Upload
phungtruc
View
255
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
SEJARAH LAHIRNYA MU'TAZILAH DAN AJARANNYA
A. Sejarah lahirnya Mu'tazilah
Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, khalifah ketiga, pada 666 M,
di Madinah dalam pertentangan yang terjadi dengan tentara yang datang dari
Mesir, selain membawa masalah politik, juga menimbulkan masalah theologi
dalam Islam. Dalam bidang politik, peristiwa itu memecah umat Islam
menjadi 2 golongan : Sunni dan Syiah. Perkembangan sejarah Islam, bukan
dalam politik saja tetapi juga dalam bidang agama dan pemikiran, banyak
dipengaruhi dan ditentukan arahnya oleh pertentangan antara kedua golongan
besar ini. Dalam bidang theologi, peristiwa Utsman bin Affan itu
menimbulkan masalah iman dan kufur. Peperangan yang terjadi antara Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah ke 4 dan Muawiyah bin Abi sufyan, Gubernur
Damsyik yang menganggap Ali bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman,
dicoba diselesaikan dengan jalan damai yaitu jalan tahkim (arbitrase) yang
biasa dipakai pada zaman jahiliyah. Jalan damai ini oleh segolongan tentara
Ali tidak disetujui karena kelihatannya mereka telah dekat memperoleh
kemenangan dalam peperangan. Ini berarti mereka akan mendapat harta
rampasan yang akan dibagi-bagikan kepada semua yang turut berperang
dipihaknya. Tidak puas dengan keadaan ini, mereka tinggalkan barisan Ali
dan membentuk kekuatan sendiri yang kemudian dikenal dengan nama kaum
Khawarij. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja, yaitu keluar, yang dalam
kasus ini berarti keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib, khalifah ke 4.1
Masalah politik ini segera mereka tingkatkan dan kaitkan dengan iman
dan kufur, masalah Islam atau tidak Islamnya seseorang. Dalam theologi, ayat
44 dari surat al-Ma’idah mengatakan: siapa yang tidak menentukan hukum
dengan apa yang telah ditentukan Allah, adalah kafir. Ali bin Abi Thalib dan
1 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Cet. 6, Mizan (Anggota
IKAPI) Bandung, 2000, hlm.126.
14
Muawiyah menyelesaikan persengketaan mereka tidak dengan pergi kepada
theologi, tetapi dengan mengikuti kembali tradisi hakam zaman jahiliah.
Dengan demikian Ali dan Muawiyah dalam pandangan Khawarij, telah
menjadi kafir dan bukan mu’min, jadi bukan orang Islam lagi. Demikian juga
Amr bin Al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari, masing-masing pengantara dari
pihak Muawiyah dan Ali.2
Tidak menentukan hukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan
Allah dalam Al-Qur’an menurut Khawarij, adalah dosa besar. Dari sini
mereka menarik kesimpulan bahwa pembuat dosa besar adalah kafir, dalam
arti telah keluar dari Islam, yaitu murtad dan orang murtad harus dibunuh.
Yang dipandang dosa besar antara lain adalah berbuat zina dan membunuh
manusia tanpa sebab yang sah. Maka dalam pandangan Khawarij, orang yang
berzina dan membunuh sudah keluar dari Islam, dan harus dibunuh. Dalam
perkembangan selanjutnya yang mereka akui orang Islam hanyalah orang
yang menganut ajaran-ajaran Khawarij. Orang-orang Islam lainnya adalah
kafir dan murtad serta harus diperangi. Maka selain memerangi Ali dan
Muawiyah sebagai lawan-lawan politik mereka, kaum Khawarij juga
menentang umat Islam yang tidak sepaham dengan theologi mereka.
. Bagi golongan Murjiah, perbuatan tidak mempunyai pengaruh apa-
apa atas iman. Sehubungan dengan itu masalah dosa besar dan pembuat dosa
besar pada abad pertama hijriah banyak dan hangat diperbincangkan. Kepada
alim ulama banyak diajukan pertanyaan mengenai masalah itu. Demikian
Hasan Al-Bashri (642-728 M) seorang ulama besar di Irak, pada suatu hari
mendapat pertanyaan dari salah seorang yang turut mendengar kuliahnya.
Sebelum sempat menjawab, seorang peserta lain yang bernama Washil bin
Atha’ (699-748 M) menegaskan : membuat dosa besar tidak mu’min dan tidak
kafir.
Kemudian ia meninggalkan majlis gurunya dan membentuk majelis
sendiri untuk mengembangkan pendapatnya. Kata mu’min, dalam paham
Washil, mengandung pujian, sedangkan pembuat dosa besar bukanlah orang
2 Ibid.
15
yang terpuji tetapi sebaliknya pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia
masih mengakui kedua syahadat. Karena pembuat dosa besar tidak mu’min
dan tidak kafir, ia mempunyai posisi di antara keduanya dan boleh diberi
predikat muslim.
Adapun dosa besar yang dilakukannya itu tidak bisa diputuskan oleh
umat Islam lain di bumi ini, tetapi diserahkan kepada pembuat dosa besar itu
sendiri. Kalau ia bertaubat, dalam arti taubat yang sebenarnya, dosa besar itu
akan diampuni Tuhan dan ia masuk surga. Tetapi kalau ia tidak mau bertaubat,
dan mati sebelum sempat taubat dengan sebenar-benarnya taubat, dosa
besarnya tidak terhapus dan ia masuk neraka untuk selama-lamanya. Hanya
hukuman yang diterimanya lebih ringan dari hukuman yang diberikan Tuhan
kepada orang kafir. Ajaran ini kemudian dikenal dengan nama “al-manzilah
bayn al-manzilatain”, posisi di antara dua posisi mu’min dan kafir, baik di
dunia maupun di akherat kelak.
