Upload
jacob-jones
View
48
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batu Bata
Batu bata merupakan salah satu bahan material sebagai bahan pembuat dinding,
yang terbuat dari tanah liat atau tanah lempung yang dibakar sampai berwarna
kemerah merahan. Tidak semua jenis tanah liat dapat digunakan untuk pembuatan
batu bata. Jenis tanah liat yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku
pembuatan batu bata hanyalah yang memiliki cukup kandungan pasir dan terasa
berlemak saat dipegang. Hingga saat ini batu bata telah menjadi bagian dari
sebagian besar rumah yang ada di Indonesia. Dengan berbagai keunggulannya,
tidak heran jika batu bata ini masih bertahan untuk menjadi bagian dari rumah
kita. Dimana batu bata memeiliki keunggulan yaitu murahj, mudah didapat,
memiliki warna yang khas, kuat, serta penolak panas yang baik (Susanta, 2007).
Secara umum terdapat 2 jenis batu bata, yaitu batu bata pres dan batu bata
konvensional. Pembuatan batu bata pres menggunakan bantuan mesin- mesin.
Hasilnya adalah batu bata yang memiliki tekstur halus, memiliki ukuran yang
sama dan terlihat lebih rapi. Sedangkan batu bata konvensional dibuat dengan
cara tradisional dan menggunakan alat- alat yang sederhana. Proses
pembuatannya tanah liat atau tanah lempung yang telah dibersihkan, diberi sedikit
air dan selanjutnya dicetak menjadi bentuk kotak-kotak. Cetakan batu bata
biasanya terbuat dari kayu yang secara sederhana dibuat menjadi kotak. Adonan
yang telah dicetak, dikeluarkan dan dijemur di bawah matahari sampai kering.
Batu bata yang sudah kering kemudian disusun menyerupai bangunan yang tinggi
kemudian dibbakar dalam jangka waktu yang cukup lama, kurang lebih 3 hari.
Sampai batu bata terlihat sedikit hangus. Suhu api pada saat pembakaran dapat
mencapai 1000 derajat Celcius. Dalam pembakaran batu bata biasa menggunakan
kayu atau sekam yang akan membuat batu bata memiliki lubang- lubang kecil
menyerupai pori-pori. Salah satu cirri dari batu bata konvensional adalah bentuk
yang tidak selalu sama, tidak rapid an bertekstur kasar. Ini dapat dipahami karena
pembuatan batu bata konvensional menggunakan alat- alat yang sederhana dan
lebih mengutamakan sumber daya manusia dalam pembuatannya (Dewi Pujiani,
2011).
Di pasaran terdapat bermacam-macam ukuran batu bata. Umumnya batu bata
yang diperjualbelikan berukuran tebal atau tinggi 3 - 5 cm, lebar 7 - 11 cm,
panjang 17 - 22 cm, serta berat ± 3 kg / biji. Ukuran batu bata ini tergantung dari
merek dan daerah asalnya (Dewi Pujiani, 2011).
2.2 Konsep Dasar Ergonomi
2.2.1 Pengertian dan Tujuan Ergonomi
Ergonomi berasal dari kata Yunani ergon (kerja) dan nomos (aturan), secara
keseluruhan ergonomi berarti aturan yang berkaitan dengan kerja. Ada beberapa
definisi tentang ergonomi yang dikeluarkan oleh para pakar dibidanngnya antara
lain:
a. Ergonomi adalah ilmu, seni, dan penerapan teknologi untuk menyerasikan
atau menyeimbangkan segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas
maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik
maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi baik
(Tarwaka, dkk, 2004).
b. Ergonomi adalah ilmu serta penerapannya yang berusaha untuk
menyeserasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya
dengan tujuan tercapainya produktifitas dan efisiensi yang setinggi-tingginya
melalui pemanfaatan manusia seoptimal- optimalnya (Suma’mur P.K, 2009).
Tujuan ergonomi adalah meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental
melalui upaya pencegahan cidera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban
kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja. Meningkatkan
kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial dan
mengkoordinir kerja secara tepat, guna meningkatkan jasmani social baik selama
kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif. Menciptakan
keseimbangan yang rasional antara aspek teknis, ekonomis, dan antropologis dari
sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup
yang tinggi. (Tarwaka.dkk, 2004)
2.2.2 Metode dan Prinsip Ergonomi
1. Metode
Terdapat beberapa metode dalam pelaksanaan ilmu ergonomi.
Metode-metode tersebut antara lain (Suma’mur P.K, 2009).
a. Diagnosis, dapat dilakukan melalui wawancara dengan pekerja, inspeksi
tempat kerja penilaian fisik pekerja, uji pencahayaan, ergonomic checklist
dan pengukuran lingkungan kerja lainnya. Variasi akan sangat luas mulai
dari yang sederhana sampai kompleks.
b. Treatment, pemecahan masalah ergonomi akan tergantung data dasar pada
saat diagnosis. Kadang sangat sederhana seperti merubah posisi mebel,
letak pencahayaan atau jendela yang sesuai dengan dimensi fisik pekerja.
c. Follow- up, dengan evaluasi yang subyektif misalnya dengan menanyakan
kenyamanan, bagian badan yang sakit, nyeri bahu dan siku, keletihan, sakit
kepala dan lain-lain. Dan secara obyektif misalnya dengan parameter
produk yang ditolak, absensi sakit, angka kecelakaan dan lain-lain.
