Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
94
BAB IV
MEMAHAMI TATO SEBAGAI REPRESENTASI SPIRITUAL
4.1 Pengantar
Jawaban-jawaban yang dikumpulkan oleh peneliti dari hasil wawancara
dengan para responden mengenai makna tato bagi orang-orang bertato, dilihat
mengarah sebuah makna luas dari spiritual. Cara mereka memandang tato
menunjukkan bahwa mereka memiliki keterbukaan untuk berdaya cipta, dan hal
ini terlihat dari ide-ide tato yang tertuang di dalam gambar-gambar pada tubuh
mereka.
Tato bukanlah sekedar trend fashion bagi para responden, melainkan
sebagai sebuah gambaran dan wujud dari kekuatan spiritual dan tindakan iman
mereka. Tato juga menjadi metode untuk melabuhkan keunikan pribadi masing-
masing responden, dan lebih sebagai ekspresi mereka tersendiri dibandingkan
sebagai sekedar mengikuti tren. Ada sebuah peningkatan kepercayaan diri dan
perasaan bangga akan keunikan pribadinya di dalam diri responden setelah
menato tubuhnya, sebab mereka merasa telah menyelesaikan sebuah kreativitas
diri. Saat itulah para responden menggunakan tato sebagai respresentasi spiritual.
Untuk dapat memahami tato sebagai representasi spiritual tersebut,
peneliti terlebih dahulu akan memaparkan tentang alasan para responden bertato
dalam kaitannya dengan tubuh sebagai pameran yang menyampaikan informasi
mengenai apa yang diyakininya, kemudian memaparkan pandangan para
responden mengenai tato dalam kaitannya dengan ungkapan representasi spiritual.
95
4.2 Mengapa Bertato
Tubuh mengalami berbagai peristiwa hidup yang membuatnya menjadi
medium untuk pengaktualisasian diri, itulah yang membuat orang dapat terlibat
dalam modifikasi tubuh non alamiah, namun tentu saja patut mempertimbangkan
dampaknya bagi kelangsungan kesehatan tubuh. Pertimbangan kesehatan
mengenai hal itu menjadi hal yang kurang diperhatikan ketika ketertarikan pada
modifikasi tubuh menjadi sebuah trend di masyarakat. Perkembangannya menjadi
suatu hal yang penting dalam modernitas zaman dimana semua orang memegang
kendali terhadap dirinya sendiri.
Tato yang diguratkan pada kulit menampilkan tubuh sebagai kendaraan
kesenangan tanpa batas dan kehinaan dan rasa sakit yang tak terpikirkan.1 Para
responden bertato pun mengakui hal tersebut. Ini juga membenarkan temuan
Schildkrout yang menyatakan bahwa kulit menjadi kanvas dimana melaluinya
perbedaan-perbedaan manusia dapat ditulis dan dibaca.2 Kepemilikan atas tubuh
mereka sendiri menjadi alasan kuat bagi mereka untuk memperkuat pernyataan
tersebut. Para responden bertato berpendapat bahwa tubuh adalah kanvas yang
dapat digunakan untuk menorehkan gambar-gambar. Tato-tato tersebut memiliki
makna dan peran tersendiri bagi pemiliknya, sehingga tubuh dijadikan sebagai
sebuah display (pameran) untuk menunjukkan jati diri para responden, dan
menjadi media untuk menyampaikan cerita.
Landasan untuk menjadikan kulit tubuh sebagai kanvas yang hidup ialah
kecintaan terhadap seni. Para responden bertato berasumsi bahwa orang-orang
1Mary Kosut,“Tattoos and Body Modification” dalam International Encyclopedia of the
Social and Behavioral Sciences2nd EditionVolume 24 (2015), 32. 2Enid Schildkrout, “Inscribing the Body” dalam Annual Review of AnthropologyVolume
33 (2004), 319.
96
yang mencintai seni akan dapat menemukan medium yang tepat untuk
mengungkapkannya, termasuk tubuh, dengan kata lain, mereka akan melihat tato
sebagai seni. Seluruh responden menerima tato sebagai seni. Tato dipandang
sebagai sebuah karya seni yang bermakna. Menurut para responden, mereka yang
menyukai seni pada dasarnya akan menyukai tato, dan oleh karena sebuah karya
seni memuat makna, maka orang yang melihatnya akan tergerak untuk mendengar
makna yang tersirat dalam tato tersebut. Hal ini sesuai dengan temuan Hudson
yang menyatakan bahwa orang yang tubuhnya ditutupi tato benar-benar
merupakan buku informasi tanpa ia perlu berbicara,3 dan tubuh menjadi media
menyalurkan pikiran dan kehendak.4 Tato-tato tersebut memiliki makna dan peran
tersendiri bagi pemiliknya, oleh karena itu tato menjadi cara kreatif dan artistik
untuk menggambarkan diri mereka sendiri. Setiap tato memiliki gambaran yang
berbeda dari tiap-tiap pemiliknya, dan mengekspresikan perasaan masing-masing
pemiliknya
Para responden bertato berusaha untuk menampilkan identitas dirinya
melalui tato, yang oleh Atkinson dilihat sebagai sumber konstruksi identitas5 dan
untuk mencapai kenikmatan seperti kekaguman, dan keterlibatan dalam kelompok
tertentu.6 Hal ini juga yang mendorong beberapa responden untuk mengalami tato
pertama kali karena tren di kalangan teman-temannya. Ketertarikan mereka untuk
3Karen L. Hudson, Living Canvas: Your Total Guide to Tattoos, Piercings, and Body
Modification (California: Seal Press, 2009), 15. 4Clinton R. Sanders, “Viewing the Body: An Overview, Exploration and Extension”
dalam Waskul dan Vannini (Penyunting), Body/Embodiment, 279. 5Michael Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis of a Body Art (Toronto Buffalo
London: University of Toronto Press, 2003), 21. Will Johncock, “Modifying the Modifier: Body
Modification as Social Incarnation” dalam Journal for the Theory of Social Behaviour Volume 42
Issue 3 (September 2012), 241. 6Michael Atkinson, “Tattooing and Civilizing Processes: Body Modification as Self-
control” dalam Canadian Review of Sociology/ Revuecanadienne de sociologie Volume 41 Issue 2
(May 2004), 133., Deborah Caslav Covino, Amending the Abject Body: Aesthetic Makeovers in
Medicine and Culture (Albany: State Universityof New York, 2004), 13, 15.
