33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Panti Sosial Menara Kasih (PSMK) merupakan salah satu panti jompo yang berada di Salatiga, tepatnya di Jl. Langen Rejo 326 RT. 07 / RW. 02 Gendongan, Salatiga, yang berdiri sejak tahun 2012. PSMK merupakan unit perawatan bagi para lansia yang mengalami hambatan mobilitas fisik, tirah baring, dan juga para lansia yang mengalami penyakit-penyakit degeneratif seperti stroke. Saat ini PSMK dihuni oleh 7 lansia dan 3 perawat yang bertugas merawat para lansia di PSMK. 4.2 Proses Pelaksanaan Penelitian Dalam sebuah penelitian memerlukan persiapan yang baik agar penelitian dapat berjalan dengan lancar dan baik. Sebelum melakukan penelitian, peneliti menyiapkan beberapa hal yang menunjang pelaksanaan penelitian seperti mempersiapkan interview guide dan surat-surat seperti surat persetujuan penelitian dan surat pengantar dari Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW. Peneliti juga menyiapakan alat pendukung untuk proses pengumpulan data yaitu handphone untuk merekam wawancara yang berlansung dan alat tulis untuk mencatat hal-hal yang penting. Partisipan dalam penelitian pada awalnya berjumlah 7 orang namun sebelum melakukan penelitian, 2 partisipan meninggal dunia, 1 partisipan pindah dari PSMK dan 1 partisipan lainnya mengalami hambatan komunikasi sehingga total partisipan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11819/4/T1_462012016_BAB IV... · Pekerjaan RP I sebelum mengalami stroke adalah seorang

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Panti Sosial Menara Kasih (PSMK) merupakan salah satu panti

jompo yang berada di Salatiga, tepatnya di Jl. Langen Rejo 326 RT. 07

/ RW. 02 Gendongan, Salatiga, yang berdiri sejak tahun 2012. PSMK

merupakan unit perawatan bagi para lansia yang mengalami hambatan

mobilitas fisik, tirah baring, dan juga para lansia yang mengalami

penyakit-penyakit degeneratif seperti stroke. Saat ini PSMK dihuni oleh

7 lansia dan 3 perawat yang bertugas merawat para lansia di PSMK.

4.2 Proses Pelaksanaan Penelitian

Dalam sebuah penelitian memerlukan persiapan yang baik agar

penelitian dapat berjalan dengan lancar dan baik. Sebelum melakukan

penelitian, peneliti menyiapkan beberapa hal yang menunjang

pelaksanaan penelitian seperti mempersiapkan interview guide dan

surat-surat seperti surat persetujuan penelitian dan surat pengantar dari

Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW. Peneliti juga menyiapakan alat

pendukung untuk proses pengumpulan data yaitu handphone untuk

merekam wawancara yang berlansung dan alat tulis untuk mencatat

hal-hal yang penting. Partisipan dalam penelitian pada awalnya

berjumlah 7 orang namun sebelum melakukan penelitian, 2 partisipan

meninggal dunia, 1 partisipan pindah dari PSMK dan 1 partisipan

lainnya mengalami hambatan komunikasi sehingga total partisipan

dalam penelitian ini berjumalh 3 orang. Penelitian ini berlangsung pada

tanggal 13 – 26 April 2016. Untuk proses pengumpulan data peneliti

melakukan teknik wawancara mendalam. Lamanya proses wawancara

yang dilakukan berkisar antara 15-20 menit setiap kali pertemuan.

Dalam penelitian ini, setiap pagi peneliti datang dan hal pertama yang

dilakukan oleh peneliti yaitu melakukan pemeriksaan tekanan darah

setelah itu baru melakukan wawancara bersama partisipan.

Wawancara yang dilakukan peneliti disesuaikan dengan aktivitas dan

kesediaan dari tiap partisipan sehingga proses wawancara dapat

berjalan dengan lancar. Partisipan dalam penelitian sangat kooperatif,

mampu menjawab setiap pertanyaan yang ditanyakan dan mau

bercerita apa yang dirasakan kepada peneliti.

4.3 Gambaran Umum Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini merupakan lansia pasca stroke yang

berjumlah 3 orang yang ditentukan berdasarkan kriteria yang telah

dibuat peneliti.

4.2.1 Riset Partisipan (RP) I

Nama : Tn. H

Umur : 60 tahun

Tanggal lahir : 12 Juli 1956

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Pernikahan : Belum menikah

Pekerjaan RP I sebelum mengalami stroke adalah seorang sopir

truk. RP I mengalami stroke sejak tahun 2013 yang

mengakibatkan kelumpuhan pada kaki kiri, tangan kanan dan

mengalami hambatan komunikasi verbal namun masih bisa

dipahami. Selain stroke yang dideritanya, RP I juga memiliki

penyakit polio pada kaki kanan yang dideritanya sejak usia 4

tahun, sehingga kaki kanan tidak bisa di gerakkan. Kelumpuhan

pada kaki kanannya menghambatnya dalam mobilisasi dan

mengharuskannya untuk menggunakan alat bantu berjalan yaitu

kursi roda. RP I masuk ke PSMK pada tangal 13 September 2015

dengan alasan tidak ada yang merawat dan menjaga RP I

dikarenakan keluarganya sibuk bekerja. Keseharian RP I di

PSMK Salatiga tidur, makan, mandi, istirahat dan mengikuti

ibadah 2 kali seminggu. Semua aktivitas yang dilakukannya

memerlukan bantuan dari perawat yang berada disana.

4.2.2 Riset Partisipan II

Nama : Ny A

Umur : 62 tahun

Tanggal lahir : 2 Februari 1954

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Pernikahan : Menikah

Pekerjaan RP II sebelum mengalami stroke adalah seorang

wiraswasta, ia menjalankan pekerjaan bersama suaminya, namun

setelah suaminya meninggal dunia ia hanya bekerja sebagai

seorang ibu rumah tangga. RP II mengalami stroke sejak tahun

2012 yang mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak

sebelah kiri yaitu kaki kiri dan tangan kiri. Kelumpuhan yang

ialami RP II mengharuskan ia untuk menggunakan alat bantu

berjalan yaitu kruk. RP II masuk ke PSMK Salatiga pada tanggal

16 November 2013. Alasan RP II masuk ke PSMK Salatiga

adalah tidak ada yang menjaga dan merawat karena anaknya

sibuk bekerja dan sering bepergian keluar kota. Dalam

kesehariannya di PSMK Salatiga RP II sudah mampu melakukan

beberapa aktivitas secara mandiri.

