38
50 BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI Bab ini akan membahas mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia serta kritik penulis mengenai independensi Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia berdasarkan sistem pemerintahan presidensial. A. Lembaga Independen di Indonesia Lembaga negara bukan merupakan konsep yang secara terminology memiliki istilah tunggal dan seragam. Kepustakaan inggris, misalnya memakai atau menggunakan istilah political institution, sementara dalam termologi bahasa Belanda dikenal dengan istilah staat organen. Sedangkan dalam bahasa Indonesia seringkali para ahli politik dan tata negara secara resmi menggunakan istilah “lembaga negara”, “badan negara” atau “organ negara”. 1 Secara sederhana dapat dikatakan bahwa lembaga negara merupakan konsekuensi logis dari pemisahan kekuasaan. Cabang kekuasaan yang terpisah tersebut membutuhkan lembaga negara sebagai pelaksana dari cabang kekuasaan ekskeutif, legislatif maupun yudikatif. Oleh sebab itu kemudian, lahirlah lembaga- lembaga negara yang bekerja dibawah sistem masing-masing cabang kekuasaan. Artinya, lembaga-lembaga ini menjadi organ pelaksana dari 1 Pendapat Sri Soemantri dalam Transkrip Diskusi Publik, “Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI TAHUN 1945”, Komisi Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, 9 September 2004.

BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

50

BAB III

EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Bab ini akan membahas mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi

di Indonesia serta kritik penulis mengenai independensi Komisi

Pemberantasan Korupsi di Indonesia berdasarkan sistem pemerintahan

presidensial.

A. Lembaga Independen di Indonesia

Lembaga negara bukan merupakan konsep yang secara

terminology memiliki istilah tunggal dan seragam. Kepustakaan inggris,

misalnya memakai atau menggunakan istilah political institution,

sementara dalam termologi bahasa Belanda dikenal dengan istilah staat

organen. Sedangkan dalam bahasa Indonesia seringkali para ahli politik

dan tata negara secara resmi menggunakan istilah “lembaga negara”,

“badan negara” atau “organ negara”.1 Secara sederhana dapat dikatakan

bahwa lembaga negara merupakan konsekuensi logis dari pemisahan

kekuasaan. Cabang kekuasaan yang terpisah tersebut membutuhkan

lembaga negara sebagai pelaksana dari cabang kekuasaan ekskeutif,

legislatif maupun yudikatif. Oleh sebab itu kemudian, lahirlah lembaga-

lembaga negara yang bekerja dibawah sistem masing-masing cabang

kekuasaan. Artinya, lembaga-lembaga ini menjadi organ pelaksana dari

1 Pendapat Sri Soemantri dalam Transkrip Diskusi Publik, “Eksistensi Sistem

Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI TAHUN 1945”, Komisi Reformasi Hukum

Nasional (KRHN), Jakarta, 9 September 2004.

Page 2: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

51

organisasi kekuasaan negara, yang dalam bahasa George Jellineck

merupakan “contradiction in onjecto”. Jika negara tidak memiliki organ-

organ atau perlengkapan negara maka ia tidak sesuai dengan sifatnya.2

Singkatnya, keberadaan lembaga-lembaga negara menjadi niscaya untuk

mengisi dan menjalankan negara.3

Pada akhir abad ke 80-an dan awal 90-an yang dintandai dengan

runtuhnya rezim otoritarian di sejumlah negara komunis di Eropa Timur.

Selama periode ini disintegrasi sekaligus masifikasi kelembagaan terjadi

ditingkat negara yang selanjutnya terinstitusionalisasi melalui mekanisme

perubahan konstitusi dimasing-masing negara.4 Akibat gelombang baru

demokrasi ini, disejumlah negara khususnya yang mengalami proses

transisi demokrasi dari otoritarian ke demokratsi, muncul organ-organ

kekuasaan baru baik yang sifatnya independen (independent regulatory

agencies) maupun yang sebatas sampiran (state auxiliary agencies).

Munculnya organ-organ baru kekuasaan ini lazim dikenal dengan “komisi

negara”. Kelahiran komisi-komisi negara ini baik yang bersifat independen

maupun yang sebatas intermeditary merupakan bentuk kekalahan gagasan

trias politica atas perkembagan baru dan pergeseran paradigma

pemerintahan.5 Michael R. Asimov mengatakan bahwa komisi negara

independen yaitu organ negara (state organ) yang diidealkan indepeden

2 Lukaman Hakim, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Eksistensi Komisi-

Komisi Negara (State Auxiliary Organ) Sebagai Organ Negara yang Mandiri dalam SIstem

Ketatanegaraan, Program Pasca Univ. Brawijaya-Univ.Widyagama, Setara Press, Malang, 2010,

h.25. 3 Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembagan dan

Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2016, h29. 4 Cornelis Lay, State Auxeliary Agencies, Jurnal Jentera Edisi 12 Tahun III, Jakarta,

PSHK, April-Juni, 2006, h.6. 5 Zainal Arifin Mochtar, Op Cit, h.32-33.

Page 3: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

52

dan karenanya berada diluar cabang kekuasaan ekskeutif, legislatif, dan

yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya.6

Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

komisi-komisi negara yang merupakan imbas dari terpaan gelombang

ketiga demokrasi. Setidaknya dipengaruhi beberapa hal berikut. Pertama,

keresahan negara terhadap ketidakpastian dan kealpaan perlindungan

individu dan kelompok margial dari depotisme pejabat publik maupun

warga negara lainnya. Kedua, mencerminkan sentralisasi negara sebagai

otoritas publik, dengan sebuah tanggungjawab publik yang besar. Ketiga,

merupakan sebuah produk evolusi yang sifatnya incremental dan

komplementer terhadap organ-organ kekuasaan yang hadir terdahulu yang

merupakan hasil pemilihan gagasan trias politica.7

Selanjutnya menurut Firmansyah Arifin latar belakang yang

mempengaruhi banyaknya pembentukan lembaga-lembaga negara baru

yang bersifat independen (komisi negara independen), yaitu: (i) tiadanya

kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada akibat asumsi adanya

korupsi yang sistemik, mengakar dan sulit untuk diberantas; (ii) tidak

independennya lembaga-lembaga negara yang ada karena satu sama lain

tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lainnya;

(iii) ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang ada untuk melakukan

tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena

persoalan birokrasi dan KKN; (iv) pengaruh global, dengan pembentukan

apa yang dinamakan auxiliary organ state agency atau watchdog

6 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandenen

UUD NRI TAHUN 1945, Kencana, Jakarta, 2010, h.180. 7 Cornelis Lay, Op Cit, h.11-12.

Page 4: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

53

institution di banyak negara; dan (v) tekanan lembaga-lembaga

internasional, tidak hanya sebagai prasyarat untuk memasuki pasar global,

tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satusatunya jalan bagi

negara yang asalnya berada di bawah kekuasaan otoriter.8

Dalam konteks Amerika, kelahiran organ kekuasaan baru, yang

kemudian dikenal dengan istilah „komisi negara' atau administrative

agencies, sesungguhnya telah dimulai dengan pembentukan Interstate

Commerce Commission, yang berdiri dengan pengesahan Congress pada

1887. Kemudian dilanjutkan pada 1914, ketika krisis ekonomi melanda

dunia, Amerika Serikat menghendaki sebuah lembaga yang secara khusus

mengatur dunia bisnis, untuk mengawasi bentuk-bentuk persaingan usaha.

Maka lahirlah apa yang dinamakan dengan Federal Trade Commision.

