36
62 BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen Bumiputera di Jawa Barat 1. Pengantar Penjelajahan orang-orang Eropa di Pulau Jawa berlangsung dari arah Barat menuju ke arah Timur, secara khusus sepanjang menyusuri pesisir pantai Utara pulau Jawa. Pada abad ke-16, orang Portugis mulai tiba di Sunda Kelapa menjelang tahun 1525 dan orang Belanda mendarat di wilayah Kesultanan Banten untuk pertama kalinya pada tahun 1596, dan mendirikan benteng pertahanan di Batavia sejak 1619. 1 Keputusan Belanda untuk menetap dan menempatkan bandar utama di dekat Banten untuk menunjukkan kedudukan utama mereka di Pulau Jawa. Akan tetapi, kehadiran orang-orang Belanda dapat masuk ke pedalaman Pulau Jawa baru terjadi pada paruh kedua abad ke-18. Orang-orang Eropa datang pertama kali ke Jawa bagian Barat, yang sering disebut dengan Tanah Pasundan – dari kata pays Sunda yang berarti tanah atau negeri Sunda. Wilayah Jawa bagian Barat ini memiliki perbedaan yang signifikan 1 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan (Jakarta: Gramedia, 2008), 37.

BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

62

BAB III

Keberadaan dan Kepemilikan Tanah

Desa-desa Kristen Bumiputera di Jawa Barat

1. Pengantar

Penjelajahan orang-orang Eropa di Pulau Jawa berlangsung dari arah Barat

menuju ke arah Timur, secara khusus sepanjang menyusuri pesisir pantai Utara

pulau Jawa. Pada abad ke-16, orang Portugis mulai tiba di Sunda Kelapa menjelang

tahun 1525 dan orang Belanda mendarat di wilayah Kesultanan Banten untuk

pertama kalinya pada tahun 1596, dan mendirikan benteng pertahanan di Batavia

sejak 1619.1 Keputusan Belanda untuk menetap dan menempatkan bandar utama di

dekat Banten untuk menunjukkan kedudukan utama mereka di Pulau Jawa. Akan

tetapi, kehadiran orang-orang Belanda dapat masuk ke pedalaman Pulau Jawa baru

terjadi pada paruh kedua abad ke-18.

Orang-orang Eropa datang pertama kali ke Jawa bagian Barat, yang sering

disebut dengan Tanah Pasundan – dari kata pays Sunda yang berarti tanah atau

negeri Sunda. Wilayah Jawa bagian Barat ini memiliki perbedaan yang signifikan

1 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan (Jakarta:

Gramedia, 2008), 37.

Page 2: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

62

dengan wilayah Jawa lainnya (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Wilayah ini memiliki

bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Sunda dan dialek Melayu, meskipun sebagian

wilayah lainnya juga dipengaruhi bahasa Jawa. Jawa bagian Barat memiliki dua

corak wilayah, yaitu dataran rendah meliputi Banten, Batavia, dan daerah pesisir

sampai ke Cirebon, sedangkan dataran tinggi meliputi Priangan (dalam bahasa

Belanda sering disebut Preanger). Kemudian, wilayah Jawa bagian Barat terbagi

ke dalam beberapa wilayah keresidenan (residentie), yaitu: Bantam (Banten),

Batavia (Jakarta), Preangerregentschappen (Priangan), dan Cheribon (Cirebon).2

Sejak abad ke-17, Jawa Barat menjadi salah satu wilayah yang mengalami

pengaruh langsung dari kekuasaan Belanda di bidang politik, sosial, dan ekonomi.

Bahkan, sejak abad ke-18, sebagian besar wilayah di Pulau Jawa telah dikuasai oleh

orang Belanda secara langsung. Namun, dengan berbagai gejolak yang dihadapi

pada paro pertama abad ke-19, semisal Perang Jawa atau disebut juga Perang

Diponegoro (1825-1830), pemerintah Hindia Belanda mengandalkan tenaga-tenaga

dan sumber-sumber daya alam Jawa untuk memulihkan kondisi perbendaharaan

negeri Belanda. Karena itu, pemerintah perlu menjaga keamanan dan ketertiban di

Pulau Jawa, salah satunya dengan enggan mengizinkan Zending melakukan

pekabaran Injil selama masa-masa itu.3 Dengan demikian, pengaruh orang-orang

Belanda di bidang agama hampir tidak terasa, khususnya untuk mengabarkan Injil

kepada orang-orang yang bukan bangsa Eropa sampai sekitar tahun 1850-an.

2 M. Lindenborn, Onze Zendingsvelden III: West Java als Zendingsterrein der

Nederlandsche Zendingsvereeniging (Utrecht: Zendingstudieraad, t.t.), 1. 3 Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860 (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2003), 198.

Page 3: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

63

Pada Bab III ini akan dipaparkan tentang pembentukan desa-desa Kristen di

Jawa Barat pada kisaran tahun 1882 sampai dengan tahun 1912. Sebelum masuk

pada pemaparan tentang keberadaan desa-desa Kristen di Jawa Barat, terlebih

dahulu akan dipaparkan tentang Zending Nederlandsche Zendingsvereeniging

(selanjutnya disingkat dengan NZV) yang sejak tahun 1863 mulai memilih Jawa

Barat sebagai ladang pekabaran Injil. Selanjutnya, dengan berbagai latar belakang

pekabaran Injil di Jawa Barat, maka akan dipaparkan tentang keberadaan desa-desa

Kristen sebagai bagian proses historis NZV berkiprah di Jawa Barat dalam periode

tahun 1870-an sampai dengan tahun 1920-an.

2. Jawa Barat sebagai ladang Pekabaran Injil

Sejak awal abad ke-17, Gereja Protestan di Hindia Belanda (Indische Kerk)

telah didirikan pada masa kekuasaan perusahaan dagang Belanda de Verenigde

Oost-Indische Compagnie (VOC) di Batavia. Bahkan, di sekitar pelabuhan di

Banten (Bantam) telah diselenggarakan ibadah-ibadah untuk pemeliharaan iman

hanya bagi para pekerja dan pengusaha perdagangan yang adalah orang Eropa dan

Indo-Eropa. Akan tetapi, upaya pekabaran Injil kepada penduduk Bumiputera di

Jawa Barat tidak pernah dilakukan sampai pada paruh pertama abad ke-19. Setelah

tahun 1850-an, orang Kristen Belanda (Eropa) mulai bergerak mengabarkan Injil

kepada penduduk Bumiputera, termasuk wilayah Jawa Barat sebagai ladang

pekabaran Injil.

Pada tanggal 3 September 1851, di Batavia telah didirikan ‘Perhimpunan

untuk pekabaran Injil di dalam dan di luar’ (Genootschap van In- en Uitwendige

Page 4: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

64

Zending atau disingkat GIUZ). Tokoh-tokoh yang turut mendirikan perhimpunan

ini adalah F.L. Anthing4, I. Esser5, A.A.M.N. Keuchenius6, dan E.W. King7.

Perhimpunan ini menjalankan pekabaran Injil hanya di wilayah Batavia dan

sekitarnya, terutama bagi kalangan penduduk Bumiputera dan juga kepada orang-

orang Tionghoa-peranakan. Pekabaran Injil kepada penduduk di pinggiran Batavia

telah dipelopori oleh F.L. Anthing8, sedangkan untuk melakukan pekabaran Injil

kepada orang Tionghoa, GIUZ memanggil pekabar Injil dari Tiongkok bernama

Gan Kwee.9 GIUZ juga berafiliasi dengan beberapa pekabar Injil, seperti C.F.A

Sperhak dan Adolf Muhlnickel, yang beraktivitas secara khusus di wilayah Banten,

sehingga terbentuklah beberapa Jemaat-jemaat Kristen, yaitu: Jengkol, Poris Tapel,

Ciater, Kresek, Kampung Bolang, dan Tangerang.10

Perhimpunan ini (GIUZ) turut mendirikan Seminari Depok pada tahun

1878, dalam rangka mempersiapkan tenaga-tenaga guru pendidikan sekolah dan

guru Injil dari kaum Bumiputera.11 Perhimpunan ini juga secara strategis menjadi

4 F.L. Anthing (1820-1883) adalah wakil ketua Mahkamah Agung di Batavia, yang

kemudian menjadi pekabar Injil di Batavia dan sekitarnya, dan turut memberi andil terhadap lahir dan berkembangnya jemaat-jemaat Bumiputera, yang akan diambil alih dan dilanjutkan oleh NZV.

5 Isaac Esser (1818-1885) adalah pegawai Sekretariat Negara di Batavia (1837-1854), kemudian sebagai ajun inspektur tanaman dalam rangka Sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel); dan pernah menjadi seorang Residen di Timor (1861-1864), dan pernah menjadi Ketua GIUZ.

6 A.A.M.N. Keuchenius adalah seorang Residen di Tegal, adalah juga saudara dari L.W.C. Keuchenius, anggota dewan penasihat Gubernur Jenderal; dan pernah menjadi Ketua GIUZ.

7 Pdt. E.W. King (1824-1884) adalah seorang Indo-Eropa lahir di Padang, studi teologi di Edinburgh (Skotlandia), menjadi pendeta Gereja Rehoboth di Meester Cornelis (Jatinegara) tahun 1861-1876.

8 Leonard Bayu L. Dalope, Mendulang Makna dari Identitas Campuran Komunitas Kristen Pribumi Anthing: Studi Pascakolonial terhadap “Identitas Pascakolonial” F.L. Anthing dan para penginjilnya (Jakarta: Skripsi di STT Jakarta, 2009).