Peristiwa inilah yang menimbulkan lahirnya Mu'tazilah yang pada
mulanya lahir sebagai reaksi terhadap paham-paham theologi yang
dikemukakan oleh golongan Khawarij dan golongan Murjiah. Nama
Mu'tazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata I’tazala, yang
berarti mengasingkan diri, menurut suatu teori, nama itu diberikan atas dasar
ucapan Hasan Al-Basri, setelah melihat Washil memisahkan diri. Hasan Al-
Basri diriwayatkan memberi komentar sebagai berikut : I’tazala anna (ia
mengasingkan diri dari kami). Orang-orang yang mengasingkan diri disebut
Mu'tazilah. Mengasingkan diri bisa berarti mengasingkan diri dari majlis
kuliah Hasan Al-Basri, atau mengasingkan diri dari pendapat Murjiah dan
pendapat Khawarij. Menurut teori lain nama Mu'tazilah bukan berasal dari
ucapan Hasan Al-Basri, tetapi dari kata I’tazala yang dipakai terhadap orang-
orang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kata I’tazala dan Mu'tazilah
menurut penulis sejarah al-Thabari dan Abu al-Fuda3 Memang sudah dipakai
pada zaman itu. Golongan yang tidak mau turut campur dengan pertikaian
3 Ahmad Amin, Fajr Al-Islam , Dar Alkitab Alhadits, Kairo, 1964. hlm. 290.
16
politik, mengasingkan diri dan memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu
pengetahuan. Di antara orang-orang demikian terdapat cucu Nabi Muhammad,
Abu Husein, Abdullah dan al-Hasan bin Muhammad bin al-Hanafi.
Ada anggapan bahwa kata Mu'tazilah mengandung arti tergelincir, dan
karena tergelincirnya aliran Mu'tazilah dari jalan yang benar, maka ia diberi
nama Mu'tazilah, yaitu golongan yang tergelincir. Sebenarnya kata I’tazala
berasal dari kata akar a’zala yang berarti”memisahkan” dan tidak
mengandung arti tergelincir. Kata yang dipakai dalam bahasa Arab untuk
tergelincir memang dekat bunyinya dengan a’zala yaitu zalla. Tetapi
bagaimanapun, nama Mu'tazilah tidak bisa berasal dari kata zalla.
Orang-orang Mu'tazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri Ahl
al-Tauhid wa ahl al-Adl, tidak menolak nama Mu'tazilah itu. Bahkan dari
ucapan-ucapan pemuka Mu'tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka
sendirilah yang menimbulkan nama itu. Menurut al-Qadhi Abdul Jabbar,
seorang pemuka Mu'tazilah yang buku-bukunya banyak ditemui kembali pada
abad kedua puluh Masehi ini, di dalam teologi terdapat kata I’tazala yang
mengandung arti mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar. Dengan
demikian kata Mu'tazilah mengandung arti pujian.4 Menurut keterangan
seorang Mu'tazilah lain, Ibn Al-Murtadha, nama Mu'tazilah itu bukan
diberikan oleh orang lain, tetapi orang-orang Mu'tazilah sendirilah yang
menciptakan nama itu.5
Dari uraian di atas jelaslah bahwa situasi ummat Islam pada masa itu
telah terpecah-pecah menjadi beberapa aliran golongan. Golongan Khawarij,
Syiah dan Murjiah, saling berbantah satu dengan yang lain. Masing-masing
mempertahankan pendiriannya sendiri, yang tak dapat dibayangkan untuk
dapat dipertemukan satu dengan yang lain. Masalah dosa besar merupakan
pangkal persengketaan, misalnya Khawarij berpendapat bahwa Ustman, Ali,
Muawiyah dan orang-orang yang menerima tahkim adalah berdosa besar.
4 Al-Qur’an-Nasysyar, Nasy’ah al-Fikr al-Qur’an-Falsafi fi al-Islam , Kairo, 1966, hlm.
430-1. 5 Ahmad Mahmud Subhi, Fi’Ilm Al-Kalam, Kairo, 1969, hlm. 75 – 6.
17
Golongan Murjiah berpendapat bahwa semua yang terlibat dalam
persengketaan kaum muslimin tetap mu’min dan tidak keluar dari Islam .
Iman adalah pekerjaan hati semata-mata, amal perbuatan sama sekali tidak
mempengaruhi iman seseorang. Golongan Syiah juga berpendapat bahwa
khalifah-khalifah sebelum Ali adalah perampas hak, sebab Ali yang telah
diberi wasiat nabi untuk menerima jabatan khalifah. Mereka berpendapat
bahwa para perampas itu juga kafir dan kekal dalam neraka.
