Upload
ahmad-waisul-qorni
View
21
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Good
Citation preview
BAB II
DASAR TEORI
3.1 Pengertian Injeksi Air
Pada lapangan yang sudah melewati batas primary recovery-nya,
dilakukan optimasi produksi dengan cara yang lain salah satunya adalah
injeksi air (water flooding). Mekanisme kerjanya adalah dengan
menginjeksikan air ke dalam formasi yang berfungsi untuk mendesak
minyak menuju sumur produksi, sehingga akan meningkatkan produksi
minyak ataupun dapat juga berfungsi untuk mempertahankan tekanan
reservoir (pressure maintenance).
Gambar 2.1 Mekanisme waterflood
3.1.1 Sejarah Perkembangan dan Aplikasi Waterflood
Penemuan minyak mentah oleh Edwin L. Drake di Titusville pada
tahum 1859 menandai dimulainya era industri minyak bumi. Penggunaan
minyak bumi yang semakin meluas membuat orang mulai berpikir untuk
meningkatkan perolehan produksi minyak bumi. Maka pada awal 1880-an,
J.F. Carll mengemukakan pendapatnya bahwa kemungkinan perolehan
minyak dapat ditingkatkan melalui penginjeksian air dari suatu sumur
injeksi untuk mendorong minyak ke sumur produksi adalah sangat besar.
Eksperimen waterflood pertama tercatat dilakukan di lapangan
Bradford, Pennsylvania pada tahun 1880-an. Dari eksperimen pertama ini,
mulai terlihat bahwa program waterflood akan dapat meningkatkan produksi
minyak. Maka pada awal 1890-an, dimulailah penerapan waterflood di
lapangan-lapangan minyak di Amerika Serikat.
Pada 1907, ditemukan metoda baru dalam pengaplikasian waterflood
di Lapangan Bradford, Pennsylvania, yang disebut sebagai “metoda
lingkar (circular method)”, yang juga tercatat sebagai pengaplikasian
flooding pattern pertama. Karena adanya regulasi pemerintah yang
melarang penerapan waterflood di masa itu, proyek ini dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, sampai larangan itu dicabut pada 1921. Mulai tahun
1921, penerapan waterflood mulai meningkat. Pola pattern waterflood
berubah dari circular method menjadi line method. Pada 1928, pola five spot
ditemukan dan diterapkan secara meluas di lapangan-lapangan minyak.
Selain tahun-tahun tersebut, operasi waterflood juga tercatat dilakukan di
Oklahoma pada tahun 1931, di Kansas pada tahun 1935, dan di Texas
pada tahun 1936.
Dibandingkan dengan masa sekarang, penerapan waterflood pada
masa dahulu boleh dibilang sangat sedikit. Salah satu faktor penyebabnya
adalah karena pada zaman dahulu pemahaman tentang waterflood masih
sangat sedikit. Selain itu, pada zaman dahulu produksi minyak cenderung
berada diatas kebutuhan pasar. Signifikansi waterflood mulai terjadi pada
akhir 1940-an, ketika sumur-sumur produksi mulai mencapai batasan
ekonomis (economic limit)nya dan memaksa operator berpikir untuk
meningkatkan producable reserves dari sumur-sumur produksi. Pada 1955,
waterflood tercatat memberikan konstribusi produksi lebih dari 750000
BOPD dari total produksi 6600000 BOPD di Amerika Serikat. Dewasa ini,
konstribusi waterflood mencapai lebih dari 50% dari total produksi minyak
di Amerika Serikat. Injeksi air ini sangat banyak digunakan, alasannya
antara lain:
a. Mobilitas yang cukup rendah
b. Air mudah didapatkan
c. Pengadaan air cukup murah
d. Berat kolom air dalam sumur injeksi turut memberikan tekanan, sehingga
cukup banyak mengurangi tekanan injeksi yang perlu diberikan di
permukaan
e. Mudah tersebar ke daerah reservoir, sehingga efisiensi penyapuannya
cukup tinggi
f. Memiliki efisiensi pendesakan yang sangat baik
Penginjeksian air bertujuan untuk memberikan tambahan energi
kedalam reservoir. Pada proses pendesakan, air akan mendesak minyak
mengikuti jalur-jalur arus (stream line) yang dimulai dari sumur injeksi dan
berakhir pada sumur produksi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.2,
yang menunjukkan kedudukan partikel air yang membentuk batas air-
minyak sebelum breakthrough (a) dan sesudah breakthrough (b) pada
sumur produksi.
