17
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan Pangan adalah kebutuhan dasar manusia.Manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan dasar ini dengan segala kemampuan agar dapat bertahan hidup.Menurut Suryana (2004) negara atau wilayah mempunyai ketahanan pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang stabil dan berkelanjutan bagi seluruh penduduk. Dengan ketahanan pangan yang baik, terdapat suatu jaminan bagi seluruh penduduk untuk memperoleh pangan dan gizi yang cukup untuk menghasilkan generasi yang sehat dan cerdas. Definisi ketahanan pangan menurut UU no.7 tahun 1996 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dalam World Food Summit 1996 definisi lain dari ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi tiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat (Hardinsyah 2000) Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah, sedangkan sub sistem konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Dengan demikian, ketahanan pangan adalah isu di tingkat wilayah hingga tingkat keluarga, dengan dua elemen penting yaitu ketersediaan pangan dan akses-akses setiap individu terhadap pangan yang cukup (Suryana 2004). Pembangunan ketahanan pangan memerlukan harmonisasi dari pembangunan ketiga sub sistem tersebut di atas. Pembangunan sub sistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan keseimbangan penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas pangan dan menjamin stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan sub sistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam. Pembangunan ketiga sub sistem tersebut dilaksanakan secara simultan dan harmonis dengan

BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

5

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan

Pangan adalah kebutuhan dasar manusia.Manusia selalu berusaha

memenuhi kebutuhan dasar ini dengan segala kemampuan agar dapat bertahan

hidup.Menurut Suryana (2004) negara atau wilayah mempunyai ketahanan

pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang

stabil dan berkelanjutan bagi seluruh penduduk. Dengan ketahanan pangan yang

baik, terdapat suatu jaminan bagi seluruh penduduk untuk memperoleh pangan

dan gizi yang cukup untuk menghasilkan generasi yang sehat dan cerdas.

Definisi ketahanan pangan menurut UU no.7 tahun 1996 adalah kondisi

terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan

yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Dalam World Food Summit 1996 definisi lain dari ketahanan pangan adalah

kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi tiap individu dalam jumlah dan mutu agar

dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat

(Hardinsyah 2000)

Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri

dari tiga sub sistem yang saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub

sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi

memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah,

sedangkan sub sistem konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga

memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung

jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Dengan demikian,

ketahanan pangan adalah isu di tingkat wilayah hingga tingkat keluarga, dengan

dua elemen penting yaitu ketersediaan pangan dan akses-akses setiap individu

terhadap pangan yang cukup (Suryana 2004).

Pembangunan ketahanan pangan memerlukan harmonisasi dari

pembangunan ketiga sub sistem tersebut di atas. Pembangunan sub sistem

ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan keseimbangan

penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor.

Pembangunan sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas

pangan dan menjamin stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan sub

sistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi

pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam. Pembangunan

ketiga sub sistem tersebut dilaksanakan secara simultan dan harmonis dengan

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

6

menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif,

pendekatan sistem usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan,

berkerakyatan dan desentralistis, dan melalui pendekatan koordinasi

(Simatupang 1999 diacu dalam Riadi 2007).

Sumber: Riley,et al. 1999

Gambar 1. Kerangka pikir konseptual ketahanan pangan

Pada Gambar 1 (Riley,et al. 1999) dapat dilihat hubungan antara

ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Sebagaimana

gambaran keterkaitan ketiga sub sistem ketahanan pangan yang telah dijelaskan

di atas, pada Gambar 1 digambarkan hubungan dari ketiga sub sistem

(ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan) beserta

indikator-indikatornya. Ketersediaan dan akses memfasilitasi pasokan pangan

yang stabil dan merata ke seluruh wilayah. Sub sistem ketersediaan ditentukan

dari produksi pangan, cadangan, impor dan bantuan pangan). Pada sub sistem

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

7

akses, pembelian pangan di pasar ditentukan oleh harga pangan dan

pendapatan masyarakat itu sendiri. Sementara itu, adanya bantuan atau subsidi

dari pemerintah ataupun pihak luar juga merupakan penentu kemudahan akses

masyarakat terhadap pangan. Pencapaian ketahanan pangan juga dilihat dari

pemanfaatan pangan. Pada sub sistem pemanfaatan pangan dapat dilihat

pencapaiannya dari konsumsinya (tingkat kecukupan) yang dipengaruhi oleh

kualitas pengasuhan (pengetahuan, praktek budaya setempat dan alokasi waktu)

dan akan berdampak pada status gizi.

