2012)

Prinsip yang amat ditekankan dalam pelaksanaan proyek

pembuatan sumur-sumur yang dimulai tahun 2008 hingga tahun 2015

adalah melalui perencanaan pembangunan masyarakat yang dilandasi

oleh permusyawaratan antar petani yang dikoordinir oleh ketua

kelompok-kelompok tani, dan setelah mendapat masukan tentang

aspirasi, kebutuhan dan kendala-kendala yang dialami oleh masing-

masing kelompok pertanian, maka barulah proposal diajukan kepada

pak kades Soetedjo dalam suatu pertemuan desa yang biasanya

dilakukan setiap hari Jumat sehabis sholat jumat bersama di rumah pak

kades atau di kantor kepala desa. Dari usulan dan proposal kebutuhan

akan sumur-sumur inilah, kemudian pak kades Soetedjo menelpon ibu

Elisabeth atau ia sendiri datang ke desa Tlogoweru untuk

membicarakan tentang proposal tersebut, apabila ibu Elisabeth

kebetulan tidak bisa berkunjung ke Tlogoweru, bisa disampaikan

melalui pak Robby Trijono atau pak Leo Hutagaol selaku perwakilan

ibu Elisabeth yang hampir setiap hari Jumat datang untuk memantau

atau menerima informasi tentang proyek pengembangan masyarakat

yang sedang berlangsung. Dari penelitian tentang proses tersebut,

penulis dapat menyimpulkan bahwa keberhasilan pembangunan

sumur-sumur pantek merupakan akibat dari cara pak kades Soetedjo

dan ibu Elisabeth yang menekankan pada partisipasi masyarakat

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

75

sehingga pemberdayaan masyarakatnya dapat efektif (Theresia 2014:

97-101).

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pembudidayaan Burung

Tyto Alba

Kesuksesan hasil panen tanaman padi dan jagung sebagai hasil

upaya pembuatan sumur-sumur pantek untuk sumber pengairan

persawahan desa Tlogoweru ternyata belum secara tuntas

menyelesaikan keresahan hati dalam diri para petani dan pak kades

Soetedjo beserta dengan segenap jajaran perangkat desa, karena hama

tikus masih merupakan monster pengancam yang setiap saat sanggup

melahap dan memusnah-kan hasil panen dalam hitungan hari setelah

masa panen tiba. Wabah hama tikus (Rattus argentiventer) yang ganas

sudah menjadi jadwal ancaman rutin bagi penduduk desa Tlogoweru

yang 90% anggota masyarakatnya adalah mengandalkan pertanian

sebagai sumber utama mata pencarian mereka. Tercatat dalam catatan

kegiatan yang ada di kantor desa Tlogoweru (data Bapermades, 2013)

bahwa sejak tahun 1980, segenap perangkat desa dan masyarakat desa

Tlogoweru telah mengupayakan segala cara dan teknik metode untuk

pembasmian atau setidaknya meminimalisir efek wabah hama tikus

yang selalu melahap hasil pertanian hingga 60% dan tidak jarang

hingga mencapai 80% dari hasil tanaman padi dan jagung pada setiap

musim panen tiba. Upaya-upaya pemberantasan tikus yang sudah

pernah dilakukan antara lain; gropyokan, penyebaran racun, bom

tikus, pengasapan, perangkap, obat-obat pestisida, pemasangan seng

mengitari areal tanaman persawahan, hingga metode lomba

penyetoran ekor-ekor tikus berhadiah. Namun dalam kenyataannya

semua teknik cara-cara ini ternyata tidak efektif dan dinilai

memboroskan tenaga maupun dana karena tikus-tikus di daerah

persawahan desa Tlogoweru mampu berpopulasi diri dengan amat

cepat, beranak kurang dari 2 bulan dan mampu melahirkan minimal 6

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

76

ekor anakan/per-ekor induk tikus. Populasi sepasang tikus bisa

mencapai 2048 ekor dalam setahun.3

Namun sejak adanya implementasi penangkaran, pembiakan

dan pendayagunaan burung Tyto Alba (burung hantu serak jawa)