97
memiliki tato menjadi semakin kuat ketika mereka mengetahui makna dan cerita
yang terkandung pada tato-tato tersebut. Saat berpikir untuk membuat tato, ia
perlu memikirkan sebuah desain yang bermakna dan sedapat mungkin memiliki
kesatuan dengan dirinya. Semakin banyak seseorang memiliki tato, maka akan
semakin besar kemungkinannya untuk mengenali orang lain yang bertato.
Beberapa responden justru tertarik untuk memiliki tato karena seseorang
yang dikaguminya memiliki tato, dan ada pula yang bermaksud untuk melepaskan
rasa sakit dari pengalaman pahit dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan temuan
Shilling yang melihat bahwa orang-orang yang terlibat dalam berbagai “proyek
tubuh” sesungguhnya sedang mengusahakan konstruksi pribadi untuk kepentingan
kesehatan dan keindahan tubuh.7 Mereka bukan sekedar mencegah penyakit,
melainkan juga berminat terhadap bagaimana membuat orang-orang merasa
tenang terkait penampilan tubuhnya terhadap dirinya sendiri dan orang lain.
Orang-orang sudah memiliki tato sebagai modifikasi tubuh demi
berbagai alasan yang menyentuh aspek kehidupannya, selain menurut Durkheim,
bahwa di dalam tubuh orang-orang diarahkan secara insting, untuk melukiskan
maupun memberi cap pada tubuh mereka apa yang mengingatkan mereka akan
kehidupan.8 Orang-orang bertato memberikan dirinya ditato untuk menunjukkan
identitas dirinya, kedudukan sosial, memperindah diri, mengobati diri, dan
menyimbolkan kenangan dalam peristiwa kehidupan yang telah dialaminya. Tato
menjadi sejarah itu sendiri yang dapat menceritakan peristiwa di balik
penciptaannya ataupun keberadaannya di dalam tubuh seseorang. Ada ingatan
7Chris Shilling, The Body and Social Theory (London: Sage Publications, 2003), 4-5. 8Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: The Free Press,
1995), 223.
98
yang tersimpan di dalam sebuah tato yang diguratkan, sehingga tato menjadi
bagian yang terintegrasi dengan diri seseorang baik secara fisik dan mental.
4.3 Tato dalam Pandangan Orang-orang Bertato
Teori yang disajikan dalam penelitian ini menyajikan bahwa tato telah
dikaitkan dengan perilaku menyimpang, yang mungkin akan telah menghasilkan
reaksi sosial yang negatif, dan mungkin juga dilihat sebagai bentuk ekspresi diri.
Hal ini berarti bahwa tato dan bagaimana responden bertato mengekspresikan dan
membentuk ide tentang diri mereka sendiri adalah penting untuk dipelajari,9
bukan hanya karena tato menceritakan kisah-kisah kehidupan masyarakat10 dan
menawarkan sekilas ke dalam jiwa seseorang maknayang melampaui hiasan
belaka11, tetapi juga karena banyak penelitian tentang pemakai tato telah
difokuskan pada subkelompok kecil atau pemakai menyimpang.12
Tato adalah bentuk dari sebuah ekspresi diri dan cara untuk
mempertunjukkan ketertarikan seseorang, keunikan dirinya, dan keanggotaan bagi
kelompok subkultur tato. Responden bertato merupakan bagian dari para generasi
muda, dan menerima tato pada usia rata-rata yang relatif muda. Para generasi
muda, sesuai dengan temuan Ferreira, banyak menggemari tato dan
menjadikannya sebagai bagian dari diri mereka. Orang-orang muda zaman
sekarang merupakan bagian dari budaya dunia di mana rasa diri (sense of self) tak
9Penelitian Schildkrout, “Inscribing the Body”. 10Penelitian Fernàndez, “Managing Ethnicity”., Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis.,
Lobell dan Powell, “Ancient Tattoos”., Kononenko, “Middle and Late”., dan Lei, “The Blood-
stained Text”. 11Penelitian Atkinson, “Tattooing and Civilizing”., dan Arp (Penyunting), Tattoos:
Philosophy. 12Penelitian Wohlrab, Fink, Kappeler, Brewer, “Perception of Human”., Foltz, “The
Millenial’s Perception”., Johncock, “Modifying the Modifier”., dan Gelder, Subcultures: Cultural
Histories.
