Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Peran Militer dalam Hubungan Internasional
Secara tradisional pengertian ilmu hubungan internasional adalah kajian
mengenai hubungan antar negara (state actor). Berakhirnya perang dingin telah
merubah paradigma pembahasan dalam ilmu hubungan internasional menjadi
semakin luas dengan adanya fokus kajian mengenai perilaku non-state actor yang
memiliki pengaruh terhadap kehidupan negara-bangsa. Dalam kajian ini peran
militer digolongkan menjadi state actor karena militer merupakan alat negara.
Peran aktor negara sangat penting karena memiliki legitimasi, wewenang dan
peran khusus yang tidak dimiliki non-state actor, misalnya: menjaga dan
melindungi non-state actor dari ancaman dan bahaya (Dugis dan Wardhani,
2012). Hubungan internasional tercermin pada intensitas interaksi, jumlah aktor
yang terlibat dan pola interaksi antar aktor. Maka dengan demikian bentuk
interaksi tersebut dapat digolongkan menjadi interaksi bilateral, trilateral, regional
dan multirateral. Pola interaksi dapat berbentuk kerjasama, persaingan dan konflik
(Margono, 2016). Dalam penulisan ini peran militer dalam upaya mengintervensi
politik negara digolongkan dalam bentuk interkasi dalam negeri yang diwarnai
dengan konflik perebutan kekuasaan antara militer dan sipil. Pada masa Orba
peran militer Indonesia telah melenceng jauh dengan berupaya mendominasi
politik negara melalui pengerdilan sipil. Begitu pula peran junta militer Thailand
juga telah melenceng jauh dengan berpolitik secara langsung, walaupun militer
pada akhirnya selalu mengembalikan kekuasaan ke sipil.
II.1.1 Konsep Politik Militer
Politik Militer adalah keadaan dimana militer mengambil peran bukan
hanya sebagai kekuatan pertahanan dan kemananan (HANKAM) namun juga
sebagai kekuatan sosial politik negara. Sebagai kekuatan sosial politik, militer
berperan dalam bidang-bidang ideologis, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan
keagamaan. (Namira, 2009)
12
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan salah satu
kekuatan politik terbesar di Indonesia. Masa Orde Baru adalah masa dimana
keterlibatan militer dalam politik mencapai puncaknya di Indonesia. Orde Baru
(1966-1998) adalah sebutan untuk masa pemerintahan di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto menggantikan Presiden Soekarno (Orde Lama). Melalui
doktrin Dwifungsi ABRI, militer telah berhasil memperluas perannya dalam
urusan-urusan non-militer. Dwifungsi ABRI memiliki dua pengertian yang
memberi legitimasi peranan militer. Pertama, militer sebagai HANKAM maka
ABRI merupakan aparatur negara/pemerintah, berfungsi untuk mempertahankan
dan mengamankan negara dan bangsa terhadap ancaman baik dari dalam maupun
luar negeri. Kedua, melalui penggolongan ABRI sebagai Golongan Karya, maka
ABRI memiliki fungsi untuk ikut secara aktif mengisi dan membangun negara
dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Hadirnya dominasi militer dalam masa
Orba ditunjukan dengan didudukinya jabatan-jabatan sipil penting sehingga
mampu mengarahkan kekuasaan politik secara langsung ke tangan Soeharto,
keterlibatan militer dalam pembentukan partai Golkar, penguasaan sektor
ekonomi, penggunaan metode represif untuk pemenangan pemilu dan untuk
mengatasi pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri. Melalui penerapan
doktrin dwifungsi ABRI maka berkembanglah konsep militer untuk mengawal
proses pembanguan negara di sektor ekonomi.
Militer Thailand pada awalnya berfungsi sebagai pengawal kerajaan dan
HANKAM. Dalam perkembangannya akibat gejolak krisis ekonomi, militer
berani tampil ke publik dengan melakukan kudeta bersama sipil untuk
menggulingkan monarki. Sesaat persekutuan antara militer dan sipil terjalin
dengan baik, namun kemudian terjadi perebutan kekuasaan antara keduanya.
Akibatnya kudeta seperti sudah menjadi sebuah tradisi di Thailand. Setelah 15
tahun militer akhirnya kembali berupaya merebut kekuasaan sipil pada masa
pemerintahan Thaksin. Keterlibatan militer pada masa sekarang ini tidak lagi
hanya didasari oleh keinginan militer untuk melakukan reformasi pemerintahan,
namun juga karena adanya dukungan para elit politik Thailand. Para elit ini telah
ada semenjak perubahan pemerintahan Thailand menjadi monarki konstitusional.
