28
5 BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Analisis Risiko Risiko merupakan suatu kemungkinan terjadinya kerusakan atau penderitaan akibat suatu bahaya. Bahaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang berpotensi menyebabkan kerugian ataupun kerusakan (Soemirat, 2000). Risiko akibat paparan panas sangat sulit ditentukan karena dipengaruhi oleh interaksi antara enam parameter dasar. Perbedaan interpersonal respon psikologis terhadap panas membuat prediksi risiko ini menjadi rumit. Analisis risiko merupakan teknik untuk menganalisis risiko dalam berbagai bidang seperti toksikologi, higiene industri, keselamatan kerja, AMDAL, prediksi cuaca, epidemiologi, dan perilaku sosial atau juga sebagai metode campuran dari ilmu pengetahuan rekayasa dan statistik untuk menilai dan melakukan prediksi apa yang akan terjadi akibat adanya paparan zat berbahaya di masa yang akan datang (Soemirat, 2000). The Health and Safety Executive (2007) mengusulkan lima langkah dalam analisis risiko yang bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan analisis yaitu: 1. Identifikasi bahaya. Suatu zat dapat diidentifikasi sebagai zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia diperoleh dari hasil observasi kasus yang diperolehkan secara langsung dan tidak langsung. Perlu dilakukan identifikasi apakah ada sumber panas di tempat kerja, apakah pekerja terpapar dengan kondisi iklim di luar, apakah pekerja memakai Alat Perlindungan Diri, apakah pekerja melakukan aktifitas fisik yang intensif. Tujuan dari identifikasi bahaya ini yaitu untuk mendapatkan data/informasi apakah panas tersebut berbahaya bagi kesehatan manusia. 2. Menentukan siapa yang berpotensi terpapar zat berbahaya tersebut. Pekerja yang belum teraklimatisasi untuk bekerja di tempat panas memiliki kemungkinan untuk terpapar panas di tempat kerja. Kondisi kesehatan pekerja menjadi faktor yang penting dan perlu dipertimbangkan

BAB II tinjauan pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/632/jbptitbpp-gdl-oralinaman-31578-3... · Perbedaan interpersonal respon psikologis terhadap ... interaksinya

Embed Size (px)

Citation preview

5

BAB II Tinjauan Pustaka

II.1 Analisis Risiko

Risiko merupakan suatu kemungkinan terjadinya kerusakan atau penderitaan

akibat suatu bahaya. Bahaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang berpotensi

menyebabkan kerugian ataupun kerusakan (Soemirat, 2000). Risiko akibat

paparan panas sangat sulit ditentukan karena dipengaruhi oleh interaksi antara

enam parameter dasar. Perbedaan interpersonal respon psikologis terhadap panas

membuat prediksi risiko ini menjadi rumit.

Analisis risiko merupakan teknik untuk menganalisis risiko dalam berbagai

bidang seperti toksikologi, higiene industri, keselamatan kerja, AMDAL, prediksi

cuaca, epidemiologi, dan perilaku sosial atau juga sebagai metode campuran dari

ilmu pengetahuan rekayasa dan statistik untuk menilai dan melakukan prediksi

apa yang akan terjadi akibat adanya paparan zat berbahaya di masa yang akan

datang (Soemirat, 2000).

The Health and Safety Executive (2007) mengusulkan lima langkah dalam

analisis risiko yang bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan analisis

yaitu:

1. Identifikasi bahaya. Suatu zat dapat diidentifikasi sebagai zat yang berbahaya

bagi kesehatan manusia diperoleh dari hasil observasi kasus yang

diperolehkan secara langsung dan tidak langsung. Perlu dilakukan identifikasi

apakah ada sumber panas di tempat kerja, apakah pekerja terpapar dengan

kondisi iklim di luar, apakah pekerja memakai Alat Perlindungan Diri, apakah

pekerja melakukan aktifitas fisik yang intensif. Tujuan dari identifikasi bahaya

ini yaitu untuk mendapatkan data/informasi apakah panas tersebut berbahaya

bagi kesehatan manusia.

2. Menentukan siapa yang berpotensi terpapar zat berbahaya tersebut. Pekerja

yang belum teraklimatisasi untuk bekerja di tempat panas memiliki

kemungkinan untuk terpapar panas di tempat kerja. Kondisi kesehatan pekerja

menjadi faktor yang penting dan perlu dipertimbangkan

6

3. Evaluasi risiko dari bahaya tersebut serta penentuan tindakan pencegahan agar

bahaya tersebut tidak terjadi atau apabila bahaya tersebut tidak dapat dihindari

maka dilakukan tindakan untuk meminimalkan risiko yang akan terjadi.

4. Dokumentasi hasil analisis. Seluruh data yang diperoleh dari hasil analisis

sebaiknya didokumentasikan sebagai dokumen penting perusahaan. Baik

untuk perbaikan di hari yang akan datang ataupun sebagai bukti telah

dilakukan pemeriksaan di lingkungan kerja.

5. Tinjau kembali hasil analisis. Peninjauan kembali akan hasil analisis perlu di

lakukan secara periodik. Hal ini penting untuk mengetahui apakah tindakan

pencegahan berjalan dengan baik atau apakah diperlukan perbaikan kebijakan

agar pekerja yang bekerja di lingkungan kerja tersebut tidak akan mengalami

kecelakaan ataupun gangguan kesehatan akibat kerja.

II.1.1 Identifikasi Bahaya

Identifikasi bahaya merupakan tahapan awal yang dilakukan di dalam analisis

risiko yang bertujuan untuk melakukan identifikasi atau pemeriksaan terhadap

efek negatif yang diakibatkan oleh panas. Kegiatan yang termasuk didalam

identifikasi bahaya adalah pengumpulan dan evaluasi terhadap berbagai data

gangguan kesehatan atau penyakit yang dapat disebabkan oleh suatu zat dan

kondisi paparan yang menghasilkan kerusakan lingkungan, cedera atau penyakit.

Identifikasi juga dilakukan terhadap populasi target dan kondisi paparan.

Identifikasi bahaya juga melibatkan karakterisasi dari sifat zat didalam tubuh dan

interaksinya terhadap organ, sel, dan material genetik (Leeuwen, 1995).

Gangguan kesehatan yang dimaksud juga termasuk gejala-gejala awal akibat

paparan seperti sakit kepala, mual, iritasi, dan lain sebagainya (Hickox, 2001).

Dalam tahap ini dibutuhkan banyak informasi atau data untuk evaluasi yang tepat.

Data-data yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: sifat zat kimia/fisika, rute dan

pola paparan, data metabolik dan paramakokinetik, studi toksikologi termasuk

short term test dan studi hewan long term, studi pada manusia dan informasi

tambahan, termasuk studi in vitro dan hubungan structure-activity relationship.

Seluruh data dikumpulkan sebagai bukti bahwa zat tersebut dapat menyebabkan

efek terhadap kesehatan (Patrick, 1994)

7

Data-data ini dapat diperoleh melalui penelitian di laboratorium, data kecelakaan

atau dari berbagai sumber seperti pengukuran langsung di lapangan. Identifikasi

bahaya juga meliputi karakterisasi bahaya terhadap tubuh (Leeuwen, 1995).

