115
49 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan penulis adalah terhadap penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi (Studi Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst), terdapat hal-hal penting yang terlebih dahulu harus diketahui sebelum membahas permasalahan dalam penelitian. Tindak pidana yang penulis kaji dalam skripsi ini adalah mengenai tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin pelaku tindak pidana korupsi yang ditempatkan sebagai terdakwa adalah PT Giri Jaladhi Wana dan pada tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM pelaku tindak pidana korupsi yang ditempatkan sebagai terdakwa adalah Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media. Untuk menjawab isu hukum yang diangkat oleh penulis, dalam hal ini penulis memunculkan dua rumusan masalah meliputi sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dan pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi serta prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM, namun tidak diterapkan dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst. A. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Sistem Pemidanaan Terhadap Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi Pertanggungjawaban pidana korporasi tidak dapat dipisahkan dari pidana dan pemidanaan, karena suatu tindak pidana apabila dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, maka konsekuensi lebih lanjut adalah penjatuhan pidana. Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli hukum pidana yang menganut aliran dualistis yang memandang bahwa tindak pidana mempunyai

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN · memudahkan dalam melakukan suatu sistematika unsur-unsur mana dari suatu tindak pidana yang masuk ke dalam perbuatan dan yang mana masuk

  • Upload
    vungoc

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

49

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dilakukan penulis adalah terhadap penerapan prinsip

pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi (Studi

Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan Putusan Nomor

36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst), terdapat hal-hal penting yang terlebih dahulu

harus diketahui sebelum membahas permasalahan dalam penelitian. Tindak

pidana yang penulis kaji dalam skripsi ini adalah mengenai tindak pidana korupsi

pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan

tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan

Usaha Kecil Menengah (UKM). Dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan

pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin pelaku tindak pidana korupsi

yang ditempatkan sebagai terdakwa adalah PT Giri Jaladhi Wana dan pada tindak

pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM

pelaku tindak pidana korupsi yang ditempatkan sebagai terdakwa adalah Hendra

Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media. Untuk menjawab isu hukum yang

diangkat oleh penulis, dalam hal ini penulis memunculkan dua rumusan masalah

meliputi sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dan pemidanaan terhadap

korporasi dalam tindak pidana korupsi serta prinsip pertanggungjawaban pidana

korporasi yang diterapkan dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM,

namun tidak diterapkan dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst.

A. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Sistem Pemidanaan

Terhadap Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi

Pertanggungjawaban pidana korporasi tidak dapat dipisahkan dari pidana

dan pemidanaan, karena suatu tindak pidana apabila dapat

dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, maka konsekuensi lebih lanjut adalah

penjatuhan pidana. Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli hukum pidana

yang menganut aliran dualistis yang memandang bahwa tindak pidana mempunyai

50

struktur yang berbeda dengan pertanggungjawaban pidana, artinya terjadi

pemisahan antara actus reus atau criminal act dengan mens rea atau criminal

responsibility. Menurut pendapat Chairul Huda, aturan hukum pidana yang

menentukan adanya tindak pidana merupakan primary rules, sedangkan

pertanggungjawaban pidana diejawantahkan dalam secondary rules, artinya

tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seyogianya dipisahkan (Chairul

Huda, 2006:20). Muladi dan Dwidja Priyatno mengungkapkan bahwa pandangan

dualistis yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana ini

memudahkan dalam melakukan suatu sistematika unsur-unsur mana dari suatu

tindak pidana yang masuk ke dalam perbuatan dan yang mana masuk ke dalam

pertanggungjawaban pidana, sehingga mempunyai dampak positif dalam

menjatuhkan putusan dalam proses peradilan (Muladi dan Dwidja Priyatno,

2010:68). Dari uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dipidananya

pelaku tindak pidana tidak cukup hanya dengan dilakukannya suatu perbuatan

pidana, terdapat syarat lain yaitu pelaku harus memiliki kesalahan untuk dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana dan kemudian dijatuhi pidana.

Penegakan hukum terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana

merupakan suatu pengaplikasian dari sistem pertanggungjawaban pidana. Dalam

kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana, terdapat asas yang sangat

fundamental yaitu kesalahan atau dikenal dengan berlakunya asas tiada pidana

pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Ada atau tidaknya kesalahan,

merupakan hal yang penting bagi aparat penegak hukum untuk menentukan

apakah seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan

dan karenanya patut dipidana. “Asas kesalahan merupakan asas yang mutlak ada

dalam hukum pidana, yaitu sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana” (Muladi dan

Dwidja Priyatno, 2010:101). Sehubungan diterimanya korporasi sebagai subjek

hukum pidana, muncul pertanyaan apabila korporasi dituntut atas suatu tindak

pidana, dapatkah korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana, sebab unsur

51

utama dalam pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang hanya dimiliki

oleh manusia. Kemudian terkait cara mengkonstruksikan unsur kesalahan yang

hanya dimiliki oleh manusia tersebut terhadap korporasi sehingga korporasi dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana.

Terkait dengan adanya asas kesalahan atau asas tiada pidana tanpa

kesalahan sebagai asas yang fundamental dalam pertanggungjawaban pidana,

menurut penulis hal ini berpengaruh terhadap pertanggungjawaban pidana

korporasi. Sehubungan dengan kesalahan pada pertanggungjawaban pidana

korporasi, Van Bemmelen dan Jan Remmelink sebagaimana dikutip Muladi dan

Dwidja Priyatno menyatakan bahwa pengetahuan bersama anggota direksi dalam

badan hukum dianggap kesengajaan atau kelalaian badan hukum sebagai

kesalahan, adanya kesalahan pada setiap anggota direksi yang bertindak untuk

korporasi dikumpulkan atau dijumlahkan merupakan perwujudan kesalahan dari

korporasi (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:102). Penulis menyimpulkan

pendapat yang disampaikan oleh Van Bemmelen dan Jan Remmelink tersebut

menunjukkan bahwa korporasi memiliki kesalahan yang berasal dari kesalahan

setiap anggota direksi yang bertindak untuk korporasi. Penulis pada prinsipnya

sependapat dengan Van Bemmelen dan Jan Remmelink, kemudian penulis

mengkaitkan pandangan ini dengan realitas proses pengambilan keputusan dalam

korporasi modern yang tidak lagi mendesain struktur organisasinya dengan

kewenangan yang jelas, sebaliknya korporasi memiliki beberapa pusat

kewenangan yang saling bekerja sama dan melengkapi satu sama lain dalam

mengambil suatu kebijakan dan keputusan. Oleh karena itu, kesalahan setiap

anggota direksi diatributkan sebagai kesalahan korporasi yang bertindak untuk

dan atas nama korporasi.

Korporasi dapat memiliki kesalahan, apabila kesengajaan atau kelalaian

terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya atau orang-orang yang

memiliki hubungan erat dengan korporasi. Kesalahan dianggap tidak bersifat

52

individual karena mengenai badan sebagai suatu kolektivitas, kesalahan itu

disebut sebagai kesalahan kolektif yang dapat dibebankan kepada pengurus

korporasi yang memberi cukup alasan untuk menganggap badan atau korporasi

mempunyai kesalahan dan karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya

karena badan atau korporasi menerima keuntungan yang terlarang, hal ini

diungkapkan Suprapto yang dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno (Muladi

dan Dwidja Priyatno, 2010:101).

Penulis sependapat dengan Suprapto, Van Bemmelen dan Jan Remmelink

yang menyatakan bahwa korporasi memiliki kesalahan seperti halnya dengan

manusia, kesalahan pada korporasi dimaksud dapat berupa pengetahuan atau

kehendak bersama dari kumpulan pengurus korporasi atau pengetahuan dan

kehendak bersama setiap individu yang bertindak untuk dan atas nama korporasi

yang diatributkan sebagai kesalahan korporasi. Pada dasarnya, korporasi tidak

dapat melakukan tindak pidana tanpa melalui perantara pengurus korporasi atau

karyawan korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi berdasarkan

berlakunya teori pelaku fungsional, hal ini sesuai dengan pendapat Mardjono

Reksodiputro yang dikutip oleh Mahrus Ali yang menyatakan bahwa kesalahan

yang ada pada diri pengurus korporasi dialihkan atau menjadi kesalahan korporasi

itu sendiri (Mahrus Ali, 2013:152). Sedangkan menurut Mahrus Ali, kesalahan

pada korporasi berbeda dengan kesalahan pada subjek hukum manusia, karena

dasar dari penetapan kesalahan pada korporasi adalah tidak dipenuhinya fungsi

kemasyarakatan korporasi termasuk tetapi tidak terbatas untuk menghindari tindak

pidana (Mahrus Ali, 2013:153). Menurut penulis, Mahrus Ali memiliki pandangan

yang berbeda mengenai penentuan kesalahan korporasi yang pada prinsipnya

menyatakan bahwa penilaian kesalahan pada korporasi ditentukan oleh dipenuhi

atau tidaknya fungsi kemsayarakatan korporasi sehingga dapat dicela ketika suatu

tindak pidana terjadi, adanya kesalahan itu berasal dari kesalahan pelaku

53

fungsional yang dapat dilakukan oleh pengurus korporasi atau karyawan

korporasi. Oleh karena itu korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Menurut Elliot dan Quin sebagaimana dikutip Mahrus Ali, pembenaran

pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat

didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:

1. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan

mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya

pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang

sebenarnya merupakan tindak pidana dan kesalahan dari korporasi;

2. Apabila perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang

ilegal, maka perusahaan itulah yang seharusnya memikul sanksi atas tindak

pidana yang dilakukan, bukan pegawainya;

3. Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat mencegah perusahaan-

perusahaan untuk menekan para pegawainya dalam memperoleh keuntungan

kegiatan usahanya harus dilakukan secara legal;

4. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan

dapat mencegah perusahaan-perusahaan lain untuk melakukan kegiatan usaha

yang ilegal (Mahrus Ali, 2013:104).

Penulis sependapat dengan pandangan Eliot dan Quinn mengenai

pentingnya pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku

tindak pidana, sebab menurut penulis pembebanan pertanggungjawaban pidana

korporasi secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong korporasi

untuk menjalankan kegiatan usaha yang legal dan tidak melanggar undang-

undang, selain itu juga memberikan pesan bahwa pencapaian tujuan negara untuk

kesejahteraan masyarakat dan perlindungan terhadap masyarakat jauh lebih

penting dibandingkan dengan hanya keuntungan materi yang diperoleh korporasi

secara ilegal, serta merupakan pencegahan bagi korporasi lain untuk tidak

melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang yang dapat merugikan negara

maupun masyarakat dengan mengontrol pengurus korporasi maupun terhadap

kegiatan usaha korporasi itu sendiri.

Sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana, Barda Nawawi Arief

sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa untuk

54

adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat

dipertanggungjawabkan. Subjek tindak pidana yang telah diakui dalam hukum

pidana di Indonesia adalah manusia dan korporasi, terhadap pengertian subjek

tindak pidana memiliki konsekuensi yaitu siapa yang melakukan tindak pidana

dan siapa yang dipertanggungjawabkan. Pada umumnya dalam hukum pidana

yang dapat dipertanggungjawabkan adalah pembuat tindak pidana, tetapi tidak

selalu demikian karena tergantung pada cara perumusan sistem

pertanggungjawaban pidana (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:82). Menurut

penulis hal tersebut juga berlaku terhadap kedudukan korporasi sebagai pembuat

atau pelaku tindak pidana untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,

harus diketahui sistem pertanggungjawaban pidana korporasinya. Dalam hal ini

terdapat sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang diungkapkan oleh

Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali yaitu:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang bertanggung jawab;

2. Korporasi sebagai pembuat, pengurus yang bertanggung jawab;dan

3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab (Mahrus Ali,

2013:133).

Terkait dengan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, Sutan Remy

Sjahdeini menambahkan bentuk yang keempat yaitu sebagai berikut:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasilah

yang bertanggung jawab secara pidana;

2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana namun pengurus korporasilah yang

bertanggung jawab secara pidana;

3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang bertanggung

jawab secara pidana;dan

4. Pengurus dan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan keduanya yang

harus bertanggung jawab secara pidana (Sutan Remy Sjahdeini, 2006:59).

Alasan Sutan Remy Sjahdeini menambahkan satu bentuk sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi didasarkan pada tiga pertimbangan.

Pertama, apabila hanya pengurus korporasi saja yang diminta

pertanggungjawaban pidananya akan menimbulkan ketidakadilan bagi

55

masyarakat, karena pengurus dalam melakukan perbuatan tersebut adalah untuk

dan atas nama korporasi yang memberikan keuntungan baik finansial maupun non

finansial kepada korporasi. Kedua, apabila hanya korporasi yang dimintai

pertanggungjawaban pidananya maka pengurus korporasi akan dengan mudahnya

berlindung dibalik korporasi dengan mengatakan bahwa semua perbuatan yang

dilakukannya adalah untuk dan atas nama korporasi dan bukan untuk kepentingan

pribadi. Ketiga, pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya

mungkin dilakukan secara vicarious dan segala perbuatan hukum dilakukan oleh

manusia dalam menajalankan pengurusan korporasi sehingga tidak seharusnya

hanya korporasi saja yang dimintai pertanggungjawaban secara pidana sedangkan

pengurusnya dibebaskan maupaun sebaliknya, hanya pengurus korporasi yang

dipertanggungjawabkan secara pidana sedangkan korporasinya bebas (Sutan

Remy Sjahdeini, 2006:62-64).

Penulis sependapat dengan pertimbangan yang dikemukakan oleh Sutan

Remy Sjahdeini terkait dengan penambahan bentuk keempat sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi, alasan penulis didasarkan pada

perkembangan korporasi pada era globalisasi yang multidimensional ini memiliki

peran dan kekuasan di semua aspek kehidupan masayarakat, sehingga

dietapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana tidaklah cukup karena

hukuman yang dijatuhkan kepada pengurus tidak sebanding dengan keuntungan

besar yang diterima korporasi dalam melakukan tindak pidana dan kerugian yang

dialami oleh masyarakat maupun negara. Alasan yang diungkpakan oleh penulis

mengenai keuntungan besar yang telah diterima oleh korporasi atas tindak pidana

yang dilakukan korporasi sejalan dengan pandangan Mahrus Ali yang menyatakan

bahwa korporasi merupakan makhluk yang rasional ekonomis dalam menimbang

ongkos yang harus dikeluarkan dari melakukan tindak pidana dengan keuntungan

yang akan didapat, artinya ketika keuntungan lebih besar dibandingkan dengan

56

ongkos yang dikeluarkan, maka korporasi akan melakukan tindak pidana (Mahrus

Ali, 2013:264).

Dengan hanya dipidananya pengurus saja tidak cukup memberikan

jaminan bahwa korporasi tidak akan lagi melakukan tindak pidana apabila

keuntungan besar diperoleh korporasi dengan melakukan tindak pidana. Menurut

penulis, arah penegakan hukum yang dikehendaki masyarakat disamping

mempertanggungjawabkan pidana pengurus korporasi yang melakukan tindak

pidana juga korporasi yang selama ini jarang dihadapkan di pengadilan dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan

korporasi. Hal ini didasarkan juga pada peraturan perundang-undangan yang telah

mendukung dengan mengatur mengenai syarat-syarat pemidanaan terhadap

korporasi, contohnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sehubungan dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana

korporasi dan diterimanya korporasi sebagai subjek pelaku tindak pidana dalam

peraturan perundang-undangan pidana diluar KUHP, menurut penulis, terdapat

hubungan antara tahap-tahap diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana

dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, penulis

menjelaskan hubungan tersebut dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Hubungan Tahap Diterimanya Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana

dengan Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

No. Tahap Diterimanya Korporasi

Sebagai Subjek Tindak

Pidana

Perkembangan Sistem

Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi

1. I Menurut Hanafi Amrani

dan Mahrus Ali,

berdasarkan pemikiran

dari abad ke-19 korporasi

tidak dapat melakukan

tindak pidana, karena

masih dianut asas

Pengurus korporasi

sebagai pembuat tindak

pidana dan pengurus

korporasi yang harus

bertanggung jawab

secara pidana.

57

universitas delinquere non

potest (Hanafi Amrani dan

Mahrus Ali,

2015:161);dan

Hanya manusia yang

dapat melakukan tindak

pidana dan

dipertanggungjawabkan

secara pidana.

2. II Hanafi Amrani dan

Mahrus Ali menyatakan

bahwa sesudah perang

dunia I, korporasi diakui

dapat melakukan tindak

pidana;dan

Pertanggungjawaban

pidana menjadi beban

pengurus korporasi yang

memberikan perintah atau

bekerja untuk dan atas

nama korporasi (Hanafi

Amrani dan Mahrus Ali,

2015:163).

Korporasi sebagai

pembuat tindak pidana

dan pengurus korporasi

yang bertanggung jawab

secara pidana.

3. III Hanafi Amrani dan

Mahrus Ali menyatakan

bahwa tahap ketiga ini

merupakan permulaan,

diakuinya korporasi dapat

melakukan tindak pidana

dan bertanggung jawab

secara pidana atas tindak

pidana yang dilakukan

korporasi (Hanafi Amrani

dan Mahrus Ali,

2015:164);dan

Korporasi dapat dikenai

sanksi pidana.

Korporasi sebagai

pembuat tindak pidana

dan korporasi

bertanggung jawab

secara pidana;dan

Korporasi dan pengurus

sebagai pembuat tindak

pidana dan keduanya

dapat bertanggung jawab

secara pidana.

58

Hubungan antara diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana

dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi menunjukkan

bahwa pada saat korporasi diakui sebagai subjek tindak pidana yang memiliki arti

sebagai subjek yang melakukan tindak pidana dan yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana telah berjalan secara beriringan dengan

perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Hubungan tersebut

ditunjukkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah

mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana yang ditunjukkan dalam Pasal 1

butir 3 dan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam Pasal 20.

Terkait dengan sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana

korupsi pengaturannya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, yaitu dapat dilihat dari diaturnya korporasi sebagai subjek tindak pidana

korupsi, tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan korporasi, penentuan kapan

korporasi melakukan tindak pidana korupsi, pengaturan mengenai sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi, sanksi pidana yang tepat bagi korporasi

dan tujuan pemidanaan terhadap korporasi.

Pengakuan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi diatur dalam

Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

menyebutkan sebagai berikut:

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi”.

Yang dimaksud dengan korporasi dijelaskan dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 1 butir 1 sebagai berikut:

“Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi

baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

59

Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dihubungkan

dengan subjek tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal-pasalnya,

menurut penulis tidak semua tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh

korporasi, hal ini dikarenakan perumusan subjek tindak pidana korupsi dalam

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut menggunakan

beberapa istilah diantaranya yaitu setiap orang, hakim, pemborong, ahli bangunan,

orang dan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Menurut penulis, tindak

pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana korupsi

yang subjek tindak pidananya dirumuskan dengan kata setiap orang yang

memiliki pengertian orang perseorangan termasuk korporasi.

Selanjutnya, kapan dinyatakan bahwa suatu korporasi telah melakukan

tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat dalam perumusan Pasal 20 ayat (2) yang

menyatakan sebagai berikut:

“tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana

tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun

hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri

maupun bersama-sama”.

Maka suatu tindak pidana korupsi telah dilakukan oleh korporasi dengan

batas atau ukuran apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang

berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain bertindak dalam lingkungan

korporasi baik sendiri maupun bersama-sama (garis bawah penulis). Menurut

penulis perumusan mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 merupakan penyempurnaan perumusan tindak pidana ekonomi yang

dilakukan korporasi dalam Undang-Undang Nomor Drt. 7 Tahun 1955 tentang

Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi atau yang sering

disebut dengan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam Undang-Undang

60

Nomor Drt. 7 Tahun 1955 pengaturan tindak pidana ekonomi dilakukan oleh

korporasi diatur dalam Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan sebagai berikut:

“suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh suatu, atas nama suatu

badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang, atau suatu yayasan, jika

tindakan dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun

hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan

atau yayasan itu tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri

melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama-sama ada anasir-

anasir pidana tersebut”.

Sehubungan dengan perumusan tersebut diatas Barda Nawawi Arief

sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa di dalam

perumusan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi memang

ada perumusan yang “seolah-olah” menjelaskan kapan suatu badan hukum itu

dikatakan telah melakukan suatu tindak pidana. Perumusan tersebut berbunyi

“suatu tindak pidana.....dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum...

dan seterusnya”. Dengan adanya kata “dilakukan juga”, jelas bahwa rumusan

tersebut hanya merupakan suatu fiksi yang memperluas bentuk tindak pidana yang

sebenarnya tidak dilakukan oleh badan hukum tetapi “dianggap” telah dilakukan

juga oleh badan hukum. Jadi, perumusan diatas tidaklah menjelaskan pengertian

kapan badan hukum itu dikatakan melakukan tindak pidana atau sebagai pelaku

tindak pidana, kemudian penyempurnaan perumusan pada Undang-Undang

Tindak Pidana Ekonomi tersebut terdapat dalam rumusan Pasal 20 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan dengan

tegas bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana

tersebut dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun

hubungan lain....dan seterusnya (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:93).

Menurut Muladi dan Dwidja Priyatno yang menyatakan bahwa setelah

melihat rumusan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi

belum memberikan ketegasan mengenai batasan dan ukuran yang dipakai untuk

61

menentukan suatu tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh badan hukum atau

korporasi, hanya saja dikatakan batasan atau ukurannya disebutkan:

1. Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain;atau

2. Berdasarkan bertindak dalam lingkungan badan hukum (Muladi dan Dwidja

Priyatno, 2010:94).

Menurut penulis, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, memberikan batasan atau ukuran mengenai tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh korporasi yang memberikan batasan dan ukuran yang sama.

Mencermati batasan dan ukuran tersebut, baik Undang-Undang Tindak Pidana

Ekonomi maupun Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

memiliki kelemahan yang sama yaitu tidak adanya penjelasan yang lebih lanjut

mengenai hubungan kerja maupun hubungan lainnya yang bertindak dalam

lingkungan korporasi pada perumusan maupun penjelasannya untuk menentukan

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, hal tersebut menyebabkan

ketidakjelasan mengenai siapa orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama

korporasi sehingga tindak pidana korupsi tersebut dapat dikatakan dilakukan oleh

korporasi, maka kedepannya harus diperbaiki dalam formulasi perumusan

pasalnya maupun penjelasannya.

Setelah mengetahui mengenai tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan

oleh korporasi dengan mengetahuinya melalui perumusan subjek tindak

pidananya dan menentukan kapan korporasi dapat melakukan tindak pidana

korupsi, maka apabila korporasi yang telah terbukti melakukan tindak pidana

korupsi, selanjutnya yang sangat penting adalah terkait pengaturan mengenai

pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi yang diatur

dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah

menyatakan sebagai berikut:

62

1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu

korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap

korporasi dan pengurusnya.

2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana

tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja

maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi

tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka

korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)

dapat diwakili oleh orang lain

5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri

di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut

dibawa ke sidang pengadilan.

6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan

untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan

kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau tempat pengurus berkantor.

7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda

dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (sepertiga).

Berdasarkan uraian Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi tersebut secara gramatikal menurut penulis terdapat tiga bentuk

sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi sebagai

berikut:

1. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang bertanggung

jawab secara pidana;

2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang

bertanggung jawab secara pidana;dan

3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana, dan yang bertanggung jawab

secara pidana adalah korporasi serta pengurus korporasi.

Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut penulis telah sampai tahap ketiga

yaitu korporasi dapat melakukan tindak pidana dan korporasi dapat bertanggung

63

jawab secara pidana bersama pengurusnya. Sehubungan dengan

pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi, menurut

penulis walaupun telah mengakui korporasi dapat melakukan tindak pidana

korupsi dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, namun masih belum ada

penjelasan yang tegas dan spesifik mengenai kapan tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh korporasi dipertanggungjawabkan oleh korporasi atau pengurus

atau korporasi dan pengurus secara bersamaan dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Hal ini menurut penulis merupakan suatu kelemahan dari

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut yang harus

diperbaiki dalam formulasinya di masa yang akan datang untuk menghindari

ketidakjelasan penafsiran.

Mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi menurut penulis,

merupakan bagian dari proses sistem pemidanaan yang pada hakikatnya berpijak

pada pemikiran tujuan dipidananya korporasi, sanksi apa yang tepat diancamkan

untuk korporasi dan penjatuhan pidana yang tepat untuk korporasi serta mengenai

bentuk pengaturannya. Pemidanaan merupakan salah satu sarana untuk

menanggulangi masalah-masalah sosial dalam mencapai tujuan yaitu

kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu menurut Setiyono, dengan

menggunakan sanksi berupa sanksi pidana terhadap kejahatan korporasi yang

penuh motif ekonomi harus dipertimbangkan benar urgensinya (Setiyono,

2003:116-117). Sehubungan dengan urgensi pemidanaan korporasi yang

berangkat dari motivasi bahwa dengan hanya memidana pengurus korporasi saja

dalam delik ekonomi tidaklah cukup apabila melihat keuntungan besar yang

diterima korporasi atas tindak pidana yang dilakukan korporasi dan akibatnya

berupa kerugian yang dialami negara maupun masyarakat sangat besar.

Penulis menerima pendapat yang diungkapkan oleh Yoshio Suzuki yang

dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno yang menyatakan bahwa dalam

64

penjatuhan pidana pada korporasi, misalnya dalam bentuk penutupan seluruh atau

sebagian usaha korporasi harus dilakukan secara hati-hati (Muladi dan Dwidja

Priyatno, 2010:143). Hal ini disebabkan dampak penjatuhan pidana tersebut

terhadap korporasi tidak hanya berdampak pada korporasi sendiri, tetapi juga

berdampak pada buruh atau karyawan korporasi yang tidak bersalah. Sehubungan

dengan hal tersebut maka perlu untuk mempertimbangkan peringatan Sudarto

yang dikutip oleh Setiyono, bahwa “sanksi pidana akan menemui kegagalan dan

mendatangkan kecemasan belaka. Terlalu banyak menggunakan ancaman pidana

dapat mengakibatkan devaluasi dari undang-undang pidana” (Setiyono,

2003:117).

Penggunaan sanksi pidana harus dilakukan secara cermat, hati-hati dan

manusiawi agar bermanfaat dalam keadaan yang tepat. Oleh karena itu Packer

sebagaimana dikutip oleh Setiyono menegaskan bahwa syarat-syarat penggunaan

sanksi pidana secara optimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Perbuatan yang dilarang tersebut menurut pandangan sebagian besar anggota

masyarakat secara menyolok dianggap membahayakan masyarakat dan tidak

dibenarkan oleh apa saja yang oleh masyarakat dianggap penting;

2. Penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan tersebut konsisten dengan

tujuan-tujuan pemidanaan;

3. Pemberantasan terhadap perbuatan tersebut tidak akan menghalangi atau

merintangi perilaku masyarakat yang diinginkan;

4. Perilaku tersebut dapat dihadapi melalui cara yang tidak berat sebelah dan

tidak bersifat diskriminatif;

5. Pengaturan melalui proses hukum pidana tidak akan memberikan kesan

memperberat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif;dan

6. Tidak ada pilihan-pilihan yang beralasan daripada sanksi pidana tersebut guna

menghadapi perilaku tersebut (Setiyono, 2003:117).

Selanjutnya menurut penulis, perlakuan secara hati-hati untuk memidana

atau menjatuhkan pidana terhadap korporasi harus didasarkan pada kriteria-

kriteria yang tepat dalam menentukan penjatuhan sanksi pidana terhadap

korporasi, dalam hal ini menurut penulis beberapa kriteria yang menentukan

kapan sanksi pidana diarahkan pada korporasi, kriteria tersebut bersifat alternatif

65

sehingga tidak perlu harus terpenuhi semuanya, kriteria tersebut dikemukakan

oleh Clinard dan Yeager sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno

serta diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut:

1. The degree of loss to the public (Tingkat kerugian terhadap publik);

2. The lever of complicity by high corporate managers (Tingkat keterlibatan

oleh jajaran manajer);

3. The duration of the violation (lamanya pelanggaran);

4. The frequensi of the violation by the corporation (Frekuensi pelanggaran oleh

korporasi);

5. Evidence of intent to violate (Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan

pelanggaran);

6. Evidence of extortion, as in bribery cases (Alat bukti pemerasan, semisal

dalam kasus suap);

7. The degree of notoriety engendered by the media (Derajat pengetahuan publik

tentang hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh pemberitaan media);

8. Precedent in law (Jurisprudensi);

9. The history of serious, violation by the corporation (Riwayat pelanggaran-

pelanggaran serius oleh korporasi);

10. Deterence potential (Kemungkinan pencegahan);dan

11. The degree of cooperation evinced by the corporation (Derajat kerja sama

yang ditunjukkan oleh korporasi) (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:143).

Penulis mendasarkan pertimbangan untuk pemidanaan terhadap korporasi

didasarkan oleh kajian menurut Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana Badan

Pengkajian Hukum Nasional, dalam laporan hasil Pengkajian Bidang Hukum

tahun 1980/1981 yang menyatakan bahwa “jika dipidananya pengurus saja tidak

cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau

dengan suatu korporasi karena delik itu cukup besar atau kerugian yang

ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-saingannya sangat berarti” (Muladi

66

dan Dwidja Priyatno, 2010:146). Hal ini berarti dipidananya pengurus saja tidak

dapat memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali lagi

melakukan tindak pidana. Terkait hal ini, menurut penulis, kedudukan korporasi

ketika terbukti melakukan tindak pidana dan dipersalahkan atas tindak pidana

yang dilakukan korporasi, pemidanaan terhadap korporasi harus didasarkan pada

tujuan pemidanaan yang bersifat preventif dan represif.

Kemudian apabila dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan

korporasi menyangkut tujuan bersifat integratif yang mencakup:

1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan

pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki penjahatnya,

sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang lain tidak melakukan

kejahatan tersebut. Jadi jika dihubungkan dengan korporasi, maka tujuan

dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak melakukan tindak pidana lagi,

dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan tindak

pidana, dengan tujuan demi pengayoman masyarakat;

2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan

masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat luas,

karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara

sempit hal ini digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk

mencari jalan melalui tindak pidana. Perlindungan masyarakat sering

dikatakan berada di seberang pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan

tidak mampu. Bila dikaitkan dengan korporasi, sehingga korporasi tidak

mampu lagi melakukan suatu tindak pidana;

3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. Pemeliharaan

solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan adalah

untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan untuk mencegah balas dendam

perseorangan, atau balas dendam yang tidak resmi. Pengertian solidaritas ini

juga sering dihubungkan dengan masalah kompensasi terhadap korban

kejahatan yang dilakukan oleh negara. Kalau dihubungkan dengan

pemidanaan korporasi kompensasi terhadap korban dilakukan oleh korporasi

itu sendiri yang diambil dari kekayaan korporasi, sehingga solidaritas sosial

dapat dipelihara;dan

4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan, yaitu adanya

kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari

pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa faktor. Penderitaan

yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian

kembali terpidana pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan di samping itu

beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak

67

dengan alasan-alasan prevensi general apapun (Muladi dan Dwidja Priyatno,

2010:147-149).

Dengan demikian, menurut penulis, pemidanaan terhadap korporasi secara

global haruslah sesuai dengan pendirian integratif tentang tujuan pemidanaan,

yaitu dalam fungsinya sebagai sarana preventif atau pencegahan baik secara

umum dan khsusus, selanjutnya tujuan pemidanaan yang bersifat represif

tercermin dalam tujuan pemidanaan korporasi untuk perlindungan masyarakat,

memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan atau keseimbangan.

Berbeda dengan tujuan pemidanaan secara global yang bersifat integratif,

menurut Mahrus Ali, teori pemidanaan yang sesuai digunakan bagi korporasi

adalah teori pencegahan (deterrence) dan teori rehabilitasi (rehabilitation)

(Mahrus Ali, 2013:263). Digunakannya teori pencegahan didasarkan pada

motivasi atau orientasi bahwa korporasi ketika melakukan tindak pidana

didasarkan kepada motivasi ekonomi atau orientasi untung rugi dalam hal

dilakukan pada tindak pidana apapun. Pendapat yang dikemukakan Mahrus Ali

mengenai teori pencegahan adalah korporasi ketika melakukan suatu aktivitas

tertentu berpikir secara rasional dengan tujuan utama untuk memaksimalkan

keuntungan yang diharapkan, kondisi tersebut dapat dijelaskan bahwa ketika

keuntungan yang diperoleh korporasi lebih besar dibandingkan dengan ongkos

yang dikeluarkan korporasi, maka korporasi akan melakukan tindak pidana

(Mahrus Ali, 2013:264).

Selanjutnya mengenai teori rehabilitasi, Mahrus Ali mengemukakan

bahwa alasan digunakannya teori rehabilitasi karena tidak jarang tindak pidana

yang dilakukan korporasi menghasilkan efek negatif terhadap lingkungan hidup

(Mahrus Ali, 2013:265). Pendapat yang dikemukakan Mahrus Ali mengenai teori

rehabilitasi adalah bahwa korporasi merupakan entitas hukum yang tidak sehat

yang memerlukan pengobatan, dalam artian hukuman yang dijatuhkan harus

cocok dengan kondisi korporasi dan bukan dengan sifat kejahatannya (Mahrus

Ali, 2013:266).

68

Menurut penulis, teori rehabilitasi yang dikemukakan oleh Mahrus Ali

hanya tepat untuk digunakan dalam pemidanaan terhadap korporasi yang

melakukan tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan orientasi

penggunaan teori rehabilitasi yang dikemukakan Mahrus Ali lebih mengarah

kepada rehabilitas lingkungan hidup yang rusak akibat tindak pidana yang

dilakukan korporasi, oleh karena itu pendapat mengenai teori rehabilitas yang

dinyatakan Mahrus Ali menurut penulis mengarah kepada perlakuan yang tepat

terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup dengan

memanfaatkan program rehabilitasi diharapkan agar korporasi dapat bersinergi

kembali dengan masyarakat.

Terkait dengan tujuan pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana

korupsi, pada penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

menjelaskan bahwa pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi diharapkan mampu untuk memenuhi dan mengantisipasi perkembangan

kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka “mencegah” dan “memberantas”

lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang telah sangat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat

pada umumnya. Frase “mencegah” dan “memberantas” merupakan ide dari teori

tujuan pemidanaan yang menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan korporasi dalam

tindak pidana korupsi bersifat preventif dan represif, tujuan tersebut secara

normatif direalisasikan melalui pertanggungjawaban pidana korporasi. Tujuan

pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi bersifat preventif artinya

tujuan dipidananya korporasi agar korporasi tercegah untuk melakukan tindak

pidana korupsi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan

tindak pidana korupsi. Sedangkan tujuan pemidanaan korporasi dalam tindak

pidana korupsi bersifat represif artinya tujuan dipidananya korporasi adalah agar

negara dapat menuntut korporasi untuk mengembalikan kerugian keuangan negara

69

yang telah dipergunakan secara melawan hukum. Selain itu, teori tujuan

pemidanaan korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat dilihat pada substansi pengaturan sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi, termasuk kedudukan korporasi sebagai

subjek tindak pidana korupsi.

Sehubungan pemidanaan terhadap korporasi, hal penting yang selanjutnya

harus diketahui adalah mengenai sanksi pidana pokok bagi korporasi dalam tindak

pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya berupa

denda, berikut bunyi pasalnya:

“Pidana pokok yang dapat digunakan terhadap korporasi hanya pidana

denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3”.

Menurut penulis, berdasarkan penjelasan pasal tersebut di atas

menunjukkan bahwa sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap

korporasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (7) merupakan sanksi

yang dirumuskan secara tunggal yang tidak memberikan alternatif pidana pokok

lain yang dapat dipilih. Hal ini menjadi permasalahan sekaligus kelemahan

tersendiri dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebab

dalam ketentuan umum Buku I KUHP dalam Pasal 30 ayat (2) yang mengatur

tentang denda yang tidak dibayar dapat dikenakan pidana kurungan pengganti

denda yang hanya dapat dijatuhkan terhadap manusia bukan korporasi.

Tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi di Indonesia, selain

ketentuan pidana pokok berupa denda yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi,

juga terdapat pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang

dapat berupa:

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau

barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana

70

korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang

tersebut;

2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama

dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; (Pasal 18 ayat

(2) menjelaskan bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling

lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan

hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk

menutupi uang pengganti)

3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1(satu)

tahun;dan (pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara

waktu sesuai dengan putusan pengadilan)

4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh

atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh

Pemerintah kepada terpidana.

Dalam hal pemidanaan terhadap korporasi dengan dijatuhkannya sanksi

pidana terhadap korporasi, penulis akan memberikan sedikit catatan mengenai

dampak negatif dari pemidanaan korporasi yang akan menimbulkan dampak

negatif terhadap buruh atau karyawan. Penulis pada prinsipnya sependapat dengan

Muladi dan Dwidja Priyatno yang mengungkapkan bahwa untuk menghindarkan

dampak efek negatif pemidanaan terhadap korporasi, dapat dilakukan dengan

mengasuransikan pekerja atau buruh atau karyawan korporasi (Muladi dan Dwidja

Priyatno, 2010:143). Terkait hal ini, apabila tidak ada asuransi terhadap pekerja,

pemidanaan korporasi harus tetap dilakukan, namun dilakukan dengan sangat

hati-hati. Penulis menambahkan bahwa dampak negatif yang akan berpengaruh

terhadap pihak-pihak disekitar terpidana merupakan konsekuensi yang harus

terjadi dalam pemidanaan, hal ini tidak berbeda dengan pemidanaan terhadap

manusia alamiah yang akan berpengaruh terhadap pihak-pihak disekitar terpidana.

Dalam artian bahwa pemidanaan baik terhadap manusia alamiah maupun

korporasi akan menimbulkan pengaruh terhadap pihak-pihak disekitar terpidana

yang akan menghukum pihak yang tidak bersalah. Inti yang dimaksud dari

penjelasan penulis adalah dampak negatif dari pemidanaan manusia alamiah yang

berdampak pada pihak-pihak disekitar terpidana sama halnya yang akan terjadi

pada pemidanaan korporasi, akan tetapi pemidanaan terhadap manusia alamiah

71

tentu tidak dihapuskan karena adanya dampak negatif terhadap pihak disekitar

terpidana, demikian halnya dengan pemidanaan terhadap korporasi yang tentu

tidak harus dihapuskan karena adanya hal tersebut.

Berdasarkan uraian penjelasan di atas yang telah dipaparkan oleh penulis,

dalam hal ini penulis berpendapat bahwa sehubungan dengan sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi yang merupakan bagian dalam proses

sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi, yang telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat beberapa

kelemahan dalam substansi pengaturan mengenai sistem pertanggungjawaban

pidana korporasi dan sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana

korupsi yang dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

1. Tidak adanya penjelasan mengenai hubungan kerja dan hubungan lain untuk

menentukan siapa orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi

sehingga tindak pidana korupsi dapat dikatakan dilakukan oleh korporasi

menimbulkan ketidakjelasan penafsiran;

2. Tidak adanya kejelasan mengenai kapan tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh korporasi itu dipertanggungjawabkan terhadap korporasi saja

atau pengurus saja atau terhadap korporasi dan pengurus secara

bersamaan;dan

3. Pidana pokok hanya berupa denda yang tidak ada alternatif lainnya mengenai

pidana pokok terhadap korporasi menimbulkan permasalahan ketika denda

tidak dibayarkan oleh korporasi, sebab dalam ketentuan umum Buku I KUHP

Pasal 30 ayat (2) menjelaskan bahwa jika denda tidak dibayarkan yaitu dapat

dikenakan pidana kurungan pengganti yang hanya dapat diterapkan terhadap

manusia alamiah.

72

B. Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Diterapkan Sebagai

Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor

812/Pid.Sus/2010/PN/BJM yang Seharusnya Dapat Diterapkan dalam

Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst

1. Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM Tindak Pidana Korupsi

Penyalahgunaan Pembangunan dan Pengelolaan Pasar Sentra Antasari

Banjarmasin

a. Kasus Posisi

Bahwa PT Giri Jaladhi Wana ditunjuk oleh Pemerinah Kota

Banjarmasin berdasarkan Surat Keputusan Nomor 008/Prog/1998 tanggal 13

Juli 1998 sebagai mitra kerja dalam pelaksanaan kerja sama kontrak bagi

tempat usaha untuk pembangunan Pasar Sentra Antasari, dengan perjanjian

kerjasama Nomor 664/I/548/Prog; Nomor 003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli

1998. Selanjutnya dalam pelaksanaan pembangunan Pasar Sentra Antasari,

PT Giri Jaladhi Wana melakukan penyimpangan dengan membangun 6.045

(enam ribu empat puluh lima) unit toko, kios, los, lapak dan warung tanpa

persetujuan Pemerintah Kota Banjarmasin dimana seharusnya PT Giri Jaladhi

Wana hanya membangun 5.145 (lima ribu seratus empat puluh lima) unit,

sehingga terjadi penambahan sejumlah 900 (sembilan ratus) unit.

Penambahan 900 (sembilan ratus) unit tersebut dijual oleh PT Giri Jaladhi

Wana dengan harga Rp16.691.713.166,00 (enam belas miliar enam ratus

sembilan puluh satu juta tujuh ratus tiga belas ribu seratus enam puluh enam

rupiah) dan hasil penjualan tersebut tidak disetorkan ke kas daerah

Pemerintah Kota Banjarmasin. Selain itu, PT Giri Jaladhi Wana tidak

membayarkan kewajiban untuk membayar retribusi dan penggantian uang

sewa ke kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar

Rp5.750.000.000,00 (lima miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). PT Giri

Jaladhi Wana yang ditunjuk sebagai pengelola Pasar Sentra Antasari dari

73

tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 tidak pernah membayar uang

pengelolaan Pasar Sentra Antasari dengan memberikan alasan melalui

Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yaitu Stevanus Widagdo kepada

Pemerintah Kota Banjarmasin bahwa PT Giri Jaladhi Wana dalam

pengelolaan Pasar Sentra Antasari mengalami kerugian, padahal berdasarkan

laporan keuangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari terkumpul dana sebesar

Rp7.650.143.645,00 (tujuh miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat

puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah). Padahal sebelum

dibangun menjadi pasar modern, Pemerintah Kota Banjarmasin menerima

hasil retribusi sebesar Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dari

pengelolaan Pasar Sentra Antasari. Berdasarkan perhitungan BPKP

Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan perbuatan PT Giri Jaladhi Wana

tersebut telah merugikan keuangan negara c.q. Pemerintah Kota Banjarmasin

sebesar Rp7.332.361.516,00 (tujuh miliar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga

ratus enam puluh satu ribu lima ratus enam belas rupiah).

Dalam pelaksanaan pembangunan Pasar Sentra Antasari, PT Giri

Jaladhi Wana melalui Direktur Utamanya Stevanus Widagdo mengajukan

kredit modal kerja kepada PT Bank Mandiri, Tbk., akan tetapi dalam

menggunakan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., PT

Giri Jaladhi Wana melakukan berbagai penyimpangan yang merugikan PT

Bank Mandiri sebesar Rp199.536.064.675,65 (seratus sembilan puluh

sembilan miliar lima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat ribu enam

ratus tujuh puluh lima rupiah enam puluh lima sen).

Berdasarkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan PT Giri

Jaladhi Wana dalam hal pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari

serta dalam penggunaan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri,

Tbk., atas perbuatan-perbuatannya tersebut PT Giri Jaladhi Wana ditetapkan

sebagai Terdakwa. Penetapan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa

74

berawal dari putusan berkekuatan hukum tetap empat terdakwa sebelumnya

yaitu Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana, Direktur PT Giri Jaladhi Wana,

mantan Walikota Banjarmasin dan Kepala Dinas Pasar Kota Banjarmasin.

Penanganan tindak pidana korupsi penyalahgunaan pembangunan dan

pengelolaan Pasar Sentra Antasari ditangani oleh Kejaksaan Tinggi

Kalimantan Selatan dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Banjarmasin untuk

disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin.

b. Dakwaan Penuntut Umum

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum disusun secara subsidaritas yaitu:

Dakwaan Primair melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 20

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.

Pasal 64 ayat (1) KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut:

1) Setiap orang termasuk korporasi;

2) Dengan melawan hukum;

3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan

5) Perbuatan dilakukan secara berlanjut.

Dakwaan Subsidair melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1)

KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut:

1) Setiap orang termasuk korporasi;

2) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

3) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukannya;

75

4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan

5) Perbuatan dilakukan secara berlanjut.

c. Tuntutan Penuntut Umum

1) Menyatakan PT Giri Jaladhi Wana telah terbukti bersalah melakukan

beberapa perbuatan yang berhubungan sedemikian rupa sehingga harus

dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut yang melanggar Pasal 2 Jo.

Pasal 18 Jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP

sebagaimana Dakwaan Primair;

2) Menjatuhkan pidana terhadap PT Giri Jaladhi Wana dengan pidana denda

sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah);

3) Menjatuhkan pidana tambahan penutupan sementara PT Giri Jaladhi

Wana selama 6 (enam) bulan.

d. Pertimbangan Majelis Hakim

Pertimbangan Majelis Hakim mengenai Dakwaan Primair:

1) Unsur setiap orang termasuk korporasi

a) Bahwa pengertian “setiap orang” sebagaimana ketentuan Pasal 1

angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

adalah orang perorangan termasuk korporasi, yang dimaksud

korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang

terorganisasi, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan

hukum;

b) Bahwa sebagaimana Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu dalam hal tindak pidana

76

korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan

dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau

pengurusnya;

c) Bahwa Penuntut Umum telah menghadapkan Stevanus Widagdo

Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yang bertindak mewakili PT

Giri Jaladhi Wana, dan setelah pemeriksaan di tingkat penyidikan dan

pra penuntutan selanjutnya PT Giri Jaladhi Wana dihadapkan

dipersidangan sebagai terdakwa, berdasarkan keterangan saksi-saksi

dan bukti-bukti surat.

d) Bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana merupakan badan hukum,

maka terdakwa dapat dikategorikan sebagai korporasi menurut

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

e) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut unsur pertama “setiap

orang” telah terpenuhi.

2) Unsur secara melawan hukum

a) Bahwa sebagaimana pendapat jonkers, dalam perundang-undangan

unsur melawan hukum disebut dengan bermacam-macam istilah,

biasanya disebut dengan “melawan hukum” atau dengan tanpa hak,

dengan tanpa izin, dengan melampaui kekuasaannya, tanpa

memperhatikan cara yang ditentukan dalam undang-undang;

b) Bahwa dalam ilmu hukum dikenal dua macam sifat melawan hukum,

yaitu sifat melawan hukum materiel dan sifat melawan hukum formil.