4.2.3 Riset Partisipan III

Nama : Tn. A

Umur : 61 tahun

Tanggal lahir : 21 Mei 1955

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Pernikahan : Belum menikah

Pekerjaan RP III sebelum mengalami stroke adalah seorang

wiraswasta. RP III mengalami stroke sejak tahun 2014 yang

mengakibatkan kelumpuhan pada kaki kiri. Kelumpuhan yang

ialami membuatnya sulit dalam bergerak dan berjalan sehingga

mengharuskan ia untuk menggunakan alat bantu berjalan yaitu

walker. RP III masuk ke PSMK Salatiga pada tanggal 8 Maret

2014. Alasan RP III masuk ke PSMK Salatiga adalah tidak ada

yang merawat dan menjaganya, dikarenakan ia hanya tinggal

seorang diri di rumah. Dalam kesehariannya di PSMK salatiga,

RP III sudah mampu melakukan aktivitas seperti mandi, makan,

berpakaian secara mandiri.

4.4 Hasil Penelitian

Dalam menggambarkan aspek kualitas hidup peneliti menuliskan 4 item

menurut WHO yang dapat mendeskripsikan kualitas hidup seseorang

yaitu fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Kemuian

dijelaskan secara detail berdasarkan hasil analisa data dari hasil

wawancara yang didapatkan beberapa kesimpulan data sebagai

berikut:

4.4.1 Kondisi fisik pasca stroke

Riset partisipan mengalami perubahan-perubahan fisik dalam

kehidupan mereka semenjak mengalami stroke. Perubahan-

perubahan yang ialami ketiga partisipan semenjak mengalami

stroke yaitu kelumpuhan pada anggota gerak dan hambatan

komunikasi verbal. Gambaran diri setiap riset partisipan sebelum

dan sesudah mengalami stroke sangatlah berbeda. Hal ini sesuai

dengan pernyataan ketiga partisipan sebagai berikut:

“Dulu semuanya bisa sendiri, sekarang tergantung orang, dulu suara saya ini jelas sekarang bicaraya kedengarannya sudah kurang jelas” (RP 1 55) “pertama kena stroke gak bisa gerak sulit bangun, sudah tidak sama seperti dulu” (RP 2 60) “sebelum kena stroke bisa jalan, semenjak kena stroke gak bisa jalan lagi dan udah gak bisa kerja” (RP 3 60)

Perubahan-perubahan yang ialami oleh ketiga partisipan

membuat mereka mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas

juga kemampuan untuk berpindah. RP I menggambarkan

keadaan dirinya yang sekarang sangatlah sulit dikarenakan

kelemahan kondisi fisik yang ialaminya sehingga membuatnya

bergantung pada orang lain seperti mandi, berpakaian, berpindah

membutuhkan bantuan, karena kelemahan kondisi fisik tersebut

RP I menggunakan alat bantu berjalan yaitu kursi roda. Berbeda

dengan RP II dan RP III, mereka menuturkan bahwa kondisi yang

sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya. Menurut penuturan

mereka, mereka sudah mampu melakukan beberapa aktivitas

secara mandiri tetapi untuk berpindah RP II dan III masih

memerlukan alat bantu. Berikut adalah pernyataan ketiga

partisipan:

“saya rasa kesulitan sekali, semuanya dibantu gak bisa sendiri, gak mampu melakukan sendiri, rasanya susah sekali, .. sulit sekali, mau bangun dari tempat tidur aja harus ada bantuan” (RP I 115-120) “..saya sudah gak terlalu merasakan kesulitan lagi seperti dulu ..sekarang saya sudah bisa mandiri ..saya mampu melakukan aktivitas sehari-hari ..Saya harus pakai kruk untuk berjalan, gak pakai kruk saya sulit jalan” (RP 2 105-120)

“saya sudah gak terlalu merasakan kesulitan, sudah lebih baik ni dari yang dulu. Saya punya kemampuan melakukan aktivitas. Kalo jalan saya harus ada alat bantu jalan” (RP 3 90-105)

Selain ketergantungan akibat kelemahan fisik yang diderita,

partisipan juga mengalami ketergantungan dalam penggunan

obat-obatan. Pada awal mengalami stroke ketiga partisipan

melakukan pengobatan untuk proses penyembuhan mereka.

Sebelum masuk ke panti RP I sempat menjalani pengobatan

selama 1 tahun namum tidak ada perubahan pada kondisinya. RP

II juga menuturkan bahwa ia sempat menjalai pengobatan selama

6 bulan dan hanya mengalami sedikit perubahan pada

kondisinya. Begitu pula dengan RP III yang juga menjalani

pengobatan, dari pengobatan yang dijalaninya ia mengalami

perubahan dalam kondisinya yaitu ia mampu berjalan. Setelah

masuk ke panti, RP I masih bergantung pada obat-obatan,

berbeda dengan RP II, ia menuturkan bahwa sekarang ia sama

sekali tidak mengkonsumsi obat tetapi lebih memilih berlatih

sendiri untuk pemulihahan kondisinya. Sedangkan RP III saat ini

menjalani kontrol ke RS setiap 10 hari sekali dan mengkonsumsi

obat untuk proses pemulihan kondisinya. Berikut adalah

pernyataan dari ketiga partisipan:

“untuk sekarang bantuan medis gak ada, tetapi saya sering konsumsi obat-obatan yang dibeli ponaan saya” (RP I 125)

“Dulu pernah ada terapi, sekarang sudah gak ..Saya berlatih sendiri ..Saya sama sekali tidak meminum obat” (RP II 125-135) “Karena kumat saya setiap 10 hari 1 kali ke RS untuk kontrol dan minum obat. Saya merasa enakan setelah meminum obat” (RP III 110-120)

Terkait pola tidur ketiga partisipan, mereka mempunyai pola tidur

yang berbeda. RP I dan III mempunyai pola tidur yang tidak

teratur, mereka menuturkan bahwa tidur malam hanya 2-3 jam

sedangkan di siang hari kadang bisa tidur, kadang juga tidak bisa

untuk tidur. Berbeda dengan RP II, ia mempunyai pola tidur yang

teratur, RP II menuturkan bahwa jam tidur malamya mulai jam 9

dan kualitas tidurnya baik. Berikut adalah pernyataan ketiga

partisipan:

“Tidur saya gak bagus. Gak teratur sekali, sering terbangun di malam hari, susah tidur. (RP I 165) “Tidur saya teratur” (RP II 135) “Tidur saya gak teratur, susah untuk tidur” ( RP III 145)

4.4.2 Kondisi psikologis pasca stroke

Kondisi psikologis lansia pasca stroke mencakup proses mental

yaitu respon emosional, mekanisme koping, gambaran diri dan

penampilan, harga diri, perasaan positif dan negatif, kognisi serta

harapan dan motivasi. Respon emosional ketiga partisipan saat

pertama kali di iagnosa stroke mereka menuturkan bahwa mereka

kaget, kecewa, sedih bahkan ada yang tidak bisa menerima

kondisi saat itu. RP I menjelaskan bahwa saat teriagnosa stroke,

ia lebih memilih untuk mati saja karena menurut ia keadaannya

sudah tidak sama seperti sebelumnya, sehingga yang bisa

dilakukannya saat itu hanya pasrah, begitu juga dengan RP III

yang menuturkan bahwa awal mengalami stroke ia kaget dan

tidak percaya bahwa harus mengalami kondisi seperti ini.

