Upload
trinhdien
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Gizi Kurang Pada Balita
2.1.1 Pengertian Gizi Kurang
Menurut Supriasa (2008), Gizi kurang adalah keadaan patologis akibat
kekurangan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi sedangkan menurut
Ayu (2008), Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau
ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan
semua hal yang berhubungan dengan kehidupan.
Di Indonesia kelompok anak balita menunjukkan prevalensi paling tinggi
untuk menderita KKP (Kekurangan Kalori Protein) dan defisiensi vitamin Aserta
anemia defisiensi gizi Fe. Kelompok umur ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya
kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke
tempat pelayanan kesehatan gizi dan kesehatan.
menurut Agus Krisno (2009), Secara umum status gizi dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu:
a. Kecukupan Gizi (Gizi Seimbang)
Susunan makanan sehari – hari yang mengandung zat – zat gizi dalam jenis
dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan memerhatikan prinsip
keanekaragaman atau variasi makanan, aktifitas fisik, kebersihan, dan berat badan
ideal (Supranto, 2000).
10
b. Gizi Kurang
Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat yang timbul karena tidak
cukup makan, atau tidak keseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan,
aktifitas berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan. dengan
demikian konsumsi energi dan protein kurang selama jangka waktu tertentu
(Mubarak, 2009).
c. Gizi Lebih
Keadaan patologis (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan makan. Penyakit
gangguan gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang
mudah sekali menderita akibat kekurangan gizi dan juga kekurangan makanan
(dificiency) misalnya kwashiorkor, busung lapar, marasmus, beri-beri dan lain-lain.
Kegemukan (obesity), kelebihan berat badan (over weight) merupakan tanda gizi salah
yang berdasarkan kelebihan dalam makanan Harjosastro (2006).
Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat (2007), Keadaan penyakit
kekurangan gizi terbagi menjadi dua kelas, yaitu :
1. kelas pertama, penyakit kurang gizi primer, contohnya pada kekurangan zat
gizi esensial spesifik, seperti kekurangan vitamin C maka penderita
mengalami gejala scurvy.
2. kelas yang kedua yaitu penyakit kurang gizi sekunder, contohnya penyakit
yang disebabkan oleh adanya gangguan absorpsi zat gizi atau gangguan
metabolisme zat gizi.
Menurut departemen gizi dan kesehatan masyarakat (2007), kwashiorkor
(kekurangan protein) adalah istilah pertama dari afrika, artinya sindroma
perkembangan anak di mana anak tersebut disapih tidak mendapatkan ASI sesudah 1
11
tahun karena menanti kelahiran bayi berikutnya. Makanan pengganti ASI sebagian
besar terdiri dari pati atau air gula, tetapi kurang protein baik kualitas dan
kuantitasnya. Sedangkan marasmus adalah suatu keadaan kekurangan protein dan
kilokalori yang kronis. Karakteristik dari marasmus adalah berat badan sangat rendah.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa gizi kurang adalah suatu
keadaan yang diakibatkan oleh konsumsi makanan yang kurang sumber protein,
penyerapan yang buruk atau kehilangan zat gizi secara berlebih.
2.1.2 Faktor Penyebab Gizi Kurang
Menurut Santoso dan Anne (2004) adalah
sebagai berikut :
a. Penyebab Langsung
Kurang gizi biasanya terjadi karena anak kurang mendapat masukan
makanan yang cukup lama. Tidak cukup asal anak mendapatkan makanan
yang banyak saja tetapi harus mengandung nutrisi yang cukup, yaitu
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.
b. Penyebab Tak Langsung
1) Faktor Ekonomi
2) Faktor sosial budaya
3) Faktor fasilitas rumah dan sanitasi
4) Faktor pendidikan dan pengetahuan
5) Faktor pelayanan kesehatan.
12
2.1.3 Ciri Klinis Anak Dengan Gizi Kurang
Menurut buku pedoman pelayanan kesehatan anak gizi buruk Kemenkes RI
tahun 2011, hasil pemeriksaan klinis BB/PB, BB/TB, Lila di Poskesdes, pustu,
polindes, maupun puskesmas menyatakan hasil dari pemeriksaan anak dengan gizi
kurang apabila :
1. BB/TB <-2 SD s/d -3 SD
2. Bila Lila antara 11,5 – 12,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan)
3. Tidak ada edema
4. Nafsu makan baik
5. Tanpa komplikasi
Adapun cara klinis yang biasa menyertai anak dengan gizi kurang antara lain :
1. Kenaikan berat badan berkurang, terhenti, atau bahkan menurun secara
terus menerus.
2. Ukuran lila menurun
3. Maturasi tulang terlambat
4. Rasio berat badan terhadap tinggi, normal atau cenderung menurun
5. Tebal lipatan kulit normal atau semakin berkurang
2.1.4 Dampak yang ditimbulkan akibat Gizi Kurang
Keadaan gizi kurang pada anak – anak mempunyai dampak pada kelambatan
pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu anak
yang bergizi kurang tersebut kemampuannya untuk belajar dan bekerja serta bersikap
akan lebih terbatas dibandingkan dengan anak yang normal. Gizi buruk terjadi bila
gizi kurang berlangsung lama, maka akan berakibat semakin berat tingkat
13
kekurangannya. Pada keadaan ini dapat menjadi kwashiorkor dan marasmus yang
biasanya disertai penyakit lain seperti diare, infeksi, penyakit pencernaan, infeksi
saluran pernapasan bagian atas, anemia dan lain – lain. (Santoso dan Anne, 2004).
Penyakit-penyakit atau gangguan kesehatan akibat kekurangan atau kelebihan
gizi dan merupakan masalah kesehatan masyarakat antara lain adalah:
1. Penyakit KKP (Kurang Kalori / KEP)
Kurang kalori protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari
sehingga tidak mencukupi angka kecukupan gizi. Pada pemerikasaan klinis,
penderita KKP akan memperlihatkan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Marasmus
1) Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit.
2) Wajah seperti orang tua.
3) Cengeng, rewel.
4) Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit, bahkan sampai
tidak ada.
5) Sering disertai diare kronik atau konstipasi/ susah buang air besar, serta
penyakit kronik.
6) Tekanan darah, detak jantung, dan pernafasan berkurang.
b. Kwashiorkor
1) Oedema umumnya diseluruh tubuh dan terutama pada kaki (dorsum
pedis).
2) Wajahnya membulat dan sembab
3) Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan
duduk, anak-anak berbaring terus-menerus.
14
4) Perubahan status mental: cengeng, rewel, kadang apatis.
5) Anak sering menolak segala jenis makanan (anoreksia).
6) Pembesaran hati.
7) Sering disertai infeksi, anemia, dan diare/mencret.
8) Rambut berwarna kusam dan mudah dicabut.
9) Gangguan kulit berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi
hitam terkelupas (crazy pavement dermatosis)
10) Pandangan mata anak tampak sayu.
c. Marasmus-kwashiorkor
Tanda-tanda marasmus-kwashiorkor adalah gangguan dari tanda –
tanda yang ada pada marasmus dan kwashiorkor.
2. Penyakit kegemukan (obesitas)
Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari
penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Seseorang yang memiliki berat
badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat badannya yang normal
dianggap mengalami obesitas. Adapun penggolongan obesitas ada tiga
kelompok, yaitu:
a. Obesitas ringan: kelebihan berat badan 20-40%
b. Obesitas sedang: kelebihan berat badan 41-100%
c. Obesitas berat: kelebihan berat badan > 100%
(Hariza Adnani, 2011)
15
2.2 Konsep Sosial Budaya
2.2.1 Pengertian Konsep Sosial Budaya
Sosial budaya adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran
dan budi nuraninya dalam kehidupan bermasyarakat secara sederhana kebudayaan
dapat diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Budaya atau kebudayaan
berasal dari kata sansekerta yaitu budhayah , yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
( budi atau akal ) diartikan sebagai hal – hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia (Koentjaraningrat, 2002).