Junta militer Thailand tidak memiliki doktrin khusus seperti ABRI, namun
13
memiliki peranan yang hampir serupa dalam mendominasi kehidupan politik
negara Thailand. Junta militer Thailand memiliki pengaruh besar dalam
pemerintahan. Hal ini terlihat dari peranan militer terhadap perubahan konstitusi
Thailand. Tidak berbeda jauh dengan masa otoriter Soeharto, pada masa
pemerintahan perdana menteri yang berasal dari militer Thailand sering terjadi
beberapa aksi kekerasan pemerintah terhadap sipil dan dikeluarkannya kebijakan-
kebijakan represif. Dalam prakteknya junta militer juga menempatkan personil-
personilnya untuk menduduki jabatan sipil sehingga mampu menguasai birokrasi.
Pada hakikatnya militer telah berhasil memperluas perannya dalam bidang lain
diluar fungsi sesungguhnya.
II.1.2 Teori Realisme
Asumsi Realisme berbasis logic thinking yang menghubungkan sifat
manusia dalam menjabarkan konflik antarnegara. Thomas Hobbes bahkan
membuat perumpamaan Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi
manusia lainnya). Menurut Morgenthau politik adalah perjuangan memperoleh
kekuasaan, politik berasal dari kodrat manusia yang tidak pernah puas. Politik
menjadi alat untuk memperoleh interest dengan memanfaatkan power. Power
dijadikan landasan untuk dapat menguasai atau memaksakan kehendak terhadap
yang lain. Para aktor akan saling berlomba untuk memperbesar power agar tetap
dapat survive. Survive berarti dapat bertahan menghadapi berbagai macam
permasalahan. Realisme mempercayai adanya struggle of power. Sebuah prinsip
yang mempercayai perjuangan untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam
situasi anarki dimana seluruh pihak saling mencari kesempatan untuk mendapat
keuntungan sebesar-besarnya. (Jackson dan Sorensen, 1999: 107-116)
Peran militer di Indonesia dan Thailand memperlihatkan bagaimana politik
menjadi sebuah arena perebutan kekuasaan untuk memperoleh kepentingan.
Militer justru terlibat dalam politik dengan memanfaatkan power militer agar tetap
dapat mendominasi di dalam negara. Dalam prakteknya militer mampu
memanfatkan kesempatan tersebut untuk menguntungkan organisasi militer
sendiri.
14
Prinsip-prinsip moral universal tidak berlaku ketika berkaitan dengan
kepentingan (Lebow, 2007: 50). Oleh karena itu penggunaan kekerasan atau
tindakan represif tidak jarang digunakan demi memperoleh kepentingan para
aktor. Pada rezim totalitarian militer prinsip moral bukanlah hal utama.
Balance of Power (BoP) bagi kaum realisme merupakan cara
mengekspresikan adanya distribusi power ataupun keseimbangan kekuatan.
Konsep BoP mampu mencegah terjadinya konflik dengan mempertahankan status
quo. Namun juga dapat memicu ketegangan karena tidak dapat memastikan
determinasi aktor dengan power yang dimilikinya. Dalam konsep BoP kaum realis
juga percaya bahwa hukum alami dari politik adalah ketika satu aktor menjadi
lebih kuat, maka yang lainnya akan bersatu untuk menciptakan keseimbangan.
Bergabungnya aktor yang lebih lemah dengan yang lebih kuat dipahami dengan
konsep “bandwagoning”. Aktor yang lebih lemah memberi pengakuan terhadap
teman-tapi-musuh tersebut dan mengambil untung dari perampasan yang mereka
rebut bersama-sama. Prinsip bandwagoning berarti aktor yang lebih lemah harus
berteman dengan yang kuat karena yang lebih kuat dapat menguasai apapun yang
diinginkannya secara paksa dan adanya perhitungan bahwa biaya untuk
melakukan perlawanan justru lebih mahal dari pada keuntungan yang didapatkan.
Bandwagoning dapat terjadi apabila upaya membangun koalisi seimbang tidak
memungkinkan lagi dilakukan. Jika pengertian balancing menjadi upaya
mencegah musuh mengintervensi keseimbangan maka bandwagoning adalah
membiarkan yang terkuat memutuskan pola hubungan antar aktor. (Joseph, 2008 :
36-37)
Realisme juga percaya pentingnya pencapaian hegemony dan menjadi
hegemon. Hegemony berarti memiliki kesempatan untuk dapat mengatur atau
setidaknya mendominasi peraturan-peraturan dan perjanjian-perjanjian yang ada.
Hegemony juga berarti memiliki kapabilitas power yang lebih dari pada yang lain.
(Joseph, 2008 : 38)
15
II.1.3 Teori Hubungan Sipil-Militer
Pola hubungan sipil-militer memiliki berbagai variasi. Bagus A. Hardito
(1999:144) menggolongkan pola hubungan sipil-militer dapat berupa dominasi
sipil atas militer atau dominasi militer atas sipil, dapat pula terbentuk kesejajaran
antara keduanya dalam mencapai tujuan politik suatu negara. Sistem rezim
pemerintahan yang dianut oleh suatu negara memiliki pengaruh terhadap pola
hubungan sipil-militer. Pola hubungan sipil-militer dalam sistem demokratik
liberal menganut pada supremasi sipil. Hubungan sipil-militer dalam negara
demokratis ditunjukkan Samuel P. Hutington (1957:80-99) melalui dua cara
yakni:
1. Kontrol sipil subyektif (subjective civilian control), pengendalian ini
dilakukan dengan meminimalkan kekuasaan militer dan memaksimalkan
kekuasaan sipil. Inti dari kontrol sipil subyektif adalah pengingkaran
independensi militer.