Teknik-teknik yang digunakan dalam identifkasi bahaya yaitu (Soemirat, 2000):

1. Studi epidemiologi

Studi epidemiologi pada manusia biasanya digunakan untuk melakukan

evaluasi risiko kesehatan akibat paparan suatu zat pada suatu kelompok seperti

pekerja yang terpapar panas di tempat kerja. Studi epidemiologi dipelajari

mengenai pola atau distribusi dan frekuensi terjadinya penyakit pada pekerja

serta faktor-faktor yang mempengaruhi pola atau distribusi tersebut atau faktor

yang menentukan terjadinya penyakit pada pekerja misalnya akibat paparan

panas. Selain itu studi epidemiologi juga mempelajari mengenai hubungan

sebab akibat dengan efek langsung terhadap pekerja akibat paparan panas.

2. Uji hewan atau bioesei (in vivo)

3. Uji pada kultur jaringan atau sel (in vitro)

4. Analisis hubungan aktivitas dengan struktur molekul

Bahaya di lingkungan kerja dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu

(Olishifski,1971):

1. Zat kimia baik dalam bentuk cairan maupun padatan seperti debu, uap logam,

gas, embun

2. Zat fisis seperti radiasi elektromagnetik, radiasi pengion, bising, vibrasi,

temperatur

3. Zat biologi seperti insekta, tungau, jamur, ragi, bakteri dan virus

4. Ergonomik yaitu posisi badan pada saat melakukan pekerjaan, tinggi badan,

kondisi jiwa

8

Menurut Bethea & Parson (2002) terdapat tiga macam metode yang digunakan

untuk melakukan pemeriksaan di lingkungan ekstrim panas, yaitu:

1. Empiris: data yang diperoleh dari hasil penelitian laboratorium dapat

digunakan untuk memperkirakan pengaruh-pengaruh lingkungan terhadap

manusia. Misalnya reaksi fisiologi.

2. Langsung: dilakukan pengukuran langsung di lapangan terhadap beberapa

parameter. Misalnya suhu bola, kecepatan angin.

3. Rasional: perhitungan perubahan panas antara manusia dengan lingkungan

dapat digunakan untuk memperkirakan reaksi manusia.

Gambar II.1. Diagram penentuan suatu nilai indeks

Sumber: (Bethea & Parson, 2002)

II.2 Termodinamika

Di dalam hukum pertama Termodinamika dikatakan bahwa jumlah energi di

dalam suatu sistem tertutup mendekati konstan, energi itu tidak dapat diciptakan

dan dimusnahkan. Tetapi energi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.

Pada saat melakukan aktifitas atau bekerja, manusia merubah energi kimia

(karbohidrat dan lemak) yang tersimpan menjadi energi kinetic dan energi termal

(panas). Sekitar 80% dari energi kimia yang diubah tidak digunakan untuk

melakukan aktifitas, tetapi akan muncul sebagai panas tubuh. Oleh karena itu

seorang yang berbobot 70 Kg yang melakukan aktifitas sebesar 200 Watt (W)

misalnya lari, bekerja, akan mengkonsumsi 2,51 oksigen setiap menitnya dan 800

PARAMETER LINGKUNGAN Temperatur udara Temperatur radisai

Kelembaban Kecepatan angin

ATRIBUT PEKERJA Metabolisme

Pakaian

KRITERIA PENILAIAN NILAI INDEKS

9

2( ) .S M W E R C K W m−⎡ ⎤= − ± ± ± ± ± ⎣ ⎦

J.s-1 dari 1000 J.s-1 akan diubah menjadi panas yang akan menyebabkan naiknya

�emperature jaringan tubuh sekitar 1oC setiap menitnya (Taylor, 2005).

Termodinamika ini akan dipengaruhi oleh pelepasan energi panas antara tubuh

dengan lingkungan serta interaksi antara panas lingkungan dengan kemampuan

adaptasi manusia terhadap panas. Secara matematika hubungan ini dapat

dinyatakan sebagai berikut (Taylor, 2005):

(2.1)

S = panas yang tersimpan (+ yang tersimpan; - yang dilepaskan) 2.W m−⎡ ⎤⎣ ⎦ M = laju energi panas yang dihasilkan tubuh melalui proses metabolisme

2.W m−⎡ ⎤⎣ ⎦

W = laju kerja yang dihasilkan oleh tubuh 2.W m−⎡ ⎤⎣ ⎦ R = perubahan panas melalui radiasi (- yang dilepaskan; + yang diperoleh)

2.W m−⎡ ⎤⎣ ⎦ C = perubahan panas melalui konveksi (- yang dilepaskan; + yang diperoleh)

2.W m−⎡ ⎤⎣ ⎦ K = perubahan panas melalui konduksi (- yang dilepaskan; + yang diperoleh)

2.W m−⎡ ⎤⎣ ⎦

E = perubahan panas melalui evaporasi (-) 2 1. .W m kPa− −⎡ ⎤⎣ ⎦

Thermal compensability didefenisikan sebagai interaksi antara tubuh dengan

lingkungan. Sebagai contoh pada lingkungan yang panas dimana pelepasan panas

terjadi melalui penguapan keringat maka thermal compensability ditentukan

melalui perbandingan antara Ereq (required evaporative heat loss) dengan Emax

(maximal evaporative cooling) termasuk pakaian. Apabila Ereq lebih besar dari

Emax maka kondisi lingkungan dapat dikatakan bersifat merugikan bagi pekerja

(Taylor, 2005).

10

UNCOMPENSABLE HEAT STRESS

PANAS YANG DIHASILKAN PANAS YANG DILEPASKAN

Ereq Emax

COMPENSABLE HEAT STRESS

Panas metabolisme

Produksi keringat

pakaian

Temperatur udara Pergerakan udara

Tekanan uap udara

Panas radiasi

Gambar II.2. Thermal compensability di lingkungan panas: hubungan antara Ereq dengan Emax

Sumber: (Taylor,2005)

II.3 Mekanisme Perpindahan Panas dari Permukaan Kulit

Terjadinya proses perpindahan panas dari dalam tubuh ke lingkungan akan

menjadi hal yang sangat penting dalam usaha mempertahankan suhu tubuh agar

tetap konstan. Panas dari dalam tubuh akan dibawa oleh darah menuju kulit

kemudian dipindahkan ke lingkungan luar melalui proses konduksi, konveksi,

radiasi dan penguapan atau evaporasi (Guyton & Hall,1997).

Seperti terlihat pada Gambar II.3 bahwa orang yang tidak menggunakan pakaian

pada suhu kamar yang normal, kehilangan panas kira-kira 60% dari kehilangan

panas total (sekitar 15%) melalui radiasi. Kehilangan panas melalui radiasi berarti

kehilangan dalam bentuk gelombang panas inframerah, suatu jenis gelombang

elektromagnetik. Sebagian besar gelombang panas inframerah yang memancar

dari tubuh memiliki panjang gelombang 5 sampai 20 mikrometer, 10 sampai 30

kali panjang gelombang cahaya. Tubuh manusia memancarkan gelombang panas

ke segala penjuru. Gelombang panas juga dipancarkan dari benda benda lain ke

tubuh. Bila suhu tubuh lebih tinggi dari suhu lingkungan, kuantitas panas yang

11

lebih besar dipancarkan keluar dari tubuh lebih besar dari pada yang dipancarkan

ke tubuh (Guyton & Hall,1997).