sebagai predator tikus yang dimulai sekitar akhir tahun 2011,

masyarakat pertanian desa Tlogoweru mulai bisa bernafas lega, karena

hama tikus telah berhasil mereka tekan dengan amat efektif sehingga

tingkat kerugian hanya sekitar 2% saja. Hal ini dimungkinkan oleh

karena burung Tyto Alba memiliki kemampuan berburu sangat tinggi

yang memiliki kemampuan memangsa tikus hingga 2-3 ekor tikus

dewasa dalam seharinya bahkan lebih jika populasi tikus bertambah.

Dari perhitungan kasar oleh pak Pujo Arto sebagai ketua tim

penangkaran Tyto Alba, setiap pasangan burung Tyto Alba dalam

setiap tahunnya jika mendapat tempat habitat yang baik akan mampu

memangsa sekitar 7.200 ekor tikus. Burung Tyto Alba merupakan jenis

burung cepat beradapatasi dengan lingkungan barunya baik didataran

rendah maupun di dataran tinggi, itulah sebabnya burung Tyto Alba

tidak mudah mengalami stress seperti jenis burung lainnya apabila

dipindahkan ke tempat habitat baru. Burung Tyto Alba relatif cepat

berkembang biak, dalam satu tahun rata-rata bertelur hingga 2-3 kali

sebanyak 5-10 butir telur per-burungnya. Kemampuan berburu mereka

sesuai dengan keunikan indera penglihatan dari burung ini yang

memiliki daya penglihatan yang amat tajam di malam hari yang

mampu menangkap setiap gerakan tikus hingga jarak 500 meter. Sebab

itu, keberadaan burung Tytto Alba merupakan andalan masyarakat

desa Tlogoweru dalam pemberantasa wabah hama tikus, sebagaimana

diutarakan oleh pak kades Soetedjo dengan menjelaskan bahwa,

“Sebelum ada burung Tyto Alba, petani hanya memanen jagung sekitar 3,3 ton dan padi sekitar 3,2 ton per hektare. Setelah ada burung hantu, petani di Tlogoweru dapat memanen jagung dan padi masing-masing hingga 7 ton dan 9 ton untuk jagung. Pendapatan petani dari panen padi yang semula hanya Rp11,55 juta per hektare meningkat

3 Olah data dari catatan observasi dan wawancara, 24 September 2012 dan 19 Februari 2013)

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

77

menjadi Rp. 23,1 juta per hektare.” (wawancara, 13 Agustus 2013)

Bertolak dari keefektifan predator burung Tyto Alba tersebut,

desa Tlogoweru diidentikan sebagai desa “burung hantu.” Dalam

rangka hendak ikut serta dalam suatu acara pertemuan ibu Elisabeth

dan beberapa perangkat desa Tlogoweru untuk membahas rencana

penambahan rumah burung hantu (rubuha), penulis pada pertengahan

bulan Agustus 2013 berangkat sendirian dan mengalami salah jalan,

ketika bertanya seorang penduduk yang dapat penulis temui dan

bertanya tentang arah ke desa Tlogoweru, dengan spontan penduduk

tersebut mengatakan, “O, desa burung hantu ya.” Maka tidaklah

berlebihan apabila hingga saat ini lambang burung Tyto Alba menjadi

ikon dari kemajuan pembangunan masyarakat desa Tlogoweru. Suatu

jenis burung yang dahulunya amat ditabukan dan ditakuti oleh

masyarakat, tapi pada masa kini justru dipelihara dan didayagunakan

untuk kepentingan pengembangan usaha pertanian masyarakat.