2. Kontrol sipil obyektif (objective civilian control), pengendalian cara ini
dilakukan dengan memaksimalkan profesionalisme militer, kekuasaan
militer akan dikurangi namun diberikan kekuasaan dalam batas tertentu
yang diperlukan untuk melaksanakan profesinya. Kontrol sipil obyektif
tidak hanya dilakukan dengan upaya meminimalisasi intervensi militer,
namun juga memerlukan keunggulan otoritas sipil yang terpilih (elected
politicians) dalam semua bidang politik termasuk dalam penentuan
anggaran militer, konsep dan strategi pertahanan nasional, peralatan
persenjataan militer, dan perumusan kurikulum serta doktrin militer.
Sedangkan pada sistem otoritarian, pola hubungan sipil-militer lebih
menekankan pada dominasi peran militer. Dalam rezim militer tidak ditemukan
adanya kontrol sipil dan organisasi militer melakukan tugas-tugas diluar misi
pertahanan kemanan. (Hutington, 1957:99)
Amos Permultter (1980:203-205) menjelaskan dua kondisi sebagai peluang
bagi militer melakukan intervensi. Pertama, kondisi sosial. Adanya kelas-kelas
sosial masyarakat yang terpecah belah akibat kepentingan kelompok sehingga
tidak mampu melancarkan aksi terpadu dan rendahnya tingkat aksi sosial
menjadikan tidak adanya kontrol sosial efektif. Kedua, kondisi politik. Struktur
16
formal negara yang lemah atau disorganisasi, persoalan-persoalan sipil yang
selalu kembali ke militer untuk mendapatkan dukungan ketika struktur politik
terfragmentasi dalam faksi-faksi politik dan ketika perangkat konstitusi tidak
berjalan atau tidak adanya legitimasi yang berakar dari ketidakmampuan elite
dalam mengelola persoalan politik.
Keikutsertaan militer dalam percaturan politik Indonesia disebabkan oleh
faktor sosial dan politik. Fragmentasi masyarakat menjadi penyebab utama
lemahnya pengawasan terhadap lembaga formal negara. Sedangkan permasalahan
perebutan pengaruh menjadikan para politisi sulit mengendalikan diri untuk tidak
mengikutsertakan militer guna meraih dukungan, selain itu peran militer juga
sangat dibutuhkan dalam menangani aksi kerusuhan dan pemberontakan di
seluruh negeri, keadaan tidak dapat mengingkari peran militer dalam negara.
Sama halnya dengan Thailand harus menghadapi dua masalah tersebut. Terpecah-
belahnya masyarakat dan keinginan mempertahankan pengaruh kekuasaan Raja
menjadi faktor pendorong keterlibatan militer dalam politik. Pemerintahan militer
dikedua negara ini menekankan kepada masyarakat umum bahwa naiknya
pemerintahan militer didorong oleh tanggung jawab menyelesaikan krisis akibat
kegagalan pemerintahan sipil. Namun yang membedakan adalah dominasi militer
Thailand didasari legitimasi atas tugas militer sebagai pelindung kerajaan
sehingga pengaruh mereka sulit dipisahkan karena terkait dengan dukungan Raja.
Terdapat 3 jenis organisasi militer di dalam negara-bangsa modern. Pertama
prajurit profesional yang berkembang di dalam negara-negara dengan kondisi
sistem politik yang stabil. Kedua adalah prajurit pretorian yang tumbuh di dalam
negara-negara dengan sistem politik tidak stabil. Ketiga adalah prajurit
revolusioner yang bersifat manunggal dengan suatu orde politik yang stabil
walaupun asal-usulnya berasal dari sistem politik yang tidak stabil, atau sedang
mengalami kemunduran atau masih baru. Menurut Eric A. Nordlinger (1994:4-5)
tiga tipologi pretorianisme tentara didasarkan pada tingkat campur tangan dan
keinginan untuk dapat mencapai tujuan mereka.
17
Tabel 2.1
Tipe-tipe Pretorianisme
Moderator Pengawal Penguasa
Tingkat
Kekuasaan
(Pembuatan
Keputusan)
Hak veto Menguasai
pemerintahan
Pengaruh
dominasi rezim
Tujuan
Ekonomi dan
Politik
Mempertahankan
status quo (meskipun
pihak sipil
menjalankan
pemerintahan tapi
tidak terlepas dari
pengawasan militer
yang tidak akan
menerima supremasi
penuh pihak sipil)
Mempertahankan
status quo dan atau
memperbaiki
penyalah gunaan
dan kelemahan
(model ini muncul
ketika militer
berhasil
menggulingkan
pemerintahan sipil
dan militer akan
memegang
pemerintahan
untuk periode dua
hingga empat
tahun)
Membuat
perubahan
politik dan
kadang-kadang
kadang-kadang
perubahan
sosio-ekonomi
Sumber: (Nordlinger,1994).
