Upload
doanthuy
View
237
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
38
BAB III
PERKEMBANGAN KOTA DAN
KARAKTERISTIK SARANA ANGKUTAN UMUM KOTA BANDUNG
Bab ini menguraikan perkembangan fisik Kota Bandung, perkembangan dan
pertumbuhan penduduk, sistem penyediaan dan pengelolaan angkutan umum dan
perkembangannya dan kebijakan pemerintah kota dalam menangani transportsai
perkotaan
III.1. Gambaran Umum Kota Bandung III.1.1. Pertumbuhan Penduduk dan Luas Wilayah
Kota Bandung sebagai ibukota Propinsi Jawa Barat mengalami perkembangan
yang pesat baik dari sisi fisik maupun aktifitas yang tumbuh dan berkembang di
dalamnya. Selain fungsi sebagai ibukota propinsi, Kota Bandung juga merupakan
pusat dari beberapa kegiatan yang berskala regional maupun nasional. Sebagai
kota yang oleh pemerintah kolonial Belanda pernah direncanakan sebagai ibukota
negara, infrastruktur yang dibangun pada saat itu pun diproyeksikan untuk dapat
mewadahi kegiatan dengan skala nasional.
Tumbuh dan berkembangnya beragam kegiatan membutuhkan ruang yang secara
fisiknya adalah kebutuhan akan lahan. Sejak dibentuk sebagai daerah otonom
pada tahun 1906, Kota Bandung telah mengalami perluasan wilayah administratif
sebanyak 5 kali yaitu sebagaimana pada Tabel III.1 di bawah.
Tabel III.1 Perkembangan Luas Wilayah Kota Bandung
Tahun Luas, Ha - 1917 1.992
1917 – 1935 3.8761935 – 1943 4.1771943 – 1949 5.4131949 – 1987 8.101,48
1987 - 16.729,5Sumber: Bappeda Kota Bandung, 2005
39
Gambar III.1 Peta Jawa Barat dan Wilayah Kota Bandung
Sumber : BMA (2005)
Selain perkembangan fisik luas wilayah, pertumbuhan penduduk juga merupakan
ciri dari perkembangan suatu wilayah perkotaan. Mulai dari terbentuk dan
berkembangnya Kota Bandung pada lokasinya sekarang, sebagai hasil dari
keputusan Bupati Aria Wiranatakusuma memindahkan ibukota dari Karapyak,
pertumbuhan penduduk Kota Bandung memberi ciri dari sebuah proses urbanisasi
terutama sejak pasca kemerdekaan.
Ketika ditetapkan sebagai ibukota Karesidenan Priangan pada tahun 1846,
penduduk Bandung tercatat sebanyak 11.054 orang. Pada saat pemerintahan
kolonial Belanda berakhir pada tahun 1940-an, penduduk Bandung telah
mencapai 224.717 orang. Pada tahun 1970 penduduk Bandung menembus angka 1
juta yaitu sebanyak 1.176.000 orang.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Daerah 2006 menunjukkan bahwa penduduk Kota
Bandung pada tahun 2005 sebanyak 2.296.848 orang (BPS Kota Bandung, 2006).
40
Cibiru
RancasariMargacinta
Cicadas
Cicendo
Cidadap
Coblong
Andir
Regol
Arcamanik
Sukasari
Sukajadi
Ujung Berung
Lengkong
Batununggal
Bojongloa Kidul Bandung Kidul
Bandung Wetan
Sumur Bandung
Bandung Kulon
Babakan Ciparay
Kiara Condong
Cibeunying Kidul
Astana Anyar
Cibeunying Kaler
Bojongloa Kaler
LegendKepadatanKpadatan
5353 - 93889389 - 1501915020 - 2084120842 - 2755827559 - 38761
Dibanding dengan jumlah penduduk tahun 2001 sebesar 2.146.360 maka sampai
tahun 2005 telah terjadi pertumbuhan penduduk sebesar 3,01%.
Gambar III.2 Pertumbuhan Penduduk Kota Bandung 2000 – 2005
Pertumbuhan Penduduk Kota Bandung
2.136.260 2.146.360 2.142.194
2.228.268 2.232.624
2.296.848
2.050.000
2.100.000
2.150.000
2.200.000
2.250.000
2.300.000
2.350.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005
Jum
lah
Sumber : BPS Kota Bandung, 2006 (diolah)
Dengan jumlah penduduk (2005) 2,296,848 orang dan luas 167.29 ha, kepadatan
Kota Bandung adalah 13.729,74 jiwa/km2 atau 137.297 jiwa/ha. Kecamatan
dengan kepadatan tertinggi adalah Bojongloa Kaler yaitu 387,6 jw/ha sementara
kecamatan dengan kepadatan terendah adalah Rancasari dengan 53,53 jw/ha.
