13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keawetan Kayu Keawetan kayu adalah daya tahan kayu terhadap gangguan organisme perusak kayu secara biologis (rayap, jamur, dan cacing laut) (Darmawan et al. 2011). Sedangkan keawetan alami kayu adalah tingkat ketahanan kayu secara alamiah dari unsur-unsur biotik dan abiotik perusak kayu. Keawetan alami kayu disebabkan oleh adanya suatu zat kimia di dalam kayu (zat ekstraktif) yang merupakan unsur beracun bagi faktor perusak kayu. Umumnya semakin tinggi kandungan ekstraktif dalam kayu, maka keawetan alami kayu cenderung meningkat (Wistara et al. 2002). Keawetan kayu selain dipengaruhi faktor kandungan zat ekstraktif, juga dipengaruhi faktor lain seperti, umur pohon, bagian kayu dalam batang, kecepatan tumbuh dan tempat kayu tersebut dipergunakan (Pandit & Kurniawan 2008). Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu, bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak akan berarti bila kayu tersebut mempunyai tingkat keawetan yang rendah. Meskipun suatu jenis kayu memiliki kelas kuat yang tinggi, umur pakainya akan tetap rendah jika kelas awetnya rendah. Indonesia mempunyai 3.233 jenis kayu, dan 3.132 jenis di antaranya telah diklasifikasikan keawetannya. Diketahui hanya sebagian kecil saja yang mempunyai keawetan tinggi, yaitu 14,3% termasuk kelas awet I-II, sisanya, yaitu 85,7% termasuk kelas awet III, IV, dan V (Martawijaya 1996). Oleh karena itu perlu dilakukan perlakuan pengawetan terhadap kayu agar kayu menjadi lebih tahan terhadap faktor perusak kayu. Pengawetan kayu merupakan proses memasukkan bahan kimia yang bersifat racun bagi organisme perusak ke dalam kayu untuk meningkatkan umur pakai kayu (Darmawan et al. 2011). Pengawetan kayu pada dasarnya merupakan tindakan pencegahan (preventive) yang berperan untuk meminimalkan atau meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka pengendalian mutu atau kualitas (Barly & Subarudi 2010). Terdapat empat faktor utama yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

  • Upload
    lykhue

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keawetan Kayu

Keawetan kayu adalah daya tahan kayu terhadap gangguan organisme

perusak kayu secara biologis (rayap, jamur, dan cacing laut) (Darmawan et al.

2011). Sedangkan keawetan alami kayu adalah tingkat ketahanan kayu secara

alamiah dari unsur-unsur biotik dan abiotik perusak kayu. Keawetan alami kayu

disebabkan oleh adanya suatu zat kimia di dalam kayu (zat ekstraktif) yang

merupakan unsur beracun bagi faktor perusak kayu. Umumnya semakin tinggi

kandungan ekstraktif dalam kayu, maka keawetan alami kayu cenderung

meningkat (Wistara et al. 2002). Keawetan kayu selain dipengaruhi faktor

kandungan zat ekstraktif, juga dipengaruhi faktor lain seperti, umur pohon, bagian

kayu dalam batang, kecepatan tumbuh dan tempat kayu tersebut dipergunakan

(Pandit & Kurniawan 2008).

Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu,

bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak akan berarti bila

kayu tersebut mempunyai tingkat keawetan yang rendah. Meskipun suatu jenis

kayu memiliki kelas kuat yang tinggi, umur pakainya akan tetap rendah jika kelas

awetnya rendah. Indonesia mempunyai 3.233 jenis kayu, dan 3.132 jenis di

antaranya telah diklasifikasikan keawetannya. Diketahui hanya sebagian kecil saja

yang mempunyai keawetan tinggi, yaitu 14,3% termasuk kelas awet I-II, sisanya,

yaitu 85,7% termasuk kelas awet III, IV, dan V (Martawijaya 1996). Oleh karena

itu perlu dilakukan perlakuan pengawetan terhadap kayu agar kayu menjadi lebih

tahan terhadap faktor perusak kayu.