2. Prinsip
Memahami prinsip ergonomic akan mempermudah evaluasi setiap tugas atau
pekerjaan meskipun ilmu pengetahuan dalam ergonomic terus mengalami
kemajuan dan teknologi yang digunaka dalam pekerjaan tersebut terus
berubah. Prinsip ergonomi adalah pedoman dalam menerapkan ergonomi di
tempat kerja. Adapun prinsip ergonomic yaitu bekerja dalam posisi atau postur
normal, mengurangi beban berlebihan, menempatkan peralatan agar selalu
berada dalam jangkauan, bekerja sesuai dengan ketinggian dimensi tubuh,
mengurangi gerakan berulang dan berlebihan, meminimalisasikan gerakan
statis, hindari sikap kerja paksa upayakan bekerja dengan sikap alamiah,
menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, melakukan gerakan peregangan
saat bekerja untuk mengurangi rasa lelah (Tarwaka.dkk, 2004).
2.2.3 Pengelompokan Ergonomi
Pengelompokkan bidang kajian ergonomi yang secara lengkap dikelompokan
sebagai berikut (Suma’mur P.K, 2009).
a. Faal kerja, yaitu bidang kajian ergonomic yang meneliti energi manusia yang
dikeluarkan dalam suatu pekerjaan. Tujuan dan bidang kajian ini adalah untuk
perancangan sistem kerja yang dapat meminimasi konsumsi energi yang
dikeluarkan saat bekerja.
b. Antropometri, yaitu bidang kajian ergonomi yang berhubungan dengan
pengukuran dimensi tubuh manusia untuk digunakan dalam perancangan
peralatan dan fasilitas sehingga sesuai dengan pemakaianya.
c. Biomekanika yaitu hubungan bidang kajian ergonomic yang berhubungan
dengan mekanisme tubuh dalam melakukan suatu pekerjaan, misaalnya
keterlibatan otot manusia dalam bekerja dan sebagainya.
d. Penginderaan, yaitu bidang kajian ergonomic yang erat kaitannya dengan
masalah penginderaan manusia, baik indera penglihatan, penciuman, perasa
dan sebagainya.
e. Psikologi kerja, yaitu bidang kajian ergonomic yang berkaitan dengan efek
psikologis dan suatu pekerjaan terhadap pekerjaannya, misalnya terjadi stress,
kelelahan kerja (kelelahan umum) daan lain sebagainya.
Pada prakteknya, dalam mengevaluasi suatu sistem kerja secara ergonomi,
kelima bidang kajian tersebut digunakan secara sinergis sehingga didapatkan
suatu solusi yang optimal, sehingga seluruh bidang kajian ergonomi adalah
suatu sistem terintegrasi yang semata- mata ditujukan untuk perbaikan kondisi
pekerjanya.
2.3 Beban Kerja
2.3.1 Definisi Beban Kerja
Beban kerja atau work load adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus
diselesaikan oleh tenaga kerja dalam jangka waktu tertentu (Eko Nurmianto,
2004). Setiap pekerjaan merupakan beban bagi yang melakukan pekerjaan
tersebut, baik itu berupa beban fisik, mental maupun sosial. Kemampuan Kerja
setiap orang berbeda- beda tergantung dari tingkat ketrampilan, kesegaran
jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia dan ukuran tubuh masing- masing
pekerja. Maka dari itu setiap beban kerja yang diterima harus seimbang atau
sesuai baik itu terhadap kemampuan fisik, kognitif, maupun keterbatasan manusia
menerima beban tersebut (Suma’mur P.K, 2009).
2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja
Menurut Tarwaka (2004) secara umum beban kerja dan kapasitas kerja
dipengaruhi oleh faktor yang kompleks, baik itu eksternal dan internal.