Gambar III.3 Sebaran Kepadatan Penduduk Kota Bandung
41
Tabel III.2 Jumlah Penduduk, Luas dan Kepadatan Kota Bandung
No Kecamatan Penduduk, jiwa Luas, km2 Kepadatan,
jw/km2 1 Bandung Kulon 125,936 6.46 19,495 2 Babakan Ciparay 133,224 7.45 17,882 3 Bojongloa Kaler 117,445 3.03 38,761 4 Bojongloa Kidul 78,280 6.26 12,505 5 Astanaanyar 71,060 2.89 24,588 6 Regol 81,370 4.3 18,923 7 Lengkong 72,450 5.9 12,280 8 Kiaracondong 127,190 6.12 20,783 9 Batununggal 121,836 5.03 24,222
10 Bandung Kidul 48,528 6.06 8,008 11 Margacinta 112,032 10.87 10,307 12 Rancasari 70,500 13.17 5,353 13 Cibiru 87,285 10.81 8,074 14 Ujungberung 82,593 10.34 7,988 15 Arcamanik 66,980 8.8 7,611 16 Cicadas 104,760 8.66 12,097 17 Sumur Bandung 38,911 3.4 11,444 18 Bandung Wetan 31,825 3.39 9,388 19 Cibeunying Kidul 109,416 5.25 20,841 20 Cibeunying Kaler 67,584 4.5 15,019 21 Coblong 122,368 7.35 16,649 22 Cidadap 50,760 6.11 8,308 23 Andir 102,240 3.71 27,558 24 Cicendo 95,950 6.86 13,987 25 Sukajadi 99,864 4.3 23,224 26 Sukasari 76,461 6.27 12,195
Jumlah 2,296,848 167.29
Sumber : BPS Kota Bandung (2006)
Gambar III.3 dan Tabel III.2 di atas menunjukkan bahwa penduduk Kota Bandung
relatif terkonsentrasi di bagian barat kota. Keadaan ini wajar mengingat bagian
barat tersebut merupakan wilayah awal-awal terbentuknya Kota Bandung
sementara bagian timur kota yang berpenduduk relatif masih jarang merupakan
potensi bagi pengembangan kota sebagaimana tertuang dalam RTRK yang
menskenariokan tumbuhnya pusat primer baru di Kawasan Gedebage di bagian
timur wilayah Kota Bandung.
42
PDRB Kota Bandung
17,435,720
20,690,49923,420,126
27,422,417
6,266,628 6,694,331 7,173,857 7,704,646
-
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
30,000,000
2001 2002 2003 2004 Tahun
Rp, Jutaan
Harga BerlakuHarga Konstan
III.1.2. Gambaran Sosial Ekonomi Kota Bandung
Sesuai dengan perannya sebagai ibukota propinsi, Kota Bandung merupakan salah
Pusat Kegiatan Nasional (PKN) di wilayah Jawa Barat. Kedekatan lokasinya
dengan ibukota negara memberi keuntungan terhadap pertumbuhan ekonomi kota
dengan sektor yang dominan adalah sektor perdagangan dan sektor pengolahan.
Berdasarkan data PDRB, aktifitas perekonomian Kota Bandung menunjukkan
kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Perhitungan dengan harga
berlaku maupun dengan harga konstan menunjukkan bahwa sektor perdagangan
memberi sumbangan terbesar terhadap PDRB Kota Bandung yaitu mencapai 30%
disusul oleh sektor industri pengolahan 28% dan sektor angkutan dan jasa masing-
masing 12%.
Gambar III.4 PDRB Kota Bandung 2001 – 2003
Sumber : Bandung dalam Angka 2004/2005, diolah
Dominasi sektor perdagangan, pengolahan, angkutan dan jasa dalam kegiatan
ekonomi Kota Bandung merupakan daya tarik yang besar bagi urbanisasi. Pada
satu sisi urbanisasi berarti penambahan besar pasar karena proses aglomerasi yang
menjadi salah satu variabel penting bagi investor dalam pengambilan keputusan
untuk investasi. Data dari Dinas Perindag Bandung menunjukkan kecenderungan
meningkatnya usaha perdagangan di Kota Bandung kecuali tahun 2004 yang
43
sempat terjadi penurunan namun tahun 2005 kembali naik. Rata-rata investasi di
Kota Bandung meningkat 15% per tahun.
Tabel III.3 Usaha Perdagangan di Kota Bandung
Tahun Unit Usaha Tenaga Kerja (orang) Investasi (Rp milyar)
2002 1823 11958 678,10
2003 2755 12557 966,17
2004 2599 9657 980,79
2005 2716 10623 995,39
Sumber : Dinas Perindag Kota Bandung (2006)
Adanya kegiatan dalam ruang menghasilkan kebutuhan akan pergerakan baik
barang maupun manusia. Pergerakan tersebut memerlukan sarana dan prasarana
dalam jumlah maupun kualitas tertentu sesuai dengan karakteristik perjalanan
yang dibangkitkannya.
Peningkatan besaran indikator ekonomi Kota Bandung di atas diikuti oleh
peningkatan jumlah kendaraan untuk semua kategori dengan pertumbuhan
terbesar adalah sepeda motor yang mencapai 9,29% sebagaimana diberikan pada
Tabel III.4 di bawah.
