Upload
phamkien
View
270
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
103
BAB IV
GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN
Dalam bagian ini diuraikan profil Kota Denpasar, yaitu meliputi lokasi
geografi, demografi, ekonomi dan pariwisata, politik dan pemerintahan, serta
sosial dan budaya. Pada bagian ini juga diuraikan tentang gambaran umum
sekolah dasar di Kota Denpasar yang meliputi sebaran dan lokasi, keadaan siswa
dan guru, serta kurikulum bahasa Inggris dan sejarah pengajaran bahasa Inggris.
Deskripsi ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang berbagai hal yang
mendasari perkembangan pembangunan di Kota Denpasar pada umumnya dan
tentang pembelajaran bahasa Inggris di SD pada khususnya.
4. 1 Profil Kota Denpasar
Denpasar pada mulanya merupakan pusat Kerajaan Badung. Akhirnya,
tetap menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, bahkan
mulai tahun 1958 Denpasar dijadikan pusat pemerintahan Provinsi Daerah
Tingkat I Bali. Dengan dijadikan Denpasar sebagai pusat pemerintahan Tingkat II
Badung maupun Tingkat I Bali, kota ini mengalami pertumbuhan yang sangat
cepat, baik dalam hal fisik, ekonomi, maupun sosial budaya. Keadaan fisik Kota
Denpasar dan sekitarnya sedemikian maju dan pola kehidupan masyarakatnya
telah banyak menunjukkan ciri-ciri dan sifat perkotaan. Denpasar menjadi pusat
pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pendidikan, pusat industri dan pusat
pariwisata. Denpasar terdiri atas empat kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar
Barat, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Utara.
103
104
Seperti halnya kota-kota lainnya di Indonesia, Kota Denpasar mengalami
pertumbuhan dan perkembangan penduduk serta lajunya pembangunan di segala
bidang terus meningkat sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap kota itu sendiri. Demikian pula Kota Denpasar yang merupakan ibu kota
Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan sekaligus merupakan ibu kota Provinsi
Daerah Tingkat I Bali, yakni mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Kota Denpasar menerima warisan dari kabupaten Badung, yakni sebagai
daerah hunian wisata, yang mewilayahi daerah hunian wisata utama di kawasan
Sanur. Dari sisi utara Sanur dengan The Grand Bali Beach hingga Sanur Beach
Hotel di sisi selatan Sanur dipadati oleh hotel, restoran, dan berbagai sarana
penunjang wisata lainnya. Selanjutnya menyikapi perkembangan Denpasar agar
tidak liar tanpa kendali, maka memasuki milenium ketiga, Pemerintah Kota
Denpasar menetapkan rambu-rambu bahwa kota Denpasar sebagai kota budaya.
Adapun tempat wisata yang ada di Kota Denpasar, seperti: Patung Catur Muka,
Monumen Puputan Badung, Art Centre, Museum Bali, Pura Agung Jagatnatha,
Pura Pengerebongan, Taman Festival Bali, Pura Sakenan, Benoa, Pantai Sanur,
Blanjong Prasasti, Arca Ganesha, Monumen Padanggalak, Pasar Badung, dan
Musium Le Mayeur. Kawasan tempat wisata tersebut ditata agar lebih pantas
menyandang predikat kota budaya. Paket city tour pun dikemas sebagai rambu-
rambu pendukung untuk menjaga kualitas ruang-ruang tersebut.
4.1.1 Lokasi dan Geografi
Kota Denpasar, selain merupakan ibu kota daerah tingkat II, juga
merupakan ibu kota Provinsi Bali dan sekaligus sebagai pusat pemerintahan,
105
pendidikan, serta perekonomian. Letak yang sangat strategis ini sangatlah
menguntungkan, baik dari segi pusat pendidikan, ekonomi, maupun
kepariwisataan karena merupakan titik sentral berbagai kegiatan sekaligus sebagai
penghubung dengan kabupaten lainnya. Kota Denpasar berada di antara 08° 35″
31”-08° 44″ 49′ Lintang Selatan dan 115° 10″ 23′-115° 16″ 27′ Bujur Timur,
yakni berbatasan dengan: di sebelah utara Kabupaten Badung, di sebelah timur
Kabupaten Gianyar, di sebelah selatan Selat Badung; dan di sebelah barat
Kabupaten Badung. Luas seluruh Kota Denpasar adalah 12.778 Ha, termasuk
tambahan dari reklamasi pantai serangan seluas 380 Ha.
Tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 8,09 %, sedangkan sensus
Penduduk 2000 menunjukkan pertumbuhan dengan rata-rata sebesar 3,01 %. Hal
ini disebabkan program keluarga berencana yang ada di Kota Denpasar dapat
dilaksanakan dengan baik. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk ini
disebabkan oleh faktor urbanisasi yang sangat dominan, yakni dengan alasan
pokok mencari pekerjaan. Secara regional penyebab banyaknya penduduk yang
masuk ke Kota Denpasar karena Denpasar merupakan ibu kota provinsi. Hampir
semua kegiatan ekonomi ataupun pendidikan terfokus di kota ini. Selama tahun
2008, pertambahan penduduk sebesar 477.199 orang, semula 65.159 orang pada
tahun 2007 menjadi 642.358 orang pada tahun 2008. Apabila dilihat dari jumlah
penduduk dan tingkat migrasinya, Denpasar tergolong kota besar. Namun, dari
segi luas wilayahnya Denpasar tidak dapat dikategorikan sebagai kota besar.
Malahan di antara sembilan kabupaten/kota di Bali, luas wilayah Kota Denpasar
adalah yang paling sempit/kecil. Walaupun demikian, Denpasar sebagai ibu kota
106
Provinsi Bali, pusat pemerintahan, pusat perdagangan, dan pusat pariwisata telah
menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Sebagai kota yang
tumbuh sangat pesat, tentu bukan sesuatu yang ganjil jika Denpasar berkembang
menjadi kota urban. Pertumbuhan ini selain mengucurkan rezeki bagi warganya,
juga memberikan dilema-dilema sosial. Denpasar adalah tempat yang cukup
menjanjikan kesuksesan. Konsekuensi dari keadaan ini adalah tingginya arus
urbanisasi, yakni dengan persentase terbesar datang dari urbanisasi penduduk
yang tidak terencana dan terkendali. Mereka umumnya bekerja pada sektor
informal, tanpa keterampilan, dan tidak bermodal. Akibatnya, mereka sangat
rentan terhadap krisis ekonomi, mempercepat jumlah pengangguran sehingga
Denpasar semakin heterogen dan terasa semakin sempit.
4.1.2 Demografi
Menurut registrasi jumlah penduduk sampai akhir Tahun 2008 adalah
642.358 orang. Hal ini disebabkan program keluarga berencana yang ada di Kota
Denpasar dapat dilaksanakan dengan baik. Tingginya tingkat pertumbuhan
penduduk ini disebabkan oleh faktor migrasi yang sangat dominan, yakni dengan
alasan pokok mencari pekerjaan. Secara regional penyebab banyaknya penduduk
masuk ke Kota Denpasar karena kota ini merupakan kota provinsi, di samping
hampir semua kegiatan ekonomi maupun pendidikan terpusat di daerah ini.
