Upload
hoangnguyet
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Panti Sosial Menara Kasih (PSMK) merupakan salah satu panti
jompo yang berada di Salatiga, tepatnya di Jl. Langen Rejo 326 RT. 07
/ RW. 02 Gendongan, Salatiga, yang berdiri sejak tahun 2012. PSMK
merupakan unit perawatan bagi para lansia yang mengalami hambatan
mobilitas fisik, tirah baring, dan juga para lansia yang mengalami
penyakit-penyakit degeneratif seperti stroke. Saat ini PSMK dihuni oleh
7 lansia dan 3 perawat yang bertugas merawat para lansia di PSMK.
4.2 Proses Pelaksanaan Penelitian
Dalam sebuah penelitian memerlukan persiapan yang baik agar
penelitian dapat berjalan dengan lancar dan baik. Sebelum melakukan
penelitian, peneliti menyiapkan beberapa hal yang menunjang
pelaksanaan penelitian seperti mempersiapkan interview guide dan
surat-surat seperti surat persetujuan penelitian dan surat pengantar dari
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW. Peneliti juga menyiapakan alat
pendukung untuk proses pengumpulan data yaitu handphone untuk
merekam wawancara yang berlansung dan alat tulis untuk mencatat
hal-hal yang penting. Partisipan dalam penelitian pada awalnya
berjumlah 7 orang namun sebelum melakukan penelitian, 2 partisipan
meninggal dunia, 1 partisipan pindah dari PSMK dan 1 partisipan
lainnya mengalami hambatan komunikasi sehingga total partisipan
dalam penelitian ini berjumalh 3 orang. Penelitian ini berlangsung pada
tanggal 13 – 26 April 2016. Untuk proses pengumpulan data peneliti
melakukan teknik wawancara mendalam. Lamanya proses wawancara
yang dilakukan berkisar antara 15-20 menit setiap kali pertemuan.
Dalam penelitian ini, setiap pagi peneliti datang dan hal pertama yang
dilakukan oleh peneliti yaitu melakukan pemeriksaan tekanan darah
setelah itu baru melakukan wawancara bersama partisipan.
Wawancara yang dilakukan peneliti disesuaikan dengan aktivitas dan
kesediaan dari tiap partisipan sehingga proses wawancara dapat
berjalan dengan lancar. Partisipan dalam penelitian sangat kooperatif,
mampu menjawab setiap pertanyaan yang ditanyakan dan mau
bercerita apa yang dirasakan kepada peneliti.
4.3 Gambaran Umum Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini merupakan lansia pasca stroke yang
berjumlah 3 orang yang ditentukan berdasarkan kriteria yang telah
dibuat peneliti.
4.2.1 Riset Partisipan (RP) I
Nama : Tn. H
Umur : 60 tahun
Tanggal lahir : 12 Juli 1956
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Pernikahan : Belum menikah
Pekerjaan RP I sebelum mengalami stroke adalah seorang sopir
truk. RP I mengalami stroke sejak tahun 2013 yang
mengakibatkan kelumpuhan pada kaki kiri, tangan kanan dan
mengalami hambatan komunikasi verbal namun masih bisa
dipahami. Selain stroke yang dideritanya, RP I juga memiliki
penyakit polio pada kaki kanan yang dideritanya sejak usia 4
tahun, sehingga kaki kanan tidak bisa di gerakkan. Kelumpuhan
pada kaki kanannya menghambatnya dalam mobilisasi dan
mengharuskannya untuk menggunakan alat bantu berjalan yaitu
kursi roda. RP I masuk ke PSMK pada tangal 13 September 2015
dengan alasan tidak ada yang merawat dan menjaga RP I
dikarenakan keluarganya sibuk bekerja. Keseharian RP I di
PSMK Salatiga tidur, makan, mandi, istirahat dan mengikuti
ibadah 2 kali seminggu. Semua aktivitas yang dilakukannya
memerlukan bantuan dari perawat yang berada disana.
4.2.2 Riset Partisipan II
Nama : Ny A
Umur : 62 tahun
Tanggal lahir : 2 Februari 1954
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Pernikahan : Menikah
Pekerjaan RP II sebelum mengalami stroke adalah seorang
wiraswasta, ia menjalankan pekerjaan bersama suaminya, namun
setelah suaminya meninggal dunia ia hanya bekerja sebagai
seorang ibu rumah tangga. RP II mengalami stroke sejak tahun
2012 yang mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak
sebelah kiri yaitu kaki kiri dan tangan kiri. Kelumpuhan yang
ialami RP II mengharuskan ia untuk menggunakan alat bantu
berjalan yaitu kruk. RP II masuk ke PSMK Salatiga pada tanggal
16 November 2013. Alasan RP II masuk ke PSMK Salatiga
adalah tidak ada yang menjaga dan merawat karena anaknya
sibuk bekerja dan sering bepergian keluar kota. Dalam
kesehariannya di PSMK Salatiga RP II sudah mampu melakukan
beberapa aktivitas secara mandiri.
4.2.3 Riset Partisipan III
Nama : Tn. A
Umur : 61 tahun
Tanggal lahir : 21 Mei 1955
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Pernikahan : Belum menikah
Pekerjaan RP III sebelum mengalami stroke adalah seorang
wiraswasta. RP III mengalami stroke sejak tahun 2014 yang
mengakibatkan kelumpuhan pada kaki kiri. Kelumpuhan yang
ialami membuatnya sulit dalam bergerak dan berjalan sehingga
mengharuskan ia untuk menggunakan alat bantu berjalan yaitu
walker. RP III masuk ke PSMK Salatiga pada tanggal 8 Maret
2014. Alasan RP III masuk ke PSMK Salatiga adalah tidak ada
yang merawat dan menjaganya, dikarenakan ia hanya tinggal
seorang diri di rumah. Dalam kesehariannya di PSMK salatiga,
RP III sudah mampu melakukan aktivitas seperti mandi, makan,
berpakaian secara mandiri.