Tabel III.4 Pertumbuhan Jumlah Kendaraan di Kota Bandung
Tahun Mobil penumpang Mobil Barang Bus Spd mtr Total
1996 108,500 40,032 17,025 183,594 349,151 1997 110,329 42,042 19,467 189,634 361,472 1998 120,032 42,109 33,367 227,847 423,355 1999 124,397 43,590 34,605 233,366 435,958 2000 131,325 49,392 35,709 247,201 463,627 2001 115,729 43,212 35,811 257,612 452,364 2002 113,204 45,755 30,270 259,994 449,223 2003 109,248 45,967 38,210 262,996 456,421 2004 136,020 49,901 32,795 436,263 654,979 2005 146,405 63,655 43,079 562,468 815,607
Sumber : DLLAJ & Dispenda Prop Jabar, 2006
III.1.3. Pola Guna Lahan
44
Karakteristik kependudukan tersebut tercermin dalam pola penggunaan lahan.
Berdasarkan proporsi terhadap luas kota, penggunaan tertinggi adalah untuk
perumahan, disusul pertanian, perkantoran dan jasa, industri, perdagangan dan
penggunaan lain.
Kawasan perumahan umumnya tersebar di seluruh bagian kota dengan luas
terbesar terdapat di wilayah Arcamanik dan Cibeunying. Kepadatan kawasan
perumahan ini meningkat ke arah pusat kota sementara pada daerah pinggiran
kota masih terdapat lahan-lahan kosong berupa sawah dan tegalan. Kawasan dan
sekitar pusat kota ke arah selatan merupakan perumahan golongan menengah
sementara ke arah sebelah utara terdapat kawasan perumahan golongan atas.
Gambar III.5 Sebaran kawasan Perumahan Kota Bandung
Guna lahan untuk industri terbesar terdapat di wilayah Arcamanik dan Karees,
terutama di Kecamatan Cibiru dan Kiaracondong. Di bagian selatan, kawasan ini
terletak antara lain di Jalan Soekarno-Hatta dan terutama di Kecamatan Bandung
Kulon.
45
Kegiatan komersial dan jasa terpusat di wilayah pusat kota (sekitar alun-alun) dan
melebar di sepanjang jalan-jalan utama dari pusat kota yaitu Jalan Sudirman,
Kopo, Otto Iskandardinata, Pungkur, Asia Afrika, Ahmabd Yani, Kiaracondong
dan Jalan Sukajadi. Kegiatan komersil dan jasa juga kemudian menyebar di
sepanjang Jalan Merdeka, Jalan Ir H Djuanda, Jalan Setiabudi, Jalan Sunda dan
Jalan Pasirkaliki.
Kawasan perkantoran baik yang berskala lokal maupun regional umumnya
terkonsentrasi di wilayah pusat kota dan wilayah Cibeunying terutama di Jalan
Diponegoro, Jalan Supratman dan Jalan Surapati. Kawasan pendidikan dan
kesehatan terutama berlokasi di bagian utara kota, yaitu di wilayah Bojonegara
dan Cibeunying sementara kawasan lahan kosong berupa sawah dan tegalan yang
terbesar di wilayah Arcamanik, Cibeunying bagian utara dan Tegallega bagian
selatan.
Gambar III.6 Sebaran titik-titik perkantoran di Kota Bandung
46
Kota Bandung merupakan salah satu tujuan pendidikan di Indonesia. Sejumlah
lembaga pendidikan berada di kota ini sehingga lokasi-lokasi tersebut juga
merupakan pembangkit pergerakan penduduk. Lokasi pendidikan terutama
terletak pada kawasan sub pusat dan pinggiran.
Gambar III.7 Sebaran lokasi lembaga pendidikan di Kota Bandung
Dari sebaran-sebaran tersebut di atas, terlihat bahwa kegiatan-kegiatan utama kota
berkembang dan mengelompok secara sektoral mulai dari pusat kota mengikuti
pola jaringan jalan utama. Selain pola tersebut, kegiatan jasa komersil juga
kemudian berkembang di kawasan pemukiman.
Menurut Warlina dalam Koestoer (2001), organisasi keruangan Kota Bandung
cenderung mengikuti Model Konsentrik (Burgess) walaupun tidak dalam bentuk
ideal. Sebagai zona 1 atau Central Bussiness District, CBD (Kawasan Pusat
Bisnis, KPB) adalah pusat kota atau alun-alun Bandung yang meliputi Jalan Asia
Afrika, Jalan Dalem Kaum, Jalan Otto Iskandardinata, Jalan Braga dan sekitarnya.
Zona ini merupakan kawasan perdagangan berbagai jenis barang, kawasan
perkantoran (swasta dan pemerintah), kawasan hiburan dan perbankan.
47
Zona 2 yang merupakan zona transisi, awalnya merupakan lahan pemukiman
yang kemudian berkembang sebagai daerah komersial. Zona ini meliputi Jalan Ir
H Djuanda, Jalan Cihampelas, Jalan Sukajadi, Jalan Kopo, Jalan Moh Toha dan
Jalan Buahbatu.
Dalam model konsentrik dari Burgess, zona 3 merupkan wilayah pemukiman bagi
warga berpenghasilan rendah sementara zona 4 merupakan wilayah pemukiman
penduduk berpenghasilan tinggi. Pada kasus Kota Bandung, pemisahan kedua
zona ini tidak terlihat jelas karena batasnya kabur yaitu dengan terdapatnya warga
berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi dalam satu zona.
Zona terakhir adalah zona 5 yaitu zona yang didiami oleh penglaju. Wilayah ini
meliputi Soreang, Banjaran, Rancaekek, Cicalengka dan sekitarnya.