Selama tahun 2008 pertambahan penduduk Kota Denpasar sebesar 477.199 orang.
Pertumbuhan penduduk tersebut hanya sebagian kecil disebabkan oleh
pertumbuhan alami, tetapi lebih banyak karena mutasi penduduk, baik dari
107
kabupaten di Bali maupun dari luar Bali. Hal ini menyebabkan kepadatan
penduduk yang makin meningkat, seperti dirinci pada Table 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk di Kota Denpasar
N0 Kecamatan Jumlah
Penduduk(Jiwa)
Jumlah
Rumah
Tangga
Sex Ratio Kepadatan
(Jiwa/Km2)
1 Denpasar Selatan 163.830 48.828 109 6.016
2. Denpasar Timur 127.299 29.911 109 3.961
3. Denpasar Barat 186.346 37.849 110 2.446
4. Denpasar Utara 164.940 42.254 108 3.336
Kota Denpasar 642.415 158.842 109 3.604
Sumber : Dinas Pendidikan Kota Denpasar 2008
Gambaran ketenagakerjaan di Kota Denpasar dapat ditunjukkan oleh
tingkat partisipasi, komposisi, dan persebaran angkatan kerja. Aspek
ketenagakerjaan yang disajikan meliputi komposisi angkatan kerja, lapangan
pekerjaan, jenis pekerjaan, status pekerjaan, dan jumlah jam kerja. Dalam hal ini
penduduk usia kerja diklarifikasikan dari umur sepuluh tahun ke atas, yaitu
mereka yang secara potensial dapat memproduksikan barang dan jasa. Angkatan
kerja seluruhnya yang terserap 282.955 orang, sedangkan yang masih berstatus
sebagai pengangguran 8.641 orang. Tingkat partisipasi angkatan kerja penduduk
Kota Denpasar mencapai angka 72,90 %. Dengan kata lain masih terdapat 2,96 %
penduduk usia kerja yang berstatus sebagai pengangguran. Penyebaran tenaga
kerja tersebut terdiri atas sektor pertanian 11.129 orang, industri pengolahan
108
14.350 orang , perdagangan 63.010 orang, angkutan 7.355 orang, jasa 134.272
orang dan lain-lain 52.839 orang.
4.1.3 Ekonomi dan Pariwisata Budaya
Lebih dari 37% penduduk Kota Denpasar bekerja pada bidang
perdagangan, perhotelan, atau industri rumah makan. Dari data tahun 2001,
kontribusi yang cukup signifikan membangun perekonomian Kota Denpasar
adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran (34,36%), kemudian diikuti oleh
sektor keuangan (15,19%), sektor pengangkutan dan komunikasi (13,66%), sektor
industri pengolahan (12,24%), sedangkan sektor lainnya (24,55%), yaitu meliputi
sektor pertambangan, jasa, pertanian, bangunan, listrik, dan gas rata-rata 5-6%.
Pada tahun 2000, jumlah wisatawan mancanegara yang datang berkunjung
mencapai 1.413.513 pada Pelabuhan Benoa dan Bandara Internasional Ngurah
Rai. Sekitar Juli dan Agustus merupakan bulan sibuk, sementara Desember dan
Januari merupakan bulan sepi. Kunjungan ke Bali menunjukkan peningkatan yang
kuat pada kurun waktu 1997 -1998 ketika masalah dalam negeri dan krisis
melanda Asia pada umumnya. Keamanan wilayah Bali merupakan daya tarik bagi
wisatawan untuk berkunjung.
Pembangunan Kota Denpasar diarahkan untuk tetap mempertahankan
tingkat laju pertumbuhan perekonomian yang tinggi serta meningkatkan
pemerataan dengan struktur perekonomian yang mantap. Peranan sektor-sektor
lain, seperti: pariwisata, seni dan budaya, serta pendidikan sangat menunjang laju
pertumbuhan pembangunan di Kota Denpasar, apalagi kota ini mencanangkan diri
109
sebagai kota berwawasan budaya. Dengan sendirinya peningkatan dan pelestarian
budaya perlu dipertahankan.
Kota Denpasar merupakan daerah yang memiliki potensi yang cukup
tinggi di bidang kepariwisataan karena didukung oleh kondisi alam, kondisi sosial
budaya, serta dunia usaha. Dalam pengembangan pembangunan kepariwisataan di
Kota Denpasar masih terdapat beberapa kendala, seperti: masalah kemacetan lalu
lintas, kependudukan, kebersihan, dan ketertiban umum. Pada jam tertentu sering
terjadi kemacetan, terutama pada ruas jalan yang menjadi pusat pendidikan. Di
samping itu, belum terkelolanya secara baik sebagian objek wisata dan dukungan
kekhasan daerah sebagai daya tarik wisatawan. Walaupun demikian,
pembangunan kepariwisataan merupakan hal yang mendapat perhatian dan
disiasati agar pembangunan kepariwisataan Kota Denpasar yang merupakan
sektor andalan dan unggulan mampu mewujudkan pariwisata peduli rakyat.
Wawasan budaya menempatkan kebudayaan dalam kategori dasar atau
asasi, yaitu berfungsi sebagai potensi dasar, cara/pendekatan, di samping sebagai
tujuan. Sebagai potensi dasar unsur-unsur kebudayaan Bali bersifat khas, unggul,
dan menyiratkan nilai-nilai luhur yang sangat perlu dikedepankan. Unsur-unsur
tersebut mencakup: pura, puri, arsitektur Bali, kesenian daerah, upacara, hukum
adat, konsepsi-konsepsi budaya, serta unsur-unsur yang lainnya.
Selanjutnya, sebagai cara atau pendekatan, terkristalisasi bahwa hakikat
pendekatan kebudayaan mengutamakan hal-hal yang prinsipil, seperti
menghormati kebersamaan, menghargai segala bentuk pendapat. Secara singkat
cara atau pendekatan yang dimaksud harus mengutamakan subjektivitas,
110
partisipatif, objektivitas, serta dilandasi kearifan, moral, dan etika secara
manusiawi.
Sebagai tujuan pembangunan kepariwisataan, orientasi diarahkan pada
kesejahteraan yang seimbang dan serasi sesuai dengan amanat Tri hita Karana,
yaitu keserasian hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan lingkungannya. Pembangunan Denpasar yang berwawasan
budaya yang dilandasi Tri hita Karana menghadapi berbagai hambatan, di
antaranya kesemerawutan tata ruang dengan kecenderungan ketersesakan yang
makin tinggi sehingga menimbulkan tekanan ekologis yang berat terhadap
kehidupan manusia, masyarakat, dan kebudayaan serta kondisi kehidupan warga
kota yang heterogen dan kompleks, baik mengenai kepadatan demografis maupun
keberagaman etnis, ras, dan agama.
Dengan pulihnya perekonomian dunia sudah tentu kehidupan pariwisata
Bali akan semakin baik. Wisatawan mancanegara akan semakin banyak datang ke
Bali karena Bali memiliki daya tarik yang luar biasa dan diakui dunia.
