Upload
vongoc
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Sinopsis Novel Manusia Langit Karya Jajang Agus Sonjaya
Judul novel : Manusia Langit
Pengarang : Jajang Agus sonjaya
Penerbit : Kompas
Tahun Terbit : 2010
Jumlah Halaman : 207
MAHENDRA, seorang arkeolog muda, berusaha melepas diri dari kungkungan
peradaban kampus. Ia kabur ke Banuaha, sebuah kampung di pedalaman pulau Nias,
yang diyakini penduduk aslinya sebagai tempat turunnya manusia dari langit. Di sana
ia banyak belajar soal persamaan dan perbedaan antara dua dunia, dunia kampus di
Yogyakarta dan dunia orang Nias di Banuaha. Persamaan dan perbedaan yang
menyangkut prinsip hidup mati, harga diri, pesta, juga soal perempuan.
Bagaimana kegundahan hati Mahendra saat jatuh cinta pada Saita, gadis Nias yang
ternyata sudah dibeli pemuda kampung tetangga? Bagaimana kelanjutan nasib
Yasmin, gadis asal Lombok, mahasiswinya di Yogyakarta? Bagaimana pula Mahendra
akhirnya sampai pada kesadaran diri sebagai manusia langit?
Novel ini membawa kita menyelami kultur Nias yang eksotik sekaligus hanyut
dalam kehidupan dunia kampus yang penuh romantika. Sebuah kisah cinta
mengharukan dengan latar beragam budaya yang berbeda.
4.2 Hasil Penelitian
Sikap merupakan pernyataan evaluative seseorang terhadap sebuah objek.
Masalah sikap manusia merupakan salah satu telaah utama bidang sosiologi. Meskipun
dalam hal ini psikologi memiliki akar telaahnya sendiri. Namun demikian pengertian
26
sikap dalam kajian sosiologi dan psikologi sangatlah bersesuaian. Pembahasan sikap
oleh keduanya digunakan untuk menjelaskan kenapa orang-orang dapat berprilaku
berbeda dalam situasi yang sama (Azwar, 2005: 4).
Sikap berdasarkan uraian di atas dapat dilakukan dengan analisis sosiologi
yang dalam penelitian ini akan dikaji melalui pendekatan sosiologi sastra. Dalam
penelitian ini maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pertama menurut
Laurenson dan Swingewood yaitu penelitian yang memandang karya sastra sebagai
dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra itu
diciptakan. Novel ML adalah sebuah karya sastra yang mengungkap sisi sosial
masyarakat suku Nias, yang diungkapkan oleh penulisnya secara mendalam ketika
berinteraksi dengan suku Nias dalam sebuah perjalannya.
Dalam penelitian ini pola sikap yang hendak diungkap terdiri atas 3 komponen
yaitu; 1) Pola sikap masyarakat suku Nias terhadap budaya, 2) Pola sikap terhadap
ekonomi dan terakhir 3) Pola sikap masyarakat suku Nias terhadap status sosial.
Selanjutnya ketiga komponen tersebut akan diulas dan dianalisis dalam kajian berikut
ini.
4.2.1 Pola Sikap Masyarakat Suku Nias terhadap Budaya Masyarakatnya
1) Pengetahuan Masyarakat
Terhadap aspek Budaya masyarakat suku Nias cenderung mempertahankan
pengetahuan yang diperolehnya secara turun temurun, apakah hal ini menyangkut
pengetahuannya untuk memanfaatkan alam, mempertahankan keturunan dan lain
sebagainya.
27
Dalam novel ML hal ini nampak dari percakapan Sayani dengan Mahendra
sebagai tokoh utama cerita dalam novel sebagai berikut.
”Bang!” Sayani membuyarkan lamunanku, “Sejak kapan moyo itu terbang di
atas kita?” Tanya Sayani sambil menunjukkan seekor burung elang yang
sedang terbang di atas kami.
“Ah,Bukan apa-apa Bang....”
“Tapi kamu tampak cemas, ada apa dengan burung itu?”
“Jika ia terbang berputar dan tampak bingung, itu artinya akan ada petaka
bagi kita yang ada di bawahnya”.
“Ah jangan terlalu percaya itu, Sayani” kini giliranku yang berusaha
menenangkan Sayani. “hidup mati urusan Tuhan, bukan burung itu”.
“Tapi Tuhan selalu memberi tanda-tanda pada kita, pada manusia. Aku
diam. Sulit bagiku untuk memperdebatkan hal bagitu dengan orang Banuaha.
Antara keyakinan dan pengetahuan bercampur baur disini. (ML, 2010: 8-9)
Kata „Moyo‟ dalam percakapan di atas berasal dari bahasa Nias yang berarti
burung Elang. Dalam kutipan percakapan novel di atas menunjukkan bahwa
masyarakat suku Nias mempercayai apa-apa yang diajarkan orang tuanya menjadi
sebuah pengetahuan bagi mereka dan hal tersebut dipegang teguh sebagai sebuah
bentuk keyakinan akan kebenaran apa yang mereka ketahui.
Dalam percakapan lainnya.
“Benarkah mereka dimakan roh halus?” tanya Sayani kembali menyambung
pada inti cerita. Ia sangat tertarik pada mitos roh pemakan bayi. Jelas
dimatanya ada kesan bahwa Sayani yang telah mengenyam bangku sekolah
itu tidak percaya akan takhayyul yang seperti itu.
“Ya, orang kami di kampung, terutama yang sudah tua-tua seperti itu, masih
percaya bayi-bayi yang hilang itu dimakan oleh roh halus ujar Ama Budi
tegas. (ML, 2010: 20)
Pengetahuan diperoleh dari hasil penginderaan terhadap sesuatu obyek
atau hasil pekerjaan tahu atau berupa hasil penyampaian yang diperoleh dari
kerja indera pendengar. Sayani dalam novel ini adalah seorang pemuda yang
28
pernah mengenyam bangku sekolah tentu kurang mempercayai apa yang
diketahui dan disampaikan orang-orang tua yang sulit dijangkau dengan akal
pikirannya.
Percakapan dalam novel di atas menunjukkan adanya, pengetahuan
Ama Budi yang diajarkan oleh orang tuanya terdahulu berusaha ditanamkan
pada diri Sayani anaknya yang ternyata sangsi terhadap anak tersebut. Dengan
demikian nampak bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan yang diperoleh
dari pendidikan formal sekolah seperti Sayani tidak begitu saja menerima
pengetahuan yang dianggapnya kurang logis. Pengetahuan masyarakat suku Nias
tentang roh halus yang kemudian telah membudaya ini selanjutnya melahirkan
kepercayaan umatnya pada golongan tua-tua akan adanya roh halus yang
memangsa anak-anak bayi mereka.
Pada sisi lain, pengetahuan masyarakat yang masih sangat menjunjung
tinggi budaya ini, dalam novel ML mulai mendapatkan bantahan dari kalangan
muda yang diawali dengan penggalian situs oleh Mahendra dibantu oleh Sayani.
Penggalian ini kemudian memperoleh hasil dengan ditemukannya guci-guci
yang berisikan rambut halus yang kemudian diyakini oleh Mahendra sebagai
ilmuan adalah rambut bayi.
“Menurutku, yang membunuh bayi-bayi itu adalah para orang tua mereka,
bukan roh jahat. Sekarang bayangkan bagaimana sebuah keluarga bisa
hidup berburu dan berpindah-pindah, sementara perempuannya masih
menyusui dan melahirkan bayi untuk bisa bertahan hidup, mau tidak mau
yang paling lemah dikorbankan. Bayi-bayi yang lemah itu ditimbun
dihanyutkan disungai si orang tua kemudia berteriak histeris. Lalu mereka
membuat cerita bahwa bayinya telah dibawa oleh roh jahat”. (ML, 2010: 21)
29
Sebagai seorang pemuda yang pernah mengenyam pendidikan formal di
bangku sekolah perbuatan membunuh bayi sebagaimana uraian Mahendra dalam
kutipan novel di atas, dibantah oleh Sayani dengan kalimatnya.