III.1.4 Pola Pergerakan Penduduk
Menurut Angkeara (1997) terdapat 2 (dua) jenis pergerakan di Kota Bandung
yaitu :
1. Pergerakan sehari-hari yang dilakukan oleh penduduk dalam Kota
Bandung ke pusat kegiatan kota
2. Pergerakan sehari-hari yang dilakukan oleh penduduk kawasan pinggiran
kota dalam bentuk perjalanan ulang-alik ke kawasan pusat Kota Bandung
Sebagian besar tujuan pergerakan tersebut adalah untuk bekerja, belanja dan
sekolah. Pergerakan untuk tujuan bekerja pada umumnya terjadi antara jam 07.00
– 09.00, jam 12.00 – 14.00 dan jam 16.00 – 17.00. Pergerakan dengan tujuan
belanja umumnya dilakukan antara jam 09.00 sampai jam 11.00 dan pergerakan
untuk tujuan sekolah pada umumnya dilakukan antara jam 07.00 – 08.00 dan jam
12.00 – 14.00 (Muchsan, 1989 dikutip oleh Angkeara, ibid). Pergerakan dengan
tujuan bekerja hampir bersamaan dengan pergerakan tujuan sekolah sehingga
periode tersebut merupakan jam-jam sibuk di Kota Bandung.
Pola tersebut di atas merupakan pola yang terjadi pada hari-hari kerja (Senin –
Jum’at). Pada akhir pekan (Sabtu dan Minggu), Kota Bandung merupakan tujuan
48
tujuan perjalanan wisata regional sehingga kepadatan jalan di Kota Bandung tidak
berkurang dengan adanya hari libur.
III.2. Jaringan Jalan
III.2.1. Pola Jaringan Jalan Kota Bandung
Jaringan jalan di Kota Bandung terdiri dari jaringan jalan arteri primer, arteri
sekunder, klektor primer, kolektor sekudner dan jalan lokal. Dalam prakteknya
jaringan jalan yang ada seringkali mengalami pembauran fungsi terutama antara
jalan arteri dan jalan kolektor.
Hirarki jaringan jalan di Kota Bandung dibagi sebagai berikut:
1. Jalan Arteri Primer, merupakan jalan dengan peran sebagai pelayanan jasa
distribusi antar kota dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-
rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Termasuk dalam
kategori ini adlah Jalan Asia Afrika, Jalan PHH Mustafa, Jalan Lingkar
Selatan, Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Jend. Sudirman, Jalan A Yani dan
Jalan Tol Padaleunyi
2. Jalan Arteri Sekunder, merupakan jalan dengan pelayanan jasa distribusi
untuk masyarakat kota dengan ciri-ciri kecepatan rata-rata tinggi dan
jumlah jalan masuk juga dibatasi. Jaringan jalan ini adalah Jalan
Supratman, Jalan Diponegoro, Jalan Surapati, Jalan Gatot Subroto, Jalan
RE Martadinata, Jalan Cihampelas dan Jalan Pajajaran
3. Jalan Kolektor Sekunder, merupakan jalan dengan pelayanan jasa
distribusi unuk masyarakat dalam kota dengan ciri-ciri kecepatan rata-rata
sedang dan jalan masuk dibatasi secara efisien. Jaringan jalan kategori ini
adalah Jalan Cipaganti, Jalan K. Tendean, Jalan Siliwangi, Jalan
Supratman, Jalan M Ramdan-Karapitan, Jalan Situ Aksaan, Jalan
Martanegara dan Jalan Pagarsih
49
4. Jalan Lokal, adalah jalan yang melayani pergerakan angkutan setempat
dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan arata-rata rendah dan
jalan masuk tidak dibatasi. Termasuk kategori ini adalah semua jaringan
jalan di Kota Bandung selain yang disebut di atas.
Pola jaringan jalan di Kota Bandung cenderung radial yang ditandai dengan
adanya jaringan jalan yang melayani pergerakan keluar-masuk pusat Kota
Bandung secara radial dan 3 (tiga) jaringan jalan yang melingkar yang
mempertegas pola konsentrik. Namun pada kawasan pusat kota pola yang
dominan adalah grid.
Ruas jalan yang termasuk kategori lingkar dan radial adalah:
1. Jaringan jalan lingkar lapisan dalam, yaitu Jalan Kebonjati, Jalan Sunda,
Jalan Kepatihan, Jalan Abdul Muis dan Jalan Astananyar
2. Jalan lingkar lapisan tengah, yaitu Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Dr
Junjunan, Jalan PHH Mustafa, Jalan Pajajaran dan Jalan RE Martadinata
3. Jalan lingkar lapisan luar, adalah Jalan Tol Panci
4. Jaringan jalan radial yang menuju ke arah Utara, yaitu Jalan Ir H Juanda,
Jalan Cipaganti, Jalan Sukajadi dan Jalan Setiabudi
5. Jaringan jalan radial menuju ke arah Timur, yaitu Jalan A Yani, Jalan
Gatot Subroto dan Jalan PHH Mustafa
6. Jaringan jalan radial yang menuju ke arah Barat, yaitu Jalan Sudirman dan
Jalan Rajawali
7. Jaringan jalan radial yang menuju ke arah Selatan adalah Jalan M. Thoha
8. Jaringan jalan radial yang menuju ke arah Tenggara yaitu Jalan Buah Batu
9. Jaringan jalan radial yang menuju ke arah Barat Daya, yaitu Jalan Kopo
dan Jalan Kebonjati
Terbentuknya pola jaringan jalan tersebut didasarkan pada kondisi-kondisi
pertama daerah inti kota, yang merupakan pusat kegiatan yang berlokasi di
kawasan alun-alun Bandung, kedua pola kegiatan penduduk menyebar secara
50
radial dari pusat kota yang mengarah ke luar kota dan ditandai dengan adanya
pusat-pusat kegiatan dengan hirarki lebih rendah dan ketiga jaringan jalan
regional yang melintas atau bertemu di daerah inti kota (Angkeara, 1997).