Menurut Soehardjo (1998) diacu dalam Fitria (2003) bahwa penyediaan

pangan yang cukup tidak menjamin tidak terjadinya masalah rawan pangan.

Apabila penyediaan pangan mencukupi, maka faktor yang menjadi determinan

terhadap muncul/tidaknya rawan pangan adalah pendapatan dan daya beli.

Akses terhadap pangan secara ekonomi dapat terganggu bila daya beli atau

pendapatan riil masyarakat rendah. Oleh sebab itu dapat saja tetap terjadi

kelaparan dan kekurangan pangan walaupun pangan yang tersedia mencukupi.

Hal ini disebabkan masyarakat tidak mampu membeli/menukarkan daya yang

dimiliki untuk mendapatkan pangan.

Untuk kepentingan perumusan kebijakan dan program ketahanan pangan

maka perlu dilakukan redefinisi yang memuat enam komponen dasar ketahanan

pangan, yaitu (a) pemenuhan kebutuhan gizi untuk hidup aktif dan sehat sesuai

nilai setempat (pola pangan dan religi); (b) Jaminan keamanan pangan sebagai

bagian dari pemenuhan kebutuhan kesehatan; (c) akses pangan secara fisik

(produksi dan ketersediaan pangan); (d) akses pangan secara ekonomi atau

sosial (kemampuan membeli atau memperoleh pangan); (e) akses informasi

tentang jumlah, mutu dan harga pangan; (f) kesinambungan, yaitu terjaminnya

pemenuhan kebutuhan pangan sepanjang waktu (Hardinsyah, et al.1999 diacu

dalam Amadona 2003).

Konsumsi Pangan

Masalah gizi pada manusia selalu merupakan masalah ekologi. Masalah

tersebut merupakan kumpulan berbagai masalah dan interaksi dari berbagai

faktor dalam ekologi masyarakat seperti lingkungan fisik, biologi, sosial, dan

budaya. Jumlah dari variasi makanan dan zat gizi yang diperoleh setiap orang

yang berbeda menurut kelompok umur akan bergantung pada banyak hal, antara

lain kondisi lingkungan seperti iklim, tipe tanah, pengelolaan pertanian, cara

penyimpanan pangan, transportasi dan penjualan. Selain itu, dapat pula

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

8

berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan budaya, termasuk tingkat

ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang berkonsentrasi pada pemerataan

distribusi sumber daya (uang dan lahan produktif), banyaknya populasi, tingkat

pendidikan, dan perubahan populasi seperti terjadinya urbanisasi dan adanya

arus pengungsian (Jelliffe dan Jelliffe 1989).

Menurut Jelliffe& Jelliffe (1989), konsumsi digolongkan ke dalam variabel

ekologi II dimana digambarkan adanya rantai pangan dari produksi pertanian

hingga konsumsi pangan. Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan

yang sebenarnya dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat.Informasi ini

sangat diperlukan untuk menentukan status gizi dan untuk mengusulkan

perbaikan asupannya.

Hasil Riskesdas 2010 menyebutkan bahwa 40,6% penduduk Indonesia

belum dapat memenuhi kebutuhan energi minimal (< 70% kecukupan AKG

2004). Hal tersebut menunjukkan adanya resiko terjadinya rawan pangan di

Indonesia. Berdasarkan hasil olahan BKP (2010) dari data konsumsi Susenas

tahun 2002 sampai tahun 2009 ditunjukkan adanya perkembangan konsumsi

pangan pokok penduduk Indonesia (Tabel 1).

Tabel 1. Perkembangan konsumsi pangan pokok di Indonesia (kg/kap/tahun)

Tahun Beras Jagung Ubi kayu Ubi jalar

2002 115.5 3.4 12.8 2.8 2003 109.7 2.8 12.0 3.3 2004 107.0 3.2 15.1 5.4 2005 105.2 3.3 15.0 4.0 2006 104.0 3.0 12.6 3.2 2007 100.0 4.2 13.5 2.5 2008 104.9 2.9 12.9 2.8 2009 102,2 2,2 9,6 2,4

Sumber: Susenas, BPS, diolah (BKP 2010)

Menurut Baliwati dan Roosita (2004) konsumsi pangan adalah jenis dan

jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau kelompok dengan tujuan

tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi

kebutuhan individu secara biologis, psikologi maupun sosial. Hal ini terkait

dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis,

komunikasi, lambang status ekonomi serta kekuatan dan kekuasaan. Konsumsi

pangan dan gizi cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang

menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia, sebab tingkat

kecukupan gizi seseorang dapat mempengaruhi keseimbangan perkembangan

jasmani dan rohani yang bersangkutan.