Kebudayaan daerah Bali merupakan modal dasar pembangunan yang melandasi
pembangunan yang dilaksanakan. Warisan budaya yang bernilai luhur merupakan
dasar dalam rangka pengembangan pariwisata budaya yang dijiwai oleh agama
Hindu.
4.1.4 Sosial dan Budaya
Kebijakan pembangunan bidang sosial dan budaya yang dilakukan oleh
pemerintah kota, yakni meliputi bidang agana dan kepercayaan terhadapTuhan
Yang Maha Esa. Adapun kebijakan di bidang sosial budaya yang sedang
111
dilakukan adalah; (1) meningkatkan pengamalan ajaran agama sebagai landasan
moral etik dalam kehidupan bermasyarakat; (2) pembinaan kehidupan beragama
diarahkan untuk menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana kondusif
melalui tri kerukunan umat beragama; (3) meningkatkan sarana dan prasarana
kehidupan beragama sesuai dengan kebutuhan dengan mengikut- sertakan
masyarakat; (4) pembinaan dan pemahaman penganut kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa agar tidak mengarah pada pembentukan agama; (5)
menggali, mengembangkan, dan melestarikan nilai-nilai budaya dan kesenian
daerah Bali untuk memperkaya keanekaragaman budaya bangsa yang didukung
oleh iklim, sarana, dan prasarana yang memadai; (6) meningkatkan peranan
lembaga adat dan lembaga-lembaga tradisional lainnya sebagai perwujudan
pemberdayaan masyarakat; dan (7) meningkatkan mutu sumber daya manusia dan
lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang
memberikan prioritas pada upaya promotif dan preventif dengan tidak
meninggalkan upaya kuratif dan rehabilitatif.
4.1.5 Politik dan Pemerintahan
Secara administratif Kota Denpasar terbagi menjadi empat wilayah
kecamatan, yakni meliputi Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar
Selatan, dan Denpasar Utara. Wilayah Kecamatan dibagi menjadi beberapa
desa/kelurahan, masing-masing terdiri atas beberapa dusun/lingkungan. Di
samping desa dinas juga terdapat desa adat yang masing-masing terdiri atas
beberapa banjar adat. Dalam hal ini antara desa dinas dan desa adat tidak terjadi
tumpang tindih, justru sebaliknya terdapat keserasian dan kerja sama yang saling
112
mendukung. Selanjutnya, jumlah kelurahan/dinas dan banjar di Kota Denpasar
seperti terlihat pada Tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2
Jumlah Kelurahan/Dinas dan Banjar di Kota Denpasar
No Kecamatan Ibu Kota Kel.
Desa Banjar
Dinas Adat Dinas Adat
1 Denpasar Barat Pemecutan Kaja 3 8 2 103 55
2 Denpasar Utara Peguyangan 3 8 10 98 101
3 Denpasar Timur Kesiman 4 7 12 85 98
4 Denpasar Selatan Sesetan 6 4 11 103 87
Kota Denpasar 16 27 35 389 341
Sumber : Pemerintah Kota Denpasar 2008
Dari 16 kelurahan dan 27 desa yang ada di Kota Denpasar, semuanya
sudah termasuk kategori desa/kelurahan swasembada.
Adapun kebijakan pembangunan Kota Denpasar dalam lima tahun ke
depan diarahkan untuk mewujudkan pembangunan Kota Denpasar yang
berwawasan budaya yang dijiwai agama Hindu dan dilandasi Tri hita Karana.
Prioritas pembangunan diletakkan pada sektor budaya, pariwisata, perdagangan,
jasa, industry, dan sektor pertanian sebagai sektor unggulan, di samping
mendorong sektor pelayanan dasar, pengembangan, dan pemberdayaan ekonomi
lokal dengan pembenahan kelembagaan secara menyeluruh melalui sistem
ekonomi kerakyatan. Landasan kebijakan adalah pernyataan visi yang tetap
113
bertumpu pada tiga pilar utama, yaitu; (a) pemerataan pembangunan, (b) stabilitas
daerah/nasional yang sehat dan dinamis, dan (c) Supremasi hukum. Ketiga pilar
tesebut saling terkait dan dikembangkan secara selaras, terpadu, dan saling
memperkuat.
Sejalan dengan prioritas pembangunan Kota Denpasar, kebijakan
pengembangan diarahkan pada sektor kebudayaan sebagai landasan pembangunan
dalam rangka mewujudkan jati diri Kota Denpasar. Sektor pariwisata sebagai
tulang punggung pembangunan diharapkan dapat menggerakkan sektor-sektor
lainnya dalam menunjang pembangunan Kota Denpasar. Sektor perdagangan,
hotel, dan restoran dikembangkan untuk mendukung pengembangan sektor
industri, pariwisata, dan pertanian. Sektor jasa dikembangkan untuk mendukung
pelayanan masyarakat, sektor perdagangan, pariwisata, dan pertanian. Sektor
industri didorong untuk pengembangan ekonomi kerakyatan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sektor pertanian diarahkan untuk
pengembangan pertanian pedesaan dan menjaga ekosistem perkotaan. Sektor lain
dikembangkan untuk mendukung pembangunan sektor-sektor strategis di atas.
Adapun kebijakan pembangunan yang telah dan akan dilaksanakan
adalah sebagai berikut; (1) Peningkatan keterampilan dan keahlian,
pengembangan potensi/bakat aparat, peningkatan motivasi dan kepribadian
pekerja aparat, serta penyempurnaan sistem insentif dan disinsentif untuk
mendorong kinerja aparatur pemerintahan. (2) Melakukan reorganisasi dan
restrukturisasi kelembagaan agar pelayanan kepada masyarakat dapat diberikan
secara efisien dan optimal, di samping pembenahan sistem menejemen
114
pemerintahan menuju sistem yang transparan, responsif, efisien, dan efektif. (3)
Meningkatkan kemampuan aparatur melalui berbagai bentuk pendidikan dan
pelatihan sehingga secara terstruktur didapatkan sumber daya manusia yang
profesional dan bertanggung jawab.
4.2 Sekolah Dasar di Kota Denpasar
Kota Denpasar sebagai kota provinsi sudah tentu merupakan pusat
kegiatan pendidikan dari jenjang taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Saat ini terdapat 183 buah sekolah TK dengan 675 guru dan 11.485 murid; 218
SD, dengan 2.765 guru dan 70.785 murid, 48 SLTP swasta atau negeri, dengan
2.104 guru, dan 25.384 murid; 50 buah SMTA negeri atau swasta dengan 2.466
guru dan menampung 27.475 murid (Disdikpora Kota Denpasar). Namun untuk
tingkat pendidikan tinggi yang meliputi universitas, sekolah tinggi, institut serta
akademi terdapat sebanyak 32 buah, baik berstatus negeri maupun swasta.
