20
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis dan Administrasi 4.1.1. Kondisi Geografis Pulau Bintan merupakan salah satu bagian gugusan pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah administrasi gugus Pulau Bintan terdiri dari Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang. Kota Tanjung Pinang yang terletak di Pulau Bintan dan sangat berdekatan dengan Negara Singapura yang merupakan transit dan lintas perdagangan dunia dan juga Malaysia dengan pelabuhan Tanjung Pelepas. Selain itu Pulau Bintan dan sekitarnya mempunyai potensi sumberdaya alam yang kaya, diantaranya pertambangan (bauksit), perikanan dan pariwisata. Pulau Bintan mempunyai luas 13.903,75 km 2 Secara geografis gugus Pulau Bintan terletak pada 104° 00’ BT- 104° 53’ BT dan 0° 40’ LU - 1° 15’ LU. Pulau Bintan merupakan pulau yang langsung berbatasan dengan negara Singapura dan Malaysia. Adapun batas tersebut adalah: sebelah utara berbatasan dengan Selat Singapura/Selat Malaka, sebelah selatan dengan Provinsi Jambi, sebelah barat dengan Provinsi Riau, dan sebelah timur dengan Selat Karimata, laut Cina Selatan. atau sekitar 11,4% dari total luas seluruh pulau di Provinsi Kepulauan Riau. Jika dilihat dari letak geografisnya, Pulau Bintan memiliki nilai strategis dan berada dekat dengan jalur pelayaran dunia yang merupakan salah satu simpul dari pusat distribusi barang dunia. Kedekatan ini merupakan salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki Kabupaten Bintan dalam menghadapi pasar bebas. Pulau Bintan dapat dijangkau dengan pesawat udara dari kota-kota besar Indonesia maupun seluruh dunia, melalui bandara udara Hang Nadim Batam dan dilanjutkan dengan kapal ferry menuju ke Pulau Bintan. Dari Singapura dan Johor, Pulau Bintan dapat ditempuh dengan waktu 2 jam menggunakan kapal ferry ke Pelabuhan Bintan Telani Lagoi ataupun Pelabuhan Sri Bintan Pura di Tanjung Pinang. 4.1.2. Wilayah Administrasi Secara administrasi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Bintan Timur berada di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan

BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografis dan Administrasi

4.1.1. Kondisi Geografis

Pulau Bintan merupakan salah satu bagian gugusan pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah administrasi gugus Pulau Bintan terdiri dari Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang. Kota Tanjung Pinang yang terletak di Pulau Bintan dan sangat berdekatan dengan Negara Singapura yang merupakan transit dan lintas perdagangan dunia dan juga Malaysia dengan pelabuhan Tanjung Pelepas. Selain itu Pulau Bintan dan sekitarnya mempunyai potensi sumberdaya alam yang kaya, diantaranya pertambangan (bauksit), perikanan dan pariwisata. Pulau Bintan mempunyai luas 13.903,75 km2

Secara geografis gugus Pulau Bintan terletak pada 104° 00’ BT- 104° 53’

BT dan 0° 40’ LU - 1° 15’ LU. Pulau Bintan merupakan pulau yang langsung berbatasan dengan negara Singapura dan Malaysia. Adapun batas tersebut adalah: sebelah utara berbatasan dengan Selat Singapura/Selat Malaka, sebelah selatan dengan Provinsi Jambi, sebelah barat dengan Provinsi Riau, dan sebelah timur dengan Selat Karimata, laut Cina Selatan.

atau sekitar 11,4% dari total luas seluruh pulau di Provinsi Kepulauan Riau.

Jika dilihat dari letak geografisnya, Pulau Bintan memiliki nilai strategis dan berada dekat dengan jalur pelayaran dunia yang merupakan salah satu simpul dari pusat distribusi barang dunia. Kedekatan ini merupakan salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki Kabupaten Bintan dalam menghadapi pasar bebas.

Pulau Bintan dapat dijangkau dengan pesawat udara dari kota-kota besar Indonesia maupun seluruh dunia, melalui bandara udara Hang Nadim Batam dan dilanjutkan dengan kapal ferry menuju ke Pulau Bintan. Dari Singapura dan Johor, Pulau Bintan dapat ditempuh dengan waktu 2 jam menggunakan kapal ferry ke Pelabuhan Bintan Telani Lagoi ataupun Pelabuhan Sri Bintan Pura di Tanjung Pinang.

4.1.2. Wilayah Administrasi

Secara administrasi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Bintan

Timur berada di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan

Page 2: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

61

Bintan Pesisir. Luas KKLD tersebut adalah 116.000 ha. Adapun luas dua

kecamatan tersebut disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Luas wilayah administratif kecamatan di KKLD Bintan Timur

No Kecamatan Desa/Kelurahan Luas (km2) Darat Laut Total

1 Bintan Pesisir 4 234,00 1.940,00 2.174,00 2 Gunung Kijang 4 376,99 4.426,61 4.803,60

Jumlah 8 610,99 6.366,61 6.977,60 Sumber: BPS Kabupaten Bintan Tahun 2009

Dari Tabel 11 di atas terlihat bahwa luas wilayah perairan laut kedua

kecamatan tersebut adalah 6.366,61 km2

4.2. Topografi dan Iklim

(636.661 ha) atau 91% dari total luas

wilayah. Dengan demikian perbandingan antara luas KKLD dengan perairan laut

adalah 1 : 5 atau 20 % dari luas perairan laut di kedua kecamatan tersebut adalah

menjadi wilayah konservasi. Hal ini tentu sangat membantu dalam pelestarian

sumberdaya hayati laut termasuk terumbu karang yang terkandung di dalamnya.

