23
1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM PEMASYARAKATAN DAN RECIDIVIS 2.1.Efektivitas 2.1.1.Pengertian Efektifitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil, dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan, dalam hal ini efektivitas dapat dilihat dari tercapai tidaknya tujuan instruksional khusus yang telah dicanangkan. Suatu sistem hukum dikatakan efektiv jika tujuan dari hukum tersebut yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum telah tercapai dengan baik. 2.1.2.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Berlakunya Hukum Berbicara efektivitas berlakunya hukum berarti terkait mengenai daya paksa suatu hukum agar masyarakat taat dan tertib dalam melaksanakan hukum. Masalah pokok terkait dengan efektivitas berlakunya hukum sesungguhnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

1

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM

PEMASYARAKATAN DAN RECIDIVIS

2.1.Efektivitas

2.1.1.Pengertian Efektifitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian efektivitas

adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur,

membawa hasil, dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan,

dalam hal ini efektivitas dapat dilihat dari tercapai tidaknya tujuan instruksional

khusus yang telah dicanangkan. Suatu sistem hukum dikatakan efektiv jika tujuan

dari hukum tersebut yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum

telah tercapai dengan baik.

2.1.2.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Berlakunya Hukum

Berbicara efektivitas berlakunya hukum berarti terkait mengenai daya

paksa suatu hukum agar masyarakat taat dan tertib dalam melaksanakan hukum.

Masalah pokok terkait dengan efektivitas berlakunya hukum sesungguhnya

terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Faktor-faktor tersebut

antara lain:

1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada

undang-undang saja.

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

2

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.1

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada

efektivitas penegakan hukum.

2.2.Sistem Pemasyarakatan

2.2.1.Sejarah Perkembangan Kepenjaraan Di Indonesia

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan

bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut

di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk

menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga

pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka

yang telah melanggar peraturan tersebut.2

1 Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali

Pers, Jakarta, h. 8.

2 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit, h. 54.

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

3

Dikenalnya pidana penjara oleh orang di dunia sudah sejak abad keenam

belas atau abad ketujuh belas, tetapi berbeda dengan pidana penjara yang dikenal

dewasa ini, pidana penjara yang dilakukan waktu itu dilakukan orang dengan

menutup para terpidana di menara-menara, di benteng-benteng, dan lain-lain,

khususnya mereka yang telah dijatuhi pidana mati, tetapi kemudian juga mereka

yang telah dijatuhi pidana berupa perampasan kemerdekaan, baik yang untuk

sementara maupun yang untuk seumur hidup.

Goffman di dalam tulisannya menggambarkan penjara sebagai institusi

yang bersifat totaliter (totale institutie). Dengan ini dimaksud bahwa seluruh

fungsi kehidupan terpenting manusia berlangsung di dalam suatu organisasi yang

berada di luar kehidupan normal sehari-hari. Tinggal, bekerja, tidur, rekreasi dan

aktivitas rutin manusia lainnya dilangsungkan dalam suatu institusi yang

dipisahkan dari masyarakat dengan tembok atau pagar tinggi. Hidup dari pagi hari

hingga larut malam dijalani dengan mengikuti aturan-aturan yang ketat dan tidak

ada peluang bagi penghuni untuk mengubah aturan-aturan tersebut.3

Di dalam institusi total tersebut, demikian dikatakan Goffman, terjadi

proses mortifikasi, hilangnya kemanusiaan penghuni. Ego dari manusia

dipunahkan, individualitas dari manusia tidak mendapat kesempatan untuk

berkembang. Hilangnya individualitas penghuni penjara ditegaskan dengan

mewajibkan mereka mengenakan seragam, sekalipun bukan baju garis-garis

3 Septa Candra et. al., 2012, Hukum Pidana Dalam Perspektif, Pustaka Larasan, Denpasar, h.

226, dikutip dari E. Goffman, Totale Instituties, Rotterdam Universitaire Pers, Rotterdam, 1975.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

4

klasik, bisa saja berwarna coklat tua, ditambah dengan celana dan jas yang

kerapkali tidak seukuran dengan tubuh narapidana.

Jenis pidana penjara bukan merupakan jenis pidana asli bangsa Indonesia.

