Upload
dangnhu
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Sosiologis
Masyarakat yang sedang mengalami perubahan karena upaya pembangunan,
hukum juga akan mengalami perubahan sesuai dengan keadaan masyarakat.
Karena itu hukum tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan tentang
kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan landasan pemikiran ini, untuk
memahami hukum tidak cukup hanya mempelajari hukum dari aspek yang tertulis
saja, melainkan juga perlu mempelajari hukum dalam konteks penerapan dalam
kehidupan masyarakat atau sosial dan situasi negara yang menghasilkan hukum
tertulis itu.1
Beberapa tahun belakangan ini kasus euthanasia mulai bermunculan di
masyarakat Indonesia yang sebagian besar belum mengetahui sama sekali apa itu
euthanasia. Euthanasia merupakan budaya barat yang berasal dari luar Indonesia
yang dilihat dan dicoba untuk diterapkan di Indonesia.2 Namun secara sosiologis,
fakta menunjukkan bahwa walaupun euthanasia merupakan hal yang awam bagi
masyarakat Indonesia tetapi ada juga yang berkeinginan mengajukan
permohonan euthanasia tersebut ke Pengadilan Negeri dengan alasan bahwa
euthanasia merupakan jalan satu-satunya yang dapat ditempuh.
Kasus euthanasia pertama di Indonesia terjadi pada tahun 2004 di Rumah
Sakit Islam, Bogor. Data yang didapatkan dari Detik News menuliskan bahwa
1.
Burhan Ashofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, hlm 61 2.
Zamroni Abdussamad, Dosen Ilmu Hukum, Wawancara, 21 Oktober 2013
39
permohonan euthanasia tersebut diajukan oleh Panca Satrya Hasan Kusumo
selaku suami dari pasien Ny. Agian Isna Nauli Siregar (33 tahun) yang menderita
kerusakan saraf permanen di otak besar kanan dan kiri, otak kecil kanan dan kiri,
batang saraf dan pusat saraf di otak setelah menjalani perawatan pasca melahirkan
dan mengalami koma.3
Permohonan euthanasia ini diajukan oleh Hasan karena tidak mampu lagi
menyediakan dana untuk pengobatan dan perawatan istrinya juga merasa kasihan
melihat penderitaan yang dialami oleh sang istri dimana kondisi kesehatan sang
istri sudah tidak bisa pulih lagi. Hal inilah yang menjadi alasan Hasan untuk
mengajukan permohonan euthanasia aktif yaitu suntik mati kepada dokter yang
menangani istrinya agar penderitaan sang istri tidak berkepanjangan. Tetapi
permohonan suntik mati tersebut ditolak oleh dokter.
Kemudian pada tanggal 22 Oktober 2004 secara formal Hasan mengajukan
permohonan euthanasia terhadap istrinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.4
Pada hari itu juga Hasan meminta penetapan euthanasia kepada Menteri
Kesehatan. Tetapi, pihak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan
tersebut karena dinilai menyalahi hukum. Atas permohonan tersebut diberikan
solusi oleh Menteri Kesehatan yang menjabat saat itu yakni Siti Fadillah Supari
bahwa untuk selanjutnya biaya perawatan dan pengobatan Ny. Agian akan
ditanggung oleh pemerintah. Hal ini dianggap sebagai jalan terbaik dari pada
3.
Suwarjono, “Wawancara Suami Ny. Again : Pernah Minta Istri Disuntik Mati”, Detik News
Online, http://news.detik.com/read/2004/09/07/092925/204040/10/pernah-minta-istri-disuntik-
mati?nd771104bcj, diakses tanggal 8 September 2013. 4.
Brian A. Prasetyo, “Kompilasi Kasus Terkait Pelayanan Rumah Sakit : Sebuah Bahan Renungan
Untuk Reformasi Pelayanan Rumah Sakit”, http://hadikurniawanapt.blogspot.com/2012/07/ka
sus-dan-kode-etik-serta.html, diakses tanggal 8 September 2013.
40
melakukan suntik mati terhadap Ny. Again. Tanpa diduga pada tanggal 6 Januari
2005 Ny. Agian yang berbulan-bulan koma telah sadar kembali.
Beberapa bulan kemudian setelah kasus Ny. Again muncul kasus euthanasia
baru yang terjadi di Rumah Sakit Pasar Rebo, Jakarta Timur sesuai dengan data
yang didapat dari Bali Post, yaitu permohonan euthanasia yang diajukan oleh
Rudi Hartono terhadap istrinya Siti Zulaeha yang sudah tidak sadarkan diri selama
6 bulan pasca menjalani operasi caesar anak keduanya.5 Permohonan euthanasia
aktif atau suntik mati tersebut diajukan Rudi Hartono ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang laporannya langsung diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat I Made Karna. Alasan Rudi mengajukan permohonan suntik mati
tidak jauh berbeda dengan alasan Hasan pada kasus Ny. Again sebelumnya,
bahwa kondisi Siti Zulaeha saat itu dalam status vegetative state (kelumpuhan
total) dan tidak ada cara lain untuk melepaskan sang istri dari penderitaan itu
kecuali suntik mati seperti yang dituturkan Rudi kepada Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.6
Kasus euthanasia aktif yang lainnya yaitu terjadi pada tahun 2011 lalu
seperti yang telah disebutkan pada Sub Bab Latar Belakang di BAB I, yaitu
permohonan suntik mati (euthanasia aktif) oleh keluarga miskin Kardjali Karsoud
(69 tahun) berkaitan dengan sakit kanker payudara yang diderita istrinya, Samik
5.
Bali Post, “Mohon Suntik Mati”, Bali Post Online, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/
2/22/n8.htm, diakses tanggal 8 September 2013 6.
Ibid.
41
(52 tahun) di kota Surabaya tepatnya di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.7 Namun
permohonan euthanasia tersebut lagi-lagi tidak dikabulkan oleh Pengadilan.
Permintaan euthanasia memang pernah diajukan di Indonesia tetapi belum
pernah ditemukan kasus euthanasia di Gorontalo secara legal dan secara ilegal
atau dilakukan secara diam-diam publikasinya belum ada baik di Gorontalo
maupun di daerah lain.8 Pasien yang meminta untuk dieuthanasia memang banyak
tetapi untuk kasus pengajuan permohonan euthanasia yang dikabulkan belum ada.