Pengawetan kayu merupakan proses memasukkan bahan kimia yang

bersifat racun bagi organisme perusak ke dalam kayu untuk meningkatkan umur

pakai kayu (Darmawan et al. 2011). Pengawetan kayu pada dasarnya merupakan

tindakan pencegahan (preventive) yang berperan untuk meminimalkan atau

meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu,

bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka pengendalian mutu

atau kualitas (Barly & Subarudi 2010). Terdapat empat faktor utama yang

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

5

mempengaruhi hasil pengawetan kayu (Hunt & Garrat 1986), yaitu jenis kayu

(struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan), kondisi kayu saat dilakukan

pengawetan (kadar air, bentuk kayu, komposisi kayu gubal dan teras), metode

pengawetan yang digunakan, dan sifat bahan pengawet yang dipakai.

Tabel 1 Keawetan alami dan keterawetan beberapa jenis kayu rakyat KabupatenBogor

No. Jenis Kayu Kelas Awet Keterawetan1 Agathis (Agathis sp) IV Sedang

2 Akasia (Acacia auriculiformis) III – IV Sukar

3 Balsa (Ochroma bicolor) V Mudah

4 Durian (Durio sp) IV – V Sukar

5 Gmelina (Gmelina arborea) IV – V Sukar

6 Jabon (Anthocephalus cadamba) V Sedang

7 Jati (Tectona grandis) II Sedang

8 Jengkol (Pithecelobium jiringa) IV Sedang

9 Jeungjing (Paraserianthes falcataria) IV – V Sedang

10 Kapuk (Ceiba pentandra) IV – V Sedang

11 Karet (Hevea brasiliensis) IV – V Sedang

12 Kecapi (Sandoricum koetjape) IV Sedang

13 Kelapa (Cocos nucifera) IV Mudah

14 Kemiri (Aleurites moluccana) V Mudah

15 Kenari (Canarium odoratum) III Mudah

16 Lamtoro (Leucaena leucocephala) V Sedang

17 Leda (Eucalyptus deglupta) IV Sukar

18 Mangium (Acacia mangium) III Sukar

19 Manii (Maesopsis eminii) IV Sedang

20 Menteng (Baccauera racemosa) IV Mudah

21 Mindi (Melia azedarach) IV – V Sukar

22 Nangka (Artocarpus integra) II Sangat Sukar

23 Petai (Parkia speciosa) IV Mudah

24 Puspa(Schima walichii) III Mudah

25 Tusam (Pinus merkusii) IV Mudah

Sumber: Wahyudi et al. (2007)

Salah satu sifat kayu yang terkait dengan proses pengawetan adalah

keterawetan (treatability). Keterawetan merupakan suatu sifat mudah tidaknya

kayu ditembus oleh bahan pengawet kayu. Kayu yang mempunyai derajat

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

6

keterawetan tinggi berarti kayu itu mudah diawetkan meskipun dengan metode

sederhana atau pengawetan tanpa tekan. Sebaliknya, kayu yang mempunyai

keterawetan rendah, maka kayu tersebut sangat sukar untuk diawetkan dengan

proses pengawetan sederhana. Setiap jenis kayu mempunyai struktur anatomi dan

kerapatan yang berbeda, sehingga akan mempengaruhi keterawetannya. Pada

Tabel 1 dapat dilihat kelas awet dan tingkat keterawetan dari beberapa jenis kayu

hutan rakyat dari Kabupaten Bogor.

Bahan pengawet kayu adalah unsur atau senyawa kimia beracun yang

apabila dimasukkan ke dalam kayu dapat melindungi kayu dari gangguan /

serangan organisme perusak kayu seperti jamur (fungi), serangga, dan cacing laut

(marine borrer) (Darmawan et al. 2011). Tingat keefektifan bahan pengawet

tergantung pada (i) daya racun, (ii) kelarutan dalam tubuh serangga baik sebagian

atau seluruhnya, (iii) rekasi bahan pengawet terhadap kayu atau tubuh organisme

perusak kayu, dan (iv) sifat lain yang dapat mencegah kerusakan kayu (mencegah

perkembangan organisme perusak kayu tanpa membunuhnya).

Sifat-sifat bahan pengawet yang baik adalah:

a. Berdaya racun tinggi terhadap faktor perusak kayu.

b. Memiliki daya penetrasi tinggi dan tidak mudah menguap atau tercuci.

c. Bahan kimia yang dipakai harus merupakan persenyawaan yang mantap

dan tidak kehilangan daya racunnya.

d. Tidak membahayakan manusia dan hewan peliharaan.

e. Tidak boleh bereaksi dengan bahan yang diawetkannya.

f. Tidak menyebabkan pengembangan kayu.

g. Tidak meningkatkan daya bakar kayu.

