Upload
doanduong
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
73
BAB IV
MAKNA PULAU SABU DAN NARASI TEMPAT DAN IDENTITAS KULTURAL
ORANG SABU DIASPORA
Masyarakat suku Sabu memiliki banyak warisan kebudayaan yang masih tetap dipelihara
dan dilaksanakan hingga saat ini. Warisan kebudayaan tersebut adalah benda-benda peninggalan,
tari-tarian, ritual, dan lain sebagainya. Benda-benda peninggalan dari suku Sabu yang ada hingga
saat ini adalah kebudayaan megalitik yang berada di kampung adat namata, batu-batu keramat
yang terdapat di Raijua sebagai tempat persembahan kepada raja Majapahit, dll. Tari-tarian yang
biasa digunakan dalam setiap ritual dari masyarakat suku Sabu adalah tarian padoa dan tarian
ledo hawu. Ritual-ritual yang digunakan dalam masyarakat suku Sabu adalah ritual yang sesuai
dengan siklus hidup manusia mulai dari ketika seseorang dilahirkan sampai meninggal.
Salah satu ritual dari masyarakat suku Sabu yang masih dilaksanakan hingga saat ini
adalah pebale rau kattu do made. Ritual ini dilaksanakan oleh orang Sabu diaspora terutama bagi
mereka yang hidup agar mereka mengadopsi nilai-nilai persaudaraan ketika mereka kembali ke
pulau Sabu untuk melaksanakan ritual ini. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut bermakna dalam
kehidupan mereka ketika mereka kembali dalam masyarakat diaspora tempat mereka tinggal.
Sementara bagi orang yang meninggal, pelaksanaan ritual ini bertujuan agar orang Sabi diaspora
tersebut meninggal dalam memori keluarga.
1. MAKNA PULAU SABU
Dalam memahami makna pulau Sabu maka terlebih dahulu penulis ingin
menggambarkan tentang orang Sabu diaspora. Ritual pebale rau kattu do made dilakukan oleh
orang Sabu diaspora yang merantau di sebelah timur pulau Sabu. Dalam hubungannya dengan
74
teori diaspora maka Sheffer mendefinisikan diaspora modern sebagai emigran yang berasal dari
kelompok etnis yang menetap di negara tempat tinggal (host country), namun masih menjaga
hubungan sentimental yang kuat dengan negara asal dan kampung halamannya.1 Berdasarkan
hasil temuan dari penulis, orang Sabu diaspora adalah orang Sabu yang lahir di Sabu, tetapi
karena tuntutan hidup dan pekerjaan akhirnya harus merantau ke luar pulau Sabu dan bahkan
menetap di tanah rantau. Sekalipun orang Sabu telah merantau dan menetap di tanah rantau,
tetapi mereka masih menjaga hubungan sentimental dengan kampung halamannya. Hal itu
terlihat dari kebiasaan orang Sabu yang tetap menjalankan ritual-ritual yang ada. Salah satu ritual
yang masih tetap dijalankan oleh orang sabu diaspora adalah ritual pebale rau kattu do made.
Hubungan sentimental yang dibangun tidak saja dengan kampung halaman tempat orang
Sabu diaspora berasal tetapi juga dengan keluarga yang berada di tempat asal. Hal itu dapat
dilihat dari pemahaman orang Sabu bahwa pulau Sabu itu sebagai rumah. Rumah dimana
seorang Sabu diaspora dilahirkan sehingga ketika meninggal, ia juga harus kembali ke dalam
rumah. Rumah dalam pemahaman baik masyarakat primitif, modern dan religius adalah pusat
dunia (axis mundi). Pulau Sabu juga dimaknai sebagai pusat dunia (axis mundi). Oleh karena itu,
kehidupan manusia dimulai dari dalam rumah, berlangsung di rumah dan berakhir di rumah.
Rumah orang Sabu sama dengan sebuah perahu yang dari luar nampaknya tertutup/terbalik.
Rumah juga dimaknai sebagai tempat tinggal baik bagi orang yang sudah meninggal maupun
yang masih hidup bersama dengan yang Ilahi. Oleh karena itu, ketika seorang Sabu diaspora
yang meninggal maka ia harus kembali ke rumah yang merupakan tempat berkumpul keluarga
yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Tujuan untuk berkumpul dalam rumah bagi orang
Sabu diaspora adalah bagi orang yang hidup adalah agar mengambil nilai-nilai kehidupan seperti
1 G. Sheffer, A New Field of Study: Modern diasporas in international politics (Croom Helm, London and
Sydney, 1986), p. 1-15.
75
persaudaraan, dan lain-lain untuk dipakai ketika kembali dalam kehidupan diaspora. Sementara
bagi orang yang meninggal, ia ingin meninggal dalam memori keluarga. Hubungan sentimental
dengan kampung halamannya juga terlihat dalam ritual pebale rau kattu do made yang
dilaksanakan di Sabu dan dihadiri oleh anak cucu dan keluarga inti dari yang meninggal di tanah
rantau, keluarga di Sabu, pemerintah dan pemimpin agama.
Dalam kehidupan masyarakat diaspora memiliki ciri-ciri khusus dibandingkan dengan
masyarakat dimana tempat mereka tinggal menetap. Menurut William Safran mendefinisikan
orang-orang yang merupakan diaspora dengan menampakkan enam ciri utama: mereka (atau
nenek moyang mereka) yang tersebar dari satu pusat asli untuk dua atau lebih lokasi asing,
memiliki memori kolektif tentang tanah asli mereka, mereka tidak sepenuhnya percaya dan
mereka tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat tuan rumah mereka, menganggap tempat asal
mereka sebagai rumah mereka yang sebenarnya (mereka atau keturunan mereka akhirnya akan
kembali), secara kolektif berkomitmen untuk pemeliharaan tanah air mereka, dan terus
berhubungan dengan tanah air yang dalam satu atau lain cara.2 Demikian pula yang terjadi dalam
kehidupan orang Sabu diaspora, orang Sabu disapora menetap hampir tersebar di seluruh
Indonesia bahkan sampai di luar negeri. Khusus di Nusa Tenggara Timur (NTT) sendiri hampir
di setiap daerah atau kabupaten tempat orang Sabu diaspora tinggal, Mereka membentuk
komunitas sendiri yang biasa dinamakan sebagai “kampung Sabu”. Tujuan pembentukkan
komunitas tersebut adalah untuk menjaga kesatuan identitas mereka. Khusus untuk orang Sabu
diaspora yang masih hidup, cara mereka mengingat tanah leluhur atau kampung halaman mereka
adalah dengan nyanyian lagu Elemoto. Lagu ini menggambarkan agar seorang Sabu yang telah
2Yolanda Covington-Ward, Transforming Communities, Recreating Selves: Interconnected Diasporas,
Perfomance in the Shaping Liberian Immigrant Identity, Jurnal Ebsco (Africa Today) seri 1,vol.60, (2013): 5
76
merantau dan telah mengalami keberhasilan di tanah rantau, tidak boleh melupakan Sabu sebagai
tanah tuak dan gula. Sementara untuk orang Sabu yang telah meninggal, mereka juga tidak akan
melupakan tanah leluhur atau pulau Sabu. Hal itu tergambar dari ritual pebale rau kattu do made
yang dilaksanakan oleh keluarga yang masih hidup terhadap orang Sabu diaspora yang telah
meninggal di tanah rantau. Tujuan pelaksanaan ritual pebale rau kattu do made di Sabu adalah
orang Sabu diaspora yang telah merantau dan meninggal di tanah rantau telah kembali dalam
rumah dan persekutuan keluarga di tempat asal atau pulau Sabu.