Pengajuan permohonan euthanasia ini biasa diajukan pada kasus-kasus penyakit
tertentu salah satunya adalah pada kasus penderita penyakit kanker yang sudah
tidak bisa menahan penderitaannya, baik kelelahan psikis, tidak tahan terhadap
nyeri yang ditimbulkan oleh penyakit kanker tersebut dan juga kenyataan bahwa
hasil diagnosis dokter menyatakan penyakit kanker yang diderita tidak dapat
disembuhkan lagi karena sudah dalam stadium terminal yang jika diobati hanya
bisa memperbaiki kualitas hidup pasien. Rata-rata yang mengajukan permohonan
euthanasia adalah penderita kanker karena merasakan rasa sakit yang tidak dapat
ditolerir lagi oleh si penderita.9
Berdasarkan pernyataan dari dua dokter di atas maka dapat disimpulkan
bahwa permintaan euthanasia ada dan pernah terjadi di Indonesia sesuai dengan
beberapa kasus yang telah dipaparkan sebelumnya. Tetapi untuk Gorontalo belum
pernah ditemukan kasus euthanasia dan permohonan yang dikabulkan pun belum
7.
Joseph Henricus Gunawan, Euthanasia Vs. Etika, 8 September 2013,
http://budisansblog.blogspot.com/2012/01/euthanasia-vs-etika.html, (11.26). 8.
Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013 9.
Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober
2013
42
ada. Pengajuan permohonan euthanasia ini disebabkan oleh beberapa alasan yaitu
antara lain karena pasien tidak sanggup lagi menahan sakit yang ditimbulkan oleh
penyakit yang diderita serta kenyataan bahwa walaupun dilakukan perawatan dan
pengobatan penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan lagi dan harapan pasien
untuk hidup sangat kecil.
Permohonan euhanasia belum pernah terjadi di Gorontalo sesuai dengan
pengalaman kerja Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf dan Dr. Sri Manovita
Pateda bahwa kedua dokter tersebut belum pernah menangani kasus euthanasia
aktif. Dr. Muhamad menjelaskan bahwa selama menjadi dokter belum pernah ada
pasien yang mengajukan suntik mati atau euthanasia aktif. Jika ada pasien yang
mengajukan maka akan diberikan solusi lain selain suntik mati kepada pasien.
Solusi tersebut adalah memperbaiki kualitas hidup pasien walaupun tindakan
tersebut tidak dapat menyembuhkan sakit yang diderita oleh pasien. Caranya
antara lain dengan memberikan obat penghilang nyeri bagi penderita kanker atau
biasa disebut morfin, karena tugas seorang dokter untuk mengobati pasien dengan
tujuan untuk meringankan dan menyembuhkan penderitaan pasien dengan segala
usaha tanpa harus mematikan pasien dengan cara suntik amti atau euthanasia
aktif, sampai pasien tersebut sembuh atau mati karena sesuai dengan takdir yang
telah ditentukan oleh Allah SWT.10
Hal serupa juga dijelaskan oleh Dr. Novi bahwa selama menjadi dokter
belum pernah menangani pasien yang mengajukan permohonan euthanasia aktif
dan dianjurkan agar tidak mengambil keputusan euthanasia ini. Karena masih
10.
Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013
43
banyak cara yang dapat dilakukan tanpa harus melakukan euthanasia dengan
melihat tekhnologi pengobatan yang semakin berkembang dan setiap penyakit
pasti akan ada obatnya dengan perkembangan tekhnologi. Bisa juga dengan
memberikan morfin atau obat penghilang rasa sakit, tapi untuk morfin sendiri
tidak bisa terlalu sering dikonsumsi oleh pasien karena dapat merusak organ tubuh
lain.11
Dr. Muhamad maupun Dr. Novi merupakan pihak yang tidak setuju dengan
euthanasia terutama suntik mati atau euthanasia aktif berdasarkan pada pemaparan
pendapat masing-masing di atas. Karena kematian seseorang bukanlah ditangan
manusia termasuk dokter, kematian datangnya dari Allah dan tidak bisa didahului
oleh manusia. Selain itu, euthanasia juga belum diperbolehkan dalam dunia medis
tidak seperti kasus abortus yang sekarang sudah dilegalkan dalam suatu peraturan
perundang-undangan.
Untuk euthanasia pasif Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf dan Dr. Sri
Manovita Pateda memiliki pendapat yang berbeda dari euthanasia aktif atau suntik
mati. Pasien yang dalam keadaan koma dan hidupnya dibantu oleh alat
pernapasan sebenarnya pasien tersebut sudah mati tetapi organ-organ di dalam
tubuh pasien masih dapat difungsikan dan alat bantu pernapasan ini digunakan
untuk mempertahankan jasad pasien serta organ-organ lain yang masih berfungsi
11.
Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober
2013
44
tersebut. Apabila alat bantu ini dilepaskan maka secara otomatis pasien akan
mati.12
Alat bantu pernapasan tersebut digunakan untuk memperpanjang hidup
pasien dengan menjaga fungsi otak dari pasien yang mengalami koma karena
jantung dan paru-paru sudah tidak berfungsi. Alat bantu itulah yang menggantikan
kerja jantung dan paru-paru agar pasien tersebut bisa bertahan hidup. Jika alat
bantu pernapasan tersebut dikeluarkan atas permintaan keluarga pasien maka
dokter selaku tenaga medis yang bertanggung jawab terhadap pengobatan pasien
menyetujui permintaan keluarga pasien karena pada dasarnya pasien sudah
dinyatakan mati secara biologis.13
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa euthanasia pasif
bisa dilakukan karena kondisi pasien sebenarnya sudah dalam keadaan mati secara
biologis berbeda halnya dengan euthanasia aktif yang menurut Dr. Muhamad
diminta secara sadar oleh pasien agar dokter melakukan manipulasi-manipulasi
medis yang dapat menyebabkan pasien tersebut mati sehingga mendahului
kehendak Allah sebagai sang Pencipta dan hal itu tidak diperbolehkan. Euthanasia
pasif dapat dilakukan karena memang pada dasarnya pasien tersebut sudah mati
secara biologis dan kehidupannya hanya dibantu oleh alat bantu tersebut.
Setiap manusia memiliki hak hidup yang telah diberikan sejak manusia
berada di dalam kandungan dan hak hidup tersebut merupakan hak mutlak yang
harus dihormati oleh setiap insan. Pada kasus euthanasia ini secara tidak langsung
12.
Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober
2013 13.
Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013
45
menjelaskan bahwa hak hidup dari seorang pasien tidak dihargai. Hak hidup yang
dimaksud disini adalah hak untuk mempertahankan hidupnya. Jika euthanasia atau
suntik mati dilakukan pasien akan mati dan haknya untuk mempertahankan hidup
telah dilanggar dan juga melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM.
Hak hidup dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
diatur dalam Pasal 4 yang menjelaskan bahwa setiap manusia atau setiap orang
tanpa kecuali memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak hidup yang
dimaksud dalam Pasal 4 UU HAM ini merupakan hak yang sudah melekat sejak
manusia berada di dalam kandungan setelah ditiupkan roh oleh Allah SWT.