4.4 Hasil Penelitian
Dalam menggambarkan aspek kualitas hidup peneliti menuliskan 4 item
menurut WHO yang dapat mendeskripsikan kualitas hidup seseorang
yaitu fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Kemuian
dijelaskan secara detail berdasarkan hasil analisa data dari hasil
wawancara yang didapatkan beberapa kesimpulan data sebagai
berikut:
4.4.1 Kondisi fisik pasca stroke
Riset partisipan mengalami perubahan-perubahan fisik dalam
kehidupan mereka semenjak mengalami stroke. Perubahan-
perubahan yang ialami ketiga partisipan semenjak mengalami
stroke yaitu kelumpuhan pada anggota gerak dan hambatan
komunikasi verbal. Gambaran diri setiap riset partisipan sebelum
dan sesudah mengalami stroke sangatlah berbeda. Hal ini sesuai
dengan pernyataan ketiga partisipan sebagai berikut:
“Dulu semuanya bisa sendiri, sekarang tergantung orang, dulu suara saya ini jelas sekarang bicaraya kedengarannya sudah kurang jelas” (RP 1 55) “pertama kena stroke gak bisa gerak sulit bangun, sudah tidak sama seperti dulu” (RP 2 60) “sebelum kena stroke bisa jalan, semenjak kena stroke gak bisa jalan lagi dan udah gak bisa kerja” (RP 3 60)
Perubahan-perubahan yang ialami oleh ketiga partisipan
membuat mereka mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas
juga kemampuan untuk berpindah. RP I menggambarkan
keadaan dirinya yang sekarang sangatlah sulit dikarenakan
kelemahan kondisi fisik yang ialaminya sehingga membuatnya
bergantung pada orang lain seperti mandi, berpakaian, berpindah
membutuhkan bantuan, karena kelemahan kondisi fisik tersebut
RP I menggunakan alat bantu berjalan yaitu kursi roda. Berbeda
dengan RP II dan RP III, mereka menuturkan bahwa kondisi yang
sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya. Menurut penuturan
mereka, mereka sudah mampu melakukan beberapa aktivitas
secara mandiri tetapi untuk berpindah RP II dan III masih
memerlukan alat bantu. Berikut adalah pernyataan ketiga
partisipan:
“saya rasa kesulitan sekali, semuanya dibantu gak bisa sendiri, gak mampu melakukan sendiri, rasanya susah sekali, .. sulit sekali, mau bangun dari tempat tidur aja harus ada bantuan” (RP I 115-120) “..saya sudah gak terlalu merasakan kesulitan lagi seperti dulu ..sekarang saya sudah bisa mandiri ..saya mampu melakukan aktivitas sehari-hari ..Saya harus pakai kruk untuk berjalan, gak pakai kruk saya sulit jalan” (RP 2 105-120)
“saya sudah gak terlalu merasakan kesulitan, sudah lebih baik ni dari yang dulu. Saya punya kemampuan melakukan aktivitas. Kalo jalan saya harus ada alat bantu jalan” (RP 3 90-105)
Selain ketergantungan akibat kelemahan fisik yang diderita,
partisipan juga mengalami ketergantungan dalam penggunan
obat-obatan. Pada awal mengalami stroke ketiga partisipan
melakukan pengobatan untuk proses penyembuhan mereka.
Sebelum masuk ke panti RP I sempat menjalani pengobatan
selama 1 tahun namum tidak ada perubahan pada kondisinya. RP
II juga menuturkan bahwa ia sempat menjalai pengobatan selama
6 bulan dan hanya mengalami sedikit perubahan pada
kondisinya. Begitu pula dengan RP III yang juga menjalani
pengobatan, dari pengobatan yang dijalaninya ia mengalami
perubahan dalam kondisinya yaitu ia mampu berjalan. Setelah
masuk ke panti, RP I masih bergantung pada obat-obatan,
berbeda dengan RP II, ia menuturkan bahwa sekarang ia sama
sekali tidak mengkonsumsi obat tetapi lebih memilih berlatih
sendiri untuk pemulihahan kondisinya. Sedangkan RP III saat ini
menjalani kontrol ke RS setiap 10 hari sekali dan mengkonsumsi
obat untuk proses pemulihan kondisinya. Berikut adalah
pernyataan dari ketiga partisipan:
“untuk sekarang bantuan medis gak ada, tetapi saya sering konsumsi obat-obatan yang dibeli ponaan saya” (RP I 125)
“Dulu pernah ada terapi, sekarang sudah gak ..Saya berlatih sendiri ..Saya sama sekali tidak meminum obat” (RP II 125-135) “Karena kumat saya setiap 10 hari 1 kali ke RS untuk kontrol dan minum obat. Saya merasa enakan setelah meminum obat” (RP III 110-120)
Terkait pola tidur ketiga partisipan, mereka mempunyai pola tidur
yang berbeda. RP I dan III mempunyai pola tidur yang tidak
teratur, mereka menuturkan bahwa tidur malam hanya 2-3 jam
sedangkan di siang hari kadang bisa tidur, kadang juga tidak bisa
untuk tidur. Berbeda dengan RP II, ia mempunyai pola tidur yang
teratur, RP II menuturkan bahwa jam tidur malamya mulai jam 9
dan kualitas tidurnya baik. Berikut adalah pernyataan ketiga
partisipan:
“Tidur saya gak bagus. Gak teratur sekali, sering terbangun di malam hari, susah tidur. (RP I 165) “Tidur saya teratur” (RP II 135) “Tidur saya gak teratur, susah untuk tidur” ( RP III 145)
4.4.2 Kondisi psikologis pasca stroke
Kondisi psikologis lansia pasca stroke mencakup proses mental
yaitu respon emosional, mekanisme koping, gambaran diri dan
penampilan, harga diri, perasaan positif dan negatif, kognisi serta
harapan dan motivasi. Respon emosional ketiga partisipan saat
pertama kali di iagnosa stroke mereka menuturkan bahwa mereka
kaget, kecewa, sedih bahkan ada yang tidak bisa menerima
kondisi saat itu. RP I menjelaskan bahwa saat teriagnosa stroke,
ia lebih memilih untuk mati saja karena menurut ia keadaannya
sudah tidak sama seperti sebelumnya, sehingga yang bisa
dilakukannya saat itu hanya pasrah, begitu juga dengan RP III
yang menuturkan bahwa awal mengalami stroke ia kaget dan
tidak percaya bahwa harus mengalami kondisi seperti ini.
