Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Posisi Kasus Putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia selanjutnya disebut Komisi
yang memeriksa Perkara Nomor 04/KPPU-I/2016 tentang dugaan pelanggaran Pasal 5 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat dalam Industri Sepeda Motor Jenis Skuter Matik 110-125 CC di Indonesia.
Adapun Putusan Perkara KPPU ini bermula dari dugaan pelanggaran Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang dilakukan oleh :
1. Terlapor I, PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing yang beralamat kantor di Jalan
Dr. KRT. Radjiman Widyodiningrat Jakarta 13920;
2. Terlapor II, PT Astra Honda Motor yang beralamat di Jalan Laksda Yos Sudarso Sunter I
Jakarta 14350.78
Berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat bukti awal dugaan pelanggaran terhadap
Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam industri sepeda motor jenis
skuter matik 110-125 CC di Indonesia. Laporan tersebut berisi dugaan bahwa PT Yamaha
Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor telah melakukan perjanjian
penetapan harga (price fixing) antara sesama produsen sepeda motor.
Berdasarkan laporan hasil penelitian tersebut, Komisi merekomendasikan untuk
dilakukan penyelidikan. Komisi telah melakukan penyelidikan terhadap laporan hasil
penelitian, dan memperoleh bukti yang cukup jelas dan lengkap dugaan pelanggaran yang
dituangkan dalam laporan hasil penyelidikan. Komisi melakukan pemberkasan laporan hasil
78 Putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016, h. 1.
penyelidikan tersebut dinilai layak untuk dilakukan gelar laporan dan disusun dalam bentuk
rancangan laporan dugaan pelanggaran. Komisi menyetujui rancangan laporan dugaan
pelanggaran tersebut menjadi laporan dugaan pelanggaran.
Selanjutnya, Ketua Komisi menerbitkan Penetapan Komisi Nomor
26/KPPU/Pen/VI/2016 tanggal 28 Juni 2016 tentang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara
Nomor 04/KPPU-I/2016. Bahwa berdasarkan Penetapan Pemeriksaan Pendahuluan tersebut,
Ketua Komisi menetapkan pembentukan Majelis Komisi melalui Keputusan Komisi Nomor
43/KPPU/Kep.3/VII/2016 tanggal 12 Juli 2016 tentang Penugasan Anggota Komisi sebagai
Majelis Komisi pada Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 04/KPPU-I/2016.
Ketua Majelis Komisi Perkara Nomor 04/KPPU-I/2016 menerbitkan Surat Keputusan
Majelis Komisi Nomor 36/KPPU/Pen/VII/2016 tentang Jangka Waktu Pemeriksaan
Pendahuluan Perkara, yaitu dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal 19 Juli 2016 sampai dengan tanggal 30 Agustus 2016. Komisi telah
menyampaikan Pemberitahuan Pemeriksaan Pendahuluan, Petikan Penetapan Pemeriksaan
Pendahuluan, Petikan Surat Keputusan Majelis Komisi tentang Jangka Waktu Pemeriksaan
Pendahuluan, dan Surat Panggilan Sidang Majelis Komisi I kepada para Terlapor.
Pada tanggal 19 Juli 2016, Komisi melaksanakan Sidang Majelis Komisi I dengan agenda
Pembacaan dan Penyerahan Salinan Laporan Dugaan Pelanggaran oleh investigator kepada
terlapor. Sidang tersebut dihadiri oleh Investigator, dan Terlapor I, sementara Terlapor II tidak
hadir dalam sidang tersebut.
Pada tanggal 26 Juli 2016, Majelis Komisi melaksanakan Sidang Majelis Komisi II
dengan agenda Penyerahan Tanggapan oleh para Terlapor terhadap Laporan Dugaan
Pelanggaran disertai dengan pengajuan alat bukti berupa nama saksi dan atau nama ahli dan
atau surat dan/atau dokumen yang mendukung, namun seluruh Terlapor meminta penundaan
untuk memberikan tanggapan. Sidang tersebut dihadiri oleh Investigator, Terlapor I dan
Terlapor II. Komisi menyetujui permohonan para Terlapor untuk menyerahkan tanggapan
diluar sidang terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran pada tanggal 28 Juli 2016.
