Upload
dangkhuong
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
36
BAB III PANDANGAN FRANZ MAGNIS SUSENO
TENTANG HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
A. Riwayat Singkat dan Karya Franz Magnis Suseno
Dr. Franz Magnis Suseno adalah anggota serikat Yesus dan dosen
filsafat atau etika sosial politik di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Disamping itu juga sebagai dosen tidak tetap Fakultas Sastra Universitas
Indonesia dan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan.
Frans Magnis Suseno lahir di Eckerdorf, Jerman, pada 68 tahun yang
lalu, tepatnya tanggal 26 Mei 1936. Keahliannya dibidang ilmu filsafat, teologi
dan teori politik diperolehnya di Hochschule Fur Philosophie, Pullach, juga di
Institut Filsafat Teologi di Yogyakarta dan Universitas Munchen pada tahun
1973.
Sebagai seorang imigran yang berkebangsaan Jerman, Frans Magnis
Suseno merupakan seorang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan barunya
di Indonesia. Ia merupakan pemikir katolik yang cerdas dan banyak disegani tidak
saja pada komunitas Katolik, namun juga pada komunitas agama lainnya. Hal ini
tidak terlepas dari keluasan dan keterbukaan cara pandang keagamaannya.
Franz Magnis Suseno menghabiskan waktu hidupnya dalam kegiatan-
kegiatan intelektual seperti menulis buku, menghadiri dan menjadi nara sumber
forum-forum ilmiah baik dalam dan luar negeri. Disamping itu beliau juga
37
sebagai rohaniawan yang rajin dan bertanggungjawab, sehingga kerap kali terlihat
dalam forum-forum lintas iman untuk menumbuhkan kesadaran kebersamaan dan
pluralieme agama ditengah-tengah kita.
Jerih payah dari aktivitasnya intelektualnya telah melahirkan karya-
karya monumental yang disumbangkan kepada bangsa ini, lebih dari 100
karangan populer dan ilmiah. Karya-karyanya antara lain: Normative
Vorausstzungen Im Dentein Des Jungen Marx (1843-1848) (1975), Etika Umum,
Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (1987), Javanische Weishat And Ethik,
Studien Zu Einor Ostiichen Moral (1981), Kita Dan Wayang (1982), Etika Jawa
Dalam Tantangan (Bersama Drs. Rekso Susilo) (1983), Etika Jawa, Sebuah
Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (1984), Moral Dan Kuasa
(1986), Etika Dasar (1987). Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern (1987), Neue Schwingen Fur Garuda, Indonesia Zwischen
Tradition and Modern (1989), Berfilsafat dari Konteks (1991), Wayang dan
Panggilan Manusia (1991), Filsafat Sebagai ilmu Kritis (1992), Beriman dalam
Masyarakat, Butir-Butir Teologi Kontekstual (1993), Mencari Sosok Demokrasi
Sebuah Telaah Filosofis (1995) 1.
Jika di klasifikasikan karya-karya Romo Magnis, berkisar pada masalah-
masalah Filsafat, Teologi dan Etika Moral serta budaya. Dapat dilihat pada tabel
berikut :
1 Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 405. Juga
dapat dilihat pada buku Filsafat Kebudayaan Politik, Butir-Butir Pemikiran Kritis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm. 255.