9 Chris Hartono, Orang Tionghoa dan Pekabaran Injil: Suatu studi tentang pekabaran Injil kepada orang-orang Tionghoa di Jawa Barat pada masa pemerintahan Hindia Belanda (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1996), 29.

10 Mufti Ali, Misionarisme di Banten (Serang: Laboratorium Bantenologi, 2009), 51. 11 S.C. Graaf van Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan Lembaga-lembaga Pekabaran

Injil yang Bekerjasama 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 380.

Page 5: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

65

tempat persinggahan bagi tenaga-tenaga pekabar Injil (selanjutnya disebut

zendeling) Belanda yang tiba pertama kali di Batavia dan memperkenalkan lebih

lanjut tentang konteks Jawa Barat. Perhimpunan ini turut berpartisipasi dalam

penyebaran bacaan Kristen untuk kaum Bumiputera dengan membentuk

‘Perhimpunan Penyebaran Bacaan-bacaan Kristen berbahasa Melayu’ (Vereeniging

tot bevordering van Maleische Christelijke Lectuur).

Pada awal Oktober 1858, penduduk Jawa Barat direkomendasikan dalam

laporan GIUZ di Batavia kepada perwakilan di negeri Belanda. Baik I. Esser

maupun E.W. King menegaskan pentingnya Jawa Barat (West-Java) atau Tanah

Pasundan (Soendalanden) sebagai ladang pekabaran Injil dengan mengingat

kontribusi salah satu wilayah Hindia Belanda ini bagi pemerintah kolonial Belanda.

Esser memberikan argumentasinya, demikian:

Sejak Belanda mulai memerintah pada tahun 1596, tidak ada orang Belanda Kristen yang pernah menyebarkan Injil ke luar Batavia. Orang Sunda telah begitu besar berkontribusi bagi kemakmuran bangsa kita dan sebagian besar dari berjuta-juta uang mengalir dari Hindia Belanda ke dalam perbendaharaan kita datang dari negeri mereka, dan khususnya dari Priangan/Pasundan. Dan apa yang Belanda dapat berikan kepada mereka sebagai gantinya? Hampir tidak ada yang bisa dilakukan terhadap perkembangan mereka, bahwa tidak ada perhatian yang diberikan terhadap bahasa mereka, dan bahwa mereka telah dibiarkan terus tumbuh membatu di dalam keislaman mereka. Sudah saatnya bahwa Belanda berpikir tentang melunasi hutang kepada orang-orang yang terlalu lama terlantar ini dengan menyebarkan kepada mereka Injil Keselamatan.12

Dengan argumen ini, Esser dan juga beberapa tokoh di Batavia kemudian

menganjurkan Jawa Barat menjadi ladang pekabaran Injil bagi NZV. Penunjukan

12 Hendrik Kraemer, From Missionfield to Independent Church (The Hague:

Boekencentrum, 1958), 97.

Page 6: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

66

Jawa Barat ini mendapat respons yang baik pula oleh NZV, sebagai panggilan tugas

pekabaran Injil. Dengan pandangan yang sama dengan Esser, baik H.J. Roseboom

maupun S. Coolsma menyadari pentingnya membalas budi atas segala kontribusi

wilayah Priangan bagi negeri Belanda, yaitu dengan cara menaruh perhatian lebih

baik bagi penduduk Jawa Barat, yang selama itu terabaikan oleh Pemerintah Hindia

Belanda.13 Menurut H. Kraemer, pendapat Esser tersebut dianggap sebagai

pendapat yang tidak biasa di jamannya, oleh karena:

Pada masa itu, kebijakan “politik etis” belum ada, meskipun gagasan-gagasan ini dengan gigih diperjuangkan oleh segelintir orang. Untungnya, di sana ada beberapa orang yang berpikir dan merasa selayaknya cara hidup orang Kristen, seperti Esser, dan mereka masih dapat membimbing kita dalam berjuang untuk pembaruan dan mengangkat derajat penduduk Bumiputera, yang digerakkan oleh rasa bersalah dan perasaan tanggung jawab bersama untuk tetangga kita itu.14

Di balik pemilihan Jawa Barat sebagai ladang pekabaran Injil bagi NZV,

ada sebuah kesadaran tentang usaha membuat pembaruan dan kemajuan bagi

penduduk Jawa Barat, baik melalui pendidikan maupun kesehatan. Setelah

mengingat kontribusi yang diberikan Jawa Barat bagi negeri Belanda semasa

pemberlakuan Sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel) dari tahun 1830-1870. Ini

semakin menunjukkan bahwa pekabaran Injil (misionarisme) melampaui dan

berbeda pandangan dengan penjajahan (kolonialisme). Kesadaran para zendeling

dan Zending ini justru telah muncul mendahului pemberlakuan kebijakan Politik

13 H.J. Roseboom, Na Vijftig Jaren: Gedenkboek van de Nederlandsche

Zendingsvereeniging (Rotterdam: D. van Sijn en Zoon, 1908), 23. Lihat juga, S. Coolsma, Twaalf Voorlezingen over West-Java: Het land, de bewoners en de arbeid der Nederlandsche Zendingsvereeniging (Rotterdam: D. van Sijn en Zoon, 1879), 156.

14 Kraemer, From Missionfield, 98.

Page 7: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

67

Etis negeri Belanda, yang baru akan diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda

terhadap penduduk Bumiputera di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.

Namun demikian, Zending dan para zendelingnya sangatlah sulit

mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk memilih Jawa Barat

sebagai ladang pekabaran Injil. Pemerintah Hindia Belanda mula-mula hanya

memberikan izin kerja kepada para zendeling yang akan menetap dan berkarya di

sekitar daerah pantai Utara pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda beralasan

bahwa mereka tidak ingin para zendeling bekerja di kalangan orang Sunda asli

secara langsung, sebab pemerintah takut jika terjadi huru-hara disebabkan aktivitas

pekabaran Injil oleh NZV itu.15 Meskipun pada akhirnya, NZV sebagai zending

yang secara khusus mendapatkan izin untuk melakukan pekabaran Injil di Jawa

Barat, dan sekalipun seluruh Jawa Barat merupakan daerah kegiatan pekabaran Injil

NZV, kecuali di wilayah Batavia tetap dianggap terbuka bagi kegiatan badan-badan

pekabaran Injil lainnya. Kemudian sejak tahun 1905-1928 Board of Foreign

Missions of the American Episcopal Methodist Church (Gereja Methodis) juga

bekerja di wilayah Jawa Barat dengan berpusat di Bogor. Golongan Kerasulan,

Adventis, Pantekosta, dan Gereja Katolik Roma juga melakukan pekabaran Injil di

Jawa Barat. Dalam hal-hal inilah, NZV menjadi tidak senang dengan kegiatan-

kegiatan tersebut, secara khusus apabila kelompok-kelompok dan badan-badan

Zending yang berbeda-beda ini diizinkan juga untuk melakukan pekabaran Injil

kepada orang-orang Sunda dan Tionghoa di Jawa Barat.

15 Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an

sampai dengan sekarang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 221.

Page 8: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

68

3. Nederlandsche Zendingsvereeniging (NZV) Zending di Jawa Barat

Pada 19 Desember 1797, beberapa anggota jemaat Nederlandse Hervormde

Kerk (NHK) mendirikan ‘Lembaga Pekabar Injil Belanda’ atau Nederlandsch

Zendelingsgenootschap (NZG). Selama berkiprah sebagai badan pekabaran Injil

yang tertua, NZG semakin dipengaruhi oleh aliran teologi baru yang bercorak

liberal16. Reaksi terhadap hal itu, beberapa tokoh NZG yang dipengaruhi oleh aliran

Reveil17 hendak mendirikan perhimpunan baru dan melepaskan diri dari haluan

NZG. Para tokoh NZG itu adalah J. Voorhoeve H.Czn., C. Rutteman, B.J.

Gerretson, L.J. Luijks, W. Lagerweij, H. Kousbroek, J.A. van Heijningen, C.P.

Beukenkamp, A. Meijer, dan C.D. van der Valk. Kemudian, pada tanggal 2

Desember 1858 mereka mendirikan perhimpunan pekabaran Injil yang lain, yaitu

de Rotterdamsche Zendingsvereeniging (RZV). Dalam perkembangannya

perhimpunan yang baru ini, sejak tanggal 7 Oktober 1859 RZV berganti nama

menjadi de Nederlandsche Zendingsvereeniging (NZV), yaitu ‘Perhimpunan

Pekabaran Injil Belanda’.18 Kota Rotterdam menjadi pusat kegiatan NZV, yaitu

selain sebagai kantor perhimpunan, juga menjadi pusat pendidikan persiapan para

calon zendeling NZV. Pada bulan April 1859, tiga orang calon zendeling yang

pertama mulai diterima oleh NZV untuk dipersiapkan menjadi zendeling yang siap

diutus ke Jawa Barat.

16 Th. van den End, Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-

1963 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 4. 17 Gerakan Kebangunan yang telah berkembang di Eropa Barat, secara khusus di Swiss,

Prancis, dan Belanda sekitar tahun 1830-an. 18 Coolsma, Twaalf Voorlezingen, 155.