1. Faktor Eksternal
Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh
pekerja, sering disebut dengan stressor. Yang termasuk beban kerja eksternal
adalah:
a. Tugas- tugas (task) yang dilakukan bersifat fisik seperti, stasiun kerja, tata
ruang tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi atau medan kerja, sikap
kerja, sarana informasi termasuk display dan kontrol, alur kerja dan lain-
lain.
b. Organisasi kerja yang dapat mempengaruhi beban kerja seperti, lamanya
waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem
pengupahan, sistem kerja, model struktur organisasi, pelimpahan tugas
dan wewenang.
c. Lingkungan kerja dapat memberikan beban tambahan pada pekerja adalah:
i. Lingkungan kerja fisik seperti: mikroklimat (suhu udara,
kelembaban udara, kecepatan rambat udara dan suhu radiasi),
intensitas penerangan, intensitas kebisingan, vibrasi mekanis dan
tekanan udara.
ii. Lingkungan kerja kimiawi seperti: debu, gas- gas pencemar udara,
uap logam, fume dalam udara dan lain- lain.
iii. Lingkungan kerja biologis seperti: bakteri, virus dan parasit, jamur,
serangga.
iv. Lingkungan kerja psikologis seperti: pemilihan dan penempatan
tenaga kerja, hubungan antara pekerja dengan pekerja, pekerja
dengan atasan, pekerja dengan keluarga dan pekerja dengan
lingkungan sosial yang berdampak kepada performansi kerja di
tempat kerja.
2. Faktor Internal
Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu
sendiri sebagai akibat reaksi dari beban kerja eksternal. Reaksi tersebut
disebut strain. Faktor internal meliputi:
a. Faktor somatis ( jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan dan
status gizi).
b. Faktor psikis ( motivasi, persepsi, kepercayaan, keiinginan dan kepuasan).
2.3.4 Penilaian Beban Kerja
Jenis pekerjaan sebagai produsen batu bata lebih bersifat kerja fisik. Sikap kerja
dalam proses pembuatan batu bata terdiri dari sikap kerja berdiri, membungkuk,
jongkok dengan arah mundur secara berulang-ulang. Hal demikian menyebabkan
pengerahan tenaga lebih besar yang menyebabkan beban kerja fisik lebih besar.
Penilaian beban kerja fisik dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif,
yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode pengukuran langsung
yaitu dengan mengukur energi yang dikeluarkan melalui asupan oksigen selama
bekerja. Semakin berat beban kerja maka semakin banyak energi yang diperlukan
atau dikonsumsi. Meskipun metode dengan menggunakan asupan oksigen lebih
akurat, namun hanya dapat mengukur untuk waktu kerja yang singkat dan
diperlukan peralatan yang cukup mahal. Sedangkan metode pengukuran tidak
langsung adalah dengan menghitung denyut nadi selama bekerja (Tarwaka,dkk,
2004).
Berat ringannya beban kerja yang diterima seseorang dapat diukur dengan
menghitung denyut nadi. Denyut nadi per menit menggambarkan proses aktivitas
jantung dalam memompa darah ke luar masuk organ jantung. Semakin besar
frekuensi denyut jantung per menit berarti semakin tinggi aktivitas tubuh sehingga
metabolisme tubuh pun semakin tinggi. Peningkatan nadi kerja umumnya akan
terjadi saat seseorang melakukan pekerjaan yang menguras energi (Adiputra,
2002), ( Suma’mur P.K 2009).
Mengenai kategori beban kerja Pheasant (1991) menjelaskan bahwa salah
satu pendekatan untuk mengetahui kategori berat ringannya beban kerja
didasarkan pada konsumsi oksigen, energi yang terpakai, dan denyut jantung
adalah seperti terlihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Kategori Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi.
Sumber: Pheasant, 1991 hal 29
2.3.5 Denyut Nadi Sebagai Alat Ukur Beban Kerja
Salah adalah telemetri dengan menggunakan rangsangan electrocardio graph
(EEG). Apabila peralatan tersebut tidak tersedia, dapat dicatat secara manual
dengan memakai stopwatch dengan metode 10 denyut ( tens pulse methode).
Kategori Beban
Kerja
Konsumsi
Oksigen
(l/min)
Energi
Terpakai
(Kcal/min)
Denyut
Jantung
(denyut/min)
Ringan <0,5 <2.5 <90
Sedang 0,5-1,0 2.5-5.0 90-110
Berat 1,0-1,5 5.0-7.5 111-130
Sangat Berat 1,5-2,0 7.5-10 131-150
Extreme 2,0-2,5 >10 151-170
Caranya dengan menentukan berapa lama waktu untuk mendapatkan 10 denyutan
( hitung dari denyut pertama sampai denyut ke- 11) dibagi waktu dalam detik
kemudian dikali 60 detik akan diperoleh denyut per menit (Tarwaka, dkk, 2004).
Penggunaan nadi kerja untuk menilai kategori beban kerja mempunyai
beberapa keuntungan. Selain mudah, cepat, dan murah juga tidak diperlukan
peralatan yang mahal serta hasilnya cukup reliable serta tidak terlalu mengganggu
proses kerja dan tidak menyakiti orang yang diperiksa. Kepekaan denyut nadi
terhadap perubahan pembebanan yang diterima tubuh cukup tinggi. Denyut nadi
segera berubah seirama dengan perubahan pembebanan, baik yang berasal dari
pembebanan fisik ( Adiputra, 2002).
