26
27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Setting Penelitian Pada bagian ini menjelaskan tentang gambaran umum lokasi penelitian serta proses pelaksanaan sebelum, selama, dan sesudah penelitian. 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama ± 1 bulan, penelitian ini dilakukan di Desa Dameka dengan letak geografi sebagai berikut, sebelah utara Wailawa, sebelah selatan hutan taman nasional, sebelah timur desa Wailawa, sebelah barat Waimanu. Desa Dameka secara administratif termasuk dalam wilayah kecamatan Katikutan Selatan, kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Desa Dameka memiliki luas sebesar 3000m², dengan 3 dusun 6 RW dan 12 RT dan 42 kampung, jumlah penduduk desa Dameka sebanyak 1.460 jiwa laki-laki 752 jiwa, perempuan 708 jiwa, dengan jumlah KK 384 jiwa. Secara keseluruhan masyarakat desa Dameka terdiri dari pemeluk agama Kristen protestan (906 jiwa), katholik (321 jiwa), Islam (2 jiwa), dan kepercayaan marapu (31 jiwa). Menurut data dari Kepala Desa Dameka jumlah penduduk di desa Dameka yang mengalami gangguan jiwa sebanyak ± 20 orang.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Setting Penelitian 4.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14239/5/T1_462012048_BAB IV.pdf · kewalahan dalam mengatur bahasanya agar tidak

  • Upload
    vothu

  • View
    226

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Setting Penelitian

Pada bagian ini menjelaskan tentang gambaran umum

lokasi penelitian serta proses pelaksanaan sebelum, selama,

dan sesudah penelitian.

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama ± 1 bulan, penelitian

ini dilakukan di Desa Dameka dengan letak geografi sebagai

berikut, sebelah utara Wailawa, sebelah selatan hutan taman

nasional, sebelah timur desa Wailawa, sebelah barat

Waimanu. Desa Dameka secara administratif termasuk dalam

wilayah kecamatan Katikutan Selatan, kabupaten Sumba

Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Desa Dameka

memiliki luas sebesar 3000m², dengan 3 dusun 6 RW dan 12

RT dan 42 kampung, jumlah penduduk desa Dameka

sebanyak 1.460 jiwa laki-laki 752 jiwa, perempuan 708 jiwa,

dengan jumlah KK 384 jiwa. Secara keseluruhan masyarakat

desa Dameka terdiri dari pemeluk agama Kristen protestan

(906 jiwa), katholik (321 jiwa), Islam (2 jiwa), dan kepercayaan

marapu (31 jiwa). Menurut data dari Kepala Desa Dameka

jumlah penduduk di desa Dameka yang mengalami gangguan

jiwa sebanyak ± 20 orang.

28

4.1.2 Proses Pelaksanaan Penelitian

Hal-hal yang dilakukan dalam proses penelitian ini:

1. Sebelum Penelitian

Sebelum mulai penelitian, peneliti meminta surat ijin

penelitian dari Fakultas yang akan digunakan

sebagai surat pengantar untuk untuk mendapatkan

surat ijin penelitian dari Kantor Pelayanan Perijinan

Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kab.Sumba Tengah

dengan tembusan Dinas Kesatuan Bangsa Politik

dan Perlindungan Masyarakat Kab.Sumba Tengah.

Surat ijin yang diberikan oleh KPPTSP Kab.Sumba

Tengah digunakan sebagai pengantar untuk

mendapatkan ijin penelitian dari Kepala desa di

desa Dameka. Setelah mendapatkan ijin penelitian,

peneliti mulai beradaptasi dengan lingkungan

sekitar, berkenalan dengan warga di desa Dameka

bersama Kepala desa dan aparat desa

menyampaikan maksud, tujuan, serta lamanya

peneliti melakukan penelitian di desa Dameka.

2. Selama Penelitian

Pada penelitian ini data diperoleh melalui proses

wawancara yang menjadi subjek (partisipan) adalah

8 orang dari 1.460 jiwa sesuai dengan kriteria yang

29

telah ditentukan. Wawancara yang dilakukan kurang

lebih 15 menit sampai 55 menit. Wawancara ini

dilengkapi dengan menggunakan kamera digital

untuk mengambil gambar penelitian dan merekam

suara hasil wawancara serta via handphone.

Wawancara disesuaikan dengan kondisi dan situasi

serta kesediaan dan kesiapan dari partisipan sendiri.