Dalam periode berikutnya, di AS bermunculan sejumlah komisi negara

independen (independent regulatory agencies). Hingga saat ini, setidaknya

tercatat 30an komisi negara independen yang dimiliki oleh Amerika

Serikat.9

Dalam konteks Indonesia, kecenderungan kelahiran lembaga

negara tersebut telah terjadi setelah runtuhnya kekuasaan Soeharto pada

tahun 1998. Di Indonesia saat ini sudah lebih dari 50an lembaga negara

bantu yang terbentuk dimana jumlah ini bisa saja bertambah. Pembentukan

lembaga negara tersebut dilakukan berdasarkan dasar hukum yang berbeda

8 Putusan MK RI Nomor 36/PUU-XV/2017 mengenai Pengujian Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 9 Ryan C. Black, etc., Adding Recess Appointments to the President's "Tool Chest" of

Unilateral Powers, dalam Journal Political Research Quarterly, Volume 60 Number 4, December

2007, h. 645-654.

Page 5: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

54

yang mana dibentuk berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, UU maupun

dengan Kepres. Dengan perincian lembaga negara indepeden (independent

regulatory agencies) sekitar 13 dan lembaga negara eksekutif (executive

branch agencies) yang jumlahnya sekitar 40 lembaga.10

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi mencoba memperkenalkan

model independensi yang dibangun oleh ajudikasi kontitusional. Hal ini

seperti dikemukakan MK RI dalam pertimbangan hukum putusan

No.005/PUU-IV/2006 perihal kelembagaaan Komisi Yudisial yang

independen megatakan bahwa :

Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan

mempertimbangkan pengertian “mandiri” dalam pasal 24B

ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Komisi

Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain

dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Pertanyaan

yang haris dijawab dalam hubungan ini adalah bagaimana

tafsiran yang harus diberikan terhadap syarat bahwa KY

bersifat mandiri yang kemudian oleh UU KY diartikan

sebagai keadaan bahwa KY dalam pelaksaan wewenangnya

bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain

(vide Pasal 2 UU KY). Mahkamah Konstitusi berpendapat,

pengertian bahwa “KY dalam pelaksanaan wewenangnya

bebas dari campur tangan atau pengaruh dari kekuasaan

lain” harus dimaknai sebagai kemandirian kelembangaan

dalam pengambilan keputusan, bukan kemandirian yang

bersifat perorangan anggota KY. Artinya, kemandirian KY

harus dimaknai sebagai kebebasan dari campur tangan dan

pengaruh kekuasaan lain dalam pengambilan keputusan

dalam pelaksanaan wewenang pengusulan calon hakim

agung mapun dalam rangka pelaksanaan wewenang lain

menurut UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, KY tidak

dapat dikatakan tidak mandiri atau dengan kata lain

terdapat campur tangan dari pihak luar atau kekuasaan lain,

hanya karena alasan bahwa pengambilan keputusan

didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh melalui kerja

sama atau koordinasi dengan pelaku kekuasaan kehakiman

10

Cornelis Lay, Op Cit, h.181

Page 6: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

55

sendiri, in causa MA. Sesuai dengan kenyataan secara

universal, susunan dari komisi yudisial bukan hanya terdiri

atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi, dan anggota

masyarakat, sebagaimana telah dikemukakan di atas,

melainkan juga hakim agung duduk bersama anggota

komisi yudisial. Bahkan pada umumnya komisi yudisial

atau yang disebut dengan nama lain di dunia secara ex-

officio dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung.

Alasan paling standar untuk menciptakan lembaga negara baru

adalah karena yang lama tak mampu lagi memberikan fungsi yang

sebenarnnya, sehingga kemudian di independensikan dengan tujuan

menggantikan lembaga yang lama. Alih-alih menciptakan good

governance yang efektif dan efesien, banyaknya lembaga malah cenderung

mendorong ke negara yang kegemukan kelembagaan, yang justru menjadi

semakin lemah, imbasnya terjadi ungovernability bukan tata kelola yang

baik.11

Secara umum pembentukan lembaga-lembaga independen adalah

bagian dari strategi yang dibentuk oleh kaum reformis yang mengambil

alih negara untuk memberikan impresi berhadapan dengan pemerintahan

baru.12

Dengan demikian , lembaga independen ini hadir sebagai

pengendali kekuasaan presiden dimana pemerintah konstitusional

berkuasa. Kelahiran lembaga independen tentunya menghambat presiden

dalam menjalankan tugasnya dalam bidang pemerintahan karena presiden

tidak memiliki kemampuan untuk memaksa lembaga ini mengikuti arah

kebijakan yang dibentuk atau yang telah di agendakan.

11

J. Kristiadi, Keberadaan State Auxiliary Bodies dalam Negara Demokrasi, Makalah dalam Dialog Nasional Hukum dan Non-Hukum: Penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegraan, Surabaya, 26-29 Juni 2007, h. 5-6

12 Zainal Arifin Mochtar, Op Cit, h.36.

Page 7: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

56

B. KPK Sebagai Lembaga Independen

1. Latar Belakang Pembentukan KPK

Tindak pidana korupsi yang telah meluas secara sistematis

sedemikian rupa sehingga merugikan keuangan negara, perekonomian

negara, dan menghambat pembangunan nasional, yang dengan demikian

sesungguhnya telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat,

tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah

menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Bahkan, masyarakat

internasional pun secara tidak langsung mengakui sifat luar biasa dari

tindak pidana korupsi tersebut, sebagaimana tampak dalam Preamble dari

United Nations Convention against Corruption yang menyatakan13

:

“Concerned about the seriousness of problems and threats

posed by corruption to stability and security of societies,

undermining the institutions and values of democracy and

the rule of law, Concerned also about the links between

corruption and other forms of crime, in particular

organized crime and economic crime, including money-

laundering, Concerned further about cases of corruption

that involve vast quantities of assets, which may constitute

a substantial proportion of the resources of States, and that

threaten the political stability and sustainable development

of those States, Convinced that corruption is no longer a

local matter but a transnational phenomenon that affects

all societies and economies, making international

cooperation to prevent and control it essential....”

Indonesia merupakan Negara di Asia yang mencanangkan suatu

peraturan khusus terhadap pemberantasan korupsi. Sebagai bentuk nyata

tersebut dibentuklah peraturan mengenai pemberantasan korupsi.

Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya mulai di jalankan sejak

13

Risalah Sidang perkara Nomor 19/PUU-V/2007 perihal pengujian UU RI No.30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) terhadap UUD NRI

TAHUN 1945, h.11

Page 8: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

57

dulu, namun sampai sekarang yang namanya korupsi di Indonesia belum

bisa diberantas secara tuntas malah makin berkembang. Sebelum lahirnya

Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia dahulu memiliki beberapa

lembaga pemberantas korupsi yakni Tim Pemberantasan Korupsi (TPK),

Komite Anti Korupsi (KAK), Komisi Empat, Operasi Tertib (OPSTIB),

Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komisi Pemeriksaan Kekayaan

Negara (KPKPN), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.14

Perbuatan

korupsi di indonesia merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan

hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat

lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan

telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga dalam

upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa” tetapi

“dituntut cara-cara luar biasa” (extra-ordinary enforcement).15

Selanjutnya KPK dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR Nomor

XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang mengatur antara lain, perlunya

dibentuk suatu lembaga oleh Kepala Negara yang keanggotaannya terdiri

atas Pemerintah dan masyarakat, sebagai upaya pemberantasan tindak

pidana korupsi yang dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara

konsisten undang-undang tindak pidana korupsi16

. Selain itu, untuk

14

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK : Kajian Yuridis UU RI No 30

Tahun 1999 juncto UU Ri Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU RI Nomoe 30 Tahun 2002 juncto UU

RI Nomor 46 Tahun 2009,, Edisi Ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,, h.326-329. 15

Ibid, 28. 16

Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 3 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Page 9: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

58

mempercepat dan menjamin efektivitas pemberantasan korupsi, kolusi,

dan nepotisme tersebut dibentuklah Ketetapan MPR Nomor

VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan

Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebagai tindak lanjut dari

kedua ketetapan MPR tersebut maka dibentuklah Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pembentukan komisi ini

merupakan amanat dari pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi :

1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak

Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi

dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundangundangan yang berlaku.