Gambar 2.2 Kedudukan Air Sepanjang Jalur Arus
(a) sebelum dan (b) sesudah Tembus Air Pada Sumur Produksi
3.2 Perencanaan Waterflood
Perencanaan waterflood didasarkan pada pertimbangan teknik dan
keekonomisannya. Analisa ekonomis tergantung pada perkiraan hasil dari
proses waterflood itu sendiri. Perkiraan ini bisa baik atau buruk tergantung
pada kebutuhan khusus dari proyek atau keinginan pelaksana. Lima langkah
utama dalam perencanaan waterflood adalah:
1. Evaluasi reservoir meliputi hasil hasil produksi dari primary recovery.
2. Pemilihan waterflood plan yang potensial.
3. Perkiraan laju injeksi dan produksi.
4. Prediksi oil recovery untuk setiap perencanaan proyek waterflood.
5. Identifikasi variabel-variabel yang menyebabkan ketidaktepatan analisa
secara teknik.
Analisa teknik produksi waterflood dilakukan dengan memperkirakan
jumlah volume dan kecepetan fluida. Perkiraan diatas juga berguna untuk
penyesuaian atau pemilihan peralatan serta sistem pemeliharaan (treatment)
fluida.
3.2.1 Penentuan Lokasi Sumur Injeksi-Produksi
Pada umumnya dipegang prinsip bahwa sumur-sumur yang sudah ada
sebelum injeksi dipergunakan secara maksimal pada waktu berlangsungnya
injeksi nanti. Jika masih diperlukan sumur-sumur baru maka perlu
ditentukan lokasinya. Untuk memilih lokasi sebaiknya digunakan peta
distribusi cadangan minyak tersisa. Pada daerah yang sisa minyaknya masih
besar mungkin diperlukan lebih banyak sumur produksi daripada daerah
yang minyaknya tinggal sedikit. Peta isopermeabilitas juga membantu
dalam memilih arah aliran supaya penembusan fluida injeksi (breakthrough)
tidak terjadi terlalu dini.
3.2.2 Penentuan Pola Sumur Injeksi-Produksi
Salah satu cara untuk meningkatkan faktor perolehan minyak adalah
dengan membuat pola sumur injeksi-produksi, yang bertujuan untuk
mendapatkan pola penyapuan yang seefisien mungkin. Tetapi kita harus
tetap memegang prinsip bahwa sumur yang sudah ada sebelum injeksi harus
dapat digunakan semaksimal mungkin pada waktu berlangsungnya injeksi
nanti.
Pertimbangan-pertimbangan dalam penentuan pola sumur injeksi
produksi tergantung pada:
a. Tingkat keseragaman formasi, yaitu penyebaran permeabilitas ke arah
lateral maupun ke arah vertikal.
b. Struktur batuan reservoir meliputi patahan, kemiringan, dan ukuran.
c. Sumur-sumur yang sudah ada (lokasi dan penyebaran).
d. Topografi.
e. Ekonomi.
Pada operasi waterflood sumur-sumur injeksi dan produksi umumnya
dibentuk dalam suatu pola tertentu yang beraturan, misalnya pola garis
lurus, empat titik, lima titik, tujuh titik, dan sebagainya (seperti yang terlihat
pada Gambar 2.3). Pola sumur dimana sumur produksi dikelilingi oleh
sumur-sumur injeksi disebut dengan pola normal. Sedangkan bila
sebaliknya yaitu sumur-sumur produksi mengelilingi sumur injeksi disebut
dengan pola inverted. Masing-masing pola mempunyai sistem jaringan
tersendiri yang mana memberikan jalur arus berbeda-beda sehingga
memberikan luas daerah penyapuan yang berbeda-beda.