38
Filsafat
• Normative Vorausstzungen Im Dentein Des Jungen Marx (1843-1848)
• Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral • Berfilsafat dari Konteks • Filsafat Sebagai ilmu Kritis • Mencari Sosok Demokrasi Sebuah Telaah Filosofis
1995
1975 1991 1992 1995
Etika/Moral
• Etika Umum, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral • Javanische Weishat And Ethik, Studien Zu Einor
Ostiichen Moral • Etika Jawa Dalam Tantangan (Bersama Drs. Rekso
Susilo) • Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa • Moral Dan Kuasa • Etika Dasar • Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern • Neue Schwingen Fur Garuda, Indonesia Zwischen
Tradition and Modern
1987 1981
1983
1984
1986 1987 1987 1989
Teologi • Beriman dalam Masyarakat, Butir-Butir Teologi Kontekstual
1993
Budaya • Kita Dan Wayang • Wayang dan Panggilan Manusia
1982 1991
Tidak heran jika Romo Magnis tidak diragukan lagi dalam memberikan
fatwa-fatwa filsafat, teologi, etika dan masalah-masalah budaya. Pada suatu
kesempatan penulis juga mengikuti seminar (tahun 2003 di Semarang) dimana
Romo Magnis menjadi nara sumber tentang Agama dan Teorisme. Dia sangat
lantang menyuarakan bahwa agama manapun sangat anti terhadap teoris
(kekerasan) dan perlunya kita untuk mengembangkan prilaku hidup yang inklusif
dan damai.
B. Pemikiran Franz Magnis Suseno tentang Agama dan Negara
39
1. Pengertian Agama dan Negara
Franz Magnis Suseno melihat agama dari dua sisi, yaitu sisi
relativisme agama dan absolutisme agama. Dari sisi relativisme agama,
menurutnya agama yang ada di dunia ini pada dasarnya adalah sama saja.
Agama semata-mata termasuk ke dalam kategori jalan, dan bukan termasuk ke
dalam kategori tujuan. Seakan-akan agama-agama, sebagai jalan yang
berbeda-beda untuk mendapatkan tujuan yang satu, Tuhan, adalah relatif.
Relativisme agama ini tidak memecahkan masalah karena tidak
memperhatikan apa yang menjadi hakekat agama wahyu, yaitu bahwa mereka
meyakini diri sebagai kebenaran yang oleh Allah sendiri diperuntukan bagi
segenap manusia. Sebagai kebenaran dari Allah agama itu mutlak. Bagi umat
Islam al-Qur’an bukan salah satu buku suci, melainkan wahyu lengkap dan
paripurna yang diturunkan oleh Allah sendiri. Bagi orang Kristen Yesus
adalah Sang Sabda Allah sendiri dan bukan salah satu guru kerohanian.2
Jadi walaupun agama Islam dan Kristen tedapat banyak perbedaan
mengenai tugas agama dalam kehidupan masyarakat, namun pada dasarnya
dua agama itu sependapat bahwa kehidupan agama tidak dapat dibatasi pada
gedung mesjid atau gereja dan tidak juga pada hari jum’at atau hari minggu,
melainkan menyangkut seluruh manusia, dalam segala dimensi kehidupannya.
2 Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, Butir-ButirPemikiran Kritis, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal. 77.
40
Sedangkan dari sisi absolutisme agama, dia mengatakan bahwa yang
mutlak adalah hanya satu, Yang Mutlak, Allah Sendiri. Maka yang mutlak
pada agama adalah unsur Illahi di dalamnya dan unsur Illahi adalah wahyu.
Wahyu dan hanya wahyu, adalah unsur mutlak dalam agama-agama wahyu.
Lebih lanjut Franz Magnis Nuseno mengatakan bahwa secara hakiki agama
terdiri dari unsur Illahi dan unsur-unsur manusiawi. Dalam agama Allah
menyapa manusia, itulah wahyu, dan wahyu adalah unsur mutlak dalam
agama; dan dalam agama sekaligus manusia menjawab dalam iman dan itulah
unsur yang tidak mutlak.3
Agama-agama yang di satu pihak dengan terbuka dan meyakinkan
memberikan kesaksian tentang Allah, tentang keselamatan menyeluruh yang
hanya datang dari Allah, tentang jalan keselamatan Illahi yang mereka yakini
itu, yang di lain pihak menjadi teladan bagi masyarakat dalam toleransi,
kejujuran, kerendahan hati dan keterbukaan agama-agama seperti itu mesti
amat besar peranannya dalam dunia paska konvensional dan informasi yang
kita tujui. Karena kalau begitu agama-agama akan menjadi pembela,
pelindung dan pemaju martabat manusia yang paling kuat, berhadapan dengan
ancaman zaman yang cenderung mengorbankan manusia demi ideologi atau
memfungsikannya demi kelestarian sistem.