99
lepas dari perasaan perwujudan.13 Mereka semakin berkomunikasi melalui tubuh
mereka, mengekspresikan rasa sosial tentang siapa mereka, atau apa yang mereka
inginkan, melalui investasi pada penampilan, gerakan, dan indera tubuh. Tubuh
adalah media ekspresi, pengalaman diri dan pengakuan sosial, sehingga pada
akhirnyadiri seseorang terungkap melalui tubuh.
Peneliti, dalam wawancara dengan para responden bertato, menemukan
beberapa poin yang mencakup pandangan para responden mengenai tato dan
motivasi mereka untuk memiliki tato, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Tato adalah seni. Orang-orang yang mengetahui bagaimana
sebuah tato dikerjakan dengan sepenuh hati dan ketelitian yang mengupayakan
sebuah desain indah akan memahami betapa tato merupakan sebuah karya seni.
Aku suka seni, dalam artian bukan ikut-ikutan, yang mengatakan bahwa
tato itu style. Aku memang melihat itu seni. Ketika lihat orang bertato,
aku memandangnya sebagai seni (Rf, 27).
Mengenai makna positif atau negatif yang diterakan pada tato tersebut, kembali
pada masing-masing pemilik tato untuk memberi makna. Komposisi sketsa dan
warna-warni pada tato menampilkan sisi keindahan pada bagian tubuh yang
ditorehkan tato.
Ketika kamu bertato untuk menyampaikan keindahan tubuhmu, dan
mengapresiasi sense of art yang ada pada dirimu, maka itulah yang disebut
tato sebagai seni. Perkara lain, ketika kamu bertato untuk mengintimidasi
kaum yang selama hidupnya diracuni bayangan tato (para preman), maka
13Vitor Sérgio Ferreira, “Becoming a Heavily Tattoed Young Body: From a Bodily
Experience to a Body Project” dalam Youth and Society Volume 46 Issue 3 (2014), 304.
100
dalam hal ini tato digunakan sebagai alat intimidasi, atau bahkan hasrat
akan “ke-preman-an” diri (Dn, 23).
b. Tato merupakan ekspresi diri. Para penggemar tato menjadikan tato
sebagai kendaraan untuk menampilkan rasa pribadi mereka sendiri. Misalnya saja,
responden Dn (23) yang merupakan mahasiswa seni, menato tubuhnya karena
memandang tato sebagai seni dan menampilkannya dalam desainnya sendiri. Pada
dasarnya aku orang gambar, senang menggambar, badan jadi gambar juga. Para
responden menyebutkan bahwa mereka ingin menunjukkan bahwa tato bukan
perwujudan kenakalan generasi muda. Masing-masing responden mengharapkan
supaya orang lain dapat berinteraksi dengan mereka, untuk melihat dan mengenal
mereka lebih dekat dengan keingintahuan terhadap tato-tato yang ditampilkan
pada tubuhnya.
(Tato) bukan untuk pamer, tapi untuk kunikmati, suatu saat mungkin orang
lain melihat, menemukan kutipan-kutipan tersebut dan penasaran terhadap
tato-tato tersebut. Pada akhirnya mereka akan berbicara kepadaku, dan aku
akan menjelaskannya (Ab, 19).
c. Tato merupakan wujud pertumbuhan rohani. Responden Ab (19) yang
memilih tato bermakna theosophic, meyakini bahwa agama yang tertinggi adalah
‘kejujuran’ (truth).
Agama kita ‘truth’. Kita mencari apa saja yang bisa kita cari dalam hal
spiritual dan kita bagi ke orang-orang sekitar. Poin hidupku itu, mencari.
Apapun itu aku coba, mungkin besok atau nanti.
101
Pemikirannya mengenai hal-hal yang spiritual mengantarkannya kepada
kebaikan yang dapat dibagikan kepada orang-orang di sekitar. Responden Ad (24)
yang mengguratkan tato God is Good menceritakan bahwa tato tersebut
merupakan representasi kecintaannya terhadap Tuhan dan kekuatan batinnya.
Saya bertato, tapi masih memiliki Tuhan. Saya bertato itu bukan karena
asal-asalan atau karena ikut tren, melainkan karena saya cinta kepada
Tuhan.
d. Tato merupakan perlindungan diri. Responden Ab (19) yang
memiliki 2 tato simbol perlindungan, yakni khamsa dan seal of Solomon,
mengakui telah mempersiapkan dirinya sebelum menerima tato tersebut
diaplikasikan ke dalam kulitnya. Aku sendiri benar-benar memilih tempat tato
yang bisa membuat tato itu dengan sakral. Responden melakukan semacam
meditasi sebagai niatan untuk membuat kedua simbol tersebut memiliki kekuatan
melindungi. Responden meyakini bahwa simbol-simbol tersebut akan berfungsi
jika diniati dan diyakini, sehingga melakukannya pun harus secara sakral.
e. Tato untuk mencapai keberuntungan. Beberapa tato yang
memiliki makna keberuntungan memang menjadi pilihan untuk mendatangkan
keberuntungan dalam kehidupan para responden. Misalnya, ikan koi yang dimiliki
oleh responden Nr (26). Karakter mendatangkan keberuntungan membuat
responden tersebut untuk menggambarkannya secara permanen di tubuhnya.