Menurut Hans Ucko, masyarakat diaspora dalam suatu negara dapat dikategorikan
sebagai masyarakat minoritas. Sering kali dalam situasi mayoritas-minoritas ada perasaan curiga
bahwa kelompok minoritas tidak memiliki kesetiaan apapun, dan mereka mengajukan agendanya
sendiri, yang kalau diterima dan diberi kesempatan akan mengganggu keamanan dan
melenyapkan stabilitas. Sering juga kita menganggap kelompok minoritas sebagai kelompok
yang lemah, yang membutuhkan perlindungan dari yang mayoritas. Perlindungan tersebut sering
dalam bentuk kemurahan yang berubah-ubah, bahkan bisa menjadi suatu penganiayaan. Semakin
kelompok minoritas ditekan, semakin pula anggotanya memberi diri untuk mempertahankan
eksistensi kelompoknya.3 Berdasarkan temuan dari penulis, orang Sabu diaspora yang terdapat di
Kupang, mereka menjadi masyarakat yang minoritas. Hal itu dapat dilihat dari kelompok tempat
mereka tinggal adalah hanya khusus dihuni oleh orang-orang Sabu. Dalam keberadaannya
sebagai yang minoritas ditengah masyarakat yang beragam suku dan budaya maka orang Sabu
diaspora juga dapat menjadi ancaman yang berarti bagi masyarakat disekitarnya. Mereka juga
hidup dalam budaya yang mereka bentuk sendiri, cara hidup dan kebiasaan-kebiasaan yang
mereka lakukan. Contohnya, kejadian yang terjadi di kampung Sabu, Kabupaten Timor Tengah
3 Hans Ucko, Akar Bersama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999),36
77
Selatan (TTS) yaitu kejadian terkait ada isu yang beredar via SMS tentang penikaman terhadap 2
(dua) pemuda asal TTS di yang ditikam di Naibonat. Setelah dikonfirmasi dengan Kapolres TTS
Bapak Agus Hermawan dan koordinasi dengan Kapolres Babau, diperoleh jawaban pasti isu
tersebut tidak benar. Sebelum diketahui bahwa isu ini tidak benar, keadaan kampung Sabu cukup
mencekam. Beberapa warga setempat bersiaga di sejumlah sudut kampung sambil
mempersentajai diri dengan batu, parang, panah, potongan kayu, potongan pipa besi, tombak,
senapan angin dan benda lainnya. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka polisi mengadakan
razia terhadap warga luar yang melintasi jalan masuk ke lingkungan kampung Sabu di belakang
RSUD Soe. Selain itu, polisi bersiaga di sejumlah titik dalam lingkungan kampung tersebut.4
Inilah yang dikatakan oleh Hans Ucko bahwa masyarakat diaspora itu sebagai masyarakat
minoritas. Sekalipun sebagai masyarakat minoritas tetapi masyarakat dispora itu juga dapat
menjadi ancaman bagi orang-orang yang berada disekitarnya. Kampung Sabu di Soe, TTS itu
adalah salah satu contoh dari orang Sabu diaspora. Khusus untuk komunitas Sabu diaspora dalam
contoh ini terlihat bahwa mereka menjadi ancaman bagi masyarakat Soe secara keseluruhan.
Dilihat dari kasus yang dilakukan oleh warga kampung Sabu tersebut sudah jelas mengganggu
keamanan dan ketertiban dari masyarakat TTS secara keseluruhan. Untuk menjaga eksistensi
kelompoknya dalam kasus tentang isu pembunuhan terhadap 2 warganya maka kita bisa melihat
bahwa warga kampung Sabu mempersenjatai diri mereka dengan berbagai benda tajam, dan lain-
lain.
Yudaisme dalam banyak aspek adalah agama dari umat yang hidup dengan suatu ingatan
atau kenangan akan sejarah. Ia adalah suatu agama yang mengenang. Salah satu kunci dalam
Yudaisme adalah perintah Zakor! “Ingatlah”! Ingatlah masa ketika diperbudakan dan dalam
4https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=txzRV_-LB8HRvgSHp4PQCA#q=kampung+Sabu+Soe
diunduh 08 September 2016
78
kurungan! Ingatlah bahwa engkau dibawa keluar dari perbudakan! Ingatlah kesulitan-kesulitan
dalam perjalanan di padang gurun! Ingatlah bahwa engkau menjadi umat Tuhan ketika berada di
gurun pasir. Ingatlah bahwa engkau dibebaskan agar menjadi umat yang terpilih! Ingatlah
identitasmu sebagai umat yang terpilih. 5 Jika membandingkan antara Yudaisme dengan Sabu
diaspora maka ada kesamaan diantaranya yaitu cara mereka mengekspresikan kerinduan
terhadap tempat asal mereka adalah dengan ingatan atau kenangan akan sejarah. Ingatan dimulai
dari orang Sabu diaspora tidak melupakan sejarah pulau Sabu dari masa ke masa. Ingatan itu
juga berkenaan dengan orang-orang yang berjasa terhadap Sabu dan perkembangannya. Seperti
contoh nama-nama besar seperti Bapak El Tari, Piet Alexander Tallo, Is Tiboeloedi, R. Riwu
Kaho, dan lain-lain. Ingatan terhadap nama-nama besar tersebut sebenrnya mau menjelaskan
bahwa orang Sabu diaspora telah berdiaspora sejak lama tetapi juga orang-orang Sabu diaspora
tersebut juga mengalami kesuksesan dan keberhasilan di tanah rantau. Hal itu terlihat dari
jabatan-jabatan penting yang dipegang oleh orang-orang Sabu diaspora tersebut seperti gubernur,
kakanwil depdikbud NTT, pimpinan perusahan daerah NTT, dan lain-lain. Ingatan yang lain dari
orang Sabu diaspora yang masih hidup terhadap tempat asal atau pulau Sabu adalah dengan
penggunaan bahasa Sabu di tanah rantau, lagu elemoto yang tetap dinyanyikan dan ritual pebale
rau kattu do made yang dilaksanakan oleh keluarga yang masih hidup. Selain itu juga, ingatan
terhadap pulau Sabu tidak akan pernah hilang dari kehidupan orang Sabu diaspora. Hal itu
terlihat dari ketika keluarga Riwu Kaho dan Tiboeloedji datang ke Sabu. Mereka tidak saja
membawa rau kattu dari tanah rantau tetapi juga berbagi rejeki melalui talenta yang mereka
miliki. Rejeki yang dibagi adalah berupa pengobatan gratis yang dilakukan oleh keluarga dan
seminar berupa penyadaran gender. Ingatan terhadap pulau Sabu membuat generasi penerus
5 Ucko, Akar Bersama. 38.
79
dapat mengabdikan talenta yang dimiliki dan menggunakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
ada untuk membangun masyarakat yang ada di Sabu.