3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur

masyarakat. Ketentuan mengenai pembentukan,

susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban,

tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3)

diatur dengan Undang-undang.

Berdasarkan kedua undang-undang tersebut dibentuklah Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tanggal 27 Desember 2002 Tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dalam Konsiderans

Menimbang huruf b menyatakan, “bahwa lembaga pemerintah yang

Page 10: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

59

menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif

dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”.

secara historikal diketahui bahwa KPK lahir dari sebuah asumsi

bahwa pembentukan KPK dapat dilihat dari pokok-pokok pikiran

pembentukan KPK. Dalam pokok pikiran tersebut dijelaskan bahwa

korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sistemik dan

meluas tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak

ekonomi dan hak sosial masyarakat..17

Selain itu yang membuat semakin

brutalnya korupsi diimbuhi dengan rusaknya pranata penegakan hukum

mulai dari kejaksaan, kepolisian hingga peradilan diberbagai tingkatan.18

Dengan kata lain bahwa, penegakan hukum untuk memberantas tindak

pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional salama ini terbukti

mengalami hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum

secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang

mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan

manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang

pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional,

dan berkesinambungan.19

Perlu diketahui bawah KPK merupakan lembaga

ad hoc atau tidak permanen karena dibutuhkan sebagai dorongan

kenyataan bahwa fungsi-fungsi lembaga yang sudah ada sebelumnya

(kejaksaan dan kepolisian) dianggap tidak maksimal atau tidak diharapkan

17

Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di

Indonesia, : Percetakan Negara RI, Jakarta, 2002, h. 40 18

Saldi Isra, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan dan Urgensi

Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h.83. 19

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK : Kajian Yuridis UU RI No 30

Tahun 1999 juncto UU Ri Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU RI Nomoe 30 Tahun 2002 juncto UU

RI Nomor 46 Tahun 2009,, Edisi Ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,, h.255.

Page 11: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

60

efektif melakukan pemberantasan korupsi. Jika kelak, pemberantasan

korupsi dapat dilakukan secara efektif oleh kepolisian dan kejaksaan tentu

keberadaan KPK dapat ditinjau kembali.20

Reformasi bergaya neo-liberal dengan mendirikan lembaga-

lembaga independen seperti kehadiran KPK sebenarnya menjadi blessing

in disguise bagi Indonesia, kondisi Indonesia yang memang memerlukan

perbaikan dari sisi tata kelola, namun dari sisi lain berimplikasi pada

cengkraman modal asing dalam agenda neo-liberal yang makin kuat. Akan

tetapi, pada saat yang sama juga memiliki dampak positif dalam upaya

mendorong percepatan laju pemberantasan korupsi yang memang secara

nyata menjadi musuh di Indonesia. Memang ada kemungkinan pendirian

lembaga tersebut tidak berasal dari keinginan actor negara, sehingga

memerlukan tekanan lembaga keuangan internasional, karena memang ada

kebutuhan fakutal. Inilah yang ditenggarai oleh Danang J.Widoyoko

sebagai salah satu fakor penyebab kegagalan dari kebijakan dan strategi

reformasi kelembagaan pemberantasan korupsi, yakni First, the initiative

to combat corruption has not come from government. Inisiatif untuk

memerangi korupsi yang memang tidak dating dari pemerintah. Most of

agendas were driven by international financial institution, especially from

the International Monetary Fund (IMF), through the signing of Letters of

intent as a condition og IMF‟s support of Indonesia. Sebagian besar

agenda didorong oleh lembaga keuangan internasional, terutama dari Dana

Moneter Internasional (IMF), melalui penandatanganan Letter of intent

20

Jimly Ashiddiqie, Perkembagan dan Konsolidasi LEmbaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h.29

Page 12: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

61

sebagai syarat dukungan IMF bagi indonesia. In the case, the ownership of

the strategy is on IMF, not the government of Indonesia. Dalam hal ini

kepemilikan dari strategi ini adalah pada IMF, bukan pemerintah

Indonesia.21

Vedi R.Hadiz melihat, pembentukannya tidak menjadi

sungguh-sungguh dan hanya sekedar untuk berbagi kekuasaan antara

aktor-aktor atau pelaku politik yang ada di DPR, atau masyarakat sipil

yang secara khusus terlibat dalam penyusunan undang-undang tertentu.22

Meski tidak menyantuMK RIan secara langsung soal keberadaan KPK,

tetapi menjadi semacam kewajiban tidak tertulis untuk menunjukkan

iktikad baik pemberantasan korupsi pada tahun 2002. Hal inilah yang

melatari kelahiran KPK sebagai lembaga negara independen yang

melakukan pemberantasan korupsi.

Secara yuridis alasan terbentuknya KPK diapat dilacak dalam

penjelasan umum UU KPK yang menyatakan sebagai berikut:

Tindak pidana korupsi di indonesia sudah meluas dalam

masyarakat, perkembagnan nya terus meningkat dari tahun

ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah

kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak

pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya

yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarat.

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali

akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan

perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan

berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana

korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak social dan hak-hak ekonomi

masyarakat, dank arena itu semua maka tindak pidana

21

Danang J. Widoyoko, Corruption Eradication and Oligarch, The Jakarta Post, 31

Desember 2004. 22

Vedi R.Hadiz, Desentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-

Institutionalist Prespective, The southeast Asia Reseach Centre (SEARC) of the City University of

Hong Kong, may 2003; Vedi R.Hadiz, Reorganizing Political Power in Indonesia:a

Reconsideration of so-called „Democratic Transitions‟ dalam The Pacific Review, Vol.16, No.4,

2003; Richard Robinson dan Vedii R.Hadiz, Reorganizing Power In Indonesia:The Politics of

Oligarchy in an Age of Markets, London, Routledge,2004.

Page 13: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

62

korupsi tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa

melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Begitu pun

dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan

secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana

korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini

terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu

diperlukan moetode penegakan hukum secara luar biasa

melalui pembentukan suatu lembaga khusus yang memiliki

kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan

manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana

korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal,

intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.

Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah

indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat

dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai

kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan

perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Repubik Indonesia Nomor

XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotiseme, serta

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaiamana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001, badan khusus tersebut selanjutnya disebut

Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan

melakukan koordinasi dan supervise, termaksud melakukan

penyidikan, penyelidikan dan penuntutan, sedangkan

mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan

pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta

keanggotaannya diatur dengan undang-undang.