Hak hidup ini juga berkaitan dengan adanya larangan pengguguran
kandungan atau biasa disebut abortus. Abortus diperbolehkan dalam dunia medis
tetapi ada syarat-syarat tertentu antara lain jika kehamilan tersebut mengancam
nyawa bayi itu sendiri atau mengancam nyawa ibu yang mengandung.14
Abortus
ini biasa disebut abortus teraupetik atau medis yaitu abortus yang dilakukan atas
dasar pertimbangan-pertimbangan medis. Euthanasia dianggap berbeda dengan
kasus abortus karena pada prinsipnya sebelum abortus dilakukan akan dilihat
14.
Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013
46
terlebih dahulu usia bayi yang ada di dalam kandungan.15
Jika bayi dalam
kandungan masih berusia dibawah 4 minggu sebelum roh ditiupkan kedalam janin
oleh Allah SWT maka aborsi dapat dilakukan. Selain itu alasan aborsi dilakukan
apabila sang ibu mengalami pendarahan atau kehamilan terganggu artinya proses
kehamilan terjadi di luar rahim yang nantinya bisa membahayakan nyawa sang
ibu yang mengandung. Pada kasus euthanasia seolah-olah dokter telah mengambil
alih hak Allas SWT untuk mengambil nyawa seseorang yang masih memiliki hak
untuk hidup walaupun kesempatan untuk hidup dibawah 50%. Berdasarkan alasan
di atas maka hingga saat ini para dokter belum sepakat untuk melakukan
euthanasia atau suntik mati jika ada pasien yang mengajukan permohonan
euthanasia.
Pelanggaran HAM menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1
ayat (6) adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Jika dikaitkan
dengan euthanasia maka bisa dilihat dengan jelas bahwa euthansia melanggar
ketentuan dalam pasal ini karena perbuatan euthanasia sama saja dengan
mencabut hak asasi manusia dari si pasien yang telah dijamin oleh UU HAM
yaitu hak untuk mempertahankan hidupnya. Hak hidup ini merupakan hak mutlak
15.
Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013
47
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun seperti yang
terkandung dalam Pasal 4 UU HAM walaupun euthanasia atau suntik mati
tersebut diminta oleh pasien yang bersangkutan atau oleh keluarga pasien.
Dr. Muhamad dan Dr. Novi pun mengatakan hal yang sama bahwa
euthanasia merupakan perbuatan yang melanggar HAM terutama hak hidup.
Euthanasia merupakan pengakhiran hidup seseorang dengan alasan tertentu.16
Pengakhiran hidup yang dilakukan dalam euthanasia ini merupakan pelanggaran
terhadap hak mutlak yang dimiliki oleh pasien yaitu hak untuk mempertahankan
hidupnya karena setiap orang memiliki hak untuk hidup. Selain melanggar hak
hidup, euthanasia juga dilarang dalam agama terutama agama Islam.
Euthanasia dikatakan dilarang dan diharamkan oleh agama Islam
sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
dipublikasikan pada NU Online bahwa MUI mengharamkan dilakukannya
tindakan euthanasia atau tindakan mematikan seseorang untuk meringankan
penderitaan sekarat.17
Euthanasia diharamkan karena termasuk melakukan
perbuatan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Euthanasia boleh
dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus, dimana seseorang yang
tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih
dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang
hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh
masyarakat. Kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya
16.
Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober
2013
17. NU Online, “Fatwa MUI Larang Euthanasia”, Jakarta, 23 Oktober 2004, pukul 01:44
48
dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.18
MUI
menjelaskan bahwa pelarangan euthanasia secara umum yaitu tindakan
membunuh orang dan karena faktor keputus-asaan yang tidak diperbolehkan
dalam Islam.
Berkaitan dengan penjelasan MUI bahwa kematian adalah proses
berpisahnya roh atau nyawa seseorang dengan jasadnya sesuai dengan ketentuan
yang sudah ditetapkan Allah SWT sedangkan euthanasia melanggar ketentuan
Allah SWT karena hidup atau mati seseorang sudah ditentukan sejak roh
ditiupkan kedalam janin pada saat janin tersebut masih berada di dalam
kandungan.19
Kematian adalah suatu ketentuan dan takdir dari Allah SWT
terhadap seluruh makhluknya termasuk manusia. Euthanasia menurut kajian
hukum Islam bertentangan dengan ajaran agama Islam dan hukumnya haram. 20
Sesuai dengan firman Allah SWT pada surat An Nisa‟ ayat 29 “Hai orang-
orang beriman, jangan makan harta yang beredar diantaramu secara batil, kecuali
ada transaksi yang disepakati diantaramu. Jangan membunuh dirimu (dengan
melanggar ketentuan Allah). Allah sangat menyayangi kepadamu semuanya”. 21
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah SWT melarang umatnya untuk
membunuh dirinya sendiri. Euthanasia dapat diartikan sebagai tindakan bunuh diri
dengan bantuan orang lain dengan cara meminta dokter untuk menyuntik mati
dirinya sendiri agar terlepas dari penderitaan penyakit dan tidak membebankan
18.
Ibid. 19.
Hasan A.Ibrahim, Tokoh Agama, Wawancara, 10 Otober 2013 20.
Ando, Tokoh Agama, Wawancara, 11 Otober 2013 21.
Zaini Dahlan (Penerjemah), 2008, Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya, Cetakan ke-7,
Yogyakarta, UII Press, hlm. 146-147
49
keluarganya. Menurut sebuah riwayat dari Anas bin Malik, suatu harus Rasulullah
SAW bersabda kepada para sahabatnya, “Janganlah salah satu dari kamu meminta
mati karena kesulitan hidup yang menimpanya. Jika memang sangat perlu dia
berbuat demikian, maka ucapkan doa sebagai berikut, „Ya Allah, panjangkanlah
umurku kalau memang hidup adalah lebih baik bagiku, dan matikanlah aku
manakala memang kematian lebih baik bagiku‟.” (HR Bukhari Muslim).22
Berputus asa dalam hukum Islam tidak dibenarkan begitu halnya terhadap
sebuah penyakit yang sedang diderita oleh seseorang sehingga euthanasia tidak
seharusnya dilakukan demi mengakhiri penderitaan yang disebabkan oleh sakit
yang sedang diderita tetapi mencari solusi lain agar mendapatkan kesembuhan dan
tidak beputus asa.23
Sebagaimana dalam firman Allah SWT surat Yusuf ayat 87
“...jangan berputus asa dari rahmat Allah karena hanya orang kafir yang berputus
asa dari rahmat-Nya,”24
jadi kita harus tetap berusaha mencari solusi terbaik dari
pada melakukan euthanasia atau suntik mati. Euthanasia termasuk sebuah
tindakan pembunuhan walaupun atas permintaan pasien itu sendiri dengan alasan
ingin menghilangkan penderitaan pasien dan kesempatan hidup pasien yang kecil.