Sedangkan RP II saat pertama mengalami stroke ia menuturkan
bahwa ia sedih dan menyesal dengan kondisinya namun ia mau
menjalani semua kondisinya yang sekarang dengan tetap
bersyukur. Berikut merupakan pernyataan dari setiap partisipan:
“Wah pertama kena stroke saya kecewa, marah-marah terus, saya juga sedih sekali, gak bisa terima keadaan saya. saya lemas pas mendengar saya kena stroke. rasanya mau mati aja” (RP I 60) “Saya pertama tahu saya kena stroke saya sedih. Saya Saya juga menyesal karena kejengkelan saya waktu itu. Tapi mau gimana lagi saya jalani semuanya dan tetap mengucap syukur” (RP II 65) “Pas pertama kena stroke saya cuma kaget. Kok saya gak bisa bangun gitu...kok bisa ya saya kena stroke” (RP III 35)
Akibat penyakit stroke mengakibatkan kelumpuhan dan
ketergantungan pada orang lain. Menurut penuturan ketiga
partisipan karena kesibukan dari anggota keluarga mereka
sehingga mereka dibawa untuk dirawat di panti. Respon ketiga
partisipan saat pertama kali masuk ke panti merasakan bahwa
mereka memberatkan keluarga dengan kondisi mereka. Selain itu
mereka juga senang dan bersyukur bisa dibawa ke panti karena
ada yang merawat mereka. Berikut merupakan pernyataan dari
setiap partisipan:
“saya merasa susah. Yang membiayai saya disini om saya dan saudara-saudara saya. saya merasa memberatkan mereka. ..gak enak hati saya. Tapi mau gimana lagi kalau dirumah saya juga merasa susah, karena saudara-saudara saya sibuk” (RP I 85-95) “saya rasa hanya bersyukur aja. Anak saya yang membawa saya kesini dan gak ada rasa kecewa kepada anak saya. karena kesibukan anak dengan pekerjaannya, anak saya gak mau saya merasa kesepian dirumah makanya ia bawa saya kesini supaya ada yang mau rawat saya”(RP II 80) “karena dirumah gak ada yang ngurusin, saya kan tinggalnya sendiri dirumah. Makanya om dan tante saya yang bawa saya kesini supaya ada yang ngerawat. Perasaan saya pertama masuk kesini biasa-biasa aja sih, tapi saya senang disini karena ada yang ngurusin” (RP III 65, 75)
Selama tinggal di panti ketiga partisipan sering merasa kesepian.
RP I menuturkan bahwa di panti jarang ada teman untuk diajak
bercerita selain itu karena kondisi RP I yang hanya bisa terbaring
di tempat tidur dan bergantung pada orang lain membuat RP I
jarang bercerita dengan sesama teman di panti. Sedangkan RP II
dan III menuturkan bahwa mereka merasa kesepian karena di
panti tidak ada kegiatan apapun. Keseharian mereka hanya
bangun tidur, makan, mandi, tidur dan melakukan ibadah 2 kali
seminggu. Untuk mengatasi rasa kesepian mereka, yang
dilakukan hanyalah menonton tv, bercerita dengan pengasuh.
Berikut merupakan pernyataan dari setiap partisipan:
“..Saya sering sih merasa kesepian. karna gak ada kegiatan disini. Trus kondisi saya yang tergantung sama orang ini membuat saya hanya di kamar trus. Disini juga jarang ada teman untuk ngobrol.. hanya bisa nonton tv aja, kalo malas nonton saya pasti telponan sama teman-teman saya” (RP I 100-105)
“..sejujurnya kadang saya merasa sepi tinggal disini, karena gak ada kegiatan apa-apa. Kalau saya sepi yang saya lakukan hanya nonton tv atau bercerita dengan pengasuh disini, itupun kalau para pengasuh tidak sibuk” (RP II 85-90) “..iya nih saya sering merasa sepi, disini itu gak ada kegiatan apa-apa. Saya kalau merasa sepi saya putar tv aja atau saya duduk di dapur sambil ngobrol dengan suster-suster” (RP III 80-85)
Sejauh ini ketiga partisipan melihat gambaran diri dan penampilan
tubuh mereka sebelum dan sesudah stroke sangatlah berbeda.
RP I mengatakan bahwa ia pasrah dengan kondisi yang sekarang
karena semua aktivitas bergantung pada orang lain. Penampilan
tubuhnya sudah tidak seperti dulu, sekarang ia hanya bisa
terbaring di tempat tidur dan memerlukan bantuan dari orang lain.
Awal mengalami stroke RP I tidak bisa menerima kondisinya
namun perlahan-lahan ia sudah bisa menerima kondisinya, dan
menyerahkan semuanya kepada Tuhan. RP I menyadari bahwa
keluarganya masih peduli dan memperhatikan ia sampai
sekarang ini sehingga ia mau menerima kondisinya yang
sekarang. Sedangkan RP II dan III juga menuturkan bahwa
penampilan mereka saat ini jauh berbeda dengan yang dulu,
sudah tidak sebaik sebelum mengalami stroke namun mereka
sudah menerima kondisi dan penampilan tubuh mereka saat ini.