Page 9: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

69

Pada tahun 1863 para zendeling NZV yang pertama tiba di Jawa Barat,

kemudian menetap di Bandung, Cianjur, dan Cirebon. Mereka adalah C. Albers,

D.J. van den Linden, dan G.J. Grashuis. Selain ketiga zendeling tersebut, kemudian

sejumlah zendeling NZV yang bekerja di Jawa Barat antara tahun 1863-1908

sebanyak 32 orang.19 Namun, untuk ketiga zendeling pertama NZV, mereka baru

mendapat izin kerja dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1865. Secara

khusus, zendeling C. Albers diberi izin bekerja di Cianjur pada tanggal 10 Juli 1865,

sehingga pada tanggal 26 Desember 1868 dua orang Bumiputera, bernama Ismail

dan Murti dibaptis di Cianjur.20

Sejak tahun 1870-an, para zendeling NZV mengalami keputusasaan karena

pekabaran Injil di kalangan orang-orang Sunda, yang memegang erat Islam, sangat

sulit diterima. Bagi orang Sunda, agama Kristen adalah agama Belanda. Segala

daya upaya untuk melakukan pekabaran Injil di Jawa Barat oleh para zendeling

tidak membuahkan hasil pertambahan baik orang-orang yang berpindah agama

maupun pertumbuhan jumlah jemaat-jemaat Kristen. Akan tetapi di kalangan

orang-orang Tionghoa, pekabaran Injil NZV dapat diterima dengan baik. Karena

itu, perhatian para zendeling NZV beralih ke penduduk Tionghoa, sambil tetap

mengupayakan pekabaran Injil bagi orang Sunda di Jawa Barat.

Namun, sejak tahun 1870-an juga paradigma pekabaran Injil NZV

mengalami perubahan. NZV menyadari bahwa Injil juga harus disebarkan dengan

bantuan orang-orang Bumiputera yang dilatih untuk menjadi penginjil-penginjil di

19 van den End dan Weitjens, Ragi Carita, 20-21. 20 Koernia Atje Soejana, Benih yang Tumbuh 2: Suatu survey mengenai Gereja Kristen

Pasundan (Bandung dan Jakarta: GKP dan DGI, 1974), 34.

Page 10: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

70

daerahnya. Untuk mengawalinya pada tahun 1875, P.N. Gijsman di Sukabumi

menerima bantuan tenaga dari para penginjil Anthing, bernama Sarioen dan Salu.

Setahun kemudian zendeling S.A. Schilstra di Sumedang menerima pula bantuan

tenaga dari penginjil Anthing, Pa Djimun dan keluarganya. Demikian pula dengan

A. Dijkstra di Cirebon menyambut baik penginjil Anthing, bernama Tarub asal

Kediri. C. Albers pun di Cianjur mendapat bantuan dari murid-murid Anthing, yaitu

Titus, Lukas Rikin, Elifas Kaiin, dan Pa Djaeran (ayah Titus).

Untuk mendukung upaya pekabaran Injil, NZV juga mendirikan pos-pos

pekabaran Injil (zendingspost), yaitu tempat seorang zendeling menetap. Untuk

daerah-daerah yang hanya ditinggali oleh penginjil-penginjil lokal dibangun pula

cabang-cabang pekabaran Injil (bijpost).21 Selain pembangunan pos dan cabang-

cabang pekabaran Injil, dibangun pula desa-desa Kristen yang disebabkan adanya

upaya pengasingan oleh masyarakat Sunda terhadap orang-orang Kristen Sunda.

Karena itu, desa-desa Kristen dibangun dengan tujuan untuk membebaskan

komunitas baru ini terlepas dari tekanan masyarakat Sunda dan adat istiadatnya.

Desa-desa ini berada di Cideres (1882) oleh zendeling J. Verhoeven; di

Pangharepan, Cikembar (1888) oleh zendeling S. van Eendenburg; di Palalangon

(1902) oleh zendeling B. Alkema; dan di Tamiang (1912) oleh zendeling A.

Vermeer.

Pada tahun 1899 Albers mendesak pengurus NZV agar pendidikan para

pembantu Bumiputera ditangani secara sistematis. Pada tahun 1901 NZV

membangun Sekolah Guru di Bandung untuk meningkatkan pendidikan bagi

21 van den End, Sumber-sumber Zending, 10.

Page 11: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

71

penduduk Bumiputera dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Sunda. Para

pengajar di sekolah ini adalah para zendeling yang berada di sekitar Bandung, dan

didampingi oleh guru-guru Bumiputera. Para zendeling dan guru yang mengajar di

sekolah ini adalah B. Alkema hingga tahun 1903, H.C. Ruttink memberi mata

pelajaran teologi sampai tahun 1919, didampingi J.H. Blinde dan J. Iken, dan untuk

mata pelajaran umum sebagian besar diajarkan oleh Naftali Titus, anak dari seorang

penginjil Sunda bernama Titus.

Upaya untuk mendekatkan diri dengan lingkungan masyarakat Bumiputera,

NZV juga menggunakan strategi pendidikan dan kesehatan untuk diterapkan di

ladang pekerjaannya. Dalam kegiatan medis, J. Iken, seorang zendeling di Bandung

pada tahun 1905-1928, sangat terlibat penting dalam rupa-rupa kegiatan kesehatan

masyarakat. Pada tahun 1913 Iken turut mendirikan perhimpunan yang bertujuan

untuk mengelola rumah sakit Zending di Bandung, yang disebut dengan

“Vereeniging Immanuel”. Empat tahun kemudian perhimpunan itu menyerahkan

pengelolaan Rumah Sakit Immanuel kepada Panitia Pendukung (Commissie van

Bijstand), yang terdiri dari anggota Pengurus NZV cabang Bandung bersama

seorang zendeling.22

Hasil pekerjaan pekabaran Injil NZV telah berhasil membangun komunitas-

komunitas Kristen di wilayah Jawa Barat. Secara khusus, pada tahun 1885 Jemaat-

jemaat Anthing dan Jemaat Rehoboth di Meester Cornelis (Pdt. E. King) diambil

alih dan masuk dalam pengasuhan NZV. Ada pula jemaat-jemaat yang bertumbuh

dari karya pekabaran Injil para zendeling NZV di wilayah Priangan. Jemaat-jemaat

22 van den End, Sumber-sumber Zending, 19.

Page 12: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

72

Kristen Bumiputera inilah yang kemudian berkembang menjadi Gereja yang

mandiri. Pada tahun 1916 terbitlah peraturan jemaat tercetak, yaitu Atoeran

Pakoempoelan Oerang Kristen di Pasoendan.23 Pada tahun berikutnya terbit

terjemahan dalam bahasa Melayu dengan judul Atoeran Orang Kristen di

Pasoendan. Di dalamnya terdapat beberapa aturan mengenai pemilihan dan tugas

majelis gereja, pelayanan sakramen, dan pengikatan pernikahan.

Kemudian pada tanggal 28-30 Maret 1932 diadakan konferensi kecil antara

jemaat-jemaat Kristen beserta para utusan NZV, yang dihadiri C.W. Nortier (ketua

Majelis Agung GKJW) dan Hendrik Kraemer. Konferensi mengajukan permintaan

kepada Kraemer untuk mengunjungi medan kerja NZV dan menyusun laporan

tentangnya, sama seperti yang telah dilakukannya di Jawa Timur. Kraemer

menjelajahi medan kerja NZV selama bulan Mei-Oktober 1933. Usulan tentang

pembentukan gereja mandiri diterima pengurus NZV, sehingga pada tanggal 14

November 1934 Geredja Kristen Boemipoetra di tanah Pasoendan dinyatakan

mandiri (kemudian disebut dengan Gereja Kristen Pasundan/GKP).24

4. Desa-desa Kristen di Jawa Barat bentukan NZV

Pada rapat Pengurus Pusat NZV tanggal 15 Februari 186225, diputuskan

kesepakatan tentang bentuk bakal gereja di ladang pekabaran Injil di Jawa Barat.

Pokok-pokok keputusan itu adalah: (1) Melalui pekerjaan pekabaran Injil oleh para

23 Dokumen 179: “Atoeran Pakoempoelan Oerang Kristen di Pasoendan”, Bandung 1916,

dalam van den End, Sumber-sumber Zending, 429-180. 24 van den End, Sumber-sumber Zending, 43. Lihat juga H. Kraemer, From Missionfield to

Independent Church (The Hague: Boekencentrum, 1958). 25 ARvdZ, 11-14. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 91-92.

Page 13: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

73

zendeling, NZV hendak mendirikan gereja mandiri dengan nama ‘Gereja Injili

Sunda’ (Sundaneesch Evangelische Kerk); (2) Dalam pekabaran Injil di kalangan

orang Sunda diajarkan dan diberitakan kepada mereka kebenaran-kebenaran iman

yang dianut oleh gereja-gereja Reformasi dari abad pertengahan, yang terungkap

dalam karangan-karangan pengakuan iman mereka; (3) Orang Sunda yang menjadi

Kristen dihisabkan ke dalam jemaat Tuhan dan diperkenankan ikut Perjamuan

Kudus melalui Baptisan Kudus, yang akan dilayankan kepada anak-anak mereka

dan juga orang-orang yang berpindah agama. Pokok-pokok keputusan ini menjadi

pedoman bagi para zendeling untuk mempersiapkan lahirnya komunitas-komunitas

Kristen di Jawa Barat, khusus di daerah Priangan.