Pemerintah kota telah mengupayakan perluasan jaringan dan pemerataan
memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi melalui peningkatan manajemen,
mutu, dan akses pendidikan. Hal penting yang sudah dilakukan adalah
memberdayakan lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan
kemampuan, di samping meningkatkan partisipasi masyarakat. Kota Denpasar
sebagai kota provinsi dan pusat pendidikan serta mempunyai jumlah penduduk
terpadat dibandingkan dengan daerah kabupaten lainnya, tidaklah mengherankan
kalau sekolah yang ada dari tingkatan TK sampai tingkat SMA selalu menjadi
rebutan sebagai sekolah pilihan. Sebagai kota yang penduduknya heterogen, sudah
tentu terdapat berbagai latar belakang siswa-siswi dari berbagai suku dan etnis
115
yang berbeda-beda. Kondisi ini harus dipertahankan oleh para pendidik dan
pemerintah dalam rangka menjadikan Kota Denpasar sebagai pusat pendidikan
yang multikultural.
Dalam konteks Kota Denpasar, yang dikenal dengan muatan yang sarat
kemajemukan, pendidikan multikultural menjadi sangat strategis dan harus
dikelola secara kreatif sehingga konflik dapat dihindari. Di sisi lain, terdapat 218
buah sekolah dasar negeri dan swasta yang tersebar di empat kecamatan, yaitu
Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Utara, Kecamatan Denpasar
Barat dan Kecamatan Denpasar Selatan. Adapun Jumlah SD yang ada di Kota
Denpasar adalah seperti tersaji pada Tabel 4.3 di bawah ini.
Tabel 4.3
Jumlah dan Jenis Sekolah Dasar di Kota Denpasar
Kecamatan Negeri Swasta
Kecamatan Denpasar Timur 37 12
Kecamatan Denpasar Utara 46 11
Kecamatan Denpasar Barat 44 10
Kecamatan Denpasar Selatan 45 13
Jumlah 172 46
Sumber : Pemerintah Kota Denpasar 2008
4.2.1 Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini hanya delapan sekolah yang dipilih secara purposive
sampling (sampel bertujuan). Berdasarkan teknik pengambilan sampel ini, maka
tempat pelaksanaan penelitian terdiri atas satu SD negeri dan satu SD swasta dari
116
masing-masing kecamatan. Sebaran dan lokasi sekolah tersebut adalah seperti
terlihat pada Tabel 4.4 berikut ini.
Tabel 4.4
Sekolah Dasar Negeri dan Swasta Tempat Penelitian
N
o
Kecamatan SD Negeri Alamat SD Swasta Alamat
1 Denpasar
Timur
SD 1
Sumerta
Jln.Pucuk No
1 Denpasar
SD Saraswati 5
Denpasar
Jln.
W.R.Supratman
N0. 239 Denpasar
2 Denpasar
Utara
SD 31
Dangin Puri
Jln. Mawar
No. 8
Denpasar
SD Saraswati 1
Denpasar
Jln. Gadung No.28
Denpasar
3 Denpasar
Barat
SD 8 Dauh
Puri
Jln.PB
Sudirman No.
16 Denpasar
SD Santo Yoseph
1 Denpasar
Jln. Serma Kawi
No. 2 Denpasar
4 Denpasar
Selatan
SD 1
Sesetan
Jln. Pulau
Saelus No. I/A
Sesetan
SD Kristen
Harapan
Jln. Raya Sesetan
No. 62 Denpasar
Adapun penetapan SD tersebut sebagai tempat penelitian ini didasarkan
atas pengamatan sebelumnya bahwa sekolah-sekolah itu telah memberikan
pelajaran bahasa Inggris sejak kebijakan pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris
untuk sekolah dasar diterapkan di Kota Denpasar. Selain itu, sekolah-sekolah
tersebut di atas memiliki keunggulan dalam berbagai prestasi, baik akademik
maupun non- akademik.
Secara umum fasilitas pembelajaran di SD itu, menurut pengamatan dan
informasi yang diperoleh, sudah memadai. Akan tetapi, sarana dan prasarana
pembelajaran bahasa Inggris masih menimbulkan kendala, seperti: pengadaan
guru bahasa Inggris, laboratorium bahasa dan buku paket untuk pembelajaran
bahasa Inggris. Dalam hal ini, memang ada sekolah swasta yang mempunyai
fasilitas pendidikan yang lebih lengkap seperti laboratorium bahasa. Sehubungan
dengan hal itu ada beberapa sekolah dasar negeri yang ditetapkan sebagai sekolah
117
rintisan pembelajaran bahasa Inggris yang memberikan bahasa Inggris dari kelas
satu SD. Pemberian pembelajaran bahasa Inggris mulai dari kelas satu sebenarnya
atas permintaan orangtua siswa lewat komite sekolah. Selain itu, sekolah juga
merasakan keuntungan dari pembelajaran bahasa Inggris ini sehingga menjadi
sekolah yang diminati oleh masyarakat. Oleh karena letaknya yang strategis dan
dengan fasilitas yang memadai hampir setiap tahun sekolah yang menjadi lokasi
penelitian ini selalu menjadi incaran bagi masyarakat untuk dapat memasukkan
putra-putrinya agar mendapat pendidikan yang berkualitas. Dalam hal ini ada
anggapan bahwa sekolah yang bisa memberikan pelajaran bahasa Inggris sejak
awal atau dari kelas satu merupakan sekolah bergengsi.
4.2.2 Siswa dan Guru
Peserta didik yang ada di sekolah negeri tampaknya memiliki tingkat
ekonomi yang bervariasi dibandingkan dengan siswa yang memilih sekolah
swasta. Secara umum mereka yang memilih sekolah negeri pada umumnya
mempunyai tingkat ekonomi yang lebih rendah daripada yang memilih sekolah
swasta. Perbedaan latar belakang ekonomi juga berpengaruh terhadap prestasi
belajar bahasa Inggris di SD. Keadaan ini tentunya menimbulkan masalah.
Namun, para siswa yang datang dari keluarga menengah ke atas, masalah
kesulitan berbahasa Inggris ini dapat diatasi dengan mudah. Mereka tinggal
menunjuk kursus bahasa Inggris mana saja yang mereka suka dan bisa mulai
belajar. Akan tetapi, bagaimana halnya dengan para siswa yang berasal dari
kalangan bawah? Hal ini tentu merupakan kesulitan tersendiri karena kadang-
118
kadang, apalagi untuk membayar uang kursus, untuk makan pun mereka masih
harus mencari uang selepas sekolah.
Latar belakang sosial ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap keberhasilan siswa dalam belajar bahasa Inggris. Secara umum prestasi
siswa negeri sangat bervariasi dibandingkan dengan prestasi sekolah swasta yang
secara umum berlatar belakang tingkat ekonomi kelas menengah ke atas.
Sekalipun keadaan siswa yang heterogen, mereka mempunyai semangat yang
sangat tinggi untuk belajar bahasa Inggris. Dari guru dan kepala sekolah diperoleh
informasi bahwa siswa sangat tertarik dengan bahasa Inggris karena mereka
mendapat semangat dari orangtuanya yang menganggap bahasa Inggris sangat
penting untuk dipelajari pada era sekarang ini, terlebih Bali sebagai daerah tujuan
wisata dunia.