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

9

Pola konsumsi pangan dan gizi rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi

ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Pola konsumsi pangan adalah

susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok

orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi pangan berkaitan

dengan masalah gizi dan kesehatan, ukuran kemiskinan, serta perencanaan dan

produksi daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari

kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum

di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah

faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi

(Hardinsyah, et al. 2002)

Menurut Riyadi (1996) pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak

faktor, diantaranya yang terpenting adalah: 1) Ketersediaan pangan, jenis,dan

jumlah pangan dalam pola makanan di suatu daerah tertentu, biasanya

berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam. Bila

pangan tersedia secara kontinyu, maka dapat membentuk kebiasaan makan; 2)

Pola sosial budaya, pola kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam memilih

pangan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi,

bagaimana cara pengolahanya, penyalurannya, penyiapannya, dan

penyajiannya. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor

penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok

orang.

Terdapat hubungan sebab akibat antara konsumsi, akses (exchange),

dan produksi pangan seperti yang digambarkan pada Gambar 2 (Swift 1989

diacu dalam Maxwell dan Frankerberger 1992). Analisis Swift difokuskan pada

peranan investasi, simpanan, dan kepemilikan harta yang pada penentuan

rumah tangga yang rentan kelaparan. Swift mengasumsikan jika suatu rumah

tangga dapat memenuhi kebutuhan pangan dasarnya secara berlebih, maka

kelebihannya akan dialihkan kedalam tiga modal tersebut (investasi, simpanan,

dan kepemilikan harta) yang akan digunakan untuk menutupi kebutuhan rumah

tangga pada masa krisis.

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

10

Sumber: Swift (1989) diacu dalam Maxwell dan Frankerberger (1992)

Gambar 2.Hubungan antara produksi, akses, dan konsumsi

Kesimpulan dari analisis Swift adalah kerentanan rumah tangga terhadap

kelaparan dapat terjadi dengan adanya ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan,

bukan hanya pemenuhan saat ini tapi juga kurangnya modal yang dimiliki oleh

rumah tangga. Rumah tangga yang miskin cenderung memiliki modal yang

paling sedikit dan mereka adalah pihak yang paling rentan terhadap kelaparan.

Menurut Sukandar, et al. (2007)diacu dalam Fitria (2003), tingkat

kecukupan energi dan protein keluarga dapat digunakan untuk mengetahui

tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Apabila seseorang atau kelompok

orang (rumah tangga/keluarga) mengkonsumsi energi dan protein kurang dari

70% angka kecukupan (recommended dietary allowance), maka seseorang atau

kelompok orang (rumah tangga/keluarga) tersebut dikatakan konsumsi

pangannya kurang/tidak cukup dan tergolong rawan pangan (tidak tahan

pangan). Depkes (1996) diacu dalam Fitria (2003) mengklasifikasikan tingkat

kecukupan energi dan protein ke dalam lima golongan, yaitu defisit tingkat berat

(<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal

(90-119%) dan lebih (>120%).

Kecukupan konsumsi tidak hanya dilihat secara kuantitas. Secara

kualitasnya, konsumsi pangan dinilai dari keragaman susunan pangan yang

dikonsumsi. Tujuannya adalah untuk memenuhi kecukupan gizi yang seimbang

dari beraneka ragam pangan yang dikonsumsi. Proporsi setiap jenis pangan

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

11

pangan dalam konsumsi pangan sesuai konsep gizi seimbang dapat dilihat pada

Gambar3.

Sumber: Hardinsyah,et al. (2002)

Gambar 3. Keanekaragaman pangan berdasarkan gizi seimbang

Faktor-Faktor Ekologi yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Wilayah

Karakteristik Wilayah

Menurut Jelliffe dan Jelliffe (1989) indikator demografi wilayah merupakan

salah satu faktor ekologi yang berpengaruh pada status gizi. Demografi wilayah

antara lain jumlah penduduk menurut usia maupun jenis kelamin serta

penyebarannya di suatu wilayah, kondisi geografi, serta perubahan jumlah

penduduk dengan adanya kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk.

Pembagian karakteristik wilayah yang umum digunakan adalah perdesaan dan

perkotaan (BPS 2007).