Gambar II.3. Mekanisme perpindahan panas dari tubuh

Sumber: (Guyton & Hall,1997)

Proses konduksi merupakan suatu proses perpindahan panas dari temperatur

tinggi ke temperatur rendah melalui pergerakan antar molekul suatu material

tanpa adanya pergerakan suatu material. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar

II.3 hanya sejumlah kecil panas yang biasanya hilang dari tubuh melalui konduksi

langsung dari permukaan tubuh ke benda benda lain yang berada di sekitarnya.

Sebaliknya, kehilangan panas melalui konduksi ke udara memang mencerminkan

bagian kehilangan panas tubuh yang cukup besar (kira-kira 15%) walaupun dalam

keadaan normal. Panas merupakan energi yang dipindahkan antara dua zat yang

berbeda temperatur. Sebagian besar energi ini dapat dipindahkan ke udara apabila

suhu udara lebih dingin dari kulit sehingga meningkatkan kecepatan gerakan

molekul-molekul udara. Apabila suhu udara hampir sama dengan suhu kulit maka

tidak akan terjadi perpindahan panas dari tubuh ke udara (Guyton & Hall,1997).

Pemindahan panas dari tubuh melalui konveksi udara secara umum disebut

kehilangan panas melalui konveksi. Sebelumnya panas harus dikonduksikan ke

udara kemudian dibawa melalui aliran konveksi. Sejumlah kecil konveksi hampir

selalu terjadi di sekitar tubuh akibat kecenderungan udara di sekitar kulit untuk

naik sewaktu manjadi panas. Oleh karena itu, orang yang tidak menggunakan

pakaian yang berada di ruangan yang nyaman tanpa adanya gerakan udara yang

besar masih tetap kehilangan sekitar 15% dari panas tubuhnya melalui konduksi

Dinding

Radiasi (60%)

Gelombang panas

Aliran udara (konveksi)

Konduksi ke udara (15%) Konduksi ke benda (3%)

Evaporasi (22%)

12

ke udara kemudian oleh konveksi udara menjauhi tubuhnya (Guyton & Hall,

1997).

Pada saat suhu kulit lebih tinggi dari suhu lingkungan maka panas dapat hilang

melalui radiasi dan konduksi. Tetapi ketika suhu lingkungan lebih tinggi dari suhu

kulit, tubuh memperoleh panas melalui radiasi dan konduksi. Dalam keadaan

seperti ini, satu-satunya cara tubuh melepaskan panas adalah dengan evaporasi.

Oleh karena itu, setiap faktor yang mencegah evaporasi pada saat suhu lingkungan

lebih tinggi dari suhu kulit akan menyebabkan peningkatan suhu tubuh (Guyton &

Hall, 1997). Evaporasi merupakan proses perpindahan panas yang paling sering

terjadi. Proses evaporasi melepaskan sekitar 80% panas dari dalam tubuh pada

saat melakukan aktifitas dan sekitar 20% pada saat beristirahat ke lingkungan

sekitar (King, 2004).

II.4 Aklimatisasi Mekanisme Berkeringat

Seseorang yang normal dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan iklim,

terkadang dapat membentuk keringat lebih dari 1 liter per jam pada saat terpapar

panas selama 1 sampai 6 minggu. Orang tersebut secara perlahan lahan akan

berkeringat lebih banyak, sering kali meningkatkan sekresi maksimal keringat 2

hingga 3 liter per jam. Evaporasi keringat yang lebih banyak ini dapat

memindahkan panas dari tubuh dengan kecepatan lebih dari sepuluh kali

kecepatan pembentukan panas basal normal. Peningkatan efektivitas mekanisme

berkeringat ini disebabkan peningkatan langsung pada kemampuan kelenjar

keringat itu sendiri (Guyton & Hall, 1997).

Penurunan konsentrasi natrium klorida dalam keringat juga berhubungan dengan

aklimatisasi yang memungkinkan konservasi garam yang lebih baik secara

perlahan lahan. Sebagian besar efek ini disebabkan oleh peningkatan sekresi

aldosteron yang selanjutnya dihasilkan dari penurunan kadar natrium klorida

dalam cairan ekstraseluler dan plasma. Orang yang tidak dapat menyesuaikan diri

dengan iklim yang banyak berkeringat sering kehilangan garam sebesar 15 sampai

30 gram setiap hari untuk beberapa hari pertama. Setelah 4 sampai 6 minggu

13

menyesuaikan diri, kehilangan garam biasanya menjadi 3 hingga 5 gram per hari

(Guyton & Hall, 1997).

Berdasarkan berbagai penelitian Armstrong dan Maresh (1991); Hargreaves dan

Febbraio (1998) menunjukkan bahwa pekerja teraklimatisasi lebih awal dan lebih

banyak berkeringat pada seluruh permukaan tubuhnya dibandingkan pekerja tidak

teraklimatisasi menyebabkan temperatur inti dan detak jantung lebih rendah

dibandingkan pekerja yang tidak teraklimatisasi. Perbedaan antara pekerja

teraklimatisasi dan tidak teraklimatisasi ada pada respon fisiologisnya.

II.5 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Sensasi Panas

Pada saat seseorang yang bekerja di lingkungan bersuhu ekstrim panas,

temperatur inti tubuhnya akan mulai naik dan keringat pun diproduksi oleh tubuh

dengan tujuan untuk melepaskan panas berlebih di tubuh melalui proses

penguapan keringat. Jika cairan tubuh yang keluar dari tubuh yang berupa

keringat tersebut tidak digantikan maka tubuh tidak akan mampu memproduksi

keringat kembali menyebabkan temperatur inti tubuh akan terus meningkat yang

kemudian akan menyebabkan timbulnya masalah yang serius.

Menurut OSH Department of labor Wellington New Zealand (1997) faktor-faktor

penting yang mempengaruhi seseorang dapat merasakan sensasi panas ataupun

dingin, adalah:

1. Temperatur udara

Temperatur udara dapat diukur dengan menggunakan termometer. Temperatur

udara akan mempengaruhi seseorang merasakan sensasi panas atau dingin

lingkungan.

2. Kelembaban

Kelembaban adalah kadar air di dalam udara. Kelembaban yang tinggi

cenderung membuat orang merasa lebih panas dibandingkan kelembaban yang

rendah. Hal ini disebabkan karena keringat yang diproduksi oleh tubuh tidak

dapat menguap karena udara di sekitar telah jenuh dengan uap air.

14

3. Panas radiasi

Panas radiasi diemisikan oleh benda-benda yang panas. Panas radiasi

membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memanaskan udara di sekitarnya

tetapi manusia jauh lebih cepat merasakan panasnya.

4. Pergerakan udara

Pada umumnya pergerakan udara akan memberikan rasa sejuk pada seseorang.