Berdasarkan pertimbangan terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan, Rapat
Komisi memutuskan untuk dilakukan Pemeriksaan Lanjutan terhadap Perkara Nomor
04/KPPU-I/2016. Berdasarkan Keputusan Rapat Komisi, selanjutnya Komisi menerbitkan
Penetapan Komisi Nomor 35/KPPU/Pen/VIII/2016 tanggal 30 Agustus 2016 tentang
Pemeriksaan Lanjutan Perkara Nomor 04/KPPU-I/2016. Untuk melaksanakan Pemeriksaan
Lanjutan, Komisi menerbitkan Keputusan Komisi Nomor 55/KPPU/Kep.3/VIII/2016 tanggal
30 Agustus 2016 tentang Penugasan Anggota Komisi.
Setelah melakukan Pemeriksaan Lanjutan, Komisi menilai perlu dilakukan Perpanjangan
Pemeriksaan Lanjutan. Maka Komisi menerbitkan Surat Keputusan Nomor
49/KMK/Kep/XI/2016 tentang Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan, dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal 24 November 2016 sampai dengan tanggal 5
Januari 2017. Dalam Pemeriksaan Lanjutan tersebut, Komisi menerbitkan Surat Penyesuaian
Jangka Waktu yang semula sampai dengan tanggal 5 Januari 2017 menjadi sampai dengan
tanggal 9 Januari 2017. Komisi menetapkan pembentukan Majelis Komisi melalui Keputusan
Komisi Nomor 69/KPPU/Kep.3/XI/2016 tanggal 22 November 2016 tentang Penugasan
Anggota Komisi sebagai Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan.
Pada tanggal 9 Januari 2017 Komisi melaksanakan sidang dengan agenda Penyerahan
Kesimpulan Hasil Persidangan yang diajukan baik dari pihak Investigator maupun pihak
Terlapor.
Setelah mempertimbangkan Laporan Dugaan Pelanggaran, tanggapan masing-masing
Terlapor terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran, keterangan para Saksi, keterangan para Ahli,
keterangan para Terlapor, surat-surat dan/atau dokumen, Kesimpulan Persidangan yang
disampaikan baik oleh Investigator maupun masing-masing Terlapor, Majelis Komisi menilai,
menganalisis, menyimpulkan dan memutuskan perkara berdasarkan alat bukti yang cukup
tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 yang dilakukan oleh para Terlapor dalam Perkara Nomor 04/KPPU-I/2016. Dalam
melakukan penilaian dan analisis, Komisi menguraikan dalam beberapa bagian, yaitu Identitas
Para Terlapor, Dugaan Pelanggaran, Aspek Hukum Formiil, Industri Sepeda Motor Skutik,
Pasar Bersangkutan, Perilaku Terlapor, Penetapan Harga, Dampak, dan Pemenuhan Unsur
Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Menimbang bahwa dalam mengenakan sanksi denda bagi para Terlapor, Majelis Komisi
memperhitungkan hal-hal sebagai berikut79 :
1. Bahwa menurut Pedoman Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (selanjutnya
disebut “Pedoman Pasal 47”) tentang Tindakan Administratif, denda merupakan usaha
untuk mengambil keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang dihasilkan dari
tindakan anti persaingan. Selain itu denda juga ditujukan untuk menjerakan pelaku usaha
agar tidak melakukan tindakan serupa atau ditiru oleh calon pelanggar lainnya;
2. Bahwa berdasarkan Pasal 36 Huruf 1 jo. Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
3. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 47 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif berupa
pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);
79 Putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016, h. 416-417.
4. Bahwa berdasarkan Pedoman Pasal 47, Majelis Komisi menentukan besaran denda dengan
menempuh dua langkah, yaitu pertama, penentuan besaran nilai dasar denda dan kedua,
penyesuaian besaran nilai dasar dengan menambahkan dan/atau mengurangi besaran nilai
dasar tersebut;
5. Bahwa dalam menentukan besaran denda untuk masing-masing Terlapor, Majelis Komisi
menempuh tiga langkah. Pertama, penentuan besaran nilai dasar denda. Kedua, penentuan
proporsi dari nilai dasar denda untuk masing-masing Terlapor. Ketiga, penyesuaian
besaran denda dengan mengurangi dan/atau menambahkannya berdasarkan pertimbangan
hal-hal yang meringankan dan/atau memberatkan;
6. Bahwa Majelis Komisi memberikan penambahan denda kepada Terlapor I sebesar 50%
(lima puluh persen) dari besaran proporsi denda karena Terlapor I dalam proses
persidangan ini telah memberikan data yang dimanipulasi;
7. Bahwa Majelis Komisi memberikan pengurangan denda kepada Terlapor II sebesar 10%
(sepuluh persen) dari besaran proporsi denda karena Terlapor II yang dalam proses
persidangan ini telah kooperatif dalam memberikan data;
Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta, analisis dan kesimpulan di atas, serta dengan
mengingat Pasal 43 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Majelis Komisi
memutuskan80 :
1. Menyatakan bahwa Terlapor I dan Terlapor II terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Menghukum Terlapor I denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah) dan disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di
bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan usaha melalui bank
80 Putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016, h. 417-418.
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
Persaingan Usaha);
3. Menghukum Terlapor II denda sebesar Rp. 22.500.000.000,00 (dua puluh dua miliar lima
ratus juta rupiah) dan disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha
melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
4. Memerintahkan Terlapor I dan Terlapor II untuk melakukan pembayaran denda,
melaporkan dan menyerahkan bukti pembayaran denda ke KPPU;
B. Penalaran Hukum Putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016
Penalaran hukum (legal reasoning) adalah kegiatan berpikir problematis tersistematis
(gesystematiseerd probleemdenken) dari subyek hukum (manusia) sebagai makhluk individu
dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Penalaran hukum dapat didefinisikan sebagai
kegiatan berpikir yang bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang multiaspek
(multidimensional dan multifaset).81
1. Alasan KPPU menerima pemeriksaan awal
Setelah membaca laporan dugaan pelanggaran, membaca tanggapan para terlapor
terhadap laporan dugaan pelanggaran, mendengar keterangan para saksi, keterangan para
ahli dan keterangan para terlapor, membaca surat-surat dan dokumen-dokumen dalam
perkara ini, serta membaca kesimpulan hasil persidangan dari investigator dan para
terlapor.
81 Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks KeIndonesiaan, (Disertasi, Universitas Katolik
Parahyangan), 2004, h. 486.
Maka Komisi melakukan penelitian dan laporan hasil penelitian tersebut terdapat
bukti awal dugaan pelanggaran Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dalam industri sepeda motor jenis skuter matik 110 – 125 CC di Indonesia. Berdasarkan
laporan tersebut Komisi melakukan penyelidikan terhadap laporan hasil penelitian, dan
memperoleh bukti yang cukup, jelas, dan lengkap mengenai dugaan pelanggaran.
Komisi melakukan pemberkasan, karena laporan hasil penyelidikan dinilai layak
untuk dilakukan gelar laporan dan disusun dalam bentuk rancangan laporan dugaan
pelanggaran.
2. Pemenuhan Unsur Pasal
Menimbang bahwa dugaan pelanggaran dalam perkara ini adalah Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang isinya, “pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang
dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan
yang sama.”
Uraian pokok unsur-unsur Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
sebagai berikut :
a) Unsur pelaku usaha
Pelaku usaha yang dimaksud dalam perkara ini adalah Terlapor I (PT Yamaha
Indonesia Motor Manufacturing) dan Terlapor II (PT Astra Honda Motor). Bahwa
para terlapor adalah produsen kendaraan bermotor roda dua yang melakukan kegiatan
usahanya di Indonesia, dan keduanya tergabung atau menjadi anggota dari AISI.
b) Unsur perjanjian
Perjanjian yang dimaksud adalah a quo bukan perjanjian yang dibuat dalam suatu
usaha patungan atau suatu perjanjian berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Bahwa terdapat pertemuan antara Presiden Direktur para terlapor dan menurut saksi
Yutaka Terada, pertemuan tersebut membahas mengenai adanya pembicaraan
kesepakatan bahwa PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing akan mengikuti
harga jual motor PT Astra Honda Motor.
Bahwa hasil pertemuan tersebut ditindaklanjuti dengan adanya perintah melalui
surat elektronik yang pada akhirnya terdapat penyesuaian harga jual produk PT
Yamaha Indonesia Motor Manufacturing mengikuti harga jual produk PT Astra
Honda Motor.
Bahwa ahli menyatakan, Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
ini tidak bersifat limitatif dan bisa diartikan secara luas jika dikaitkan dengan Pasal
1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang dimaksud dengan
kesepakatan tidak tertulis atau dilakukan secara diam-diam.
c) Unsur pelaku usaha pesaing
Bahwa berdasarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4
Tahun 2011 tentang Penetapan Harga, pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain
yang berada didalam satu pasar bersangkutan. Bahwa PT Yamaha Indonesia Motor
Manufacturing dan PT Astra Honda Motor merupakan produsen motor skuter matik
dalam industri motor di Indonesia.
d) Unsur menetapkan harga
Harga yang ditetapkan dalam perkara a quo adalah harga jual sepeda motor jenis
skuter matik 110 – 125 CC produksi dari PT Yamaha Indonesia Motor Manufactuing
dan PT Astra Honda Motor. Penetapan harga dapat dibuktikan dengan adanya
pergerakan harga jual sepeda motor jenis skuter matik 110 – 125 CC sesuai dengan
kesepakatan melalui surat elektronik. Bahwa perjanjian penetapan harga itu dapat
dilakukan secara tertulis atau tidak tertulis (diam-diam).
e) Unsur barang
Barang menurut Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
“barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.” Bahwa dari penjelasan tersebut
sepeda motor jenis skuter matik 110 – 125 CC termasuk benda bergerak yang
berwujud yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen atau pelaku usaha.
f) Unsur konsumen
Menurut Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, “konsumen
adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan
diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.” Bahwa sepeda motor jenis skuter
matik 110 – 125 CC di pasar bersangkutan digunakan oleh pembeli untuk kepentingan
pribadi ataupun untuk orang lain atau perusahaan.
Dengan demikian keseluruhan unsur Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
terpenuhi.