Secara umum bahan pengawet kayu dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga),

yaitu (i) bahan pengawet berupa minyak, (ii) bahan pengawet larut minyak, dan

(iii) bahan pengawet larut air. Bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian

ini yaitu boraks termasuk dalam kategori bahan pengawet yang larut air (ATSDR

2010), begitu juga dengan amonia yang mempunyai sifat larut air (ATSDR 2004).

Secara umum sifat positif bahan pengawet yang larut air adalah sebagai berikut

(Darmawan et al. 2011):

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

7

a. Dapat diangkut dalam bentuk kristal atau dalam konsentrat tertentu ke

tempat penggunaannya, sehingga pengangkutan lebih mudah.

b. Formulasainya dapat diatur agar bersifat racun terhadap berbagai

serangga dan atau terhadap cendawan.

c. Kayu awetan tetap bersih dan dapat dicat.

d. Pada umumnya tidak berbau.

e. Tidak meningkatkan sifat bakar kayu dan dapat dikombinasikan dengan

bahan penghambat api.

Namun terdapat beberapa kekurangan ketika memakai bahan pengawet

larut air yaitu pada umumnya mudah tercuci (luntur) atau menguap apabila

kondisi lingkungan sekitar terlalu lembap atau terlalu panas. Kekurangan lainnya

adalah bahan pengawet larut air dapat menyebabkan kayu mengembang setelah

diawetkan.

2.2 Metode Pengawetan

2.2.1 Fumigasi berbahan aktif amonia

Fumigasi adalah suatu metode pengendalian terhadap faktor perusak

dengan cara melepaskan gas beracun (fumigan) pada ruang kedap udara pada

waktu, temperatur, dan konsentrasi yang telah ditentukan. Teknik fumigasi ini

memiliki tingkat penetrasi yang tinggi dan mampu membunuh semua stadia

kehidupan hama tanpa mengotori bahan yang difumigasi (Hendrawan 2007).

Fumigan yang menguap akan masuk ke dalam kayu melalui pori-pori sehingga

mengisi celah-celah di dalam sel kayu. fumigan yang digunakan adalah zat yang

pada temperatur dan tekanan tertentu dapat berubah menjadi gas dan dalam

konsentrasi serta waktu tertentu dapat membunuh hama / faktor perusak. Fumigan

yang ideal memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Memiliki tingkat racun yang tinggi terhadap hama yang menjadi target.

2. Toksisitas yang rendah terhadap tumbuhan, manusia dan organisme lain

yang bukan menjadi sasaran.

3. Tersedia di pasaran dan hemat dalam penggunaan.

4. Tidak memberikan bahaya kepada komoditas.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

8

5. Tidak terbakar, tidak merusak, dan tidak meledak dalam keadaan

penggunaan normal.

6. Mudah menguap dengan penetrasi yang baik.

7. Tidak berakibat buruk terhadap lingkungan.

Amonia sebagai alternatif fumigan, merupakan senyawa kimia dengan

rumus kimia NH3 yang biasa didapati berbentuk gas dengan bau tajam yang khas.

Amonia memiliki titik didih pada suhu (-33°C) dan titik leleh (-77,7°C), sehingga

cairan amonia harus disimpan dalam suhu yang sangat rendah atau dalam tekanan

yang tinggi. Pada suhu dan tekanan normal, amonia adalah gas yang tidak

mempunyai warna dan lebih ringan daripada udara (0,589 kepadatan udara).

Amonia memiliki berat molekul 17,03, tekanan uap 400 mmHg (-45.4°C),

kelarutan dalam air 31g/100g (25°C), berat jenis 0,682 (-33,4°C), berat jenis uap

0,6 dan memilik suhu kritis 133°C. Amonia dapat diubah menjadi nitrit dan nitrat,

oleh bakteri yang terdapat dalam tanah sehingga amonia bertindak sebagai

penyubur tanah. Amonia juga dimanfaatkan dalam pembuatan pupuk urea,

sebagai bahan peledak, dan digunakan pula dalam bidang farmasi (Harwood et al.