Perkembangan sosial budaya secara tidak langsung dibagi menjadi dua dimensi,
yaitu interaksi sosial dan proses kebudayaan. Jika dilihat interaksi sosial budaya di
dalam masyarakat secara menyeluruh maka akan merujuk kepada pengetahuan dari
suatu kelompok sosial. Pengetahuan tersebut tidak hanya terbatas oleh kebiasaan dan
perwujudan sosial, tetapi termasuk juga nilai-nilai. Terkadang nilai-nilai yang dianut
oleh masyarakat sosial tidak bisa diterima dan disesuaikan oleh ilmu dasar (Jurgen,
2008).
Perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di setiap masyarakat.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat akan menimbulkan
ketidaksesuaian antara unsur-unsur sosial yang ada di dalam masyarakat. Perubahan
sosial tidak dapat dilepaskan dari perubahan kebudayaan. Hal ini disebabkan
kebudayaan merupakan hasil dari adanya masyarakat, sehingga tidak akan ada
kebudayaan apabila tidak ada masyarakat yang mendukungnya dan tidak ada suatu
pun masyarakat yang tidak mamiliki kebudayaan (Elly, Kama, Ridwan, 2010).
16
2.2.2 Pembagian Sosial Budaya
Menurut pandangan antropologi tradisional, sosial budaya dibagi
menjadi dua yaitu :
1. Sosial Budaya Material
Sosial Budaya material dpat berupa objek, makanan, pakaian, seni,
benda – benda kepercayaan.
2. Sosial Budaya Non Material
Mencakup kepercayaan, pengetahuan, sikap, nilai, dan sebagainya.
2.2.2.1 Kepercayaan
Menurut Rousseau yang dikutip Andi (2006), kepercayaan adalah
bagian psikologis terdiri dari keadaan pasrah untuk menerima kekurangan
berdasarkan harapan positif dan niat atau perilaku orang lain. Sedangkan
menurut Robinson yang dikutip Lendra (2006), kepercayaan adalah harapan
seseorang, asumsi – asumsi atau keyakinan akan kemungkinan tindakan
seseorang akan bermanfaat, menguntungkan atau setidaknya tidak mngurangi
keuntungan yang lainnya.
2.2.2.2 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini
terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
penting untuk terbntuknya perilaku seseorang (Notoadmojo, 2003).
17
2.2.2.3 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau subjek. Sikap secara nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam
kehidupan sehari – hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial.
2.2.2.4 Nilai
Nilai adalah suatu hal nyata yang dianggap baik dan apa yang dianggap
buruk, indah atau tidak indah, dan benar atau salah. Kimball Young
mengemukakan nilai adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari
tentang apa yang dianggap penting dalam masyarakat dan batasan wilayah
tertentu. Emil Durkheim mengatakan bahwa norma adalah sesuatu yang
berada diluar individu, membatasi mereka dan mengendalikan tingkah laku
mereka.
Menurut konsep Budaya Lainingen, karakteristik budaya dapat
digambarkan sebagai berikut :
a. Budaya adalah pengalaman yang bersifat univerbal sehingga tidak ada dua
budaya yang sama persis.
b. Budaya bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena budaya tersebut
diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan.
c. Budaya di isi dan ditentukan oleh kehidupan manusia sendiri tanpa
disadari.
18
2.2.3 Unsur Budaya
Adapun unsur – unsur dari budaya adalah :
a. Sistem Religi
Terdiri dari sistem kepercayaan kesusastraan suci, sistem upacara
keagamaan, ilmu gaib, serta sistem nilai dan pandangan hidup.
b. Sistem dan organisasi masyarakat
Terdiri dari sistem kekerabatan, sistem kesatuan hidup setempat, asosiasi
dan perkumpulan – perkumpulan dan sistem kenegaraan.
c. Sistem Pengetahuan
Terdiri dari pengetahuan tentang sekitar alam, pengetahuan tentang alam
flora, pengetahuan tentang tubuh manusia, dan pengetahuan tentang
ruang, waktu dan bilangan.
d. Bahasa
Terdiri dari bahasa lisan dan tulisan
e. Kesenian
Kesenian terdiri dari seni patung, seni relief, seni lukis / gambar, seni rias,
seni vocal, seni instrumenseni kesusastraan dan seni drama.
f. Mata Pencaharian
Terdiri dari berburu dan meramu, perikanan, bercocok tanam di ladang,
bercocok tanam menetap, peternakan, perdagangan.
g. Teknologi dan Peralatan
Terdiri dari alat – alat produktif, alat – alat distribusi dan transport, wadah
– wadah atau tempat menaruh, makanan dan minuman, pakaian dan
perhiasan, tempat berlindung dan perumahan dan senjata.
19
2.2.4 Wujud Budaya
J.J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan adanya
tiga gejala kebudayaan : yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact dan ini
diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang mengistilahkan dengan 3 wujud
kebudayaan :
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide – ide, gagasan –
gagasan, nilai – nilai, norma – norma, peraturan dan sebagainya.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda – benda hasil karya manusia.
2.2.5 Sistem Budaya
Pengertian sistem menurut Tatang M. Amirin Sistem berasal dari
Bahasa Yunani yang berarti :
a. Suatu hubungan yang tersusun atas sebagian bagian.
b. Hubungan yang berlangsung diantara satuan – satuan atau komponen
komponen secara teratur.
Sosial berarti segala sesuatu yang beraliran dengan sistem hidup bersama atau
hidup bermasyarakat dari orang atau sekelompok orang yang didalamnya sudah
tercakup struktur, organisasi, nilai – nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara
mncapainya. Budaya berarti cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya
tercakup pula segala hasil dari cipta, rasa, dan karya baik yang fisik materil maupun
yang psikologis, adil dan spiritual.
Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak
dan terdiri dari pikiran – pikiran, gagasan, konsep serta keyakinan. Dengan demikian
20
sistem kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang dalam bahasa indonesia
lebih sering disebut sebagai adat – istiadat (Koentjaraningrat, 2003).
Sistem sosial budaya merupakan konsep untuk menelaah asumsi – asumsi
dasar dalam kehidupan masyarakat.pemberian makna konsep sistem sosial budaya
dianggap penting karena tidak hanya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan
sistem sosial budaya itu sendiri tetapi memberikan ekplanasi deskripsinya melalui
kenyataan didalam kehidupan masyarakat.
2.2.5.1 Problematika Sosial Budaya Terkait pemberian makanan di
Masyarakat
Dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan yang menentukan kualitas dan
kuantitas jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh
anggota-anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis kelamin
dan situasi-situasi tertentu. Hal ini menunjukan bahwa perilaku-perilaku kesehatan di
masyarakat baik yang menguntungkan atau merugikan kesehatan banyak sekali
dipengaruhi oleh faktor sosial budaya (Burhanudin, 2012).
Ketidakmampuan masyarakat disuatu wilayah untuk menerima kebijakan dari
pelayanan kesehatan adalah suatu permasalahan yang mendasar. Hal ini terjadi
dikarenakan adanya perubahan sosial budaya yang terlalu cepat dan berubah secara
dramatis. Tidak sedikit, hal ini akan menyebabkan masyarakat enggan untuk
memanfaatkan fasilitas kesehatan (Reinhard, 2010).