“Ah, masa ada orang tua sejahat itu, harimau saja tidak mungkin memakan
anaknya sendiri!” sanggah Sayani dengan nada tidak percaya. (ML,
2010:21)
Memperhatikan beberapa ulasan dan kutipan percakapan dalam novel di
atas maka dapatlah dikatakan bahwa pengetahuan yang melahirkan budayanya
lagi masyarakat Nias masih dicampuri dengan unsur-unsur mistis yang
sesungguhnya untuk kepentingan melindungi perbuatan seseorang atau
perbuatan para terdahulu. Pada sisi lain pengetahuan masyarakat dalam hal ini
kaum muda yang pernah mengenyam pendidikan akan bertolak belakang dengan
pengetahuan yang diajarkan oleh para orang tua dan leluhur mereka dengan
perbandingan logika pengetahuan yang mereka peroleh dari bangku sekolah.
Dengan demikian maka dapatlah dikatakan bahwa pola sikap masyarakat
suku Nias terhadap budaya adalah sebagai berikut ini.
(1) Mempertahankan apa yang mereka ketahui sebagai bentuk manivestasi dari
unsur budayanya termasuk sebagai unsur pengetahuannya.
(2) Dengan pergeseran waktu dan pergantian generasi, dimana generasi yang
lebih muda telah memperoleh dasar pengetahuan melalui pendidikan
sekolah.
30
2) Emosi dan Motivasi
Emosi adalah sebuah perilaku yang dapat dilihat dan dikaji, sementara
motivasi adalah dorongan yang timbul dari dalam diri individu untuk
melakukan sesuatu. Bila emosi digambarkan sebagai sebuah reaksi dari amarah
maka motivasi akan memberikan dorongan bagi seseorang untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu.
Dalam teori psikologi (Ahmadi dan Umar, 1992: 62) disebutkan bahwa
emosi dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang muncul dari organisme
manusia. Emosi adalah suatu pengalaman alam sadar yang mempengaruhi
kegiatan jasmani, yang menghasilkan penginderaan-penginderaan organis dan
kinestetis dan ekspresi yang menampak, serta dorongan-dorongan dan suasana
perasaan yang kuat.
Sementara motivasi adalah dorongan dari dalam diri seseorang untuk
melakukan sesuatu. Hasibuan (2003: 92) mengemukakan bahwa motivasi
berasal dari kata latin “movere” yang berarti dorongan atau daya penggerak.
Dengan demikian maka yang dimaksudkan dengan motivasi adalah daya
dorong atau daya penggerak dari dalam diri individu yang dapat disebabkan
oleh adanya rangsangan (stimulus) dari dalam dan luar individu terhadap
sebuah objek. Dalam novel digambarkan bahwa masyarakat suku Nias dalam
hal ini masyarakat desa Banuaha dikenal temperamental dan mengedepankan
emosi bila harga diri keluarganya diusik.
31
Dalam novel ML terjadi digambarkan bagaimana emosi masyarakat suku
Nias sebagai berikut.
“Aku mendesah, mengerikan juga mendengar soal bunuh
membunuh”.
“Ternyata begitu ya cara orang Banuaha marah, menakutkan!”
“Itu belum seberapa, Bang!” kilah Sayani. “ Bila orang Banuaha benar
marah, bukan mulutnya yang bicara, tapi pisaunya dulu”. (ML, 2010: 7)
Diceritakan pula dalam novel ini.
Harus diakui bahwa butuh keberanian untuk datang ke daerah ini.
Teman-temanku di gunung Sitoli selalu mengingatkan sebelum aku
memutuskan pergi kesini. “mereka masih bar-bar, kami orang sini saja
belum pernah kesana!”. (ML, 2010: 8)
Adapun dorongan atau daya gerak individu digambarkan dalam novel
Manusia Langit dalam uraian berikut.
“Begitulah Sayani, aku terpaksa membunuh kakakmu yang baru lahir
karena aku tidak sanggup memberi makan. Dari pada keluargaku dan
bayi itu menderita, lebih baik aku selesaikan penderitaan itu lebih cepat
dengan cara menguburnya hidup-hidup. Masyarakat kami yang masih
bodoh banyak yang percaya jika bayi itu dimakan roh jahat. Sebenarnya
hal itu hanya kerjaanku yang tidak sanggup membesarkan bayi malang
itu”. (ML, 2010: 24)
Ama Budi ayah Sayani memberikan penjelasan tentang motivasi atau hal
apa yang mendorong dia membunuh kakak Sayani. Motivasi yang mendorong
Ama Budi dalam cerita di atas adalah motivasi yang dipengaruhi oleh faktor luar
diri individu, yang kekhawatirannya bila tidak mampu memberi makan anaknya.
Rasa kasih sayang dari dalam diri individu yang nantinya tidak ingin melihat
anaknya kelaparan, melahirkan dorongan untuk menghabisi anaknya dengan
jalan menguburnya hidup-hidup.
32
Pembunuhan bayi tidak hanya dilakukan oleh Ama Budi orang tua
Sayani melainkan oleh masyarakat lainnya yang juga didorong oleh hal yang
sama yaitu kekhawatiran tidak mampu memberikan makan anak-anaknya.
“Jika kalian menemukan periuk itu, berarti memang ada orang lain
selain aku yang membunuh bayinya lalu menguuburkannya dalam periuk
agar dilahirkan kembali di dunia sana. Akupun baru tahu sekarang
karena penemuan kalian”. (ML, 2010: 25)
Mendengar penjelasan Ama budi di atas Mahendra dan Sayani saling
menatap. Mahendra sama sekali tidak menyangka jika periuk yang mereka
temukan bersama Sayani terkait dengan pembunuhan bayi.
Motivasi dan emosi bagi masyarakat desa Banuaha dalam novel ML
sangat berangkaian. Ada dorongan atau motivasi untuk berbuat baik dari para
tokoh dalam novel dan adapun dorongan atau motivasi yang didasarkan pada
emosi dan dendam yang dilakoni oleh tokoh lainya yang menyebabkan sering
terjadinya perselisihan antara kedua keluarga yaitu Marga Hia (marga keluarga
Ama Budi) dan marga Laiya (marga keluarga Nai Laiya).
“menurut orang itu, “kata Amoli sambil menunjuk ke arahku, periuk di
ladang kami adalah kuburan bayi-bayi, kami tidak bisa terima itu, kami
tidak sudi dituduh seperti itu. Ini penghinaan bagi kita orang-orang
keturunan langit!”. (ML, 2010: 76)
Amoli adalah anak dari Nai Laiya dari ungkapan dalam novel di atas
terlihat jelas menunjukkan sebuah emosi yang dimotivasi oleh keinginan
mempertahankan harga diri keluarga. Ungkapan emosi nampak dari perkataan
Amoli yang disertai dengan mengarahkan telunjuknya pada Mahendra,
sementara motivasi membela harga diri keluarga melalui pernyataan Amoli
33
“kami tidak bisa terima itu, kami tidak sudi dituduh seperti itu, Ini
penghinaan bagi kita orang-orang keturunan langit”. (ML, 2010: 76)
Motivasi Amoli dalam membela harga diri berbeda halnya dengan apa
yang terjadi dengan Sayani yang termotivasi untuk melakukan pembelaan diri
sekaligus membela Mahendra yang saat itu dipojokkan dalam forum
musyawarah.
“Aku yang bilang, Ama!” Tiba-tiba Sayani angkat bicara. Aku tidak tahu
dampaknya akan seperti ini. Niatku biar kita semua sadar dan mengatasi
masalah memalukan ini bersama-sama. Bahwa bukan roh jahat yang
memakan bayi-bayi di kampung ini, tapi keputusan kitalah yang
menyebabkan mereka mati!”. (ML, 2010: 76)
Pengakuan Sayani yang sangat berani itu membuat diri Mahendra merasa
bersalah. Mahendra membantah apa yang dikatakan Sayani dan menyatakan apa
yang dikatakan Sayani adalah tidak benar, sehingga memojokkan Sayani. Apa
yang dilakukan Mahendra sesungguhnya adalah pembelaan agar Sayani tidak
dipersalahkan tetapi hal ini justru memojokkan Sayani.