4.2.1. Topografi

Gugus Pulau Bintan pada umumnya merupakan daerah dengan dataran

landai di bagian pantai. Pulau Bintan memiliki topografi yang bervariatif dan

bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar dari 0-3 % hingga diatas 40 %

pada wilayah pegunungan. Sedangkan ketinggian wilayah pada Pulau Bintan dan

pulau-pulau lainnya berkisar antara 0 – 50 meter diatas permukaan laut hingga

mencapai ketinggian 400 meter diatas permukaan laut.

Secara keseluruhan kemiringan lereng di Pulau Bintan relatif datar, umumnya

didominasi oleh kemiringan lereng yang berkisar antara 0% - 15% dengan luas

mencapai 55,98 % (untuk wilayah dengan kemiringan 0 – 3% mencapai 37,83%

dan wilayah dengan kemiringan 3 – 15% mencapai 18,15%). Sedangkan luas

wilayah dengan kemiringan 15 – 40% mencapai 36,09% dan wilayah dengan

kemiringan > 40% mencapai 7,92%.

Page 3: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

62

4.2.2. Iklim

Cuaca di wilayah Kabupaten Bintan dipengaruhi oleh angin musim yang

berubah arah sesuai dengan posisi matahari terhadap bumi dengan dua musim

yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada umumnya daerah Kabupaten Bintan

beriklim tropis basah dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September

sampai dengan bulan Februari. Sedangkan musim kemarau terjadi antar bulan

Maret sampai dengan bulan Agustus.

Temperatur rata-rata bulanan berkisar antara 24,8°C sampai dengan

26,6°C dengan temperatur udara maksimum antara 29,0°C - 31,3°C, sedangkan

temperatur udara minimum berkisar antara 22,2°C - 23,3°C.

Gugusan Kabupaten Bintan mempunyai curah hujan cukup dengan iklim

basah, berkisar antara 2000 – 2500 mm/tahun. Rata-rata curah hujan per tahun ±

2.214 milimeter, dengan hari hujan sebanyak 110 hari. Curah hujan tertinggi pada

umumnya terjadi pada bulan Desember (347 mm), sedangkan curah hujan

terendah terjadi pada bulan Agustus (101 mm). Temperatur rata-rata terendah

22,5°C dengan kelembaban udara 83%-89%.

Kabupaten Bintan mempunyai 4 macam perubahan arah angin yaitu :

• Bulan Desember-Februari : angin utara

• Bulan Maret-Mei : angin timur

• Bulan Juni-Agustus : angin selatan

• Bulan September-November : angin barat

Kecepatan angin terbesar adalah 9 knot pada bulan Desember-Januari,

sedangkan kecepatan angin terendah pada bulan Maret - Mei. Kondisi angin pada

umumnya dalam satu tahun terjadi empat kali perubahan angin; bulan Desember -

Februari bertiup angin utara, bulan Maret – Mei bertiup angin timur, bulan Juni –

Agustus bertiup angin selatan dan bulan September – Nopember bertiup angin

barat. Angin dari arah utara dan selatan yang sangat berpengaruh terhadap

gelombang laut menjadi besar. Sedangkan angin timur dan barat terhadap

gelombang laut yang timbul relatif kecil.

Page 4: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

63

Kondisi tiupan angin di atas perairan Pulau Bintan yang menyebabkan

gelombang dan arus adalah angin utara dan barat laut dimana angin tersebut

umumnya bertiup pada bulan Juni hingga Agustus. Gelombang di perairan Bintan

Timur sebelah utara pada musim angin utara bisa mencapai ketinggian 2 meter.

(Bappeda Kabupaten Bintan, 2007)

4.3. Hidrooseanografi

4.3.1. Sungai dan Laut

Sungai-sungai di Pulau Bintan pada umumnya kecil dan dangkal, hampir

semua tidak digunakan untuk lalu lintas pelayaran. Pada umumnya hanya

digunakan untuk saluran pembuangan air dari daerah rawa-rawa. Sungai yang

agak besar terdapat di Pulau Bintan terdiri dari beberapa Daerah Aliran Sungai

(DAS), dua diantaranya DAS besar yaitu DAS Jago seluas 135,8 km² dan DAS

Kawal seluas 93,0 km² dan hanya digunakan sebagai sumber air minum, (BP DAS

Kepulauan Riau, 2010).

4.3.2. Arus Laut

Arus di perairan Kabupaten Bintan termasuk arus yang cukup kompleks sebagai hasil interaksi berbagai arus yang terdiri dari arus tetap musiman, serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi arus seperti topografi perairan, situasi garis pantai dan sebagainya. Arus utama perairan Bintan dipengaruhi dan mengikuti pola arus Laut Natuna secara umum, yang sangat tergantung dari angin musim. Pergerakan pasang surut suatu daerah memegang peranan sangat penting dalam mempertahankan sumberdaya alam seperti terumbu karang, magrove, lamun, daerah estuaria dan sebagainya. Selain arus dan kecepatan arus serta pasang surut juga mempengaruhi pergerakan berbagai polutan kimia, pencemaran, minyak dan lain-lain. Posisi geografis Kabupaten Bintan yang terletak pada pertemuan perambatan pasang surut Samudera Hindia melalui Selat Malaka dan dari Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan menyebabkan perairan Kepulauan Riau memiliki arus pasang surut dengan pola bolak-balik.