2.3.6 Dampak beban kerja
Manusia dan beban kerja serta faktor- faktor dalam lingkungan kerja merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kesatuan demikian digambarkan sebagai
roda keseimbangan yang dinamis. Apabila ada keseimbangan yang tidak
menguntungkan, terdapatlah keadaan labil bagi tenaga kerja dan berakibat pada
gangguan daya kerja, kelelahan, gangguan kesehatan bahkan kematian. Penyakit
akibat demikian mungkin berupa perburukan penyakit- penyakit umum dengan
frekuensi angkat dan beban kerjanya meningkat, tapi mungkin pula menjadi
penyakit akibat kerja. Berat beban yang melebihi batas kemampuan fisik yang
menyebabkan kelelahan kerja dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja
seperti keseleo, ketegangan otot dan lain-lain (Suma’mur P.K, 2009).
Berat ringannya beban kerja baik fisik maupun mental dapat mempengaruhi
tingkat kelelahan. Beban kerja fisik yang terlalu berat dapat berakibat cadangan
energi tubuh sangat berkurang serta penumpukan asam laktat yang berlebihan
sehingga tingkat kelelahan menjadi berat. Beban kerja yang terlalu ringan dan
monoton dalam waktu lama dapat menimbulkan kebosanan dan berakibat
stimulasi elektris sistim inhibisi menjadi lebih kuat, sehingga menurunkan
kemampuan bereaksi dan menimbulkan kecenderungan untuk tidur. Semuanya ini
dapat mengakibatkan kelelahan dalam tingkat yang berat meskipun beban kerja
fisik maupun mental yang harus dijalankan tidak berat (Purnawati, 2006)
2.4 Sikap Kerja
Sikap kerja (posture) adalah sikap dari tubuh manusia saat mereka mengadakan
interaksi dengan suatu peralatan kerjanya. Untuk sikap tubuh dalam keadaan
istirahat pada dasarnya yaitu sikap tubuh yang semua dari bagian tubuh tidak
melakukan interaksi seperti: duduk santai, berdiri, jongkok dan berbaring. Adapun
criteria sikap kerja yang ideal dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan
antara lain adalah sebagai berikut (Pheasant, 1991), (Pujiani Dewi,2011).
1. Otot yang bekerja secara statis sangat sedikit.
2. Dalam melakukan tugas dengan memakai tangan dilakukan secara mudah dan
alamiah.
3. Sikap kerja yang berubah- ubah atau dinamis lebih baik daripada sikap kerja
statis rileks.
4. Sikap kerja statis rileks lebih baik daripada sikap kerja statis tegang.
Pada prinsipnya dalam proses pembuatan batako dan batu bata sama. Pada saat
melakukan pekerjaan seperti saat mencetak batu bata tradisional, sikap tubuh
dapat merupakan salah satu atau gabungan dari sikap- sikap tersebut diatas. Untuk
sikap kerja yang baik adalah sikap kerja yang memungkinkan untuk
melaksanakan pekerjaan dengan tangan efektif dan dengan usaha dari otot yang
sedikit. Secara umum untuk sikap kerja yang berdiri akan lebih baik dari sikap
kerja jongkok, sikap kerja yang bervariasi akan lebih baik dari sikap kerja statis,
dan santai akan lebih baik dari sikap kerja statis dan tegang. Sikap kerja yang
tidak alamiah seperti sikap kerja jongkok yang relatif lama yang terdapat pada
sikap kerja pembuat batu bata akan menyebabkan gangguan sistem
musculoskeletal, tidak diatur sistem istirahatnya, dan dapat menimbulkan
kelelahan kerja. Sikap kerja jongkok yang berkepanjangan adalah merupakan
sikap kerja statis mempunyai kekurangan kalau dibandingkan dengan kontraksi
ototnya (Pujiani Dewi,2011).
1. Memerlukan tenaga yang lebih tinggi dalam usaha yang sama.
2. Denyut nadi meningkat lebih tinggi.
3. Cepat merasakan lelah.
4. Setelah bekerja memerlukan waktu untuk pemulihan yang relative lebih lama.
Sedangkan menurut Pheasant (1991) ada tujuh prinsip dasar dalam
mengatasi sikap tubuh selama bekerja yaitu:
1. Hindari inklinasi kedepan pada tubuh.
2. Hindari penggunaan anggota gerak bagian atas dalam posisi terangkat.
3. Hindari pemutaran badan dalam sikap asimetris (terpilin).
4. Hindari inklinasi kedepan pada kepala dan leher.
5. Lengkapi sandaran punggung pada semua tempat duduk.
6. Bila mungkin persendian hendaknya dalam rentangan atau jangkauan
sepertiga dari gerakan maksimum.
7. Bila menggunakan tenaga otot, hendaknya anggota badan dalam posisi
menghasilkan tenaga yang maksimum.