21
2.2.5.2 Sosial Budaya Sebagai Faktor Pemilihan Pelayanan Kesehatan
Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh tenaga profesional di masyarakat masih
sangat rendah dari yang diharapakan. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan, sikap
terhadap keputusan untuk memanfaatkan tenaga ahli dalam melakukan tindak
kesehatan. Sebagian besar masyarakat juga masih menganggap bahwa tenaga medis
cenderung belum berpengalaman, karena rata - rata usia mereka sangat muda,
sehingga masyarakat masih belum sepenuhnya percaya terhadap tindak kesehatan
yang dilakukan (Elvistron, 2009).
Satu faktor adalah bahwa derajat kesehatan bergantung pada pelayanan
kesehatan yang ada. Baik tidaknya dan cukup tidaknya pelayanan kesehatan yang
disediakan, jelas berhubungan langsung. Namun dalam kenyataannya hal ini sering
mengecewakan karena pengaruhnya terbatas dan antusias masyarakat yang dalam
suatu wilayah yang berkurang. Faktor lain lagi adalah tingkah laku manusia yang tentu
saja mempengaruhi derajat kesehatan. Walaupun ada pelayanan kesehatan yang
memadai, tetapi bila manusia tidak mengerti atau tidak mau mempergunakannya,
maka program-program kesehatan tidak akan atau akan kurang berhasil
(Koentjaraningrat, 2005).
Dari segi sosial budaya khususnya di daerah pedesaan, masih banyak
masyarakat yang lebih suka memanfaatkan pengobatan tradisional dibanding fasilitas
pelayanan kesehatan modern. Sebagai contoh: kedudukan dukun bayi lebih
terhormat, lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan bidan sehingga mulai dari
pemeriksaan, pertolongan persalinan sampai perawatan pasca persalinan banyak yang
memutuskan untuk memilih tenaga dukun atau pengobatan tradisional (Lia, 2011).
Keputusan yang dibuat masyarakat untuk memilih pelayanan kesehatan juga
tidak lepas dari pengaruh sosial ekonomi. Bila suatu fasilitas kesehatan yang terdapat
22
dalam suatu wilayah masyarakat telah mengalokasikan biaya pengobatan bagi
masyarakat. Maka akan sangat mempengaruhi keputusan masyarakat dalam memilih
pelayanan kesehatan (Reinhald, 2010).
Keputusan yang dibuat oleh masyarakat sangatlah berpengaruh untuk
menentukan kualitas kesehatan masyarakat. Mardzelah (2006) mengemukakan bahwa,
terdapat dua jenis keputusan yang mampu dibuat oleh suatu individu ataupun
masyarakat (1) Keputusan yang dapat dilakukan dengan menggunakan proses yang
ditetapkan, (2) keputusan yang berlaku secara tidak dirancangkan. Keputusan yang
bijak adalah keputusan yang dibuat dengan menyertai proses khusus didalamnya.
Pelayanan kesehatan seperti, rumah sakit daerah, pusat kesehatan masyarakat,
klinik masyarakat dan pos kesehatan desa, atau institusi pelayanan kesehatan lainnya,
merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait
saling tergantung. Dari semua hal tersebut maka akan saling mempengaruhi
komponen sosial budaya satu dengan lain (Bustami, 2011).
2.3 Konsep Dasar Balita
2.3.1 Pengertian Balita
Balita adalah bawah lima tahun, yaitu anak – anak yang berada dalam
kelompok usia 0-5 tahun. (Kamus KBKS, 2008).
Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni.DY, (2010), Balita adalah istilah umum
bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5) tahun. Saat usia batita,
anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting,
seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah
bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.
23
Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima tahun.
Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. balita merupakan kelompok usia
tersendiri yang menjadi saran program KIA (Kesehatan Ibu Anak) di lingkup Dinas
Kesehatan. balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat
dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah
masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan
menentukkan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial,
emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan
perkembangan berikutnya (Supartini, 2004).
Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai balita, merupakan salah satu
periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita dimulai dari
satu sampai dengan lima tahun atau bisa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12-
60 bulan (Suparyatno, 2011).
2.3.2 Periode Balita
1. Perkembangan Fisik
Di awal balita, pertambahan berat badan balita merupakan singkatan
bawah lima tahun, satu periode usia manusia dengan rentang usia dua hingga
lima tahun, ada juga yang menyebut dengan periode usia prasekolah. Pada
fase ini anak berkembang dengan sangat pesat. Pada periode ini, balita
memiliki cirri khas perkembangan menurun disebabkan banyaknya energi
untuk bergerak (Suhardjo, 2007).
24
2. Perkembangan Psikologis
a. Psikomotor
Dari sisi psikomotor, balita mulai terampil dalam pergerakannya
(locomotion), seperti berlari, memanjat, melompat, berguling, berjinjit,
menggenggam, melempar yang berguna untuk mengelola keseimbangan
tubuh dan mempertahankan rentang atensi (Suhardjo, 2007).
b. Motorik
Pada akhir periode balita, kemampuan motorik halus anak juga mulai
terlatih seperti meronce, menulis, menggambar, menggunakan gerakan pincer
yaitu memegang benda dengan hanya menggunakan jari telunjuk dan ibu jari
seperti memegang alat tulis atau mencubit serta memegang sendok dan
menyuapkan makanan kemulutnya, mengikat tali sepatu. Dari segi kognitif,
pemahaman terhadap obyek lebih dimengerti. Kemampuan bahasa balita
tumbuh dengan pesat. Pada periode awal balita yaitu usia dua tahun kosa kata
rata – rata balita adalah 50 kata, pada usia lima tahun telah menjadi diatas
1000 kosa kata. Pada usia tiga tahun balita mulai berbicara dengan kalimat
sederhana berisi tiga kata dan mulai mempelajari tata bahasa dari bahasa
ibunya.
c. Aturan
Balita dilatih untuk memiliki aturan sendiri di usia ini, balita dilatih
untuk mengendalikan diri atau biasa disebut dengan toilet training. Freud
mengatakan bahwa pada usia ini, balita mulai mengikuti aturan melalui proses
penahanan keinginan untuk membuang kotoran.
d. Sosial dan Individu
25
Pada usia ini balita mulai belajar berinteraksi dengan lingkungan sosial
diluar keluarga, pada awal masa balita bermain bersama berarti bersama –
sama pada suatu tempat dengan teman sebaya, namun tidak bersama – sama
dalam suatu permainan interaktif. Pada akhir masa balita, bermain bersama
berarti melakukan kegiatan bersama – sama dengan melibatkan aturan
permainan dan pembagian peran.
Balita mulai memahami dirinya sebagai individu yang memiliki atribut
tertentu seperti nama, jenis kelamin, mulai merasa berbeda dengan orang lain
dilingkungannya. Mekanisme perkembangan ego yang drastis untuk untuk
membedakan dirinya dengan individu lainnya ditandai oleh kepemilikan yang
tinggi terhadap barang pribadi maupun orang signifikannya sehingga pada
usia ini balita sulit untuk dapat berbagi dengan orang lain.
Proses perbedaan diri dengan orang lain atau individu juga
menyebabkan anak pada usia tiga atau empat tahun memasuki periode negatif
sebagai salah satu latihan untuk mandiri.