3 Ibid., hal. 78.
41
Agama-agama diharapkan menjadi pendorong kuat nilai-nilai yang
dijunjung tinggi manusia modern, tetapi yang terancam oleh perkembangan
masyarakat modern sendiri: demokrasi, hak asasi manusia, keadilan sosial,
keadilan internasional, hak penentuan diri, independensi hukum dan kesamaan
orang di hadapan hukum, otonomi orang untuk mengurus diri sendiri dan
seterusnya.4
Dari penjelasan diatas, kiranya sudah sangat mendesak agar agama
sepenuhnya mengaktualisasikan potensi universalisme kemanusiaan yang
mereka terima dari Allah. Agama-agama diharapkan menjadi sumber
integritas dan kejujuran. Dari agama-agama nilai-nilai seperti kebenaran,
keadilan, kebebasan, kesamaan, kasih sayang, belaskasihan, toleransi, dan
kesediaan untuk menahan diri berpancaran ke dalam masyarakat. Agama-
agama mesti menjadi tempat di mana setiap orang, juga yang bukan menjadi
anggota agama tersebut merasa terlindung, yang tanpa pamrih, tanpa ikut-
ikutan dengan korupsi budaya, dan kekuasaan yang berlangsung, melibatkan
diri bersama dalam pembangunan masyarakat.
Kemudian mengenai negara, franz Magnis Suseno memberikan
definisi bahwa “negara” sama dengan staat dalam bahasa Jerman atau state
dalam bahasa Inggris, mempunyai dua arti; Pertama, negara adalah
masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis. Dalam arti ini
4 Ibid., 87.
42
India, Korea Selatan atau Brasilia merupakan negara. Kedua, negara adalah
lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis itu, yang menata dan dengan
demikian menguasai wilayah itu. Begitu misalnya pulau-pulau nusantara
merupakan satu negara Indonesia (“negara” dalam arti pertama) karena
mereka berada di bawah satu negara (dalam arti ke dua). Begitu pula Malaya,
Sarawak dan Sabah merupakan satu negara, karena “mempunyai“ satu
lembaga negara yang memerintahi mereka. Sedangkan suku-suku Papua di
Irian atau bangsa Kurdi di Timur Tengah tidak merupakan negara karena tidak
berada di bawah satu lembaga pemerintahan.5
2. Relasi Agama dan Negara
Hubungan Antara Agama dan Negara sangat dapat menentukan
tingkat ketahanan nasional, hampir semua manusia Indonesia, secara
mendalam ditentukan dalam sikap-sikap mereka oleh iman kepercayaan
mereka, dan iman kepercayaan itu tergantung dari agama yang mereka anut.6
Sejarah hubungan antara Islam dan Kristen ditandai oleh dinamika kehidupan
politik dan negara yang amat panjang sejak agama ini muncul kepermukaan
sejarah. Sejak munculnya berbagai imperium yang bersandar pada agama,
maka relasi antar kedua agama tersebut berjalan sejajar dengan relasi politik
antara “imperium islamicum” dengan “imperium cristianum” yang ditandai
dengan banyak ketegangan, konflik dan peperangan.
5 Franz Magnis Suseno, Etika Politik…..hal. 170. 6 Franz Magnis Suseno, Kuasa Dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hal. 100.
43
Salah satu cara dalam upaya menjalin hubungan yang produktif antara
agama dan politik adalah dengan jalan memberi peluang seluas-luasnya bagi
agama untuk menjaga otonominya selaku kekuatan kritis masyarakat,
kemampuan profetik agama harus dipulihkan dengan jalan memulihkan
otonomi agama sebagai kekuatan pendamping bagi masyarakat dalam
perjalanan sejarahnya selaku “rombongan musyafir”.