Di Gorontalo sangat mempertimbangkan mengenai euthanasia ini karena
mayoritas masyarakat Gorontalo beragama Islam dan tidak setuju adanya
euthanasia ini karena euthanasia merupakan suatu hal yang melanggar hak-hak
hidup seseorang yang mengharapkan bantuan dari medis, sehingga dari segi
hukum adat tentu haruslah di upayakan kajian atau pembahasan dengan
22.
Rafinza, “Larangan Berputus Asa Dalam Islam”, 9 Desember 2013, http://rumahtahfidzcintara
sul.blogspot.com/2012/12/larangan-berputus-asa-dalam-islam.html?m=1, (21.34). 23.
Ando, Tokoh Agama, Wawancara, 11 Otober 2013 24.
Zaini Dahlan (Penerjemah), Op. Cit, hlm. 433
50
mengedepankan sendi-sendi adat seperti halnya yang ada di Gorontalo lebih
mengedepankan pandangan agama itu sendiri.25
Selain dokter dan tokoh agama beberapa masyarakat juga memiliki
pemahaman sendiri mengenai euthanasia bahwa euthanasia adalah sesuatu yang
dilarang oleh agama karena lebih mementingkan paham duniawi saja dan
melangkahi kodrat manusia yang menjadi ciptaan Allah SWT dan juga bisa
melanggar hak asasi manusia.26
Seharusnya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT
manusia tidak berputus asa dalam mencari segala alternatif agar sakit yang
dideritanya bisa disembuhkan karena segala penyakit pasti ada obatnya,
pernyataan ini juga sesuai dengan hadits
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
euthanasia harus dipertimbangkan serta dikaji dan dibahas lebih lanjut untuk
diterima dilingkungan sosial karena banyak menimbulkan pertentangan di dalam
masyarakat maupun pada dokter sebagai tenaga medis karena lebih banyak
mengedepankan paham duniawi tanpa memikirkan adanya solusi lain, sama
halnya dengan firman Allah SWT surat Ar Ra‟d ayat 11 yang artinya “Sungguh
Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai mereka sendiri yang mengubah
dirinya”,27
dengan kata lain segala penyakit separah apapun pasti ada jalan untuk
mendapatkan kesembuhan asalkan manusia mau berusaha untuk mendapatkan
kesembuhan tersebut kecuali jika memang Allah SWT sudah menentukan ajal dari
25.
Musyakar Takaredas, Tokoh Agama, Wawancara, 12 Oktober 2013 26.
Moh. Saferi Dunggio, Masyarakat, Wawancara, 23 September 2013 27.
Zaini Dahlan (Penerjemah), Op. it, hlm. 441
51
seorang manusia maka takdir tersebut tidak dapat karena sudah ditentukan oleh
Allah SWT Sang Maha Pencipta.
Menurut adat pun euthanasia atau suntik mati tidak dibenarkan dan dilarang,
hidup dan mati seseorang merupakan ketentuan Allah SWT.28
Apabila seorang
pasien meminta untuk dieuthanasia dengan cara disuntik mati maka hal tersebut
sama saja dengan melakukan bunuh diri atau membunuh orang walaupun diminta
sendiri oleh pasien yang bersangkutan. Bunuh diri dilarang dalam agama
begitupun dalam adat karena agama merupakan patokan dan panduan dari sebuah
adat sehingga adat yang tumbuh di dalam masyarakat sejalan dan sesuai dengan
ajaran agama. Bunuh diri adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh orang kafir
sebab perbuatan bunuh diri tidak dibenarkan didalam agama Islam dan merupakan
perbuatan dosa. Sama halnya dengan suntik mati.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa euthanasia aktif atau suntik
mati dalam perspektif sosiologis sesuai dengan pendapat dari berbagai kalangan
tidak disetujui dan dilarang untuk dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan
tidak sejalan dengan ajaran agama bahwa hidup dan mati seseorang telah
ditentukan oleh Sang Pencipta kehidupan sejak bayi berada di dalam kandungan,
juga melanggar hak asasi manusia terutama hak hidup baik hak untuk
mempertahankan hidup atau hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, yaitu
hak hidup yang dihormati dan dijunjung tinggi oleh sesama makhluk ciptaan
Allah SWT.
28.
AR. Maksum dan Jumadi Botutihe, Tokoh Adat, Wawancara, 20 Oktober 2013
52
Dalam praktiknya, dokter tidaklah mudah melakukan euthanasia meskipun
dari sudut kemanusiaan dapat dibenarkan karena merupakan hak bagi pasien yang
menderita sakit akut. Akan tetapi dokter tidak dibenarkan melakukan upaya aktif
untuk memenuhi keinginan pasien tersebut. Sebab, perbuatan menghilangkan
nyawa orang lain disamping merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik
Kedokteran, juga merupakan tindak pidana. Alasan inilah yang hingga kini
dijadikan dasar bagi larangan praktik euthanasia aktif yaitu suntik mati di
berbagai belahan dunia (termasuk Indonesia), kecuali di negara-negara yang
sudah melegalkan euthanasia seperti di Belanda dan Belgia.
4.2 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Yuridis
Secara yuridis formal, hukum di Indonesia tidak mengizinkan euthanasia.
Pernyataan di atas sesuai dengan peraturan dalam KUHP Pasal 344 bahwa barang
siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri dengan
kesungguhan hati diancam hukuman penjara selama 12 tahun. Hal ini juga
disampaikan oleh MenKes A Sujudi pada Detik News sebagai tanggapan terhadap
permohonan pengajuan euthanasia atau suntik mati oleh Panca Satrya Hasan
Kusuma terhadap istrinya Ny. Again29
bahwa euthanasia di Indonesia tidak ada
hukumnya dan tidak boleh dilakukan, apabila tetap dilakukan maka akan
dikenakan sanksi karena telah melanggar hukum.
Jika dianalisis lagi mengenai pernyataan MenKes pada saat itu bahwa
euthanasia atau suntik mati di Indonesia tidak ada hukumnya maka sah-sah saja
29.
Suwarjono, “Wawancara Suami Ny. Again : Pernah Minta Istri Disuntik Mati”, Detik News
Online, http://news.detik.com/read/2004/09/07/092925/204040/10/pernah-minta-istri-disuntik-
mati?nd771104bcj, diakses tanggal 8 September 2013.
53
apabila euthanasia dilakukan. Dikatakan bahwa euthanasia bisa dilakukan karena
didasarkan pada Pasal 1 KUHP bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana
kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada atau
KUHP. Pernyataan tersebut memberikan peluang kepada orang-orang yang ingin
melakukan euthanasia walaupun pada kasus-kasus sebelumnya permohonan
euthanasia semuanya ditolak oleh Pengadilan karena dianggap melanggar
ketentuan dalam KUHP terutama pada Pasal 344 serta pasal-pasal pembunuhan
lainnya karena euthanasia atau suntik mati sama dengan merampas nyawa orang
lain walaupun hal itu atas kehendak korbang sendiri.