Perintah untuk mengingat inilah yang biasa dikenal dengan nama menyimpan memori.
Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan orang Israel yaitu ketika mereka meninggal di tanah diaspora
maka mereka harus membawa pulang sesuatu ke kampung halaman mereka. Sebagai contoh, ada
kisah dari keluarga Yakub atau Israel dimana di akhir hidupnya ia meminta kepada anak-cucu di
Mesir tepatnya di wilayah Gosyen yang subur agar suatu hari nanti Yakub di bawa pulang ke
Kanaan. Bahkan ia meminta dibuat sebuah janji atau sumpah. Demikian juga Yusuf melakukan
hal yang sama agar ia pun dibawa pulang untuk menikmati persekutuan dengan para leluhurnya
di Kanaan. Bukankah Mesir lebih mewah dibanding Kanaan? Yakub meminta Yusuf untuk
memenuhi kerinduannya seperti ini: “ketika hampir waktunya bahwa Israel akan mati,
dipanggilnya anaknya Yusuf, dan berkata kepadanya: “jika aku mendapatkan kasihmu,
letakkanlah kiranya tanganmu di bawa pangkal pahaku, dan bersumpahlah, bahwa engkau akan
menunjukkan kasih dan setiamu: jangan kiranya kuburkan aku di Mesir, karena aku mau
mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangku. Sebab itu angkutlah aku dari
Mesir dan kuburkanlah aku dalam kubur mereka. jawabnya: “aku akan berbuat seperti katamu
itu. Kemudian kata Yakub: “bersumpahlah kepadaku”. Maka Yusuf pun bersumpah kepadanya
(Kejadian 47:29-31). Demikian juga Yusuf melakukan hal sama seperti Yakub kepada anak-
anaknya; meskipun membutuhkan waktu yang panjang untuk membawa Yusuf ke Kanaan
melalui tragedi penindasan dari Firaun dimana Allah sendiri menolong. Melepaskan serta
membawa mereka melalui peristiwa Paskah. Kehadiran anak-anak dan cucu ini adalah kehadiran
Yusuf sendiri seperti nyata dalam doanya di Kejadian 50:24-25: “Tidak lama lagi akau akan
mati; tentu Allah akan memperhatikan kamu dan membawa kamu keluar dari negeri ini, ke
80
negeri yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub; pada waktu itu
kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini”. Rindu ke rumah dan berkumpul dengan
keluarga, tanah dan air adalah semangat dari permintaan bapak leluhur Israel. Harapan itu
dilegalkan menjadi wadah ziarah tiap generasi ke tanah air perjanjian yang telah diwariskan
kepada anak cucu mereka. Ketika Yusuf meninggal di tanah diaspora yaitu di tanah Mesir maka
saudara-saudaranya harus membawa tulang-tulangnya untuk dikuburkan di Israel. Artinya bahwa
ketika Yusuf menjadi seorang diaspora di tanah Mesir dan waktu ia meninggal harus membawa
sesuatu puulang ke tanah leluhur atau tempat asal dari Yusuf. Yakub dan Yakub menginginkan
bahwa tulang-tulangnya dikuburkan di Israel. Ketika Yakub meminta Yusuf bersumpah untuk
membawa tulangnya ke Israel.
Hal inilah juga yang terjadi dalam sejarah rau kattu yaitu ketika Jawa Miha meminta
kepada Hawu Miha agar ketika ia meninggal maka harus membawa rambut dan tutup kepalanya
dikembalikan ke negeri asalnya, pulau Sabu. Peristiwa membawa sesuatu ke tempat asal dari
orang yang meninggal telah dimulai dari zaman Yakub dan Yusuf. Tradisi membawa pulang
sesuatu dari orang yang meninggal juga terjadi dalam kehidupan orang Sabu diaspora khususnya
orang Sabu diaspora yang merantau di sebelah timur pulau Sabu. Dalam cerita Yakub dan Yusuf
yang dibawa pulang adalah tulang maka bagi orang Sabu diaspora yang dibawa pulang adalah
rambut. Tetapi dalam perkembangannya rau kattu yang dibawa tidak lagi berupa rambut, namun
batu kecil dari kuburan, sarung atau selimut, pakaian dari orang yang meninggal dan tulang.
Dalam contoh kasus yang terjadi di Seba yaitu pembawaan rau kattu dalam bentuk tulang.
Sebenarnya mau menjelaskan bahwa mereka meneruskan tradisi yang dilakukan oleh bangsa
Israel terhadap Yakub dan Yusuf. Ritual pebale rau kattu do made dalam perkembangannya
dapat dilaksanakan baik oleh orang yang merantau di sebelah timur maupun sebelah barat dari
81
pulau Sabu. Beberapa daerah rantau orang Sabu diaspora yang pernah melaksanakan ritual
pebale rau kattu do made adalah Kupang, Flores, Jakarta, dan lain-lain.
Tempat asal itu berhubungan dengan tempat dimana seseorang dilahirkan. Dalam
pandangan orang Sabu jika ia dilahirkan di tempat asalnya atau tanah lelehurnya maka dengan
sendirinya ketika ia meninggal ia harus kembali ke tempat asalnya. Alasan orang Sabu harus
meninggal dan kembali ke Sabu karena tali plasentanya dikuburkan di Sabu. Bagi orang Sabu
diaspora yang merantau di sebelah timur pulau Sabu dan meninggal di tanah rantau maka harus
melaksanakan ritual pebale rau kattu do made. Ritual ini dilaksanakan karena jenazah orang
Sabu diaspora tidak dapat kembali ke Sabu. Jadi, rau kattu dianggap mewakili diri si mati untuk
kembali ke kampung halaman, rumah dan persekutuan keluarga. Tempat asal juga sering
digambarkan sebagai sebuah tempat dimana banyak memori tersimpan didalamnya.6 Bagi orang
Sabu diaspora, di pulau Sabu terdapat rumah yang menjadi tempat dimana banyak memori
tersimpan didalamnya. Rumah di Sabu bukan saja tempat dimana orang Sabu sebelum merantau
dilahirkan tetapi menjadi ruang dimana masa kecil dihabiskan bersama dengan seluruh keluarga.