Pada abad kedua Hijriah, kota Bagdad (Irak) menjadi pusat ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam. Filsafat Yunani telah masuk ke dunia
Islam dan pikiran-pikiran filsafatnya banyak mempengaruhi kaum muslimin.6
Demikian pula agama Yahudi, Kristen, Zoroaster dan kepercayaan-
kepercayaan setempat telah banyak dibawa masuk oleh orang-orang yang baru
saja memeluk agama Islam, di mana sisa kepercayaan mereka tidak bisa
dibuang sama sekali.Terasa sekali kegiatan dari pada agama lain dan orang-
orang yang sengaja memasuki Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam,
demikian pula ajaran-ajaran filsafat menyerang Islam dengan caranya sendiri.
Demikianlah pada masa itu Islam menghadapi berbagai serangan baik dari
luar maupun dari dalam. Dalam situasi menghadapi perpecahan dan perbedaan
pendapat serta serangan-serangan baik dari luar maupun dari dalam, lahirlah
Mu’tazillah.7
Untuk mengatasi dan menghindari berlarut-larutnya perpecahan dan
perbedaan pendapat, Mu’tazillah mengemukakan konsepsi jalan tengah dalam
usaha mengkompromomikan pendapat-pendapat yang berbeda. Pendapatnya
tidak terlalu keras sebagaimana pendapat Khawarij dan juga tidak terlalu
lemah sebagaimana pendapat Murjiah, tetapi bainal manzilataini, di antara
dua pendapat yang berbeda.
Terhadap serangan-serangan, baik dari luar maupun dari dalam,
Mu'tazilah muncul dengan pikiran-pikiran baru guna menyelamatkan Islam.
6 Nurcholis Majid, Khasanah Intelektual Islam, hlm. 21. 7 Ibid, hlm. 22
18
Usaha itu melahirkan ilmu baru dalam Islam yang dikenalkan Mu'tazilah,
yaitu “Ilmu Kalam”. Ilmu ini berisi perpaduan antara Filsafat dan Logika
dengan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga merupakan gagasan-gagasan
baru, konsepsi-konsepsi filsafat mengenai theologi Islam .
Dengan demikian, lahirnya Mu'tazilah adalah karena masalah agama
dan bukannya bermotif politis, meskipun dalam perkembangan selanjutnya
menggunakan unsur politik untuk memgembangkan dan memaksakan ajaran
dan pahamnya. Maka lahirlah satu golongan baru Mu'tazilah sehingga
menambah jumlah golongan yang telah ada.
B. Ajaran-Ajaran Pokok Mu'tazilah
Mu'tazilah sebagai pelanjut Qodariyah, golongan yang tertua di dalam
Islam yang mementingkan akal pikiran (rasionalist). Mereka sangat kritis,
bukan saja terhadap hadits nabi dan cara-cara penafsiran al-Quran , tetapi juga
kritis terhadap pengaruh ajaran filsafat Yunani seperti Aristoteles, Plato, Neo
Platonis dan sebagainya. Inilah yang memberi inspirasi sehingga
menimbulkan ilmu baru yang disebut Ilmu Kalam, yang mengkompromikan
antara pendapat filsafat dan agama.8
Ilmu, menurut Mu'tazilah hanya dapat diperoleh dengan akal dan tak
bisa dengan jalan lain. Pengetahuan tentang adanya Tuhan dapat dicapai
dengan akal dan kecuali Tuhan segala sesuatu dapat berubah dan binasa.
Bahwa pengetahuan tentang baik dan buruk adalah juga soal akal, tidak dapat
diketahui sesuatu itu salah atau benar, sebelum akal mencurahkan pikiran kita
mengenal perbedaannya. Bahwa perasaan syukur terhadap rahmat Tuhan
diwajibkan oleh akal, bahkan sebelum diturunkannya wahyu tentang itu.
Bahwa Tuhan mengutus para Rasul serta menurunkan wahyu adalah untuk
menjelaskan kepada manusia tentang perintah-perintah-Nya.
Akal dan keadilan adalah prinsip yang memimpin manusia dalam
tindak tanduknya, kegunaan atau manfaat dari usaha membahagiakan manusia
pada umumnya ukuran benar dan salah. Oleh sebab itu Mu'tazilah disebut pula
8 Fazlur Rahman, Islam,hlm.119.
19
Rationalist dan Utilitarist, di mana mereka mendasarkan hukum moral atas
persesuaian wahyu dengan akal.
Ada lima prinsip ajaran Mu'tazilah (al Ushul al Khomsah) :
1. At Tauhid (Keesaan Allah)
2. Al Adl (Keadilan)
3. Al Wa’du wal Wa’ied (Janji dan Ancaman)
4. Al Manzilatu bainal Manzilataini (Tempat di antara dua tempat)
5. Al amru bil Ma’rufi wan Nahyu ‘anil Munkari (mengajak kepada kebaikan
dan melarang kejahatan).9
Kelima prinsip ajaran ini adalah dasar utama yang harus dipegangi
oleh setiap orang yang mengaku dirinya Mu'tazilah, hal ini telah menjadi
kesepakatan bersama. Meskipun sering kali mereka berbeda dalam soal-soal
kecil dalam memahami kelima ajaran tersebut, karena menganalisanya atas
dasar pikiran yang tidak lepas dari latar belakang kebudayaan setempat.
1. At-Tauhid (Keesaan Tuhan ).
At Tauhid adalah dasar aqidah Islam yang pokok dan utama.
Sebenarnya Tauhid bukanlah ciptaan Mu'tazilah, tetapi karena mereka
menafsirkan dan mempertahankannya sedemikian rupa, maka mereka
dipertalikan dengan prinsip at-Tauhid (Keesaan ) dan terkenal dengan
sebutan Ahlu Tauhid.