Harapan NZV untuk mendirikan Gereja Injili Sunda (Sundaneesch

Evangelische Kerk) tidak dapat terpenuhi terkendala oleh berbagai faktor. Segala

usaha pekabaran Injil oleh para zendeling NZV belum berbuahkan hasil seperti

yang diharapkan bahwa tanah Jawa pada umumnya merupakan ladang pekerjaan

dengan adat istiadat dan kehidupan beragama yang telah kuat. Mengingat konteks

seperti itu, S.A. Schilstra seorang zendeling di Sumedang pada tanggal 20 Januari

1876 menyampaikan usulan kepada Pengurus Pusat NZV untuk menempuh cara-

cara baru, yaitu dengan penyediaan tanah bagi orang-orang Kristen Bumiputera.26

Usulan dan rekomendasi Schilstra ini mendapat inspirasi dari P. Jansz (1820-1904),

seorang zendeling dari Doopsgezinde Zendingsvereeniging (DZV) di Jawa Tengah,

yang pada tahun 1874 menerbitkan tulisan tentang ‘Pembukaan Tanah dan

Pekabaran Injil di Jawa (Landontginning en Evangelisatie op Java). Dengan

26 ARvdZ, 14-9. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 173-177.

Page 14: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

74

mengupayakan hal yang seperti ini, Schilstra berharap akan tercipta komunitas

Kristen di Jawa Barat. Ketika orang-orang Sunda yang menjadi Kristen mendapat

tindakan pengucilan dari masyarakat desanya, setahun setelah usulan Schilstra

tersebut, pada tahun 1877 NZV mulai membeli tanah-tanah persawahan bagi orang

Sunda Kristen, dan kemudian pembelian dan penggunaan tanah-tanah untuk

membentuk desa-desa Kristen di Jawa Barat, yaitu: Cideres (1882), Pangharepan

(1888), Palalangon (1902), dan Tamiang (1912).

4.1. Desa Kristen Cideres-Majalengka (1882)

Pada tanggal 4 Januari 1876, Jurrianus Verhoeven berangkat dari negeri

Belanda menuju ke Hindia Belanda untuk menjalankan tugas pengutusan sebagai

zendeling NZV. J. Verhoeven tiba di Batavia tanggal 4 April 1876. Kemudian,

Verhoeven pergi dari sana dan tinggal sementara waktu di Indramayu untuk

menjadi rekan kerja iparnya, J.L. Zegers. Pada tanggal 29 Juni 1876, Verhoeven

meninggalkan Indramayu dan hendak menetap di Majalengka, sebuah kota kecil

yang masih terletak juga di keresidenan Cirebon. Verhoeven memilih Majalengka

sebagai pusat kegiatannya karena dianggap baik untuk melakukan pekabaran Injil

di daerah tersebut. Di samping itu, Bupati Majalengka adalah orang yang berpikiran

maju dan tidak fanatik sehingga akan dapat memberikan keleluasaan bagi pekerjaan

pekabaran Injil di wilayahnya.27

27 Koernia Atje Soejana, Sejarah Komunikasi Injil di Tanah Pasundan (Jakarta: Disertasi

di STT Jakarta, 1997), 292.

Page 15: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

75

Di Majalengka, Verhoeven menyewa sebuah rumah kecil untuk sementara

waktu, sambil menunggu mendapatkan izin untuk melakukan pekabaran Injil.

Kemudian, pada tanggal 31 Juli 1876 Verhoeven baru dapat memulai pekerjaannya

dengan membuka sekolah di rumahnya dengan tiga orang murid dari anak-anak

Tionghoa. Akan tetapi, Margaretha Danen, istrinya, mengidap sakit sehingga

mereka harus beristirahat di Indramayu dan sekolah itu terpaksa ditutup untuk

sementara waktu. Kemudian setelah istrinya sembuh, mereka kembali ke

Majalengka dan sekolah itu dibuka lagi. Selanjutnya, atas pertolongan seorang

penguasa setempat, Verhoeven dapat menyewa rumah besar di dekat batas kota.

Mulai tanggal 7 Agustus 1878 Verhoeven mendidik tiga orang pemuda

Kristen untuk menjadi pembantunya. Mereka itu adalah Aslim dari Sumedang,

Soleman Djalimoen dari Gunung Putri, dan Jakoboes Arin dari Leuwidahu. Namun

sayangnya, Aslim kemudian kembali ke agamanya yang semula (agama Islam),

sedangkan Soleman dan Jakoboes tetap membantu Verhoeven mengabarkan Injil

di kampung-kampung sekitar Majalengka. Kemudian, pada tanggal 19 Maret 1882,

Verhoeven untuk pertama kalinya melakukan pelayanan baptisan kudus di

Majalengka. Orang Sunda yang dibaptis adalah dua orang perempuan bernama

Kawit dan Antijem, yang sudah lama menjadi pembantu di rumah Verhoeven.28

Kegiatan Verhoeven di Majalengka antara tahun 1877-1882 kurang

berhasil. Meskipun sudah ada dua orang perempuan Sunda yang menjadi Kristen,

Verhoeven menyadari bahwa ia mengalami kesulitan untuk melakukan pekabaran

28 S. Coolsma, De Zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indie (Utrecht: C.H.E. Breijer,

1901), 133.

Page 16: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

76

Injil kepada masyarakat yang berada di bawah pemerintahan dan di keseluruhan

tatanan perekonomian desa yang sangat Islami. Masyarakat desa itu hidup di bawah

pemerintahan pamong praja desa dan pemimpin agama yang sangat terikat pada

adat istiadat dan agamanya. Dalam situasi seperti itu, kecil kemungkinan bagi orang

Sunda untuk berpindah ke agama lain. Di sisi lainnya, orang-orang Kristen juga

akan mengalami hambatan dari kepala desa dan pemimpin agama di desa tersebut.

Dengan alasan ini, Verhoeven berpendapat bahwa jalan keluarnya adalah dengan

mendirikan desa Kristen.29 Di desa Kristen itu orang-orang Kristen Bumiputera

tidak akan lagi berada di bawah otoritas desa yang Islami. Jalan pikiran Verhoeven

ini juga dilatarbelakangi saran yang diberikan oleh Bupati Majalengka, yang

mempunyai itikad baik terhadap pekerjaan Verhoeven. Menurut Bupati

Majalengka, rumah Verhoeven terlalu dekat dengan daerah “pakauman” (tempat

kediaman golongan atau penjaga mesjid), sehingga ia menyarankan agar orang-

orang Kristen Bumiputera mendirikan desa tersendiri dan hidup di bawah pimpinan

desa yang Kristiani.30

Pada pertimbangan itu, Verhoeven berharap dapat membeli lahan-lahan

kosong di Cideres atau mendapatkannya dengan cara membuka hutan belantara dan

membangun rumah-rumah, yang seluruh pendanaannya dengan cara mengajukan

permohonan bantuan kepada NZV dan para sahabat zending. Jika tanah-tanah itu

sudah didapati dan dikembangkan, Verhoeven akan mengajukan permohonan

kepada gubernur jenderal agar diberikan pengakuan tanah-tanah pemukiman yang

29 Soejana, Sejarah Komunikasi, 294. 30 Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan, 497 dan dan Lindenborn, Onze Zendingsvelden,

145.

Page 17: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

77

baru itu sebagai suatu desa mandiri. Pada desa mandiri seperti itu nanti akan

diberikan kewenangan untuk memilih pemerintahannya sendiri menurut cara yang

lazim, dengan diawasi pemerintah setempat, dan diberikan hak dan kewajiban yang

sama dengan desa-desa lainnya. Meskipun di kemudian hari Cideres tidak menjadi

desa mandiri, tetapi pada tahun 1900 jemaat Cideres mendapat pengakuan sebagai

badan hukum.

Terhitung sejak tahun 1882 Verhoeven telah mendirikan desa Kristen

Cideres di tanah-tanah yang dibelinya itu (aangekochten gronden)31, yang terletak

sekitar 12 km dari Majalengka dan 3 km dari Kadipaten ke arah Cirebon. Tanah

desa itu adalah tanah milik bersama (communaal bezit) orang Kristen setempat.32

Bahkan, pada bulan Oktober 1883, Verhoeven meminta kepada gubernemen

sebidang tanah untuk keperluan tempat pekuburan orang Sunda Kristen di Cideres.

Akan tetapi, banyak lahan-lahan subur lainnya di wilayah sekitar telah menjadi

pemukiman penduduk bagi masyarakat Bumiputera di salah satu keresidenan

Cirebon ini, dan telah banyak pula digunakan dan dimiliki oleh para pengusaha

perkebunan swasta Eropa.

Desa Cideres termasuk salah satu desa yang berada di tengah-tengah daerah

perkebunan tebu. Desa Cideres pun kemudian sering dikait-kaitkan dengan sebutan

sebagai “perusahaan perkebunan Kristen”, “pemukiman Kristen”, atau “desa

Kristiani”. Meskipun demikian, menurut Verhoeven, penyebutan Cideres sebagai

“desa Kristiani” adalah sebutan yang paling tepat oleh karena memang tidak ada

31 Th. van den End, De Nederlandse Zendingsvereniging in West-Java 1858-1963: Een

Bronnenpublicatie (Utrecht: Raad voor de Zending, 1991), 26. 32 ARvdZ, 14-13 dan 14-14.

Page 18: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

78

tujuan untuk mendirikan “perusahaan perkebunan” atau membangun “desa

teladan”. Menurut Verhoeven, ada beberapa tujuan yang mendasari pentingnya

membangun desa Kristen dalam proses pekabaran Injil NZV di Jawa Barat, yaitu:33

1. Agar orang-orang yang telah menjadi Kristen dapat tetap menjadi anggota

gereja, maka mereka perlu melepaskan diri dari ikatan yang mengekang

ketika tetap menjadi warga desa Muslim. Dengan begitu, mereka perlu

dipindahkan ke lingkungan yang baru pada komunitas sesama umat Kristen.

2. Agar kaum Kristen Bumiputera tidak lagi tunduk pada pemerintahan desa,

yang berisikan punggawa mesjid, golongan haji, para penghulu dan lebe.