Sikap kerja dalam proses pencetakan batu bata adalah sikap kerja beridiri
dimulai dari persiapan alat, pembuatan adonan cetakan dari tanah liat, proses
pemadatan. Sedangkan posisi jongkok dan membungkuk dimana sikap kerja ini
pada proses pencetakan dan pemadatan yang kalau dilihat sikap kerja ini adalah
sikap kerja paksa. Sehingga jika lingkungan kerja memungkin untuk melakukan
perubahan sikap kerja dari jongkok menjadi sikap berdiri dengan bantuan meja
kerja untuk meninggikan tempat cetakan batu bata akan menurangi keluhan
subyektif dan kelelahan kerja. Dan apabila tidak memungkinkan untuk
meninggikan tempat cetakan batu bata, pada saat proses pencetakan maka dapat
dilakukan dengan sikap kerja duduk menggunakan kursi kecil atau tingklik untuk
menghindari sikap kerja paksa jongkok. (Wayan Dana, 2002).
2.5 Kelelahan Kerja
2.5.1 Definisi Kelelahan Kerja
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari
kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan
diatur secara sentral oleh otak. Pada susunan saraf pusat terdapat sistem aktivasi
(simpatis) dan sistem inhibisi ( parasimpatis). Kelalahan menunjukkan kondisi
yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya menyebabkan kehilangan
efisiensi dan menurunnya kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum.
Kelelahan otot adalah merupakan perasaan nyeri otot, ditunjukkan melalui gejala
sakit nyeri yang luar biasa seperti ketegangan otot dan daerah sekitar sendi.
Sedangkan kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk
bekerja yang disebabkan oleh monotomi berupa intensitas dan lamanya bekerja,
keadaan lingkungan, sebab-sebab mental, status kesehatan. Tubuh dirasakan
terhambat melakukan aktivitas, kehilangan keinginan untuk melakukan tugas-
tugas fisik maupun mental, merasa berat, ngantuk dan letih. Secara umum gejala
kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang sangat
melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja, apabila
rata- rata beban kerja melebihi 30-40 % dari tenaga aerobik (Tarwaka,dkk, 2004).
Menurut Suma’mur P.K (2009) kelelahan kerja adalah kelelahan yang terjadi
pada manusia oleh karena kerja yang dilakukan. Istilah kelelahan biasanya
menunjukkan kondisi berbeda- beda dari setiap individu, tetapi semuanya
bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan
tubuh. Kelelahan (Fatigue) adalah suatu kondisi yang telah dikenal dalam
kehidupan sehari- hari. Istilah kelelahan mengarah pada kondisi melemahnya
tenaga untuk melakukan suatu kegiatan. Kata kelelahan menunjukkan keadaan
yang berbeda- beda, tetapi semuanya berakibat kepada pengurangan kapasitas
kerja dan ketahanan tubuh .
2.5.2 Faktor Penyebab Terjadinya Kelelahan Akibat Kerja
a. Usia
Kebanyakan kinerja fisik mencapai puncak dalam usia pertengahan 20-50an
dan kemudian menurun dengan bertambahnya usia (Grandjean,1988). Dengan
menanjaknya umur, maka kemampuan jasmani dan rohani pun akan menurun
secara perlahan- lahan tapi pasti. Aktivitas hidup juga berkurang, yang
mengakibatkan semakin bertambahnya ketidakmampuan tubuh dalam
berbagai hal. Pada usia lanjut jaringan otot akan mengerut dan digantikan oleh
jaringan ikat. Pengerutan otot menyebabkan daya elastisitas otot berkurang
termasuk juga daya angkat beban ( Tarwaka, 2004).
Aging process tidak bisa dihindari. Pada umur diatas 40 tahun tubuh
sudah mengalami berbagai perubahan- perubahan akibat proses penuaan yang
secara alami terjadi maupun diperberat akibat penyakit- penyakit yang pernah
dialami. Penurunan produksi hormon akibat proses penuaan mengakibatkan
kemampuan tubuh untuk memperbaiki sendiri dan mengatur sendiri termasuk
pengaturan fungsi energi tubuh menjadi rendah. Penurunan kekuatan fisik
terjadi mulai umur 30 tahun. Kemampuan fisiologis menurun secara bermakna
pada umur 44 tahun. Sehingga kemampuan untuk mengantisipasi beban kerja
fisik maupun mental berkurang ( Purnawati, 2006)
b. Status Pendidikan
Pekerja dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki persepsi
yang lebih baik terhadap tugas dan faktor- faktor stress lainnya ditempat kerja.