III.2.2. Perkembangan Jalan
Panjang jalan yang ada di Kota Bandung saat ini adalah 1.168,8 km yang
meliputi jalan nasional 42,114 km, jalan propinsi 22,99 km dan jalan kota
1.103,71 km (Bina Marga Kota Bandung, 2002). Apabila jalan lingkungan juga
diperhitungkan maka panjang total jalan di Kota Bandung adalah 1.221.69 km.
Panjang jalan di Kota Bandung relatif tidak mengalami penambahan yang berarti
pada tahun-tahun terakhir ini.
Gambar III.8 Status Jalan di Kota Bandung
Sumber : Dishub Kota Bandung, 2007
51
III.3. Angkutan Umum di Kota Bandung
III.3.1. Kebijakan Pemerintah Kota
Penetapan rute dan trayek angkutan umum didasarkan pada Keputusan Walikota
Bandung No. 551.2/Kep.1575-Huk/2002 mengenai penetapan trayek dan jumlah
kendaraan umum. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa jumlah trayek
untuk angkot di Kota Bandung sebanyak 38 trayek dengan wilayah layanan antar
pusat kawasan/pusat terminal, antar pusat perdagangan dengan kawasan
perumahan dan melingkar antara kawasan campuran. Jumlah kendaraan
ditetapkan sebanyak 5.521 buah. Untuk moda bis kota yang melayani rute antar
bagian wilayah kota dan sekitar wilayah kota yang diatur berdasarkan koridor
Utara-Selatan, Barat-Timur serta dari pusat kota ke berbagai arah di luar kota.
Jumlah izin trayek yang dikeluarkan untuk bis kota sebanyak 15 namun yang
efektif beroperasi hanya sebanyak 11 trayek.
Gambar III.9 Peta Rute Angkutan Umum Kota Bandung
Sumber : Dishub Kota Bandung, 2006
Dewasa ini di Kota Bandung tidak ada penambahan rute angkutan kota. Hal ini
didasarkan pada kebijakan pemerintah yang mengharuskan investor melakukan
52
sendiri kajian rute yang ingin diusulkan. Keadaan status quo ini diperkuat juga
dengan adanya perlawanan dari angkutan lokal seperti ojeg dan becak yang
berusaha mempertahankan wilayah layanannya.
III.3.2. Pengelolaan Angkutan Umum
Pengelolaan angkutan umum di Kota Bandung ditangani oleh beberapa instansi
dengan tugas dan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dengan
Peraturan Daerah. Instansi yang terlibat antara lain Dinas Perhubungan,
Kepolisian, Dinas Pendapatan, dan koperasi angkutan yang mewakili operator.
Untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi penanganan masalah transportasi
Walikota Bandung menerbitkan keputusan No. 620/Kep.115-Bag.Huk/2001
tanggal 9 Maret 2001 untuk membentuk badan koordinasi dimaksud yang
fungsinya menangani permasalahan transportasi jalan termasuk di dalamnya
angkutan umum.
Angkutan umum di Kota Bandung didominasi oleh moda angkutan darat, kereta
api mewakili sekitar 4% dari jumlah perjalanan angkutan. Angkutan umum ini
sebagian besar berupa angkot mikrobus. Moda angkutan umum yang beroperasi di
Kota Bandung adalah angkot, bis kota, taxi, ojeg, becak dan delman.
Angkot yang beroperasi terdiri dari 38 trayek dengan jumlah armada tercatat 5521
buah. Angkot yang tercatat ini sekaligus pula merupakan jumlah izin trayek yang
dikeluarkan oleh pemerintah kota. Hal ini menunjukkan bahwa lisensi layanan
angkutan umum melekat pada kendaraan bukan langsung pada bentuk jasa atau
kegiatan yang dilakukan. Kebijakan yang diterapkan oleh Pemkot Bandung untuk
membatasi pertumbuhan angkot adalah zero growth namun hal ini tidak banyak
memberi sumbangan terhadap pengurangan tingkat kemacetan dikarenakan
kendaraan yang terdaftar di luar Kota Bandung dan melakukan perjalanan atau
beroperasi di Kota Bandung berada di luar kewenangan Dinas Perhubungan Kota.