3. Pertimbangan Majelis Komisi
Setelah mempertimbangkan laporan dugaan pelanggaran, tanggapan masing-masing
terlapor terhadap laporan dugaan pelanggaran, keterangan para saksi, keterangan para ahli,
keterangan para terlapor, surat-surat dan atau dokumen, kesimpulan hasil persidangan
yang disampaikan baik oleh investigator maupun masing-masing terlapor, maka Majelis
Komisi menilai, menganalisa, menyimpulkan dan memutuskan perkara berdasarkan alat
bukti yang cukup tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh para terlapor dalam perkara
No.04/KPPU-I/2016 dalam harga jual sepeda motor jenis skuter matik 110 – 125 CC.
Sebelum memutus, Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang meringankan
masing-masing Terlapor sebagai berikut :
a. Bahwa Majelis Komisi menilai Terlapor I telah bersikap sopan dalam persidangan.
b. Bahwa Majelis Komisi menilai Terlapor II telah kooperatif dalam memberikan data
dan Terlapor II telah kooperatif dalam menghadirkan saksi dan Presiden Direktur.
Selain itu, Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan masing-
masing Terlapor sebagai berikut :
a. Bahwa Majelis Komisi menilai Terlapor I manipulatif dalam menyajikan data, selain
itu Terlapor I juga tidak kooperatif dalam menghadirkan saksi, dan menghadirkan
Presiden Direktur.
b. Bahwa Majelis Komisi menilai Terlapor II tidak bersikap sopan dalam persidangan.
C. Deskripsi Putusan PN No.163/Pdt.G/KPPU/2017/PN.Jkt.Utr.
Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara
keberatan terhadap Putusan Komisi Pengawan Persaingan Usaha (KPPU) dalam tingkat
pertama. Setelah membaca berkas perkara beserta surat-surat yang bersangkutan dan setelah
mendengar kedua belah pihak yang berperkara. Bahwa para Pemohon Keberatan masing-
masing telah mengajukan permohonan keberatan terhadap Putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016
pada tanggal 20 Februari 2017.
1. Alasan Para Pemohon Keberatan
Bahwa, Pemohon Keberatan I dan Pemohon Keberatan II mengajukan keberatan
terhadap putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016 yang pada pokoknya sebagai berikut :
1) Keberatan Pemohon Keberatan I
- Putusan KPPU dibuat dengan menyalahgunakan kewenangan, melanggar asas-
asas hukum, melanggar Due Process of Law dan mengabaikan fakta-fakta
persidangan yang material;
- Putusan Termohon Keberatan cacat hukum karena didasarkan atas keterangan
pihak yaitu Yutaka Terada yang tidak dibawah sumpah dan tidak dihadirkan
dimuka persidangan;
- Termohon Keberatan telah bertindak tanpa kewenangan dalam menyelidiki dan
memeriksa perkara a quo karena Termohon Keberatan telah mendatangi dan
masuk ke dalam kantor Pemohon Keberatan untuk meminta keterangan dari salah
satu Pegawai Pemohon Keberatan tanpa sepengetahuan dan pemberitahuan
kepada Pemohon Kebaratan;
- Termohon Keberatan telah melanggar kode etik yang dikleuarkan oleh Termohon
Keberatan sendiri dalam memeriksa dan memutus perkara a quo;
- Termohon Keberatan telah melanggar Pasal 39 Ayat (3) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 dan Pasal 76 Ayat (1) Perkom Nomor 1 Tahun 2010 sebab telah
membuka data rahasia perusahaan Pemohon Keberatan dalam persidangan yang
terbuka untuk umum;
- Putusan Termohon Keberatan tidak didasarkan pada alat bukti yang sah
melainkan hanya didasarkan atas asumsi/dugaan serta tidak memenuhi prinsip
minimum pembuktian dan tidak didasarkan atas fakta-fakta persidangan serta
unsur-unsur Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
- Termohon Keberatan tidak memahami karakteristik industri motor skutik secara
komprehensif sehingga mengakibatkan Termohon Keberatan mengeluarkan
putusan yang salah dalam perkara ini;
- Termohon Keberatan salah dalam menentukan pasar bersangkutan sehingga
seluruh analisis serta pertimbangan atas tuduhan penetapan harga menjadi tidak
berdasar;
- Keterangan yang disampaikan Yutaka Terada tidak benar, bertentangan dengan
fakta-fakta, menyesatkan, dan didasarkan atas adanya permasalahan-
permasalahan pribadi dengan Presiden Direktur Pemohon Keberatan pada saat
itu;
- Pertimbangan Termohon Keberatan tentang perilaku Pemohon Keberatan adalah
menyesatkan, tidak berdasar, dan justru bertentangan dengan fakta-fakta
persidangan;
- Amar putusan Termohon Keberatan mengenai denda sebesar 25 miliar rupiah
tidak berdasar dan bertentangan dengan peraturan yang dikeluarkan Termohon
Keberatan sendiri;
2) Keberatan Pemohon Keberatan II
- Putusan Termohon Keberatan melanggar hukum acara pemeriksaan;
- Pemohon Keberatan tidak melanggar Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang
Persaingan Usaha;
- Pemohon Keberatan tidak pernah membuat perjanjian kartel dengan siapapun;
- Pemohon Keberatan tidak pernah menetapkan harga jual jenis skuter matik 110 –
125 CC dengan siapapun;
- Termohon Keberatan salah dalam menerapkan Pasal 1 Angka (10) Undang-
Undang Persaingan Usaha tentang pasar bersangkutan;
- Faktanya terdapat persaingan usaha yang kompetitif dan sehat dalam industri
skuter matik di Indonesia.