Sedangkan RP II saat pertama mengalami stroke ia menuturkan

bahwa ia sedih dan menyesal dengan kondisinya namun ia mau

menjalani semua kondisinya yang sekarang dengan tetap

bersyukur. Berikut merupakan pernyataan dari setiap partisipan:

“Wah pertama kena stroke saya kecewa, marah-marah terus, saya juga sedih sekali, gak bisa terima keadaan saya. saya lemas pas mendengar saya kena stroke. rasanya mau mati aja” (RP I 60) “Saya pertama tahu saya kena stroke saya sedih. Saya Saya juga menyesal karena kejengkelan saya waktu itu. Tapi mau gimana lagi saya jalani semuanya dan tetap mengucap syukur” (RP II 65) “Pas pertama kena stroke saya cuma kaget. Kok saya gak bisa bangun gitu...kok bisa ya saya kena stroke” (RP III 35)

Akibat penyakit stroke mengakibatkan kelumpuhan dan

ketergantungan pada orang lain. Menurut penuturan ketiga

partisipan karena kesibukan dari anggota keluarga mereka

sehingga mereka dibawa untuk dirawat di panti. Respon ketiga

partisipan saat pertama kali masuk ke panti merasakan bahwa

mereka memberatkan keluarga dengan kondisi mereka. Selain itu

mereka juga senang dan bersyukur bisa dibawa ke panti karena

ada yang merawat mereka. Berikut merupakan pernyataan dari

setiap partisipan:

“saya merasa susah. Yang membiayai saya disini om saya dan saudara-saudara saya. saya merasa memberatkan mereka. ..gak enak hati saya. Tapi mau gimana lagi kalau dirumah saya juga merasa susah, karena saudara-saudara saya sibuk” (RP I 85-95) “saya rasa hanya bersyukur aja. Anak saya yang membawa saya kesini dan gak ada rasa kecewa kepada anak saya. karena kesibukan anak dengan pekerjaannya, anak saya gak mau saya merasa kesepian dirumah makanya ia bawa saya kesini supaya ada yang mau rawat saya”(RP II 80) “karena dirumah gak ada yang ngurusin, saya kan tinggalnya sendiri dirumah. Makanya om dan tante saya yang bawa saya kesini supaya ada yang ngerawat. Perasaan saya pertama masuk kesini biasa-biasa aja sih, tapi saya senang disini karena ada yang ngurusin” (RP III 65, 75)

Selama tinggal di panti ketiga partisipan sering merasa kesepian.

RP I menuturkan bahwa di panti jarang ada teman untuk diajak

bercerita selain itu karena kondisi RP I yang hanya bisa terbaring

di tempat tidur dan bergantung pada orang lain membuat RP I

jarang bercerita dengan sesama teman di panti. Sedangkan RP II

dan III menuturkan bahwa mereka merasa kesepian karena di

panti tidak ada kegiatan apapun. Keseharian mereka hanya

bangun tidur, makan, mandi, tidur dan melakukan ibadah 2 kali

seminggu. Untuk mengatasi rasa kesepian mereka, yang

dilakukan hanyalah menonton tv, bercerita dengan pengasuh.

Berikut merupakan pernyataan dari setiap partisipan:

“..Saya sering sih merasa kesepian. karna gak ada kegiatan disini. Trus kondisi saya yang tergantung sama orang ini membuat saya hanya di kamar trus. Disini juga jarang ada teman untuk ngobrol.. hanya bisa nonton tv aja, kalo malas nonton saya pasti telponan sama teman-teman saya” (RP I 100-105)

“..sejujurnya kadang saya merasa sepi tinggal disini, karena gak ada kegiatan apa-apa. Kalau saya sepi yang saya lakukan hanya nonton tv atau bercerita dengan pengasuh disini, itupun kalau para pengasuh tidak sibuk” (RP II 85-90) “..iya nih saya sering merasa sepi, disini itu gak ada kegiatan apa-apa. Saya kalau merasa sepi saya putar tv aja atau saya duduk di dapur sambil ngobrol dengan suster-suster” (RP III 80-85)

Sejauh ini ketiga partisipan melihat gambaran diri dan penampilan

tubuh mereka sebelum dan sesudah stroke sangatlah berbeda.

RP I mengatakan bahwa ia pasrah dengan kondisi yang sekarang

karena semua aktivitas bergantung pada orang lain. Penampilan

tubuhnya sudah tidak seperti dulu, sekarang ia hanya bisa

terbaring di tempat tidur dan memerlukan bantuan dari orang lain.

Awal mengalami stroke RP I tidak bisa menerima kondisinya

namun perlahan-lahan ia sudah bisa menerima kondisinya, dan

menyerahkan semuanya kepada Tuhan. RP I menyadari bahwa

keluarganya masih peduli dan memperhatikan ia sampai

sekarang ini sehingga ia mau menerima kondisinya yang

sekarang. Sedangkan RP II dan III juga menuturkan bahwa

penampilan mereka saat ini jauh berbeda dengan yang dulu,

sudah tidak sebaik sebelum mengalami stroke namun mereka

sudah menerima kondisi dan penampilan tubuh mereka saat ini.