Memiliki tato berkarakter seperti itu, bagi orang-orang bertato, dianggap sebagai
102
perwakilan dari upaya bahwa dirinya sedang mengejar kebijaksanaan dan
kemauan untuk bekerja dengan berbagai kesulitan saat mendapatkannya. Mereka
menyadari bahwa kalah dalam pertempuran kehidupan adalah sebuah
kemungkinan yang harus diyakini. Ini bisa menjadi pengingat dalam membuat
keputusan yang bijaksana dan berjuang untuk mencapai sebuah tujuan.
f. Tato merupakan ekspresi cinta. Orang-orang terkasih yang
dicintai dalam hidup dapat menjadi alasan dan tujuan dedikasi seseorang memiliki
tato. Responden Rf (27) yang memiliki lingkaran (pohon) keluarga sebagai tato di
lengannya, menceritakan kebanggaan dan rasa syukurnya atas keluarga yang
dimilikinya sehingga menuangkannya dalam ide gambar-gambar tato yang
dimilikinya. Tato tersebut bersuara lebih keras dibandingkan cinta yang dimiliki
di dalam hatinya. Tato tersebut menyuarakan penghormatan, penghargaan dan
kesetiaan terhadap keluarganya.
g. Tato sebagai kenangan atau peringatan. Beberapa tato digunakan
untuk mengingat pengalaman atau peristiwa buruk yang dilewatinya. Responden
Ab (19) yang memiliki latar belakang keluarga yang kurang harmonis
memutuskan untuk memiliki tato pertama kali demi menunjukkan ekspresi dirinya
di tengah-tengah situasi keluarga yang kurang harmonis tersebut. Tato tersebut
mencakup kapan dan bagaimana peristiwa yang dikenangnya tersebut terjadi.
Ketika responden melihat kembali pada tato tersebut, ia menemukan dirinya yang
tetap utuh tanpa intervensi dari pengalaman keluarganya yang kurang harmonis.
103
Ada perjuangan untuk tetap menjadi dirinya sendiri yang diabadikan dalam tato
tersebut.
h. Tato sebagai pengingat. Apa yang hendak orang katakan terhadap
dirinya sendiri, dapat diungkapkan dalam sebuah tato. Misalnya, responden Rm
(21) yang memiliki tato Rosario (kalung salib), mengakui itu sebagai pengingat
dan sesuatu yang menjadi pegangan dalam ia menjalani hidupnya. Tato dengan
karakter religius tersebut dipakai untuk memvisualkan ketaatannya yang
mengingatkannya agar berjuang untuk hidup kudus dalam berbagai situasi dan
perkara sampai akhir hayatnya, untuk memperoleh keselamatan kekal.
i. Tato adalah cerita. Persahabatan, hubungan percintaan dan
kekeluargaan, perjuangan dan pengalaman-pengalaman hidup adalah cerita dan
perayaan. Setiap tato memiliki ceritanya sendiri, apa, mengapa dan kapan dibuat.
Bagi para responden bertato itu, tubuh mereka adalah ibarat buku yang terbuka, di
dalam mana setiap orang dapat membacanya. Ketika orang lain yang melihat
bertanya atau penasaran akan sebuah tato, maka seseorang itu sesungguhnya
sedang meminta responden bertato untuk menceritakan pengalaman hidupnya.
j. Tato sebagai lambang harapan. Apa yang menjadi harapan dan
cita-cita dapat menjadi inspirasi seseorang untuk membuat tato, termasuk
imajinasi dari masa kecil. Responden Nc (19) membentuk gambar untuk tatonya
dari imajinasi masa kecilnya, yakni terdiri dari kepala rusa dan sebuah penangkap
mimpi. Rusa, secara umum, merupakan simbol langsung yang terkenal akan kasih
104
karunia dan keindahan alam, dan melambangkan kelahiran kembali, kebajikan,
kebaikan, perdamaian, cinta, dan keluarga. Responden mengikat harapannya
dengan sebuah tato penangkap mimpi dengan keyakinan kelak dapat menjadi
pribadi yang selalu berbagi kebaikan, terkhusus kepada anak-anak.
k. Tato sebagai sugesti terhadap diri sendiri. Simbol-simbol yang
diyakini membawa pengaruh dan menuntun kepada jalan dalam hidup, oleh para
responden dilekatkan pada tubuhnya untuk menyugestikan dirinya sendiri
sepanjang hidupnya.
Swastika kan pada dasarnya berarti peace (damai) dan harmony
(keselarasan). Itu makanya saya tempatkan di dekat hati saya.