Dalam sejarah diketahui bahwa jenis pidana yang banyak dilakukan pada masa-

masa sebelum datangnya penjajah di nusantara adalah pidana badan (capital

punishment). Jika ada tempat penampungan (persinggahan) bagi terpidana, maka

fungsinya sebagai tempat sementara untuk menunggu eksekusi pidana badan,

bukan sebagai tempat pembinaan sebagaimana dikonsepsikan oleh pemikiran

penologi.4 Sistem pidana penjara baru diperkenalkan di Indonesia pada zaman

penjajahan oleh kaum penjajah.

Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya

pidana hilang kemerdekaan sehingga belum ada pidana penjara. Meskipun

demikian, pada masa tersebut sudah ada rumah tahanan yang dipakai tersangka

untuk menunggu putusan hakim atau menunggu pelaksanaan (eksekusi) pidana

mati atau pidana badan jenis lain. Sudarto mengemukakan bahwa pada zaman

Majapahit belum dikenal jenis pidana pencabutan kemerdekaan. Jenis pidana

pokok yang berlaku pada masa tersebut adalah pidana mati, pidana potong

anggota badan yang bersalah, denda, dang anti kerugian.5

Selanjutnya pada zaman kompeni sudah dikenal istilah spinhius dan

rasphius. Spinhius adalah rumah tahanan bagi para wanita tunasusila, pemalas

4 Widodo dan Wiwik Utami, 2014, Hukum Pidana & Penologi: Rekontruksi Model

Pembinaan Berbasis Kompetensi Bagi Terpidana Cybercrime, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, h.

26.

5 Ibid, h.27.

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

5

kerja, dan peminum (pemabuk). Mereka dikurung untuk diperbaiki tingkah laku

dan mentalitasnya dengan cara memberi pekerjaan meraut kayu untuk dijadikan

bahan cat. Menurut Sudarto, rasphius diperuntukan khusus bagi narapidana laki-

laki. Para penghuni rasphius diberi pendidikan agama dan diberi pekerjaan agar

menjadi contoh oleh penjara-penjara lain yang menjalankan pidana hilang

kemerdekaan. Rumah tahanan di Batavia (Jakarta) pada zaman Kompeni ada 3

macam yaitu, Bui (tahun 1602) yang dibangun di batas wilayah pemerintah kota,

Ketingkwartier merupakan tempat terpidana yang dirantai, Vrouwentouchthuis

merupakan tempat penampungan orang-orang berjenis kelamin perempuan bangsa

Belanda yang melanggar kesusilaan.6

Sistem kepenjaraan pada zaman Hindia Belanda seiring perkembangannya

terbagi menjadi enam babakan, yaitu Tahun 1800-1816, Tahun 1816-1854, Tahun

1854-1870, Tahun 1870-1905, Tahun 1905-1918, dan Tahun 1917-1942.

Dalam rentang waktu tahun 1800-1816 di wilayah nusantara terjadi dua

masa pemerintahan, yaitu masa pemerintahan penjajahan Belanda (1800-1810_

dan masa penjajahan Inggris (1811-1816). Pada tahun 1800-1810 keadaan bui

tetap sebagaimana masa kompeni, yaitu berupa kamar berukuran kecil seperti

kandang binatang. Tahun 1811 saat pemerintahan Inggris berkuasa di Indonesia,

Rafless sebagai penguasa di zaman tersebut memerintahkan agar dilakukan

perbaikan keadaan dan mulai didirikan bui di tiap-tiap tempat yang terdapat

pengadilannya. Segala bentuk pidana yang bersifat kejam dan mengakibatkan

6 Ibid

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

6

terpidana cacat badan diperintahkan oleh Rafles agar dihapus dan tidak

diberlakukan lagi.

Tahun 1816-1854 setelah pemerintah Hindia Belanda kembali menguasai

wilayah nusantara setelah beberapa saat wilayah nusantara dikuasai Inggris, usaha

Rafless dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan jalan

mengklasifikasikan terpidana yaitu:

a. Orang-orang yang dipidana kerja paksa dengan memakai rantai;

b. Orang-orang yang dipidana kerja paksa biasa;

c. Orang-orang yang dipidana kerja paksa dengan diberi upah.

Tahun 1856 Jenderal Pokrol A.J. Swart mengumumkan pemberitaan

tentang akan ada pendirian rumah-rumah penjara baru di wilayah Hindia Belanda.