Berdasarkan beberapa penelitian di dunia, konsumsi pangan per kapita

penduduk di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan tanpa

memperhitungkan pendapatan maupun alokasi pengeluarannya. Hal ini tidak

berarti pemenuhan zat gizi masyarakat perkotaan tidak sebaik masyarakat

perdesaan karena terdapat perbedaan pada kebutuhan energi, harga kalori, dan

komposisi makanannya (Braun, et al. 1993). Dapat diasumsikan bahwa

pekerjaan masyarakat perdesaan cenderung membutuhkan banyak energi

dibandingkan pekerjaan masyarakat perkotaan. Oleh karena itu kebutuhan

energi masyarakat perdesaan cenderung lebih besar dan makanan masyarakat

perdesaan seringkali lebih banyak didominasi pangan pokok (sumber energi

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

12

yang yang relatif murah) dibandingkan makanan masyarakat perkotaan (Bouis

1990b; Hussain 1990 diacu dalam Braun, et al. 1993).

Menurut BPS (2007), untuk menentukan suatu wilayah termasuk

perdesaan dan perkotaan digunakan suatu indikator komposit (indikator

gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada skor atau nilai dari tiga buah

variabel yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan

akses fasilitas umum. Penentuan skor suatu daerah adalah seperti Tabel 2.

Kolom (1) menunjukkan variabel/ klasifikasi yang digunakan, dan kolom (2)

menunjukkan nilai skor dari setiap variabel.

Tabel 2. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS 2007) Variabel/ Kllasifikasi Skor Variabel/ Kllasifikasi Skor

Total Skor Skor Minimum Skor Maksimum

2 26

B) Sekolah Dasar

Ada atau <=2,5 km

> 2,5 km

1 0

1. Kepadatan Penduduk/ km2

< 500 500-1249 1250-2499 2500-3999 4000-5999 6000-7499 7500-8499 >=8500

1 2 3 4 5 6 7 8

C) Sekolah Menengah Pertama

Ada atau <=2,5 km

> 2,5 km

1 0

D) Sekolah Menengah Umum

Ada atau <=2,5 km

> 2,5 km

1 0

E) Bioskop

Ada atau <=5 km

> 5 km

1 0

2. Persentase Rumah Tangga Pertanian

>= 70,00 50,00-69,99 30,00-49,99 20,00-29,99 15,00-19,99 10,00-14,99 5,00-9,99 <5,00

1 2 3 4 5 6 7 8

F) Pasar/Pertokoan

Ada atau <=2 km

> 2 km

1 0

G) Rumah Sakit

Ada atau <=5 km

> 5 km

1 0

H) Hotel/ Billiar/ Diskotek/ Panti pijat/ Salon

Ada

Tidak ada

1 0

3. Akses Fasilitas Umum 0,1,2,…10

I) Persentase Pumah Tangga Telepon

> =8,00

< 8,00

1 0

A) Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK)

Ada atau <=2,5 km

> 2,5 km

1 0

J) Persentase Rumah Tangga Listrik

>= 90,00

< 90,00

1 0

Cara perhitungan skor adalah sebagai berikut:

a. Variabel kepadatan penduduk mempunyai skor antara 1-8, satu bagi

daerah dengan kepadatan kurang dari 500 orang per km2, dua bagi

daerah dengan kepadatan 500-1249 orang per km2 dan seterusnya

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

13

sampai dengan 8 bagi daerah dengan kepadatan lebih besar atau sama

dengan 8500 orang per km2.

b. Skor persentase rumah tangga pertanian berkisar 1-8, satu bila daerah

memiliki 70 persen atau lebih rumah tangga tani, dua bila 50-69,99

persen, dan seterusnya sampai 8, bila daerah memiliki persentase rumah

tangga tani kurang dari 5.

c. Variabel akses fasilitas umum merupakan kombinasi antara keberadaan

dan akses untuk mencapai fasilitas perkotaan.

d. Skor untuk akses fasilitas umum adalah 1 dan 0. Daerah yang tidak

memiliki fasilitas perkotaan tetapi jaraknya relatif dekat dengan fasilitas

perkotaan dan atau mudah mencapainya, maka daerah tersebut

dianggap setara dengan daerah yang memiliki fasilitas dan diberi skor 1,

dengan pertimbangan mudahnya akses kepada perkotaan tersebut

serupa dengan memiliki.

e. Jumlah skor ketiga variabel tersebut digunakan untuk menentukan

apakah suatu daerah termasuk daerah perkotaan atau perdesaan.

Daerah dengan skor 9 atau kurang digolongkan sebagai daerah

perdesaan, sedangkan daerah dengan skor gabungan mencapai 10 atau

lebih digolongkan sebagai daerah perkotaan.