Mereka menikmati hidup mereka saat ini walaupun sudah tidak
seperti dulu, karena menurut mereka menyesal tidak ada
gunanya dan apapun kondisi yang dialami sekarang harus dijalani
karena bagi mereka masih ada harapan untuk sembuh. Berikut
merupakan pernyataan dari setiap partisipan:
“..saya pasrah aja sekarang, semua tergantung oleh orang. Jadi dijalani aja, serahkan semua pada Tuhan...Karena saya punya keluarga yang masih perhatian kepada saya, masih membiayai saya untuk tinggal disini. Keluarga saya sudah berkorban untuk saya, gak mungkin kalo saya sampai sekarang gak terima kondisi saya (RP I 175-180) “..bagaimanapun saya harus menikmati hidup saya yang sekarang. Walaupun tubuh saya sudah tidak sekuat dulu, tidak sempurna saya tidak mau pikir susah. Semenjak kena stroke sampai sekarang saya sudah menerima kondisi saya” (RP II 150-155) “..sudah bisa menerima apa adanya. Saya menikmati hidup saya biarpun hidup dengan penampilan yang kaya gini saya tetap mensyukuri semuanya, karena menyesal gak ada guna lagi” (RP III 140)
Ketiga partisipan dalam menilai diri mereka masing-masing, ada
partisipan yang menggambarkan dirinya tidak berarti tetapi ada
juga yang menyatakan bahwa hidup mereka masih berarti. RP I
menyatakan bahwa hidupnya tidak berarti, karena semuanya
harus bergantung pada orang lain, sehingga baginya keadaan ini
mempersulit dan menjadi beban baik bagi keluarga maupun
orang lain. Lain halnya dengan RP II dan III, mereka menyatakan
bahwa hidup mereka berarti karena bagi mereka sampai saat ini
masih ada yang perhatian dan peduli terhadap kondisi mereka,
serta mereka menyakini bahwa masih ada Tuhan yang selalu ada
dan menolong mereka. Mereka beranggapan bahwa dengan
kondisi saat ini mempersulit dan menjadi beban bagi mereka,
namun jika menganggap kondisi ini merupakan hal yang sulit itu
hanya akan menambah beban bagi mereka, sehingga bagi
mereka yang perlu dilakukan sekarang adalah berusaha untuk
tetap kuat dan mengambil hal positif dari keadaan yang ialami
saat ini. Berikut merupakan pernyataan dari setiap partisipan:
“..gak berarti hidup saya. Apa-apa gak bisa, harus tergantung orang...Mempersulit sekali karena gak bisa buat apa-apa, jadi beban juga buat saya karena merepotkan orang. Saya juga merasa menjadi beban kepada keluarga saya” (RP I 200-210) “..Hidup saya berarti, saya masih punya Tuhan Yesus dan saya punya anak yang perhatian kepada saya. memang dengan kondisi yang sekarang mempersulit saya tapi kalau saya terus memikirkan kalo ini ni hal yang susah yang ada malah saya jadinya stres dan tambah beban aja buat saya. yang penting disini saya ambil hal yang positif aja dan terus semangat untuk kesembuhan saya” (RP II 165) “..hidup saya berarti, masih bisa hidup sampai sekarang dan masih ada yang perhatian kepada saya ...iyalah dengan kondisi begini pasti menjadi beban bagi saya, kondisi ini buat saya tidak bisa beraktivitas sama dulu, jalan harus ada alat bantu. Saya ini sudah pasrah aja sekarang gak mau pikir susah, yang saya pikirkan sekarnag bagaimana cara saya untuk bisa sembuh” (RP III 180-185)
Ketiga partisipan dalam menjalani kehidupan mereka di panti
masih sering merasakan cemas dan khawatir. Setiap partisipan
sering merasakan cemas dan khawatir dikarenakan
ketergantungan kepada orang lain. Mereka merasa cemas karena
memikirkan kapan bisa sembuh dan khawatir karena takut
strokenya kambuh lagi. RP II menyatakan kadang ia merasa
cemas, tetapi rasa bersyukur kepada Tuhan jauh lebih besar
daripada perasaan cemas dan gelisahnya karena baginya dekat
dengan Tuhan membuat ia tidak merasa takut sedikitpun. Berikut
merupakan pernyataan dari setiap partisipan:
“..sering merasa cemas, gelisah..karena gak ada uang. Sangat tergantung sekali sama orang lain. Saya Cuma bisa menyusahkan orang” (RP I 225-235) “..saya kadang merasa cemas sih karena takut strokenya kambuh lagi. Tapi rasa cemas, khawatir itu kalah dengan rasa syukur saya kepada Tuhan, saya merasa hidup saya jauh lebih tenang bila dekat denganNya, saya tidak merasa takut, saya selalu mengandalkan Tuhan” (RP II 170) “..saya sering merasa cemas. Karna dipikiran saya itu kapan sembuh, kapan sembuh” (RP III 195)
Walaupun sering merasakan perasaan negatif seperti cemas dan
khawatir, RP II dan III sering merasakan perasaan yang
menyenangkan seperti merasa senang walaupun dengan kondisi
mereka saat ini. Berbeda dengan RP I yang menyatakan bahwa
ia lebih banyak merasakan cemas dan khawatir, marah-marah
dan kadang juga ia merasa putus asa. Berdasarkan hasil
observasi, terlihat bahwa RP I sering marah-marah jika pengasuh
lama datang menemuinya atau melakukan sesuatu yang tidak
sesuai dengan keinginannya. Berikut merupakan pernyataan dari
setiap partisipan:
“..jarang sih saya merasakan perasaan yang menyenangkan. Kebanyakan emosi saya, suka marah saya. saya khawatir juga dengan kondisi seperti ini, saya ini sampai putus asa dan pasrah aja (RP I 270) “..gak mau pikir yang aneh-aneh, pikir yang enak-enak aja” (RP II 175) “..sering merasa yang menyenangkan. Karena sudah pasrah” (RP III 205)
RP I menyatakan bahwa daya ingatnya sudah kurang bagus.
Begitu juga dengan kemampuan berkonsentrasi. Sedangkan RP
II dan III menyatakan bahwa daya ingat mereka masih baik dan
sampai sampai saat ini mereka masih mampu untuk
berkonsentrasi dalam melakukan apapun atau dalam mengambil
sebuah keputusan. Berikut merupakan pernyataan dari setiap
partisipan:
“..ingatan saya sudah kurang baik, kadang saya ingat kadang lupa.. kalau sekarang sudah kurang konsentrasi” (RP I 280) “..ingatan saya masih bagus dong ..saya masih mampu berkonsentrasi sampai sekarang” (RP II 175) “..wah sampai sekarang ingatan saya masih bagus, saya juga mampu berkonsentrasi kalau ada hal-hal yang penting yang harus saya kerjakan gitu saya masi mampu berpikir dan berkonsentrasi” (RP III 185-190)
Setiap riset partisipan memiliki keyakinan bahwa mereka bisa
sembuh. Dengan keyakinan yang dimiliki oleh setiap partisipan
mereka melakukan usaha agar keyakinan mereka untuk sembuh
bisa tercapai. RP I menyatakan dengan kondisi seperti ini ia
tidak bisa melakukan apapun untuk proses pemulihan kondisinya,
karena tidak memiliki biaya dan bergantung pada orang lain.
Walaupun ia menyatakan bahwa tidak bisa melakukan apapun, ia
masih punya usaha untuk terus mengkonsumsi obat penurun
tekanan darah. Lain halnya dengan RP II yang menyatakan
bahwa usaha yang ia lakukan untuk proses pemulihan kondisinya
yaitu dengan latihan fisik secara mandiri terus menerus dan tidak
bergantung pada orang lain, menurut RP II jika ingin sembuh
harus mempunyai semangat yang tinggi dalam diri. Selain itu RP
II juga selalu menyerahkan semua kondisinya kepada Tuhan
karena baginya Tuhan adalah dokter di atas segala dokter.