Proses wawancara berlangsung lancar dengan

semua informan sangat antusias dengan

keterbukaan dalam memberikan informasi kepada

peneliti dan memperhatikan setiap pertanyaan yang

diajukan peneliti.

3. Sesudah Penelitian

Setelah melakukan penelitian, peneliti mendapatkan

surat keterangan benar-benar melakukan penelitian

di desa Dameka selama ±1 bulan dari Kepala desa

yang akan digunakan sebagai pengantar untuk

mendapatkan surat selesai penelitian dari KPPTSP

kab.Sumba Tengah. Kemudian, peneliti mengolah

data dengan menyalin hasil rekaman dalam bentuk

verbatim, kemudian menentukan sub tema dan tema

besar hasil penelitian, kemudian membahas tema-

30

tema berdasarkan hasil yang ditemukan pada saat

penelitian berlangsung.

4.2 Hasil Penenilitian

Pada hasil penelitian membahas tentang gambaran

umum partisipan, dan analisa data.

4.2.1 Gambaran Umum Partisipan

Gambaran umum parisipan membahas tentang identitas

partisipan seperti, nama (inisial), umur, pekerjaan, jenis

kelamin, dan waktu wawancara.

4.2.1.1 Partisipan 1

Partisipan bernama Ny. J berumur 37 tahun, partisipan

sudah menikah dan mempunyai 4 orang anak sekarang

sedang mengandung anak yang ke-5 dengan usia

kandungan 9 bulan, Partisipan tinggal di dusun 1 RT.01

RW.01 Desa Dameka bersama suami, anak-anak, serta

mama mertua. Partisipan beragama Kristen Protestan,

pendidikan terakhir partisipan adalah D3 Keperawatan dan

sekarang bekerja sebagai perawat di Puskesmas Malinjak

kecamatan Katikutana Selatan. Wawancara dilakukan pada

tanggal 18 Mei 2016 pukul 10.00 WITA. Partisipan tampak

antusias dan begitu semangat dalam menjawab pertanyaan

dari peneliti, wawancara bertempat di rumah partisipan serta

berlangsung sangat lancar dan cukup lama.

31

4.2.1.2 Partisipan 2

Partisipan bernama Tn. N berumur 47 tahun, serta

beragama Kristen Protestan. Partisipan sudah menikah dan

mempunyai 2 orang anak laki-laki serta 1 anak perempuan.

Patisipan merupakan penduduk asli dusun 3 RT.12 RW.06

desa Dameka. Pendidikan terakhir partisipan adalah SMA

dan memiliki jabatan sebagai Sekretaris Desa di desa

Dameka. Wawancara dilakukan pada tanggal 18 Mei 2016

pukul 15.00 WITA yang bertempat di rumah partisipan.

Partisipan tampak sedikit gugup dalam menjelaskan setiap

pertanyaan yang diajukan peneliti. Partisipan sedikit

kewalahan dalam mengatur bahasanya agar tidak salah

berbicara, karena sehari-hari partisipan dan keluarga lebih

sering menggunakan bahasa daerah dari pada

menggunakan bahasa Indonesia. Wawancara berlangsung

kurang begitu lancar karena adanya tractor keluar masuk

rumah partisipan, sehingga sedikit mengganggu jalannya

wawancara, namun setelah itu wawancara dapat dilanjutkan

kembali dengan lebih santai sambil menikmati kopi dan sirih

pinang yang disuguhkan oleh istri partisipan.

4.2.1.3 Partisipan 3

Partisipan bernama Ny.L berumur 38 tahun, partisipan

sudah menikah dan memiliki 5 orang anak, 4 orang laki-laki

32

dan 1 orang perempuan, yang bersekolah di SMA, SMP,SD,

dan PAUD di sekitar desa Dameka. Partisipan tinggal di

dusun 3 desa Dameka, pendidikan terakhir partisipan

adalah SMA. Partisipan merupakan majelis di GKS

Waidamisi desa Dameka. Pekerjaan sehari-hari partisipan

adalah bertani. Partisipan tinggal di dusun 3 RT.09 RW.05

Wawancara dilakukan pada tanggal 20 Mei 2016 pukul

11.00 WITA yang bertempat di kantor desa Dameka.

Partisipan tampak santai dan terbuka menjawab pertanyaan

yang diajukan peneliti, wawancara berjalan dengan lancar.