Mereka menikmati hidup mereka saat ini walaupun sudah tidak

seperti dulu, karena menurut mereka menyesal tidak ada

gunanya dan apapun kondisi yang dialami sekarang harus dijalani

karena bagi mereka masih ada harapan untuk sembuh. Berikut

merupakan pernyataan dari setiap partisipan:

“..saya pasrah aja sekarang, semua tergantung oleh orang. Jadi dijalani aja, serahkan semua pada Tuhan...Karena saya punya keluarga yang masih perhatian kepada saya, masih membiayai saya untuk tinggal disini. Keluarga saya sudah berkorban untuk saya, gak mungkin kalo saya sampai sekarang gak terima kondisi saya (RP I 175-180) “..bagaimanapun saya harus menikmati hidup saya yang sekarang. Walaupun tubuh saya sudah tidak sekuat dulu, tidak sempurna saya tidak mau pikir susah. Semenjak kena stroke sampai sekarang saya sudah menerima kondisi saya” (RP II 150-155) “..sudah bisa menerima apa adanya. Saya menikmati hidup saya biarpun hidup dengan penampilan yang kaya gini saya tetap mensyukuri semuanya, karena menyesal gak ada guna lagi” (RP III 140)

Ketiga partisipan dalam menilai diri mereka masing-masing, ada

partisipan yang menggambarkan dirinya tidak berarti tetapi ada

juga yang menyatakan bahwa hidup mereka masih berarti. RP I

menyatakan bahwa hidupnya tidak berarti, karena semuanya

harus bergantung pada orang lain, sehingga baginya keadaan ini

mempersulit dan menjadi beban baik bagi keluarga maupun

orang lain. Lain halnya dengan RP II dan III, mereka menyatakan

bahwa hidup mereka berarti karena bagi mereka sampai saat ini

masih ada yang perhatian dan peduli terhadap kondisi mereka,

serta mereka menyakini bahwa masih ada Tuhan yang selalu ada

dan menolong mereka. Mereka beranggapan bahwa dengan

kondisi saat ini mempersulit dan menjadi beban bagi mereka,

namun jika menganggap kondisi ini merupakan hal yang sulit itu

hanya akan menambah beban bagi mereka, sehingga bagi

mereka yang perlu dilakukan sekarang adalah berusaha untuk

tetap kuat dan mengambil hal positif dari keadaan yang ialami

saat ini. Berikut merupakan pernyataan dari setiap partisipan:

“..gak berarti hidup saya. Apa-apa gak bisa, harus tergantung orang...Mempersulit sekali karena gak bisa buat apa-apa, jadi beban juga buat saya karena merepotkan orang. Saya juga merasa menjadi beban kepada keluarga saya” (RP I 200-210) “..Hidup saya berarti, saya masih punya Tuhan Yesus dan saya punya anak yang perhatian kepada saya. memang dengan kondisi yang sekarang mempersulit saya tapi kalau saya terus memikirkan kalo ini ni hal yang susah yang ada malah saya jadinya stres dan tambah beban aja buat saya. yang penting disini saya ambil hal yang positif aja dan terus semangat untuk kesembuhan saya” (RP II 165) “..hidup saya berarti, masih bisa hidup sampai sekarang dan masih ada yang perhatian kepada saya ...iyalah dengan kondisi begini pasti menjadi beban bagi saya, kondisi ini buat saya tidak bisa beraktivitas sama dulu, jalan harus ada alat bantu. Saya ini sudah pasrah aja sekarang gak mau pikir susah, yang saya pikirkan sekarnag bagaimana cara saya untuk bisa sembuh” (RP III 180-185)

Ketiga partisipan dalam menjalani kehidupan mereka di panti

masih sering merasakan cemas dan khawatir. Setiap partisipan

sering merasakan cemas dan khawatir dikarenakan

ketergantungan kepada orang lain. Mereka merasa cemas karena

memikirkan kapan bisa sembuh dan khawatir karena takut

strokenya kambuh lagi. RP II menyatakan kadang ia merasa

cemas, tetapi rasa bersyukur kepada Tuhan jauh lebih besar

daripada perasaan cemas dan gelisahnya karena baginya dekat

dengan Tuhan membuat ia tidak merasa takut sedikitpun. Berikut

merupakan pernyataan dari setiap partisipan:

“..sering merasa cemas, gelisah..karena gak ada uang. Sangat tergantung sekali sama orang lain. Saya Cuma bisa menyusahkan orang” (RP I 225-235) “..saya kadang merasa cemas sih karena takut strokenya kambuh lagi. Tapi rasa cemas, khawatir itu kalah dengan rasa syukur saya kepada Tuhan, saya merasa hidup saya jauh lebih tenang bila dekat denganNya, saya tidak merasa takut, saya selalu mengandalkan Tuhan” (RP II 170) “..saya sering merasa cemas. Karna dipikiran saya itu kapan sembuh, kapan sembuh” (RP III 195)

Walaupun sering merasakan perasaan negatif seperti cemas dan

khawatir, RP II dan III sering merasakan perasaan yang

menyenangkan seperti merasa senang walaupun dengan kondisi

mereka saat ini. Berbeda dengan RP I yang menyatakan bahwa

ia lebih banyak merasakan cemas dan khawatir, marah-marah

dan kadang juga ia merasa putus asa. Berdasarkan hasil

observasi, terlihat bahwa RP I sering marah-marah jika pengasuh

lama datang menemuinya atau melakukan sesuatu yang tidak

sesuai dengan keinginannya. Berikut merupakan pernyataan dari

setiap partisipan:

“..jarang sih saya merasakan perasaan yang menyenangkan. Kebanyakan emosi saya, suka marah saya. saya khawatir juga dengan kondisi seperti ini, saya ini sampai putus asa dan pasrah aja (RP I 270) “..gak mau pikir yang aneh-aneh, pikir yang enak-enak aja” (RP II 175) “..sering merasa yang menyenangkan. Karena sudah pasrah” (RP III 205)

RP I menyatakan bahwa daya ingatnya sudah kurang bagus.

Begitu juga dengan kemampuan berkonsentrasi. Sedangkan RP

II dan III menyatakan bahwa daya ingat mereka masih baik dan

sampai sampai saat ini mereka masih mampu untuk

berkonsentrasi dalam melakukan apapun atau dalam mengambil

sebuah keputusan. Berikut merupakan pernyataan dari setiap

partisipan:

“..ingatan saya sudah kurang baik, kadang saya ingat kadang lupa.. kalau sekarang sudah kurang konsentrasi” (RP I 280) “..ingatan saya masih bagus dong ..saya masih mampu berkonsentrasi sampai sekarang” (RP II 175) “..wah sampai sekarang ingatan saya masih bagus, saya juga mampu berkonsentrasi kalau ada hal-hal yang penting yang harus saya kerjakan gitu saya masi mampu berpikir dan berkonsentrasi” (RP III 185-190)

Setiap riset partisipan memiliki keyakinan bahwa mereka bisa

sembuh. Dengan keyakinan yang dimiliki oleh setiap partisipan

mereka melakukan usaha agar keyakinan mereka untuk sembuh

bisa tercapai. RP I menyatakan dengan kondisi seperti ini ia

tidak bisa melakukan apapun untuk proses pemulihan kondisinya,

karena tidak memiliki biaya dan bergantung pada orang lain.