Masalah tenaga pendidik yang mengasuh mata pelajaran bahasa Inggris di
sekolah yang menjadi lokasi penelitian merupakan kendala yang harus
diperhatikan oleh pemerintah, sekolah ,dan orangtua siswa. Sehubungan dengan
tenaga pengajar atau guru bahasa Inggris untuk sekolah dasar, sebagian besar
sudah berkualifikasi S1 bahasa Inggris. Akan tetapi, mereka merupakan guru yang
bukan dididik menjadi guru bahasa Inggris untuk pembelajar muda. Memang
jumlah guru bahasa Inggris di tingkat SMP dan SMA saja masih belum tentu
terpenuhi secara nasional. Oleh karena itu, tenaga pendidik bahasa Inggris di
sekolah dasar jelas belum dapat memenuhi persyaratan sebagai guru bahasa
Inggris untuk tingkat pemula. Tampaknya ada kesan bahwa pembelajaran bahasa
Inggris di SD sekadar gengsi (Septi, 1996). Oleh karena dengan memberikan
119
materi bahasa Inggris di SD itu, maka sudah dianggap mengikuti tuntutan zaman.
Namun perlu diingat bahwa mengajarkan ilmu pada anak usia dini sangat riskan
jika semua persyaratan yang mendasar tidak terpenuhi.
Mutu pendidikan sangat erat kaitannya dengan kualitas sumber daya
pendidik karena lulusan berkualitas akan dapat dihasilkan apabila tersedia tenaga
pendidik yang profesional. Pelajaran bahasa Inggris telah boleh diajarkan pada
tingkat sekolah dasar sejak tahun 1994 sebagai muatan lokal. Namun dalam
pelaksanaannya ternyata banyak mengalami kendala terutama yang berkaitan
dengan ketersediaan dan kemampuan tenaga pengajar, substansi atau materi
pelajaran, metodologi atau pendekatan dalam pembelajaran, sistem evaluasi, serta
sarana dan prasarana (Ngadiman, 2005).
Sistem perekrutan guru di SD menggunakan sistem guru kelas. Akibatnya
bahasa Inggris di SD diajarkan oleh guru kelas yang memiliki kapasitas atau
kemampuan bahasa Inggris yang terbatas, atau diajarkan oleh guru honorer.
Kedua model guru tersebut sama-sama memiliki kelemahan. Dalam hal ini guru
kelas karena memiliki beban mengajar yang cukup besar mengakibatkan
kemampuan bahasa Inggrisnya terbatas. Guru honorer bahasa Inggris memiliki
kemampuan mengajar bahasa Inggris lebih baik tetapi pada umumnya mengajar
lebih dari satu sekolah karena keterbatasan tenaga. Selain itu, pada umumnya
penghargaan terhadap guru honorer ini belum memadai karena kemampuan
sekolah yang terbatas.
Dalam kaitan ini, beberapa SD, terutama di kota-kota besar telah
mengajarkan bahasa Inggris kepada siswanya. Namun, banyak guru yang
120
ditugaskan mengajarkan bahasa Inggris bukanlah guru yang telah dipersiapkan,
tetapi guru yang "terpaksa" mengajar bahasa Inggris karena ditugaskan kepala
sekolah (Panjaitan, 2007.23). Di samping itu proses pengajaran bahasa Inggris
untuk anak-anak bukanlah hal yang mudah. Banyak tantangan yang harus
dipecahkan dan dihadapi dengan penuh kesabaran dan ketelatenan yang tinggi. Isu
yang sering muncul dalam pengajaran bahasa Inggris di SD adalah tentang
rendahnya rasa percaya diri (self-confidence) anak-anak karena mereka masih
merasa ada "jarak" dengan bahasa Inggris.
Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa pembelajaran dan
pemerolehan bahasa asing akan lebih baik apabila dilakukan sejak usia dini. Hasil
studi inilah yang telah mendorong berkembangnya pemikiran bahwa pengajaran
bahasa Inggris seyogianya sudah dilakukan pada satuan pendidikan SD. Di
samping itu, mainstream peradaban yang semakin mengglobal juga memberi
tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan.
Lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab mempersiapkan dan
menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang mampu menghadapi semua
tantangan perubahan di sekitarnya yang berjalan sangat cepat. Kemampuan serta
keterampilan di berbagai bidang ilmu, termasuk kemampuan berbahasa asing
(terutama bahasa Inggris) serta penguasaan teknologi adalah kemampuan yang
harus dikuasai oleh lulusan suatu lembaga pendidikan dalam memasuki
persaingan lapangan kerja, baik domestik maupun luar negeri.
Pembelajaran bahasa Inggris di SD dilaksanakan dengan menggunakan
pendekatan komunikatif yang memberikan perhatian secara langsung pada empat
121
keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Dalam penerapan pendekatan komunikatif ini, para guru harus memiliki
kemampuan berbahasa Inggris yang memadai dan memiliki berbagai keterampilan
dalam menyajikan materi pelajaran, kreatif dalam menyiapkan materi
pembelajaran, memanfaatkan media, serta menciptakan situasi dan kegiatan yang
mendorong siswa agar berperan secara aktif.
Terbatasnya jumlah lembaga diklat serta tenaga pendidik yang
menyelenggarakan sistem diklat tatap muka menyebabkan panjangnya rentang
waktu yang diperlukan. Kondisi ini masih ditambah lagi dengan masalah
kualifikasi guru SD yang sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan non-
bahasa Inggris dan berstatus guru kelas dengan beban mengajar yang banyak.
Tantangan besar yang sedang dihadapi oleh Depdiknas saat ini adalah
implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan penguasaan empat kompetensi
guru, yaitu kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian serta
peningkatan kualifikasi pendidikan guru.
Sebagian besar atau semua sekolah yang menjadi objek penelitian ini
mempunyai seorang guru bahasa Inggris yang mengajarkan bahasa Inggris dari
kelas empat sampai kelas enam. Berdasarkan hasil pencermatan di lapangan,
ternyata mata pelajaran muatan lokal (MULOK) pilihan bahasa Inggris ini
menjadi salah satu kendala bagi para guru bahasa Inggris sekolah dasar pada
122
umumnya. Hal itu dapat dibuktikan bahwa banyaknya sekolah dasar negeri (SDN)
yang mengajarkan bahasa Inggris, ternyata gurunya bukan dari sekolah dasar yang
bersangkutan, tetapi mengambil dari luar, yakni guru honorer. Dalam hal ini,
untuk Kota Denpasar, sampai penelitian ini dilaksanakan, semua guru bahasa
Inggrisnya berstatus guru honorer. Pengajaran bahasa Inggris menjadi tugas berat
yang perlu diperhatikan oleh sebagian besar guru bahasa Inggris untuk sekolah
dasar sekalipun sebagian besar dari mereka sudah pernah mendapat bekal ketika
mereka duduk di bangku sekolah atau saat kuliah. Dengan demikian, secara teori
bekal yang dimiliki setiap guru sudah cukup memadai. Namun, karena faktor
pendidikan, baik latar belakang, materi yang mereka peroleh, maupun
keterampilan mereka berbeda-beda, maka dalam penerapannya pun canggung atau
ragu-ragu sehingga hasil yang diperoleh pun akan berbeda-beda.