2. Tugas, Wewenang dan Kewajiban KPK

Menurut ketentuan Pasal 6 UU KPK menyebutkan bahwa terdapat

lima tugas KPK yang harus dilaksanakan yaitu koordinasi dengan instansi

yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,

supervisi terhadap terhadap instansi yang berwenang melakukan

Page 14: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

63

pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyidikan,

penyelidikan dan penunutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan

tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan

monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Agar tugas tersebut berjalan efektif dan dapat mewujudkan tujuan

dibentuknya, KPK diberi kewenangan-kewenangan hukum yang secara

eksplisit terdapat dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14

UU KPK. Dalam melaksanakan koordinasi dengan instansi lain KPK

diberikan kewenangan hukum berdasarkan Pasal 7 UU KPK berupa:

a. Mengkoordinasi penyidikan, penyelidikan dan

penuntutan tindak pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan

pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan

tindak pidana korupsi kepada instansi yang berkaitan;

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan

instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi; dan

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan

tindak pidana korupsi.

Dalam melakukan tugas supervisi terhadap instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,

berdasarkan Pasal 8 UU KPK diberi kewenangan hukum untuk

melakukan tindakan-tindakan antara lain:

a. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan

terhadap instansi yang menjalankan tugas dan

wewenangannya yang berkaitan dengan pembeantasan

tindak pidana korupsi dan instansi yang dalam

melaksanakan pelayanan publik.

b. Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap

pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan

oleh kepolisian atau kejaksaan.

Page 15: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

64

c. Dalam hal KPK mengambilalih penyidikan atau

penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib

menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara

beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan

paling lama dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja,

terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.

d. Penyerahan tersebut membuat dan menandatangani

berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan

kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat

penyerahan tersebut beralih kepada KPK.

Berkaitan dengan tugas KPK dalam melakukan penyidikan,

peyelidikan dan penuntutan perkara korupsi, Pasal 12 memberikan

kewenangan hukum kepada KPK sebagai berikut:

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk

melarang seseorang berpergian ke luar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga

keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka

atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan

lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil

dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain

yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka

untuk memberhentikan sementara tersangka dari

jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka

atau terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. Mengentikan sementara suatu transaksi keuangan,

transaksi perdagangan dan perjanjian lainnya atau

pencabutan sementara perijinan lisensi serta konsensi

yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau

terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang

cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi

yang sedang diperiksa;

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi

penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian,

penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri;

i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang

terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan,

penggeledahan dan penyitaan dalam perkara tindak

pidana korupsi yang sedang ditangani.

Page 16: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

65

Dalam melaksanakan tugas pencegahan, berdasarkan Pasal 13 UU

KPK diberikan kewenangan hukum berupa:

a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap

laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara;

b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi

pada setia jenjang pendidikan;

d. Merancang dan mendorong terlaksananya program

sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;

e. Melakukan kampanye anitkorupsi kepada masyarakat

umum;

f. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Mengenai tugas monitoring yang merupakan tugas KPK, Pasal 14

memberikan kewenangan hukum kepada KPK agar pelaksanaannya

berjalan efektif, yaitu:

a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan

administrasi disemua lembaga negara dan

pemerintahan;

b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan

pemerintahan untuk melakukan perubahan jika

berdasarkan hasil pengkajian sistem pengelolaan

administrasi tersebut berpotensi korupsi;

c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia,

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan

Badan Pemeriksa Keuangan jika saran KPK mengenai

usulan perubahan tidak diindahkan.

3. Independensi KPK di Indonesia

Pengertian dasar dari istilah 'independent' adalah adanya

kebebasan, kemerdekaan, kemandirian, otonom (otonomi), tidak dalam

dominasi personal maupun institusional. Sehingga, ada pelaksanaan

kehendak bebas (free will) yang dapat terwujud tanpa ada pengaruh yang

secara signifikan merubah pendiriannya untuk membuat keputusan atau

Page 17: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

66

kebijakan. Secara filosofis, person atau institusi yang independen

(otonom) dibatasi oleh tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh otoritas yang

lebih tinggi (Iebih berwenang) yang dalam operasional selanjutnya tidak

lagi dapat mencampuri pelaksanaan fungsinya yang independen.23

Mahkamah Konstitusi pernah menafsirkan mengenai lembaga

independen dalam mempertimbangkan hukum Putusan MK RI Nomor

005/PUU-I/ 2003 tentang perkara permohonan pengujian Undang-Undang

No. 32 Tahun 2002 tentang Komisi Penyiaran Indonesia (UU KPI)

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

MK RI RI menjelaskan bahwa :

“Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan

sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi

modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan

prinsip check and banlances untuk kepentingan yang lebih

besar”

Alasan lain diperlunya sejumlah lembaga independen adalah sebagai

upaya untuk mendorong transparansi, pemerintahan yang bersih,

pemenuhan terhadap hak asasi manusia dan mencegah penyalahgunaan

kekuasaan. Dijelaskannya :

on the one hand, mechanisms were introduced to distance

certains from party political or purely government control

and to ensure transparent and clean government, while on

the other hand there were various institutions designed to

further human rights and to prevent the abused of

government power.

Sebagaiamana diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mana :

23

Hendra Nurtjahjo, Lembaga, Badan dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary

Agencies) di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara Indonesia, Jurnal Hukum dan

Pembangunan, Tahun ke-35, No.3 Juli-September 2003, h.280.

Page 18: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

67

“lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangannya

bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”.

Penjelasan Pasal 3 dijelaskan bahwa

“Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan

manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi

tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau

anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif,

yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan

perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi

ataupun dengan alasan apapun. ”

Dalam putusan MK RI RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 menegaskan

bahwa sifat independen KPK bahwa rumusan dalam Pasal 3 UU KPK itu

sendiri telah tidak memberikan kemungkinan adanya penafsiran lain selain

yang terumuskan dalam ketentuan pasal dimaksud, yaitu bahwa

independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun

adalah dalam hanya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan

“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar” Pasal ini mengindikasikan pemberian penegasan terhadap

Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yaitu “Presiden Republik

Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang

Dasar” yaitu dianutnya sistem pemerintahan presidensial, dengan

mempertegas kedudukan Presiden sebagai kepala negara (head of state)

sekaligus sebagai kepala pemerintahan (head of government) tidak dapat

dipisahkan dan dipilih langsung oleh rakyat, sehingga Presiden memiliki

kewenangan sebagai “the sovereigh executive” untuk menjalankan

Page 19: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

68

“independent power” dan “inheren power”,24

serta membangun

separation of power dan hubungan cheks and balances antar lembaga

negara.25

KPK selanjutnya diklasifikasikan sebagai Komisi Negara. Komisi

Negara sering disebut dalam beberapa istilah berbeda, misalnya di

Amerika Serikat dikenal sebagai administrative agencies. Menurut

Asimow, komisi negara adalah: units of government created by statute to

carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative

agencies fall in the executive branch, but some important agencies are

independent.26

atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa lembaga

administrasi merupakan bagian dari pemerintahan yang dibentuk dengan

undang-undang untuk menjalankan fungsi khusus dalam

mengimplementasikan undang-undang dimana lembaga ini merupakan

bagian dari eksekutif tetapi beberapa lembaga khusus bersifat mandiri.

Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah bersifat biasa atau

independen, Asimov melihatnya dari segi bagaimana mekanisme

pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut.

Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen, hanya

dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-

24

Jimly Asshiddiqie. Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Press, Jakarta 2007, h. 226 25

Sudirman, Kedudukan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial (Telaah

Terhadap Kedudukan dan Hubungan Presiden dengan Lembaga Negara yang Lain dalam

Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h.3. 26

putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006

Page 20: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

69

undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi

negara biasa, dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden.27

Melihat karakteristik tersebut maka berdasarkan sistem

pemerintahan presidensial dimana Presiden memiliki kedudukan sebagai

kepala pemerintahan (chief of executive) memiliki fungsi yakni

memimpin dan yang mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas-tugas

eksekutif. Dalam menjalankan fungsinya sebagai kepala pemerintahan,

presiden memiliki hak prerogatif yaitu mengenai pengangkatan dan

pemberhentian pejabat eksekutif guna menjalankan tugas pemerintahan

sehari-hari, sehingga Presiden dapat mengontrol, mengawasi dan

mengarahkan pejabat eksekutif agar memastikan bahwa seluruh aturan di

eksekusi sebagaimana mestinya. Secara teoritis, hak prerogatif

diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga

tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat

oleh lembaga negara yang lain.28

Sehingga demikian dalam menjalankan

pemerintahan tersebut pada akhirnya presiden akan bertanggungjawab

atas segala tindakan yang berkaitan dengan fungsi pemerintahannya

kepada rakyat yang berdaulat yang memilihnya secara langsung dalam

pemilihan umum..

27 Michael R. Asimov, Administrative Law, di dalam Arifin Mochtar, Zainal, Lembaga

Negara Independen: Dinamika Perkembagan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-

Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h.20. 28

H.Kaharudin, H.M. Galang Asmara, Minolah & Haeruman Jayadi, Hak Prerogatif

Presiden dalam Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Berdasarkan UUD NRI TAHUN 1945, Jurnal media Hukum Volume 23 No.2, Desember 2016,

h.139.

Page 21: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

70

Dalam konteks KPK, pengisian jabatan tidak dilakukan oleh satu

lembaga saja akan tetapi terdiri dari beberapa lembaga dalam rangka

mewujudkan check and balance. Berdasarkan Pasal 30 UU KPK

Pimpinan KPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik

Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden

Republik Indonesia. Namun sebelumnya untuk melancarkan pemilihan

dan penentuan calon pimpinan KPK, Pemerintah membentuk panitia

seleksi yang bertugas melakukan seleksi terhadap calon-calon yang

mendaftar menjadi pimpinan KPK. Panitia seleksi ini terdiri dari unsur

pemerintah dan masyarakat. Sedangkan tanggung jawab KPK berdasarkan

Pasal 20 ayat (1) UU KPK menyatakan bahwa: KPK bertanggungjawab

kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya

secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Karakteristik lembaga independen selanjuntya ialah berkaitan erat

dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dilakukan berdasarkan

sebab-sebab yang diatur dalam UU pembentukan lembaga yang

bersangkutan, tidak sebagaiamana lazimnya lembaga eksekutif lainnya

yang dapat diberhentikan oleh Presiden. Hal serupa dibahas oleh William

F.Fox Jr. bahwa suatu lembaga negara adalah independen apabila

dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam Undang-Undang lembaga

tersebut. Atau, apabila presiden dibatasi untuk tidak secara bebas

memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan

Page 22: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

71

komisi.29

Dalam konteks KPK mekanisme pemberhentian diatur dalam

Pasal 32 UU KPK.

Selain masalah pemberhentian yang terbatas dari intervensi

Presiden, William F. Funk dan Richad H. Seamon memberikan penjelasan,

bahwa sifat independen dari suatu komisi terefleksikan sedikitnya dari tiga

hal: pertama, kepemimpinan yang bersifat kolektif, bukan hanya dipimpin

oleh seorang pimpinan; kedua, kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas

berasal dari partai politik tertentu; dan ketiga, masa jabatan para pemimpin

komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).30

Karakterisitik ini terdapat di dalam UU KPK yang diatur dalam Pasal 21

ayat (5) UU KPK yang menyatakan “pimpinan komisi pemberantasan

korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bekerja secara kolektif”

dan Pasal 21 ayat (1) huruf a menyatakan “pimpinan Komisi

Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) anggota Komisi

Pemberantasan Korupsi.” Selain itu, kepemimpinan KPK tidak dikuasai

atau tidak mayoritas berasal dari partia politik tertentu (nonpartisan)

dimana salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi pimpinan KPK

harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 29 huruf h UU KPK, yang

menyatakan “tidak menjadi pengurus salah satu partai politik.” Mengenai

masa jabatan KPK bersifat definitif, dan habis secara bersamaan. Hal ini

29

Willian F.Fox Jr, Understanding Administrative Law, Lexis Publishing, Printed in the

united States of America, new York, 2000, di dalam Arifin Mochtar, Zainal, Lembaga Negara

Independen: Dinamika Perkembagan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen

Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h.56. 30

William F. Funk and Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples and

Explanations, New York, Aspen Publishers, Inc, 2001, di dalam Arifin Mochtar, Zainal, Lembaga

Negara Independen: Dinamika Perkembagan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-

Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h. 23.

Page 23: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

72

tercermin dalam Pasal 34 UU KPK yang menyatakan : “pimpinan Komisi

Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan

sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.”

Dengan demikian, untuk kategori ini KPK hanya memenuhi karakteristik

masa jabatan pimpunan definitif, namun tidak menggunakan penggantian

secara bertahap (staggered terms).31

Melihat karakteristik yang telah disebutkan tersebut, maka KPK

mempertegas kedudukannya sebagai lembaga independen.

C. Kritik Terhadap KPK Sebagai Lembaga Independen di

Tinjau dari Sistem Pemerintahan Presidensial

Pada sub bab ini, akan mengkritik karakteristik KPK tersebut di

dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial dengan

menggunakan teori yang dikenal dengan unitary executive theory.

1. KPK sebagai Eksekutif

Prinsip penting dalam sistem pemerintahan presidensial ialah

hanya dikenal satu macam eksekutif yang dipegang oleh Presiden yang

mana presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR akan tetapi

bertanggung jawab kepada rakyat karena dipilih secara langsung.

kekuasaan eksekutif yang berada di satu tangan maka akan memperkokoh

kedudukan dan kekuasaan presiden. Sebagai pemegang kekuasaan

eksekutif tunggal tentunya bahwa Presiden harus menjalankan fungsi

31

Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen: Eksistensi Independent Agencies

Sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, Genta Press, Yogyakarta,

2012,h. 107.

Page 24: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

73

pemerintahannya secara mandiri dan bebas dari kontrol lembaga

legislatif.32

Kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia diatur

dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Presiden

Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-

Undang Dasar”. Pasal ini menjelaskan bahwa presiden ialah bukan saja

memegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan akan tetapi sebagai

kepala pemerintahan (chief of executive). Hal ini kemudian memberikan

arti bahwa segala urusan pemerintahan dan seluruh lembaga yang

menjalankan kekuasaan pemerintahan tunduk dibawah presiden. Demikian

maksud dari kekuasaan pemerintahan menurut ketentuan tersebut ialah

kekuasaan eksekutif.

Presiden sebagai kepala pemerintahan, memiliki makna bahwa

Presiden memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang.

Melaksanakan undang-undang memiliki pengertian yang luas, tidak hanya

kekuasaan untuk membuat Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden

sebagai sarana untuk melaksanakan undang-undang, namun secara

substansial, melaksanakan undang-undang memiliki makna kekuasaan

untuk mencapai tujuan negara.33

Meskipun kewajiban untuk mewujudkan

tujuan negara merupakan tanggung jawab semua lembaga negara dan juga

32

Jazim Hamidi & Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, Alumni,

Bandung, 2010, h.84.