Tumbuhnya power militer dalam politik di Indonesia dan Thailand dapat
digolongkan dalam tipe organisasi pretorian. Peran militer Indonesia digolongkan
dalam model penguasa. Militer akan mengambil alih kekuasaan pemerintahan
apabila pemerintah sipil dianggap gagal menjalankan tugasnya atau
menyalahgunakan kekuasaan. Ciri khas militer Indonesia sendiri membangun
sebuah rezim yang mampu mendominasi pembuatan keputusan, serta berupaya
menciptakan perubahan-perubahan baik dalam tatanan ekonomi maupun politik.
Sedangkan peran militer Thailand digolongkan pada tipe pengawal karena
tindakan kudeta militer hanya akan dilakukan apabila pemerintah yang berkuasa
menghina Kerajaan atau menyalahgunakan kekuasaannya. Pada dasarnya militer
Thailand adalah pengawal Kerajaan karena itu militer tidak berniat untuk
meninggalkan dominasi Kerajaan. Selain itu, pemerintahan oleh militer tidak
18
berlangsung dalam kurun waktu puluhan tahun seperti yang terjadi di Indonesia,
tetapi kekuasaan akan diserahkan kembali kepada sipil.
Kondisi-kondisi pretorianisme memberi dampak negatif terhadap lembaga
militer dan menurunkan strandar-standar profesionalisme yang mengakibatkan
pecahnya perang saudara ataupun kudeta silih berganti. Kekuatan rezim pretorian
militer bukan berasal dari kecakapan profesional-penggunaan kekerasan-
melainkan juga kecenderungan untuk menghubungkan rezim yang membiayai
militer tersebut dengan rezim yang melindungi integritas militer. Pretorian
military adalah pembela utama otonomi korporasi sehingga menyamakan aspirasi
korporasi dengan kepentingan nasional.
Kontestasi militer sering kali terjadi pada masa transisi demokrasi dari
rezim militer. Hal itu disebabkan adanya perbedaan pandangan antara
pemerintahan sipil baru dengan pihak militer mengenai isu-isu hak istimewa
(prerogative) militer. Wilayah isu yang mengandung potensi konflik besar terdiri
dari: 1) penanganan pelanggaran hak asasi manusia dan tindak kekerasan yang
dilakukan oleh rezim otoriter; 2) menilik reaksi militer terhadap kebijakan
pemerintahan demokrasi baru dalam upaya penegakan supremasi sipil; 3)
penyesuaian alokasi anggaran militer yang berpengaruh terhadap upaya
memperkokoh pemerintahan baru. Hak istimewa militer dijadikan sebuah
referensi bahan analisis untuk menilik kedudukan dan kontribusi militer dalam
penyelenggaraan demokrasi. Hak-hak kelembagaan militer dikatakan “tinggi” jika
de jure dan de facto militer menjalankan kontrol efektif dalam pemerintahan,
berperan di wilayah-wilayah ekstra-militer, dan menyusun bahkan menentukan
pola hubungan sipil-militer. Hak istimewa militer dikatakan “moderat” jika de
jure militer tidak memiliki hak istimewa, namun pemerintahan demokratis baru
mendapat penolakan aktif ataupun pasif dari militer. Hak istimewa kelembagaan
militer dikatakan “rendah” jika kontrol efektif de facto dan de jure atas hak
istimewa ini dijalankan oleh pemerintah melalui prosedur yang berlaku dan
didukung lembaga-lembaga demokratis. (Yulianto, 2002: 463-465)
Untuk mencapai hubungan harmonis antara sipil-militer dengan demikian
militer harus dikontrol melalui penetapan tugas-tugas dan batasan-batasan yang
jelas antara pemimpin sipil dan militer. Untuk mencegah ketegangan antara sipil-
19
militer dalam masa transisi menurut Joseph S. Nye Jr. (2008: 237-238), akan lebih
sehat jika dipraktekan dalam tradisi-tradisi liberal yaitu 1) angkatan bersenjata
harus tunduk kepada peraturan hukum yang berlaku dan berkewajiban
menghormati kewenangan sipil; 2) angkatan bersenjata bersifat independen dan
berada di atas semua kepentingan politik; 3) sipil berkewajiban mengakui bahwa
angkatan bersenjata adalah alat negara demokrasi yang sah; 4) pemberian dana
dan penghargaan yang layak kepada militer dalam upaya mengembangkan peran
dan misi militer; 5) sipil harus berupaya untuk belajar mengenai isu-isu
pertahanan dan budaya militer.