Hal ini yang membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk
melakukan euthanasia demi memenuhi permintaan pasien atau keluarga pasien
ataukah menolak. Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang
pasien tetapi disisi lain apabila pengobatan diteruskan maka akan memperpanjang
penderitaan pasien dan menjadi sia-sia karena diagnosis menunjukkan bahwa
harapan hidup pasien sangat kecil. Penghentian pertolongan tersebut merupakan
salah satu bentuk euthanasia.
Euthanasia juga bisa diindikasikan sebagai sebuah tindakan pembunuhan
berencana yang telah direncanakan dan diinginkan oleh pihak-pihak tertentu.
Tidak selamanya euthanasia aktif diminta oleh pasien yang bersangkutan bisa saja
euthanasia aktif atau suntik mati tersebut diajukan permohonannya oleh keluarga
pasien yang tidak menutup kemungkinan menginginkan pasien mati walaupun
didasari oleh alasan-alasan yang bisa diterima oleh akal sehat seperti ketidak
mampuan untuk membiayai perawatan dan pengobatan pasien atau kasihan
54
melihat penderitaan yang dialami oleh pasien. Pembunuhan berencana
sebagaimana telah diatur dalam KUHP Pasal 340 bahwa barangsiapa dengan
sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Bisa saja
dokter terjerat melakukan tindak pidana pembunuhan berencana karena
mengabulkan permohonan euthanasia padahal dokter tidak memiliki maksud
tersembunyi dalam tindakan tersebut. Oleh karena itu, sekiranya harus dipikirkan
secara hati-hati mengenai kasus euthanasia aktif atau suntik mati untuk
menghindari jatuhnya korban akibat keputusan yang tidak diputuskan secara hati-
hati dan seksama.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 2 dijelaskan bahwa “seorang
dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan
kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu
kedokteran mutakhir, hukum dan agama. Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal
7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus
bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jika dikaitkan
dengan euthanasia atau suntik mati maka jelas euthanasia telah melanggar
ketentuan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7d di atas. Karena dalam
kasus euthanasia aktif atau suntik mati berarti dokter memenuhi keinginan pasien
untuk mematikan dirinya sendiri dengan cara menyuntikkan jenis obat yang dapat
55
menyebabkan seseorang mati. Jika hal tersebut dilakukan oleh dokter maka dokter
tidak melakukan kewajibannya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7d yaitu
melindungi kehidupan insani tetapi melanggar ketentuan tersebut.
Kiranya persoalan euthanasia meskipun pelaksanaannya tidak harus dan
tidak selalu dengan suntikan tetap merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain
hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral
yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia seperti halnya
Undang-Undang HAM yang mengatur mengenai hak hidup seseorang yang harus
dihormati dan dijunjung tinggi. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun
ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat
eutanasia berhadapan dengan nilai hak dan kewajiban menghormati dan membela
kehidupan yang terkandung dalam Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Euthanasia masih belum mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis
dan mungkinkah dalam perkembangan hukum positif Indonesia, euthanasia akan
mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus euthanasia pertama kali
dan paling banyak diketahui oleh masyarakat di Indonesia yaitu pengajuan
permohonan euthanasia oleh Panca Satrya Hasan Kusumo suami dari Ny Agian
Isna Nauli Siregar ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan tidak dikabulkan oleh
pengadilan. Tetapi akhirnya korban yang mengalami koma dan gangguan
permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia tersebut
sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.30
Dari kasus di atas kita
bisa melihat bahwa untuk melakukan euthanasia tidak gampang tetapi harus
30.
Ibid.
56
melalui berbagai prosedur yang menjadi persyaratan wajib dalam pengajuan
permohonan euthanasia seperti prosedur di negara lain yang sangat ketat dan rapi.
Sehingga orang akan berpikir lagi untuk melakukan euthanasia.
Di lihat dari aspek yuridis, euthanasia bersinggungan langsung dengan
hukum pidana pada saat proses kematian. Berdasarkan hal itu, jika dilihat dari
segi hukum jelas bahwa pengaturan euthanasia yang lengkap sampai saat ini
belum ada, padahal masalah euthanasia ini menyangkut nyawa manusia di mana
kasus-kasusnya mulai banyak bermunculan kepermukaan. Untuk itu
penanggulangan masalah euthanasia, perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak
bertentangan dengan hukum dan moral.
Euthanasia berhubungan erat dengan tindak pidana menyangkut nyawa.
Salah satu pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum guna pembahasan
selanjutnya adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yaitu Pasal 344 KUHP salah satu pasal yang membicarakan
masalah kejahatan yang menyangkut tentang jiwa manusia. Pasal 344
menjelaskan bahwa barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri yang jelas dinyataksn atas kesungguhan hati diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pencantuman Pasal 344 KUHP menunjukkan bahwa pembentuk undang-
undang telah menduga masalah euthanasia pernah dan akan terjadi di Indonesia
sekalipun demikian pasal ini belum pernah menjaring perbuatan euthanasia
sebagai tindak pidana. Hal ini disebabkan perumusan pasal yang menimbulkan
57
kesulitan dalam pembuktian, yakni adanya kata-kata " atas permintaan sendiri "
yang disertai pula kalimat " yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati "
Oleh karena dalam kenyataannya Pasal 344 KUHP sulit untuk diterapkan
sehingga sebaiknya rumusan pada Pasal 344 KUHP dirumuskan kembali
berdasarkan perkembangan zaman serta kenyataan-kenyataan yang terjadi
sekarang. Dengan rumusan baru ini diharapkan dapat memungkinkan atau
memudahkan penanganan kasus-kasus euthanasia dengan hukum pidana.
Pasal 7 Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada
pasien bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani. Pasal 7d menjelaskan bahwa menurut kode etik
kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit
meskipun menurut pengetahuan dan berdasarkan hasil diagnosa pasien tidak akan
sembuh lagi. Euthanasia memang tidak diperbolehkan dalam dunia medis karena
sangat bertentangan dengan hak manusia apalagi hak untuk hidup sehingga
dengan adanya perkembangan teknologi diharapkan masih banyak cara yang bisa
dilakukan tanpa harus mengambil jalan pintas dengan melakukan euthanasia.31
Manusia berhak dan harus berusaha untuk mendapatkan kesembuhan karena
setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada hak untuk mati.32
Menyimak
apa yang dijelaskan oleh beberapa orang yang ahli dibidang kesehatan maka dapat
disimpulkan bahwa dari pandangan sosial keberadaan euthanasia tidak dianjurkan
untuk dilakukan karena masih terdapat solusi akan tetapi dari keberlangsungan
31.
Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober
2013 32.
Yunita Miu, S.KM, Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober 2013
58
keinginan dan harapan antara seorang dokter dan seorang pasien terjalin informasi
dan penjelasan serta juga dilakukan hal yang penting bahwa adanya
penandatanganan kesepakatan untuk harus dilakukannya euthanasia.