Imam Al Asy’ari dalam kitabnya: Maqolat al Islamiyyin,
menyebutkan pengertian Tauhid menurut Mu'tazilah sebagai berikut :
Allah itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan jisim (benda)
bukan pribadi (syahs), bukan jauhar (substansi), bukan aradl (non
essential property), tidak berlaku padanya masa. Tiada tempat baginya,
tiada bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang
menunjukkan ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya, tiada melahirkan
dan tiada dilahirkan, tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan tidak bisa
digambarkan dengan akal pikiran. Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa
9 Ahmad Amin, Dhuhal Islam III, lihat pula Harun Nasution, Theologi Islam , hlm. 49.
20
dan Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain-
Nya, tiada pembantu bagi-Nya dalam menciptakan.
Apabila kita perhatikan uraian di atas, maka akan tampak jelas
bahwa pikiran-pikiran Mu'tazilah mengambil istilah-istilah filsafat seperti
syahs, jauhar, aradl, teladan (contah/idea) dan sebagainya. Prinsip Tauhid
ini dipertahankan dan diberi argumentasi sedemikian rupa, sehingga betul-
betul murni. Oleh karena itu sebagai kelanjutan daripada prinsip ini maka
mereka berpendapat pula :
a. Tidak mengakui sifat-sifat Tuhan sebagai suatu yang qodim, yang lain
dari zat-Nya. Menurut mereka apa yang disebut sifat Tuhan tidak dapat
dipisahkan dari Tuhan sendiri. Allah itu tahu sama dengan Allah itu
berkuasa, sama saja Allah itu hidup, sama saja Allah itu mendengar
dan melihat dan akhirnya sama saja dengan Allah itu ada.
Mereka berpendapat bahwa keabadian adalah sifat yang membedakan
zat Ilahi, bahwa Tuhan adalah Abadi /Qodim, karena keabadian adalah
sifat-Nya yang khas. Tuhan tidak mempunyai sifat, yang ada hanyalah
zat, tapi bukan berarti menafikan sifat Tuhan, tetapi sifat itu bukan
sifat zat, sebab kalau demikian akan terjadi “muta’addidul qudama”
berbilangnya yang qodim. Oleh sebab itu Mu'tazilah diberi gelar
golongan mu’attilah, 10 yang mengosongkan, meniadakan sifat-sifat
Tuhan. Namun pengikut-pengikut Washil bin Atha’ menetapkan dua
sifat pokok bagi Tuhan yaitu : ilmu dan qudrat, itupun bukan sifat
tetapi keadaan (haal).
b. Mengingkari pendapat yang mengatakan adanya arah bagi Tuhan, dan
menakwilkan ayat-ayat yang mempunyai kesan adanya persamaan
Tuhan dengan makhluk-Nya (antromorphisme/musyabbihah).11
Mereka melarang memberikan sifat bagi Tuhan dengan sifat keadaan,
baik dengan jalan jurusan, tempat, rupa atau badan maupun dengan
jalan perubahan, berhenti, bergerak atau melarut. Dalam tafsiran
10 Fazlur Rahman, Islam , hlm. 123. 11 Ibid.
21
mereka mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang mempergunakan sifat,
mereka pahami dalam arti kiasan dan bukannya dalam arti harfiah.
c. Mengingkari bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Karena
orang yang bertanya di mana adanya Tuhan, menyamakannya dengan
sesuatu. Tuhan adalah Pencipta, bukan karena Ia sendiri dicipta, Tuhan
ada bukan karena sebelumnya Ia tiada, Ia ada bersama tiap benda,
bukan karena serupa atau dekat. Ia di luar segala, bukan karena
terpisah. Ia adalah sebab utama, bukan dalam arti bergerak bertindak.
Ia adalah melihat tetapi orang tidak dapat melihat-Nya. Ia tidak
berhubungan dengan tempat, waktu dan tidak mempunyai dimensi.
d. Dengan Keesaan yang mutlak, mereka menolak konsepsi-konsepsi
dualisme maupun trinitas tentang Tuhan,
Meskipun prinsip Tauhid diakui oleh seluruh umat Islam, namun
ajaran ini oleh Mu'tazilah mendapat penekanan khusus. Ayat yang
dipegangi antara lain Al-Qur’an surat As-Suraa ayat 11:
صريالب ميعالس وهء ويكمثله ش س11:لشورى( لي(
Artinya : “Tidak ada seseuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (As-Syuraa:11)
Ayat yang menunjukkan Tuhan berjisim dita’wilkan seperti dalam
surat Al-Fath :10 :
... ديهمأي قالله فو د10: الفتح. . . ( ي(
Artinya :”Tangan Allah di atas tangan mereka”.
Ayat yang menunjukkan Tuhan bertempat, seperti dalam surat Al-
A’raf : 54 :
) 54: األعراف . ..(ثم استوى على العرش ...
Artinya :”Dia bersemayam di atas Arsy”.