Proses pengembangan dan pembudidayaan burung Tyto Alba

berawal dari sebuah informasi tentang adanya predator hama tikus

berupa burung Tyto Alba yang telah dilakukan di dusun Munggur,

desa Giriharjo, kecamatan Ngrambe, kabupaten Ngawi melalui

penelusuran situs internet oleh pak Hizkia Totok dan pak Sumanto.4

Penemuan informasi ini setelah disampaikan kepada pak

Seotedjo selaku kepala desa dan ketua kelompok tani Tulodo Makaryo,

yaitu pak Pujo. Maka muncullah suatu ide agar beberapa dari antara

anggota kelompok tani bisa melakukan studi banding dan belajar

tentang pendayagunaan burung Tyto Alba di dusun Munggu, Ngrambe

sesuai dengan info yang mereka dapatkan. Ide tersebut mendapat

dukungan dari ibu Elisabeth. Maka sebagai tindaklanjutnya, pak

Soetedjo membentuk satu tim untuk melakukan pembelajaran dan

pelatihan tentang burung Tuto Alba secara terpadu di dusun Munggur,

desa Giriharjo, kecamatan Ngrambe, Ngawi. Dan pada 23 Maret 2011

4 Hal ini dimungkinkan karena sebagaimana telah diutarakan dalam Bab IV, desa Tlogoweru telah memiliki SDM dalam ketrampilan komputer dan internet melalui pelatihan di LPKS.

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

78

selama tiga minggu, tim dari desa Tlogoweru yang terdiri dari; pak

Soetedjo, pak Sumanto, pak Pujo Arto, pak Winarto, pak Suwardi, pak

Jumari, dan pak Supadi mendapat pengetahuan dasar tentang burung

Tyto Alba serta pelatihan singkat di lapangan tentang bagaimana

melakukan penangkaran, pembiakan dan pendayagunakan burung

Tyto Alba yang dipandu oleh pak Jumangin. Sepulang dari Ngrambe,

pak kades Soetedjo membentuk tim Tyto Alba dengan komposisi

personel sebagai berikut:

Pengurus Harian Tim Tyto Alba

Pelindung : Kepala Desa

Pembina : Soetedjo & Elisabeth Philip

Ketua : Pujo Arto

Sekretaris : Sumanto

Bendahara : Sri Suwarti

Tim Lapangan Tyto Alba

Karantina : Pujo Arto, Eko Sudibyo

Rubuha : Sumarto

Populasi : Sanipan

Pakan : Kasmudi, Mulyadi

Pemandu Lapangan : Djamiman

Keamanan : Supriyadi

Konsumsi : Jumiati

Gedung : Sundarni

Transportasi : Djaiman, Suwardi

Peralatan : Erik

IT : Sumanto, Jumari

Sebagai tindaklanjutnya, selama lebih kurang dari enam bulan,

anggota tim Tyto Alba secara swabelajar berdasarkan pengetahuan

dasar tentang burung Tyto Alba yang mereka dapatkan dari pelatihan

di Ngrambe terus berusaha melakukan penelitian tentang karaktersitik

tentang natur, ciri umum biologis, serta segala hal yang berkenan

dengan kemampuan burung Tyto Alba. Salah satu di antara anggota

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

79

tim yang paling interesan dan proaktif dalam pengembangan burung

Tyto Alba adalah pak Pujo Arto.

Penulis pada masa awal pendampingan sekitar pertengahan

tahun 2011 dan selama proses pengembangan dan penangkaran

burung Tyto Alba sering menyaksikan bagaimana pak Pujo dalam

perjuangannya untuk usaha pengembangan ini mulai dari anakan

hingga dewasa burung Tytto Alba, bahkan beberapakali mengalami

pagutan dari paruh Tyto Alba yang amat tajam sehingga melukai

tangannya beberapa kali. Dengan bersusah payah pak Pujo terus

mempelajari mulai dari mencari, menangkap burung Tyto Alba,

kemudian memeliharanya hingga beberapa burung Tyto Alba mulai

bertelor dan menetaskan anak-anak burung Tyto Alba. Dari

pengalaman dan pembelajaran yang mulai menampilkan hasil tersebut,

pak Pujo akhirnya memiliki kepercayaan diri untuk bisa membangun

kepercayaan diri tim Tyto Alba untuk meneruskan usaha

pengembangan dan pemberdayaan tersebut.