Mereka akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memecahkan
masalah- masalah ataupun tugas di tempat kerja sehingga memiliki kapasitas
yang lebih besar dalam mengantisipasi kelelahan ( ILO, 2004)
Pendidikan memberikan pengetahuan bukan saja langsung dengan
pelaksanaan tugas, akan tetapi juga landasan untuk mengembangkan diri serta
kemampuan memanfaatkan semua sarana yang ada untuk kelancaran
pelaksanaan tugas. Pendidikan merupakan suatu kekuatan dinamis dalam
mempengaruhi seluruh aspek kepribadian individu (Purnawati, 2006)
c. Masa Kerja
Menurut ILO (2004) dan Purnawati (2006) masa kerja berperan dalam
menentukan dosis pajanan di tempat kerja dan tentunya dapat mempengaruhi
berat ringannya tingkat kelelahan. Tidak adekuatnya beban kerja yang
melebihi kapasitas pekerja yang dialami bekepanjangan selama kehidupan
kerja akan berakibat penumpukan kelelahan sehingga berakibat tingginya
tingkat kelelahan. Sebagai contoh, semakin lamanya masa kerja berpengaruh
kepada tingkat kelelahan diakibatkan tingkat monotoni kerja yang telah
terakumulasi salama bertahun- tahun.
d. Beban Kerja
Berat ringannya beban kerja baik fisik maupun mental dapat mempengaruhi
tingkat kelelahan. Beban kerja fisik yang terlalu berat dapat berakibat
cadangan energi tubuh sangat berkurang serta penumpukan asam laktat yang
berlebihan sehingga tingkat kelelahan menjadi berat. Beban kerja yang terlalu
ringan dan monoton dalam waktu lama dapat menimbulkan kebosanan dan
berakibat stimulasi elektris sistim inhibisi menjadi lebih kuat, sehingga
menurunkan kemampuan bereaksi dan menimbulkan kecenderungan untuk
tidur. Semuanya ini dapat mengakibatkan kelelahan dalam tingkat yang berat
meskipun beban kerja fisik maupun mental yang harus dijalankan tidak berat
( Purnawati, 2006).
e. Kondisi Lingkungan Kerja
Kondisi lingkungan kerja seperti iklim lingkungan kerja yang tidak nyaman,
kebisingan, maupun penerangan yang tidak sesuai dengan standar serta
perorganisasian kerja yang tidak ergonomi dapat merupakan beban tambahan
bagi tubuh pekerja. Kelelahan akibat mengerjakan tugas- tugas utama akan
bertambah dengan adanya stres dari lingkungan kerja. Adanya bagian- bagian
lapangan pandang yang terlalu terang dibandingkan dengan tingkat
penerangan umum akan menimbulkan kesilauan yang berakibat rasa tidak
enak atau tidak nyaman dan mempercepat timbulnya kelelahan mata. Akan
diperlukan usaha-usaha tambahan dari tubuh untuk mengantisipasi
ketidaknyamanan ini yang dapat berpengaruh terhadap kelelahan. Istirahat
pendek dapat dilakukan untuk mengurangi kelelahan mata serta mengurangi
kemonotonan dalam bekerja. Adapun suhu udara yang berlebihan merupakan
beban tambahan yang harus diperhatikan dan diperhitungkan. Kenyamanan
lingkungan kerja untuk diluar ruangan dengan suhu antara 21º C - 30º C
dengan kelembaban relatif antara 65% - 95% (Dana, 2003). Untuk orang
Indonesia pada umumnya beraklimatisasi iklim tropis, yang suhunya sekitar
28º C - 32º C dengan kelembaban sekitar 85% - 95% bahkan mungkin lebih.
Beban tambahan berupa panas lingkungan dapat menyebabkan beban
fisiologis, misalnya kerja jantung semakin bertambah sehingga terjadi
peningkatan denyut nadi. Suhu udara yang berlebih juga dapat mengakibatkan
perubahan fungsional pada organ yang bersesuaian pada tubuh manusia serta
dapat mengakibatkan rasa letih dan kantuk, mengurangi kestabilan dan
meningkatkan jumlah angka kesalahan kerja sehingga dapat menurunkan
efisiensi atau produktivitas kerja ( Suma’mur P.K).
f. Sikap Kerja
Sikap kerja yang tidak alamiah sering menimbulkan sikap kerja paksa seperti
membungkuk, jongkok secara terus menerus yang dapat menyebabkan
kelelahan. Sehingga harus diusahakan sikap kerja yang alamiah untuk
mengurangi tingkat kelelahan ( Dana, 2003).
2.5.3 Gejala Kelelahan Kerja
Kelelahan kerja pada umumnya dikeluhkan sebagai kelelahan dalam sikap,
orientasi, dan penyesuaian pekerja yang mengalami kelelahan kerja (Setyawati,
2010). Gejala kelelahan kerja ( Fatigue Symptoms) secara subyektif dan objektif:
1. Perasaan lesu, mengantuk, dan pusing.
2. Tidak atau berkurangnya konsentrasi.
3. Berkurangnya tingkat kewaspadaan.
4. Persepsi yang buruk dan lambat.
5. Tidak ada atau berkurangnya gairah untuk bekerja.
6. Menurunnya kinerja jasmani dan rohani.
Suma’mur P.K, 2009, membuat daftar gejala atau perasaan yang ada
hubungannya dengan kelelahan yaitu:
1.) Pelemahan kegiatan
Gejala kelelahan yang berupa pelemahan kegiatan ditunjukkan dengan
perasaan berat di kepala, badan terasa lelah, kaki terasa berat, seringnya
menguap, pikiran menjadi kacau, mengantuk dan ingin berbaring, adanya
beban pada mata, gerakan canggung dan kaku, saat berdiri tidak stabil atau
sempoyongan.