2. Pertimbangan Majelis Hakim
Setelah Majelis Hakim memeriksa dan meneliti berkas perkara serta putusan KPPU
No.04/KPPU-I/2016 tanggal 20 Februari 2017 menurut Majelis Hakim pertimbangan
hukum putusan KPPU tersebut telah tepat dan benar sehingga diambil alih menjadi
pertimbangan hukum dalam putusan ini, dengan tambahan pertimbangan yaitu sebagai
berikut :
Bahwa mengenai saksi Yutaka Terada yang tidak dihadirkan dimuka persidangan
menurut Majelis Hakim oleh karena saksi Yutaka Terada telah diperiksa pada tahap
penyelidikan dan dibuatkan berita acara oleh Tim Penyelidik sesuai Berita Acara
Penyelidikan masing-masing tanggal 16 Januari 2015, tanggal 22 Januari 2015 dan tanggal
25 Februari 2015, maka Berita Acara Penyelidikan saksi Yutaka Terada tersebut yang
diberi kode B1, B2, dan B9 karena dibuat oleh Pejabat yang berwenang, maka Berita Acara
tersebut termasuk alat bukti dokumen sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 42
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Prakrik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka Pemohon Keberatan I dan
Pemohon Keberatan II harus ditolak dan Majelis Hakim menguatkan Putusan KPPU
No.04/KPPU-I/2016 tanggal 20 Februari 2017. Bahwa oleh karena keberatan Pemohon
Keberatan I dan Pemohon Keberatan II ditolak, maka Pemohon Keberatan I dan Pemohon
Keberatan II dihukum untuk membayar biaya perkara yang besarnya akan disebutkan
dalam amar putusan.
Dengan memperhatikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU serta Peraturan Perundang-
Undangan yang bersangkutan, mengadili :
1. Menolak eksepsi Termohon Keberatan.
2. Menolak Permohonan Keberatan Pemohon Keberatan I dan Pemohon Keberatan II;
3. Menguatkan Putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016 tanggal 20 Februari 2017;
4. Menghukum Pemohon Keberatan I dan Pemohon Keberatan II untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp. 726.000,00 (tujuh ratus dua puluh enam ribu rupiah).
D. Penegakan Hukum KPPU Terhadap Pelanggaran Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Gambar II. Proses terjadinya perjanjian penetapan harga (Price Fixing) antara PT Yamaha
Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor.
Berdasarkan gambar tersebut maka dapat diketahui proses terjadinya perjanjian
penetapan harga (price fixing) antara PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra
Honda Motor, yaitu awal mulanya adalah adanya pertemuan Presiden Direktur PT Yamaha
Indonesia Motor Manufacturing (Yoichiro Kojima) dan Presiden Direktur PT Astra Honda
Motor (Toshiyuki Inuma). Pertemuan itu terjadi pada tahun 2013 dan bulan November 2014.
Pada Januari 2014, terdapat bukti email bahwa Presiden Direktur Kojima telah meminta
marketing management group untuk mengikuti pola kenaikan harga PT Astra Honda Motor
PT YIMM PT AHM
Pertemuan di Lapangan Golf
Perjanjian melalui
Surat Elektronik
(Email)
Terjadi Price Fixing
mulai dari Januari 2014. Kemudian pada April 2014, terdapat bukti email lagi dari Presiden
Direktur Kojima yaitu tentang pricing issue. Pada Januari 2015, terdapat bukti email lagi
dengan subyek retail pricing issue dari Direktur Marketing PT Yamaha Indonesia Motor
Manufacturing yang ditujukan Vice Presiden PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing
(Saudara Kojima menyuruh bawahannya untuk melakukan penetapan harga mengikuti pola
kenaikan harga yang dilakukan PT Astra Honda Motor). Jadi dari situlah terjadinya penetapan
harga (price fixing) antara PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda
Motor.