Kecepatan aliran udara merupakan salah satu faktor yang diukur di lingkungan

yang panas.

5. Aktivitas fisik

Aktivitas fisik akan meningkatkan jumlah panas di dalam tubuh menyebabkan

meningkatnya suhu tubuh. Panas berlebih di dalam tubuh dapat

mengakibatkan seseorang tersebut terkena risiko heat strain.

6. Pakaian

Pakaian dapat melindungi atau mencegah transfer panas dari tubuh ke

lingkungan sekitar selain itu pakaian juga dapat melindungi seseorang dari

faktor-faktor lingkungan seperti panas radiasi ataupun angin. Pada saat udara

berhembus di permukaan kulit, biasanya temperaturnya lebih rendah

dibanding kulit dan bersifat mendinginkan. Oleh karena itu panas akan

dilepaskan ke udara melalui kulit. Ketika terdapat perbedaan antara temperatur

permukaan tubuh dengan temperatur ruangan maka panas akan dilepaskan

secara radiasi. Tubuh juga dapat melepaskan panas dengan cara evaporasi

melalui keringat.

Agar temperatur tubuh stabil maka pelepasan panas diperlukan untuk

menseimbangkan produksi panas. Jika tidak, temperatur tubuh akan berubah dan

menyebabkan temperatur tubuh naik atau turun. Yang dapat dituliskan sebagai

berikut:

Panas Tersimpan = produksi panas – pelepasan panas (2.2)

= (rata-rata metabolisme tubuh – external work) –

(konduksi + radiasi + konveksi + evporasi + respirasi)

15

Fungsi dari pakaian adalah sebagai penahan perpindahan panas dan kelembaban

antara kulit dan lingkungan. Pakaian dapat melindungi kita terhadap paparan

panas dan dingin, tetapi memiliki efek samping yaitu menghambat pelepasan

panas saat bekerja. Contohnya, apabila seseorang melakukan kerja di musim

dingin dan menggunakan baju pelindung, panas akan terakumulasi dengan cepat

di dalam tubuh karena baju pelindung sangat resistan terhadap pelepasan panas

dan uap. Perlindungan ini tercipta oleh kombinasi bahan penyusun baju itu sendiri

dan udara yang terkandung di dalam baju pelindung dan oleh udara sekitar yang

mengelilingi permukaan luar baju (Havenith, 1999).

Pertukaran panas melalui material baju terjadi terutama melalui konduksi dan

radiasi. Hampir seluruh material penyusun baju, volume udara yang terdapat di

dalamnya jauh lebih besar dari pada volume seratnya. Oleh karena itu keefektifan

pengisolasian sangat tergantung kepada ketebalan dari material penyusunnya dan

kepada tipe seratnya. Serat penyusun baju umumnya mempengaruhi jumlah

pertukaran panas melalui radiasi selain memantulkan, menyerap dan

memancarkan kembali radiasi (Havenith, 1999).

Material penyusun baju yang permeabel (dapat ditembus oleh air), jenis materi

penyusun baju sangat menentukan daya perlindungannya terhadap penguapan dan

karena volume serat lebih rendah dari pada volume udara di baju maka daya

perlindungan terhadap pertukaran uap air secara difusi melewati kain sangat

ditentukan oleh ketebalan dari lapisan udara yang terkandung di dalam materi

penyusun baju tersebut. Untuk baju yang tipis, hal yang sebaliknya terjadi

(Havenith, 1999).

Dalam pembuatannya tidak hanya material/bahan penyusunnya saja yang perlu

dipikirkan, tetapi bagaimana keefektifan mengisolasinya, sifat dari lapisan udara

di antara dan di luar lapisan baju menjadi sangat penting, itulah sebabnya baju ini

memiliki lebih dari satu lapisan saja. Lapisan memiliki ketebalan 6 mm (12 mm

total permukaan luar dan dalam). Sedangkan untuk ketebalan kainnya

dipergunakan 15 mm per setiap lapisan pengisolasi (Havenith, 1999).

16

Goretex adalah bahan kedap air dengan penyusun bahan-bahan turunan

polytetrafluoroethylene (PTFE) dan fluoropolymer. Bahan-bahan ini

dipergunakan secara luas untuk berbagai aplikasi seperti lapisan bahan

berperfoma tinggi, operasi medis (implant), bahan penyaring, dan penutup

(insulasi) untuk kabel dan penyekat (seal). Sekarang ini, lapisan goretex

menggantikan lapisan dalam polyuretan dengan lapisan fluoropolymer yang tipis

dan berpori (teflon) dengan dilapisi polyuretan yang mengikat ke lapisan tersebut,

biasanya nylon atau polyester. Lapisan tipis ini memiliki 9 milar pori per inchi

kuadrat, yang setiapnya berukuran kira-kira 1/20,000 dari tetesan air yang

menyebabkan lapisan ini tidak dapat ditembus oleh air dalam bentuk cair tetapi

keringat yang dihasilkan oleh tubuh akibat peningkatan suhu tubuh dapat

diuapkan ke udara melewati lapisan ini dan panas tubuh juga akan tertahan di

dalam dan tidak dapat melewati lapisan goretex ini (Wikipedia, 2008).

Gambar II.4 Lapisan Goretex

Sumber: (TOG 24 Technical Performance winter and outdoor clothing, 2008)

Menurut OSH Department of labor Wellington New Zealand (1997) faktor-faktor

pribadi juga sangat mempengaruhi seseorang untuk merasakan sensasi panas atau

dingin, yaitu:

1. Berat badan

Orang yang kelebihan berat badan sangat berisiko bukan hanya di lingkungan

panas tetapi juga lingkungan yang dingin. Hal ini disebabkan karena tidak

terjadinya keseimbangan transfer panas antara tubuhnya dengan lingkungan.

17

2. Kesehatan

Ada beberapa kondisi kesehatan yang akan memperbesar risiko bahaya

seseorang apabila bekerja di lingkungan bertemperatur ekstrim panas atau

dingin. Seperti penyakit jantung, diabetes, penyakit kulit, dan gangguan

pernafasan.

3. Umur

Daya tahan tubuh seseorang akan menurun apabila seseorang tersebut

berumur 45 tahun keatas. Hal ini membuat seseorang lebih rentan terhadap

bahaya yang disebabkan oleh lingkungan ekstrim panas atau dingin.

4. Kebiasaan berolahraga

Kondisi fisik akan semakin membaik apabila seseorang secara teratur

berolahraga, sehingga lebih mampu mengatasi bahaya dari lingkungan ekstrim

panas atau dingin.

5. Konsumsi zat-zat tertentu

Mengkonsumsi zat-zat tertentu seperti alkohol, kokain, morfin dan lain lain

akan memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan seseorang.

II.6 Hipotalamus

Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persyarafan umpan balik

dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang

terletak di hipotalamus. Sistem kerja endokrin diatur oleh kelenjar hipotalamus.