Secara umum tidak terlihat adanya perbedaan mencolok kecepatan arus antara stasiun pengamatan. Hasil pengkuran kecepatan arus permukaan pada saat penelitian berkisar 0,12 – 0,22 m/detik. Nilai rata-rata kecepatan arus terendah ditemukan di perairan Pulau Manjin, Muara Kawal, Pulau Beralas Bakau dan

Page 5: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

64

sekitar perairan Pulau Nikoi yaitu 0,12 m/detik, sedangkan kecepatan arus tertinggi ditemukan di sekitar perairan Pulau Gin, yaitu, 0,22 m/detik. Pola arus laut utama di sekitar Pulau Bintan sangat dipengaruhi oleh angin musim. Pada dasarnya sepanjang tahun arus utama lewat perairan Bintan menuju Selat Malaka yang selanjutnya ke luar ke Luat Andaman. Namun pada musim utara arus datang dari arah Laut Cina Selatan, sedangkan pada musim Selatan arus utama datang dari arah Selat Karimata antara Sumatera dan Kalimantan. Kecepatan arus permukaan di perairan Pulau Bintan pada bulan-bulan tertentu lebih kuat terutama pada musim barat (Nopember- Februari). Kecepatan arus permukaan berkisar antara 0,15 -1,5 knot atau sekitar 0,15 – 0,75 m/detik.

4.4. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya

4.4.1. Kependudukan

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan, pada tahun

2009 jumlah penduduk Kabupaten Bintan tercatat sebanyak 127.404 jiwa, dengan

rincian 66.466 jiwa laki-laki dan 60.938 jiwa perempuan. Kepadatan penduduk

Kabupaten Bintan adalah 64 jiwa/km² dengan pertumbuhan sebesar 2,63% per

tahun. Sementara itu jumlah penduduk di Kecamatan Gunung Kijang dan

Kecamatan Bintan Pesisir adalah 18.339 jiwa yang terdiri dari laki-laki 9.797

jiwa dan perempuan 8.533 jiwa. Jumlah rumah tangga sebanyak 4.417 kepala

keluarga (KK) dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4 jiwa.

4.4.2. Mata Pencaharian Penduduk

Ditinjau dari mata pencaharian penduduk Kabupatan Bintan hingga saat

ini masih didominasi oleh sektor pertanian secara umum (pertanian, perkebunan,

kehutanan dan perikanan). Jumlah penduduk yang bergerak di sektor pertanian

ini mencapai 29,10%, kemudian disusul oleh sektor industri 17,51%, sektor jasa

16,90%, perdagangan 12,93%, konstruksi 8,28%, angkutan dan komunikasi

8,18% dan sisanya bergerak di sektor pertambangan dan keuangan (BPS

Kabupaten Bintan, 2009).

Sektor perikanan merupakan mata pencaharian dominan bagi penduduk

yang bermukim di daerah pesisir Kabupaten Bintan. Khusus di Kecamatan

Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir yang menjadi lokasi penelitian

Page 6: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

65

mata pencaharian sebagai nelayan merupakan pekerjaan utama bagi sebagian

besar penduduk. Di Kecamatan Bintan Pesisir lebih dari 20% (Desa Kelong,

Mapur dan Air Glubi) penduduknya berprofesi sebagai nelayan tangkap,

sedangkan di Kecamatan Gunung Kijang terutama di Desa Malang Rapat 40,96%

dan Desa Gunung Kijang sekitar 20,03%.

Pendapatan nelayan di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir

sangat dipengaruhi oleh musim angin, yaitu musim angin utara (gelombang kuat:

bulan Desember, Januari dan Februari), musim angin timur (gelombang lemah:

bulan Maret, April dan Mei) dan musim angin selatan dan barat (musim

pancaroba: bulan Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan Nopember).

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui pendapatan rata-rata

responden sebulan sekitar Rp. 1.143.953,- atau sebesar Rp. 285.988,-

/kapita/bulan. Adapun statistik pendapatan responden berdasarkan musim

disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Statistik pendapatan rumah tangga responden dari kegiatan kenelayanan menurut musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Kelompok Pendapatan

Musim Ombak Kuat Pancaroba Ombak Tenang

Rata-rata 762.885 1.031.629 1.928.833 Median 500.000 750.000 1.500.000 Minimum 160.000 180.000 400.000 Maksimum 6.000.000 5.200.000 5.500.000

N 90 90 90

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan nelayan tertinggi

terjadi pada musim ombak tenang dan terendah pada musim ombak kuat. Pada

musim ombak tenang nelayan dapat melaut setiap hari dengan menggunakan

semua jenis alat tangkap yang dimiliki. Sebaliknya pada musim ombak kuat

umumnya nelayan tidak dapat melaut. Kegiatan melaut hanya dilakukan oleh

nelayan yang memiliki perahu motor dengan kapasitas mesin yang cukup besar.

Pendapatan rumah tangga nelayan pada umumnya masih tergolong rendah.

Gambar 6 memperlihatkan distribusi rumah tangga menurut kelompok pendapatan

dan musim.

Page 7: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

66

85,9

73

21,1

60

10,313,5

47,8

23,9

2,57,9

17,89,4

1,35,6

13,36,7

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90%

Ru

mah

Tan

gg

a

≤1.000.000 > 1.000.000-2.000.000

> 2.000.000-3.000.000

> 3.000.000

Ombak Kuat Pancaroba Ombak tenang Rata-rata

Gambar 6. Distribusi persentase rumah tangga responden menurut kelompok pendapatan dan musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan

Dari Gambar 6 terlihat bahwa terjadi perbedaan pendapatan yang sangat

menonjol antara tiga musim angin. Pada musim angin kuat, sebagian besar

(85,9%) rumah tangga nelayan berada pada kategori pendapatan terbawah (< Rp.