Digambarkan bersama dengan ‘mandala lotus’ juga, jadi secara spiritual
saya percaya sebagai mahasiswa seni bahwa gambar itu hidup. Saya
ingin cakra hati saya setidaknya disimbolkan dengan sesuatu supaya saya
bisa lebih menerima hidup itu sendiri (Ph, 25).
Bagaimana para responden bertato memahami tato bagi diri mereka
sendiri, oleh peneliti dilihat sebagai ungkapan yang mengandung makna spiritual.
Temuan ini berdasarkan pada pemahaman spiritual dari perspektif psikologi dan
konseling, agama, seni, dan sosiologi, yang telah dipaparkan di dalam Bab Dua.
Setiap orang, menurut Cameron, dapat beranggapan sendiri tentang apakah
kreativitas mengarahkan pada spiritual atau sebaliknya,14 termasuk para
responden. Kreativitas yang dituangkan di dalam tato-tato mereka adalah sebuah
14Julia Cameron, The Artist’s Way: A Spiritual Path to Higher Creativity (New York:
Jeremy P. Tarcher/Putnam, 2002), 44-45.
105
pengalaman belajar untuk mengenali, memelihara, dan melindungi seniman di
dalam batin mereka.
Para responden rata-rata menghubungkan aspek tertentu dari diri mereka
dengan tato yang mereka miliki. Hal ini dinyatakan dengan ungkapan “inilah
aku”, ketika mereka berbicara mengenai tato mereka. “Seni itu indah. Don’t judge
a book from the cover (jangan menilai seseorang dari penampilannya”(Ad, 24).
“Walaupun kita bertato, ini seni bukan lambang premanisme lagi” (Nc, 19).
“Inibadansaya, pilihansaya” (Ph, 25).“Tato itu kenikmatan pribadi” (Dn, 23). Ada
kepuasan tersendiri di dalam diri para responden akan tato yang dimilikinya.
Apakah awalnya hanya keputusan emosional ataupun dengan kesadaran penuh,
pada akhirnya setiap tato menjadi memiliki makna bagi pemiliknya.
Oleh karena itu, maka desain tato yang mereka pilih pun diupayakan
dapat mewujudkan kepribadian mereka, sebagaimana yang ditemukan juga oleh
Mun, Janigo, dan Johnson dalam penelitian mereka mengenai tato dan
hubungannya dengan diri.15 Simbolisasi di dalam desain sebuah tato menjadi
salah satu cara berkomunikasi yang memainkan peran signifikan di dalam
kehidupan sehari-hari para responden bertato. Simbol-simbol tersebut memiliki
makna yang dalam, menurut kepercayaan ataupun keyakinan dan gaya hidup
pribadi mereka. Demi dapat memahami tato sebagai ‘pakaian’ dalam presentasi
diri seorang bertato, maka orang lain perlu terlibat dalam komunikasi dengan
seseorang tersebut.
Tato dapat menjadikan para responden bertato sebagai inspirasi bagi
orang lain, terutama bagi yang sedang menginginkan untuk menato tubuhnya
15Jung Mee Mun, Kristy A. Janigo, dan Kim K.P. Johnson, “Tattoo and The Self” dalam
Clothing and Textiles Research Journal Volume 30 Issue 2 (2012), 141-142.
106
namun masih berada dalam keraguan untuk melakukannya. “Orang bertato itu
suka melihat orang bertato juga, karena dia merasa penasaran dan terdorong untuk
bertanya apakah ada filosofinya atau sekedar iseng”(Ad, 24). Itu juga menjadi
alasan sebagian dari para responden untuk menato tubuhnya, yakni ketika mereka
melihat orang-orang di sekitar mereka atau yang menjadi idola mereka memiliki
tato.
“Tato teman-teman punya statement (pernyataan) yang ingin dikenang
secara abadi. Apapun itu, entah dia ingin mengenang momen ataupun
mengenang sesuatu yang melambangkan dirinya, sesuatu yang dia suka,
sesuatu yang berharga buat dia” (Ph, 25).
Salah seorang responden, Nc (19), mengakui bahwa tato menggambarkan
identitas keluarganya juga yang memang sudah terbiasa hidup dengan modifikasi
tubuh seperti skarifikasi, tato, dan tindik. Tidak heran jika responden Nc menjadi
responden yang menato tubuhnya pada usia yang lebih muda dibandingkan
dengan responden lainnya. Responden Nc menghubungkan kebiasaan di dalam
keluarga dengan tato-tato di tubuhnya, bahwa itu mewakili kepribadian
keluarganya yang telah menerima tato secara terbuka.
Tindakan menato tubuh mengakibatkan perubahan dalam bagaimana para
responden bertato melihat diri mereka sendiri dan menyebabkan beberapa
perubahan perilaku. Sebagian dari para responden menyebutkan bahwa mereka
mengalami perubahan terhadap persespsi diri mereka, dan mendapatkan
kepercayaan diri dan kekuatan. “Bagi saya, memiliki tato itu membuat saya
menjadi percaya diri, saya seperti memiliki kekuatan” (Ad, 24).
107
Para responden, sebagaimana juga dikatakan oleh Goffman,16 berusaha
untuk memaksimalkan atau meminimalkan visibilitas informasi, demi
menampilkan diri dengan cara yang diinginkan sesuai dengan konteks. Beberapa
responden mengenakan busana tertentu untuk menyorot tato mereka, namun ada
yang memang sengaja tidak memperlihatkannya secara umum dengan anggapan
bahwa tatonya adalah untuk dinikmati oleh dirinya sendiri.