Ketersediaan Pangan

Pembangunan ketahanan pangan sesuai dengan amanat UU No.7 tahun

1997 tentang pangan. Ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan

ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup,

mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap

individu (Suryana 2001).

Menurut Soetrisno (1995) diacu dalam Marwati (2001) bahwa dua

komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses

terhadap pangan. Tingkat ketahanan pangan suatu negara/ wilayah dapat

bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan

pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk

akses pangan

Produksi pangan merupakan rantai awal pada rantai pangan WHO 1976.

Rantai pangan WHO menggambarkan alur pangan sejak diproduksi hingga

dikonsumsi yang nantinya akan menentukan status gizi (Jelliffe dan Jelliffe 1989).

Diantara rantai pangan tersebut terdapat variabel ketersediaan pangan. Menurut

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

14

DKP (2006) ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu 1)

produksi wilayah, 2) impor pangan dan 3) pengelolaan cadangan pangan.

Dengan potensi sumber daya yang beragam, Indonesia mempunyai peluang

besar untuk meningkatkan produksi pangan. Impor pangan dipengaruhi oleh

beberapa hal antara lain: 1) kebutuhan dalam negeri yang amat besar, 2) harga

dipasar internasional yang rendah, 3) produksi dalam negeri yang tidak

mencukupi dan 4) adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir. Impor

pangan harus dilakukan selama kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari

produksi nasional. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketergantungan impor, maka

harus meningkatkan produksi pangan nasional sehingga dapat mencapai

swasembada pangan artinya mampu mencukupi kebutuhan pangan secara

mandiri. Upaya peningkatan produksi pangan ditempuh dengan cara intensifikasi

dan ekstensifikasi (Husodo&Muchtadi 2004 diacu dalam Amadona 2003).

Pada Gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa ketersediaan pangan yang

salah satu komponennya adalah produksi pangan berpengaruh terhadap

konsumsi pangan. Ketersediaan pangan menunjukkan jumlah pangan yang

tersedia untuk dikonsumsi. Ketersediaan pangan yang cukup paling tidak

menjadi jaminan untuk tercapai pula kecukupan konsumsinya, meskipun ada

variabel antara yaitu akses sampai pada titik pangan dikonsumsi oleh mayarakat.

Berkaitan dengan konsumsi pangan di perdesaan dan perkotaan, pengaruh

wilayah pada ketersediaan pangan dan asupannya tidak sepenuhnya berubah.

Pada masyarakat miskin yang bekerja pada bidang pertanian, masyarakat miskin

perkotaan mungkin lebih rentan tidak tahan pangan dibandingkan masyarakat

miskin perdesaan. Akan tetapi, berkurangnya area penduduk dan lahan di

perdesaan karena adanya pembangunan wilayah dapat berpengaruh pada

ketidaktahanan pangan (Braun & Kennedy 1986 diacu dalam Braun,et al.1993).

Dampak dari perubahan musim juga harus dipertimbangkan, masyarakat miskin

perkotaan lebih kecil terkena dampak perubahan musim terhadap ketersediaan

pangan dan asupan pangan dibandingkan masyarakat miskin perdesaan.

Daya Dukung Pangan Wilayah

Carrying capaity dari ekosistem didefinisikan sebagai jumlah maksimum

populasi dari suatu spesies yang dapat didukung oleh suatu wilayah tanpa

mengurangi kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung spesies yang sama

pada masa yang akan datang, hal ini juga berlaku untuk populasi manusia.

Namun manusia memiliki kemampuan untuk memodifikasi lingkungan dan

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

15

menciptakan teknologi untuk memproduksi pangan dan energi (Richard 2002

diacu dalam Absari 2007).