2007). Sifat fisik amonia adalah gas tidak berwarna, berbau khas, bersifat iritan

dan mudah larut dalam air.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa fumigasi

amonia dapat berfungsi ganda sebagai pengawetan kayu. Azhim (2011) dan

Nurmawan (2011) menyatakan bahwa fumigasi dengan menggunakan amonia

berpengaruh secara nyata terhadap persentase mortalitas rayap tanah. Bahkan

perlakuan fumigasi amonia menghasilkan nilai persentase mortalitas yang lebih

besar dibandingkan kontrol. Berdasarkan penelitian Taqiyudin (2011), fumigasi

amonia meninggalkan residu pada contoh uji. Pengujian kayu hasil fumigasi

(setelah 24 jam diberi perlakuan fumigasi) menghasilkan nilai persentase

mortalitas rayap hingga 100% pada semua jenis kayu dan pada setiap taraf

perlakuan jarak serta volume amonia.

2.2.2 Rendaman dingin berbahan aktif boron

Metode rendaman dingin merupakan salah satu cara untuk mengawetkan

kayu dengan bahan pengawet yang larut dengan air. Prosesnya relatif sederhana

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

9

yaitu dengan merendam kayu yang akan diawetkan dengan campuran bahan

pengawet dan air. Perendaman dilakukan pada kisaran suhu 10°C - 25°C atau

dalam ruangan ber AC selama beberapa hari atau beberapa minggu. Menurut

Barly (1988) absorpsi bahan pengawet akan berlangsung cepat pada waktu 2 (dua)

sampai 3 (tiga) hari pertama rendaman yang kemudian akan berlangsung secara

lambat setelah hari-hari berikutnya. Makin lama kayu terendam dalam bahan

pengawet semakin besar penetrasi yang diperoleh sehingga hasilnya akan sama

dengan yang diperoleh dengan metode tekanan.

Cara ini sangat cocok untuk mengawetkan kayu yang memiliki kelas

keterawetan mudah dan sedikit sukar diawetkan dengan cara tekanan. Lama waktu

perendaman bergantung kepada jenis kayu dan ukuran tebal sortimen atau

perendaman dihentikan apabila berat contoh uji sebelum dan sesudah diawetkan

telah menunjukkan nilai retensi yang dikehendaki. Tingkat keefektifan tergantung

pada jenis bahan pengawet, karakteristik kayu (struktur anatomi, kerapatan, kadar

air, dan kekasaran permukaan), serta lamanya perendaman. Menurut Dumanauw

(2001) ada beberapa kelebihan metode perendaman yaitu pada umumnya

penetrasi dan retensi bahan pengawet lebih tinggi, kayu dalam jumlah banyak

dapat diawetkan, dan larutan dapat digunakan berulang kali (dengan menambah

konsentrasi bila berkurang).

Boraks (borax) merupakan suatu senyawa garam natrium dengan nama

kimia natrium tetrabonat (Na2B4O7.10H2O) yang berbentuk kristal, warna putih,

tidak berbau, larut dalam air dan stabil pada suhu dan tekanan normal. Boraks

merupakan nama dagang dari senyawa boron. Larutan boraks sangat bersifat basa

dengan pH antara 9 dan 10 (pH 7 adalah netral). Daya pengawet yang kuat dari

boraks berasal dari kandungan asam borat didalamnya. Boraks banyak digunakan

dalam berbagai industri non pangan khususnya industri kertas, gelas, pengawetan

kayu, dan keramik. Boraks dipilih sebagai bahan pengawet kayu karena

mempunyai toksisitas yang rendah (Yamauchi et al. 2007). Bahan pengawet ini

mempunyai sifat racun terhadap jamur dan serangga perusak kayu, tidak korosif

terhadap logam, tidak berbau dan tidak menimbulkan warna, serta relatif aman

bagi manusia dan hewan peliharaan (Singer & German 1962).

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

10

2.3 Uji Efikasi dengan Graveyard Test

Graveyard test (uji kubur) adalah pengujian ketahanan kayu terhadap

organisme perusak yang dilakukan dengan menanam kayu ke dalam tanah selama

periode waktu tertentu. Uji kubur dilakukan untuk mengetahui tingkat keawetan

kayu pada kondisi lingkungan yang sebenarnya. Kelebihan dari uji kubur adalah

dapat mengetahui kerusakan kayu yang terjadi akibat akumulasi dari semua faktor

perusak kayu (biotik dan abiotik). Namun terdapat kelemahan dari uji kubur yaitu

diperlukan waktu pengujian yang cukup lama (± 3 bulan) sehingga menyulitkan

pengamatan, lapangan pengujian harus selalu di kontrol agar tidak menjadi semak

belukar, dan sulit untuk menganalisis kerusakan kayu yang ditimbulkan oleh salah

satu faktor perusak.