Menurut pengamatan peneliti dan hasil wawancara dengan kepala
sekolah, secara umum beberapa hal yang merupakan kendala atau menjadi
problema pengajaran bahasa Inggris bagi guru sekolah dasar pada umumnya
adalah bahwa: (1) kebanyakan guru bahasa Inggris belum berstatus PNS sehingga
belum mempunyai sertifikasi sebagai pengajar bahasa Inggris untuk pemula atau
young leaners. Apabila selama ini ada guru SD pengajar bahasa Inggris yang
berijazah bahasa Inggris, biasanya guru tersebut bukan PNS, tetapi guru honorer.
Hal ini disebabkan bahwa pada umumnya para sarjana, baik umum maupun
sarjana pendidikan bahana Inggris enggan atau tidak tertarik untuk mengajar atau
menjadi guru honorer di sekolah dasar, kecuali terpaksa atau karena sama sekali
belum mendapat pekerjaan.
123
4.3 Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Inggris untuk Sekolah Dasar (SD)
Pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan
demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan yang semula bersifat
sentralistik berubah menjadi desentralistik. Penerapan desentralisasi pengelolaan
pendidikan adalah dengan diberikannya wewenang kepada sekolah untuk
menyusun kurikulum. Hal itu juga mengacu pada Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3
tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional serta Pasal 35 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Selain itu, adanya tuntutan globalisasi dalam bidang
pendidikan yang memacu keberhasilan pendidikan nasional agar dapat bersaing
dengan hasil pendidikan negara-negara maju. Desentralisasi pengelolaan
pendidikan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan kondisi daerah perlu
segera dilaksanakan. Bukti nyata desentralisasi pengelolaan pendidikan ini adalah
diberikannya kewenangan kepada sekolah untuk mengambil keputusan berkenaan
dengan pengelolaan pendidikan seperti dalam pengelolaan kurikulum, baik dalam
penyusunannya maupun dalam pelaksanaannya di sekolah.
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa pelajaran bahasa
Inggris yang diberikan di sekolah dasar bukan mata pelajaran wajib, melainkan
sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan. Penetapan bahasa Inggris sebagai
muatan lokal didasari atas pertimbangan bahwa daerah Bali merupakan daerah
tujuan wisata sehingga diperlukan sumber daya manusia yang mampu berbahasa
asing, yaitu bahasa Inggris. Pemberian pelajaran bahasa Inggris saat ini masih
124
memakai kurikulum yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) untuk siswa dari kelas empat sampai kelas enam. Dalam kaitan ini,
Disdikpora Provinsi Bali semestinya membuat kurikulum dan silabus mata
pelajaran bahasa Inggris siswa dari kelas satu sampai kelas tiga. Akan tetapi,
sampai saat ini kurikulum tersebut belum ada.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Tujuan tertentu meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian
dengan kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik. Oleh
karena itu, kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan
penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di
daerah. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian
tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,
proses, standar kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar
nasional pendidikan tersebut, yaitu standar isi (SI) dan standar kompetensi lulusan
(SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan
kurikulum.
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial,
dan emosional peserta didik, di samping merupakan penunjang keberhasilan
dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan
125
membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain.
Selain itu, pembelajaran bahasa juga membantu peserta didik agar mampu
mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat, dan
bahkan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang
ada dalam dirinya. (Depdiknas, 2008:1)
Bahasa Inggris merupakan alat untuk berkomunikasi baik secara lisan
maupun tulis. Berkomunikasi adalah memahami dan mengungkapkan informasi,
pikiran, perasaan, di samping mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
budaya. Kemampuan berkomunikasi dalam pengertian yang utuh adalah
kemampuan berwacana, yakni kemampuan memahami dan/atau menghasilkan
teks lisan atau tulis yang direalisasikan dalam empat keterampilan berbahasa,
yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan
ini digunakan untuk menanggapi atau menciptakan wacana dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, mata pelajaran bahasa Inggris diarahkan untuk
mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut agar lulusan mampu
berkomunikasi dan berwacana dalam bahasa Inggris pada literasi tertentu,
termasuk literasi tingkat dasar.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan standar kompetensi
bahasa Inggris bagi SD yang menyelenggarakan mata pelajaran bahasa Inggris
sebagai muatan lokal. Kompetensi lulusan SD tersebut selayaknya merupakan
kemampuan yang bermanfaat dalam rangka menyiapkan lulusan untuk belajar
bahasa Inggris di tingkat SMP. Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan
berinteraksi dalam bahasa Inggris untuk menunjang kegiatan kelas dan sekolah.
126
Mata pelajaran bahasa Inggris pada tingkat SD bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut. (1) Mengembangkan kompetensi
berkomunikasi dalam bentuk lisan secara terbatas untuk mengiringi tindakan
(language accompanying action) dalam konteks sekolah. (2) Memiliki kesadaran
tentang hakikat dan pentingnya bahasa Inggris untuk meningkatkan daya saing
bangsa dalam masyarakat global.
Kurikulum bahasa Inggris sebagai muatan lokal (yang ada) bila benar-
benar dicermati masih banyak kelemahannya. Tujuan yang merupakan salah satu
komponen penting pengajaran bahasa Inggris belum sesuai dengan perkembangan
anak usia 6–12 tahun. Empat kurikulum muatan lokal (Jatim, Jateng, Jabar, dan
DIY) yang telah dikaji menunjukkan adanya perbedaan pendekatan dalam
penyusunan, tujuan, dan materi/topik (Suyanto, 2003:13).
4.4 Sejarah Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar
Jika diamati sejarah proses pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah
memang mempunyai cerita tersendiri. Masuknya bahasa Inggris dalam kurikulum
sekolah awalnya dimulai di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah
menengah atas (SMA). Belum tuntas permasalahan keberhasilan pengajaran
bahasa Inggris di sekolah lanjutan tersebut, kini bahasa tersebut sudah diajarkan di
sekolah dasar (SD). Sejarah masuknya mata pelajaran bahasa Inggris dalam
kurikulun SD mengalami jalan terjal, terutama dari pihak birokrat pada zaman
orde baru. Dalam hal ini keberatannya adalah faktor jiwa anak. Pada usia dini,
jika sudah diajarkan bahasa Inggris, maka anak yang baru tahapan mulai
menguasai bahasa ibu/daerah dan Indonesia akan terkendala dengan bahasa asing.
127
Selain itu, bahasa ibu sebagai sarana pembentuk kepribadian dan jati diri
keindonesiaan di daerah akan terganggu.
Pada tahun 1993, seminar internasional TEFLIN (Teaching of English as
Foreign Language in Indonesia) diadakan di IKIP Padang. Saat itu terjadi
perdebatan para ahli bahasa. Kelompok yang kontra menyatakan bahwa bahasa
Inggris tidak bisa diajarkan di SD karena faktor jiwa anak pada taraf penguasaan
bahasa daerah dan nasional. Mereka juga beralasan bahwa belum ada kesiapan
penyediaan tenaga pendidik dan sarana penunjang. Jika dipaksakan, maka akan
membahayakan anak. Di samping itu, mengajarkan bahasa Inggris pada anak usia
dini harus dengan proses pengajaran yang benar. Kelompok yang pro mengatakan
bahwa bahasa Inggris akan lebih baik jika diajarkan sejak umur dini.