Olehnya kondisi dunia kedokteran apabila pasien sudah dipastikan
mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali,
maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih
berdenyut. Penghentian tindakan media harus diputuskan oleh dokter yang
berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya
hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman,
selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas
hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien
dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di
Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru
menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang.
Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi
kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia
justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.
Euthanasia termasuk dalam perbuatan pembunuhan yang telah diatur dalam
KUHP Pasal 344 walaupun sulit dalam pembuktiannya dan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pun tidak memberikan ruang untuk
melakukan euthanasia karena euthanasia bertentangan dengan ketentuan dalam
59
UU HAM terutama hak hidup seseorang.33
Alasan apapun tidak dapat diterima
walaupun euthanasia dilakukan dan didasarkan pada alasan sosial atau alasan
ekonomi karena pemerintah Indonesia telah memfasilitasi masyarakat kurang
mampu dengan jaminan sosial yang bisa meringankan beban masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak tanpa terbebani dengan biaya
perawatan dan pengobatan yang mahal.
Euthanasia di Indonesia tidak diperbolehkan berbeda dengan di Belanda.34
Hal tersebut jelas diatur dalam Pasal 344 KUHP walaupun tidak disebutkan secara
tertulis dalam pasal tersebut mengenai dilarangnya euthanasia tetapi jika dilihat
secara prosedural makna dari Pasal 344 mengarah pada tindakan euthansia. Selain
melanggar ketentuan dalam Pasal 344 KUHP, euthanasia juga melanggar
ketentuan dalam Undang-Undang HAM terutama hak hidup yang merupakan hak
dasar yang telah didapatkan oleh setiap manusia sejak berada dalam kandungan.
Permohonan euthanasia bisa saja diajukan tetapi untuk di Negara Indonesia yang
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan pasti akan permohonan tersebut akan ditolak
karena memang secara sosial dan yuridis euthanasia tidak diperbolehkan.
Euthanasia tidak dapat dilegalkan di Indonesia karena sistem hukum di
Indonesia berbeda dengan sistem hukum di Amerika yang telah melegalkan
euthanasia.35
Artinya, jika di Amerika seorang hakim memiliki hak untuk
membuat hukum baru atau peraturan baru pada saat menyidangkan suatu perkara
di pengadilan sedangkan di Indonesia tidak seperti itu. Di Indonesia, hakim dalam
33.
Rajab, Jaksa, Wawancara, 25 Oktober 2013 34.
Krido S. Sakali, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober 2013 35.
Amirudin Kaso, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober 2013
60
memutuskan suatu perkara dalam acara persidangan berdasarkan pada pedoman
hukum yaitu KUHP. Jadi, setiap keputusan yang dibuat tidak boleh keluar dari
peraturan tersebut. Termasuk masalah euthanasia yang belum diatur secara
eksplisit dalam undang-undang yang lebih khusus. Sehingga jika permohonan
euthanasia diajukan hakim akan menolak permohonan tersebut.
Euthanasia adalah upaya bunuh diri dengan menggunakan perantara yang
tidak dibenarkan dalam hukum di Indonesia.36
Sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945 bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. Permohonan euthanasia boleh diajukan ke Pengadilan Negeri
berdasarkan pada azas peradilan bahwa siapa saja bisa mengajukan permohonan
perkara apa saja ke Pengadilan. Namun tidak serta merta pengajuan permohonan
tersebut akan dikabulkan oleh Pengadilan tetapi materi yang diajukan akan
dipertimbangkan terlebih dahulu oleh hakim apakah pengajuan permohonan
tersebut akan diterima atau ditolak oleh hakim. Euthanasia adalah tindakan atau
perbuatan untuk menghilangkan nyawa pasien yang sudah harapan untuk sembuh
sangat kecil yang melibatkan tim medis tetapi hal ini tidak dibenarkan dalam
hukum Indonesia.37
Untuk euthanasia tidak ada alasan apapun yang bisa dijadikan dasar agar
permohonannya diterima karena euthanasia telah melanggar hak hidup seseorang
yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan pihak yang akan dikenakan
sanksi nantinya adalah dokter yang melakukan euthanasia tersebut. Berdasarkan
36.
Burhanudin Mokodompit, Hakim, Wawancara, 2 Desember 2013 37.
Amin Umar, Sarjana Hukum, Wawancara, 4 Desember 2013
61
penjelasan tersebut maka euthanasia tidak bisa dilegalkan berbeda dengan aborsi
yang dapat dilakukan jika kehamilan tersebut mengancam nyawa ibu atau anak
yang berada di dalam kandungan sebagai syarat utamanya dan memperhatikan
usia kehamilan yaitu apabila usia kandungan dibawah 4 minggu.38
Beberapa penjelasan di atas menjelaskan bahwa euthanasia secara yuridis
telah diatur dalam Pasal 344 KUHP yang intinya adalah euthanasia dilarang di
Indonesia walaupun peraturan dalam pasal tersebut belum secara eksplisit
menyebukan tentang euthanasia tetapi maknanya mengarah pada masalah
euthanasia. Untuk menerapkan euthanasia di Indonesia pun sulit karena akan
berbenturan dengan peraturan lain seperti Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang
HAM karena negara Indonesia sangat menjunjung tinggi HAM terutama hak
hidup yang bertolak belakang dengan euthanasia aktif yang bertujuan untuk
membuat seseorang mati dengan cara menyuntikkan obat berdosis tinggi. Berbeda
dengan aborsi yang masih diperbolehkan sesuai pertimbangan medis.
Walaupun euthanasia dilarang di Indonesia ada beberapa kalangan yang
setuju apabila euthanasia dilegalkan di Indonesia. Euthanasia dapat dilakukan
apabila benar-benar untuk kepentingan pasien dengan melihat kondisi pasien
terlebih dahulu.39
Jika pasien kesempatannya untuk hidup kecil dan dilain pihak
keluarga pasien sudah tidak mampu lagi untuk membiayai segala biaya perawatan
dan pengobatan pasien selama di Rumah Sakit maka euthanasia bisa dilakukan.
Tetapi harus dengan pertimbangan dan persetujuan berbagai pihak agar tidak
38.
Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013 39.
Krido S. Sakali, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober 2013
62
bertentangan dengan peraturan lain.40
Euthanasia dapat dilakukan demi
kepentingan pasien itu sendiri juga harus berdasarkan pertimbangan pasien,
keluarga pasien dan juga tenaga medis yang merawat pasien tersebut disesuaikan
dengan prosedur yang legal agar euthanasia tidak disalah gunakan oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab.41
Walaupun hak hidup dan hak atas tubuhnya merupakan hak individu itu
sendiri tetapi tidak seharusnya disalahgunakan oleh orang yang bersangkutan
untuk mengajukan permohonan euthanasia dengan alasan untuk mengakhiri
penderitaan yang sedang dialami.42
Karena dalam Undang-Undang HAM tidak
mengatur tentang hak untuk mati seperti dengan melakukan euthanasia.
