Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Desain Struktur
Dalam perencanaan suatu struktur bangunan tahan gempa dapat digunakan
konsep Strength Based Design dan atau Performance Based Design. Pada
perencanaan bangunan tahan gempa berbasis kekuatan (strength based), kinerja
struktur dibagi dalam dua level hanya pada kondisi elastis yaitu bangunan berada
dalam keadaan siap pakai (servicebility limit state) dan keadaan tidak hancur
(safety limit state). Dalam perencanaan bangunan tahan gempa berbasis kinerja
(performance based) kinerja struktur dibagi secara jelas kedalam 4 kategori level
kinerja struktur yang mencakup kondisi pasca-elastis yaitu, fully operasional
(FO), immediate occupancy (IO), life safety (LS), dan collapse prevention (CP).
Konsep (performance based design) dapat digunakan untuk perencanaan
bangunan baru maupun perkuatan bangunan yang sudah ada, dengan pemahaman
yang realistik terhadap resiko keselamatan (life), kesiapan pakai (occupancy) dan
kerugian harta benda (economic loss) yang mungkin terjadi akibat gempa yang
akan datang.
2.1.1 Strength Based Design
Konsep ini pada dasarnya menggunakan metode desain kapasitas, dimana
elemen struktur dianggap akan aman apabila kapasitas kekuatan harus sama atau
lebih besar dari pada kebutuhan kekuatan. Pendekatan ini mengandalkan
kekuatan, kekakuan, dan daktilitas struktur. Metode desain kapasitas mengontrol
pola keruntuhan struktur daktail dengan merencanakan lokasi dan tipe sendi
plastis yang boleh terjadi pada struktur, sehinga tidak membahayakan komponen
struktur lain yang dianggap lebih penting.
Analisis struktur pada metode Strength Based Design bekerja pada daerah
elastis dari elemen struktur yang biasa dikenal dengan analisa linier (ekivalen
statik). Pada analisis struktur linier jarang sekali memperhatikan kriteria lain
seperti storey drif ratio maupun overal drift ratio. Pemenuhan terhadap prinsip
tersebut disertai dengan sifat daktilitas dan detailing pada desain kapasitas akan
5
membawa elemen dan struktur menjadi relatif stabil, karena proses disipasi energi
berlangsung dengan baik.
Gambar 2.1 Bagan alir desain struktur bangunan menurut Strength Based
Approach Sumber : Widodo Pawirodikromo, Seismologi Teknik & Rekayasa Kegempaan (2012)
Batasan kinerja struktur dalam konsep strength based design (Paulay, 1992)
adalah sebagai berikut :
1. Serviceability limite state
Titik berat dari kriteria ini adalah pengontrolan dan pembatasan
displacement yang terjadi selama gempa berlangsung. Kerusakan-kerusakan
minor pada elemen non-struktural masih diijinkan, tetapi tidak
diperkenankan terjadi kelelehan tulangan elemen struktur.
2. Survival limit state
Prinsip utama dari kriteria ini adalah sedapat mungkin mencegah kehilangan
nyawa manusia, ketika terjadi gempa yang paling kuat. Struktur yang
mengalami perpindahan lateral yang besar harus tetap mampu menahan
6
beban grafitasi dengan mempertahankan kehilangan kekuatannya, sehingga
perpindahan lateralnya sekecil mungkin.
Konsep strength based design juga memperhatikan tingkat kinerja struktur,
tetapi hanya terbatas pada kondisi elastis dan kemudian runtuh (ultimate). Hal ini
tidak dapat menggambarkan tingkat kinerja struktur pada waktu terjadi gempa
kuat yang akan menghasilkan kondisi inelastik sebelum mengalami keruntuhan
(collapse). Tingkat kinerja struktur non-linear pada bangunan tahan gempa dapat
diketahui dengan suatu konsep pendekatan baru yang dinamakan performance
based design.
2.1.2 Performance Based Design
Konsep disain ini menentukan kinerja bangunan yang dikehendaki terlebih
dahulu, dimana pada tahapan akhir desain target kinerja menjadi kriteria yang
harus dipenuhi. Apabila target kinerja belum terpenuhi maka perlu ada revisi
desain. Performance based design ini dapat menggambarkan perilaku inelastik
komponen-komponen bangunan sehingga dapat memperkirakan perilaku
bangunan ketika tergadi gempa.