Proses awal pengembangan dan pemberdayaan burung Tyto

Alba mengalami kendala yang tidak sedikit, hal ini nampak misalnya,

ketika keberadaan burung-burung Tyto Alba pertama kali

disosialisasikan kepada masyarakat desa Tlogoweru, tim Tyto Alba

mendapati kesangsian bahkan penolakkan dari sebagian besar anggota

masyarakat dari kelompok-kelompok tani maupun anggota masyarakat

kebanyakan, karena menganggap burung Tyto Alba juga akan

memangsa ayam, burung, serta hewan unggas peliharaan mereka

lainnya. Maka untuk menjelaskan dan membuktikan kepada

masyarakat luas bahwa burung Tyto Alba hanyalah burung pemangsa

tikus, ditempuhlah dengan cara membuat kandang karantina tempat

penangkaran burung Tyto Alba yang dibangun di sekitar areal tanah di

depan rumah pak Pujo. Adapun ukuran kandang karantina adalah 6x12

meter dengan ketinggian mencapai sekitar 10 meter yang biaya

pembangunanya didapat dari tim ibu Elisabeth sebesar Rp.70 juta. Pak

Manto, petani sekaligus penggerak pemuda desa Tlogoweru,

menjelaskan bahwa biaya perawatan, terutama pakan, burung Tyto

Alba selama penangkaran atau hingga umur 300 hari mencapai Rp

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

80

1,250 juta. Dan agar mengurangi biaya pakan tersebut, tim Tyto Alba

dan kepala desa menggalakkan gerakan penyediaan makanan burung

hantu secara sukarela. “Setiap warga yang menemukan tikus di rumah

atau sawah diharapkan menyerahkannya ke penangkaran (burung Tyto

Alba). Hal itu bisa menghemat biaya perawatan hingga 90 persen,” kata

pak Manto.

Sumber: Yusuf

Gambar 5.2 Kandang Karantina Penangkaran Burung & Rubuha Tyto Alba

Cara yang ditempuh oleh tim Tyto Alba untuk melakukan

pengujian sekaligus pembuktian tentang sepak terjang pola kehidupan

burung-burung Tyto Alba kepada masyarakat adalah dengan cara

hewan-hewan peliharaan yang berhabitat disekeliling rumah-rumah

penduduk yang dimasukkan untuk menghuni kandang karantina, yaitu

hewan-hewan yang terdiri dari berbagai jenis hewan peliharaan

domestik (domestic animals), antara lain; satu hingga tiga ekor ayam,

itik, bebek, burung dara, ada kolam ikan kecil, tikus dan tentunya

burung Tyto Alba.

Setelah melakukan pengamatan dengan seksama sekitar 3

hingga 4 minggu, anggota masyarakat mendapati fakta lapangan bahwa

ternyata burung-burung Tyto Alba hanya memangsa dan memakan

tikus-tikus yang ada atau hanya mau makan jika tikus yang dijadikan

umpan yang disediakan di sekitar paguponnya. Berbekal hasil dari

pengamatan dan pengetahuan sederhana ini, sebagian besar anggota

masyarakat mulai memiliki kepercayaan diri agar tim Tyto Alba segera

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

81

mengimplementasikan program pembasmian wabah tikus dengan

burung Tyto Alba sebagai predatornya. Maka dimulailah pemasangan

rubuha (rumah burung hatu) atau pagupon. Dan sebagai langkah

awalnya didirikanlah sebanyak 20 puluh rubuha. Pak Pujo Arto selaku

ketua tim Tyto Alba desa Tlogoweru menjelaskan bahwa

“Rumah burung itu ada yang terbuat dari perpaduan kayu-bambu dan beton cor dengan ketinggian sekitar 3 meter.”