“Talifuso sekalian, sore ini kita telah mendengarkan permintaan maaf
seorang manusia yang sudah berusaha hidup disini dan belajar tentang
budaya kita”. Ama Budi angkat bicara lagi. “Sesuatu yang sangat
jarang bagi kita, orang minta maaf, mana ada disini yang berani minta
maaf dimuka umum. Kita selalu menjunjung harga diri dan kokoh
dengan pendapat meskipun salah”. (ML, 2010: 77)
Mahendra kaget dan baru sadar bahwa permintaan maaf bagi masyarakat
desa Banuaha ternyata dianggap luar biasa.
34
Berdasarkan ulasan cerita di atas terlibat jelas bahwa ada dorongan
orang-orang tua desa Banuaha melakukan upaya pembunuhan bayi mereka
dengan cara menguburnya hidup-hidup hanya karena rasa takut jika suatu saat
tidak akan mampu memberikan makan bagi bayinya. Hal ini banyak dipengaruhi
oleh faktor lingkungan dan kondisi alam dan tentunya kemiskinan dan tingkat
pengetahuan mereka yang masih kurang.
Emosi dan motivasi bagi mereka yang memiliki pengetahuan yang
kurang, akan menjadi sebuah gejolak emosi amarah, dendam dan dengki. Hal ini
terlihat dari keluarga Nai Laiya yang menaruh dendam pada keluarga Ama Budi,
sehingga ada-ada saja yang mereka lakukan untuk membalaskan dendamnya.
Gambaran motivasi lainnya adalah dorongan yang dinampakkan oleh
Sayani dan Mahendra yang keduanya berusaha saling membela agar salah satu
dari mereka tidak dipersalahkan bahkan keduanya bersedia dipersalahkan demi
membela salah satunya.
3) Kinerja (perilaku dan tindakan)
Kinerja yang hendak digambarkan dalam kajian ini adalah perilaku dan
tindakan yang nampak dalam bentuk sikap masyarakat suku Nias. Baik perilaku
dan tindakan dari definisi-definisi yang ada ditemukan pengertiannya mengarah
pada hal yang sama yaitu adanya tindakan atau perbuatan. Wursanto (2005: 265)
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan perilaku dapat berupa sikap,
tindakan dan tingkah laku.
35
Masyarakat suku Nias khususnya masyarakat desa Banuaha dalam
kesehariannya adalah petani dan peternakan Babi. Lingkungan alam yang boleh
dikata masih pedalaman, berbukti dan memiliki aliran sungai menunjukkan
sebuah kondisi daerah yang cukup tepat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
pertanian.
Dalam novel digambarkan oleh penulis dengan uraian.
“Telunjuk Sayani mengarah pada sebuah perkampungan dipinggir
sungai dibawah sana”. Tampak dari atas bukit itu susunan rumah
beratap rumbia, berhadapan membenuk sebuah garis yang sangat
lurus…”. (ML, 2010: 10)
Dalam novel ML digambarkan bagaimana kondisi desa Banuaha dan
pekerjaan masyarakatnya.
“Tak terasa sudah hampir setahun aku tinggal di kampung kecil di
pedalaman itu. Bau cokelat yang dijemur dan gemuruh air di Sungai
Gomo menambahkan keintiman dengan kampung megalit yang masih
bersahaja itu”. (ML, 2010: 97)
Dari cerita di atas jelaskan bahwa desa Banuaha adalah sebuah desa di
pedalaman daerah Nias yang dialiri sungai Gomo, salah satu sungai di daerah
Nias. Sebagian besar bahkan seluruh masyarakatnya adalah petani. Ladang-
ladang pertanian mereka tanami dengan coklat dan pohon karet. Pekerjaan
bertani tidak hanya dikerjakan oleh para lelaki atau suami, melainkan hingga
perempuan atau istri-istri merekapun turut membantu usaha pertanian yang
disadari sebagai pencaharian utama sebuah keluarga.
36
“Satu atau dua kali dalam seminggu aku turut Ama Budi atau Sayani ke
ladang yang jauhnya hingga tiga kilometer untuk membersihkan kebun
dan memetik coklat...”. (ML, 2010: 97)
Kisah di atas menggambarkan bagaimana rutinitas pekerjaan keluarga
Ama budi dan anak lelakinya Sayani yang terkadang dibantu oleh Mahendra.
Kerja bertani coklat dan menyadap karet adalah sebuah rutinitas keluarga yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bentuk kinerja yang tampak
dari kisah di atas adalah sebuah pekerjaan yang sama sekali tidak
mengharapkan imbalan sedikitpun melainkan sebuah keharusan untuk
dilakukan mengingat kebutuhan hidup keluarga.
Dari empat petak kebun yang ditanami cokelat dan karet, Ama Budi bisa
menghidupi keluarganya selama selama belasan tahun”. (ML, 2010: 97)
Mahendra yang merasa terbantu dan tinggal di keluarga yang sangat
disegani di desa Banuaha yaitu keluarga Ama Budi yang berasal dari marga Hia,
sering membantu pekerjaan keluarga ini. Mahendra tidak segan-segan ikut pergi
ke ladang, memetik coklat dan hingga mengupas dan mengeringkan coklat.
Selanjutnya gambaran tentang perilaku hidup masyarakat desa Banuaha
terlihat jelas dari ulasan dalam novel berikut.
“Para orang dewasa tampak bingung dan khawatir dengan banjir yang
terjadi. Sebaliknya, anak-anak justru tampak senang. Anak-anak bermain di
jalan batu. Anak-anak balita bahkan dibiarkan telanjang bulat begitu saja
bermain di halaman, dibiarkan buang air kecil dan besar sendiri. Tanpa harus
dikubur atau dibersihkan, kotoran balita itu akan bersih sendiri dimakan dan
dijilati babi yang berkeliaran di kampung”.
“Hal ini bukan berarti para ibu dan perempuan di Banuaha malas.
Para perempuan terlalu sibuk mengerjakan banyak hal. Pagi-pagi harus
mencuci pakaian, lalu ke ladang hingga siang. Mereka pulang membawa ubi
dan daun untuk ternak. Lalu daun tersebut dicincangnya dan dimasukkan ke
37
kandang babi dibelakang rumah. Ubi direbus untuk makan siang. Setelah itu ia
mencuci semua perabotan rumah yang kotor di sungai. Pulang ke rumah tidak
bisa istirahat karena harus beres-beres dan memandikan anak. Menjelang
malam saat para suami asik mengobrol didepan rumah, para perempuan
masih sibuk menyiapkan perapian dari kayu untuk memasak makan malam.
Setelah semua beres saat waktunya tidur, kaum hawa ini harus melayani
hasrat suaminya dengan diam-diam karena rumah mereka pada umumnya
tidak memiliki kamar”. (ML, 2010: 131-132)
Perilaku dan tindakan yang tergambarkan melalui ulasan novel di atas
setidaknya terkandung beberapa unsur yaitu:
(1) Istri bagi masyarakat desa Banuaha adalah segalanya, mereka bekerja dari
bangun pagi hingga menjelang tidur suaminya. Mereka menjalani rutinitas
ini apa adanya, dan menjadi sebuah kewajiban sehingga melahirkan sebuah
perilaku yang senantiasa mengalami penguatan dan pengulangan.
(2) Suami masyarakat desa Banuaha adalah pekerja, mereka bekerja ladang dan
kebun-kebun yang kemudian memperoleh hasil berupa uang atau bahan
makanan seluruh pengelolaannya diserahkan kepada istri-istri mereka.
Dalam rutinitasnya mereka para suami masih memiliki waktu senggang
ketika menunggu makan malam yang disediakan istrinya.
(3) Anak-anak desa Banuaha sama seperti anak-anak lainnya yaitu lepas dari hal
perilakunya yang dipenuhi dengan kesenangan. Hal yang membedakan
anak-anak desa Banuaha adalah ketika masa balitanya cenderung dilepaskan
hidup bebas dengan alamnya, bergaul dengan hewan ternak mereka.