53
III.3.3. Jenis dan Kapasitas Moda Angkutan Umum
III.3.3.1 Armada Angkot
Layanan angkutan umum yang dilakukan oleh angkot dilakukan melalui
pengusaha yang berhimpun dalam koperasi. Terdapat 3 koperasi angkutan kota di
Kota Bandung yaitu:
1. KOBANTER BARU (Koperasi Bandung Tertib Baru)
2. KOBUTRI (Koperasi Bina Usaha Transportasi Republik Indonesia)
3. KOPAMAS (Koperasi Angkutan Masyarakat)
KOBANTER BARU merupakan koperasi angkot yang terbesar di Kota Bandung
dengan jumlah trayek yang 28 dan armada 4.702 kendaraan. KOBUTRI
mengontrol 6 trayek dengan armada 599 kendaraan sementara KOPAMAS
menguasai 4 trayek dengan armada 220 kendaraan.
Ketiga koperasi ini merupakan wadah bagi pemilik kendaraan atau pengemudi
dan memberi forum komunikasi antara pemilik-pengemudi dengan pemerintah.
Dalam prakteknya koperasi ini juga mengatur dan mengkoordinir trayek dan
sebagai fasilitator dalam hubungan dengan pihak bank dalam pembelian
kendaraan dan pembiayaan kendaraan baru. Setiap pemilik angkot yang
beroperasi di Kota Bandung harus merupakan anggota dari salah satu koperasi
tersebut di atas dan koperasi akan menjaga efektifitas hak dan pengawasan
terhadap trayek-trayek yang berada dalam wilayahnya masing-masing.
Studi Masterplan Angkutan Umum tahun 2004 mengutarakan bahwa peran
koperasi angkutan yang sangat besar cenderung dominan baik terhadap anggota
maupun dalam bernegosiasi dengan pemerintah kota. Kekuatan yang dimiliki oleh
koperasi angkutan cenderung mempertahankan status quo dimana apabila ada
upaya pembangunan transportasi perkotaan yang dicurigai akan merugikan
kepentingan koperasi, dan anggota, mereka dapat menghimpun massa yang besar
untuk menghambatnya.
54
55
Tabel III.5 Distribusi Trayek dan Jumlah Armada Koperasi Angkutan
No Nama Trayek Panjang, km Jumlah Koperasi
1 Abdul Muis - Cicaheum via Aceh 22 100 Kobanter Baru 2 Abdul Muis - Cicaheum via Binong 32 369 Kobanter Baru 3 Abdul Muis - Dago 22 273 Kobanter Baru 4 Abdul Muis - Elang 20 101 Kobanter Baru 5 Abdul Muis - Ledeng 26 245 Kobanter Baru 6 Abdul Muis - Mengger 14,89 25 Kobanter Baru 7 Antapani - Ciroyom 25,06 160 Kobanter Baru 8 Cibaduyut - Karang Setra 31,08 201 Kobanter Baru 9 Cicadas - Cibiru - Panyileukan 29,38 200 Kobanter Baru
10 Cicaheum - Ciroyom 30 206 Kobanter Baru 11 Cicaheum - Ledeng 30 214 Kobanter Baru 12 Cijerah - Ciwastra - Derwati 34,11 200 Kobanter Baru 14 Ciroyom - Cikudapateuh 30 125 Kobanter Baru 15 Cisitu – Tegallega 16,19 82 Kobanter Baru 16 Ciwastra - Ujung Berung 22,8 32 Kobanter Baru 17 Dago - Riung Bandung 42 201 Kobanter Baru 18 Elang - Cicadas 31,42 300 Kobanter Baru 19 Elang - Gedebage - Ujung Berung 37,49 115 Kobanter Baru 20 Margahayu Raya - Ledeng 46 125 Kobanter Baru 21 Panghegar P - Dipati Ukur 37,8 155 Kobanter Baru 22 Panyileukan - Sekemirung 43,9 125 Kobanter Baru 23 Pasar Induk Caringin - Dago 44 140 Kobanter Baru 24 Sadang Serang - Caringin 34,24 200 Kobanter Baru 25 Sadang Serang - Ciroyom 18 150 Kobanter Baru 26 Sederhana - Cijerah 14,36 67 Kobanter Baru 27 Sederhana - Cipagalo 27,8 276 Kobanter Baru 28 Stasiun Hall - Gedebage 42 200 Kobanter Baru 29 Cicaheum - Cibaduyut 36,8 150 Kobutri 30 Cicaheum - Ciwastra - Derwati 34 200 Kobutri 31 Ciroyom - Sarijadi 24 97 Kobutri 32 Stasiun Hall - Ciumbeluit via Cihampelas 16 40 Kobutri 33 Stasiun Hall - Ciumbuleuit via Eyckam 18 60 Kobutri 34 Stasiun Hall - Dago 22 52 Kobutri 35 Halteu Andir - Cibogo Atas 8,84 35 Kopamas 36 Sederhana - Cimindi 16,51 55 Kopamas 37 Stasiun Hall - Gunung Batu 16 55 Kopamas 38 Stasiun Hall - Sarijadi 15,4 75 Kopamas
56
1,030.07 5,521 Sumber : Dishub Kota Bandung (2007)
Untuk mengawasi dan melindungi kepentingan operator, setiap koperasi
menunjuk kepala kelompok atau kordinator pengawas trayek. Kelompok-
kelompok ini memiliki kepedulian terutama untuk memastikan pendapatan supir
dari trayek tetap terjaga dan tidak mendorong upaya perbaikan layanan. Ketua
kelompok dapat menjadi koordonator dalam melakukan perlawanan terhadap
perubahan kebijakan, operasi dan trayek angkutan umum yang mungkin dapat
merugikan kepentingan anggota mereka.