Sifat melawan hukum materiel artinya tidak hanya melawan hukum

yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis, sedangkan

sifat melawan hukum formil adalah unsur dari hukum positif yang

tertulis saja yang dengan tegas disebutkan dalam rumusan tindak

pidana;

77

c) Bahwa sifat melawan hukum menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

diartikan sebagai sifat melawan hukum dalam arti formil maupun

materiil. Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, penjelasan Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sifat

melawan hukum materiel dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28 D

ayat (1) UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat. Sehingga Majelis Hakim membatasi pembahasan

pengertian melawan hukum hanya mencakup perbuatan melawan

hukum dalam arti formil;

d) Bahwa menurut ajaran sifat melawan hukum formil, suatu perbuatan

bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu diancam pidana dan

dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, jadi menurut

ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-

undang;

e) Bahwa sebagaimana keterangan ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini,

S.H. tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh personel

korporasi dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi, kecuali

bahwa apabila perbuatan tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh

directing mind dari korporasi atau dengan kata lain bahwa untuk dapat

korporasi bertanggung jawab atas perbuatan pengurusnya harus

dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(1) Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personil

korporasi maupun didalam struktur organisasi memiliki posisi

sebagai directing mind dari korporasi;

78

(2) Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan

tujuan korporasi;

(3) Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi

perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi;

(4) Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan

manfaat bagi korporasi;

(5) Pelaku dan pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau

alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

f) Bahwa sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa: “tindak

pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana

tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja

maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan

korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”;

g) Bahwa sesuai anggaran dasar PT Giri Jaladhi Wana bergerak di

bidang usaha : perdagangan, industri, agrobisnis, pengadaan barang,

jasa, transportasi, pembangunan dan desain interior;

h) Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di

persidangan, telah terbukti benar, seluruh rangkaian perbuatan

terdakwa berkaitan dengan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor

664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi

Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari

Kota Banjarmasin dan surat Walikota Banjarmasin Nomor

500/259/Ekobang/2004 tanggal 31 Mei 2004 tentang Penunjukan

Pengelolaan Sementara Pasar Sentra Antasari kepada terdakwa;

i) Bahwa dalam penandatanganan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja

Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 dan surat

79

Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004, terdakwa

diwakili oleh Stevanus Widagdo Direktur Utama PT Giri Jaladhi

Wana dan Drs. Tjiptomo selaku Direktur PT Giri Jaladhi Wana,

keduanya adalah directing mind pada PT Giri Jaladhi Wana;

j) Bahwa dalam memperoleh dana Kredit Modal Kerja dari PT Bank

Mandiri, Tbk., yang diajukan terdakwa, dalam hal ini terdakwa

diwakili oleh Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri

Jaladhi Wana dan Drs. Tjiptomo selaku Direktur PT Giri Jaladhi

Wana, berdasarkan kedudukannya keduanya adalah directing mind

pada PT Giri Jaladhi Wana;

k) Bahwa benar atas kejadian tersebut Stevanus Widagdo selaku

Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana telah dijatuhi pidana

berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap melalui

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 936k/Pid.Sus/2009 tanggal 25

Mei 2009;

l) Bahwa dari rangkaian fakta-fakta hukum yang terungkap di

persidangan, telah terbukti benar adanya penyimpangan-

penyimpangan yang dilakukan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana

sebagai berikut:

(1) Perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tanpa persetujuan

DPRD Kota Banjarmasin membangun 6.045 (enam ribu empat

puluh lima) unit terdiri dari toko, kios , los, lapak dan warung,

sehingga terjadi penambahan 900 (sembilan ratus) unit yang

kemudian dijual dengan harga Rp16.691.713.166,00 (enam belas

miliar enamratus sembilan puluh satu juta tujuh ratus tiga belas

ribu seratus enam puluh enam rupiah) dan hasil penjualan tidak

disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin, hal tersebut

bertentangan dengan:

80

(a) Perda No. 9/1980 tentang Pasar Dalam Daerah Kotamadya

Banjarmasin;dan

(b) Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor

003/GJW/VII/1998 dan Pasal 3 Addendum.

(2) Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana mempunyai kewajiban

membayar kepada Pemerintah Kota Banjarmasin, berupa:

(a) Retribusi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

(b) Penggantian uang sewa Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima

ratus juta rupiah);dan

(c) Pelunasan Kredit Inpres Pasar Sentra Antasari

Rp3.750.000.000,00 (tiga miliar tujuh ratus lima puluh juta

rupiah).

Jumlah keseluruhan yang harus dibayar adalah

Rp6.750.000.000,00 (enam miliar tujuh ratus lima puluh juta

rupiah), yang terdakwa bayarkan hanya Rp1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah), sehingga terdapat kekurangan Rp5.750.000.000,00

(lima miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) yang seharusnya

disetor ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin, namun terdakwa PT

Giri Jaladhi Wana sengaja tidak membayar uang tersebut,

terdakwa PT Giri Jaladhi Wana melalui Stevanus Widagdo

memberikan keterangan yang tidak benar dengan menyatakan

kepada Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah pembangunan

Pasar Sentra Antasari belum selesai, padahal sesuai keterangan Ir.

Wahid Udin, MBA. Projek Manajer Pembangunan Pasar Sentra

Antasari, per September 2004 pembangunan Pasar Sentra

Antasari telah selesai dan per Oktober 2004 mempunyai surplus

Rp64.579.000.000,00 (enam puluh empat miliar lima ratus tujuh

81

puluh sembilan juta rupiah) dari hasil penjualan kios, toko dan los

serta warung, hal tersebut bertentangan dengan:

(a) Pasal 1 huruf f Permendagri Nomor 3 Tahun 1986 tentang

Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga;

(b) Pasal 1 huruf g Perda Nomor 8 Tahun 1992 tentang

Penyertaan Modal Daerah Pihak Ketiga;dan

(c) Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor

003/GJW/VII/1998 serta Addendumnya.

m) Perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sejak ditunjuk mengelola

Pasar Sentra Antasari berdasarkan Surat Walikota Nomor

500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 sampai dengan

Desember 2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar

Sentra Antasari ke kas daerah Kota Banjarmasin dan Stevanus

Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana memberikan

keterangan tidak benar dengan mengatakan kepada Pemerintah Kota

Banjarmasin bahwa PT Giri Jaladhi Wana dalam melakukan

pengelolaan Pasar Sentra Antasari merugi, padahal sesuai laporan

keuangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari periode 2004 sampai

dengan Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.654,00

(tujuh miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu

enam ratus lima puluh empat rupiah), hal tersebut bertentangan

dengan:

(1) Pasal 13 Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Retribusi Parkir;

(2) Pasal 10 ayat (2) Perda Nomor 2 Tahun 1993 tentang

Kebersihan;dan

(3) Pasal 15 ayat (2) Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-

Nomor 003/GJW/VII/1998.

82

n) Perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dalam penggunaan Kredit

Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., telah melakukan

penyimpangan-penyimpangan berupa:

(1) Berdasarkan Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor

048/001/KMK-CO/2001 tanggal 19 Desember 2001 akta notaris

Nomor 69, untuk penambahan pendanaan pembangunan Pasar

Sentra Antasari sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima

miliar rupiah), terdapat kekurangan pembayaran oleh terdakwa

PT Giri Jaladhi Wana sebesar Rp23.550.000.000,00 (dua puluh

tiga miliar lima ratus lima puluh juta rupiah) dan utang bunga

Rp3.452.000.000,00 (tiga miliar empat ratus lima puluh dua juta

rupiah). Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Perjanjian

Kredit Modal Kerja Nomor 048/001/KMK-CO/2001;

(2) Berdasarkan Addendum I Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor

048/001/KMK-CO/2001 tanggal 9 Oktober 2002 akta notaris

Nomor 24 diberikan kredit tambahan sebesar

Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), terdakwa PT

Giri Jaladhi Wana hanya membayar sebesar Rp5.720.000.000,00

(lima miliar tujuh ratus dua puluh juta rupiah);

(3) Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tidak menyetorkan hasil

penjualan ke rekening escrow I, sebagai berikut:

a) Surat Nomor 9.Hb.BLM.CMB/013/2003 tanggal 9 Januari

2003 penjualan Rp1.168.000.000,00 (satu miliar seratus

enam puluh delapan juta rupiah), yang tidak disetorkan

sebesar Rp704.000.000,00 (tujuh ratus empat juta rupiah);

b) Surat Nomor 9.Hb.BLM.CMB/104/2003 tanggal 11 Januari

2003 penjualan Rp8.770.000.000,00 (delapan miliar tujuh

ratus tujuh puluh juta rupiah), yang tidak disetorkan sebesar

83

Rp8.129.000.000,00 (delapan miliar seratus dua puluh

sembilan juta rupiah);dan

c) Surat Nnomor 9.Hb.BLM.CMB/178/2003 tanggal 11 Maret

2003 penjualan Rp1.173.000.000,00 (satu miliar seratus tujuh

puluh tiga juta rupiah), yang tidak disetorkan sebesar

Rp284.000.000,00 (dua ratus delapan puluh empat juta

rupiah).

Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Addendum Perjanjian

Kredit Modal Kerja Nomor 048/011/KMK-CO/2001 dan Pasal 4

ayat (1) huruf a Akta Nomor 16 tanggal 27 Mei 2002 perihal

Perjanjian Kerja Sama antara PT Bank Mandiri, Tbk., dengan PT

Giri Jaladhi Wana.

(4) Berdasarkan Addendum II Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor

048/001/KMK-CO/2001 tanggal 8 Januari 2004 akta notaris

Nomor 5, dilakukan penjadwalan kembali dengan limit kredit

turun menjadi Rp67.830.000.000,00 (enam puluh tujuh miliar

delapan ratus tiga puluh juta rupiah), namun terdakwa PT Giri

Jaladhi Wana hanya membayar sebesar Rp1.030.000.000,00 (satu

miliar tiga puluh juta rupiah), hal tersebut bertentangan dengan

Pasal 2 Addendum II Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor

048/001/KMK-CO/2001 tanggal 8 Januari 2004.

(5) Berdasarkan Addendum III Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor

048/011/KMK-CO/2001 tanggal 2 Agustus 2004 dilakukan

penjadwalan kembali dengan limit turun menjadi

Rp66.800.000.000,00 (enam puluh enam miliar delapan ratus juta

rupiah), terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tidak dapat

mengembalikan kredit modal kerja kepada PT Bank Mandiri,

Tbk., sesuai jadwal yang ditentukan, terdakwa PT Giri Jaladhi

84

Wana malah meminta PT Bank Mandiri, Tbk., untuk mencairkan

fasilitas Bank Garansi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh

lima miliar rupiah). Perbuatan PT Giri Jaladhi Wana bertentangan

dengan Pasal 2 Addendum II Perjanjian Kredit Modal Kerja

Nomor 048/011/KMK-CO/2001 tanggal 2 Agustus 2004 dan

Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor 048/032/KMK-CO/2004

Akta Notaris Nomor 81 tanggal 21 Desember 2004, atas

perbuatan tersebut terdakwa PT Giri Jaladhi Wana harus

mengembalikan kredit modal kerja yang telah diterima dari PT

Bank Mandiri, Tbk.

o) Bahwa dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, telah

terbukti benar bahwa seluruh rangkaian perbuatan terdakwa PT Giri

Jaladhi Wana adalah berkaitan dengan pelaksanaan Perjanjian Kerja

Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 dan surat

Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 31 Mei

2004;

p) Bahwa dalam penandatanganan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja

Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 dan surat

Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 31 Mei

2004, PT Giri Jaladhi Wana diwakili oleh Stevanus Widagdo selaku

Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dan Ir. Tjiptomo selaku

Direktur PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan kedudukan keduanya

tersebut adalah directing mind pada PT Giri Jaladhi Wana;

q) Bahwa dalam pengajuan Kredit Modal Kerja ke PT Bank Mandiri,

Tbk., PT Giri Jaladhi Wana diwakili oleh Stevanus Widagdo selaku

Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dan Ir. Tjiptomo selaku

Direktur PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan kedudukan keduanya

adalah directing mind pada PT Giri Jaladhi Wana;

85

r) Bahwa sesuai anggaran dasar PT Giri Jaladhi Wana, maka Perjanjian

Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 dan

surat Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal

31 Mei 2004 serta upaya terdakwa mendapatkan fasilitas Kredit

Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., adalah masih dalam ruang

lingkup usaha terdakwa PT Giri Jaladhi Wana;

s) Bahwa dari uraian di atas jelas bahwa Stevanus Widagdo selaku

pengurus PT Giri Jaladhi Wana yang diwakili oleh terdakwa PT Giri

Jaladhi Wana adalah berkedudukan sebagai Direktur Utama PT Giri

Jaladhi Wana yang melakukan perbuatan tersebut dalam rangka

maksud dan tujuan korporasi dan dengan maksud memberikan

manfaat atau keuntungan bagi korporasi dan perbuatan terdakwa

dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum formil dan

oleh karenanya maka unsur kedua “secara melawan hukum” telah

terpenuhi.

3) Unsur melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi

a) Bahwa memperkaya diri sendiri artinya diri si pembuat sendirilah

yang meperoleh atau bertambah kekayaannya secara tidak sah.

Sedangkan memperkaya orang lain adalah orang yang kekayaannya

bertambah atau memperoleh kekayaannya merupakan orang lain

selain si pembuat. Demikian dengan memperkaya suatu korporasi,

bukan si pembuat yang memperoleh atau bertambah kekayaannya

oleh perbuatan si pembuat tetapi suatu korporasi.

b) Bahwa unsur ketiga ini bersifat alternatif sehingga dalam pembuktian

unsur cukup apabila salah satu unsur telah terbukti maka unsur yang

lain tidak perlu dibuktikan atau bisa secara kumulatif beberapa unsur

terbukti;

86

c) Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan,

menyangkut aliran dana dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Tempat

Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota

Banjarmasin menggunakan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank

Mandiri pada periode 1 Januari 2000 sampai dengan 30 Juni 2003

untuk pembangunan Pasar Sentra Antasari sebesar

Rp39.179.924.284,00 (tiga puluh sembilam miliar seratus tujuh puluh

sembilan juta sembilan ratus dua puluh empat ribu dua ratus delapan

puluh empat rupiah), telah dapat disimpulkan adanya penambahan

kekayaan terdakwa, pihak-pihak yang terlibat didalamnya dan orang

lain;

d) Bahwa penunjukan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana untuk mengelola

Pasar Sentra Antasari berdasarkan Surat Walikota Nomor

500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 sampai dengan

Desember 2007, dengan sengaja tidak membayar uang pengelolaan

Pasar Sentra Antasari kepada kas daerah Kota Banjarmasin dan

memberikan keterangan yang tidak benar dengan mengatakan kepada

Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-oleh pengelolaan merugi,

padahal laporan keuangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota

Banjarmasin periode Juli 2004 sampai dengan Desember 2007

terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh miliar enam ratus

lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh

lima rupiah);

e) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut unsur “melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi telah terpenuhi”.

4) Unsur dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara

87

a) Bahwa dengan adanya kata “dapat” menunjukan bahwa delik korupsi

merupakan delik formil yaitu adanya delik korupsi cukup dengan

dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan bukan dengan

timbulnya akibat atau dengan kata lain tidak menimbulkan kerugian

pun asal perbuatannya memenuhi unsur korupsi terdakwa sudah dapat

dihukum;

b) Bahwa yang dimaksud dengan “keuangan Negara” adalah seluruh

kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak

dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan

segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

(1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban

pejabat Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;

(2) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban

Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,

badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak

ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Sedangkan yang dimaksud “perekonomian Negara” adalah kehidupan

perekonomian yang disusun sebagai usaha masyarakat secara mandiri

berdasarkan pada kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun

di tingkat daerah, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat,

kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Dengan demikian, yang dimaksud merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara berarti mengurangi atau mengganggu keuangan

Negara atau kehidupan perekonomian Negara;

c) Bahwa unsur ini bersifat alternatif, sehingga tidak perlu seluruh

elemen yang diuraikan dalam unsur terpenuhi pada perbuatan

88

terdakwa. Cukup salah satu terpenuhi maka unsur ini dinyatakan telah

terpenuhi;

d) Bahwa dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan telah

terbukti benar, dana dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Tempat Usaha

Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin

tersebut menggunakan dana kucuran Kredit Modal Kerja dari PT

Bank Mandiri, Tbk., yang diajukan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana

yang mana dalam hal ini PT Bank Mandiri, Tbk., merupakan Badan

Usaha Milik Negara sehingga dana yang dikucurkan dalam bentuk

kredit modal kerja tersebut dikategorikan sebagai kekayaan Negara

yang berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha

Milik Negara;

e) Bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana juga tidak membayar rertibusi,

penggantian uang sewa dan pelunasan retribusi serta pelunasan Kredit

Inpres Pasar Antasari sebagaimana telah diperjanjikan, yang

seluruhnya adalah sebesar Rp5.750.000.000,00 (lima miliar tujuh

ratus lima puluh juta rupiah);

f) Bahwa terdakwa sejak ditunjuk untuk mengelola Pasar Sentra

Antasari Kota Banjarmasin berdasarkan Surat Walikota Nomor

500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 sampai dengan

Desember 2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar

Sentra Antasari kepada kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin dan

Stevanus Widagdo memberikan keterangan yang tidak benar dengan

mengatakan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah

pengelolaan itu merugi, padahal sesuai laporan keuangan pengelolaan

Pasar Sentra Antasari Banjarmasin periode Juli 2004 sampai dengan

Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh

89

miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam

ratus empat puluh lima rupiah);

g) Bahwa akibat perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tersebut telah

merugikan keuangan Negara c.q. Pemerintah Kota Banjarmasin

sebesar Rp7.332.361.516,00 (tujuh miliar tiga ratus tiga puluh dua

juta tiga ratus enam puluh satu ribu lima ratus enam belas rupiah)

berdasarkan perhitungan BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan

Selatan No. S-1911/PW.16/5/2008 tanggal 19 Mei 2008 dan PT Bank

Mandiri, Tbk., sebesar Rp199.536.064.675,65 (seratus sembilan puluh

sembilan miliar lima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat

ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah enam puluh lima sen);

h) Bahwa dalam hal ini selain telah nyata-nyata merugikan keuangan

Negara, karena perbuatan terdakwa tersebut berkaitan dengan

pembangunan dan pengelolaan sebuah pasar, dan dengan

terungkapnya tindak pidana korupsi ini kondisi Pasar Sentra Antasari

sekarang menjadi tidak jelas lagi, siapa pengelolanya maka perbuatan

terdakwa juga berpotensi merugikan Perekonomian Negara;

i) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut unsur “dapat merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara” telah terpenuhi.

5) Perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana memenuhi ketentuan Pasal 64 ayat

(1) KUHP

a) Bahwa Pasal 64 ayat (1) KUHP berbunyi:

“jika antara beberapa perbuatan meskipun masing-masing

merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya

sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan

berlanjut, maka hanya diterapkan yang memuat ancaman pidana

pokok yang terberat”;

90

b) Bahwa untuk adanya perbuatan berlanjut dipersyaratkan harus timbul

dari satu niat atau kehendak dan perbuatan tersebut harus sejenis dan

rentang waktunya tidak boleh terlalu lama;

c) Bahwa dari fakta hukum yang terungkap di persidangan, telah

terbukti, bahwa penyimpangan yang dilakukan terdakwa dalam

perkara ini berlangsung dari tahun 1998 sampai dengan sekarang,

adalah dalam rangkaian kontrak bagi tempat usaha dalam rangka

pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota

Banjarmasin;

d) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut perbuatan terdakwa dapat

dikategorikan sebagai “perbuatan berlanjut”.

Bahwa oleh karena kesemua unsur telah terpenuhi, maka kepada PT

Giri Jaladhi Wana haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18

Jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP (Dakwaan Primair). Bahwa oleh

karena dakwaan primair telah terbukti maka Majelis Hakim tidak akan

mempertimbangkan dakwaan selanjutnya.

e. Putusan

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin pada

Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM tanggal

23 Mei 2011 memutuskan sebagai berikut:

1) Menyatakan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut

sebagaimana Dakwaan Primair;

91

2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa PT Giri Jaladhi Wana oleh karena

itu dengan pidana denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga

ratus juta rupiah);

3) Menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT Giri

Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan.

2. Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst Tindak Pidana

Korupsi Pengadaan Videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil

Menengah (UKM)

a. Kasus Posisi

Tindak pidana korupsi ini berawal dari adanya Rencana Kerja dan

Anggaran Rumah Tangga (RKA-K/L) untuk mengalokasikan anggaran

sebesar Rp23.501.000.000,00 (dua puluh tiga miliar lima ratus satu juta

rupiah) untuk pengadaan 2 (dua) unit videotron pada gedung Kementrian

Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Riefan Avrian yang merupakan

Direktur Utama PT Rifuel mempersiapkan untuk mendirikan PT Imaji Media

yang akan diikutsertakan dalam lelang pekerjaan pengadaan videotron di

Kementrian Koperasi dan UKM. Selanjutnya pada tanggal 1 Februari 2012,

Rievan Afrian yang merupakan Direktur Utama PT Rifuel mengangkat Office

Boy (OB) di kantornya bernama Hendra Saputra yang tidak tamat Sekolah

Dasar (SD) untuk ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Imaji Media guna

kepentingan memperoleh proyek videotron di Kementrian Koperasi dan

Usaha Kecil Menengah (UKM). Terdakwa Hendra Saputra kemudian

menyetujui tentang pengangkatannya sebagai Direktur Utama PT Imaji

Media, berdasarkan akta pendirian Perseroan Terbatas Nomor 2 tanggal 1

Februari 2012 terdakwa Hendra Saputra tercatat sebagai Direktur Utama PT

Imaji Media.

Sebelumnya pada tanggal 30 Desember 2011 unit layanan pengadaan

jasa Kementrian Koperasi dan UKM telah mengumumkan adanya pelelangan

92

umum pekerjaan pengadaan videotron, setelah dokumen pendirian PT Imaji

Media lengkap, Riefan Avrian mempersiapkan segala dokumen yang

dibutuhkan untuk mengikutsertakan PT Imaji Media dan PT Rifuel dalam

lelang pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM. Selanjutnya,

pada tahap pemasukan penawaran terdapat empat perusahaan yang

mengajukan penawaran yaitu PT Divaintan Pitripratama, PT Rifuel, PT Imaji

Media dan PT Batu Karya Mas. Dalam pengajuan surat dokumen penawaran

PT Imaji Media telah dilakukan penandatangan oleh Hendra Saputra selaku

Direktur Utama PT Imaji Media atas perintah dan instruksi dari Riefan

Avrian. Pada tanggal 8 Oktober 2012 PT Imaji Media ditetapkan sebagai

pemenang lelang, hal ini sesuai dengan tujuan didirikannya PT Imaji Media.

Selanjutnya, terdakwa Hendra Saputra menandatangani kwitansi pembayaran

uang muka 20% dari kontrak atas pekerjaan, menandatangani surat jaminan

uang muka, menandatangani surat jaminan pelaksanaan dan membuka

rekening atas nama terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji

Media di BRI KCP Duta Mas Fatmawati untuk menampung pembayaran

hasil pekerjaan pengadaan videotron.

Dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron, PT Imaji Media

tidak melakukan pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak, karena PT

Imaji Media melalui Direktur Utamanya terdakwa Hendra Saputra

menyerahkan semua pekerjaan kepada Riefan Avrian selaku Direktur Utama

PT Rifuel tanpa adanya perjanjian kerjasama operasi atau kemitraan dan

tanpa addendum kontrak. Di dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan

videotron yang tidak dilakukan PT Imaji Media tetapi oleh PT Rifuel terdapat

pekerjaan yang tidak dikerjakan maupun pekerjaan yang tidak sesuai dengan

spesifikasi. Akan tetapi PT Imaji Media tetap mendapatkan seluruh

pembayaran atas pekerjaan pengadaan videotron, walaupun kemudian

terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media

93

memberikan surat kuasa mutlak kepada Riefan Aviran selaku Direktur Utama

PT Rifuel untuk mengambil pembayaran atas pekerjaan pengadaan videotron.

Berdasarkan pekerjaan yang telah dilakukan Hendra Saputra dalam hal

menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai Direktur Utama PT Imaji Media

yang dilakukan sesuai dengan perintah dan kendali Riefan Avrian, terdakwa

Hendra Saputra mendapatkan bonus dari Riefan Avrian sebesar

Rp19.000.000.000,00 (sembilan belas juta rupiah). Selanjutnya untuk

menyamarkan keberadaan Hendra Saputra sebagai Direktur Utama PT Imaji

Media, Riefan Avrian memerintahkan agar Hendra Saputra pergi ke

Samarinda Kalimantan Timur. Riefan Avrian yang sebenarnya merupakan

pemilik PT Imaji Media kemudian menjual PT Imaji Media kepada Pendi

sebesar Rp100.000.000,00 (seratus jutas rupiah).

Berdasarkan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada

bulan Februari 2013 ditemukan adanya kelebihan pembayaran yang tidak

sesuai dengan spesifikasi teknis sebesar Rp2.695.958.491,90 (dua miliar

enam ratus sembilan puluh lima juta sembilan ratus lima puluh delapan ribu

empat ratus sembilan puluh satu rupiah sembilan puluh sen) dan berdasarkan

audit yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

jumlah kerugian keuangan negara sebesar Rp4.780.298.934,00 (empat miliar

tujuh ratus delapan puluh juta dua ratus sembilan puluh delapan ribu sembilan

ratus tiga puluh empat rupiah) yang disebabkan oleh adanya pekerjaan yang

tidak dikerjakan dan pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi.

b. Dakwaan Penuntut Umum

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum disusun secara subsidaritas yaitu:

Dakwaan Primair melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (1)

huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-

94

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut:

1) Setiap orang;

2) Dengan melawan hukum;

3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan

5) Yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan

perbuatan.

Dakwaan Subsidair melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut:

1) Setiap orang;

2) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

3) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukannya;

4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan

5) Yang melakukan, yang menyuruh melakukan perbuatan dan turut serta

melakukan perbuatan.

c. Tuntutan Penuntut Umum

1) Menyatakan terdakwa Hendra Saputra terbukti bersalah melakukan

tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam dakwaan subsidair melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18

ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;

95

2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Hendra Saputra dengan pidana

penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama

terdakwa menjalani penahanan dengan perintah supaya terdakwa tetap

ditahan;

3) Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan;

4) Membayar uang pengganti sebesar Rp19.000.000,00 (sembilan belas juta

rupiah), jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama

dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan memperoleh kekuatan

hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh Jaksa dan dilelang untuk

menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal terpidana tidak mempunyai

harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut,

maka terpidana dipidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam)

bulan dan apabila terpidana membayar uang pengganti yang jumlahnya

kurang dari seluruh kewajiban membayar uang pengganti, maka jumlah

uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan

lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari

kewajiban membayar uang pengganti.

d. Pertimbangan Majelis Hakim

Pertimbangan Majelis Hakim dalam Dakwaan Primair:

1) Unsur setiap orang

a) Bahwa yang dimaksud sebagai setiap orang sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo Undang-

Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi;

96

b) Bahwa menurut teori hukum yang dimaksud dengan setiap orang

adalah siapa saja sebagai subjek hukum yaitu sebagai penyandang hak

dan kewajiban yang sama nilainya dengan barang siapa;

c) Bahwa kemampuan bertanggung jawab itu sendiri menurut para ahli

hukum pidana dapat dideskripsikan bahwa pelaku tindak pidana

sebagai subjek hukum mempunyai kemampuan untuk membedakan

mana perbuatan yang baik mana yang buruk, yang sesuai hukum dan

yang melawan hukum, disamping itu pelaku tindak pidana

mempunyai kemampuan untuk menentukan mengerti akan

perbuatannya dan dapat menentukan kehendaknya secara sadar;

d) Bahwa dari fakta di persidangan Terdakwa adalah benar sebagai

subyek hukum yang mempunyai identitas sebagaimana disebutkan

dalam surat dakwaan, dengan demikian terbukti tidak terjadi

kesalahan orang (error in persona), in casu adalah Hendra Saputra,

disamping itu Terdakwa sehat dan cakap menurut hukum hal

demikian dibuktikan atas kemampuannya untuk menjawab setiap

pertanyaan yang diajukan kepadanya secara lancar dan terhadap diri

Terdakwa tidak melekat alasan-alasan pemaaf maupun alasan

pembenar yang dapat menghapuskan sifat perbuatan pidana;

e) Bahwa berdasarkan uraian diatas Majelis Hakim berpendapat unsur

“setiap orang” telah terpenuhi.

2) Unsur secara melawan hukum

a) Bahwa yang dimaksud dengan pengertian secara melawan hukum

dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah mencakup

perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni

meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-

undangan, namun perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak

97

sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial

dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dengan

demikian, dapat dipahami sebenarnya Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut ajaran sifat

melawan hukum formil maupun sifat melawan hukum materiil;

b) Bahwa apabila mencermati rumusan ketentuan Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 dapat disimpulkan bahwa yang menjadi delik inti dari

pasal tersebut adalah “adanya perbuatan melawan hukum untuk

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dengan

demikian konstruksi perbuatan melawan hukum harus dijadikan

sebagai cara untuk mencapai tujuan yaitu memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi tersebut;

c) Bahwa sesuai Putusan Hak Uji Materiil Mahkamah Konstitusi tanggal

25 Juli 2006 No. 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan penjelasan

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai perbuatan melawan hukum

materiil adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat, dengan demikian menurut Mahkamah

Konstitusi pemberantasan tindak pidana korupsi harus didasarkan

pada perbuatan melawan hukum formil semata;

d) Bahwa dengan mencermati teori hukum, doktrin hukum dan

Yurisprudensi, Majelis Hakim berpendapat bahwa disamping hukum

fomil sebagai sumber hukum positif, maka doktrin dan yurisprudensi

juga harus dipandang sebagai sumber hukum, dengan demikian

majelis memaknai perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan

dalam arti materiil;

98

e) Bahwa dalam perkara a quo sesai fakta hukum yang terungkap di

persidangan, terdakwa Hendra Saputra adalah seseorang yang bekerja

sebagai Office Boy (OB) di PT Rifuel milik saksi Rievan Afrian;

f) Bahwa meskipun pekerjaan terdakwa Hendra Saputra sebagai Office

Boy (OB), namun terdakwa mengakui telah menandatangani Akta

Pendirian PT Imaji Media yang disodorkan oleh saksi Sarah Salamah

atau perintah saksi Riefan Avrian. Penandatanganan dilakukan di

kantor PT Rifuel tidak dihadapan Notaris Johny Sianturi, ketika

ditunjukkan Akta Notaris tentang pendirian PT Imaji Media, terdakwa

mengakui tanda tangannya dan pada waktu dirinya ditanya oleh

Hakim apakah terdakwa membaca bahwa di atas namanya tertulis

Direktur, terdakwa membenarkan ia membaca tulisan tersebut dan

tidak menanyakan kepada saksi Riefan Avrian;

g) Bahwa diperoleh fakta hukum bahwa peserta lelang pekerjaan

pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM ada 23 (dua

puluh tiga) perusahaan, dan yang memenuhi kualifikasi ada empat

yaitu PT Divaintan Pratama, PT Rifuel, PT Imaji Media dan PT Batu

Karya Mas;

h) Bahwa terdakwa mengakui tandang-tangan yang ditunjukkan di

persidangan yaitu dokumen tentang persyaratan lelang antara lain

surat dokumen penawaran PT Imaji Media, kuitansi uang muka 20%

Nomor 111/Kwt/MJ-JKT/X/12 tanggal 19 Oktober 2012, Surat

Jaminan Uang Muka Nomor: PL11630208j.0027.043530 dengan

penjamin PT Asuransi Mega Pratama, Surat Jaminan Pelaksanaan No.

PL PL11630208j.0027.043530 tanggal 18 Oktober 2012 dengan nilai

sebesar Rp1.170.500.000,00 (satu miliar tujuh puluh juta lima ratus

ribu rupiah) dan pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra

selaku Direktur Utama PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas

99

Fatmawati dengan nomor rekening 0525-01-000159-30-6 untuk

menampung pembayaran pekerjaan pengadaan videotron;

i) Bahwa terdakwa membenarkan pula tanda-tangan dirinya pada Surat

Perjanjian Nomor: 617/Kont/SM.3/X/2012 tanggal 18 Oktober 2012

antara terdakwa dengan Ir. Hasnawi Bachtiar selaku Pejabat Pembuat

Komitmen, dengan lingkup pekerjaan persiapan, pekerjaan konstruksi

rangka videotron, pekerjaan pemasangan videotron, materi awal LED

videotron, jasa lainnya dan support serta utilities;

j) Bahwa terdakwa membenarkan tanda-tangan dirinya pada surat kuasa

yang isinya terdakwa memberi kuasa kepada saksi Riefan Avrian,

yang menimbulkan hak hukum yang luas bagi saksi Riefan Avrian

untuk mengambil uang perusahaan, termasuk menerima pembayaran

uang muka dari PPK berdasarkan SPPD Nomor: 196895A/019/110

tanggal 23 November 2012 sebesar Rp4.682.000.000,00 (empat miliar

enam ratus delapan puluh dua juta rupiah);

k) Bahwa terdakwa membenarkan tanda-tangan dirinya pada akad kredit

senilai Rp7.089.000.000,00 (tujuh miliar delapan puluh sembilan juta

rupiah) dengan saksi Roro Moninggar, S.E., selaku Pimpinan Cabang

Pembantu BRI Duta Mas;

l) Bahwa terdakwa membenarkan tanda-tangan dirinya pada surat

permintaan pemenuhan pembayaran atas nama PT Imaji Media,

melalui SPPD Nomor: 225554A/019/110 tanggal 17 Desember 2012

sebesar Rp18.728.000.000,00 (delapan belas miliar tujuh ratus dua

puluh delapan juta rupiah);

m) Bahwa dalam persidangan maupun dalam pembelaannya terdakwa

menyatakan tidak menolak untuk menandatangani dokumen-dokumen

meskipun tidak ada paksaan, karena terdakwa takut kehilangan

pekerjaan, dengan demikian terdakwa menyadari apa yang

100

dilakukannya, paling tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukannya

adalah diluar pekerjaan sebagai Office Boy dan terdakwa tidak

berusaha untuk menanyakan kepada pihak lain sebagai bentuk kehati-

hatian atas penandatanganan beberapa dokumen;

n) Bahwa penandatanganan beberapa dokumen tersebut telah

menimbulkan akibat hukum yang tentu harus dipertanggungjawabkan

oleh terdakwa Hendra Saputra;

o) Bahwa perbuatan-perbuatan terdakwa mulai dari menandatangani akta

pendirian PT Imaji Media sampai penyerahan pekerjaan pengadaan

videotron di kantor Kementrian Koperasi dan UKM, dan menerima

pembayaran atas pekerjaan tersebut adalah dilakukan secara melawan

hukum, sehingga unsur “melawan hukum” telah terpenuhi.

3) Unsur memperkaya diri sendiri, orang lain dan suatu korporasi

a) Bahwa yang dimaksud ”memperkaya” adalah perbuatan untuk

menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang

sudah kaya menjadi bertambah kaya, memperhatikan pengertian

tersebut berarti memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu

korporasi akan dihubungkan dengan fakta hukum bahwa terdakwa,

orang lain atau suatu badan telah memperoleh sejumlah uang atau

harta, yang menjadikannya kaya atau bertambah kaya dari suatu

perbuatan melawan hukum;

b) bahwa unsur ke-3 ini bersifat alternatif, sehingga salah satu terbukti

maka unsur ke-3 tersebut telah terpenuhi;

c) bahwa sebagaimana fakta hukum yang terungkap di persidangan,

saksi Riefan Avrian menerangkan bahwa motivasi didirikannya PT

Imaji Media adalah untuk mengikuti lelang pengadaan barang berupa

Videotron di Kementrian Koperasi dan UKM;

101

d) Bahwa di persidangan terungkap fakta hukum bahwa terdakwa telah

menandatangani surat kuasa yang isinya terdakwa memberi kuasa

kepada saksi Riefan Avrian, yang menimbulkan hak hukum bagi saksi

Riefan Avrian untuk mengambil uang perusahaan termasuk

pembayaran uang muka dari PPK berdasarkan SPPD (SP2D) Nomor :

196895A/019/110 tanggal 23 November 2012 sebesar

Rp4.682.000.000,- (empat miliar enam ratus delapan puluh dua juta

rupiah);

e) Bahwa hak hukum yang diberikan kepada saksi Riefan Avrian dalam

surat kuasa tersebut cukup luas yaitu berhak untuk mengecek saldo,

menarik uang tanpa limit dan menandatangani cek, yang artinya hak

hukum untuk mengambil uang yang dimiliki Riefan Avrian dalam

surat kuasa tersebut sama besarnya dengan pemilik rekening;

f) Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas perbuatan

melawan hukum yang telah dilakukan oleh Terdakwa Hendra Saputra

tersebut telah memperkaya orang lain dan korporasi, yaitu saksi

Riefan Avrian dan PT Imaji Media, sehingga unsur ke-3 telah

terpenuhi.

4) Unsur dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara

a) Bahwa tindak pidana korupsi adalah merupakan delik formil, artinya

dari kata “dapat” dipahami akibat kerugian negara tidak perlu sudah

terjadi, akan tetapi apabila perbuatan itu mungkin merugikan negara

perbuatannya sudah selesai dan sempurna dilakukan;

b) Bahwa yang dimaksud dengan merugikan adalah artinya menjadi rugi

atau berkekurangan, sehingga yang dimaksud merugikan keuangan

negara artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau

berkurangnya keuangan negara, sedangkan pengertian keuangan

negara dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun

102

1999 menyatakan bahwa “keuangan negara adalah seluruh kekayaan

negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan

termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala

kewajiban yang timbul karena:

(1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban

pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;

(2) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban

Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,

badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara,

atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga

berdasarkan perjanjian dengan negara.

c) Bahwa merugikan perekonomian negara adalah dengan perekonomian

negara menjadi merugi atau perekonomian negara menjadi kurang

berjalan. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

menyatakan “ perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian

yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan

ataupun usaha masyarakat mandiri yang didasarkan pada

kebijaksanaan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan

kepada seluruh kehidupan rakyat”;

d) Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan

adalah sebagai berikut: berdasarkan hasil audit BPKP, jumlah

kerugian Negara terkait dengan pengadaan videotron pada tahun 2012

adalah sebesar Rp.4.780.298.934,- (empat milyar tujuh ratus delapan

puluh juta dua ratus sembilan puluh delapan ribu Sembilan ratus tiga

puluh empat rupiah);

103

e) Bahwa jumlah kerugian tersebut belum termasuk perhitungan

kerugian pengadaan 2 (dua) unit videotron yang belum dihitung;

f) Bahwa sesuai dengan audit BPK RI, PT Imaji Media telah

mengembalikan uang ke kas Negara sebesar Rp.2.695.958.491.90,-

(dua milyar enam ratus sembilan puluh lima juta sembilan ratus lima

puluh delapan ribu empat ratus sembilan puluh satu rupiah sembilan

puluh sen);

g) Bahwa berdasarkan uraian diatas unsur “dapat merugikan keuangan

Negara atau perekonomian Negara” telah terpenuhi.

5) Unsur yang melakukan, yang menyuruh melakukan perbuatan dan turut

serta melakukan perbuatan

a) Bahwa bentuk perbuatan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP antara lain disebut sebagai pembuat tindak pidana adalah

mereka yang melakukan, mereka yang menyuruh dan mereka yang

turut serta melakukan, tetapi dalam praktek peradilan tidak selalu

mudah untuk menentukan bentuk perbuatan pelaku, apakah orang itu

melakukan, menyuruh lakukan, atau turut melakukan;

b) Bahwa menurut pendapat Adami Chazawi yang menguraikan dalam

bukunya bahwa kerjasama yang diinsyafi adalah suatu bentuk

kesepakatan, suatu kesamaan kehendak antara beberapa orang

(Pembuat peserta dengan pembuat pelaksana) untuk mewujudkan

suatu tindak pidana secara bersama dan kerjasama yang di insyafi

tidak perlu berupa permufakatan yang rapi dan formal yang dibentuk

sebelum pelaksanaan, tapi sudah cukup adanya saling pengertian yang

sedemikian rupa antara mereka dalam mewujudkan perbuatan oleh

yang satunya terhadap perbuatan oleh yang lainnya ketika

berlangsungnya perbuatan (Drs. Adam Chazawi, SH, Pelajaran

104

Hukum Pidana Bagian III, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

hal.101);

c) Bahwa masalah penyertaan (deelneming) ini telah dibahas oleh

Drs.P.A.F.Lamintang, SH dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum

Pidana Indonesia” halaman 503-608 menguraikan bahwa Pasal 55

ayat (1) ke-1 KUH Pidana sebagai ajaran “deelneming” yang terdapat

pada suatu strafbaarfeit atau delict, apabila dalam suatu delict

tersangkut beberapa orang atau lebih dari seorang, dalam hal ini harus

dipahami bagaimanakah “hubungan” tiap peserta itu terhadap delik,

Karena hubungan ini adalah bermacam-macam, hubungan ini

berbentuk:

(1) Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik;

(2) Mungkin hanya seorang saja yang mempunyai kehendak dan

merencanakan delik, akan tetapi delik tersebut tidak dilakukan

sendiri, tetapi ia menggunakan orang lain untuk melakukan delik

tersebut;

(3) Dapat juga terjadi bahwa seseorang saja yang melakukan delik,

sedang orang lain membantu orang itu dalam melaksanakan delik.

d) Bahwa dalam uraian Dakwaannya Penuntut Umum telah mendakwa

Terdakwa Hendra Saputra melakukakan tindak pidana baik secara

sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan saksi Riefan Avrian selaku

Direktur Utama PT Rifuel;

e) Bahwa diperoleh fakta hukum bahwa apa yang telah dilakukan oleh

Terdakwa yaitu sejak menandatangani Akta Pendirian PT Imaji

Media, sampai dengan mengikuti proses pengadaan barang dan jasa

Videotron di Kementrian Koperasi dan UKM serta menerima

pembayaran atas proyek tersebut dilakukan atas perintah dari saksi

Riefan Avrian dan pada saat ini saksi Riefan Avrian telah ditetapkan

105

sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi pengadaan videotron

di Kementrian Koperasi dan UKM tersebut, sehingga Majelis Hakim

berpendapat bahwa yang mempunyai kehendak dan merencanakan

delik adalah saksi Riefan Avrian, akan tetapi delik tersebut tidak

dilakukan sendiri, tetapi ia menggunakan orang lain dalam hal ini

Terdakwa Hendra Saputra untuk melakukan delik berupa tindak

pidana korupsi tersebut;

f) Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas maka unsur

bersama-sama telah terpenuhi sehingga Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam perkara ini telah

terbukti.

Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, oleh

karena seluruh unsur dalam dakwaan primair telah terpenuhi maka terdakwa

Hendra Saputra telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum

bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama

sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Primair Surat Dakwaan Penuntut

Umum a quo, maka terdakwa haruslah dijatuhi pidana penjara dan denda

yang akan disebutkan dalam amar putusan dan jika terdakwa tidak membayar

denda tersebut maka diganti dengan pidana kurungan.

Bahwa Hakim Anggota II memiliki pendapat yang berbeda atau

dissenting opinion mengenai unsur melawan hukum yang dikemukakan

sebagai berikut:

a) Bahwa dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan,

keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan

barang bukti serta bukti surat, diperoleh fakta hukum:

(1) Bahwa Terdakwa Hendra Saputra adalah Dirut PT Imaji Media;

(2) Bahwa berdasarkan pengumuman pemenang lelang No. 1753/

PUM/ ULP/ SM/ X/ 2001 tanggal 8 Oktober 2012 telah

106

ditetapkan PT Imaji Media sebagai pemenang lelang pengadaan

Videotron di Kementrian Koperasi dan UKM Tahun Anggaran

2012;

(3) Bahwa pada tanggal 18 Oktober 2012 Terdakwa menandatangani

kontrak/SPK No. 617/Kont/SM.3/X/2012 dengan Ir. Hasnawi

Bahtiar, MM selaku PPK (Pejabat Pembuat Komitmen);

(4) Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan / pemenuhan kontrak

terdakwa atas perintah Saksi Riefan Avrian (Dirut PT Rifuel)

terdakwa menjaminkan proyek dengan mengajukan kredit ke BRI

KCP Dutamas Fatmawati senilai Rp 7.890.000.000 (tujuh miliar

delapan ratus sembilan puluh juta rupiah);

(5) Bahwa Terdakwa membuka rekening giro dan rekening escrow

No. 0525 01 000159-30-6 atas nama Hendra Saputra;

(6) Bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan Videotron, tidak

melaksanakan pekerjaan sama sekali. Namun di laporkan

seluruhnya oleh Saksi Riefan Avrian (Dirut PT. Rifuel).

b) Bahwa atas pekerjaan tersebut berdasarkan audit reguler oleh BPK RI

diperoleh temuan hasil pekerjaan tidak sesuai kontrak yaitu antara

lain:

(1) Hanya terpasang 1 (satu) unit LED Videotron ukuran 8 x 32 M

dari seharusnya dipasang 2 (dua) Unit dengan ukuran 8 x 16 M

per unit;

(2) Generator set dengan kapasitas 350 KUA seharga 500 KVA;

(3) Pemasangan sambungan listrik yang tidak dikerjakan karena

sudah menyatu dengan sambungan PLN yang ada di gedung

SMESCO;

(4) Tangki Bahan bakar yang seharusnya 600 liter dalam pelaksanaan

menjadi 500 liter;

107

(5) Tidak adanya ruang khusus menyimpan genset

c) Bahwa dalam pekerjaan tidak ada perjanjian kemitraan antara

Terdakwa selaku penandatangan kontrak dengan saksi Riefan Avrian;

d) Bahwa Terdakwa pada tanggal 23 November 2012 telah menerima

pembayaran uang muka dari PPK berdasarkan SPPD atau (SP2D) No.