Pemberitaan tersebut memuat keterangan-keterangan tentang ketertiban, makanan,

pakaian, kesehatan, keadaan tempat narapidana bekerja, dan bermacam-macam

pekerjaan yang harus dijalani oleh narapidana. Pada tahun 1861 Pokrol Jenderal

A.W. Reoppard memberitakan bahwa pemerintah Hindia Belanda menyesalkan

keadaan penjara-penjara pada waktu itu. Menurut pemberitaan tersebut, keadaan

Ketingkwartier tidak layak, kurang ruangan, penerangan dan pertukaran udara

kurang lancer, dan penjara tersebut diperuntukan khusus bagi orang Indonesia.

Bahkan A.W. Reoppard menyesalkan keadaan orang Belanda di penjara yang

tidak diberi pekerjaan sehingga selalu bermalas-malasan. Atas pernyataan tersebut

Gubernur Jenderal Sloet van der Beele pada tahun 1865 memerintahkan Residen

Riouw untuk melakukan studi banding di penjara Singapura. Hasil studi banding

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

7

tersebut diharapkan dapat dipakai sebagai contoh pengelolaan penjara di

Indonesia.

Hasil studi banding Residen Riouw ternyata tidak segera membawa

perbaikan penjara, tetapi akhirnya melahirkan peraturan untuk penjara-penjara di

Hindia Belanda yang dimuat dalam Lembar Negara (Stbl.) 1871 Nomor 78 (Tucht

Reglement van 1871). Peraturan tersebut dirancang oleh Departemen Justisi yang

baru didirikan tahun 1870. Tucht Reglement van 1871 mengatur agar adanya

pemisahan pemenjaraan antara:

a. Golongan Indonesia dengan Golongan Eropa

b. Perempuan dengan laki-laki

c. Terpidana dengan katagori berat dengan terpidana berkatagori lainnya.

Selain itu, pada tiap-tiap penjara harus diadakan pendaftaran dan

pencatatan terhadap narapidana yang ada dalam penjara, dan mereka harus dibagi-

bagi dalam beberapa bagian menurut golongan narapidana. Jika tidak ada alasan

yang sah, kepala penjara dilarang memasukan atau mengurung orang.

Mulai tahun 1905 di Hindia Belanda terjadi perubahan metode

pemenjaraan yang cukup mendasar. Peningkatan tersebut adalah melalui pendirian

beberapa penjara yang berlahan luas dan kondisinya diperbaiki, serta kualitas dan

kuantitas pegawai-pegawainya ditingkatkan. Di penjara Glodog mulai diadakan

percobaan pembinaan dengan cara memberikan pekerjaan kepada narapidana

yang dijatuhi pidana kerja paksa di dalam lingkungan pagar tembok penjara.

Dalam jangka waktu antara tahun 1905 sampai dengan 1918 di wilayah Hindia

Belanda didirikan penjara-penjara untuk dijadikan contoh Central Gevengenis,

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

8

dan didirikan penjara-penjara pusat yang berukuran sangat besar sehingga

menampung kira-kira 700 orang. Penjara tersebut merupakan gabungan Huis van

Bewaring.

Pada masa 1917-1942 di wilayah Hindia Belanda mulai dilakukan

Reglemen Penjara Baru (Gestichten Reglement) Stbl. 1917 Nomor 708, yaitu

mulai tanggal 1 Januari 1918 berdasar Pasal 29 Weetbook van Strafrecht (WvS).

Peraturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru tersebut

menjadi dasar perlakuan terhadap para narapidana dan cara pengelolaan penjara.

Pada masa tersebut di Hindia Belanda mulai didirikan penjara-penjara istimewa

untuk beberapa golongan narapidana, misalnya pendirian penjara di Jatinegara

tahun 1919. Penjara Jatinegara khusus digunakan untuk menampung orang-orang

yang dipidana penjara seumur hidup dan narapidana nakal (narapidana yang

melakukan pelanggaran berat di dalam penjara). Pada Tahun 1925 di Tanah

Tinggi, didirikan sebuah penjara khusus untuk anak-anak (yaitu orang yang

berumur kurang dari 20 tahun). Pada tahun 1925 di Batavia dan Surabaya

didirikan Clearing House untuk mengumpulkan narapidan yang dipidana penjara

lebih dari 1 tahun untuk diselidiki, dipilih, kemudian dikirim ke penjara lain yang