Perintah dari otak untuk mengubah sistem kerja endokrin harus melalui

hipotalamus. Bagian-bagian hipotalamus dapat dilihat pada bagian dasar dan mid-

sagittal dari otak besar dan juga terdapat pada mammillary body dan pada

infundibulum (tuber cinerum). Hipotalamus adalah wilayah pada otak yang

berlokasi di atas kelenjar pituitary. Faktanya, hipotalamus berhubungan dengan

pituitary dan terhubung melalui hypophyseal. Hipotalamus melepaskan enam

jenis hormon, yang mana fungsinya diatur oleh kelenjar pituitary (Guyton & Hall,

1997).

Thyrotropin releasing hormone (TRH) adalah hormon tripeptide yang dilepaskan

oleh sel khusus pada hipotalamus. TRH bergerak ke arah hypophyseal melalui

18

jalur hypothalamal-hypophyseal dan sampai ke depan kelenjar pitutiary. Disini,

TRH akan merangsang pengeluaran Thyroid Stimulating Hormone (TRH) dan

prolactin (Guyton & Hall, 1997).

Hipotalamus memegang peranan penting dalam mengatur temperatur tubuh.

Sensor yang disebut thermoreceptors adalah sistem sensor yang sangat baik yang

dapat mendeteksi perubahan temperatur tubuh dan dengan cepat menyampaikan

pesan ke kelenjar hipotalamus. Hipotalamus memberikan respon dengan cara

mengaktifkan mekanisme yang mengatur temperatur tubuh. Hipotalamus

memiliki memori yang menyimpan temperatur yang optimal bagi tubuh. Jika

temperatur ini tidak tercapai maka hipotalamus akan mengaktifkan pusat

pengaturan temperatur hipotalamus (Guyton & Hall, 1997).

Setiap perubahan pada temperatur tubuh akan diterima oleh dua jenis

thermoreceptors yaitu central receptors dan peripheral receptors. Central

receptors memantau temperatur darah yang disirkulasikan hingga ke otak dan

periperal receptors terletak di kulit. Receptor ini memberikan informasi suhu

lingkungan luar. Hal inilah yang menyebabkan kita secara sadar mampu

mendeteksi temperatur dan bereaksi pada lingkungan yang panas dan dingin

(Guyton & Hall, 1997).

Ketika temperatur kulit atau darah di atas normal, hipotalamus tidak hanya

mengirimkan sinyal yang mengaktifkan kelenjar keringat, tetapi juga melenturkan

selaput otot pada dinding arteri tempat darah mengalir, arteri akan memperbesar

diameternya (berdilatasi). Semakin panas suhu semakin banyak produksi keringat.

Darah membawa panas dari dalam tubuh dan akan lebih banyak panas yang dapat

dilepaskan apabila lebih banyak dan cepat darah yang dialirkan (Guyton & Hall,

1997).

II.7 Termoregulasi

Sistem termoregulasi merupakan suatu sistem yang terjadi di dalam tubuh yang

bertujuan untuk mempertahankan temperatur tubuh agar tetap konstan. Perubahan

19

ini dapat diakibatkan oleh perubahan kondisi eksternal lingkungan seperti

kelembaban, temperatur udara, pergerakan udara, panas radiasi, aktivitas fisik,

dan pakaian yang digunakan serta akibat proses metabolisme (pencernaan dan

penyerapan makanan yang merubahnya menjadi panas) (Polk et.al, 1995).

Gambar II.5. Diagram kesetimbangan panas

Sumber: (Bindon, 2002)

Temperatur tubuh di setiap bagian akan berbeda-beda, temperatur kulit biasanya

jauh lebih tinggi dibandingkan temperatur inti tubuh. Hal ini disebabkan karena

kulit memiliki kontak langsung dengan lingkungan luar. Yang dimaksud dengan

temperatur inti tubuh di sini yaitu temperatur pada bagian-bagian organ dalam,

otak dan jaringan-jaringan tubuh (Polk et.al,1995).

Hampir seluruh organ tubuh dapat bekerja secara maksimal pada temperatur yang

relatif konstan sekitar 37oC. Temperatur tubuh diluar temperatur normal, baik

akibat kondisi lingkungan maupun aktivitas fisik dapat menyebabkan kerusakan

jaringan-jaringan tubuh seperti yang terlihat pada Gambar II.5 (King, 2004).

20

Gambar II.6. Diagram termoregulasi suhu tubuh

Sumber: (Bindon, 2002)

Menurut OSH Department of labor Wellington New Zealand (1997) tubuh

memiliki beberapa cara untuk menjaga agar temperatur inti tubuhnya tetap dalam

keadaan konstan, yaitu:

1. Berkeringat

Tujuan tubuh memproduksi keringat adalah untuk menurunkan temperatur

inti. Pelepasan panas terjadi melalui proses penguapan keringat yang terjadi di

permukaan kulit.

2. Menggigil

Dengan tujuan untuk menaikkan temperatur inti. Menggigil merupakan suatu

aktivitas refleks yang dilakukan oleh sel-sel otot untuk meningkatkan jumlah

panas metabolisme yang akan dihasilkan.

3. Menaikkan atau menurunkan aliran darah ke kulit

Pada lingkungan yang panas maka aliran darah ke kulit akan semakin

meningkat berguna untuk membantu proses perpindahan panas dari tubuh ke

lingkungan. Sedangkan pada lingkungan yang dingin aliran darah ke kulit

akan berkurang untuk mencegah hilangnya panas di tubuh.

21

Sistem pengaturan temperatur menggunakan tiga mekanisme penting untuk

menurunkan panas tubuh ketika temperatur menjadi sangat tinggi:

1. Vasodilatasi

Pada hampir semua area tubuh, pembuluh darah kulit berdilatasi dengan kuat,

hal ini disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus

posterior yang menyebabkan vasokonstriksi. Vasodilatasi penuh akan

meningkatkan kecepatan perpindahan panas ke kulit sebanyak delapan kali

lipat.

2. Berkeringat

Peningkatan temperatur tubuh 1oC menyebabkan keringat yang cukup banyak

untuk membuang 10 kali lipat lebih besar kecepatan metabolisme basal dari

pembentukan panas tubuh (Guyton & Hall,1997). Laju metabolisme basal

adalah panas yang dihasilkan oleh manusia di lingkungan yang netral (33oC)

pada saat istirahat dan 12 jam setelah makan terakhir. Laju metabolisme basal

untuk pria dengan berat 70 Kg kira-kira 1.2 W/Kg tetapi itu dapat berubah

seiring dengan perubahan berat tubuh, diet, jumlah kelenjar endokrin.

Metabolisme basal juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti produktivitas

kerja, umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, besarnya aktivitas seseorang dan

tingkat kesehatan (Polk et.al,1995).

3. Penurunan pembentukan panas

Mekanisme yang menyebabkan pembentukan panas berlebihan, seperti

menggigil dan termogenesis kimia dihambat dengan kuat.