33

Sudriman, Kedudukan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial (Telaah

Terhadap Kedudukan Presiden dengan Lembaga Negara yang lain dalam UUD NRI NRI Tahun

1945), Fakultas Hukum Brawijaya, h.10.

Page 25: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

74

seluruh bangsa Indonesia, namun secara riil kekuasaan eksekutif yang

mengemban kewajiban tersebut untuk diwujudkan. Mengemban kewajiban

sedemikian besar tersebut, menjadikan kekuasaan eksekutif dibekali alat

kelengkapan negara yang paling lengkap mulai dari kabinet, serta pejabat-

pejabat pelaksana mulai dari pusat sampai daerah. Presiden dan alat

kelengkapannya eksekutif yang dimilikinya tersebut, bertanggung jawab

secara penuh melaksanakan undang-undang, administrasi negara dan juga

hubungan luar negeri.34

Akan tetapi terdapat hal yang cukup mengganggu pemurnian

kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Pada dasarnya

dianutnya unitary executive dalam sistem pemerintahan presidensial

dimaksudkan Presiden dapat menjadi sentrum kekuasaan. Sebagai sentrum

kekuasaan, Presiden tidak dibutuhkan memiliki hubungan kausalitas atau

saling tergantung dengan lembaga negara yang lain, kecuali hubungan

cheks and balances. Kedudukan Presiden dalam menjalankan kekuasaan

eksekutif adalah kuat tidak membutuhkan dan tergantung pada dukungan

lembaga legislatif.35

Hubungan Presiden dengan DPR menjadi salah satu penentu

dianutnya sistem pemerintahan presidensial. Kedua lembaga ini

merepresentasikan hubungan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif.

Berbeda dengan negara dianutnya plural executive dalam negara dengan

sistem pemerintahan parlamenter dimana kekuasaan terbesar ada pada

34

Ibid,h.10-11 35

Ibid, h.17.

Page 26: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

75

parlamen sehingga tingginya tingkat dependensi atau ketergantungan

eksekutif kepada dukungan parlamen. Implikasi dari besarnya kekuasaan

parlamen ialah legislatif memiliki kekuatan yang sangat besar karena dapat

membentuk peraturan untuk mengontrol kekuasaan eksekutif.

Di Indonesia KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan

tindak pidana korupsi, jelas bahwa berdasarkan Pasal 3 UU KPK

pembentuk UU membentuk KPK sebagai lembaga negara yang berdiri

sendiri diluar kekuasaan eksekutif, bahkan dapat disebut sebagai ”super

body” dalam sistem peradilan pidana yang sudah eksis sebelumnya yakni

kepolisian dan kejaksaan.

Selain itu berkembang penafsiran lain yang menempatkan KPK

sebagai lembaga yudikatif karena menajalnkan fungsi yang berpedoman

pada Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “badan-

badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur

dalam undang-undang”. Nazaruddin Sjamsuddin, dkk selanjutnya

mengatakan bahwa berkaitan dengan tugas dan wewenang KPK adalah

melakukan penyidikan penyelidikan dan penuntutan. Dengan demikian

KPK merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU yang

fungsinya berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman.36

Mahkamah

Konstitusi yang menyatakan bahwa KPK termasuk badan-badan lain yang

36

Putusan MK RI No.012-016-019/PUU-IV/2006, h.133.

Page 27: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

76

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tertuang dalam Putusan MK RI

No.012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan37

:

“Sementara itu, lembaga yang menangani perkara tindak

pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien

dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga

pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting

secara konstitusional (constitutionally important) dan

termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan

kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal

24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945”

Fungsi yudikatif sendiri diartikan sebagai suatu fungsi yang

mamiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus serta

berperan untuk mengawasi jalannya undang-undang. Berdasarkan hal

tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menjalankan fungsinya

KPK tidak dapat dimasukkan dalam kekuasaan yudikatif karena KPK

tidak memiliki kewenangan seperti halnya peradilan yakni sampai pada

memberikan putusan. Sehingga demikian dikatakan bahwa KPK

merupakan bagian dari cabang eksekutif karena KPK menjalankan fungsi

pemerintahan dibidang penegakan hukum yang berkaitan dengan

pemberantasan korupsi yang mana berdasarkan sistem pemerintahan

presidensial yang termuat dalam UUD NRI telah memberikan fungsi

pemerintahan tersebut kepada Presiden sebagai satu-satunya pemegang

kekuasaan pemerintahan.

37

Putusan MK RI No.012-016-019/PUU-IV/2006, h.269.

Page 28: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

77

2. KPK Sebagai Eksekutif Seharusnya Koheren Dengan Pasal 4

ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Dalam susunan tata negara Indonesia, UUD NRI Tahun 1945

menjadi dasar negara serta sumber dari segala kekuasaan. UUD NRI

Tahun 1945 ini yang kemudian menetapkan dan membatasi kekuasaan,

yang menjaga dan memelihara undang-undang, menetapkan kewajiban

dan tanggungjawab tertentu. Berdasarkan kepadanya, kedaulatan tertinggi

berada ditangan rakyat yang dilaksanakan menurut UUD NRI Tahun 1945.

Setelah mengetahui dengan jelas tugas dan fungsi KPK yang sama

dengan fungsi pemerintahan yang disusun dalam UUD NRI Tahun 1945

maka bedasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memberikan

kekuasaan eksekutif kepada presiden sebagai kepala dari cabang

kekuasaan pemerintahan (chief of executive). Presiden kemudian

mengepalai suatu badan eksekutif yang besar yang melingkupi departemen

eksekutif yang masing-masing dibawah pimpinan seorang anggota

kabinet. Dengan perantaraan badan eksekutif tersebut, presiden

melaksanakan peraturan-peraturan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU

yang dibentuk oleh Kongres, serta menyelenggarakan pekerjaan

pemerintahan guna kepentingan seluruh rakyat. Dengan kekusaan yang

didapat langsung dari UUD NRI Tahun 1945 maka segala jabatan yang

berada dibawah eksekutif lainnya bertanggungjawab kepada presiden.

Sistem pemerintahan Indonesia dibawah UUD NRI Tahun 1945,

sebenarnya dimaksudkan sebagai sistem pemerintahan presidensial. Baik

dalam penjelasan umum UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam pengertian

Page 29: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

78

umum yang berkembang selama ini, indonesia memang menganut sistem

pemerintahan presidensial. Akan tetapi, dalam prakteknya terjadi

Indonesia tidak benar-benar menganut sistem presidensial. Hal ini dapat

dilihat dengan kehadiran KPK di tingakat UU yang kemudian diidealkan

sebagai lembaga independen.

Kehadiran lembaga independen pada tingkat UU memiliki arti

bahwa UU tersebut telah merubah ketentuan dalam UUD NRI.

Berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan jelas bahwa konstitusi

atau dalam hal ini ialah UUD NRI merupakan dasar hukum yang dijadikan

pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Sehingga berdasarkan asas

hukum bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi. Demikian maka, UU tidak boleh

secara mendasar merubah ketentuan dalam UUD NRI, apalagi sampai

pada membatasi kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan

pemerintahan sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial.