3. Agar semua kaum Kristen Bumiputera dapat bertumbuh sebagai jemaat dan

dalam pengaruh dan pendidikan yang baik.

4. Agar dalam melakukan usaha pertanian dan usaha berpenghasilan lainnya

dapat dilakukan dengan kerja sama dan gotong royong, sehingga mampu

berswadaya dalam memenuhi segala kebutuhannya, termasuk memenuhi

alat-alat dan barang keperluan sekolah.

5. Agar keberadaan jemaat Kristen Bumiputera menunjukkan kepada umat

Muslim bahwa umat Kristen adalah sahabat dan sebangsa yang dapat saling

menjaga kerukunan dan kedamaian.

6. Agar Zending mengupayakan dalam lingkungan desa-desa Kristen

disediakan lapangan, di mana pihak pemerintah dapat berangsur-angsur

melaksanakan penyuluhan “pembaruan-pembaruan” yang dibutuhkan oleh

kaum Kristen Bumiputera.

33 van den End, Sumber-sumber Zending, 221-222.

Page 19: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

79

Kemudian pada bulan Mei 1882, Verhoeven membeli sebuah rumah baru di

Cideres dengan pekarangan luas. Pada 30 Agustus 1882 ia pindah dan mulai

menetap di sana. Pada hari Minggu 3 September 1882 untuk pertama kalinya di

rumah zendeling digunakan untuk beribadah. Sejak saat itu, ibadah Minggu

diselenggarakan secara rutin di sana. Hingga pada akhir tahun 1882, tercatat sudah

terdapat sekitar 20 orang yang mengikuti ibadah di rumah Verhoeven. Pekabaran

Injil terus dilakukan oleh Verhoeven dan Jakoboes Arin dan Soleman Djalimun di

kampung-kampung sekitar Cideres, sambil memberikan obat-obatan kepada yang

memerlukan kesembuhan.

Penyelenggaraan ibadah dilakukan di rumah zendeling. Setelah jemaat

bertambah besar, dibangunlah sebuah gedung gereja yang pembangunannya

rampung pada tahun 1884. Bangunan itu terbuat dari batubata dengan biaya f 2.000

dan dari jemaat terkumpul dana sebesar f 82,55 ditambah dengan sumbangan lain

berupa tenaga dan bahan bangunan. Bangunan gereja berbentuk seperti bangunan

gereja di Eropa, dan secara resmi digunakan pada tanggal 11 Januari 1885.

Begitupula, aktivitas sekolah yang semula diadakan di rumah zendeling, sejak

bulan Maret 1885 dapat menggunakan bangunan baru. Murid-murid di sekolah itu

berjumlah 22 orang, di antaranya ada tujuh orang anak-anak Tionghoa yang berasal

dari sekitar Cideres. Pengajarnya adalah Jakoboes Arin dan Soleman Djalimoen.

Untuk anak perempuan dibuka sekolah menjahit, yang diajarkan oleh Margaretha

Danen, sedangkan untuk anak laki-laki dibuka pelatihan keterampilan petukangan.

Di desa Cideres, NZV telah memiliki lahan yang luas, rumah tinggal untuk

zendeling, sebuah gedung gereja, dan bangunan sekolah dari tembok batubata.

Page 20: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

80

Jemaat Cideres juga telah mampu membeli pabrik pembuatan batubata, yang pada

musim kemarau memberi kesempatan kerja bagi anggota jemaat. Dari pengajuan

bantuan dana kepada para sahabat Zending diterima dana sejumlah f 1.484,60 untuk

pembelian pekarangan dan sawah-ladang. Jemaat Cideres memiliki sawah seluas

14,5 bau34, yang disewakan kepada anggota jemaat dan orang di luar anggota

jemaat. Bahkan, berdasarkan laporan tahun 190635, menunjukkan bahwa NZV

pernah mempunyai sebidang tanah seluas 20 bau. Bidang tanah seluas itu terdaftar

atas nama empat orang anggota jemaat yang pada saat itu menjabat sebagai anggota

majelis jemaat, yang masing-masing mendapat 5 bau. Dilaporkan pula bahwa pada

waktu itu Verhoeven sedang berusaha untuk membeli tanah lagi seluas 32 bau untuk

digarap oleh 42 keluarga anggota jemaat, namun pada akhirnya tidak tercapai

karena minimnya lahan-lahan kosong. Menurut Verhoeven, pendirian desa Cideres

dan pengadaan tanah-tanah garapan bertujuan supaya kaum Kristen sanggup

menjadi makmur berkat karya tangan mereka sendiri, sehingga tidak perlu lagi

hidup dari pemberian orang lain. Demikianlah desa Cideres berdiri dan dipertegas

dengan Peraturan tentang Jemaat Sunda di Cideres Majalengka, yaitu:36

Pasal 1. Di Majalengka, Cirebon terdapat Jemaat Sunda. Pasal 2. Jemaat ini berdomisili di Majalengka, Cirebon. Pasal 3. Jemaat ini didirikan untuk waktu yang tidak terbatas. Pasal 4. Tujuan berdirinya jemaat ini adalah untuk menyebarkan Injil, serta melalui pendidikan sekolah, pertanian, dan industri untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Pasal 5. Anggota jemaat ini adalah mereka yang telah masuk Kristen, terlepas dari apapun suku bangsa mereka, melalui Pembaptisan dan Pengakuan Iman, mengakui Yesus Kristus sebagai Anak Tunggal Allah, Juruselamat dunia, dan menerima Alkitab

34 1 bau = 7.096 m2 (setara 0,7 hektar). 35 ARvdZ, 20 Agustus 1906, Soejana, Sejarah Komunikasi, 294-295. 36 J. Verhoeven, Tot Welzijn van Java: Zendingspost Tjideres, (Neerbosch: Typ. Der

Weesrichting, 1909), 145-146.

Page 21: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

81

sebagai satu-satunya aturan iman dan kehidupan; dan yang telah menyatakan keinginan mereka untuk bergabung dengan jemaat ini. Pasal 6. Kepentingan jemaat ini diwakili oleh pengurus gereja yang terdiri dari seorang ketua dan tiga anggota. Zendeling, sebagai pendeta jemaat ini, adalah ketua, dia melakukan semua administrasi, menandatangani semua dokumen dari jemaat ini, dan berhak mewakili jemaat ke luar. Pasal 7. Ketiga anggota pengurus dari anggota jemaat laki-laki dan dipilih oleh semua anggota jemaat. Anggota pengurus yang keluar, akan segera dilakukan pemilihan kembali. Pasal 8. Dana yang diperlukan untuk pelayanan jemaat harus diperoleh dari sumbangan uang dari anggota jemaat, sumbangan lainnya, dan iuran berkala. Pasal 9. Dalam hal pembatalan dan pembubaran jemaat ini, semua asetnya akan tersedia untuk NZV di Rotterdam dan diakui sebagai badan hukum melalui Keputusan Raja tanggal 3 September 1860.

Di Cideres selain pelayanan di bidang pendidikan, mula-mula didirikan

sebuah poliklinik untuk pelayanan kesehatan bagi anggota jemaat dan masyarakat.

Namun kian waktu berjalan, poliklinik kemudian berkembang menjadi rumah sakit

Zending yang cukup besar di Cideres. Pada tahun 1908 pembangunan rumah sakit

Zending ini mendapat pembiayaan dari administrator pabrik gula dekat Cideres.

Dalam hal ini, hubungan desa Kristen Cideres dan perusahaan perkebunan dan

pabrik gula memang sangat dekat. Dalam tata aturan penggunaan tanah-tanah milik

jemaat dapat juga disewakan kepada pihak pabrik gula, sehingga memberikan andil

baik juga untuk kepentingan jemaat di Cideres. Akan tetapi, pernah suatu kali

terjadi konflik antara zendeling A.K. de Groot (yang menggantikan Verhoeven

tahun 1922) dengan dokter zending di Cideres, yaitu dr. G.W.A Pruis, tentang usaha

untuk membiayai perluasan areal sawah jemaat dengan cara melakukan perjanjian

kontrak sewa dengan pabrik-pabrik gula di sekitar.37 Dalam hal ini, de Groot

37 van den End, Sumber-sumber Zending, 572-575.

Page 22: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

82

menentang keras rencana itu dengan keyakinan bahwa menyewakan tanah kepada

pabrik gula akan memelaratkan penduduk. Akan tetapi, Pruis justru merencanakan

untuk memperkuat kedudukan ekonomi jemaat Kristen dengan cara menyewakan

kepada perusahaan perkebunan tebu untuk masa beberapa puluh tahun, dan selama

beberapa bulan dalam setahun masih anggota jemaat dapat menggunakan tanah itu

untuk kepentingan jemaat.

4.2. Desa Kristen Pangharepan-Cikembar (1888)

Pada tanggal 18 Mei 1882, Simon van Eendenburg diutus oleh NZV untuk

menjalankan tugas sebagai zendeling di Jawa Barat. S. van Eendenburg tiba di

Batavia tanggal 29 November 1882. Sesampainya di Batavia, Eendenburg langsung

berangkat ke Modjowarno di Jawa Timur untuk menikah dengan Niescina M.A.