Kerinduan untuk kembali dalam rumah yang merupakan tempat dilahirkan juga menjadi
kerinduan orang Sabu diaspora yang merantau ketika ia meninggal agar ia dapat kembali ke
dalam rumah dan persekutuan keluarga. Rumah juga tidak saja menjadi tempat beristirahat bagi
orang yang telah meninggal tetapi juga rumah menjadi tempat pertemuan antara keluarga yang
masih hidup baik itu keluarga dari tanah rantau maupun keluarga yang ada di Sabu. Selain itu
juga, rumah orang Sabu terdapat kolong rumah yang merupakan tempat bagi orang Sabu
dikuburkan. Bagi orang Sabu diaspora, jika meninggal kembali ke rumah maka kembali untuk
dikuburkan di bagian kolong rumah. Kolong rumah orang Sabu terdiri dari bagian wui (buritan)
6 Bell Hook, Belonging: A Culture of Place. (New York: Routledge, 2009), 5.
82
dan d’uru (haluan) dengan lantai tanah. Memori yang lain yang tersimpan dalam ingatan orang
Sabu diaspora adalah kembali ke tempat asal atau pulau Sabu berarti kembali kepada kendaraan
milik dari Ama Piga Laga. Dalam pemahaman orang Sabu diaspora khususnya bagi mereka yang
merantau, jika meninggal dan tidak melaksanakan ritual pebale rau kattu do made maka arwah
dari orang yang meninggal belum tenang. Alasannya, karena di Sabu terdapat kendaraan dari
Ama Piga Laga yang akan mengantarkan menuju tempat berkumpulnya roh para leluhur di
Tanjung Sasar, Juli-Haha. Memori yang tersimpan dalam rumah orang Sabu adalah tentang
seorang ibu yang melahirkan. Oleh karena itu, pulau Sabu juga memiliki makna sebagai rahim
ibu. Ketika seseorang dilahirkan oleh ibu, ibu tidak sendiri tetapi bersama dengan beberapa
perempuan dan bidan, sehingga ketika seseorang Sabu diaspora meninggal juga harus kembali ke
rahim atau rumah ibu. Selain itu juga, ketika seorang perempuan melahirkan dalam budaya Sabu
dalam posisi duduk sehingga ketika seorang Sabu diaspora meninggal juga ketika dikuburkan
dalam keadaan duduk seperti waktu melahirkan dalam posisi duduk di rahim ibu. Pulau Sabu
sebagai tempat dimana banyak deposit memori kehidupan yang tersimpan di dalamnya. Hal itu
tergambar dari kehidupan baik itu orang Sabu diaspora yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal. Bagi orang yang hidup ketika mereka pulang ke Sabu dan melaksanakan ritual ini
berarti mereka mengambil nilai-nilai kekeluargaan, persaudaraan, dan lain-lain yang akan
mereka bawa kembali ketika mereka berada kembali dalam kehidupan diaspora. Bagi orang yang
meninggal, mereka ingin meninggal dalam memori keluarga.
Keputusan untuk kembali ke tempat asal adalah suatu cara agar seseorang tidak
mengalami hubungan yang terputus dengan tempat asalnya, untuk tetap terikat dengan budaya
asalnya dan dengan bahasa yang digunakan di tempat asal. Sekalipun seseorang telah pergi lama
untuk merantau di suatu tempat namun ketika ia pulang kembali ke tempat asal maka ia akan
83
disambut oleh keluarganya. Kedatangan kembali ke tempat asal menggambarkan bahwa
seseorang kembali ke dalam cinta kasih keluarganya.7 Dalam kehidupan orang Sabu diaspora
yang pulang kembali ke tempat asal bukan hanya orang yang telah meninggal tetapi juga
bersama dengan keluarga dari diaspora. Bagi orang Sabu diaspora, kembali ke tempat asal
seperti kembali ke dalam rumah dan persekutuan keluarga. Hal itu dapat dilihat dari cara
bagaimana orang Sabu ketika menyambut orang yang telah meninggal didahului dengan ritus
pelango do made (menyambut si mati) kembali dalam persekutuan keluarga. Bukan hanya orang
yang telah meninggal telah kembali ke rumah berkumpul dengan keluarga, tetapi keluarga yang
dari rantau juga turut serta berziarah ke kampung halaman.
2. NARASI TEMPAT DAN IDENTITAS KULTURAL ORANG SABU DIASPORA
Makna tempat dan ruang dikonseptualisasikan, sebagai ruang kebebasan manusia untuk
dapat melekat pada identitas satu dengan yang lainnya.8 Identitas yang melekat pada diri
seseorang tidak saja identitas pribadi tetapi identitas sosial. Secara harafiah identitas adalah ciri-
ciri, tanda-tanda, atau jati diri seseorang yang melekat pada sesuatu atau seseorang yang
membedakannya dengan yang lain, baik secara fisik maupun secara non-fisik. Sementara itu,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa identitas sebagai ciri-ciri
atau keadaan khusus seseorang.9 Berdasarkan hasil penelitian, salah satu nilai luhur yang
terkandung dalam ritual pebale raukattu do made adalah identitas. Identitas sebagai orang Sabu
melekat dalam diri seseorang mulai dari seseorang itu dilahirkan sampai seseorang itu
meninggal.10
Sekalipun seseorang setelah dilahirkan dan dalam perkembangan kehidupannya ia
menjadi seorang perantau tetapi identitas dari tempat asal (identitas sebagai orang Sabu) tidak
7 Hook, Belonging: A Culture of Place. 24.
8 Anastasia Christou, Narratives of Place, Culture and Identity (Amsterdam: 2006), 33.
9 Devi Riskianingrum, Studi Dinamika Identitas di Asia dan Eropa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), 1.
10 Hasil wawancara dengan Bapak Rafilus Mana Hede (Kepala Desa Ledeke) 6 Juli 2016
84
akan pernah hilang. Identitas orang Sabu diaspora di tanah rantau dapat dilihat ketika seseorang
diaspora hidup dan waktu meninggal. Ketika seorang Sabu diaspora hidup maka ia tidak akan
melupakan identitasnya. Hal itu terlihat dari pengamalan terhadap nilai-nilai yang dianut oleh
orang Sabu seperti kekerabatan atau kekeluargaan, cinta kasih, dan lain-lain. Selain itu, orang
Sabu diaspora tetap menjaga identitas mereka dengan membentuk “kampung sabu”. Identitas
orang Sabu diaspora yang hidup juga tergambar dalam lirik lagu Elemoto. Lirik lagu elemoto
menggambarkan agar orang Sabu yang telah merantau dan mengalami kemakmuran di tanah
rantau untuk tidak boleh melupakan kampung halaman beserta dengan adat-istiadatnya. Ketika
seorang Sabu diaspora meninggal di tanah rantau maka ia tetap memiliki identitas. Hal itu
terlihat ketika keluarga dari rantau tetap melaksanakan ritual pebale rau kattu do made.