Gambar 2.3 Pola-pola Sumur Injeksi-Produksi
3.2.3 Penentuan Debit dan Tekanan Injeksi
Debit injeksi yang akan ditentukan di sini adalah untuk sumur-sumur
dengan pola tertutup dengan anggapan bahwa mobility ratio (M) sama
dengan satu. Besarnya debit injeksi tergantung pada perbedaan tekanan
injeksi di dasar sumur dan tekanan reservoirnya. Bentuk persamaan
dikembangkan dari persamaan Darcy sesuai dengan pola sumur injeksi-
produksi,sebagai berikut:
a. Pola Direct Line Drive (d/a ≥ 1)
................... (Persamaan 2.1)
b. Pola staggered line drive (d/a ≥ 1)
................... (Persamaan 2.2)
c. Pola five spot (d/a=0.5)
............................... (Persamaan 2.3)
d. Pola seven pot
............................... (Persamaan 2.4)
Persamaan yang disebutkan diatas adalah laju injeksi dari fluida yang
mempunyai mobilitas yang sama (M=1) karena reservoir minyak terisi oleh
cairan saja. Untuk menentukan laju injeksi sampai dengan terjadinya
interferensi digunakan persamaan:
.............................................. (Persamaan 2.5)
Untuk mencapai keuntungan ekonomis yang maksimal, biasanya
diinginkan debit injeksi yang maksimal, namun ada batasan yang harus
diperhatikan. Batas bawah debit injeksi adalah debit yang menghasilkan
produksi minyak yang merupakan batas ekonomisnya. Batas atas debit
injeksi adalah debit yang berhubungan dengan tekanan injeksi yang mulai
menyebabkan terjadi rekahan di reservoir. Analisa berikutnya adalah injeksi
air dari interface sampai dengan fill-up. Besarnya laju injeksi pada perioda
ini dinyatakan dengan persamaan:
iwf = t . i ............................................................................... (Persamaan 2.6)
Dengan diketahuinya laju injeksi pada setiap periode dari perilaku
water flood, maka diramalkan waktu injeksi dari setiap periode.
3.3 Konsep Interaksi Batuan dan Fluida
Fluida dua fasa atau lebih dikatakan immiscible (tidak bercampur) pada
tekanan atau temperatur tertentu jika terbentuk suatu lapisan kasat mata antar
fasa setelah fasa- fasa fluida tersebut dicampurkan satu sama lain sampai
mencapai kesetimbangan kimia. Kehadiran fasa-fasa immiscible ini di
reservoir akan mengubah kemampuan batuan dalam menyalurkan fluida.
Fasa-fasa immiscible di reservoir seperti : minyak-air, minyak-gas, air-gas,
atau air-minyak-gas.
Pada waterflood dalam skala mikro, efesiensi pendesakan dipengaruhi
oleh faktor interaksi fluida dan media yang di tempatinya.. Karena di
reservoir terdapat lebih dari satu fasa, maka secara alamiah telah terjadi
interaksi antara batuan dan fluida di reservoir yang sekaligus mempengaruhi
pendesakan fluida. Karena itulah, pemahaman tentang sifat-sifat dasar batuan
reservoir perlu dilakukan.
Karena interaksinya dengan fluida, sifat-sifat batuan reservoir ini
menjadi terbagi atas tiga kelompok, yaitu:
1. Sifat absolut dari batuan itu sendiri, antara lain porositas, permeabilitas,
dan distribusi ukuran pori.
2. Sifat batuan reservoir akibat interaksi batuan dengan fluida reservoir yang
bersifat statis, antara lain tekanan kapiler, wettability, dan contact angle.