1.000.000,). Kondisi ini mengindikasikan bahwa musim angin kencang dan laut

berombak besar merupakan masa sulit bagi nelayan. Sebaliknya pada musim

ombak tenang terjadi peningkatan pendapatan sebagian besar rumah tangga

nelayan (47,8%), yaitu dengan pendapatan > Rp.1.000.000 – Rp. 2.000.000,-.

Selanjutnya juga terlihat bahwa ada sekitar 60% rumah tangga nelayan responden

mempunyai pendapatan rata-rata < Rp 1.000.000,-. Adapun angka garis

kemiskinan di Kabupaten Bintan pada tahun 2010 adalah sebesar Rp. 274.271,-

/kapita/bulan. Menurut BPS Kabupaten Bintan (2009) jumlah anggota rumah

tangga rata-rata empat orang, maka pendapatan rumah tangga kategori miskin

adalah sebesar Rp. 1.099.084,-. Dengan demikian sebagian besar nelayan di

Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir tergolong nelayan miskin.

4.4.3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Bintan secara umum tergolong

rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah penduduk yang tidak pernah

Page 8: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

67

sekolah dan atau yang tidak atau hanya tamat SD sederajat. Adapun persentase

jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi ditamatkan

disajikan pada Tabel 13.

Tabel. 13. Persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2008

No Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Rata-rata Laki-laki Perempuan

............................%..................................... 1 Tidak/belum pernah sekolah 5,89 9,02 7,46 2 Tidak/belum tamat SD/MI 27,49 25,06 26,27 3 SD/MI/ sederajat 22,15 22,36 22,26 4 SLTP/MTs/sederajat 17,54 19,71 18,62 5 SMU/MA/sederajat 21,03 18,60 19,82 6 Akademi/Diploma 2,14 2,89 2,52 7 Universitas 3,76 2,36 3,05

Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber : BPS Kabupaten Bintan, 2009

Dari Tabel 13 terlihat bahwa jumlah penduduk Kabupaten Bintan yang

tidak pernah sekolah hingga tamat SD/MI/sederajat mencapai 55,99%. Jumlah

penduduk yang berpendidikan SLTP dan SLTA sekitar 38,44% dan hanya 5,57%

yang berpendidikan tinggi.

Dari hasil wawancara terhadap terhadap 90 orang responden di wilayah

studi terungkap bahwa 44,4% responden tidak tamat SD, 40% tamat SD, 11,1%

tamat SLTP dan 4,4% tamat SLTA. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di

Kabupaten Bintan ini, khususnya penduduk Kecamatan Gunung Kijang dan

Kecamatan Bintan Pesisir akan berpengaruh terhadap pengetahuan dan kedasaran

mereka dalam menjaga lingkungan termasuk menjaga keutuhan ekosistem

terumbu karang. Hal ini akan menjadi kendala dalam pengelolaan ekosistem

terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Faktor sosial ekonomi merupakan

penyebab utama rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan.

Selain itu, faktor geografis dan transportasi juga menjadi penghambat aksesibilitas

untuk menjangkau sarana pendidikan yang memadai, terutama bagi penduduk

yang berdomisili di luar pulau Bintan.

Page 9: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

68

Walaupun tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah, namun

pengetahuan lingkungan mereka cukup baik terutama tentang keberadaan terumbu

karang. Dari 90 orang responden yang diwawancarai 89 orang (98,6%) setuju

adanya daerah perlindungan laut untuk melindungi terumbu karang dan biota laut

yang hidup di dalamnya. Disamping itu 77 orang responden (85%) mengatakan

bahwa keberadaan terumbu karang sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan

mereka. Dari hasil wawancara juga terungkap bahwa sikap masyarakat bila

mengetahui ada orang yang mengambil atau merusak terumbu karang mereka

akan melarang (58 orang responden atau 64,4%), 19 orang responden (21,1%)

akan melapor ke Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan

8 orang (8,9%) akan melapor ke Kepala Desa.

Pengetahuan masyarakat tentang arti penting ekosistem terumbu karang ini

tidak terlepas dari adanya Program Coremap II di wilayah studi. Program

Coremap II ini telah dimulai sejak tahun 2004 dan berakhir pada tahun 2010.

LIPI (2009) melaporkan bahwa pengetahuan dan partisipasi masyarakat di daerah

studi tentang kegiatan Coremap menunjukkan adanya peningkatan terutama

pengetahuan terkait dengan penyelamatan sumberdaya laut. Pada tahun 2007

hanya ada sebanyak 49% responden yang mengetahui bahwa program Coremap

untuk menyelamatkan sumberdaya laut, sedangkan pada tahun 2009 sudah

diketahui oleh sebanyak 81,8%. Peningkatan persentase responden yang

mengetahui implementasi Coremap dalam upaya penyelamatan terumbu karang

juga diikuti pengetahuan tentang berbagai manfaat dari kegiatan Coremap antara

lain peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pelestarian terumbu

karang, dan pentingnya kegiatan perlindungan, pengawasan pesisir dan laut.

4.4.4. Sosial Budaya

Struktur sosial budaya masyarakat Kabupaten Bintan merupakan hasil

perjalanan sejarah sejak Kerajaan Melayu hingga masa setelah kemerdekaan. Saat

ini penduduk yang mendiami Kabupaten Bintan terdiri dari berbagai latar

belakang suku, kebudayaan, dan strata sosial yang berbeda.

Page 10: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

69

Wilayah Kabupaten Bintan sebagian besar adalah wilayah laut, oleh

karena itu sebagian besar penduduk di wilayah Kabupaten Bintan bermata

pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat di Kabupaten Bintan didominasi oleh

suku Melayu yang masih kental dalam menjalankan adat istiadatnya sehari-hari

dengan memegang teguh ajaran agama Islam. Selain itu, etnis keturunan Cina,

Jawa, Batak, Minang, Bugis, Banjar dan suku lainnya juga banyak mendiami

Kabupaten Bintan.