Sikap protektif tersebut ditengarai sebagai salah satu alasan transportasi perkotaan
di Kota Bandung berada pada keseimbangan biaya-rendah dan kualitas-rendah
(low-cost low-quality equilibrium). Pemerintah tidak dapat memaksakan
perubahan yang lebih mengutamakan pengguna angkutan umum dan harus
bernegosiasi dengan koperasi.
Berdasarkan Studi Masterplan Angkutan Umum Kota Bandung 2004 diperoleh
gambaran bahwa jumlah armada angkot yang beroperasi di Kota Bandung
melebihi kebutuhan ideal sebesar 247 unit atau 4,5% dari total jumlah armada
yang beroperasi. Perbandingan antara supply armada angkot dan kebutuhan ideal
menurut studi tersebut adalah sebagaimana diberikan pada Tabel III.6.
Kondisi di atas dapat menguntungkan bagi pengguna angkutan dari sisi
ketersediaan layanan namun dari sisi operator menimbulkan persaingan ketat antar
angkot. Dampak yang terlihat dari kelebihan supply ini adalah fenomena ngetem
pada jam-jam off peak.
57
Tabel III.6 Perbandingan Jumlah Armada dan Kebutuhan Ideal Angkot
No Nama Trayek Jumlah Kendaraan
Kebutuhan Ideal Kelebihan
1 Abdul Muis - Cicaheum via Binong 369 358 11 2 Abdul Muis - Cicaheum via Aceh 100 95 5 3 Abdul Muis - Dago 273 263 10 4 Abdul Muis - Ledeng 245 235 10 5 Abdul Muis - Elang 101 95 6 6 Cicaheum - Ledeng 214 204 10 7 Cicaheum - Ciroyom 206 197 9 8 Cicaheum - Ciwastra - Derwati 200 193 7 9 Cicaheum - Cibaduyut 150 143 7 11 Sadang Serang - Ciroyom 150 135 15 12 Stasiun Hall - Ciumbuleuit via Eyckam 60 54 6 13 Stasiun Hall - Ciumbeluit via Cihampelas 40 28 12 14 Stasiun Hall - Gedebage 200 199 1 15 Stasiun Hall - Sarijadi 75 62 13 16 Stasiun Hall - Gunung Batu 55 47 8 17 Margahayu Raya - Ledeng 125 117 8 18 Dago - Riung Bandung 201 198 3 19 Pasar Induk Caringin - Dago 140 129 11 20 Panhegar P - Dipati Ukur 155 149 6 21 Ciroyom - Sarijadi 97 85 12 22 Ciroyom - Bumi Asri 115 107 8 23 Ciroyom - Cikudapateuh 125 121 4 24 Sederhana - Cipagalo 276 271 5 25 Sederhana - Cijerah 67 63 4 26 Sederhana - Cimindi 55 55 0 27 Ciwastra - Ujung Berung 32 29 3 28 Cisitu - Tegallega 82 81 1 29 Cijerah - Ciwastra - Derwati 200 195 5 30 Elang - Gedebage - Ujung Berung 115 113 2 31 Abdul Muis - Mengger 25 23 2 32 Elang - Cicadas 300 294 6 33 Antapani - Ciroyom 160 152 8 34 Cicadas - Cibiru - Panyileukan 200 194 6 35 Panyileukan - Sekemirung 125 117 8 36 Sadang Serang - Caringin 200 196 4 37 Cibaduyut - Karang Setra 201 195 6 38 Halteu Andir - Cibogo Atas 35 35 0
Jumlah 5,521 5,274 247
58
Sumber : Studi Masterplan Angkutan Umum (2004)
III.3.3.2. Armada Bis Kota
Armada bis kota di Kota Bandung hampir sebagian besar dikelola oleh Perum
Damri. Armada ini beroperasi pada 11 trayek dengan jumlah kendaraan 214 buah.
Bis kota memiliki kapasitas 40 - 62 penumpang.