Human carrying capacity dapat diterjemahkan sebagai tingkat maksimal

penggunaan sumberdaya alam dan akibat yang ditimbulkan dimana sumberdaya

tersebut masih bisa digunakan secara berkelanjutan di masa yang akan datang

tanpa mempengaruhi keselarasan dan kemampuan produksinya. Pada masa

awal perkembangan konsep mengenai human carrying capacity, menurut Erlich

(1971) dan Holdren (1974) diacu dalam Kurnia (2005) menyebutkan bahwa

akibat yang ditimbulkan dari adanya manusia pada suatu wilayah adalah

sejumlah populasi, adanya kebutuhan konsumsi dan teknologi untuk memenuhi

kebutuhan tersebut. Poin penting yang tersirat adalah besarnya sumberdaya

yang mampu diberikan wilayah untuk mendukung sejumlah sedikit penduduk

dengan berkualitas atau penduduk dalam jumlah yang lebih besar pada tingkat

yang beragam. Namun perkembangan saat ini, untuk memperhitungkan jumlah

sumberdaya alam yang dibutuhkan lebih mengacu pada kebutuhan lahan yang

produktif. Pertanyaan yang berkembang saat ini bukan lagi berapa jumlah

populasi penduduk yang dapat didukung secara berkelanjutan oleh sebuah

wilayah, tetapi menjadi berapa banyak sumberdaya alam (lahan produktif dan air

bersih) yang dibutuhkan pada berbagai macam ekosistem untuk mendukung

populasi wilayah tersebut pada tingkat konsumsi yang ideal dalam jangka waktu

yang tidak terbatas.

a. Daya Dukung Lahan

Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan

cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan

penduduk terhadap lahan. Kemudian di daerah perladang berpindah kenaikan

kepadatan penduduk juga meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan

karena naiknya kebutuhan akan pangan akibatnya diperpendeknya masa

istirahat lahan (Soemarwoto 2001 diacu dalam Tola, et al. 2007). Selanjutnya,

Siwi (2002) diacu dalam Tola, et al. (2007) menyatakan bahwa meningkatnya

kepadatan penduduk, daya dukung lahan pada akhirnya akan terlampaui. Hal ini

menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah tidak mampu lagi mendukung jumlah

penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari,et al. 2005 diacu

dalam Tola, et al. 2007).

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

16

Rumus daya dukung lahan murni (Tola, et al. 2007):

Dimana:

K = daya dukung lahan (orang/ha)

ASi = luas lahan yang ditanami dengan jenis tanaman Si (ha)

Ysi = produksi bersih tanaman pangan Si (kkal/tahun)

Csi = tingkat konsumsi untuk masing- masing jenis tanaman pangan

dalam menu penduduk (%kkal/tahun)

R = kebutuhan energi rata-rata per orang (kkal/orang/tahun)

Ada dua ukuran yang dapat digunakan untung memperhitungkan human

carrying capacity: yaitu biophysical carrying capacity dan sosial carrying capacity.

Biophysical carrying capacity adalah jumlah maksimum populasi manusia yang

dapat didukung oleh sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah tanpa

penggunaan teknologi. Sedangkan sosial carrying capacity adalah biophysical

carrying capacity yang berkelanjutan dengan melakukan menejemen sosial

termasuk diantaranya pola konsumsi dan perdagangan (Richard 2002 diacu

dalam Absari 2007).

Untuk memperkiraan besarnya regional carrying capacity dapat

menggunakan ketersediaan suatu sumberdaya baik secara tunggal maupun

kombinasi dari beberapa sumberdaya. Sumberdaya yang digunakan harus

dibedakan antara yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui.Energi

matahari, air bersih, lahan yang dipergunakan untuk pertanian, kayu untuk bahan

bangunan dan beberapa jenis hewan (untuk transportasi, makanan, dan obat-

obatan) termasuk sumberdaya yang dapat diperbarui. Produksi pangan juga

dapat digunakan untuk memperkirakan regional carrying capacity, yaitu dengan

mengukur total pangan yang dapat diproduksi kemudian dibagi dengan tingkat

kebutuhan konsumsi pangan standar per orang. Apabila menggunakan metode

yang lebih rumit maka akan mempertimbangkan perubahan pada produksi

pangan dengan semakin meningkatnya teknologi, distribusi pangan, variasi pola

konsumsi penduduk, dan ketersedian sumberdaya yang lain seperti bahan bakar

minyak (Richard 2002 diacu dalam Absari 2007).

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

17

b. Daya Dukung Gizi

Nutritional Carrying capacty dari wilayah adalah jumlah maksimum

manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat

tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk

mendukung manusia atau penduduk pada masa yang akan datang. Inovasi

budaya dan teknologi dapat meningkatkan nutritional carrying capacity, namun

dalam kurun waktu yang cukup lama apabila inovasi tersebut menyebabkan

kerusakan sumberdaya alam esensial yang tidak tergantikan maka hal tersebut

pada akhirnya akan menurukan nutritional carrying capacity dari wilayah.

Meskipun faktor biofisik merupakan faktor pembatas utama dari nutritional

carrying capacity, akan tetapi, tekanan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor

yang menentukan sampai dimana nutritional carrying capacity suatu wilayah

dapat terwujud (Paul, et al. 1993 diacu dalam Absari 2007). Untuk itu diperlukan

suatu sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) pada suatu

wilayah agar produksi pangan bagi kepentingan konsumsi penduduknya dapat

terwujud secara berkesinambungan.