Sementara masyarakat kota atau yang memiliki pendidikan anak balita
dilindungi bahkan diberikan pengasuhan yang sebaik-baiknya.
38
Perilaku positif yang tampak dari komunitas masyarakat pedalaman
Suku Nias ini adalah perlindungan dan penghormatan terhadap kaum
perempuan yang telah digariskan dengan adat dan etika.
Apa yang dikemukakan di atas nampak jelas dari percakapan Mahendra
dengan Ama Budi. Mahendra mempertanyakan kenapa Saita wanita yang telah
menjerat hatinya itu tidak lagi tinggal di rumahnya Ama Budi.
“Sejujuranya aku merasa khawatir,” jelas pria tua itu. “Aku
perhatikan kalian berdua saling suka”. (ML, 2010: 139)
Wajah Mahendra memerah malu. “Benar Ama, aku memang
menyukainya,”
“Nah sepasang lelaki dan perempuan yang saling suka tidak boleh
serumah, tidak enak kepada tetanga,” jelasnya. “Jika Nak Hendra mau
serius, bias saja, namun kita perlu persiapan.
Persiapan bagaimana, Ama?”
Di Banuaha perempuan itu dibeli. Disini ada istilah boli niha, kita
harus memberikan sejumlah harta kepada pihak perempuan”. (ML,
2010: 140)
Meskipun tergolong masyarakat suku pedalaman masyarakat suku Nias
menempatkan etika dan rasa malu dalam pergaulannya. Salah satu bukti yang
terlihat jelas pada percakapan dalam novel di atas adalah, tata aturan tidak
tertulis yang menyatakan bahwa sepasang lelaki dan perempuan yang saling
suka tidak boleh tinggal serumah. Hal ini selain untuk mencegah terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan juga menghindari cemoohan tetangga.
39
4.2.2 Pola Sikap Masyarakat Suku Nias dalam hal Ekonomi Masyarakatnya
1) Pengetahuan Masyarakat Tentang Ekonomi
Pengetahuan masyarakat tentang ekonomi khususnya masyarakat Desa
Banuaha masih sangat rendah yang dapat disebabkan oleh keterpencilan
mereka dari kehidupan modern. Prinsip hidup mereka bila dihubungkan dengan
ekonomi adalah sangat sederhana yaitu mampu membiayai hidup anak-anak
mereka. Pengetahuan sebagai bentuk dari tahu, pemahaman, aplikasi dan
evaluasi adalah sebuah bentuk manifestasi logika yang berjalan seiring dengan
berkembangnya pengetahuan seseorang. Bagi masyarakat Banuaha
pengetahuan akan ekonomi cenderung statis namun setidaknya telah memiliki
bentuk yang merupakan hasil evaluasi dan rangkaian dasar pengetahuan
lainnya.
Dalam novel ML digambarkan melalui percakapan Mahendra dan Ama
Budi sebagai berikut.
“Kenapa sudah jarang orang melaksanakan mangowasa?”
“Mereka takut miskin!”
Aku tertunduk mendengar jawaban itu.
“anggapan bahwa pesta adat membuat miskin muncul dari orang yang
meletakkan harta lebih tinggi dari harga diri.” Lanjut Ama Budi.
“Padahal, harta hanya sarana saja untuk mencari kemuliaan di dunia.
Jika harta tidak dibagikan, maka perbedaan yang kaya dan yang miskin
akan semakin jauh saja.”
“Benar juga Ama.”
“Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai diri
sendiri dan mengharga sesama. Kamu tidak akan dapat menghargai
orang lain bila kamu sendiri tidak bisa mengharga dan mencintai diri
sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha.” (ML, 2010: 103)
40
Apa yang terungkap melalui percakapan di atas jelas sebuah prinsip
hidup Ama Budi yang meletakkan harga diri lebih tinggi dari harta
kekayaan. Demikian halnya dengan menghargai orang lain melalui pesta
adalah sebuah ungkapan penghargaan. Meskipun dapat dikatakan
pengetahuan ekonomi masyarakat Desa Banuaha adalah statis, setidaknya
telah ada pola yang membentuk pola pikir masyarakat Banuaha pada
umumnya untuk tidak menghamburkan uang dalam bentuk pesta karena
dipandang akan menyengsarakan. Dengan demikian telah nampak bahwa
pengetahuan ekonomi masyarakat yang rendah tadi selanjutnya membentuk
pola sikap ekonomi masyarakat dalam bentuk menghindari pesta adat yang
menuntut banyak pengorbanan harta dalam bentuk uang, emas dan babi.
Wiradyana (2010: 201) mengemukakan bahwa babi, perhiasan,
senjata merupakan hewan dan bentuk materi yang merupakan salah satu
acuan dalam menentukan struktur masyarakat. Jadi secara tidak langsung
menurutnya aspek-aspek simbolis seperti babi, perhiasan, dan senjata
memiliki makna yang berkaiatan dengan struktur sosial, legitimasi nilai dan
kekuasaan. Dalam novel ML karya J.A Sonjaya nilai ekonomi seseorang
ditentukan seberapa besar ia dapat menyelenggarakan sebuah pesta yang
berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Status kepala desa sebagai
pimpinan masyarakat desa, belum akan dihargai suaranya sebelum dia
mampu menunjukkan kemampuannya untuk menjadi seorang bangsawan.
41
“Menjadi kepala desa tidak berarti membuat seseorang dihargai di
kampung ; tetap yang dihargai adalah mereka tetua marga dan adat,
tutur Ama Budi lirih. Akhirnya keluarga dan kerabatku mendorongku
untuk membuat pesta. Aku memotong 30 ekor babi untuk mengukuhkan
statusku sebagai kepala desa. Tapi, tetap saja suaraku tidak didengar”.
Memang mereka minta apa?
“Mangowasa, pesta tertinggi, tapi itu sangat berat”.
“Ama melakukannya?”
“Ya, demi adat aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak menjadi
kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor babi dan
puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-karung beras direlakan
untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh hari tujuh
malam”.
“Banyak sekali,Ama?!”
“Ya, banyak sekali. Sejak pesta mangowasa tahun 1985 itu sampai
sekarang ada lagi orang Banuaha yang sanggup mengorbankan babi
sebanyak yang aku korbankan”.
“Benar, kira-kira sebanyak itulah harga yang harus kubayar untuk bisa
didengar, untuk bisa menjadi bangsawan, untuk bisa jadi kepala desa
lagi. Aku puas dan bangga meski harus berutang hingga sekarang”.
(ML, 2010: 101-102)
Kekayaan seseorang bagi masyarakat desa Banuaha lebih banyak
diukur dengan harta beruapa babi apakah itu dalam bentuk hidup sebagai harta
bergerak maupun babi yang dikorbankan saat melaksanakan sebuah pesta yang
berbau adat.
“Orang Nias mengenal istilah “mate bawi mate gego” yang artinya
“mati babi, maka putuslah segala masalah”. Olehnya dalam setiap
pesta adat, tanda sahnya perkawinan. Babi dipilih karena binatang ini
pernah menjadi alat tukar sekaligus tolak ukur kekayaan seseorang.
Perkawinan bagi masyarakat Nias adalah salah satu tahap yang harus
dilalui lelaki Nias untuk mendapat predikat “gagambato” atau
sejahterah”. (ML, 2010: 145)
Memperhatikan beberapa kutipan novel di atas maka dapatlah dikatakan
bahwa pola sikap masyarakat Desa Banuaha tentang ekonomi terbentuk dari
pengalaman hidup dan bukan dalam bentuk pengetahuan formal yang
42
diperoleh dari pendidikan. Pernikahan dan pesta adat pengukuhan adalah
bentuk dari upaya menunjukkan jati diri dan status kehidupan ekonomi
seseorang, yang kemudian seiring perkembangan jaman mulai dihindari karena
dipandang memiskinkan keluarga. Para pemuda yang takut menikahi gadis
Banuaha dengan harta yang banyak, keluar dari desa dan berkelana keluar
daerah sebagai bentuk pelarian dari keterkungkungan adat dan pelaksanaan
pesta.