Pelaksanaan ritual ini untuk menegaskan bahwa sekalipun orang Sabu diaspora telah meninggal
di tanah rantau tetapi identitas sebagai orang Sabu tetap melekat dalam dirinya.
Dalam pemahaman Anastasia Christou, masyarakat diaspora yang kembali ke tempat asal
atau tanah leluhur mereka adalah masyarakat diaspora generasi kedua (generasi Yunani-
Amerika). Hal ini juga terlihat dalam kehidupan orang Sabu diaspora. Mereka yang
melaksanakan ritual pebale rau kattu do made adalah generasi kedua atau anak-anak dari orang
tua yang telah meninggal di tanah rantau. Namun, dalam kehidupan masyarakat Sabu diaspora
bukan saja generasi anak-anak tetapi juga cucu-cucu. Anak-anak dan cucu ini tidak saja mereka
bertemu secara fisik dengan keluarga di Sabu tetapi juga anak-anak dan cucu-cucu yang telah
berhasil di negeri rantau, mereka dapat mengabdikan talenta mereka untuk kemajuan Sabu.
Selain itu, dalam pemahaman Anastasia Christou generasi kedua yang pulang ke tempat asal
mereka karena menganggap tempat asal mereka sebagai rumah. Dalam pemahaman orang Sabu
diaspora, kembali ke tempat asal atau tanah leluhur tidak saja berarti pulang ke rumah, tetapi
85
juga berarti pulang dalam memori keluarga, pulang dalam rahim ibu dan tempat terdapat energi
yang paling dahsyat yaitu kekeluargaan dan persaudaraan. Jadi, bagi orang Sabu diaspora tidak
sekedar ketika orang diaspora kembali ke pulau Sabu berarti kembali ke rumah, tetapi lebih dari
itu orang Sabu diaspora yang meninggal dapat meninggal dalam memori keluarga. Bagi orang
Sabu diaspora yang hidup dapat menemukan energi yang dahsyat di dalam rumah yaitu
kekeluargaan dan persaudaraan yang dapat digunakan ketika mereka kembali bersosialisasi
dalam masyarakat diaspora.
Menurut Richard Jenkins, apapun identitas itu, dalam dirinya sendiri, dapat dipastikan
menyebabkan tindakan.11
Dalam hubungan yang telah dikemukakan oleh Jenkins ini tampaknya
ia mengandaikan identitas sebagai sebuah kategori, entah sebagai individual ataupun sosial, yang
menuntut seseorang untuk berperilaku sesuai dengan identitas yang ia miliki. Pada sisi lain
mungkin juga hubungan ini memahami identitas adalah peran yang dimainkan oleh seseorang
dalam kehidupan sehari-hari. Identitas yang dimiliki seseorang ada 2 (dua) yaitu identitas pribadi
dan sosial. Identitas pribadi adalah identitas yang melekat pada diri seseorang. Identitas itu juga
terdapat dalam diri orang Sabu. Identitas sosial adalah identitas yang dimiliki oleh suatu
kelompok. Dalam hal ini dapat dilihat dari contoh orang Sabu diaspora yang telah merantau dan
membentuk komunitas “kampung Sabu”. Identitas yang dimiliki oleh seseorang dapat
menyebabkan tindakan. Tindakan tersebut dalam kehidupan kultur orang Sabu diaspora adalah
dengan terlibat di dalam sebuah ritual. Salah satu ritual yang harus dilaksanakan oleh orang Sabu
diaspora adalah ritual pebale rau kattu do made.
Dalam pemahaman Richard Jenkins, ia menyatakan bahwa identitas manusia selalu
merupakan identitas sosial karena selalu berkaitan dengan keberadaan orang lain yang ada
11
Jenkins, Social Identity. 5.
86
disekitar. Mengidentifikasi diri sendiri, atau mengidentifikasi orang lain, adalah persoalan
pemaknaan. Selanjutnya, pemaknaan selalu melibatkan interaksi, persetujuan atau
ketidaksetujuan, perjanjian, inovasi, komunikasi, dan negosiasi.12
Identitas sosial adalah ciri-ciri
atau keadaan khusus sekelompok masyarakat. Identitas ini menunjukkan cara-cara di mana
individu dan kolektivitas-kolektivitas dibedakan dalam hubungan mereka dengan individu dan
kolektivitas lain.13
Identitas yang melekat dalam diri orang Sabu diaspora adalah bukan saja
identitas pribadi tetapi juga identitas sosial. Hal itu terlihat dalam kehidupan sehari-hari orang
Sabu diaspora yang tinggal dan membentuk komunitas “kampung Sabu”. Pembentukkan
komunitas sekaligus menjelaskan bahwa mereka hidup dengan orang lain yang berbeda suku di
sekitar mereka. Dengan adanya identitas kultural yang berbeda-beda dalam masyarakat
menimbulkan interaksi dalam komunitas tersebut. Dalam interaksi yang dilakukan diantara
orang-orang yang berbeda kulturnya dalam sebuah komunitas maka akan terjadi berbagai
negoisasi, kesepakatan, perjanjian dan komunikasi. Hal itu juga yang terjadi dalam kehidupan
komunitas “kampung Sabu”, mereka hidup bersama namun juga disekitar kehidupan mereka ada
masyarakat lain. Di tengah kehidupan bersama tersebut maka harus diadakan berbagai
komunikasi, persetujuan, negoisasi dan perjanjian, jika tidak maka masyarakat Sabu diaspora
atau masyarakat minoritas ini dapat menjadi ancaman bagi masyarakat lain ditengah-tengah
kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat dari kasus kampung Sabu yang berada di Soe, TTS.
Ketika orang-orang yang berada dalam komunitas mereka diganggu maka mereka akan menjadi
ancaman bagi masyarakat yang berada di sekitar mereka. Ancaman itu dapat dilihat dari para
warga yang tetap berjaga-jaga dan mempersenjatai diri mereka dengan senjata api, batu, parang,
dan lain-lain. Oleh karena itu, agar masyarakat diaspora atau masyarakat minoritas tidak menjadi
12
Jenkins, Social Identity. 17. 13
Jenkins, Social Identity. 18.
87
ancaman bagi masyarakat di sekitarnya maka perlu diadakan berbagai komunikasi, negoisasi,
kesepakatan dan perjanjian.