4.4 Tato sebagai Representasi Spiritual
Mengacu pada istilah spiritual berasal dari kata spiritus (Latin), yang
berarti nafas kehidupan, yang memiliki makna luas dan terpadu dengan
kesejahteraan hidup manusia17, peneliti menemukan adanya representasi spiritual
di dalam tato yang dimiliki oleh para responden tersebut. Berangkat dari
bagaimana para responden memandang tato sebagai sebuah seni, dan desain-
desainnya melibatkan ide-ide kreatif mereka, peneliti melihat bahwa tubuh
mereka dijadikan sebuah subjek pengalaman.18 Seni telah menjadi kendaraan bagi
para responden untuk mengungkapkan emosi mereka yang dalam.19 Sejarah
perjalanan tato yang panjang juga menunjukkan bagaimana tato menjadi produk
dari seni rupa, baik dalam bentuk tato di kulit maupun lukisan-lukisan pada
barang-barang tembikar. Seni yang terwujud dalam tato-tato tersebut juga menjadi
ungkapan kecintaan para responden terhadap tubuhnya.
16Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (Edinburgh: University of
Edinburgh, 1956), 3, 8-9. 17Geri Miller, Incorporating Spirituality in Counseling and Psychotherapy: Theory and
Technique (New Jersey: John Wiley and Sons, Inc., 2003), 23. 18Suzanne Lovell, “Loving Body is Embracing Spirit: Coming Home Stories” dalam
Mimi Farrelly-Hansen (Penyunting), Spirituality and Art Therapy: Living the Connection
(London: Jessica Kingsley Publishers, 2001), 183. 19Kelley Raab Mayo, Creativity, Spirituality, and Mental Health: Exploring
Connections (Farnham: Ashgate, 2009), 33.
108
Tubuh, menurut Lovell, adalah spirit yang terlihat, sehingga mengasihi
tubuh berarti memeluk (mencakup) spirit. Setiap orang adalah bodyspirit.
Kreativitas dan imajinasi menghadirkan rumah bagi bodyspirit,20 sehingga para
responden dapat mengalami cerita di dalam dirinya yang menyediakan kebijakan
visioner bagi perilakunya. Seni memperkenalkan pengalaman hidup para
responden terhadap orang lain yang “membaca” tubuh mereka. Setiap orang
adalah “kisah yang hidup”,menurut Lovell, dan kisah dapat dituangkan di dalam
gambar-gambar.21 Upaya untuk mengungkapkan kisah yang hidup inilah yang
telah sedang dilakukan oleh para responden terhadap orang lain melalui tato-tato
yang melekat di dalam tubuhnya.
Tato menjadi bahasa dari dunia yang tidak terlihat, yang dialami dan
dilayakkan secara langsung oleh responden sebagai bodyspirit.22 Imajinasi kreatif
dari para responden merupakan prinsip spiritual itu sendiri yang mencari untuk
mengenal melalui keterlibatan di dalam segala bentuk. Itu sebabnya, seni dapat
menjadi terapi yang dapat menyokong bodyspirit, yang dapat menjadi jalan
langsung dan penting untuk mengenal seorang terhadap lainnya.
Hal serupa dipraktekkan oleh para nenek moyang terdahulu yang
menciptakan tato untuk menghadirkan keselarasan antara manusia dengan alam
dan para roh di bumi. Pemahaman ini menegaskan bahwa sifat asli seni adalah
untuk mendamaikan, memuat, dan mengekspresikan pengalaman otentik
bodyspirit pararesponden akan keterlibatan di dalam sesuatu yang “lebih dari
20Farrelly-Hansen (Penyunting), Spirituality and Art,, 183, 188. 21Farrelly-Hansen (Penyunting), Spirituality and Art, 182-183. 22Farrelly-Hansen (Penyunting), Spirituality and Art, 184.
109
dunia manusia”, termasuk pencarian bagi yang transenden.23 Ketika para
responden bertato hidup sepenuhnya di dalam seni, kreativitas, dan imajinasi yang
lengkap, maka mereka pun siap untuk menawarkan kepedulian dan cinta terhadap
dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya. Hal ini terlihat dalam bagaimana para
responden menggunakan tato-tato yang bersifat motivatif, dan persuasif untuk
menawarkan kepedulian terhadap sesama, respoden Ab (19) misalnya, yang
senang menolong orang lain yang kesulitan, dan responden Nc (19) yang senang
menolong anak-anak yatim piatu.
Raab Mayo mendukung pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa
ekspresi dari kreativitas dapat memainkan peran pemulihan dalam menolong
seseorang untuk mengungkapkan diri yang lebih otentik. Kreativitas
memungkinkan dinamika alam bawah sadar muncul ke permukaan, memudahkan
pengalaman transenden, yang kemudian menjadi jalan bagi ekspresi diri yang
dalam.24 Keterhubungan di antara pencarian untuk yang suci dan pencarian untuk
diri di dalam kehidupan para responden bertato mendorong mereka untuk
melakukan tindakan kasih dalam menolong sesama yang membutuhkan.