2) Emosi dan Motivasi Ekonomi
Emosi dalam istilah ekonomi cenderung dibahasakan dalam kajian ini
dengan motivasi. Hal ini karena belum dapat dijumpainya konsep emosi
berbentuk amarah dalam aspek ekonomi. berkaitan dengan hal tersebut,
motivasi dalam hal ekonomi dapat ditandai dengan dorongan baik dari dalam
diri individu maupun dari luar individu untuk memperbaiki status ekonomi
seseorang atau sebuah keluarga.
Dalam novel ML diceritakan
“satu atau dua kali dalam seminggu aku turut Ama Budi atau Sayani ke
ladang yang jauhnya hingga tiga kilometer untuk membersihkan kebun dan
memetik coklat. Buah coklat yang sudah ranum langsung dikupas di bawah
pohonnya. Kulitnya ditumpuk dan dibusukkan agar menjadi kompos.
Bijinya dimasukkan ke dalam karung lalu dibawa pulang. Satu kilogram
biji coklat basah harganya empat ribu rupiah, sedangkan biji cokelat yang
sudah kering mencapai delapan ribu rupiah. Dari empat petak kebun yang
ditanami cokelat dan karet, Ama Budi bisa menghidupi keluarganya selama
belasan tahun”. (ML, 2010: 97)
43
Kisah di atas menggambarkan bahwa tidak ada upaya tertentu yang
dilakukan keluarga Ama Budi untuk memperbaiki kehidupan ekonomi
keluarganya. Apa yang telah mereka miliki saat ini hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan makan keluarga sehari-hari.
“Untuk ukuranku yang biasa tinggal di kota, hidup Ama Budi pas-
pasan karena tidak ada uang yang bisa ditabung dari hasil ladang
mereka. Dapat uang dari penjualan coklat hari ini habis untuk makan
tiga hari ke depan. Menjelang uang habis, Ama Budi memetik coklat
lagi dan menjualnya. Demikian seterusnya. Jika sedang tidak musim
cokelat, Ama Budi beralih ke pekerjaan menyadap karet. (ML, 2010:
97)
Lain halnya dengan motivasi sebuah keluarga ketika hendak
menikahkan anaknya. Dorongan untuk menunjukkan kemampuan
menikahkan anak-anak mereka terkadang memberikan motivasi yang
sangat besar. Meskipun hal tersebut lebih bersifat sementara dan tidak
berlaku selamanya.
Hal yang memotivasi seorang anak laki pada sebuah keluarga untuk
menikah adalah tuntutan adat yang cukup besar. Kutipan novel ML berikut
ini setidaknya memberikan gambaran motivasi yang telah diuraikan di atas.
“…Menikah bagi lelaki Banuaha adalah anugerah, tetapi sekaligus
juga menjadi bencana. Untuk menikah seorang lelaki Banuaha
sedikitnya harus menyiapkan 20 gram emas, 10 meter kain, 60 ekor
babi serta makanan unuk menjamu 300-an orang. Perhitungan itu jika
si Lelaki yang berstatus sebagai anak Salawa (kepala desa) hendak
menikah gadis Banuaha dari keluarga biasa. Jumlah babi, emas dan
uang yang harus dibayarkan untuk mas kawin tentu akan bertambah
jika gadis tersebut berasal dari keluarga berstatus sosial tinggi seperti
keluarga salawa atau ketua adat”. (ML, 2010: 98)
44
Dalam uraian sebelumnya dikatakan bahwa perkawinan bagi
masyarakat Nias adalah salah satu tahap yang harus dilalui lelaki berapapun
usianya, apabila belum menikah masih disamakan statusnya dengan anak-
anak yang belum memiliki hak suara. Dibalik gagambato terselip harga diri
yang tinggi karena itulah tujuan hidup orang Nias, bukan harta semata.
Harta hanya menjadi alat bagi mereka untuk menunjukkan harga diri.
Dengan harta yang dimilikinya, orang tersebut dapat menyelenggarakan
pesta adat.
3) Kinerja (perilaku dan tindakan) Ekonomi
Sebagaimana telah digambarkan sebelumnya kondisi geografis
masyarakat suku Nias yang hidup di daerah berbukit-bukit menyebabkan
mata pencaharian penduduk terbagi atas dua, yaitu penduduk yang tinggal
dipesisir pantai bergerak dalam bidang perikanan yaitu sebagai nelayan dan
penduduk yang berada di pedalaman akan mengusahakan pertanian dan
perladangan sebagai mata pecaharian (Wiradyana, 2010: 7).
Masyarakat Nias yang digambarkan dalam novel ML adalah sebuah
komunitas masyarakat desa Banuaha yang tinggal di daerah pedalaman
sehingga hampir seluruhnya bermata pencaharian sebagai petani.
“Banuaha sungguh terpencil, dikelilingi gunung-gunung”. (ML, 2010:
11)
Nilai-nilai ekonomi masyarakat suku Nias dalam hal ini masyarakat
Banuaha dinilai dari keperluan hidup masyarakatnya dan kemampuannya
45
melaksanakan pesta atau upacara. Perekonomian masyarakat desa Banuaha
tercermin dari jumlah babi (jantan dan betina), bibit padi rumah yang
ditempati sebuah keluarga.
Sehubungan dengan perilaku dan tindakan yang menggambarkan pola
sikap masyarakat Desa Banuaha dalam aspek ekonomi tergambarkan
melalui berbagai bentuk seperti rutinitas pekerjaan masyarakat yang tidak
sekedar dilakukan oleh kaum pria namun juga banyak melibatkan kaum
perempuan dalam sebuah keluarga.
Setiap perempuan di atas usia tujuh tahun, sehabis mandi dan mencuci
di sungai, selalu pulang membawa batu dan ditaruh di halaman rumah
mereka. Itu dilakukan setiap hari. Jika batu-batu di halaman rumah-
rumah itu telah menggunung, para lelaki dewasa mulai menatanya
untuk fondasi rumah, meninggikan jalan, dan membuat benteng. (ML,
2010: 95)
Hal lain yang diceritakan dalam novel ML, kaum lelaki bekerja
mencari nafkah selanjutnya diserahkan kepada perempuan dan kaum ibu
untuk menjadi bahan makan dan memenuhi semua kebutuhan hidup
sebuah keluarga.
Para perempuan sibuk mencari barang kebutuhan sehari-hari, mulai
dari makanan hingga pakaian. Para lelaki biasanya sibuk mengunjungi
tempat-tempat yang berbau hiburan, misalnya kedai tuak, tempat judi
dan televisi yang dimiliki beberapa rumah saja di sekitar pasar.
Ketika pula, laju jalan perempuan ini tidak secepar saat berangkat
karena saat pulang mereka membawa beban yang sangat berat.
Sedangkan para lelaki pulang tanpa membawa apapun. Merekapun
juga kelihatan tidak ada usaha untuk membantu meringankan beban
para perempuan. (ML, 2010: 150)
46
Perilaku dan tindakan kaum lelaki yang memposisikan perempuan
sebagai pekerja adalah sebuah bentuk keterkungkungan adat yang tidak
kenal kompromi. Kaum lelaki hanya memiliki tanggungjawab memenuhi
kebutuhan hidup sebuah keluarga selanjutnya kaum ibu dalam hal ini istri
dan anak-anak perempuan yang mengolah hingga menjadi kebutuhan
keluarga yang siap pakai dan siap makan.
Dalam sebuah kutipan pembicaraan antara Ama Budi dan
Mahendra dapat ditemukan adanya perbedaan tanggungjawab suami dan
istri sebagai berikut.
“Maaf Ama, sebenarnya tadi aku sedang berpikir keras, dan aku
juga tidak habis piker dengan perilaku laki-laki terhadap
perempuan di sini. Apakah karena mereka merasa telah membeli
perempuan lalu berhak semena-mena mempekerjakan
perempuan?”
“Memang kenapa?”
“Tadi aku melihat Saita terseong-seok membawa 25 kg beras,
sementara bapaknya yang segar bugar pulang lebih dulu tanpa
membawa apapun.