Dalam pemahaman Barth, identifikasi dan kolektifitas itu dihasilkan atau muncul dari
proses transaksi dan negosiasi individu dalam memenuhi kepentingannya. Orang-orang
melakukan sesuatu berdasarkan identitas mereka, khususnya keanggotaan mereka dalam
kelompok atau budaya tertentu, misalnya garis keturunan, klan, dan suku.14
Identifikasi dan
kolektifitas orang Sabu diaspora itu sangat kuat. Hal itu dapat dilihat kehidupan sehari-hari orang
Sabu diaspora yang hidup secara berkelompok dalam sebuah komunitas yang dinamakan
komunitas “kampung Sabu”. Dalam kehidupan komunitas itulah orang Sabu diaspora tetap
menjaga identitas mereka dengan melakukan berbagai aktifitas budaya seperti tradisi, ritual dan
lain sebagainya. Sementara dalam pemahaman Tafjel, ia berpendapat bahwa keanggotaan
kelompok adalah cukup dalam dirinya sendiri untuk menghasilkan identifikasi dengan kelompok
tersebut dan meneruskan perilaku terhadap anggota kelompoknya untuk melawan yang bukan
anggota kelompok. Hal ini mengikuti pemahaman psikologi sosial yang menekankan persaingan
yang realistis dan konflik kepentingan sebagai dasar bagi kerja sama dan pembentukkan
kelompok.15
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, mitos tentang ritual pebale rau kattu
do made ini berasal dari cerita tentang dua orang kakak beradik yaitu Jawa Miha dan Hawu
Miha yang berkonflik. Konflik yang dialami adalah perebutan pengetahuan dari ayah mereka.
Identifikasi dengan kelompok bukan berarti didalam kelompok tidak terjadi konflik.
Konsep identitas juga bersifat dinamis seperti yang diungkapkan oleh Anthony Giddens,
bahwa memahami identitas diri merupakan suatu keahlian bernarasi tentang diri dan
14
Jenkins, Social Identity. 7. 15
Richard Jenkins, Social Identity. 7.
88
menceritakan perasaan yang konsisten tentang kontinyuitas biografi. Seperti cerita identitas yang
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: apa yang dikerjakan? Bagaimana melakukan?
Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha mengkonstruksikan cerita identitas dengan saling
bertalian dimana diri seseorang membentuk lintasan suatu perkembangan dari pengalaman-
pengalaman di masa lalu menuju ke masa depan.16
Sementara itu, konstruksi identitas harus
dilihat sebagai konstruksi makna dan representasi terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
Identitas yang dikonstruksi oleh individu atau kelompok tertentu memiliki dampak positif dan
negatif atas mereka yang menggunakannya.17
Identitas juga terkait dengan persoalan apa yang
dimiliki, atau tentang apa yang menjadi kebiasaan dan apa yang membedakan seorang individu
dengan individu lain, atau etnik yang satu dengan etnik yang lain.18
Ritual pebale rau kattu do
made adalah sebuah ritual yang tidak saja menegaskan bahwa orang yang meninggal tersebut
memiliki identitas sebagai orang Sabu. Melalui rau kattu yang dibawa ke Sabu sebenarnya mau
menggambarkan tentang identitas sosial sebagai orang Sabu. Identitas itu bersifat dinamis karena
bukan saja identitas dari orang yang meninggal tersebut tetapi juga identitas dari keluarga.
Keluarga yang datang tidak saja membawa rau kattu tapi juga biasanya untuk menegaskan
identitas. Penegasan identitas itu diperlihatkan oleh anak cucu yang datang ke pulau Sabu untuk
tidak saja bertemu dengan keluarga, tetapi juga anak cucu yang telah mengalami keberhasilan di
tanah rantau dapat mengabdikan talentanya kepada orang-orang dan sanak keluarga di Sabu.
Dalam pemahaman Van Gennep, pelaksanaan ritus-ritus itu berkaitan dengan peralihan
suatu masyarakat atau kelompok masyarakat ke dalam status yang baru. Seperti contoh,
16
Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity (London: Cambridge Polity Press, 1991), 75. 17
Yance Z. Rumahuru, Ritual Ma’atenu sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha
di Pelauw Maluku Tengah, Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM. Vol.2 No. 1,
April 2012, 36-47. 18
Cris Weedon. Identity and Culture: Narative of Difference and Belonging, (UK: Open University Press,
2004).
89
kehamilan, kelahiran, perkawinan dan pemakaman. Tujuan pelaksanaan ritus adalah agar orang
masuk dalam sebuah status yang baru tanpa terjadi sesuatu hal yang tidak dinginkan. Contohnya,
agar seseorang tidak diganggu oleh roh leluhur. Hal ini juga terjadi dalam kehidupan orang Sabu
diaspora. Khusus untuk orang Sabu diaspora yang merantau di sebelah timur pulau Sabu harus
mengadakan ritual pebale rau kattu do made. Salah satu alasan agar ritual ini dilaksankan adalah
agar keluarga yang masih hidup tidak diganggu oleh arwah orang yang meninggal. Dalam
pemahaman orang Sabu jika belum melaksanakan ritual ini maka arwah orang yang meninggal
belum tenang karena belum bersama dengan arwah para leluhur. Oleh karena itu, ritual ini harus
dilaksanakan di Sabu, sebab di Sabu ada kendaraan dari Ama Piga Laga yang akan
menghantarkan arwah orang yang meninggal menuju tempat berkumpulnya para arwah di
Tanjung Sasar Sumba, Juli-Haha.
Dalam pemahaman Van Gennep, ia membagi tiga proses dalam ritus peralihan yaitu
pertama, ritus pemisahan (ritus separation); kedua, ritus transisi; ketiga, ritus inkorporasi. Ritus
pemisahan menonjol dalam upacara pemakaman, karena di sini manusia benar-benar dipisahkan
dengan orang yang meninggal. Ritus pemisahan diartikan sebagai ritus yang diadakan sebagai
tanda adanya pemisahan dengan dunia sebelumnya. Subjek ritual dipisahkan dari dunia
fenomenal yang ada, kemudian masuk ke dunia yang lain. Dalam hal ini kita bisa membedakan
antara situasi yang satu dengan situasi yang lain. Upacara itu sendiri mencerminkan adanya suatu
keterpisahan itu. Nampaklah keterpisahan yang nyata.19
Ritus pemisahan dalam kehidupan
orang Sabu diaspora adalah ritual pebale rau kattu do made. Ritus pemisahan ini tergambar
dalam kehidupan untuk memisahkan hubungan antara orang yang hidup dan orang yang
meninggal. Salah satu nilai yang terdapat dalam ritual pebale rau kattu do made adalah
19
Y.W. Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 33-34
90
pemulihan. Pemulihan ini nampak dalam pembawaan rau kattu dalam bentuk batu kuburan yang
kecil menandakan bahwa diantara keluarga terjadi konflik. Pemulihan bukan karena konflik,
tetapi pemulihan karena konsolidasi.