3. Sifat batuan reservoir akibat interaksi batuan dengan fluida reservoir yang
bersifat dinamis, diantaranya mobilitas, dan permeabilitas relatif
Untuk itu, konsep dasar sifat-sifat batuan dan fluida reservoir telah
menjadi bahan pertimbangan penting dalam studi waterflood karena dalam
proses injeksi air akan terjadi kontak antara fluida yang diinjeksikan dengan
batuan dan fluida formasi, sehingga dapat dipelajari kondisi efisiensi
pendesakan yang lebih efektif untuk mendesak minyak sebagai efisiensi
pendesakan pada skala mikroskopis. Adapun sifat-sifat itu antara lain:
3.3.1 Porositas
Porositas diartikan sebagai perbandingan volume pori dengan volume
total batuan, lebih umum dinyatakan dalam fraksi dibandingkan dengan
persentase. Porositas terbagi dua :
1. Porositas efektif
Merupakan perbandingan antara rongga pori yang saling
berhubungan dengan volume bulk (total) batuan
2. Porositas absolut
Merupakan perbandingan total volume pori dengan volume total
batuan. Porositas dari sebuah media permeabel merupakan fungsi yang
kuat dari variansi distribusi ukuran pori dan fungsi yang lemah dari
ukuran pori itu sendiri.
3.3.2 Permeabilitas
Bisa diartikan sebagai kemampuan batuan dalam menyalurkan fluida,
terbagi atas tiga :
1. Permeabilitas absolut
Merupakan kemampuan batuan dalam mendistribusikan semua
fasa fluida yang dikandungnya
2. Permeabilitas efektif
Didefinisikan sebagai kemampuan batuan dalam mendistribusikan
salah satu fasa fluida jika batuan tersebut mengandung lebih dari satu
fasa fluida
3. Permebilitas relatif
Merupakan rasio antara permeabilitas efektif dengan permeabilitas
absolut, merupakan sifat fisik batuan yang sangat urgen dalam proses
EOR. Atau perbandingan antara permeabilitas efektif dengan
permeabilitas absolut.
Kr = Keff
Kabs ....................................................................... (Persamaan 2.7)
Permeabilitas relatif reservoir terbagi berdasarkan jenis fasanya,
sehingga didalam reservoir akan terdapat permeabilitas relatif air (Krw),
permeabilitas relatif minyak (Kro), permeabilitas relatif gas (Krg), dimana
persamaannya adalah:
Krw = Kw
Kabs ...................................................................... (Persamaan 2.8)
Kro= Ko
Kabs ........................................................................ (Persamaan 2.9)
Krg = Kg
Kabs ....................................................................... (Persamaan 2.10)
Dimana Kw, Ko, Kg berturut-turut adalah permeabilitas relatif air,
minyak, dan gas. Permeabilitas relatif dipengaruhi variable-variabel
seperti sejarah saturasi dan kebasahan batuan. Karakteristik dari
permeabilitas relatif ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Karakteristik Permeabilitas Relatif
Pada Gambar 3.4 menunjukkan pengaruh sejarah saturasi terhadap
permeabilitas relatif. Itu dicatat bahwa arah aliran tidak berpengaruh
pada perilaku aliran untuk fasa pembasah. Bagaimanapun, suatu
perbedaan penting ada antara kurva drainage dan imbibition untuk tahap
fasa non-pembasah. Untuk sistim water-wet, kita dapat memilih data
imbibisi, sedangkan, data drainage diperlukan untuk mengoreksi prediksi
dari reservoir oil-wet.
Sedangkan pengaruh wettability sangat penting untuk diketahui,
hal ini dapat dilihat pada sistim water-wet dan oil-wet. Ada beberapa
perbedaan antara kurva oil-wet dan kurva water-wet dimana :
1. Saturasi air pada permeabilitas minyak dan air adalah jumlah (titik
persimpangan kurva) yang akan lebih besar dari 50 % untuk sistim
water-wet dan lebih kecil dari 50 % untuk sistim oil-wet.
2. Saturasi air connate untuk sistim water-wet lebih besar dari 20 % dan
untuk sistim oil-wet lebih kecil dari 15 %.
3. Permeabilitas realtif untuk air pada saturasi air maksimum (residual
oil saturation) akan lebih kecil dari 0.3 untuk sistim water-wet tetapi
akan lebih besar dari 0.5 untuk sistim oil-wet.