II.8 Sistem Kerja Jantung (Bekerja pada lingkungan panas)

Peningkatan temperatur seperti yang terjadi sewaktu seseorang menderita demam

akan sangat meningkatkan frekuensi jantung terkadang dua kali dari frekuensi

denyut jantung. Penurunan temperatur sangat menurunkan frekuensi denyut

jantung sehingga turun sampai serendah beberapa denyut per menit seperti pada

seseorang yang mendekati kematian akibat hipotermia dalam kisaran 60oF sampai

70oF (15,5oC sampai 21,2oC). Penyebab pengaruh ini kemungkinan karena panas

meningkatkan permeabilitas membran otot terhadap ion yang menghasilkan

peningkatan proses perangsangan sendiri. Kekuatan kontraksi jantung sering

22

dipercepat secara temporer melalui suatu peningkatan temperatur yang sedang

tetapi peningkatan temperatur yang lama akan melemahkan sistem metabolik

jantung dan menyebabkan kelemahan (Guyton & Hall, 1997).

ATP adalah inti sel yang memiliki berbagai fungsi terutama sebagai molekul inti

dalam proses perubahan energi didalam sel. ATP diproduksi sebagai salah satu

sumber energi pada proses fotosintesis dan pernafasan sel dan dikonsumsi oleh

berbagai enzim dan berbagai proses proses sel termasuk reaksi biosintesis,

pembentukan dan pemecahan sel. Selama beraktivitas di lingkungan panas ketika

permintaan untuk melepaskan temperatur tubuh tinggi sistem kerja jantung akan

terbebani. Selama bekerja, produksi ATP akan meningkat dan harus

disirkulasikan ke otot melalui darah. Oleh karenanya jantung harus berkontraksi

dengan sangat maksimal untuk memenuhi kebutuhan suplai ATP ke otot dan

suplai darah ke kulit untuk melepaskan temperatur. Pada kenyataannya jantung

tidak dapat memenuhi hal ini secara bersamaan. Hal ini dikarenakan ketika terjadi

pertambahan volume darah yang dialirkan ke otot dan kulit volume darah yang

kembali lebih sedikit. Hasilnya tidak otot ataupun kulit menerima suplai darah

yang mencukupi untuk tetap menseimbangkan proses metabolismenya meskipun

jantung tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan ini dengan cara mempercepat

denyutnya (King, 2004).

Bekerja pada lingkungan panas meningkatkan jumlah konsumsi oksigen, yang

mana juga akan menyebabkan otot-otot yang bekerja mempergunakan lebih

banyak glikogen dan harus memproduksi lebih banyak asam laktat. Tempat yang

panas akan meningkatkan produksi keringat, dan bekerja membutuhkan energi

lebih yang menyebabkan tingkat frekuensi bernafas. Saat berkeringat banyak,

volume darah akan berkurang karena sejumlah air dilepaskan melalui keringat

(King, 2004).

II.9 Hubungan antara Tekanan, Aliran dan Tahanan

Aliran melalui pembuluh darah ditentukan oleh dua faktor yaitu perbedaan

tekanan antara kedua ujung pembuluh (gradien tekanan) yaitu tenaga yang

23

Gradien tekanan

Tekanan Aliran darah

P1 P2

PQRΔ

=

4. .8. .

r PQlπν

=

mendorong darah melalui pembuluh dan yang kedua yaitu rintangan bagi aliran

darah melalui pembuluh yang disebut tekanan vaskular. Prinsip dasarnya dapat

dijelaskan dengan hukum Hagen Poiseuliie:

(2.3)

yaitu bahwa “Q” yang menunjukkan aliran volume darah per satuan waktu,

besarnya sepadan dengan “P” yaitu tekanan dalam pembuluh darah yang

berbanding pangkat empat dari radiusnya (“r”) dan berbanding terbalik dari

panjang pembuluh darah (“l”) dan koefisien viskositas (“ν”) dan konstanta “8”.

Juga sesuai dengan “hukum Ohm” (Puruhito, 2007).

Gambar II.6 menggambarkan hubungan ini, terlihat segmen pembuluh darah yang

berlokasi dimanapun dalam sistem sirkulasi. P1 merupakan tekanan pada

permulaan pembuluh; pada ujung lain tekanannya adalah P2. tahanan untuk aliran

(R) terjadi sebagai akibat gesekan di sepanjang di bagian dalam sel. Aliran

melalui pembuluh dapat dihitung dengan rumus berikut yang disebut hukum ohm

(Guyton & Hall, 1997):

(2.4)

di mana volume aliran darah ”Q” tergantung beda tekanan (”gradient”) antara

tekanan sentral dan tekanan perifer (ΔP = P1-P2) serta tahanan perifer. Kecepatan

aliran darah (”V”) tunduk pada rumus V = Q/A. ”V” berbanding lurus terhadap

”Q” dan berbanding terbalik terhadap diameter pembuluh darah (”A”).

Gambar II.7. Hubungan antara tekanan, tahanan, dan aliran darah

Sumber: (Guyton & Hall, 1997)

Sebagai pengaruhnya rumus ini menetapkan bahwa aliran darah berbanding lurus

dengan perbedaan tekanan tetapi berbanding terbalik dengan tahanan. Hukum

ohm menyatakan hal yang paling penting dari seluruh hubungan bahwa perlunya

pemahaman tentang hermodinamika sirkulasi (Guyton & Hall, 1997).

24

Hukum Bernouli mengatakan bahwa dalam suatu pembuluh silindris, maka

jumlah antara tekanan frontal dan tekanan samping adalah konstan (selalu sama)

tetapi tekanan ke samping ke arah dinding berbanding terbalik secara proporsional

dengan kecepatan alirannya. Jadi apabila kecepatan aliran darah berkurang, maka

di dalam pembuluh darah akan terjadi tekanan samping yang naik dan tekanan

frontal akan turun. Sangat sulit untuk membedakan kecepatan pulsasi darah

dengan kecepatan aliran darah, karena pulsasi tergantung pada elastisitas dinding

arteri, yang pada arteriosklerosis (proses penuaan/degenerasi) akan turun, apalagi

bila terjadi aterosklerosis (penumpukan atherom pada dinding pembuluh darah)

(Puruhito, 2007).

Pada usia tua, karena proses sklerosis dinding arteri, akan terjadi kenaikan

kecepatan pulsasi dan karena terjadinya hambatan aliran, maka kemudian akan

menurun. Selain itu, untuk pembuluh darah juga dipengaruhi oleh inervasi

vegetatif (”neural”) dan juga humoral (katekolamin, asetilkolin, dsb) serta

pengaruh faktor-faktor fisik lain (trauma, konstriksi atau robekan dinding)

(Puruhito, 2007).

II.10 Pengukuran Tekanan Panas

Heat stress terjadi pada saat tubuh tidak mampu menjaga temperatur inti tubuhnya

menyebabkan berkurangnya aliran darah ke sel-sel otot, otak, organ-organ dalam

lainnya sehingga pekerja merasa lelah dan tidak mampu melakukan pekerjaannya

dengan baik sehingga dapat mengakibatkan kecelakan kerja.

Heat strain yang berkepanjangan dapat mengganggu fungsi psychomotor yang

pada akhirnya mempengaruhi produktivitas. Oleh karena itu perlu dilakukan

pemeriksaan tekanan panas di lingkungan kerja serta reaksi psikologis pekerja

terhadapnya. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga kondisi kesehatan serta

produktivitas pekerja agar tetap optimal (Rodahl, 2003).