sesuai dengan jiwa, watak dan kebutuhan narapidana, terutama berkaitan dengan

jenis pekerjaan di dalam penjara. Tahun 1925, penjara Cipinang mencoba untuk

membuat tempat tidur yang terpisah untuk narapidana yang disebut chambaretta,

yaitu berupa kerangkeng yang berbentuk sangkar yang dibuat dari jeruji besi, dan

pada tiap-tiap kerangkeng hanya ditempati satu orang dengan maksud agar

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

9

narapidana tidak melakukan perbuatan cabul. Pada tahun 1927 didirikan 2 penjara

khusus untuk anak-anak yaitu di Ambarawa dan Pemekasan.

Dibandingkan dengan periode sebelumnya, pada periode tahun 1917-1942

terdapat beberapa perubahan mendasar, yaitu pada tahun 1930, dan tahun

1931.pada tahun 1930 terjadi beberapa perubahan berikut:

1) Mengubah pembagian narapidana laki-laki yang dijatuhi pidana

penjara lebih dari satu tahun dalam 2 golongan, berdasarkan hasil

penyelidikan di Clearig House, yaitu golongan narapidana yang sulit

dididik kearah yang baik dan narapidana yang mudah dididik menuju

arah yang baik.

2) Untuk kedua golongan sebagaimana tercantum dalam angka 1 tersebut,

diadakan pembagian semacam reformatory (sebagaimana ada Elmira),

yaitu di penjara Malang, Madiun dan Sukamiskin.

3) Mengadakan psichopaten di Glodog.

4) Mengadakan sistem cellilousie.

5) Penjara untuk orang Eropa di Semarang dipindahkan ke Sukamiskin.

6) Kursus-kursus untuk pegawai kepenjaraan.

7) Mengangkat seorang pegawai reklasering.

8) Mendirikan dana reklasering.

Sedangkan pada tahun 1931 perubahan yang terjadi adalah sebagai

berikut:

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

10

a) Penjara Sukamiskin dijadikan penjara istimewa untuk narapidana yang

berasal dari golongan terpelajar dan dianggap berkedudukan di

masyarakat.

b) Penjara Sukamiskin diberi peralatan percetakan (untuk latihan kerja).

c) Percobaan chambaretta di Penjara Cipinang dilanjutkan.

d) Golongan narapidana yang berstatus orang-orang komunis yang

dipenjara di Padang dan Glodok dipindahkan ke Pamekasan.

e) Penjara anak-anak di Pamekasan dihapus, dan tempatnya digunakan

untuk orang-orang komunis sebagaimana dimaksud dalam huruf d.

Anak-anak terpidana yang ada di Pamekasan dipindahkan ke

Banyubiru dan Tangerang.

f) Adanya percobaan dengan ploeg-stukloon system, yaitu

mempekerjakan orang antara 7 sampai 8 orang untuk bekerja bersama-

sama dengan mendapat upah.

Setelah berakhirnya masa kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, pidana

penjara masih tetap dilanjutkan keberlakuannya hingga pada masa penjajahan

tentara Jepang yaitu tahun 1943 hungga tahun 1945 dan dimasa awal

kemerdekaan Negara Republik Indonesia pidana penjara masih tetap diterapkan

dalam hal menindak orang-orang yang melanggar hukum agar orang yang

melanggar hukum tersebut merasa jera karena telah berbuat hal yang tidak sesuai

dengan hukum yang berlaku. Tahun 1963, konsep pemenjaraan mulai diubah

menjadi konsep pemasyarakatan sehingga istilah Rumah Penjara diganti dengan

sebutan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

11

Sistem pemasyarakatan untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Sahardjo

sebagai Menteri Kehakiman sewaktu penerimaan gelar doktor honoris causa dari

Universitas Indonesia, pada tanggal 5 juli 1963. Digantinya istilah penjara

menjadi Lembaga Pemasyarakatan tentu terkandung maksud baik yaitu bahwa

penjatuhan pidana tidak hanya terfokus pada itikad menghukum saja melainkan

berorientasi pada tindakan-tindakan yang lebih manusiawi yang bertujuan untuk

membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya narapidana tersebut

menjadi seorang anggota masyarakat yang berguna.