Balita Dibagi menjadi tiga kelompok, Menurut BKKBN 2008 :
1. Kelompok usia 0-1 tahun disebut usia bayi
2. Kelompok usia 1-3 tahun disebut usia toddler
3. Kelompok usia 3-5 tahun disebut usia pra-sekolah (APRAS).
2.4 Konsep Dasar Status Gizi Balita
2.4.1 Pengertian
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi
secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan,
metabolisme, pengeluaran zat – zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan
26
kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal organ – organ yang menghasilkan
energi. (Sulistyoningsih, 2011)
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
penggunaan zat – zat gizi (sulistyoningsih, 2011). Juga dapat didefinisikan keadaan
tingkat kecukupan dan penggunaan nutrient atau lebih yang mempengaruhi
kesehatan seseorang (Supriasa, 2002).
2.4.1.1 Penilaian Status Gizi Balita
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI (2010) menjelaskan bahwa
penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan
menggunakan metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu yang beresiko
atau dengan status gizi buruk. Dan untuk menentukan status gizi dapat menggunakan
metode secara langsung dan metode tidak langsung.
Secara tidak langsung status gizi masyarakat dapat diketahui berdasarkan
penilaian terhadap data kuantitatif maupun kualitatif konsumsi pangan. Informasi
tentang konsumsi pangan dapat diperoleh melalui survey yang akan menghasilkan
data kuantitatif (jumlah dan jenis pangan) dan kualitatif (frekuensi makan dan cara
mengolah makanan). Penentuan status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara
yaitu secara biokimia, dietetika, klinik, dan antropometri (cara yang paling umum dan
mudah digunakan untuk mengukur status gizi di lapangan). Indeks antropometri yang
dapat digunakan adalah berat badan per umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur
(TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB), (Depkes RI, 2005).
A. Metode Pengukuran Langsung, antara lain :
1. Antropometri
Antropometri adalah pengukuran terhadap dimensi tubuh dan
komposisi tubuh. Paling sering digunakan sebagai penilaian status gizi secara
27
langsung. Dalam menilai status anak balita dapat menggunakan indeks
antropometri. Adapun indeks antropometri yang umum digunakan dalam
menilai status gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan
menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
adalah sebagai berikut :
a) Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam
keadaan normal dimana kesehatan baik, keseimbangan antara konsumsi dan
kebutuhan gizi terjamin maka berat badan berkembang mengikuti
perumbuhan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat dua
kemungkinan perkembangan, yaitu dapat berkembang cepat atau lambat.
b) Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Pada keadaan normal, tinggi badan bertumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan relative sensitive terhadap
masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Keuntungan indeks dapat
menilai status gizi masa lampau. Kelemahan indeks TB/U meliputi tinggi
badan tidak cepat naik, pengukuran juga relative sulit karena mengharuskan
balita untuk berdiri tegak, sehingga memerlukan dua orang untuk
melakukannya, dan ketepatan umur sulit didapati.
c) Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah
dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB
merupakan indicator yang baik untuk menilai status gizi saat sekarang.
Keuntungannya tidak memerlukan data umur, dapat membedakan proporsi
badan (gemuk, normal, kurus). Kelemahannya meliputi tidak dapat
28
memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan atau
kelebihan tinggi badan menurut umurnya karena factor umur tidak
dipertimbangkan (Supariasa, 2008).
2. Biokimia
Dengan test laboratorium meliputi pemeriksaan laboratorium
biokimia, hematologi dan parasitologi. Pada pemeriksaan biokimia
dibutuhkan specimen yang akan diuji, seperti darah, urin, tinja dan jaringan
tubuh seperti hati, otot, tulang, rambut dan kuku. Kelebihannya objektif,
sedangkan kekurangannya adalah mahal, keberadaan dari laboratorium,
kesulitan pada pengumpulan specimen, pengawetan dan transportasi.
3. Pemeriksaan Tanda Fisik
Penilaian tanda – tanda klinis berdasarkan perubahan yang terjadi
berdasarkan perubahan yang terjadi pada jaringan epitel mata, kulit, rambut,
mukosa mulut dan kelenjar tiroid. Kelebihannya adalah murah, cepat, tidak
menimbulkan rasa sakit. Kekurangannya subyektif, diperlukan staff yang
dilatih degan sangat baik, banyak tanda klinik yang muncul pada tingkat
defisiensi berat.
4. Pemeriksaan Biofisik
Penentuan status gizi berdasar kemampuan fungsi jaringan dan
perubahan struktur jaringan.
29
Tabel 2.1 Metode Pengukuran Langsung
Indeks Kebaikan Kelemahan
BB/U a. Baik untuk status gizi akut/kronis
b. Berat badan dapat berfluktuasi
c. Sangat sensitif terhadap perubahan kecil
Umur sering sulit ditaksir.
TB/U a. Baik untuk menilai gizi masa lampau
b. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri
c. Murah dan mudah dibawa
a. Tinggi badan tidak cepat baik bahkan mungkin turun
b. Pengukuran relatif sulit
dilakukan karena anak
harus berdiri
c. Ketetapan umur sulit
BB/TB a. Tidak memerlukan data umur
b. Dapat membedakan proporsi badan
a. Membutuhkan 2 macam alat ukur
b. Pengukuran relatif lebih lama
c. Membutuhkan 2 orang untuk melakukannya
B. Metode Pengukuran Tidak Langsung
1. Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara
tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran
tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan
individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan
zat gizi (Surur, 2012).
2. Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistic vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab
30
tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya
dipertimbangkan sebagai bagian dari indicator tiak langsung pengukuran
status gizi masyarakat.
3. Faktor Ekologi
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah
ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan
lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari
keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain – lain. Pengukuran
faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab
malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program
intervensi gizi.
Sedangkan parameter yang cocok digunakan untuk balita adalah berat badan
per umur (BB/U), tinggi badan per umur (TB/U), berat badan per tinggi badan
(BB/TB), dan lingkar kepala serta survei konsumsi makanan dengan menggunakan
food recall 24 jam yang diberikan pada yang mengasuh balita. Lingkar kepala digunakan
untuk memberikan gambaran tentang perkembangan otak. Kurang gizi ini akan
berpengaruh pada perkembangan fisik dan mental anak (Etika Proverawati dan Erna
Kusuma Wati, 2010).
31
Tabel 2.2 Metode Pengukuran Tidak Langsung
Indeks Kebaikan Kelemahan
BB/U a. Baik untuk status gizi
akut/kronis
b. Berat badan dapat
berfluktuasi
c. Sangat sensitif terhadap
perubahan
kecil
Umur sering sulit ditaksir.
TB/U a. Baik untuk menilai gizi
masa
lampau
b. Ukuran panjang dapat
dibuat sendiri
c. Murah dan mudah dibawa
a. Tinggi badan tidak
cepat baik bahkan
mungkin turun
b. Pengukuran relatif
sulit dilakukan karena
anak harus berdiri
c. Ketetapan umur sulit
BB/TB a. Tidak memerlukan data
umur
b. Dapat membedakan
proporsi badan
a. Membutuhkan 2
macam alat ukur
b. Pengukuran relatif
lebih lama
c. Membutuhkan 2
orang untuk
melakukannya
32
2.4.1.2 Klasifikasi Status Gizi
Direktoral Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementrian
Kesehatan RI tahun 2010 menetapkan bahwa untuk menilai status gizi anak mengacu
pada Standart Antropometri World Health Organization (WHO) 2005 (Agustina,
2012).
Adapun ketentuan umum penggunaan standar antropometri WHO 2005
adalah sebagai berikut :
1. Umur dihitung dalam bulan penuh, contoh : umur 2 bulan 29 hari
dihitung sebagai umur 2 bulan.
2. Ukuran Panjang Badan (PB) digunakan untuk anak umur 0-24 bulan
yang diukur terlentang. Bila anak berumur 24 bulan diukur telentag,
maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7cm.