Gambar III. Kronologi Penetapan Harga oleh PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan
PT Astra Honda Motor berdasarkan Putusan KPPU No. 04/KPPU-I/2016.82
82 Putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016, h. 12.
Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2013 terjadi pertemuan
pertama antara Presiden Direktur PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra
Honda Motor. Kemudian pada pertemuan kedua terjadi pada bulan Januari 2014 dan pada
bulan April 2014 terdapat bukti surat elektronik (email) yang sudah diakui. Pada bulan
November 2014 diakui Presiden Direktur PT Astra Honda Motor bahwa keduanya bermain
golf terakhir (bersama Presiden Direktur PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing). Dan
pada bulan Januari 2015 terdapat surat elektronik (email) dari Saudara Kojima ke Saudara
Inuma mengenai pricing issue. Sehingga sangat mungkin bahwa penetapan harga tersebut
terjadi pada tahun 2014, karena hingga bulan Januari 2015 masih ada hubungan melalui surat
elektronik (email) yang dengan jelas membahas mengenai pricing issue.
Gambar IV. Pangsa Pasar Sepeda Motor Skuter Matic 110 – 125 CC pada Tahun 2014.83
Berdasarkan data yang diperoleh dari AISI, industri kendaraan bermotor roda dua
dikuasai oleh lima pelaku usaha yaitu PT Astra Honda Motor, PT Yamaha Indonesia Motor
83 Putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016, h. 39.
Manufacturing, PT Indomobil Suzuki International, PT Kawasaki Motor Indonesia, dan PT
TVS Motor. Dari penyelidikan dan pemeriksaan Majelis Komisi hanya empat pelaku usaha
yang mengeluarkan dan memasarkan produk sepeda motor skuter matik 110 – 125 CC, yaitu
Honda, Yamaha, Suzuki, dan TVS. Pada gambar diatas dapat disimpulkan bahwa PT Astra
Honda Motor menguasai 72,88% dari pangsa pasar pada industri kendaraan bermotor roda dua.
Sedangkan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing menguasai 25,60% dari pangsa pasar,
kemudian PT Indomobil Suzuki International menguasai 1,39% dari pangsa pasar, dan PT TVS
Motor 0,12% dari pangsa pasar. Jika dilihat berdasarkan pangsa pasar pada industri sepeda
motor jenis skuter matik maka pelaku usaha dominan adalah PT Astra Honda Motor dan
pesaing terdekatnya adalah PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing. Sehingga keduanya
dapat dikatakan sebagai pelaku usaha dominan dalam industri sepeda motor matik di Indonesia.
Berikut ini adalah produk sepeda motor jenis skuter matik 110 – 125 CC dari PT Astra Honda
Motor dan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing :
1. PT Astra Honda Motor : Beat F1 CW, Beat F1 CBS, Vario Techno F1, dan Vario Techno
CBS ISS.
2. PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing : Mio J CW, Mio GT, Xeon RC, dan GT 125.
Dari hasil data yang diperoleh Majelis Komisi menunjukkan bahwa terjadi hubungan
dalam harga rata-rata sepeda motor skuter matik 110 – 125 CC setelah bulan Januari 2014.
Hasil tersebut menunjukkan terjadinya kecenderungan kedua perusahaan untuk menjaga harga
yang relatif sama.
Tabel III. Kronologi terjadinya dugaan pelanggaran hingga Putusan KPPU dan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
2013 Pertemuan pertama.
28 April 2014 dan 10
Januari 2015
Surat elektronik (email) dikirimkan.
Januari 2014 dan 30
November 2015
Pertemuan kedua dan ketiga di Lapangan golf.
2015 Adanya dugaan pelanggaran.
28 Juni 2016 Penetapan pemeriksaan pendahuluan.
12 Juli 2016 Penugasan pemeriksaan pendahuluan.
Paling lama 30 hari sejak
19 Juli 2016 sampai 30
Agustus 2016
Jangka waktu pemeriksaan pendahuluan.
19 Juli 2016 Sidang Majelis Komisi I (penyerahan salinan laporan
dugaan pelanggaran oleh investigator kepada terlapor).
26 Juli 2016 Sidang Majelis Komisi II (penyerahan tanggapan oleh
para terlapor kepada laporan dugaan pelanggaran
disertai alat bukti).
28 Juli 2016 Terlapor I dan II menyerahkan tanggapan laporan
dugaan pelanggaran diluar sidang.
30 Agustus 2016 Penetapan dan penugasan pemeriksaan lanjutan.
Paling lama 60 hari sejak
31 Agustus 2016 sampai
23 November 2016
Jangka waktu pemeriksaan lanjutan.
Paling lama 30 hari sejak
24 November 2016
sampai 5 Januari 2017
Perpanjangan pemeriksaan lanjutan. (waktu
pemeriksaan lanjutan diubah menjadi 24 November
2016 sampai 9 Januari 2017).
9 Januari 2017 Sidang Majelis Komisi (penyerahan kesimpulan hasil
persidangan).