196895 A/019/100 sebesar Rp4.682.000.000,00 (empat miliar enam

ratus delapan puluh dua juta rupiah) yang masuk ke rekening PT Imaji

Media;

e) Bahwa uang yang masuk ke PT Imaji Media seluruhnya atas kendali

saksi Riefan Avrian;

f) Bahwa walaupun telah diangkat menjadi Dirut PT Imaji Media gaji

yang Terdakwa terima tetap sebesar Rp1.200.000,00 (satu juta dua

ratus ribu rupiah) setiap bulan dan tetap melaksanakan tugas sehari-

hari sebagai office boy di PT. Rifuel;

g) Bahwa setelah dimulainya penyidikan tindak pidana korupsi videotron

terdakwa diperintahkan melarikan diri ke Samarinda Kalimantan

Timur atas saran rekan terdakwa sesama karyawan PT Rifuel dan atas

biaya saksi Riefan Avrian;

h) Bahwa dari fakta-fakta hukum tersebut diatas dapat disimpulkan

bahwa Terdakwa Hendra Saputra mulai dari pengangkatan menjadi

Direktur Utama PT Imaji Media sampai kepada pemenangan PT Imaji

Media sebagai pelaksana Projek Pengadaan Videotron, telah diatur

sedemikian rupa oleh saksi Riefan Avrian dan keterlibatan Terdakwa

hanya sepanjang penandatanganan dokumen dan kontrak pekerjaan

berlaku, sehingga tidak ada ketentuan undang-undang terkait

penandatanganan dokumen-dokumen adalah terlarang atau

bertentangan dengan peraturan tertulis lainnya;

108

i) Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut menurut Hakim

Anggota II, Unsur melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa

tidak terpenuhi dan tidak terbukti;

j) Bahwa oleh karena unsur melawan hukum tidak terbukti, maka unsur

berikutnya tidak perlu dipertimbangkan lagi, sehingga dengan tidak

terbuktinya unsur ke 2 secara melawan hukum maka terdakwa

haruslah dibebaskan dari dakwaan primair tersebut.

Bahwa selanjutnya Hakim Anggota II akan mempertimbangkan

dakwaan subsidair yang melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 sebagaiamana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 yang unsur-unsurnya dipertimbangkan sebagai berikut:

1) Unsur setiap orang

a) Bahwa oleh karena unsur setiap orang telah dipertimbangkan dalam

dakwaan primair, maka untuk selanjutnya segala pertimbangan unsur

ini diambil alih menjadi pertimbangan unsur setiap orang dalam

dakwaan subsidair;

b) Bahwa pengertian unsur setiap orang dalam Pasal 3 dipersyaratkan

adanya suatu jabatan atau kedudukan, yang dengan jabatan tersebut

terdakwa diberi kewenangan;

c) Bahwa terdakwa adalah Direktur PT Imaji Media diangkat

berdasarkan akta Notaris No. 2 tanggal 2 Februari 2012, berdasarkan

pertimbangan hukum diatas, maka unsur setiap orang terpenuhi.

2) Unsur Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang Lain atau

Suatu Korporasi

a) Bahwa yang dimaksud dengan menguntungkan sama artinya dengan

mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari

pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan

yang diperolehnya. Dengan demikian yang dimaksud dengan unsur

109

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi, di dalam ketentuan tentang tindak

pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 ini, unsur menguntungkan

diri sendiri atau orang lain adalah tujuan dari pelaku tindak pidana

korupsi;

b) Bahwa berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia tanggal 29 Juni 1989 No. 813/K/Pid/1987 dalam

pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa mengungkan diri sendiri

atau orang lain atau suatu badan cukup dinilai dari kenyataan yang

terjadi atau dihubungkan dengan perilaku terdakwa sesuai dengan

kewenangan yang dimilikinya karena jabatan atau kedudukan;

c) Bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan diperoleh

adanya fakta hukum sebagai berikut :

(1) Bahwa berdasarkan atas Berita Acara Pemeriksaan Fisik No.

440/BA PF/PBJ/SM/X/2012;

(2) Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan dan penerimaan barang

selanjutnya bagian Keuangan mengajukan Surat Pemenuhan

Pembayaran Tagihan Tahap ke2 kepada PPK;

(3) Bahwa setelah diproses oleh pihak keuangan proyek maka tagihan

dibayarkan dengan cara di setorkan langsung ke rekening Nomor :

0525 01000 159 30-6 atas nama Terdakwa Hendra Saputra selaku

Direktur PT Imaji Media dengan SP2D No.

225554A/019/110/Tanggal 12 Desember 2012 sebesar

Rp18.728.000.000,00 (delapan belas miliar tujuah ratus dua puluh

delapan juta rupiah);

d) Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan dari

pencairan pelunasan proyek pengadaan videotron Tahun Anggaran

110

2012 terdakwa selaku Direktur Utama PT Imaji Media telah

memperoleh keuntungan Rp19.000.000,- (sembilan belas juta rupiah)

dan telah menguntungkan orang lain yaitu Riefan Avrian selaku

Direktur Utama PT Rifuel dan Sarah Salamah, Andre Risakota, Kaim,

Kristi, Ika Diahningsih, Barli Sadewa, Ahmad Kamaludin;

e) Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas, maka unsur

“menguntungkan diri sendiri atau menguntungkan orang lain” telah

terpenuhi.

3) Unsur Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan

a) Bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah mengandung

pengertian yang sifatnya alternatif, artinya unsur menyalahgunakan

kewenangan, dialternatifkan dengan menyalahgunakan sarana yang

ada pada diri Terdakwa karena jabatan atau kedudukannya;

b) Bahwa yang dimaksud menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,

kewenangan berarti kekuasaan/hak, jadi yang disalahgunakan itu

adalah kekuasaan atau hak yang ada pada pelaku misalnya, untuk

menguntungkan anak, saudara, atau kroni sendiri. (Darwan Prinst,

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung

2002, hal. 34);

c) Bahwa pengertian menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan harus ada

hubungan kausal antara keberadaan kewenangan, kesempatan, dan

sarana dengan jabatan atau kedudukan. Oleh karena memangku

jabatan atau kedudukan akibatnya dia mempunyai kewenangan,

kesempatan dan sarana yang timbul dari jabatan atau kedudukan

111

tersebut. Jika jabatan atau kedudukan itu lepas, maka kewenangan,

kesempatan atau sarana akan hilang, dengan demikian tidaklah

mungkin ada menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana

karena jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimilikinya (Adami

Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,

Bayumedia Publishing, Malang 2005, hal. 53);

d) Bahwa dari uraian pengertian unsur tersebut di atas dihubungkan

dengan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, dan keterangan

Terdakwa, maka diperoleh fakta hukum sebagai berikut :

(1) Bahwa Terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT

Imaji Media yang dalam proses pelelangan pengadaan videotron

pada Kementerian Koperasi dan UKM Tahun Anggaran 2012

ditetapkan sebagai pemenang/pelaksana proyek;

(2) Bahwa pada tanggal 18 Oktober 2012 telah dilakukan

penandatanganan kontrak/Surat Perjanjian Kerja No.

617/Kont.SM.3/X/2012 antara Ir. Hasnawi Bachtiar, MM selaku

Pejabat Pembuat Komitmen dan Terdakwa Selaku Direktur PT

Imaji Media sebagai Pihak Penyedia.

e) Bahwa didalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron tersebut

terdakwa selaku Direktur Utama PT Imaji Media tidak melakukan

pekerjaan sebagaimana disepakati didalam kontrak, akan tetapi

pekerjaan tersebut diserahkan seluruhnya dan dikerjakan oleh Riefan

Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel;

f) Bahwa dari fakta lain yang terungkap dipersidangan terdakwa telah

menandatangani Surat Kuasa Mutlak yang dibuat oleh Riefan Avrian

yang berisi segala pengurusan tentang keuangan PT Imaji Media

terkait pengadaan videotron diserahkan kepada Riefan Avrian;

112

g) Bahwa dari pencairan terhadap uang muka tanggal 3 November 2012

telah diterima uang sejumlah Rp4.682.000.000,00 (empat milyar

enam ratus delapan puluh dua juta rupiah) dan selanjutnya telah

dilakukan pula pembayaran sepenuhnya terhadap pekerjaan videotron

pada tanggal 17 Desember 2012 sejumlah Rp18.728.000.000,00

(delapan belas miliar tujuh ratus dua puluh delapan juta rupiah) dari

pembayaran uang muka maupun pelunasan/pembayaran tahap akhir

keseluruhannya dengan Surat Kuasa yang diterima oleh Riefan Avrian

ternyata telah dicairkan seluruhnya oleh yang bersangkutan;

h) Bahwa setelah seluruh pekerjaan pengadaan diserah terimakan pada

tanggal 17 Desember 2012, kemudian pada bulan Februari 2013

sampai dengan Mei 2013 Badan Pemeriksaan Keuangan Repulik

Indonesia (BPK RI) telah melakukan pemeriksaan rutin dan

melakukan audit terhadap pengadaan tersebut dengan hasil temuan

adanya kelebihan pembayaran yang tidak sesuai dengan spesifikasi

teknis sebesar Rp2.695.958.491,90,00 (dua miliar enam ratus

sembilan puluh lima juta empat ratus sembilan puluh satur ribu rupiah

koma sembilan puluh sen);

i) Bahwa terhadap temuan tersebut BPK telah menagih pada PT Imaji

Media, bahwa PT Imaji Media telah melakukan penyetoran lebih

bayar tersebut dengan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) ke kas

negara;

j) Bahwa di persidangan telah terungkap fakta lain dari keterangan saksi

Pendi bahwa saksi telah membeli PT Imaji Media pada saksi Riefan

Avrian dan untuk pengambil alihan PT Imaji Media saksi telah

mengeluarkan uang sebanyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta

rupuah);

113

k) Bahwa dari fakta hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa Direktur

Utama PT Rifuel dalam hal ini Saksi Riefan Avrian telah

memanfaatkan karyawannya yang bernama Hendra Saputra untuk

merealisasikan keinginannya untuk mendapatkan proyek a quo sudah

dipersiapkan sejak jauh hari;

l) bahwa di depan persidangan perkara a quo saksi Riefan Avrian telah

mengakui perbuatannya dan siap bertanggung jawab sepenuhnya

dalam pengadaan videotron yang menjadi kasus sampai kepersidangan

perkara ini;

m) Bahwa dari keseluruhan uraian fakta hukum sebagaimana telah

dipertimbangkan diatas, maka menurut Hakim Anggota II unsur

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

pada Terdakwa Hendra Saputra tidaklah terpenuhi dan terbukti.

Bahwa Hakim Anggota II berpendapat dengan tidak terpenuhinya

unsur ketiga dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, maka terdakwa

Hendra Saputra haruslah dibebaskan dari dakwaan subsidair. Dengan tidak

terbuktinya dakwaan primair maupun dakwaan subsidair, maka terdakwa

Hendra Saputra haruslah dibebaskan dari dakwaan primair dan dakwaan

subsidair tersebut.

Bahwa oleh karena dua orang Hakim berpendapat terdakwa terbukti

melakukan tindak pidana sebagaimana tercantum dalam dakwaan primair,

sedangkan satu orang Hakim berpendapat bebas (vrijs praak), maka

berdasarkan Pasal 14 ayat (3) Undang Undang R.I No 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman maka pendapat yang digunakan ialah pendapat 2

orang hakim (suara terbanyak) sehingga, terdakwa harus dipersalahkan

melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam dakwaan

primair.

114

e. Putusan

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst tanggal 27

Agustus 2014 memutuskan sebagai berikut:

1) Menyatakan terdakwa Hendra Saputra telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-

sama sebagaimana dalam Dakwaan Primair;

2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hendra Saputra oleh karena itu

dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah

Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak

dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;

3) Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani

terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4) Menetapkan terdakwa tetap ditahan.

Bahwa berkenaan dengan uraian 2 (dua) putusan pengadilan dalam

tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi, penulis memberikan catatan

terhadap 2 (dua) putusan tersebut yaitu adanya hal yang sama dan hal yang

berbeda dalam tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi pada kedua

putusan tersebut, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 2. Persamaan Pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan

Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst

Indikator

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Putusan Nomor

812/Pid.Sus/2010/PN.BJM

Putusan Nomor

36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt

.Pst

Peran

korporasi

dalam

terjadinya

tindak

pidana

Perbuatan hukum PT Giri

Jaladhi Wana melalui

Stevanus Widagdo selaku

Direktur Utama PT Giri

Jaladhi Wana dalam

melakukan penandatangan

Kontrak Kerja Sama Bagi

Terungkap fakta hukum

tujuan didirikannya PT Imaji

Media oleh Riefan Avrian

adalah untuk memenangkan

lelang pengadaan videotron

di Kementrian Koperasi dan

UKM. Riefan Avrian

115

korupsi. Tempat Usaha Dalam

Rangka Pembangunan Pasar

Sentra Antasari, persetujuan

terkait penunjukan PT Giri

Jaladhi Wana oleh

Pemerintah Kota

Banjarmasin dalam

Pengelolaan Pasar Sentra

Antasari Kota Banjarmasin

dan Penandatanganan

Perjanjian Kredit Modal

Kerja dari PT Bank

Mandiri, Tbk., untuk

pembangunan Pasar Sentra

Antasari Kota Banjarmasin.

Dimana PT Giri Jaladhi

Wana dalam melaksanakan

pembangunan dan

pengelolaan Pasar Sentra

Antasari melakukan

penyimpangan-

penyimpangan sehingga

merugikan keuangan Negara

c.q. Pemerintah Kota

Banjarmasin serta

melakukan penyimpangan

atas penggunaan kredit

modal kerja dari PT Bank

Mandiri, Tbk., sehingga

merugikan PT Bank

Mandiri, Tbk.

(dilakukan penuntutan secara

terpisah) Direktur Utama PT

Rifuel sekaligus pemilik PT

Imaji Media memanfaatkan

terdakwa Hendra Saputra

selaku Direktur Utama PT

Imaji Media untuk bertindak

atas nama PT Imaji Media

yang sebenarnya merupakan

Office Boy (OB) di PT Rifuel

dengan perintah dan kendali

dari Riefan Avrian untuk

menandatangani dokumen-

dokumen penting dalam

pengadaan videotron yaitu

surat dokumen penawaran PT

Imaji Media, kuitansi uang

muka 20 %, surat jaminan

uang muka dengan penjamin

PT Asuransi Mega Pratama,

surat jaminan pelaksanaan,

pembukaan rekening atas

nama Hendra Saputra selaku

Direktur Utama PT Imaji

Media, dan surat perjanjian

mengenai lingkup pekerjaan

pengadaan videotron. Dalam

pelaksanaan pekerjaan

pengadaan videotron, Hendra

Saputra selaku Direktur

Utama PT Imaji Media yang

bertindak atas nama PT Imaji

Media menyerahkan semua

pekerjaan pengadaan

videotron kepada Riefan

Avrian selaku Direktur

Utama PT Rifuel tanpa

adanya addendum kontrak

maupun perjanjian kerjasama

operasi atau kemitraan,

kemudian dalam

pelaksanaannya terdapat

116

pekerjaan yang tidak

dikerjakan dan pekerjaan

yang tidak sesuai spesifikasi

dalam kontrak sehingga

menimbulkan kerugian pada

keuangan negara.

Selanjutnya, Terdakwa

Hendra Saputra selaku

Direktur Utama PT Imaji

Media memberikan surat

kuasa kepada Riefan Avrian

untuk mengambil uang

perusahaan (PT Imaji Media)

termasuk pembayaran hasil

pekerjaan pengadaan

videotron. Dalam hal ini

terlihat jelas maksud dan

tujuan PT Imaji Media

didirikan hanya untuk

melakukan tindak pidana

korupsi pada pengadaan

videotron di Kementrian

Koperasi dan UKM.

Peraturan

Perundang

-undangan

yang

digunakan

untuk

dilakukan

nya

penuntuta

n.

Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang

Perubahan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Petimbang

an Hakim

mengenai

manfaat

yang

diperoleh

korporasi

dari tindak

Berdasarkan fakta-fakta

hukum yang terungkap di

persidangan pada

pertimbangan Majelis

Hakim mengenai unsur

memperkaya diri atau orang

lain atau suatu korporasi

pada Pasal 2 Undang-

Berdasarkan pertimbangan

Majelis Hakim dalam unsur

memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu

korporasi dalam Pasal 2

Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun

117

pidana

korupsi.

Undang Nomor 31 Tahun

1999 Jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi,

khususnya menyangkut

aliran dana dalam

pelaksanaan Kontrak Bagi

Tempat Usaha Dalam

Rangka Pembangunan Pasar

Sentra Antasari yang

menggunakan dana kredit

modal kerja dari PT Bank

Mandiri, Tbk., dan

penunjukan terdakwa PT

Giri Jaladhi Wana untuk

mengelola Pasar Sentra

Antasari telah dapat

disimpulkan adanya

penambahan kekayaan

terdakwa PT Giri Jaladhi

Wana, termasuk pihak-

pihak yang terlibat

didalamnya maupun orang

lain. Sehingga perbuatan

terdakwa PT Giri Jaladhi

Wana telah memperkaya

diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi.

2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, atas

perbuatan melawan hukum

yang dilakukan terdakwa

Hendra Saputra selaku

Direktur Utama PT Imaji

Media telah memperkaya

orang lain dan korporasi

yaitu saksi Riefan Avrian dan

PT Imaji Media.

Tindak

pidana

korupsi

dilakukan

dalam

lingkup

usaha

korporasi.

Bahwa sesuai anggaran

dasar PT Giri Jaladhi Wana

bergerak di bidang usaha

perdagangan, industri,

agrobisnis, pengadaan

barang, jasa, transportasi,

pembangunan dan desain

interior. Mencermati

rangkaian perbuatan

terdakwa PT Giri Jaladhi

Wana dalam Kontrak Bagi

Tempat Usaha Dalam

Rangka Pembangunan Pasar

Bahwa sesuai maksud dan

tujuan didirikannya PT Imaji

Media yang terungkap

dipersidangan untuk

memenangkan lelang

pengadaan videotron, dalam

anggaran dasar PT Imaji

Media tentunya tercantum

bidang usaha PT Imaji Media

adalah pengadaan barang dan

atau jasa. Oleh karena itu

pekerjaan pengadaan

videotron di Kementrian

118

Sentra Antasari Kota

Banjarmasin, penunjukan

PT Giri Jaladhi Wana untuk

mengelola Pasar Sentra

Antasari Kota Banjarmasin

dan pengajuan kredit modal

kerja untuk pembangunan

Pasar Sentra Antasari Kota

Banjarmasin kepada PT

Bank Mandiri, Tbk., adalah

masih dalam ruang lingkup

bidang usaha terdakwa PT

Giri Jaladhi Wana.

Koperasi dan UKM

dilakukan dalam lingkup

usaha PT Imaji Media.

Tindak

pidana

korupsi

dilakukan

oleh

directing

mind dari

korporasi.

Stevanus Widagdo selaku

Direktur Utama PT Giri

Jaladhi Wana mewakili

setiap tindakan hukum dari

PT Giri Jaladhi Wana.

Sehingga Stevanus Widagdo

merupakan directing mind

dari PT Giri Jaladhi Wana.

Riefan Avrian merupakan

directing mind dari PT Imaji

Media, hal ini dikarenakan

terungkap fakta hukum

bahwa Riefan Avrian

merupakan pemilik PT Imaji

Media, dan seluruh tindakan

hukum yang dilakukan oleh

Hendra Saputra selaku

Direktur Utama PT Imaji

Media yang dilakukan untuk

dan atas nama PT Imaji

Media berada dibawah

kendali dan perintah Riefan

Avrian.

Tabel 3. Perbedaan Pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan

Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst

Indikator

Pembeda

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Putusan Nomor

812/Pid.Sus/2010/PN.BJM

Putusan Nomor

36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt

.Pst

Dasar

penempata

n terdakwa

dalam

tindak

Penempatan PT Giri Jaladhi

Wana sebagai terdakwa

didasarkan pada Pasal 20

ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Penempatan Hendra Saputra

selaku Direktur Utama PT

Imaji Media sebagai

terdakwa menurut penulis

didasarkan pada fakta-fakta

119

pidana

korupsi.

Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, yang

menyatakan bahwa dalam

hal tindak pidana korupsi

dilakukan oleh atau atas

nama korporasi, maka

penuntutan dan penjatuhan

pidana bisa dimintakan

terhadap korporasi dan atau

pengurusnya. Dan dengan

menerapkan teori

identifikasi yang

menyatakan bahwa

Stevanus Widagdo selaku

Direktur Utama PT Giri

Jaladhi Wana merupakan

directing mind dari PT Giri

Jaladhi Wana, maka

Stevanus Widagdo

diidentifikasi sebagai PT

Giri Jaladhi Wana, sehingga

perbuatan serta kesalahan

Stevanus Widagdo dianggap

perbuatan dan kesalahan PT

Giri Jaladhi Wana.

hukum bahwa semua

perbuatan yang bersifat

melawan hukum dilakukan

secara fisik oleh Hendra

Saputra yang tidak dinilai

sebagai perbuatan korporasi

dan perbuatan Hendra

Saputra yang dilakukan

bertindak dengan

mengatasnamakan PT Imaji

Media sebenarnya berada

dibawah kendali dan perintah

Riefan Avrian yang

merupakan pemilik dari PT

Imaji Media.

Pasal yang

digunakan

dalam

Dakwaan

Penuntut

Umum.

Pasal 2 dan Pasal 3 Jo. Pasal

18 Jo. Pasal 20 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun

1999 Jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi Jo.

Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal 2 dan Pasal 3 Jo. Pasal

18 Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi Jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Uraian

penjelasan

unsur

setiap

orang

dalam

Setiap orang dalam putusan

ini dimaknai sebagai orang

perseorangan termasuk

korporasi sesuai Pasal 1

angka 3 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Dengan menggunakan pasal

yang sama yaitu Pasal 1

angka 3 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001, setiap orang

120

Dakwaan

Penuntut

Umum.

Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001, kemudian

dikaitkan dengan Pasal 20

ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 yaitu dalam hal

tindak pidana dilakukan

oleh atau atas nama

korporasi, maka tuntutan

pidana dan penjatuhan

pidana dapat dilakukan

terhadap korporasi dan atau

pengurusnya, selanjutnya

berdasarkan saksi-saksi dan

bukti-bukti surat, Penuntut

Umum menempatkan

korporasi (PT Giri Jaladhi

Wana) sebagai pelaku

tindak pidana korupsi.

adalah orang perseorangan

termasuk korporasi, namun

dengan mendalilkan menurut

teori hukum yang dimaksud

setiap orang adalah siapa saja

sebagai subjek hukum yaitu

penyandang hak dan

kewajiban yang sama

nilainya dengan barang siapa

maka dalam hal ini Penuntut

Umum hanya menutut pelaku

individualnya saja tanpa

melihat bahwa perbuatan

terdakwa Hendra Saputra

selaku Direktur Utama PT

Imaji Media yang dilakukan

dengan mengatasnamakan PT

Imaji Media yang berada

dibawah kendali dan perintah

Riefan Avrian yang

merupakan directing mind

dari PT Imaji Media, oleh

karenanya perbuatan dan

kesalahan Riefan Avrian

dengan memanfaatkan

Hendra Saputra dapat

diidentifikasi sebagai

perbuatan dan kesalahan PT

Imaji Media, sehingga

seharusnya PT Imaji Media

dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana.

Penuntuta

n terhadap

tindak

pidana

korupsi

yang

melibatka

n

korporasi.