4.2.1.4 Partisipan 4

Partisipan bernama Ny.W berumur 40 tahun, partisipan

sudah menikah dan memiliki 3 orang anak, serta sedang

mengandung anak yang ke 4 dengan usia kandungan 7

bulan. Partisipan merupakan istri dari Kawur (Kepala Dusun)

dusun 1 desa Dameka, dan berdomisili di dusun 1 RT.01

RW.01 desa Dameka. Partisipan bekerja sebagai guru

PAUD Kutarutu desa Dameka dengan pendidikan terakhir

SMA, dan sedang berkuliah di Universitas Terbuka

Kabupaten Sumba Tengah pada jurusan S1 PAUD.

Partisipan tinggal bersama suami, anak-anak, mama

mertua, dan adik ipar. Wawancara dilakukan pada tanggal

25 Mei 2016 pukul 16.00 WITA yang bertempat di depan

33

rumah partisipan sambil melihat pekerja jalan umum yang

sedang melakukan perbaikan jalan di desa Dameka.

Partisipan cukup santai dan tidak terburu-buru menjawab

pertanyaan yang diajukan peneliti, wawancara dilakukan

sambil menikmati segelas kopi dan sirih pinang yang

disuguhkan oleh partisipan. Wawancara berjalan sangat

lancar.

4.2.1.5 Partisipan 5

Partisipan bernama Ny.R, partisipan berumur 44 tahun,

partisipan sudah menikah dengan orang asli desa Dameka

dan memiliki 3 orang anak, pendidikan terakhir partisipan S1

Teologia, partisipan merupakan seorang pendeta di GKS

Waidamisi desa Dameka sejak tahun 2001-sekarang,

partisipan sudah 16 tahun di desa Dameka. Suami partispan

bekerja di Dinas Sosial Kabupaten Sumba Tengah.

Partisipan bersama keluarga tinggal di kampung Galuteku

dusun 3 RT.11 RW. 06 desa Dameka. Wawancara

dilakukan di aula kantor desa pada tanggal 26 Mei 2016

pukul 10.45 WITA. Partisipan sangat aktif dan antusias

dalam menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti, serta

wawancara berjalan dengan lancar.

34

4.2.1.6 Partisipan 6

Partisipan bernama Tn.L berumur 38 tahun, partisipan

sudah menikah dengan 1 istri dan memiliki 4 orang anak.

Partisipan beragama kristen protestan, partisipan dan istri

adalah petani, pendidikan terakhir partisipan SMA,

partisipan tinggal di dusun 3 RT.12 RW.06 bersama anak

dan istri. Wawancara dilakukan di halaman kantor desa

ditemani beberapa rekan dari partisipan, karena partisipan

sering berkeliling desa dengan rekannya untuk memastikan

keamanan desa. Wawancara berlangsung lancar karena

partisipan sangat terbuka dan sangat tanggap dengan

pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Partisipan dengan

sangat santai menceritakan kejadian kebiasaan yang terjadi

di desa Dameka. Wawancara di lakukan pada tanggal 22

Mei 2016 pukul 17.30 WITA.

4.2.1.7 Partisipan 7

Partisipan bernama Tn.M berumur 43 tahun, partisipan

sudah menikah memiliki 1 orang istri 2 orang anak laki-laki

dan 1 anak perempuan. Pekerjaan sehari-hari partisipan

adalah wiraswasta dan bertani. Partisipan tinggal di dusun 3

RT.11 RW 06 dan agama Katholik. Wawancara di lakukan di

kios tempat Tn.M sering berjualan ditemani 1 orang anak

perempuan, wawancara berlangsung lancar karena

35

partisiapn sangat antusias dalam menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang di berikan, wawancara di lakukan pada

tanggal 28 Mei 2016 pukul 18.00 WITA.

4.2.1.8 Partisipan 8

Partisipan bernama Tn.N berumur 49 tahun, partisipan

sudah menikah, dan memiliki 1 orang istri, dan 3 orang

anak. Partisipan merupakan kepala desa di desa Dameka,

partisipan sudah 2 kali menjabat sebagai kepala desa di

desa Dameka, partisipan merupakan kepala desa ke-3 pada

tahun 2003-2008, kemudian partisipan terpilih lagi dalam

pemilihan kepala desa ke-5 periode 2015-2021. Partisipan

tinggal di kampung Tanarara desa Dameka dusun 1 RT.01.