Sedangkan RP III menyatakan bahwa usaha yang ia lakukan
yaitu setiap 10 hari sekali ia melakukan kontrol ke RS dan selalu
mengkonsumsi obat yang ianjurkan oleh dokter. Berikut
merupakan pernyataan dari setiap partisipan:
“..saya ini gak tau kalo bisa sembuh atau gak saya serahkan saja sampai semuanya kepada Tuhan. Tapi jujur saya yakin kalau saya bisa sembuh, yang saya lakukan sekarang itu hanya minum obat menurunkan tekanan darah saya. (RP I 285-290) “..saya yakin saya bisa sembuh, karena saya selalu serahkan semuanya kepada Tuhan, kita berdoa kepada Tuhan berarti kita harus yakin kalau Tuhan pasti memberikan kesembuhan kepada kita. Saya juga selalu berusaha untuk terus latihan sendiri, harus punya semangat yang tinggi kalau ingin sembuh. Saya ini sama sekali tidak mau tergantung sama orang lain, karena saya yakin saya bisa” (RP II 195) “..kadang saya cemas kok saya gak sembuh-sembuh sih, tapi saya yakin saya bisa sembuh karena pak R juga pernah sembuh dari strokenya. Saya sekarang setiap 10 hari sekali pergi ke RS untuk kontrol dengan dokter saya juga rajin minum obat yang diberikan” (RP III 170-175)
Setiap riset partisipan memiliki harapan dalam hidupnya. Harapan
ketiga riset partisipan pada umumnya yaitu ingin sembuh dari
kondisi saat ini. RP I juga mempunyai harapan lain yaitu tidak
merepotkan keluarga dan orang lain yang berada di sekitarnya.
Sedangkan RP II ingin mempunyai cucu dari anak perempuannya
juga ingin membuka catering agar mendapat penghasilan sendiri
supaya tidak memberatkan anaknya lagi. Begitu pula dengan RP
III hanya ingin sembuh supaya bisa beraktivitas seperti sebelum
mengalami stroke. Berikut merupakan pernyataan dari setiap
partisipan:
“..harapan saya sekarang bisa sembuh dari semua ini. Supaya gak memberatkan keluarga dan orang lain. Supaya ada uang lagi” (RP I 300) “harapan saya pastinya ingin sembuh. Saya juga pengen punya cucu dari anak saya. dan juga ada satu hal lagi saya ingi membuka catering supaya ada penghasilan sendiri gitu, saya gak mau terus-terus minta sama anak saya” (RP II 200) “harapan saya ingin sembuh aja dan seperti dulu lagi” (RP III 165)
4.4.3 Hubungan sosial lansia pasca stroke
Hubungan sosial lansia pasca stroke mencakup hubungan
personal dan dukungan sosial. Pada umumnya ketiga partisipan
memiliki hubungan yang baik dengan keluarga, teman maupun
dengan orang-orang sekitar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
komunikasi yang baik antara keluarga, teman maupun dengan
orang-orang sekitar, dukungan yang diberikan dari keluarga,
teman dan orang-orang sekitar, serta pelayanan yang baik dari
para perawat yang berada di panti. Namun kadang partisipan
memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan orang-orang
sekitar. RP I kadang memiliki perasaan jengkel kepada perawat
yang berada di panti dikarenakan mereka kurang memahami
kondisi RP I. RP II juga kadang mempunyai perasaan jengkel
dengan salah satu teman lansia yang berada di panti karena
sering berbicara yang tidak baik. Sedangkan RP III pernah
bertengkar dengan salah satu lansia yang berada di panti, RP III
pernah dipukul. Namun ketiga partisipan mampu menyelesaikan
ketidakharmonisan itu secara baik. Ketiga partisipan jarang
meluangkan waktu bersama dengan teman-teman sesama lansia
di panti seperti bercerita bersama dan lain-lain dikarenakan
keterbatsan fisik yang dimiliki. RP III menuturkan bahwa ia
merupakan orang yang suka menyendiri. Berdasarkan hasil
observasi peneliti bahwa ketiga partisipan ini kebanyakan
meluangkan waktunya di kamar, jarang bercerita dengan sesama
lansia. Berikut merupakan pernyataan dari setiap partisipan:
“..dengan keluarga baik-baik aja, teman-teman juga baik, orang-orang disini juga baik ..dengan perawat baik aja, tetapi sejujurnya saya jengkel sama perawatnya, mereka kurang memahami kondisi saya. saya jarang ngobrol dengan teman-teman disini, bahkan gak pernah” (RP I 315, 330) “Aman-aman aja. Kalo disini yang sering ngobrol jelek itu ibu M, kalo dengan perawat baik-baik aja, saya jarnag ngobrol dengan yang lain” (RP II 205,240) “Baik-baik aja sama yang lain, sama pengurus juga baik. Saya sih kebanyakan menyendiri dari dulu” (RP III 230-235)
Dalam kondisi pasca stroke, dukungan dari keluarga, teman dan
orang-orang sekitar menjadi sesuatu yang sangat penting untuk
membantu mereka melewati tahap-tahap sulit yang mereka alami.
Ketiga partisipan merasa senang dengan dukungan yang
diberikan karena bagi mereka dengan dukungan yang diberikan
dapat mengurangi beban pikiran mereka, itu berarti masih ada
yang perhatian dan peduli terhadap kondisi mereka. RP I sering
dikunjungi oleh keluarga dan teman, lain halnya dengan RP II dan
III mereka menuturkan bahwa jarang mendapat kunjungan
alasannya keluarga yang sibuk bekerja. Berikut merupakan
pernyataan dari setiap partisipan:
“Keluarga sering berkunjung, om saya, adik saya dan ponaan-ponaan sering datang. Om dan adik saya yang selalu memberi dukungan ...dengan kondisi kaya gini, pastilah saya sangat butuh. Siapa lagi yang mau memberikan semangat, dukungan kalau bukan orang-orang sekitar sini ...saya senang mereka memberi dukungan kepada saya” (RP I 320, 335, 365) “Kalau keluarga jarang berkunjung sih. Karena anak saya kan ada dengan pekerjaannya. Pastinya saya butuh dukungan. Siapa lagi kalau bukan mereka. Kalau bukan mereka saya gak mungkin bisa seperti begini. Saya merasa puas dan senang dengan dukungan yang diberikan” (RP II 220-230) “Keluarga sering memberi dukungan. Dengan kondisi yang sekarang dukungan dari keluarga sangat saya butuhkan Senang dengan dukungan yang diberikan. Itu tandanya mereka masih perhatian sama saya. Dulu sering berkunjung sekarang jarang” (RP III 245-260)
Dalam menjalani kehidupan di panti, setiap partisipan dilayani
secara bebas tanpa membeda-bedakan partisipan satu dengan
yang lain oleh perawat atau pengasuh yang berada di panti
tersebut. Setiap partisipan mendapat pelayanan yang baik,
mereka menyatakan bahwa disini pelayanan sudah bagus hanya
saja kurang ada kegiatan.