Disamping dilakukan

penuntutan terhadap pelaku

individual yaitu Stevanus

Widagdo selaku Direktur

Utama PT Giri Jaladhi

Wana juga dilakukan

penuntutan terhadap PT Giri

Jaladhi Wana dengan

mendasarkan pada Pasal 20

ayat (1) Undang-Undang

Penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi pekerjaan

pengadaan videotron hanya

dilakukan terhadap pelaku

individualnya saja yaitu

Rievan Avrian yang terbukti

merupakan pemilik PT Imaji

Media (dilakukan penuntutan

secara terpisah) dan Hendra

Saputra selaku Direktur

121

Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 yang

menyatakan dalam hal

tindak pidana dilakukan

oleh atau atas nama

korporasi, maka penuntutan

dan penjatuhan pidana dapat

dilakukan terhadap

korporasi dan atau

pengurusnya.

Utama PT Imaji Media, hal

ini menunjukan Penuntut

Umum hanya melihat bahwa

semua perbuatan yang

bersifat melawan hukum

dilakukan secara fisik oleh

manusia tanpa melihat peran

korporasi dalam terjadinya

tindak pidana korupsi.

Pertanggu

ngjawaban

pidana

pada

tindak

pidana

korupsi.

Dengan penempatan

korporasi sebagai pelaku

tindak pidana korupsi maka

yang

dipertanggungjawabkan

secara pidana adalah

korporasi, dengan

menerapkan teori

identifikasi tidak dapat

dibantah bahwa Stevanus

Widagdo adalah directing

mind dari PT Giri Jaladhi

Wana, maka Stevanus

Widagdo diidentifikasi

sebagai PT Giri Jaladhi

Wana dan kesalahan

Stevanus Widagdo dianggap

kesalahan PT Giri Jaladhi

Wana, sehingga PT Giri

Jaladhi Wana

dipertanggungjawabkan

secara pidana.

Pertanggungjawaban pidana

hanya dibebankan terhadap

Riefan Avrian (dilakukan

penuntutan terpisah) dan

Hendra Saputra selaku

Direktur Utama PT Imaji

Media, walaupun telah

terbukti dipersidangan bahwa

perbuatan yang dilakukan

Riefan Avrian dengan

memanfaatkan Hendra

Saputra dalam kapasitasnya

sebagai Direktur Utama PT

Imaji Media adalah bertindak

untuk dan atas nama PT

Imaji Media. Dalam hal ini

Penuntut Umum tidak

menilai bahwa Hendra

Saputra merupakan pelaku

fungsional atas tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh

PT Imaji Media yang

dimanfaatkan oleh Riefan

Avrian sebagai pemilik PT

Imaji Media untuk

melakukan perbuatan-

perbuatan hukum dengan

mengatasnamakan PT Imaji

Media. Oleh Karena itu

sebenarnya PT Imaji Media

dapat dimintakan

122

pertanggungjawaban pidana.

Bahwa dalam kedua Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

tersebut diatas menggunakan peraturan perundang-undangan yang sama yaitu

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah

mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi selain subjek

hukum manusia alamiah, sehingga pelaku tindak pidana korupsi bisa oleh

manusia alamiah atau korporasi. Terkait dengan diterimanya korporasi

sebagai subjek tindak pidana korupsi, pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai

pertanggungjawaban pidana korporasi, dalam ayat pertama mengatur

mengenai tanggung jawab yang bisa dimintakan kepada korporasi dan atau

pengurusnya untuk tindak pidana korupsi yang dilakukan untuk kepentingan

korporasi. Selanjutnya pada Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur mengenai

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi yaitu apabila tindak

pidana dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun

hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi, baik sendiri maupun

bersama-sama. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 memberikan peluang korporasi untuk

diajukan ke muka pengadilan atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya

bersama dengan pengurus korporasinya. Pengaturan dalam Pasal 20 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

menunjukkan adanya pilihan bagi aparat penegak hukum untuk mendakwa

dan menuntut korporasi atau pengurus korporasi atau korporasi secara

bersama-sama dengan pengurus korporasi.

123

Sehubungan dengan rumusan Pasal 20 ayat (2), Sutan Remy Sjahdeini

menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai pertanggungjawaban pidana

korporasi menganut teori identifikasi dan teori aggregasi. Teori identifikasi

tercermin dalam frase “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-

orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain”.

Selanjutnya teori aggregasi tercermin dalam frase “apabila tindak pidana

tersebut dilakukan...baik sendiri maupun bersama-sama” (Sutan Remy

Sjahdeini, 2006:152). Terkait dengan teori identifikasi, menurut Sutan Remy

Sjahdeini yang dimaksud dengan orang-orang berdasarkan hubungan kerja

adalah mereka yang merupakan pengurus korporasi, sedangkan yang

dimaksud dengan orang-orang yang berdasarkan hubungan lain adalah orang-

orang yang memiliki hubungan lain dengan korporasi selain hubungan kerja

yaitu orang yang dapat melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama

korporasi yang dapat didasarkan pada surat kuasa, perjanjian pemberian

kuasa maupun pendelegasian wewenang serta orang-orang yang memiliki

hubungan erat dengan korporasi yang dapat menentukan arah dan kebijakan

korporasi (Sutan Remy Sjahdeini, 2006:151-154). Yang dimaksud pengurus

korporasi berdasarkan penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah:

“organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang

bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam

kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan

korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi”.

Menurut penulis, pengertian pengurus korporasi dalam penjelasan

Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak hanya terbatas pada pengertian

pengurus korporasi secara yuridis, namun juga bukan pengurus korporasi

yang memiliki peran dan kekuasaan dalam korporasi yang sama seperti

124

pengurus atau bahkan melebihi pengurus korporasi. Menurut penulis, baik

pengurus korporasi maupun orang dalam hubungan lain yang melakukan

perbuatan hukum untuk dan atas nama korporasi adalah yang dimaksud

dengan directing mind korporasi dalam teori identifikasi. Yang dimaksud

penulis sebagai directing mind korporasi adalah orang yang merupakan otak

dan pikiran dari setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi, sehingga

orang tersebut dapat diidentifikasikan sebagai korporasi itu sendiri.

Mengenai teori aggregasi yang menurut Sutan Remy Sjahdeini dianut

oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 yang tercermin dalam rumusan Pasal 20 ayat (2) pada frase

“apabila tindak pidana tersebut dilakukan...baik sendiri maupun bersama-

sama”, menurut penulis pendapat Sutan Remy Sjahdeini tersebut didasarkan

pada realitas untuk mengatasi persoalan proses pengambilan keputusan dalam

korporasi modern yang merupakan hasil dari usaha-usaha kolektif pengurus

korporasi secara bersama-sama, sehingga terjadi penyebaran tanggung jawab

dalam korporasi modern. Menurut penulis, poin utama dalam teori aggregasi

adalah tanggung jawab pidana tidak hanya ditujukkan terhadap satu orang

individu dalam korporasi, melainkan terhadap beberapa orang dalam

korporasi, sehingga kesalahan beberapa orang dalam korporasi tersebut

diakumulasikan untuk diatributkan sebagai kesalahan korporasi untuk

mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana.

3. Kajian Penulis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam

Menerapkan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada

Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM

Penulis sependapat dengan Putusan Nomor

812/Pid.Sus/2010/PN.BJM yang menempatkan PT Giri Jaladhi Wana sebagai

terdakwa untuk dipertanggungjawabkan secara pidana dalam tindak pidana

korupsi. PT Giri Jaladhi Wana dalam Putusan Nomor

125

812/Pid.Sus/2010/PN.BJM telah dijatuhi pidana denda sebesar

Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dan pidana tambahan

berupa penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan.

Penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa, berawal pada perkara

Stevanus Widagdo yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena

terbukti melakukan tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolan Pasar

Sentra Antasari yang bertindak dalam jabatannya sebagai Direktur Utama PT

Giri Jaladhi Wana, dan masih bertindak dalam ruang lingkup PT Giri Jaladhi

Wana untuk kepentingan PT Giri Jaladhi Wana. Dengan berpedoman pada

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan

menerapkan Pasal 20 yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana

korporasi, PT Giri Jaladhi Wana ditempatkan sebagai terdakwa. Menurut

penulis, penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa merupakan hal

yang tepat, sebab dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur apabila terjadi

tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi, maka penuntutan dan

penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

Sehingga memberikan peluang bagi aparat penegak hukum untuk menjerat

korporasi dengan menghadapkannya ke muka pengadilan sebagai pelaku

tindak pidana korupsi dan bertanggung jawab secara pidana.

Selanjutnya, pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap PT

Giri Jaladhi Wana didasarkan pada pertimbangan Majelis Hakim dengan

menerapkan teori identifikasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan penerapan teori

identifikasi yang memiliki prinsip utama yaitu menentukan directing mind

dari korporasi, sehingga perbuatan dan kesalahan directing mind dari

126

korporasi diidentifikasi sebagai perbuatan dan kesalahan korporasi. Perbuatan

Stevanus Widagdo yang dilakukan dalam rangka fungsi dan tugasnya sebagai

Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dalam pembangunan dan pengelolaan

Pasar Sentra Antasari dengan mengtasanamakan PT Giri Jaladhi Wana, yang

dilakukannya dalam ruang lingkup kewenangan PT Giri Jaladhi Wana pada

pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin serta

dilakukan untuk kepentingan PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan hal tersebut

telah menentukan bahwa Stevanus Widagdo merupakan directing mind atau

otak dan pikiran dari PT Giri Jaladhi Wana. Stevanus Widagdo dapat

diidentifikasikan sebagai PT Giri Jaladhi Wana itu sendiri, sehingga seluruh

perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oleh Stevanus Widagdo selaku

Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana diidentifikasi sebagai perbuatan dan

kesalahan dari PT Giri Jaladhi Wana. Oleh karena itu, PT Giri Jaladhi Wana

dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Majelis Hakim yang mengadili perkara Nomor

812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dalam mempertimbangkan unsur melawan hukum

sebagai delik inti atau beestanddeel delict merujuk pada pendapat ahli yang

dihadirkan di persidangan yaitu Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini yang

menyatakan bahwa untuk dapat suatu korporasi bertanggung jawab atas

perbuatan pengurusnya harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun

omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi maupun

di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing

mind dari korporasi;

b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan

korporasi;

c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah

dalam rangka tugasnya dalam korporasi;

127

d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat

bagi korporasi; dan

e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan

pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

Berdasarkan keterangan ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini yang

diambil alih dan dijadikan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin untuk mengadili

perkara dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, penulis pada intinya

sependapat dengan keterangan yang disampaikan oleh ahli. Dan penulis akan

menguraikan syarat-syarat yang telah diungkapkan oleh ahli satu per satu dan

penulis kaitkan berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan

sebagai berikut:

a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun

omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi maupun

di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing

mind dari korporasi;

Penulis menerima syarat pertama yang diungkapkan oleh ahli

Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, bahwa tindak pidana tersebut (baik

dalam bentuk commission maupun omission) dilakukan atau

diperintahkan oleh personel korporasi maupun didalam struktur

organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari

korporasi. Hal ini menunjukan bahwa ahli Prof. Dr. Sutan Remy

Sjahdeini menerapkan teori identifikasi dalam mempertanggungjawabkan

korporasi secara pidana pada tindak pidana korupsi.

Terkait dengan frase “diperintahkan” dalam syarat pertama yang

diutarakan ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, menurut penulis tidak

sama dengan pengertian “disuruh” dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,

hal ini perlu diungkapkan karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

128

Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak mengatur secara khusus

mengenai penyertaan, maka menurut Pasal 103 KUHP berlaku bentuk

penyertaan yang diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pada Pasal 55 ayat (1) ke-

1 KUHP pelaku fisik yang melakukan suatu tindak pidana berdasarkan

“suruhan” dari orang lain tidak dapat dipidana. Tentu saja yang dimaksud

“diperintahkan” disini tidak sama pengertiannya dengan “disuruh”

menurut Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mengenai hal “diperintahkan”

disini yang dimaksud adalah seolah-olah tindak pidana korupsi dilakukan

oleh pelaku fisik karena diperintahkan oleh personel korporasi yang

diidentifikasi sebagai directing mind dari korporasi. Menurut penulis

syarat pertama ini berhubungan dengan teori pelaku fungsional yang

digunakan untuk mendukung teori identifikasi dalam menentukan

directing mind dari korporasi. Dimana teori pelaku fungsional

menyatakan bahwa korporasi tidak harus melakukan perbuatannya

sendiri secara fisik, tetapi perbuatan itu dilakukan oleh pengurusnya

dalam rangka fungsi dan tugasnya, dan masih dalam ruang lingkup

kewenangan korporasi. Maka secara umum perbuatan pengurus korporasi

dianggap sebagai perbuatan korporasi, sehingga terjadi pelimpahan

pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.

Sehubungan dengan penerapan teori identifikasi yang dianut

dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, mengenai penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai

pelaku tindak pidana korupsi didasarkan pada directing mind yang ada

pada Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana.

Sehingga perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oleh Stevanus

Widagdo diidentifikasi sebagai perbuatan dan kesalahan PT Giri Jaladhi

Wana, yaitu dengan didasarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap

129

di persidangan bahwa tindakan hukum Stevanus Widagdo sebagai

Direktur Utama yang bertindak untuk dan atas nama PT Giri Jaladhi

Wana berupa penandatanganan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama

Nomor 664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VII/1998 dan Perjanjian Kredit

Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., atas kedua perjanjian

kerjasama tersebut PT Giri Jaladhi Wana melalui Stevanus Widagdo

melakukan penyimpangan-penyimpangan untuk mendapatkan

keuntungan secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian

keuangan negara.

b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan

korporasi;

Salah satu kriteria tindak pidana korupsi yang dilakukan

korporasi dan dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi

apabila dilakukan dalam lingkungan korporasi. Dalam lingkungan

korporasi menurut penulis dapat diketahui dari maksud dan tujuan

korporasi yang tercantum dalam anggaran dasar korporasi. Sehubungan

dengan maksud dan tujuan PT Giri Jaladhi Wana yang tercantum dalam

anggaran dasarnya bahwa PT Giri Jaladhi Wana bergerak di bidang

usaha perdagangan, industri, agrobisnis, pengadaan barang, jasa,

transportasi, pembangunan dan desain interior.

Apabila mencermati perbuatan PT Giri Jaladhi Wana dalam

melaksanakan perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Kota Bajarmasin

mengenai Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan

Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan Penunjukan Pengelolaan

Sementara Pasar Sentra Antasari oleh Pemerintah Kota Banjarmasin

kepada PT Giri Jaladhi Wana serta Perjanjian Kredit Modal Kerja dengan

PT Bank Mandiri, Tbk., masih dalam ruang lingkup bidang usaha PT

Giri Jaladhi Wana yang tercantum dalam anggaran dasarnya.

130

c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah

dalam rangka tugasnya dalam korporasi;

Tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidananya kepada korporasi apabila

dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun

berdasarkan hubungan lain. Menurut penulis, pelaku yang memberikan

perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi merujuk kepada

pengurus korporasi yang dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:

“yang dimaksud pengurus adalah organ korporasi yang

menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan

anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki

kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat

dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi”.

Berdasarkan teori identifikasi yang menyatakan bahwa agar suatu

korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana maka orang yang

melakukan perbuatan atau perintah itu harus diidentifikasi sebagai

directing mind dari korporasi, sehingga perbuatan dan kesalahan

directing mind korporasi dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan dari

korporasi, jadi dalam hal menyangkut PT Giri Jaladhi Wana, Stevanus

Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dapat

diidentifikasi sebagai directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana, sehingga

perbuatan dan kesalahan Stevanus Widagdo dalam rangka tugasnya

sebagai Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap PT Giri Jaldhi Wana.

Bahwa perbuatan hukum yang dilakukan Stevanus Widagdo

selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dengan mengatasnamakan

PT Giri Jaladhi Wana dalam hal penandatanganan Kontrak Bagi Tempat

131

Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota

Banjarmasin dan Pengelolaan Pasar Sentra Antasari serta Perjanjian

Kredit Modal Kerja dengan PT Bank Mandiri, Tbk., yang dalam

pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga

mengakibatkan kerugian keuangan bagi Negara c.q Pemerintah Kota

Banjarmasin dan PT Bank Mandiri, Tbk., yang dilakukan maupun

berdasarkan perintah Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri

Jaladhi Wana yang menurut teori identifikasi merupakan directing mind

dari PT Giri Jaladhi Wana, maka pertanggungjawaban pidana dapat

dibebankan terhadap PT Giri Jaladhi Wana.

d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat

bagi korporasi;

Perbuatan seseorang yang diidentifikasi sebagai directing mind

dari korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidananya terhadap korporasi. Dalam

konteks ini menurut penulis, perbuatan yang dilakukan oleh directing

mind dari korporasi dapat memberikan keuntungan atau manfaat bagi

directing mind itu sendiri maupun juga keuntungan terhadap korporasi,

dalam konteks ini pertanggungjawaban pidananya tetap ada pada

korporasi.

Dalam tindak pidana korupsi yang menempatkan PT Giri Jaladhi

Wana sebagai terdakwa, atas perbuatan yang dilakukan oleh Stevanus

Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dalam

pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin berupa penjualan

atas tambahan 900 (sembilan ratus) unit toko, kios, los, lapak dan warung

sebesar Rp16.691.713.166,00 (enam belas miliar enam ratus sembilan

puluh satu juta tujuh ratus tiga belas ribu seratus enam puluh enam

132

rupiah) yang tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin

merupakan keuntungan yang diterima PT Giri Jaladhi Wana.

PT Giri Jaladhi Wana juga mendapatkan keuntungan karena

adanya kewajiban dari PT Giri Jaladhi Wana yang tidak dipenuhi yaitu

pembayaran retribusi dan penggantian uang sewa serta membayar

pelunasan Kredit Inpres Pasar Sentra Antasari yang keseluruhannya

sejumlah Rp6.750.000.000,00 (enam miliar tujuh ratus lima puluh juta

rupiah) yang hanya dibayarkan oleh PT Giri Jaladhi Wana sebesar

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), sehingga masih terdapat

kekurangan yang tidak dibayar oleh PT Giri Jaladhi Wana sebesar

Rp5.750.000.000,00 (lima miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Selain itu, PT Giri Jaladhi Wana sejak tahun 2004 sampai dengan tahun

2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari ke

kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin, dalam hal ini Stevanus

Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana memberikan

keterangan yang tidak benar kepada Pemerintah Kota Banjarmasin

bahwa PT Giri Jaladhi Wana dalam pengelolaan Pasar Sentra Antasari

mengalami kerugian, padahal berdasarkan laporan keuangan Pengelolaan

Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin periode Juli 2004 sampai dengan

Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh

miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam

ratus empat puluh lima rupiah).

Selanjutnya, Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri

Jaladhi Wana melakukan penyimpangan atas penggunaan kredit modal

kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., untuk pembangunan Pasar Sentra

Antasari dengan tidak membayar beberapa angsuran kredit modal kerja

kepada PT Bank Mandiri, Tbk., sehingga mengakibatkan kerugian

terhadap PT Bank Mandiri, Tbk., sebesar Rp199.536.064.675,00 (seratus

133

sembilan puluh sembilan miliar lima ratus tiga puluh enam juta eman

puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah). Dengan demikian,

terbukti bahwa perbuatan Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT

Giri Jaladhi Wana adalah memiliki maksud dan tujuan untuk

memberikan keuntungan secara melawan hukum terhadap korporasinya

yaitu PT Giri Jaladhi Wana.

e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan

pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

Dalam pertanggungjawaban pidana terkait alasan penghapus

pidana yaitu adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf, apabila dalam

diri pelaku tindak pidana tidak terdapat alasan pembenar maka perbuatan

pelaku tersebut bersifat melawan hukum, dan apabila dalam diri pelaku

tindak pidana tidak terdapat alasan pemaaf maka unsur kesalahan atau

mens rea ada pada diri pelaku sehingga pelaku dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana.

Dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan

Pasar Sentra Antasari dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, perbuatan

dan kesalahan Stevanus Widagdo yang diidentifikasi sebagai directing

mind dari PT Giri Jaladhi Wana, maka dengan penerapan teori

identifikasi, perbuatan dan kesalahan Stevanus Widagdo dianggap

sebagai perbuatan dan kesalahan PT Giri Jaladhi Wana. Sehingga

menurut penulis, dalam konteks alasan pembenar dan alasan pemaaf pada

PT Giri Jaladhi Wana dengan menerapkan teori identifikasi, berdasarkan

kedudukan Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi

Wana merupakan directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana yang telah

dipidana dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

936K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009 dalam tindak pidana korupsi

pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin

134

sehingga tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf pada diri

Stevanus Widagdo. Merujuk pada penerapan teori identifikasi, secara

mutatis mutandis tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf pada

diri Stevanus Widagdo sebagai directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana

yang diidentifikasikan sebagai PT Giri Jaladhi Wana itu sendiri, maka

terhadap PT Giri Jaladhi Wana tidak terdapat juga adanya alasan

pembenar maupun alasan pemaaf.

Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak

pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota

Banjarmasin dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, yaitu mendasarkan

penuntutan terhadap PT Giri Jaladhi Wana dengan menerapkan Pasal 2 dan

Pasal 3 Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Penempatan PT Giri Jaladhi

Wana sebagai terdakwa menurut penulis tepat dengan didasarkan pada Pasal

20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

menyatakan bahwa:

“dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama

korporasi maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap

korporasi dan atau pengurus korporasi”

Menurut penulis penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa

lebih tepat apabila dibandingkan dengan hanya menuntut pelaku

individualnya saja. Selanjutnya dengan menerapkan teori identifikasi yang

dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, yang menentukan bahwa Stevanus Widagdo selaku Direktur

Utama PT Giri Jaladhi Wana merupakan directing mind dari PT Giri Jaladhi

Wana, sehingga Stevanus Widagdo diidentifikasi sebagai PT Giri Jaladhi

135

Wana itu sendiri, dan perbuatan serta kesalahan Stevanus Widagdo dianggap

sebagai perbuatan dan kesalahan dari PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan hal

tersebut PT Giri Jaladhi Wana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Dasar pertimbangan Majelis Hakim dengan menerapkan teori

identifikasi untuk mempertanggungjawabkan PT Giri Jaladhi Wana secara

pidana dikuatkan dengan keterangan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini sebagai

ahli dalam tindak pidana korupsi dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana,

yang pendapatnya diambil alih untuk digunakan sebagai pertimbangan

Majelis Hakim untuk mengadili dan memutuskan perkara Nomor

812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dengan menentukan syarat-syarat yang harus

dipenuhi agar suatu korporasi bertanggung jawab atas perbuatan pengurusnya

dan korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana. Sehubungan dengan

pidana yang dijatuhkan terhadap PT Giri Jaladhi Wana berupa pidana denda

sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dan pidana

tambahan berupa penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana selama 6

(enam) bulan, menurut penulis sudah tepat, hal ini dikarenakan pidana pokok

yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana

korupsi berdasarkan Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi adalah berupa denda dengan ketentuan maksimum

ditambah 1/3 (sepertiga), ancaman pidana pada Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang digunakan Majelis

Hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap PT Giri Jaladhi Wana adalah

dengan ancaman pidana denda maksimum Rp1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah) sehingga pidana denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga

ratus juta rupiah) merupakan pemberatan dengan ditambah 1/3 (sepertiga)

dari ancaman pidana denda maksimum, kemudian mengingat dalam Putusan

136

Kasasi Stevanus Widagdo selaku Direktrur Utama PT Giri Jaladhi Wana telah

dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan membayar uang pengganti

sebesar Rp6.300.000.000,00 (enam miliar tiga ratus juta rupiah), maka masih

ada kekurangan dari hasil pengelolaan Pasar Sentra Antasari sebesar

Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dari hasil pengelolaan

Pasar Sentra Antasari periode 2004 sampai 2007 yang tidak disetorkan oleh

PT Giri Jaladhi Wana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh miliar enam ratus

lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima

rupiah), selisih tersebut menjadi beban PT Giri Jaladhi Wana, sehingga

denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) sudah

tepat. Selanjutnya pidana tambahan telah mengacu pada Pasal 18 ayat (1)

huruf c yaitu penutupan seluruh atau sebagian korporasi untuk waktu paling

lama 1 (satu) tahun, dimana dalam Putusan Nomor

812/Pid.Sus/2010/PN.BJM pidana tambahan penutupan sementara telah

ditentukan dalam jangka waktu selama 6 (enam) bulan untuk memberikan

kepastian hukum dan keadilan serta meminimalkan ekses negatif bagi

karyawan dari penjatuhan pidana terhadap korporasi.