Sehubungan dengan semakin banyaknya rubuha-rubuha yang

harus dipasang di area-area tanah persawahan dan juga semakin

banyak pulang orang-orang dari desa-desa tetangga bahkan dari luar

kabupaten yang sengaja datang ke desa Tlogoweru untuk melihat

penangkaran burung Tyto Alba, maka kepala desa Soetedjo mengeluar-

kan Perdes Nomor 4 Tahun 2011 tentang Burung Predator Tikus Tytus

Alba. Perdes yang merupakan rujukan dari Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Eko-

sistemnya itu tidak lain agar bertujuan melindungi burung Tyto Alba

dari ancaman sasaran tembak atau pencurian untuk dikomersilkan.

Isi pokok dari Perdes ini adalah melarang setiap warga desa

untuk berburu, menangkap, memperjualbelikan, mengganggu, atau

melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan matinya burung-burung

yang ada di wilayah desa Tlogoweru, khususnya burung Tyto Alba.

Setiap warga desa Tlogoweru atau anggota warga desa tetangga yang

kedapatan melanggar yaitu menembak atau menyebabkan matinya

burung Tyto Alba di kawasan desa Tlogoweru akan dikenakan denda

uang minimal sebesar Rp 1,250 juta. Disamping adanya perdes tersebut,

pak kades Soetedjo menghimbau juga kepada anggota warga petani

yang sawahnya menjadi tempat pendirian pagupon atau rubuha untuk

turut serta secara dengan sukarela melindungi dan menjaga keberadaan

burung-burung Tyto Alba yang berhabitat disekitar persawahan

mereka.

Hingga tahun 2014, jumlah rubuha di desa Tlogoweru sudah

mencapai tidak kurang dari 600 buah rubuha, 110 buah diantaranya

adalah bantuan dari PT Sango yang amat mengapresiasi sehingga

bersedia untuk turut ikut serta sebagai mitra kerja dalam pembangunan

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

82

masyarakat di Tlogoweru. Jika kita berjalan-jalan disekitar lingkungan

perdesaan Tlogoweru, maka dapatlah kita menyaksikan perkembangan

penempatan rubuha-rubuha burung Tyto Alba yang sudah meluas

hingga tepian batas areal tanah persawahan-persawahan dari desa

tetangga, bahkan desa Pundenarum dan desa Pamongan sudah mulai

pula menempatkan rubuha-rubuha juga. Meresponi perkembangan dan

pengembangbiakan serta pendayagunaan burung Tyto Alba sebagai

predator hama tikus, sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Demak,

bapak Hari Adi Soesilo, menambahkan bahwa Pemerintah Kabupaten

Demak juga akan mengembangkan burung Tyto Alba di 14 kecamatan

setelah melihat hasil yang amat baik di desa Tlogoweru (wawancara

dengan pak Soetedjo, 13 Agustus 2013).

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan

Peternakan Sapi

Masyarakat desa Tlogoweru, khususnya masyarakat pertanian,

sebelum tahun adanya LPKS yang diresmikan pada tahun 2010, tidak

pernah memiliki angan-angan sekecilpun untuk berternak sapi untuk

usaha peningkatan kesejahteraan mereka, karena selama ini mereka

merasa tidak mampu mengatasi masalah dengan kondisi kontur

pertanahan desa Tlogoweru5 yang rendah dan bergelombang, sehingga

berlangganan terlanda banjir jika musim hujan dan mengalami

kekeringan yang menyengat pada musim kemarau yang memicu suhu

cuaca yang cukup panas (30-320C) dan sebagai akibatnya memicu pula

bertambahnya populasi nyamuk, kondisi seperti ini tentunya amat

tidak efesien untuk suatu usaha peternakan sapi, karena populasi

nyamuk yang banyak mempengaruhi produksivitas sapi. Sebab itu,

pada umumnya hanya beberapa petani yang memelihara sapi, dan jenis

sapi yang dipelihara adalah jenis sapi lokal dan mereka memeliharanya

hanya sekedar sebagai cadangan modal yang bisa dijual sewaktu-waktu

guna untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang mendesak.