Kruyt, putri dari zendeling J. Kruyt. Setelah itu, Eendenburg kembali menuju

Sukabumi untuk menjadi zendeling di sana pada periode tahun 1883-1888, untuk

menggantikan S.A. Schilstra. Kehadiran Eendenburg dianggap akan membawa hal-

hal hebat bagi jemaat di Sukabumi.38

Akan tetapi, pada tahun 1886 Eendenburg memiliki rencana baru, yaitu

“Pekabaran Injil melalui pembukaan tanah/negeri” (Evangelisatie door

landontginning). Dalam rencananya itu, Eendenburg ingin meninggalkan

Sukabumi dan menyediakan tempat bagi anggota jemaat dan tinggal menetap saling

38 Coolsma, De Zendingseeuw, 120.

Page 23: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

83

berdekatan sesama anggota dengan zendeling. Di dalam majalah NZV pada tahun

1889, Eendenburg mencantumkan alasan untuk rencana pembukaan tanah, yaitu:39

1. Terlalu banyak pekerjaan untuk zendeling di antara orang-orang Eropa;

2. Tidak adanya zendeling dari antara banyak orang Eropa di kota-kota;

3. Kegagalan segelintir orang Kristen di antara kerumunan orang-orang Islam;

4. Komplikasi pekerjaan mendidik zendeling di kalangan orang Kristen

Bumiputera dengan segala macam penyebab;

5. Pada sebuah jemaat, dalam keadaan seperti itu, tidak akan terbentuk fondasi

yang kokoh bagi kemajuan jemaat secara teratur dan pembangunan

Kerajaan Allah di masa depan.

Ketika masih bekerja di Sukabumi, Eendenburg melihat bahwa di kota

orang-orang Kristen tinggal tersebar di berbagai tempat. Setiap keluarga Kristen

hidup sendiri jauh dari keluarga Kristen lainnya. Sebab itu di kota sulit untuk

membentuk sebuah jemaat yang utuh. Lagipula, karena jumlahnya yang kecil,

mereka tenggelam di tengah masyarakat yang bukan Kristen. Bilamana ada

kesulitan, mereka tidak dapat saling menolong dan memberi kekuatan. Dalam

keadaan seperti itu, zendeling pun akan sulit untuk membina mereka. Jemaat seperti

itu menurut Eendenburg sulit untuk dijadikan basis pembangunan kerajaan Allah di

masa depan. Sebab itu perlu didirikan sebuah desa Kristen, di mana setiap keluarga

dapat menempati sebidang tanah yang akan menjadi penopang bagi kehidupan

mereka. Setiap keluarga dapat berhubungan dengan keluarga-keluarga lain dan

membentuk sebuah persekutuan desa dengan kepada desa dari lingkungan mereka

39 Coolsma, De Zendingseeuw, 123.

Page 24: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

84

sendiri. Dengan demikian orang Kristen dibebaskan dari tekanan para penguasa

desa Muslim yang menghambat mereka. Di desa Kristen, orang-orang Kristen dapat

mengembangkan diri dan meningkatkan taraf kehidupan perekonomian mereka.

Tanah yang dituju Eendenburg adalah tanah yang terletak pada jalan raya

Sukabumi-Pelabuhan Ratu di kecamatan Cikembar, kawedanaan Cimahi, Afdeeling

Sukabumi. Tanah itu seluas 154 bau (+ 108 hektar), yang dengan Surat Keputusan

Gubernur Jenderal tertanggal 28 Januari 1887 diserahkan kepada yang bertanda

tangan (van Eendenburg) sebagai tanah hak guna usaha atau sewa tanah dalam

waktu jangka panjang (erfpacht perceel)40 dengan pajak tanah sewaan (canon)

sebanyak f 1,50 per tahun. Setelah lama mengajukan surat-surat permohonan,

akhirnya keluar SK Gubernur Jenderal tertanggal 16 Agustus 1888, tentang hak

erfpacht itu dibaliknamakan atas nama Nederlandsche Zendingsvereeniging.

Terhitung mulai tahun itu pajak tanah sewaan (canon) diturunkan menjadi f 0,75

per bau per tahun. Pembayaran pengakuan hak milik pemerintah atas tanah itu

mulai berlaku pada tahun kelima sesudah tanggal penyerahan, dan karena itu pada

tahun 1893 wajib dibayar untuk pertama kalinya, sedangkan pajak tanah

(verponding) mulai wajib dibayar pada tahun kesepuluh, yaitu sejenis pajak yang

dihitung berdasarkan nilai perusahaan bersangkutan.41

Kemudian, Eendenburg mendapat izin untuk menjual rumah zendeling di

Sukabumi untuk keperluan membeli sebuah rumah zendeling di Cikembar. Pada

tanggal 1 November 1888 Eendenburg dan istrinya mulai tinggal di rumah

40 van den End, De Nederlandse Zendingsvereniging, 26. 41 van den End, Sumber-sumber Zending, 269.

Page 25: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

85

zendeling di Cikembar. Hingga akhir tahun 1888 terdapat 72 orang Kristen tinggal

di petak-petak rumah mereka, yang adalah anggota jemaat yang pindah dari

Sukabumi. Di tanah yang baru itu mereka menanam tanaman perdagangan, seperti

kopi, teh, cokelat, lada, dan kapuk. Penggarapan tanah itu diserahkan kepada kaum

Kristen Bumiputera untuk memungkinkan mereka mencari nafkah dengan cara

bekerja. Eendenburg memberi nama desa Kristen itu dengan sebutan Tanah

Pangharepan (Bld. de Hoop, yaitu Pengharapan), sekaligus dengan tujuan sebagai

pusat keteladanan yang membuat agama Kristen dipuji, dan dengan demikian akan

mengantarkan Injil kepada desa-desa di sekitarnya.

Tanah Pangharepan ini terbuka bagi siapapun, tetapi semua orang yang

berada di tanah ini harus mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku, seperti

termuat dalam “Peraturan bagi Tanah Pangharepan” yang diterbitkan pada tanggal

22 Mei 1890, sebagai berikut:42

Pasal 1. Pemilik Tanah Pangharepan adalah Nederlandsche Zendingsvereeniging. Pasal 2. Di Tanah Pangharepan orang Kristen dan orang Islam boleh tinggal. Pasal 3. Oleh zendeling atau wakilnya kepada setiap pemukim akan dijatahkan sebidang tanah, untuk dipergunakannya sebagai pekarangan, sawah, atau tipar. Tanah itu harus digarap oleh pemukim yang mendapat penjatahannya. Pasal 4. Pemukim diwajibkan agar dari setiap jenis hasil bumi yang dihasilkan di atas tanah jatahnya, diserahkan seperlima kepada Perbendaharaan Tanah Pangharepan, sebagai sumbangan pemulihan segala biaya yang sudah dan akan dikeluarkan. Pasal 5. Pemukim berkomitmen akan membangun dan memelihara seluruh jalanan dan saluran air yang diperlukan di persilnya. Pasal 6. Segala sesuatu yang tertanam atau disemaikan di Tanah Pangharepan oleh pemukim, senantiasa dan tetap akan menjadi milik dari Pemilik Tanah itu, namun akan terjamin bagi pemukim

42 van den End, Sumber-sumber Zending, 270-271; dan Badan Binalitbang Gereja Kristen

Pasundan, Profil Gereja Kristen Pasundan: Dalam perspektif kemandirian teologi, daya, dan dana (Bandung: MPS GKP, 2007), 227.

Page 26: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

86

selama mereka mematuhi segala hal yang tersebut dalam Pasal-pasal 1 s.d. 6 dan selama mereka berkomitmen akan mengindahkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Akan menggarap dan memelihara tanah sawah, tipar, serta

pekarangan mereka dan tidak akan menerima uang ijon atas hasil budidayanya;

b. Tidak akan ikut pada pesta ronggeng, tidak mengisap madat, dan tidak meminum minuman keras, ataupun melakukan sesuatu yang tidak patut bagi seorang Kristen;

c. Akan memelihara hari Minggu sebagai hari istirahat; d. Akan menyekolahkan anak-anak mereka; e. Untuk hidup di hadapan Allah dan sesama manusia sebagaimana

yang pantas bagi seorang pengikut Kristus, dan tidak akan menimbulkan kehebohan dengan kata atau perbuatannya.

Pasal 7. Bilamana seorang pemukim bersalah melanggar ataupun tidak mengindahkan hal-hal sebagaimana rincian di atas, maka zendeling berhak, setelah mendengar pendapat para penatua, mencabut hak orang bersangkutan untuk tetap bermukim di Tanah Pangharepan. Pasal 8. Oleh zendeling diangkat suatu dewan penatua, yang bertugas turut menjaga agar semua peraturan tersebut di atas benar-benar dipatuhi oleh semua pemukim. Pasal 9. Bila di masa depan ternyata peraturan ini cacat ataupun perlu ditambah, maka setiap saat hal ini dapat diperbaiki. Pasal 10. Setiap orang yang menyetujui hal-hal yang tersebut di atas, akan menyatakannya dengan membubuhi tanda tangan.

Dari ketentuan tersebut di atas, secara tegas tersurat bahwa Tanah

Pangharepan adalah milik NZV dan karena itu para zendeling NZV juga berperan

sebagai administrator Perbendaharaan Tanah Sewa ini. Keadaan tersebut

mengakibatkan hubungan antara anggota jemaat dengan seorang zendeling, seperti

hubungan antara kuli/buruh kontrak perkebunan dengan tuan tanah perkebunan.