Besar Keluarga; Kepadatan Penduduk

Menurut Jelliffe dan Jelliffe (1989), salah satu indikator yang berkaitan

dengan jumlah dan variasi makanan yang dikonsumsi oleh penduduk adalah

banyaknya populasi yang termasuk dalam karakteristik demografi wilayah.

Gambaran banyaknya populasi pada suatu wilayah dapat dilihat dengan sebuah

rasio jumlah penduduk dengan luas wilayahnya yang disebut kepadatan

penduduk (jiwa/km2). BPS 2007 mengklasifikasikan kepadatan penduduk di

Indonesia menjadi empat kategori; kepadatan penduduk sangat tinggi (>1000

jiwa/km2), kepadatan penduduk tinggi (501-1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk

sedang (101-500 jiwa/km2), dan kepadatan penduduk jarang (<101 jiwa/km2).

Teori Malthus menyebutkan bahwa pertumbuhan produksi pangan seperti

deret hitung sedangkan pertumbuhan manusia seperti deret ukur. Berdasarkan

teori tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan akan pangan lebih cepat meningkat

dibandingkan ketersediaannya. Jelliffe dan Jelliffe (1989) menyatakan bahwa

meskipun penelitian terkini menunjukkan bahwa produksi pangan dunia dapat

mencukupi kebutuhan penduduk dunia akan tetapi terdapat faktor pembatas.

Adanya wilayah yang kekurangan, yaitu kurangnya akses pangan di negara maju

karena kemiskinan dan ketiadaan lahan sementara itu di saat yang sama terjadi

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

18

peningkatan jumlah populasi yang artinya meningkat pula jumlah penduduk yang

harus dipenuhi kebutuhan pangannya.

Jumlah penduduk berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan daerah

yaitu pendapatan per kapita daerah. Pendapatan per kapita akan berpengaruh

pada pengeluaran per kapita-nya. Menurunnya pengeluaran perkapita akan

mempengaruhi pemilihan jenis bahan pangan untuk konsumsi keluarga (Immink

1998 diacu dalam Sulistiyowati 2005).

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata

pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang

sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan pangannya jika yang

harus diberi makan jumlahnya lebih sedikit. Pangan yang tersedia untuk satu

keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari

keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada

keluarga besar tersebut (Suhardjo 1989). Menurut UNICEF diacu dalam Gerster

dan Bentaya (2005) salah satu indikator ketahanan pangan dan gizi lingkup

nasional dan regional pada domain ketersediaan pangan adalah jumlah populasi

penduduk. Semakin besar tingkat kepadatan penduduk, maka lahan kosong

untuk pertanian semakin sempit sehingga dapat menurunkan jumlah produksi

pangan dan secara tidak langsung dapat berpengaruh pada konsumsi pangan.

Seperti yang dijelaskan pada Jelliffe dan Jelliffe (1989) bahwa banyaknya

populasi merupakan salah satu indikator yang berhubungan dengan pangan

yang diperoleh oleh penduduk.

Faktor Ekonomi

a. Tingkat Kemiskinan

Bappenas (2004) diacu dalam Harniati (2008) mendefinisikan kemiskinan

sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan

perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan

dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat

desa antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,

pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan

lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan

hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, bagi perempuan

maupun laki-laki.

Salah satu indikator ekonomi menurut UNICEF diacu dalam Gerster dan

Bentaya (2005) yang digunakan untuk menentukan ketahanan pangan dan gizi

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

19

pada tingkat nasional dan wilayah adalah persentase penduduk dibawah garis

kemiskinan (tingkat kemiskinan wilayah). Tingkat kemiskinan menunjukkan

pemerataan distribusi hasil pembangunan di suatu wilayah. Kemiskinan akan

menurunkan kualitas hidup masyarakat dan menyebabkan antara lain tingginya

beban sosial ekonomi masyarakat; rendahnya kualitas dan produktivitas sumber

daya manusia; rendahnya partisipasi aktif masyarakat; menurunnya ketertiban

umum dan ketentraman masyarakat; merosotnya kepercayaan terhadap

pemerintah dalam hal pelayanan kepada masyarakat; dan kemungkinan

merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudhoyono diacu dalam Harniati

2008). Hal itu terjadi karena kemiskinan telah membuat jutaan anak tidak dapat

mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan,

kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan

public, kurangnya lapangan kerja, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan

terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah,

kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memiliki keterbatasan memenuhi

kebutuhan pangan, sandang dan papan (Scott 1981; Sahdan 2007 diacu dalam

Ulfani 2010).