Menurut Lamintang untuk menjadikan tujuan pidana penjara sebagai

upaya pemasyarakatan, ternyata dalam praktik gagasan tersebut tidak didukung

oleh konsepsi yang jelas dan sarana yang memadai. Sebelum diterbitkannya

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, pedoman

pelaksanaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan hanya didasarkan pada

Ordonansi tanggal 10 Desember 1917, Stbl. Tahun 1917 No. 708 yaitu

Gestishtenreglement. Meskipun demikian, menurut Lamintang untuk

menindaklanjuti gagasan pemasyarakatan, Direktorat Jendral Pemasyarakatan

Departemen Kehakiman Republik Indonesia sudah berusaha menyesuaikan

perlakuan terhadap narapidana dalam LAPAS dengan menerbitkan suatu petunjuk

pelaksanaan pembinaan narapidana yang disebut Manual Pemasyarakatan. Setelah

keluarnya UU Pemasyarakatan tahun 1965 seluruh sistem pembinaan narapidana

dan Anak Didik Pemasyarakatan di Indonesia didasarkan pada ketentuan UU

tersebut dan dipadu oleh beberapa peraturan perundang-undangan

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

12

pelaksanaannya, baik Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri maupun peraturan-

peraturan yang secara hierarki ada dibawahnya.

2.2.2. Pengertian Sistem Pemasyarakatan

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 menyebutkan

pengertian Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas,

serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang

dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk

meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Selain itu, ketentuan pasal-pasal yang berkaitan dengan sistem

pemasyarakatan juga diatur pada Pasal 2 dan Pasal 5 yaitu :

Pasal 2

Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Pasal 5

Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :

a. Pengayoman

b. Persamaan perlakuan dan pelayanan

c. Pendidikan

d. Pembimbingan

e. Penghormatan harkat dan martabat manusia

f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan

g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-

orang tertentu.

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

13

Tehnik penyelenggaraan sistem pemasyarakatan secara penuh hanya dapat

dilaksanakan dalam lembaga-lembaga yang penghuninya sebagian besar

dipidanakan 1 tahun keatas, usaha ini dilaksanakan terus menerus bertahap-tahap

secara progressif terhadap tiap narapidana yang bersangkutan dari saat masuk

sebagai narapidana hingga sampai bebasnya. Bila dilihat secara umum tahap-

tahap pelaksanaan sistem pemasyarakatan dimulai dengan menerima narapidana

dan menyelesaikan pencatatannya secara administrasi, yang disusul dengan

observasi atau identifikasi mengenai pribadinya secara lengkap oleh suatu dewan

pemasyarakatan, setelah selesai kemudian ditentukan bentuk dan cara perlakuan

(treatment) yang akan ditempuh, penempatannya untuk tinggal, pekerjaan yang

diberikan, pendidikan-pendidikan atau pelajaran-pelajaran yang akan

ditempuhnya, disamping diberikan keterangan-keterangan tentang hak dan

kewajibannya serta tata cara hidup dalam lembaga.7

Tahap-tahap tersebut juga dijelaskan dalam Undang-Undang No.12 Tahun

1995 yang diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 yaitu :

Pasal 10

(1) Terpidana yang diterima di LAPAS wajib didaftar.

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengubah status Terpidana

menjadi Narapidana.

(3) Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan

pembebasan Narapidana di LAPAS.

Pasal 11

Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi :

a. pencatatan :

1. putusan pengadilan

2. jati diri

7 Soedjono D, 1972, Usaha Pembaharuan Sistem Kepenjaraan dan Pembinaan Narapidana

(Dasar-Dasar Penologi), Alumni, Bandung, h. 91.

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

14

3. barang dan uang yang dibawa

b. pemeriksaan kesehatan

c. pembuatan pasfoto

d. pengambilan sidik jari

e. pembuatan berita acara serah terima Terpidana.

Pasal 12

(1) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan

penggolongan atas dasar :

a. Umur

b. jenis kelamin

c. lama pidana yang dijatuhkan

d. jenis kejahatan

e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

(2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS

Wanita.