Kreativitas adalah pengalaman spiritual. Ketika seorang responden
bertato belajar untuk mengenali, memelihara, dan melindungi seniman di dalam
batinnya, maka ia akan dapat bergerak melampaui rasa sakit dan penyempitan
daya cipta, sehingga dapat diasumsikan bahwa para responden yang telah
mengambil keputusan untuk menato tubuhnya adalah orang-orang yang bermental
yang sehat dan kuat karena mau membuka diri untuk berdaya cipta. Tato
merupakan perwujudan dari pengalaman spiritual mereka.
23Raab Mayo, Creativity, Spirituality, 5. Slife dan Richards, “How Separable”, 197,
205. 24Raab Mayo, Creativity, Spirituality, 5., Cameron, The Artist’s Way, 44-45.
110
Sejarah terdahulu juga telah menampilkan peran spiritual dalam
menunjukkan dimensi yang sangat diperlukan terhadap apa yang dimaksud
dengan “menjadi manusia”. Aktor sosial, di dalam roh, menemukan ambisi,
semangat, yang semuanya menggerakkan dan mengerahkan diri untuk melampaui
diri itu sendiri25 di dalam kreativitas dan ketaatan untuk mencapai keselarasan
dengan alam dan roh-roh para nenek moyang. Pertatoan digunakan sebagai simbol
kekuatan dan identitas, serta penghormatan terhadap alam dan kecintaan terhadap
sesama manusia. Tidak heran jika dalam sebagian kebudayaan masyarakat
tersebut, tradisi menato menjadi sebuah hal yang sakral dan dilibatkan dalam
sebuah proses inisiasi. Itulah sebabnya, setiap orang perlu melihat tubuh sebagai
objek pertama individual dan paling alami,26 dan dengan demikian akan
mengantarkan pada pemahaman bagaimana orang-orang menggunakan tubuh
mereka dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain. Para responden,
sesuai dengan konsep spiritual menurut Giordan,27 telah menemukan arti bagi
hidupnya sendiri melalui tato-tato bermakna spiritual yang mereka miliki.
Hubungan antara spiritual dan kreativitas yang bertujuan untuk
mendamaikan dan mencapai keselarasan tersebut sayangnya tidak ditemukan di
dalam interaksi sosial para responden dengan masyarakat, dimana di dalamnya
masih ditemukan orang-orang yang belum menerima tato secara terbuka. Konflik
tersebut memberi batasan terhadap masing-masing reponden bertato untuk
25Kieran Flanagan dan Peter C. Jupp (Penyunting), A Sociology of Spirituality
(Farnham: Ashgate, 2007), 1. Gerard John Stoyles, Bonnie Stanford, Peter Caputi, dkk., “A
Measure of Spiritual Sensitivity for Children” dalam International Journal of Children’s
Spirituality Volume 17 Issue 3 (2012), 205. Pengalaman spiritual melampaui apa yang dapat
dipahami atau dikonsep oleh pikiran manusia. Weinrach, Dryden, dkk., “Post-September”, 434. 26Chris Shilling, “Afterword: Body Work and the Sociological Tradition” dalam Julia
Twigg, Carol Wolkowitz, dkk. (Penyunting), Body Work in Health and Social Care: Critical
Themes, New Agendas (United Kingdom: Wiley-Blackwell, 2011), 164. 27Flanagan dan Jupp (Penyunting), A Sociology of, 170.
111
mengungkapkan otentisitas dirinya dan membangun makna kehidupannya sendiri,
padahal jauh sebelum peradaban manusia modern, pertatoan telah menjadi lokasi
yang strategis untuk memberi cap pada tubuh. Berkaitan dengan keberadaan para
responden di tempat-tempat ibadah juga, orang-orang yang tidak bertato tidak
berhak untuk mengatakan bahwa ibadah para responden tidak layak ataupun sah
dikarenakan tubuh yang bertato. Masing-masing responden mengakui akan
adanya Kuasa yang lebih tinggi di luar kekuatan manusia. Setiap orang terhubung
dengan alam semesta dan religiositas, yang melibatkan sebuah pengakuan iman,
institusi, dan berbagai ritual yang terhubung dengan agama dunia.
Ketika para responden menceritakan tentang tato mereka, sesungguhnya
mereka sedang menceritakan apa yang telah mereka lalui, yakni sebuah
pengalaman hidup, baik pengalaman kegembiraan maupun pengalaman yang
menyakitkan dan menyedihkan. Tato- tato mereka menunjukkan sebuah hasil dari
penanggulangan ataupun keberhasilan mereka mengatasi pengalaman tersebut.
Temuan ini mendukung pendapat Jankowski, yang mengatakan bahwa spiritual
ditemukan di dalam pengalaman kegembiraan atau di dalam kemampuan untuk
mengatasi dan mengganti kondisi selama masa-masa tantangan dan sukar.28
Pengalaman kegembiraan atau pengalaman bahagia setelah mengatasi suatu masa
kesukaran dan tantangan diungkapkan di dalam sebuah tato yang kemudian
menjadi kekuatan dan motivasi terhadap diri mereka sendiri untuk mencapai
pemulihan dan perubahan hidup.