20 Februari 2017 Para Pemohon Keberatan mengajukan permohonan
keberatan.
27 Maret 2017 Diterima dan didaftarkan di Kepaniteraan PN Jakarta
Timur.
13 Maret 2017 Pemohon Keberatan menerima salinan resmi Putusan
Termohon Keberatan.
31 Mei 2017 MA menunjuk PN Jakarta Utara untuk memeriksa
keberatan atas Putusan KPPU.
10 Oktober 2017 Menanggapi keberatan oleh Para Pemohon Keberatan.
31 Oktober 2017 Sidang I (pengajuan dokumen keberatan).
2 November 2017 Sidang II (Para Pemohon Keberatan mengajukan
permohonan pemeriksaan tambahan).
9 November 2017 Sidang III (Majelis Hakim menolak permohonan
pemeriksaan tambahan).
5 Desember 2017 Majelis Hakim menolak dan menguatkan Putusan
KPPU.
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa KPPU
berwewenang untuk :
1) Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2) Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
3) Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku
usaha atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana
dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi.
4) Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan
atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
5) Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan atau pemeriksaan.
6) Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain
atau masyarakat.
7) Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
8) Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang ini.
Dengan memperhatikan hal-hal sebagaimana diuraikan dalam Pasal 36 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, maka Putusan Perkara No.04/KPPU-I/2016 tanggal 20 Februari 2017
terhadap pelanggaran Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU
memutuskan :
1. Menyatakan bahwa Terlapor I dan Terlapor II terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Menghukum Terlapor I denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah) dan disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di
bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
Persaingan Usaha);
3. Menghukum Terlapor II denda sebesar Rp. 22.500.000.000,00 (dua puluh dua miliar lima
ratus juta rupiah) dan disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha
melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
4. Memerintahkan Terlapor I dan Terlapor II untuk melakukan pembayaran denda,
melaporkan dan menyerahkan bukti pembayaran denda ke KPPU;
E. Argumentasi Hukum Oleh Hakim Terhadap Keberatan yang Diajukan
Oleh PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda
Motor
Bahwa oleh karena keberatan terhadap Putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016 maka PT
Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor melakukan pembelaan
yang intinya sebagai berikut :
a. Bahwa kedua industri kendaraan bermotor roda dua tersebut tidak terbukti melakukan
perjanjian penetapan harga (price fixing) sepeda motor skuter matik 110 – 125 CC.
b. Bahwa tim investigator tidak melakukan survei pada pasar yang bersangkutan untuk
produk sepeda motor skuter matik 110 – 125 CC.
Sehingga tanggal 20 Februari 2017 diajukan keberatan oleh para Pemohon Keberatan
yang tidak berada dalam satu wilayah hukum Pengadilan Negeri, maka Termohon Keberatan
telah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pada
pokoknya mohon agar pemeriksaan perkara digabung menjadi satu dan menunjuk Pengadilan
Negeri Jakarta Utara yang akan memeriksa.
Bahwa atas permohonan tersebut, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah
mengeluarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
No.113/KMA/SK/V/2017 pada tanggal 31 Mei 2017, tentang penunjukan Pengadilan Negeri
Jakarta Utara untuk memeriksa keberatan atas Putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016.
Setelah Majelis Hakim memeriksa dan meneliti berkas perkara serta Putusan KPPU,
menurut Majelis Hakim pertimbangan hukumnya adalah :
a) Bahwa tentang definisi perjanjian mengacu Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, “perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis
maupun tidak tertulis.” Bahwa tentang tindakan bersama dapat dibenarkan jika apabila
mereka mempunyai tujuan yang sama, yaitu dimana ada beberapa pelaku usaha melakukan
tindakan dengan cara yang sama dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan.
b) Bahwa tentang surat elektronik (email), telah dikonfirmasi dan diakui kebenarannya
berdasarkan keterangan yang diberikan pada saksi yang hadir dalam persidangan,
diantaranya adalah Saudara Kojima (mantan Presdir Pemohon Keberatan I), Saudara
Sutarya, Saudara Dyonisius, Saudara Hendri dan Saudara Ichsan.
c) Bahwa tentang pemenuhan unsur perjanjian dalam perkara a quo, terdapat kesesuaian
antara fakta pertemuan di lapangan golf antara Pemohon Keberatan I dan Pemohon
Keberatan II, komunikasi surat elektronik serta bukti analisis penetapan harga sehingga
adanya perbuatan penetapan harga benar ditindaklanjuti dan hal tersebut membuktikan
bahwa :
1. Industri kendaraan bermotor roda dua memiliki struktur oligopoli ketat.
2. Industri ini dalam struktur yang sangat terkonsentrasi.
3. Bahwa setelah adanya koordinasi pada bulan Januari 2014, terjadi kenaikan harga
rata-rata yang signifikan pada kedua tipe 110 CC dan 125 CC motor skutik kedua
merk tersebut.