Setelah berjalan beberapa lama pertemuan dewan pemasyarakatan

diadakan lagi dengan mengikutsertakan narapidana yang bersangkutan, dan

dievaluasi keadaannya maju atau mundur tingkah lakunya. Perlakuan selanjutnya

ditentukan oleh dewan sesuai dengan kemajuannya dan kemundurannya, setelah

diadakan koreksi-koreksi seperlunya. Kegiatan tersebut terus dilakukan secara

berkala sehingga narapidana mengalami kemajuan dalam sifatnya.8

Dalam rangka mempersiapkan narapidana mengintegrasikan kembali ke

masyarakat, maka kepada narapidana perlu diberikan keterampilan kerja sebagai

bekal hidupnya. Keterampilan ini ditujukan kepada narapidana agar menjadi

tenaga yang terampil, seperti memberikan keterampilan mekanik, menjahit,

pendidikan, dan lain-lain. Dalam menjalani hukuman ini diharapkan narapidana

dapat interaksi sosial yang harmonis antara mantan narapidana dengan masyarakat

setelah bebas. Disamping itu Pemasyarakatan juga dinyatakan sebagai suatu

8 Ibid, h. 93.

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

15

system pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu

pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau

pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan

masyarakat. Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki

diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di

dalam lembaga pemasyarakatan bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga

narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari

kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah

dilakukan.

Lembaga Pemasyarakatan dapat diumpamakan sebagai sebuah sanggar

yaitu sebagai rumah atau ruangan yang diatur baik-baik untuk mengerjakan

sesuatu. Ini berarti bahwa tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan adalah

bersatunya kembali Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai

warga Negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan

Warga Binaan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut

membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam

pembangunan. 9

Pembinaan juga diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan

tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam

Lembaga Pemasyarakatan bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga

narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari

9 Petrus & Irwan Panjaitan, op.cit, h. 45.

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

16

kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah

dilakukan. Dengan demikian jika warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan kelak

bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan

lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan

tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan

reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam Lapas.

2.2.3.Pengertian Lembaga Pemasyarakatan dan Warga Binaan

Pemasyarakatan

Pengertian lembaga pemasyarakatan dalam Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995 tertuang dalam Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan Lembaga

pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan

Anak Didik Pemasyarakatan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan suatu

tempat bagi seseorang yang telah diputus bersalah oleh hakim karena melanggar

hukum untuk dibina selama menjalani masa hukumannya. Seseorang yang

menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan tersebut disebut dengan istilah

warga binaan pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995 menyebutkan Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana,

Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan. Selanjutnya mengenai

pengertian narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan

diatur pengertiannya dalam Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 8, dan Pasal 1 angka 9

yang menyebutkan sebagai berikut:

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

17

Pasal 1 angka 7

Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di

LAPAS.

Pasal 1 angka 8

Anak Didik Pemasyarakatan adalah:

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan

menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18

(delapan belas) tahun;

b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan

diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS

Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya

memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak

paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 1 angka 9

Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang

berada dalambimbingan BAPAS.

2.3.Recidivis

2.3.1.Pengertian Recidivis

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam kaitannya terhadap

penjatuhan pidana diatur mengenai ketentuan-ketentuan yang dapat menghapus,

meringankan, dan memperberat penjatuhan hukuman pidana. Dalam hal tindak

recidive, dalam ketentuan KUHP merupakan tindakan yang dapat memperberat

penjatuhan hukuman pidana yang diatur dalam Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal

488 KUHP. Terkait pemberatan pemidanaan terhadap recidivis adalah maksimum

pidana dan ditambah dengan 1/3 dari pasal yang bersangkutan.

The Dictionary of Criminal Justice menyebutkan pengertian recidivis

sebagai berikut:

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

18

“recidivist is a person who has been convicted of one or more crimes and

who is alleged or found to have subsequently committed another crime or series

of crimes.”10

Ada 2 arti pengulangan atau recidive, yang satu menurut masyarakat

(sosial), dan yang lainnya dalam arti hukum pidana. Menurut arti yang pertama,

masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana, menjalaninya

yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada pengulangan, tanpa

memperhatikan syarat-syarat lainnya. Tetapi dalam arti hukum pidana, yang

merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya

melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang

ditetapkan undang-undang.11

Ulangan atau recidive terjadi jika satu orang yang telah dihukum karena

sesuatu delik, melakukan lagi suatu perbuatan yang boleh dihukum. Definisi ini

mengandung dua pengertian:

a. Adanya beberapa delik yang dilakukan oleh satu orang (sebaliknya

pada hal “penyertaan”: beberapa orang yang melakukan satu delik).

b. Antara waktu-waktu dilakukan delik-delik itu, pembuat sudah

dihukum karena salah satu delik itu. 12

10

George E. Rush, 2003, The Dictionary of Criminal Justice, Dushkin/McGraw-Hill, United

States of America, h.299.