Dalam kaitannya dengan pembelahan fungsi otak, yakni ada yang
berpendapat bahwa dimulai umur tiga belas tahun, tetapi ada juga yang
berpendapat pada usia lima tahun. Dalam hubungannya dengan orang dewasa
penguasaan bahasa asing dikatakan lebih sulit karena mereka sudah
terinternalisasi sistem bahasa pertama (bahasa ibu). Sistem bahasa pertama akan
berpengaruh pada proses pemerolehan bahasa asing (Kreshen, 1981: 21). Akan
tetapi, kedua kubu tersebut sama-sama memahami bahwa eksistensi bahasa
Inggris sangat penting. Hal ini bisa dirasakan jika terkait dengan keperluan
berbagai referensi buku ilmu pengetahuan dan diplomasi internasional. Mereka
juga sepakat bahwa mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing pada anak
usia dini membutuhkan perhatian yang lebih serius. Dengan demikian, harus ada
128
tenaga pengajar yang mumpuni dan kondisi sekolah yang baik terkait pengajaran
bahasa asing.
Pengenalan bahasa Inggris di sekolah dasar sangat penting. Ada beberapa
alasan yang melatarbelakangi program ini harus terus dilanjutkan. Alasan yang
pertama, bahasa Inggris adalah bahasa yang sangat penting dalam dunia
internasional, khususnya pada era globalisasi sekarang ini. Bahasa Inggris
dipergunakan sebagai media komunikasi dengan orang lain dari berbagai negara.
Menurut pendapat Crystal (2003), bahasa Inggris tersebar dan dipergunakan
hampir seperempat penduduk dunia dan terus akan berkembang menjadi satu
setengah trilyun pada awal tahun 2000-an ini. Alasan kedua, yakni dengan
menguasai bahasa Inggris, orang akan dengan mudah masuk dan dapat mengakses
dunia informasi dan teknologi. Dengan pengenalan bahasa Inggris di sekolah
dasar, maka siswa akan mengenal dan mengetahui bahasa tersebut lebih awal.
Oleh karena itu, mereka akan mempunyai pengetahuan dasar yang lebih baik
sebelum melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Menurut pedoman garis besar pendidikan dasar di Indonesia, tujuan
pendidikan dasar di Indonesia adalah mempersiapkan lebih awal siswa
pengetahuan dasar sebelum melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Alasan yang terakhir adalah bagi orangtua dan guru agar dapat memberikan bekal
kepada siswa. Oleh karena dengan menguasai bahasa Inggris, maka anak mereka
bisa memberikan kesempatan yang lebih terbuka untuk mengembangkan diri agar
memperoleh kesempatan yang lebih baik dalam menghadapi persaingan lapangan
kerja dan karer pada masa yang akan datang. Sehubungan dengan hal ini
129
Pennycook (1995:40) menyatakan bahwa bahasa Inggris telah menjadi suatu alat
yang sangat menentukan bagi kelanjutan pendidikan, pekerjaan serta status sosial
masyarakat.
Tujuan pengajaran bahasa Inggris diadakan di sekolah dasar, yakni untuk
memberikan pengetahuan penguasaan kosa kata yang banyak sehingga apabila
siswa melanjutkan jenjang pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi tidak akan
mengalami kesulitan. Oleh karena itu, fokus utama pengajaran bahasa Inggris
adalah penguasaan kosa kata. Dengan menguasai kosa kata yang banyak, para
siswa dapat dengan mudah menguasai keterampilan bahasa yang lain (Suyanto,
2003:13).
Berkaitan dengan ketersediaan tenaga pengajar, disadari bahwa untuk
tingkat SMP dan SMA saja (masih) belum tentu terpenuhi secara nasional. Oleh
karena itu, untuk bahasa Inggris di SD jelas belum ada paparan pemenuhan
persyaratan sebagaimana pengajaran bahasa Inggris untuk usia dini. Tampaknya
ada kesan bahwa bahasa Inggris di SD sekadar gengsi. Dengan memberikan
materi bahasa Inggris di SD itu, maka sekolah dan para siswa dianggap sudah
maju, mendunia, dan telah mengikuti tuntutan zaman. Namun perlu diingat bahwa
mengajarkan ilmu pada anak usia dini tidak berhasil jika semua persyaratan yang
mendasar tidak terpenuhi.
Pengajaran bahasa Inggris di Indonesia sudah dimulai pada saat setelah
masa kemerdekaan Indonesia. Berbagai kurikulum dan metode telah
dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menguasai bahasa
Inggris. Walaupun demikian, hasilnya masih belum dirasakan maksimal untuk
130
membuat siswa dapat berkomunikasi dengan baik melalui bahasa tersebut.
Berbagai masalah dan faktor yang melatarbelakangi mengapa hasil yang dicapai
belum sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu cara pemerintah meningkatkan
kemampuan siswa dalam berbahasa Inggris adalah memperkenalkan bahasa
Inggris lebih dini, yaitu mulai sekolah dasar.
Hingga akhir 1980-an, sebagian besar siswa sekolah dasar (SD) belum
menerima pelajaran bahasa Inggris. Hanya segelintir SD mengenalkan bahasa
Inggris kepada siswanya. Pada 1990-an, bahasa Inggris mulai diajarkan pada
murid-murid SD kelas empat ke atas. Pada akhir dekade 1990-an, bahasa Inggris
mulai merambah ke siswa kelas satu SD, bahkan murid taman kanak-kanak (TK)
dan playgrup alias taman bermain. Kini, bukan pemandangan aneh lagi di banyak
kota, termasuk TK dan SD di Kota Denpasar sudah diberikan pelajaran bahasa
Inggris. Kebijakan tentang dimungkinkannya pelajaran bahasa Inggris di sekolah
dasar secara resmi dibenarkan sebab dilandasi dengan kebijakan-kebijakan terkait.
Kebijakan ini telah ditanggapi secara positif dan luas oleh masyarakat,
yaitu sekolah-sekolah dasar yang merasa memerlukan dan mampu untuk
melaksanakan pengajaran bahasa Inggris. Dalam perjalanan pengembangannya,
bahasa Inggris yang semula sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan menjadi
mata pelajaran muatan lokal wajib di beberapa daerah. Memang, belum semua SD
di seluruh kota di Tanah Air sudah menjadikan bahasa Inggris sebagai salah satu
pelajaran wajib. Namun, mulai 2007 ini, Direktorat Pembinaan TK dan SD
Kementrian Pendidikan Nasional telah merintis bahasa Inggris sebagai pelajaran
muatan lokal di SD perkotaan. Uji coba dilakukan di SD-SD negeri yang berada
131
di kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan
Denpasar (Mudjito, 2009). Meskipun uji coba dilakukan di sekolah negeri, tetapi
program itu tidak membedakan sekolah negeri dan swasta. Justru peran sekolah
swasta selama ini telah menjadi pelopor pembelajaran bahasa Inggris di SD.