Agama berperan sebagai hati nurani masyarakat yang bisa memberi
pertimbangan moral dan etik bagi keputusan-keputusan politik yang hendak
diambilnya. Dengan arah ini, negara tidak hanya berlaku sebagai penguasa
yang bisa bebas memanipulasi agama demi kepentingan politiknya sendiri,
dan agama hanya berfungsi selaku pemberi legitimasi dan cap pembenaran
bagi negara.7
Negara memang memerlukan dasar normatif, suatu sistem nilai dan
pandangan tentang manusia yang mendasari kebijakan-kebijakannya. Tetapi
sistem nilai itu tidak boleh diciptakan oleh mereka yang kebetulan berkuasa,
melainkan harus diambil dari masyarakat sendiri, harus merupakan
perwujudan kepribadian moral bangsa dan masyarakat sendiri, harus
merupakan perwujudan kepribadian moral bangsa dan masyarakat sendiri.
Jadi sistem nilai yang mendasari kehidupan bernegara harus berorientasi pada
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dan tidak sebaliknya. Dan itu berarti
7 Th. Sumartana, Agama dan Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 132-133.
44
bahwa sistem nilai-nilai dasar juga harus berorientasi pada nilai-nilai dalam
agama-agama karena agama-agama adalah pengemban utama nilai dalam
masyarakat walaupun bukan satu-satunya.8
Dilema antara Agama dan Negara dapat menjadi tajam apabila negara
diselenggarakan berdasarkan sebuah ideology yang harus dianut oleh semua
anggota masyarakat, karena ideology adalah sesuatu yang disamping
kepatuhan juga mau menuntut kepercayaan, padahal kepercayaan adalah
wewenang khas agama. Maka masalah ideologi negara selalu juga merupakan
masalah hubungan anatara negara dan agama.
Negara tidak hanya membutuhkan ketaatan warga-warganya,
melainkan dukungan berdasarkan rasa loyalitas dan cinta, jadi dukungan hati,
apabila antara negara dan agama terjadi ketidak cocokan, hati orang beragama
akan bingung, terjadilah suatu delima etis.setia kepada negara berarti bahwa ia
merasa bersalah sebagai seorang nasionalis. Jadi agama harus membentuk
masyarakat bersikap patuh, sedangkan negaralah yang harus mengurusnya.9
Franz mengatakan Indonesia adalah bangsa yang pluralistik.
Pluralistik secara budaya, etnik dan kekuasaan, dan juga dalam dimensi
agama. Jelaslah bahwa peran Agama di Indonesia akan sangat menentukan
bagi masa depan, dalam bukunya dikatakan bahwa hati, berbelas kasih, bebas
pamrih, dan berdamai. Dan negara adalah stabilitas politik negara dan karir
8 Franz Magnis Suseno, Op.Cit., hal. 109. 9 Ibid, hal. 104.
45
politik penguasa yang bergantung pada berbagai teknik yang mereka
kembangkan untuk mempertahankan kekuasaan.