Menurut Malik Haramin (2000:323-325), untuk menciptakan kontrol
efektif terhadap militer diperlukan kesepakatan bersama antara sipil dan militer
mengenai reposisi peran militer. Reposisi adalah langkah pertama yang harus
dilaksanakan sebelum membuat kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada
prinsip supremasi sipil. Agenda reposisi antara lain 1) upaya mendekonstruksi
hubungan sipil-militer dan menempatkan militer dalam masa transisi; 2) kebijakan
dibuat untuk mengurangi wilayah wewenang militer dan menjadikan militer
sebagai lembaga profesional; 3) mencegah segala kemungkinan militer masuk
domain sipil.
II.1.4 Teori Transisi Menuju Demokrasi
Salah satu hal yang membedakan pemerintahan sistem demokrasi dengan
otoritarian adalah partisipasi dalam politik. Sistem demokrasi memberikan
kesempatan berpartisipasi secara luas dalam pembuatan keputusan politik kepada
masyarakat, sedangkan otoritarian memberikannya sebagai tugas pokok yang
diwajibkan bagi masyarakat. (Anderson, 2001)
O’Donnell dan Schmitter (1993) mengatakan transisi adalah interval
(selang waktu) antara satu rezim politik menuju rezim politik lain. Transisi
memiliki pengertian ganda yakni 1) konteks regenerasi politik transisi berarti
semua anggota masyarakat yang telah cukup umur berhak mengambil peran
dalam penyelenggaraan negara; 2) dalam konteks sosial transisi berarti proses
perubahan berbagai bentuk masyarakat dan proses perubahan terjadi dari nilai
lama ke nilai baru. Demokratisasi sendiri memiliki diartikan sebagai proses yang
mengarah kepada pembentukan sistem demokrasi, perubahan wacana identitas
20
dalam struktur masyarakat dalam peran politiknya. Demokratisasi juga dapat
diartikan sebagai sebuah proses perluasan partisipasi warga negara dalam berbagai
keputusan politik.
Karakteristik dari transisi demokrasi yakni 1) lahirnya “liberalisasi” yakni
proses pengembangan hak-hak akses politik yang lebih luas; 2) terbatas kurun
waktu dimulainya proses perpecahan sebuah rezim otoriter oleh pengesahan
beberapa bentuk demokrasi; 3) aturan-aturan atau regulasi selalu berubah dalam
masa transisi dan diperhadapkan antar elit politik. Demokratisasi melibatkan
institusi politik, elite, kelompok-kelompok kepentingan dan masyarakat serta
dibentuknya kesepakatan bersama mengenai “nilai-nilai politik” yang dapat
menjadi penghubung berbagai elemen politik untuk bersatu selama masa transisi.
Masa transisi demokrasi Indonesia ditunjukkan sejak dimulainya Era
Reformasi dengan diakuinya unsur-unsur demokrasi secara luas. Peran aktor
dalam politik tidak hanya terbatas pada elit-elit politik saja melainkan non state
actor memiliki hak-hak yang dilindungi untuk ikut berpartisipasi dalam politik.
Melihat pada kehidupan politik Thailand meski setelah bergantinya sistem
pemerintahan menjadi monarki konstitusional belum dapat dikatakan secara
gamblang bahwa Thailand telah memenuhi upaya-upaya untuk memajukan sistem
pemerintahan demokrasi. Hal ini disebabkan besarnya dominasi peran militer dan
para elit dalam pembuatan keputusan dan minimnya peran non state actor.
Menurut Guillermo O’Donnell dan kawan-kawan dalam analisis
komparatifnya, hipotesa dasar agar terbentuk tantangan efektif terhadap
pemerintahan otoritarian memuncak dan agar model alternatif demokrasi tampil,
maka diperlukan peranan masyarakat sipil dalam mana identitas-identitas
komunitas dan kelompok tertentu harus eksis bebas dari negara dan unit-unit
pembuatan keputusan tertentu mampu bertindak otonom dalam mempertahankan
kepentingan-kepentingan mereka. Bentuk partisipasi seperti ini dilaksanakan
secara konsesual melalui persaingan partai-partai politik untuk memenangkan
mayoritas suara elektoral, membentuk koalisi dengan partai lain, atau
mengadakan kesepakatan konsosiasional.
Maka unsur paling penting dalam
demokrasi adalah kewarganegaraan (citizenship) dan partisipasi warga negara
21
dalam pengambilan keputusan politik, sehingga rakyat memiliki kapasitas untuk
tidak dimanipulasi negara. (Guillermo dan Schmitter, 1993)
Tata cara dominasi politik, perkembangan ekonomi dan sistem hubungan
antar kelas selanjutnya menjadi bahan pertimbangan kemajuan demokratisasi.