2.) Perubahan motivasi
Gejala kelelahan yang berupa perubahan motivasi dapat berupa: merasakan
susah berfikir, lelah untuk bicara, perasaan menjadi gugup, tidak dapat
berkonsentrasi, sulit memusatkan perhatian, mudah untuk lupa, kepercayaan
diri berkurang, merasa cemas, sulit mengontrol sikap, tidak tekun dalam
pekerjaan.
3.) Pelemahan fisik
Gejala kelelahan yang berupa pelemahan fisik ditunjukkan dengan: sakit di
kepala, kaku di bahu, merasa nyeri di punggung, sesak nafas, merasakan haus,
suara menjadi serak, merasa pening, spasme di kelopak mata, tremor pada
anggota badan
2.5.4 Pengukuran Kelelahan
Beberapa cara yang saat ini digunakan untuk mengetahui kelelahan, yang
sifatnya hanya mengukur manifestasi- manifestasi atau indikator- indikator
kelelahan yaitu:
a. Kualitas dan kuantitas dari penampilan kerja.
b. Mencatat persepsi subjektif dari kelelahan.
c. EEG (Electroencephalography).
d. Uji flicker fusion.
e. The Blink Apparatus.
f. The psikomotor. Tes ini mengukur fungsi- fungsi yang melibatkan persepsi,
interpretasi dan reaksi- reaksi motorik: simple and selective reaction times
test, tachistoscopic test.
g. Tes mental : aritmatic problem, test konsentrasi misalnya tes Bourdon
Wiersma.
Meskipun ada banyak macam alat ukur untuk mengevaluasi kelelahan seperti
disebutkan diatas, dalam penelitian ini hanya dilakukan uji coba satu jenis alat
ukur (tes) yaitu kuesioner yang bertujuan mencatat persepsi subjektif dari
kelelahan umum yang terdiri dari 30- item gejala kelelahan umum. Kuesioner 30-
item gejala kelelahan umum diadopsi dari IFRC (industrial Fatigue Research
Committee of Japanese Association of Industrial Health), yang dibuat pada tahun
1967. Disosialisasikan dan dimuat dalam prosiding Symposium on Methodology
of Fatique Assessment. Symposium ini diadakan di Kyoto Jepang pada tahun
1969. Sepuluh item pertama mengindasikan adanya pelemahan aktivitas terdiri
dari perasaan berat di kepala, lelah di seluruh badan, berat di kaki, menguap,
pikiran kacau, mengantuk, ada beban pada mata, gerakan canggung dan kaku,
berdiri tidak stabil, dan ingin berbaring. Selanjutnya 10 item kedua pelemahan
motivasi kerja terdiri dari susah berpikir, lelah untuk berbicara, gugup, tidak
berkonsentrasi, sulit memusatkan perhatian, mudah lupa, kepercayaan diri
berkurang, merasa cemas, sulit mengontrol sikap, dan tidak tekun dalam
pekerjaan. Pada 10 item ketiga atau terakhir mengindasikan adanya kelelahan
fisik atau kelelahan pada beberapa bagian tubuh terdiri dari sakit kepala, kaku di
bahu, nyeri punggung, sesak nafas, haus, seuara serak, merasa pening, spasme
kelopak mata, tremor pada anggota badan, dan merasa kurang sehat
(Tarwaka,dkk, 2004), (Purnawati 2006).
Semakin tinggi frekuensi gejala kelelahan muncul dapat diartikan semakin
besar pula tingkat kelelahan. Dikatakan bahwa kelemahan dari kuesioner ini
adalah tidak dilakukan evaluasi terhadap item pertanyaan secara tersendiri.
Kuesioner ini kemudian dikembangkan dimana jawaban kuesioner diskoring
dengan menggunakan empat skala Likert. Selanjutnya setelah selesai melakukan
wawancara dan pengisian kuesioner maka langkah selanjutnya menghitung
jumlah skor dari 30 pertanyaan yang diajukan dan dijumlahkan menjadi skor
individu (Tarwaka,dkk,2004), (Purnawati,2006).
Berdasarkan disain penelitian kelelahan subjektif dengan menggunakan
empat skala Likert ini, akan diperoleh skor individu terendah adalah sebesar 30
dan skor tertinggi adalah 120. Tingkat kelelahan berdasarkan tes subjektif
kelelahan didapatkan skor 30-52 rendah, skor 53-75 sedang, skor 76-98 tinggi,
skor 99- 120 sangat tinggi (Tarwaka, dkk, 2004).
2.5.5 Dampak Kelelahan Kerja
Kelelahan kerja dapat menimbulkan beberapa keadaan yaitu prestasi kerja yang
menurun, fungsi fisiologis motorik dan neural yang menurun, badan terasa tidak
enak di samping semangat kerja yang menurun. Dan kelelahan kerja dapat
meningkatkan terjadinya kecelakaan kerja, sehingga dapat merugikan diri pekerja
sendiri maupun perusahaannya karena adanya penurunan produktivitas kerja
(Setyawati, 2010).