Tugas negara adalah menjamin dan menciptakan syarat-syarat yang
diperlukan masyarakat untuk hidup secara sejahtera. Negara tidak berhak
untuk mengatur dan menentukan segala-galanya. Negara semacam itu
bertentangan dengan martabat manusia ciptaan Allah. Tetapi negara berhak
untuk memberikan aturan-aturan kelakuan dan pergaulan yang pasti dan tidak
akan dibiarkan pelanggarannya, negara dan bukan agamalah yang wajib untuk
menjamin kesejahteraan umum masyarakat. Dan oleh karena itu negara dan
bukan agamalah yang berhak untuk mengambil keputusan dalam bidang
pengaturan kehidupan masyarakat.10
Berdirinya sebuah negara bagi semua agama, tanpa kecuali,
merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Negara akan
mengemban fungsi sebagai benteng bagi agama. Sedangkan para penguasa
negara itu berfungsi sebagai penyebar. Tidak jarang diantara para penguasa
negara agama tertentu yang tidak mengerti urgensi penyebaran agama yang
dianut bagi kepentingan hidup mereka. Dalam keadaan seperti ini, mereka
tidak ubahnya seperti orang bodoh atau anak kecil yang dicabut hak-haknya
10 Ibid, hal. 106.
46
untuk melakukan perbuatan hukum karena tidak mengerti tujuan
tindakannya.11
Dalam tulisannya, Muhammad al-Bahy mengatakan bahwa hubungan
Agama dan Negara ketika mendekati Islam, yaitu bahwa Islam bukan wahyu,
bukan risalah langit. Islam dipandang sebagai sebuah reformasi yang
dilakukan oleh reformer manusia biasa. Sedangkan hubungan Agama dan
Negara yang berkembang dikalangan mereka yang kemudian lebih dikenal
dengan gereja dan negara atau pemisahan dua kekuasaan.
Misal, orang-orang barat mengatakan bahwa agama adalah penuntun
spiritual dalam menjalin hubungan antara sesama individu. Sedangkan negara
menurut mereka adalah tata hubungan antar individu. Dalam hal ini mereka
mengacu pada posisi Yesus kristus dalam risalah yang menekankan cinta
kasih diantara sesama.12
Dalam bukunya Plato mengatakan bahwa asal mula negara itu terletak
dalam keinginan dan kebutuhan manusia, maka itu berarti bahwa negara
dibentuk oleh dan untuk manusia. Sesuai dengan ajaran etik yang
dikembangkan yaitu untuk kesenangan dan kebahagiaan warganya. Maka itu
berarti bahwa tugas negara ialah mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan,
11 Dr. a. Gaffar Aziz, Berpolitik Untuk Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 35. 12 Ibid, hal. 51-52.
47
dengan demikian fungsi negara yang paling menonjol ialah fungsi
kesejahteraan.13
Politik pada akhirnya perjuangan yang tak pernah ada akhirnya. Politik
selalu menekankan pada kebajikan, kebaikan, dan keadilan (etika) dalam
berbagai segi hubungan antara warga dengan negara. politik pada saat ini
lebih mengeraskan titik tumpunya pada masalah individual dan hak-haknya
yang berfokus ihwal kebebasan, kewibawaan, kekuasaan, hak asasi,
kewajiban, konsensus, demokrasi, dan keadilan. Semua penekanan tersebut
selaras dengan perkembangan situasi yang dihadapi. Masalah terpenting dari
relasi Agama dan Negara (kekuasaan) ialah menempatkan pemahaman
keagamaan dan teoritis kekuasaan sebagai proses sosial dan budaya yang
tidak pernah berakhir. Semua orang dengan beragam aliran dan agama bisa
terlibat aktif dalam semua momen politik, keagamaan dan kenegaraan,
sebagai bagian kemandirian warga dalam gagasan masyarakat sipil atau
madani.
Menguatnya diskursus agama, politik dan negara yang telah
berlangsung cukup lama. Agama dianggap sebagai entitas yang memiliki nilai
sakral, karena itu memang seringkali diagungkan, diunggulkan, untuk menjadi
semacam pembawa “petuah” bagi para pengikutnya. Sementra itu, politik
semacam kekuatan pemaksa yang sangat berpengaruh dalam aktifitas
13 Dr. J. H. Rapar, Th.D., Ph.D., Filsafat Politik Plato, Rajawali Press, Jakarta, 1996, hal. 63.
48
kenegaraan. Dengan politik orang dapat mengatur orang lain, karena dia
memiliki kekuatan (kuasa). Sedangkan negara dengan model dan caranya
sendiri memiliki kekuatan yang cukup dahsyat dalam mengatur masyarakat
sebagai dasar legitimasi kekuasaan politik yang dimiliki.