22
Ayat yang menunjukkan Tuhan punya tangan, tangan di sini
diartikan kekuasaan dan dalam ayat yang menunjukkan Tuhan bertempat
dalam Arsy’ diartikan bahwa Tuhan menguasai dan sebagainya. Alasan
Mu'tazilah menta’wilkan ayat-ayat tersebut, karena apabila diartikan
secara harfiah tidak masuk akal dan bertentangan dengan ayat yang lain
serta akan mengurangi kesucian Tuhan sendiri. oleh sebab itu di dalam
menjabarkan Tuhan Yang Maha Esa ini mensifatinya dengan sifat-sifat
salbiyah (negatif) seperti tidak berjisim, tidak berarah, tidak berupa, tidak
dan sebagainya yang pada prinsipnya tidak sama dengan sifat makhluk.
Berikut ini dikemukakan contoh jalan pikiran Mu'tazilah di dalam
usaha memurnikan Tuhan atau mensucikan-Nya seperti masalah melihat
Tuhan. Dikatakan bahwa Tuhan tidak berjisim, maka juga tidak berarah.
Jika Tuhan tidak berarah, maka manusia tidak dapat melihat-Nya karena
setiap sesuatu yang dapat dilihat itu pasti berada pada suatu tempat atau
arah, disamping dibutuhkan beberapa syarat seperti adanya cahaya, warna
dan sebagainya, dan yang demikian itu mustahil bagi Allah.
Argumen di atas diperkuat dengan dalil ayat Al-Qur’an surat al-
An’am ayat 103 yang menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan
mata kepala.
بريالخ اللطيف وهو ارصاألب ركدي وهو ارصاألب ركهد103: األنعام (ال ت(
Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Pendapat tersebut banyak mendapat tantangan dengan menunjuk
dalil naqli juga, yaitu dengan menggunakan ayat yang menceritakan nabi
Musa mohon kepada Tuhan agar dapat melihat-Nya. Seandainya hal itu
tidak mungkin, maka mengapa Nabi Musa memintanya? Mu'tazilah
23
menjawab bahwa permohonan itu atas desakan dari kaumnya yang tidak
dapat ditawar lagi, bukan permohonan Nabi Musa.
Semua ayat Al-Qur’an yang beertentangan dengan prinsip tanzil,
penyucian dan permulaan di mana Tuhan mustahil bersifat sebagaimana
sifat makhluk-Nya, harus ditolak dan pengertiannya harus dita’wilkan.
Hadits sebagai penjelas Al-Qur’an diterima hanya yang mutawatir saja
yang menghasilkan ilmu yakin, mengingat ini masalah keyakinan
keimanan, sedang hadits yang menerangkan Tuhan dapat dilihat harus
ditolak karena itu hadits ahad.
Di samping pensifatan Tuhan dengan sifat salbiyah (negatif),
Mu'tazilah juga menetapkan sifat ma’ani (positif) bagi Tuhan seperti sifat
Ilmu, Hayyun, Qudrat, Iradrat, Sama’, Bashar, dan Kalam yang
kesemuanya sifat tersebut tidak terpisah dengan zat-Nya. Sebab kalau
terpisah atau berdiri sendiri berarti ada dua kekekalan, “ta’addudul
qudama”, berarti Tuhan berbilang, hal ini merupakan suatu yang mustahil
bagi Tuhan.
Tentang sifat Ilmu, Qudrat, dan Iradat Tuhan, tidak akan berubah
karena adanya perubahan. Ilmu adalah terbukanya sesuatu sesuai dengan
keadaannya. Pengertian ini mengandung konsekuensi daripada perubahan
itu. Bahwa perubahan itu menurut pandangan manusia, di mana di dalam
mengetahui sesuatu dengan alat pancaindera dan sangat bergantung
dengan beberapa kondisi. Akan tetapi bagi Tuhan tidak ada bedanya,
sebab adanya atau tidak adanya sesuatu tidak akan berpengaruh bagi
Tuhan. Tuhan mengetahui dengan zat-Nya terhadap sesuatu yang telah dan
akan ada dengan ilmu yang satu, sedang perubahan itu tergantung kepada
tempat dan waktu.
Dari pendirian di atas timbul persoalan baru, seperti mengenai
kekuasaan-Nya. Sehubungan dengan kekuasaan Tuhan yang mutlak, maka
apakah Dia kuasa untuk menyiksa, merusak surga atau neraka bersama
penghuninya atau mematikan mereka setelah ditentukan keadilan-Nya atau
berkuasakah untuk meninggalkan sesuatu yang diketahui kebaikannya.
24
Problema di atas dijawab oleh An-Nadzam, seorang tokoh
Mu'tazilah bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk berbuat aniaya (dhalim)
sebab perbuatan dhalim hanya akan dilakukan oleh yang membutuhkan
obyek untuk pelampiasan nafsu atau tidak mengerti akibat buruk daripada
perbuatan dhalimnya itu. Tuhan berkuasa untuk merusak syurga atau
neraka serta penghuninya setelah dipastikan keadilannya karena mereka
tidak mungkin hidup abadi tanpa batas. Bahwa penganiayaan atau
perbuatan dhalim hanya akan terjadi bagi yang bersifat dengki, hasud,
tanpa belas kasih. Maha Suci Tuhan daripada sifat dhalim serupa itu.
2. Al-Adl (keadilan)
Ajaran keadilan bagi Mu'tazilah erat hubungannya dengan ajaran
At-Tauhid. Kalau At-Tauhid adalah mensucikan Tuhan daripada adanya
persamaan dengan makhluk, maka Al-Adl adalah mensucikan Tuhan dari
perbuatan dhalim. Menurut Mu'tazilah, Tuhan tidak menghendaki
keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa
mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-
Nya, dengan kudrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri manusia.