4.3 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Filosofis
Dasar filosofis negara Indonesia adalah Pancasila yang terdiri dari 5 sila
yang dijadikan pedoman bagi ketetapan peraturan seperti halnya KUHP.
Permasalahan euthanasia berhubungan erat dengan kebebasan manusia untuk
menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati) demi
mengakhiri penderitaan disebabkan oleh sakit yang dideritanya. Jika euthanasia
diizinkan maka cara ini bisa disalahgunakan demi kepentingan pribadi beberapa
pihak juga bisa dipakai terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain
yang dianggap tidak berguna lagi sedangkan di dalam Pancasila kita harus
menghormati kehidupan manusia begitu pula yang diatur dalam Undang-Undang
40.
Amirudin Kaso, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober 2013 41.
Sudiar Pagau, Sarjana Hukum, Wawancara, 26 September 2013 42.
Rajab, Jaksa, Wawancara, 25 Oktober 2013
63
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sebagai sesama manusia kita seharusnya
tidak mengorbankan hidup manusia lain untuk suatu tujuan tertentu. Kehidupan
manusia adalah absolut dan merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh setiap
orang, oleh karena itu harus dihormati.
Euthanasia bukan merupakan nilai esensi dari negara Indonesia karena nilai
bangsa Indonesia tidak mengajarkan bahwa meninggal itu bisa dengan bantuan
dari orang lain tidak terkecuali oleh bantuan dokter. Seseorang seharusnya
meninggal secara alamiah atau sesuai dengan kehendak Allah SWT. Tidak seperti
di Negara Belanda atau Amerika yang telah melegalkan euthanasia. Maka bisa
dikatakan bahwa euthanasia tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
dijunjung tinggi dan dijadikan landasan filosofis negara Indonesia.43
Euthanasia bertentangan dengan nilai-nilai dalam Pancasila sebagai
landasan filosofis negara dan Undang-Undang Dasar tahun 1945.44
Bertentangan
dengan Pancasila artinya tidak sesuai dengan sila-sila yang ada terutama sila ke-1
yaitu ketuhanan Yang Maha Esa dan sila ke-2 yaitu kemanusiaan yang adil dan
beradab. Sila ke-1 apabila dikaitkan dengan euthanasia maka artinya adalah Tuhan
sebagai dzat yang menentukan hidup dan mati seseorang. Jika seseorang
mengajukan permohonan euthanasia untuk mengakhiri penderitannya maka telah
mendahului ketetapan yang sudah ditentukan oleh Allah SWT. Sila ke-2 artinya
setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang harus dengan mempertimbangkan
perasaan orang lain dan melihat hak-hak yang melekat pada diri seseorang sesuai
dengan hak-hak yang terdapat pada Undang-Undang HAM. Euthanasia jelas tidak
43.
Zamroni Abdussamad, Dosen Ilmu Hukum, Wawancara, 21 Oktober 2013 44.
Rajab, Jaksa, Wawancara, 25 Oktober 2013
64
sesuai dengan makna dari sila ke-2 ini karena euthanasia bertujuan untuk
mengakhiri hidup seseorang yang menurut pandapat sebagian besar masyarakat
sangat tidak beradab walaupun pengakhiran hidup tersebut berdasarkan pada
permintaan pasien itu sendiri atau oleh keluarga pasien. Euthanasia juga tidak
sesuai dengan norma-norma yang ada di dalam masyarakat Indonesia baik itu
norma agama, norma adat maupun norma hukum.
Euthanasia akan sulit jika diterapkan di Indonesia karena bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar
filosofis negara Indonesia sesuai dengan sila-sila Pancasila.45
Sehingga Zamroni
Abdussamad tidak setuju dengan euthanasia karena tidak sesuai dengan filosofis
negara indonesia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan juga melanggar
nilai-nilai asasi HAM pada Undang-Undang HAM yaitu hak untuk hidup. Selain
bertentangan dengan Undang-Undang Hidup 1945 euthanasia juga tidak sesuai
dengan nilai keadilan sehingga euthanasia tidak dibenarkan baik dalam Undang-
Undang Dasar 1945, peraturan perundang-undangan lain juga dalam Kode Etik
Kedokteran.46
Dapat disimpulkan bahwa euthanasia sangat bertentangan dengan filosofis
negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan juga tidak
sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat yaitu norma agama, norma adat
dan norma hukum. Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung
euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien untuk mati yang
sudah dianggap sebagai hak asasi yang dimiliki setiap manusia sama halnya
45.
Zamroni Abdussamad, Dosen Ilmu Hukum, Wawancara, 21 Oktober 2013 46.
Amin Umar, Sarjana Hukum, Wawancara, 4 Desember 2013
65
dengan hak hidup seseorang. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai pada
akhir hidupnya maka berhak meminta untuk mengajukan permohonan euthanasia
agar penderitaannya segera diakhiri. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan
orang lain hanya sekedar mempercepat kematiannya tanpa penderitaan yang tidak
perlu.
Eutahanasia bisa diterapkan di Indonesia dengan syarat harus dilakukan
kajian atau pertimbangan-pertimbangan hukum dengan melahirkan suatu regulasi
bahwa hal tersebut dilegalkan dengan cara lebih banyak mensosialisasikan
terhadap euthanasia dimasyarakat, membuat kajian-kajian dengan para pihak yang
terkait terutama masyarakat agar nantinya regulasi yang lahir tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta realita
dimasyarakat juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.47
Kesimpulannya, euthanasia sulit untuk diterapkan di Indonesia
selain menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan Pancasila, sistem
hukum di Indonesia juga berbeda dengan sistem hukum di negara-negara lain
yang telah melegalkan euthanasia salah satunya seperti negara Amerika. Sistem
hukum di Indonesia mengharuskan para hakim selaku aparat hukum yang
berperan penting dalam memutuskan suatu perkara di persidangan dimana
keputusan tersebut didasari pada peraturan-peraturan yang ada.
47.