4.4.4 Kondisi lingkungan lansia pasca stroke
Kondisi lingkungan mencakup kondisi keuangan lansia,
keamanan fisik, ketersediaan layanan kesehatan, kondisi fisik
lingkungan dan juga kesempatan rekreasi pada lansia pasca
stroke. Kondisi keuangan ketiga partisipan bergantung pada
keluarga mereka. Ketiga partisipan dulunya mampu menghasilkan
uang sendiri. Namun semenjak mengalami stroke mereka sangat
bergantung pada keluarga mereka bahkan biaya selama tinggal di
panti ditanggung oleh keluarga, sehingga muncul pemikiran
dalam diri mereka bahwa mereka hanya memberatkan keluarga
mereka. Berikut merupakan pernyataan dari setiap partisipan:
“..om saya yang biayai saya disini, adik saya kadang-kadang memberi uang jajan kepada saya” (RP I 380) “..anak saya yang membiayai saya disini” (RP II 250) “..kakak perempuan saya yang ada di belanda yang membiayai saya disini, saya selalu mendapat kiriman tiap bulan” (RP III 275-280)
Ketiga partisipan mengatakan selama mereka tinggal di PSMK,
mereka merasa aman. Selain itu ketiga partisipan menyatakan
bahwa tempat dimana mereka tinggal sekarang bersih, tenang
tidak ada keributan dan jauh dari jalan umum, sehingga mereka
merasa nyaman tinggal di PSMK. Berikut merupakan pernyataan
dari setiap partisipan:
“..saya merasa aman tinggal disini..disini tempatnya bersih dan tenang. Jauh dari jalan besar, gak ada keributan” (RP I 395-400) “..saya merasa aman selama tinggal disini..senang aja. Disini tu bersih, tenang, gak ribut” (RP II 255, 280)
“..saya merasa aman disini,..keadaan lingkungan disini sih aman-aman aja, tenang dan bersih” (RP III 285, 300)
Menurut ketiga partisipan tidak ada layanan kesehatan di PSMK,
hanya ada seorang perawat yang datang 1 atau 2 kali seminggu
bahkan dalam seminggu tidak ada perawat yang datang untuk
mengukur tekanan darah. RP III mengatakan tidak ada layanan
kesehatan disini sehingga selama 10 hari sekali melakukan
kontrol di RS. Berikut merupakan pernyataan dari setiap
partisipan:
“..gak ada layanan kesehatan disini” (RP I 415) “..Cuma ada Ibu W, itu datang untuk tensi 2 kali seminggu, ada juga yang gak datang sama sekali” (RP II 270) “..gak ada. Saya aja pergi ke RS” (RP III 310)
Selama tinggal di panti dengan kondisi kesehatan yang sekarang
membuat ketiga partisipan jarang mempunyai kesempatan untuk
berekreasi atau melungkan waktu di luar panti. RP I tidak pernah
berekreasi karena kondisi yang tidak memungkinkannya untuk
melakukan hal-hal tersebut. RP II menyatakan bahwa ia bisa
pergi jalan-jalan jika anaknya datang dan mengajak untuk pergi
keluar. Sedangkan RP III menyatakan semenjak kambuh
strokenya ia tidak pernah mempunyai kesempatan keluar jalan-
jalan lagi karena kondisi fisiknya. Berikut merupakan pernyataan
dari setiap partisipan:
“..gak pernah. Karena keterbatasan saya. jangankan keluar jalan-jalan, mau ke belakang aja harus butuh bantuan” (RP I 410)
“..kalo anak datang trus ajak jalan, ya pasti keluar jalan dengan anak” (RP II 275) “..semenjak kumat lagi gak pernah keluar. Dulu saya jalan-jalan trus” (RP III 305)
4.5 Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas
hidup lansia pasca stroke di PSMK Salatiga. Menurut WHO (1997)
kualitas hidup merupakan pemahaman seseorang terhadap posisi
mereka dalam hidup ditinjau dari konteks sistem nilai dan budaya
dimana mereka tinggal yang berhubungan dengan tujuan mereka,
harapan, kesenangan dan kepedulian mereka berupa keadaan dan
kesehatan fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial,
spiritual serta lingkungan. Jadi kualitas hidup menilai sejauh mana
seseorang dapat merasakan dan menikmati terjadinya segala
peristiwa dalam kehidupannya sehingga kehidupannya menjadi
sejahtera (Rapley, 2003). Jika seseorang dapat mencapai kualitas
hidup yang tinggi, maka kehidupan individu tersebut mengarah
pada keadaan sejahtera (well-being), sebaliknya jika seseorang
mencapai kualitas hidup yang rendah, maka kehidupan individu
tersebut mengarah pada keadaan tidak sejahtera (ill-being) (Brown,
2004). Hardywinoto dan Setiabudhi (2005) juga menyebutkan
bahwa kesejahteraan menjadi salah satu parameter tingginya
kualitas hidup lanjut usia sehingga mereka dapat menikmati
kehidupan masa tuanya.
Pada penelitian ini ada empat kesimpulan data yang akan
dibahas oleh peneliti. Keempat kesimpulan data tersebut yaitu: (1)
Kondisi fisik lansia pasca stroke, (2) Kondisi psikologis lansia pasca
stroke, (3) Hubungan sosial lansia pasca stroke, (4) Kondisi
lingkungan lansia pasca stroke.
4.5.1 Kondisi Fisik pada lansia pasca stroke
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 3
partisipan lansia di PSMK Salatiga tentang kondisi fisik lansia
pasca stroke ditemukan hasil bahwa lansia pasca stroke
mengalami perubahan kemampuan fisik dalam kehidupan
mereka. Menurut Smeltzer & Bare (2002) disfungsi motorik
yang umum pada penderita stroke adalah hemiparesis atau
kelemahan salah satu sisi tubuh, selain itu fungsi otak lain
yang dapat dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan
komunikasi.