Tabel 2.2
Tabel Perkembangan Demokrasi
Struktur Politik
dan Ekonomi
Ciri Proses Perkembangan Demokratisasi
Legitimasi
Tradisional
1) Adanya monopoli negara oligarki atau diktatorial
dan pemencilan sistematik kelas bawah dari segala
bentuk partisipasi politik (pembatasan hak suara
dan campur tangan militer yang berkelanjutan);
2) Proses parlementer tertentu dan oposisi terbatas
masih diperbolehkan.
3) Munculnya persekutuan kelas borjuis komersial,
pedesaan dan industrial dengan kelas menengah
“terhormat” yang kemudian memberikan dukungan
kepada partai-partai modern.
Tata
Konstitusional
1) Berkurangnya praksis diktatorial yang disebabkan
bangkitnya kelas menengah, sekularisasi, oposisi
kelas pekerja, kapitalisme dan penetrasi
internasional terhadap perekonomian;
2) Diterimanya oposisi dalam penyelenggaraan politik
negara;
3) Melunaknya tuntutan tradisional kaum radikal
disebabkan partisipasi penuh masyarakat untuk
mengembangkan “korporatis” dalam
perekonomian.
Transformasi
Struktur Ekonomi
1) Kapitalis
2) Liberal
1) A. Keterlibatan kaum kapitalis dalam politik
negara dan keterlibatan pihak asing telah
memberikan kendala baru;
B. Pemencilan rakyat dan kurangnya perwakilan
kelas rendah dalam parlemen serta sistem
parlementarisme terbatas;
C. Ketidakkonsistenan prinsip proteksionisme,
perlindungan bagi militer dan dominasi kelompok
tertentu;
22
D. Akibat gesekan dan tarikan masyarakat
industrial akhirnya melahirkan gerakan
revolusioner karena kekecewaan yang
dihubungkan dengan kaum ploretariat kota dan
meningkatnya komersialisasi kaum petani.
Hancurnya sistem kapitalisme yang disebabkan gerakan
revolusioner oleh masyarakat industrial dengan tuntutan
perbaikan ekonomi dan politik menjadi penyebab
hancurnya legitimasi tradisional.
2) A. Kemampuan industrial yang belum mumpuni
dan kebutuhan akan negara modern;
B. Reformasi dan modernisasi terjadi melalui
akomodasi yang lambat antara kepentingan penguasa
dan tekanan dari bawah;
Non-Totalitarian
atau Demokrasi
1) Tatanan sosial yang lebih pluralistik dan situasi
yang lebih demokratik;
2) Bangkitnya lembaga-lembaga politik, serikat
buruh, dll yang berhubungan dengan demokrasi
dan konstitusional.
Sumber: Salvador Giner dalam Transisi Menuju Demokrasi, hal:13-57
Fenomena transisi demokrasi mulai marak terjadi semenjak tahun 1980-an
dipengaruhi oleh perubahan sosial politik negara-negara di Eropa Timur.
Umumnya dalam masa transisi pemerintah akan berfokus pada pemulihan
ekonomi dan politik. Menurut Prezewosky (1996) dan Huntington (2001),
kemampuan ekonomi negara maju dapat mendukung proses demokratisasi.
Merujuk pada Eropa Timur yang telah mengalami berbagai fase perubahan sistem
ekonomi dalam tulisan ini penulis menghilangkan fase fasis. Hal ini dilakukan
berdasarkan pertimbangan bahwa negara-negara yang menjadi ulasan tidak
mengalami perkembangan ekonomi dalam fase fasis, sehingga menjadi kurang
relevan jika fase fasis diikut sertakan dalam tabel perkembangan demokrasi.
Chee (1994:4) mengatakan untuk mencapai demokrasi setiap negara
umumnya harus melalui proses transisi yang berat dan bertahap, walaupun sistem
demokrasi telah berlangsung cukup lama dalam sebuah negara, namun tetap saja
tidak ada demokrasi yang sempurna, seperti di Amerika. Transisi demokrasi
memiliki syarat utama yaitu pemerintah baru harus lebih kuat dari pada oposisi
dan menjadi penting untuk melakukan reformasi ekonomi dan politik dalam satu
kesatuan sistem dari tujuan transisi demokrasi.
23
Tabel 2.3
Interval Waktu Transisi Demokrasi
Bertahap (Evolusi) Demokratisasi Secara
Bertahap
Transisi Melalui
Perjuangan Revolusioner
Cepat (Revolusi) Transisi Melalui
Transaksi Transisi
Transisi Melalui
Perpecahan:
a. Revolusi
b. Kudeta
c. Keruntuhan
d. Ekstrikas
Sumber: Ali Martin. QUO VADIS TRANSISI DEMOKRASI: Arah Demokratisasi Indonesia ditengah Demokrasi
Pasar.