Walaupun ia menyatakan bahwa tidak bisa melakukan apapun, ia

masih punya usaha untuk terus mengkonsumsi obat penurun

tekanan darah. Lain halnya dengan RP II yang menyatakan

bahwa usaha yang ia lakukan untuk proses pemulihan kondisinya

yaitu dengan latihan fisik secara mandiri terus menerus dan tidak

bergantung pada orang lain, menurut RP II jika ingin sembuh

harus mempunyai semangat yang tinggi dalam diri. Selain itu RP

II juga selalu menyerahkan semua kondisinya kepada Tuhan

karena baginya Tuhan adalah dokter di atas segala dokter.

Sedangkan RP III menyatakan bahwa usaha yang ia lakukan

yaitu setiap 10 hari sekali ia melakukan kontrol ke RS dan selalu

mengkonsumsi obat yang ianjurkan oleh dokter. Berikut

merupakan pernyataan dari setiap partisipan:

“..saya ini gak tau kalo bisa sembuh atau gak saya serahkan saja sampai semuanya kepada Tuhan. Tapi jujur saya yakin kalau saya bisa sembuh, yang saya lakukan sekarang itu hanya minum obat menurunkan tekanan darah saya. (RP I 285-290) “..saya yakin saya bisa sembuh, karena saya selalu serahkan semuanya kepada Tuhan, kita berdoa kepada Tuhan berarti kita harus yakin kalau Tuhan pasti memberikan kesembuhan kepada kita. Saya juga selalu berusaha untuk terus latihan sendiri, harus punya semangat yang tinggi kalau ingin sembuh. Saya ini sama sekali tidak mau tergantung sama orang lain, karena saya yakin saya bisa” (RP II 195) “..kadang saya cemas kok saya gak sembuh-sembuh sih, tapi saya yakin saya bisa sembuh karena pak R juga pernah sembuh dari strokenya. Saya sekarang setiap 10 hari sekali pergi ke RS untuk kontrol dengan dokter saya juga rajin minum obat yang diberikan” (RP III 170-175)

Setiap riset partisipan memiliki harapan dalam hidupnya. Harapan

ketiga riset partisipan pada umumnya yaitu ingin sembuh dari

kondisi saat ini. RP I juga mempunyai harapan lain yaitu tidak

merepotkan keluarga dan orang lain yang berada di sekitarnya.

Sedangkan RP II ingin mempunyai cucu dari anak perempuannya

juga ingin membuka catering agar mendapat penghasilan sendiri

supaya tidak memberatkan anaknya lagi. Begitu pula dengan RP

III hanya ingin sembuh supaya bisa beraktivitas seperti sebelum

mengalami stroke. Berikut merupakan pernyataan dari setiap

partisipan:

“..harapan saya sekarang bisa sembuh dari semua ini. Supaya gak memberatkan keluarga dan orang lain. Supaya ada uang lagi” (RP I 300) “harapan saya pastinya ingin sembuh. Saya juga pengen punya cucu dari anak saya. dan juga ada satu hal lagi saya ingi membuka catering supaya ada penghasilan sendiri gitu, saya gak mau terus-terus minta sama anak saya” (RP II 200) “harapan saya ingin sembuh aja dan seperti dulu lagi” (RP III 165)

4.4.3 Hubungan sosial lansia pasca stroke

Hubungan sosial lansia pasca stroke mencakup hubungan

personal dan dukungan sosial. Pada umumnya ketiga partisipan

memiliki hubungan yang baik dengan keluarga, teman maupun

dengan orang-orang sekitar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya

komunikasi yang baik antara keluarga, teman maupun dengan

orang-orang sekitar, dukungan yang diberikan dari keluarga,

teman dan orang-orang sekitar, serta pelayanan yang baik dari

para perawat yang berada di panti. Namun kadang partisipan

memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan orang-orang

sekitar. RP I kadang memiliki perasaan jengkel kepada perawat

yang berada di panti dikarenakan mereka kurang memahami

kondisi RP I. RP II juga kadang mempunyai perasaan jengkel

dengan salah satu teman lansia yang berada di panti karena

sering berbicara yang tidak baik. Sedangkan RP III pernah

bertengkar dengan salah satu lansia yang berada di panti, RP III

pernah dipukul. Namun ketiga partisipan mampu menyelesaikan

ketidakharmonisan itu secara baik. Ketiga partisipan jarang

meluangkan waktu bersama dengan teman-teman sesama lansia

di panti seperti bercerita bersama dan lain-lain dikarenakan

keterbatsan fisik yang dimiliki. RP III menuturkan bahwa ia

merupakan orang yang suka menyendiri. Berdasarkan hasil

observasi peneliti bahwa ketiga partisipan ini kebanyakan

meluangkan waktunya di kamar, jarang bercerita dengan sesama

lansia. Berikut merupakan pernyataan dari setiap partisipan:

“..dengan keluarga baik-baik aja, teman-teman juga baik, orang-orang disini juga baik ..dengan perawat baik aja, tetapi sejujurnya saya jengkel sama perawatnya, mereka kurang memahami kondisi saya. saya jarang ngobrol dengan teman-teman disini, bahkan gak pernah” (RP I 315, 330) “Aman-aman aja. Kalo disini yang sering ngobrol jelek itu ibu M, kalo dengan perawat baik-baik aja, saya jarnag ngobrol dengan yang lain” (RP II 205,240) “Baik-baik aja sama yang lain, sama pengurus juga baik. Saya sih kebanyakan menyendiri dari dulu” (RP III 230-235)

Dalam kondisi pasca stroke, dukungan dari keluarga, teman dan

orang-orang sekitar menjadi sesuatu yang sangat penting untuk

membantu mereka melewati tahap-tahap sulit yang mereka alami.

Ketiga partisipan merasa senang dengan dukungan yang

diberikan karena bagi mereka dengan dukungan yang diberikan

dapat mengurangi beban pikiran mereka, itu berarti masih ada

yang perhatian dan peduli terhadap kondisi mereka. RP I sering

dikunjungi oleh keluarga dan teman, lain halnya dengan RP II dan

III mereka menuturkan bahwa jarang mendapat kunjungan

alasannya keluarga yang sibuk bekerja. Berikut merupakan

pernyataan dari setiap partisipan:

“Keluarga sering berkunjung, om saya, adik saya dan ponaan-ponaan sering datang. Om dan adik saya yang selalu memberi dukungan ...dengan kondisi kaya gini, pastilah saya sangat butuh. Siapa lagi yang mau memberikan semangat, dukungan kalau bukan orang-orang sekitar sini ...saya senang mereka memberi dukungan kepada saya” (RP I 320, 335, 365) “Kalau keluarga jarang berkunjung sih. Karena anak saya kan ada dengan pekerjaannya. Pastinya saya butuh dukungan. Siapa lagi kalau bukan mereka. Kalau bukan mereka saya gak mungkin bisa seperti begini. Saya merasa puas dan senang dengan dukungan yang diberikan” (RP II 220-230) “Keluarga sering memberi dukungan. Dengan kondisi yang sekarang dukungan dari keluarga sangat saya butuhkan Senang dengan dukungan yang diberikan. Itu tandanya mereka masih perhatian sama saya. Dulu sering berkunjung sekarang jarang” (RP III 245-260)

Dalam menjalani kehidupan di panti, setiap partisipan dilayani

secara bebas tanpa membeda-bedakan partisipan satu dengan

yang lain oleh perawat atau pengasuh yang berada di panti

tersebut. Setiap partisipan mendapat pelayanan yang baik,

mereka menyatakan bahwa disini pelayanan sudah bagus hanya

saja kurang ada kegiatan.

4.4.4 Kondisi lingkungan lansia pasca stroke

Kondisi lingkungan mencakup kondisi keuangan lansia,

keamanan fisik, ketersediaan layanan kesehatan, kondisi fisik

lingkungan dan juga kesempatan rekreasi pada lansia pasca

stroke. Kondisi keuangan ketiga partisipan bergantung pada

keluarga mereka. Ketiga partisipan dulunya mampu menghasilkan

uang sendiri. Namun semenjak mengalami stroke mereka sangat

bergantung pada keluarga mereka bahkan biaya selama tinggal di

panti ditanggung oleh keluarga, sehingga muncul pemikiran

dalam diri mereka bahwa mereka hanya memberatkan keluarga

mereka. Berikut merupakan pernyataan dari setiap partisipan:

“..om saya yang biayai saya disini, adik saya kadang-kadang memberi uang jajan kepada saya” (RP I 380) “..anak saya yang membiayai saya disini” (RP II 250) “..kakak perempuan saya yang ada di belanda yang membiayai saya disini, saya selalu mendapat kiriman tiap bulan” (RP III 275-280)

Ketiga partisipan mengatakan selama mereka tinggal di PSMK,

mereka merasa aman. Selain itu ketiga partisipan menyatakan

bahwa tempat dimana mereka tinggal sekarang bersih, tenang

tidak ada keributan dan jauh dari jalan umum, sehingga mereka

merasa nyaman tinggal di PSMK. Berikut merupakan pernyataan

dari setiap partisipan:

“..saya merasa aman tinggal disini..disini tempatnya bersih dan tenang. Jauh dari jalan besar, gak ada keributan” (RP I 395-400) “..saya merasa aman selama tinggal disini..senang aja. Disini tu bersih, tenang, gak ribut” (RP II 255, 280)

“..saya merasa aman disini,..keadaan lingkungan disini sih aman-aman aja, tenang dan bersih” (RP III 285, 300)

Menurut ketiga partisipan tidak ada layanan kesehatan di PSMK,

hanya ada seorang perawat yang datang 1 atau 2 kali seminggu

bahkan dalam seminggu tidak ada perawat yang datang untuk

mengukur tekanan darah. RP III mengatakan tidak ada layanan

kesehatan disini sehingga selama 10 hari sekali melakukan

kontrol di RS. Berikut merupakan pernyataan dari setiap

partisipan:

“..gak ada layanan kesehatan disini” (RP I 415) “..Cuma ada Ibu W, itu datang untuk tensi 2 kali seminggu, ada juga yang gak datang sama sekali” (RP II 270) “..gak ada. Saya aja pergi ke RS” (RP III 310)

Selama tinggal di panti dengan kondisi kesehatan yang sekarang

membuat ketiga partisipan jarang mempunyai kesempatan untuk

berekreasi atau melungkan waktu di luar panti. RP I tidak pernah

berekreasi karena kondisi yang tidak memungkinkannya untuk

melakukan hal-hal tersebut. RP II menyatakan bahwa ia bisa

pergi jalan-jalan jika anaknya datang dan mengajak untuk pergi

keluar. Sedangkan RP III menyatakan semenjak kambuh

strokenya ia tidak pernah mempunyai kesempatan keluar jalan-

jalan lagi karena kondisi fisiknya. Berikut merupakan pernyataan

dari setiap partisipan:

“..gak pernah. Karena keterbatasan saya. jangankan keluar jalan-jalan, mau ke belakang aja harus butuh bantuan” (RP I 410)

“..kalo anak datang trus ajak jalan, ya pasti keluar jalan dengan anak” (RP II 275) “..semenjak kumat lagi gak pernah keluar. Dulu saya jalan-jalan trus” (RP III 305)

4.5 Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas

hidup lansia pasca stroke di PSMK Salatiga. Menurut WHO (1997)

kualitas hidup merupakan pemahaman seseorang terhadap posisi

mereka dalam hidup ditinjau dari konteks sistem nilai dan budaya

dimana mereka tinggal yang berhubungan dengan tujuan mereka,

harapan, kesenangan dan kepedulian mereka berupa keadaan dan

kesehatan fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial,

spiritual serta lingkungan. Jadi kualitas hidup menilai sejauh mana

seseorang dapat merasakan dan menikmati terjadinya segala

peristiwa dalam kehidupannya sehingga kehidupannya menjadi

sejahtera (Rapley, 2003). Jika seseorang dapat mencapai kualitas

hidup yang tinggi, maka kehidupan individu tersebut mengarah

pada keadaan sejahtera (well-being), sebaliknya jika seseorang

mencapai kualitas hidup yang rendah, maka kehidupan individu

tersebut mengarah pada keadaan tidak sejahtera (ill-being) (Brown,

2004). Hardywinoto dan Setiabudhi (2005) juga menyebutkan

bahwa kesejahteraan menjadi salah satu parameter tingginya

kualitas hidup lanjut usia sehingga mereka dapat menikmati

kehidupan masa tuanya.

Pada penelitian ini ada empat kesimpulan data yang akan

dibahas oleh peneliti. Keempat kesimpulan data tersebut yaitu: (1)

Kondisi fisik lansia pasca stroke, (2) Kondisi psikologis lansia pasca

stroke, (3) Hubungan sosial lansia pasca stroke, (4) Kondisi

lingkungan lansia pasca stroke.

4.5.1 Kondisi Fisik pada lansia pasca stroke

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 3

partisipan lansia di PSMK Salatiga tentang kondisi fisik lansia

pasca stroke ditemukan hasil bahwa lansia pasca stroke

mengalami perubahan kemampuan fisik dalam kehidupan

mereka. Menurut Smeltzer & Bare (2002) disfungsi motorik

yang umum pada penderita stroke adalah hemiparesis atau

kelemahan salah satu sisi tubuh, selain itu fungsi otak lain

yang dapat dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan

komunikasi.