Pada penelitian ini uji kubur dilakukan di dua tempat yaitu di perkebunan

kelapa sawit dan industri pengerjaan kayu. Perkebunan kelapa sawit dipilih

mewakili daerah dengan serangan intensitas tinggi namun oleh faktor perusak

yang terbatas. Perkebunan kelapa sawit yang dipilih berada di PTPN VIII

Cikasungka, Bogor. Menurut Arinana et al. (2012), rayap yang menyerang

tanaman kelapa sawit di PTPN VIII unit Cikasungka adalah rayap jenis

Macrotermes gilvus, Coptotermes curvignathus, Nasutitermes javanicus, dan

Capritermes mohri. Persentase serangan didominasi oleh rayap jenis M. gilvus

dengan 86,67%, diikuti rayap C. curvignathus dengan 6,67%, rayap N. javanicus

dengan 4,44%, dan yang paling sedikit adalah rayap jenis C. mohri dengan 2,22%.

Penelitian juga dilakukan di industri pengerjaan kayu mewakili daerah yang

mempunyai potensi tinggi terhadap serangan rayap tanah akibat adanya tumpukan

kayu baik yang berupa limbah maupun bahan baku pengerjaan kayu. Dalam

penelitian ini juga akan diidentifikasi jenis-jenis rayap yang menyerang kayu di

lokasi industri pengerjaan kayu PD Wijaya Kayu, Cibanteng, Bogor.

2.4 Faktor Perusak Kayu

Faktor perusak kayu adalah segala jenis faktor biotik maupun abiotik yang

dapat menurunkan kualitas ataupun kekuatan kayu. Secara umum faktor perusak

kayu dapat dikelompokan menjadi faktor abiotik dan biotik.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

11

2.4.1 Faktor Abiotik

Faktor perusak kayu abiotik adalah faktor yang disebabkan oleh unsur

alam yang tidak ada campur tangan dari makhluk hidup. Faktor abiotik secara

umum dapat dibedakan menjadi faktor iklim, faktor mekanis, dan faktor kimia.

Namun pada graveyard test faktor abiotik yang paling berpengaruh adalah faktor

iklim. Faktor iklim merupakan salah satu faktor alam yang tidak dapat di kontrol

yang dapat mempengaruhi kualitas kayu sehingga umur pakainya menjadi

singkat. Faktor iklim terdiri dari suhu, kelembaban udara, panas matahari, api,

udara, dan air (Muin et al. 2010) Kerusakan yang terjadi akibat faktor ini

biasanya berupa perubahan dari dimensi kayu. Faktor iklim juga dapat menjadi

katalis bagi timbulnya faktor biotik, seperti contohnya kadar air yang meningkat

pada kayu akibat faktor air akan mengundang jamur untuk tumbuh dan merusak

kayu.

2.4.2 Faktor Biotik

Faktor biotik merupakan faktor penyebab kerusakan kayu terbesar

dibandingkan faktor lainnya. Faktor biotik perusak kayu yang menyebabkan

kerusakan terbesar pada uji kubur pada umumnya adalah rayap. Rayap merusak

kayu karena mereka menjadikan kayu sebagai tempat tinggal dan sumber

makanannya.

Secara biologi, rayap memiliki kesamaan dengan semut yaitu sama-sama

ada dalam kelas Insekta dengan cirinya adalah memiliki tagmata (pembagian)

tubuh menjadi kepala, thoraks, dan abdomen. Serangga sosial ini kemudian

terpisah menjadi ordo sendiri yaitu Isoptera (berdasarkan morfologi), dan

sekarang sebagian peneliti merevisi tingkat takson tersebut karena adanya mutasi

DNA rayap sehingga dimasukkan ke dalam Ordo Blatodea (Inward et al. 2007).