3. Ukuran Tinggi Badan (TB) digunakan untuk anak umur diatas 24 bulan
yang diukur berdiri. Bila anak umur diatas 24 bulan diukur telentang
maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7cm.
4. Gizi kurang dan gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
berat badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah
underweight (gizi kurang) dan severly underweight (gizi buruk).
5. Pendek dan sangat pendek adalah istilah status gizi yang didasarkan pada
indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut
umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severly
stunted (sangat pendek).
Kurus dan sangat kurus adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks berat badan menurut panjang badan (BB/PB) atau berat badan
33
menurut tinggi badan (BB/TB) yang merupakan padanan istilah wasted
(kurus) dan severly wasted (sangat kurus) (Riskesdas, 2013).
Tal 2.3 Kategori dan ambang batas status gizi anak
Indeks Kategori status Gizi Ambang Batas
(Z-score)
Berat Badan meurut umur (BB/U) anak umur 0-60
bulan
Gizi Buruk < - 3 SD
Gizi kurang -3D s/d <-2 SD
Gizi Baik -2 SD s/d 2 SD
Gizi Lebih >2 SD
Panjang badan menurut umur (PB/U)
Tinggi Badan menurut umur (TB/U)
Sangat Pendek <-3 SD
Pendek -3 SD s/d <-2 SD
Normal -2 SD s/d 2 SD
Tinggi >2 SD
Berat badan menurut panjang badan (BB/PB)
atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Sangat kurus <-3 SD
Kurus <- 3 SD s/d <-2 SD
Normal -2 SD s/d 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U) anak umur 0-60 bulan
Sangat Kurus <-3 SD
Kurus <- 3 SD s/d <-2 SD
Normal -2 SD s/d 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U) anak umur 5-18 tahun
Sangat Kurus <-3 SD
Kurus <-3 SD s/d <-2 SD
Normal -2 SD s/d 2 SD
Gemuk >1 SD s/d 2 SD
Obesitas >2 SD
Sumber: Kep. Menkes. RI No: 1995/MENKES/SK/XII/2010
Klasifikasi menurut WHO pada dasarnya cara penggolongan
indekssama dengan cara waterlow. Indikator yang digunakan meliputi
BB/TB, BB/U dan TB/U. Standar yang digunakan adalah NHCS (National
Center for Health Statistic, USA). Klasifikasi status gizi menurut WHO
digambarkan dalam tabel berikut :
34
Tabel 2.4 Klasifikasi Status Gizi Menurut WHO
BB/TB BB/U TB/U Status Gizi
Normal Rendah Rendah Baik, pernah kurang
Normal Normal Normal Baik
Normal Tinggi Tinggi Jangkung, masih baik
Rendah Rendah Tinggi Kurang
Rendah Rendah Normal Buruk, kurang
Rendah Normal Tinggi Kurang
2.4.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Menurut Soekirman (2000), faktor penyebab kurang gizi atau yang
mempengaruhi status gizi seseorang adalah :
1. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang
mungkin diderita anak. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena
makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak yang
mendapatkan makanan cukup baik, tetapi sering diserang diare atau
demam, akhirnya dapat menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak
yang makan tidak cukup baik, maka daya tahan tubuhnya akan melemah.
Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi
nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi. Pada
kenyataannya keduanya baik makanan dan penyakit infeksi secara
bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.
2. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola
pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan
(Hariza Adnina, 2011).
Secara medik, indikator yang dapat digunakan untuk menyatakan
masalah gizi adalah indikator antropometri (ukurannya adalah berat dan tinggi
35
badan yang dibandingkan dengan standar), indikator hematologi (ukurannya
adalah kadar hemoglobin dalam darah), dan sebagainya.
Di luar aspek medik, masalah gizi dapat diakibatkan oleh kemiskinan,
sosial budaya, kurangnya pengetahuan dan pengertian, pengadaan dan
distribusi pangan, dan bencana alam (Khumaidi, 2004).
1. Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya taraf ekonomi keluarga dan
ukuran yang dipakai adalah garis kemiskinan.
2. Masalah gizi karena sosial budaya indikatornya adalah stabilitas keluarga
dengan ukuran frekuensi nikah-cerai-rujuk, anak-anak yang dilahirkan di
lingkungan keluarga yang tidak stabil akan sangat rentan terhadap penyakit
gizi kurang. Juga indikator demografi yang meliputi susunan dan pola
kegiatan penduduk.
3. Masalah gizi karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan di bidang
memasak, konsumsi anak, keragaman bahan, dan keragaman jenis masakan
yang mempengaruhi kejiwaan, misalnya kebosanan.
4. Masalah gizi karena pengadaan dan distribusi pangan, indikator pengadaan
pangan (food supply) yang biasanya diperhitungkan dalam bentuk neraca
bahan pangan, diterjemahkan ke dalam nilai gizi dan dibandingkan dengan
nilai rata-rata kecukupan penduduk.
Gizi merupakan salah satu kehidupan manusia yang erat kaitannya dengan
kualitas fisik maupun mental manusia. Keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan
penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan serta
aktivitas. Keadaan kurang gizi dapat terjadi akibat ketidakseimbangan asupan zat –
zat gizi, faktor penyakit pencernaan, absorbsi, dan penyakit infeksi.
36
Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa masalah gizi di Indonesia
masih didominasi oleh kekurangan zat gizi yang disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya adalah tingkat sosial ekonomi keluarga (Depkes, 2002). Krisis ekonomi
yang melanda sejak 1997, telah menambah jumlah keluarga miskin dengan daya beli
yang rendah, sehingga memberikan dampak terhadap penurunan kualitas hidup
keluarga dan meningkatkan jumlah anak-anak yang kekurangan gizi.
Menurut Achmad Djaeni (2009), penyebab langsung dari gizi kurang adalah
konsumsi kalori dan protein yang kurang. Sebab tidak langsung ada beberapa yang
dominan, yaitu ekonomi negara yang kurang, pendidikan umum dan pendidikan gizi
yang rendah, produksi pangan yang tidak mencukupi, kondisi hygiene yang kurang
baik, dan jumlah anak yang terlalu banyak. Sebab antara adalah pekerjaan yang
rendah, penghasilan yang kurang, paska panen, sistem perdagangan, dan distribusi
yang tidak lancar dan tidak merata.
Menurut Soegeng santoso dan Anne (2009), masalah gizi yang terjadi pada
anak bisa dikaitkan dengan masalah makan anak. Ada beberapa pendapat mengenai
penyebab kesulitan makan anak, menurut Palmer dan Horn antara lain adalah
kelainan neuro-motorik, kelainan kongenital, kelainan gigi-geligi, penyakit infeksi
menahun, defisiensi nutrien, dan psikologik. Untuk faktor kelainan psikologik
disebabkan oleh kekeliruan orang tua dalam hal mengatur makan anaknya. Ada orang
tua yang bersikap terlalu melindungi dan ada orang tua yang terlalu memaksakan
anaknya makan terlalu banyak melebihi keperluan anaknya. Juga apabila anak jauh
dari ibunya, dapat terjadi tidak ada nafsu makan. Perasaan takut berlebih pada
makanan juga dapat mengakibatkan anak tidak mau makan.
37
2.4.1.5 Masalah Gizi
Masalah gizi terbagi menjadi masalah gizi makro dan mikro. Masalah gizi
makro adalah masalah yang terutama disebabkan oleh kekurangan atau
ketidakseimbangan asupan energi dan protein (KEP). Bila terjadi pada anak balita
akan mengakibatkan marasmus, kwashiorkor, atau marasmik-kwashiorkor, dan
selanjutnya akan menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak usia sekolah.