Parson (2006) menjelaskan bahwa ISO 7243 merupakan metode sederhana yang

tepat untuk digunakan pada pemeriksaan tekanan panas di lingkungan kerja

25

temperatur ekstrim panas yaitu dengan metode suhu basah dan bola (ISBB).

Untuk memperoleh nilai ISBB terlebih dahulu dilakukan pengukuran suhu kering,

suhu basah dan suhu bola/radiasi yang kemudian dihitung menurut persamaan

berikut:

untuk tempat kerja yang terkena radiasi sinar matahari secara langsung

ISBB = 0,7sba + 0,2sb + 0,1sk (2.5)

Untuk tempat kerja tanpa pengaruh radiasi sinar matahari

ISBB = 0,7sba + 0,3sb (2.6)

sba = suhu basah

sb = suhu bola

sk = suhu kering

Nilai ISBB yang diperoleh dari hasil pengukuran di lingkungan ekstrim panas

kemudian dibandingkan dengan nilai ambang batas ISBB yang telah ditetapkan.

Metode suhu basah dan bola mengintegrasikan 4 faktor penting di lingkungan

yaitu temperatur udara, kelembaban, kecepatan udara, dan panas radiasi.

Walaupun metode ini tidak memperhitungkan secara lengkap faktor-faktor

lingkungan dan fisik yang mempengaruhi heat strain tetapi memberikan pedoman

yang bermanfaat untuk melindungi pekerja yang bekerja di lingkungan yang

ekstrim panas (Parson, 1999).

Tabel II.1. Nilai referensi berdasarkan ISO 7243

Nilai ambang batas (oC)Pekerja

teraklimatisasiPekerja

tidak teaklimatisasiIstirahat, M < 65 33 32

65 < M < 130 30 29130 < M < 200 28 26

Pergerakan udaraada tidak ada ada tidak ada

200 < 260 26 25 23 22 22M > 260 26 25 20 18 18

Laju metabolisme (W/m2)

Sumber: (Bethea & Parson, 2002)

Malchaire dan Menhert (2000) mengatakan bahwa ISO 7933 adalah suatu metode

yang digunakan untuk pemeriksaan lingkungan panas melalui perhitungan laju

26

keringat (Sreq). Sreq index merupakan bagian dari HSI (heat stress index) dan ITS

(index of thermal strain).

Kriteria berikut dipakai oleh ISO 7933 untuk menentukan waktu paparan

maksimum yang diperbolehkan:

• 2 kelompok pekerja, teraklimatisasi dan tidak teraklimatisasi

• “alarm” dan “danger” dimaksudkan untuk melindungi seluruh dan

mayoritas pekerja

• Kebasahan maksimum (Wmax) sama dengan 1 untuk pekerja yang

teraklimatisasi (diasumsikan bahwa keringat dapat menguap dari seluruh

permukaan kulit apabila dibutuhkan) dan 0,85 untuk pekerja tidak

teraklimatisasi (diasumsikan bahwa berkurangnya efisiensi berkeringat

dan oleh karena itu kemampuan untuk menguapkan keringat hanya pada

85% dari permukaan kulit)

• Rata-rata maksimum keringat (SWmax) (g/h) dijelaskan pada Tabel 2,

dengan metabolisme rata-rata (M) 65 Wm-2 atau 120 W

• Kehilangan air maksimum (Dmax) (g) dijelaskan pada Tabel 2, yang

mewakili berat badan rata-rata antara 3,4% dan 7% (70 kg)

• Panas maksimum yang tersimpan 50 Wh/m2 untuk level “alarm”

(diperkirakan batas rata-rata peningkatan temperatur inti hingga 0,8oC)

dan 60 Wh/m2 untuk level “danger” (dimaksudkan untuk membatasi rata-

rata peningkatan temperatur inti hingga 1oC).

Pengukuran yang dilakukan di lingkungan ekstrim panas ini meliputi pengukuran

temperatur udara, temperatur radiasi, kelembaban, kecepatan udara, dan faktor-

faktor yang berhubungan seperti pakaian, laju metabolisme, bentuk tubuh, yang

digunakan untuk menghitung perubahan panas antara manusia dengan lingkungan

(Bethea & Parson, 2002).

Required evaporation (Ereq)

Oleh karena K=0, maka kesetimbangan panas dapat dituliskan sebagai berikut

E + S = M- W- Crespirasi + Erespirasi - C - R (2.7)

27

Jika S=0, E=Ereq maka laju penguapan yang dibutuhkan untuk menjaga

kesetimbangan panas didalam tubuh menjadi

Ereq = M- W- Cres - Eres - C – R (2.8)

Require skin wettendness (wreq)

wreq = Ereq / Emax (2.9)

Require sweat rate (SWreq)

SWreq = Ereq / rreq (2.10)

Nilai perkiraan ditentukan dari hasil analisis di lingkungan kerja dimana

wp - predicted skin wettedness

Ep - predicted evaporating rate

SWp - predicted sweat rate

Jika wmax lebih besar dari wreq dan SWmax lebih besar dari SWp maka

wp = wreq

Ep = Ereq

SWp = SWreq

Persamaan diatas digunakan apabila nilai perkiraan tidak melebihi nilai

maksimum dan kesetimbangan termal dapat tercapai. Jika yang terjadi adalah

sebaliknya maka persamaan yang digunakan adalah:

wp = wmax

oleh karena itu:

Ep = wp

SWp = Ep/rp (2.11)

Jika SWreq atau SWp diperkirakan melebihi SWmax maka wp dan rp dapat

ditentukan melalui substitusi:

wp Emax = SWmax rp

oleh karena itu:

Ep = wp Emax SWp = SWmax

28

Durations limited exposure (DLEs)

DLE dihitung sebagai fungsi sebuah nilai maksimum panas di dalam tubuh (Qmax)

dan cairan yang hilang (Dmax).

DLE dihitung melalui persamaan berikut ini:

DLE1 = 60 Qmax / (Ereq – Ep) (2.12)

DLE2 = 60 Dmax/ SWp (2.13)

Parson (1999) menjelaskan bahwa ISO 9886 merupakan metode pengukuran dan

interpretasi dari hasil pengukuran fisiologi yaitu temperatur inti tubuh, temperatur

kulit, denyut jantung dan perubahan berat tubuh. Temperatur inti berhubungan

dengan temperatur organ-organ vital termasuk otak. Jika temperatur inti tubuh

terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mengganggu produktivitas dan kesehatan

pekerja bahkan dapat menyebabkan kematian. Perubahan berat badan

dihubungkan dengan heat strain yaitu terjadinya dehidrasi, dan denyut jantung

untuk menjelaskan adanya tekanan pada tubuh.

Heat stress index dikembangkan oleh Belding and Hatch pada tahun 1955 sebagai

sebuah index analitis dalam skala 0 hingga 100 yang menggambarkan heat stress

dan juga heat strain sehingga waktu pekerja untuk bekerja di lingkungan panas

dapat disesuaikan (Bethea & Parson, 2002).