Perubahan pada kemampuan fisik membuat mereka
mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
sehingga harus bergantung pada orang lain. Namun ada
yang sudah mampu melakukan beberapa aktivitas secara
mandiri, tetapi masih membutuhkan alat bantu untuk berjalan.
Hasil penelitian ini didukung oleh Kariasa (2009) bahwa
pasien pasca stroke memiliki keterbatasan dalam melakukan
aktivitas sehari hari seperti bergerak dan berjalan. Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hamidah (2014) bahwa lansia yang mengalami stroke
tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari karena
keterbatasan gerak dan membutuhkan bantuan dari orang
lain membuat lansia tersebut merasa tidak berguna dan
merasa tidak puas terhadap hidupnya.
Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa selain
ketergantungan kepada orang lain, dua partisipan memiliki
ketergantungan terhadap penggunaan obat-obatan. Mereka
mengkonsumsi obat-obatan untuk mencegah terjadinya
stroke berulang. Hasil penelitian ini didukung oleh Wiwit
(2010) bahwa terapi stroke secara medis seperti penggunaan
obat-obatan dan fisioterapi bertujuan untuk mencegah
terjadinya stroke berulang, mengurangi kerusakan neurologi,
mengembalikan kemampuan gerak sehari-hari, serta
mengurangi angka kematian.
Selain itu berdasarkan pernyataan partisipan mereka
mengalami perubahan pada pola tidur seperti waktu tidur
mereka menjadi tidak teratur, susah tidur dan sering
terbangun di malam hari. Hasil ini didukung oleh penelitian
Japardi (2002) bahwa gangguan tidur berhubungan dengan
kondisi kesehatan seperti penyakit degeneratif yaitu iabetes
melitus, asam urat, jantung dan stroke.
Kondisi fisik lansia pasca stroke merupakan aspek yang
paling menonjol dari aspek-aspek yang lain dikarenakan
secara tidak langsung aspek fisik ini mempunyai perubahan
yang signifikan dalam kehidupan penderita pasca stroke
seperti perubahan dalam kamampuan fisik. Perubahan pada
aspek fisik ini membuat perubahan yang besar sehingga
berpengaruh pada aspek-aspek yang lain. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian Kwok et all (2006) yang
menyatakan bahwa domain fisik adalah domain yang paling
terganggu pada penderita stroke. Hasil ini juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Kariasa (2009) yang
menyatakan bahwa domain yang paling berdampak pada
penderita stroke adalah domain fisik sehingga membawa
pengaruh pada domain yang lain yaitu domain psikologis,
lingkungan dan hubungan sosial.
4.5.2 Kondisi psikologis pada lansia pasca stroke
Setiap lansia pasca stroke tentu memiliki kondisi
psikologis yang berbeda, hal ini sesuai dengan hasil
penelitian ditemukan bahwa ketika pertama kali mengetahui
mengalami stroke lansia mempunyai respon emosional yang
tidak stabil seperti menjadi mudah marah, merasakan
kesedihan yang mendalam dan kecewa. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kariasa (2009)
yang menemukan bahwa terdapat beragam respon psikologis
pada penderita stroke seperti marah, malu, sedih dan juga
kecewa. Selain itu kondisi psikologis yang umum juga dialami
oleh penderita stroke yaitu berupa labilitas emosional dan
frustasi akibat perubahan citra tubuh yang dialami oleh
mereka.
Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa setiap
partisipan memandang keadaan diri mereka jauh berbeda
dengan keadaan sebelum mengalami stroke. Selain itu
setiap partisipan sudah menerima kondisi dan penampilan
tubuh mereka yang sekarang. Penerimaan ini merupakan
sebuah proses panjang, mulai dari awal mengalami stroke
mereka sangat sulit untuk menerima kenyataan ini, dan tidak
bisa menerima kondisinya bahkan ingin mati saja karena
kondisi yang sudah tidak bisa sama lagi seperti dulu, namun
seiring dengan berjalannya waktu dan mendapat dukungan
dari orang-orang terdekat membuat mereka mampu
menerima kondisinya. Proses penerimaan diri pada
partisipan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Masyitah (2012) bahwa penerimaan diri yang tinggi akan
memberikan sumbangan positif pada kesehatan mental.
Artinya disini yaitu ketika penderita pasca stroke mempunyai
penerimaan diri yang tinggi maka dapat memiliki kesehatan
mental yang baik dan memacu semangat untuk mencapai
kesembuhan.
Berdasarkan pernyataan di atas penerimaan terhadap
diri merupakan suatu hal yang positif terhadap kondisi dan
keadaan yang dialami olehnya, ia mampu mengenali setiap
kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, selain itu juga
mampu dan sanggup untuk hidup dengan segala kondisi
yang sudah jauh berbeda dengan kondisi kehidupannya yang
dulu tanpa harus merasakan tidak menyenangkan atau tidak
puas pada dirinya dan dapat memahami keterbatasan yang
ada pada dirinya.
Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa pasca stroke
satu partisipan menilai dan menggambarkan dirinya itu tidak
ada artinya karena semua harus bergantung pada orang
lain. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hansell & Chapman (2013) ditemukan bahwa
individu yang menderita stroke dengan ketergantungan
melakukan aktivitas seperti kebersihan diri, berpakaian, serta
mandi dapat menurunkan harga diri individu tersebut. Namun
ditemukan juga dalam penelitian ini bahwa 2 partisipan
dengan kondisi yang dialami sekarang mereka menilai bahwa
diri mereka berarti. Penilaian yang positif terhadap harga diri
ini disebabkan karena masih diberikan kesempatan untuk
bertahan hidup serta masih adanya perhatian yang
didapatkan oleh partisipan dari orang-orang sekitar seperti
perawat yang berada di panti dan lebih khususnya keluarga.
Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Purwanti (2012) yang
menyatakan bahwa peran keluarga mempunyai pengaruh
yang tinggi dalam peningkatan harga diri anggota keluarga
yang sakit.