Gejala klinis kwashiorkor meliputi odema menyeluruh, terutama pada
punggung kaki (dorsum pedis), wajah membulat dan sembab, pandangan mata sayu,
rambut tipis kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit
serta rontok, perubahan status mental, apatis dan rewel, perubahan hati, otot
mengecil, kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas, sering disertai penyakit akut, anemia dan
diare.
Gejala klinis marasmus antara lain tubuh tampak sangat kurus, wajah seperti
orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, jaringan subkutis sangat sedikit, perut
cekung, sering disertai penyakit infeksi kronis dan diare atau susah buang air.
Gejala klinis marasmus-kwashiorkor meliputi gabungan gejala klinis antara
kwashiorkor dengan marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS
disertai oedema yang tidak mencolok.
2.5 Konsep Perilaku
2.5.1 Definisi Perilaku
Perilaku adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicra, menangis,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian ini dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau
38
aktifitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh
pihak luar (Notoadmojo, 2007).
Lawrence Green (1980, dalam Notoadmojo, 2007), faktor – faktor yang
mempengaruhi perilaku, antara lain :
a. Faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercyaan, keyakinan, nilai – nilai dan sebagainya.
b. Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik,
tersedianya fasilitas – fasilitas atau sarana – sarana kesehatan, misalnya
puskesmas, obat – obatan, alat – alat steril dan sebagainya.
c. Faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat.
Skinner (dalam Notoatmojo, 2010) perilaku merupakan respon atau reaksi
seseorang terhadap rangsangan dari luar (stimulus). Perilaku dapat dikelompokkan
menjadi dua :
a. Perilaku tertutup (covert behavior), perilaku tertutup terjadi bila respons
terhadap stimulus tersebut masih belum bisa diamati orang lain (dari luar)
secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian,
perasaan, persepsi, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.
Bentuk “covert behavior” apabila respon tersebut terjadi dalam diri sendiri,
dan sulit diamati dari luar (orang lain) yang disebut dengan pengetahuan
(knowledge) dan sikap (attitude).
39
b. Perilaku terbuka (Overt behavior), apabila respon tersebut dalam bentuk
tindakan yang dapat diamati dari luar (orang lain) yang disebut praktek
(practice) yang diamati oleh orang lain dari luar.
Perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan
kemudian organisme tersebut merespon, maka teori skinner ini disebut teori “S-O-R”
(stimulus-Organisme-Respons). Berdasarkan batasan dari skinner tersebut, maka dapat
didefinisikan bahwa perilaku adalah kegiatan atau aktifitas yang dilakukan oleh
seseorang dalam rangka pemenuhan keinginan, kehendak, kebutuhan, nafsu, dan
sebagainya. Kegiatan ini mencakup kegiatan kognitif : pengamatan, perhatian, berfikir
yang disebut Pengetahuan. Kegiatan emosi : merasakan, menilai yang disebut sikap
(afeksi). Kegiatan konasi : keinginan, kehendak yang disebut tindakan (practice).
2.5.2 Domain Perilaku
Perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan
dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat bergantung
pada karakteristik atau faktor – faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini
berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap –
tiap orang berbeda (Notoatmojo, 2010).
Menurut penelitian Rogers (1974) seperti dikutip Notoatmodjo (2003),
mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku didalam diri orang
tersebut terjadi proses berurutan, yakni :
1. Kesadaran (Awareness), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2. Tertarik (interest), dimana orang mulai tertarik pada stimulus.
40
3. Evaluasi (Evaluation), menimbang – nimbang terhadap baik dan
tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap
responden sudah lebih baik lagi.
4. Mencoba (Trial), dimana orang telah mencoba perilaku baru.
5. Menerima (Adoption), dimana subjek telah berperilaku baru sesuai
dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
2.5.3 Determinan Perilaku
Faktor determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku
merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal ataupun eksternal
(lingkungan). Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi
dari berbagai gejala kejiwaan, pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi,
persepsi, sikap dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
Determinan perilaku manusia terbagi kedalam tiga wilayah yaitu :
1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.
Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).
2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Setelah seseorang mengetahui
41
stimulus atau pbyek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap
stimulus atau obyek kesehatan tersebut.
Sikap dapat dianggap sebagai suatu predisposisi umum untuk
berespon atau bertindak secara positif dan negatif, dengan kata lain sikap
membutuhkan penilaian. Ada penilaian positif, negatif dan netral tanpa reaksi
afektif. Sikap biasanya sedikit atau banyak berhubungan dengan kepercayaan,
sikap merupakan kumpulan kepercayaan (Setiawati, 2008). Sikap dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu faktor internal (fisiologis, psikologis, dan motif)
dan faktor eksternal (pengalaman, situasi, norma, hambatan, dan pendorong)
(Maulana, 2007).
3. Praktek atau tindakan
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek kesehatan,
kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui,
proses selanjutnya diharapkan seseorang akan melaksanakan atau
mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya dinilai baik (Novita,
2011).
Suatu sikap belum terwujud dalam suatu tindakan. Sikap dapat
diwujudkan menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor
pendukung. Yaitu a). persepsi. Mengenal dan memilih berbagai objek
sehubungan dengan tindakan yang akan diambil; b). Respon terpimpin. Dapat
melakukan suatu tindakan sesuai dengan urutan yang benar, sesuai contoh; c).
mekanisme. Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar
secara otomatis sudah merupakan kebiasaan; d). adaptasi. Suatu tindakan
42
yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi
sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Ali, 2010).
2.5.4 Tingkatan Perilaku
Proses adopsi perilaku, menurut Rogers (1974, dalam Notoadmojo, 2012),
sebelum seseorang mengadopsi perilaku, didalam diri orang tersebut terjadi suatu
proses berurutan yaitu a). Awrkness (kesadaran), individu menyadari adanya stimulus;
b). Interest (tertarik), individu mulai tertarik pada stimulus; c). Evaluation (menimbang
– nimbang), individu menimbang – nimbang tentang baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Pada proses ketiga ini subjek sudah memiliki sikap yang lebih
baik lagi; d). Trial (mencoba), individu sudah mulai mencoba perilaku baru; e).
Adoption, Individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, sikap dan
kesadarannya terhadap stimulus.
2.5.5 Perilaku Kesehatan
Menurut Becker (dalam effendi dan makhfudli, 2009) mengatakan bahwa
konsep perilaku sehat merupakan pengembangan dari konsep perilaku yang
dikembangkan Bloom. Becker menguraikan perilaku kesehatan menjadi 3 domain,
yakni pengetahuan kesehatan (health knowledge), sikap terhadap kesehatan (health
attitude), dan praktik kesehatan (health practice). Konsep perilaku sehat ini berguna
untuk mengukur seberapa besar tingkat perilaku kesehatan individu yang menjadi
unit analisis penelitian. Becker mengklasifikasikan perilaku kesehatan menjadi tiga
dimensi :
43
a. Pengetahuan kesehatan
Pengetahuan tentang kesehatan mencakup apa yang diketahui oleh
seseorang terhadap cara – cara memelihara kesehatan, seperti
pengetahuan tentang penyakit menular, pengetahuan tentang faktor –
faktor terkait dan atau mempengaruhi kesehatan, pengetahuan tentang
fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengetahuan untuk mengindari
kecelakaan.
b. Sikap
Sikap terhadap kesehatan adalah pendapat atau penilaian seseorang
terhadap hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, seperti sikap
terhadap penyakit menular dan tidak menular, sikap terhadap faktor –
faktor yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan. sikap tentang
fasilitas pelayanan kesehatan dan sikap untuk menghindari kecelakaan.
c. Praktek kesehatan
Praktek kesehatan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktifitas
orang dalam rangka memelihara kesehatan, seperti tindakan terhadap
penyakit menular dan tidak menular, tindakan terhadap faktor – faktor
yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan, tindakan tentang fasilitas
pelayanan kesehatan dan tindakan untuk menghindari kecelakaan.