RW.01. Wawancara berlangsung lancar di depan rumah

partisipan, partisipan juga begitu terbuka menjawab semua

pertanyaan yang diberikan peneliti. Wawancara di lakukan

pada hari senin tanggal 30 Mei 2016 pukul 12.30 WITA.

4.2.2 Analisa Data

4.2.2.1 Pemahaman Orang Dameka Terhadap Gangguan

Jiwa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di desa

Dameka terdapat ±20 orang yang mengalami

gangguan jiwa, dan masyarakat memiliki pendapat

masing-masing tehadap orang yang mengalami

36

gangguan jiwa. Menurut orang desa Dameka

gangguan jiwa merupakan gila, dimana orang-orang

normal berubah tingkah laku ketika sudah tiba

waktunya untuk kambuh. Orang yang mengalami

gangguan jiwa adalah orang yang kurang normal,

orang yang agak senu, atau kelainan jiwa.

Uniknya gangguan jiwa yang terjadi di desa

Dameka bukan saja disebabkan karena faktor

keturunan atau bawaan sejak lahir, banyak beban

pikiran, dan frustasi, tetapi menurut orang Dameka

gangguan jiwa yang terjadi di desa Dameka karena

menyalahgunakan barang-barang keramat

peninggalan nenek moyang, menanggung dosa nenek

moyang, hukuman dari leluhur, dan juga disebabkan

oleh alam, mereka merusak alam, sehingga alam

marah dan membuat mereka mengalami gangguan

jiwa/gila. Hukuman yang mereka terima itu tidak

berhenti sampai 7 turunan, bahkan menurut mereka

gangguan jiwa merupakan hukuman yang masih

tergolong sangat ringan, karena mereka masih bisa

hidup dengan gangguan jiwa sewaktu-waktu, karena

ada beberapa orang yang sampai meninggal.

37

Ungkapan berikut dapat dilihat pada pernyataan

partisipan di bawah ini.

P8 mengatakan orang yang mengalami gangguan jiwa

karena faktor keturunan, tapi tidak sedikit yang

mengalami gangguan jiwa karena faktor kepercayaan

atau belum menganut agama.

“Orang yang gangguan jiwa itu karena faktor

keturunan, tapi tidak sedikit yang mengalami

gangguan jiwa karena faktor kepercayaan atau

belum menganut agama”. (P8Q2A1101)

P1 mengatakan penyebab gangguan jiwa karena alam

marah, ketika mereka tidak menyatu dengan alam

atau tidak bisa menjaga kelestarian alam sekitar, dan

atau merusak alam, maka saat itu alam yang membuat

mereka menjadi gila.

“Karena masyarakat berpikir bahwa, ketika

mereka sudah tidak menyatu dengan alam,

maksudnya dong tidak searah dengan alam

maka saat itu alam yang buat mereka menjadi

gila. Karena mereka berpikir misalnya kaya

ada pohon-pohon yang dihuni oleh nenek

moyang atau arwah-arwah, kalau diganggu

maksudnya kalo su tidak ada keseimbangan

disaat itu mereka ada gangguan jiwa, disaat itu

arwah mengganggu mereka begitu.”

(P1Q2A17-23)

“Iya arwah-arwah nenek moyang begitu, yang

datang untuk ganggu, karena mereka mungkin

merusak alam begitu to, pohon2 yang

sebenarnya dikeramatkan, batu-batu

dikeramatkan, trus mungkin saat itu tidak

38

sengaja mereka potong, mereka bikin rusak,

akhirnya alam marah sama dorang.” (P1Q2A25)

P3 mengatakan gangguan jiwa yang terjadi di desa

Dameka di sebabkan karena 2 hal, yaitu faktor

keturunan dan bukan faktor keturunan.

“Ada yang keturunan ada yang tidak”. (P3Q2A482)

“Yang keturunan contohnya: mungkin dari

neneknya yang pernah mengalami itu, kalau

bukan dia punya anak yang mengalami

gangguan jiwa, paling dia punya cucu, kalau

yang turunan”. (P3Q2A484)

“Yang bukan faktor keturunan: mungkin kadang

dalam pemikirannya dia itu mungkin ada hal-hal

yang mau dia ingin capai tapi ketika tidak

tercapai , makanya dia bisa jadi gila”. (P3Q2A488)

P7 mengatakan gangguan jiwa terjadi karena

menyalahgunakan barang-barang keramat

peninggalan nenek moyang dan juga karena

keturunan.