Kabupaten Bintan juga memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, seperti di

Desa Kawal terdapat Situs Pra Sejarah yang dikenal dengan sebutan “Bukit

Kerang”. Situs ini merupakan gundukan tinggi pecahan cangkang karang. Hal ini

diyakini merupakan sisa-sisa kehidupan purba dan sekarang masih dalam tahap

penelitian.

4.4.5. Potensi Konflik Pemanfaatan Sumberdaya

Dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tidak jarang terjadi konflik antar

stakeholders. Sumberdaya wilayah pesisir dan laut merupakan sumberdaya yang

bersifat open access dan common property, sehingga setiap orang atau

stakeholders berhak memanfaatkannya dengan tujuan memperoleh nilai atau

keuntungan ekonomi (Tarigan, 2008). Berdasarkan hasil kajian LIPI (2009)

bahwa terdapat potensi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di

Kecamatan Gunung Kijang Bintan terutama di Desa Malang Rapat dan Desa

Gunung Kijang. Potensi konflik tersebut antara lain bersumber dari pembuangan

limbah tailing penggalian pasir darat yang marak dilakukan sebelum tahun 2006.

Saat ini kegiatan penambangan pasir tersebut sudah berhenti, namun dampaknya

masih terasa ditandai dengan terjadinya kekeruhan dan warna air laut yang belum

kembali jernih seperti semula. Kondisi ini meyebabkan nelayan mengalami

kesulitan untuk mendapatkan ikan dan ketam di wilayah sekitar pantai, sehingga

berpengaruh terhadap hasil tangkapan.

Potensi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang lain adalah

pengembangan pariwisata pantai dan bahari. Berdasarkan hasil kajian LIPI dan

PPSPL UMRAH (2010) terungkap bahwa kehadiran perusahaan pariwisata di

Page 11: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

70

sepanjang Pantai Trikora dan kawasan wisata di Kecamatan Teluk Sebong oleh

masyarakat terutama nelayan kerap dianggap penyebab menurunnya hasil tangkap

ikan. Masyarakat berpendapat bahwa kegiatan wisata seperti lalu lalangnya kapal

speed, permainan banana boat, jetsky dan sebagainya menyebabkan perairan

menjadi keruh sehingga ikan-ikan menjadi terganggu, lalu pergi meninggalkan

daerah penangkapan. Masyarakat Desa Sebong Lagoi mengeluhkan kegiatan

penimbunan dan pembangunan insfrastruktur yang dilakukan perusahaan wisata

di Kawasan Resor Wisata, Lagoi Bay, menimbulkan kekeruhan perairan pantai

sehingga nelayan yang biasa beroperasi di tepi pantai tidak dapat melakukan

aktivitas penangkapan ikan seperti biasanya. Namun demikian potensi konflik ini

yang terdapat saat ini tergolong sedang, tetapi perlu dicarikan solusi yang terbaik

4.5. Sarana dan Prasarana Pariwisata

Pulau Bintan sebagai salah tujuan wisata nasional telah banyak dikunjungi

oleh wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik setiap

tahunnya. Pada tahun 2008 tercatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke

Pulau Bintan sebanyak 316.15 orang. Untuk mendukung kepariwisataan tersebut

sejumlah sarana dan prasarana telah dibangun di beberapa lokasi yang menjadi

pusat wisata seperti di kawasan wisata Lagoi dan Pantai Trikora. Di kawasan

wisata Lagoi terdapat 9 hotel berbintang dengan jumlah kamar sebanyak 1.300

buah. Sedangkan di kawasan wisata Pantai Trikora terdapat 6 buah hotel

berbintang 3 dengan jumlah kamar sebanyak 207 buah.

Selain hotel, juga terdapat sejumlah restoran dan rumah makan yang

tersebar di setiap lokasi wisata. Pada tahun 2008 terdapat 134 restoran dan rumah

makan dengan jumlah tempat duduk 4.964 buah (BPS Kabupaten Bintan, 2009).

4.6. Potensi Kelautan dan Perikanan

4.6.1.Potensi Perikanan Tangkap dan Budidaya

- Perikanan tangkap

Gugus Pulau Bintan memiliki potensi perikanan yang sangat besar untuk

kegiatan perikanan tangkap dan budidaya. Kondisi ini ditunjang dengan posisi

Page 12: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

71

geografis yang berada di pertemuan antara Laut Cina Selatan dan Laut Pedalaman

Indonesia (Laut Jawa dan Selat Malaka). Selat Malaka merupakan salah satu

lautan yang memiliki nilai produktivitas primer yang tinggi. Wilayah perairan

gugus pulau Bintan sebagian besar terletak pada Wilayah Pengelolaan Perikanan 4

(WPP 4), yaitu wilayah Laut Cina Selatan yang memiliki potensi sumberdaya

ikan paling besar diantara 11 WPP yang ada. Estimasi potensi perikanan tangkap

di perairan Kabupaten Bintan mencapai 106,018 ton dengan jumlah tangkapan

yang diperbolehkan 84.814 ton (DKP Kabupaten Bintan, 2009).

Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kabupaten Bintan Tahun 2008 tercatat

sebanyak 8.949 RTP dan pada tahun 2007 berjumlah 8.288 RTP. Jumlah tersebut

mengalami peningkatan sebanyak 661 RTP (7,98%). Rumah tangga perikanan

tangkap merupakan yang paling dominan, yaitu 8.460 RTP (945%), budidaya laut

297 RTP, budidaya payau 45 RTP dan budidaya perairan tawar 147 RTP.

Adapun alat tangkap yang digunakan oleh nelayan antara lain; gillnet, pancing

ulur, bubu, pancing tonda, pukat bilis dan lain-lain (DKP Kabupaten Bintan,

2009).