11

Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Rajawali Pers, Jakarta, h.80.

12

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007, Pokok-pokok Hukum Pidana: Hukum Pidana

Untuk Tiap Orang, Pradnya Paramita, Jakarta, h.67.

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

19

Pengertian kedua membedakan ulangan dari gabungan, sebab gabungan

delik-delik ada jika satu orang melakukan beberapa delik pada hal antara waktu-

waktu dilakukannya tidak ada keputusan hakim tentang salah satu perbuatan itu.

Perbedaan ini dapat dinyatakan secara pendek seperti berikut:

a. Ulangan = delik – vonis – delik – vonis

b. Gabungan = delik – delik – vonis

2.3.2.Recidive Sebagai Dasar Pemberatan Pemidanaan

Recidive dijadikan sebagai dasar hukum terhadap pemberatan pemidanaan

didasari dengan alasan bahwa seseorang yang telah mendapat hukuman pidana

kemudian mengulangi kembali melakukan perbuatan kejahatan, maka hal tersebut

membuktikan bahwa orang tersebut memiliki tabiat yang tidak baik dan

karenanya dianggap sangat berbahaya bagi keamanan dan ketertiban masyarakat

sehingga recidivis dijatuhi pidana yang lebih berat.

Adapun rasio dasar pemberatan pidana pada pengulangan ini adalah

terletak pada 3 (tiga) faktor, ialah:

1. Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana.

2. Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena

tindak pidana yang pertama.

3. Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan. 13

Pemberatan pada pengulangan yang terpenting ialah pada faktor yang

kedua dan ketiga karena penjatuhan pidana karena melakukan tindak pidana

13

Adami Chazawi, op.cit. h.82.

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

20

dianggap sebagai suatu peringatan dari negara atas perbuatan yang dilakukannya

tidak dibenarkan atau melanggar ketentuan undang-undang. Melakukan tindak

pidana yang kedua kalinya dianggap tidak mengindahkan peringatan dari negara,

menunjukan kelakuan orang tersebut memiliki tabiat sangat buruk. Dengan

demikian tidak cukup mempidana sebagaimana yang diancamkan pada tindak

pidana bersangkutan atau pengulangan pemidanaannya diperberat.

2.3.3.Jenis-Jenis Recidivis

Penambahan hukuman terhadap pengulangan dapat diatur menurut dua

jenis sistem:

a. Sistem ulangan umum (recidive general): hukuman maksimum yang

diancam pada suatu delik ditambah, jika pembuat telah dihukum lebih

dahulu karena delik lain yang mana saja.

b. Sistem ulangan khusus (recidive spesial): hukuman maksimum itu

baru ditambah, jika pembuat telah dihukum lebih dahulu karena satu

delik yang sama-sama atau semacam dengan delik yang kemudian

dilakukan.14

Undang-undang sendiri tidak mengatur mengenai pengulangan umum

(General Recidive) yang artinya menentukan pengulangan berlaku untuk dan

terhadap semua tindak pidana. Mengenai pengulangan ini KUHP mengatur

sebagai berikut :

a. Pertama, menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana

tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi

pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana

tindak pidana tertentu yang disebutkan di dalam Pasal 486, 487, 488

KUHP, dan

b. Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386, 387, dan 388 itu, KUHP

juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat

14

C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, op.cit. h.68.

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

21

terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3), 489 ayat (2), 495

ayat (2), 501 ayat (2), 512 ayat (3) KUHP. 15

Pada tindak pidana lain yang tidak masuk pada yang diterangkan pada

butir a dan b tersebut diatas, tidak dapat terjadi pengulangan. Oleh karena tidak

mengenal general recidive inilah, maka pengaturannya tidak dimuat dalam Buku

Pertama, melainkan dikelompokkan pada ketiga pasal tersebut dalam Buku II dan

pasal-pasal tertentu lainnya dalam Buku II (kejahatan) maupun Buku ke III

(pelanggaran).