“Karena mereka menyalah gunakan barang-

barang keramat peninggalan nenek moyang,

bisa juga karena keturunan nona”. (P7Q2A1015)

4.2.2.2 Sehat dan Sakit Jiwa Menurut Orang Dameka di

Kaitkan Dengan Kepercayaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Masyarakat

desa Dameka memiliki persepsi sendiri terkait sehat

dan sakit jiwa. Sehat dan sakit jiwa di desa Dameka di

lihat dari perilaku yang ditunjukkan sehari-hari. Ketika

39

seseorang mampu bersosialisasi atau berinteraksi baik

dengan orang lain, dan menunjukkan perilaku manusia

pada umumnya maka orang tersebut dianggap

“Normal”. Sebaliknya orang yang dianggap sakit

jiwanya atau gangguan jiwa menurut masyarakat desa

Dameka memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan

manusia normal, dilihat dari penampilan yang tidak

rapi, pakaian yang kotor, rambut berantakan, mata

merah, cepat marah, suka mengeluarkan kata-kata

kotor, cara berbicara sudah tidak normal, dan jiwa

diajak berkomunikasi tidak nyambung, tingkah lakunya

berbeda dengan manusia yang normal.

Ada beberapa hal yang mendasari terjadinya

gangguan jiwa di desa Dameka, bahwa masyarakat

desa masih percaya dengan penyakit akibat hukuman

leluhur, atau karena menanggung dosa nenek moyang

karena menyalah gunakan barang-barang keramat

peninggalan nenek moyang, juga gangguan jiwa yang

terjadi di desa Dameka karena masyarakat belum

menganut agama atau masih mempunyai

kepercayaan marapu, dimana orang-orang yang

memiliki kepercayaan ini meyakini bahwa orang yang

40

merusak alam akan mendapatkan hukuman antara

lain gangguan jiwa/sakit jiwa.

Perlu diketahui bahwa gangguan jiwa di desa

Dameka ada dua macam hanya bersifat sewaktu-

waktu atau kambuh pada waktunya saja dan juga

yang secara terus menerus. Biasanya waktu kambuh

orang gangguan jiwa pada saat bulan purnama, atau

awal bulan, dan pada saat mendapatkan bisikan-

bisikan. Sehingga orang tersebut hanya akan

menunjukkan perilaku tidak normalnya itu pada saat

waktunya saja, ketika sudah sembuh orang yang

mengalami gangguan jiwa kembali tenang seperti

biasa, sikapnya sudah mulai berubah, tidak marah-

marah, dan perilakunya sudah normal kembali. Orang

normal yang di maksudkan adalah orang yang bisa

diajak berkomunikasi dengan baik, penampilannya

bersih, sehat, dan perilakunya baik. Sedangkan orang

yang mengalami gangguan jiwa secara terus menerus

perilakunya setiap saat tidak normal.

4.2.2.3 Pasung dan Pembiaran Sebagai Treatment Sosial

Orang Gangguan Jiwa

Masyarakat desa Dameka berpendapat bahwa

orang yang mengalami gangguan jiwa harus

41

diperhatikan makan minumnya, perlu mendapatkan

perhatian khusus dari keluarga, tenaga kesehatan,

dan pemerintah daerah. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa perilaku masyarakat di desa Dameka terhadap

orang yang mengalami gangguan jiwa berbeda-beda,

tergantung gangguan jiwa itu seperti apa. Masyarakat

desa Dameka sangat peduli dengan orang yang

mengalami gangguan jiwa, hanya saja mereka tidak

bisa membantu lebih, karena di Sumba khususnya di

desa Dameka belum ada Rumah Sakit Jiwa, sehingga

masyarakat membiarkan orang yang mengalami

gangguan jiwa begitu saja, namun ada beberapa

orang yang mengalami gangguan jiwa yang dipasung

oleh keluarga, karena jika dibiarkan begitu saja orang

yang mengalami gangguan jiwa tersebut membuat

keributan, mengganggu ketenangan di desa, jalan-

jalan, bahkan sampai ke luar kota, jadi orang yang

mengalami gangguan jiwa dipasung oleh keluarga

demi kebaikan orang yang mengalami gangguan jiwa

tersebut, karena ada juga yang menghindari orang

yang mengalami gangguan jiwa karena takut

kekerasan oleh orang yang mengalami gangguan jiwa.