Alat tangkap jaring yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Bintan pada

umumnya mempunyai ukuran mata jaring (mesh size) yang tidak rapat sesuai

dengan sasaran ikan yang akan ditangkap. Umumnya ukuran mata jaring yang

digunakan berkisar 5 - 12,5 cm, kecuali jaring yang digunakan untuk menangkap

ikan bilis mempunyai ukuran mata jaring yang sangat rapat. Kegiatan perikanan

yang menggunakan alat tangkap jaring mempunyai tujuan untuk menangkap ikan

pelagis seperti ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii), ikan kembung

(Rastrelliger spp) dan lain sebagainya. Jaring apollo (trammel net) banyak

digunakan untuk menangkap lobster.

Bubu juga merupakan alat tangkap yang sangat dominan digunakan oleh

nelayan di Kabupaten Bintan. Termasuk di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan

Pesisir. Alat tangkap bubu ini terbuat dari kawat dengan ukuran mata kawat

sekitar 2,5 cm yang banyak dipasang di sekitar terumbu karang. Satu orang

nelayan dapat memiliki 50 unit bubu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Bintan “cukup selektif”.

Page 13: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

72

Armada perikanan tangkap di Kabupaten Bintan terdiri dari Kapal Motor

(KM), Motor Tempel (MT) dan Perahu Tanpa Motor (PTM). Kapal Motor (KM)

diidentifikasi berdasarkan tonase-nya, yaitu 1-5 GT, 6-10 GT, dan >10 GT.

Jumlah armada perikanan tangkap tahun 2008 yakni berjumlah 4.051 unit, jika

dibandingkan tahun 2007 mengalami peningkatan sebanyak 95 unit (2,40 %),

dimana tahun 2007 tercatat 3.956 unit. Adapun rincian jumlah masing-masing

armada adalah motor tempel (MT) sebanyak 631 unit dan perahu tanpa motor

(PTM) berjumlah 1.164 unit, sedangkan jumlah kapal motor 1-5 GT (1.849 unit),

6-10 GT (354 unit), dan >10 GT (53 unit).

Nelayan yang menggunakan kapal motor dan motor tempel (16 -28 PK)

dapat mencapai daerah penangkapan yang relatif jauh dari pantai, mulai 7 mil

sampai 18 mil dari pantai. Sebaliknya nelayan yang menggunakan perahu tanpa

motor daerah penangkapan mereka hanya terbatas di sekitar pantai. Kondisi ini

menyebabkan hasil tangkapan yang mereka peroleh lebih sedikit dibandingkan

dengan nelayan yang menggunakan kapal motor dan perahu motor.

Produksi perikanan yang berasal dari usaha penangkapan di Kabupaten

Bintan pada tahun 2008 tercatat sebesar 18.809,10 ton dengan nilai produksi

Rp. 131.663.700.000,- dan pada tahun 2007 tercatat sebesar 18.409,38 ton dengan

nilai produksi Rp. 128.865.560.000, atau mengalami peningkatan sebesar 2,17%.

Pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan terbagai atas tiga

kelompok, yaitu lokal, antar pulau dan ekspor. Adapun rincian volume dan nilai

pemasaran disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Volume dan nilai pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan tahun 2008

No Pemarasan Volume (ton) Nilai (Rp.) Persentase (%)

1 Lokal 17.734,25 88.670.000.000 92,00 2 Antar Pulau 176,64 1.059.800.000 1,00 3 Ekspor 1.365,75 6.696.236.140 7,00

Jumlah 19.276,64 96.426.036.140 100,00 Sumber : DKP Kabupaten Bintan, 2009

Dari Tabel 14 terlihat bahwa pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan sebagian besar (92%) untuk pasar lokal, kemudian diikuti ekspor dan antar

Page 14: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

73

pulau. Hal ini disebabkan tingginya permintaan lokal terhadap produksi perikanan, dimana konsumsi ikan dari masyarakat Kabupaten Bintan pada tahun 2008 adalah 115,65 kg/kapita/tahun. Disamping itu juga disebabkan pertumbuhan penduduk Kabupaten Bintan yang cukup tinggi, yaitu 2,63% (DKP Kabupaten Bintan, 2009).

- Perikanan Budidaya

Untuk potensi sumberdaya budidaya laut, Gugus Pulau Bintan mempunyai areal potensial seluas 6.318 ha, yang dapat dikembangkan untuk budidaya ikan, rumput laut dan kerang-kerangan. Pengembangan kegiatan perikanan masih mempunyai peluang yang sangat luas, mengingat tingkat pemanfaatan laut tersebar di Kecamatan Bintan Timur, Teluk Bintan dan Bintan Utara masih rendah. Disamping kegiatan budidaya laut, Kabupaten Bintan juga potensial untuk pengembangan budidaya air payau (tambak) dan budidaya air tawar.

Saat ini kegiatan budidaya laut sudah mulai berkembang di Kabupaten

Bintan, terutama di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir. Tercatat 1.306

kantong keramba jaring apung (KJA) dan 571 kantong keramba jaring tancap

(KJT). Kegiatan budidaya laut tersebut tersebar di semua kecamatan yang

mempunyai perairan laut. dengan melibatkan 297 RTP. Jenis-jenis ikan yang

dibudidayakan adalah ikan kerapu, kakap, bawal dan jenis lainnya. Adapun

produksi dan nilai produksi budidaya laut di Kabupaten Bintan pada tahun 2008

adalah 182,36 ton dengan nilai produksi Rp. 16.589.285.000,-

4.6.2. Pariwisata

Gugus Pulau Bintan memiliki potensi wisata yang meliputi wisata alam,

wisata budaya dan minat khusus yang tersebar di berbagai kecamatan yang

terdapat pada Kabupaten Bintan terutama di Kecamatan Gunung Kijang dan

Bintan Utara. Secara keseluruhan terdapat 12 lokasi potensial sebagai obyek

wisata baik yang sudah dikembangkan maupun yang sedang dikembangkan.