“Itu sudah biasa, perempuan di sini memanng harus seperti itu”,
(ML, 2010: 158-159)
Posisi perempuan dalam sebuah pola sikap ekonomi masyarakat ini
tergambarkan pula dalam kisah novel ML sebagai berikut.
Saita, baru saja dibeli oleh Arofosi dengan jujuran 50 ekor babi
hasil berutang dari saudara dan kerabatnya. Utang itu harus
dibayar Saita dan suaminya. Seperti yang dihadapi perempuan
Banuaha pada lainnya, Saita harus bekerja keras untuk
melunasi utang tersebut. Jika tidak, tamparan, tendangan dan
pukulan akan mendera tubuhnya. (ML, 2010: 166)
47
Ulasan novel ML di atas dan ulasan-ulasan sebelumnya setidaknya
menggambarkan kinerja dan perilaku masyarakat Desa Banuaha sebagai
berikut.
(1) Kaum lelaki sebagaimana masyarakat umumnya adalah kepala
keluarga yang harus bekerja memenuhi kebutuhan hidup keluaga.
(2) Istri bertanggungjawab mengurusi semua urusan keluarga selain
membantu suaminya di lading, juga pekerjaan rumah lainnya.
(3) Pasangan suami istri yang baru menikah akan membayar hutang
suaminya ketika melamarnya dahulu dengan tenaga dan babi selama
kurun waktu yang ditetapkan oleh orang yang memberi hutang.
(4) Kaum istri bagi masyarakat Banuaha pada umumnya, memiliki
tanggungjawab yang lebih besar dibandingkan tanggungjawab suami
dalam sebuah keluarga.
4.2.3 Pola Sikap Masyarakat Suku Nias dalam hal Status Sosial Masyarakat
1) Pengetahuan Masyarakat tentang Status Sosial
Dalam novel ML struktur masyarakat sama sekali tidak disinggung atau
dibahas oleh penulis. Struktur masyarakat desa yang tergambarkan dalam
keseharian masyarakat desa Banuaha hanya diulas singkat. Pembagian dan
pengelesan strutur sosial hanya terdiri atas, tetua marga dan tokoh adat, kepala
desa dan guru.
“Posisi guru sangat dihormati di kampung itu.....”.(ML, 2010:78)
48
Kutipan novel di atas menggambarkan pengetahuan masyarakat yang
diajarkan secara turun temurun kemudian dipintal menjadi sebuah adat, dimana
orang yang memiliki kelebihan patut untuk dihargai dan ditinggikan dalam
sebuah masyarakat. Orang yang dihargai, dihormati dan didengar ucapannya
selain guru adalah mereka yang telah mampu menyelenggarakan pesta sehingga
mampu menunjukkan harga dirinya seperti Ama Budi yang berhasil
menyelenggarakan pesta „mangowasa‟ yaitu pesta tertinggi dalam adat yang
belum ada satupun orang mampu menyelenggarakannya.
Salah satu kutipan percakapan dalam novel yang menunjukkan struktur
sosial adalah sebagai berikut.
“Menjadi kepala desa tidak berarti membuat seseorang dihargai
dikampung; tetap saja yang dihargai adalah mereka tetua marga dan
tetua adat. Tutur Ama Budi”.
....keluarga dan kerabatku akhirnya mendorong aku untuk membuat
pesta. Aku memotong 30 ekor babi untuk mengukuhkan statusku
sebagai kepala desa. Tapi, tetap saja suaraku tidak didengar”. (ML,
2010: 101)
Demi mengukuhkan dirinya sebagai kepala desa dan memperoleh gelar
tetua adat, Ama Budi selama 3 tahun sejak menjadi kepala desa mengumpulkan
harta untuk menyelenggarakan pesta mangowasa.
“Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak menjadi
menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor
babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-berkarung beras
direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh
hari tujuh malam”. (ML, 2010: 101)
49
Mahendra tertunduk mendengar jawaban Ama Budi. Hidup keluarga
Ama Budi memang tergolong miskin bila dibandingkan dengan yang lainya
dikampung, tapi disisi lain ia sangat dihargai sebagai tetua adat.
Dengan demikian maka dapatlah dikatakan bahwa pengetahuan
masyarakat yang membentuk pola sikapnya terhadap struktur social diperoleh
melalui pengajaran adat. Prosesi adat dan penegakkan adat tidak didasarkan pada
kemampuan pribadi seseorang dalam hal memimpin atau hal lainnya, melainkan
diletakkan pada kemampuan seseorang untuk menyelenggarakan pesta yang juga
diyakini oleh Amak Budi sebagai sebuah bentuk penghargaan pada diri sendiri
dan orang lain.
Dalam sebuah kutipan percakapan dalam Novel dijelaskan bahwa pesta
yang begitu banyak menghamburkan harta sebuah keluarga, adalah sebuah
pernyataan dan akan status harga diri, kemampuan ekonomi dan status social
seseorang.
“Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai diri
sendiri dan berbagi dengan sesame. Kamu tidak akan dapat menghargai
dan mencintai orang lain bila kamu sendiri tidak bisa menghargai dan
mencintai diri sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha. (ML, 2010:
103)
Harga diri dan status sosial seseorang ataupun keluarga ditentukan pula
oleh keturunan ke atasnya.
“Dalam sebuah “hoho” asal kejadian manusia Nias, disebutkan bahwa
„Sirao‟ leluhur Nias, diturunkan ke bumi dari langit, dari tete holi ana‟a.
Sirao adalah anak dari hasil perkawinan dua angin di langit”.(ML,
2010: 110)
50
Para generasi yang disebutkan dalam hoho di atas kemudian menjadi
tokoh-tokoh penting dalam masyarakat Banuaha termasuk menjadi tetua-tetua
adat. Hal ini pulalah yang kemudian melahirkkan konflik, yang tergambar jelas
antara keluarga Nai Laiya dengan Keluarga Ama Budi bermarga Hia yang
keduanya diyakini berasal dari turunan langsung manusia langit.
Memperhatikan ulasan-ulasan di atas dalam novel ML maka struktur
masyarakat Nias yang tergambarkan melalui novel ini dapat disimpulkan sebagai
berikut.
(1) Tetua adat yaitu mereka yang berasal dari marga besar keturunan langsung
“sirao” yang diyakini sebagai manusia dari langit. Tetua adat sangat
memegang peranan terpenting dalam setiap putusan adat, maupun pesta
adat.
(2) Tetua kampung yaitu mereka para orang tua kampung yang dihargai dan
memiliki hak suara.
(3) Kepala desa yang dapat saja hanya menjadi fomalitas kedudukannya karena
hanya dibentuk berdasarkan struktur pemerintah. Kepala desa akan dihargai
manakala mampu menyelenggarakan pesta besar „mangowasa‟ dengan
menjamu para undangan selama tujuh hari tujuh malam dengan
mengorbankan ratusan ekor babi dan puluhan gram emas.
(4) Lelaki beristri, yang memiliki hak suara.
(5) Anak-anak dan lelaki yang tidak dibatasi umurnya namun belum beristri,
kelompok terakhir ini adalah kelompok yang tidak memiliki hak suara.
51
(6) Budak dan pembantu, mereka dapat saja terjadi pada seorang wanita yang
berusia 5-10 tahun dan telah dipinang seorang laki-laki dengan 2/3 jujuran.
Perempuan tersebut kemudian dibawa ke rumah calon suaminya untuk
membantu segala urusan keluarga calon suami.
2) Emosi dan Motivasi Terhadap Status Sosial
Emosi dan motivasi masyarakat dalam sebuah bentuk pola sikapnya
terhadap struktur sosial tergambarkan jelas dalam novel ini yang
digambarkan oleh tokoh Ama Budi yang selama kurang lebih 3 tahun
termotivasi dan dimotivasi keluarga untuk mampu menyelenggarakan
sebuah pesta adat. Pesta yang diselenggarakan adalah pesta untuk
mengokohkan dirinya sebagai kepala desa dan ketua adat yang apabila
tidak diselenggarakan maka akan berakibat pada tidak didengar dan
dipatuhinya perkataan seorang kepala desa dan ketua adat oleh masyarakat
yang dipimpinnya.