Ritus-ritus kematian menjaga kelangsungan kehidupan manusia dengan mencegah orang-
orang yang berdukacita dari penghentian entah dorongan untuk lari terpukul-panik dari keadaan
itu atau sebaliknya, dorongan untuk mengikuti almarhum ke kubur.20
Itu berarti bahwa praktik-
praktik ritus kematian sebagai ekspresi cinta kasih keluarga terhadap orang yang meninggal dan
untuk mencegah keluarga dari dorongan perasaan untuk mengikuti orang yang meninggal ke
kubur. Selain itu juga praktik ritus kematian juga untuk menghindari agar keluarga terhindar dari
roh-roh orang yang meninggal atau leluhur jika tidak melaksanakan ritual tersebut. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa ritus kematian itu memiliki fungsi ganda. Pertama, untuk orang
yang hidup atau keluarga sebagai bentuk cinta kasih keluarga terhadap orang yang meninggal.
Selain itu, pelaksanaan ritual kematian dalam hal ini ritual pebale rau kattu do made adalah agar
orang atau keluarga yang masih hidup dapat mengatasi krisis akibat peristiwa kematian dan
dorongan untuk mengikuti almarhum ke kubur. Kedua, untuk orang yang meninggal pelaksanaan
ritus kematian adalah untuk menghantarkan orang yang telah meninggal agar dapat tenang di
alamnya. Itulah juga yang terjadi dalam ritual pebale rau kattu do made, jika keluarga belum
melaksanaan ritual ini maka arwah dianggap belum tenang dan dapat menganggu keluarga, anak
dan cucu.
Dalam pemahaman Dillistone, ia mengatakan bahwa: Kesatuan sebuah kelompok, seperti
semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai simbol… Simbol sekaligus
merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan
20
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 96
91
pemahaman bersama… Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan
simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol.21
Nilai budaya
dalam sebuah masyarakat dinyatakan melalui simbol. Simbol yang menjadi pusat perhatian
dalam masyarakat Sabu adalah rambut (rau kattu). Simbol ini menjadi sebuah sarana komunikasi
bersama dalam kebudayaan Sabu. Dalam komunikasi tersebut maka semua orang Sabu memiliki
pemahaman yang sama tentang simbol rau kattu ini dalam ritual pebale rau kattu do made.
Simbol rambut ini memiliki makna yang sangat dalam. Rambut adalah bagian tubuh yang paling
ringan, awet, terhadap cuaca selain api. Rambut, juga sangat sederhana (simple) dan mudah
dibawa. Mengingat konteks pada waktu dahulu dimana teknologi dan komunikasi yang belum
memadai, selain dengan perahu layar (kowa) maka dapat dipahami pilihan rambut sebagai
simbol diri yang meninggal.22
Rambut menjadi pilihan sebagai lambang diri yang meninggal
untuk dibawa pulang ke Sabu. Bagi keluarga di Sabu, melihat rambut sama dengan melihat si
mati. Rau kattu adalah salah satu bagian dari kepala yang dapat direfleksikan sebagai pusat
pikiran manusia. Pikiran adalah tanda kemanusiaan yang membedakan manusia dari makhluk
lainnya. Orang yang sehat pikiran adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengingat
atau mengenang masa lalu, bertindak hari ini dan berharap di hari esok. Rambut (rau) bagian
dari kepala (kattu) menjadi simbol dari sebuah pikiran untuk mengingat dan memelihara
hubungan kekerabatan dalam keluarga daan dengan lingkungan alamnya (sebagai ibu yang
mengandung dan menghidupkan). Rau kattu adalah saat kembali ke rumah atau rahim ibu (b’alle
la da’ara kad’o ina).23
21
R.M. Maclver, Society, (Macmillan, 1950), 340 dalam W. Dillistone, The Power of Symbols, Ibid., 15. 22
Hasil wawancara dengan Ibu Pdt. Paoina Bara Pa 10 Juli 2016 23
Hasil wawancara dengan Ibu Pdt. Paoina Bara Pa 10 Juli 2016
92
Simbol ritual dalam pemahaman Turner dapat dilihat dan dipahami sebagai manifestasi
yang tampak dari ritus. Melalui simbol-simbol orang dapat mengungkapkan dan mengalami
sesuatu yang transenden. Simbol ritual bagi Turner tidak hanya berperan sebagai istilah atau
abstraksi saja, tetapi harus dilihat juga sebagai sesuatu yang hidup, terlibat dalam proses hidup
sosial, kultural dan religius. Bagi Turner simbol ritual merupakan faktor dalam tindakan sosial,
struktur dan sifat adalah entitas dinamis. Simbol ini merupakan kekuatan yang independen
dengan dirinya sendiri adalah produk dari pasukan lawan banyak. Konsepsi dinamisme,
menghasilkan tindakan, adalah pusat dari analisis simbolis Turner. Simbol menarik tindakan,
menghasilkan emosi yang kuat.24
Simbol tidak dapat berdiri sendiri namun simbol harus ada
dalam sebuah ruang ritual. Demikian juga dengan simbol rau kattu (rambut), simbol ini tidak
berarti apa-apa jika ia tidak terlibat dalam sebuah ruang ritual. Simbol ini menjadi bermakna
ketika ia ada dalam ritual pebale rau kattu do made. Simbol rambut ini hanya berarti sebagai
salah satu aspek yang terdapat dalam anggota tubuh manusia, namun rambut memiliki arti yang
lebih ketika dalam ritual pebale rau kattu do made sebagai lambang dari diri si mati. Simbol rau
kattu ini tidak hanya dipahami dalam ruang kultural saja, tetapi dalam perkembangannya nilai-
nilai dari simbol ini dapat diterapkan dalam kehidupan sosial maupun kehidupan beragama dan
hubungan antar agama. Dalam kehidupan sosial kita dapat melihat simbol rau kattu ini memiliki
nilai berbagi rejeki. Kehadiran dari keluarga dari rantau juga berdampak secara ekonomi. Mereka
datang tentu dengan membawa rejeki yang mereka dapatkan di rantau untuk berbagi dalam
bentuk misalnya, pakaian, makanan, kolekte dan perlengakapan rau-kattu. Tidak saja hal-hal
fisik yang dapat dibagi oleh keluarga dari rantau tetapi juga seperti pengetahuan dan
24
As Turner states, the ritual symbol is a factor in social action; its structure and properties are those of
dynamic entities. The symbol is an independent force with itself is the product of many opposed forces. This
conception of dynamism, of generating action is central to Turner’s symbolis analysis. Symbol entice action,
generate strong emotions. H. Barbara Boudewijnse, The Ritual studies of Victor Turner: An Antropological
Approach and It’s Psychological Impact, 6
93
keterampilan pun dapat dibagi. Anak-anak rantau yang datang pun dapat memberi dirinya
sebagai sumber daya untuk membangun kampung halamannya sesuai dengan talenta setelah
melihat kampung halamannya dari dekat.