Rayap hidup di daerah yang bersuhu agak hangat dengan kelembaban 60-70%

(Nandika et al. 2003). Hingga saat ini di dunia terdapat lebih dari 2300 spesies

rayap yang dapat diidentifikasi. Sekitar 15% dari keragaman spesies rayap

tersebut berada pada tata ruang yang dikelola oleh manusia, dan sekitar 150

spesies diketahui menyerang struktur berbahan baku kayu. Sekitar 10% atau 200

spesies ditemukan di Indonesia, dan sekitar 20 spesies berperan sebagai hama

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

12

perusak kayu dan tanaman (Tarumingkeng 2001). Famili rayap yang banyak

ditemukan di kawasan Asia Tenggara (kawasan oriental) khususnya Indonesia

adalah Rhinotermitidae, Kalotermitidae, dan Termitidae.

Rayap memiliki tubuh yang lunak, berwarna terang, dan hidup berkoloni.

Dalam setiap koloni terdapat dua kasta menurut fungsinya masing-masing, yaitu

kasta non reproduktif (pekerja dan prajurit) dan kasta reproduktif (reproduktif

primer dan reproduktif sekunder). Kasta reproduktif terdiri dari sepasang ratu dan

raja yang bertugas untuk menghasilkan telur (Triplehorn & Johnson 2005). Ratu

dapat hidup selama 6 – 20 tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. Apabila

reproduktif mati atau koloni membutuhkan penambahan reproduktif baru untuk

perluasan koloninya maka dibentuk reproduktif sekunder (neotenic).

Rayap kasta non reproduktif (steril) terdiri dari kasta prajurit dan kasta

pekerja yang umumnya terdiri dari individu-individu jantan dan betina, tidak

bersayap, pada kebanyakan spesies umumnya buta. Rayap kasta pekerja

merupakan individu terbanyak dalam koloni rayap. Satu koloni rayap dapat terdiri

dari ratusan sampai dengan jutaan individu rayap pekerja. Fungsi kasta ini adalah

mencari makan, merawat telur, serta membuat dan memelihara sarang. Selain itu,

juga mengatur aktivitas dari koloni dengan jalan membunuh dan memakan

individu-individu yang lemah atau mati untuk menghemat energi dalam

koloninya. Kasta prajurit memiliki ciri warna tubuh lebih pucat dan lunak karena

kurang tersklerotisasi. Kasta prajurit mudah dikenali karena bentuk kepalanya

yang besar dengan sklerotisasi yang nyata. Anggota-anggota dari kasta ini

mempunyai mandible atau rostrum yang besar dan kuat. Fungsi kasta prajurit

adalah melindungi koloni terhadap gangguan dari luar (Muin et al. 2010).

Selain mempunyai kasta dalam koloninya, rayap juga mempunyai sifat

yang berbeda dengan serangga pada umumnya, Menurut Nandika et al. (2003),

rayap memiliki sifat-sifat cryptobiotik, thropalaxis, kanibalistik, dan neurophagy.

Cryptobiotik merupakan sifat rayap yang tidak tahan terhadap cahaya.

Thropalaxis merupakan perilaku rayap yang saling menjilati dan tukar menukar

makanan antar individu. Kanibalistik merupakan perilaku rayap untuk memakan

individu lain yang sakit atau lemas. Sedangkan neurophagy merupakan perilaku

rayap yang memakan bangkai individu lainnya.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

13

Harris 1971 mengatakan bahwa rayap tanah termasuk serangga sosial yang

senang berkelompok dan membentuk koloni dalam jumlah sangat besar. Mereka

umumnya tinggal di bawah permukaan tanah dan merusak struktur bangunan

tanpa terdeteksi melalui jalan tersembunyi yang hampir tidak terlihat di fondasi

dinding atau lantai. Golongan rayap ini meliputi anggota Family Rhinotermitidae

(Coptotermes, Reticulitermes, Schedorhinotermes), Family Mastotermitidae

(Mastotermes darwinensis), dan sebagian dari Family Termitidae (Macrotermes,

Microtermes, Nasutitermes).