Kehadirannya selanjutnya tentu telah membatasi kekuasan presiden

dalam bidang pemerintahan yang telah diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1)

UUD NRI Tahun 1945. Pembatasan kekuasaan presiden tersebut dapat

dilihat dari 2 hal yakni pertama, mengenai pengangkatan dan

pemberhentian pejabat eksekutif tidak dapat dilakukan oleh Presiden

karena telah dibatasi dalam undang-undang KPK yang dibentuk oleh

legislatif, sehingga presiden tidak dapat bertanggungjawab kepada rakyat

atas perbuatan dalam konteks ketatanegaraan yang dilakukan oleh KPK,

dan yang kedua mengenai pengurangan fungsi presiden dalam

Page 30: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

79

menjalankan pemerintahan dibidang penegakan hukum dalam hal ini

mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi.

a. Pembatasan kekuasaan Presiden dalam Hal Pengangkatan

dan Pemberhentian Pejabat Eksekutif

Sistem pemerintahan merupakan sistem yang menjelaskan

hubungan/relasi antara pemegang kekuasaan eksekutif dengan pemegang

kekuasaan legislatif. Dalam kaitan ini, sistem pemerintahan negara

berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan

pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.

Cara pandang ini sejalan dengan doktrin dichotomy yang menempatkan

lembaga legislatif sebagai policy making (taakstelling) sedangkan

eksekutif sebagai policy executing (taak verwe-zenlijking). Berdasarkan

penjelasan paling mendasar itu, secara alamiah, sebagaimana ditulis

Patrick Ziegenhein dalam tulisannya “The Indonesian Legislature and Its

Impact on Democratic Consolidation” kapasitas untuk mengontrol potensi

penyimpangan kekuasaan eksekutif adalah tugas mendasar yang harus

dimiliki perlemen. Apabila diletakkan dalam desain bernegara Indonesia

yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.38

Dalam sistem pemerintahan presidensial, pola hubungan antara

lembaga eksekutif dan legislatif ialah kedudukan mereka yang sejajar

dimana lembaga eksekutif merupakan lembaga yang menjalankan

pemerintahan dalam konteks indonesia ialah presiden melaksanakan

ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 sedangkan kekuasaan legislatif

38

Putusan MK RI 36/PUU-XV/2017, h.114

Page 31: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

80

ialah cabang kekuasaan yang memiliki kewenangan membentuk peraturan

perundang-undangan dan melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif

dalam hal menjalankan perintah UUD NRI Tahun 1945. Selain berbicara

mengenai pola hubungan lembaga eksekutif dan legislatif, dalam sistem

pemerintahan presidensial selain berbicara mengenai kedudukan presiden

sebagai pemegang tertinggi kekuasaan pemerintahan (chief of executive)

juga berbicara menggenai kedudukannya sebagai kepala negara. Disinilah

kemudian kedudukan presiden bersifat unitary atau kekuasaannya bersifat

tunggal dan tidak dibagi.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa berdasarkan teori

unitary executive presiden memiliki tugas untuk memastikan bahwa

seluruh peraturan dieksekusi sebagaimana mestinya demikian maka

dibutuhkannnya pembantu-pembantu presiden untuk menjalankan seluruh

peraturan tersebut. Di dalam sistem pemerintahan presidensial, kedudukan,

susunan, dan keberlangsungan menteri dan pejabat eksekutif murni berada

di tangan seorang Presiden. Presiden memiliki hak prerogratif mengangkat

dan memberhentikan menteri dan pejabat eksekutif sesuai dengan

kebutuhannya dalam menjalankan roda pemerintahan dan guna

mewujudkan kepentingan rakyat secara umum. Keseluruhan negara yang

menganut sistem pemerintahan presidensial menempatkan kekuasaan

mengangkat menteri dan pejabat eksekutif lainnya di tangan Presiden

terlepas ada tidaknya ketentuan persetujuan kongres.

Page 32: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

81

Berdasarkan teori executive bukan saja berbicara mengenai

kekuasaan eksekutif sebagai boss bagi seluruh pegawai pemerintah di

cabang eksekutif tetapi kedudukannya yang diplih oleh rakyat menjadikan

Presiden sebagai national figure yang kuat sehingga presiden sebagai

pemegang kekuasaan eksekutif tunggal tidak bertanggungjawab kepada

parlamen tetapi langsung bertanggungjawab kepada rakyat yang

memilihnya.39

Dalam konteks Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun

1945, presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan mendapat

mandat langsung dari rakyat sehingga pada akhirnya presiden harus

bertanggungjawab kepada rakyat yang sumber legitimasinya di dapat dari

UUD NRI Tahun 1945.

Dengan demikian maka seluruh kegiatan pemerintahan yang

dilakukan oleh para pejabat eksekutif akan dipertanggungjawabkan oleh

presiden. Akan tetapi, dalam konteks KPK yang memiliki kedudukan

sebagai lembaga independen tersebut kemudian membuatnya berbeda

dengan jabatan publik lain yang melaksanakan tugas yang sama

dengannya yakni kejaksaan dan kepolisian, dimana boss dari ke dua

lembaga tersebut ialah Presiden, sedangkan implikasi dari Presiden bukan

boss dari KPK ialah Presiden tidak dapat bertanggungjawab kepada rakyat

dengan argument bahwa KPK bukanlah lembaga eksekutif.

Selain kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan

pejabat eksekutif, konsep teori unitary executive menjelaskan bahwa

39

Denny Indrayana, Bahan Ajar Hukum Tata Lembaga Negara : Teori Lembaga Kepresidenan, Fakultas Hukum UGM, h.17.

Page 33: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

82

presiden memiliki kewenangan untuk mengendalikan pejabat eksekutif

sebagai hak prerogatifnya tanpa keterlibatan dari kongres. Hal ini di

karenakan agar tugas pemerintahan dapat di jalankan secara baik dan

diimplementasikan secara benar. Akan tetapi di indonesia DPR terlibat

dalam menyusun lembaga independen dengan dibentuknya KPK

sebagaimana diketahui bahwa kehadirannya dibentuk berdasarkan Pasal 43

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

selanjutnya dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk oleh DPR.

Konsekuensi dari keterlibatan DPR membentuk lembaga yang

menjalankan fungsi pemerintahan dalam bidang penegakan hukum

tersebut tentunya sangat jelas mengurangi “energi” eksekutif karena

kehadiran lembaga independen dapat menimbulkan penolakan terhadap

kebijakan presiden untuk mengontrol pemerintahan. Pengurangan tersebut

terlihat dengan jelas bahwa kemudian presiden tidak dapat lagi

menggunakan hak prerogatifnya untuk mengangkat dan memberhentikan

bahkan untuk melakukan pengawasan terhadap pejabat eksekutif karena

kewenangannya tersebut telah dibatasi oleh kongres didalam Undang-

Undang. .

Sri Seomantri menjelaskan bahwa dalam sistem pemerintahan

presidensial, presidenlah yang mengetahui lembaga macam apa yang

diperlukan untuk menangani masalah-masalah tertentu dalam mewujudkan

Page 34: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

83

tujuan nasional (negara).40

Dengan pendapat tersebut kemudian dapat

disimpulkan bahwa seyogianya bukanlah kongres yang harus membentuk

lembaga negara yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi pemerintahan,

akan tetapi hal tersebut merupakan kewenangan dari presiden.

Konstitusi telah membatasi kekuasaan masing-masing lembaga

negara yang mana dalam menjalankan fungsi pemerintahan Presiden

dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sedangkan kongres

atau DPR telah dibatasi hanya dalam hal pembuatan peraturan perundang-

undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun

1945 yang berbunyi: “Dewan Perwakilan Rayat memegang kekuasaan

membentuk undang-undang.” Demikian maka DPR tidak memiliki

kewenangan untuk membatasi kekuasaan presiden karena kekuasaan

presiden dalam menjalankan kewenangannya telah dibatasi oleh konstitusi.