Keadaan ini tentu pada akhirnya kurang menguntungkan bagi upaya pembinaan

jemaat di Cikembar.43

43 Soejana, Sejarah Komunikasi, 280.

Page 27: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

87

4.3. Desa Kristen Palalangon-Cianjur (1902)

Antara tahun 1891-1906, di Jemaat Cianjur belum ditempatkan lagi seorang

zendeling NZV. Karena itu, untuk menjalankan tugas pembinaan umat di Jemaat

Cianjur, ditugaskanlah zendeling Bouke Alkema, yang sedang bertugas di Jemaat

Bandung (1893-1903). Saat itu di Jemaat Cianjur hanya ada penghantar jemaat

Bumiputera bernama Elipas bin Ibrahim yang bertugas dari tahun 1886. Selama

pelayanannya di Cianjur, B. Alkema memperhatikan masih banyak anggota jemaat

yang hidup dalam kemiskinan karena tidak memiliki lahan pertanian dan bekerja

sebagai tukang kebun atau pembantu rumah tangga pada keluarga-keluarga orang

Eropa. Karena itu, Alkema ingin mengusahakan sebidang tanah di dataran Cihea,

di sebelah Selatan Cianjur, untuk dikelola oleh anggota jemaat sebagai lapangan

pekerjaan dan penghidupan mereka.

Dataran Cihea sebelumnya adalah pemukiman padat penduduk. Akan

tetapi, oleh karena wabah demam berdarah, serta wabah penyakit pes pada ternak,

dataran ini ditinggalkan oleh penduduk setempat karena telah mengakibatkan

banyak korban jiwa dan hewan ternak. Begitupula sawah-sawah yang luas dan hijau

setelah ditinggalkan oleh penduduk berubah menjadi hamparan rumput dan alang-

alang. Dalam situasi seperti ini, pemerintah Hindia Belanda turun tangan dan

membangun bendungan dan saluran irigasi yang dapat mengairi lahan pertanian

seluas 9.000 bau dengan biaya sekitar f 1-1,5 juta dengan tujuan untuk

mengembalikan dataran ini menjadi tempat pemukiman seperti sediakala.44 Melihat

44 Koernia Atje Soejana, Komunitas Sunda Kristen di Pinggiran Cianjur (Bandung: GKP

dan Kelir, 2016), 30.

Page 28: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

88

daerah yang sudah memiliki saluran irigasi, maka Alkema hendak memindahkan

sebagian anggota jemaat Cianjur ke daerah itu. Di situ mereka dapat memiliki lahan

pertanian sendiri dan menjadi petani yang mandiri bagi perekonomian mereka. Atas

usahanya, pemerintah memberikan sebidang tanah seluas 130 bau kepada NZV

untuk dihuni oleh beberapa orang Kristen dari Cianjur. Pada bulan Mei 1902, orang-

orang Kristen pertama dari Cianjur dipindahkan ke sana.45

Dalam laporan pada Mei 1902 kepada Pengurus Pusat NZV, Alkema

membentangkan rencananya atas tanah tersebut. Lahan seluas itu direncanakan

untuk alun-alun seluas 1 bau, pekarangan gereja 1/2 bau, pekarangan sekolah 1/2 bau,

pekarangan balai desa 1/2 bau, dan pekarangan rumah tinggal zendeling 1 bau.

Seluas 60 bau akan dibagikan kepada 20 keluarga dengan perkiraan 100 jiwa,

termasuk 8 keluarga Muslim. Sisa tanah lainnya menjadi cadangan untuk masa

depan bagi pertambahan dan pertumbuhan jemaat Kristen di desa Palalangon.

Alkema menetapkan bahwa tanah desa ini akan menjadi milik orang Kristen

perseorangan (individueel eigendom).46 NZV selain menyediakan tanah kepada

anggota jemaat, mereka juga diberikan modal uang (uang panjar), sebesar f 1.200.47

Bahkan, selama tahun 1906-1912, NZV mengeluarkan biaya tambahan sebanyak f

4.200 untuk pembukaan sawah-sawah, pembelian bajak, dan lain sebagainya.

Pada tahun 1902, dibangun juga sebuah tempat ibadah dengan tiang bambu,

dinding bangunan terbuat dari anyaman bambu, dan atap terbuat dari alang-alang.

Penyelenggaraan ibadah pertama diperkirakan dilakukan pada tanggal 17 Agustus

45 Roseboom, Na Vijftig Jaren, 61. 46 van den End, De Nederlandse Zendingsvereniging, 26. 47 Binalitbang, Profil Gereja, 256.

Page 29: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

89

1902. Kebaktian dipimpin oleh Alkema. Nas bacaan Alkitab ketika itu dibacakan

dari Habakuk 2:1-5. Dan pada saat itu nama kampung itu diberi nama Palalangon.

Kata ‘Palalangon’ berarti dangau di tepi hutan tempat para pemburu mengintai

binatang buruannya, dan dangau di tengah-tengah sawah. Maksud dari nama itu

adalah sebuah tempat yang lebih tinggi dari lingkungan sekitarnya. Nama tersebut

rupanya dihubungkan dengan nas bacaan di atas. Dengan nama Palalangon, Alkema

berharap agar orang-orang Kristen di desa Palalangon selalu berpaut pada Allah

dan memberi keteladanan bagi masyarakat Sunda lainnya di sekitar desa tersebut.

Begitupula rancangan dari H.C.G. Ruttink, yang menggantikan Alkema

sebagai zendeling di Bandung (1900-1919), menyempurnakan gambaran desa

tradisional Bumiputera untuk desa Palalangon. Di desa Palalangon harus dirancang

dan dibangun alun-alun yang ditanami pohon beringin di setiap pojoknya. Di sekitar

alun-alun berdiri bangunan-bangunan untuk kepentingan umum, seperti gedung

gereja, balai desa, rumah zendeling, poliklinik, sekolah, dan lain-lain; sedangkan

rumah-rumah anggota jemaat berada di sekitarnya.

Ketika J.H. Blinde bertugas di Cianjur (1906-1912), Palalangon berada di

bawah tanggung jawabnya, tidal lagi dalam tanggung jawab jemaat Bandung. Pada

tanggal 15 Agustus 1909, Blinde membaptis satu keluarga yang terdiri dari 6 orang,

yaitu Hasan, istrinya bernama Ibo dan 4 orang anaknya. Pada umumnya

pertambahan anggota jemaat berasal dari orang-orang Kristen yang datang

bermukim di Palalangon, selain pertambahan anggota jemaat juga melalui

perpindahan agama dan pembaptisan.

Page 30: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

90

4.4. Desa Kristen Rehoboth-Tamiang (1912)

Pada tahun 1911-1914, Aart Vermeer bertugas menjadi zendeling di jemaat

Juntikebon di keresidenan Cirebon. Selama setahun mengerjakan pekabaran Injil di

Juntikebon, A. Vermeer memperhatikan kehidupan anggota jemaat yang tidak

mempunyai lahan dan mata pencaharian. Sejauh mereka bekerja, mereka hanya

bekerja sebagai buruh tani. Untuk memberikan kesempatan kerja secara swadaya,

maka sekitar tahun 1912 Vermeer membuka lahan tanah tandus seluas 600 bau

menjadi sebuah pemukiman Kristen dan lahan pertanian yang diberi nama desa

Rehoboth di Tamiang. Tanah ini dulu merupakan bekas Tanah Partikelir

Kandanghauer yang telah beralih ke tangan gubernemen. Kemudian, tanah itu

diserahkan atau disumbangkan (afgestane grond) oleh pemerintah kepada NZV.48

Penyerahan dari pemerintah kepada NZV berlangsung pada 7 Desember 1912.49

Kemudian baru terjadi pada tahun 1913, desa Rehoboth-Tamiang dihuni oleh 6

keluarga anggota jemaat dari Juntikebon.50

Pada tahun 1913 Vermeer menyusun “Peraturan Umum” dan “Peraturan

Rumah Tangga” (Algemeene Bepalingen en Reglement van Orde voor het land

Rehoboth).51 Kemudian pada Februari 1917, dalam rapat Konferensi para

Zendeling, Peraturan Umum yang telah mengalami revisi itu disetujui. Dengan

tekanan perubahan pada semula pada asas “tanah Rehoboth merupakan bantuan

materi kepada kaum Kristen” menjadi “tanah Rehoboth merupakan upaya

48 van den End, De Nederlandse Zendingsvereniging, 26. 49 ARvdZ, 14-13 dan 14-14. 50 Chr. Djalimoen, Sejarah Gereja Kristen Pasundan sampai tahun 1959 (Bandung: t.p.,

1959), 71. 51 ARvdZ, 1-30.

Page 31: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

91

pekabaran Injil melalui pembukaan tanah”.52 Kemudian naskah peraturan ini

dicetak dalam bahasa dan aksara Jawa untuk konteks jemaat Tamiang yang

condong berdialek Jawa pesisir. Peraturan Umum tersebut terdapat 8 pasal dan

Peraturan Rumah Tangga terdapat 48 pasal. Dalam Peraturan Umum memuat

tentang, sebagiannya adalah:53

Pasal 2. Setiap keluarga dapat memperoleh hak pinjam guna atas 2 bau tanah sawah dan 1/4 bau untuk membangun rumah. Pasal 3. Dari hasil sawah, mulai tahun ketiga pemukiman harus diberi 1/6 bagian untuk keperluan kas tanah Rehoboth. Pasal 5. Di samping itu perlu dilakukan pekerjaan untuk keperluan Tanah Rehoboth, maka akan diminta bantuan kaum pemukim, yang wajib melakukan pekerjaan itu dengan upah harian 25 sen bagi pemukim pria (untuk pekerjaan pembukaan tanah 40 sen sehari) dan 15 sen bagi pemukim perempuan.