“Menjadi kepala desa tidak berarti membuat seseorang dihargai
dikampung; tetap saja yang dihargai adalah mereka tetua marga dan
tetua adat. Tutur Ama Budi”.
....keluarga dan kerabatku akhirnya mendorong aku untuk membuat
pesta. Aku memotong 30 ekor babi untuk mengukuhkan statusku
sebagai kepala desa. Tapi, tetap saja suaraku tidak didengar”.
“Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak menjadi
menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor
babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-berkarung beras
direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh
hari tujuh malam”. (ML, 2010: 101)
Kedua kutipan dari novel di atas menggambarkan hal-hal sebagai
berikut.
52
(1) Pola sikap masyarakat desa Banuaha akan menghargai seseorang
yang berstruktur social lebih tinggi darinya bila telah mampu
menyelenggarakan sebuah pesta besar, selain menghargai porfesi
seorang guru.
(2) Ketua adat maupun kepala desa tidak akan mendapatkan
penghargaan apabila jabatan dan kedudukan tersebut belum
dikukuhkannya dengan sebuah pesta adat.
3) Perilaku dan tindakan Sehubungan dengan Status Sosial
Perilaku dan tindakan yang menunjukkan pola sikap dalam hal struktur
social masyarakat Desa Banuaha tergambarkan melalui bagaimana bentuk
penghargaan dan persaingan atas status di masyarakat. Sebagaimana
kutipan perkataan Ama Budi dalam novel ML.
“Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak menjadi
menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor
babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-berkarung beras
direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh
hari tujuh malam”. (ML, 2010: 101)
Gelar yang diperoleh seseorang di masyarakat Desa Banuaha akan
mempoisikan dirinya dan keluarganya untuk dihargai dan dihormati di
lingkungan masyarakatnya, meskipun gelar tersebut hanya nampak ketika
acara-acara adat seperti musyawarah adat dan pesta adat.
”Ya, gelarku tak bias buat makan disini, kecuali jika ada pesta,” kata
lelaki yang sudah menyandang gelar Barasi Awuwukha itu”.
“Jika ada ono Banuaha yang menyelenggarakan pesta, maka aku
mendapat bagian daging babi paling banyak, kepalanya untukku,
penghargaan tertinggi itu”. (ML, 2010: 102)
53
Bentuk persaingan terhadap struktur social tergambarkan pula dalam
novel ML sebagai berikut.
“Menjadi kepala desa tidak berarti membuat seseorang dihargai
dikampung; tetap saja yang dihargai adalah mereka tetua marga dan
tetua adat”, tutur Ama Budi. “Belum lagi para tetua marga dan tetua
adat ibu banyak yang iri padaku.
“Kenapa bias begitu?”
“adat sudah menggariskan bahwa hanya mereka yang sudah
menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya
dikampung. (ML, 2010: 101)
4.3 Pembahasan
Berdasarkan uraian-uraian hasil analisis di atas novel ML karya Jajang
Agus Sonjaya, maka dapatlah dikemukakan beberapa hal sebagai berikut ini.
4.3.1 Pola Sikap Masyarakat Suku Nias terhadap Budaya Masyarakatnya
Pola sikap masyarakat suku Nias terhadap budaya digambarkan dengan
jelas dalam novel ML karya Jajang Agus Sonjaya. Pada aspek pengetahuan
masyarakat desa Banuaha diketahui bahwa masih sangat terbelakang, sehingga
hal ini cenderung menyebabkan masyarakat Banuaha menempatkan budaya
sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupannya.
Dalam novel ML, terlihat jelas orang-orang berpendidikan di desa
Banuaha sangat sedikit karena selain dipengaruhi oleh tingkat kemampuan
ekonomi masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Orang yang
berpendidikan terbatas pada beberapa kelompok masyarakat mampu seperti
keluarga Hia, dan keluarga Laiya.
54
Dalam novel ini tergambarkan secara jelas mulai terjadi pergeseran
budaya yang dipolopori oleh mereka generasi muda yang pernah mengeyam
bangku pendidikan formal seperti Budi yang karena tidak mau terbelenggu
budaya memilih meninggalkan kampung halaman dan keluarganya. Sayani
saudaranya Budi, setelah mengalami proses interaksi dengan Mahendra perlahan
mulai melakukan protes terhadap apa yang dilakukan masyarakatnya terhadap
anak-anak bayi mereka termasuk protes pada bapaknya.
Pendidikan sebagaimana dipahami bersama membentuk pengetahuan
seseorang akan mana yang baik dan mana pula yang buruk, termasuk
membentuk sikap dan pandangan seseorang akan lingkungan yang berkembang
disekelilingnya. Dengan rendahnya pengetahuan masyarakat desa Banuaha
sebagaiamana tergambarkan dalam novel ini, maka hal ini selanjutnya
membentuk emosional dikalangan masyarakat, yang sulit menerima kebenaran
apalagi bila kebenaran itu dipandang bertentangan dengan budaya yang menjadi
pegangan mereka selama ini. Katakanlah marga Laiya yang tidak menerima hasil
kajian sementara Mahendra tentang periuk bayi yang menurut mereka telah
menghina para leluhur mereka sehingga Mahendra harus membayar ganti rugi.
Dalam novel ML tergambarkan pula ada beberapa unsur budaya
masyarakat Banuaha yang berlahan-lahan telah ditinggalkan seperti
mengorbankan budak atau pembantu dengan cara melemparkannya dari rumah
yang telah berhasil dibangun keluarga. Namun demikian masih terdapat budaya-
budaya yang tetap dipertahankan seperti seluruh rangkaian dan tahapan
55
pernikahan yang tetap harus dilalui oleh sebuah pasangan pengantin termasuk
nilai jujuran yang terbagi secara rinci dan semuanya dinilai dengan emas,
maupun ternak babi.
Motivasi masyarakat yang tergambarkan dalam novel ML ini cenderung
datar, karena hanya terbatas pada dorongan untuk mempertahankan hidup,
budaya dan keluarganya. Motivasi untuk berkembang ke arah lebih maju hanya
tergambarkan dari kemauan anak-anak mereka yang meski sudah terlambat
masih mau belajar dan mengikuti pendidikan sekolah. Usia siswa SMP di
Banuaha berkisar antara usia 10 tahun sampai dengan 21 tahun bahkan ada di
antaranya yang telah menikah dan memiliki anak.
Gambaran akan motivasi masyarakat yang menonjolkan dalam novel ini
meskipun masih sebatas pada dorongan untuk mempertahankan hidup, juga
dorongan untuk menunjukkan kemampuan sebuah keluarga yang tergambarkan
jelas dengan cara masyarakat membangun rumah, maupun meminang seorang
perempuan bagi lelakinya dan motivasi untuk bersekolah dan memiliki
pendidikan yang layak.
4.3.2 Pola Sikap Masyarakat Suku Nias terhadap Ekonomi
Ekonomi bagi masyarakat suku Nias cenderung diartikan sebagai
kemampuan dan daya sebuah keluarga untuk dapat mendirikan sebuah rumah
besar, kemampuan menyelenggarakan pesta dan harga seorang wanita.
Tolok ukur keberhasilan ekonomi sebuah keluarga diukur dari beberapa
besar jumlah ternak babi yang mereka miliki, termasuk seberapa besar rumah
56
adat yang berhasil mereka bangun untuk sebuah keluarga. Penggunaan babi
sebagai tolok ukur menilai ekonomi sebuah keluarga dikarenakan babi pernah
menjadi alat tukar bagi masyarakat suku Nias, termasuk untuk dijadikan
standar sebuah perkawinan.
Seorang laki-laki suku Nias dapat dikatakan sejahtera apabila telah
menikahi seorang perempuan dengan harga jujuran minimal 56 ekor babi, 10
paung emas (sama nilainya dengan Rp. 5.000.000) dan 300 Kg beras dalam
sebuah pesta adat perkawinan. Apabila seorang lelaki yang menikah dan belum
dapat memenuhi seluruh tuntutan adat di atas, maka lelaki tersebut dapat
mengutang pada kerabatnya, dan di bayar oleh mereka setelah menikah dengan
tenaga (menjadi pembantu) pada kerabat yang meminjamkan ongkos
pernikahan.