Pada prinsipnya pembatasan konstitusional menitikberatkan pada

pengaturan konstitusional secara benar bukan semata-mata untuk

meminimalisir fungsi lembaga negara, khususnya presiden yang bisa

sampai pada titik yang dapat melemahkan kekuasaannya atau mengurangi

hak dan kewenangannya secara berlebihan.41

Glen O.Robinson mantan Komisioner Komisi Komunikasi Federal,

mengamati bahwa pengaruh kepresidenan sebenarnya tidak pernah

terbawa sampai pada ajudikasi, baik untuk lembaga independen maupun

eksekutif, dan apabila itu terjadi, pengaruhnya akan tidak semestinya

40

Saldi Isra, Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat Sistem Trikameral di Tengah

Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, Jurnal Konstitusi, Vol.1 No 1, Juli 2014,h.116. 41

Jhon Pieris, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Preisden Republik Indonesia,

pelangi cendekia, Jakarta, 2007,h148.

Page 35: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

84

sebagai proses hukum. Seperti untuk pembuatan peraturan dan penegakan

hukum, Presiden tidak memiliki wewenang untuk mempengaruhi lembaga

eksekutif atau independen untuk bertindak bertentangan dengan mandat

hukum yang diterimanya.42

b. Pembatasan kekuasaan Presiden dalam Menjalankan

Pemerintahan di Bidang Penegakan Hukum

Apabila dilihat dari tugasnya KPK jelas menjalankan fungsi

pemerintahan dalam bidang penegakan hukum sebagaimana dimaksudkan

dalam Pasal 6 huruf c UU KPK: melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Tugas KPK tersebut

merupakan tugas pemerintahan yang dijalankan oleh kepolisian yang

mengacu pada Pasal 14 ayat (7) UU No.2 Tahun 2002 tentang Tugas dan

Wewenang Kepolisian bahwa “Melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan

peraturan perundang-undangan lainnya” dan Kejaksaan sesuai dengan

ketentuan Pasal 30 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia bahwa kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan

terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang dan

penuntutan.

Dalam putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006

keterangan tertulis dari ahli Dr.Mudzakkir, S.H, M.H mengatakan bahwa :

Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana, pengaturan

kekhususan Iembaga KPK ini membingungkan, karena

42 Robinson, Independent Agencies: Form and Substance in Executive Prerogative 1988

DUKE L.J. 238, h.243-46 di dalam Geoffrey P. Miller, Indtroduce : The Debate Over Independent

Agencies in Light of Empirical Edivence, Symposium : The Indepedence of Independent Agencies,

Duke Law Journal, Number 2 & 3, April/June, Volume 1988,h. 219

Page 36: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

85

KPK melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawab

eksekutif di bidang pencegahan kejahatan dan penegakan

hukum pidana, tetapi lembaga KPK tidak berada di bawah

koordinasi dan bertanggung jawab kepada presiden.

Independensi atau kemandirian lembaga apapun, seperti

lembaga KPK, yang melaksanan tugas-tugas eksekutif

semestinya harus berada di bawah koordinasi dan tanggung

jawab Presiden. Lembaga di bawah Presiden dapat diberi

kewenangan-kewenangan yang khusus atau istimewa

termasuk melakukan koordinasi dan supervisi kepada polisi

dan jaksa dalam pencegahan dan penegakan hukum pidana

korupsi (tindak pidana korupsi)… secara sistematik,

struktural dan fungsional akan dapat berjalan efektif apabila

lembaga KPK berada dalam satu atap kekuasaan eksekutif,

yakni di bawah Presiden tetapi dalam melaksanakan

tugasnya bersifat independen. Sebaliknya, lembaga KPK

yang berada di luar kekuasaan eksekutif secara struktural

dan fungsional akan sulit untuk melaksanakan tugas

koordinasi, supervisi dan tugas-tugas lainnya yang

berkaitan dengan wewenang eksekutif yang secara

struktural di bawah tanggung jawab Presiden. Prinsip

tersebut juga berlaku terhadap kekuasaan yang lain yang

mandiri yakni kekuasaan judikatif tidak dapat memaksa

kepada eksekutif, demikian juga sebaliknya, dan judikatif

dalam hubungannya dengan peradilan juga tidak dapat

melakukan kordinasi dan supervisi kepada eksekutif.

Masing-masing, berdiri sendiri di bawah kekuasaan yang

berbeda. Lantas lembaga KPK posisinya harus berada

dimana? Menurut pandangan ahli, berdasarkan sistem

penyelenggaraan peradilan pidana, semestinya KPK harus

di bawah kekuasaan eksekutif. Meskipun KPK di bawah

kekuasaan eksekutif, KPK tetap dijamin kemandirian atau

otonominya sebagai lembaga yang mandiri dan otonom

yang memiliki fungsi dan wewenang khusus/istimewa di

bidang pemberantasan tindak pidana korupsi. Jika KPK

tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif, maka KPK

tidak berwenang untuk melakukan koordinasi dan supervisi

terhadap organ eksekutif yang melakukan tugas dibidang

pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Sebagai lembaga penuntut umum yang terpisah dengan

kekuasaan eksekutif, KPK bertanggung jawab untuk

melaksanakan eksekusi sendiri, berarti KPK harus memiliki

lembaga penjara atau lembaga pemasyarakatan sendiri

untuk melaksanakan pidana penjara.

Page 37: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

86

Kehadirannya dengan jelas telah mengurangi kekuasaan presiden

dalam menjalankan pemerintahan di bidang penegakan hukum khususnya

terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ketidakjelasan kedudukan KPK selama ini yang mana masih

adanya pembatasan kekuasaan presiden terlihat jelas dari beberapa putusan

MK RI sebelumnya yakni: apabila sebelumnya melalui Putusan MK RI

Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006 yang

menyatakan pembentukan KPK dianggap penting secara konstitusional

dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman; Putusan MK RI Nomor 5/PUU-IX/2011 yang menyatakan

KPK lembaga independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara

lain melaksanakan sebagain fungsi kekuasaan kehakiman untuk

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan supervisi atas

penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh institusi lain; dan Putusan

MK RI Nomor 49/PUU-XI/2013 memutuskan pembentukan lembaga yang

terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, termasuk KPK punya

landasan konstitusional dalam pasal 24 ayat 3 UUD NRI TAHUN 1945.

Selanjutnya dalam putusan terbarunya MK RI memperkuat

Kedudukan KPK sebagai lembaga negara dibawah ranah eksekutif yakni

melalui Putusan MK RI 36/PUU-XV/2017 mengenai Pengujian Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Page 38: BAB III EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI · yudisial namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. 6. Sementara itu lebih lanjut dalam padangan Cornelis Lay, kelahiran

87

Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam putusan ini MK RI RI

berpendapat bahwa: “KPK merupakan lembaga yang berada di ranah

eksekutif yang melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sejatinya

merupakan kewenangan Kepolisian dan/atau Kejaksaan…”

Melihat hal tersebut maka tidak saja sampai pada putusan yang

telah dikeluarkan oleh MK RI mengenai kedudukan KPK tersebut,

menurut penulis bahwa selanjutnya perlu diikuti dengan pengaturan

kembali atau re-organisasi KPK agar kehadirannya konstitusional dalam

ketatanegaraan Indonesia terutama terkait dengan sistem pemerintahan

yang dianut oleh Indonesia.