Sistem yang dipergunakan dalam KUHP adalah sistem antara, berhubung

penggolongan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang memiliki sifat yang sama

dengan kejahatan yang ia lakukan sebelumnya. Hal ini menunjukan, bahwa dalam

recidive tidak perlu setiap jenis kejahatan yang diulang kembali adalah sejenis dan

tidak perlu setiap kejahatan dilakukan lagi.16

Sistem antara ini berarti pengulangan kejahatan yang dilakukan oleh

seseorang merupakan golongan tertentu yang ditetapkan undang-undang.

Penggolongan perbuatan pidana menurut undang-undang ini maksudnya undang-

undang yang menentukan sejumlah perbuatan pidana yang kemudian dibagi

kedalam golongan-golongan yang menurut sifatnya dianggap sama atau sejenis.

Penggolongan tersebut dapat dilihat mengenai pengaturan recidive yang

diatur dalam Bab XXXI Buku II KUHP Pasal 486, 487, dan 489. Disamping hal

tersebut, KUHP menganut sistem recidive khusus yang tidak diatur dalam Bab

15

Adami Chazawi, op.cit. h.81.

16

Teguh Prasetyo, op.cit. h.193.

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

22

XXXI Buku II KUHP yang akan tetapi masalah pengulangan tersebut secara

tersendiri diatur dalam pasal-pasal yang bersangkutan.

Selain dibedakan menjadi pengulangan umum dan pengulangan khusus,

dalam doktrin hukum pidana recidive juga dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Pengulangan kebetulan (accidentele recidive)

Pengulangan kebetulan maksudnya pembuat melakukan tindak pidana yang

kedua kalinya itu disebabkan oleh hal-hal yang bukan karena sifat atau

perangainya yang buruk, akan tetapi oleh sebab-sebab lain yang memang dia

tidak mampu mengatasinya, misalnya karena akibat dari kehilangan pekerjaan

dari sebab masuk Lembaga Pemasyarakatan karena mencuri uang majikannya,

setelah keluar LP kemudian mencuri sepotong roti karena kelaparan, dalam

hal seperti ini sepatutnya tidak dijadikan alasan pemberat pidana.

2. Pengulangan Kebiasaan (habituale recidive)

Pengulangan karena kebiasaan, menunjukkan perangai yang buruk. Tidak

jarang narapidana yang setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak

menjadikan perangai yang lebih baik, justru pengaruh pergaulan di dalam LP

menambah sifat buruknya, kemudian melakukan kejahatan lagi, dan disini

memang wajar pidananya diperberat. Namun KUHP yang berlaku di

Indonesia tidak membedakan antara dua jenis pengulangan tersebut. 17

2.3.4.Recidivis Dalam Ketentuan KUHP

Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa dalam KUHP Indonesia

pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu yang

disebutkan dalam Pasal 486, 487, dan 488. Berdasarkan ketiga pasal tersebut,

penggolongan jenis-jenis kejahatan yang dapat digunakan sebagai dasar

pengulangan adalah sebagai berikut:

a. Pasal 486: Kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan:

1) Dengan maksud untuk mencari keuntungan yang tidak layak.

2) Yang menggunakan tipu muslihat.

17

Adami Chazawi, op.cit. h.87-88.

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS, SISTEM ... II.pdfpenjajahan oleh kaum penjajah. Pada zaman purba, Hindu dan Islam di Indonesia belum dikenal adanya pidana hilang kemerdekaan

23

b. Pasal 487: Kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan:

1) Terhadap badan dan jiwa seseorang.

2) Kekerasan terhadap seseorang.

c. Pasal 488: Kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-

perbuatan yang bersifat penghinaan.

Hukuman maksimum baru dapat ditambah dengan sepertiganya, jika

seseorang melakukan kejahatan dari salah satu golongan tersebutdan kemudian ia

bersalah lagi karena suatu kejahatan tersebut dalam golongan itu juga.

Selain dari tiga penggolongan tersebut, KUHP juga menentukan beberapa

tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan (recidive spesial),

misalnya Pasal 216 ayat (3), 489 ayat (2), 495 ayat (2), 501 ayat (2), 512 ayat (3)

KUHP.