Penulis pada prinsipnya setuju dengan Putusan Nomor

812/Pid.Sus/2010/PN.BJM, berkenaan dengan pemidanaan terhadap

korporasi untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi karena telah

sesuai dengan arah penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai extra

ordinary crime maka upaya pemberantasannya dituntut dengan cara-cara

yang luar biasa seperti halnya menjerat korporasi yang melakukan tindak

pidana korupsi untuk mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana,

mengingat dalam era globalisasi ini tindak pidana korupsi banyak melibatkan

peran korporasi, namun korporasi sering lolos dari jerat hukum, sehingga

penempatan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi merupakan hal

137

yang sangat penting, maka putusan ini bisa menjadi dasar untuk memutus

perkara yang sama terhadap pemidanaan kepada korporasi.

4. Kajian Penulis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam

Menerapkan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada

Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst

Dalam putusan kedua yang dikaji oleh penulis, dalam hal ini penulis

tidak sependapat dengan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst

tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi

dan UKM dengan hanya menempatkan pelaku tindak pidana korupsi terhadap

Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media dan Riefan Avrian

selaku Direktur Utama PT Rifuel sekaligus pemilik PT Imaji Media

(dilakukan penuntutan secara terpisah). Penempatan terdakwa dalam Putusan

Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst menunjukkan bahwa penuntutan

secara pidana dengan berpedoman pada Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi hanya dilakukan terhadap pelaku individualnya saja

atau perseorangannya selaku subjek hukum (naturlijke persoon) dan tidak

melakukan penuntutan terhadap korporasi selaku subjek hukum

(rechtspersoon) untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam tindak

pidana korupsi.

Apabila berpedoman pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, telah diatur dengan jelas dalam Pasal 20 mengenai

pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana korupsi.

Menurut penulis, tidak sulit bagi aparat penegak hukum dalam menguraikan

dan menjabarkan garis-garis batas pertanggungjawaban pidana pelaku

individu dengan pertanggungjawaban pidana pelaku korporasi. Dalam hal ini

suatu korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam tindak

pidana korupsi, sepanjang pengurus korporasi bertindak atas nama dan untuk

138

kepentingan korporasi yang menimbulkan kerugian keuangan dan

perekonomian negara maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat

dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurus korporasi.

Sehubungan dengan tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan

videotron di Kementrian Koperasi dan UKM yang melibatkan peran

korporasi dalam terjadinya tindak pidana korupsi, namun tidak dilakukan

penuntutan secara pidana terhadap korporasi dalam hal ini PT Imaji Media.

Menurut penulis, penuntutan secara pidana terhadap PT Imaji Media penting

untuk dilakukan karena telah terbukti dipersidangan bahwa maksud dan

tujuan didirikannya PT Imaji Media oleh Riefan Avrian adalah untuk

melakukan kejahatan. Dengan tidak dilakukannya penuntutan secara pidana

terhadap PT Imaji Media untuk dipertanggungjawabkan secara pidana, hal ini

membawa konsekuensi bahwa PT Imaji Media tetap dapat beroperasi

menjalankan kegiatan usahanya.

Akibat dibatasinya penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi

pekerjaan pengadaan videotron untuk dapat dipertanggungjawabkan secara

pidana, yaitu hanya pelaku individu saja atau perseorangan membawa

konsekuensi pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi tidak berjalan

optimal. Hal ini disebabkan negara tidak dapat menuntut PT Imaji Media

untuk bertanggung jawab atas kerugian keuangan negara yang telah

disalahgunakan secara melawan hukum. Padahal tindak pidana korupsi

merupakan extra ordinary crime karena adanya hak-hak sosial dan hak-hak

ekonomi masyarakat yang dilanggar dari tindak pidana korupsi, maka sebagai

extra ordinary crime upaya pemberantasannya dituntut cara-cara yang luar

biasa, salah satunya dengan menjerat korporasi yang melakukan tindak

pidana korupsi untuk dipertanggungjawabkan secara pidana. Selanjutnya,

lolosnya PT Imaji Media dari jerat hukum karena tidak dilakukannya

penuntutan terhadap korporasi yaitu PT Imaji Media sebagai pelaku tindak

139

pidana korupsi, sehingga tidak ada sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap PT

Imaji Media, baik berupa pidana pokok berupa denda sebagaimana diatur

dalam Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, maupun berupa pidana tambahan terhadap tindak pidana korupsi

yang dilakukan oleh korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dapat

berupa:

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud

atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh

dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana

tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang

menggantikan barang-barang tersebut;

2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyakanya sama

dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1

(satu) tahun;dan

4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan

seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat

diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Akibat tidak adanya penjatuhan sanksi pidana terhadap PT Imaji

Media karena tidak dilakukannya penuntutan secara pidana terhadap PT Imaji

Media, membawa konsekuensi hukum bagi PT Imaji Media tetap beroperasi

dan menjalankan aktivitas usaha tanpa menanggung beban apapun, selain itu

terungkap fakta hukum dipersidangan bahwa PT Imaji Media telah dijual oleh

Riefan Avrian selaku pemilik PT Imaji Media kepada saksi Pendi sebesar

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dengan tetap beroperasinya PT Imaji

Media untuk menjalankan kegiatan usahanya, tidak ada jaminan bahwa PT

Imaji Media tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan

undang-undang, hal ini dikarenakan terungkap fakta hukum di persidangan

bahwa sejak awal maksud dan tujuan didirikannya PT Imaji Media oleh

140

Riefan Avrian adalah untuk melakukan kejahatan. Padahal kerugian yang

dialami negara dinikmati ataupun mengalir pada PT Imaji Media.

Kedudukan PT Imaji Media dalam tindak pidana korupsi pekerjaan

pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM apabila dikaitkan

dengan bentuk kejahatan korporasi yang diungkapkan oleh Mahrus Ali

diantaranya crimes for corporation, crimes against corporation, dan criminal

corporation (Mahrus Ali, 2013:18-19), peran dan kedudukan PT Imaji Media

dalam tindak pidana korupsi ini adalah masuk ke dalam bentuk criminal

corporation yaitu korporasi sengaja dibentuk atau didirikan dan dikendalikan

untuk melakukan kejahatan. Oleh karena itu, seharusnya dilakukan

penegakan hukum terhadap PT Imaji Media untuk dipertanggungjawabkan

secara pidana.

Adanya keterbatasan dalam membebankan pertanggungjawaban

pidana atas tindak pidana korupsi dalam perkara Nomor

36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst menurut penulis dapat berakibat korporasi

justru semakin tidak tersentuh oleh hukum sehingga tidak mendapat sanksi

pidana. Padahal korporasi dalam hal ini PT Imaji Media telah terbukti

berperan dalam terjadinya tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan

videotron di Kementrian Koperasi dan UKM. Pelaku yang dipidana dalam

korupsi pekerjaan pengadaan videotron hanya pelaku individu yaitu Riefan

Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel sekaligus pemilik PT Imaji Media

dan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media yang

dipertanggungjawabkan secara pidana, sehingga korporasi terlindungi oleh

tindakan Direktur Utama korporasi yang dianggap bertindak sebagai pribadi.

Padahal secara konkret di persidangan telah terungkap bahwa Riefan Avrian

yang memanfaatkan terdakwa Hendra Saputra untuk bertindak selaku

Direktur Utama dengan mengatasnamakan PT Imaji Media.

141

Menurut penulis, dalam korupsi pekerjaan pengadaan videotron di

Kementrian Koperasi dan UKM, baik terhadap Riefan Avrian sebagai pemilik

PT Imaji Media dan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media

maupun PT Imaji Media sebagai korporasi dapat dilakukan penuntutan pidana

secara bersama-sama untuk dipertanggungjawabkan secara pidana.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa PT

Imaji Media sebagai korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara

pidana atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang yang

memiliki hubungan erat dengan korporasi yang dapat dipandang sebagai

korporasi itu sendiri dan tindakannya dilakukan berkaitan dengan korporasi.

Dalam korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan

UKM, penulis berpendapat bahwa secara fisik tindakan hukum PT Imaji

Media dalam pekerjaan pengadaan videotron memang dilakukan oleh

terdakwa Hendra Saputra, namun apabila mencermati fakta hukum

dipersidangan, terungkap bahwa seluruh tindakan Hendra Saputra selaku

Direktur Utama PT Imaji Media berada dibawah perintah dan dalam kendali

Riefan Avrian, hal ini diungkapkan oleh penulis berdasarkan fakta-fakta

hukum yang terungkap dipersidangan bahwa Hendra Saputra bukan

merupakan pelaku utama sebagai berikut:

a. Bahwa Hendra Saputra ditunjuk oleh Riefan Avrian untuk menempati

posisi sebagai Direktur Utama PT Imaji Media dan menandatangani akta

pendirian PT Imaji Media atas perintah Riefan Avrian;

b. Hendra Saputra merupakan seorang Office Boy (OB) yang identitasnya

digunakan untuk mendirikan PT Imaji Media yang nantinya perusahaan

tersebut diikutkan dalam tender pengadaan videotron;

c. Walaupun sebagai Direktur Utama PT Imaji Media gaji yang diterima

Hendra Saputra tetap sebesar Rp1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu

142

rupiah) setiap bulan dan tetap melaksanakan tugas sehari-hari sebagai

Office Boy (OB) di PT Rifuel;

d. Bahwa seluruh tindakan hukum yang dilakukan Hendra Saputra dalam

fungsi dan tugasnya sebagai Direktur Utama PT Imaji Media merupakan

perintah dan kendali Riefan Avrian, yaitu meliputi tindakan:

1) Penandatanganan surat dokumen penawaran PT Imaji Media;

2) Penandatanganan kuitansi uang muka 20 % Nomor 111/Kwt/MJ-

JKT/X/12;

3) Penandatanganan Surat Jaminan Uang Muka Nomor

PL11630208j.0027.043530 dengan penjamin PT Asuransi Mega

Pratama;

4) Penandatanganan Surat Jaminan Pelaksanaan Nomor PL

PL11630208j.0027.043530 dengan nilai sebesar Rp1.170.500.000,00

(satu miliar seratus tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah);

5) Pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur

Utama PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas Fatmawati dengan

nomor rekening: 0525-01-000159-30-6 untuk menampung

pembayaran hasil pekerjaan pengadaan videotron;

6) Penandatanganan dan pelaksanaan Kontrak atau Surat Perjanjian

Kerja Nomor 617/Kont.SM.3/X/2012 dengan Ir. Hasnawi Bachtiar

selaku Pejabat Pembuat Komitmen mengenai lingkup pekerjaan

pengadaan videotron;

7) Penandatanganan akad kredit senilai Rp7.089.000.000,00 (tujuh

miliar delapan puluh sembilan juta rupiah) selaku Direktur Utama

PT Imaji Media dengan Roro Moninggar, S.E., selaku Pimpinan

Cabang Pembantu BRI Duta Mas Fatmawati;

8) Penandatanganan surat permintaan pemenuhan pembayaran atas

nama Direktur PT Imaji Media untuk pekerjaan pengadaan videotron

143

dengan Nomor 225554A/019/110 sebesar Rp18.728.000.000,00

(delapan belas miliar tujuh ratus dua puluh delapan juta rupiah).

e. Pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron seluruhnya dilaksanakan

oleh Riefan Avrian (Direktur Utama PT Rifuel dimana Hendra Saputra

bekerja sebagai Office Boy) tanpa perjanjian kemitraan dan addendum

kontrak;

f. Seluruh pembayaran pengadaan videotron yang disetorkan ke rekening

atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media,

seluruh pengambilan pembayarannya dikuasakan kepada Riefan Avrian

berdasarkan surat kuasa mutlak yang dibuat oleh Riefan Avrian sendiri;

g. Bahwa setelah dimaulainya penyidikan Hendra Saputra diperintahkan

untuk melarikan diri ke Samarinda Kalimantan Timur atas perintah dan

biaya dari Riefan Avrian;

h. Penjualan PT Imaji Media dilakukan oleh Riefan Avrian tanpa

sepengetahuan Hendra Saputra;

i. Bahwa dalam hal ini dapat disimpulkan Direktur Utama PT Rifuel Riefan

Avrian telah memanfaatkan karyawannya yaitu Hendra Saputra untuk

merealisasikan keinginannya untuk mendapatkan proyek pengadaan

videotron yang dalam pelaksanaannya dilakukan berbagai penyimpangan

yang merugikan keuangan negara.

Menurut penulis, kedudukan Riefan Avrian yang memanfaatkan

Hendra Saputra dalam tindak pidana korupsi pengadaan videotron di

Kementrian Koperasi dan UKM yang dikaitkan dengan peran pelaku tindak

pidana dalam penyertaan, dapat dikategorikan ke dalam bentuk uitlokker,

yaitu orang yang menggerakan atau membujuk orang lain untuk melakukan

suatu tindak pidana. Istilah menggerakan dan membujuk dalam Pasal 55 ayat

(1) ke-1 KUHP dibatasi dalam hal memberikan atau menjanjikan sesuatu,

dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana

144

dan keterangan. Dalam hal ini, Riefan Avrian selaku atasan Hendra Saputra

di PT Rifuel telah memberikan tekanan kepada Hendra Saputra, terungkap

fakta hukum bahwa Hendra Saputra menerima untuk diangkat sebagai

Direktur Utama PT Imaji Media dan melakukan penandatangan dokumen-

dokumen penting terkait pengadaan videotron karena Hendra Saputra takut

kehilangan pekerjaannya sebagai Office Boy di PT Rifuel. Sehingga Hendra

Saputra sebagai orang yang dikendalikan dan dibujuk oleh Riefan Avrian

tetap dapat dihukum, karena Hendra Saputra sebenarnya mempunyai

kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan dan dikendalikan

oleh Riefan Avrian.

Oleh karena itu, penulis dalam hal ini menilai bahwa perbuatan Riefan

Avrian yang memerintahkan dan mengendalikan tindakan Hendra Saputra

adalah bertujuan memanfaatkan Hendra Saputra sebagai alat yang digunakan

untuk merealisasikan kehendak Riefan Avrian dalam pekerjaan pengadaan

videotron. Pada dasarnya Riefan Avrian merupakan pemilik PT Imaji Media

sehingga walaupun secara struktural nama Riefan Avrian tidak termasuk

dalam jajaran pengurus maupun komisaris PT Imaji Media, akan tetapi

berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan Riefan Avrian

merupakan pemilik PT Imaji Media, sehingga dapat dikatakan bahwa Riefan

Avrian merupakan bagian dari korporasi (PT Imaji Media) dan memiliki

hubungan erat dengan PT Imaji Media serta berkedudukan penting sebagai

penentu arah kebijakan PT Imaji Media.

Dalam tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di

Kementrian Koperasi dan UKM, terhadap Riefan Avrian telah dilakukan

penuntutan secara pidana dan telah dijatuhi pidana 6 (enam) tahun penjara

dan denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) subsider 3 (tiga)

bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selanjutnya terhadap terdakwa Hendra

145

Saputra dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst telah dijatuhi

pidana penjara selama 2 (dua) tahun penjara dan denda sebesar

Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsider 1(satu) bulan kurungan.

Pendapat penulis yang menyatakan bahwa dalam tindak pidana

korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM

seharusnya tidak hanya dilakukan penuntutan dan pembebanan

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku individunya saja, namun

terhadap PT Imaji Media sebenarnya dapat dilakukan penuntutan untuk

dipertanggungjawabkan secara pidana, hal ini sejalan dengan pendapat yang

disampaikan oleh Djoko Sarwoko sebagaiamana dikutip Edi Yunara yang

mengemukakan bahwa tindak pidana korporasi (corporate crime) pada

dasarnya adalah setiap perbuatan yang dilakukan pegawai korporasi pada

setiap tingkatan yang dapat mengakibatkan tanggung jawab pidana, baik

terhadap pegawai korporasi maupun korporasi atau keduanya secara bersama-

sama dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana (Edi Yunara,

2012:203). Mencermati pendapat yang disampaikan Djoko Sarwoko tersebut,

dalam tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian

Koperasi dan UKM dapat dilakukan penuntutan secara pidana terhadap

korporasi yaitu PT Imaji Media atas tindakan hukum Hendra Saputra selaku

Direktur Utama PT Imaji Media yang berada dibawah kendali Riefan Avrian

yang terungkap dipersidangan merupakan pemilik PT Imaji Media dan atasan

terdakwa Hendra Saputra di PT Rifuel, dan tindakan hukum tersebut

mengakibatkan tanggung jawab pidana maka baik terhadap Riefan Avrian

dan Hendra Saputra selaku pribadi serta PT Imaji Media dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana.

Dalam melakukan penuntutan tindak pidana korupsi pekerjaan

pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, seharusnya Jaksa

Penuntut Umum dapat melakukan terobosan hukum dengan menuntut PT

146

Imaji Media, dan tidak seperti menutup mata dengan hanya menuntut secara

pidana terhadap Riefan Avrian dan terdakwa Hendra Saputra selaku pribadi

atau individu yang dalam tindak pidana korupsi ini telah melakukan tindak

pidana korupsi melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hal ini terbutki karena Jaksa Penuntut Umum

pada perkara Nomor 36/Pid.Sus/2014/TPK/PN.Jkt.Pst dalam menguraikan

unsur “setiap orang” sebagai pelaku tindak pidana korupsi hanya menekankan

pelaku individu, yaitu terdakwa Hendra Saputra yang mampu

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Jaksa Penuntut

Umum tidak meminta pertanggungjawaban pidana kepada korporasi yaitu PT

Imaji Media yang telah terbukti dipersidangan bahwa pendiriannya oleh

Riefan Avrian memiliki maksud dan tujuan untuk melakukan kejahatan dalam

hal ini tindak pidana korupsi.

Menurut penulis, penempatan PT Imaji Media sebagai pelaku tindak

pidana korupsi dapat didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang sebenarnya memberikan

peluang bagi Jaksa Penuntut Umum untuk menghadapkan PT Imaji Media

sebagai terdakwa di muka pengadilan, Pasal 20 ayat (1) tersebut menyatakan

bahwa:

“dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama

korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap

korporasi dan atau pengurusnya”.

Mencermati rumusan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut dan

dihubungkan dengan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam

tindak pidana korupsi meliputi:

147

a. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang

bertanggung jawab secara pidana;

b. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang

bertanggungjawab secara pidana;dan

c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana, yang bertanggung jawab

secara pidana adalah korporasi dan pengurus korporasi.

Dalam sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang dapat

diterapkan dalam korupsi pengadaan videotron adalah bentuk ketiga yaitu

terhadap korporasi (PT Imaji Media) dan Hendra Saputra selaku Direktur

Utama PT Imaji Media serta Riefan Avrian selaku pemilik PT Imaji Media

dapat dilakukan penuntutan secara bersama-sama. Alasan penulis

menentukan bentuk ketiga sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang

diterapkan didasarkan pada pertimbangan bahwa pembebanan

pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya dapat dilakukan

dengan mengalihkan pertanggungjawaban perbuatan manusia menjadi

perbuatan korporasi dan atas segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh

manusia dalam menajalankan pengurusan korporasi, maka tidak seharusnya

hanya pengurus korporasi saja yang dimintai pertanggungjawaban secara

pidana melainkan juga terhadap korporasi dan orang yang memiliki hubungan

erat dengan korporasi secara bersama-sama dipertanggungjawabkan secara

pidana.

Selanjutnya mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana

terhadap PT Imaji Media dapat dilakukan dengan menerapkan teori

identifikasi dan teori aggregasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, teori identifikasi tercermin

dalam frase “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik

berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain” dan teori

148

aggregasi tercermin dalam frase “apabila tindak pidana tersebut

dilakukan...baik sendiri maupun bersama-sama”. Pertimbangan Majelis

Hakim dapat didasarkan pada penerapan teori identifikasi untuk

mempertanggungjawabkan PT Imaji Media secara pidana yang menentukan

bahwa korporasi bisa melakukan tindak pidana secara langsung melalui

orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi (garis bawah

oleh penulis), atau yang disebut sebagai controlling officer yang dapat

dipandang sebagai korporasi itu sendiri, sepanjang tindakan dilakukan

berkaitan dengan korporasi (Hasbullah F. Sjawie, 2015:39). Prinsip utama

teori identifikasi adalah mengidentifikasi seseorang untuk ditentukan sebagai

otak dan pikiran atau directing mind and will dari korporasi (Hasbullah F.

Sjawie, 2015:40-41). Menurut penulis, untuk menentukan directing mind dari

PT Imaji Media dapat ditentukan dengan mencermati fakta-fakta hukum yang

terungkap di persidangan sebagai berikut:

a. PT Imaji Media didirikan oleh Riefan Avrian yang merupakan Direktur

Utama PT Rifuel dengan menunjuk Office Boy (OB) di kantornya

bernama Hendra Saputra sebagai Direktur Utama PT Imaji Media,

dengan maksud dan tujuan untuk mengikuti dan memenangkan lelang

pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, yang

dalam pelaksanaannya dilakukan penyimpangan-penyimpangan oleh PT

Imaji Media sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara;

b. Seluruh tindakan hukum terdakwa Hendra Saputra dalam kapasitasnya

sebagai Direktur Utama PT Imaji Media mulai dari persiapan sampai

dengan pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron dengan

mengatasnamakan PT Imaji Media sebenarnya berada dibawah perintah

dan kendali oleh Riefan Avrian;

c. Seluruh pekerjaan pengadaan videotron dilimpahkan Hendra Saputra

tanpa adanya perjanjian kerjasama kemitraan atau addendum kontrak

149

untuk dikerjakan oleh Riefan Avrian yang kemudian memerintahkan

anak buahnya di PT Rifuel untuk mengerjakan pengadaan videotron;

d. Seluruh uang pembayaran pekerjaan pengadaan videotron di rekening

atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media

diambil dan dikuasai oleh Riefan Avrian melalui surat kuasa mutlak yang

diberikan Hendra Saputra atas perintah dan dibuat oleh Riefan Avrian.

Oleh karena itu untuk mencari dan mengidentifikasi siapa yang

menjadi drecting mind dari PT Imaji Media dengan mencermati fakta-fakta

hukum yang terungkap dipersidangan, penulis menyimpulkan bahwa

seseorang yang memiliki hubungan sangat erat dengan PT Imaji Media dan

tindakannya dilakukan berkaitan dengan PT Imaji Media yang dapat

diidentifikasi sebagai directing mind dari PT Imaji Media adalah Riefan

Avrian berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diuraikan oleh penulis.