Kelihatannya hubungan antara Agama dan Negara di Indonesioa ini
merupakan tema yang masih sulit diselesaikan dan masih akan
berkepanjangan. Sekalipun partai berbasis keagamaan menguat kembali dan
sentimen agamapun masih kental, suatu kenyataan yang sulit dinafikan adalah
bahwa Indonesia adalah sebuah “Nation State” yang dibangun diatas landasan
wawasan kebangsaan.
Hubungan antara Agama dan Negara ditandai oleh persaingan diantara
peran keimanan dan peran kenabian agama. Semakin banyak suatu agama
menjalankan peran keimanan maka semakin dekat agama itu kepada negara,
dan semakin suatu agama menjalankan peranan kenabian maka semakin kritis
agama itu terhadap negara.14
Banyak orang berharap atau mungkin yakin bahwa agama dapat
menyelesaikan semua hal, tetapi ternyata sering terjadi agama dipakai sebagai
alasan timbulnya persoalan. Banyak kasus yang menggunakan simbol-simbol
agama, disisi lain orang mengatakan bahwa politik itu kotor, politik itu jahat,
tetapi kenyataannya negara ini banyak ditentukan oleh orang-orang politik.
14 Martin. L. Singa, Agama-Agama Memasuki Millennium Ketiga, Gramedia Widasarana
Indonesia, 2000, hal. 27.
49
Politisi agama jelas tidak dikehendaki oleh mereka yang meyakini
bahwa agama bukanlah sekedar alat legitimasi politik kekuasaan tertentu,
karena itu, mesti dihentikan. Namun tidak sedemikian buat mereka yang
memang memahami bahwa agama merupakan alat paling ampuh untuk
menggalang kekuatan.
Misal perdebatan yang terjadi pada saat menjelang pemilihan presiden
di negeri ini dari kubu politisi “muslim fundamentalis” dengan muslim
nasionalis, dan beberapa politisi non muslim adalah contoh yang tetap aktual
untuk dikemukakan. Bahkan demokratisasi yang terjadi juga memberikan
isyarat bagaimana kelompok agama sering “bergelut” demi kepentingan
politiknya. Pemaksaan kehendak oleh kelompok tertentu terhadap kelompok
lain mencerminkan bagaimana simbol-simbol agama menjadi “pasar taruhan”
yang amat kuat, sekalipun akhirnya tidak selesai, namun semua itu
memberikan pijakan kepada kita, bahwa Agama dan Negara memang
merupakan bagian sensitiv yang layak diperhatikan.15
Realitas diatas sebenarnya tidak produktif bagi sebuah negara pluralis,
dimana antara Agama dan Negara terjadi hubungan antagonis, sekaligus
protogonis; yaitu negara memanfatkan agama sebagai dorongan utama
menciptakan sentimen ideologis. Hubungan antara agama, politik dan negara
dalam masyarakat plural tidak akan pernah menumbuhkan iklim demokrasi
15 A.a. Yewagoe, Agama dan Negara, Institut Dian/ Interfidei, Yogyakarta, hal. 8.
50
karena tidak mencerminkan persamaan-persamaan, keadilan dan kebebasan
individu.
Hubungan yang menempatkan agama sebagai kontrol sosial baragkali
akan lebih bermafaat bagi bangsa ini, dengan menempatkan agama sebagai
kontrol sosial sekaligus menempatkan agama sebagai kritik atas dirinya
sehingga agama tidak menjadi tirani dalam hidup beragama dan bernegara.16
Negara bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan umum. artinya
negara membantu dan mendukung usaha masyarakat untuk membangun suatu
kehidupan dimana semua anggitanya dapat hidup dengan wajar. Tujuan itu
pada zaman sekarang berarti bahwa negara di bebani tanggungjawab sosial.
Negara tidak boleh sekedar netral terhadap semua golongan, melainkan harus
berpihak pada mereka yang paling lemah dan membutuhkan bantuan.