5 Lihat Bab III

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

83

Namun dengan kehadiran LPKS yang melakukan pelatihan

peternakan sapi sebagai suatu usaha pemberdayaan masyarakat desa

Tlogoweru, para petani desa Tlogoweru dapat diyakinkan bahwa

dengan bekal pengetahuan melalui pelatihan usaha peternakan,

mereka pasti akan mampu mengatasi kendala-kendala yang ada selama

ini. Dan sebagai hasilnya, pada tanggal 11 Maret 2014 ketika penulis

mengadakan validasi penelitian lapangan, tercatat sudah ada sekitar 60

ekor sapi jenis unggul yang sedang dibudidayakan oleh para petani di

desa Tlogoweru (data dari catatan di kantor kepala desa). Usaha

pengembangan sapi-sapi jenis unggul ini membawa dampak yang

signifikan dalam pembangunan masyarakat desa Tlgoweru, para petani

mulai terampil dalam berternak dan mengembangkan sapi-sapi jenis

unggul dengan penggemukan bobot tambahan sapi-sapi hingga

mencapai rata-rata 0,8-2 kg per-harinya di setiap sapi-sapi dewasa,

dengan demikian pendapatan per-peternak sapi meningkat dari hanya

sekitar Rp. 2 juta per-bulan menjadi sekitaran Rp. 8 juta per-bulannya.

Penghasilan peternak didapatkan melalui sistem kerjasama

pengembangan sapi-sapi antara peternak dan pemodal yang

menyediakan sapi-sapi muda atau anakan yang dipercayakan seekor

atau beberapa ekor ditambah biaya pakannya, kemudian para peternak

mendapat keuntungan sebesar persentase sekitar 30% sd 40% dari

berat daging sapi yang terjual. Disamping hal ini, terdapat efek

sampingan yang positif dari pengembangan budidaya sapi ini, antara

lain, tergarapnya lahan-lahan tidur yang cukup luas di desa Tlogoweru

diubahkan menjadi lahan-lahan produktif karena ditanami rumput

gajah sebagai bagian pemenuhan dari kebutuhan pakan ternak sapi-

sapi, disamping itu pula para petani telah mampu memanfaatkan dari

sisa-sisa limbah pertanian untuk dikelola menjadi bahan pakan sapi

peliharaan mereka. Sebaliknya, para petani mendapat manfaat serta

keuntungan ekstra tambahan dari kotoran sapi ternakan mereka,

karena kotoran-kotoran sapi dapat mereka konversikan menjadi biogas

yang dapat dipakai untuk bahan bakar memasak di beberapa rumah

tangga, dari sebagian kotoran sapi-sapi ini pula para petani

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

84

mengelolanya menjadi pupuk organik yang amat membantu dalam

mengurangi biaya pertanian.6 Melalui kemampuan pengelolahan

pupuk organik, para petani desa Tlogoweru hari ini juga telah mampu

menanam dan menghasilkan beras dan sayur mayur organik. Dan ada

manfaat lain yang tidak kalah pentingnya yang dapat membanggakan

masyarakat desa Tlogoweru dengan hasil dari pengembangan

peternakan sapi-sapi unggul adalah pada setiap hari Idul Fitri,

masyarakat desa Tlogoweru mampu menyediakan sapi-sapi sendiri

untuk dipotong sebagai bagian dari pembagian zakat. Dan pada setiap

hari Idul Adha menjual sapi-sapi dan juga kambing-kambing untuk

memenuhi kebutuhan binatang kurban dari desa-desa sekitar bahkan

di luar daerah kabupaten.