Sehubungan dengan penentuan drecting mind dari PT Imaji Media

yang berdasarkan pada fakta hukum yang terungkap dipersidangan atas

tindakan-tindakan hukum yang dilakukan terdakwa Hendra Saputra yang

berada dibawah perintah dan kendali Riefan Avrian dengan

mengatasnamakan PT Imaji Media yang mengakibatkan timbulnya tanggung

jawab pidana, dengan mencermati fakta hukum yang terungkap dipersidangan

akan memudahkan teori identifikasi untuk menentukan siapa directing mind

dari korporasi yang tidak dapat dibantah lagi bahwa Riefan Avrian

merupakan directing mind dari PT Imaji Media. Maka perbautan dan

kesalahan Riefan Avrian dapat diidentifikasikan sebagai perbuatan dan

kesalahan PT Imaji Media, sehingga PT Imaji Media dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana.

Apabila merujuk pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM

yang menempatkan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa untuk

dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana korupsi yang

150

dilakukan PT Giri Jaladhi Wana berawal dari putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap terhadap Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT

Giri Jaladhi Wana yang dipidana berdasarkan Putusan Mahamah Agung

Republik Indonesia Nomor 936K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009, hal ini

akan mempermudah untuk membuktikan adanya kesalahan pada korporasi

yaitu PT Giri Jaladhi Wana dengan pengajuan di pengadilan terhadap pelaku

individu atau pribadi dan korporasinya dilakukan secara terpisah, yaitu

korporasinya diajukan ke hadapan pengadilan setelah pelaku individualnya

dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman. Merujuk kepada penerapan teori

identifikasi untuk mempertanggungjawabkan secara pidana terhadap

korporasi, teori identifikasi tidak mensyaratkan untuk diajukannya pelaku

individu terpisah dengan pengajuan korporasinya ke pengadilan (Hasbullah F.

Sjawie, 2015:202). Maka menurut penulis, pengajuan pelaku individu dan

korporasinya dapat dilakukan bersama-sama dengan menerapkan sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan teori identifikasi serta teori

aggregasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya dapat diterapkan pada perkara

Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst mengenai tindak pidana korupsi

pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM untuk

melakukan penuntutan pidana secara bersama-sama antara pelaku individu

yaitu Riefan Avrian selaku pemilik PT Imaji Media dan Hendra Saputra

selaku Direktur Utama PT Imaji Media dengan korporasinya yaitu PT Imaji

Media ke hadapan pengadilan. Apabila perkara itu diperiksa oleh Majelis

Hakim yang sama dan bisa memudahkan persidangan, sehingga diharapkan

151

putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim tidak bertentangan satu sama

lainnya merupakan kelebihan yang didapat apabila perkaranya diajukan

dalam tiga berkas secara bersamaan (Hasbullah F. Sjawie, 2015:202).

Terkait dengan pertimbangan Majelis Hakim yang dapat didasarkan

pada penerapan teori aggregasi untuk mempertanggungjawabkan secara

pidana PT Imaji Media terlebih dahulu harus diketahui bahwa prinsip utama

teori ini berada pada pengumpulan atau penjumlahan perbuatan atau

kesalahan dari orang-orang yang secara relevan berada di lingkungan

korporasi atau merupakan bagian dari korporasi itu dianggap sebagai

perbuatan dan kesalahan satu orang saja, kumpulan perbuatan dan kesalahan

manusia tersebut kemudian diatributkan kepada korporasi, maka korporasi

dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (Muladi dan Dwidja Priyatno,

2010:236). Menyangkut tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan

videotron yaitu tindak pidana korupsi tersebut dilakukan secara bersama-

sama Riefan Avrian dan Hendra Saputra maka perbuatan dan kesalahan

keduanya diatributkan sebagai perbuatan dan kesalahan PT Imaji Media, hal

ini dikarenakan Riefan Avrian dan Hendra Saputra keduanya adalah orang-

orang yang secara relevan berada dilingkungan PT Imaji Media dan

merupakan bagian dari PT Imaji Media yaitu Riefan Avrian terbukti sebagai

pemilik PT Imaji Media dan Hendra Saputra yang ditunjuk oleh Riefan

Avrian berkedudukan sebagai Direktur Utama PT Imaji Media.

Menurut penulis, unsur actus reus atau perbuatan dan unsur mens rea

atau kesalahan dalam teori aggregasi dapat dikonstruksikan dari tingkah laku

dan pengetahuan dari Riefan Avrian dan Hendra Saputra. Dengan mencermati

fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa pendirian PT Imaji

Media dan penunjukan Hendra Saputra sebagai Direktur Utama PT Imaji

Media oleh Riefan Avrian memiliki maksud dan tujuan untuk mengikuti dan

memenangkan lelang pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi

152

dan UKM. Setelah PT Imaji Media ditetapkan sebagai pemenang lelang,

pekerjaan seluruhnya dikerjakan oleh Riefan Avrian tanpa perjanjian

kerjasama kemitraan dan addendum kontrak, yang dalam pengerjaannya

dilakukan penyimpangan yaitu terdapat pekerjaan yang tidak dikerjakan dan

pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak mengakibatkan negara

mengalami kerugian, dalam hal ini perbuatan tersebut diketahui dan

dikehendaki oleh Riefan Avrian dan Hendra Saputra. Selanjutnya seluruh

tindakan hukum Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media

mulai dari persiapan sampai dengan pelaksanaan pekerjaan pengadaan

videotron berada dibawah perintah dan kendali Riefan Avrian, tindakan

tersebut meliputi:

a. Penandatanganan Akta Pendirian PT Imaji Media;

b. Penandatanganan surat dokumen penawaran PT Imaji Media;

c. Penandatanganan kuitansi uang muka 20 % Nomor 111/Kwt/MJ-

JKT/X/12;

d. Penandatanganan Surat Jaminan Uang Muka Nomor

PL11630208j.0027.043530 dengan penjamin PT Asuransi Mega

Pratama;

e. Penandatanganan Surat Jaminan Pelaksanaan Nomor PL

PL11630208j.0027.043530 dengan nilai sebesar Rp1.170.500.000,00

(satu miliar seratus tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah);

f. Pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama

PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas Fatmawati dengan nomor

rekening: 0525-01-000159-30-6 untuk menampung pembayaran hasil

pekerjaan pengadaan videotron;

g. Penandatanganan dan pelaksanaan Kontrak atau Surat Perjanjian Kerja

Nomor 617/Kont.SM.3/X/2012 dengan Ir. Hasnawi Bachtiar selaku

153

Pejabat Pembuat Komitmen mengenai lingkup pekerjaan pengadaan

videotron;

h. Penandatanganan akad kredit senilai Rp7.089.000.000,00 (tujuh miliar

delapan puluh sembilan juta rupiah) selaku Direktur Utama PT Imaji

Media dengan Roro Moninggar, S.E., selaku Pimpinan Cabang Pembantu

BRI Duta Mas Fatmawati;

i. Pelimpahan pengerjaan pengadaan videotron kepada Riefan Avrian tanpa

perjanjian kerjasama kemitraan dan addendum kontrak;

j. Penandatanganan surat permintaan pemenuhan pembayaran atas nama

Direktur Utama PT Imaji Media untuk pekerjaan pengadaan videotron

dengan Nomor 225554A/019/110 sebesar Rp18.728.000.000,00 (delapan

belas miliar tujuh ratus dua puluh delapan juta rupiah);

k. Pemberian surat kuasa mutlak kepada Riefan Avrian untuk mengambil

semua pembayaran pekerjaan pengadaan videotron dari rekening atas

nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media.

Bahwa semua tindakan Hendra Saputra yang berdasarkan perintah dan

kendali Riefan Avrian dilakukan oleh Hendra Saputra secara sadar dan

Hendra Saputra membenarkan telah melakukan tindakan-tindakan hukum

yang berkaitan dengan pekerjaan pengadaan videotron tersebut. Oleh karena

itu, penulis berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan hukum menyimpang

yang dilakukan oleh Riefan Avrian dan Hendra Saputra memang diketahui

dan dikehendaki oleh keduanya, maka perbuatan dan kesalahan keduanya

diatributkan kepada PT Imaji Media, sehingga PT Imaji Media dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana.

Sehubungan untuk dapat dipertanggungjawabkannya secara pidana

terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan

pemidanaan terhadap korporasi dengan mendasarkan pada Putusan Nomor

812/Pid.Sus/2010/PN.BJM, disamping menerapkan teori identifikasi untuk

154

mempertanggungjawabkan PT Giri Jaladhi Wana secara pidana dalam

putusan tersebut juga dikuatkan oleh pendapat ahli Prof. Dr. Sutan Remy

Sjahdeini yang disampaikan dipersidangan yang menyatakan bahwa untuk

dapat suatu korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan

pengurus korporasi harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Apabila syarat-

syarat yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini dijadikan

pertimbangan Majelis Hakim untuk dapat mempertanggungjawabkan secara

pidana PT Imaji Media atas perbuatan Riefan Avrian sebagai pemilik PT

Imaji Media maupun Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media

diterapkan dalam perkara Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst dan

dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan, maka

dapat penulis uraikan sebagai berikut:

a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun

omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi maupun

di dalam struktur organinasi korporasi memiliki posisi sebagai directing

mind dari korporasi;

Menurut penulis dalam hal tindak pidana dilakukan atau

diperintahkan oleh personel korporasi, menunjuk bahwa tindak pidana itu

dilakukan oleh directing mind dari korporasi. Dalam hal korupsi

pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM,

sehubungan dengan penentuan directing mind dari PT Imaji Media yang

didasarkan pada penerapan teori identifikasi yang dihubungkan dengan

fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa tindakan hukum

Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media berkaitan dengan

pengadaan videotron berada dibawah perintah dan kendali Riefan Avrian,

tindakan-tindakan tersebut meliputi sebagai berikut:

1) Penandatanganan Akta Pendirian PT Imaji Media;

2) Penandatanganan surat dokumen penawaran PT Imaji Media;

155

3) Penandatanganan kuitansi uang muka 20 % Nomor 111/Kwt/MJ-

JKT/X/12;

4) Penandatanganan Surat Jaminan Uang Muka Nomor

PL11630208j.0027.043530 dengan penjamin PT Asuransi Mega

Pratama;

5) Penandatanganan Surat Jaminan Pelaksanaan Nomor PL

PL11630208j.0027.043530 dengan nilai sebesar Rp1.170.500.000,00

(satu miliar seratus tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah);

6) Pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur

Utama PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas Fatmawati dengan

nomor rekening: 0525-01-000159-30-6 untuk menampung

pembayaran hasil pekerjaan pengadaan videotron;

7) Penandatanganan dan pelaksanaan Kontrak atau Surat Perjanjian

Kerja Nomor 617/Kont.SM.3/X/2012 dengan Ir. Hasnawi Bachtiar

selaku Pejabat Pembuat Komitmen mengenai lingkup pekerjaan

pengadaan videotron;

8) Penandatanganan akad kredit senilai Rp7.089.000.000,00 (tujuh

miliar delapan puluh sembilan juta rupiah) selaku Direktur Utama

PT Imaji Media dengan Roro Moninggar, S.E., selaku Pimpinan

Cabang Pembantu BRI Duta Mas Fatmawati;

9) Pelimpahan pengerjaan pengadaan videotron kepada Riefan Avrian

tanpa perjanjian kerjasama kemitraan dan addendum kontrak;

10) Penandatanganan surat permintaan pemenuhan pembayaran atas

nama Direktur Utama PT Imaji Media untuk pekerjaan pengadaan

videotron dengan Nomor 225554A/019/110 sebesar

Rp18.728.000.000,00 (delapan belas miliar tujuh ratus dua puluh

delapan juta rupiah);

156

11) Pemberian surat kuasa mutlak kepada Riefan Avrian untuk

mengambil semua pembayaran pekerjaan pengadaan videotron dari

rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji

Media.

Maka berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diuraikan oleh

penulis diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa PT Imaji Media dapat

melakukan tindak pidana dan dipertanggungjawabkan secara pidana

melalui Riefan Avrian yang memiliki hubungan erat dengan PT Imaji

Media yaitu sebagai pemilik PT Imaji Media dan yang mengendalikan

serta memerintahkan seluruh tindakan Hendra Saputra selaku Direktur

Utama PT Imaji Media, dan perbuatan Riefan Avrian dilakukan berkaitan

dengan maksud serta tujuan didirikannya PT Imaji Media untuk

mendapatkan lelang pengadaan videotron, dalam hal ini Riefan Avrian

dapat dipandang sebagai PT Imaji Media atau directing mind dari PT

Imaji Media, maka perbuatan dan kesalahan Riefan Avrian dapat

diidentifikasikan sebagai perbuatan dan kesalahan PT Imaji Media, oleh

karenanya PT Imaji Media dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

b. Tindak Pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan

korporasi;

Penulis dalam hal ini mendasarkan pendapatnya dari penentuan

directing mind suatu korporasi dalam teori identifikasi, dimana perbuatan

pidana yang dilakukan oleh directing mind suatu korporasi

mengakibatkan dimintakannya pertanggungjawaban pidana terhadap

korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi dan sepanjang

masih dalam ruang lingkup usaha korporasi.

Tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di

Kementrian Koperasi dan UKM, terkait dengan PT Imaji Media sebagai

korporasi pemenang lelang, terungkap fakta hukum di persidangan

157

berdasarkan keterangan Riefan Avrian yang merupakan Direktur Utama

PT Rifuel sekaligus pemilik PT Imaji Media, dengan menunjuk Hendra

Saputra yang sebenarnya berprofesi sebagai Office Boy (OB) di PT

Rifuel untuk menjadi Direktur Utama PT Imaji Media memiliki maksud

dan tujuan mendirikan PT Imaji Media untuk mengikuti lelang pekerjaan

pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM dan

memenangkan lelang tersebut.

Kemudian untuk mengetahui maksud dan tujuan suatu korporasi

sebenarnya dapat diketahui dengan melihat anggaran dasar korporasi,

penulis dalam perkara ini tidak menemukan anggaran dasar dari PT Imaji

Media untuk mengetahui maksud dan tujuan PT Imaji Media berdasarkan

bidang usahanya yang tercantum dalam anggaran dasar. Menurut penulis

maksud dan tujuan PT Imaji Media dapat diketahui dari maksud dan

tujuan didirikannya PT Imaji Media berdasarkan fakta hukum yang

terungkap di persidangan yaitu untuk mengikuti dan memenangkan

lelang pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan

UKM, sehingga secara tidak langsung dapat diketahui bahwa PT Imaji

Media bergerak di bidang usaha pengadaan barang dan atau jasa. Maka

Surat Perjanjian Kerja Nomor 617/Kont.SM.3/X/2012 tentang lingkup

pekerjaan pengadaan videotron adalah dalam ruang lingkup bidang usaha

PT Imaji Media.

c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah

dalam rangka tugasnya dalam korporasi;

Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dibebankan kepada

korporasi apabila pelaku yang melakukan perbuatan dalam rangka

tugasnya dalam korporasi. Berdasarkan penjelasan Pasal 20 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

158

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan

bahwa:

“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak

pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja

maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan

korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”.

Berdasarkan rumusan Pasal 20 ayat (2) tersebut diatas diketahui

bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak

pidana dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun

hubungan lain, memperhatikan frase berdasarkan hubungan kerja

mencerminkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh pengurus

korporasi, sedangkan berdasarkan hubungan lain adalah mencerminkan

orang-orang yang memiliki hubungan lain dengan korporasi selain

hubungan kerja, yaitu seperti halnya Riefan Avrian yang berdasarkan

fakta hukum yang terungkap di persidangan terbukti sebagai pemilik PT

Imaji Media, walaupun namanya tidak tercantum dalam anggaran dasar

PT Imaji Media sebagai pengurus maupun komisaris PT Imaji Media,

akan tetapi kedudukan Riefan Avrian sebagai pemilik PT Imaji Media

sangat menentukan arah kebijakan PT Imaji Media dengan

memanfaatkan Hendra Saputra yang ditunjuk oleh Riefan Avrian sebagai

Direktur Utama PT Imaji Media, sehingga seluruh tindakan hukum

Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media berkaitan dengan

proyek pengadaan videotron berada dibawah perintah dan kendali Riefan

Avrian.

Oleh karena itu, kedudukan Riefan Avrian sebagai pemilik PT

Imaji Media berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan,

Riefan Avrian dapat memerintahkan dan mengendalikan seluruh tindakan

hukum Hendra Saputra dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai

Direktur Utama PT Imaji Media berkaitan dengan proyek pengadaan

videotron di Kementrian Koperasi dan UKM.

159

d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat

bagi korporasi;

Sehubungan dengan kriteria adanya pertanggungjawaban pidana

korporasi adalah perbuatan yang dilakukan oleh directing mind dari

korporasi dilakukan untuk kepentingan korporasi. Kepentingan korporasi

dalam hal ini dapat berupa manfaat atau keuntungan yang diperoleh

korporasi dari tindak pidana yang dilakukan oleh directing mind dari

korporasi. Dalam hal ini, pelaku fisik yang melakukan tindak pidana juga

dapat memperoleh keuntungan disamping adanya manfaat yang diperoleh

korporasi, dalam konteks ini tetap saja korporasi yang bersangkutan

harus bertanggung jawab secara pidana. Dapat dikatakan bahwa tindak

pidana yang dilakukan directing mind dari korporasi untuk kepentingan

korporasi, walaupun directing mind dari korporasi juga memperoleh

keuntungan pribadi, dalam hal ini korporasi tetap

dipertanggungjawabkan secara pidana.

Tindak Pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di

Kementrian Koperasi dan UKM, pada unsur “memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi” pada Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,

Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa perbuatan

melawan hukum yang dilakukan terdakwa Hendra Saputra telah terbukti

memperkaya orang lain dan korporasi yaitu Riefan Avrian dan PT Imaji

Media. Disamping itu, atas perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan

Hendra Saputra atas perintah dan kendali Riefan Avrian berkaitan dengan

proyek pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, Hendra

Saputra telah menerima bonus sebesar Rp19.000.000,00 (sembilan belas

juta rupiah) dari Riefan Avrian. Keuntungan yang diperoleh PT Imaji

Media dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa Hendra

160

Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media atas perintah dan kendali

Riefan Avrian, yaitu terbukti dari adanya kerugian yang dialami negara

atas pembayaran pekerjaan pengadaan videotron terhadap adanya

pekerjaan yang tidak dikerjakan dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan

spesifikasi dalam kontrak, pembayaran tersebut mengalir pada PT Imaji

Media. Oleh karena itu, dengan keuntungan yang diterima oleh PT Imaji

Media, Riefan Avrian dan Hendra Saputra terkait dengan tindak pidana

korupsi pengadaan videotron, maka terhadap PT Imaji Media dalam hal

ini tetap dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan

pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

Dalam doktrin hukum pidana adanya alasan pembenar berujung

pada pembenaran atas tindak pidana yang bersifat melawan hukum,

selanjutnya adanya alasan pemaaf berdampak pada pemaafan pelaku

tindak pidana sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan

hukum (Mahrus Ali, 2013:160). Dengan demikian tidak adanya alasan

pembenar dan alasan pemaaf pada directing mind dari korporasi dalam

tindak pidana korupsi maka korporasi dapat dipertanggungjawabkan

secara pidana.

Mengenai tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron

di Kementrian Koperasi dan UKM, menurut penulis dengan penerapan

teori identifikasi yang menentukan Riefan Avrian sebagai directing mind

dari PT Imaji Media, maka tidak adanya alasan pembenar dan alasan

pemaaf pada diri Riefan Avrian dapat diidentifikasikan sebagai tidak

adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf pada PT Imaji Media, oleh

karenanya PT Imaji Media dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Disamping itu pada diri Riefan Avrian telah dijatuhi pidana penjara

selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus

161

juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan, maka dijatuhkannya pidana

terhadap Riefan Avrian membuktikan bahwa pada diri Riefan Avrian

yang merupakan directing mind dari PT Imaji Media tidak terdapat

alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Bahwa berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan oleh penulis,

untuk dapat mempertanggungjawabkan secara pidana korporasi dalam hal ini

PT Imaji Media yang terbukti bahwa pendiriannya memiliki maksud dan

tujuan serta dikendalikan untuk digunakan melakukan kejahatan, maka

penerapan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi tepat

digunakan untuk menjerat hukum atas tindakan PT Imaji Media. Penempatan

PT Imaji Media sebagai terdakwa dapat didasarkan pada Pasal 20 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan

bahwa:

“dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama

korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap

korporasi dan atau pengurusnya”.

Penempatan korporasi (PT Imaji Media) sebagai terdakwa lebih tepat

dibandingkan hanya menuntut pelaku individualnya saja yaitu Riefan Avrian

dan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media. Selanjutnya,

adanya suatu pertanggungjawaban pidana korporasi harus didasarkan pada

penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi. Bahwa Pasal 20

ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

menganut teori identifikasi dan teori aggregasi, terkait dengan teori

identifikasi untuk menentukan bahwa perbuatan dan kesalahan seseorang

dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan korporasi haruslah berasal dari

162

perbuatan dan kesalahan directing mind dari korporasi untuk dapat

mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana. Bahwa berdasarkan

penentuan yang menjadi otak dan pikiran atau directing mind dari PT Imaji

Media, penulis dengan mendasarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap

di persidangan menentukan bahwa Riefan Avrian merupakan directing mind

dari PT Imaji Media, sehingga perbuatan dan kesahalan Riefan Avrian

merupakan perbuatan dan kesalahan PT Imaji Media yang dapat

dipertanggungjawabkan terhadap PT Imaji Media.

Berdasarkan penerapan teori aggregasi yang menentukan bahwa

perbuatan dan kesalahan orang-orang yang relevan berada dilingkungan

korporasi dikumpulkan atau dijumlahkan sebagai perbuatan dan kesalahan

satu orang saja dan diatributkan kepada korporasi. Dalam korupsi pekerjaan

pengadaan videotron, perbuatan dan kesalahan Riefan Avrian dan Hendra

Saputra sebagai orang yang memiliki hubungan erat dengan PT Imaji Media

maka perbuatan dan kesalahan keduanya dapat dikumpulkan atau

dikombinasikan untuk diatributkan kepada PT Imaji Media, sehingga PT

Imaji Media dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Dengan demikian menurut penulis, prinsip pertanggungjawaban

pidana korporasi yang diterapkan sebagai dasar pertimbangan Majelis Hakim

dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM untuk

mempertanggungjawabkan secara pidana PT Giri Jaladhi Wana dalam tindak

pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota

Banjarmasin yaitu penerapan teori identifikasi yang dianut dalam Pasal 20

ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Majelis

Hakim yang mengadili Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst

seharusnya dapat mendasarkan pertimbangan hukumnya untuk

mempertanggungjawabkan PT Imaji Media dalam tindak pidana korupsi

163

pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM juga

dengan menerapkan teori identifikasi.

Menurut penulis, sebenarnya aparat penegak hukum dalam hal ini

Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan dan Majelis Hakim

dalam memberikan pertimbangan hukumnya pada saat menangani tindak

pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan

UKM dapat menerapkan prinsip-prinsip pertanggungjawaban pidana

korporasi dalam teori identifikasi dan teori aggregasi yang dianut Pasal 20

ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

dihubungkan dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang mengatur mengenai sistem pertanggungjawaban pidana

korporasi dalam tindak pidana korupsi serta mendasarkan pada Putusan

Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM terkait pemidanaan terhadap korporasi

untuk menjerat hukum dan mempertanggungjawabkan PT Imaji Media secara

pidana.