Gambar 2.5 Pengaruh Sejarah Saturasi Terhadap Permeabilitas Relatif
Gambar 2.6 Pengaruh Kebasahan Terhadap Permeabilitas Relatif
Untuk nilai permeabilitas yang tinggi { (ko)Swir > 100 md},
penemuan ini tidak mungkin benar. Sebagai contoh, Batuan water-wet
dengan pori-pori besar kadang-kadang memperlihatkan kejenuhan air tak
bergerak kurang dari 10 hingga 15 persen. Meskipun demikian, pada
Gambar 3.5. menunjukkan pentingnya kurva permeabilitas relatif yang
dapat mengindikasikan tingkat kebasahan suatu reservoir untuk
permeabilitas ke level rendah (ko)Swir < 100 md.
Rumus tes permeabilitas relatif air-minyak untuk contoh batuan
core sering disebut sebagai “end point” karena merupakan refleksi dari
Swir, Sor, (ko)Swir dan (kw)Sor. Hasil tes ini sedikit lebih mahal dari tes
permeabilitas realtif normal, tapi tes ini dapat menyediakan informasi
dari karakteristik- karakteristik reservoir
Berbeda dengan porositas, permeabilitas lebih dipengaruhi oleh
ukuran pori batuan dibandingkan dengan distribusi butiran batuan
tersebut.
3.4 Efisiensi Pendesakan Minyak
Effisiensi pendesakan minyak diantaranya:
3.4.1 Areal Sweep Efficiency
Pada pelaksanaan waterflood, air diinjeksikan dari beberapa sumur
injeksi dan produksi akan terjadi dari sumur yang berbeda. Ini akan
menyebabkan terbentuknya distribusi tekanan dan streamlines di daeah
antara sumur injeksi dengan sumur produksi. Dua faktor ini akan
menentukan seberapa besar kontak waterflood dengan daerah antara
tersebut. Besar daerah reservoir yang mengalami kontak dengan air ini yang
disebut dengan Areal sweep efficiency.
Gambar 2.8 (a) Areal Sweep effisiensi, (b) Vertical Sweep effisiensi
Secara rumus, Areal sweep efficiency didefinisikan sebagai :
EA = Luas Area yang Mengalami Kontak dengan Air
OIP di reservoir (Pattern) ....................... (Persamaan 2.11)
3.4.2 Mobility Efficiency
Efisiensi mobilitas merupakan efisiensi yang dipengaruhi oleh nilai
saturasi minyak tersisa dan sifat pembasahan batuan. Didefinisikan sebagai
fraksi minyak pada awal proses yang dapat diambil pada 100 % area
vertikal.
Persamaan efisiensi mobilitas adalah sebagai berikut :
..................................................... (Persamaan 2.12)
Untuk nilai Boi konstan, maka persamaan (3.12) diatas menjadi :
................................................................. (Persamaan 2.13)
Keterangan :
EM = efisiensi mobilitas
Soi = saturasi minyak awal
Sorp = saturasi minyak residual atau immobile oil
3.4.3 Vertical Sweep Efficiencies
Bervariasinya nilai permeabilitas pada arah vertikal dari reservoir
menyebabkan fluida injeksi akan bergerak dengan bentuk front yang tidak
beraturan. Semakin sedikit daerah berpermeabilitas bagus, semakin lambat
pergerakan fluida injeksi. Ukuran ketidakseragaman invasi air adalah
vertical sweep efficiency (Gambar 2.8), yang juga sering disebut sebagai
invasion efficiency. Vertical sweep efficiency ini bisa didefinisikan sebagai
bidang tegak lurus yang mengalami kontak dengan air injeksi dibagi dengan
keseluruhan bidang tegak lurus di darah belakang front. Secara sederhana,
vertical sweep efficiency ini menyatakn seberapa banyak bagian tegak lurus
(vertikal) reservoir yang dapat dijangkau oleh air injeksi.