Melihat dari tabel transisi demokrasi maka proses demokratisasi di
Indonesia dan Thailand dapat dikatakan berlangsung dengan cepat karena
terjadinya transisi dalam politik. Proses transisi demokrasi di Indonesia terjadi
melalui sebuah revolusi yang di dasari gerakan dari bawah menuju ke atas oleh
masyarakat. Sedangkan di Thailand proses demokratisasi terjadi melalui kudeta
yang dilakukan untuk merubah sistem pemerintahan menjadi monarki
konstitusional. Walupun proses demokratisasi di Thailand belum dapat dikatakan
berjalan dengan baik, namun terlihat tumbuhnya sedikit kesadaran berpolitik di
kalangan masyarakat utamanya mahasiswa.
II.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang “Identifikasi Politik Militer Dalam Masa Transisi
Demokrasi Studi: Perbandingan Peran Politik Militer Indonesia dan Thailand” ini
terinspirasi dari beberapa penelitian terdahulu. Berikut beberapa penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan peran militer dalam politik Indonesia dan
Thailand.
24
Tabel 2.4
Penelitian Terdahulu
No. Penelitian Hasil Penelitian
1. Yulia
Kusumawardani,
2012, Pengaruh
Hubungan Raja-
Militer di Thailand
Terhadap Konstitusi
2007. Universitas
Indonesia
Hasil dari penelitian ini adalah:
1. Hubungan raja dan militer di Thailand telah
terbentuk sejak masa pemerintahan monarki
absolut. Namun sejak abad-20 karena
masuknya paham demokrasi maka
hubungan ini menjadi rapuh. Pada tahun
1932 militer bersama sipil mengkudeta
Kerajaan dan merubah sistem pemerintahan
menjadi mornaki konstitusional. Hubungan
raja dan militer kembali pulih semenjak
masa pemerintahan PM Sarit Thanarat pada
tahun 1958. Sejak itu peran raja dalam
politik Thailand semakin besar melalui
perwakilannya yakni militer dan Dewan
Penasehat Kerajaan.
2. Naiknya Thaksin Shinawatra menjadi PM
mengganggu para elit politik Thailand.
Menggunakan alasan kegagalan
pemerintahan Thaksin akhirnya pecah
sebuah kudeta pada tahun 2006. Kudeta
yang dipimpin Jenderal Sonthi
Bonyaratglin tersebut mendapat dukungan
dari raja. Segera setelah melakukan kudeta,
pihak junta militer membatalkan konstitusi
dengan janji memberikan rakyat Thailand
pemerintahan yang lebih demokratis.
3. Konstitusi 2007 dijanjikan lebih
demokratis, namun pada kenyataannya
terdapat pasal-pasal yang dinilai tidak
demokratis berkaitan dengan kekuasaan
eksekutif, pemilu dan demokratisasi.
Konstitusi baru justru dinilai memberikan
kekuasaan yang lebih besar bagi militer.
4. Konstitusi 2007 disusun untuk kepentingan
elit-elit negara yang berada dalam network
monarchy yaitu raja dan militer. Konstitusi
baru digunakan untuk melegalkan
kekuasaan raja dan militer.
25
2. Kiki Namira, 2009,
Perbandingan
Kekuatan Politik
Militer Era Orde Baru
Dengan Era
Reformasi.
Universitas Sumatera
Utara.
1. Terdapat banyak kekuatan politik di
Indonesia namun yang paling berpengaruh
adalah TNI/ABRI, POLRI, Organisasi
Kecendiakawan, Lembaga Pendidikan,
LSM, Pers, Organisasi Penelitian, Kekuatan
Politik yamg tersebar di daerah-daerah,
kelompok masyarakat berbasis agama,
buruh dan pekerja, mahasiswa, partai
politik, dll.
2. Pada masa Orba, ABRI mendominasi peran
dalam kehidupan sosial politik. Mengacu
pada doktrin Dwifungsi ABRI, maka ABRI
bukan hanya sebagai kekuatan pertahanan
keamanan namun juga kekuatan sosial
politik.
3. Percobaan kudeta dilakukan karena
kekecewaan militer terhadap pemerintahan
parlementer karena dianggap terlalu
mengintervensi urusan internal militer.
Sistem Orba telah membuat militer semakin
mampu meluaskan peran dalam bidang
sosial dan politik di Indonesia.
4. Selain menggunakan kekuatan ABRI,
Soeharto juga menjadikan Golkar untuk
dapat memenangkan pemilu.
5. Pada 5 Oktober 1998 dimulailah masa
transisi demokrasi dengan mengeluarkan
paradigma baru ABRI yang intinya
perubahan sikap ABRI di masa mendatang.
Terutama dalam menghadapi
perkembangan sosial masyarakat.
3. Salim Said, 2015,
Mengundang
Keterlibatan
Angakatan Bersenjata
Catatan dari Mesir
dan Thailand. Jakarta:
Prisma Jurnal
1. Masuknya militer dalam kehidupan politik
adalah sebagai akibat terpecah-belahnya
masyarakat.