Namun kebanyakan masyarakat membiarkan orang

42

yang mengalami gangguan jiwa begitu saja, karena

tidak tau harus diperlakukan seperti apa, dan harus di

bawa kemana, masyarakat hanya bisa mendoakan

agar orang yang mengalami gangguan jiwa bisa

kembali pulih.

Menurut partisipan masih kurangnya kepedulian

pemerintah terhadap orang yang mengalami

gangguan jiwa, sehingga orang yang mengalami

gangguan jiwa di desa Dameka masih berkeliaran dan

tidak disediakannya tempat penampungan atau

tempat untuk mendapatkan perawatan yang lebih

lanjut.

Ungkapan ini bisa di lihat pada ungkapan

partisipan di bawah ini.

P1 mengatakan yang dilakukan apabila ada keluarga

yang mengalami gangguan jiwa yaitu menghindar atau

menjauh.

“Iya, selama ini kami mungkin menghindar,

karena kita takut kekerasan to, biasanya

larang anak-anak jangan dekat, ketika dia

hanya serangan, tapi kalau dia normal bergaul

biasa saja, kita malah layani makan dan

minum, pokoknya kerja biasa, kalau saat dia

tidak serangan kerja seperti orang sehat, kita

terima, tapi pada saat di kambuh, kita sering

menjauh”. (P1Q7A208)

43

P4 mengatakan yang dilakukan apabila ada keluarga

yang mengalami gangguan jiwa adalah hanya bisa

mendoakan.

“Terutama mungkin kita hanya bisa

mendoakan dia, kita sebagai orang beriman,

kalau Tuhan berkehendak dia bisa sembuh,

dan juga kita juga sebagai orang mengerti

begitu, apapun yang dia buat kita arahkan

dia”. (P4Q7A655)

P6 mengatakan yang dilakukan apabila ada keluarga

yang mengalami gangguan jiwa adalah tidak pernah

ada kontribusi, dan acuh tak acuh terhadap orang

yang mengalami gangguan jiwa.

“Tapi kalau sepanjang ini secara pribadi nona,

tidak pernah ada kontribusi ke gangguan

jiwa,biasanya acuh tak acuh saja dengan

orang yang mengalami gangguan jiwa”.

(P6Q7A912)

4.2.3 Pembahasan

4.2.3.1 Pemahaman Orang Dameka Terhadap Gangguan

Jiwa.

Berdasarkan Hasil penelitian yang dilakukan

terhadap 8 orang partisipan, peneliti menemukan di

desa Dameka sebagian masyarakat masih menganut

dan meyakini kepercayaan Marapu, sebagai bagian

yang penting dalam proses kehidupan mereka, salah

44

satunya terkait konsep sehat dan sakit yang

dihubungkan dengan Marapu tersebut.

Menurut Wellem (2004), Marapu merupakan

kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertinggi,

arwah nenek moyang, mahkluk-mahkluk halus (roh-

roh), dan kekuatan-kekuatan sakti. Mereka (Marapu)

dapat memberikan berkat, perlindungan, pertolongan

yang baik jika disembah. Namun jika tidak mereka

(Marapu) akan memberikan malapetaka atas

manusia. Malapetaka yang di maksud salah satunya

sakit. Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur

disebut sebagai “Marapu” yang artinya “yang

dipertuan” atau “yang dimuliakan” karena itu agama

yang mereka anut disebut marapu pula.

Sakit dalam hal ini termasuk sakit jiwa, dipahami

sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai kebenaran

dalam Marapu seperti hukuman dari leluhur atau

menanggung dosa nenek moyang karena menjual

atau menyalah gunakan barang-barang keramat

seperti emas, perak, guci, patung peninggalan nenek

moyang yang seharusnya tidak boleh di pindahkan

dari tempatnya serta merusak alam.

45

Menurut masyarakat desa Dameka, Seseorang

dianggap gangguan jiwa dilihat dari perilaku berbeda

yang ditunjukkan kepada masyarakat dilihat dari

penampilan yang tidak rapi, pakaian yang kotor,

rambut berantakan, mata merah, cepat marah, suka

mengeluarkan kata-kata kotor, cara berbicara sudah

tidak normal, dan jika diajak berkomunikasi tidak

nyambung, tingkah lakunya berbeda dengan

manusia yang normal.