Persamaan untuk vertical sweep efficiency adalah:
Evert = Luas Bidang Tegask Lurus yang Mengalami Kontak dengan Air Injeksi
Bidang Tegak Lurus yang tertutupi oleh water front (Persamaan 2.14)
Ada beberapa hal yang mempengaruhi vertical sweep efficiency,
yaitu:
1. Mobility Ratio
Term injektivitas relatif ini adalah perbandingan indeks
injekstivitas pada sembarang waktu dengan injektivitas pada saat
dimulainya waterflood. Pada M = 1, injekstivitas relatif cenderung
konstan. Pada M < 1, terlihat bahwa injektivitas menurun seiring
menaiknya radius flood front. Sedangkan untuk M > 1, injektivitas relatif
meningkat seiring naiknya radius flood front.
2. Gaya Gravitasi
Karena air merupakan fluida dengan densitas yang tinggi, maka ia
cenderung untuk bergerak di bagian bawah reservoir. Efek ini disebut
dengan gravity segregation dari fluida injeksi, merupakan akibat dari
perbedaan densitas air dan minyak. Terlihat bahwa baik untuk sistem
linear maupun untuk sistem five spot, derajat dari gravity segeragation
ini tergantung dari perbandingan antara gaya viscous dengan gaya
gravitasi, ∆Pk/∆Pv . Sehingga laju alir yang lebih besar akan
menghasilkan vertical sweep efficiency yang lebih baik pula.
3. Gaya kapiler
Penelitian membuktikan bahwa volume hanya menurun sedikit
walaupun laju alir injeksi dinaikkan sampai sepuluh kali lipat.
a. M Crossflow antar lapisan
b. Laju alir
Perhatikan semua properties yang mempengaruhi vertical sweep
efficiency diatas. Keseluruhannya dipengaruhi oleh laju alir
3.4.4 Volumetric sweep efficiency
Volumetric sweep efficiency ini merupakan ukuran pendesakan tiga
dimensi. Definisi volumetric sweep efficiency adalah perbandingan antara
total volume pori yang mengalami kontak dengan air injeksi dibagi dengan
total volume pori area injeksi. Volumetric sweep efficiency dirumuskan
dalam persamaan berikut :
Evol = Earea . Evert .................................................................. (Persamaan 2.15)
Faktor-faktor yang mempengaruhi volumetric sweep efficiency sama
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi vertical sweep efficiency.
3.4.5 Displacement Efficiency
Displacement Efficiency didefinisikan sebagai jumlah total minyak
yang berhasil didesak dibagi dengan total Oil in Place yang ada di daerah
sapuan tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut, Displacement Efficiency
dapat dirumuskan dengan persamaan :
......................................... (Persamaan 2.16)
Efisiensi pendesakan ini merupakan efisiensi pendesakan tak
bercampur dalam skala makroskopik yang digunakan untuk
menggambarkan efisiensi pendesakan volume spesifik minyak oleh injeksi
air pada batuan reservoir, sehingga dapat ditentukan seberapa efektifnya
fluida pendesak menggerakkan minyak pada saat fluida pendesak telah
membentuk kontak dengan minyak.
Efisiensi pendesakan fluida reservoir dapat dilihat pada dua konsep
berikut:
1. Konsep desaturasi
Terjadi perubahan saturasi fluida dibelakang front seharga satu
dikurangi saturasi residual fluida yang didesak, sehingga terdapat dua
fasa yang mengalir yaitu minyak dan air. Sedangkan di depan front hanya
minyak yang mengalir.
2. Konsep pendesakan
Saturasi fluida pendesak pada front sama dengan satu dikurangi
saturasi residual fluida itu sendiri. Dianggap minyak telah habis didesak
sehingga yang dibelakang front hanya fluida pendesak yang mengalir.
Displacement Efficiency mempunyai nilai maksimum, yang
dirumuskan sebagai berikut :
................................ (Persamaan 2.17)
Sedangkan nilai displacement efficiency pada saat breakthrough
adalah :
.......................................................... (Persamaan 2.18)
Gambar2.9 Effisiensi Displacement