2.5 Sifat Beberapa Jenis Kayu Rakyat

2.5.1 Petai (Parkia speciosa)

Petai (Parkia speciosa) merupakan pohon tahunan tropika dari suku polong-

polongan (Fabaceae), anak-suku petai-petaian (Mimosoidae). Tumbuhan ini

tersebar luas di Nusantara bagian barat. Petai tumbuh baik di hutan hujan dataran

rendah dan kadang-kadang juga di hutan sekunder dataran tinggi, tanah lempung

berpasir dan podsolik. Tumbuh baik pada ketinggian 600 - 900 mdpl dengan

curah hujan 1200 - 3600 mm/tahun dan musim kering sampai 4 bulan (Joker

2002). Tanaman petai menyukai jenis tanah liat dan kadang ditemukan pada tanah

yang tergenang air. Kayu petai digunakan secara lokal untuk kontruksi ringan,

pertukangan, furnitur dan pembuatan lemari, cetakan, interior, kelongsong,

penyangga beton, kotak dan peti, korek api, sandal bakiak dan sumpit.

Pohon petai dapat mencapai tinggi 20 meter, mempunyai sedikit cabang,

daun majemuk, dan tersusun sejajar. Kayu petai biasanya ringan dan kadang keras

menengah-berat dengan kepadatan 350 – 810 kg/m3. Kayu petai memiliki berat

jenis minimum sebesar 0,35 dan maksimum sebesar 0,53 dengan rata-rata sebesar

0,45 serta termasuk ke dalam kelas awet V dan kelas kuat III – V (Oey 1990).

2.5.2 Karet (Hevea brasiliensis)

Kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) termasuk tumbuhan dalam

famili Euphorbiaceae. Secara alami pohon ini memiliki daerah persebaran dari

Brasil hingga Venezuela, dan dari Kolombia hingga Peru dan Bolivia. Dibawa ke

Indonesia pada tahun 1876, dan saat ini pohon karet telah ditanam di berbagai

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

14

wilayah di Indonesia baik dalam bentuk hutan rakyat, perkebunan swasta maupun

perkebunan negara (Damayanti 2006). Tanaman karet termasuk tanaman tahunan

yang dapat tumbuh sampai umur 30 tahun. Habitus tanaman ini merupakan pohon

dengan tinggi tanaman dapat mencapai 15 – 20 meter.

Karet memiliki jari-jari agak sempit (30-50 μ), jarang sampai agak lebar

(50-100 μ), dan tingginya sekitar 1,8 mm. Pembuluhnya bersifat baur, soliter dan

berganda radial yang terdiri atas 2-4 pori (terkadang mencapai 5-8 pori) dengan

diameter agak kecil (100-200 μ) sampai agak besar (200-300 μ), dan jumlah pori

sekitar 3-4/mm2. Kayu karet mempunyai ciri fisis dan mekanis yaitu kerapatan

0,61 (0,55-0,70), termasuk dalm kelas awet V, kelas kuat II-III, dengan

keterawetan sedang (Pandit & Kurniawan 2008). Kayu dapat bertahan hingga 2

tahun untuk yang kontak langsung dengan tanah. Kayu karet mudah diserang oleh

jamur dan penggerek, sehingga harus diawetkan sebelum digunakan. Kayu ini

mudah diawetkan dengan teknik perendaman maupun vakum tekan (Damayanti

2006).

2.5.3 Sengon (Paraserianthes falcataria)

Kayu Sengon (Falcataria moluccana) termasuk tumbuhan dalam Famili

Fabaceae. Sengon tumbuh baik pada daerah bercurah hujan 1500 - 4500 mm/th

dengan ketinggian tempat 0 - 1200 m dpl. Pada tanah yang kurang subur pun jenis

ini masih dapat tumbuh dengan baik. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai

agak kering, pada dataran rendah hingga ke pegunungan sampai ketinggian 1500

m dari permukaan laut, dengan ketinggian optimum 0–800 m dari permukaan laut

(Siregar et al. 2010). Sengon tumbuh pada suhu sekitar 20°C–33°C dengan

kelembaban sekitar 50–75%. Sengon dapat dipanen pada umur yang relatif

singkat, yaitu 5–7 tahun setelah di tanam.

Tinggi pohon sengon dapat mencapai 40 m dan diameter bisa mencapai 100

cm. Sifat Kayunya lunak, sangat ringan, dan mudah menyerap bahan pengawet.