4. Harga yang relatif sama terjadi pada merk Honda dan Yamaha untuk menjaga harga
relatif yang sama antara kedua perusahaan leader (Honda) dan follower (Yamaha).
Setelah bulan Februari, hanya Honda dan Yamaha yang memiliki kenaikan harga
sedangkan harga motor Suzuki relatif konstan.
Setelah Majelis Hakim memeriksa dan meneliti berkas perkara serta putusan KPPU
No.04/KPPU-I/2016 tanggal 20 Februari 2017 menurut Majelis Hakim pertimbangan hukum
putusan KPPU tersebut telah tepat dan benar sehingga diambil alih menjadi pertimbangan
hukum dalam putusan ini, dengan tambahan pertimbangan yaitu sebagai berikut :
- Bahwa mengenai saksi Yutaka Terada yang tidak dihadirkan dimuka persidangan menurut
Majelis Hakim oleh karena saksi Yutaka Terada telah diperiksa pada tahap penyelidikan
dan dibuatkan berita acara oleh Tim Penyelidik sesuai Berita Acara Penyelidikan masing-
masing tanggal 16 Januari 2015, tanggal 22 Januari 2015 dan tanggal 25 Februari 2015,
maka Berita Acara Penyelidikan saksi Yutaka Terada tersebut yang diberi kode B1, B2,
dan B9 karena dibuat oleh Pejabat yang berwenang, maka Berita Acara tersebut termasuk
alat bukti dokumen sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Prakrik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
- Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka Pemohon Keberatan I dan
Pemohon Keberatan II harus ditolak dan Majelis Hakim menguatkan Putusan KPPU
No.04/KPPU-I/2016 tanggal 20 Februari 2017.
- Bahwa oleh karena keberatan Pemohon Keberatan I dan Pemohon Keberatan II ditolak,
maka Pemohon Keberatan I dan Pemohon Keberatan II dihukum untuk membayar biaya
perkara yang besarnya akan disebutkan dalam amar putusan.
Memperhatikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum
Keberatan terhadap Putusan KPPU serta Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan,
mengadili :
1. Menolak eksepsi Termohon Keberatan.
2. Menolak Permohonan Keberatan Pemohon Keberatan I dan Pemohon Keberatan II;
3. Menguatkan Putusan KPPU No.04/KPPU-I/2016 tanggal 20 Februari 2017;
4. Menghukum Pemohon Keberatan I dan Pemohon Keberatan II untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp. 726.000,00 (tujuh ratus dua puluh enam ribu rupiah).
Dengan memperhatikan analisis dan ketentuan-ketentuan diatas maka penulis setuju
dengan putusan Majelis Hakim dalam memutus perkara penetapan harga (price fixing) dengan
argumentasi bahwa perkara penetapan harga PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan
PT Astra Honda Motor dilakukan dengan perjanjian tidak tertulis sehingga alat bukti dalam
persidangan adalah bukti tidak langsung. Dalam situasi seperti ini, hukum yang digunakan
harus mengikuti dengan bentuk pembuktian dalam pelanggarannya. Jadi dapat diterapkan
hukum yang sudah dipraktikkan diluar negeri yaitu indirect evidence (bukti tidak langsung).84
Karena dalam persaingan usaha tidak sehat khususnya praktik kartel dan penetapan harga
sangat sulit untuk memperoleh bukti langsung. Namun perlu adanya bukti lain sebagai
pendukung, berbeda dengan draft dalam Peraturan Komisi tentang Pedoman Kartel bahwa
menganggap satu bukti saja cukup.
Indirect evidence adalah bukti tidak langsung atau disebut juga circum stantial evidence
(kesimpulan dari suatu kejadian) atau aanvullend eed (tambahan) yang terdiri dari85 :
a. Catatan tentang banyaknya percakapan telepon antara para pesaing. Catatan itu bukan
mengenai substansi percakapan, tetapi beberapa kali melakukan percakapan telepon
tersebut.
b. Perjalanan menuju tujuan yang sama.
84 Contoh penggunaan indirect evidence dalam pembuktian adanya kartel kasus Steel Cartel di Brazil dan
kasus Sao Paolo Airlines di Brazil. Penerbangan Indonesia, Tesis Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2012, h. 81. 85 Erman Rajagukguk, Pembaharuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jurnal Butir-butir Hukum Ekonomi, Lembaga Studi Hukum dan
Ekonomi UI, Jakarta, 2011, h. 55.
c. Partisipasi dalam suatu pertemuan.
d. Hasil atau catatan dari pertemuan yang memperlihatkan harga, permintaan atau kapasitas
yang dibicarakan para pesaing.
e. Bukti dokumen-dokumen internal yang membuktikan pengetahuan atau saling pengertian
antara para pesaing dalam mengatur strategi harga.
f. Penafsiran atau interpretasi.
g. Logika.
h. Bukti ekonomi.