Perubahan pada kemampuan fisik membuat mereka

mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari

sehingga harus bergantung pada orang lain. Namun ada

yang sudah mampu melakukan beberapa aktivitas secara

mandiri, tetapi masih membutuhkan alat bantu untuk berjalan.

Hasil penelitian ini didukung oleh Kariasa (2009) bahwa

pasien pasca stroke memiliki keterbatasan dalam melakukan

aktivitas sehari hari seperti bergerak dan berjalan. Hasil

penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Hamidah (2014) bahwa lansia yang mengalami stroke

tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari karena

keterbatasan gerak dan membutuhkan bantuan dari orang

lain membuat lansia tersebut merasa tidak berguna dan

merasa tidak puas terhadap hidupnya.

Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa selain

ketergantungan kepada orang lain, dua partisipan memiliki

ketergantungan terhadap penggunaan obat-obatan. Mereka

mengkonsumsi obat-obatan untuk mencegah terjadinya

stroke berulang. Hasil penelitian ini didukung oleh Wiwit

(2010) bahwa terapi stroke secara medis seperti penggunaan

obat-obatan dan fisioterapi bertujuan untuk mencegah

terjadinya stroke berulang, mengurangi kerusakan neurologi,

mengembalikan kemampuan gerak sehari-hari, serta

mengurangi angka kematian.

Selain itu berdasarkan pernyataan partisipan mereka

mengalami perubahan pada pola tidur seperti waktu tidur

mereka menjadi tidak teratur, susah tidur dan sering

terbangun di malam hari. Hasil ini didukung oleh penelitian

Japardi (2002) bahwa gangguan tidur berhubungan dengan

kondisi kesehatan seperti penyakit degeneratif yaitu iabetes

melitus, asam urat, jantung dan stroke.

Kondisi fisik lansia pasca stroke merupakan aspek yang

paling menonjol dari aspek-aspek yang lain dikarenakan

secara tidak langsung aspek fisik ini mempunyai perubahan

yang signifikan dalam kehidupan penderita pasca stroke

seperti perubahan dalam kamampuan fisik. Perubahan pada

aspek fisik ini membuat perubahan yang besar sehingga

berpengaruh pada aspek-aspek yang lain. Hasil penelitian ini

sejalan dengan hasil penelitian Kwok et all (2006) yang

menyatakan bahwa domain fisik adalah domain yang paling

terganggu pada penderita stroke. Hasil ini juga didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Kariasa (2009) yang

menyatakan bahwa domain yang paling berdampak pada

penderita stroke adalah domain fisik sehingga membawa

pengaruh pada domain yang lain yaitu domain psikologis,

lingkungan dan hubungan sosial.

4.5.2 Kondisi psikologis pada lansia pasca stroke

Setiap lansia pasca stroke tentu memiliki kondisi

psikologis yang berbeda, hal ini sesuai dengan hasil

penelitian ditemukan bahwa ketika pertama kali mengetahui

mengalami stroke lansia mempunyai respon emosional yang

tidak stabil seperti menjadi mudah marah, merasakan

kesedihan yang mendalam dan kecewa. Hasil penelitian ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kariasa (2009)

yang menemukan bahwa terdapat beragam respon psikologis

pada penderita stroke seperti marah, malu, sedih dan juga

kecewa. Selain itu kondisi psikologis yang umum juga dialami

oleh penderita stroke yaitu berupa labilitas emosional dan

frustasi akibat perubahan citra tubuh yang dialami oleh

mereka.

Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa setiap

partisipan memandang keadaan diri mereka jauh berbeda

dengan keadaan sebelum mengalami stroke. Selain itu

setiap partisipan sudah menerima kondisi dan penampilan

tubuh mereka yang sekarang. Penerimaan ini merupakan

sebuah proses panjang, mulai dari awal mengalami stroke

mereka sangat sulit untuk menerima kenyataan ini, dan tidak

bisa menerima kondisinya bahkan ingin mati saja karena

kondisi yang sudah tidak bisa sama lagi seperti dulu, namun

seiring dengan berjalannya waktu dan mendapat dukungan

dari orang-orang terdekat membuat mereka mampu

menerima kondisinya. Proses penerimaan diri pada

partisipan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Masyitah (2012) bahwa penerimaan diri yang tinggi akan

memberikan sumbangan positif pada kesehatan mental.

Artinya disini yaitu ketika penderita pasca stroke mempunyai

penerimaan diri yang tinggi maka dapat memiliki kesehatan

mental yang baik dan memacu semangat untuk mencapai

kesembuhan.

Berdasarkan pernyataan di atas penerimaan terhadap

diri merupakan suatu hal yang positif terhadap kondisi dan

keadaan yang dialami olehnya, ia mampu mengenali setiap

kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, selain itu juga

mampu dan sanggup untuk hidup dengan segala kondisi

yang sudah jauh berbeda dengan kondisi kehidupannya yang

dulu tanpa harus merasakan tidak menyenangkan atau tidak

puas pada dirinya dan dapat memahami keterbatasan yang

ada pada dirinya.

Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa pasca stroke

satu partisipan menilai dan menggambarkan dirinya itu tidak

ada artinya karena semua harus bergantung pada orang

lain. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Hansell & Chapman (2013) ditemukan bahwa

individu yang menderita stroke dengan ketergantungan

melakukan aktivitas seperti kebersihan diri, berpakaian, serta

mandi dapat menurunkan harga diri individu tersebut. Namun

ditemukan juga dalam penelitian ini bahwa 2 partisipan

dengan kondisi yang dialami sekarang mereka menilai bahwa

diri mereka berarti. Penilaian yang positif terhadap harga diri

ini disebabkan karena masih diberikan kesempatan untuk

bertahan hidup serta masih adanya perhatian yang

didapatkan oleh partisipan dari orang-orang sekitar seperti

perawat yang berada di panti dan lebih khususnya keluarga.

Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Purwanti (2012) yang

menyatakan bahwa peran keluarga mempunyai pengaruh

yang tinggi dalam peningkatan harga diri anggota keluarga

yang sakit.