Adapun lokasi-lokasi wisata tersebut dapat di lihat pada Tabel 15.

Page 15: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

74

Tabel 15. Sebaran lokasi dan jenis obyek wisata yang dapat dikembangkan di Gugus Pulau Bintan

No Kecamatan Lokasi/Nama Obyek Wisata Jenis Obyek Wisata

1 Bintan Utara • Kawasan wisata terpadu Lagoi • Pantai Tanjung Berakit • Desa wisata Sebong Perah • Makam Hang Nadim

• Wisata alam • Wisata alam • Wisata alam

dan budaya • Wisata sejarah

2 Gunung Kijang • Pantai kawal Pulau Beralas Bakau dan Pulau Beralas Pasir

• Gunung Kijang • Wisata Agro-perkebunan nenas • Pantai Trikora dan perkampungan

nelayan kawal

• Wisata alam • Wisata alam • Wisata alam • Wisata alam

3 Teluk Bintan • Makam bukit batu • Makam panjang di Pulau Pengujan • Air terjun Gunung Bintan • Makam Sultan Muhayatsyah

• Wisata sejarah • Wisata sejarah • Wisata alam • Wisata sejarah

Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, 2008

Salah satu tempat tujuan wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan

mancanegara adalah daerah Lagoi yang terdapat di Kecamatan Bintan Utara. Saat

ini Kawasan Wisata Terpadu Lagoi telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah

Kabupaten Bintan sebagai salah satu kawasan (SEZ) Kabupaten Bintan dengan

luas areal 23.000 ha yang terdapat pada Kecamatan Telok Sebong.

Selain kawasan Lagoi, daerah lainya yang juga memiliki potensi untuk

pengembangan pariwisata bahari adalah Pantai Trikora yang terdapat di sepanjang

pesisir Kecamatan Gunung Kijang, dan Pulau Mapur. Pantai Trikora memiliki

potensi untuk pengembagan wisata mancing dan wisata pantai. Sementara itu,

perairan Pulau Mapur memiliki potensi untuk pengembangan jenis pariwisata

diving, mancing dan snorkling.

Sepanjang tahun 2008, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke

Kabupaten Bintan sebanyak 316,215 orang. Negara pangsa pasar utama

wisatawan mancanegara tahun 2008 adalah Singapura 34,96%. Kemudian diikuti

oleh Korea Selatan dan Jepang masing-masing sebesar 12,35% dan 9,76%. Lima

negara lain secara berturut-turut antara lain, Inggris (5,12%), Malaysia (4,93%),

Australia (4,21%), India (3,66%), dan China (3,34%) (Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Kabupaten Bintan, 2008).

Page 16: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

75

Berkaitan dengan kontribusi wilayah pesisir dan laut Kabupaten Bintan

oleh pengguna terhadap PAD, sektor pariwisata memberikan kontribusi yang

cukup besar. Berdasarkan nilai PDRB tahun 2008 atas dasar harga yang berlaku

tahun 2000 menurut lapangan usaha, kontribusi sektor pariwisata yang diperoleh

dari sektor-sektor perdagangan, hotel dan restoran saja telah mencapai Rp. 540,08

milyar atau sebesar 19,76% dengan laju pertumbuhan 6,67% (BPS Kabupaten

Bintan, 2009). Selanjutnya LIPI dan PPSPL UMRAH (2010) melaporkan bahwa

potensi nilai ekonomi ekowisata dari wisatawan mancanegara yang berkunjung ke

Kabupaten Bintan pada tahun 2009 lebih dari Rp. 109,741 milyar. Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan (2008) melaporkan bahwa pada

tahun 2007 serapan tenaga kerja di sektor pariwisata hanya 5,02% dari angkatan

kerja yang berjumlah 49.669 jiwa. Hal ini masih tergolong rendah dibanding

sektor pertanian dan industri pengolahan.

4.6.3. Ekosistem Pesisir

Ekosistem utama di wilayah pesisir Kabupaten Bintan meliputi ekosistem

terumbu karang, ekosistem hutan magrove, padang lamun, dan rumput laut yang

tersebar di beberapa lokasi perairan pulau-pulau kecil pada gugus Pulau

Bintan (Gambar 7).

Page 17: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

76

Gambar 7. Peta potensi ekosistem utama pesisir di Kabupaten Bintan

PETA POTENSI EKOSISTEM UTAMA

PESISIR GUGUS P. BINTAN

Ibukota Kecamatan Garis Pantai Batas Kecamatan Jalan Sungai Waduk Rumput Laut Mangrove Pdang Lamun Terumnu Karang Daratan Gugus P. Bintan

Page 18: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

77

- Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bintan terbentang di paparan

dangkal hampir di semua pulau, terutama di pesisir Pulau Bintan dan di 29 pulau-

pulau kecil lainnya. Tipe terumbu yang terdapat di Kabupaten Bintan umumnya

berbentuk karang tepi (fringing reef). Secara keselurahan luas ekosistem terumbu

karang di pesisir Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil disekitarnya adalah 17. 394,

83 ha (DKP, 2007). Di Pulau Bintan bagian timur rataan terumbu karang

berkembang dengan baik dan mencakup wilayah sangat luas dan dapat dijumpai

sepenjang 35 km, yakni dari Desa Malang Rapat hingga Desa Kijang. Lebar

rataan tersebut berkisar antara 100 m hingga 1000 m. Di atas rataan itu selain

endapan pasir dan hamparan karang mati, berkembang pula dengan baik adanya

padang lamun (seagrass).