Program Kementrian Pendidikan Nasional itu juga didukung oleh British
Council, sebagai lembaga partner. Dalam hal ini British Council bukan saja
dilibatkan dalam penyusunan strategi efektif pelaksanaan program pembelajaran
bahasa Inggris untuk SD, tetapi juga memberikan bantuan dana dalam mendukung
kegiatan penyelenggaran simposium pembelajaran bahasa Inggris untuk SD.
Sebenarnya pembelajaran bahasa Inggris untuk SD telah ada pada kurikulum
1994, tetapi hasilnya tidak mengembirakan. Kemudian, pada kurikulum 2004,
pembelajaran bahasa Inggris di SD pun kembali dikembangkan. Hasilnya juga
tidak menggembirakan hingga muncul Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar Bahasa
Inggris untuk SD.
Kurikulum mata pelajaran muatan lokal ini tidak disusun oleh pusat
kurikulum Depdiknas, tetapi dikembangkan di tingkat provinsi. Oleh karena itu,
kurikulum muatan lokal di Jawa Timur berbeda dengan di Jawa Tengah dan Jawa
Barat, baik mengenai tujuannya maupun materinya (Suyanto, 2001.18). Menurut
Mudjito (2008), agar program kali ini berhasil, telah disiapkan metodologi
pembelajaran bahasa Inggris yang menyenangkan. Selama ini metode
pembelajaran melulu berisi penguasaan gramatikal sebagaimana dikeluhkan oleh
siswi di atas. Budaya malu disinyalir sebagai penyebab kesulitan terbesar pada
132
aplikasi bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Padahal di Singapura dan
Malaysia yang juga mempunyai budaya multikultur ini, warganya tidak malu
berbahasa Inggris dengan dialek Tiongkok, Melayu, dan India yang bercampur di
dalamnya. Berbeda dengan Indonesia yang mempunyai 700-an bahasa daerah,
orang malu mengucapkan bahasa Inggris dengan dialek kedaerahan, misalnya
bahwa Inggris dialek Sunda atau Jawa. Oleh karena demikian orang menganggap
bahwa pengucapan yang benar mesti dengan logat Inggris. Persepsi seperti ini
mestinya diubah sehingga pembelajar berani berbicara dengan bahasa yang
sedang mereka pelajari yaitu bahasa Inggris. Sekalipun bahasa Inggris oleh
beberapa sekolah ditetapkan sebagai muatan lokal wajib, tetapi yang tak kalah
penting adalah penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah siswa SD tetap
harus diperhatikan dan kalau memungkinkan lebih ditingkatkan.
Kebijakan pemerintah dalam memberikan bahasa Inggris SD didasarkan
pada anggapan bahwa semakin muda usia semakin mudah anak belajar bahasa
daripada orang dewasa. Ada pula yang berpendapat, belajar bahasa asing sejak
dini bukan jaminan. Sementara yang lain menanggapi, keberhasilan belajar bahasa
asing sangat ditentukan oleh motif atau kebutuhan berkomunikasi dalam
lingkungannya. Di sisi lain, ada yang mengatakan bahwa usia muda merupakan
masa emas atau paling ideal untuk belajar bahasa selain bahasa ibu (bahasa
pertama). Alasannya, otak anak masih elastis dan lentur sehingga proses
penyerapan bahasa lebih mulus. Lagi pula daya penyerapan bahasa pada anak
berfungsi secara otomatis. Dalam hal ini mempergunakan bahasa secara langsung
(exposure) pada bahasa tertentu, misalnya ia tinggal di suatu lingkungan yang
133
berbahasa lain dari bahasa ibunya, dengan mudah anak akan dapat menguasai
bahasa itu.
Pada penguasaan bahasa pertama dikenal istilah "masa kritis" (critical
period). Pada penguasaan bahasa kedua (bahasa asing) terdapat istilah "masa
peka" (sensitive period). Anak yang dihadapkan pada bahasa asing sebelum usia
lima belas tahun mampu menguasai sintaksis bahasa asing seperti penutur asli
(Hamerly, 1982:265). Sebaliknya, pada orang dewasa hampir tidak mungkin
aksen bahasa asing dapat dikuasai. Masa ideal anak belajar bahasa bertolak dari
apa yang disebut periode kritis bagi penguasaan bahasa ibu. Periode kritis
sebenarnya masih berupa hipotesis bahwa dalam perjalanan hidup manusia
terdapat jadwal biologis yang menentukan masa-masa kegiatan seseorang
(Brown,1994).
Kenyataannya tidak terelakkan bahwa pada era globalisasi penguasaan
bahasa Inggris merupakan tuntutan. Siapa yang ingin luas pergaulan, sukses
berbisnis, ataupun menguasai ilmu pengetahuan mau tidak mau harus menguasai
bahasa yang satu ini. Namun, dalam penanaman kemampuan berbahasa kedua
atau ketiga kita dituntut sikap bijak dan tidak tergesa-gesa. Di samping perlu
mempertimbangkan kemampuan anak, para orangtua hendaknya memperhatikan
kepentingan anak akan penguasaan bahasa daerah dan nasional. Kedua bahasa itu
tidak bisa dilepaskan begitu saja dari fungsi keseharian jati diri, identitas, dan
tanggung jawab sosial anak. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila bahasa
Inggris atau bahasa asing lain diberikan setelah bahasa daerah dan bahasa nasional
dikuasai secara mantap.
134
Sekolah mempunyai kewenangan terhadap mata pelajaran bahasa Inggris
agar dimasukkan sebagai salah satu muatan lokal yang diajarkan di SD
berdasarkan pertimbangan dan kebutuhan situasi dan kondisi, baik dari orangtua
maupun lingkungan masyarakat itu sendiri. Kebijakan ini membawa dampak yang
positif, baik bagi masyarakat maupun sekolah yang menyelenggarakan program
tersebut. Selama kurun waktu beberapa tahun ini, ada kecendrungan yang
meningkat, yakni sekolah melaksanakan program pengajaran bahasa Inggris mulai
sekolah dasar. Dalam perkembangannya, program ini menghadapi beberapa
masalah, baik dari pihak sekolah maupun dari guru.
Salah satu kendala yang dihadapi adalah tidak tersedianya sillabus khusus
mata pelajaran bahasa Inggris yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan tingkat
provinsi maupun Dinas Pendidikan tingkat kota. Walaupun sebagai mata pelajaran
muatan lokal, tetapi bahasa Inggris harus tetap mempunyai sillabus tersendiri,
terutama bagi sekolah yang memberikan pelajaran bahasa Inggris sejak kelas satu.
Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional Bidang Dasar dan
Menengah hanya menyediakan sillabus mata pelajaran bahasa Inggris untuk
jenjang kelas empat sampai kelas enam saja. Pembuatan kurikulum dan silabus
dari jenjang kelas satu sampai kelas tiga, diserahkan sepenuhnya kepada masing –
masing daerah provinsi sesuai dengan situasi dan kondisi di daerah tersebut.
Penyerahan kewenangan ini merupakan tantangan, di samping masih menjadi
kendala tersendiri karena kenyataan memang menunjukkan kondisi
kebelumsiapan sekolah dan Disdikpora setempat. Masalah yang lain adalah
135
metode dan strategi pengajaran bahasa Inggris oleh guru tidak sesuai dengan
tujuan perkembangan siswa.