Para responden bertato telah dapat memberi kenyamanan terhadap diri
mereka sendiri selama masa-masa penuh tekanan melalui aktivitas yang sudah
28Peter J. Jankowski, “Postmodern Spirituality: Implications for Promoting Change”
dalam Counseling and Values Volume 47 (2002), 70.
112
lazim atau yang menenangkan, sebuah selingan dari tekanan situasi hidup tertentu,
yakni dengan menato tubuh.Menato tubuh dapat dilihat sebagai bentuk ritual yang
dilakukan oleh para responden sebagai pencapaian akan pemulihan hidup mereka
secara fisik dan psikis, berdasarkan konsep spiritual yang diutarakan oleh Miller.29
Sebagian dari para responden menyalurkan rasa sakit yang dialaminya lewat
menato tubuhnya, kemudian menemukan perubahan makna dari semula sebagai
ungkapan rasa sakit ketika mereka mencapai pemulihan dari masa sukar tersebut,
sehingga tato-tato yang berikutnya mencakup desain yang mampu mendorong
orang lain untuk terinspirasi.
Para responden, mengacu pada pendapat Jewell,30 menemukan makna
berkesinambungan, tujuan, dan pemenuhan bagi hidup mereka di dalam
kebutuhan-kebutuhan untuk menerima dan memberi cinta, kebutuhan untuk
menyokong harapan, kebutuhan untuk sesuatu atau seseorang yang dapat
dipercaya (semacam iman ataupun kepercayaan), kebutuhan untuk kreativitas
(untuk mengembangkan keahlian dan talenta), dan kebutuhan untuk perdamaian.
Hal ini pulalah yang memberi kekuatan bagi para responden untuk dapat
mengatasi masa-masa sulitnya, penderitaan masa kecilnya atas keluarga yang
tidak harmonis misalnya, dan untuk mengembangkan cinta terhadap diri dan
sesama dalam desain-desain kreatif tato.
Setiap orang adalah makhluk sosial dan spiritual. Spiritual, dapat
dikatakan sebagai kapasitas dan kecenderungan yang dimiliki oleh manusia dan
bersifat unik bagi setiap orang. Kapasitas seseorang untuk merasakan orang lain,
peristiwa-peristiwa hidup, yang secara fisik tidak berwujud, terutama
29Miller, Incorporating Spirituality, 23. 30Albert Jewell (Penyunting), Ageing, Spirituality and Well-being (London: Jessica
Kingsley Publishers, 2004), 19.
113
keberadaannya sendiri, berada pada ada atau tidaknya ketajaman atau keterbukaan
sensitivitas spiritual seseorang. Kapasitas tersebut menggerakkan seseorang
menuju pengetahuan, cinta, arti, kedamaian, harapan, hal transenden,
keterhubungan, belas kasih, kebaikan, dan keutuhan dalam kehidupannya.31
Dengan demikian, jika setiap aktor sosial memiliki kapasitas spiritual yang tajam
dan sensitif, maka ia akan dapat saling melihat keunikan dunia, orang lain dan
dirinya sendiri dan merasakannya. Kapasitas spiritual tersebutlah yang akan
mengantarkan setiap orang kepada penerimaan terhadap orang lain, seperti orang-
orang yang tidak bertato terhadap orang-orang bertato, sebab para responden
bertato itu tidak dapat hidup tanpa orang lain.
4.5 Kesimpulan
Tato memang telah diterima secara luas di kalangan masyarakat, namun
di beberapa kalangan seperti generasi tua dan dunia profesi atau pekerjaan, tato
masih tidak disukai atau dianggap tidak profesional. Mereka menganggap
responden bertato sebagai pribadi yang kurang menarik, kurang pintar, dan kurang
dapat dipercaya dibandingkan orang-orang yang tidak menampakkan atau
memiliki tato pada tubuhnya. Para generasi muda, baik yang bertato maupun tidak
bertato, cenderung melihat tato sebagai hal biasa dan hal menarik.Tidak dapat
dipungkiri bahwa tato sangat berkembang di kalangan generasi muda. Ada banyak
generasi muda yang mengekspresikan diri dalam tato.
Orang lain mungkin melihat sebuah tindakan yang melukai tubuh sendiri
di dalam diri para responden, akan tetapi bagi para responden, menato merupakan
31Peter J. Jankowski dan Marsha Vaughn, “Differentiation of Self and Spirituality:
Empirical Explorations” dalam Counseling and Values Volume 53 Issue 2 (2009), 82.
114
sebuah rasa sakit yang dekoratif. Pada umumnya, seseorang tidak akan
menceritakan pengalaman rasa sakitnya ketika ia melukai tubuhnya sendiri,
namun bagi para responden, mereka justru ingin menceritakannya kepada orang
lain. Para responden bertato ingin menceritakan rasa sakit yang mereka rasakan
baik sebelum maupun sesudah keputusan untuk menato tubuhnya, rasa takut
mereka, dan pengalaman hidup mereka yang terwakilkan di dalam sebuah gambar
tato. Demikianlah orang-orang bertato menjadikan tato sebagai representasi
spiritual mereka.