Berdasarkan hasil penelitian LIPI (2007) luasan ekosistem terumbu karang di pesisir Bintan Timur yang menjadi lokasi penelitian adalah 4.255,499 ha

dengan tutupan karang hidup 28,20 - 72,10%. Selanjutnya dilaporkan bahwa

ditemukan 14 suku dan 78 jenis karang batu dengan nilai indeks keanekaragaman

jenis Shannon (H’) berkisar 1,866 – 3,199. Adapun jenis-jenis ikan yang

berasosiasi di ekosistem terumbu karang ditemukan 24 suku dan 103 jenis ikan

karang. Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting seperti ikan kakap

(termasuk suku Lutjanidae) cukup tinggi yaitu 957 individu/ha, ikan kerapu

(termasuk dalam suku Serranidae) 86 individu/ha dan ikan ekor kuning (termasuk

dalam suku Caesionidae) yaitu 243 individu/ha. Ikan kepe-kepe (termasuk dalam

suku Chaetodontidae) yang merupakan ikan indikator untuk menilai kesehatan

terumbu karang memiliki kelimpahan cukup tinggi yaitu 729 individu/ha.

- Ekosistem Magrove

Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan tersebar terutama di pesisir

Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil lainnya dengan luas keseluruhan 6.941 ha.

Lokasi penyebaran ekosistem mangrove terbanyak terdapat di pesisir Pulau

Bintan dengan luasan 4.700,10 ha, kemudian disusul Pulau Mantang seluas

261,42 ha, Pulau Kelong seluas 208,62 ha, Pulau Lobam seluas 179,30 ha, dan

Pulau Siulung seluas 163,12 ha (DKP, 2007). Ekosistem mangrove di pesisir

Page 19: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

78

timur Bintan tersebar luas di daerah Berakit, Pengudang, Sungai Kawal, dan di

pantai Desa Malang Rapat. Ketebalan ekosistem mangrove berkisar 20 – 250 m.

Jenis-jenis vegetasi mangrove yang umum ditemukan adalah Baringtonia

asiatica, Bruguiera gymnorrhiza, Casuarina equisetifolia, Rhizophora apiculata,

Rhizophora mucronata, (Bappeda Kabupaten Bintan, 2010).

- Padang Lamun

Ekosistem padang lamun (seagrass) pada gugus Pulau Bintan tersebar di

beberapa lokasi, seperti di Tanjung Sebung, Pulau Terkulai, Tanjung Teluk,

Tanjung Batu Hitam, Pulau Dompak, Tanjung Punggung dan di beberapa lokasi

lainnya. Di pesisir timur Pulau Bintan padang lamun tumbuh di sepanjang Pantai

Trikora sampai Desa Tanjung Berakit yang meliputi Desa Lagoi, Pengudang,

Berakit, Malang Rapat dan Teluk Bakau dengan luasan 2.600 ha. Ditemukan 10

jenis lamun yaitu: Halodule uninervis, H.pinifolia, Cymodecea rodundata, C.

serrulata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, H. spinulosa, Thalassia

hemprichii, Thalassodendron ciliatum dan Enhalus acoroides. Lokasi yang

memiliki keanekaragaman jenis lamun yang tinggi adalah di Desa Malang Rapat,

Teluk Bakau dan Desa Pegudang (Bappeda Kabupaten Bintan, 2010).

- Rumput Laut

Ekosistem rumput laut pada gugus Pulau Bintan terdapat di beberapa

lokasi yaitu Teluk Sebong, Pulau Terkulai, Tanjung Berakit, Teluk Bakau, Pulau

Beralas Pasir, Pantai Trikora, Pulau Dompak, dan Pulau Pangkil dengan luas

secara keseluruhan 1.156.22 ha. Ekosistem rumput laut di pesisir timur Pulau

Bintan tersebar di sepanjang Pantai Trikora, Teluk Bakau, Pulau Beralas Pasir

dengan luasnya sekitar 161,18 ha (DKP, 2007). Jenis-jenis rumput laut yang

banyak ditemukan di pesisir Pulau Bintan antara lain kelompok alga merah

(Gelidiella, Hypnea, Gracilaria, Neogoniolithon, Lithothamnion, Dictyota,

Laurencia, dan Fauche), kelompok alga hijau (Caulerpha, Halimeda,

Chaetomorpha, Udoea, Chlorodermis, Volonia dan Ulva) dan kelompok alga

coklat (Sargassum, Padina, dan Turbinaria) (Bapedalda Kabupaten Kepulauan

Riau, 2002).

Page 20: BAB IV Keadaan Umum Wilayah Penelitian

79

- Pantai Berpasir

Selain ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun dan ekosistem rumput laut, wilayah pesisir Pulau Bintan juga memiliki ekosistem pantai berpasir. Ekosistem pantai berpasir banyak tersebar di pesisir timur Pulau Bintan dan pulau kecil sekitarnya. Ekosistem pantai berpasir ini yang terkenal adalah kawasan wisata Pantai Trikora, kawasan wisata Lagoi, Pulau Nikoi, Pulau Beralas Pasir dan pulau-pulau lainnya. Keberadaan ekosistem pantai berpasir ini telah dijadikan tempat wisata pantai yang banyak dikunjungi oleh wisatawan.

PETA POTENSI EKOSISTEM UTAMA

PESISIR GUGUS P. BINTAN