2.6 Hubungan Beban kerja dan Sikap kerja Terkait Dengan Kelelahan Kerja
Bahwa semakin berat beban kerja maka akan semakin banyak energi dan nutrisi
yang diperlukan atau dikonsumsi, sehingga kondisi fisik pekerja menurun dan
kebutuhan akan oksigen meningkat. Ketika pekerja melakukan aktivitas dengan
beban kerja berat, jantung dirangsang sehingga kecepatan denyut jantung dan
kekuatan pemompaannya semakin meningkat. Jika kurang suplai oksigen ke otot
jantung menyebabkan dada merasa tertekan dan jika terus menerus kekurangan
oksigen, maka akan terjadi akumulasi yang selanjutnya metabolisme anaerobik
dimana akan menghasilkan asam laktat yang mempercepat timbulnya kelelahan
(Eko Nurmianto, 2003). Denyut nadi akan berubah seirama dengan dengan
perubahan pembebanan. Berat ringannya beban kerja yang diterima oleh
seseorang tenaga kerja dapat digunakan untuk menentukan berapa lama seseorang
tenaga kerja dapat melakukan aktivitas pekerjaannya sesuai dengan kemampuan
dan atau kapasitas kerja bersangkutan. Pekerjaan secara manual dalam pembuatan
batu bata tradisional dengan sikap kerja jongkok, membungkuk lama apabila tidak
dilakukan secara alamiah atau ergonomis akan lebih cepat menimbulkan
kelelahan kerja baik kelelahan umum maupun kelelahan otot (Tarwaka, dkk,
2004), ( Dana, 2003).
Pada dasarnya, jika dilihat dari awal proses membuat adonan yang digunakan
sebagai bahan cetakan, kemudian dalam proses mencetak batu bata dan batako
hampir sama, walaupun bahan yang digunakan untuk membuat batu bata dan
batako berbeda, proses pengeringannya berbeda, serta hasil cetakan dari batu bata
lebih kecil dari pada hasil cetakan batako. Walaupun demikian, sikap kerja yang
digunakan dalam bekerja sama, yaitu bekerja dengan sikap yang tidak alamiah,
sehingga sering menimbulkan sikap kerja paksa seperti bekerja dalam posisi
membungkuk, jongkok dan menggunakan kedua kaki sebagai tumpuan berat
tubuh dalam waktu yang lama. Sikap kerja paksa ini dapat mengakibatkan
peningkatan denyut nadi yang sangat menanjak sehingga sering menimbulkan
kelelahan kerja ( Dana ,2003), ( Pujiani Dewi, 2011).
Berdasarkan penelitian Dana (2003), dengan melakukan perlakuan dua kali
dalam waktu yang berbeda terhadap pekerja produsen batako, didapatkan pada
perlakuan I ( dengan sikap jongkok) denyut nadi awal pada pukul 08.30 dengan
rerata 71,38 denyut per menit dengan simpang baku 6,20 denyut per menit. Pada
perlakuan II (dengan sikap berdiri) dengan waktu yang sama didapatkan rerata
adalah 72,48 denyut per menit dengan simpang baku 4,73 denyut permenit.
Lonjakan peningkatan nadi kerja pada perlakuan I pukul 10.00 sebesar rerata
116,63 denyut per menit dengan simpang baku 4,11 denyut per menit dan pada
perlakuan II (dengan sikap berdiri) dengan waktu yang sama didapatkan rerata
adalah 105,13 denyut per menit dengan simpang baku 3,48 denyut permenit.
Pukul 12.00 keluhan subjektif mulai muncul, maka pekerja batako mulai bekerja
dengan santai yang mengakibatkan denyut nadi kerjanya menurun lebih tajam
untuk perlakuan I dikarenakan tingkat kelelahan pada perlakuan I lebih besar dari
pada perlakuan II. Penurunan denyut nadi kerja perlakuan I rerata 107,58 denyut
per menit dengan simpang baku 4,50 denyut per menit dan perlakuan II sebesar
rerata 102,74 denyut per menit dengan simpang baku 3,32 denyut permenit. Hasil
perlakuan I dan perlakuan II tersebut dikategorikan berdasarkan kategori Pheasant
(1991) termasuk dalam kategori sedang. Dari hasil penelitian tersebut dilakukan
uji t-test for Equality of Means, menunjukan hasil berbeda makna ( p < 0,05) yaitu
dengan p = 0,000 dan t = 4,13 berarti ada hubungan antara sikap kerja terhadap
peningkatan beban kerja dan kelelahan kerja, dengan perlakuan menggunakan
meja serta menggunakan sikap berdiri menurunkan beban kerja pekerja batako.
Sehingga harus diusahakan sikap kerja yang alamiah untuk mengurangi beban
kerja dan tingkat kelelahan.