Jaringan trayek yang dilayani oleh bis kota Damri adalah sebagaimana diberikan
pada Tabel III.7 berikut :
Tabel III.7 Jaringan Trayek DAMRI
No Trayek Jumlah Armada Beroperasi
1 Cicaheum - Cibeureum 302 Ledeng - Leuwipanjang 123 Dipati Ukur - Leuwipanjang 124 Elang - Jatinangor 125 Kebon Kalapa - Tanjung Sari 156 Cicaheum - Leuwipanjang 307 Cibiru - Kebon Kalapa - Leuwipanjang 168 Alun-alun - Ciburuy 219 Elang - Jatinangor 1210 Dipati Ukur via Tol 1411 Cicaheum - Cibeureum (AC) 1212 Dipati Ukur - Jatinangor (AC) 813 Cicaheum - Leuwipanjang (AC) 1214 Cibiru - Leuwipanjang (AC) 8
Jumlah 214 Sumber : Perum DAMRI, 2004
Berdasarkan Studi Masterplan Angkutan Umum Kota Bandung 2004 diperoleh
gambaran bahwa jumlah armada bis kota yang beroperasi di Kota Bandung masih
kurang dibanding kebutuhan ideal sebesar 25 unit atau sekitar 12% dari total
jumlah armada yang beroperasi sebesar 214 unit. Perbandingan antara supply
59
armada bis kota dan kebutuhan ideal menurut studi tersebut adalah sebagaimana
diberikan pada Tabel III.8 berikut:
Tabel III.8 Perbandingan Jumlah Armada dan Kebutuhan Ideal Bis Kota
No Nama Trayek Jumlah Armada
Kebutuhan Ideal
Kekurangan /kelebihan
1 Cicaheum - Cibeureum 30 33 -3 2 Ledeng - Leuwipanjang 12 14 -2 3 Dipatiukur - Leuwipanjang 12 13 -1 4 Elang - Jatinangor 12 12 0 5 Kebon Kelapa - Tanjung Sari 15 12 3 6 Cicaheum - Leuwipanjang 30 40 -10 7 Cibiru - Kebon Kelapan - Leuwipanjang 16 23 -7 8 Alun-alun - Ciburuy 21 15 6 9 Elang - Jatinangor via tol 12 18 -6
10 Dipatiukur via tol 14 12 2 11 Cicaheum - Cibeureum (AC) 12 14 -2 12 Dipatiukur - Jatinangor (AC) 8 8 0 13 Cicaheum Leuwipanjang (AC) 12 16 -4 14 Cibiru - Leuwipanjang (AC) 8 9 -1
Jumlah 214 239 -25 Sumber: Studi Masterplan Angkutan Umum (2004)
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah armada bis kota di Kota Bandung masih
kurang dibanding dengan kebutuhan ideal. Perbandingan kebutuhan dan jumlah
armada antara bis kota dengan angkot di atas menunjukkan bahwa tersebut
berbeda dengan angkot yang menunjukkan bahwa pada umumnya jumlah armada
biskota yang dikelola DAMRI masih kurang.
III.3.3.3. Taksi, Becak, Ojeg dan Delman
Selain layanan bis kota dan angkot, terdapat angkutan umum dengan rute tidak
tetap di Kota Bandung yaitu berupa taxi, becak, ojeg dan delman. Di Kota
Bandung terdapat 1.182 taxi yang dioperasikan oleh enam perusahaan yaitu
Centris, PuskopAU, Kota Kembang, Gemah Ripah, 4848 dan Kuat (Dishub Kota
Bandung, 2006).
60
Pada daerah sekitar pasar dan pusat perbelanjaan, untuk pergerakan jarak pendek
biasanya dilayani oleh becak dengan jumlah diperkirakan 4000 buah. Jenis
angkutan ojeg dan delman juga merupakan angkutan yang banyak beroperasi
terutama pada daerah pinggiran kota. Fenomena ini diduga disebabkan oleh
keterbatasan jangkauan jalur angkutan umum pada daerah pemukiman-
pemukiman. Studi Masterplan Angkutan Umum (2004) mencatat terdapat 60 titik
lokasi becak beroperasi dan 53 pangkalan ojeg di Kota Bandung.
III.4. Kondisi Lalu Lintas di Kota Bandung
Sebagai kota yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, Kota
Bandung mengalami fenomena peningkatan kemacetan lalu lintas. Pertumbuhan
jumlah kendaraan, terutama kendaraan pribadi baik sepeda motor maupun mobil,
yang tidak seimbang dengan penambahan jaringan jalan memberi andil terhadap
keadaan tersebut.
Salah satu kriteria untuk menilai keseimbangan, atau ketidakseimbangan, antara
supply dan demand adalah dengan melihat nisbah (ratio) volume kendaraan yang
melintas dengan kapasitas jalan, yaitu v/c ratio. Berdasarkan data dari Dinas
Perhubungan Kota Bandung, nisbah v/c untuk beberapa jalan di Kota Bandung
yang menjadi bagian dari penelitian ini adalah sebagaimana pada Tabel III.9
berikut.
Tabel III.9 Kinerja Jaringan Jalan di Kota Bandung
Panjang v/c, rata-rata No Ruas / Jalan m (Th. 2002)
1 PHH Mustafa 2,370 1.0 2 Surapati 1,650 0.9 3 Dipati Ukur 1,750 1.0 4 Siliwangi 1,025 0.8 5 Cihampelas 1,570 0.8 6 Eyckman 730 0.9 7 Pasirkaliki 670 0.8 8 A R Saleh 1,000 1.0 9 Garuda 620 0.6 10 Pajajaran 1,960 0.7
61
11 Jalan Ciroyom 1,280 1.0
Sumber : Dishub Kota Bandung, 2006 (diolah)
Dengan nisbah v/c yang rata-rata mendekati angka 1,0 tersebut menunjukkan
bahwa kapasitas jalan yang ada sudah tidak akan mampu lagi menampung
penambahan volume kendaraan tanpa terjadinya penurunan kecepatan yang
berarti juga penurunan kualitas layanan. Ukuran kualitas layanan jaringan jalan,
dan sistem transportasi pada umumnya, adalah waktu yang dibutuhkan untuk
melintas pada ruas tertentu atau pada keseluruhan rangkaian ruas jalan yang
membentuk jaringan perjalanan dari titik asal sampai titik tujuan.