Pada penelitian ini juga ditemukan cara lansia

menyesuiakan diri dan mengatasi setiap perubahan pasca

stroke. Cara lansia mengatasi perubahan yang dialami

dengan menerima keadaan dirinya yang sekarang, selain itu

lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurut Lazarus dan

Folkman (1984) strategi koping yang dimunculkan penderita

dalam bentuk tindakan positif berupa penerimaan keadaan,

lebih siap dan pasrah. Hasil ini juga didukung oleh penelitian

yang dilakukan oleh Gilen (2006) tentang mekanisme koping

yang menyatakan bahwa individu menginterpretasikan situasi

stres dengan pandangan positif dan berusaha mencari

makna positif dari setiap permasalahan dengan melibatkan

diri pada hal-hal yang bersifat religius. Selain itu partisipan

juga melakukan upaya untuk proses pemulihan kondisinya

seperti mengkonsumsi obat, melakukan kontrol ke dokter dan

berusaha untuk melakukan latihan fisik secara mandiri,

mereka yakin dengan upaya tersebut sangat membantu

mereka, serta ada juga upaya yang dilakukan untuk

mengurangi rasa kesepian yang dirasakan. Menurut Brunner

dan Suddarth (2002) harapan yang optimis terhadap suatu

pengobatan akan meningkatkan rasa percaya diri serta dapat

membantu memudahkan dalam pengobatan.

Di dalam penelitian ini di dapatkan hasil bahwa setiap

riset partisipan memiliki harapan dalam hidupnya masing-

masing. Dengan adanya harapan tersebut membuat mereka

termotivasi untuk semangat dalam melanjutkan hidup

mereka. Menurut Bastaman (2008), harapan walaupun belum

pasti menjadi sebuah kenyataan, dapat memberikan sebuah

peluang dan solusi serta tujuan yang baru dan menjanjikan

yang dapat menimbulkan semangat dan optimisme.

4.5.3 Hubungan sosial lansia pasca stroke

Hasil penelitian menunjukan bahwa setiap riset

partisipan memiliki hubungan yang baik dengan keluarga,

teman, dan orang-orang sekitar. Namun setiap partisipan

menyatakan bahwa mereka jarang berdiskusi atau bercerita

dengan sesama lansia yang berada di panti. Waktu mereka

kebanyakan di kamar karena kelemahan fisik yang dialami

membuat mereka jarang berinteraksi satu sama yang lain.

Hamidah (2014) menyatakan bahwa keterbatasan fungsional

dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita pasca

stroke berkaitan dengan berkurangnya kepekaan dan kendali

dan juga mengurangi kemampuan untuk terlibat menjalin

hubungan sosial yang positif. Hasil penelitian ini juga

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kariasa (2009)

bahwa perubahan kondisi fisik pada penderita stroke

membuat penderita mengalami keterbatasan dalam

mobilisasi sehingga hubungan sosial dengan orang-orang

sekitar menjadi terganggu.

Hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa lansia pasca

stroke sering mendapat dukungan dari keluarga, teman dan

orang-orang sekitar. Mereka merasa senang dan puas

dengan dukungan yang diberikan. Dukungan yang diberikan

dari keluarga, teman dan orang-orang sekitar menjadi sangat

penting kepada ketiga riset partisipan. Hasil penelitian ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Schub & Caple

(2010) bahwa pada umumnya pasien stroke yang tidak

mendapat dukungan dari keluarga akan mengalami dampak

negatif secara psikologis berupa depresi pasca stroke,

sehingga dukungan sosial berperan penting dalam

membantu dan membangkitkan individu dalam menjalani

hidup dan memenuhi kebutuhan psikologis dalam

menghadapi kejaian-kejaian yang traumatis dan penuh

tekanan.

Selain itu juga dukungan sosial merupakan salah satu

faktor yang berperan dalam meningkatkan penerimaan diri

pada penderita pasca stroke. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Masyithah (2012) yang

menyatakan bahwa dukungan sosial dan penerimaan diri

mempunyai hubungan yang signifikan pada penderita pasca

stroke. Artinya disini bahwa ada hubungan positif antara

dukungan sosial dan penerimaan diri, ini berarti bahwa

semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan pada

penderita pasca stroke, maka semakin tinggi pula

penerimaan diri yang dimunculkan oleh si penderita dan

sebaliknya, jika dukungan sosial yang diberikan semakin

rendah maka penerimaan diri yang dimunculkan semakin

rendah pula oleh penderita tersebut.

4.5.4 Kondisi Lingkungan lansia pasca stroke

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kondisi

keuangan setiap partisipan pasca stroke sudah tidak sebaik

sewaktu sebelum mengalami stroke. Sumber keuangan

setiap partisipan bergantung pada keluarga. Dari biaya

tinggal di panti sampai uang saku bergantung pada keluarga.

Hal ini dikarenakan setiap partisipan sudah tidak bisa bekerja

seperti dulu. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Handayani (2009) bahwa penderita

pasca stroke yang sebelumnya mampu bekerja dan

mendapat penghasilan menjadi tidak mampu melakukannya

lagi karena keterbatasan fisik yang dialami sehingga tidak

bisa bekerja dan harus membebani keluarga dari segi

finansial, dan berakibat beban ekonomi yang lebih tinggi bagi

keluarga.

Dalam penelitian ini ditemukan kondisi fisik lingkungan

yang aman, tenang dan bersih, selain itu dengan adanya

fasilitas yang menunjang seperti terseia televisi di setiap

kamar dan tempat tidur yang nyaman serta pelayanan yang

baik dari para pengasuh di panti membuat lansia merasa

nyaman tinggal di panti. Selain itu dalam penelitian ini juga

ditemukan kurangnya layanan kesehatan di panti sehingga

ada partisipan yang harus berobat atau kontrol di rumah

sakit.

Berdasarkan hasil penelitian kelemahan kondisi fisik

membuat lansia pasca stroke jarang meluangkan waktu

untuk melakukan kegiatan rekreasi seperti bepergian ke luar

panti, kebanyakan partisipan menghabiskan waktu luang

mereka hanya berada di dalam kamar seperti menonton tv

atau bercerita bersama pengasuh. Hasil ini didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2009) bahwa para

penderita stroke yang sebelumnya bisa menikmati hidup

dengan aktivitas relaksasi yang disukai sebagai sarana untuk

rekreasi/hiburan, namun setelah serangan stroke mengalami

perubahan bahkan menjadi sangat terbatas.

4.6 Keterbatasan Penelitian

Peneliti mengidentifikasi keterbatasan dalam penelitian ini

yaitu saat memulai penelitian, salah satu riset partisipan sedang

mengalami sakit sehingga harus menunda waktu untuk melakukan

wawancara dan menunggu sampai partisipan tersebut sembuh dan

merasa sudah siap untuk wawancara. Selain itu dalam penelitian

ini peneliti hanya melakukan observasi dari pagi sampai siang hari

sehingga peneliti harus bekerja sama dengan pengasuh untuk

mendapatkan data tentang keadaan setiap riset partisipan saat

peneliti tidak berada di panti.