29

Pengaturan waktu kerja setiap jam ISBB (oC)beban kerja

waktu kerja waktu istirahat ringan sedang beratbekerja terus menerus (8jam/hari) 30,0 26,7 25,0

75% kerja 25% istirahat 30,6 28,0 25,950% kerja 50% istirahat 31,4 29,4 27,925% kerja 75% istirahat 32,2 31,1 30,0

kriteria tidak teraklimatisasi teraklimatisasi

peringatan bahaya peringatan bahaya

Max basahnya kulitWmax 0.85 0.85 1 1

Max rata-rata keringat

istirahat

M<65 W/m2 SWmax W/M2100 150 200 300

g/h 260 390 520 780

bekerjaM>=65 W/m2 SWmax

W/m2 200 250 300 400g/h 520 650 780 1040

Max panas yang tersimpan

Qmax h/m2 50 60 50 60

Max hilangnya air

Dmax.h/m2 1000 1250 1500 2000g 2600 3250 3900 5200

Tabel II.2. Nilai referensi berdasarkan ISO 7933

Sumber: (Bethea & Parson, 2002)

Tabel II.3. Rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung Heat Stress Index Berpakaian Tidak berpakaian

Pelepasan radiasi (W.m-2)

Pelepasan konveksi (W.m-2)

Emax (W.m-2)

Ereq (W.m-2)

Heat Stress Index

Waktu paparan yang di

perbolehkan (AET)

R = k1 (35 - tradiasi)

C = k2v0,6 (35 - tudara)

Emax = k3v0,6 (56 -Pa)

(batas max 390 W.m-2 )

Ereq = M-R-C

HSI = (Ereq / Emax ) X 100

AET = 2440/(Ereq –

Emax)mins

k1 = 4,4

k2 = 4,6

k3 = 7,0

7,3

7,6

11,7

Sumber: (Bethea & Parson, 2002)

Tabel II.4. Nilai ambang batas iklim kerja

Sumber: (Keputusan Menteri Tenaga Kerja No KEP.51/MEN/1999)

30

Tabel II.5. Pengaruh lingkungan berdasarkan Heat StressIndex selama 8 jam paparan

Nilai HSI Pengaruh Setelah 8 Jam Paparan

-20 Tekanan dingin ringan 0 Tidak ada tekanan panas

10-30 Tekanan panas ringan ke sedang Mempengaruhi kecakapan dalam bekerja

40-60 Tekanan panas yang berat

Mempengaruhi kondisi fisik/kesehatan pekerja Dibutuhkannya aklimatisasi

70-90 Tekanan panas yang sangat berat Pekerja dipilih berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan

100 Dipastikan bahwa pekerja mengkonsumsi air dan garam yang cukup

Tekanan maksimum diberikan setiap harinya melalui aklimatisasi yang sesuai

Diatas 100 Waktu paparan dibatasi dengan peningkatan suhu inti tubuh Sumber: (Olishifski, 1971)

II.11 Penyakit akibat Panas

Heat strain didefenisikan sebagai efek akut atau kronis baik pada fisik maupun

mental seseorang akibat paparan panas di lingkungan kerja baik mulai dari efek

yang sangat ringan bahkan hingga yang dapat menyebabkan kematian. Oleh sebab

itu perlu dimiliki kemampuan akan pengenalan terhadap bahaya dan

pencegahannya (Rodahl, 2003).

Bahaya paparan panas terhadap kesehatan pekerja dapat dikelompokkan

berdasarkan Heat index lingkungan kerja. Untuk temperatur 27oC-32oC (80-90oF)

masuk ke dalam kelompok peringatan dimana aktivitas dan paparan yang terus

menerus dapat menyebabkan kelelahan, temperatur 32oC-41oC (90-105oF)

termasuk ke dalam kelompok peringatan keras yang dapat menyebabkan heat

cramp dan heat exhaustion, temperatur 41oC-54oC (105-130oF) masuk ke dalam

kelompok berbahaya yang sangat besar kemungkinan menyebabkan heat cramp

dan heat exhaustion dan juga memungkinkan terjadinya heat stroke, temperatur di

atas 54oC (>130oF) masuk ke dalam kelompok sangat berbahaya dimana paparan

secara terus menerus kemungkinan besar dapat menyebabkan heat stroke (NOAA's

National Weather Service, 2006).

31

Heat rash; disebut juga dengan biang keringat yang mengakibatkan kulit

memerah dan terasa gatal. Heat rash biasanya terjadi pada bagian tubuh yang

basah oleh keringat dimana keringat tersebut tidak dapat menguap akibat tertutup

oleh pakaian. Hal ini dapat dicegah dengan mengeringkan bagian tubuh yang

basah oleh keringat (OSH Department of labor Wellington New Zealand, 1997).

Heat syncope; disebut juga dengan heat collapse. Heat syncope dihubungkan

dengan kondisi tubuh yang cepat lelah akibat paparan panas yang terus menerus.

Heat syncope biasanya terjadi pada saat berdiri di lingkungan yang panas dalam

waktu yang cukup lama mengakibatkan terjadinya pelebaran pembuluh darah

pada bagian kaki dan darah terkumpul pada tubuh bagian tersebut (kaki) sehingga

suplai darah ke otak akan berkurang. Sebaiknya korban segera dipindahkan ke

lingkungan yang lebih dingin dan diberi minum (OSH Department of labor

Wellington New Zealand, 1997).

Heat cramps; kejang pada otot-otot yang digunakan pada saat bekerja. Hal ini

diduga akibat turunnya konsentrasi sodium klorida (NaCl) di dalam darah hingga

pada level yang sangat rendah. Gejala yang timbul adalah rasa kejang pada

lengan, kaki atau juga perut yang terjadi secara tiba-tiba baik pada saat bekerja

ataupun sesudah bekerja (OSH Department of labor Wellington New Zealand,

1997).

Heat exhaustion; umumnya disertai dengan gejala-gejala seperti lelah, pusing-

pusing, sesak nafas, muntah-muntah, pingsan, keringat dingin, hipotensi, denyut

nadi yang cepat. Keadaan ini disebabkan terjadinya dilatasi atau pelebaran

pembuluh darah yang disertai penurunan kemampuan darah untuk bersirkulasi

melepaskan panas menyebabkan suhu inti tubuh akan meningkat dan tubuh akan

terus menerus berkeringat yang pada akhirnya tubuh akan kekurangan cairan

(dehidrasi). Tetapi heat exhaustion tidak selalu dihubungkan dengan kenaikan

suhu inti tubuh, hal ini dapat dilihat pada seseorang yang dalam kondisi tidak fit

atau tidak terbiasa bekerja di lingkungan yang panas maka akan sangat rentan

32

terkena heat exhaustion (OSH Department of labor Wellington New Zealand,

1997).

Heat stroke; sangat berbahaya bagi kesehatan seseorang oleh sebab itu sebaiknya

sesegera mungkin korban mendapat perawatan medis. Heat stroke

dikarakterisasikan sebagai berikut: naiknya temperatur inti tubuh hingga melebihi

104oF, berhentinya produksi keringat, kulit panas dan kering, denyut nadi dan

pernafasan yang cepat, hipertensi, pusing, dan hilang kesadaran. Jika korban tidak

segera mendapat perawatan, heat stroke dapat menyebabkan koma dan bahkan

kematian (OSH Department of labor Wellington New Zealand, 1997).