2. Pada awal 1932 kudeta Thailand bersifat
elitis, konservatif dan hanya melibatkan
pimpinan tentara dan birokrat tinggi di
sekitar Raja. Sifat kudeta berubah sejak
tahun 1970-an, ketika mahasiswa
menentang rezim militer. Oleh karena
sifatnya yang elitis maka kudeta di
Thailand tidak memiliki dampak yang luas
26
dalam kehidupan masyarakat.
3. Fakto-faktor yang menjadikan militer
kembali mengambil alih kekuasaan
diantaranya 1) konflik kepentingan antara
pendukung Thaksin dengan para elit militer
yang berafiliasi dengan monarki, para elit
kapitalis dan birokrasi; 2) konflik diantara
sumber-sumber legitimasi (kedaulatan
rakyat vs kedaulatan kerajaan); 3) konflik
perebutan kekuasaan antara elit Bangkok
dengan penduduk pedalaman.
4. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa
militer selalu diperebutkan oleh partai-
partai politik. Pada masa Panglima Jenderal
Sudirman, tentara berusaha menjaga
otonomi dengan menghindar agar tidak
dikuasai pihak lain diluar tubuh militer.
Keinginan militer terlibat dalam politik
terlihat saat A.H Nasution merumuskan
“Jalan Tengah”
5. Pada November 1958, Presiden Soekarno
menggolongkan TNI sebagai kekuatan
politik legal dan salah satu dari tujuh
“Angkatan Karya” dalam tubuh Golongan
Karya. Keputusan melegalkan peran politik
ABRI kemudian menjadi dasar dari
terbentuknya Dwifungsi ABRI.
6. Kehidupan politik Indonesia kembali pulih
setelah Soeharto lengser. Hal itu
mengakhiri pula peran militer diluar
tugasnya. Sejak tahun 2000 pembaharuan
dalam tubuh militer dan sistem demokrasi
dimulai.
Berangkat dari beberapa penelitian sebelumnya, penelitian ini akan
menambahkan beberapa hal yang sebelumnya belum menjadi pokok bahasan.
Pembahasan tidak hanya didasarkan pada faktor-faktor penyebab besarnya
dominasi peran militer dalam perpolitikan Indonesia dan Thailand, namun juga
membahas mengenai pengaruh peran militer terhadap proses demokratisasi
sebuah negara. Pembahasan dispesialisasikan dengan membandingkan dua negara
27
yang memiliki perbedaan sejarah dan kultur budaya masyarakat namun memiliki
persamaan nasib dengan besarnya pengaruh militer dalam pembuatan keputusan
terkait kebijakan politik. Penelitian ini menggunakan beberapa teori yang sedikit
berbeda dengan teori yang digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk belajar mengenai
proses demokratisasi di negara berkembang dengan upaya mengkonsolidasi peran
militer yang telah terlanjur menjadi radikal.
28
II.4 Kerangka Penelitian
PERBANDINGAN PERAN POLITIK MILITER
INDONESIA THAILAND
Keterangan Kerangka Berfikir:
Perbandingan peran militer diluar tugas militer dalam keterlibatannya di
kehidupan politik negara Indonesia dan Thailand ditemukan beberapa hal yang
menjadi kesamaan keduanya. Dalam masa pemerintahan otoriter peran militer
begitu mendominasi baik dalam pengambilan keputusan dan perubahan-
perubahan dalam politik negara. Perbedaan mendasar ditemukan dalam masa
transisi demokrasi keduanya. Saat ini Indonesia dapat dikatakan telah memasuki
masa transisi demokrasi dengan runtuhnnya kekuatan-kekuatan rezim militer dan
diakuinya hak-hak politik sipil. Sedangkan Thailand belum dapat dikatakan telah
memasuki masa transisi demokrasi sepenuhnya, walaupun telah beralih dari
sistem pemerintahan oligarki namun belum terlepas dari rezim militer dan
pengaruh elit Thailand. Hal ini terlihat dari keterlibatan milter dalam upaya
penyusunan konstitusi baru seusai kudeta.
Pemerintahan Otoriter:
1) Percobaan Kudeta 1952, Terbentuknya
Doktrin Dwi Fungsi ABRI dan
Peristiwa G30S/PKI
2) Demokrasi Semu Masa ORBA dan
GOLKAR
3) Peran Pemerintah ORBA dalam
Perumusan UU dan Berbagai Peraturan
4) Pemencilan Hak dan Peran Non-State
Actor
Masa Transisi:
1) Lengsernya Soeharto pada 1998 dan
Pembaharuan Doktrin Dwifungsi ABRI
2) Dimulainya Era Reformasi pada masa
Habibie, Abdurahman Wahid dan
Megawati
3) Penjaminan Hak-Hak Politik Sipil
Pemerintahan Otoriter:
1) Kudeta 1932-1970
2) Student Revolt 1973
3) Peran Elit Politik
Thailand
4) Pemencilan Hak dan
Peran Non-State
Actor
Masa Transisi:
1) Kudeta 2006 dan
2014
2) Pemilu 2001
3) Kontitusi 2007 dan
Interim Constitution
2014