Menurut kutipan lain tentang perilaku kesehatan diungkapkan oleh: Sarwono
(2004), perilaku kesehatan merupakan segala untuk pengalaman dan interaksi individu
dengan lingkungannya, khusus yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang
kesehatan, serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Cals dan Cobb
44
(dalam Mappiare 2006) mengemukakan perilaku kesehatan sebagai : “perilaku untuk
mencegah penyakit pada tahap belum menunjukkan gejala (asymptomatic stage)”.
Skinner (dalam Notoadmodjo, 2012) perilaku kesehatan (healthy behavior) diartikan
sebagai respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat –
sakit, penyakit, dan faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan seperti lingkungan,
makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, perilaku kesehatan
adalah semua aktifitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable)
maupun yang tidak bisa diamati (unobservable), yang berkaitan dengan pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan. pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau
melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan,
dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Perilaku
kesehatan merupakan suatu respon seseorang (organism) terhadap stimulus atau
obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan dan minuman serta lingkungan.
Dimensi perilaku kesehatan dibagi menjadi dua (Notoadmodjo, 2010), yaitu:
a. Healthy Behavior
Yaitu perilaku orang sehat untuk mencegah penyakit dan meningkatkan
kesehatan. disebut juga perilaku preventif (tindakan atau upaya untuk
mencegah dari sakit dan masalah kesehatan yang lain : kecelakaan) dan
promotif (tindakan atau kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatannya). Contoh : 1) makan dengan gizi seimbang, 2) olahraga /
kegiatan fisik secara teratur, 3) tidak mengkonsumsi makanan / minuman
yang mengandung zat adiktif, 4) istirahat cukup, 5) rekreasi /
mengendalikan stress.
45
b. Health seeking behavior
Yaitu perilaku orang sakit untuk memperoleh kesembuhan dan
pemulihan kesehatannya. Disebut juga perilaku kuratif dan rehabilitative
yang mencakup kegiatan : 1) mengenali gejala penyakit, 2) upaya
memperoleh kesembuhan dan pemulihan yaitu dengan mengobati sendiri
atau mencari pelayanan (tradisional, profesional), 3) patuh terhadap
proses penyembuhan dan pemulihan (complientce) atau kepatuhan.
2.6 Konsep Pemberian Makanan
2.6.1 Pengertian Pemberian Makanan
Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, karena
anak yang sedang tumbuh kebutuhannya berbeda dengan orang dewasa. Kekurangan
makanan yang bergizi akan menyebabkan retardasi pertumbuhan anak dan makanan
yang berlebihan juga tidak baik karena menyebabkan obesitas. Kecukupan pemberian
makanan pada anak sangat penting sebab kekurangan energy / zat gizi dapat
mengganggu pertumbuhan yang optimal, dan dapat pula menimbulkan penyakit
gangguan gizi, baik yang dapat disembuhkan ataupun tidak Wiryo (2002).
Pemberian makanan pada anak tergantung dari beberapa hal sebagai berikut :
(1) jenis dan jumlah makanan yang diberikan. Jenis dan jumlah makanan tambahan
yang diberikan pada anak tergantung dari kemampuan pencernaan dan penyerapan
saluran pencernaan. (2) kapan saat yang tepat pemberian makanan. Waktu yang tepat
pemberian makanan pada anak tergantung pada beberapa faktor yaitu kemampuan
pencernaan dan penyerapan saluran pencernaan serta kemampuan mengunyah dan
menelan. (3) umur anak pada saat makanan padat tambahan dini biasa diberikan.
Pada umur berapa makanan padat tambahan biasanya diberikan kepada anak
tergantung kebiasaan dan sosiokultural masyarakat tersebut.
46
Makanan tambahan merupakan makanan yang diberikan kepada balita untuk
memenuhi kecukupan gizi yang diperoleh balita dari makanan sehari – hari yang
diberikan ibu. Makanan tambahan yang memenuhi syarat adalah makanan yang kaya
energi, protein dan mikronutrien (terutama zat besi, zink, kalsium, vitamin A, vitamin
C dan fosfat), bersih dan aman, tidak ada bahan kimia yang berbahaya, tidak ada
potongan atau bagian yang keras hingga membuat anak tersedak, tidak terlalu panas,
tidak pedas atau asin, mudah dimakan oleh si anak, disukai, mudah disiapkan dan
harga terjangkau. Makanan tambahan diberikan mulai usia anak enam bulan, karena
pada usia ini otot dan syaraf dalam mulut anak sudah cukup berkembang untuk
mengunyah, menggigit, menelan makanan dengan baik, mulai tumbuh gigi, suka
memasukkan sesuatu kedalam mulutnya dan suka terhadap rasa yang baru.
Karena kebutuhan zat gizi tidak bisa dipenuhi hanya dengan satu jenis bahan
makanan. Pola hidangan yang dianjurkan harus mengandung tiga unsur gizi utama
yakni sumber zat tenaga seperti naasi, roti, mie, bihun, jagung, singkong, tepung –
tepungan, gula dan minyak. Sumber zat pertumbuhan, misalnya ikan, daging, telur,
susu, kacang – kacangan, tempe dan tahu. Serta zat pengatur metabolisme, seperti
sayur dan buah - buahan. Pola pemberian makanan pada bayi dan anak sangat
berpengaruh pada kecukupan gizinya. Gizi yang baik akan menyebabkan anak
bertumbuh dan berkembang dengan baik pula (Depkes RI, 2005).
Makin bertambahnya usia anak makin bertambah pula kebutuhan
makanannya, secara kuantitas maupun kualitas. Untuk memenuhi kebutuhannya tidak
cukup dari susu saja. Di sampan itu anak mulai diperkenalkan pola makanan dewasa
secara bertahap dan anak mulai menjalani masa penyapihan. Adapun pola makanan
orang dewasa yang diperkenalkan pada balita adalah hidangan yang bervariasi dengan
seimbang (Waryana, 2010).
47
Masa balita merupakan awal pertumbuhan dan perkembangan yang
membutuhkan zat gizi. Konsumsi zat gizi yang berlebihan juga membahayakan
kesehatan. misalnya konsumsi energy dan protein yang berlebihan akan menyebabkan
kegemukan sehingga beresiko terhadap penyakit. Oleh karena itu untuk mencapai
kesehatan yang optimal disusun Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan
(Achadi, 2007).
Dasar perhitungan AKG tahun 2004 dilakukan dengan cara : (1) menetapkan
berat badan untuk berbagai golongan umur. (2) menggunakan rujukan WHO dimana
AKG untuk energy dan protein disesuaikan dengan ukuran berat dan tinggi badan
rata – rata penduduk sehat di Indonesia (Almatsier, 2009).