Harga seorang perempuan dalam masyarakat Nias yang hendak di
nikahi akan menunjukkan status ekonomi sebuah keluarga atau laki-laki secara
individu. Olehnya, di masyarkat Nias dikenal tata hubungan babi, perempuan,
harga diri. Dengan demikian kekayaan berupa babi, maka seorang laki-laki
dapat mempersunting seorang perempuan dengan jumlah jujuran tertentu, dan
dengan menikahi seorang perempuan maka lelaki tersebut akan memperoleh
harga dirinya dan secara adat telah memiliki hak suara dalam masyarakatnya.
Dengan demikian maka dapatlah dikatakan bahwa pola sikap dalam
bentuk model penilaian seseorang terhadap seoarang masyarakat Nias
ditentuksn dari aspek ekonomi di ukur dari kemampuan seseorang untuk
57
menyelenggarakan sebuah pesta perkawinan, dimana seorang perempuan akan
ditaksir dengan sejumlah harta berupa babi, emas, dan beras. Kepemilikan babi
bagi masyarakat Banuaha, menunjukkan tingkat kesejahteraan seseorang atau
sebuah keluarga. Hal ini terjadi karena memang pada dasarnya babi pernah
dijadikan sebagai alat tukar yang senilai dengan uang bagi masyarakat modern.
Dalam novel ML sang tokoh utama Mahendra memberikan
perbandingan bahwa sesungguhnya bila sebuah pesta pernikahan bagi
masyarakat Banuaha adalah hampir sama dengan pesta masyarakat akademik
di lingkungan kampus seperti pesta pengukuhan gelar. Dalam novel ini terlihat
jelas pula bagaimana Mahendra memberikan perbandingan budaya antara
masyarakat Jawa dan masyarakat Nias yang digambarkan melalui kehidupan
masyarakat Banuaha.
Pola sikap ini selanjutnya membentuk sikap berupa penilaian
masyarakat akan status ekonomi seseorang. Bila telah menikah maka seorang
laki-laki akan disebut sebagai seorang yang telah sejahtera. Sebaliknya bila
belum menikah maka seseorang masih dikelompokkan sebagai orang yang
belum sejahtera atau miskin.
Memperhatikan ulasan-ulasan novel ML maka dapatlah dikatakan
bahwa sikap masyarakat Banuaha dalam aspek ekonomi tidak pernah terlepas
dari, babi, dan perempuan. Babi menunjukkan kesejahteraan sementara
perempuan dalam arti pernikahan menunjukkan sebuah kemapanan hidup
seorang pemuda maupun keluarga. Seorang lelaki yang telah menikah berarti
58
menunjukkan bahwa dirinya telah menunjukkan harga diri dan berwibawa di
mata masyarakat dan keluarga.
Pola sikap masyarakat desa Banuaha yang cenderung masih primitif
masih menunjukkan sikap gotongroyong, meskipun tergambarkan pada sikap
gotongroyong sebuah keluarga ketika melakukan sebuah pesta. Pihak keluarga
laki-laki biasanya memberikan pinjaman atau hutang kepada pemuda yang
harus dibayar ditebus oleh pasangan suami istri. Hal ini menunjukkan pula
pada bahwa tanggungjawab pemuda yang berhutang ketika menikah menjadi
tanggungjawab pula perempuan yang dinikahi.
4.3.3 Pola Sikap Masyarakat Suku Nias terhadap Status Sosial
Status sosial masyarakat suku Nias hampir sama penilaiannya dengan
tolak ukur ekonomi. Status sosial seseorang akan baik manakala dia telah
mampu menyelenggarakan sebuah pesta yang akan menempatkan kedudukan
sosialnya di masyarakat. Ama Budi dalam cerita novel ML, terpilih menjadi
kepala desa oleh masyarakatnya karena memang berasal dari marga besar
turunan “Sirau” juga dipilih oleh masyarakatnya. Namun demikian,
kedudukannya sebagai kepala desa tidak serta merta menempatkan dirinya
sebagai tokoh yang di dengar selruh perkataan dan ucapannya.
Struktur sosial Ama Budi naik, ketika mampu melaksanakan sebuah
pesta terbesar dalam sejarah masyarakat desa Banuaha yaitu Mangoasa. Sejak
menyelenggarakan pesta inilah baru Ama Budi memeperoleh kedudukannya
59
sebagai tetua adat yang didengar segala ucapannya dan dipatuhi seluruh
keputusannya melalui dewan adat.
Begitu besarnya pengaruh kedudukan sosial seseorang bagi masyarakat
Banuaha yang terus terbawa hingga generasi selanjutnya. Adapun bagi generasi
yang mewarisi status sosial ini wajib mempertahankan kedudukan tersebut,
meskipun disadari bahwa struktur sosial bagi masyarakat Banuaha tidaklah
mendatangkan keuntungan ekonomi. Struktur sosial masyarakat dari istilah
suku mulai mengalami perubahan ketika masyarakat ini telah dimasuki dengan
sistem pemerintahan Negara yang mengharuskan pimpinan sebuah komunitas
atau masyarakat adalah kepala desa yang dipilih oleh masyarakatnya.
Status sosial bagi masyarakat Banuaha dapat diperoleh melalui dua cara
yaitu status sosial yang merupakan warisan dari generasi sebelumnya, dan
status sosial yang diperoleh seseorang ketika ia atau sebuah keluarga telah
nampak nilai kesejahteraannya yang ditunjukkan melalui kemampuan
menyelenggarakan sebuah pesta. Selain itu stuktur sosial seseorang secara
pribadi dapat diperoleh ketika ia telah mampu menikah sehingga seorang
pemuda pantas disebut memiliki harga diri dan berwibawa. Status pernikahan
ini juga memposisikan hak seseorang dalam sebuah musyawarah yaitu hak
mengeluarkan pendapat. Struktur sosial masyrakat suku Nias yang
tergambarakan secara singkat dalam cerita novel ML, hanya terdiri atas tetua
adat, tetua marga, kepala desa, lelaki yang telah menikah, lelaki tanpa dibatasi
umurnya dan anak-anaknya, serta budak.
60
Dalam sebuah dewan adat atau pesta adat, tetua adat memiliki pengaruh
dan kedudukan teringgi kemudian disusul oleh para tetua marga (orang tua
yang memiliki marga tertentu) dan kemudian masyarakat biasa termasuk di
dalamnya kaum laki-laki yang telah menikah. Barulah kemudian kelompok
lelaki belum menikah dan anak-anak, dan terakhir adalah budak atau pembantu.
Sama halnya dengan pola sikap masyarakat dalam aspek ekonomi dan
budaya, status sosial masyarakat Banuaha tidak lepas dari istilah babi,
perempuan dan harga diri. Dengan memiliki ternak babi yang banyak maka
seorang perempuan dan harga diri. Dengan menikahi seorang perempuan maka
orang tersebut secara otomatis memiliki harga diri dan kewibawaannya akan di
pandang oleh masyarakatnya. Sebaliknya, seorang pemuda bagaimanapun
pandainya, namun tidak memiliki kemampuan menikahi seorang perempuan
dengan mempersembahkan sejumlah babi dan telah berusia lanjut, maka orang
tersebut dalam pandangan masyarakat belum memiliki harga diri dan tidak
berwibawa karena dalam sebuah dewan adat orang dimaksud tidak memiliki
hak suara.
Memperhatikan ulasan-ulasan pembahasan di atas maka dapat
dikatakan pola sikap masyarakat desa Banuaha baik dari aspek budaya,
ekonomi dan status sosial, tidak pernah lepas dari tuntutan adat dan ditentukan
oleh babi, perempuan dan harga diri. Pola sikap ini jelas hanya dapat
dipengaruhi oleh pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang nantinya akan
terus mengalami perkembangan.