Ada dua hal penting yang menjadi catatan penting penulis

dalam penelitian tentang pengembangan bina usaha bidang peternakan

di desa Tlogoweru, antara lain; Pertama, kejelian dan tekad ibu

Elisabeth yang memberanikan diri mendesak untuk diadakannya

pelatihan ketrampilan peternakan sapi sekalipun para petani kurang

simpatik sebagaimana adanya kendala dan pengalaman mereka yang

telah diuraikan di atas. Kedua, respon yang tanggap dan instruksi yang

jelas dari pak Soetedjo selaku kepala desa menjadi motivasi bagi para

anggota dari ketiga kelompok petani (Kelompok Tani Mintorogo,

Margo Kamulyan, Tulodho Makaryo) untuk berani mengambil resiko

untuk berternak sapi. Kedua sikap ini menurut pendapat penulis amat

penting sebagai modal penggerak untuk suatu usaha pemberdayaan

masyarakat sehingga para anggota masyarakat, khususnya para

pemimpinnnya, dapat turut mengambil bagian dalam partisipasi secara

akitf dalam proses pembangunan masyarakat yang bersangkutan.

Pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru melalui partisipasi

masyarakatnya merupakan suatu fenomena sosial yang lahir dari

pengimplementasian proses pemberdayaan masyarakatnya, yaitu suatu

proses sosial yang berupaya menolong anggota masyarakat untuk

memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengindentifikasi

6 Ketrampilan ini mereka dapatkan dari pelatihan singkat dari bp. Alit Irianto (Bali Sehat Organik) yang diundang oleh bu Elisabeth pada sekitar bulan Juli 2013.

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

85

kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk

memenuhi kebutuhan tersebut (Suharto 2010:23-39). Proses ini tidak

dapat dilepaskan dari adanya peranan pemimpin masyarakat yang

menjalankan pola kepemimpinan yang mampu memberi wawasan dan

tindakan yang jelas untuk menuju kepada suatu pembangunan

masyarakatnya. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Maxwell (1990)

bahwa jatuh bangunnya suatu masyarakat bergantung dari

pemimpinnya, karena kepemimpinan (Stodgill 1974) adalah suatu

proses atau tindakan untuk mempengaruhi orang, aktivitas atau

kelompok orang dalam upayanya untuk mencapai tujuan yang telah

ditentukan. Juda Barlan (2011) menegaskan bahwa suatu tujuan akan

dapat dicapai apabila pemimpinnya mampu mempengaruhi

masyarakatnya dengan tindakan yang nyata melalui motivasi,

pelatihan atau mengikut sertakan masyarakat untuk pengambilan

keputusan-keputusan.

Catatan Penutup

Dari pemaparan hasil penelitian dalam bab ini, dapatlah

dinyatakan bahwa tahapan awal pembangunan masyarakat desa

Tologoweru mencapai keberhasilan dengan baik, yakni terjadinya

pemberdayaan masyarakat dalam sektor pertanian berupa

pembangunan sumur-sumur pantek, kemudian pemberdayaan

masyarakat berupa penanggulangan hama tikus dengan pembudi-

dayaan predator burung Tyto Alba dan pengembangan usaha

peternakan sapi, disebabkan oleh faktor adanya peranan para agen

perubahan, dalam hal ini pak Soetedjo dan ibu Elisabeth, yang mampu

menumbuhkan hasrat atau inspirasi masyarakat untuk mencari solusi

dalam permasalahan yang mereka hadapi melalui pertemuan-

pertemuan informal dengan para agen perubahan. Dengan demikian

setiap usaha program pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru

merupakan bentuk partisipasi aktif dari masyarakatnya, karena

masyarakat desa Tlogoweru merasa terlibat langsung dalam proses

perencanaan, pelaksanaan maupun implementasi program

pemberdayaan masyarakat yang diadakan.