Tabel 3.1 Angka Kecukupan Gizi
Umur BB (Kg)
TB (cm)
Energi (kka)
Protein (g)
Vit. A (RE)
Vit. D (meg)
Vit. E (mg)
Tlamin (mg)
Riblofafin (mg)
Nissin
(mg)
Asam folat
(mcg)
0-6 bln 6 60 550 10 375 5 4 0,3 0,3 2 65 7-11 bln 8,5 71 650 15 400 5 5 0,4 0,4 4 80 1-3 th 12 90 1000 25 400 5 6 0,5 0,5 6 150 4-6 th 18 110 1550 39 450 5 7 0,8 0,6 8 200
Tabel 3.1 ( Lanjutan)
Umur BB (Kg)
TB (cm)
Piridoksin (mg)
Vit.B12 (mcg)
Vit. C (mg)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Lodium (mcg)
Seng (mg)
0-6 bln 6 60 0,1 0,4 40 200 100 0,5 90 1,3
7-11 bln 8,5 71 0,3 0,5 40 400 225 7 120 7,9
1-3 th 12 90 0,5 0,9 40 500 400 8 120 8,3
4-6 th 18 110 0,5 1,2 45 500 400 9 120 10,3
Sumber : Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 2004
Pola makan yang diberikan yaitu menu seimbang sehari – hari, sumber zat
tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur. Jadwal pemberian makanan
bagi bayi dan balita adalah tiga kali makanan utama (pagi, siang dan malam) dan dua
kali makan selingan (diantara dua kali makanan utama).
48
Berbagai kebijakan dan strategi telah diterapkan untuk mengurangi prevalensi
terjadinya kekurangan gizi. Untuk itu masyarakat perlu diberikan penyuluhan yaitu
petunjuk dan ilmu pengetahuan tentang cara mengolah makanan dari bahan yang ada
di sekitar (lokal) untuk bayi, balita, ibu hamil, dan menyusui. Petunjuk tersebut harus
disosialisasikan dengan lebih baik pada masyarakat (Wiryo, 2002).
PMT ada 2 (dua) macam yaitu PMT Pemulihan dan PMT Penyuluhan. PMT
penyuluhan diberikan satu bulan sekali di posyandu dengan tujuan disamping untuk
pemberian makanan tambahan juga sekaligus memberikan contoh pemberian
makanan tambahan yang baik bagi ibu balita. PMT pemulihan adalah PMT yang
diberikan selama 60 hari pada balita gizi kurang dan 90 hari pada balita gizi buruk
dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi balita tersebut. Dalam hal jenis PMT
yang diberikan harus juga memperhatikan kondisi balita karena balita dengan KEP
berat atau gizi buruk biasanya mengalami gangguan sistem pencernaan dan kondisi
umum dari balita tersebut.
Program PMT bertujuan untuk pemulihan berat badan balita gizi buruk dan
gizi kurang menjadi membaik dalam satu periode 60 s/d 90 hari sesuai dengan
kebijakan pemerintah setempat. Pelaksana adalah Dinas Kesehatan dalam hal ini
puskesmas yang diawali dengan penimbangan berat badan balita di posyandu. Pada
anak usia 6 bulan s/d 11 bulan diberi makanan tambahan berupa bubur susu, pada
anak usia 12 s/d 23 bulan dan pada anak usia 25 s/d 59 bulan diberi susu formula.
PMT pada prinsipnya adalah untuk menambah kekurangan kalori dan protein dalam
makanan balita sehari – hari.
Kegiatan PMT didasarkan atas pendapat yang menyatakan bahwa penyuluhan
gizi bagi golongan tidak mampu atau efektif jika disertai bantuan pangan berupa
49
makanan tambahan. Makanan tambahan merupakan makanan bergizi yang diberikan
kepada seseorang untuk mencukupi kebutuhannya akan zat – zat gizi agar dapat
memenuhi fungsinya di dalam tubuh manusia (Depkes RI, 2000).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan tambahan
balita gizi buruk / kurang adalah : (a) apabila anak belum mencapai umur 2 tahun
maka ASI tetap diberikan, (b) balita gizi buruk / kurang perlu diperhatikan dan
pengamatan secara terus menerus terhadap kesehatan dan gizi antara lain dengan
pemberian makanan tambahan yang sesuai, (c) anak yang menderita gizi buruk /
kurang terkadang mempunyai masalah pada fungsi alat pencernaan, hingga
pemberian makanan tambahan memerlukan perhatian khusus.
2.6.2 Pengaruh PMT Terhadap Status Gizi Balita
PMT merupakan suatu program dalam rangka mencegah semakin
memburuknya status kesehatan dan gizi masyarakat terutama keluarga miskin yang
diakibatkan adanya krisis ekonomi. Adapun tujuan dari PMT tersebut adalah
mempertahankan dan meningkatkan gizi anak balita terutama dari keluarga miskin,
meringankan beban masyarakat serta motivasi ibu – ibu untuk datang ke posyandu
(Thaha, 2000).
Dalam pengalaman di Poli Klinik rumah sakit daerah, untuk meningkatkan
status gizi dari gizi buruk ke gizi kurang diperlukan jangka waktu pelaksanaan PMT
selama sekitar 6 bulan. Dalam program PMT skala besar yang dilakukan oleh petugas
/ kader setempat direkomendasikan untuk memperpanjang waktu PMT menjadi 10-
12 bulan (Jahari, 2000).
50
Pola asuh gizi merupakan praktek rumah tangga yang diwujudkan dengan
tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan. Pola asuh gizi juga
merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lainnya dalam hal kedekatan dengan
anak, memberi makan, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya.
Agar pola hidup anak sesuai dengan standar kesehatan, disamping harus
mengatur pola makan yang baik dan juga harus mengatur pola asuh yang baik. Pola
asuh yang baik bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh serta kasih
sayang pada anak, memberinya waktu yang cukup dengan menikmati kebersamaan
dengan seluruh keluarga. melalui keluarga dalam hal ini orang tua, anak beradaptasi
dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya. Dengan demikian dasar
pengembangan diri seorang individu telah diletakkan oleh orang tua melalui praktek
pengasuhan sejak ia masih balita (Soekirman, 2000).
2.7 Gambaran Perilaku terhadap Pemberian Makanan pada Balita Gizi
Kurang ditinjau dari Aspek Sosial Budaya
Sosial budaya adalah salah satu pemicu bagi masyarakat untuk membuat
keputusan dalam memilih pelayanan kesehatan. faktor - faktor lain seperti kebutuhan
konsumen sampai faktor yang berhubungan dengan penyedia pelayanan kesehatan.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan hasil interaksi
antara masyarakat (konsumen) dan penyelenggara jasa pelayanan kesehatan
(Khudhori, 2012).
Faktor sosial budaya sangat jelas terlihat pada masyarakat. Hal ini ditunjukkan
oleh suatu penelitian yang menjelaskan bahwa masyarakat lebih memilih dukun bayi
51
daripada berkunjung ke pelayanan kesehatan dikarenakan oleh keyakinan musibah
yang datang berhubungan karena dosa terhadap alam dan sang pencipta (Sri, 2011).
Menurut teori kuncoro yang dikutip oleh Nursalam (2008), mengatakan
bahwa makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi
sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang dimiliki
oleh seorang ibu sangat berkesinambungan dengan perilaku terhadap pemenuhan
kesehatan gizi pada balita. menurut Wahidin (2006, dalam Lestari 2011) smakin tinggi
tingkat pengetahuan ibu semakin baik dampaknya bagi kesehatan anak.
Mutu perilaku ibu dalam gizi kurang pada balita sangat didasari dari tingkat
pendidikan dan pengetahuan tentang gizi kurang itu sendiri karena perubahan dalam
diri seseorang dapat terjadi melalui proses belajar. Belajar diartikan sebagai proses
perubahan perilaku yang didasari oleh perilaku terhadulu dan juga tingkat
pengetahuan ibu.