Pada Peraturan Rumah Tangga, dinyatakan lebih tegas tentang cita-

cita swadaya jemaat yang diharapkan oleh NZV, yaitu:54

Pasal 15. Kaum pemukim tidak boleh berharap bahwa untuk nafkahnya mereka mengandalkan kemurahan hati zendeling atau memandang Tanah Rehoboth ini merupakan tempat pengungsian bagi kaum pemalas dan orang yang tidak mampu bekerja. Setiap pemukim wajib mencari nafkah dengan bekerja, sehingga ia dapat memperoleh segala keperluan hidup sendiri dan keluarganya tanpa mengandalkan bantuan dari pihak zendeling, berupa hutang atau cara lain apapun. Orang yang ternyata pemalas atau tidak mampu mencari nafkah sendiri akan disingkirkan dari Tanah ini. Hanya warga yang ditimpa bencana yang boleh mengharapkan bantuan atas dasar kemurahan hati orang.

A. Vermeer sebagai zendeling di Juntikebon, maka ia hanya mampu

berkunjung ke desa ini selama satu kali dalam satu bulan. Pemeliharaan jemaat

52 van den End, Sumber-sumber Zending, 445. 53 van den End, Sumber-sumber Zending, 446. 54 van den End, Sumber-sumber Zending, 447.

Page 32: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

92

sehari-hari dilakukan oleh Paul Dangin. Akan tetapi, ketika pada tahun 1914, J. van

de Weg menggantikan Vermeer di Juntikebon, maka pemeliharaan jemaat Tamiang

beralih di bawah kepemimpinannya. Namun demikian, pemeliharaan jemaat

senantiasa dilakukan oleh penghantar jemaat Bumiputera. Berturut-turut para

penghantar jemaat itu bergantian tinggal di desa Rehoboth-Tamiang. Pada bulan

Juli 1916 Paul Dangin dipindahkan dari Tamiang dan Sipan Noersidjan

dipindahkan dari Cigelam. S. Noersidjan bekerja di Tamiang sampai tahun 1918

karena dipindahkan ke Juntikebon. Penggantinya adalah Saul Adam yang

dipindahkan dari Juntikebon. Bulan Februari 1920 kembali Sipan Noersidjan

dipindahkan ke Tamiang. Bulan Desember 1926 ia dipindahkan lagi ke Juntikebon.

Penggantinya adalah Soeramin Madjan, yang bekerja di Tamiang dari tahun 1927-

1932. Soeramin Madjan digantikan oleh Jakoboes Kotong yang bekerja di sini dari

tahun 1932-1935. Mulai tahun 1935 Tamiang dilayani oleh Oesman Sarim sampai

tahun 1950. Meskipun berada dalam pemeliharaan seorang zendeling dan

penghantar jemaat, kepala desa Kristen dan para pamong desa adalah warga yang

beragama Kristen, yang dipilih berdasarkan suara terbanyak, seperti yang termuat

dalam Pasal 34.55

5. Kesimpulan

Pada periode tahun 1882-1912, NZV mendirikan beberapa desa Kristen di

Jawa Barat. Desa-desa Kristen di Jawa Barat itu adalah desa Cideres, Majalengka

(1882), desa Pangharepan, Cikembar (1888), desa Palalangon, Cianjur (1902), dan

55 van den End, Sumber-sumber Zending, 447.

Page 33: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

93

desa Rehoboth, Tamiang (1912). Ada dua motif yang sering diungkapkan menjadi

alasan pembentukan desa-desa Kristen tersebut, yaitu:

1. NZV ingin membebaskan orang-orang Kristen Bumiputera lepas dari

tekanan-tekanan dan hambatan-hambatan yang berasal dari desa-desa

tempat asal mereka, yaitu dari para pemimpin desa yang terikat menurut

adat Islam, yang juga telah melekat pada tradisi suku bangsa Sunda.

2. NZV ingin menolong orang-orang Kristen Bumiputera terbebas dari

belenggu kemiskinan, melalui sumbangan uang dan menyediakan tempat

kerja, meskipun mereka menyadari akan lebih tepat tidak memberi bantuan

material, tetapi ladang/sawah untuk bermata-pencaharian dan pemukiman

penduduk.

Zendeling NZV bernama Jurrianus Verhoeven, tentu dalam konteks

Majalengka, mengatakan bahwa kebijaksanaan untuk mendirikan desa-desa Kristen

bukanlah metode zending, melainkan akibat yang tidak terhindarkan dari kegiatan

zending, bila kegiatan tersebut memperoleh hasil yang baik di kalangan kaum

penduduk Muslim. Akan tetapi, menurut Koernia Atje Soejana dalam disertasinya,

mengatakan bahwa Verhoeven sepertinya tertarik dengan gagasan P. Jansz, seorang

zendeling di Jawa Tengah, yang termuat dalam sebuah brosur tulisan berjudul

“Pembukaan Tanah dan Pekabaran Injil di Jawa” (1874), untuk diterapkan dalam

upaya pekabaran Injil di Jawa Barat.56 Dari tulisan P. Jansz ini bukan hanya

Verhoeven yang terinspirasi melainkan juga Schilstra, Gijsman, dan Zegers.

56 Soejana, Sejarah Komunikasi, 337.

Page 34: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

94

Meskipun pada akhirnya dalam konteks pembentukan desa Kristen, inspirasi itu

dapat diwujudkan dan direalisasikan oleh Verhoeven di desa Cideres dan van

Eendenburg di desa Pangharepan-Cikembar.

H.J. Roseboom, selaku direktur NZV, dalam buku Peringatan 50 tahun

NZV, memberikan penilaian bahwa pekabaran Injil dengan membuka lahan untuk

pembentukan desa Kristen tidak banyak memberi arti.57 Komunitas yang terbentuk

menjadi sangat terisolasi dari masyarakat Bumiputera lainnya. Perekonomian

anggota jemaat yang menjadi tujuan pertama juga tidak memberikan hasil yang

baik. Secara umum NZV tidak dapat membanggakan metode dengan cara pendirian

desa-desa Kristen tersebut sebagai metode pekabaran Injil di Jawa Barat.58

Meskipun demikian, selama bekerja di Jawa Barat NZV memiliki harta

benda berupa gedung-gedung gereja, sekolah, rumah sakit, dan bangunan-bangunan

lainnya, serta tanah-tanah yang di atasnya bangunan itu berdiri. Harta benda

tersebut kemudian dilimpahkan kepada Gereja Kristen Pasundan (GKP) dan Gereja

Kristen Indonesia (GKI)-Jawa Barat. Pada tanggal 7 November 1953, sesuai

dengan peraturan yang berlaku saat itu, terjadi pelimpahan wewenang dari tanah-

tanah yang berstatus Tanah Eigendom menjadi Hak Milik kepada GKP. Yang

mewakili pihak Nederlandsche Zendingsraad adalah Jonkheer Doctor Ulrich

Herman van Beyma dan yang mewakili pihak GKP adalah Yakin Elia, Wira Sairin,

dan Kemas Madjiah. Dalam Lijst van Eigendommen op West Java terdokumetasi

57 Roseboom, Na Vijftig Jaren, 136-137. 58 Lindenborn, Onze Zendingsvelden, 183.

Page 35: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

95

dalam arsip Majelis Sinode GKP, tercatat tanah-tanah jemaat pada desa-desa

Kristen, yaitu:

1. Tanah di Jemaat Cideres, yang terletak di Kabupaten Majalengka,

Kecamatan Kadipaten, Desa Heuleut seluas 11.260 m2 (yang

mendapatkan Akta Eigendom 26 Juni 1971).

2. Tanah di Jemaat Cikembar (Pangharepan), yang terletak di

Kewedanaan Cibadak, Desa Cikembar seluas 4.484 m2 (yang

mendapatkan Akta Eigendom 24 Juni 1954).

3. Tanah di Jemaat Palalangon, yang terletak di Kabupaten Cianjur,

Kecamatan Ciranjang, Desa Kertajaya seluas 4.964 m2 (yang mendapat

Akta Eigendom 30 Maret 2017).

4. Tanah di Jemaat Tamiang, yang terletak di Kabupaten Indramayu,

Kecamatan Kroya, Desa Jayamulya seluas 2.717 m2 (yang mendapat

Akta Eigendom 26 Agustus 2011).

Menurut Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960, tanah-tanah Eigendom

harus dikonversi menjadi tanah milik (Hak Milik). Karena itu, perintisan ke arah

konversi tanah-tanah milik gereja dilakukan oleh GKP sekitar tahun 1960-an. Baru

kemudian pada tanggal 22 Februari 1971, Kementerian Dalam Negeri memutuskan

tentang “Penunjukan Sinode GKP dan Yayasan-yayasan yang berada di dalam

lingkungannya, sebagai Badan Hukum yang dapat mempunyai tanah dengan Hak

Milik”. Dua hal penting yang termuat dalam Surat Keputusan Menteri Dalam

Negeri RI tersebut, yaitu bahwa tanah-tanah milik Zending:59

59 Soejana, Benih yang Tumbuh, 126-128.

Page 36: BAB III Keberadaan dan Kepemilikan Tanah Desa-desa Kristen

96

1. Menjadi Hak Milik, jika tanahnya digunakan untuk gereja, pastori, sekolah

agama beserta halamannya.

2. Mendapat Hak Guna Bangunan, jika tanahnya digunakan untuk keperluan-

keperluan lain, dan berlangsung hingga tanggal 24 Desember 1980. Apabila

sebidang persil (satu verponding) di samping penggunaannya untuk usaha

dalam bidang keagamaan dipergunakan untuk keperluan lain, maka hak

Eigendom dikonversi menjadi Hak Milik, jika usaha dalam bidang

keagamaan itu merupakan usaha pokok atau terutama.