Berpihak dalam arti bahwa negara mengambil tindakan-tindakan khusus
untuk menjamin kesejahteraan dasar bagi mereka. Tuntutan itu bukan hanya
tuntutan kesetiakawanan seluruh masyarakat, melainkan tuntutan keadilan.
Bahwa ada golongan-golongan dalam masyarakat yang miskin dan tidak
berdaya terhadap segala macam bentuk peghisapan dan pemerkosaan
merupakan akibat struktur proses-proses sosial yag tidak adil. Keadilan sosial
16 Ibid., hal. 9
51
merupakan tantangan dewasa ini, bukan hanya dalam dimensi nasional,
melainkan juga dalam hubungan antar bangsa17
Hubungan antar negara dan agama dibahas dalam dua langkah,
pertama pola dasar dalam hubungan ini dan wewenang negara terhadap
agama. Hubungan antar negara dan agama ditunjukkan secara positif
sebagaimana seharusnya hubungan negara dengan agama-agama yang
terdapat dalam wilayah kekuasaan. Bentuk konkrit hubungan ideal ini dapat
berbeda-beda karena tergantng struktur sosial dan ninilai-nilai budaya
masyarakat masing-masing. Ada dua bentuk ekstrim hubungan ini yang saling
berlawanan yaitu negara sekularistik dan negara agama. Penolakan dua bentuk
negara itu diharapka akan menghasilkan patokan-patokan untuk mencari
secara positif, bagaimana sebaiknya negara berhubungan dengan agama dalam
suatu masayarakat tertentu.
Negara sekularistik adalah negara yang menganggap sepi adanya
agama-agama dalam masyarakat. agama dipandang tidak berbeda dari
perkumpulan dan organisasi swasta lain yang dibentuk oleh warga masyarakat
atas inisiatif pribadi mereka. Bagaimana negara sekularistik ada dua alasan.
Pertama seperti tidak masuk akal kalau negara sama sekali tidak
memperhatikan adanya serikat buruh dan serikat pengusaha dalam perumusan
kebijaksanaan hubungan kerja industri, begitu juga, kalau negara tidak
17 Franz Magnis Suseno, Op.Cit., hal 346
52
mengikut sertakan agama-agama dalam persiapan pencairan kebijaksanaan
yang menyangkut masalah penilaian. Alasan kedua bersifat etis dan prinsipil.
Sama halnya dengan nilai-nilai moral, agama-agama termasuk harta warisan
kerohaniahan masyarakat dan dengan demikian termasuk dalam wawasan
kesejahteraan umum yang harus diselenggarakan oleh negara. dari negara
malahan harus dituntut agar warisan religius itu dilindungi dan diciptakan
kondisi-kondisi umum agar dapat lestari dan berkembang.18
Negara agama adalah negara yang diatur dan diselenggarakan menurut
hukum agama. Tetapi karena semua agama mempunyai pandangan yang
berbeda tentang bagaimana negara harus dijalankan, maka negara agama
dengan sendirinya selalu merupakan negara yang dikuasai oleh salah satu
agama tertentu. Negara tidak mungkin dikuasai oleh agama pada umumnya,
melainkan hanya salah satu saja. Jadi baik negara sekularistik maupun negara
agama tidak memadai. Agama adalah bagian realitas sosial yang amat sangat
berharga dan oleh karena itu termasuk unsur hakiki dalam kesejahteraan
masayarakat. Maka negara wajib untuk bersikap positif terhadapnya. Tetapi
jangan sampai diagamakan karena di satu pihak melumpuhkan usaha akal
budi manusia untuk terus menerus mengusahakan kehidupan bersama yang
paling wajar. Di lain pihak menggerogoti ketulusan keagamaan itu sendiri,
serta melanggar keadilan dan membahayakan kesatuan bangsa dan
18 Ibid., hal. 362
53
masayarakat. Agama diharapkan percaya pada kekuatannya yang hakiki, yang
terletak dalam meminjam kekuasaan fisik negara, melainkan dalam daya
rohaninya.