Ia hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya dan melarang apa
yang tidak dikehendaki-Nya. Tuhan hanya menguasai kebaikan-kebaikan
yang diperintahkan dan tidak campur tangan dalam keburukan yang
dilarang-Nya.
Manusia telah diberi daya oleh Tuhan untuk memikul beban yang
dipikulkan kepadanya. Manusia diberi kuasa untuk memilih perbuatannya
yang akan dilakukan. Tuhan telah menyerahkan kudrat dan Iradat-Nya
kepada manusia, oleh sebab itu Mu'tazilah juga disebut “Ahlu Tafwidl”.
Manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan perbuatannya
dengan daya pemberian Tuhan yang ada padanya. Dengan demikian dapat
dipahami tentang perintah-perintah Tuhan, janji dan ancaman, pengutusan
rasul dan sebagainya. Oleh sebab itu manusia mempunyai kebebasan
untuk berbuat apapun juga, manusia adalah “khalikul af’al dirinya sendiri.
25
kalau manusia tidak merdeka di dalam perbuatan-perbuatannya, maka
adalah tidak adil kalau Tuhan meminta pertanggungjawaban mereka.12
Demikian pula Tuhan memberi siksa, maka siksaan itu adalah
untuk kepentingan dan maslahat manusia. Karena kalau Tuhan
menurunkan siksa bukan untuk maksud itu, maka berarti Tuhan
melalaikan salah satu kewajiban-Nya. Tuhan wajib selalu berbuat baik,
bahkan yang terbaik yang mendatangkan kebaikan bagi manusia (as-salah
wal aslah).13 Tuhan tidak berbuat buruk, bahkan tidak bisa berbuat buruk.
Karena perbuatan buruk-Nya akan mengurangi sifat kesempurnaan-Nya.
Adapun manusia yang berbuat baik, tetapi di dunia hidupnya
sengsara, juga pasti mendapat anugerah Tuhan di akherat nanti. Keadilan
Tuhan berlaku bagi seluruh makhluk, manusia, hewan, dan seisi alam
semesta ini.
3. Al-Wa’du wal-Wa’ied (janji dan ancaman)
Janji dan ancaman merupakan kelanjutan dari prinsip keadilan.
Mereka yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala berupa syurga
dan ancaman akan menjatuhkan siksa yaitu neraka sebagai yang
disebutkan di dalam Al-Qur’an, pasti dilaksanakan karena Tuhan sendiri
sudah menjanjikan hal yang demikian itu.
Siapa yang berbuat baik akan dibalas kebaikan dan siapa yang akan
berbuat jahat akan dibalas pula dengan kejahatan. Siapa yang keluar dari
dunia penuh dengan ketaatan dan taubat, ia berhak akan pahala dan
mendapatkan tempat di syurga..Sebaliknya siapa yang keluar dari dunia
sebelum taubat dari dosa besar yang pernah dibuatnya, maka ia akan
diabadikan di dalam neraka. Namun demikian menurut Mu'tazilah, siksa
yang diterimanya akan lebih ringan jika dibandingkan dengan yang kafir
sama sekali.
Pengampunan dosa besar hanya ada dengan melalui taubat,
sebagaimana halnya orang berbuat baik pasti mendapat pahala. Oleh sebab
12 Fazlur Rahman, Islam , hlm.122. 13 Ibid.
26
itu Mu'tazilah sama sekali mengingkari adanya “syafaat” (pengampunan)
pada hari kiamat. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan adanya syafaat
(lihat Al-Qur’an surat Saba’ : 23, Surat Thoha : 109 dan sebagainya),
mereka kesampingkan dan mereka memegangi dengan teguh ayat-ayat
yang menunjukkan tidak adanya syafaat itu seperti tercantum dalam surat
Al-Qur’an-Baqarah :254:
ا الذينها أيال يفيه و عيال ب موي أتيل أن ين قباكم مقنزا روا أنفقوا ممنآم
)254: البقرة(خلة وال شفاعة والكافرون هم الظالمون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian rizki yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang tidak ada lagi jual beli dan tidak ada persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dhalim”. (QS. Baqarah :254)
Syafaat merupakan dispensasi, ini bertentangan dengan prinsip
keadilan dan janji serta ancaman (al-wa’du wal-walied) Tuhan . Maka
tidak mungkin Tuhan berbuat tidak adil dan menyalahi janji-Nya sendiri.
4. Al-Manzilatu bainal manzilataini (tempat diantara dua tempat)
Prinsip inilah yang mula-mula menimbulkan lahirnya Mu'tazilah,
di mana Washil bin Atha’ memisahkan dirinya dari Hasan Al-Basri.
Menurut Washil seseorang yang berbuat dosa besar, selain musyrik tidak
lagi termasuk mu’min dan juga tidak termasuk kafir, tetapi pada posisi
antara mu’min dan kafir yang disebutnya “fasik”.14 Pendapat Washil ini
berdasarkan alasan :
a) Ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menganjurkan manusia
mengambil jalan tengah dalam segala hal seperti dalam surat Al-Isra’ :
29, Al-Baqarah :143 dan sebagainya.
14 As-Sihristani, al-Milal wan Nihal I, hlm. 48.
27
وال تجعل يدك مغلولة إلى عنقك وال تبسطها كل البسط فتقعد ملوما ) 29: اإلسراء (محسورا
Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”. (Al-Isra’ : 29)
وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول
)143:البقرة (عليكم شهيدا
Artinya : “Dan demikian Kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatanmu”. (Al-Baqarah : 143).
b) Pikiran-pikiran filosof, antara lain Aristoteles yang berpendapat bahwa
keutamaan adalah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
c) Ajaran Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat di antara baik
dan buruk.
d) Kata-kata hikmah dari cendekiawan, seperti Ali r.a. berkata : “ kun fid
dunya wasathon” (jadilah kamu dalam dunia ini tengah-tengah).
Mu'tazilah memperdalam pengertian jalan tengah tersebut sehingga
menjadi satu prinsip rationalist – ethis – philosophis, yaitu
pengambilan jalan tengah antara dua ujungnya yang berlebih-lebihan.
Perbuatan dosa atau maksiyat menurut Mu'tazilah ada dua macam,
yaitu maksiat yang kecil dan yang besar. Maksiat yang besar mereka
bagi dua :
1) yang merusak dasar agama, yaitu syirik dan yang melakukannya
menjadi kafir.
2) Yang tidak sampai merusak dasar agama dan orang yang
melakukannya tidak lagi disebut mu’min, sebab ia sudah
melanggar ajaran agama. Tetapi bukan juga kafir, sebab masih juga
mengucapkan syahadat.
28
Mu'tazilah menamakan orang semacam ini adalah “fasik”. Jadi orang
fasik ialah yang berada di antara tidak kafir dan bukan mu’min, ia akan
dimasukkan di dalam neraka tetapi tidak sederajat dengan orang kafir,
siksanya lebih ringan daripada orang kafir. Yang demikian ini sesuai
dengan prinsip keadilan
5. Al-Amru bil Ma’rufi wan Nahyu ‘anil Munkar.
Prinsip ini erat hubungannya dengan masalah amaliyah, sebagai
manifestasi daripada iman yang ada di dalam hati. Di dalam Al-Qur’an
banyak disebutkan tentang perintah ini, antara lain : surat ali Imran ayat
104, surat Lukman ayat 17 dan sebagainya.
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن
)104: آل عمران (ئك هم المفلحونالمنكر وأولـ
Artinya : “Dan hendaklah di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Ali Imran :104).
م الصلاة وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ما يا بني أق
)17: لقمان(أصابك إن ذلك من عزم الأمور
Artinya :”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan “ (Luqman : 17 )
Dari prinsip ini menunjukkan bahwa Mu'tazilah memandang sama
pentingnya antara aqidah dan amaliyah, antara iman dan amal. Oleh sebab
itu perlu orang diseru untuk mengerjakan kebaikan dan manjauhkan
perbuatan jahat. Pelaksanaan prinsip ini bila perlu dengan kekerasan,
29
sebab Mu'tazilah berkeyakinan bahwa orang-orang yang tidak sepaham
dipandang sesat dan perlu diluruskan.
Sejarah mencatat, Mu'tazilah pernah memakai kekerasan dalam
menyiarkan ajarannya yang menyangkut seorang ulama besar, yakni
Ahmad ibn Hambal terpaksa masuk penjara karena berbeda pendapatnya
mengenai status Al-Qur’an, dalam peristiwa “Mihnah”, semacam ujian
monoloyalitas bagi pejabat-pejabat negara.
Pendirian Mu'tazilah yang membawa konsekuensi buruk adalah
yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Hal ini karena faham
mereka yang menafikan sifat bagi Tuhan, sedang Al-Qur’an disebut
sebagai Kalamullah. Apakah Tuhan berkata sebagai halnya manusia ?
Mu'tazilah melihat Al-Qur’an sebagai suatu perkataan yang terdiri dari
susunan huruf dan bunyi, dengan demikian adalah baharu bukan qodim.
Kalam adalah bukan sifat zat, tetapi sifat perbuatan (sifat aktifa), oleh
karena itu Al-Qur’an adalah makhluk, dengan makhluk ini Tuhan
menerangkan kehendak-Nya, sebagaimana juga makhluk yang lain adalah
tidak abadi, yang abadi adalah Tuhan semata. Mereka berdasarkan alasan :
a) ayat-ayat Al-Qur’an sendiri yang menunjukkan ketidak-qodimnya,
seperti antara lain :
) 3:الزخرف (إنا جعلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون
Artinya : “Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya”. (Az-Zuhruf :3).
Selanjutnya dalam ayat lain Tuhan berfirman :
) 2:يوسف (إنا أنزلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون
Artinya : “Sesungguhnya Kami menurunkan berupa Al-Qur’an dengan bahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Yusuf :2)
30
b) Akal pikiran tidak bisa menerima apabila perintah-perintah dalam Al-
Qur’an itu qodim. Apalah artinya karena manusia yang diperintah
lahirnya kemudian. Maka perintah itu akan sia-sia, Maha suci Tuhan
daripada hal yang semacam itu.15
Mu'tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada
isinya, bukan dalam bahasanya. Sebab mungkin sekali seseorang bisa
menyusun bahasa yang lebih baik dari Al-Qur’an, tetapi mengenai
kandungan isinya tak mungkin seseorang dapat mencapainya. Dengan
isinya, Al-Qur’an membuktikan kebenaran yang dibawa Nabi
Muhammad Saw.
Pendirian Mu'tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk, sebagai analogi logis bahwa zat dan sifat Tuhan yang tidak dapat
dibagi, tidak dapat berubah, yang ada hanya Keesaan mutlak sebagaimana
dijelaskan di atas. Bagaimana memahami ayat Al-Qur’an surat An-Nisa
ayat 136 :
يا أيها الذين آمنوا آمنوا بالله ورسوله والكتاب الذي نزل على رسوله
والكتاب الذي أنزل من قبل ومن يكفر بالله ومالئكته وكتبه ورسله واليوم
)136: النساء(يدااآلخر فقد ضل ضالال بع
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah dan Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemudian. Maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya “ .(An-Nisa :136)
15 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Alih Bahasa
Abd Rahman Dahlan dan Ahmad Karib, Logos Publissing House Jakarta 1996, 185.
31
هنأمم هلغأب الله ثم كالم عمسى يتح هفأجر كارجتاس ركنيشالم نم دإن أحو
) 6: بةالتو (ذلك بأنهم قوم ال يعلمون
Artinya : “Dan jika di antara orang-orang musryrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” (At-Taubah : 6)
Untuk memperkuat pendiriannya, bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk sebagaimana dapat dipahami dari kedua ayat tersebut di atas,
maka dikemukakan argumentasi sebagai berikut :
1. Bahwa Al-Qur’an di dalamnya terdapat perintah dan larangan, janji
dan ancaman, berita dan lain sebagainya. Maka andaikata Al-Qur’an
itu kalam yang azali, dipandang tiada guna perintah dan larangan itu,
sebab pada saat itu belum ada yang diperintah dan firman itu ditujukan
kepada siapa.
2. Firman Tuhan kepada Nabi Musa adalah bukan yang kepada
Muhammad, karena pada hakekatnya pembicaraan kepada rasul-rasul
itu berbeda, seperti kisah mengenal dua umat adalah berbeda karena
perbedaan umat itu sendiri. maka apabila berbeda, sudah barang tentu
adalah mustahil kalam itu sebagai sifat-Nya yang Esa dalam sifat dan
zatnya yang tidak terjadi perbedaan di dalamnya.
3. Umat Islam telah sepakat bahwa Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang
terdiri dari surat, ayat dan huruf yang dapat diindera, adalah mustahil
kalam itu sebagai sifat-Nya adalah terlepas dari semua itu.
Sebagai dasar naqli dari pendapatnya, dikemukakan pula dalil
antara lain :
a) Ayat 30 surat Al-Baqarah adalah mengandung pengertian masa,
sedang yang di dalam masa adalah baru.
b) Surat Hud ayat 1 menunjukkan adanya susunan, sedangkan yang
tersusun adalah baru.
32
c) Surat At-Taubah ayat 6 menunjukkan bahwa firman itu dapat
didengar, sedang yang didengar harus terdiri dari huruf dan suara.
d) Surat Ad-Dukhan ayat 3, menunjukkan Al-Qur’an diturunkan berarti
baru.
e) Al-Baqoroh ayat 156 tentang nasih dan mansuh, menunjukkan
adanya penghapusan.
Dengan demikian maka Al-Qur’an adalah makhluk yang terdiri
dari huruf dan suara sebagaimana firman-Nya yang lain yang disampaikan
kepada para nabi. Pengertian daripada Allah yang bersifat kalam
(Mutakallimun) adalah Dia menciptakan dan melakukan pembicaraan yang
dapat menunjukkan terhadap obyek, terhadap apa yang dikehendakinya,
sedang yang diciptakan adalah makhluk.
Secara panjang lebar, Ahmad Amin mengurai tentang Mihnah,
sebagai berikut : pendapat tentang kemakhlukan Al-Qur’an nampak pada
akhir pemerintahan Umayah dari Al-Ja’du bin Dirham, guru Marwan bin
Muhammad di akhir khalifah Bani Umayah, yang berkata bahwa orang
yang pertama mengatakan tentang kemakhlukan Al-Qur’an dari Damsyik,
kemudian melarikan diri yang akhirnya berdiam di Kufah. Di sana Jaham
bin Sofwan belajar kepadanya. Al-Ja’du telah dibunuh oleh Kholid bin
Abdullah pada hari qurban di Kufah, hal ini karena Al-Ja’du mengatakan
bahwa Allah telah berbicara dengan Musa dan tidaklah Allah mengambil
pada Ibrahim sebagai khalifah.
Demikian pula Jaham bin Sofwan dibunuh oleh Salim bin Ahwaz
tahun 128 H, karena Jaham meniadakan sifat. Dan karenanya meniadakan
kalam serta pendapat kemakhlukan Al-Qur’an. Kemudian Bisry Al-
Maryisi yang asalnya seorang Yahudi juga berpendapat tentang
kemakhlukan Al-Qur’an pada masa Ar-Rasyid yang menda’wahkan
pendapatnya sekitar 40 tahun serta disusun dalam sebuah kitab.
Mu'tazilah telah mewarisi pendapat tersebut dari Al-Ja’du dan
Jaham, sehingga mereka (kaum Mu'tazilah) berpendapat seperti itu,
menambah pembahasan masalah itu dengan mendetail dan meluaskan
33
argumen. Dapat kita saksikan seperti Al-Murdar seorang tokoh Mu'tazilah
yang meluaskan pendapat tersebut dan mengkafirkan orang yang
menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah qodim.