Kemiskinan pendapatan atau pengeluaran merujuk pada kemiskinan

absolut secara materiil, mewakili mereka yang mempunyai pendapatan di bawah

garis kemiskinan yang telah ditentukan sebelumnya (Irawan 2004 diacu dalam

Ulfani 2010). Parameter yang digunakan untuk menentukan garis kemiskinan

biasanya adalah pendapatan dan tingkat konsumsi. Penentuan garis kemiskinan

bervariasi tergantung pada waktu dan kondisi masyarakat. Pada masyarakat

miskin, kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pertama dalam pengalokasian

pendapatannya (Gerster dan Bentaya 2005).

b. Pendapatan

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan suatu gambaran

kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan output pada suatu waktu tertentu.

PDRB dihitung atas dasar harga berlaku serta atas dasar harga konstan (BPS

2005).

PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan kemampuan

sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Suatu daerah yang

laju pertumbuhan ekonominya baik, tentu memiliki PDRB yang besar. PDRB

berasal dari Sembilan sektor usaha yang terdiri atas: 1) pertanian, 2)

pertambangan dan penggalian, 3) industri pengolahan, 4) listrik, gas dan air

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

20

bersih, 5) bangunan (konstruksi), 6) perdagangan, hotel dan restoran, 7)

pengangkutan dan komunikasi, 8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan,

9) jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah (BPS 2005).

Menurut UNICEF, PDRB/kapita merupakan salah satu indikator pada

penentuan ketahanan pangan dan gizi wilayah maupun nasional pada sektor

ekonomi. Yaitu dengan membagi PDRB wilayah dengan jumlah penduduk

tengah tahun pada kurun waktu yang sama. PDRB/kapita menggambarkan rata-

rata pendapatan per kapita penduduk di suatu wilayah dalam waktu satu tahun

(BPS 2008).

Pendapatan sebagai faktor ekonomi mempunyai pengaruh terhadap

konsumsi pangan. Zulfianto (1990) diacu dalam Ratna (2005) menyatakan

bahwa kelompok miskin yang pengeluaran absolutnya untuk makanan sudah

sangat rendah, jika terjadi peningkatan pendapatan, maka proporsi untuk makan

pun meningkat. Menurut Soehardjo (1998) kenaikan tingkat pendapatan akan

menyebabkan perubahan dalam susunan pangan yang dikonsumsi. Namun

kadang-kadang peningkatan pendapatan tidak menyebabkan jenis pangan yang

dikonsumsi menjadi beragam, tetapi justru yang sering terjadi adalah pangan

yang dibeli harganya lebih mahal (Hardinsyah, et al. 2002).

Tingkat pendapatan keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan

yang diperoleh. Pada tingkat pendapatan rendah sumber energi utama diperoleh

dari serealia, umbi-umbian dan sayuran. Kenaikan pendapatan menyebabkan

kenaikan variasi konsumsi makanan baik yang berasal dari hewan, gula, lemak,

minyak, dan makanan kaleng (Soehardjo 1998).

Tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi pangan atau jenis

pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian

pendapatan tambahannya untuk pangan, sedangkan pada orang kaya porsi

pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi pendapatan yang dibeli

untuk jenis pangan serealia akan menurun tetapi untuk pangan yang berasal dari

susu akan bertambah jika pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi

pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaannya

termasuk untuk buah-buahan, sayur, dan jenis pangan lainnya. (Berg 1986)

Pendidikan

Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah

pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam

menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga. Berg (1986)

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka_ I11sap

21

menambahkan, tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi

kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi

diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi akan lebih baik.

Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau

jenis pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Di Indonesia,

Pemerintah mencetuskan gerakan wajib belajar 9 tahun (hingga SMP) sehingga

penduduk yang tidak dapat memenuhi wajib belajar 9 tahun dapat digolongkan

dalam penduduk dengan tingkat pencapaian pendidikan rendah. Terdapat

hubungan positif antara pendidikan dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan

pengasuhan anak. Atmarita dan Fallah (2004) mengemukakan bahwa tingkat

pendidikan sangat berpengaruh pada perubahan sikap dan perilaku hidup sehat.

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau

masyarakat untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku dan

gaya hidup sehari-hari khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Sedangkan

menurut Syarief (1988) diacu dalam Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa

tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk

memahami aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi.