Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Pemidanaan
1) Pengertian Hukum pidana
“Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Secara literlijk, kata “straf”
artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah
perbuatan”.28 Penulis mengutip penulisan ini karena perlu adanya
penjelasan secara perkata mengenai tindak pidana dan pembahasan
penulis berkaitan dengan tindak pidana tersebut,yang akan dijabarkan
bersama unsur-unsur tindak pidana makar yang ada pada rumusan
masalah penulis.
“Moeljatno mengatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar aturan tersebut.”29 Seperti yang disebutkan oleh Moelijatno
tindak pidana itu adalah sesuatu yang dilarang oleh aturan yang dibuat
atau sesuatu yang tidak boleh dilanggar oleh orang-orang yang
menganut aturan tersebut sehingga apabila dilanggar akibatnya ada
sanksi atau ancaman pidana yang diberikan kepada pelanggar.
28 Lani Sujiagnes Panjaitan. Juni 2016. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak
Pidana Makar Oleh Organisasi Papua Merdeka (Opm) Di Kabupaten Jayawijaya. USU Law
Jurnal. Vol.4.No.3. Hal. 91. 29Ibid
18
Penulis mengutip pendapat Moelijatno mengenai tindak pidana
sebagai dasar untuk menjelaskan bahwa pemidanaan harus berdasar
atau sesuai dengan perbuatan yang dilakukan sebagaimana diatur dalam
undang-undang atau peraturan. Definisi tindak pidana tersebut juga
berkaitan dengan pembahasan penulis yang pertama yaitu mengenai
unsur-unsur tindak pidana Makar sehingga perlu adanya teori-teori ahli
yang mendukung, definisi tindak pidana juga untuk membantu penulis
dalam menganalisis unsur-unsur tindak pidana makar terhadap
keutuhan wilayah negara kesatuan republik Indonesia dan untuk
mengetahui apakah sudah termasuk dalam tindak pidana pada pasal 106
pada pembahasan penulis.
Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-
jawabankan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Dengan batasan seperti ini, maka menurut simons, untuk adanya
suatu tindakan pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai
berikut :
a) Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif
(adanya perbuatan) maupun perbuatan negatif (tidak
berbuat).
b) Diancam dengan pidana
c) Melawan hukum
d) Dilakukan dengan kesalahan
e) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab
Dengan penjelasan sebagai berikut maka telah melekat pada
perbuatan pidana. Simons tidak memisahkan antara criminal Act
dan criminal responsibility”.30
30Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perfektif Pembaharuan,
cetakan ke-3. Malang. UMM press. Hal 93.
19
Seperti yang disebutkan oleh Simons bahwa tindak pidana itu
berkaitan dengan perbuatan manusia baik perbuatan yang sudah
dilakukan maupun tidak dilakukan dalam hal ini penulis berpendapat
yang dimaksud tidak dilakukan adalah kelalaian, dimana perbuatan
tersebut sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan atau aturan
tetrulis yang sifatnya melawan hukum atau adanya kesalahan dari
perbuatan tersebut. Namun dalam hal ini orang yang melakukan
perbuatan tersebut haruslah orang yang mampu bertanggungjawab yang
artinya seseorang tersebut sadar dan menyadari perbuatannya. Penulis
sepakat dengan apa yang sampaikan oleh Tongat bahwa Simons tidak
memisahkan antara criminal Act dan criminal responsibility atau
perbuatan pidana dan pertanggungjawabnnya.
Pada penulisan ini penulis menggunakan teori Simons mengenai
pengertian tindak pidana karena penulisan tersebut berkaitan dengan
rumusan masalah penulis yaitu unsur-unsur pasal 106 dan sistem
pemidanaannya, untuk criminal act harus terpenuhi sesuai pasal makar
terhadap keutuhan wilayah negara dan sebelum menjelaskan
pemidanaan penulis harus menganalisis mengenai kemampuan
responsibility atau kemampuan bertanggungjawab dari seorang anak.
2) Pengertian Sistem Pemidanaan
Sistem pemidanaan yang struktural atau fungsional,
pertanggungjawaban dan pembinaan tidak hanya tertuju secara sepihak
dan fragmentair pada pelaku kejahatan, tetapi lebih ditekankan pada
20
fungsi pemidanaan yang bersifat totalitas dan struktural. Artinya,
pemidanaan tidak hanya berfungsi untuk mempertanggungjawabkan
dan membina/ mencegah pihak-pihak lain yang secara struktural/
fungsional mempunyai potensi besar untuk terjadinya kejahatan serta
berfungsi pula untuk memulihkan atau mengganti akibat-akibat/
kerugian yang timbul di diri korban.31
Pengertian sistem pemidanaan dapat mencakup pengertian yang
sangat luas L.H.C Hulsman pernah mengemukakan bahwa
sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana
dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction
and punishmen). 32
Pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu
proses pemberian pidana sebagaimana diatur dalam peraturan
pemidanaan oleh L.H.C Hulsman, maka dapat dikatakan bahwa sistem
pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan
yang mengatur bagaimana hukum pidana yang sudah diatur itu
ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret, sehingga seseorang
dijatuhi sanksi atau hukuman pidana. Ini berarti semua aturan
perundang-undangan mengenai hukum pidana subtantif/materil.
Hukum pidana formal dan hukum tata pelaksanaan pidana dapat dilihat
sebagai satu-kesatuan sistem pemidanaan.
Pengertian sistem pemidanaan sangat penting bagi penulisanini
karena akan menjadi rujukan penulis dalam menganalisis dan sebagai
31Barda Nawawi. 1998. Opcit.. Hal. 51-52 32Barda Nawawi. 2010. Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan penyusunan konsep
KUHP baru cetakan ke-2. Jakarta. Bunga Rampai. Hal. 115
21
rujukan penulis juga dalam batasan-batasan analisis penulis, sebelum
menganalisis rumusan masalah tentang sistem pemidanaan anak
menurut KUHP Indonesia, penulis akan mencantumkan pengertian
sistem pemidanaan terlebih dahulu dan nantinya akan menjadi tolak
ukur dalam komparasipemidanaan dari masing-masing negara baik
Thailand maupun Indonesia.
3) Teori pemidanaan
Penal policy tersebut merupakan salah satu strategi untuk
menanggulangi tindak pidana (kebijakan kriminal/criminal policy),
selain kebijakan nonhukum pidana (nonpenal policy). Perbedaanaya
lebih pada bahwa pendekatan penal policy lebih bersifat reaktif dan
represif, sedangkan pendekatan nonpenal policy lebih bersifat
antisipatif dan preventif.33
Bentuk pemidanaan pasti ada tujuan yang hendak dicapai baik
sebagai antisipatif maupun preventif, sehingga penulis mengutip
kutipan diatas untuk mendukung penulisan penulis untuk menarik
kesimpulan pada sistem pemidanaan dan penulis dapat melihat tujuan
dari pembuatan sistem pemidanaan anak dari kedua negara tersebut
baik Indonesia maupun negara Thailand.
Banyak perdebatan antara pakar yang akhirnya memunculkan 3
teori pemidanaan yaitu :
33Ibid
22
1. Teori imbalan (absolute/ vergeldingstheorie;)
Teori ini menyebutkan dasar hukuman/ pemidanaan harus di
cari dari kejahatan yang dilakukan oleh kejahatan itu sendiri
karena kejahatan tersebut telah menimbulkan penderitaan bagi
orang lain, sebagai imbalan atau balasannya si pelaku kejahatan
harus diberikan penderitaan juga, penulis lebih setuju jika disebut
dengan teori pembalasan.34
Beberapa pakar yang menganut teori ini yaitu :
a. Immanuel kant
Imanuel Kant menganut teori imbalan seperti yang
disebutkan sebagai berikut :
Bahwa dasar hukum pemidanaan harus di cari dari
kejahatan itu sendiri, yang telah menimbulkan penderitaan
pada orang lain, sedangkan hukuman itu merupakan
tuntutan mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan, imanuel
menyebutkan hukuman adalah suatu pembalasan yang
etis.35
Penulis dapat menarik kesimpulan dari pendapat Imanuel
Kant, bahwa pemidaan dilakukan atas dasar kesalahan atau
perbuatan seseorang yang menyebabkan penderitaan terhadap
orang lain dan hukuman yang diberikan kepada pelaku itu
harus karena sebagai balasan atas perbuatannya.
34Leden Marpaung. 2009. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana cetakan keenam. Jakarta.
Sinar Grafika. Hal 105 35Ibid.
23
b. Herbart
“Kejahatan menimbulkan perasaan tidak enak pada
orang lain untuk melenyapkan perasaan tidak enak tersebut,
pelaku kejahatan harus diberi hukuman sehingga masyarakat
merasa puas”.36
2. Teori maksud atau tujuan ( relative/ doeltheorie)
Teori ini menyebutkan hukuman akan dijatuhkan untuk
melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni
memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan
itu tujuan hukuman harus dipandang secara ideal. Selain dari itu
tujuan dari hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.
Namun terdapat perbedaan dalam hal prevensi37, yaitu :
a. Ada yang berpendapat agar prevensi ditujukan kepada umum
yang disebut prevensi umum (algemene preventie). Hal ini dapat
dilakukan dengan ancamana hukuman, penjatuhan Hukuman,
dan pelaksanaan eksekusi hukuman.
b. Ada yang berpendapat agar prevensi ditujukan kepada orang
yang melakukan kejahatan itu (speciale preventie).
Selain itu timbul perbedaan pendapat mengenai cara
mencegah kejahatan.
Adapun acara mencegah kejahatan tersebut di antaranya
dengan cara :
1) Menakut-nakuti, yang ditujukan terhadap umum.
36Ibid. Hal 106 37Ibid
24
2) Memeperbaiki pribadi si pelaku atau penjahat agar
menginsafi atau tidak mengulangi perbuatannya.
3) Melenyapkan orang yang melakukan kejahatan dari
pergaulan hidup .38
Sehingga muncul teori relatif modern yang di prakarsai oleh
Frans Von Liszt, Van Hamel, dan D. Simons mereka mengutarakan
bahwa menjamin ketertiban, negara menentukan berbagai peraturan
yang mengandung larangan dan keharusan. Peraturan itu akan
mengatur hubungan antar individu di dalam masyarakat, membatasi
hak perseorangan agar mereka hidup aman dan tenteram, dan negara
menjamin agar peraturan tersebut di patuhi masyarakat dengan
hukuman terhadap pelanggarannya.39.
3. Teori gabungan (verenigingstheorie)
Teori gabungan adalah gabungan dari teori yang disebutkan
sebelumnya yaitu teori imbalan dan teori masud dan tujuan, teori
tersebut mengajarkan penjatuhan hukuman adalah untuk
mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan
memperbaiki pribadi penjahat.40
Di sebukan dalam bukunya Leden Marpaung tentang asas-
teori-praktik hukum pidana menyebutkan ada 3 tujuan
pemidanaan yaitu :
a. Menjerakan penjahat
b. Membinasakan atau membuat tak berdaya lagi si penjahat
c. Memperbaiki pribadi si penjahat.41
38Ibid 39Ibid. Hal, 106-107 40Ibid . hal, 107 41Ibid
25
Teori-teori pemidanaan ini dapat dijadikan rujukan dan menjadi
acuan penulis untuk mengetahui penerapan teori tersebut dalam sistem
pemidanaan terhadap anak yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
Sehingga nanti dapat detahui sistem pemidanaan tersebut lebih condong
ke teori pembalasan, teori maksud dan tujuan atau teori gabungan.
Kaitannya dengan tujuan pemidanaan, KUHP tidak
mencantumkan dengan tegas dalam rumusannya mengenai tujuan dari
dijatuhkannya suatu sanksi pidana.42 Oleh karena itu, jika ingin
mengetahui tujuan pemidanaan dalam KUHP, salah satunya dengan
mempelajari historitas dari KUHP tersebut, terutama di negeri Belanda.
Pada 1886 di negeri Belanda setelah adanya Wetboek van
Strafrecht, timbul suatu gerakan menuju kemenangan rasional
kriminalitas dengan mempergunakan hasil pemikiran baru yang
diperoleh dari sosiologi, antropologi dan psikologi. Pokok-pokok
pikiran dari gerakan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tujuan pokok hukum pidana adalah pertentangan terhadap
perbuatan jahat yang dipandang sebagai gejala masyarakat.
2) Pengetahuan hukum pidana dan perundang-undangan pidana
memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologi.
3) Pidana merupakan salah satu alat ampuh yang dikuasai negara
dalam penentangan kejahatan, dan bukan satu-satunya alat,
tidak dapat diterapkan tersendiri, tetapi dengan kombinasi,
melalui tindakan sosial, khususnya kombinasi dengan tindakan
preventif”.43
Kutipan tersebut akan menjadi rujukan penulis dalam
pembahasan tujuan pemidanaan dalam sistem pemidanaan terhadap
anak terutama KUHP Indonesia dan akan menjadi rujukan juga dalam
42Eva Achjani Zulfa. 2007. Menakar Kembali Keberadaan Pidana Mati (Suatu
Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia). dalam Lex Jurnalica, Vol.4 No. 2. hal . 95. 43Syaiful Bakhri. 2010. Pengaruh Aliran-Aliran Falsafat Pemidanaan dalam
Pembentukan Hukum Pidana Nasional. Jurnal Hukum No. 1 Vol. 18 Januari. Hal . 141.
26
pembahasan mengenai sistem pemidanaan anak dalam undang-undang
peradilan pidana anak.
4) Konsep pemidanaan menurut KUHP Indonesia
Penulisan ini membahas mengenai Sistem Pemidanaan di luar
KUHAP yaitu mengenai sistem pemidanaan anak, akan tetapi jika
dalam unsur-unsur perbuatannya masih terdapat dalam KUHP
Indonesia yaitu dalam pasal 106, karena hukum materil dan formil
berkaitan maka unsur-unsur perbuatannya melihat KUHP dan untuk
pemidanaannya menggunakan undang-undang peradilan pidana anak.
Sistem pemidanaan yang terdapat di luar Undang-Undang Hukum
acara Pidana juga menganut sistem pemidanaan alternatif dan sistem
pemidanaan kumulatif. Namun perlu dipahami juga mengenai Jenis
hukuman atau ancaman pidana dalam KUHP untuk perbandingan jenis
pidana dalam pemidanaan anak dan orang dewasa.44
Adapun jenis pemidanaan yang disebutkan dalam Pasal 10
KUHP yaitu :
- Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
5. Pidana tutupan (terjemahan BPHN).
- Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim45
44Rezie Novian Putra. 2014. Perbandingan Pelaksanaan Ketentuan Pidana Mati Menurut
Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Thailand. Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
Tanpa halaman. 45Lihat pasal 10 KUHP Indonesia Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang
Peraturan Hukum Pidana
27
Tujuan penulis mengutip pidana tambahan tersebut untuk
membantu penulisan dalam rumusan masalah kedua yaitu
mengenai sistem pemidanaan sehingga nantinya memudahkan
penulis dalam membandingkannya dengan jenis pidanamenurut
KUHP Thailand sebelum penulis masuk pada pemidanaan
terhadap anak yang melanggar pidana makar terhadap keutuhan
wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
5) Konsep pemidanaan menurut KUHP Thailand
Dalam Penal Code of Thailand,Pasal mengenai jenis-jenis
pidana diatur dalam Pasal 18, yang berbunyi sebagai berikut :
Section 18 : Punishments to be imposed in a person committing an
offence are as follows:
a. Death
b. Imprisonment
c. Confinement
d. Fine
e. Forfeiture of Property
The capital punishment and life imprisonment shall be not
enforced to offender less than eighteen years of age.
In case of offender less than eighteen years of age has committed
the offence to be punished with death or imprisoned for life, the
punishment, as aforesaid. shall be deemed as commuted as
imprisoned for fifty years.
Pasal 18 : Jenis Pidana yang dikenakan pada seseorang yang
melakukan Tindak Pidana adalah sebagai berikut:
a. Pidana Mati
b. Penjara
c. Kurungan
d. Denda
e. Penyitaan Aset kepemilikan
Hukuman mati dan penjara seumur hidup tidak akan ditegakkan
kepada pelaku yang berusia kurang dari delapan belas tahun.
Dalam kasus pelaku yang berusia kurang dari delapan belas tahun
telah melakukan pelanggaran dipidana dengan hukuman mati atau
dipenjara seumur hidup, hukumannya, seperti yang disebutkan di
28
atas. dapat dianggap diringankan dengan dipenjara selama lima
puluh tahun.46
Penulis mengutip kutipan mengenai jenis pemidanaan
tersebutuntuk membantu pembahasan penulis yang kedua yaitu
mengenai pemidanaan di negara Thailand yang akan komparasikan
oleh penulis dengan jenis pemidanaan anak, sehingga nantinya akan
mempermudah penulis dalam menjabarkan terkait kelebihan maupun
kekurangan sistem pemidanaan di negara Thailand dan Indonesia.
B. Tinjauan umum perbandingan sistem hukum
1) Pengertian perbandingan
Istilah perbandingan hukum menurut Barda Nawawi Arief
dalam bahasa asing yaitu disebutkan dalam bahasa bahasa Inggris
Comparative law, kemudian dalam bahasa Belanda Vergleihende
rechstlehre, dan Droit compare dalam bahasa Perancis.47
Istilah yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, Barda
Nawawi Arief menyebutkan pendidikan tinggi hukum di Amerika
Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau
dialih bahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang artinya beberda
bagi pendidikan hukum di indonesia. Istilah ini sudah menjadi stigma
di kalangan teoritikus hukum di indonesia, dan sudah sejalan dengan
istilah yang dipergunakan untuk hal yang sama dibidang hukum
pidana, yaitu perbandingan hukum pidana.
46Lihat pasal 18 KUHP Thailand penal Code B.E. 2547 (2003) 47Barda NawawiArief. 1990. Perbandingan Hukum Pidana . Raja Grafindo. Jakarta.
Hlm3
29
Menurut Barda Nawawi Arief dalam bukunya mengutip
beberapa pendapat para ahli hukum mengenai istilah perbandingan
hukum, antara lain :
Rudolf B. Schlesinger mengatakan bahwa, perbandingan
hukum merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan untuk
memperoleh penetahuan yang lebih dalam tentang bahan
hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat
peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang
hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur
hukum asing dari suatu masalah hukum.48
Penulis sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Rudolf B.
Schlesinger bahwa perbandingan bertujuan untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih tentang bahan hukum, dalam hal ini penulis
membandingkan sistem pemidanaan dalam tindak pidana makar
terhadap keutuhan wilayah atau disebut pemberontakan di Thailand
bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih dalam mengenai
sistem pemidanaan anak. Sehingga dengan adanya perbandingan ini
sistem pemidanaan yang teradapat dala undang-undang masing-masing
negara lebih baik terutama di Indonesia.
Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah
suatu metoda yaitu metoda perbandingan yang dapat
digunakan dalam semua cabang hukum. Gutteridge
membedakan antara comparatif law dan hukum asing (foreign
law), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan
dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah
yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa secara
nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain.49
Selain pendapat Rudolf B. Schlesinger ada juga pendapat dari
Gutteridge penulis menggunakan pendapat Gutteridge ini dalam
48Ibid. hlm 4 49Ibid
30
pembahasan ini penulis lebih menfokuskan pada sistem pemidanaan
anak Indonesia dibandingkan sistem pemidanaan anak di Thailand,
penulis dalam menjelaskan sistem pemidanaan Thailand tanpa secara
meyata dan akan dibandingkan dengan sistem pemidanaan anak
Indonesia.
“Barda Nawawi Arief yang berpendapat perbandingan hukum
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis hukum
(pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan
metoda perbandingan”.50
Bardan Nawawi Arief mengatakan perbandingan adalah
mempelajari hukum atau pidana secara sistemaris atau berurutan dari
dua sistem hukum atau lebih dengan metode perbandingan, penulis
menggunakan pendapat Bardan Nawawi Arief untuk membandingkan
unsur-unsur atau sistem pidana anak secara berurutan dalam bab
pembahasan.
“Istilah perbandingan hukum (bukan hukum perbandingan) itu
sendiri telah jelas kiranya bahwa perbandingan hukum bukanlah
hukum seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara dan
sebagainya”.51Melihat bukunya Soerjono Soekanto yang berjudul
Perbandingan Hukum hal tersebut merupakan kegiatan
memperbandingkan sistem hukum yang satu dengan sistem hukum
yang lain. Yang dimaksud dengan memperbandingkan di sini ialah
50Ibid 51Soerjono Soekanto. Op.cit. Hlm 131.
31
mencari dan mensinyalir perbedaan-perbedaan serta persamaan-
persamaan dengan memberi penjelasannya dan meneliti bagaimana
berfungsinya hukum dan bagaimana pemecahan yuridisnya di dalam
praktek serta faktor-faktor non-hukum yang mana saja yang
mempengaruhinya.
Penulis mengutip pengertian perbandingan baik secara istilah
maupun menurut pendapat para ahli untuk menjelaskan lebih detail
mengenai pengertian perbandingan, karena banyak penafsiran
mengenai perbandingan maka penulis menggunakan teori tersebut
sebagai rujukanpembahasan penulis mengenai perbandingan tindak
pidana makar terhadap keutuhan wilayah negara Thailand dan
Indonesia baik dari unsur-unsur dan sistem pemidanaan dimana anak
menjadi subyek pemidanaan.
2) Tujuan perbandingan hukum
Dalam bukunya Jur Andi Hamzah mengatakan ada pakar yang
hanya membandingkan bagian ketentuan umum saja atau yang berisi
asas-asas hukum pidana dari KUHP tanpa membandingkan rumusan
delik atau ketentuan Khususnya, jadi yang diutamakan adalah tentang
asas Hukum suatu bangsa, penulis setuju dengan kritikannya terhadap
perbandingan asas hukum saja, rumusan deliknya bagian khususnya
32
yang dapat diperbandingkan yaitu mengenai persamaan maupun
perbedaannya52
Selain itu tujuan perbandingan menurut Kokkini-latridou
tujuan mempelajari perbandingan Hukum Internasional adalah
menguntungkan persahabatan negara, menguntungkan terciptanya
pengetahuan hukum sipil (termasuk hukum pidana menurut Nijboer) ,
memberi tambahan perkembangan bagian perbandingan umum bagian
disiplin ilmu hukum, perkembangan hukum barunasional,
perbandingan memiliki nilai pendidikan yang penting, memberi
kontribusi perundang-undangan iterpretasi peraturan dan memperluas
oragnisasi internasional, bantuan perkembangan yuridis sebagai tujuan
pada umumnya. Namun dalam hal ini penulis tidak sependapat
sepenuhnya mengenai pendapat Kokkini-Latridou seperti
perkembangan privat Eropa umum karena dalam pembahasan kali ini
penulis membahas mengenai perbandingan negara Indonesia yang
masih dalam lingkup hukum pidana atau yang dikenal hukum publik.53
Pengutipan tujuan perbandingan untuk membantu penulisan
penulis dalam mengetahui apa saja yang menjadi tujuan perbandingan
baik dilihat dari kelemahan maupun kelebihan dalam peraturan
masing-masing negara sehingga tujuan perbandingan tersebut akan
menjadi acuan penulis dalam memperoleh manfaat dari perbandingan
ini.
52Andi Hamzah. 2009. Perbandingan hukum pidana beberapa Negara edisi ke 3.
Jakarta. Sinar grafika. Hal. 8-9. 53Ibid. Hal 5
33
C. Tinjauan Umum Tindak Pidana Makar
1) Pengertian makar
Definisi Makar adalah dalam kata aanslag dalam bahasa
Belanda menurut arti harafiah adalah penyerangan atau serangan,
disebutkan dalam KUHP yakni pasal-pasal 87, 104, 105, 106, 107,
130, 139a, 139b, 140. Makar tersebut masuk dalam bab mengenai
kejahatan terhadap keamanan negara.54
“Sedangkan Istilah Makar berasal dari kata “aanval” yang
berarti suatu penyerangan dengan maksud tidak baik
(MisdadigeAanranding).”55Pengertian makar secara istilah ini
bertujuan untuk menyatukan pengertian makar karena sesuai dengan
latar belakang penulisan terlalu beragamnya pengertian tindak pidana
makar, sehingga yang penulis sependapat jika makar di artikan
serangan.
2) Teori Makar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus
Hukum Andi Hamzah, makar yaitu: Akal busuk., tipu muslihat,
Perbuatan atau usaha dengan maksud hendak menyerang atau
membunuh orang.56
Situs krupukkulit.com mengkaji pengertian makar. Disebutkan
bahwa dalam beberapa kamus bahasa belanda, aanslag diartikan
54Adami Chazawi. 2002. Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara.
Jakarta. Rajagrafindo Persada. Hal. 7. 55Made Darma Weda. 2016. Tindak Pidana MakarDalam Rancangan KUHP. Series 7.
Jakarta selatan. Aliansi nasional Reformasi KUHP. Hal. 4 56Ibid
34
sebagai gewelddadige aanval, yang dalam bahasa inggris artinya
violent attack. Aanslag memiliki arti yang sama dengan onslaught
dalam bahasa inggris yang artinya juga violent attack,fierce attack atau
segala serangan yang bersifat kuat (vigorious).57
M. Sudradjat Bassar, dalam bukunya yang berjudul Tindak-
Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, menyatakan bahwa makar diartikan sebagai “serangan”.
Penafsiran makar secara khusus termuat dalam Pasal 87 KUHP, yang
menyatakan bahwa makar untuk suatu perbuatan sudah ada, apabila
kehendak si pelaku sudah nampak berupa permulaan pelaksaanaan
dalam arti yang dimaksudkan dalam Pasal 53 KUHP.
Perbuatan-perbuatan persiapan tidak masuk dalam pengertian
makar. Jadi yang masuk dalam perbuatan makar hanyalah perbuatan
pelaksanaan. Pemahaman ini, menurut penulis, masih belum
memberikan pengertian tentang apa itu makar sehingga dengan adanya
teori-teori makar menurut para ahli, dapat menjadi acuan penulis
dalam pembahasan pertama tentang unsur-unsur pemidanaan.58
3) Konsep Makar Menurut KUHP Indonesia
a) Makar pada umumnya
Pada tahun 1963-1999 dan fase terakhir yaitu pada tahun 1999
sampai sekarang. Politik Hukum Pengaturan tindak pidana makar di
Indonesia, mengalami perkembangan di dalam perumusannya. Mulai
57Ibid. Hal 5 58Ibid.
35
dari fase pertama, sampai dengan fase terakhir. Fase-fase tersebut
memuat keadaan sosial, hukum, dan politik yang mempengaruhi
pengaturan tindak pidana makar.59
Dalam KUHP tidak ada definisi dari apa itu makar. Ketentuan
dalam KUHP Pasal 104, 106, 107, 139a, 139b, langsung menyebut
perbuatan makar, tidak dirumuskan dalam KUHP tentang apa
pengertian makar itu sendiri.60
Menurut Pasal 53 ayat (1) KUHP ada tiga syaratnya yang harus
ada agar seseorang dapat dipidana melakukan percobaan kejahatan,
yaitu :61
a) Niat.
b) Permulaan pelaksanaan.
c) Pelaksanaannya itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya.
Kata makar (aanslag) berarti serangan, tetapi selanjutnya ada
penafsiran khusus termuat dalam pasal 87 KUHP yang mengatakan
bahwa makar untuk suatu Perbuatan sudah ada apabila kehendak
sipelaku sudah tampak berupa permulaan pelaksanaan (begin van
uitvoering) dalam arti yang dimaksudkan dalam pasal 53 KUHP. Pasal
53 ini mengenai percobaan melakukan kejahatan yang dapat dihukum
(stafbare poging) dan membatasi penindakan pidana suatu perbuatan
pelaksanaan (uitvoeringhandeling) sehingga tidak dapat dihukum suatu
59Abdurisfa Adzan Trahjurendra. Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana Makar
DiIndonesia. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 60Made Darma Weda Opcit. Hal. 4 61Ibid. hal. 8
36
perbuatan yang baru merupakan perbuatan persiapan
(voorbereidingshandeling).62
Bentuk makar dalam KUHP dapat digolongkan dalam 3 bentuk
yaitu :
1. Makar Terhadap Kepala Negara (Pasal 104 KUHP)
a. Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk membunuh
Kepala Negara
b. Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk mengalahkan
kemerdekaan kepala negara
c. Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan
kepala negara tidak dapatmenjalankan pemerintahan
2. Makar Untuk Memasukkan Indonesia Dalam Penguasaan
Asing (Pasal 106)
a. Berusaha menyebabkan seluruh wilayah Indonesia atau
sebahagian menjadi jajahan negara lain
b. Berusaha menyebabkan bagian dari wilayah Indonesia
menjadi suatu negara yang mardeka atau berdaulat terlepas
dari NKRI.
3. Makar Untuk Menggulingkan Pemerintahan (Pasal 107
KUHP).63
Penulis mengutip bentuk tindak pidana makar ini bertujuan
untuk menentukan dan mengkalisifikasikannyakarena di dalam KUHP
tidak menjelaskan secara detail, sehingga nantinya pembahasan
penulis dalam tindak pidana makar terhadap keutuhan wilayah negara
kesatuan Republik Indonesia dalam menganalisis penulisan ini.
b) Makar terhadap keamanan negara
Sebagai bangsa yang plural dengan wilayah yang luas ini
tentunya akan membawa pengaruh yang besar bagi keutuhan
wilayah Indonesia dari gangguan terhadap kehidupan berbangsa
dan bernegara termasuk tindakan makar terhadap wilayah negara
62 Wirjono Prodjodikoro. 2003. Tindak-tindak pidana tertentu di Indonesia. Bandung.
Refika Aditama. Hal. 197 63Made Darma Weda. Op.cit. Hal 5.
37
dikenal dengan istilah Separatisme yaitu usaha untuk memisahkan
diri dari suatu negara atau negara bagian. Usaha separatisme
bermaksud untuk mencapai otonomi atau pemisahan untuk berdiri
sendiri atau menggabungkan diri dengan negara lain. Kejahatan
terhadap keamanan negara ini merupakan kejahatan yang
menyerang kepentingan hukum negara. Dibentuknya kejahatan ini
adalah ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum atas
keselamatan dan keamanan negara dari perbuatan-perbuatan yang
mengancam, mengganggu dan merusak kepentingan hukum
negara. 64
Kejahatan terhadap keamanan negara secara sosiologis disebut
Kejahatan politik. Kata politik berasal dari bahasa Yunani
“politia” artinya “segala sesuatu yang berhubungan dengan
negara atau segala tindakan, kebijaksanaan, siasat mengenai
pemerintahan suatu negara.65
Dalam jurnal Syefri Alpat Lukman dengan judul “Tindak
Pidana Makar Terhadap Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 87 Kuhp (Analisis Yuridis
Terhadap Gerakan Riau Merdeka Tahun 1999)”, Syefri Alpat
Lukman mengutip dari bukunya Djoko Praoso membagi bentuk
delik terhadap keamanan negara.
64Syefri Alpat Lukman. Oktober 2016. Tindak Pidana Makar Terhadap Keutuhan
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 87 Kuhp (Analisis Yuridis
Terhadap Gerakan Riau Merdeka Tahun 1999. JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2. 65Bayu Dwiwiddy Jatmiko,tanpa Tahun. Periodisasi Pengaturan kejahatan Kemanan
Negara di Indonesia. Jurnal Legality Universitas Muhammadiyah Malang,
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/ article/view/310 di akses pada tanggal 21 Januari
2019.
38
a. Hochverrat ( kejahatan terhadap keamanan di dalam
negeri) yang meliputi, delik makar terhadap presiden dan
wakil presiden, makar tidak dapat diganggu gugatnya
negara dan terhadap bentuk pemerintahan yang terdapat di
dalam Bab I dan II Pasal 104-110 KUHP. Agar lebih
mudah dipahami.
Bentuk kejahatan kepada keamanan di dalam negeri
meliputi:
1.) Kepentingan hukum perorangan (individuale
belangen)
2.) Kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen)
3.) Kepentingan hukum negara (staat belangen)
b. Landesverrat (pelanggran terhadap keamanan negara ke
luar)
Dibedakan lagi menjadi dua jenis:
1. Diplomatische landesverrat (yang dilakukan oleh
diplomat)
2. Militerische landesverrat (yang dilakukan oleh
militer).”
Pengertian dan pembagian tindak pidana makar terhadap
keutuhan wilayah negara kesatuan republik Indonesia sangat
diperlukan dalam bab pembahasan untuk membantu penulis
dalammenganalisis dan mengkomparasikannya dengan makar
terhadap keutuhan wilayah negara menurut negara Thailand
sehingga penulis dapat menyimpulkan kelebihan dan kekurangan
dari masing-masing negara.
39
4) Konsep Makar menurut KUHP Thailand
Sistematika KUHP Thailand yang terdiri dari 3 buku, mirip
dengan KUHP kita. Buku I tentang ketentuan umum, buku II tentang
delik-delik khusus, buku III tentang delik-delik ringan (patty offences).
Dan penempatan tindak pidana penyelenggaraan peradilan dalam Buku
II menunjukkan pembentuk KUHP Thailand menilai perbuatan ini
sebagai delik serius..66
Dalam buku ke II bagian I KUHP Thailand dengan judul
Pelanggaran Berkaitan dengan Keamanan Kerajaan, dimana ini
termasuk ke dalam makar yang diantaranya terdapat dalam :67
1) Pasal 107-112 Pelanggaran terhadap Raja, Ratu, Pewaris
dan Bupati.
2) Pasal 113-118 Pelanggaran terhadap Keamanan Internal
Kerajaan.
3) Pasal 119-129 Pelanggaran terhadap Keamanan Eksternal
Kerajaan.
4) Pasal 130-135 Pelanggaran terhadap Hubungan Ramah
dengan Negara Asing.
Penulis mengutip pembagian tindak pidana makar menurut
KUHP Thailand tersebut untuk mengetahui bagaimana negara Thailand
membagi jenis-jenis tindak pidana makar kemudian penulis akan
membandingkannya dengan Indonesia, selain itu untuk mengetahui bab,
bagian dan pasal tindak pidana makar terhadap keutuhan wilayah
negara atau separatisme yang akan di komparasikan dengan Indonesia.
66Ida Keumala Jeumpa.2014. Contempt Of Court: Suatu Perbandingan Antara Berbagai
SistemHukumKanun Jurnal Ilmu Hukum Jeumpa No. 62, Th. XVI (April, 2014), pp. 147-176. 67Lihat buku ke II bagian I KUHP thailand criminal code B.E. (20030
40
D. Tinjauan umum Anak
1) Pengertian anak
Anak adalah harapan bangsa apabila ia sudah dewasa akan
menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidpan negara,
demikian anak perlu dibina dengan baik agar mereka tidak salah dalam
hidupnya kelak. Baik pemerintah maupun non pemerintahan memiliki
kewajiban untuk secara serius memberi perlindungan dan perhatian
terhadap pertumbuhan perkembangan seorang anak.”68
Berdasarkapn pasal 1 angka 2 undang-undang nomor 11 tahun
2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang berbunyi :
“Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.”69
Definisi anak secara umum sangat membantu ada penulisan ini
untuk memahami pentingnya anak bagi suatu negara baik bagi negara
Thailand maupun Indonesia, sehingga penulis dapat menjabarkan
bagaimana seorang anak dapat diperlakukan oleh negara dan
menjamin hak-haknya walaupun sebagai pelaku tindak pidana.
68Maidin Gultom. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan, Bandung.
PT Refika Aditama. Hal 68. 69Lihat pasal 1 angka 3 undang-undnag nomor 11 tahun 2012 tentang peradilan pidana
anak
41
2) Hak-hak anak
a. Undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang peradilan
pidana anak
Indonesia telah meratifikasi dan mengadopsi prinsip-prinsip
dalam Konvensi hak-hak anak (Convention on the Right of the
Child), berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
tentang Pengesahan Convention on the Rights of the
Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Dalam konvensi ini
diatur mengenai beberapa prinsip dasar anak yakni prinsip non
diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik bagi anak (best interest
for children), prinsip atas hak hidup, keberlangsungan dan
perkembangan serta prinsip atas penghargaan terhadap pendapat
anak.70
Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai
upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak
asasi anak (fundamental abd freedoms of children) serta berbagai
kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. 71
Adapun perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan
dengan hukum diatur dalam Pasal 3 undang-undang peradilan
pidana anak dan juga undnag-undang perlidnungan anak, akan
tetapi karena penulis pada pembahasannya lebih mengutamakan
70Lihat Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on
the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) 71Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. Hal.153
42
dalam sistem pemidanaan maka akan menggunakan undang-
undang peradilan pidana anak yang terdapat dalam pasal 3, yang
berbunyi :
Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:
a) diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan
kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b) dipisahkan dari orang dewasa;
c) memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara
efektif;
d) melakukan kegiatan rekreasional;
e) bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain
yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat
dan martabatnya;
f) tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g) tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai
upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h) memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang
objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup
untuk umum;
i) tidak dipublikasikan identitasnya;
j) memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang
dipercaya oleh Anak;
k) memperoleh advokasi sosial;
l) memperoleh kehidupan pribadi;
m) memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n) memperoleh pendidikan;
o) memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p) memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.72
Penulis mengutip hak-hak anak bertujuan untuk tetap me
ngacu pada hak-hak anak dalam pemidanaan sehingga hak anak
tidak diabaikan dan tetap melekat pada diri seorang anak walaupun
sebagai pelaku tindak pidana.
72Lihat pasal 3 undang-undang nomor 11 tahun 2011 tentang peradilan pidana anak
43
b. Hak anak menurut undang-undangthe ThailandChild
Protection Act of 2003(Perlindungananak tahun 2003)
Hak-hak anak tidak diatur secara langsung dalam undang-
undang perlindungan anak tahun 2003 di Thailand
Since Thailand has signed in the Conventional of Child Rights
(CRC) that performs the four basis rights as survival rights,
development rights, protection rights and participation rights. All
of these inherent rights for every child. Therefore, children have
their own legal rights that cannot be limited or withdrawal.
Moreover, the action of all activity that impact to children should
recognize the child rights. Importantly, the highest advantages of
the child should be considered in every part for child.73
Thailand sudah meratifikasi the Conventional of Child Rights
(CRC) yang mana telah mengatur tentang hak-hak anak yang di
lindungi pada Child Protection Act of 2003 thailand. Adapun yang
dilindungi adalahhak bertahan hidup, hak pembangunan, hak
perlindungan dan hak partisipasi. Selain itu hak anak juga menjadi
pertimbangan dalam perbandingan hak-hak yang tetap melekat
pada diri anak walaupun sebagai pelaku tindak pidana.
Pengutipan ini dilakukan untuk membantu penulis
dalamanalisis yang digunakan untuk mengetahi sejauh mana hak-
hak anak di kaitkan dalam pemidanaan anak walaupun dalam
kejahatan berat seperti makar terhadap keutuhan wilayah negara
ini.
73Akarawin Sasanapitak. Public Policy in Child Protection of Thailand. Conference
Proceedings The 8th Thailand-Japan International Academic Conference 2016.
44
3) Usia anak menurut KUHP Indonesia
Usia anak menurut KUHP Indonesia disebutkan dalam pasal 45
yaitu:
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa
karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas
tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang
bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya
yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun,
jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran
berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514,
517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun
sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah
satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi
tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.74
Dari pasal 45 KUHP Indonesia tersebut kita dapat melihat
bahwa usia anak disebutkan adalah 16 tahun. Sehingga di atas usia
tersebut dianggap sudah dewasa. Adapun apabila anak melakukan
tindak pidana memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan
kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana
apapun.
Kutipan yang dikutip penulis tersebut untuk melihat bahwa ada
batasan usia anak menurut KUHP Indonesia akan tetapi ini menjadi
pertimbangan penulis untuk menganalisis pembahasan mengenai usia
anak di dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang peradilan
pidana anak walaupun berlaku asas lex specialis derogat lex generalis
di Indonesia sesuai pasal 62 ayat (2) KUHP Indoesia yaitu undang-
74Lihat pasal 45 KUHP Indonesia undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan
hukum pidana.
45
undang khusus menyampingkan undang-undang yang umum, yang
artinya undang-undang peradilan pidana anak menyampingkan
KUHAP maupun KUHP dalam sistem pemidanaan.75
4) Usia anak menurut KUHP Thailanddan Child Protection Act, B.E.
2546 (2003)
Sistematika KUHP Thailand yang terdiri dari 3 buku, mirip
dengan KUHP kita. Buku I tentang ketentuan umum, buku II tentang
delik-delik khusus, buku III tentang delik-delik ringan (patty offences).
Dan penempatan tindak pidana penyelenggaraan peradilan dalam Buku
II menunjukkan pembentuk KUHP Thailand menilai perbuatan ini
sebagai delik serius. Apalagi dengan pengaturannya dalam dua bab,
menurut beberapa penulis terlalu berlebihan.76
KUHP Thailand sendiri menyebutkan seorang anak adalah
yang berumur 17 tahun, hal ini tertuang dalam pasal 76 yaitu :77
Section 76 : “Any person out of seventeen years but not out of
twenty years of age commits an act as prescribed by the law to be
an offence, if the Court to deem expedient may reduce the scale of
the punishment as provided for such offence by one-third or a
half.”( Pasal 76: “Setiap orang yang berumur tujuh belas tahun
tetapi tidak diatas dua puluh tahun melakukan suatu tindakan yang
ditetapkan oleh undang-undang sebagai suatu pelanggaran,
Pengadilan dapat mengurangi skala hukuman yang diberikan untuk
pelanggaran tersebut, sepertiga atau setengahnya).
Batas usia dalam KUHP thailand menjadi acuan penulis dalam
melihat batasan usia anak untuk membandingkan dengan usia anak di
75Lihat pasal 62KUHP indonesia undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan
hukum pidana 76Ida Keumala Jeumpa. 2014. Contempt Of Court: Suatu Perbandingan Antara Berbagai
SistemHukum. Kanun Jurnal Ilmu Hukum Jeumpa No. 62, Th. XVI (April), pp. 147-176. 77Lihat pasal 76 KUHP Thailand Criminal Code 2549 (2003)
46
Indonesia menurut KUHP dengan negara Thailand sesuai KUHPnya
sehingga penulis dapat mengetahui lebih baik mana apakah batas usia
anak menurut KUHP Thailand atau KUHP Indonesia karena
pembahasan penulis berkaitan dengan anak sebagai pelaku tindak
pidana makar.
Sedangkan dalam undang-undang perlindungan anak di
Thailand menurut pada pasal 4 menyebutkan “Section4 : Child means
a person below 18 years of age, but does not include those who have
attained majority through marriage”. (Anak berarti seseorang yang
berusia di bawah 18 tahun, kecuali mereka yang telah menikah).78
Selain itu pada peradilan remaja dan keluarga Thailand
mengatur tentang usia anak diatur dalam pasal 4, yaitu :
The identified that child is a person who have the age less than
15 years, while juvenile or youth is a person who has the age
more than 15 years but less than 18 years(Definisi anak adalah
orang yang memiliki usia kurang dari 15 tahun, sedangkan anak
remaja atau remaja adalah orang yang memiliki usia lebih dari
15 tahun tetapi kurang dari 18 tahun).79
Kutipan ini bertujuan untuk mengetahui persamaan atau
perbedaan usia anak dan definisi anak menurut KUHP dan undang-
undang perlindungan anak di Thailand sehingga nanti penulis dapat
menyimpulkan pemberlakuan asas lex speciali derogat lex generalis
dalam peraturan perundnag-undangan Thailand
78Lihat section 4 undang-undang perlindungan anak Thailand (Child Protection
Act(2003)) 79Lihat pasal 4 Pengadilan Anak dan Pengadilan Acara dan Prosedur B.E. 2553 (2010)
(Juvenile and Family Court and Procedure ActB.E. 2553 (2010))
47
5) Usia anak menurut undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang
Peradilan pidana Anak dan undang-undang nomor 35 tahun 2014
Undang-undang nomor 35 tahun 2014 terdapat dalam pasal 1
angka 1 bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.80
Sedangkan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
disebutkan dalam pasal 1 angka 3 undang-undnag nomor 11 tahun
2012 tentang peradilan pidana anak adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana.
Batas usia dan definisi anak yang dikutip penulis dalam
undang-undang peradilan anak akan menjadi acuan penulis, sehingga
nanti akan dibandingkan dengan undang-undang peradilan anak di
Thailand. Penulis juga akan menambahkan analisis pembahasan untuk
mengkomparasikannya dengan undang-undang perlindungan anak dan
KUHP Indonesia terkait batas usia anak.
6) Konsep Pemidanaan anak menurut KUHP Indonesia dan
Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Peradilan Pidana
Anak
Dalam hal penuntutan pidana terhadap anak karena melakukan
suatu perbuatan pidana sebelum umur 16 tahun menurut KUHP
Indonesia, hakim dapat menentukan memerintahkan supaya yang
80Lihat pasal 1 angka 1 undang-undang nomor 23 tahun 2012 tentang perlindungan anak
48
bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya
yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun,
namun dikecualikan jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah
satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497,
503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum
lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan
atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah
menjadi tetap atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.”81
Konsep pemidanaan menurut KUHP Indonesia sangat penting
dalam pembahasan ini dan penulis dapat menguraikanya kemudian
mengkomparasikannya dengan konsep pemidanaan anak berdasarkan
peradilan pidana anak di Indonesia.
Undang-undang peradilan anak membagijenis pemidanaan anak
yaitu Pidana yang di berlakukan terhadap anak terbagi 2(dua) pidana
pokok dan pidana tambahan dengan penjabaran berikut, yaitu:82
1) Pidana Pokok
a) Pidana Peringatan
Pidana Peringatan adalah pidana ringan yang tidak
mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. Pidana peringatan
bentuknya berupa teguran dan peringatan yag di terima anak
81Lihat pasal 45 KUHP Indonesia Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang
Peraturan Hukum Pidana 82Amelia Geiby Lembong. 2014. Kajian Hukum Terhadap Sistem Pemidanaan Anak
Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012. Lex Crimen Vol. III/No. 4/ Ags-Nov/2014
49
sebagai pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi
kesalaha/pelanggaran yang dapat merugikan orang lain pidana
ini terdapat dalam Pasal 72 Undang-Undang No.11 Tahun 2012
tentang peradilan pidana anak.
b) Pidana dengan syarat
Pidana tersebut terdapat dalam pasal 73 dalam undang-
undang Peradilan Pidana Anak mengatur maksimal penjatuhan
pidana oleh hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan
paling lama dua tahun. Ada persyaratan umum dan khusus
yang berlaku yaitu persyaratan umunya adalah anak tidak akan
melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana.
sedangkan persyaratan khusus yaitu persyaratan yang di
keluarkan hakim untuk tidak melakukan tindak pidana tertentu
yang telah di tetapkan oleh hakim. Tindak pidana tertentu
tersebut tidak dapat dilanggar anak syarat utama, selain itu ada
beberapa hal yang akan di keluarkan hakim sebagai syarat yang
harus dilakukan anak seperti wajib lapor dan syarat lainnya
yang harus dipatuhi anak.
Pidana bersyarat yang di jatuhkan oleh hakim memiliki
beberapa jenis penahanan bagi anak sebagai pelaku dengan
tujuan pembinaan anak, yaitu berupa :
1. Pembinaan diluar lembaga, Pasal 75 undang-undang
peradilan pidana anak mengenai pembinaan di luar lembaga
dapat berupa mengikuti program pembimbingan dan
50
penyuluhan yangdilakukan oleh pejabat pembina maupun
dari organisasi sosial masyarakat.
2. Pelayanan masyarakat, Pasal 76undang-undang peradilan
pidana anak mengenai pidana Pelayanan Masyarakat yang
bertujuan untuk mendidik anak dengan meningkatkan
kepedulian dalam hal kegiatan positif yang ada di
masyarakat.
3. Pengawasan, pasal 77undang-undang peradilan pidana anak
yait Pengawasan bagi anak di tempatkan di bawah
pengawasan penuntut umum dan di bimbing oleh
pembimbingkemasyarakatan.
c) Pelatihan kerja
Pidana Pelatihan kerja di atur dalam Pasal 78 UU No.11
Tahun 2012 tentang peradilan pidana anak, bahwa pelatihan
kerjaadalah pelatihan yang dilakukan dalam lembaga yang
melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia anak
dengan pelatihan kerja paling singkat 3 bulan dan paling lama
1tahun.
d) Pembinaan dalam lembaga
Pidana pembinaan di dalam lembaga dapat dilakukan di
tempat pelatihan yang di selenggarakan oleh pemerintah
maupun swasta. Pembinaan ini dijatuhkan oleh hakim terhadap
anak sebagai pelaku apabila keadaan dan perbuatan yang
51
dilakukan anak tidak membahayakan masyarakat, dengan
pembinaan paling singkat 3bulan dn paling lama 24 bulan.
Namun dengan syarat anak yang berkelakuan baik yang telah
menjalani ½ (satu perdua) masa pembinaan yang lebih dari 3
bulan mendapatkan pembebasan bersyarat, pidana ini diatur
dalam Pasal 80 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang
peradilan pidana anak.
e) Penjara
Pidana Penjara terhadap anak hanya dapat di lakukan
sebagai upaya terakhir dan Anak yang dijatuhi pidana penjara
di lembaga pendidikan Khusus anak (LPKA) hanya dapat
dilakukan apabila keadaan anak dapat membahayakan
masyarakat, seperti berikut :
Ancaman pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling
lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana
penjara bagi orang dewasa. Lamanya pembinaan anak
dilaksanakan sampai anak berumur 18 (delapan belas)
tahun, dan anak yang telah menjalani ½ (satu perdua) dari
lamanya pembinaan dan memiliki catatan berkelakuan
baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Jika
pidana yang dilakukan anak merupakan tindakan yang
dapat diancam seumur hidup maka anak hanya dapat
dijatuhkan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun”. pidana ini di atur dalam Pasal 81 UU No.11 Tahun
2012 tentang peradilan pidana anak.83
2) Pidana tambahan
Selain pidana pokok pidana tambahan juga ada di dalam
pemidanaan anak sebagai pelaku tindak pidana, seperti yang
83Lihat Pasal 81 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang peradilan pidana anak.
52
disebutkan dalam pasal 71 ayat (2) undang-undang nomor 11 tahun
2012 tentang peradilan pidana anak, yaitu:
Pidana tambahan terdiri dari :
a) Perampasan keuntungan yang di peroleh dari tindak pidana;
b) Pemenuhan kewajiban adat.84
Dijelaskan dalam jurnalnya Amelia Geiby Lembong tentang
Kajian Hukum Terhadap Sistem Pemidanaan Anak Menurut
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012.
Tindakan yang berlaku dalam Undang-undang Sistem
Peradilan Pidana Anak yaitu:
a. Pengembalian kepada orang tua
b. Penyerahan kepada seseorang
c. Perawatan dirumah sakit jiwa
d. Perawatan di LPKS
e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau
pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan
swasta
f. Pencabutan surat ijin mengemudi
g. Perbaikan akibat tindak pidana85
Penulis mengutip jenis pemidanaan ini untuk membantu
penulis dalam menganalisis pembahasan mengenai sitem
pemidanaan anak di Indonesia dan menjadi rujukan penulis dalam
membandingkan sistem pemidanaan tersebut dengan sistem
pemidanaan di negara Thailand sesuai dengan undang-undang
peradilan pidana anak yang berlaku di negara tersebut.
84Lihat Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang peradilan pidana
anak. 85Amelia Geiby Lembong. Op.cit
53
7) Konsep pemidanaan anak menurut Criminal Code Thailand dan
The Juvenile Andfamily Court And Juvenile And Family Procedure
B.E. 2553 (2010)
Setiap negara memiliki konsep pemidanaannya tersendiri dalam
pemidanaan anak, terlepas dari itu Thailand juga memili
pemidanaannya sendiri seperti yang disebutkan dalam pasal-pasal
KUHP Thailand sebagai berikut :
1) Pada criminal code Thailand pasal 18 menyebutkan pemidanaan
terhadap orang dewasa, jenis Pidana yang dikenakan pada
seseorang yang melakukan Tindak Pidana adalah pidana mati,
pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan Penyitaan Aset
kepemilikan. Akan tetapi pada paragraf selanjutnya pada pasal ini
Hukuman mati dan penjara seumur hidup tidak akan ditegakkan
kepada pelaku yang berusia kurang dari delapan belas tahun dan
pemidanaan terhadap orang yang berusia dibawah 18 tahun
diringankan pidanya dengan dipenjara selama lima puluh tahun.
(section 18 :Punishments for inflicting upon the offenders
are as follows:
(1) Death;
(2) Imprisonment;
(3) Confinement;
(4) Fine;
(5) Forfeiture ofproperty.
The capital punishment and life imprisonment shall be not
enforced to offenderless than eighteen years of age.
In case of offender less than eighteen years of age has
committed the offence to be punished with death or
imprisoned for life, the punishment, as aforesaid. shall be
54
deemed as commuted as imprisoned for fiftyyears).86
2) Berdasarkan Bagian 73 anak yang berusia tujuh tahun kebawah
tidak akan dihukum karena melakukan pelanggaran hukum (“A
child not yet over seven years of age shall not be punished for
committing what is provided by the law to be an offence”).87
3) Berdasarkan Bagian 74 Setiap kali seorang anak di atas tujuh tahun
tetapi belum lebih dari empat belas tahun melakukan pelanggaran
hukum, anak tersebut tidak akan dihukum, akan tetapi Pengadilan
akan memiliki kewenangan sebagai berikut : (“Whenever a child
over seven years but not yet over fourteen years of age commits
what is provided by the law to be an offence, he shall not be
punished, but the Court shall have the power as follows”)88:
(1) Untuk memperingatkan anak dan kemudian memecatnya; dan
Pengadilan dapat, jika dianggap sesuai, memanggil orang tua
atau wali anak atau orang yang dengannya anak tersebut
berada untuk diberi peringatan juga. (ayat 1 : “To admonish
the child and then discharge him ; and the Court may, if it
thinks fit, summon the parents or guardian of the child or the
person with whom the child is residing to be given an
admonitiontoo”);89
86Lihat pasal 18 KUHP Thailand Criminal Code B.E. 2547 (2003) 87Lihat pasal 73 KUHP Thailand Criminal Code B.E. 2547 (2003) 88Lihat pasal 74 KUHP Thailand Criminal Code B.E. 2547 (2003) 89Lihat pasal 74 ayat 1 KUHP Thailand Criminal Code B.E. 2547 (2003)
55
(2) Jika Pengadilan berpendapat bahwa orang tua atau wali dapat
mengasuh anak, Pengadilan dapat memerintahkan untuk
menyerahkan anak kepada orang tuanya atau wali dengan
memberlakukan ketentuan bahwa orang tua atau wali harus
menjaga anak tersebut. menjamin anak itu tidak menyebabkan
kerugian apa pun sepanjang waktu yang ditentukan oleh
Pengadilan, tetapi tidak melebihi tiga tahun, dan menetapkan
sejumlah uang, yang dianggap sesuai, yang harus dibayar oleh
orang tua atau wali kepada Pengadilan, tetapi tidak melebihi
seribu Baht untuk setiap kali ketika anak tersebut
menyebabkan kerusakan
(ayat 2 :If the Court is of opinion that the parents
or guardian are able to take care of the child, the
Court may give order to hand over the child to his
parents or guardian by imposing the stipulation
that the parents or guardian shall take care that
the child does not cause any harm throughout the
time prescribed by the Court, but not exceeding
three years, and fixing a sum of money, as it thinks
fit, which the parents or guardian shall have to
pay to the Court, but not exceeding one thousand
Baht for each time when such child causesharm)90
(3) Dalam hal Pengadilan menyerahkan anak kepada orang
tuanya, wali atau kepada orang yang tinggal dengan anak
tersebut, Pengadilan dapat menentukan kondisi untuk
mengendalikan perilaku anak dengan cara yang sama seperti
yang disediakan. Dalam kasus seperti itu, Pengadilan harus
90Lihat pasal 74 ayat 2 KUHP Thailand Criminal Code B.E. 2547 (2003)
56
menunjuk seorang petugas masa percobaan atau pejabat
lainnya untuk mengawasi perilaku anak.
(ayat 3 :In case of the Court hands over the child
to his parents, guardian or to the person with
whom the child resides according to (2), the Court
may determine the conditions for controlling
behavior of the child in the same manner as
provided in Section 56 also. In such case, the
Court shall appoint a probation officer or any
other official to control behavior of thechild;)91
(4) Untuk mengirim anak tersebut ke sekolah atau tempat
pelatihan dan pengajaran atau tempat yang didirikan untuk
pelatihan dan memberikan instruksi kepada anak-anak selama
periode waktu yang ditentukan oleh Pengadilan tetapi tidak
lebih dari waktu ketika anak tersebut harus menyelesaikan
delapan belas tahun umur.( ayat 5 :To send such child to a
school or place of training and instruction or a place
established for training and giving instruction to children
throughout the period of time prescribed by the Court but not
longer than the time when such child shall have completed
eighteen years of age.)92
4) Bagian 75 KUHP Thailand menetapkan bahwa setiap orang yang
berusia di atas 14 tahun tetapi belum berusia di atas 17 tahun
melakukan tindakan yang diberikan oleh hukum sebagai
pelanggaran, pengadilan harus mempertimbangkan rasa tanggung
91Lihat pasal 74 ayat 3 KUHP Thailand Criminal Code B.E. 2547 (2003) 92Lihat pasal 74 ayat 5 KUHP Thailand Criminal Code B.E. 2547 (2003)
57
jawab dan semua hal-hal lain yang menyangkut dirinya untuk
mengambil keputusan apakah itu pantas atau tidak untuk
menjatuhkan hukuman dengan menjatuhkan hukuman padanya.
Section 75 of the Thai Penal Code provides that whenever
any person over 14 years but not yet over 17 years of age
commits any act provided by the law to be an offence, the
court shall take into account the sense of responsibility
and all other things concerning him or her in order to
come to a decision as to whether or not it is appropriate
to pass judgment by inflicting punishment on him or her.93
5) Pasal 76 KUHP Thailand Setiap orang yang berumur tujuh belas
tahun tetapi tidak diatas dua puluh tahun melakukan suatu tindakan
yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai suatu pelanggaran,
Pengadilan dapat mengurangi skala hukuman yang diberikan untuk
pelanggaran tersebut, sepertiga atau setengahnya(“Any person out
of seventeen years but not out of twenty years of age commits an
act as prescribed by the law to be an offence, if the Court to deem
expedient may reduce the scale of the punishment as provided for
such offence by one-third or a half”).94
Penulis mengutip konsep pemidanaan anak di negara
Thailand tersebut untuk menjadi perbandingan dengan konsep
pemidanaan anak berdasarkan KUHP Indonesia, kemudian
93Lihat pasal 75 KUHP Thailand Criminal Code B.E. 2547 (2003) 94Lihat pasal 76 KUHP Thailand Criminal Code B.E. 2547 (2003)
58
penulis akan menyimpulkan hasil perbandingan antara kedua
KUHP tersebut sebelum masuk kedalam perbandingan hukum
acara peradilan anak sesuai pelanggarannya.
Konsep The Juvenile And Family Court And Its Procedural
Code Act Of sistemB.E. (2553) 2010 pemidanaananak di Thailand
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
The Juvenile and Family Court and Procedure Act 1991 was
repealed and replaced by the Juvenile and Family Court Act
2010 ( B.E. 2553) CHAPTER VII: Special Measures in Place of
criminal Prosecution:
Article 86
A child or j uvenile is alleged to have committed a criminal
offence that is punishable by maximum of 5 years’
imprisonment.
Child or Juvenile has shown repentance for his or her act
before the prosecution, and the Director of the Juvenile
Observation Center considers bytaking into account
theage,personal, records, behaviours, intelligence,
education background, physical and mental conditions,
occupation, financial status and cause of the offence, that
the child or j uvenile may reform himself or herself without
the requirement for prosecution.
The preparation of the Rehabilitation Plan shall be subject
to consent from the victim and the child or j uvenile.
Ifit appears to the court that the process of preparing the
rehabilitation plan is unlawful,the court may issue an order
as it considers appropriate.
(Undang-Undang Pengadilan dan Prosedur Pengadilan Anak
dan Keluarga 1991 dibatalkan dan diganti oleh Undang-Undang
Keluarga dan Remaja 2010 (B.E. 2553) BAB VII: Tindakan
Khusus untuk Penuntutan Pidana:
Artikel 86
Seorang anak atau remaja dituduh telah melakukan tindak
pidana yang dapat dihukum maksimal 5 tahun penjara.
Anak atau Remaja telah menunjukkan pertobatan atas
tindakan-nya sebelum penuntutan, dan Direktur Pusat
Pengamatan Remaja mempertimbangkan dengan
mempertimbangkan pertanggung jawaban, pribadi,
mencatat, perilaku, kecerdasan, latar belakang pendidikan,
kondisi fisik dan mental, pekerjaan, status keuangan dan
59
penyebab pelanggaran, sehingga anak atau remaja dapat
mereformasi dirinya sendiri tanpa persyaratan untuk
penuntutan.
Persiapan Rencana Rehabilitasi harus mendapat persetujuan
dari korban untuk dan anak atau remaja
Jika tampak di pengadilan bahwa proses penyusunan
rencana rehabilitasi itu melanggar hukum, pengadilan dapat
mengeluarkan perintah yang dianggap perlu.95
Undang-undang peradilan pidana anak di Thailand dalam
pemidanaan anak lebih menekankan pada rehabilitasi terhadap anak
dibandingkan memberikan hukuman terhadap anak dengan syarat anak
tersebut menunjukan pertobatan atas perbuatannya dan
mempertimbangkan pertanggung jawaban, pribadi, mencatat, perilaku,
kecerdasan, latar belakang pendidikan, kondisi fisik dan mental,
pekerjaan, status keuangan dan penyebab pelanggaran.
Pengutipan ini akanmenjadi rujukan penulis dalam
membandingkannya dengan sistem pemidanaan anak di Indonesia akan
tetapi dalam bab pembahasan penulis akan menjelaskan lebih detail
dengan mencantumkan pasal demi pasal yang mengatur sistem
pemidanaan anak di Indonesia dalam bentuk tabel, sehingga nanti
penulis dapat mengetahui persamaan dan perbedaan, kelebihan dan
kekurangan kedua sistem pemidanaan anak masing-masing negara
tersebut untuk mengetahui hasil akhir dari penulisan ini.
95Lihat pasal 86 Undang-Undang Pengadilan dan Prosedur Pengadilan Anak dan
Keluarga B.E. 2553 (2010) (The Juvenile And family Court And Juvenile And Family Procedure
B.E. 2553 (2010))