Persepsi masyarakat terhadap gangguan jiwa

mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap orang

mengalami gangguan jiwa. Seperti yang di katakan

WHO (1984), menganalisis bahwa yang

menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah

pemikiran dan perasaan yaitu dalam bentuk

pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan

penilaian seseorang terhadap objek (objek

kesehatan).

Menurut masyarakat desa Dameka gangguan

jiwa merupakan sesuatu yang terjadi pada seseorang

jika sudah tiba waktunya kambuh di tandai dengan

penampilan dan perilaku yang berubah dari normal

menjadi tidak normal. Gangguan jiwa juga

46

disebabkan karena faktor keturunan yang di bawa

sejak lahir (Simanjuntak, 2008).

Persepsi masyarakat terhadap gangguan jiwa

di setiap daerah berbeda, tergantung dari

kebudayaan yang ada dan berkembang dalam

masyarakat tersebut (Maulana, 2014). Masyarakat

setempat meyakini bahwa gejala-gejala yang

dianggap aneh dan berbeda dengan orang normal di

anggap gangguan jiwa atau yang biasa disebut gila.

Kebudayaan sangat berpengaruh besar

terhadap persepsi masyarakat terhadap sesuatu.

Seperti yang terjadi bahwa masyarakat desa

Dameka percaya, gangguan jiwa terjadi karena

penyakit yang disebabkan oleh kutukan, dan menurut

mereka gangguan jiwa sulit bahkan tidak bisa

disembuhkan. Di desa Dameka orang yang

mengalami gangguan jiwa dibiarkan begitu saja. Hal

ini bertolak belakang dengan pernyataan Lambo

(dalam Foster and Anderson, 1962) yang

mengatakan bahwa di daerah lain seperti

masyarakat Afrika bahkan yang menderita psikosis

berat dan cacat mental pun diberi tempat sebagai

47

warga masyarakat yang menjalankan fungsinya

dalam masyarakatnya.

4.2.3.2 Sehat dan Sakit Jiwa Menurut Orang Dameka Di

kaitkan dengan Kepercayaan.

Istilah sehat dan sakit mengandung banyak

muatan kultural, dan pengertian profesional yang

beragam. WHO dalam Maulana (2014),

mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu

keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun

kesejahteraan sosial seseorang. Sedangkan sakit

berarti suatu keadaan yang memperlihatkan adanya

keluhan dan gejala sakit secara subjektif dan objektif,

sehingga penderita tersebut memerlukan

pengobatan untuk mengembalikan keadaan sehat.

Sehat dan sakit jiwa di desa Dameka dilihat

dari perilaku yang ditunjukkan sehari-hari. Ketika

seseorang mampu bersosialisasi atau berinteraksi

dengan baik terhadap sesama, maka orang tersebut

dianggap normal. Hal ini didukung oleh Dharmabrata

& Nurhidayat (2003), bahwa seseorang dianggap

normal apabila ia masih menunjukkan

kemampuannya untuk beradaptasi dengan

lingkungannya, serta menunjukkan perilaku yang

48

wajar. Begitu juga sebaliknya orang yang dianggap

sakit jiwanya atau gangguan jiwa menurut

masyarakat desa Dameka memiliki ciri-ciri yang

berbeda dengan manusia normal, dilihat dari

penampilan yang tidak rapi, pakaian yang kotor,

rambut berantakan, mata merah, cepat marah, suka

mengeluarkan kata-kata kotor, cara berbicara sudah

tidak normal, dan jika diajak berkomunikasi tidak

nyambung, tingkah lakunya berbeda dengan

manusia yang normal.

Masyarakat desa Dameka memiliki norma dan

nilai yang dapat di pakai sebagai pegangan apakah

perilaku orang tersebut normal atau tidak. Perlu

diingat bahwa norma dan nilai tersebut hanya

berlaku di warga desa Dameka, karena bisa saja

yang tidak normal menurut masyarakat desa

Dameka tapi normal bagi masyarakat lain. Hal ini di

dukung oleh Dharmabrata & Nurhidayat (2003)

bahwa walau bagaimana pun tetap ada perilaku

normal atau tidak normal bagi seluruh masyarakat

dimanapun, termasuk di desa Dameka.Sebenarnya

untuk menentukan sesorang normal atau tidak

49

adalah suatu hal yang tidak mudah. Normal tidaknya

seseorang merupakan sesuatu yang bersifat relatif.

Orang yang mengalami gangguan jiwa di desa

Dameka tidak setiap hari mengalami sikap tidak

normal, gangguan jiwa (istilah dalam masyarakat

disebut orang gila) yang terjadi di desa Dameka

sewaktu-waktu, jadi ketika bulan purnama tiba atau

saat orang yang mengalami gangguan jiwa itu

mendapatkan bisikan maka gangguan jiwanya akan

kambuh, perilakunya akan kembali tidak normal. Di

desa Dameka masyarakat mempercayai bahwa

penyakit yang dialami karena mendapatkan

hukuman dari leluhur dan menanggung dosa nenek

moyang, karena menyalah gunakan barang-barang

keramat peninggalan nenek moyang dan merusak

alam, sehingga alam yang membuat mereka menjadi

gangguan jiwa atau gila menurut masyarakat di desa

Dameka. Menurut masyarakat desa Dameka

gangguan jiwa merupakan hukuman yang masih

ringan, karena tidak sedikit orang yang di sambar

petir dan meninggal dunia.

50

4.2.3.3 Pasung dan Pembiaran Sebagai Treatment Sosial

Orang Gangguan Jiwa.

Menurut masyarakat desa Dameka orang yang

mengalami gangguan jiwa tidak bisa di sembuhkan

karena penyakit yang dialami merupakan hukuman

dari leluhur karena menanggung dosa nenek

moyang, dan merusak alam. Menurut masyarakat

desa Dameka selain mendoakan mereka tidak bisa

berbuat terlalu banyak. Karena di Sumba sendiri

tidak mempunyai rumah sakit jiwa. Sehingga orang

yang mengalami gangguan jiwa hanya di biarkan

begitu saja, tidak diberikan perawatan dan juga ada

yang di pasung oleh keluarganya sampai masa

kambuhnya berakhir. Hal ini sesuai dengan

perkataan dr.Latumeten psikiater Indonesia pertama

(1928), kebanyak pasien gangguan jiwa tidak

mendapatkan perawatan yang layak. Parahnya lagi

orang-orang pribumi yang dianggap menderita

gangguan jiwa banyak yang dibiarkan dipasung.

Masyarakat desa Dameka mengaku tidak

banyak berkontribusi terhadap orang yang

mengalami gangguan jiwa. Masyarakat hanya

memberikan dukungan secara moril, dan doa.

51

Hasil penelitian terhadap 8 orang responden

mengatakan keluargalah yang memiliki peran penting

dalam pengasuhan orang yang mengalami gangguan

jiwa di desa Dameka, yaitu dengan cara pasung.

Ketika sudah kembali normal orang yang mengalami

gangguan jiwa yang dipasung akan dilepaskan dan

kembali beraktivitas seperti biasa. Hal ini bertolak

belakang dengan teori yang dikemukakan oleh

Setiadi (2008), bahwa dengan dukungan emosional

berupa kepercayaan, empati, cinta, simpati, dan

penghargaan yang diberikan sebagai sebuah tempat

yang nyaman selama proses

pemulihan/penyembuhan dapat membuat individu

merasa tidak sendiri, karena masih ada keluarga

yang mau memperhatikan, mendengarkan

keluhannya, membantu menyelesaikan masalah

yang dihadapi, serta memberikan semangat, dapat

membantu individu dalam penguasaan terhadap

emosi dan masalahnya.

4.2.4 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yaitu

target awal partisiapn yang peneliti tetapkan yaitu 10 orang

calon partisipan tetapi pada saat penelitian berlangsung hanya

52

8 partisipan yang berpartisipasi dikarenakan 2 partisipan

lainnya menolak untuk diwawancarai dengan alasan sibuk

panen dan capek mengurus ternak sehingga tidak punya waktu

atau tidak bersedia untuk diwawancarai. Selain itu, susahnya

bertemu para partisipan karena sementara penelitian

berlangsung, bertepatan dengan musim panen padi di Sumba,

sehingga penelitian berlangsung cukup lama. Beberapa

partisipan ada juga yang susah membahasakan jawabannya ke

dalam bahasa Indonesia, sehingga peneliti harus

menerjemahkan sendiri maksud dari partisipan. Begitu juga

ada yang kurang mengerti dengan maksud pertanyaan yang

disampaikan sehingga membuat peneliti harus

menginformasikan ulang pertanyaan yang akan diajukan dan

bisa dipahami oleh partisipan.