Pada penelitian ini juga ditemukan cara lansia
menyesuiakan diri dan mengatasi setiap perubahan pasca
stroke. Cara lansia mengatasi perubahan yang dialami
dengan menerima keadaan dirinya yang sekarang, selain itu
lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurut Lazarus dan
Folkman (1984) strategi koping yang dimunculkan penderita
dalam bentuk tindakan positif berupa penerimaan keadaan,
lebih siap dan pasrah. Hasil ini juga didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Gilen (2006) tentang mekanisme koping
yang menyatakan bahwa individu menginterpretasikan situasi
stres dengan pandangan positif dan berusaha mencari
makna positif dari setiap permasalahan dengan melibatkan
diri pada hal-hal yang bersifat religius. Selain itu partisipan
juga melakukan upaya untuk proses pemulihan kondisinya
seperti mengkonsumsi obat, melakukan kontrol ke dokter dan
berusaha untuk melakukan latihan fisik secara mandiri,
mereka yakin dengan upaya tersebut sangat membantu
mereka, serta ada juga upaya yang dilakukan untuk
mengurangi rasa kesepian yang dirasakan. Menurut Brunner
dan Suddarth (2002) harapan yang optimis terhadap suatu
pengobatan akan meningkatkan rasa percaya diri serta dapat
membantu memudahkan dalam pengobatan.
Di dalam penelitian ini di dapatkan hasil bahwa setiap
riset partisipan memiliki harapan dalam hidupnya masing-
masing. Dengan adanya harapan tersebut membuat mereka
termotivasi untuk semangat dalam melanjutkan hidup
mereka. Menurut Bastaman (2008), harapan walaupun belum
pasti menjadi sebuah kenyataan, dapat memberikan sebuah
peluang dan solusi serta tujuan yang baru dan menjanjikan
yang dapat menimbulkan semangat dan optimisme.
4.5.3 Hubungan sosial lansia pasca stroke
Hasil penelitian menunjukan bahwa setiap riset
partisipan memiliki hubungan yang baik dengan keluarga,
teman, dan orang-orang sekitar. Namun setiap partisipan
menyatakan bahwa mereka jarang berdiskusi atau bercerita
dengan sesama lansia yang berada di panti. Waktu mereka
kebanyakan di kamar karena kelemahan fisik yang dialami
membuat mereka jarang berinteraksi satu sama yang lain.
Hamidah (2014) menyatakan bahwa keterbatasan fungsional
dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita pasca
stroke berkaitan dengan berkurangnya kepekaan dan kendali
dan juga mengurangi kemampuan untuk terlibat menjalin
hubungan sosial yang positif. Hasil penelitian ini juga
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kariasa (2009)
bahwa perubahan kondisi fisik pada penderita stroke
membuat penderita mengalami keterbatasan dalam
mobilisasi sehingga hubungan sosial dengan orang-orang
sekitar menjadi terganggu.
Hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa lansia pasca
stroke sering mendapat dukungan dari keluarga, teman dan
orang-orang sekitar. Mereka merasa senang dan puas
dengan dukungan yang diberikan. Dukungan yang diberikan
dari keluarga, teman dan orang-orang sekitar menjadi sangat
penting kepada ketiga riset partisipan. Hasil penelitian ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Schub & Caple
(2010) bahwa pada umumnya pasien stroke yang tidak
mendapat dukungan dari keluarga akan mengalami dampak
negatif secara psikologis berupa depresi pasca stroke,
sehingga dukungan sosial berperan penting dalam
membantu dan membangkitkan individu dalam menjalani
hidup dan memenuhi kebutuhan psikologis dalam
menghadapi kejaian-kejaian yang traumatis dan penuh
tekanan.
Selain itu juga dukungan sosial merupakan salah satu
faktor yang berperan dalam meningkatkan penerimaan diri
pada penderita pasca stroke. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Masyithah (2012) yang
menyatakan bahwa dukungan sosial dan penerimaan diri
mempunyai hubungan yang signifikan pada penderita pasca
stroke. Artinya disini bahwa ada hubungan positif antara
dukungan sosial dan penerimaan diri, ini berarti bahwa
semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan pada
penderita pasca stroke, maka semakin tinggi pula
penerimaan diri yang dimunculkan oleh si penderita dan
sebaliknya, jika dukungan sosial yang diberikan semakin
rendah maka penerimaan diri yang dimunculkan semakin
rendah pula oleh penderita tersebut.
4.5.4 Kondisi Lingkungan lansia pasca stroke
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kondisi
keuangan setiap partisipan pasca stroke sudah tidak sebaik
sewaktu sebelum mengalami stroke. Sumber keuangan
setiap partisipan bergantung pada keluarga. Dari biaya
tinggal di panti sampai uang saku bergantung pada keluarga.
Hal ini dikarenakan setiap partisipan sudah tidak bisa bekerja
seperti dulu. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Handayani (2009) bahwa penderita
pasca stroke yang sebelumnya mampu bekerja dan
mendapat penghasilan menjadi tidak mampu melakukannya
lagi karena keterbatasan fisik yang dialami sehingga tidak
bisa bekerja dan harus membebani keluarga dari segi
finansial, dan berakibat beban ekonomi yang lebih tinggi bagi
keluarga.
Dalam penelitian ini ditemukan kondisi fisik lingkungan
yang aman, tenang dan bersih, selain itu dengan adanya
fasilitas yang menunjang seperti terseia televisi di setiap
kamar dan tempat tidur yang nyaman serta pelayanan yang
baik dari para pengasuh di panti membuat lansia merasa
nyaman tinggal di panti. Selain itu dalam penelitian ini juga
ditemukan kurangnya layanan kesehatan di panti sehingga
ada partisipan yang harus berobat atau kontrol di rumah
sakit.
Berdasarkan hasil penelitian kelemahan kondisi fisik
membuat lansia pasca stroke jarang meluangkan waktu
untuk melakukan kegiatan rekreasi seperti bepergian ke luar
panti, kebanyakan partisipan menghabiskan waktu luang
mereka hanya berada di dalam kamar seperti menonton tv
atau bercerita bersama pengasuh. Hasil ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2009) bahwa para
penderita stroke yang sebelumnya bisa menikmati hidup
dengan aktivitas relaksasi yang disukai sebagai sarana untuk
rekreasi/hiburan, namun setelah serangan stroke mengalami
perubahan bahkan menjadi sangat terbatas.
4.6 Keterbatasan Penelitian
Peneliti mengidentifikasi keterbatasan dalam penelitian ini
yaitu saat memulai penelitian, salah satu riset partisipan sedang
mengalami sakit sehingga harus menunda waktu untuk melakukan
wawancara dan menunggu sampai partisipan tersebut sembuh dan
merasa sudah siap untuk wawancara. Selain itu dalam penelitian
ini peneliti hanya melakukan observasi dari pagi sampai siang hari
sehingga peneliti harus bekerja sama dengan pengasuh untuk
mendapatkan data tentang keadaan setiap riset partisipan saat
peneliti tidak berada di panti.