Gambar 2.2 Bagan alir desain struktur bangunan menurut Performance Based
Design Sumber : Widodo Pawirodikromo, Seismologi Teknik & Rekayasa Kegempaan (2012)
Performance based design mempunyai dua elemen utama dalam
perencanaannya yaitu kapasitas struktur (capacity) dan beban (demand). Beban
7
(demand) merupakan reprsentasi dari gerakan tanah akibat gempa bumi, dimana
yang akan digambarkan sebagai kurva respon spektrum. Kapasitas struktur adalah
kemampuan dari struktur untuk menanggulangi gaya gempa (earthquake
demand).
Batasan kinerja struktur dalam konsep performance based design menurut
ATC-40 dan FEMA-356 adalah sebagai berikut :
1. Fully operational (FO)
Kondisi dimana, gedung tetap dapat beroperasi langsung setelah gempa
terjadi. Hal ini terjadi karena elemen struktur utama tidak mengalami
kerusakan sama sekali dan elemen non struktur hanya mengalami
kerusakan sangat kecil.
2. Immediate occupancy (IO)
Kondisi dimana, struktur secara umum masih aman untuk kegiatan
operassional segera setelah gempa terjadi. Ada kerusakan yang sifatnya
minor dan perbaikannya tidak mengganggu pemakai bangunan.
3. Life safety (LS)
Kondisi dimana, struktur bangunan mengalami kerusakan sedang,
sehingga diperlukan perbaikan. Namun, bangunan masih stabil dan
mampu melindungi pemakai. Bangunan dapat ditempati kembali setelah
selesai perbaikan.
4. Collapse prevention (CP)
Kondisi dimana, struktur bangunan mengalami kerusakan parah, tetapi
masih berdiri/tidak roboh. Elemen non struktur sudah runtuh, struktur
sudah tidak bisa dipakai.
2.2 Hierarki Kerusakan Struktur
Struktur bangunan terdiri atas : a) tanah pendukung; b) struktur fondasi; c)
struktur kolom; d) struktur balok; e) struktur plat lantai; f) struktur atap dan g)
elemen non-struktur (tembok, partisi, ceyling dsbnya). Apabila terjadi gempa
bumi hierarki kerusakan yang dikehendaki mempunyai urutan yang terbalik dari
yang telah disebutkan. Hierarki kerusakan elemen struktur secara logika dapat
ditentukan dengan jelas yaitu agar struktur tetap berdiri tegak maka kolom harus
8
lebih kuat daripada balok. Hierarki kerusakan terus berlanjut sampai pada tanah
pendukung. Ketika suatu struktur menerima beban gempa pada tingkatan tertentu
akan terjadi sendi plastis (plastic hinge). Sendi plastis merupakan ketidak
mampuan elemen struktur (balok dan kolom) menahan gaya dalam (struktur telah
leleh dan berotasi). Dengan memperhatikan hal tersebut maka dari filosofi desain
harus menggunakan prinsip kolom kuat balok lemah (strong column weak beam).
Gambar 2.3 Mekanisme runtuh pada portal terbuka
Sumber : Widodo Pawirodikromo, Seismologi Teknik & Rekayasa Kegempaan (2012)
2.2.1 Mekanisme Runtuh Pada Kolom
Apabila ujung-ujung kolom dalam suatu tingkat mulai leleh, maka proses
deformasi yang mengakibatkan simpangan berjalan terus tanpa adanya tambahan
beban sampai pada kondisi simpangan ultimit ∆u. Pada kondisi simpangan ultimit
dimana momen ultimit (Mu), gaya geser ultimit (Vu), gaya axial ultimit (Pu) yang
terjadi sudah melampaui momen nominal (𝜙Mn), gaya geser nominal (𝜙Vn), dan
gaya axial nominal (Pn) pada ujung-ujung kolom akan terbentuk sendi plastik
setebal lsp' dan lsp yang tunjukkan seperti pada Gambar 2.4. Pada saat sendi
plastis terjadi pada ujung-ujung kolom, maka kelengkungan telah sampai pada
kondisi ultimit, sehingga kelengkungannya bernotasi φ’ku,i dan φku,i. Bila tebal
sendi plastis masing-masing adalah lsp' dan lsp, maka sudut rotasi yang terjadi
oleh adanya sendi plastis pada tingkat ke-i, θi tersebut adalah :
( )
........................................................................... (2.1)
( )
........................................................................... (2.2)
9
Gambar 2.4 Mekanisme runtuh pada kolom dan distribusi kelengkungan
Sumber : Widodo Pawirodikromo, Seismologi Teknik & Rekayasa Kegempaan (2012)
2.2.2 Mekanisme Runtuh Pada Balok
Pada mekanisme runtuh di balok, maka sendi plastis akan terjadi pada
ujung-ujung balok, dan juga ujung bawah kolom dasar. Asumsi yang umumnya
diambil adalah sendi plastik terjadi secara bersamaan pada ujung-ujung balok.
Kondisi seperti ini jarang terjadi apalagi pada struktur yang termasuk gravity load
dominared (struktur relatif rendah, bentang balok besar dan terletak didaerah
gempa rendah). Pada mekanisme runtuh jenis ini, maka portal bertingkat akan
menjadi seperti gambar 2.5.
Gambar 2.5 Mekanisme runtuh pada balok dan letak sendi plastis
Sumber : Widodo Pawirodikromo, Seismologi Teknik & Rekayasa Kegempaan (2012)
Dengan memperhatikan gambar 2.5 maka rotasi plastis yang terjadi pada
ujung kolom dasar menjadi :
.............................................................................................. (2.3)
.................................................................................... (2.4)
............................................................................. (2.5)
10
2.3 Analisis Statik Beban Dorong (Static Pushover Analysis)
Analisa statik beban dorong (pushover) adalah suatu analisis non-linier
statik 2 dimensi atau 3 dimensi, di mana pengaruh gempa terhadap struktur
bangunan gedung dianggap sebagai beban statik pada pusat massa masing-masing
lantai, yang nilainya ditingkatkan secara berangsur-angsur (incremental) sampai
melampaui pembebanan sehingga menyebabkan terjadinya pelelehan (sendi
plastis) pertama di dalam struktur bangunan gedung, kemudian dengan
peningkatan beban lebih lanjut mengalami perubahan bentuk pasca-elastik yang
besar sampai mencapai target peralihan yang diharapkan atau sampai mencapai
kondisi plastik (ambang keruntuhan).
Tujuan analisis statik beban dorong adalah mengevaluasi perilaku seismik
struktur terhadap beban gempa rencana, yaitu memperoleh nilai faktor daktilitas
aktual dan faktor reduksi gempa aktual struktur, memperlihatkan kurva kapasitas
(capacity curve), dan memperlihatkan skema kelelehan (distribusi sendi plastis)
yang terjadi (Pranata, 2006).
Hasil akhir dari analisis ini berupa nilai-nilai gaya-gaya geser dasar (base
shear) untuk menghasilkan perpindahan dari struktur tersebut. Nilai-nilai tersebut
akan digambarkan dalam bentuk kurva kapasitas yang merupakan gambaran
perilaku struktur dalam bentuk perpindahan lateral terhadap beban (demand) yang
diberikan. Selain itu, analisa pushover dapat menampilkan secara visual elemen-
elemen struktur yang mengalami kegagalan sehingga dapat dilakukan pencegahan
dengan melakukan pendetailan khusus pada elemen struktur tersebut.
Pada analisis pushover ini mode yang akan digunakan ialah mode pertama.
Analisis yang menggunakan mode-mode yang lebih tinggi menghasilkan analisis
yang lebih akurat dalam menggambarkan perilaku struktur, tetapi untuk
mendapatkannya dibutuhakan variable dan data yang rumit, selain itu masih
sangat sedikit analisis yang bisa digunakan untuk mendapatkan nilai ragam yang
lebih tinggi.
2.3.1 Langkah-langkah Analisis Pushover
Secara mendasar langkah-langkah analisa statik non-linier dengan
menggunakan metode analisis pushover adalah sebagai berikut :
11
1. Menentukan kriteria performance seperti batas ijin simpangan pada lantai
atap pada titik sendi tertentu.
2. Pembuatan model struktur yang akan dianalisa secara 2 dimensi dan atau 3
dimensi.
3. Pembebanan struktur dengan gaya gravitasi untuk menentukan awal
perpindahan dan gaya-gaya dalam.
4. Pembebanan struktur dengan gaya lateral dengan pola pembebanan tertentu
untuk menghasilkan pelelehan pertama pada struktur.
5. Struktur didorong (push) dengan pola pembebanan yang telah ditentukan
sebelumnya secara bertahap (incremental) sampai mencapai keruntuhan
atau suatu target perpindahan tertentu.
6. Penggambaran kurva kapasitas yang merupakan hubungan antara gaya geser
dasar (base shear) dan besarnya perpindahan lateral (displacement).
7. Apabila hasil desain tidak memenuhi batasan kriteria maka dilakukan revisi
desain dan kembali dianalisa.
Gambar 2.6 Prosedur analisis pushover
12
Kurva kapasitas hasil dari analisis statik beban dorong menunjukkan
hubungan antara gaya geser dasar (base shear) dan perpindahan atap akibat beban
lateral yang diberikan pada struktur dengan pola pembebanan tertentu sampai
pada kondisi ultimit atau target peralihan yang diharapkan.
Gambar 2.7 Kurva Kapasitas dari hasil analisis pushover
2.4 Analisa Modal
Analisa modal (properti dinamik struktur) diperlukan untuk menghitung
beban gempa yang akan ditingkatkan secara bertahap dalam analisa pushover.
Properti modal seperti massa pada tiap level gedung, mode shape, faktor
partisipasi modal, dan koefisien massa modal dibutuhkan untuk merubah kurva
kapasitas dari analisa pushover menjadi spektrum kapasitas. Nilai-nilai tersebut
didapatkan dari bantuan analisa komputer.
Gambar 2.8 Sistem single-degree of freedom (SDOF)
Sumber : ATC- 40 (1996)
13
Gambar 2.9 Sistem MDOF dan SDOF
Sumber : ATC- 40 (1996)
Gambar 2.10 Amplitude sistem multi-degree of freedom (MDOF)
Sumber : ATC- 40 (1996)
2.4.1 Persamaan Analisa Modal
1. Faktor Partisipasi Modal
Nilai dari ∑(
) di normalisasi menjadi 1,0 maka, rumus faktor
partisipasi modal antar tingkat untuk setiap mode ke-m :
𝜙 ..................................................................... (2.6)
Keterangan :
PFim = faktor partisipasi modal untuk mode ke-m
фim = amplitudo dari mode m pada level ke-i
14
2. Koefisien Massa Efektif
Koefisien massa efektif untuk setiap mode ke-m dihitung dengan
rumus:
[∑
]
*∑
+[∑
]
........................................ (2.7)
Keterangan :
PFim = faktor partisipasi modal untuk mode ke-m
wi/g = massa yang diberikan pada level ke-i
фim = amplitude dari mode m pada level ke-i
N = level N, level tingakatan lantai dari struktur
3. Percepatan Modal Antar Tingkat
Percepatan modal antar tingkat untuk setiap mode ke-m dihitung
dengan rumus :
𝜙 ........................................................... (2.8)
Keterangan :
PFim = faktor partisipasi modal untuk mode ke-m
фim = amplitudo dari mode m pada level ke-i
aim = percepatan antar tingkat pada level ke-i untuk
mode ke-m (sebagaimana rasio dari percepatan
grafitasi, g)
Sam = percepatan spektral untuk mode ke-m dari
respon spektrum (sebagaimana rasio dari
percepatan grafitasi, g)
4. Gaya Lateral Modal Antar Tingkat
Gaya lateral merupakan massa dikali percepatan untuk mode ke-m
dihitung dengan rumus :
𝜙 ................................................... (2.9)
Keterangan :
Fim = gaya lateral antar tingkat untuk mode ke-m
wi = berat pada atau yang diberikan pada level ke-i
15
фim = amplitudo dari mode m pada level ke-i
PFim = faktor partisipasi modal untuk mode ke-m
Sam = percepatan spektral untuk mode ke-m dari
respon spektrum (sebagaimana rasio dari
percepatan grafitasi, g)
5. Geser Dasar Modal
Total gaya geser lateral berdasarkan mode ke-m dihitung
menggunakan rumus :
................................................................... (2.10)
Catatan, jumlah Fim mulai dari atap sampai dasar akan sama dengan
Vm.
Keterangan :
Vm = total gaya geser lateral antar tingkat untuk
mode ke-m
αm = koefisien massa efektif untuk mode ke-m
W = total beban mati dari gedung dan beban lain
yang dapat diterapkan
Sam = percepatan spektral untuk mode ke-m dari
respon spektrum (sebagaimana rasio dari
percepatan grafitasi, g)
6. Periode Getar Modal
Estimasi periode gedung berdaasarkan mode shape ke-m dihitung
menggunakan rumus :
√ ∑
∑ .............................................................. (2.11)
Keterangan :
Fim = gaya lateral antar tingkat untuk mode ke-m
wi = berat pada atau yang diberikan pada level ke-i
δim = displacement pada mode ke-m
g = grafitasi bumi
16
2.5 Respon Spektrum
Untuk menentukan performance point, data yang dibutuhkan adalah kurva
pushover dan respon spektrum. Respon spektrum dipilih berdasarkan klasifikasi
situs, data tanah (nilai SPT) dibutuhkan untuk menentukan klasifikasi situs tanah
tersebut.
Tabel 2.1 Klasifikasi situs
Kelas Situs Vs (m/detik) N atau N ch uS
SA (batuan keras) > 1500 N/A N/A
SB (batuan) 750 sampai 1500 N/A N/A
SC (tanah keras,sangat padat dan batuan lunak) 350 sampai 750 >50 > 100
SD (tanah sedang) 175 sampai 350 15 sampai 50 50 sampai 100
SE (tanah lunak)
< 175 <15 < 50 Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah dengan karateristik sebagai berikut : 1. Indeks plastisitas, PI > 20, 2. Kadar air, w > 40 %, dan
3. Kuat geser niralir uS <25 kPa
SF (tanah khusus,yang Membutuhkan investigasi geoteknik spesifik dan analisis respons spesifiksitus
Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih dari karakteristik berikut: Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat beban gempa seperti mudah likuifaksi, lempung sangat sensitif, tanah tersementasi lemah, Lempung sangat organik dan/atau gambut (ketebalan H > 3
m), Lempung berplastisitas sangat tinggi (ketebalan H > 7,5 m
dengan Indeks Plasitisitas, PI > 75), Lapisan lempung lunak/medium kaku dengan ketebalan H >
35 m dengan uS < 50 kPa. Sumber : SNI 1726:2012
Untuk menentukan respon spektrum dalam analisa pushover, ATC 40
(1996) memberikan rumus sebagai berikut :
CA = 0,4 SMS ....................................................................................... (2.12)
CV = SM1 .............................................................................................. (2.13)
Keterangan :
CA = percepatan puncak efektif di permukaan tanah
CV = percepatan dipermukaan tanah pada periode 1 detik
17
SMS = nilai spektra percepatan untuk periode pendek 0,2 detik di
batuan dasar
SM1 = nilai spektra percepatan untuk periode pendek 1 detik di
batuan dasar
2.6 Langkah-langkah Menentukan Performance Point menurut ATC-40
2.6.1 Prosedur Menentukan Demand
Berdasarkan ATC-40 (1996) ada 2 metode untuk menentukan demand, yaitu
sebagai berikut :
a. Capacity spectrum method
- Merupakan metode iterative yang bertujuan untuk menentukan lokasi
titik performance struktur dengan kapasitas yang ada dan demand
yang diminta.
- Lokasi performance point harus memenuhi 2 kriteria, yaitu :
Berada pada kurva spektrum kapasitas.
Berada pada kurva demand spectral yang telah direduksi dari
keadaan elastis (damping 5%).
- Ada 3 macam prosedur yang didapat dipilih dalam metode ini :
Prosedur A : merupakan cara analisis berdasarkan rumusan-
rumusan tertentu untuk mendapatkan perpotongan antara kurva
spektrum kapasitas dan kurva spektrum respon tereduksi pada
titik (dpi,api). Jika nilai tersebut pada range diantara 0,95dpi ≤ di ≤
1,05 dpi maka titik (dpi,api) adalah titik kinerja (performance
point).
Prosedur B : melakukan penyederhanaan bilinier pada kurva
kapasitas. Performance point didapatkan dari perpotongan antara
kurva spektrum kapasitas dengan garis yang didapat dari titik-titik
(dpi,api) dengan masing-masing nilai damping efektif (βeff).
Prosedur ini menghasilkan suatu nilai yang sama dengan prosedur
lainnya, jika performance point yang didapatkan pada titik
(a*,d*).
18
Prosedur C : merupakan cara grafis (manual gambar)
b. Displacement coefficient method
Metode dengan proses numerik langsung dalam menghitung displacement
demand sehingga tidak perlu mengkonversi kurva kapasitas kedalam
koordinat spektral.
2.6.2 Prosedur A Metode Spektrum Kapasitas
1. Mengubah kurva kapasitas kedalam koordinat spektral menjadi kurva
spektrum kapasitas dengan rumus :
Sa =
…………….................................................................. (2.14)
Sd =
............................................................................ (2.15)
dengan :
α1 =*∑
+
*∑
+[∑
]
................................................................ (2.16)
PF1 = ∑
∑
........................................................................... (2.17)
dengan :
Sa = percepatan spektral (spectral acceleration)
Sd = perpindahan spektral (spektral displacement)
PF1 = faktor partisipasi modal (modal participation factor) untuk
moda pertama
α1 = koefisien massa modal (modal mass coefficient) untuk moda
pertama
Øli = amplitudo modal (amplitude of mode) pertama pada level i
V = gaya geser dasar (base shear)
∆roof = perpindahan pada puncak (roof displacement)
= massa pada level i
19
Gambar 2.11 Konversi kurva kapasitas menjadi spektrum
kapasitas Sumber : ATC – 40, 1996
2. Menentukan spektrum respon elastis (damping 5 %) sesuai dengan
peraturan yang berlaku, kemudian mengkonversikannya dalam
koordinat spektral dengan rumus :
Sd = (
)
............................................................................. (2.18)
Gambar 2.12 Konversi respon spektrum dalam format ADRS
Sumber : ATC – 40, 1996
3. Menentukan titik trial pertama (dpl,apl) (pendekatan equal
displacement) :
a. Perpanjangan garis stiffness awal (initial stiffness) pada kurva
spektrum kapasitas sampai memotong demand spectral.
20
b. Equal displacement aprroximation memperkirakan bahwa
displacement spectral inelastik sama dengan yang terjadi pada
struktur jika struktur tetap elastis sempurna. Langkah 1-3
digambarkan dalam gambar
Gambar 2.13 Equal displacement approximation
Sumber : ATC – 40, 1996
4. Menentukan representasi Bi-linear guna memperkirakan besarnya
damping efektif dan reduksi yang tepat untuk demand spektral
dengan cara menarik garis trial pertama (dpl,apl) memotong garis
initial stiffness di (dy,ay) sedemikian, sehingga luasan daerah A1
sama dengan A2 (lihat gambar)
Gambar 2.14 Represetasi Bi-linear pada metode spektrum
kapasitas Sumber : ATC – 40, 1996
21
5. Menentukan besarnya viscous damping efektif :
Βeff = ................................................................. (2.19)
β0 merupakan hysterisis damping yang diberikan dalam viscous
damping ekivalen. ATC 40, 1997 memakai rumus Chopra 1995,
yaitu :
β0 =
…………………........................................... (2.20)
Dengan ED adalah energi yang dipancarkan oleh damping dan ESO
adalah energi regangan maximum.
Gambar 2.15 Damping untuk reduksi spektral
Sumber : ATC – 40, 1996
22
Gambar 2.16 Energi yang dipancarkan oleh damping
Sumber : ATC – 40, 1996
ED = 4 x daerah yang diarsir pada gambar
= 4 x (api.dpi – 2A1 - 2A2 – 2A3)
= 4 x (ay.dpi – dy.api) .......................................................... (2.21)
Eso =
......................................................................... (2.22)
Angka 5 pada persamaan (3.6) merupakan viscous damping pada
struktur sebesar 5% yang dianggap konstan. K merupakan faktor
modifikasi viscous damping ekivalen yang tergantung pada
perilaku struktural bangunan. Untuk menyederhanakan, ATC-40,
1997 menggolongkan 3 kategori perilaku struktural seperti dalam
tabel 2.4.
Tabel 2.2 Nilai faktor modifikasi viscous damping ekivalen, K Struktural Behavior
Type Struktural Behavior β0 K
A Stabil, hysterisis loop paling mirip dengan
gambar
< 16,25 ≥ 16,25
1 1,13 – [0.51(ay.dpi – dy.api) /
api. dpi]
B Kurag stabil, hysterisis
loop tereduksi sebagian
< 25 ≥ 25
0,67 0,845 – [0.446(ay.dpi –
dy.api) / api. dpi]
C Hysterisis loop paling jelek Berapapun 0,33
Sumber : ATC – 40, 1996
23
6. Menentukan besarnya reduksi spektrum respon relatif :
SRA = *
+ ................................................ (2.23)
SRV = *
+ ................................................ (2.24)
Nilai SRA dan SRV tersebut harus lebih besar dari nilai pada tabel,
sedangkan tipe-tipe perilaku struktur dapat dilihat pada tabel.
Tabel 2.3 Nilai minimum SRA dan SRV
Tipe Perilaku Struktur SRA SRV
Tipe A 0,33 0,5 Tipe B 0,44 0,56 Tipe C 0,56 0,67
Sumber : ATC – 40, 1996
Tabel 2.4 Tipe-tipe perilaku struktural
Shaking Duration
Essentially New Building
Average Existing Building
Poor Existing Building
Short Tipe A Tipe B Tipe C Long Tipe B Tipe C Tipe C
Sumber : ATC – 40, 1996
7. Menetukan besar masing-masing Sd dan Sa tereduksi dengan
menggunakan persamaan :
Sa = ................................................................. (2.25)
Ts =
.................................................................. (2.26)
Sd = (
) ..................................................................... (2.27)
Pada gambar 2.18 menunjukkan contoh demand respon spektrum
sebelum direduksi dan sesudah direduksi. Nilai SRA merupakan
nilai reduksi yang dikalikan pada kurva respon spektrum sumbu
spectral acceleration dan nilai SRV merupakan nilai reduksi yang
dikalikan pada kurva respon spektrum sumbu spectral
displacement.
24
Gambar 2.17 Reduksi pada respon spektrum elastis (damping 5%)
Sumber : ATC – 40, 1996
8. Setelah respon sepektrum direduksi, lihat apabila spektrum
demand berpotongan dengan spektrum kapasitas pada titik api,
dpi, perpotongan kurva masih dalam batas toleransi dpi.
Gambar 2.18 Titik perpotongan antara spektrum demand dan
spektrum kapasitas Sumber : ATC – 40, 1996
9. Apabila spektrum demand berpotongan dengan spektrum
kapasitas namun tidak dalam batas toleransi, maka tentukan ulang
titik api, dan dpi kemudian kembali ke langkah 3.
25
Gambar 2.19 Batas toleransi titik dpi
Sumber : ATC – 40, 1996
2.7 Kinerja Struktur
2.7.1 Kategori Level Kinerja Struktur
FEMA-356 dan ATC-40 memberikan 4 kategori level kinerja struktur, yaitu
sebagai berikut :
Tabel 2.5 Kriteria level kinerja struktur berdasarkan FEMA-356 dan ATC-40 Level kinerja Penjelasan
Fully Operational Struktur tetap dapat beroperasi langsung setelah gempa terjadi (operasional state). Hal ini terjadi karena struktur utama tidak mengalami kerusakan sama sekali dan elemen non-struktur hanya mengalami kerusakan sangat kecil sehingga tidak menjadi masalah (damage state).
Immediate Occupancy Struktur secara umum masih aman untuk kegiatan operasional segera setelah gempa terjadi (damage state). Ada kerusakan yang sifatnya minor, perbaikannya tidak mengganggu pemakai bangunan. Oleh karena itu, bangunan pada level ini juga hampir langsung dapat dipakai setelah kejadian gempa.
Life Safety Struktur bangunan mengalami kerusakan sedang (damage state), sehingga diperlukan perbaikan. Namun, bangunan masih stabil dan mampu melindungi pemakai (life safety) dengan baik. Bangunan dapat ditempati kembali setelah selesai perbaikan (operational state).
Collapse Prevention Struktur bangunan mengalami kerusakan parah (severe), tetapi masih berdiri/tidak roboh/untuh (damage state). Elemen non struktur sudah runtuh. Pada performance level ini bangunan sudah tidak dapat dipakai (operasional state).
Sumber : FEMA-356 (2000) dan ATC- 40 (1996)
26
Gambar 2.20 Ilustrasi level kinerja Sumber: FEMA-356 (2000)
Tabel 2.6 Batas drift berdasarkan performance based design
Tingkat Kinerja Interstory drift
limit Immediate occupancy
Damage control Life safety Collapse
prevention Maximum total
drift 0,01 0,01 - 0,02 0,02 0,04
Maximum inelastic drift 0,005 0,005 – 0,015 No limit -
Sumber : ATC – 40 (1996) dan FEMA-356 (2000)