Simbol rau kattu memiliki nilai-nilai luhur yang dapat diterapkan dalam kehidupan
beragama. Hal itu dapat dilihat dalam pelaksanaan ritual pebale rau kattu do made dalam versi
Kristen. Nili-nilai luhur yang ada dalam ritual ini adalah kekerabatan di perbaharui, pemulihan,
perdamaian, dan lain-lain. Nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi dasar bagi gereja dalam
memaknai pelaksaan ritual ini. Sebagai Gereja dalam hal ini Gereja Masehi Injili di Timor
(GMIT) menerima ritual ini hanya sebagai bentuk penyertaan Tuhan dalam kehidupan keluarga
yang meninggal dan mensyukuri pertemuan keluarga yang dari rantau bertemu dengan keluarga
di Sabu.25
Dalam pelaksanaannya tidak ada praktek terpisah yang dilaksanakan oleh gereja
sehubungan dengan ritual ini. Gereja hanya berupaya mengadopsi nilai-nilai yang baik atau luhur
yang terdapat didalam ritual ini. Gereja tidak mengarahkan jemaatnya untuk melakukan praktek
agama suku, namun memahami praktek-praktek agama suku itu dalam bingkai iman Kristen.26
Jadi, dapat disimpulkan bahwa gereja menerima pelaksanaan sebuah ibadah dalam ritual ini
hanya sebagai bentuk mensyukuri penyertaan Tuhan dan nilai-nilai positif dalam ritual ini.
Fungsi pertama yang tersirat dalam simbol adalah fungsi perwakilan. Simbol merupakan
sesuatu yang tidak berdiri sendiri, namun ada kekuatan dan makna yang berpartisipasi
didalamnya. Ini adalah fungsi dasar dari setiap simbol, dan oleh karena itu, jika kata yang belum
digunakan dalam banyak cara lainnya, salah satu bisa mungkin bahkan menerjemahkan
25
Hasil wawancara dengan Bapak Pdt. Danial Manu 09 Juli 2016 26
Hasil wawancara dengan Bapak Pdt. Danial Manu 09 Juli 2016
94
"simbolis" sebagai " perwakilan," tapi untuk beberapa alasan yang tidak memungkinkan.27
Simbol rau kattu ini berfungsi sebagai perwakilan yaitu sebagai simbol diri dari orang yang telah
meninggal. Simbol diri ini juga mau menggambarkan bahwa seseorang tersebut telah ada dalam
persekutuan bersama dengan keluarga di tanah leluhurnya atau di Pulau Sabu. Dalam simbol rau
kattu ini juga tersingkap beberapa simbol lainnya yang juga sangat berarti dalam kehidupan
orang Sabu. Pertama, simbol rumah (kelaga), simbol ini memiliki fungsi yaitu jika seseorang
Sabu diaspora telah meninggal di tanah rantau maka ia harus kembali ke rumah. Rumah disini
yang dimaksudkan adalah rumah yang berada di tempat asal (pulau Sabu) untuk berkumpul
bersama dengan keluarga dan leluhurnya. Rumah dalam pemahaman orang Sabu juga adalah
sebagai pusat dunia (axis mundi). Kehidupan dimulai dari rumah, berlangsung dalam rumah dan
berakhir di rumah. Rumah tidak hanya menjadi tempat untuk beristirahat bagi orang yang telah
meninggal tetapi juga rumah bermakna bagi ruang pertemuan bagi orang (keluarga) yang masih
hidup. Rumah sebagai ruang pertemuan bagi orang yang hidup karena di dalam rumah terdapat
energi dan kekuatan yang paling dahsyat yaitu persaudaraan dan kekeluargaan. Rumah juga
adalah simbol persatuan yang menghimpun, memelihara dan melindungi semua keluarga baik
yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Rumah orang Sabu berbentuk perahu. Struktur
rumah dalam masyarakat Sabu terdiri atas buritan dan haluan. Buritan diatur menjadi bagian
perempuan mulai dari kegiatan harian, upacara, penyimpan benih dan logistik, melahirkan, tidur,
dan kematian. Haluan diatur menjadi milik laki-laki mulai dari kegiatan harian, upacara, tidur,
dan kematian. Keseimbangan laki-laki dan perempuan ditandai dengan tiang nok/tiang induk,
yaitu gela bani-gela mone (tiang layar perempuan dan tiang layar laki-laki). Dasar (kolong)
rumah sebagai tempat untuk kembali kepada asal (kematian) dibagi untuk perempuan (wui) dan
27
Fredik Bath dalam Michael Peterson, Philosophy of Religion, (New York: Oxford University Press,
1996), . 359.
95
laki-laki (d’uru). 28
Kedua, simbol dari pulau Sabu itu sendiri adalah rahim ibu. Ketika seseorang
dilahirkan seperti dalam posisi jongkok atau duduk dalam rahim ibu maka ketika seseorang
meninggal juga harus dikuburkan dalam posisi duduk seperti dalam rahim ibu.
Simbol rau kattu ini dalam perkembangannya mengalami pergeseran. Pada awalnya rau
kattu itu adalah rambut. Alasan penggunaan rambut adalah sesuatu yang ada dalam diri si mati,
mudah dibawa dalam perjalanan yang panjang dengan menggunakan perahu layar (kowa), tahan
terhadap cuaca dan api serta awet. Pada masa sekarang dalam ritual pebale rau kattu do made
yang dibawa pulang ke Sabu bukan rambut, tetapi bisa dalam bentuk sarung atau selimut, kain,
batu kuburan yang kecil, pakaian dari yang meninggal dan tulang. Sekalipun rau kattu dapat
diganti dengan barang-barang yang lain, tetapi makna dari simbol rau kattu itu tidak berubah
yaitu sebagai simbol diri dari orang yang telah meninggal.
Kesimpulan
Orang Sabu diaspora adalah orang Sabu yang lahir di Sabu tetapi karena tuntutan hidup dan
pekerjaan menetap di tanah rantau. Orang Sabu diaspora memaknai pulau Sabu dalam 3
pengertian yaitu pulau Sabu sebagai rumah, rahim ibu dan banyak deposito memori kehidupan.
Melalui makna pulau Sabu dalam tiga hal tersebut menjadikan orang Sabu diaspora menjaga
identitas mereka melalui komunitas “kampung Sabu”, solidaritas dalam kehidupan di diaspora,
pelaksanaan nilai-nilai kehidupan seperti kekeluargaan, persaudaraan, dan lain-lain. Identitas itu
dimiliki oleh orang Sabu diaspora sejak ia lahir sampai ia meninggal dan keluarga melaksanakan
ritual pebale rau kattu do made.
28
Gregor Neonbasu, Kebudayaan Sebuah Agenda, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 245