Menurut sifat anatominya, sengon mempunyai pori berbentuk oval, tersebar, dan

jumlahnya 4-7 mm2. Kayu sengon mempunyai berat jenis rata-rata 0,33 (0,24–

0,49), dan tergolong dalam kelas kuat IV-V dan kelas awet IV-V (Pandit &

Kurniawan 2008). Daya tahan sengon terhadap rayap kayu kering termasuk kelas

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

15

III, sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-IV. Tingkat

ketahanan kayu Sengon termasuk kelas awet IV-V pada uji lapang. (Martawijaya

et al. 2005). Kayu sengon mengandung selulosa tinggi, lignin rendah, pentosan

rendah dan ekstraktif tinggi. Persentase lignin rendah menunjukkan kayu tidak

terlalu kuat dan tidak terlalu kaku. Persentase pentosan yang rendah akan

mengurangi kekuatan kayu karena selain sebagai cadangan makanan bagi sel,

pentosan juga berfungsi sebagai penguat dinding sel kayu (Atmosuseno 1998).

2.5.4 Manii (Maesopsis eminii)

Kayu manii (Maesopsis eminii) adalah salah satu jenis tanaman yang

banyak di tanam di hutan rakyat dari famili Rhamnaceae. Pada sebaran alami,

jenis ini tumbuh di dataran rendah sampai hutan sub pegunungan sampai

ketinggian 1800 mdpl. Pohon manii biasanya ditanam di dataran rendah dan

tumbuh baik pada ketinggian 600 - 900 mdpl. Tumbuh baik pada daerah dengan

curah hujan 1200 - 3600 mm/tahun dengan musim kering sampai 4 bulan. Pohon

meranggas, tinggi mencapai 45 m dengan bebas cabang 2/3 tinggi total (Joker

2002).

Kayu manii merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan berkekuatan sedang

sampai kuat, biasa digunakan untuk pembuatan konstruksi, kotak, dan tiang. Kayu

ini memiliki kadar selulosa 47,19%, kadar lignin 20,45%, kadar abu 0,28-1,94%,

dan kelarutan ekstraktif dalam air panas 2,75%. Menurut Martawijaya et al.

(2005), kayu manii mempunyai kerapatan 0,4 dengan sifat mekanis dan fisis dari

kayu manii tergolong ke dalam kelas kuat III, dan kelas awet III-IV.

2.5.5 Pinus (Pinus merkusii)

Pinus atau sering disebut tusam merupakan salah satu jenis pohon industri

yang mempunyai nilai produksi tinggi dan merupakan salah satu prioritas jenis

untuk reboisasi terutama di luar pulau Jawa. Tumbuh pada ketinggian 30 - 1800 m

dpl, pada berbagai tipe tanah dan iklim (Hidayat & Hansen 2001). Kayu tusam

dapat dipergunakan untuk bangunan perumahan, lantai, mebel, kotak dan tangkai

korek api, pensil (dengan pengolahan khusus), pulp, tiang listrik (diawetkan),

papan wol kayu dan kayu lapis (Damayanti 2006). Jenis ini tergolong jenis cepat

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka

16

tumbuh dan tidak membutuhkan persyaratan khusus. Keistimewaan jenis ini

antara lain merupakan satu-satunya jenis pinus yang menyebar secara alami ke

selatan khatulistiwa sampai melewati 20 LS (Harahap 1995).

Tinggi pohon pinus dapat mencapai 20-40 m, dengan diameter 100 cm dan

batang bebas cabang 2-23 m. Pinus tidak berbanir, kulit luar kasar berwarna

coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam.

Kayu pinus berwarna coklat-kuning muda, berat jenis rata-rata 0,55, termasuk

kelas kuat III dan kelas awet IV (Pandit & Kurniawan 2008), serta mempunyai

kelas keterawetan mudah (Damayanti 2006). Sjostrom (1981) menambahkan

bahwa kayu teras pada pinus mengandung ekstraktif yang khas jauh lebih banyak

daripada kayu gubal. Senyawa fenol yang terkandung mempunyai sifat-sifat

fungisida dan melindungi kayu terhadap serangan mikrobiologi. Kandungan zat

ekstraktif ini berguna untuk melindungi kayu dari kerusakan secara mikrobiologi

atau serangan serangga. Zat ektraktif pada kayu pinus juga ada yang bersifat

attractant terhadap organisme perusak kayu. Sehingga kayu ini banyak digunakan

sebagai kontrol pada berbagai penelitian karena dapat menarik organisme ke

tempat pengujian kayu di lapangan.