Amirudin Kaso, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober 2013
66
4.4 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif HAM
Euthanasia dalam perspektif HAM merupakan pelanggaran karena
menyangkut hak hidup dari pasien yang harus dilindungi. Dilihat dari segi
perundang-undangan belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang
euthanasia. Adapun pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum pada
euthanasia adalah apa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang
menyangkut jiwa manusia. Pasal yang paling mendekati dengan masalah adalah
Pasal 344 KUHP juga pasal lain yang menyangkut jiwa manusia seperti pada
Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340 dan Pasal 359,
Hak asasi manusia harus dilindungi oleh negara baik itu hak hidup, hak
kebebasan dan hak-hak lain yang diakui, dihormati dan dijunjung tinggi oleh
negara hukum. Tindakan euthanasia adalah perbuatan melanggar hak asasi
manusia terutama hak hidup seseorang yang merupakan hak dasar dan mutlak
yang dimiliki oleh setiap orang. Selain melanggar hak hidup euthanasia juga
melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu pada Pasal
28A bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya, dan pada Pasal 28I ayat (1) bahwa hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Euthanasia juga
67
melanggar ketentuan dalam KUHP Pasal 344 dan melangkahi wewenang Yang
Maha Kuasa.
Euthanasia selain melanggar HAM juga melanggar Kode Etik Kedokteran
dan Undang-Undang Kesehatan walaupun dari segi medis hidup pasien tersebut
sudah tidak bisa tertolong lagi tetapi sebaiknya dilakukan upaya lain seperti
memberikan morfin atau obat penghilang rasa nyeri atau memberikan semangat
kepada pasien agar tidak putus asa dengan mengambil keputusan untuk
euthanasia.48
Berdasarkan Pasal 7c dalam Kode Etik Kedokteran yaitu dokter
harus menghormati hak-hak pasien dimana hak pasien itu antara lain hak hidup
dan hak atas tubuhnya sendiri. Hak hidup dan hak atas tubuhnya sendiri pada
Pasal 7c bukan termasuk hak untuk mati dengan cara dieuthanasia tetapi hak yang
dimaksud dalam pasal ini adalah persepektif pelayanan dokter terhadap pasien
dengan menghormati hak-hak pasien tersebut seperti hak hidup dan hak atas
tubuhnya sendiri. Pasal 7c ini untuk mencegah dokter melakukan tindakan
semena-mena terhadap pasien atau bahkan memberikan pelayanan yang tidak
sesuai dengan prosedur. Bukan berarti apabila seorang pasien meminta untuk
dieuthanasia maka dokter akan mengabulkan permohonan tersebut.
Euthanasia bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang HAM.49
Jika permohonanya dikabulkan maka akan
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang HAM karena
negara Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia termasuk hak hidup seseorang. Undang-Undang HAM tidak memberikan
48.
Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013 49.
Krido S. Sakali, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober 2013
68
ruang untuk melakukan euthanasia karena bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang HAM itu sendiri.50
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa euthanasia merupakan
tindakan yang keliru untuk dilakukan oleh seseorang walaupun dengan alasan
untuk mengakhiri penderitaan yang dialami karena masih bisa diatasi dengan
upaya lain tanpa harus melakukan euthanasia atau suntik mati. Perlu diingat
bahwa di dalam Undang-Undang HAM tidak mengatur mengenai hak untuk mati.
Maka dari itu tindakan euthanasia adalah sebuah tindakan yang bertentangan dan
melanggar ketentuan Undang-Undang HAM.
Dalam dunia medis yang serba canggih ternyata masih memerlukan tuntutan
etika, moral, dan hukum dalam pelaksanaannya. Hal ini erat sekali kaitannya
dengan penerapan hak asasi manusia pada praktek kedokteran. Begitu juga hak-
hak yang dimiliki oleh pasien maupun dokter dalam kaitannya dengan euthanasia
karena biasanya dalam prakteknya pasien itu sendiri yang meminta untuk
dieuthanasia, disebabkan oleh keadaan pasien yang sekarat dan juga didukung
dengan keterangan medis dari pihak dokter yang menyatakan bahwa pasien sudah
tidak dapat sembuh dan kasus seperti ini bisa dikaitkan dengan hak untuk
menentukan nasib sendiri. Masalah euthanasia yang kemudian dikaitkan dengan
hak untuk menentukan nasib sendiri kemudian juga menjadi problematika
tersendiri dalam hal pelanggaran hak asasi manusia atau tidak. Hak untuk
50.
Rajab, Jaksa, Wawancara, 25 Oktober 2013
69
menentukan nasib diatur secara khusus dalam instrumen Hukum Hak Asasi
Manusia dalam ICCPR antara lain51
:
1) Pasal 1 : “Setiap orang mempunyai hak menentukan nasib sendiri”
2) Pasal 9 : “Setiap orang mempunyai kebebasan dan keamanan dirinya”
3) Pasal 17 : “Tak seorangpun boleh dilecehkan kepasiniannya (privacynya)
atau kerahasiaan surat-menyuratnya”
4) Pasal 18 : “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan suara dan kata
hatinya...”
Hak menentukan nasib sendiri merupakan hak-hak dasar yang dimiliki oleh
seseorang dan jika dikaitkan dengan euthanasia maka ketika seorang pasien pada
akhirnya memutuskan untuk meminta mengakhiri kehidupannya dengan cara
euthanasia kemudian didasarkan pada hak dari pasien tersebut untuk menentukan
hidupnya sendiri. Sedangkan hak hidup seseorang yang terdapat pada ICCPR
sebagai berikut52
:
1) Pasal 3 : “Setiap orang mempunyai hak atas kehidupan, kebebasan dan
keamanan dirinya.”
2) Pasal 6 : “ Setiap orang mempunyai hak untuk hidup... Tak seorangpun
boleh dirampas nyawanya dengan semena-mena”
3) Pasal 7 : “Tak seorangpun boleh disiksa dan dianiaya atau diperlakukan
dengan bengis, tak berperikemanusiaan dan diperkosa hak-hak
asasinya..., khususnya tanpa persetujuannya tak seorang pun
51.
Lisnawaty Badu, “Perlindungan Terhadap Hak Hidup Pasien dalam Kasus Euthanasia Ditinjau
Dari Perspektif HAM” (Tesis pascasarjana tidak diterbitkan, Ilmu Hukum Universitas Sam
Ratulangi Manado), hlm. 37-38 52.
Ibid, hlm.37
70
boleh diobati dan dirawat atau diikutsertakan dalam eksperimen
medik”
Pasal-pasal diatas pada prinsipnya mengemukakan hak-hak dasar dari
manusia yang tidak bisa dilecehkan dan harus dijunjung tinggi oleh manusia lain
karena merupakan hak mutlak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan oleh siapapun. Seorang pasien yang sekarat mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya sendiri, ia juga mempunyai hak kebebasan dan rasa aman
dan nyaman terhadap dirinya. Euthanasia dipandang dari sudut HAM mungkin
dianggap telah melanggar akan hak hidup, namun seorang pasien juga manusia
yang mempunyai hak sendiri atas apa yang akan terjadi pada kehidupannya.
Pasien tersebut mempunyai hak untuk menentukan nasib hidupnya sendiri.
Keputusan untuk melakukan euthanasia merupakan hak dari pasien tersebut untuk
meminta sesuatu terhadapa keadaan dirinya dan terhadap kehidupannya.